APLIKASI METODE PALLIATIVE CARE DALAM INTERVENSI KEPERAWATAN DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV/AIDS
DISUSUN OLEH Disusun Oleh : 1. Hendri Pratama 2. Dwi Nur Anggraeni 3. Rini Nur S 4. Feby Fajar Rianatasari 5. Moh Asep Rizky 6. Wempi Krido 7. Bayu Dri Wicaksono 8. Nuno Gonzalves
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN NERS STIKES SURYA MITRA HUSADA KEDIRI 2015-2016
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 1
KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan suatu makalah dengan tepat waktu yang berjudul tentang
APLIKASI METODE PALLIATIVE CARE DALAM INTERVENSI
“
KEPERAWATAN DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV/AIDS . ”
Dalam menyelesaikan makalah ini tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak kepada dosen-dosen pembimbing yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan juga masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, dan untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih.
Kediri, 5 Januari 2016
Penulis
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 2
DAFTAR ISI
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 3
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali dikenal pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV-1). AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi diddapat dari hasil penularan. penyakit ini merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang sangat penting di beberapa negara dan bahkan mempunyai implikasi yang bersifat internasional dengan angka moralitas yang peresentasenya di atas 80 pada penderita 3 tahun setelah timbulnya manifestasi klinik AIDS. Pada tahun 1985 Cherman dan Barre-Sinoussi melaporkan bahwa penderita AIDS di seluruh dunia mencapai angka lebih dari 12.000 orang dengan perincian, lebih dari 10.000 kasus di Amerika Serikat, 400 kasus di Francis dan sisanya di negara Eropa lainnya, Amerika Latin dan Afrika. Pada pertengahan tahun 1988, sebanyak lebih dari 60.000 kasus yang ditegakkan diagnosisnya sebagai AIDS di Amerika Serikat telah dilaporkan pada Communicable Disease Centre (CDC) dan lebih dari setengahnya meninggal. Kasuskasus AIDS baru terus-menerus di monitor untuk ditetapkan secara pasti diagnosisnya. Ramalan baru-baru ini dari United States Public Health Service menyatakan, bahwa pada akhir tahun 1991, banyaknya kasus AIDS secara keseluruhan di Amerika Serikat doperkirakan akan meningkat paling sedikit menjadi 270.000 dengan 179.000 kematian. Juga telah diperkirakan, bahwa 74.000 kasus baru dapat di diagnosis dan 54.000 kematian yang berhubungan dengan AIDS dapat terjadi selama tahun 1991 saja. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan, kematian pasukan Amerika selama masa perang di Vietnam berjumlah 47.000 korban. Selain itu, berdasarkan data Departemen kesehatan (Depkes) pada periode JuliSeptember 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di tanah air telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang. Menderita HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan disekeliling penderita. Secara fisiologis HIV menyerang sisitem kekebalan tubuh penderitanya. Jika ditambah dengan stress psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 4
terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997), jika stress mencapai tahap kelelahan (exhausted stage), maka dapat menimbulkan kegagalan fungsi system imun yang memperparah keadaan pasien serta mempercepat terjadinya AIDS. Modulasi respon imun penderita HIV/AIDS akan menurun secara signifikan, seperti aktivitas APC (makrofag); Thl (CD4); IFN ; IL2; Imunoglobulin A, G, E dan anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4 hingga mencapai 180 sel/ l per tahun. Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama. Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke rumah sakit menunjukkan adanya perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut menunjukkan terdapat factor lain yang berpengaruh, dan factor yang diduga sangat berpengaruh adalah stress. Stress yang dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuroimunologis, stimulusnya akan melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada system limbic berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan menghasilkan CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (Adrenal corticotropic hormone) untuk memengaruhi kelenjar korteks adrenal agar menghasilkan kortisol. Kortisol ini bersifat immunosuppressive terutama pada sel zona fasikulata. Apabila stress yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah besar sehingga dapat menekan system imun (Apasou dan Sitkorsky,1999), yamg meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1 (CD4); sel plasma; IFN ; IL-2;IgM-IgG, dan Antibodi-HIV (Ader,2001). Perawat merupakan factor yang berperan penting dalam pengelolaan stress, khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya. Selain itu perawat juga berperan dalam pemberian dukungan social berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996; Folkman Dan Lazarus, 1988). Salah satu metode yang digunakan dalam pengobatan pasien penderita HIV/AIDS adalah palliative care. Palliative care adalah salah satu pendekatan yang digunakan bukan hanya untuk penderita saja melainkan kepada keluarga. Palliative care ini bukan saja bertujuan untuk menyembuhkan pasien melainkan untuk memperpanjang masa hidup pasien ODHA.
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 5
B.
RUMUSAN MASALAH Bagaimana penggunaan metode paliative care dalam intervensi keperawatan dalam menyelesaikan masalah keperawatan pada pasien HIV/AIDS?
C.
TUJUAN Untuk mengetahui penggunaan metode paliative care dalam intervensi keperawatan dalam menyelesaikan masalah keperawatan pada pasien HIV/AIDS
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 6
BAB II KONSEP TEORI
A. DEFINISI Perawatan paliatif (dari bahasa Latin''palliare,''untuk jubah) adalah setiap bentuk perawatan medis atau perawatan yang berkonsentrasi pada pengurangan keparahan gejala penyakit, daripada berusaha untuk menghentikan, menunda, atau sebaliknya perkembangan dari penyakit itu sendiri atau memberikan menyembuhkan. Definisi Palliative Care telah mengalami beberapa evolusi. Menurut WHO pada 1990 Palliative Care adalah perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsive terhadap pengobatan kuratif. Berdasarkan definisi ini maka jelas Palliative Care hanya diberikan kepada penderita yang penyakitnya sudah tidak respossif terhadap pengobatan kuratif. Artinya sudah tidak dapat disembuhkan dengan upaya kuratif apapun. Tetapi definisi Palliative Care menurut WHO 15 tahun kemudian sudah sangat berbeda. Definisi Palliative Care yang diberikan oleh WHO pada tahun 2005 bahwa perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan
sampai
akhir
hayat
dan
dukungan
terhadap
keluarga
yang
kehilangan/berduka. Di sini dengan jelas dikatakan bahwa Palliative Care diberikan sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak Palliative Care harus diberikan kepada penderita itu. Palliative Care tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan dengan memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka. Palliative Care tidak hanya sebatas aspek fisik dari penderita itu yang ditangani, tetapi juga aspek lain seperti psikologis, sosial dan spiritual. Titik pusat dari perawatan adalah pasien sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya penyakit yang dideritanya. Dan perhatian ini tidak dibatasi pada pasien secara individu, namun diperluas sampai mencakup keluarganya. Untuk itu metode pendekatan
yang
terbaik
adalah
melalui
pendekatan
terintegrasi
dengan
mengikutsertakan beberapa profesi terkait. Dengan demikian, pelayanan pada pasien PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 7
diberikan secara paripurna, hingga meliputi segi fisik, mental, social, dan spiritual. Maka timbullah pelayanan palliative care atau perawatan paliatif yang mencakup pelayanan terintegrasi antara dokter, perawat, terapis, petugas social-medis, psikolog, rohaniwan, relawan, dan profesi lain yang diperlukan. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Palliative Care adalah untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya.
B.
Tujuan Palliative Care Palliative care ini bertujuan mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya, meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan pengaruh positif selama sakit, membantu pasien hidup seaktif mungkin sampai saat meninggalnya, menjawab kebutuhan pasien dan keluarganya, termasuk dukungan disaat-saat sedih dan kehilangan, dan membantu keluarga agar tabah selama pasien sakit serta disaat sedih. Palliative care tidak bertujuan untuk mempercepat ataupun menunda kematian.
C.
Prinsip Palliative care Prinsip-prinsip perawatan paliatif adalah sebagai berikut: 1. Menghargai setiap kehidupan. 2. Menganggap kematian sebagai proses yang normal. 3. Tidak mempercepat atau menunda kematian. 4. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan. 5. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu. 6. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien dan keluarga. 7. Menghindari tindakan medis yang sia-sia. 8. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat. 9. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 8
D.
Karakteristik Palliative Care Perawatan paliatif sangat luas dan melibatkan tim interdisipliner yang tidak hanya mencakup dokter dan perawat tetapi mungkin juga ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja sosial, psikolog/psikiater, rohaniwan, dan lainnya yang bekerja secara terkoordinasi dan melayani sepenuh hati. Perawatan dapat dilakukan secara rawat inap, rawat jalan, rawat rumah (home care), day care dan respite care. Rawat rumah dilakukan dengan kunjungan ke rumah pasien, terutama mereka yang tidak dapat pergi ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim untuk memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami pasien dan keluarganya, baik masalah medis maupun psikis, sosial, dan spiritual. Day care adalah menitipkan pasien selama jam kerja jika pendamping atau keluarga yang merawatnya memiliki keperluan lain (seperti day care pada penitipan anak). Sedangkan respite care adalah layanan yang bersifat psikologis melalui konseling dengan psikolog atau psikiater, bersosialisasi dengan penderita kanker lain, mengikuti terapi musik, dan lain-lain. Beberapa karakteristik perawat paliatif adalah: 1. Mengurangi rasa sakit dan keluhan lain yang mengganggu. 2. Menghargai kehidupan dan menyambut kematian sebagai proses yang normal. 3. Tidak berusaha mempercepat atau menunda kematian. 4. Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual dalam perawatan pasien. 5. Membantu pasien hidup seaktif mungkin sampai akhir hayat. 6. Membantu keluarga pasien menghadapi situasi selama masa sakit dan setelah kematian. 7. Menggunakan pendekatan tim untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarganya, termasuk konseling masa duka cita, jika diindikasikan. 8. Meningkatkan kualitas hidup, dan mungkin juga secara positif memengaruhi perjalanan penyakit. 9. Bersamaan dengan terapi lainnya yang ditujukan untuk memperpanjang usia, seperti kemoterapi atau terapi radiasi, dan mencakup penyelidikan yang diperlukan untuk lebih memahami dan mengelola komplikasi klinis yang berat.
E.
Klasifikasi Palliative Care Palliative care / perawatan (terapi) paliatif terbagi menjadi beberapa macam diantaranya adalah sebagai berikut:
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 9
1. Palliative Care Religius Agama merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan. Terapi religious sangat penting dalam memberikan palliative care. Kurangnya pemenuhan kehidupan beragama, menimbulkan masalah pada saat terapi. Pengetahuan dasar dari masingmasing agama sangat membantu dalam mengembangkan palliative care. Terkadang palliative care spiritual sering disamakan dengan terapi paliatif religious. Palliative care spiritual bisa ditujukan kepada pasien yang banyak meyakini akan adanya Tuhan tanpa mengalami ritual suatu agama dan bisa juga sebagai terapi religius dimana selain meyakini ritual agama memiliki tata cara beribadah dalam suatu agama. Dalam agama islam perawatan paliatif yang bisa diterapkan adalah : a) Doa dan dzikir b) Optimisme c) Sedekah d) Shalat Tahajud e) Puasa 2. Terapi Paliatif Radiasi Terapi paliatif radiasi merupakan salah satu metode pengobatan dengan menggunakan radiasi / sinar untuk mematikan sel kanker yang akan membantu pencegahan terhadap terjadinya kekambuhan. Terapi radiasi dapat diberikan melalui dua cara. Pertama dengan menggunakan cara radiasi eksterna, dan kedua dengan brakiterapi. Radiasi eksterna adalah suatu teknik radiasi dimana sumber radiasi berada di luar tubuh pasien. Radiasi ini menggunakan suatu mesin yang mengeluarkan radiasi yang ditujukan kea rah sel kanker. Brakiterapi adalah suatu teknik radiasi dimana sumber radiasi diletakkan di dalam tubuh pasien dekat dengan sel kanker tersebut. Peran radioterapi pada palliative care terutama adalah untuk mengatasi nyeri, yaitu nyeri yang disebabkan oleh infiltrasi tumor local.
3. Terapi Paliatif Kemoterapi Pemakaian kemoterapi pada stadium paliatif adalah untuk memperkecil masa tumor dan kanker dan untuk mengurangi nyeri, terutama pada tumor yang kemosensitif. Beberapa jenis kanker yang sensitive terhadap kemoterapi dan mampu menghilangkan nyeri pada lymphoma. Myeloma, leukemia, dan kanker tentis.Pertimbangan PALIATIVE CARE HIV AIDS
pemakaian
kemoterapi
paliatif
harus
benar-benar Page 10
dipertimbangkan dengan menilai dan mengkaji efek positif yang diperoleh dari berbagai aspek untuk kepentingan pasien.
4. Pembedahan Tindakan
pembedahan
pada
perawatan
paliatif
bermanfaat
untuk
mengurangi nyeri dan menghilangkan gangguan fungsi organ tubuh akibat desakan massa tumor / metastasis. Pada umumnya pembedahan yang dilakukan adalah bedah ortopedi / bedah untuk mengatasi obstruksi visceral. Salah satu contoh tindakan pembedahan pada stadium paliatif adalah fiksasi interna pada fraktur patologis / fraktur limpeding / tulang panjang.
5. Terapi Musik Alunan musik dapat mempercepat pemulihan penderita stroke, demikian hasil riset yang dilakukan di Finlandia. Penderita stroke yang rajin mendengarkan music setiap hari, menurut hasil riset itu ternyata mengalami Peningkatan pada ingatan verbalnya dan memiliki mood yang lebih baik dari pada penderita yang tidak menikmati musik. Musik memang telah lama digunakan sebagai salah satu terapi kesehatan, penelitian di Finlandia yang dimuat dalam Jurnal Brain itu adalah riset pertama yang membuktikan efeknya pada manusia. Temuan ini adalah bukti pertama bahwa mendengarkan music pada tahap awal pasca stroke dapat meningkatkan pemulihan daya kognitif dan mencegah munculnya perasaan negative. 6. Psikoterapi Gangguan citra diri yang berkaitan dengan dampak perubahan citra fisik, harga diri dengan citra fungsi sosial, fungsi fisiologis, dan sebagainya dapat dicegah / dikurangi dengan melakukan penanganan antisipatorik yang memadai. Tetapi hal ini belum dapat dilaksanakan secara optimal karena kondisi kerja yang belum memungkinkan. 7. Hipnoterapi Hipnoterapi
merupakan
salah
satu
cabang
ilmu
psikologi
yang
mempelajari manfaat sugesti untuk mengatasi masalah pikiran, perasaan, dan perilaku. Hipnoterapi bisa bermanfaat dalam menerapi banyak gangguan psikologis-organis seperti hysteria, stress, fobia (ketakutan terhadap benda-benda
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 11
tertentu atau keadaan tertentu), gangguan kecemasan, depresi, perilaku merokok, dan lain-lain.
F.
Tim Interdisipliner Palliative Care Dalam melakukan palliative care membutuhkan tim kerja yang terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu karena ilmu kedokteran pada zaman sekarang ini telah berkembang menjadi adanya interaksi dari fisik, fungsional, emosional, psikologis, sosial, dan aspek spiritual yang akan menjadi multidisiplin ilmu. Tim palliative care dapat terdiri dari perawat, dokter, psikiater, petugas sosial medis, rohaniawan, terapis, dan anggota lain sesuai kebutuhan. Setiap anggota tim sebaiknya memahami dan menguasai prinsip-prinsip dan praktek palliative care. Tim harus berani menjamin bahwa pasien akan mendapat pelayanan seutuhnya, baik fisik maupun mental, sosial, serta spiritual dengan cara yang benar dan dalam porsi yang seimbang. Tim paliatif ini akan dipimpin oleh seorang dokter yang memiliki pengalaman yang luas tentang menangani penyakit tingkat lanjut dan gejala yang kompleks. Dokter dapat memberikan konsultasi untuk membantu dokter lain. Perawat yang diberi pelatihan khusus dalam merawat pasien dengan penyakit stadium lanjut dan terminal akan merawat pasien di dalam pallitaitive care. Perawat bertanggung jawab untuk memberikan kasih saying dan pendidikan kepada pasien dan keluarganya. Konseling spiritual juga merupakan salah satu dari tim interdisiplin. Konseling spiritual dapat diberikan kepada penderita yang tidak memiliki agama sekalipun. Konseling spiritual dapat membantu meningkatakan iman yan berfungsi sebagai mekanisme koping bahkan terapi pada penderita yang sedang sekarat. Pendeta, ustadz, atau pemuka agama lainnya dapat membantu membentuk ikatan di dalam tim palliative care. Tim paliatif memiliki ciri khas yakni profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya. Para professional ini bergabung dalam satu kelompok kerja secara bersama mereka menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan melalui beberapa langkah tujuan jangka pendek. Tim adalah motor penggerak dari semua kegiatan pasien. Proses interaksi komunikasi merupakan kunci keberhasilan pengobatan palliative care.
G.
Tempat Palliative Care
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 12
Tempat untuk melakukan perawatan paliatif beragam, seperti: 1. Rumah sakit, untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan dengan pengawasan ketat, tindakan khusus atau meemrlukan peralatan khusus. 2. Puskesmas, untuk pasien yang melakukan rawat jalan. 3. Rumah singgah atau panti (hospis), untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan atau peralatan khusus, tetapi belum dapat dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. 4. Rumah Pasien, untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan atau peralatan khusus, serta keterampilan perawatan bisa dilakukan oleh anggota keluarga.
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 13
BAB III KASUS Tn. R berumur 35 tahun. 6 bulan yang lalu tn. R bekerja ke luar negeri. Klien pulang karena sering sakit-sakitan seperti demam, diare dan berat badannya menurun. Klien memeriksakan ke sebuah rumah sakit dan terdiagnosa positif HIV. Sejak saat itu klien menarik diri dari lingkungan. Tetangga sekitar rumahnya berstigma negatif dan mendiskriminasi klien karena kondisinya tersebut. Klien butuh dukungan sosial untuk kembali bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 14
BAB IV PEMBAHASAN Dukungan sosial adalah interaksi penuh makna antara dua individu atau lebih yang saling berbagi tanggung jawab (Barroso & Nunes dalarn McCormick, Holder, Wetsel, & Cawthon, 2001). Nunes dkk. (dalam McCormick. dkk.) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, ternan, kelompok dukungan sosial, dan rohaniawan. Intervensi sosial juga dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang melibatkan lebih dari satu individu untuk memecahkan permasalahan yang muncul (Leon,2000; Martaniah,1985). Inti dari dukungan sosial bagi orang terinfeksi HIV adalah perasaan terhubung dengan orang lain. Kendall (dalam McCormick,dkk.,2001) mengatakan bahwa melalui perasaan terhubungan tersebut. Orang terinfeksi HIV marnpu rnenyalurkan kedukaan mereka. Khususnya dengan keluarga dan ternan. Beberapa keuntungan yang diperoleh orang terinfeksi
HIV melalui
tersediannya dukungan sosial adalah peningkatan harga diri dan kesehatan psikologis, naiknya daya kekebalan tubuh, serta menurunkan tingkat stress dan pcrasaan
terisolasi
secara sosial. Perawat dapat secara proaktif membangun dialog antara orang terinfeksi HIV dan profesional lain di bidang kesehatan untuk mereduksi stigma dan diskriminasi. Di dalam paper ini aplikasi yang dibahas hanya mencakup dialog lintas iman, edukasi dan kelompok dukungan sebaya. 1. Dialog Lintas Iman Aplikasi intervensi sosial dalam komunitas agama dapat berupa kerjasarna dengan pemimpin atau anggota komunitas terscbut sehingga stigma yang terkait dengan persepsi moral dapat ditekan. Dialog antar iman maupun antara orang te rinfeksi HIV dan yang tidak terinfeksi juga terbukti mampu mengurangi stigma dan diskriminasi. Dialog olch berbagai penganut agama dengan keimanannya masing-masing akan menuntun peserta dialog untuk lebih saling memahami dan menarik kesimpulan bahwa inti dari semua ajaran agama adalah cinta kasih, termasuk mengasihi sesama rnanusia yang terinfeksi HIV. Rcsiko yang mungkin tcrjadi dari dialog tcrscbut adalah adanya resistensi atau penolakan dari individu yang tidak dapat membuka diri. Walau demikian, individu tersebut telah memiliki pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain.
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 15
2. Edukasi Edukasi atau pemberian pendidikan kepada masyarakat urnum rnaupun pctugas keschatan perlu dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yang benar tentang HIV dan AIDS. Materi yang diberikan dalam edukasi dapat mencakup bagaimana penularan HIV dan cara penanggulangannya sehingga mitos-mitos terkait HIV dan AIDS yang beredar dapat diatasi dan menimbulkan pemah aman yang benar pada masyarakat (IBCA,2010; Supratiknya. 2008). 3. Kelompok Dukungan Sebaya Pasien HIV dapat membentuk kelompok untuk saling mendukung. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan psikologis maupun materi. Saat bertemu dengan orang yang memiliki persamaan, yaitu terinfeksi HIV. Maka akan timbul rasa empati di antara anggota kelompok. Dalam kebersamaan tersebut pasien HIV tidak akan merasa kesepian dan lebih mampu memperjuangkan hak-haknya. Usaha advokasi terhadap hak-hak orang dengan HIV yang ditindas akibat stigma dan diskriminasi juga akan lebih mendapat perhatian pemerintah maupun masyarakar (Leon, 2000). Kelompok dukungan sebaya dapat menyusun kegiatan yang dapat membangun citra positif bagi orang terinfeksi HIV.
Beberapa contoh kegiatan sosial adalah kunjungan ke panti
werda atau panti asuhan, penanaman pohon, dan membersihkan Iingkungan. Ketika para pasien HIV melakukan
kegiatan yang bersifat positif maka masyarakat akan memiliki
pandangan yang lebih baik kepada mereka. Bagi perempuan hamil yang terinfeksi HIV terdapat program pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT). Leeper, Montague, Friedman, dan Flanigan (2010) menemukan bahwa PMTCT lebih efektif jika dilakukan dengan berbasis keluarga sebagai dukungan sosial. Hal tersebut terbukti sukses di Uganda karena hanya kurang dari 1% bayi terinfeksi HIV yang meninggal sebelum dites statusnya. Hal yang menarik dari penelitian, Dane (2000) menemukan bahwa dalam dukungan soslal anggota keluarga perempuan lebih berperan daripada lakl-laki . Selain itu perempuan terinfeksi HIV di Thailand memiliki dukungan sosial yang lebih besar dibanding dengan Amerika.
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 16
BAB V PENUTUP A.
KESIMPULAN Palliative Care adalah perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsive terhadap pengobatan kuratif. Berdasarkan definisi ini maka jelas Palliative Care hanya diberikan kepada penderita yang penyakitnya sudah tidak respossif terhadap pengobatan kuratif. Palliative care ini bertujuan mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya, meningkatkan kualitas hidup, dan
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 17
memberikan pengaruh positif selama sakit, membantu pasien hidup seaktif mungkin sampai saat meninggalnya, menjawab kebutuhan pasien dan keluarganya, termasuk dukungan disaat-saat sedih dan kehilangan, dan membantu keluarga agar tabah selama pasien sakit serta disaat sedih. Palliative care tidak bertujuan untuk mempercepat ataupun menunda kematian.
B.
SARAN Perawatan paliatif sangat luas dan melibatkan tim interdisipliner yang tidak hanya mencakup dokter dan perawat tetapi mungkin juga ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja sosial, psikolog/psikiater, rohaniwan, dan lainnya yang bekerja secara terkoordinasi dan melayani sepenuh hati. Perawatan dapat dilakukan secara rawat inap, rawat jalan, rawat rumah (home care), day care dan respite care. Rawat rumah dilakukan dengan kunjungan ke rumah pasien, terutama mereka yang tidak dapat pergi ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim untuk memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami pasien dan keluarganya, baik masalah medis maupun psikis, sosial, dan spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
PALIATIVE CARE HIV AIDS
Page 18