MAKALAH
OLEH KELOMPOK I : 1. MAHARDIAN HERSANTI P.
(0028.04.21.2016)
2. DWI ASTUTI HARDIANTI
(0013.04.21.2016)
3. SADDAN HUSAIN
(0024.04.21.2016)
4. TENRY NUR AMRIANI
(0027.04.21.2016)
PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI 2016
1
BAB I PENDAHULUAN
Penemuan-penemuan
ilmiah
yang
telah
dicapai
bukan
saja
menghasilkan kepuasan dan keasyikan, melainkan membawa juga konsekuensi besar dalam kehidupan manusia. Penemuan yang dihasilkan bertumpu pada kreativita kreativitass manusia, suatu kemampuan yang unik bagi makhluk makh luk manusia man usia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.Perkembangan pesat ilmu yang pesat tak jarang juga ditandai ditandai dengan munculnya munculnya ketidakpastian. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami kemajuan yang sangat pesat.Dalam hal ini, ada semacam kekhawatiran yang muncul pada kalangan ilmuwan dan filsuf, termasuk juga kalangan agamawan, bahwa kemajuan iptek dapat mengancam eksistensi umat manusia, bahkan alam dan beserta isinya. Para filsuf melihat ancaman tersebut muncul lantaran pengembangan iptek berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya yang cenderung berjalan sendiri-sendiri.Untuk memahami gerak perkembangan iptek yang sedemikian itulah, maka kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya meletakkan kembali peran dan fungsi iptek sesuai dengan tujuan semula, yakni mendasarkan diri dan concern terhadap kebahagiaan umat manusia, sangat diperlukan.Untuk mengetahui apa sesungguhnya ilmu itu harus melalui filsafat ilmu. Di sinilah kita melihat pentingnya bagi setiap ilmuwan untuk mendalami filsafat ilmu untuk mengenal hakikat ilmu yang dimilikinya. Ketika Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu
yang
mampu
menunjukkan
batas-batas
dan
ruang
lingkup
penget pengetahu ahuan an manusia secara tepat, maka semenjak itu refleksi filsafat mengenaipengetahuan manusia menjadi menarik perhatian.Lahirlah cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan.Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata-cara untuk menggunakan saranasarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah.Karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge maka knowledge maka lahirlah filsafat ilmu sebagai
2
penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan obyek sasarannya pada ilmu (pengetahuan). Ajaran Islam melalui Al-Qur'an telah memberikan landasan untuk membentuk konsep Filsafat Ilmu.Adapun Filsafat Ilmu tanpa melandaskan diri pada konsep Agama atau bahkan dipisahkan dari dimensi keimanan menurut ajaran Islam, dalam bahasa lain Filsafat Ilmu ini disebut Filsafat Ilmu sekuler yang berpijak pada pandangan sekularisme. Manusia sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain, ia diberi akal dan pikiran untuk membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari keistimewaan inilah menusia diberi gelar sebagai khalifatun fil ardhi yang padanya diberikan penglihatan, pendengaran dan hati.Dengan kelengkapan itu manusia mencoba menggunakannya dalam memahami realitas kehidupan ini dengan sempurna. Pada tahap manusia menggunakan fasilitas yang Allah berikan itu untuk mencoba memahami ilmu pengetahuan muncullah tipe manusia yang pemahaman secara sekuler yaitu tipe manusia yang menyandarkan akal dan indra saja, yang melihat sumber ilmu hanya dari manusia dan tipe manusia yang selalu menyandarkan
pada Al Qur’an, yaitu tipe manusia yang menyandarkan pada wahyu, selalu melihat ilmu itu berasal dari Allah SWT. Dengan kemajuan cara berfikir filosof science sekuler dapat berpengaruh pada generasi yang hidup pada zaman global dewasa ini yang tidak jarang menggiring manusia pada pemahaman sekuler. Maka peran para ilmuwanIslam adalah untuk mempertegas pandangannya tentang sumber ilmu pengetahuan itu dari Allah SWT.
3
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat Ilmu. Istilah "Filsafat" dalam Bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Philosophy (Inggris), Philosophia (Latin), Philosophie (Jerman, Belanda, Prancis).Semua istilah itu bersumber dari Yunani Philosophia. Istilah Yunani Philein berarti "mencintai", sedang philos berarti "Teman". Selanjutnya istilah sophos berarti "bijaksana", sedangkan sophia berarti "kebijaksanaan". Filsuf Heroklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata filsafat untuk menerangkan
hanya
Tuhan
yang
mengetahui
hikmah
dan
pemilik
hikmah.Manusia harus puas dengan tugasnya di dunia sebagai pencari dan pencinta hikmah. Kemudian Sokrates (470-399 SM) memberi arti filsafat dengan tegas, yaitu pengetahuan sejati, terutama untuk menentang kaum Sofis yang menanamkan dirinya para bijaksana (sofos).Ia bersama pengikutnya menyadari bukan orang yang bijaksana, tetapi hanya mencintai kebijaksanaan dan berusaha mencarinya. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termasyur sebagai murid Socrates dan guru Aristoteles, yang hidup antara 427-347 SM, berpendapat bawa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Bagi Plato, filsafat berkenaan dengan upaya penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak lewat dialektika. Menurut Aristoteles (384-322 sebelum masehi) berpendapat bahwa Filsafat itu menyelidiki sebab dan prinsip segala sesuatu. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang berdasarkankriteria apa sehingga disebut benar ?apakah kriteria benar itu ? Pertanyaan – pertanyaan tersebut akhirnya memasuki karakteristik berfikir secara filsafat yang ketiga, yaitu berfikir spekulatif. Artinya, dalam mencari kebenaran, ibarat akan menelusuri sebuah lingkaran, pada akhirnya orang memang harus memulai dari satu titik pada lingkaran itu bagaimanapun spekulatifnya. Yang penting ialah, bahwa dalam pemikiran itu orang mengemukakan analisis dan pembuktian, kemudian memisahkan mana spekulasi yang dapat diandalkan dan mana yang tidak.
4
Dalam
arti
pengetahuan
sejati
(pengetahuan
yang
benar),
kata Philosophia bertahan mulai Plato sampai Aristoteles, tetapi objeknya meliputi
juga
ilmu,
yaitu
usaha
untuk
mencari
sebab
yang
universal. Pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata
Barat “fil” dan ”safat” dari kata Arab sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata ”filsafat”. Kata Sophia dipindahkan oleh orang Arab kedalam bahasa mereka dengan kata hikmah. Hal ini berdasarkan pada QS. Al-Baqarah : 269 :
)269 :
(.
Artinya ; “ Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barang siapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia telah benarbenar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang barakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS. Al-Baqarah ; 269) Menurut Rene Descartes (1596-1650), yang dikenal sebagai tokoh filsafat rasionalisme dalam filsafat Barat modern, berpandangan bahwa filsafat merupakan pembentangan atau penyingkapan kebenaran terakhir. Titik tolaknya ialah mendesak keraguan sampai kebatasnya, sehingga tersingkaplah batas itu, yakni kepastian tentang eksistensi sendiri. (Syahrir,dkk : 2015). Menurut Al Farabi (wafat 950 M), filsafat adalah ilmu tentang susuatu yang maujud (mengada) sebagaimana ia secara hakiki sebagai wujud. Bagi Immanuel Kant (1724-1804 M), filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan, yaitu ; metafisika, etika, agama dan antropologi. Telaah mengenai filsafat baru mulai merebak di abad awal 20, namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad 19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu khazanah bidang filsafat secara umum. Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat mengenai semua pengetahuan sebagai bidangnya. Menurut Harold H. Titus, “Phylosophy is an attitude toward life and universe... a methode of reflective thinking and reasoned inquiry..a group of problems... a group of system of thought (Filsafat adalah sikap tentang hidup dan alam semesta... salah satu metode berpikir reflektif dan penyelidikan yang didasarkan pada akal... adalah seperangkat masalah... suatu perangkat teori dan
5
sistem pemikiran)”. (Soyomukti : 2011).Pendapat lain dari J. A. Leighton, bahwa suatu filsafat yang lengkap mencakup suatu pandangan dunia, atau konsep rasional tentang keseluruhan kosmos, dan suatu pandangan hidup atau doktrin nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia. Di Indonesia , Fuad Hasan memberi pengertian bahwa filsafat ialah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal, dalam arti mulai dari radix (akar) suatu hal yang hendak dimasalahkan, untuk mencapai kesimpulan yang universal. Pendapat lain yaitu dari
Jujun S. Suriasumantri, seorang yang berfilsafat dapat
diumpamakan sebagai orang yang berpijak di bumi, sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi.Atau seorang yang berdiri dipuncak tinggi, memandang kengarai dan lembah dibawahnya.Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Dalam banyak hal, untuk menyatakan bentuk pengetahuan yang disebut ilmu, dalam Bahasa Indonesia digunakan istilah ilmu pengetahuan. Ilmu Pengetahuan sebagai sebuah nama, sebenarnya terdiri atas dua kata yang masing – masing mempunyai arti saling berkaitan, yaitu kata : (1) Ilmu, (2) Pengetahuan.Dalam Bahasa Inggris mengenal istilah untuk kedua hal tersebut, yaitu : (1) Science untuk padanan kata ilmu, dan (2) knowledge untuk padanan kata pengetahuan. Adapun kata ilmu pengetahuan, tidak ditemukan padanannya dalam Bahasa Inggris.Yang ada ialah scientific knowledge.Tapi bila scientific knowledge diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, artinya adalah Pengetahuan Ilmiah, bukan Ilmu Pengetahuan. Dalam bahasa Arab terdapat kata
: ‘ilmun dan ‘’ ilmiyah. Kata ‘ilm
artinya ilmu dan kata ‘ilmiyah artinya ilmiah atau memiliki sifat sebagai ilmu. Dari gambaran tersebut dapat dilihat betapa kata ilmu dan ilmiah dalam Bahasa Indonesia secara konsonan lebih dekat pada Bahasa Arab. Sedangkan ilmu menurut Muntu Abdullah (2007) Dari segi maknanya, pengertian ilmu menunjuk pada sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode.Ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Dapat dikatakan bahwa Filsafat Ilmu sebenarnya adalah ilmu mengenai ilmu (science for sciences).Filsafat Ilmu berkenaan dengan
6
penyelidikan tentang ciri – ciri suatu pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah, karena itu bisa diberi predikat sebagai ilmu. Tercakup didalamnya ialah penyelidikan tentang cara – cara untuk memperoleh ilmu itu. Dalam filsafat ilmu akan dipertanyakan kembali secara de jure, landasan serta asas – asas yang memungkinkan suatu pembenaran terhadap ilmu dan apa yang dianggap benar oleh ilmu. (Syahrir, dkk : 2015). John
Losee
dalam
Sudibyo,
Triyanto
dan
Suswandari
(2014),
menyatakan tentang The philosopher of science seeks answers to such questions as : 1. What characteristics distinguish scientific inquiry form other types of investigation? 2. What procedures should scientist follow in investigating nature? 3. What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct? 4. What is the cognitive status of scientific laws and principles? Artinya bahwa tugas dari pemikir filsafat ilmu i alah untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan berkaitan dengan empat pokok bahasan : pertama, berkaitan dengan apa yang menjadi perbedaan ilmiah karakteristik tipe setiap ilmu satu dengan ilmu lainnya dengan metode penelitian. Kedua, prosedur apa yang harus dilakukan secara ilmiah dalam melakukan penelitian atas kenyataan yang terjadi di alam?, ketiga, apa yang wajib dilakukan dalam memperoleh penjelasan ilmiah untuk melakukan penelitian dan eksperimen? Keempat, apakah teori itu dapat diambil sebagai konsep dan prinsip-prinsip ilmiah? Di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat ilmu. 1.
Robert Ackermann: Filsafat ilmu adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.
2.
Lewis White Beck: Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3.
Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat ilmui yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-
7
metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual. 4.
May Brodbeck: filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafat ilmui, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu. Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafatan ilmuwan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat ilmu pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu, seperti : a.
Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
b.
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
c.
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis).
Selain itu, menurut Moh.Adib dalam Sudibyo, Triyanto dan Suswandari (2014), filsafat ilmu juga mempelajari obyek kajian yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yang dijadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu. Obyek material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu
8
pengetahuan ilmiah yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Menurut Dardiri (2000) bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu : 1. Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya. 2. Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi). Obyek formal merupakan cara memandang, cara meninjau oleh peneliti terhadap obyek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Obyek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang yang lain.
B. Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Islam dan Sekuler Yang dimaksud dengan filsafat Islami adalah pembahasan mengenai masalah ilmu secara filsafati berdasarkan pandangan yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam dengan sumber utama Al Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Dengan penyajian bahasan filsafat ilmu yang demikian akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain : 1. Memperkaya pandangan mengenai ilmu secara filsafati baik bagi kalangan mahasiswa, sarjana dan kalangan ilmuwanmuslim lainnya, maupun kalangan ilmuwan non muslim. Bahwa dalam hal filsafat ilmu, juga terdapat satu filsafat khas yang berwatak Islami. 2. Memberikan bahan pemikiran kritis bagi ilmuwan muslim untuk melakukan koreksi atau bandingan terhadap jalan dan cara yang telah ditempuhnya selama ini dalam membentuk pemikirannya mengenai segala hal yang berkenaan dengan ilmu, yang selama ini secara formal hanya dibentuk oleh dasar pemikiran non-Islami. 3. Dimilikinya
suatu
konsep
keilmuwan
secara
filsafati,
yang
tidak
menempatkan ilmu dan agama sebagai dua hal yang masing – masing berdiri berdampingan secara secara komplementer atau berhadapan – hadapan
9
secara kontradiktif. Juga dengan itu, menyodorkan suatu bentuk filsafat ilmu yang tidak memisahkan antara dimensi keduniaan dan dimensi keduniaan dan dimensi keakhiratan sebagaimana paham sekularisme yang mendasari filsafat science modern. Sebelum kita membandingkan pandangan Islam dan Sekuler terhadap filsafat ilmu, kita perlu mendefinisikan arti sekuler dan sekularisme.Dalam istilah popular, definisi sekuler adalah bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).Sekularisme diartikan sebagai paham atau kepercayaan yang berpendirian bahwa paham agama tidak dimasukkan dalam urusan politik, negara atau institusi publik; paham atau pandangan yang berpendirian
bahwa
moralitas
tidak
perlu
didasarkan
pada
ajaran
agama.Menurut Syed Naquib Al Attas dalam Maulana Wahid Abdurrahman, secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin), mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan lokasi, waktu menunjukan
kepada pengertian “sekarang” atau “kini”, dan lokasi menunjuk kepada pengertian “dunia” atau “duniawi”.Sekularisme juga memiliki arti fashluddin anil haya, yaitu memisahkan peran agama dari kehidupan yang berarti agama hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja.Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama. Sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara (politik) dan agama (state and religion).Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan Tuhan.Maka, menurut para sekuler, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan.Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Paham sekuler ini pertama mulai mendunia ketika Harvey Cox, menulis
sebuah buku berjudul “ The Secular City ”, kemudian menurut Cox, sekularisasi
10
adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Selanjutnya, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas menuju sekularisasi, yai tu “disentchantmen of nature ” yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), “desacralization of politics ” dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan “ deconsecration of values ” dengan perjanjian Sinai (Sinai Covenant ).Jadi menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Perbedaan mendasar konsep filsafat ilmu dari sudut pandang Islam dan sekuler dapat kita jelaskan dalamtiga pembahasan filsafat yang mendasar sebagai berikut :
Pandangan Ontologi Sekuler dan Islam Menurut pandangan sekuler, kalau berbicara masalah ontologi, adalah
bicara sesuatu yang realitas, maka dipertanyakan apa sebenarnya dengan kenyataan itu. Maka yang dicari adalah hakikat dari kenyataan itu . Untuk menjawab ini ditampilkan tiga aliran : 1. Naturalisme yang berpendapat bahwa hakikat dari kenyataan itu adalah bersifat alam, yaitu kekuatan yang ada pada satu tempat yakni ruang dan waktu, dan berkesimpulan bahwa apa saja yang bersifat alam adalah berada pada ruang dan waktu. 2. Materialisme yang berpendapat bahwa sesuatu yang dinyatakan nyata pasti berawal dari materi. Inti pendapatnya hakikat yang terdalam bertitik tolak dari satu pandangan yang sama, yaitu kenyataan terdalam adalah bersifat materi. 3. Positivisme yang berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan metafisis tidak mengandung makna, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan tapi untuk mengetahui hakikat sesuatu ilmu itu keadaan dan diverifikasi.
Menurut pandangan Islam (Qur’an), segala sifat yang lekat, untuk memahami hakikat sesuatu yang difahami selama ini hanyalah akibat dari kerendahan diri bagi ciptaan Allah SWT. Dengan tidak melepaskan diri dari
11
landasan
Al Qur’an dapat dikatakan bahwa sejauh kita akan berbicara
mengenai hakikat realitas yang diciptakan Allah SWT selama ini, maka harus berangkat dari satu keyakinan yang mendalam bahwa Allah yang menciptakan sesuatu dan Allah-lah yang lebih mengetahui hakikat ciptaan-Nya. Fuad Rumi dari segi lain tentang realitas ciptaan Allah adalah suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri, hanya dapat dialami dan dirasakan karena ia sebagai satu tatanan. Dan tatanan itu adalah suatu cara yang bisa terwujud bila terdapat hukumhukum universal teratur secara sistematis. Hukum-hukum universal itu, tidak mungkin merupakan hasil dari suatu ciptaan, dan tak mungkin yang dicipta menciptakan sesuatu yang universal dan teratur.Keterciptaan manusia adalah dilalui oleh ‘ketidakadaannya’, karena itu salah satu implikasinya ialah makhluk tidak berkualitas abadi, sebab yang abadi hanyalah yang mencipta (Allah). Menurut Naquib al-Attas, keadaan yang dimiliki semua yang ada dalam beragam tingkat eksistensi, dan walaupun tingkat eksistensi merupakan bahan pembentuk realitas, sebenarnya yang membuat sesuatu yang menjadi dirinya sendiri bukanlah apa yang dimilikinya atau berlaku baginya, tetapi sesuatu yang membedakannya dari yang kita maksudkan sebagai keunikan keduniawian. Untuk melihat hakikat realitas dalam pemahaman kita sehari-hari harus berawal dari Al-Haq, sebagai kebenaran mutlak.
Pandangan Epistemologi Islam dan Sekuler Menurut Jujun S. Sumantri, teori pengetahuan atau epistemologi ilmu
yaitu pembahasan secara mendalam oleh manusia agar memproleh ilmu pengetahuan. Ilmu itu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui satu proses tertentu yang disebut metode ilmiah.Jadi yang penting adalah asal usul pengetahuan dimana peran pengalaman dan akal dalam mencari ilmu. Rizal Mustansir menyatakan struktur pikiran dalam mencermati ilmu itu dengan tahapan-tahapan: 1.
Mengamati, yaitu mengamati obyek-obyek.
2.
Menyelidiki, yaitu melihat keterkatan obyek yang dikondisikan oleh jenis obyek yang tampil.
12
3.
Percaya, yaitu obyek nampak sebagai satu pengertian yang memadai setelah keragaman dinamakan kepercayaan.
4.
Maksud,
yaitu
mempunyai
kemauan
menyelidiki
dan
hasrat
mengetahui sekaligus perasaannya tidak berbeda bahkan terdorong ketika melakukannya. 5.
Mengatur, yaitu satu kesadaran terhadap suatu kondisi dan fungsi mengetahui secara bersama.
6.
Menyesuaikan, yaitu menyesuaikan pikiran sekaligus pembatasanpembatasannya yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang terdakup dalam otak dan tumbuh dalam fisik dan biologis.
7.
Menikmati, yaitu keasikan pikiran yang menekuni satu persoalan yang menikmati dalam pikirannya. Menurut Islam bahwa sumber pengetahuan meletakkan dasar pertama
bagi manusia, bahwa dalam memperoleh ilmu pengetahuan harus memperoleh petunjuk al-Qur’an sebagai referensi utama.Sebab melalui pengg unaan Al
Qur’an itulah, indikasi pertama dari konsistensi pandangan bahwa Allah sebagai sumber pengetahuan dapat diterima. Al-Qur’an sebagai pandangan Epistemologi adalah merupakan suatu
konsistensi Qur’an.Sumber ilmu pengetahuan yakni Allah adalah sumber pengetahuan, dalam konteks ilmu al- Qur’an adalah petunjuk dari sumber pengetahuan yang ditujukan pada manusia untuk berilmu. Dalam Al- Qur’an (ayat 1-5) surat al-Alaq, bahwa Allah mengajarkan pada manusia dengan melalui qalam.Menurut Fuad Rumi ayat itu dapat dipahami secara epistemologi bahwa manusia potensial memperoleh pengetahuan karena kesempurnaan Allah. Dalam hal ini bukan berarti bahwa Allah memberikan ilmu itu pada tangan manusia tetapi manusia dengan langkah-langkah yang maju dan positif berusaha dengan metode dan cara yang bebeda-beda untuk memperoleh ilmu. Kalimat bil qalam dalam ayat ini adalah mengandung makna bahwa potensial manusia yang mempunyai ilmu dan kesempatan dapat dilakukan dengan suatu
13
proses yang dalam proses itu ditempuh langkah-langkah dengan peralatan yang ada pada dirinya maupun yang ada di luar dirinya untuk ilmu itu diperoleh. Untuk memperoleh ilmu itu dapat diakui melalui dua jalan, yaitu indra lahiriah dan indra batiniah.Fuad Rumi mengatakan bahwa: 1. Indra lahiriah mempersepsi fenomena alam sebagai fenomena fisik. Misalnya benda, unsur, warna dan sebagainya. 2. Fu’ad sebagai indraqalbun mempersepsi terwujudnya kualitas diri sifat-sifat Allah pada obyek alam fisik tersebut. Namun dapat ditekankan bahwa bila potensi indra lahiriah manusia itu berkembang secara alami, maka indra batiniah bisa berkembang bila diasah dengan zikir dan qalbun harus bersih sehingga yang muncul adalah kualitas yang bersih, keberhasilan itu diperoleh melalui ketaatan beribadah, karena dengan ketaatan beribadah itu mempunyai keterkaitan dengan keilmuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu itu dapat diperoleh harus dengan kebersihan hati, yang diperoleh dengan kualitas ibadah yang tinggi. Menurut Muthahhari (2010), instrumen pengetahuan selain indra yang dipergunakan untuk memperoleh pengetahuan dari alam materi, kita juga memiliki rasio dan pikiran manusia yang dipergunakan untuk melahirkan argumentasi yang rasional dan logis. Alat rasio adalah silogisme dan burhan (demonstrasi).Intrumen ketiga adalah hati (jiwa).Dalam aliran materialism tidak ada satupun yang mengakui keberadaan sumber ilmu yang berupa hati yang bisa diperoleh dengan jalan penyucian jiwa ( tazkiyatunnafs). Sumber ilmu menurut science Islam, Islam melihat Allah sebagai maha pencipta dan yang diciptakan sebagai hamba, manusia termasuk yang diciptakan. Maka yang dihasilkan oleh manusia adalah memiliki kelemahankelemahan, dengan kekurangan dan kelemahan itu tidak mungkin ia sebagai sumber ilmu. Dan Allah yang mengajarkan kepada manusia tentang apa yang tidak diketahuinya, dan melengkapi manusia segala perlengkapan dan fasilitas
14
mendengar, melihat, dan hati sebagai timbangan atas apa yang hendak dibuat oleh manusia. Dan Allah sudah tegaskan dalam QS. Al- Nahl (16): 68: “Bahwa Allah keluarkan manusia dari perut ibunya masih dengan tidak tahu apa-apa. Pada saat itu Allah melengkapi pada manusia pendengaran, penglihatan agar manusia itu menyadari dan bersyukur atas apa yang diberikan dan pada ayat lain Allah menyuruh manusia itu untuk selalu belajar mencari ilmu, melalui pendidikan . Ini menunjukkan bahwa manusia bukan sumber ilmu tetapi sumber ilmu itu dari Allah. Pandangan bahwa Allah adalah sumber ilmu tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki ilmu tetapi Allah sebagai sumber ilmu yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya, dan Allah melengkapi manusia segala perlengkapan dan jalan yang meniscayakan manusia mengusahakan untuk perolehan ilmu. Dan manusia bisa menjadi jalan bagi manusia lain untuk memperoleh ilmu dan orang seperti adalah orang yang mempunyai otoritas yang diperoleh dari Allah sebagai jalan bagi manusia lain untuk memperoleh bagian kecil dari ilmu Allah yang banyak itu. Maka tidak mungkin manusia menjadi sumber ilmu. Untuk mempertegas bahwa Allah sebagai sumber Ilmu dapat kita lihat pada beberapa firman Allah sebagai berikut; 1. QS. al Hasyr (59) :22 yang artinya “Dia-lah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang gaib maupun yang nyata Dia Maha
pemurah lagi Maha Penyayang” . 2. QS. al Thalaq (65) : 12, artinya “ Dan sesungguhnya Allah ilmunya
meliputi segala sesuatu”. 3. QS. al Nahl (16) : 78, artinya: “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati supaya kamu bersyukur”.
15
4. QS. al Nahl (16) : 82, yang artinya: “Dan Kami turunkan kepada kamu al-Kitab untuk menjadi penjelas atas segala sesuatu”. Dari beberapa ayat tersebut di atas dapat ditarik beberapa makna sebagai berikut: 1.
Bahwa manusia tidak membawa pengetahuan sejak lahir karena itu tidak mungkin menempati posisi sebagai sumber ilmu. Sesuatu yang ada pada mulanya tidak memiliki tidak mungkin menjadi sumber, karena ia juga hanya berposisi sebagai yang memperoleh.
2.
Pada hakikatnya hanya Allah lah yang mengetahui dan manusia pada hakikatnya tidak mengetahui.
3.
Perolehan ilmu oleh manusia adalah perolehan dengan perantaraan, yakni segala perantara (bil) yang memasukan qalam sebagai perwujudan Allah mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Science sekuler melihat ilmu dari dua sumber yaitu rasio dan
pengalaman yang diperkenalkan aliran rasionalisme dan empirisme.Menurut rasionalisme dengan pendekatan deduktifnya menyatakan didapatkan ilmu itu dari ide, bukan ciptaan manusia.Faham ini biasa disebut idealisme dan faham ini menyatakan dengan penalaran yang rasional bisa mendapatkan satu kebenaran. Untuk kaum empiris, ilmu itu diketahui lewat satu pengalaman tetapi mereka tidak bisa membuktikan hahekat pengalaman itu, karena alat yang diperoleh manusia itu mempunyai keterbatasan yaitu pancaindra yang ada sangat memiliki keterbatasan. Selain dua sumber di atas ada juga sumber lain yaitu intuisi yaitu suatu proses kebenaran tanpa melalui belajar lebih dahulu. Jadi sumber ilmu menurut science sekuler diperoleh melalui hasil usaha maksimal manusia dengan melalui pengamatan dan hasil kerja rasio secara maksimal. Science sekuler menilai manusia sebagai sumber ilmu karena science sekuler melihat yang nampak saja, yang bisa dijangkau oleh indra manusia dan
16
itu harus diakui kebenarannya, walaupun kebenaran itu menurut agama tidak tepat. Mengenai hakikat ilmu pengetahuan, science sekuler, melihat dengan beberapa pandangan beberapa aliran, yaitu aliran hukum alam, yang menyatakan ilmu itu hakikatnya bersifat kealaman, yaitu membeli metode ilmiah. Aliran lain menyatakan hakikat ilmu adalah yang bersifat materi, yang bukan materi itu bukan hakikat. Sebab hakikat itu tidak mungkin ada kalau tidak dengan melalui yang ada. Sementara aliran lain menyatakan hakikat adalah bersifat rohani atau spiritual, aliran ini mencoba melihat yang gaib, hanya tidak menyatakan yang gaib itu dimana. Analisis sumber ilmu menurut science sekuler adalah berasal dari orang yang memiliki otoritas, akal, panca indra dan intuisi semuanya berasal dari diri manusia, ternyata memiliki kelemahan sesuai dengan kelemahan manusia itu sendiri. Karena Allah menyatakan yang diberikan kepada manusia itu sedikit sekali dari yang banyak Allah miliki. Tetapi Allah akui manusia dengan kelemahannya tapi berani memikul yang berat, bahkan ia melebihi malaikat. Kemampuan manusia dalam menangkap isyarat-isyarat Allah itulah para ilmuwan sekuler menyatakan sumber ilmu itu dari manusia. Kemampuan manusia itu menurut Ibnu Sina menyatakan bahwa manusia mendapatkan tahapan pancaran dari Allah, intelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia ada bukan dengan sendirinya. Karena intelegensi pertama memunculkan kemampuan dan intelegensi kedua melalui kebaikan yaitu ego tinggi dari adanya aktualitas. Karena Islam dapat memberikan semua didefinisikan oleh para filsuf, yaitu pandangan dunia, konsep rasional tentang keseluruhan kosmos, pandangan hidup, doktrin nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup, maka sebenarnya pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan tersebut dapat dijawab dengan cara berfikir filsafat yang berakar pada ajaran Islam. Memberi jawaban dengan mendasarkan fikiran pada ajaran Islam, tidaklah berarti memberi jawaban menurut agama dalam arti bukan
17
filsafat.menurut kalangan ahli filsafat bahwa filsafat adalah segala upaya untuk menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau akal belaka. Artinya, bahwa kebenaran tersebut dicapai bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran atau akal belaka.Karena itulah kebenaran filsafat dan kebenaran wahyu atau agama itu berbeda. Dalam pandangan Islam aktivitas berpikir adalah salah satu yang fitrah (kodratik) pada manusia.karena itu ajaran islam yang direpresentasikan dalam al-Quran dan hadis nabi memerintahkan agar manusia berpikir serta memberi petunjuk agar manusia bisa: 1. Melahirkan pandangan filsafat mengenai berpikir 2. Merumuskan kaidah-kaidah berpikir logis secara formal 3. Memformulasi materi pemikiran filsafati dan materi pengetahuan ilmiah 4. memformulasikan model pengujuan kebenaran pemikiran
Pandangan Aksiologi Ilmu dan Islam Ilmu. Pandangan Aksiologi Ilmu dan Islam Ilmu telah banyak mengubah dunia
dan menyelamatkan manusia, merangsang manusia untuk untuk bisa mewujudkan sumber energi bagi manusia, tapi pada pihak lain bisa sebaliknya, yaitu bisa membawa manusia pada pembuat bom atom, senjata nuklir, yang menimbulkan pula malapetaka. Usaha memerangi kuman yang membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia sehingga Einstein menyatakan bahwa dalam peran ilmu pengetahuan kita saling meracun dan menjanggal. Dalam perdamaian dia memberikan hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu, mengapa ilmu yang amat indah itu, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita.Sementara ilmu itu suatu kekuasaan, ilmu itu sendiri bersifat netral, tetapi tergantung pada si pengguna ilmu itu yang menempuh jalan baik atau buruk. Maka seorang yang memiliki ilmu harus memiliki moral yang kuat, tanpa landasan moral yang kuat seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang tokoh penuh ilmunya tapi tiada manfaatnya.
18
Aksiologi Islam mengajarkan kepada manusia bahwa tujuan utama manusia dalam hidup ini adalah ibadah.Artinya segala yang dilakukan dipergunakan sebagai ibadah. Maka Islam mengajarkan lebih rinci lagi: 1. Tiap melakukan sesuatu harus diniatkan ibadah kepada Allah. 2. Cara melakukan sesuatu itu diridhai Allah. 3. Hasil kerja itu harus bermanfaat untuk manusia dan makhluk lain. Tujuan ilmu dalam Islam yang demikian, proses ilmu itu harus dimulai diniatkan untuk ibadah kepada Allah.Pada saat ilmu itu mau digunakan harus benar-benar dilihat kemanfaatannya buat manusia.Pada saat ilmu mau diperoleh harus berdasarkan q ur’ani. Dengan demikian ajaran Islam sangat memperhatikan nilai, ilmu sebenarnya tidak diletakkan pada nilai-nilai ilmiah belaka dan nilai kegunaan semata, tetapi nilai etik dan nilai ibadah, bahkan untuk mewujudkan hal itu harus berpangkal pada suatu nilai utama yaitu nilai tauhid akan menurunkan nilai lain. Maka untuk memberikan kelegaan bagi manusia harus memiliki nilainilai yang diperoleh dari ilmu itu, karena dengan nilai yang benarlah bisa memberikan ketenangan pada manusia. Nilai yang benar dirasakan manusia adalah nilai-nilai amaliah yang berorientasi ibadah, karena dengan ibadahlah ilmu akan menyadari dirinya sebagai yang diciptakan dan dia yakin bahwa satu saat pasti dia mempertanggungjawabkan hasil usahanya. Seorang filsuf muslim kontemporer C.A Qadir, melalui bukunya Philosopy and Science in The Islamic World , menilai bahwa sebenarnya peradaban barat yang telah melahirkan pandangan dunia barat sekarang ini, memang bukan hanya produk satu aliran pemikiran, tapi hasil dari banyak kecenderungan dan pengaruh yang banyak, diantaranya tidak bisa disesuaikan satu sama lain. Menurut Naguib Al Attas, bahwa pandangan barat berkembang dari perpaduan historis antara kebudayaan, filsafat , nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi
19
Yunani dan roman Kuno, serta dengan percampurannya dengan Yudaisme dan agama Kristen yang lebih lanjut melalui percampuran dan pembentukannya oleh bangsa-bangsa Latin, Germanik, Keltik dan Nordik. Dari Yunani kuno, barat memperoleh
unsur-unsur
filsafat
dan
epistemologi
serta
dasar-dasar
pendidikan etika dan estetika.Dari roma memperoleh unsur-unsur hukum, tata Negara dan pemerintahan.Dari Yudaisme dan Kristen memperoleh unsur-unsur kepercayaan agama. Dari bangsa-bangsa Latin, Germanik, Keltik dan Nordik Memperoleh semangat bebas dan jiwa rasional serta bilai tradisional, serta pengembangan, kemajuan, ilmu-ilmu fisika dan teknologi. Dalam
perkembangan
pemikiran
filsafat,
sampai
pada
perkembangannya pada filsafat barat, menurut Roger Graud Makna berfilsafat telah mengalami penyempitan menjadi tak lebih dari bagaimana cara berfikir. Kemiskinan besar pertama yang diakibatkan oleh reduksi filsafat itu, menurut Garaudi lebih jauh, bahwa filsafat barat makin lama makin menegaskan dirinya hanya sebagai cara berfikir dan kehilangan maknanya sebagai cara hidup. Dalam filsafat barat, manusia semakin mengarahkan perhatian hidupnya semata - mata pada dirinya sendiri tanpa ada hubungan dengan alam dan Tuhan.
20
BAB III PENUTUP
1.
Sciencesekuler melihat sumber ilmu itu dari manusia diperoleh dengan jalan mengendalikan rasio dan pengalaman yang dilaluinya, untuk sempurnanya pendapat ini menurut science sekuler, ada empat sumber ilmu, yaitu orang yang memiliki otoritas, indra, akal, dan intuisi.
2.
Menurut science Islam, menyatakan sumber ilmu itu dari Allah. Karena bertolak dari wahyu dan science Islam membedakan pencipta dan yang diciptakan. Sehingga yang diciptakan diposisikan pada posisi lemah, maka yang dihasilkan manusia pasti memiliki kelemahan dan keterbatasan, karena Allahlah yang mengajarkan pada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dari pandangan bahwa sumber ilmu bukan berarti bahwa manusia tidak memiliki ilmu tetapi Allah akan mengajarkan pada manusia apa yang tidak diketahuinya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Hamami, Abbas 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan). Yogyakarta : Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM. Hamami, Abbas 1982. Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan. Diktat. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. Mallongi, Syahrir Daeng, dkk. 2015. Filsafat Ilmu Dan Metode Ilmiah (Dalam Pandangan Sekuler dan Islami). Umitoha.Makassar.
Muntu, Abdullah, 2007. “ Peran Filsafat Ilmu Dalam Pengembangan Teori Akuntansi”. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik (JAMBSP) ISSN 1829-9857. Muthahhari, Murtadha. 2010. Pengantar Epistemologi Islam. Jakarta : Shadra Press Rumi, Fuad,dkk. Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah Dalam Pandangan Sekuler dan Islami. Soyomukti, Nuraini. 2011. Pengantar Filsafat Umum.Ar-Ruzz Media. Jogjakarta. Suriasumantri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sudibyo,Lies, dkk. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Deepublish https://tahkimjurnalsyariah.wordpress.com/2014/04/ismail-rumadan/
22