REFERAT AGORAFOBIA
Nama: Prita Tri Eprianti (11-2012-026) Pembimbing: dr. Hubertus Kasan Hidayat SpKJ
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Periode 2 September - 5 Oktober 2013 RSKO Cibubur, Jakarta
Kata Pengantar
Puji dan syukur kepada Tuhan YME karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas Referat yang berjudul “Agorafobia”. Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr Hubertus Kasan Hidayat sebagai dokter pembimbing serta berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas referat ini. Referat ini membahas tentang penyebab, diagnosis, penatalaksanaan, serta berbagai hal yang berhubungan dengan agorafobia. Penulis berharap agar penulisan referat ini dapat berguna bagi siapapun yang membacanya. Penulis sadar bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena ini penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam pengetikan. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih atas perhatian para pembaca.
Jakarta, 19 September 2013
Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………………..i Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..ii BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1 BAB II. ISI 2.1 Definisi………………………….……………………………………………….….....2 2.2 Epidemiologi…………………………………………………………………………..2 2.3 Etiologi………………………………………………………………………………...2 2.4 Manifestasi Klinis………………………………………………………….……..…..3 2.5 Diagnosis………………………………………………………………………………4 2.6 Diagnosis Banding……………………………………………………….……………6 2.7 Penatalaksanaan……………………………………………………………...…….….7 2.8 Prognosis………………………………………...……………………………..…….13 BAB III. PENUTUP……………………………………………………………………..15 Daftar Pustaka……………………………………………………………………………16
ii
BAB I PENDAHULUAN
Agorafobia termasuk di dalam jenis fobia. Fobia merupakan suatu gangguan jiwa yang merupakan bagian dari gangguan cemas. Agorafobia itu sendiri diartikan sebagai keadaan takut terhadap ruang terbuka, orang banyak, serta keadaan untuk menyingkir ke tempat aman. Angka kejadian agorafobia diperkirakan sekitar 2-6% dalam sepanjang kehidupan. Sesuai dengan klasifikasi diagnostik berdasarkan Diagnostic and Statitical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR), dikatakan bahwa agorafobia berkaitan dengan gangguan panik. Agorafobia dapat disertai dengan gangguan panik maupun tanpa riwayat gangguan panik. Pada kenyataannya, seseorang yang menderita fobia terutama agorafobia itu sendiri, seringkali tidak datang untuk mencari pertolongan untuk mengatasi masalahnya, melainkan mecari pertolongan ketika terjadi serangan panik dan menjadi tumpang-tindih dengan gangguan panik. Agorafobia dapat berlangsung lama dan berulang,bersifat kronis dan dapat mengakibatkan komplikasi seperti gangguan depresi, dikarenakan pertolongan yang diperoleh tidak memadai sehingga penderita akan terus menghindari situasi fobik, tidak mampu keluar dari rumah dan mengakibatkan masalah di dalam kehidupannya sendiri.
BAB II ISI
2.1 Definisi
Agorafobia adalah keadaan takut akan ruang terbuka serta aspek lainnya seperti orang banyak dan adanya kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. 2 Agorafobia dapat disertai ansietas umum, serangan panik perasaan dizzisness dan unsteadiness serta sering ada depresi atau depersonalisasi. 2.2 Epidemiologi
Agorafobia dapat muncul pada usia muda dengan rata-rata timbulnya adalah pada usia dua puluh lima tahun. Kebanyakan penderita adalah wanita pada onset usia muda. Angka kejadian atau prevalensi agorafobia selama masa kehidupan adalah 2-6%. 2 Pada penelitian yang dilakukan di lingkungan psikiatrik dilaporkan sebanyak tiga perempat pasien yang terkena agorafobia juga menderita gangguan panik. Hasil yang berbeda ditemukan pada lingkungan masyarakat di mana separuh dari pasien yang menderita agorafobia tidak menderita gangguan panik. Kriteria diagnostic yang bervariasi serta beragamnya metode penelitian menyebabkan terjadinya perbedaan pada hasil penelitian. 2.3 Etiologi
Etiologi dari agorafobia belum diketahui secara pasti, tetapi patogenesis fobia secara umum berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik dan psikososial. 2.3.1 Faktor Biologis
Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah neuroepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Penelitian tentang faktor biologis pada gangguan panik menghasilkan kesimpulan bahwa gangguan panic berhubungan dengan kelainan atau abnormalitas pada struktur dan fungsi otak. 2,3 Keseluruhan data biologis telah menyebabkan suatu perhatian kepada batang otak (khususnya neuron noradrenergik di lokus sereleus dan neuron seretonergik di nucleus raphe medialis), system limbic (kemungkinan bertanggung jawab untuk terjadinya kecemasan yang
terjadi lebih dahulu (anticipatory anxiety) dan korteks prafrontalis (kemungkinan bertanggung jawab untuk terjadinya penghindaran fobik). 2.3.2 Faktor Genetik
Agorafobia diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Namun pada sebuah penelitian menyatakan bahwa serangan panik akut tidak berhubungan dengan kejadian agorafobia.6 Gangguan tersebut memiliki komponen genetik yang jelas, gangguan panik dengan agorafobia merupakan bentuk yang lebih berat dari gangguan 2
panik, dan lebih mungkin diturunkan. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa adanya peningkatan resiko gangguan panik empat hingga delapan kali lipat lebih banyak pada saudara kembar monozigotik dan cenderung menderit ganggun panik dibandingkan dengan kembar dizigotik. 2.3.3 Faktor Psikososial
Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis genetika-konstitusional dan stressor lingkungan. Penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang ada predisposisi konstitusional terhadap fobia memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap yang tak dikenal dengan stres lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya fobia, misalnya perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga dapat mengaktivasi diathesis laten pada anak-anak yang kemudian akan menjadi gejala yang nyata.2,3 Pada agorafobia maupun gangguan panik, terdapat dua t eori yang menjelaskan tentang pathogenesis terjadinya gangguan tersebut. Teori perilaku-kognitif dan teori psikoanalitik merupakan dua buah teori yang menjelaskan etiologi agorafobia dari segi psikososialnya. 2.4 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari pasien dengan agorafobia adalah memiliki kecenderungan untuk menghindari situasi yang sulit untuk mendapatkan bantuan. Pasien dengan agorafobia lebih memilih untuk ditemani oleh orang lain seperti teman dan anggota keluarganya di jalan yang ramai, toko yang padat, ruang tertutup dan kendaraan tertutup. 2,3 Pada keadaan yang berat, pasien agorafobia dapat menolak keluar rumah dan ketakutan akan menjadi gila.
Keinginan untuk menghindari situasi tersebut dapat sangat berbeda pada setiap individu. Gejala depresif sering ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan depresif ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. 2.5 Diagnosis
Kriteria diagnostik agorafobia berdasarkan PPDGJ III dan DSM-IV-TR memiliki perbedaan dimana kriteria berdasarkan PPDGJ III yang merujuk pada ICD 10 tidak mengaitkan agorafobia dengan gangguan panik. Sedangkan kriteria diagnostik berdasarkan DSM-IV-TR menggolongkan agorafobia sebagai akibat dari gangguan panik (saling berkaitan). Berdasarkan penggolongan kriteria diagnostic DSM-V yang terbaru dikatakan bahwa agorafobia merupakan diagnosa yang independent dan tidak memiliki keterkaitan dengan gangguan panik. 7 2.5.1 Kriteria Diagnostik Menurut PPDGJ III
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke III (PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua kriteria dengan adanya gejala ansietas yang terbatas pada kondisi yang spesifik yang harus dihindari oleh penderita. Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk kriteria pasti: 1. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif 2. Ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama harus terjadi dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut banyak orang/keramaian, tempat umum, berpergian keluar rumah, dan berpergian sendiri, dan 3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
2.5.2 Kriteria Diagnostik Menurut DSM-IV-TR
Menurut DSM-IV-TR, agorafobia dapat digolongkan atas gangguan panik dengan agorafobia dan agorafobia tanpa gangguan panik. Dengan kriteria diagnosis sebagai berikut:3
Kriteria untuk Agorafobia
A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi darinya kemungkinan dirinya meloloskan diri, merasa malu, atau dimana kemungkinan tidak terdapat pertolongan jika mendapat serangan panik atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau secara situasional. Ketakutan agorafobia biasanya mengenai kelompok karakteristik, situasi, seperti di luar ruah sendirian; berada ditempat ramai atau berdiri di sebuah barisan, berada diatas jembatan atau bepergian dengan bis, kereta, atau mobil. Catatan: pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika penghindaran adalah terbatas pada satu atau beberapa situasi spesifik atau penghindaran terbatas pada situasi sosial. B. Situasi dihindari (misalnya jarang berpergian) atau jika dilakukan dengan penderitaan yang jelas atau dengan kecemasan mendapat serangan panic atau gejala panik atau perlu didampingi teman. C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain seperti fobia sosial (misalnya penghindaran terbatas pada situasi sosial karena takut dipermalukan), fobia spesifik misalnya penghindaran terbatas situasi seperti lift, gangguan obsesif-kompulsif misalnya menghidari kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi, gangguan stress pasca trauma misalnya menghindari stimuli yang berhubungan dengan stressor yang berat, dan gangguan cemas perpisahan misalnya menghindari meninggalkan rumah atau sanak keluarga. Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan yang diberi kode. Catatlah diagnosis yang spesifik saat agorafobia terjadi misalnya gangguan panik dengan agorafobia atau agorafobia tanpa riwayat gangguan panik. Kriteria Diagnostik Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik
A. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala mirip panic (misalnya, pusing atau diare) B. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk panic C. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum
D. Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan, rasa takut yang dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang biasanya berhubungan dengan kondisi. Kriteria Diagnostik Gangguan Panik dengan Agorafobia
Memenuhi dua kriteria: A. Serangan panik berulang B. Setidaknya satu dari serangan diikuti oleh satu atu lebih gejala di bawah ini selama 1 bulan :
Pemikiran akan tejadinya serangan kembali
Merasa khawatir terhadap konsekuensi dari serangan itu sendiri (serangan jantung, menjadi gila)
Perubahan sikap yang nyata yang berhubungan dengan serangan panik
C. Memenuhi kriteria agorafobia D. Serangan panik bukan merupakan pengaruh dari penggunaan zat maupun kondisi medik khusus E. Serangan panik tidak lebih baik dicatat sebagai gangguan mental lainnya, seperti fobia sosial, fobia spesifik, OCD, PTSD atau gangguan cemas perpisahan. 2.6 Diagnosis Banding
Gangguan medis Tabel 1. Diagnosis banding ganguan medis pada gangguan panik 3 Penyakit kardiovaskular
Penyakit paru
Penyakit neurologis
Anemia Gagal jantung kongestif Hipertensi Angina, Miokard infark Asma Hiperventilasi Emboli paru Epilepsi Huntington disease Penyakit meniere Multiple sklerosis Migrain, tumor, infeksi
Penyakit endokrin Intoksikasi obat
Gejala putus zat
Kondisi lainnya
Hipertiroid Diabetes Amfetamin Kokain Hallusinogen Nikotin Alkohol Opiat dan opioid Obat hipnotik sedatif Anafilaksis Uremia
Gangguan mental: gangguan cemas lainnya
Agorafobia tanpa Gangguan Panik: 2,3
Gangguan Depresi Mayor
Skizofrenia
Gangguan Kepribadian Paranoid
Gangguan Kepribadian Cemas Menghindar
Gangguan Kepribadian Dependen
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan agorafobia sama dengan penatalaksanaan pada gangguan panik yang terdiri dari penatalaksanaan secara farmakoterapi dan psikoterapi.2 Penatalaksanaan psikoterapi yang efektif salah satu diantaranya yaitu terapi kognitif dan perilaku. Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatis terhadap gejala serangan panik. Kombinasi terapi farmakologi dan psikoterapi dinyatakan menjadi terapi yang paling efektif dalam mengatasi agorafobia maupun gangguan panik. 3,4 2.7.1 Farmakoterapi
Tujuan utama penatalaksanaan agorafobia adalah mengurangi atau mengeliminasi gejala serangan panik, mencegah dan mengantisipasi ansietas serta mengatasi keadaan komorbid yang menyertainya. 4 Penggunaan modalitas terapi harus diperhatikan dari segi faktor resiko serta keuntungan dari masing-masing terapi sesuai dengan kebutuhan masingmasing dari penderita. Alprazolam (xananx) dari golongan benzodiazepin dan paroksetin (paxil) dari golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) adalah dua obat yang disetujui untuk terapi gangguan panik. 3
a. Selective Ser otoni ne Reuptake I nh ibitor (SSRI )
SSRI menjadi lini pertama dalam pengobatan farmakoterapi pada gangguan mood dan ansietas, termasuk gangguan panik. 4,5 SSRI efektif untuk terapi gangguan panik akut maupun sebagai pengobatan jangka panjang gangguan panik. Terapi awal pemberian SSRI dapat memberikan efek seperti meningkatnya ansietas, rasa gelisah, gemetar dan agitasi.8 Oleh karena itu pemberian initial dose harus diberikan dalam dosis kecil, yang kemudian dititrasi meningkat secara perlahan. Terapi inisial dosis rendah diberikan selama 3 sampai 7 hari , kemudian peningkatan dosis dilakukan perlahan tergantung dari toleransi tiap individu hingga mencapai standar dosis terapi rumatan.5,8 Obat diberikan selama 3 sampai 6 bulan atau lebih, tergantung dari kondisi individu agar kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.1 Efek samping yang paling sering ditimbulkan SSRI antara lain adalah sakit kepala, iritabel, mual serta gangguan gastrointestinal lainnya, insomnia, disfungsi seksual, meningkatkan ansietas, rasa kantuk dan tremor. Pada SSRI penggunaan dosis yang berlebihan lebih aman, efek pada fungsi kardiovaskular lebih sedikit serta efek antikolinergik yang ditimbulkan lebih rendah. Dosis pemberian obat SSRI sebaiknya diturunkan secara perlahan (tapering ) apabila pengobatan akan dihentikan, minimal 7 sampai 10 hari sebelum menghentikan pengobatan. Terapi SSRI yang dihentikan secara tiba-tiba dapat menyebabkan discontinuation syndrome8 pada sistem neurosensorik (parestesia, shock-like reaction, mialgia), neuromotorik (tremor, gangguan keseimbangan motorik, gangguan visual), gastrointestinal (mual, diare), neurophsyciatric (cemas, iritabel), vasomotor (berkeringat) dan berbagai manifestasi lainnya seperti insomnia, pusing, sakit kepala serta rasa lelah. Apabila terjadi gejala diskontinuitas tersebut, maka terapi SSRI diberikan kembali sesuai dengan dosis yang terakhir diberikan selama beberapa hari diikuti penurunan dosis secara perlahan. 8 Berikut ini adalah beberapa obat yang tergolong dalam SSRI:
Paroksetin Paroksetin memiliki efek sedatif dan membuat pasien lebih tenang. Pemberian dimulai pada dosis kecil dan dititrasi meningkat secara perlahan. Pemberian
awal 5 sampai 10 mg per hari selama 1 sampai 2 minggu pertama kemudian dosisnya ditingkatkan 10 mg setiap 1 sampai 2 minggu hingga dosis maksimum 60 mg. 2 Apabila sedasi tidak dapat ditoleransi, dosis diturunkan kembali hingga 10 mg per hari dan digantii fluoxetine pada 10 mg per hari dan dititrasi meningkat. Pendekatan konservatif adalah dengan memulai paroksetin, sentralin (Zoloft) atau fluvoxamin (Luvox) pada gangguan panik terisolasi. 3 Dosis rumatan 2040 mg/hari.8 Mekanisme aksi terhadap neutransmiter lain terbatas, termasuk pada reseptor muskarinik. Konsentrasi plasma dicapai setelah 5 jam. Metabolisme di hati dan di ekskresi melalui urin dan feses dalam bentuk metabolit.10
Fluoxetine Merupakan serotonin selektif reuptake inhibitor yang potensial. Fluoxetine tidak berikatan dengan adrenoreseptor atau histamine, GABA-B atau reseptor muskarinik. Konsentrasi plasma dicapai setelah 6-8 jam. Penggunaan jangka panjang fluoxetin ( Prozac) adalah obat yang efektif untuk panik yang bersamaan dengan depresi, efek samping awalnya dapat menyerupai gejala panik selama beberapa minggu.3 Dosis rumatan 20-40 mg/hari.
Fluvoxamin Fluvoxamin merupakan derivat alkylketone, bekerja dalam mencegah pengambilan (reuptake) serotonin di neuron otak. Diabsorbsi secara oral pada traktus gastrointestinal. Metabolisme di hati menjadi bentuk inaktif melalui proses oksidasi demetilasi dan deaminasi, ikatan protein plasma 70%. Ekskresi melalui urin. Dosis efektif 100-300 mg/hari 4,5,8
b. Benzodiazepin
Awitan kerja paling cepat, sering pada minggu pertama dapat digunakan untuk waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap efek antipanik. Alprazolam yang paling luas digunakan untuk gangguan panik. Lorazepam (ativan) dan klonazepam (klonopin) juga menunjukkan efektifitas yang sama. Benzodiazepin dapat digunakan awal bersama serotonergik dan dosis dititrasi hingga dosis terapeutik hingga 4-12 minggu dosis dapat dirunkan minggu dan obat serotonergik (SSRI) diteruskan. Pemberian singkat aprazolam bersamaan dengan SSRI dapat digunakan pada keadaan yang berat, diikuti dengan
3
penurunan dosis secara perlahan. Benzodiazepin dapat menyebabkan ketergantungan, gangguan kognitif terutama penggunaan jangka panjang. Penghentian benzodiaz epin dapat menimbulkan gejala putus zat dan meningkatkan angka kekambuhan pada gangguan panik. Berikut ini adalah beberapa golongan benzodiazepine yang digunakan pada terapi gangguan panik:
Alprazolam Alprazolam memiliki efek anti-ansietas, muscle relaxan, antikonvulsan, antidepresi.10 Alprazolam berikatan dengan reseptor-reseptor spesifik yang terdapat
pada
susunan
saraf
pusat
seperti
GABA.
Seperti
senyawa
benzodiazepine lainnya, aprazolam menyebabkan depresi susunan saraf pusat yang bervariasi. Konsentrasi plasma dicapai setelah 1-2 jam.
Lorazepam Merupakan benzodiazepin jenis short-acting yang memodulasi GABA A reseptor. Konsentrasi plasma dicapai dalam 2 jam. Onset pemberian secara intramuskular sekitar 20-30 menit untuk memberikan efek hypnosis, efek sedasi melalui intravena dicapai dalam 5-20 menit, sedangkan onset peroral adalah 30-60 menit. 10
Clonazepam Clonazepam adalah antikonvulsan yang efektif dengan meningkatkan aktivitas GABA dan bekerja sebagai anti cemas. Kadar plasma dicapai dalamm 4 jam. Clonazepam dapat melalui sawar plasenta.10
Tabel 2. Dosis pemberian obat antidepresan dan benzodiazepine pada gangguan panik (Stein, MB et al. Practice Guideline for The Treatment of Patients With Panic Disorder , Second Edition, 2009)
2.7.2 Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologis, yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus yang menjalin hubungan kerjasama secara professional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. 11 Psikoterapi dilakukan dengan wawancara atau interview. Hal penting dalam wawancara adalah tujuan terapeutik dan penegakan diagnosis yang diperoleh dengan menjalin hubungan interpersonal yang baik dari waktu ke waktu setiap kali wawancara dilakukan. Terapi kognitif dan perilaku
Merupakan terapi yang efektif untuk gangguan panik yang memerlukan usaha serta kerjasama dari terapis dan individu itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa psikoterapi ini mengungguli terapi secara farmakologis, beberapa yang lain mengatakan hal
yang sebaliknya. Tetapi kombinasi farmakologi dan psikoterapi lebih efektif dibandingkan terapi itu secara tersendiri.3 Tujuan utama dari terapi kognitif pada gangguan panik adalah mengenai keyakinan pasien yang salah dan informasi mengenai serangan panik. 3,4 Instruksi yang salah menyebabkan pasien salah mengartikan sensasi tubuh ringan sebagai tanda akan terjadinya serangan panik, gangguan fisik yang akan mengancam atau menyebabkan kematian. Terapi ini secara tidak langsung mengajak individu untuk membentuk kembali pola perilaku menjadi lebih rasional serta restrukturisasi kognitif. Individu dilatih untuk membuat daftar pengalaman harian serta cara individu dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami dan dilakukan evaluasi setiap kali pertemuan. Pada sebuah penelitian mengenai perbandingan terapi kognitif dan perilaku dengan terapi perilaku itu sendiri, diperoleh fakta bahwa terapi kognitif dan perilaku, keduanya menjadi kombinasi terapi yang lebih unggul secara bersama-sama dibandingkan dengan terapi perilaku secara tunggal. 9 Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat secara relatif cepat untuk meredakan serangan panik dan memenangkan individu. Tujuan terapi relaksasi adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Teknik dasar menggunakan terapi relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai, sehingga pasien menguasai teknik yang dapat membantu saat terjadi serangan panik.1,4 Individu diperkenalkan kepada sensasi ketegangan dan sesudah itu sensai relaks. Individu harus bisa membedakan antara sensasi saat panik dengan sensasi relaks. Lazarus menggabungkan teknik terapi relaksasi dengan pernapasan. 11 Hiperventilasi dianggap berhubungan dengan serangan panik yang mungkin berkaitan dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, pendekatan langsung adalah melatih pasien untuk melakukan hiperventilasi. Lazarus juga mengatakan bahwa terapi hipnosis dapat digunakan untuk menginduksi relaksasi. Relaksasi dapat berfungsi sebagai teknik tunggal atau sebagai kombinasi bersama terapi lainnya, seperti terapi perilaku dan desentisasi sistematik. Sebelum dilakukan terapi relaksasi, individu perlu dipersiapkan dan diberi penjelasan yang cukup agar dapat bekerja sama dan memfokuskan dirinya untuk melakukan relaksasi itu sendiri. Tenkik relaksasi ini sebaiknya tidak digunakan untuk keadaan asma bronkial, pasien dengan psikosis akut, depresi agitatif atau yang mudah terkena disosiasi. Pada permulaan terapi relaksasi pada gangguan panik dapat timbul ansietas yang diinduksi oleh relaksasi itu sendiri. 11
Pajanan in Vivo
Teknik ini meliputi pemajanan terhadap stimulus yang ditakuti dan semakin lama semakin berat. Dengan demikian pasien akan mengalami desensitisasi terhadap stimulus yang ditakuti.4 Saat ini selain digunakan stimulus eksternal yang ditakuti, juga digunakan stimulus atau pajanan internal yang ditakuti oleh individu seperti pernafasan yang cepat dan rasa takut mengalami rasa panik. Psikoterapi dinamik
Psikoterapi dinamik merupakan sebuah terapi psikiatri yang diterapkan dari teori Sigmund Freud. Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang tidak disadari telah dihipotesiskan, simbolis situasi yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Individu diajak untuk lebih memahami diri dan lingkungannya (berdasarkan tilikan), bukan hanya sekedar menghilangkan gejalanya semata. Pengalaman
traumatik
yang
terutama
terjadi
pada
awal
kehidupan
dapat
menimbulkan konflik psikologis. Sebagian besar aktivitas mental dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan pikiran sadar dilindungi dari pengalaman konflik dengan mekanisme yang dirancang untuk mengurangi kecemasan. Mekanisme tersebut berkembang dalam kehidupan dewasa dan menghasilkan gejala psikologis atau kurangnya kemampuan untuk pertumbuhan dan pemenuhan personal. Keluarga individu dan hubungan pribadi sebelumnya dapat bermakna dalam mencapai tujuan psikoterapi itu sendiri, yaitu pemahaman dan perubahan pada individu. Pada sebuah penelitian, penerapan psikotereapi dinamik dengan pemberian Clomipramine menunjukkan bahwa angka kekambuhan berkurang dibandingkan dengan terapi clomipramine itu sendiri (Wilborg and Dahl 1996). 5 Terapi Keluarga
Terapi keluarga dan kelompok dapat membantu penderita dan keluarganya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pasien memiliki gangguan dan menyesuaikan diri dengan kesulitan psikososial yang dapat dicetuskan gangguan tersebut. 2.8 Prognosis
Agorafobia dapat menjadi kronis dan dapat terjadi kormobiditas dengan gangguan lain seperti depresi, penyalahgunaan alcohol dan obat bila tidak mendapat terapi. Menurut National Institute of Mental Health, 30% hingga 40% akan bebas dari gejala untuk
waktu yang lama dan 50% masih ada gejala ringan yang secara bermakna tidak mengganggu kehidupan sehari-hari. Hanya 10% hingga 20% yang tidak membaik. 2 Agorafobia tnpa riwayat gangguan panik seringkai menyebabkan ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan ketergantungan alkohol sering kali menjadi komplikasi pada perjalanan penyakit agorafobia.
BAB III PENUTUP
Agorafobia merupakan keadaan takut terhadap ruang terbuka serta terhadap orang banyak di mana penderita di dalam keadaan yang sulit untuk mendapatkan pertolongan. Angka kejadiannya pada wanita lebih banyak dibandingkan pada pria pada onset usia muda. Agorafobia tidak selalu terjadi oleh karena gangguan panik. Penyebab terjadinya agorafobia dilihat dari patogenesis terjadinya, dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu, faktor biologis, faktor genetik dan faktor psikososial. Gejala klinis dari agorafobia antara lain adalah memiliki kecenderungan untuk menghindari situasi yang sulit mendapatkan pertolongan dan lebih memilih untuk didampingi orang terdekat saat berpergian. Diagnosis agorafobia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostic DSM-IV-TR dan PPDGJ III membagi agorafobia tanpa riwayat gangguan panik dan agorafobia dengan gangguan panik. Penatalaksanaan agorafobia sama seperti pada penatalaksanaan gangguan panik. Penatalaksanaan
itu
antara
lain
merupakan
terapi
farmakologis
dan
psikoterapi.
Penatalaksanaan farmakoterapi yang digunakan ialah obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) sebagai anti depresan serta obat-obat golongan benzodiazepine yang bekerja sebagai anti ansietas. Penatalaksanaan psikoterapi yang terbaik ialah terapi kognitif dan perilaku, selain itu juga dapat dilakukan terapi relaksasi, pajanan in vivo, terapi psikodinamik serta terapi keluarga. Agorafobia dapat berlangsung kronis dan berulang, komplikasi yang dapat menyertai agorafobia adalah keadaan depresi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik . Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal 258-263 2. Kandou, JE. Fobia. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal 265-272 3. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Penerbit ECG. Jakarta: 2010. Hal. 239-241 4. Kinrys G, Pollack MH. Panic Disorder and Agorafobia dalam Clinical Manual Of Anxiety Disorders. American Psychiatric Publishing. 2004. 13-36. 5. Stein DJ, Hollander E et al. Textbook of Anxiety Disorders. American Psychiatric Publishing. 2009. 367-417 6. Bienvenu, OJ et al. Agorafobia in adults: incidence and longitudinal relationship with
panic.
The
British
Journal
of
Psychiatry.
2006.
Diunduh
dari:
http:/bjp.rcpsych.org/ 7. Wittchen, Hans-Ulrich et al. Agorafobia: A Review of The Diagnostik Classificatory Positionand Criteria. 2010. Diunduh dari: http:/dsm5.org/ 8. Stein MB et al. Practice Guideline For The Treatment of Patients With Panic Disorder . Second Edition. American Psychiatric Association: 2009. Diunduh dari: http://psychiatryonline.org/content.aspx?bookid=28§ionid=1680635 9. Manjula M, Kumariah, V et al. Cognitive behavior therapy in the treatment of panic disorder . Indian Journal of Psychiatry. 2009 Apr-Jun; 51(2): 108-116. Diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2755166/ 10. Antidepressan,
Anxyolitics
Drugs.
Diunduh
dari:
www.mims.com/Indonesia/drug/search/ 11. Elvira SD. Psikoterapi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal 390-405