LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI AKUAKULTUR
KELOMPOK II
ARDANA KURNIAJI C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas keridhoaan serta keberkahannya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Mikrobiologi Akuakultur. Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dari seluruh rangkaian pelaksanaan praktikum Mikrobiologi Akuakultur, selain itu diharapkan nantinya laporan ini dapat menjadi bahan untuk menambah wawasan praktikan dan seluruh mahasiswa dalam dunia akademik. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini tidak dapat tersusun karena bantuan berbagai pihak, oleh sebab itu kami menyampaikan terima kasih kepada para Asisten Pembimbing, para Dosen dan seluruh mahasiswa yang telah membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki. Maka dari itu, kami harapkan agar segala saran dan masukan yang membangun dapat disampaikan kepada kami guna perbaikan laporan selanjutnya. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan bantuan kepada praktikan dan semoga laporan Mikrobiologi Akuakultur ini dapat memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan.
Bogor,
Januari 2015
Ardana Kurniaji
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ardana Kurniaji, dilahirkan pada tanggal 9 Juni 1992 di Desa Woimenda Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Abdul Kadir, A.Pi., M.Si dan Nining Syamsinar. Penulis mengawali pendidikan formalnya di SDN 05 Mandonga dan selesai pada tahun 2004, kemudian melanjutkan studinya di SMP Negeri 3 Kendari pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya di SMA Negeri 4 Kendari dan berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 2010. Penulis meraih gelar sarjana pada tahun 2014 di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Budidaya Perairan. Saat ini penulis tengah melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Mayor Ilmu Akuakultur. Selama mengenyam studinya, berbagai prestasi akademik dan non akademik pernah diraih seperti meraih penghargaan mahasiswa dengan Indeks Prestasi (IP) tertinggi dari semester I hingga semester VII. Selain itu penulis juga pernah mengikuti berbagai kompetisi kejuaraan seperti Lomba Debat Bahasa Inggris Se-Sulawesi (2013), mendapat juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah ajang PORSIAF (2011) dan menjadi utusan Universitas Halu Oleo dalam ajang Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional (2013). Sejak duduk dibangku sekolah dasar, penulis aktif diberbagai organisasi diantaranya pernah menjadi pengurus OSIS 2005/2006 di bangku SMP, pengurus Siswa Gemar Matematika (SIGMA) 2007/2008, Ketua Umum Kerohanian Islam (ROHIS) 2008/2009 di bangku SMA, Sekretaris Ikatan Silaturahim Pelajar Islam (ISPI) 2009/2010, Pengurus Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) 2010/2011, Ketua Umum Amphiprion Scientific Club (ASC) 2011/2012, Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK UHO 2013/2014 dan Anggota Fisheries English Club (FEC) dan Langkoe Diving Club (LDC) FPIK UHO, penulis juga sempat aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yakni Yayasan Bina Laut Indonesia (YBLI). Selain mengikuti organisasi, penulis juga aktif membimbing berbagai kegiatan penulisan karya tulis ilmiah sejak tahun 2011 dan juga aktif sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Avertebrata Air, Ekologi Perairan, Biologi Umum, Ikhtiologi dan Fisiologi Hewan Air serta Parasit dan Penyakit Ikan. Disamping itu, penulis juga pernah aktif mengikuti International Project yang diselenggarakan Universitas Halu Oleo bekerjasama dengan Australian AID tahun 2012-2013 serta aktif dalam penulisan buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang pernah ditulis adalah buku “Membumikan Kreativitas Ilmiah” bersama Bapak La Ode Abdul Rajab Nadia, S.Pi., M.Sc dan menulis salah satu artikel ilmiah pada Prosiding Seminar Internasional The 8th CRISU-CUPT International Confrence tahun 2013.
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... ii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................v DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
BAB I
Pengenalan Alat, Penyiapan Medium, Sterilisasi Bahan dan Peralatan ...................................................................................... 1
BAB II
Isolasi Bakteri dari Lingkungan Akuakultur ................................ 23
BAB III
Pewarnaan Gram Bakteri ............................................................ 33
BAB IV
Karakterisasi Sifat Fisiologi dan Biokimia Bakteri .......................44
BAB V
Isolasi dan Karakterisasi Fungi untuk Akuakultur ........................57
BAB VI
Penghitungan Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan ...............72
BAB VII
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Viabilitas Bakteri ............84
BAB VIII
Pengaruh Bahan Antimikroba Terhadap Viabilitas Bakteri ..........95
BAB IX
Seleksi Bakteri Probiotik untuk Akuakultur ................................ 108
BAB X
Deteksi Virus dengan Teknik PCR: Ekstraksi DNA .................... 119
BAB XI
Deteksi Virus dengan Teknik PCR: Amplifikasi DNA dengan PCR Dan Elektroforesis .................................................. 134
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Cawan petri dan pipet yang telah dibungkus dengan kertas .................... 8 2 Cara Pembentukan Bayangan pada Mikroskop....................................... 12 3 Bagian-Bagian Mikropipet. .................................................................... 13 4 Pembagian sector pada cawan petri ........................................................ 25 5 Tahapan penggoresan pada media .......................................................... 26 6 Prosedur penyiapan olesan bakteri ......................................................... 34 7 Tahapan pewarnaan Gram...................................................................... 35 8 (a) Sampel 1 (B) dan (b) sampel 3 (V) termasuk gram negatif ................ 37 9 Bakteri gram positif dari sampel 2 (S) .................................................... 38 10 Proses pada dinding sel saat pewarnaan gram......................................... 39 11 Bentuk-bentuk dan penataan bakteri....................................................... 40 12 Tahapan Uji Motilitas ............................................................................ 47 13 Tahapan Uji Oksidase ............................................................................ 48 14 Tahapan Uji Katalase ............................................................................. 48 15 Hasil Pengamatan Uji Biokimia dan Fisiologi ........................................ 50 16 Katalisasi oleh sitokrom ......................................................................... 52 17 Pembagian Sektor Cawan ...................................................................... 60 18 Kapang yang diidentifikasi jenis Aphanomyces sp.................................. 66 19 Khamir yang diidentifikasi jenis Aphanomyces sp .................................. 67 20 Struktur Morfologi Fungi ....................................................................... 67 21 Hasil Pengujian Gula-Gula..................................................................... 68 22 Metode Pengenceran .............................................................................. 75 23 Metode Tuang dan Metode Sebar ........................................................... 76 24 (A) Metode Tuang Pengenceran, (B) Metode Sebar ............................... 78 25 Bacillus sp ............................................................................................. 79 26 Perlakuan suhu berbeda pada media ....................................................... 86 27 Perlakuan salinitas berbeda pada media.................................................. 87 28 Hasil Pengamatan Pada Cawan Petri ...................................................... 89 29 Prosedur pengujian bahan antimikroba dengan metode zona hambat ...... 98 30 Cara penempatan kertas saring pada media TSA .................................... 98 31 pengaruh bahan antimikroba terhadap bakteri ........................................ 101 32 Struktur Chlorampenicol ........................................................................ 102 33 Reaksi penguraian fosfolipida pada membran sitoplasma ....................... 103 34 Hasil Uji Sensitifitas .............................................................................. 112 35 Hasil Uji mutasi spontan ........................................................................ 113 36 Mekanisme kerja antibiotic .................................................................... 115 37 Proses transfer resistensi antimikroba ..................................................... 116 38 Tahapan Proses Uji Amilase .................................................................. 122 39 Tahapan Proses Uji Lipase ..................................................................... 123 40 Tahapan Proses Uji Protease .................................................................. 124 41 Tahapan Proses Uji Kompetisi dan Uji Kultur Bersama ......................... 125 42 Hasil pengujian (a) amilase, (b) lipase, (c) protease ................................ 127 43 Hasil pengujian kultur kompetisi ............................................................ 127 44 Karakteristik Morfologi Koloni BakteriV. harveyi pada media TCBSA . 130 45 Amplifikasi DNA Sampel ...................................................................... 139 46 Gejala Klinis Ikan koi yang terserang KHV ........................................... 140 v
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1
Alat dan bahan laboratorium ..................................................................
5
2
Alat dan bahan laboratorium ..................................................................
8
3
Hasil isolasi bakteri yang ditumbuhkan di berbagai media ..................... 27
4
Hasil pengamatan pewarnaan Gram ....................................................... 36
5
Perbedaan bakteri gram positif dan gram negatif .................................... 38
6
Hasil pengamatan uji sifat Oksidatif/Fermentatif, Katalase, Oksidase, Motilitas, Gelatin, Gram dan Bentuk bakteri ........... 50
7
Hasil isolasi dan pengamatan morfologi fungi ........................................ 62
8
Persentase jumlah sel khamir yang mati, sel khamir yang hidup, dan bentuk koloninya .................................................................. 63
9
Hasil uji biokimia isolat khamir pada berbagai media gula ..................... 63
10 Hasil pengamatan Total Plate Count (TPC) bakteri dengan metode hitungan cawan tuang dan sebar .................................... 77 11 Hasil pengamatan suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri ............. 88 12 Zona bening pada sebaran bakteri A. hydrophila .................................... 100 13 Zona bening pada sebaran bakteri NP5 Bacillus sp................................. 100 14 Hasil uji sensivitas dan jumlah kepadatan bakteri setelah uji mutasi spontan pada pengenceran yang berbeda ................................ 112 15 Hasil uji seleksi dan TPC uji kompetisi dan kultur bersama bakteri NP5, SKT-b, dan 1-Ub pada pengenceran berbeda ....... 126
vi
Laporan Praktikum ke-1 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin/29 September 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
PENGENALAN ALAT, PENYIAPAN MEDIUM DAN STERILISASI BAHAN DAN PERALATAN
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Mikrobiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang organisme (makhluk)
kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan hanya dapat dilihat dengan
mikroskop.
Organisme
kecil
itu
kemudian
disebut
dengan
mikroorganisme, mikroba, protista atau jasad renik. Mikroorganisme adalah organisme yang sangat kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikroorganisme terdapat di berbagai tempat seperti tanah, debu, air, udara, kulit dan selaput lendir. Pengetahuan akan dunia mikroba kemudian dikembangkan dengan ditemukannya mikroskop pertama kali. Anthony Van Leeuwenhoek seorang yang petama kali mengetahui adanya dunia mikroorganisme tersebut (Waluyo 2011). Perkembangan dunia mikroorganisme hingga saat ini semakin maju, berbagai metode dan teknologi terus dikembangkan guna menelusuri dunia mikroba dan memanfaatkannya untuk kemajuan hidup manusia. Mikroorganisme yang terus menjadi perhatian dapat berupa bakteri, fungi, protozoa dan lain-lain. Mikroorganisme disebut juga organisme mikroskopik. Mikroorganisme seringkali bersel tunggal (uniseluler) maupun bersel banyak (multiseluler) Namun, beberapa protista bersel tunggal masih terlihat oleh mata telanjang dan ada beberapa spesies multisel tidak terlihat mata telanjang. Karena ukurannya yang mikroskopik, maka untuk mempelajari mikroorganisme tersebut diperlukan metode-metode tertentu, diantaranya yaitu metode mikroskopik, kultur di laboratorium, dan metode molekuler. Metode-metode untuk mempelajari mikroorganisme tersebut memerlukan peralatan-peralatan biologi seperti mikroskop, autoklaf, oven, cawan petri, dan lain-lain.
Selain
menggunakan
alat-alat
tersebut,
untuk
mempelajari
mikroorganisme juga perlu untuk ditumbuhkan dalam media kultur. Kegiatan pengkulturan mikroba memerlukan media yang sesuai agar mikroba dapat tumbuh dengan baik. Media yang baik adalah media yang mengandung nutrien-nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh. Penyiapan medium harus melalui kerja yang aseptik agar tidak ada kontaminan yang dapat mengganggu
2 pertumbuhan mikroba yang dikultur. Sterilisasi alat dan bahan juga sangat penting agar medium tetap bersih dari mikroorganisme yang terdapat di alat maupun bahan yang digunakan Oleh sebab itulah, langkah awal yang dapat dilakukan dalam mempelajari dan menumbuhkan mikroorganisme di laboratorium adalah mengenal peralatanperalatan laboratorium yang umum digunakan, kemudian menyiapkan media tumbuh bakteri serta sterilisasi bahan dan alat. Peralatan tersebut seperti alat yang digunakan dalam proses sterilisasi, inkubasi, analisis, deteksi dan harus dipahami dengan benar agar mikroorganisme yang diinginkan dapat tumbuh dan diidentifikasi. Berdasarkan hal tersebut maka praktikum mengenai pengenalan alat, pembuatan media dan sterilisasi bahan dan alat ini sangat penting untuk dilakukan.
1.2
Tujuan Tujuan praktikum ini adalah mengenal,
menggunakan
peralatan-peralatan
laboratorium
memahami, dan mampu yang
digunakan
untuk
menumbuhkan dan mempelajari mikroorganisme serta mampu melakukan penyiapan medium dan sterilisasi alat dan bahan.
II. METODOLOGI 2.1
Waktu dan Tempat Praktikum pengenalan alat, pembuatan media dan sterilisasi alat dan bahan
dilakukan pada hari Senin tanggal 29 September 2014 pada pukul 08.00-10.00 WIB. Tempat yang digunakan untuk praktikum adalah Laboratorium Kesehatan Ikan lantai II, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Prosedur Kerja Prosedur kerja pada praktikum ini adalah meliputi observasi/peninjauan
alat-alat laboratorium, pembuatan medium dan sterilisasi alat dan bahan. Adapun tahapan prosedurnya adalah sebagai berikut: 2.2.1. Observasi Alat dan Bahan Prosedur kerja pada observasi alat dan bahan adalah mengamati beberapa alat dan bahan utamanya yang umum digunakan dalam prakikum mikrobiologi. Kemudian mendengarkan penjelasan-penjelasan asisten praktikum seputar fungsi dan cara kerja dari alat-alat dan bahan yang nantinya akan digunakan selama melaksanakan prakitkum. 2.2.2. Sterilisasi Alat dan Bahan Sterilisasi alat dilakukan dengan terlebih dahulu membungkus alat-alat dengan kertas sebelum dimasukkan ke dalam autoklaf. Sebelum melakukan sterilisasi memastikan tangan telah disterilkan dengan menggunakan alkohol. Cawan petri yang akan disterilisasi diletakkan pada bagian kertas yang bersih (tidak ada tinta) apabila menggunakan kertas bekas. Selanjutnya membungkus cawan petri, melipat sedemikian rupa sehingga semua bagian cawan petri tertutupi dengan rapat. Setelah itu, memasukkan cawan petri yang telah dibungkus ke dalam oven untuk disterilisasi agar semua organisme yang bersifat kontaminan dapat dihilangkan.
4 Sterilisasi pipet dilakukan dengan membungkus pipet dengan kertas. Sebelumnya kertas dipotong menjadi empat bagian secara memanjang. Menggulung pipet g dengan kertas hingga semua bagian pipet tertutup rapat. Selanjutnya, memasukkan pipet yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam oven untuk disterilisasi. 2.2.3. Pembuatan Media Setelah terilisasi selanjutnya melakukan pembuatan media, peralatan dan bahan yang digunakan adalah peralatan yang telah disterilkan atau terbebas dari kontaminasi. Terlebih dahulu menimbang bubuk media dan melarutkannya dalam akuades dengan konsentrasi yang sesuai, selanjutnya memasukkan media tersebut kedalam autoklaf pada suhu 120 oC selama 15 menit untuk disterilkan dan media akan menjadi homogen. Kemudian menuangkannya kedalam cawan petri steril sebanyak 20 ml dengan cara membuka tutup cawan dan menuangkan nutrien agar yang ada dalam tabung sehingga menutupi bagian dasar cawan dan menutup kembali cawan petri, selanjutnya mensterilkan di atas api bunsen dan biarkan dingin sehingga agar membeku. membalik cawan petri sehingga bagian cawan yang berisi media (bagian dasar) berada di sebelah atas. Media dalam cawan petri dibungkus parifilum (plastic wrap) untuk melindungi sisi cawan petri. Beri label pada media cawan dan masukan dalam inkubator. Selanjutnya untuk media agar miring dilakukan dengan cara yang sama yakni memasukkan nutrien agar ke dalam tabung yang telah steril. menutup tabung dengan kapas steril dengan cara sterilisasi di samping api bunsen. Meletakkan tabung yang telah berisi nutrien agar pada posisi miring dengan kemiringan kira-kira 30-40o sehingga agar tidak menyentuh tutup tabung. membiarkan agar menjadi dingin dan keras selanjutnya memasukannya dalam media inkubator.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
3.1.1 Observasi Alat dan Bahan Hasil praktikum pengenalan alat dan bah an laboratorium yang dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Alat dan bahan laboratorium No Nama dan Gambar
Fungsi
1.
Tabung Reaksi
Wadah membuat media miring
2.
Cawan Petri
Wadah membuat media agar
3.
Labu Erlenmeyer
untuk menampung larutan, bahan atau cairan. Selain itu juga labu dapat digunakan untuk menghomogenkan bahan media.
4.
Gelas Ukur
Untuk mengukur volume suatu cairan, seperti halnya labu Erlenmeyer, gelas ukur memiliki beberapa pilihan berdasarkan skala volumenya
6 5.
Mikroskop
Untuk mengamati berbagai jasad renik, dilengkapi dengan kaca preparat dan penutup
6.
Mikro Pipet
Untuk memindahkan larutan dengan skala yang dibutuhkan
7.
Autoklaf
Untuk mensterilkan alat dan bahan basah dengan menggunakan uap panas yang bertekanan 1 atm dengan suhu 1210C
8
Oven
Untuk mensterilkan alat (kering)
9.
Inkubator
Untuk menginkubasi media yang telah ditanami mikroba pada suhu terkontrol.
7 10.
Powder Media
Bahan pembuatan media agar/media cair
11
Timbangan
Untuk menimbang bubuk media
12
Sentrifuge
Untuk membuat natan dan supernatan
13
Bunsen
Untuk mesterilkan alat digunakan secara aseptik
14
Pemanas
Untuk memanaskan media
yang
8 3.2.2 Sterilisasi Alat dan Bahan Hasil praktikum sterilisasi alat dan bah an yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Cawan petri dan pipet yang telah dibungkus dengan kertas
3.2.3 Pembuatan Media Hasil praktikum pembuatan media yang dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Alat dan bahan laboratorium No Nama dan Gamar
Keterangan
1.
Media TCBSA
Media spesifik untuk menumbuhkan bakteri Vibrio sp.
2.
Media EMBA
Media non spesifik
9 3
3.2
Media Miring
Media miring biasanya digunakan untuk mendapatkan kultur murni
Pembahasan
3.2.1 Observasi Alat dan Bahan a. Tabung Tabung reaksi adalah sebuah tabung yang terbuat dari sejenis kaca atau plastic yang dapat menahan perubahan temperature dan tahan terhadapat reaksi kimia. Tabung reaksi ada yang dilengkapi dengan tutup dan ada juga yang tanpa tutup. Terdiri dari berbagai ukuran tergantung kebutuhan. Tabung reaksi disebut juga Test Tube atau Culture tube. Seperti dengan namanya, fungsi tabung reaksi adalah sebagai tempat dimana dapat mereaksikan bahan kimia dalam laboratorium. Alat ini terbuat dari bahan kaca bening sehingga proses reaksi kimia didalam tabung ini dapat terlihat jelas oleh analis. Tabung ini juga mempunyai sifat tahan terhadap panas/api, karena seperti kita ketahui beberapa proses reaksi kimia berjalan dengan membutuhkan panas. Beberapa macam reaksi yang biasanya menggunakan tabung ini adalah reaksi oksidasi/reaksi reduksi. Tabung reaksi mempunyai variasi ukuran baik dari segi panjang ataupun diameternya, untuk itu kita harus memastikan tujuan penggunaan dari tabung ini sebelum membelinya. Berikut ini adalah beberapa varian dari panjang tabung ini yaitu 23; 12; 14; 22; 15; 16; 11 centimeter, sedangkan untuk diameternya bervariasi dari 2.2; 1; 1.2; 1.9; 1.6 centimeter. Selain dari ukuran, tabung ini juga ada 2 macam yaitu dilengkapi dengan tutup dan tidak dilengkapi dengan tutup. Untuk mempermudah pekerjaan di laboratorium, dalam penggunaan tabung reaksi ini biasanya kita juga menggunakan rak tabung reaksi dan penjepit tabung reaksi dalam berbagai ukuran.
10 b. Cawan Petri Cawan petri (petri dish) adalah wadah bulat dangkal, terbuat dari kaca atau plastik yang memiliki tutup, dan menjadi kelengkapan vital di laboratorium. Cawan petri memiliki berbagai fungsi, tetapi yang paling penting antara lain digunakan sebagai wadah untuk perkembangan kultur sel, bakteri, serta virus yang hendak diteliti. c. Labu Erlenmeyer dan Gelas Ukur Labu erlenmeyer adalah alat gelas yang seringkali di gunakan untuk dalam laboratorium. Bentuknya bulat dan berbentuk kerucut dibagian atasnya. Erlemeyer memiliki ukuran volume isi. Leher dan mulut botol sempit sehingga memudahkan erlenmeyer dipegang dan mengurangi penguapan serta dapat ditutup dengan mudah. Sedangkan dasarnya rata sehingga mudah disimpan dimana saja. Fungsi erlenmeyer diantaranya untuk mengukur dan mencampur bahan analisa, menampung larutan, bahan padat ataupun cairan, menghomogenkan larutan atau komposisi media, untuk kultivasi mikroba dalam kultur cair dan sebagai tempat untuk melakukan titrasi bahan. Gelas Ukur adalah alat yang digunakan untuk mengukur volume larutan dari 10 hingga 2000 mL. Alat ini memiliki bentuk seperti pipa dengan bagian bawah agak sedikit lebar yang berguna sebagai kaki untuk menyangga alat ini agar dapat tetap berdiri. Gelas ukur pada umumnya terbuat dari bahan elas (polipropilen) ataupun plastik. Gelas Ukur adalah Suatu alat gelas yang berfungsi untuk mengukur suatu larutan baik yang berwarna maupun tidak berwarna. ketelitian dari alat ukur ini bisa di katakan rendah, kenapa? karena biasanya alat ukur ini hanya di gunakan untuk analisa kualitatif yang tidak membutuhkan ketelitian tinggi. contohnya: Pengukuran air untuk pembuatan pelarut di laboratorium, pengukuran air untuk pembuatan larutan sekunder dan bahkan bisa juga di gunakan untuk mengukur air saat melarutkan obat yang berbentuk padat. d. Mikroskop Mikroskop adalah optik yang digunakan untuk melihat benda benda berukuran sangat kecil yang tidak dapat dilihat mata secara langsung. Contoh
11 benda ini adalah bakteri, fungi, dan sel darah. Mikroskop terdiri dari komponen utama yaitu lensa obyektif (positif) dan okuler (positif). -
Lensa Obyektif Lensa ini merupakan lensa positif yang digunakan langsung berhubungan
dengan obyek yang diamatai. Obyek atau benda yang diamati ditempatkan di ruang kedua. Bayangan lensa obyektif ini disebut bayangan 1 yang memiliki sifat nyata, tegak diperbesar. -
Lensa Okuler Lensa ini merupakan lensa positif yang digunakan untuk mengamati obyak
berupa bayangan 1 (bayangan dari lensa obyektif). Lensa okuler berfungsi seperti lup, sehingga banyangan yang dibentuk maya, tegak diperbesar. Bayangan inni disebut bayangan akhir. Berdasarkan sumber cahaya dan jenis alat pembesarnya, mikroskop dibagi menjadi dua,yaitu mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. -
Mikroskop cahaya menggunakan lensa dari kaca untuk memperbesar penampilan suatu benda. Sumber cahaya mikroskop ini dapat berasal dari cahaya
matahari
atau
cahayalampu.
Mikroskop
cahaya
mampu
memperbesar bayangan suatu benda sampai 1.000 kali ukuran benda aslinya. -
Mikroskop elektron mampu memperbesar bayangan suatu benda hingga ratusan
ribukali
ukuran
benda
aslinya.
Mikroskop
elekron
tidak menggunakan cahaya untukmendapatkan bayangan benda, tetapi menggunakan berkas elektron. Mikroskopcahaya yang sering digunakan dalam pengamatan di sekolah-sekolah memiliki beberapa jenis. Bagian-bagian mikroskop yakni terdiri dari Revolver merupakan bagian yang dapat diputarkan untuk memilih lensa objektif yang akan kita gunakan. Pada revolver melekat beberapa lensa objektif. Tubus merupakan bagian yang menghubungkan lensa objektif dengan lensa okuler. Meja objek digunakan untuk menyimpan objek yang akan diamati. Pada meja objek juga terdapat penjepit untuk menjepit objek gelas (tempat objek yang diamati). Meja objek ada yang bisa digeser dan ada yang tidak, bergantung jenis mikroskopnya. Lengan merupakan bagian yang digunakan untuk memegang dan memindahkan
12 mikroskop. Selain itu, lengan merupakan penyangga bagian optik. Makrometer berfungsi untuk menaikkan atau menurunkan tubus. Jarak antara objek yang diamati dengan lensa objektif dapat diatur menggunakan makrometer. Hal ini dilakukanuntuk menemukan objek yang akan kamu amati. Mikrometer juga berfungsi untuk menggerakkan tubus, namun gerakan yang dilakukan lebih halus. Mikrometer terutama digunakan untuk menemukan fokus yang lebih jelas dariobjek yang diamati.
Gambar 2 Cara Pembentukan Bayangan pada Mikroskop
Cara penggunaan mikroskop yaitu: pertama penggunaan cahaya diatur sehingga lapang pandang menjadi terang. Demikian juga dengan diafragma dan kondensor diatur sedemikian rupa. Lalu preparat diletakkan di atas meja objek tepat di bawah lensa objektif. Tanpa melihat melalui lensa okuler, lensa objektif diturunkan hingga titik terendah (lensa tidak boleh mengenai preparat) dengan memutar pengatur kasar. Lalu melalui lensa okuler, objek dilihat dan secara perlahan lensa objektif dinaikkan hingga objek terlihat jelas dengan memutar pengatur kasar. Pemeriksaan pertama digunakan lensa objektif dengan perbesaran paling kecil yaitu perbesaran 10x (Waluyo 2011). Setelah preparat terlihat jelas dan tajam, lensa objektif diganti dengan perbesaran 40x dengan memutar bagian revolver. Lensa objektif tidak perlu dinaikkan walaupun preparat akan tampak kurang jelas. Lalu pengatur halus
13 diputar sedikit sehingga preparat akan terlihat lebih jelas dan tajam. Kemudian lensa objektif dinaikkan dengan memutar pengatur kasar dan lensa diganti hingga perbesaran 100x dengan cara bagian revolver diputar. Lalu agar objek dapat terlihat dengan jelas, pada bagian atas preparat ditetesi minyak imersi. Kemudian pengatur kasar diputar dan lensa objektif diturunkan perlahan hingga menyentuh minyak imersi tetapi jangan sampai menyentuh preparat yang akan dilihat. Kemudian peparat diamati melalui lensa okuler, dan agar preparat lebih terlihat jelas dan tajam maka diatur sedemikian rupa dengan memutar bagian pengatur halus. e. Mikropipet Mikropipet (micropipet) adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan cairan dalam jumlah kecil secara akurat. Penggunaan pipet gelas seperti pipet ukur dan pipet gondok tidak mempunyai akurasi yang tinggi untuk volume kurang dari 1 ml. Sehingga pada pemindahan cairan dengan volume kecil kurang dari 1000 microliter, orang cenderung menggunakan mikropipet, biasa juga disebut dengan pipet otomatis. Pipet otomatis ini mempunyai akuraritas dan presisi yang lebih baik dari pada pipet gelas.
Gambar 3 Bagian-Bagian Mikropipet Bagian-bagian dari mikropipet terdiri dari Automatic Pipettor dan Pipette tips. Automatic Pipettor berfungsi untuk memompa cairan yang akan dipindahkan dengan volume yang telah diset, sedang Pipette tips merupakan pasangan mikropipet yang berfungsi untuk menampung cairan yang dipompa.
14 f. Autoklaf Autoklaf merupakan suatu alat yang digunakan untuk mensterilisasikan alat-alat atau bahan-bahan dari segala macam bentuk kehidupan mikroba. Prosedur penggunaan autoklaf berbeda-beda tergantung dari jenis autoklaf yang digunakan. Prosedur penggunaan autoklaf yang terdapat di Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan yaitu: pertama cawan petri atau tabung yang akan disterilisasi disusun dengan rapi di dalam autoklaf (tutup petri dan dasar petri di pisah). Lalu autoklaf ditutup dengan mengunci bagian-bagian pengunci pada tutup, kemudian autoklaf dinyalakan, dan di tunggu hingga suhu berada pada kisaran 121 oC. Secara otomatis maka tekanan juga akan berangsur naik. Pada saat melakukan sterilisasi uap, kita sebenarnya memapakan uap jenuh padatekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek, sehingga terjadi pelepasan energi laen uap yang mengakibatkan denaturasi atau koagulasi protein sel. Sterilisasi demikian merupakan sterilisasi paling efektif dan ideal karena uap merupakan pembawa (carrier) energi tertanal paling efektif dan semua lapisan pelindung luar mikroorganisme dapat dilunakan, sehingga memungkinkan terjadinya koagulasi, selain itubersifat nontosik, mudah diperoleh dan relatif mudah dikontrol. (Stefanus 2006). Dan menurut Sumarsih (2010), Sterilisasi menggunakan autoklaf merupakan cara yang paling baik karena uap air panas dengan tekanan tinggi menyebabkan penetrasi uap air ke dalam sel-sel mikroba menjadi optimal sehingga langsung mematikan mikroba. Cara Penggunaan Autoklaf adalah: -
Banyaknya air dalam autoklaf dicek terlebih dahulu. Jika air kurang dari batas yang ditentukan, maka dapat ditambah air sampai batas tersebut. Menggunakan air hasil destilasi, untuk menghindari terbentuknya kerak dan karat.
-
Peralatan dan bahan dimasukkan biasanya dimasukan keranjang.
-
Autoklaf ditutup dengan rapat lalu kencangkan baut pengaman agar tidak ada uap yang keluar dari bibir autoklaf. Klep pengaman jangan dikencangkan terlebih dahulu.
15 -
Menyalakan autoklaf, diatur timer dengan waktu minimal 15 menit pada suhu 121oC
-
Tunggu sampai air mendidih sehingga uapnya memenuhi kompartemen autoklaf dan terdesak keluar dari klep pengaman. Kemudian klep pengaman
ditutup
(dikencangkan)
dan
tunggu
sampai
selesai.
Penghitungan waktu 15‟ dimulai sejak tekanan mencapai 2 atm. -
Jika alarm tanda selesai berbunyi, maka tunggu tekanan dalam kompartemen turun hingga sama dengan tekanan udara di lingkungan (jarum pada preisure gauge menunjuk ke angka nol). Kemudian klep-klep pengaman dibuka dan keluarkan isi autoklaf dengan hati-hati.
g. Inkubator Inkubator
merupakan
alat
yang
digunakan
untuk
menginkubasi
mikroorganisme yang telah ditanam pada media. Suhu di dalam inkubator dapat diatur dan konstan. Inkubator ada yang berupa water bath shaker yang digunakan untuk menginkubasi bakteri yang ditanam pada media yang bersifat cair. Inkubator adalah alat untuk menginkubasi atau memeram mikroba pada suhu yang terkontrol. Alat ini dilengkapi dengan pengatur suhu dan pengatur waktu. Kisaran suhu untuk inkubator produksi Heraeus B5042 misalnya adalah 10-70oC (Ferdiaz 1992). h. Oven Oven merupakan alat yang digunakan untuk mensterilisasikan alat-alat dan bahan-bahan melalui sterilisasi panas kering. Proses sterilisasi panas kering terjadi melalui mekanisme konduksi panas. Panas akan diabsorpsi oleh permukaan luar alat yang disterilkan, lalu merambat ke bagian dalam permukaan sampai akhirnya suhu untuk sterilisasi tercapai. Sterilisasi panas kering biasanya digunakan untuk alat-alat atau bahan dengan uap tidak dapat penetrasi secara mudah atau untuk peralatan yang terbuat dari kaca. Pada sterilisasi panas kering, pembunuhan mikroorganisme terjadi melalui mekanisme oksidasi sampai-sampai terjadinya koagulasi protein sel.Karena panas dan kering kurang efektif dalam membunuh mikroba dari autoklaf, maka sterilisasi memerlukan suhu yang lebih tinggi dan waktu yang lebih panjang (Stefanus 2006).
16 i. Sentrifuge Sentrifuge merupakan alat yang digunakan untuk melakukan sentrifugasi suatu bahan atau zat sehingga terpisah antara natan dan supernatannya. Prinsip kerja centrifuge adalah dengan memanfaatkan gaya centrifugal sehingga bahan tersebut terpisah. Hal ini dilakukan dengan cara memutar campuran dengan sangat cepat dan bertumpu pada titik pusat. Sentrifuge sering sekali digunakan untuk memisahkan suatu padatan dari cairan misalnya memisahkan plasma dari sel darah. Cara menggunakan centrifuge yakni dengan memasang tabung didalam centrifuge secara berlawanan, dan memastikan massa kedua tabung tersebut mendekati (hal ini untuk menjaga peralatan centrifuge awet dan tahan lama dan terhindar dari kerusakan), kemudian memasukkan pengaturan rpm (rotary per minute) dan menutup tutup centrifuge. Jika analisa sudah selesai lepaskan tabung secara hati-hati (pastikan putaran sudah berhenti) supaya suspensi tidak tercampur lagi. Sentrifuge yang dipakai untuk keperluan yang lebih spesifik. Seperti microhematocrit centrifuges dan blood bank centrifuges, yang dirancang untuk pemakaian spesifik di laboratorium klinik. Microhematocrit cebtrifuge adalah merupakan variasi dari microcentrifuge yang dapat menampung sampel kapiler untuk pengukuran volumr hematocrit pack cell,sedangkan Blood Bank Centrifuge adalah centrifuge yang dipakai di bank darah dan serologi yag dirancang untuk memisahkan sampel serologis dalam tabung. Jenis lain adalah centrifuge berkecepatan tinggi, yaitu ultracentrifuges dan refrigerated centrifuges. Centrifuge berkecepatan tinggi berputar pada kecepatan 0-20.000 rpm dan ultra centrifuges berputar pada kecepatan di atas 50.000 rpm. Kebanyakan centrifuges ini dilengkapi dengan sistem pendingin untuk menjaga sampel tetap dingin selama sentrifugasi.
j. Bunsen Bunsen berfungsi sebagai alat pemanas, terutama pada saat sterilasisasi alat misalnya sterilisasi ose dan batang penyebar. Bunsen digunakan dengan cara sumbu yang terdapat pada kepala bunsen dibakar, lalu apabila telah selesai digunakan sumbu ditutup dengan menggunakan penutup bunsen.
17 k. Powder Media Powder media adalah bahan yang telah disintesis dengan komposisi tertentu untuk digunakan dalam membuat media kultur bakteri. Pembiakan mikroba dalam laboratorium memerlukan medium yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai dengan mikroorganisme. Zat hara digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme, dan pergerakan. Lazimnya, medium biakan berisi air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen, hidrogen serta unsur-unsur sekelumit (trace element). Dalam bahan dasar medium dapat pula ditambahakan faktor pertumbuhan berupa asam amino, vitamin atau nukleotida (Waluyo 2011). Media biakan ada yang berbentuk padat, cair dan semi padat. Media padat adalah media biakan yang dipadatkan dengan agar, ada yang bersifat reversible (dapat dibalik) seperti agar nutrien dan ada yang bersifat ireversible (tidak dapat dibalik) seperti serum darah terkoagulasi. Dalam kedokteran, media padat yang bersifat irreversible paling sering digunakan. Sedang agar nutrient banyak digunakan dalam media lain. Bentuk media lain berupa cair adalah campuran komponen-komponen zat kimia tertentu dengan air suling, sedang media yang secara fisik merupakan intermediate antara media cair dan padat, seperti agar lunak (Atlas 2004). Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-zat makanan (nutrisi) yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekulmolekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Dengan media pertumbuhan dapat dilakukan isolat mikroorganisme menjadi kultur murni dan juga memanipulasi komposisi media pertumbuhannya (Sosilowati dan Listyawati 2001). Media berdasarkan fase (sifat fisik) terdiri dari media padat, setengah padat, dan media cair. Media padat adalah media yang mengandung agar sekitar 15 g/L yang berfungsi untuk mengamati morfologi koloni dan mengisolasi biakan murni. Media setengah padat adalah media dengan kandungan agar kurang dari 0,5%/L yang berfungsi untuk mengamati motilitas bakteri. Media cair adalah
18 media yang tidak menggunakan agar dalam pembuatannya. Agar digunakan sebagai bahan pemadat karena agar tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme dan membeku pada suhu 45 oC (Lay 1994). Berdasarkan komposisinya media terdiri dari media sintesis, semi sintesis, dan non sintesis. Media sintesis yaitu media yang komposisi zat kimia nya diketahui secara pasti. Media semi sintesis yaitu media yang sebagian dari komposisi kimianya diketahui, sedangkan media non sintesis yaitu media yang komposisi zat kimia dalam medianya tidak diketahui. Sementara berdasarkan fungsinya media terdiri dari media umum, media selektif, media differensial, media uji, dan media diperkaya. Media umum yaitu media yang terdiri dari pepton dan ekstrak khamir untuk pertumbuhan banyak jenis mikroba. Contohnya adalah media NA (Nutrient Agar). Media selektif adalah media yang ditambah zat tertentu sehingga bersifat selektif yang hanya merangsang pertumbuhan satu jenis mikroba dan jenis lainnya mati. Contohnya media TCBS (Thiosulfate Cytrat Bile Salt). Media diffferensial adalah media yang yang mengandung suatu komponen yang menyebabkan pertumbuhan mikroba tertentu dengan adanya perubahan tertentu yang dapat membedakan mikroba tersebut dari mikroba yang lainnya. Comtohnya media EMBA (Eosin Metilen Blue Agar). Media uji adalah media dengan komposisi tertentu untuk mengetahui atau menguji adanya zat tertentu. Sementara media diperkaya adalah media yang berisi komponen komplek, seperti darah, serum dan lain-lain.
3.2.2 Sterilisasi Sterilisasi adalah suatu proses untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang terdapat pada benda. Proses sterilisasi dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu secara fisik dan kimia. Secara fisik dilakukan dengan pemanasan basah menggunakan autoclaf, Thyndalisasi dan pasteurisasi. Sedangkan pemanasan kering menggunakan oven dan pembakaran. Selain penggunaan panas, sterilisasi fisik juga dilakukan dengan menggunakan saringan seperti saringan seitz sinar gelombang pendek seperti sinar ultra violet. Adapun secara kimia dengan menggunakan antiseptic seperti alkohol (Waluyo 2011). Dalam praktikum ini
19 dilakukan sterilisasi fisik yakni dengan menggunakan oven untuk mensterilkan cawan petri dan pipet. Sterilisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan untuk mematikan semua bentuk organisme (Purnawijayanti 2001). Suatu benda yang steril, dipandang dari sudut mikrobiologi, artinya bebas dari mikroorganisme hidup yang tidak diinginkan. Suatu benda atau substansi hanya dapat steril atau tidak sreril tidak akan mungkin setengah steril atau hampir steril (Pelozar 1988).Sedangkan menurut Fardiaz, sterilisasi yaitu suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan didalam suatu medium tidak ada lagi jasad renik yang dapat berkembang biak (Fardiaz 1992). Peranan sterilisasi pada bidang mikrobiologi diantaranya adalah untuk mencegah pencemaran organisme luar, untuk mempertahankan keadaan aseptis, sedangkan pada pembuatan makanan dan obat-obatan, sterilisasi berfungsi untuk menjamin keamanan terhadap pencemaran oleh mikroorganisme (Gupte 1990). Sterilisasi dalam mikrobiologi adalah suatu proses untuk mematikan semua organisme yang terdapat pada atau didalam sutu benda. ketika melakukan pemindahan biakkan bakteri secara aseptik. Di dalam pengamatan tentang mikrobiologi, sterilisasi merupakan bagian yang sangat penting atau merupakan suatu keharusan, baik pada alat maupun media. Hal ini penting karena jika alat atau mediatidak steril, akan sulit menentukan apakah mikroba merupakan akibat dari percobaan yang dilakukan atau merupakan kontaminan. Bekerja di laboratorium mikrobiologi mengandung risiko yang tidak kecil. Setiap saat harus selalu berasumsi bahwa setiap mikroorganisme adalah potensial patogen dan harus berhati-hatiagar tidak terinfeksi oleh bakteri tersebut. Sterilisasi ini sangat penting dilakukan untuk keselamatan kerja saat melakukan penelitian yang bersangkutan dengan mikrobiologi.
3.2.3 Pembuatan Media Media dibuat pada praktikum ini ada dua yaitu media cawan petri dan tabung (Gambar 1) atau disebut agar miring. Hal ini dikemukakkan pula oleh Lay (1994) bahwa dalam tabung, media biakan yang panas dan berisi agar seringkali ditempatkan dalam keadaan miring. Media ini disebut agar miring. Selain dalam
20 media miring, media ini ditempatkan dalam cawan petri sehingga tersedia permukaan yang lebih luas untuk pertumbuhan mikroorganisme. Media biakan yang telah disterikan harus diberi penutup agar tidak dicemari oleh mikroorganisme yang terdapat disekelilingnya. Jenis media kultur yang dibuat tersebut adalah Media TCBS (Thiosulfate Cytrat Bile Salt). Media ini biasanya digunakan untuk menumbuhkan bakteri dari jenis Vibrio sp tapi bisa juga digunakan untuk menumbuhkan fungi dari jenis kapang dan yeast. Media agar TCBS ini bias dibuat dengan menambahkan agar TCBS sebanyak 8,9 gram dengan akuades sebanyak 100 ml. Sedangkan media yang dibuat selanjutnya adalah media SWC (Sea Water Complete). Media SWC ini digunakan menumbuhkan bakteri yang hidup di laut. Media ini terdiri dari beberapa bahan pembentuk yaitu: bakto agar 2 gr; gliserol 0,3 gr; yeast eksrak 0,1 gr; pepton 0,5 gr; air laut 75 ml; aquades 25 ml. Bahan-bahan tersebut dicampur kemudian dipanaskan dalam water bath sampai tidak ada gelembung sehingga campuran tersebut menjadi homogen. Selanjutnya campuran tersebut dimasukkan ke dalam autoklaf dengan tekanan 121 atm. Setelah 15 menit, campuran tadi di keluarkan dari autoklaf dan di tuang ke dalam cawan petri. Media biakan yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri terdapat dalam bentuk padat, semi padat dan cair. Media padat yang dibuat pada praktikum ini diperoleh dengan menambahkan agar. Agar digunakan sebagai bahan pemadat karena tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme dan membeku pada suhu 45 oC (Lay, 1994). Secara kimiawi, media biakan dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu, media sintetik dan media non-sintetik. Pada media sintetik, kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara rinci, sedangkan media non-sintetik menggunakan bahan dari alam yang tidak diketahui kandungan kimiawinya. Media non-sintetik sering digunakan dalam laboraturium mikrobiologi karena mudah disiapkan dan harganya lebih murah dibandingkan media sintetik. Selain itu media ini dapat digunakan untuk membiakkan berbagai macam mikroba.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
3.3
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut: 1. Dalam
mempelajari
dan
mengetahui
kehidupan
mikroorganisme
diperlukan alat dan bahan khusus baik untuk proses sterilisasi, pembuatan media, inokulasi, inkubasi maupun deteksi dan analisis. 2. Sterilisasi bertujuan untuk menghindarkan suatu bahan terhadap bentuk kehidupan apapun, dibagi dalam berbagai proses/metode yakni fisik dan kimiawi. 3. Media bertujuan untuk menumbuhkan mikroorgansime, terdapat media cawan dan media tuang. Serta media spesifik yang hanya bisa digunakan untuk menumbuhkan mkroorganisme tertentu.
3.4
Saran Pada praktikum selanjutnya praktikan diharapkan dapat lebih disiplin
melakukan praktikum sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gupte, S. 1990. Mikrobiologi Dasar, Alih bahasa oleh Suryawidjaya, J.E. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. Lay W. B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sosilowati, A. dan Listyawati, S. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS Source of contaminant microorganisms in in vitro culture at Sub lab. Biology, Central Laboratory of Mathematics and Sciences, Sebelas Maret University. Jurnal Biodiversiti, 2 (1); 110-114. Purnawijayanti, Hiasinta, A. Sanitasi. 2001. Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengelolaan Makanan. Kanisius. Yogyakarta. Atlas, MR. 2004. Handbook of Microbiological Media : Third Edition. Florida: CRS Press. Stefanus, L. 2006. Formulasi Steri. Indonesia. Sumarsih, S. 2010. Untung Besar Usaha Bibit Jamur Tiram. Jakarta: Penebar Swadaya. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-2 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin/ 6 Oktober 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
ISOLASI BAKTERI DARI LINGKUNGAN AKUAKULTUR
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Mikroorganisme terdapat dalam populasi yang besar dan beragam di alam,
dan mereka hamper terdapat dimana-mana. Mikroorganisme merupaka bentuk kehidupan yang tersebar paling luas dan terdapat paling banyak diplanet ini. Hanya saja keberadaan mikroorganisme yang tersebar luas di alam menjadi kendala tersendiri dalam mengamatinya, karena mikroorganisme hanya dapat dilihat dengan bantuan alat mikroskopik. Mikroba sendiri juga tersebar diberbagai lingkungan, baik darat, sungai, laut, arus udara di permukaan bumi ke atmosfer bagian atas dan dari tempat tersebut akan menempuh berates-ratus mil untuk menuju lokasi baru (Pelczar and Chan 2013). Mikroorganisme seperti bakteri, fungi, protozoa, dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan, termasuk lingkungan akuatik, umumnya terdapat dalam populasi campuran. Oleh sebab itu untuk menelaah suatu mikroorganisme selain ditumbuhkan di dalam suatu media, juga harus dilakukan isolasi mikroba. Isolasi mikroba berarti memisahkan satu jenis mikroba dari biakan campuran menjadi satu biakan murni. Biakan murni ini terdiri dari satu populasi sel yang semuanya berasal dari satu sel induk. Untuk menelaah bakteri dan jamur di laboratorium, kita harus dapat menumbuhkan atau mengembangkan bakteri dan jamur tersebut. Adanya pembiakan bakteri dan jamur dimaksudkan untuk memudahkan pemeriksaan yang akan dilakukan di dalam laboratorium, sehingga jika sewaktu-waktu kita memerlukan bakteri dan jamur untuk suatu percobaan, maka bakteri dan jamur tersebut telah tersedia. Biakkan bakteri dan jamur tersebut dapat disimpan di dalam lemari es untuk waktu yang lama tanpa ada kerusakan. Pembiakan adalah proses perbanyakan organisme melalui penyediaan kondisi lingkungan yang sesuai. Salah satu teknik untuk membiakan (menumbuhkan) bakteri, yang menjadi padat dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi. Metode ataupu teknik yang umumnya dilakukan untuk memperoleh biakan murni yakni dengan pengenceran menggunakan media cair maupun padat. Untuk membuat media padat, media yang masih cair dicampurkan dengan agar yang berfungsi sebagai pemadat. Teknik pemindahan suatu biakan tertentu dari medium
24 yang lama ke medium yang baru dengan tujuan untuk mendapatkan suatu biakan yang murni tanpa adanya kontaminasi dari mikroba yang lain yang tidak dinginkan adalah teknik isolasi mikroba. Isolasi mikroba berarti memisahkan satu jenis mikroba dari biakan campuran menjadi satu biakan murni (populasi sel yang semuanya berasal dari satu sel induk). Oleh karena itu, praktikum ini sangat diperlukan dalam bidang akuakutur, untuk dapat mengetahui cara isolasi bakteri dari lingkungan akuatik dan tahapan untuk mendapatkan biakan murni.
1.2
Tujuan Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara melakukan isolasi
bakteri dari lingkungan akuatik dengan metode penggoresan kuadran dan mengamati ciri-ciri koloni yang tumbuh pada media yang berbeda.
II. METODOLOGI 2.1
Waktu dan Tempat Kegiatan praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin tanggal 6 Oktober
2014 pada pukul 08.00-10.00 WIB bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, sedangkan pengamatan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 7 Oktober 2014 pada pukul 10.00 WIB bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan petri, incubator,
lampu Bunsen, lup inokulasi (ose), spidol, penggaris, kertas label. Sedangkan bahan yang digunakan adalah media SWC (Sea water Complete), media TSA (Trypticase Soy Agar), TCBS (Thisulfate Citrate Bile Salt Sucrose Agar), EMBA (Eosin Metilen Blue Agar), inokulan bakteri, tisu dan alkohol 70%.
2.3
Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum isolasi bakteri ini adalah
sebagai berikut: a.
Menulis label dengan nama dan kelompok pada tutup cawan petri.
b.
Membalik cawan petri dan membuat garis membentuk kuadran menjadi empat sektor untuk pengenceran. Sektor pertama ditandai dengan O, kedua ditandai dengan I, ketiga ditandai dengan II, dan keempat ditandai dengan III.
I III
II 0
0
III I
Gambar 4 Pembagian sector pada cawan petri
II
26 c.
Memindahkan secara aseptik satu lup sampel yang telah digerus pada sector O dan menggoreskan lup secara bolak balik pada permukaan agar secara zigzag dengan sedikit
membuka penutup cawan. Setiap kali selesai
menggoreskan, lup dipanaskan kembali hingga berpijar dan dibiarkan mendingin. d.
Melakukan penggoresan lup ke sector O disusul gerakan kesektor I, dilanjutkan kesektor II dan III kemudian ke sector IV. disiapkan dengan melakukan penggoresan
a. Sektor O adalah tempat anda mula- mula meletakkan inokulum dengan lup inokulasi anda
c. Sektor II merupakan usaha pengenceran kedua
b. Sektor I merupakan pengenceran pertama garis-garis gorecan pada sektor I hendaknya saling terpisah seseragam seperti yang ditunjukkan pada gambar ini dengan lup inokulasi anda
d. Sektor III merupakan usaha pengenceran terakhir
Gambar 5 Tahapan penggoresan pada media
e.
Setelah semua sektor selesai digores, lalu menutup cawan petri agar tidak terjadi kontaminasi dari mikroba lain. Selanjutnya menginkubasi cawan petri selama 24 jam di inkubator.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Hasil praktikum isolasi bakteri yang ditumbuhkan di berbagai media dapat
dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil isolasi bakteri yang ditumbuhkan di berbagai media Kultur Koloni Bentuk Elevasi
Tepian
Tumbuh (Ya/Tidak)
-
-
Tidak
Sirkular
Raised
Entire
Ya
-
-
-
-
Tidak
Orange
Sirkular
Raised
Entire
Ya
Isolat
Medium
A
EMBA
-
-
B
TSA
Kuning
C
TCBS
D
SWC
3.2
Warna
Gambar
Pembahasan Mikroba baik itu bakteri, fungi, protozoa, algae dan mikroorganisme lain
di lingkungan budidaya umumnya terdapat dalam populasi campuran. Sehingga untuk mempelajari atau mengamati satu jenis mikroorganisme terlebih dahulu harus dilakukan isolasi agar mikroorganisme yang didapat benar-benar murni atau sel tunggal. Pada praktikum ini dilakukan salah satu tenik untuk mendapatkan sel tunggal yakni dengan metode penggoresan kuadarn, teknik ini menurut Lay
28 (1994) tergolong metode yang cepat dan murah namun memerlukan keterampilan yang baik agar bisa menghasilkan koloni yang sempurna. Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum, diperoleh dua media yang ditumbuhi oleh bakteri sedangkan dua diantaranya tidak terdapat bakteri. Pada media EMBA (Eosin Metilen Blue Agar) yang merupakan media digunakan untuk isolasi, kultivasi, dan differensiasi bakteri gram negatif berdasarkan fermentasi laktosa. Salah satu bakteri yang memfermentasi laktosa adalah Escherichia coli. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, tidak terdapat koloni pada media ini. Selanjutnya pada media TSA (Trypticase Soy Agar) adalah media serbaguna yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri air tawar. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa bakteri yang tumbuh pada media TSA berwarna putih kekuningan, berbentuk bulat, elevasi raised dan tepiannya entire. Pada media TCBSA (Thiosulfat Citrate Bilt Salt Sucrose) juga tidak ditemukan bakteri yang tumbuh, karena pada dasarnya media TCBS merupakan media selektif untuk bakteri Vibrio. Sedangkan bakteri Vibrio sp. adalah bakteri yang berasal dari air laut dan merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, bersifat anaerob fakultatif dan kemoorganotrof (Austin and Austin 1989). Adapun pada media SWC (Sea Water Complete) adalah media serbaguna yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang bersalinitas tinggi seperti bakteri air laut. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, bakteri yang tumbuh pada media SWC memiliki warna koloni orange, berbentuk bulat, elevasi raised, dan tepiannya entire. Hasil pengamatan yang dilakukan pada seluruh media, memperlihatkan adanya media yang ditumbi bakteri dan adapula yang tidak. Bakteri yang tumbuh pada media tersebut merupakan bakteri yang memiliki kebutuhan nutrien yang sesuai dengan nutien yang ada pada media. Sedangkan pada media yang tidak terdapat bakteri, diduga persyaratan nutien bakteri yang diisolasi tidak sesuai dengan nutrient media. Hal ini sesuai dengan pernyataan Waluyo (2011) bahwa mikroorganisme akan tumbuh pada kondisi yang sesuai dengan toleransinya dan nutrien yang mencukupi untuk melakukan metabolism dan reproduksi. Pada media TSA dan SWC diketahui merupakan media serbaguna yang memungkinkan banyak jenis bakteri yang dapat tumbuh, sedangkan pada media TCBSA dan
29 EMBA merupakan media spesifik sehingga terdapat kemungkinan kecil pertumbuhan bakteri dari hasil isolasi. Menurut Atlas (2004), medium TSA sebanyak 1 liter dapat dibuat dengan komposisi pancreatic digest of casein sebanyak 17g, agar 15 g, NaCl 5 g, papaic digest of soybean meal 3 g, K2HPO4 2.5 g, glukosa 2.5 g, dan akuades yang ditambahkan hingga mencapai volume 1 liter. Sedangkan medium Sea Water Complete (SWC) sebanyak 1 liter dapat dibuat dengan komposisi pancreatic digest of casein sebanyak 5 Dg, yeast extract sebanyak 3 Dg, air laut sebanyak 750 mL dan gliserol sebanyak 3 mL. Adapun komposisi medium EMBA adalah agar 15 g, laktosa 10 g, pancreatic digest of casein 10 g, K2HPO4 2 g, Eosin Y 0.4 g, methylen blue 0.065g, dan akuades yang ditambahkan hingga mencapai volume 1 liter (Atlas 2004) dan komposisi TCBSA adalah 20g sukrosa, 14 g agar, NaCl 10 g, sodium sitrat 10 g, Na2S2O3 10g, yeast extract 5 g, pancreatic digest of casein 5 g, peptic digest of animal tissue 5g, oxgall 5 g, sodium cholate 3g, ferric citrate 1g, thymol blue 0.04 g, bromthymol blue 0.04 g dan akuades yang ditambahkan hingga mencapai volume 1 liter. Pertumbuhan bakteri pada media TSA dan SWC memiliki kesamaan bentuk, elevasi dan tepian namun berbeda warna. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembentukan koloni bakteri oleh ligkungan dimana bakteri tumbuh. Menurut Hidayat et al. (2006) bahwa bentuk koloni dari suatu bakteri dipengaruhi oleh umur dan syarat pertumbuhan tertentu. Variasi bentuk bakteri yang terjadi juga dipengaruhi oleh lingkungan (faktor biotik dan abiotik), faktor makanan (medium tumbuh) dan suhu (minimum, optimum dan maksimum) (Ilyas, 2001). Adapun warna koloni yang tampak berbeda-beda menunjukkan adanya perbedaan pigmen. Menurut Savitri (2006) bahwa pigmen yang terdapat pada bakteri dintaranya adalah pigmen karotenoid, antosianin, melanin, Tripirilmethene dan Phenazin. Masing-masing dari pigmen tersebut akan memberikan warna yang berbeda-beda. Warna merah dan kuning pada isolat disebabkan adanya karatenoid.
Melanin
memberikan
warna
coklat,
hitam
dan
jingga.
Tripirilmethenes adalah pigmen yang dihasilkan oleh Serratia marcescens dan phenazin memberikan warna jingga kuning, jingga tua dan merah jingga (Savitri 2006).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
berikut: 1. Teknik isolasi bakteri dari lingkungan akuatik dengan metode penggoresan kuadran. 2. Ciri-ciri morfologi koloni suatu bakteri yang tumbuh dapat diamati dengan baik, terutama bentuk koloni bulat, tepian entire, elevasi rised serta warna koloni kuning dan orange.
4.2
Saran Pada praktikum selanjutnya diharapkan dilaksanakan dengan menggunakan
medium dari berbagai sampel dan berbagai media lainnya agar diperoleh diferensiasi yang lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas MR. 2004. Handbook of Microbiological Media : Third Edition. Florida: CRS Press. Austin, B. dan Austin, D. A. 1989. Methods For The Microbilogical Examination Of Fish and Shellfish. Department of Biological Sciences. Chishester Publisher. New York. 317 p. Hidayat, N., M.C. Padaga, S., Suhartini. 2006. Mikrobiologi industri. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Ilyas, S. 2001. Mikrobiologi dasar diklat kompilasi 28. Universitas Sumatera Utara Press, Medan. Pelczar, M. J. and Chan, E. C. S. 2013. Dasar-Dasar Mikrobiologi Edisi I. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta. 443 hal. Savitri, S. D. N. 2006. Isolasi dan karakterisasi bakteri halotoleran pada peda ikan kembung (Rastrelliger sp.). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-3 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Jumat/ 10 Oktober 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
PEWARNAAN GRAM
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Mikroorganisme terdapat di berbagai tempat seperti tanah, debu, air,
udara, kulit dan selaput lendir. Mikroorganisme mudah terhembus udara dan menyebar ke mana-mana karena ukuran selnya kecil dan ringan. Mikroba di alam secara umum berperanan sebagai produsen, konsumen, maupun produsen. Jasad produsen menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan energi sinar matahari. Mikroba yang berperanan sebagai produsen adalah algae dan bakteri fotosintetik. Jasad konsumen menggunakan bahan organik yang dihasilkan oleh produsen. Mikroorganisme dapat berupa bakteri, fungi, protozoa dan lain-lain (Susilowati dan Listyawati 2001). Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme yang memiliki peranan dan juga dampak negatif pada kehidupan organisme akuakultur. Bakteri adalah kelompok organisme yang tidak memiliki membran inti sel. Organisme ini termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik). Hal ini menyebabkan organisme ini sangat sulit untuk dideteksi, terutama sebelum ditemukannya mikroskop. Barulah setelah abad ke-19 (setelah ditemukannya mikroskop), ilmu tentang mikroorganisme terutama bakteri (bakteriologi) mulai berkembang. Secara umum, bakteri dibagi dalam dua kelompok besar berdasarkan cirri dan struktur selnya, yakni bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran sitoplasma organisme gram positif, sedangkan penyingkiran zat lipida dari dinding sel organisme gram negatif dengan pencucian alkohol memungkinkan hilang dari sel. Bakteri gram positif memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidohlikan yang tebal (25-50 nm) sedangkan bakteri negatif lapisan peptidoglikogennya tipis (1-3 nm). Berdasarkan cirri tersebut, maka identifikasi bakteri dapat dilakukan melalui pengecatan atau pewarnaan gram. Morfologi mikroorganisme, sifat gram, dan penataan sel dapat diamati dengan melakukan pewarnaan gram. Pewarnaan gram dapat digunakan sebagai identifikasi awal suatu bakteri. Mengingat pentingnya penguasaan teknik
33 pewarnaan gram untuk mengidentifikasi bakteri, maka praktikum mengenai pewarnaan gram sangatlah penting.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengenal dan mempelajari prosedur
pewarnaan gram serta mampu memahami pentingnya setiap langkah dalam prossedur tersebut.
II. METODOLOGI
2.1
Waktu dan Tempat Kegiatan praktikum ini dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 10 Oktober
2014 pada pukul 16.00-18.00 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah jarum ose, gelas objek,
botol semprot, mikroskop, dan bunsen. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biakan bakteri yang berumur 24 jam, akuades steril, larutan kristal violet, larutan Kalium Iodida, safranin, dan alkohol 70%.
2.3
Prosedur Kerja
2.3.1 Penyiapan olesan bakteri Gelas objek dibersihkan dengan alkohol dan di lap tissue. Biakan bakteri dioleskan tipis dengan menggunakan jarum ose di atas gelas objek. Jika biakan bakteri berasal dari media padat maka sebelum dioleskan, gelas objek diberi akuades steril satu tetes. Sedangkan jika biakan bakteri berasal dari media cair, tidak perlu ditambahkan akuades. Preparat difiksasi udara sampai kering, kemudian dilanjutkan fiksasi panas dengan cara dilewatkan beberapa kali di atas bunsen. Preparat bakteri telah siap untuk diwarnai.
Gambar 6 Prosedur penyiapan olesan bakteri
35 2.3.2 Pewarnaan Gram Pewarnaan Gram meliputi 4 tahap (Gambar 7), yaitu: Pemberian warna utama (Gram A/larutan kristal violet, berwarna ungu) sebanyak 2–3 diteteskan pada olesan bakteri dan dibiarkan selama 1 menit. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan kertas isap secara hati-hati. Pengintensifan warna utama (Gram B/larutan kalium lodida) diteteskan sebanyak 2–3 tetes pada olesan bakteri dan dibiarkan selama 1 menit. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan kertas isap secara hati-hati. Pencucian (dekolorisasi) dengan Gram C/alkohol selama 30 detik. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan kertas isap secara hati-hati. Diberikan warna penutup/pewarna tandingan/counter stain (Gram D/larutan safranin, berwarna merah muda) selama 30 detik. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan kertas isap secara hati-hati.
Gambar 7 Tahapan pewarnaan Gram 2.3.3 Pengamatan di bawah mikroskop Pengamatan preparat bakteri dilakukan dengan menggunakan mikroskop medan terang pada perbesaran 1000 kali. Sebelum diamati, di atas preparat ditambahkan satu tetes minyak emersi. Pengamatan morfologi sel bakteri yang dilakukan meliputi bentuk sel, sifat Gram dan penataan sel.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berdasarkan pengamatan mengenai pewarnaan gram bakteri diperoleh hasil
sebagai berikut : Tabel 4 Hasil pengamatan pewarnaan Gram Ulangan 1
2
3
4
5
Isolat B S V B S V B S V B S V B S V
Gram + + + + + + + -
Bentuk Basil Coccus Basil Basil Coccus Basil Basil Coccus Koma Basil Coccus Koma Basil Coccus Coccus
Penataan Diplo Staphylo Staphylo Mono Staphylo Mono Mono Staphylo Mono Mono Staphylo Mono Mono Staphylo Mono
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa isolat 1 (B) mengandung bakteri yang berbentuk basil dengan penataan mono dan merupakan bakteri gram positif. Isolat 2 (S) mengandung bakteri berbentuk coccus dengan penataan Staphylo dan merupakan bakteri gram positif. Isolat 3 (V) mengandung bakteri berbentuk basil dengan penataan monobasil/tunggal dan merupakan bakteri gram negatif.
3.2
Pembahasan Bakteri adalah mikroorganisme uniseluler prokariotik (inti selnya tidak
memiliki membran/selaput inti) yang mempunyai diding sel seperti tumbuhan namun umumnya tidak berklorofil. Bakteri yang tersebar di alam umunya dalam bentuk koloni, sehingga sulit untuk diamati. Praktikum ini mengarah pada penerapan teknik identifikasi bakteri yakni teknik pewarnaan. Teknik pewarnaan dilakukan untuk mengamati morfologi sel baik bentuk sel maupun penataannya. Menurut Sumarsih (2003) bahwa bakteri mempunyai bentuk dasar bulat, batang, dan lengkung yang bisa diamati dengan teknik pewarnaan. Sedangkan menurut Lay (1994) bahwa Pewarnaan sederhana yaitu pewarnaan dengan menggunakan satumacam zat warna dengan tujuan hanya untuk melihat bentuk sel bakteri dan
37 untuk mengetahui morfologi dan susunan selnya. pewarnaan ini dapat menggunakan pewarnaan basa pada umumnya antara lain kristal violet, metylen blue, karbol, fuchsin, dan safranin. Pewarnaan sederhana merupakan teknik pewarnaan yang paling banyak digunakan. Disebut sederhana karena hanya menggunakan satu jenis zat warna untuk mewarnai organisme tersebut. Kebanyakan bakteri mudah bereaksi dengan pewarnaan-pewarnaan sederhana karena sitoplasamanya bersifat basofilik (suka dengan basa). Zat-zat warna yang digunakan untuk pewarnaan sederhana umumnya bersifat alkolin. Dengan pewarnaan sederhana dapat mengetahui bentuk dan rangkaian sel-sel bakteri. Berdasarkan hasil praktikum, gram bakteri yang ditemukan adalah gram negatif dan gram positif. Gram positif terdapat pada sampel 1 (B) sedangkan gram negatif pada sampel 3 (V) dan 2 (S). Bakteri pada sampel 1 menunjukkan warna merah yang menunjukkan bahwa bakteri ini kehilangan kompleks ungu Kristal pada waktu pembilasan dengan alcohol namun kemudian terwarnai dengan pewarna tandingan yakni safranin yang berwarna merah, begitu halnya dengan bakteri pada sampel 3 (V) yang tampak merah pada pengamatan akhir. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan lipid pada dinding sel bakteri, sehingga dinding sel akan dengan mudah kehilangan kompleks warna ungu Kristal pada saat pembilasan denga alkohol, karena lipid pada dasarnya dapat larut dalam alkohol. a
b
Gambar 8 (a) Sampel 1 (B) dan (b) sampel 3 (V) termasuk gram negatif
38 Pada sampel 2 (S) terlihat warna yang tampak adalah biru keunguan yang menunjukkan bahwa bakteri tersebut tergolong dalam bakteri gram positif. Bakteri ini akan mempertahankan warna ungu Kristal karena struktur dinding selnya didominasi oleh lapisan peptidoglikan yang tidak mudah larut dalam alkohol. Menurut Waluyo (2011) bahwa bakteri gram positif mengandung 50% lapisan peptidoglikan pada dinding selnya. Sedangkan pada bakteri gram positif hanya terdapat 10%. Sebaliknya pada bakteri gram negatif kaya akan kandungan lipid, yakni 11-22% lipid. Menurut Iskamto (2013) bahwa bakteri gram negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna metil ungu pada metode pewarnaan Gram. Bakteri gram positif akan mempertahankan warna ungu gelap setelah dicuci dengan alcohol, sementara bakteri gram negative tidak.
Gambar 9 Bakteri gram positif dari sampel 2 (S)
Perbedaan bakteri gram positif dan negatif dalam dilihat pada tabel berikut: Tabel 5 Perbedaan bakteri gram positif dan gram negatif Pembeda Dinding Sel
Bakteri Gram Positif Lapisan petidoglikan lebih tebal
Bakteri Gram Negatif Lapisan peptidoglikan lebih tipis
Kadar lipid Resistensi terhadap alkali (1% KOH) Kepekaan terhadap Yodium Toksin yang dibentuk Resistensi
1-4%
11-22%
Tidak larut
Larut
Lebih peka Eksotoksin Lebih tahan
Sifat tahan asam
Ada yang tahan asam
Kepekaan terhadap penisilin
Lebih peka
Kurang peka Endotoksin Lebih peka Tidak ada yang tahan asam Kurang peka
Kepekaan terhadap streptomisin
Tidak peka
Peka
39
Gambar 10 Proses pada dinding sel saat pewarnaan gram
Berdasarkan hasil pewarnaan juga diketahui bahwa masing-masing bakteri yang diidentifikasi menunjukkan bentuk dan penataan yang berbeda. Pada sampel 1 (B) menunjukkan bentuk basil dan penataannya mono, pada sampel 2 (S) menunjukkan bentuk coccus dan penataan staphyllo sedangkan sampel 3 (V) berbentuk basil dan penataan mono. Berdasarkan hal tersebut, bakteri memiliki struktur tubuh yang berbeda yakni basil dan coccus serta memiliki kemampuan membentuk koloni yang berbeda yakni mono dan staphyllo. Bentuk bakteri juga dapat dipengaruhi oleh umur dan syarat pertumbuhan tertentu. Bakteri dapat mengalami involusi, yaitu perubahan bentuk yang disebabkan faktor makanan, suhu, dan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi bakteri. Selain itu dapat mengalami pleomorfi, yaitu bentuk yang bermacam-macam dan teratur walaupun ditumbuhkan pada syarat pertumbuhan yang sesuai (Sumarsih 2003). Bentuk umum sel adalah kokus (bulat), basil (batang), dan uliran (spiral). Bentuk kokus adalah sel tunggal monokokkus, berpasangan (diplokokkus), berantai (streptokokkus), seperti buah anggur (stafilokokkus). Bentuk sel serupa
40 batang dibagi dua yakni bentuk batang pendek dan panjang, sel tunggal atau berangkai. Bentuk sel spiral adalah bentuk spiral pendel (koma) atau sedikit uliran (Pelczar and Chan 2013).
Gambar 11 Bentuk-bentuk dan penataan bakteri
Berdasarkan hasil pengamatan, diduga bahwa bakteri pada sampel 1 (B) adalah bakteri dari genus Bacillus, hal tersebut berkaitan dengan bentuknya yang basil dan penataan mono. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pelczar at al. (1976) dalam Hatmanti (2000) bahwa Marga Bacillus merupakan bakteri yang berbentuk batang dapat dijumpai di tanah dan air termasuk pada air laut. Beberapa jenis menghasil enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein dan polisakarida kompleks. Bacillus spp membentuk endospora, merupakan gram positif, bergerak dengan adanya flagel peritrikus, dapat bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik serta bersifat katalase positif. Pada sampel 2 (S) diduga merupakan bakteri dari genus Staphyllococcus karena bentuknya yang coccus dan penataan staphyllo. Menurut Ernest (1996) bahwa Staphylococcus adalah sel yang berbentuk bola (coccus) dengan garis tengah sekitar 1μm dan tersusun dalam kelompok tak beraturan atau staphyllo. Adapun sampel 3 (V) diduga merupakan bakteri dari genus Vibrio dimana
41 bentuknya koma dan penataan mono. Menurut Pelczar and Chan (2013) Bakteri dengan bentuk spiral yang pendek dan tidak lengkap disebut bakteri koma atau Vibrio.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa tahapan
pewarnaan gram yang meliputi fiksasi panas, pewarnaan utama, pengintensifan warna utama, pencucian (dekolorisasi), dan pemberian warna tandingan telah dapat dilaksanakan dengan baik. Pada gram positif biakan berwarna ungu, dan pada gram negatif biakan berwarna merah muda. Hasil pengamatan menunjukkan bakteri yang berbentuk kokus merupakan gram positif dan bakteri berbentuk basil/koma merupakan gram negatif.
4.2
Saran Praktikum sebaiknya menggunakan isolat bakteri yang lebih beragam agar
dapat diketahui bentuk bakteri yang lebih beragam lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ernest, J. 1996, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC. Jakarta Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hatmanti, A. 2000. Pengenalan Bacillus spp. Jurnal Oseana, XXV (1); 31-41. Iskamto, B. 2013. Pewarnaan Sederhana, Negatif, Kapsul Dan Gram. Sekolah tinggi ilmu kesehatan yogyakarta. Yogyakarta. Lay W. B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Pelczar, M. J. and Chan, E. C. S. 2013. Dasar-Dasar Mikrobiologi Edisi I. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta. 443 hal. Sosilowati, A. dan Listyawati, S. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS Source of contaminant microorganisms in in vitro culture at Sub lab. Biology, Central Laboratory of Mathematics and Sciences, Sebelas Maret University. Jurnal Biodiversiti; 2 (1) 110-114. Sumarsih, S. 2003. Diktat Kuliah, Mikrobiologi Dasar. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UPN, Yogyakarta. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-4 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin / 20 Oktober 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
KARAKTERISASI SIFAT FISIOLOGI DAN BIOKIMIA BAKTERI
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Mikroorganisme seperti akteri merupakan mempunyai penyebaran terluas
di alam. Hal tersebut karena bakteri mampu hidup pada berbagai habitat dan mampu menguraikan senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana untuk memperoleh zat-zat tertentu yang dibutuhkan dalam rangka mempertahankan hidupnya. Selain itu bakteri dengan kemampuannya tersebut menjadi organisme terpenting yang berperan dalam proses penguraian dan dekomposisi. Bakteri adalah salah satu mikrobia prokariotik yang bersifat heterogen dan mampu menghuni lingkungan yang sangat beraneka ragam. Bakteri mempunyai peranan yang sangat penting di alam sehingga memberikan pengaruh yang besar bagi proses kehidupan. Bakteri yang terdapat di alam sangat banyak, oleh karena itu untuk mempermudah dalam mempelajarinya dipergunakan pendekatan secara taksonomi. Identifikasi suatu biakan murni bakteri hasil isolasi dilakukan dengan cara menetukan morfologi sel, sifat-sifat pengecatan, morfologi koloni, sifat-sifat biokimia (fisiologi), patogenitas dan serologinya. Klasifikasi bakteri menurut Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology pada umumnya diterima secara internasional.
Manual
ini direvisi secara
berkala untuk memanfaatkan
pengetahuan baru melalui penelitian dengan mikroorganisme dan melalui teknikteknik baru untuk menganilisis data yang diperoleh. Bergey’s Manual edisi kedelapan yang sekarang ini, membagi semua bakteri menjadi 19 bagian (kelompok), dan masing-masing dicirikan oleh sifat-sifat morfologi atau metabolik yang nyata. Tekanan diberikan pada pengelompokan bakteri yang memiliki ciri-ciri umum dan mudah dikenali. Tidak ada usaha untuk mengatur penempatan mikroorganisme yang mencerminkan skema suatu perkembangan evolusi, sebagaimana dilakukan pada edisi-edisi sebelumnya. Hal ini dikarenakan masih banyak pengetahuan mengenai mikroorganisme yang belum lengkap diketahui (Karser 2004). Dalam hal identifikasi bakteri, pengetahuan dasar mengenai sifat-sifat biokimia dan fisiologi bakteri sangat penting untuk diketahui. Bakteri memiliki
45 keberagaman sifat fisiologi dan biokimia, ada beberapa bakteri yang mampu merombak dan menggunakan bahan-bahan kimia yang ada di lingkungannya sebagai sumber energi dan zat pembangun dan ada pula bakteri yang mampu bergerak (motil) dilingkungannya dengan baik. Pengujian secara fisiologis juga dapat dilakukan untuk mengelompokkan taksonomi mikroorganisme termasuk taksonomi bakteri. Pengujian sifat fisiologi dan biokimia nantinya akan membedakan kemlompok bakteri yang memiliki perbedaan proses metabolisme. Semua kegiatan metabolisme bakteri tersebut dilakukan oleh enzim yaitu biokatalisator yang dapat mempercepat reaksi kimia sel. Proses metabolisme dan enzimatis yang berbeda-beda antara satu bakteri dengan bakteri lainnya dapat menjadi sarana yang tepat untuk dapat membedakan suatu jenis bakteri dengan bakteri lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka praktikum mengenai karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi bakteri perlu dilakukan.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisiologi dan biokima dari
bakteri
sekaligus
mampu
mengkarakterisasi
mengelompokkan bakteri dalam tingkatan genus.
sifat-sifat
tersebut
untuk
II. METODOLOGI 2.1
Waktu dan Tempat Praktikum karakterisasi fisiologi dan biokimia ini dilaksanakan pada hari
Senin tanggal 20 Oktober 2014 pada pukul 08.00-10.00 WIB dan pengamatan dilakukan hari Selasa tanggal 21 Oktober 2014 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah jarum inokulasi, gelas
obyek, inkubator, tabung reaksi, kertas cakram, tissue, korek api, dan bunsen. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biakan bakteri, akuades steril, media O/F, media SIM, parafin, gelatin, aquades, hidrogen peroksida, p-aminodimethylaniline-oxalat 1%,, dan alkohol 70%.
2.3
Prosedur Kerja
2.3.1 Uji Oksidatif/Fermentatif Pada tahapan pertama adalah sterilisasi lingkungan dengan alkohol 70% yang disemprotkan ke tangan dan meja kerja. Bakteri yang digunakan adalah bakteri B dan bakteri D. Selanjutnya, bunsen dinyalakan dengan korek api. Jarum inokulasi dipanaskan di atas bunsen hingga berpijar. Lalu tabung berisi biakan diambil dengan tangan kiri dan sumbat tabung dibuka dengan dijepitkan pada jari kelingking tangan kanan. Biakan bakteri diambil dengan jarum inokulasi, lalu tabung biakan disumbat kembali dengan mulut tabung dipanaskan terlebih dahulu. Selanjutnya, tabung berisi media O/F diambil dan biakan yang telah diambil ditusukkan ke dalam tabung hingga sepertiga dari permukaan. Salah satu media ditetesi dengan parafin sebanyak 0,2 ml. Mulut tabung media didekatkan pada nyala api lalu ditutup kembali dengan sumbat kapas. Tabung media yang telah berisi biakan diinkubasi selama 24 jam.
47 2.3.2 Uji Motilitas Pada tahapan pertama adalah sterilisasi lingkungan dengan alkohol 70% yang disemprotkan ke tangan dan meja kerja. Peralatan disiapkan dan bunsen dinyalakan dengan korek api. Bakteri yang digunakan dalam praktikum adalah bakteri B dan bakteri D. Jarum inokulasi dipanaskan di atas bunsen, lalu tabung reaksi yang berisi biakan diambil dengan tangan kiri dan sumbat tabung dibuka dengan dijepitkan pada jari kelingking tangan kanan. Biakan bakteri diambil dengan jarum inokulasi, lalu tabung biakan disumbat kembali dengan mulut tabung dipanaskan terlebih dahulu, dan diletakkan kembali. Lalu, media SIM yang telah disiapkan diambil dengan tangan kiri, sumbat tabung dibuka, jarum inokulasi lalu ditusukkan ke media SIM hingga dua per tiga dari permukaan. Mulut tabung media SIM didekatkan pada nyala api lalu ditutup kembali dengan sumbat kapas. Tabung media yang telah berisi biakan diinkubasi selama 24 jam.
Gambar 12 Tahapan Uji Motilitas
2.3.3 Uji Oksidase Pada tahapan pertama adalah sterilisasi lingkungan dengan alkohol 70% yang disemprotkan ke tangan dan meja kerja. Bakteri yang digunakan dalam praktikum adalah bakteri B dan D. Selanjutnya, gelas obyek dibersihkan dengan alkohol 70%. Dua buah kertas cakram diletakkan pada gelas obyek. Lalu, Larutan p-aminodimethylaniline-oxalat 1% diteteskan sebanyak 1 tetes di atas kertas cakram. Kemudian, jarum ose dipanaskan di atas bunsen hingga berpijar. Jarum ose kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi biakan, dan langsung dioleskan
48 di atas tetesan p-aminodimethylaniline-oxalat 1%. Jika koloni berubah warna menjadi merah, berarti hasil uji positif, dan jika berwarna ungu berarti hasil uji negatif.
Gambar 13 Tahapan Uji Oksidase
2.3.4 Uji Katalase Pada tahapan pertama adalah sterilisasi lingkungan dengan alkohol 70% yang disemprotkan ke tangan dan meja kerja. Bakteri yang digunakan dalam praktikum adalah bakteri B dan D. Selanjutnya, gelas obyek dibersihkan dengan alkohol 70%. Kemudian, jarum ose dipanaskan di atas bunsen hingga berpijar. Lalu, jarum ose dimasukkan ke dalam tabung berisi agar miring, dan koloni bakteri diambil lalu diletakkan di atas gelas obyek. Larutan hidrogen peroksida diteteskan di atas biakan. Jika terdapat gelembung-gelembung udara, maka hasil menunjukkan reaksi positif.
Gambar 14 Tahapan Uji Katalase
49 2.3.5 Uji Gelatin Pada tahapan pertama dilakukan sterilisasi lingkungan dengan alkohol 70% yang disemprotkan ke tangan dan meja kerja. Bakteri yang digunakan dalam praktikum adalah bakteri B dan D. Jarum inokulasi dipanaskan di atas bunsen, lalu tabung reaksi yang berisi biakan diambil dengan tangan kiri dan sumbat tabung dibuka dengan dijepitkan pada jari kelingking tangan kanan. Biakan bakteri diambil dengan jarum inokulasi, lalu tabung biakan disumbat kembali dengan mulut tabung dipanaskan terlebih dahulu, dan diletakkan kembali. Lalu, media gelatin yang telah disiapkan diambil dengan tangan kiri, sumbat tabung dibuka, jarum inokulasi lalu ditusukkan ke media gelatin. Mulut tabung media gelatin didekatkan pada nyala api lalu ditutup kembali dengan sumbat kapas. Tabung media yang telah berisi biakan diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, disimpan di dalam kulkas selama + 10 menit dan diamati.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Hasil Percobaan Hasil pengamatan pada percobaan karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi
bakteri adalah diketahui sifat Oksidatif/Fermentatif, Katalase, Oksidase, Motilitas, Gelatin, Gram dan Bentuk bakteri pada isolat A, B, C, D, dan E (Tabel 6). Tabel 6 Hasil pengamatan uji sifat Oksidatif/Fermentatif, Katalase, Oksidase, Motilitas, Gelatin, Gram dan Bentuk bakteri Uji Sifat O/F Katalase Oksidase Motilitas Gelatin Gram Bentuk Genus Bakteri
A B F F + + + + + + + Basil Coccus Listeria Staphylococcus, Pediococcus
Isolat C F + Coccus Streptococcus, Pediococcus, Gamella
D E F F + + Basil Basil Cardiobakterium, Pseudomonas, Eikenella Streptobacillus
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa genus bakteri yang diperoleh dari hasil pengamatan dan identifikasi adalah Listeria, Staphylococcus, Pediococcus, Gamella, Cardiobakterium, Eikenella, Pseudomonas, Streptobacillus.
a
b
c
d
e
f
Gambar 15 Hasil Pengamatan Uji Biokimia dan Fisiologi
51 Keterangan: a. b. c. d. e. f.
3.2
Gambar hasil pengamatan uji O/F Gambar hasil pengamatan uji SIM Gambar hasil pengamatan uji gelatin Gambar hasil pengamatan uji oksidase Gambar hasil pengamatan uji katalase dan KOH Gambar sebelum inkubasi
Pembahasan Karakterisasi dan klasifikasi sebagian besar mikrobia seperti bakteri
berdasarkan pada reaksi enzimatik ataupun biokimia. Mikroba dapat tumbuh pada beberapa tipe media, memproduksi tipe metabolit tertentu yang dideteksi dengan interaksi mikrobia dengan reagen test yang menghasilkan warna reagen. Reaksireaksi dalam sel akan teridentifikasi dengan melakukan pengujian-pengujian tertentu. Sel akan memberikan respon sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, misalnya menghasilkan enzim katalase, enzim gelatinase atau kemampuan untuk menghidrolisis lemak (Pelczar 1986). Berdasarkan
hasil
pengamatan
pada
praktikum
ini,
pada
uji
oksidatif/fermentatif yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan memecah karbohidrat (glukosa) dalam suasana aerobik (oksidatif) atau anaerobik (fermentatif) suatu mikroorganisme diperoleh data positif fermentatif. Bakteri tersebut termasuk dalam bakteri yang mampu merombak glukosa dalam suasana anaerobic (tanpa oksigen) dengan penampakan warna kuning pada media. Hal ini sesuai pernyataan Purnawati (2008) bila tabung yang ditetesi parafin berwarna hijau, dan tabung yang tidak ditetesi parafin berwarna kuning, maka hasilnya oksidatif.
Menurut
Purwoko (2009) bahwa kemampuan bakteri dalam
memanfaatkan glukosa disebut bakteri glikolisis. Glikolisis adalah proses pemecahan glukosa menjadi senyawa triosa (C3) yaitu piruvat. Pada pengamatan hasil uji motilitas yang bertujuan untuk mengetahui sifat motilitas suatu bakteri. Media yang digunakan pada uji motilitas adalah media SIM (Sulfida Indol Motility). Hasil menunjukkan bahwa bakteri uji termasuk bakteri non motil, hal ini karena pertumbuhan koloni tidak terdapat dipermukaan dan hanya pada bekas tusukan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak semua bakteri mempunyai daya motilitas, ada bakteri yang tidak mempunyai alat gerak
52 yaitu flagel sehingga berdasarkan letak dan jumlah flagel pada sel bakteri, jenis ini digolongkan dalam bakteri atrik (Dwidjoseputro 1978). Namun kebanyakan sel bakteri dapat bergerak dengan menggunakan flagel, akan tetapi ada pula bakteri yang tidak dapat bergerak karena tidak memiliki falagel. Hal ini senada dengan pernyataan Taringan (1988) yang menyatakan bahwa gerak bakteri terjadi pada bakteri yang mempunyai flagel, karena flagel ini merupakan alat gerak bagi sel bakteri. Flagel merupakan bulu-bulu cambuk yang dimiliki oleh beberapa jenis bakteri dan letaknya berbeda-beda tergantung kepada spesiesnya. Pada hasil pengamatan uji oksidase yang bertujuan untuk mengetahui bakteri memiliki enzim dehidrogenase menunjukkan hasil negatif. Hal ini dapat dilihat pada akhir pemberian reagen warna yang dihasilkan adalah ungu kebiruan. Berdasarkan terbentuknya warna tersebut, maka dapat diduga bahwa bakteribakteri anaerobik yang diperoleh juga tidak memiliki kemampuan untuk melepaskan hidrogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lay (1994) bahwa pada mikroorganisme anaerobik obligat akan memberikan hasil uji negatif pada uji oksidase yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna menjadi merah muda.
Gambar 16 Katalisasi oleh sitokrom (Madigan et al. 2012) Pada uji katalase yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya enzim katalase pada bakteri menunjukkan hasil positif atau bakteri memiliki enzim katalase yang mampu mengkatalis hydrogen perosida. Menurut Lay (1994) bahwa
53 katalase merupakan salah satu enzim yang digunakan mikroorganisme untuk menguraikan hidrogen peroksida. Bakteri katalase positif bisa menghasilkan gelembung-gelembung oksigen karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Bakteri katalase negatif tidak menghasilkan gelembung-gelembung. Hal ini berarti H2O2 yang diberikan tidak dipecah oleh bakteri katalase negatif, sehingga tidak menghasilkan oksigen. Mekanisme enzim katalase memecah H 2O2 yaitu saat melakukan respirasi, bakteri menghasilkan berbagai macam komponen salah satunya H2O2 (Luis dkk. 2013). Pada hasil pengamatan uji gelatin yang bertujuan untuk melihat adanya enzim proteolitik pada bakteri yang dapat menguraikan gelatin diperoleh hasil negatif, artinya bakteri tersebut tidak mampu untuk mengurai media yang mengandung gelatin. Hal ini sesuai dengan pernyatan Waluyo (2011) bahwa bakteri yang mampu mengencerkan gelatin adalah bakteri yang memiliki enzim gelatinase dan biasanya membentuk koloni berbeda-beda. Gelatin adalah protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yaitu zat pada jaringan penghubung dan tendon dari hewan. Menurut (Hadioetomo 1993) gelatin akan terurai oleh mikrobia yang mensintesis enzim proteolisis. Larutan gelatin bersifat cair pada suhu ruang atau suhu kamar dan padat apabila berada di dalam refrigerator. Dan apabila gelatin sudah dihidrolisis oleh mikroba, maka akan tetap bersifat cair. Hasil uji yang telah dilakukan menunjukkan bahwa isolat E memiliki bentuk basil, merupakan gram negatif, memiliki kemampuan memecah glukosa secara fermentatif, tidak memiliki enzim dehidrogenase, tidak bersifat motil, memiliki enzim katalase, serta tidak memiliki enzim proteolitik/geltinase. Setelah dilakukan identifikasi menggunakan tabel Cowan, diperoleh bahwa isolat E adalah genus Pseudomonas, Streptobacillus. Menurut Jawetz (1995) bahwa Streptobacillus khususnya S. moniliformis adalah bakteri yang berbentuk filamentous, sifat gram negatif, sangat pleomorfik, pergerakannya nonmotile, bersifat fakultatif aerobik dan bersifat non acid fast. Bakteri ini berukuran 0.3 sampai 1.5 mikrometer. Hidup berkoloni membentuk rantai basil yang tidak beraturan dan
diselang seling dengan pembesaran
fusiform, badan yang bulat, besar dan memiliki cabang. Tumbuh dengan cepat
54 pada tubuh inang. Bakteri ini tumbuh terbaik pada suhu 37 oC, berhenti tumbuh pada suhu 22oC. Sedangkan Pseudomonas menurut Humaidah (2011) bahwa bakteri ini termasuk bakteri gram negatif, berbentuk basil namun aerob obligat berukuran sekitar 0,6 x 2 μm. Bakteri ini terlihat sebagai bakteri tunggal, berpasangan, dan terkadang membentuk rantai yang pendek. Bakteri memiliki katalase positif, oksidase positif, dan tidak mampu memfermentasi tetapi dapat mengoksidasi glukosa/karbohidrat lain, tidak berspora, tidak mempunyai selubung (sheat) dan mempunyai flagel monotrika (flagel tunggal pada kutub) sehingga selalu bergerak. Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka hasil pengujian karakterisasi fisiologi dan biokimia, genus bakteri lebih mengarah pada genus Streptobacillus.
IV. 4.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Praktikum identifikasi bakteri melalui karakterisasi sifat biokimia dan
fisiologi bakteri telah dapat dilakukan dengan baik. Hasil uji yang telah dilakukan menunjukkan bahwa isolat E memiliki bentuk basil, merupakan gram negatif, memiliki kemampuan memecah glukosa secara fermentatif, tidak memiliki enzim dehidrogenase, tidak bersifat motil, memiliki enzim katalase, serta tidak memiliki enzim proteolitik. Setelah dilakukan identifikasi menggunakan tabel Cowan, diperoleh bahwa isolat E adalah genus Staphylococcus.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya dapat digunakan uji yang lebih beragam, sehingga
identifikasi bakteri melalui karakterisasi biokimia dan fisiologi dapat lebih memastikan genus yang diidentifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta. Hadioetomo, R. S. 1993. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium Mikrobiologi. Gramedia. Jakarta Humaidah, S. 2011. Potensi Desikator untuk Inkubator Anaerob. Jurnal. Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Jawetz, M. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Karser G. 2004. Microbiology Laboratory Manual. New York: Cotons Ville Campus. Lay, W. B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Lubis, Y. P. P., Yunasfi, Leidonald, R. 2013. Jenis-Jenis Bakteri Pada Luka Ikan Patin (Pangasius Djambal) (Types Of Bacterias Found On Catfish Wound). Jurnal Universitas Sumatera Utara. Medan. Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A. Clark, D.P. 2012. Brock Biology of Microorganisms. 13th Ed. Pearson Education, Inc., Benjamin Cummings Publishing Pelczar, M.J. Dan Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Purwoko, T. Fisiologi Mikroba. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 277 hal. Taringan, Jeneng. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Depdikbud. Jakarta. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-5 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin /27 Oktober 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
ISOLASI DAN KARAKTERISASI FUNGI UNTUK AKUAKULTUR
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Fungi adalah organisme eukariot yang mempunyai dinding sel dan pada
umumnya tidak motil. Karakteristik ini menyerupai karakteristik tumbuhan. Namun demikian fungi secara fundamental dapat dibedakan dari tumbuhan karena mereka tidak mempunyai klorofil. Dengan demikian mereka tidak mampu melakukan proses fotosintesis menghasilkan bahan organik dari karbondioksida dan air, sehingga mereka disebut organisme yang heterotrof. Sifat heterotrof ini menyerupai sifat sel hewan. Fungi merupakan kingdom yang cukup besar terdiri dari kurang lebih 50.000 species, dan bisa mempunyai karakteristik yang berbeda-beda baik secara struktur, fisiologi maupun reproduksinya. Fungi dapat ditemukan dalam bentuk kapang pada permukaan sayuran, busuk, sebagai ragi pada roti maupun sebagai cendawan (jamur berukuran besar yang tumbuh di tanah atau pada kayu-kayu lapuk. Jadi fungi mempunyai berbagai penampilan tergantung dari speciesnya. Telaah mengenai fungi disebut mikologi, yang berasal dari bahasa Yunani „mykos‟ yang berarti cendawan (fungi berbentuk payung). Disamping bersifat sebagai saprofit atau parasit, fungi dapat pula bersifat sebagai simbion, yang artinya dapat bersimbiosis dengan organisme lain. Simbiosis dengan laga menghasilkan liken atau lumut kerak, sedangkan simbiosis dengan akar tumbuhan konifer menghasilkan mikoriza. Menurut Waluyo (2011) bahwa fungi umunya adalah jenis kapang dan khamir. Khamir merupakan fungi uniseluler dan kebanyakan dari mereka termasuk dalam divisio Ascomycotina. Sel khamir jauh lebih besar dari bakteri dan dapat dibedakan dari sel bakteri. Sedangkan kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas memiliki filamen (miselium) dan multiseluler. Kapang maupun khamir, keduanya memiliki karakteristik fisiologi dan biokimia yang berbeda. Meskipun tersebar di alam, namun umumnya identifikasi fungi dilakukan karena sebagian fungi bermanfaat bagi kehidupan manusia, begitupun pada kegiatan budidaya perikanan. Selain bermanfaat fungi juga
58 terspesialisasi sebagai pengurai (saproba), parasit, atau simbion-simbion mutualistik. Fungi seringkali digunakan dalam probiotik untuk meningkatkan imunitas ikan pada pathogen. Namun jenis fungi yang ada pada lingkungan budidaya sangat beragam dan masih banyak jenis fungi yang belum terindentifikasi serta diketahui dampaknya terhadap budidaya. Oleh sebab itu, pengamatan morfologi fungi yakni kapang dan khamir perlu dilakukan dengan isolasi dan karakterisasi untuk memudahkan identifikasi fungi.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk memisahkan khamir dan kapang menjadi
isolat-isolat murni, serta mengenal karakter dan mengetahui jenis khamir dan kapang dari isolat murni tersebut.
II.
2.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin tanggal 27 Oktober 2014 pada
pukul 08.00-10.00 WIB dan pengamatan dilakukan hari Rabu tanggal 29 Oktober 2014 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah jarum inokulum, gelas
obyek dan gelas penutup, mikroskop, dan bunsen. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biakan murni khamir, ikan mati yang berjamur, media GYA, akuades steril, larutan biru metilen, dan alkohol 70%.
2.3
Prosedur Kerja
2.3.1 Isolasi Kapang dan Khamir
Isolasi Kapang Isolasi kapang pada praktikum ini dilakukan dengan dua sumber yang
berbeda, pertama kapang yang diambil dari ikan yang terserang penyakit jamur dan kedua kapang diambil dari telur ikan yang terkena jamur. Adapun tahapan pengerjaannya yakni, pertama membilas sampel dengan akuades baik yang berasal dari ikan maupun telur ikan. Kemudian sampel tersebut masing-masing diinokulasikan
ke
dalam
media
GYA
yang
mengandung
Antibiotik
(Cloramfenicol), selanjutnya diinkubasi selama 48 jam. Tahapan yang dilakukan selanjutnya adalah rekultur kapang, kapang yang telah disediakan/ditumbuhkan kemudian diambil dengan cara memotong bagian media yang ditumbuhi kapang secara persegi. Namun sebelumnya pisau dipanaskan di bunsen untuk menghindarkan kontaminasi, selanjutnya potongan media GYA biakan murni tersebut diletakkan di atas media GYA baru lalu diinkubasi selama 48 jam.
60
Isolasi Khamir Prosedur kerja yang dilakukan pada isolasi khamir adalah pertama menulis
nama dan kelompok pada tutup dua cawan petri. Setelah itu cawan petri dibalik dan digaris membagi dua cawan pertama dan membentuk kwadran menjadi empat sektor pada cawan kedua untuk pengenceran yang terdiri dari sektor pertama ditandai dengan O, sektor kedua ditandai dengan I, sektor ketiga ditandai dengan II, dan sektor keempat ditandai dengan III.
I 0 III
II
Gambar 17 Pembagian Sektor Cawan
Lalu setelah selesai, inokulan dipindahkan secara aseptik pada sektor O dengan lup inokulasi. Lup digoreskan secara zig-zag pada permukaan agar. Baik pada cawan awal maupun cawan kedua. Setiap selesai satu sektor digoreskan, lup lalu dipanaskan kembali hingga berpijar dan dibiarkan dingin. Cawan petri lalu diinkubasi selama 24 jam di inkubator. 2.3.2 Prosedur Pengamatan Morfologi Khamir dan Kapang
Morfologi Kapang Terlebih dahulu menyiapkan biakan murni kapang, gelas objek, kaca
preparat, larutan biru metilen, dan pinset. Kemudian mengambil pinset dan memanaskannya di atas bunsen. Petri yang berisi biakan murni kapang diambil dan dibuka tutupnya dengan menggunakan pinset kapang diambil setipis mungkin agar dapat diamati di bawah mikroskop. Kapang yang telah diambil lalu diletakkan di atas kaca preparat lalu ditetesi larutan biru metilen dan ditutup dengan gelas objek. Selanjutnya mengamati preparat di bawah mikroskop. Pengamatan yang dilakukan adalah tipe hifa kapang dan tipe sporulasi kapang.
61
Morfologi Khamir Terlebih dahulu gelas obyek dan gelas penutup dibersihkan dengan alkohol
70%. Selanjutnya, gelas obyek ditetesi satu tetes larutan biru metilen pada bagian tengahnya.
Kemudian mengambil biakan murni khamir satu ose dan
mencampurkannya dengan biru metilen hingga rata. Kemudian ditutup dengan gelas penutup, dan diamati di bawah mikroskop, khamir yang mati dan khamir yang masih hidup. Khamir yang mati akan berwarna biru, dan khamir yang hidup berwarna bening. Biakan yang digunakan adalah biakan murni khamir yang berumur 1 hari diamati morfologi/bentuk dari sel khamir tersebut. Terakhir, persentase sel mati dihitung dengan menggunakan rumus:
% 𝑆𝑒𝑙 𝑀𝑎𝑡𝑖 =
𝑟𝑎𝑡𝑎 −𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐴 𝑟𝑎𝑡𝑎 −𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐴+ 𝑟𝑎𝑡𝑎 −𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵
x 100%
Keterangan: A = sel khamir yang mati B = sel khamir yang hidup
2.3.3 Uji Biokimia Khamir Tahapan pertama yang dilakukan adalah menyiapkan tabung yang berisi gula-gula. Selanjutnya memasukkan 50 µl isolat khamir ke dalam masing-masing tabung dan minginkbasinya selama 1-2 hari. Hasil pengujian akan menunjukkan reaksi positif (oksidatif/aerobik): bila warna media berubah menjadi kuning namun tidak ada gas dalam tabung durham, sedangkan reaksi positif (fermentatif): bila warna media berubah menjadi kuning dan terdapat gas pada tabung durham, dan reaksi negatif bila tidak terdapat perubahan warna pada media. Adapun gulagula tersebut adalah Glukosa, Galaktosa, Sukrosa, Maltosa, Rafinosa, Trehalosa, Laktosa.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Percobaan
3.1.1 Isolasi Fungi (Kapang dan Khamir) Berdasarkan hasil isolasi dan pengamatan khamir dan kapang yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 7 Hasil isolasi dan pengamatan morfologi fungi (kapang dan khamir) Jenis Fungi
Gambar Koloni
Gambar Morfologi
Kapang (Telur Ikan)
Kapang (Organ Ikan)
Kapang (Rekultur)
Khamir
Berdasarkan tabel diatas, isolasi fungi terdiri atas isolasi kapang dan isolasi khamir, pada isolasi kapang terdapat tiga cawan yang berasal dari tiga sumber sampel berbeda. Pada cawan pertama yakni telur ikan dan rekultur tampak jelas bentuk koloni yang tumbuh pada cawan, sedangkan setelah pengamatan morfologi tampak adanya hifa dan sporangium. Begitu halnya pada kapang dari organ ikan, koloni terbentuk sempurna dengan satu titik sumber sampel ditengah lingkran koloni. Bentuk morfologi juga menunjukkan adanya hifa dan sporangium. Adapun pada khamir, bentuk koloni sirkular dan berwarna putih
63 kekuningan, dan pada morfologinya tampak adanya sel khamir yang hidup dan mati. 3.1.2 Persentase Jumlah Sel Khamir Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sel khamir yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 8 Persentase jumlah sel khamir yang mati, sel khamir yang hidup, dan bentuk koloninya Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
∑ Sel Mati (%) 12,25 11,48 16,70 24,00 47,00 26,00 0,00 0,00 0,00 27,00
∑ Sel Hidup (%) 87,75 88,52 83,30 76,00 53,00 74,00 100 100 100 73,00
Bentuk Koloni Elips Sirkular Sirkular Sirkular Sirkular Elips Sirkular Sirkular Sirkular Sirkular
Berdasarkan tabel diatas, persentase sel yang hidup lebih banyak dari pada persentase sel yang mati. Persentase sel hidup tertinggi adalah 100% dan terendah adalah 53%, sedangkan rata-rata bentuk dari koloni fungi yang diperoleh adalah sirkular dan elips. 3.1.3 Uji Biokimia Isolat Khamir Berdasarkan hasil uji biokimia isolat khamir yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 9 Hasil uji biokimia isolat khamir pada berbagai media gula Uji Gula
Set 1 Gula O/F + O + F + F + F
Set 2 Gula O/F + F + F + O + F + F -
Set 3 Gula O/F + O + O + O + O + O
Set 4 Gula O/F + F + F + O + F + F
Glukosa Dekstrosa Sukrosa Rafinosa Trehalosa Laktosa Maltosa Keterangan: + : reaksi positif (media berubah warna menjadi kuning) - : reaksi negatif (tidak terjadi perubahan warna pada media/tetap ungu) O : Oksidatif/aerob F : Fermentatif/anaerob
Set 5 Gula O/F + O + O + O + F + O
64 Berdasarkan tabel hasil uji biokimia isolate khamir menunjukkan adanya sel khamir yang dapat memanfaatkan gula dalam kondisi aerob maupun anaerob. Khamir yang oksidatif ditandai dengan perubahan warna media menjadi kuning dan tanpa adanya gelembung oksigen, sedangkan pada reaksi khamir anaerob atau fermentative, ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi kuning dan terbentuk gelembung oksigen. Selain kedua sifat tersebut, terdapat pula khamir yang tidak dapat memanfaatkan gula dengan baik, hal ini tampak dari tidak adanya perubahan media yang terjadi (-). Rata-rata khamir dapat memanfaatkan gula-gula dari jenis glukosa, dektrosa, sukrosa dan maltosa. 3.2
Pembahasan Fungi tingkat tinggi maupun tingkat rendah mempunyai ciri yang khas,
yakn berupa benang tunggal atau bercabang-cabang yang disebut hifa. Kumpulan dari hifa disebut miselium. Fungi merupakan organisme eukariotik yang mempunyai spora, tidak mempunyai klorofil sehingga tidak berfotosintesis, dapat berkembang baik secara seksual dan aseksual, tubuh berfilamen dan dinding sel mengandung kitin, glukan, selulosa dan manan. Fungi menjadi dua golongan, yakni kapang dan khamir. Kapang merupakan fungi yang memiliki miselium atau berfilamen, sedangkan khamir merupakan fungi bersel tunggal dan tidak berfilamen (Waluyo 2011). Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya pada makanan mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang. Kapang terdiri dari suatu thallus yang tersusun dari filamen yang bercabang yang disebut dengan hifa. Kumpulan dari hifa disebut dengan miselium. Hifa tumbuh dari spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ, dimana tuba ini akan tumbuh terus membentuk filamen yang panjang dan bercabang yang disebut hifa, kemudian seterusnya akan membentuk suatu massa hifa yang disebut miselium. Pembentukan miselium merupakan sifat yang membedakan grup-grup didalam fungi (Fardiaz 1989). Khamir adalah organisme uniseluler. Klasifikasi khamir menggunakan karakteristik dari sel, askospora dan koloni. Karakteristik fisiologis juga
65 digunakan untuk mengidentifikasi spesies. Salah satu karakteristik yang terkenal adalah kemampuan untuk memfermentasi gula untuk produksi etanol. Khamir dibagi menjadi 2 yaitu : 1) khamir sejati (true yeast) yang berkembang biak dengan spora dan khamir yang tidak membentuk spora yang dimasukkan ke dalam satu ordo utama Saccharomycetales dan; 2) khamir palsu (false yeast) yang berkembang biak dengan pertunasan, pembelahan atau kombinasi pertunasan dan pembelahan dimasukkan ke dalam filum Ascomycetes, kelas Hemiascomycetes (Schneiter 2004). Khamir (yeast) merupakan jasad renik (mikroorganisme) yang pertama yang digunakan manusia dalam industri pangan. Istilah khamir umumnya digunakan untuk bentuk-bentuk yang menyerupai jamur dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi uniseluler berbentuk ovoid atau spheroid.
Khamir ada yang bermanfaat ada pula yang membahayakan bagi
manusia. Fermentasi khamir banyak digunakan dalam pembuatan roti, bir, wine, vinegar dan sebagainya.
Khamir yang tidak diinginkan adalah yang pada
makanan dan menyebabkan kerusakan pada saurkraut, jus buah, sirup, molase, madu, jelly, daging dan sebagainya.
Orang-orang Mesir zaman dahulu telah
menggunakan yeast dan proses fermentasi dalam memproduksi minuman beralkohol dan membuat roti pada lebih dari 5000 tahun yang lalu. Setelah ditemukannya mikroskop Louis Pasteur pada akhir tahun 1860 menyimpulkan bahwa yeast merupakan mikroba hidup yang bertindak sebagai agen dalam proses fermentasi dan digunakan sejak zaman dahulu untuk menaikan adonan roti. Tidak lama setelah penemuan tersebut, dilakukan upaya untuk mengisolasi khamir secara murni. Dengan kemampuan ini mulailah dilakukan produksi yeast secara komersial untuk keperluan pembuatan roti. Jenis yang dikembangkan adalah Saccharomyces cerevisiae yang disebut dengan Baker’s yeasts (Purves and Sadava 2003).
66
Gambar 18 Kapang yang diidentifikasi jenis Aphanomyces sp.
Berdasarkan hasil praktikum, pada isolasi fungi yakni kapang dan khamir berhasil tumbuh pada media GYA. Koloni yang terbentuk pada kapang yang diperoleh dari telur ikan dan ikan menunjukkan warna putih, berserabut dan terdapat spora pada ujung yang berwarna hitam. Sedangkan identifikasi secara mikroskopis kapang terlihat memiliki hifa/miselium yang berseptum, tidak bercabang dan terdapat sporangium diujung hifa. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka kapang yang berhasil diisolasi adalah kapang jenis Aphanomyces sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pelczar and Chan (2013) bahwa Aphanomyces sp. memiliki ciri morfologi hifa/miselium yang berseptum, tidak bercabang, sporangium terletak diujung hifa, spora berbentuk bulat, dan membentuk kristapadat. Aphanomyces sp. Aphanomyces/Epizootic Ulcerative Syndrom (EUS) adalah penyakit yang disebabkan oleh Aphanomyces invadans yang merupakan penyebab utama luka atau borok pada beberapa jenis ikan. A.invadans termasuk dalam golongan oomycetes dan merupakan jenis pathogen obligat (hanya dapat hidup dari tubuh inang), menyerang ikan hias cat fish, golongansiklid, koi, dan koki. Penyakit ini ditandai oleh adanya luka pada bagian kulit.Luka tersebut kemudian berkembang menjadi borok yang melebar. Gejala lainditandai oleh kerusakan jaringan berupa bintil-bintil kecil (granuloma) berwarna putih kemerahan (Supriyadi 2004). Ciri-ciri Aphanomyces menurut Alderman (1982) dalam Mulyani (2006) memiliki miselium berdiameter 5-15 µm dan sedikit bercabang, zoospora muncul pada ujung sporangium dalam bentuk memanjang lalu menjadi kista di sekitar ujung sporangium, hifa tidak bersepta namun berpigmen.
67
Gambar 19 Khamir yang diidentifikasi jenis Aphanomyces sp. Hasil pengamatan pada khamir menunjukkan bahwa fungi khamir dapat ditumbuhkan di media GYA. Koloni yang terbentuk sirkular dan berwarna putih kekuningan. Pada pengamatan mikroskopik sel khamir yang diamati berbentuk bulat. Praktikum pengamatan morfologi fungi ini juga dilakukan untuk melihat pengaruh metilen blue terhadap mortilitas khamir. Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa mortalitas khamir sebesar 11,48%. Mortalitas pada khamir terutama disebabkan oleh methylen blue. Larutan methylen blue atau biru metilen merupakan larutan yang dikenal sebagai antifungi. Metilen blue memilki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan fungi. Metilen blue diketahui efektif untuk pengobatan white spot dan jamur. Selain itu juga sering digunakan untuk mencegah serangan jamur pada telur ikan (Purwakusuma 2002).
Gambar 20 Struktur Morfologi Fungi (Madigan et al. 2012)
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah sel menunjukkan bahwa persentase sel yang mati lebih kecil dibandingkan sel yang hidup. S. cerevisiae dapat dilihat dengan mikroskop tanpa perwarnaan dan akan terlihat sebagai bintik-bintik
68 transparan. Dalam percobaan ini, pewarnaan dengan methylen blue bukan bertujuan agar S. cerevisiae terlihat, tetapi memiliki tujuan differensial yaitu agar sel yang mati dan sel yang hidup terlihat memiliki warna berbeda. Methylen blue merupakan indikator berbentuk kristal yang bila larut dalam air akan membentuk cairan berwarna biru. Methylen blue menjadi tidak berwarna dengan kehadiran enzim aktif, oleh karena itu, sel khamir yang hidup akan tampak transparan. Sebaliknya, dengan ketiadaaan enzim aktif, methylen blue akan tetap berwarna biru, oleh karena itu, sel yang mati akan tampak berwarna biru (Purves et al. 2003).
Gambar 21 Hasil Pengujian Gula-Gula
Hasil pengujian gula-gula
menunjukkan bahwa
Hasil praktikum
menunjukkan bahwa reaksi yang terlihat yaitu pada gula jenis glukosa dan dekstrosa positif secara fermentative (terjadi perubahan warna dari ungu ke kuning), sedangkan gula sukrosa, trehalosa dan laktosa positif secara oksidatif (terjadi perubahan warna dari ungu ke kuning). Adapun gula maltosa dan rafinosa menunjukkan hasil negatif. (tidak menunjukkan perubahan warna) Hal ini tidak sesuai dengan hasil uji untuk Saccharomyces cerevisiae, karena suatu khamir dari jenis S. cerevisiae akan menunjukkan hasil positif untuk jenis gula glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, rafinosa, dan trehalosa, dan menunjukkan hasil negatif untuk jenis gula laktosa. Perbedaan hasil uji ini dapat disebabkan karena terjadinya kontaminasi pada saat melakukan praktikum pengujian zat-zat gula sehingga hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
69 Meskipun demikian, namun pengujian tetap menunjukkan adanya kemampuan khamir dalam memanfaatkan gula-gula yang ada pada media. Menurut Madigan et al. (2013) bahwa S. cerevisiae adalah khamir bersel tunggal dari famili ascomycetes. Bentuk atau morfologi Saccharomyces cerevisiae adalah bulat, oval, silinder dan biasanya berupa sel dengan tunas. Saccharomyces cerevisiae dapat membentuk filamen untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan tertentu. Ukuran sel khamir biasanya jauh lebih besar daripada sel bakteri dan dapat dibedakan secara mikroskopis. Dibandingkan bakteri struktur sel internal khamir seperti nukleus atau vakuola sitoplasma dapat terlihat secara mikroskopis,. Khamir biasanya fakultatif aerob. Tumbuh secara aerobik maupun fermentasi. Khamir merupakan fungi yang termasuk kelompok Ascomisetes yang tidak memproduksi miselium secara luas dan tubuh buahnya adalah uniseluler. Khamir memiliki sifat yang berbeda-beda, ada khamir yang bersifat oksidatif, ada yang bersifat fermentatif, ataupun keduanya. Khamir yang bersifat oksidatif dapat tumbuh dengan membentuk lapisan film pada permukaan medium cair sedangkan khamir yang bersifat fermentatif tumbuh di dalam cairan medium dan tidak membentuk lapisan film. Daya fermentasi khamir terhadap zat-zat gula (glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, rafinosa, trehalosa, dan laktosa) merupakan karakteristik suatu spesies khamir dan dapat digunakan untuk membantu identifikasi dan determinasi sel khamir secara cepat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut: 1. Koloni kapang yang terbentuk berwarna putih dan berserabut. Kapang memiliki bentuk hifa yang panjang, tidak bersepta dan bercabang, serta sporanya mengumpul di ujung hifa sehingga diidentifikasi sebagai kapang jenis Aphanomyces. 2. Koloni khamir berbentuk sikular da berwarna putih kekuningan, sel khamir berbentuk bulat. Rata-rata persentase jumlah khamir yang hidup lebih tinggi (88,52%) daripada jumlah khamir yang mati (11,48%). Berdasarkan sifat metabolismenya khamir dikelompokkan menjadi dua yaitu fermentatif dan oksidatif. Khamir yang diuji pada praktikum ini bereaksi positif terhadap 5 gula (glukosa, dekstrosa, sukrosa, trehalosa dan laktosa).
4.2
Saran Praktikum selanjutnya diharapkan dapat dilaksanakan dengan menggunakan
jenis fungi yang lebih banyak sehingga dapat dibandingkan antara morfologi fungi dan dapat diketahui proses sporulasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, S. 1989.Mikrobiologi Pangan. IPB: PAU Pangan dan Gizi. Bogor Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A. Clark, D.P. 2012. Brock Biology of Microorganisms. 13th Ed. Pearson Education, Inc., Benjamin Cummings Publishing Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A. Clark, D.P. 2012. Brock Biology of Microorganisms. 13th Ed. Pearson Education, Inc., Benjamin Cummings Publishing Mulyani S. 2006. Gambaran darah Ikan Gurame (Osphronemus gouramy) yang terinfeksi Cendawan Achlya sp. pada kepadatan 320 dan 720 spora per ml. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pelczar, M.J., Chan, ECS. 2013. Dasar-dasar Mikrobiologi 1. Diterjemahkan oleh: Hadioetomo RS, Sunatmo TI, Tjitrosomo SS dan Angka SL. UI Press. Jakarta Purves, Bill dan Sadava, David. 2003. Life The Science of Biology 7th Edition. Sinauer Associates Inc. New York. Purwakusuma. 2002. Metil Biru (Methilene Blue). http://www.o-fish.com/Metil Biru.html. Schneiter, Roger. 2004. Genetics, Molecular and Cell Biology of Yeast. Freiburg University Swiss Supriyadi, hambali, dan Tim Lentera, 2004. Membuat Ikan Hias Tampil Sehat danPrima. Agromedia Pustaka, Jakarta. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-6 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Jumat/7 November 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
PENGHITUNGAN BAKTERI DENGAN METODE HITUNGAN CAWAN
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Mikroorganisme di alam tersebar luas diberbagai temapt, khususnya
bakteri tersebar atau berada dimana-mana seperti di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Bakteri yang hidup diberbagai tempat itu juga memiliki perbedaan karakter fisiologi dan metabolism yang berbeda-beda. Menurut Purwoko (2009) bahwa prokariot seperti bakteri mengkatalis ribuan reaksi kimia dalam jalur metabolisme yang saling berikatan. Semua reaksi tersebut dikatalis oleh enzim. Perbedaan enzim akan membedakan jenis bakteri itu sendiri dan juga membedakan senyawa metabolit baik primer maupun sekunder yang dihasilkan oleh bakteri. Senyawa metabolit yang bersifat toksik berbahaya bagi pertumbuhan organisme akuatik, seperti ikan, namun terdapat beberapa bakteri yang dapat dimanfaatkan sebagai probiotik karena senyawa metabolit yang dihasilkan bersifat positif baik immunostimulan maupun menekan pertumbuhan bakteri pathogen lain. Pentingnya keberadaan bakteri di perairan akuakultur, maka untuk mengetahui pertumbuhan jenis bakteri tertentu dari lingkungan akuakultur biasanya dilakukan perhitungan jumlah koloni dalam laboratorium untuk mendeteksi jumlah populasinya. Oleh sebab pertumbuhan bakteri yang ada pada lingkungan akuatik merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui kualitas lingkungan dan tingkat infeksi suatu penyakit. Sehingga, dalam analisis mikrobiologi suatu sampel perlu dilakukan analisis pertumbuhan bakteri melalui penghitungan jumlah populasi bakteri yang tumbuh. Pengukuran kuantitatif populasi bakteri sangat diperlukan dalam penelaahann mikrobiologis. Terdapat dua bentuk perhitungan dasar yakni penentuan jumlah sel dan penentuan massa sel. Pengukuran jumlah sel biasanya dilakukan dengan metode hitungan cawan (plate count), hitungan mikroskopis langsung (direct microscopic count) atau secara elektronis dengan baktuan alat yang disebut penghitung coulter (Coulter counter). Cara lain untuk mengetahui jumlah sel bakteri adalah dengan melakukan penyaringan menggunakan penyaring membran, saringan tersebut kemudian ditumbuhkan pada media yang
73 sesuai. Bakteri yang tertahan dalam saringan akan menyerap nutrient dalam medium dan membentuk koloni masing-masing yang berasal dari sel tunggal (Hadioetomo 1985). Secara umum teknik hitungan cawan paling sering digunakan dalam mengetahui jumlah sel bakteri. Metode ini biasanya dilakukan dengan teknik pengenceran bertingkat dalam enumerasi mikroba pada media cawan agar (plate count). Teknik cawan pengenceran adalah suatu cara yang biasa digunakan untuk menghitung dan mempelajari populasi bakteri yang beragam dan perubahan kerapatan populasinya. Oleh sebab itu, untuk mengetahui prosedur penghitungan bakteri dengan hitungan cawan, maka praktikum penghitungan bakteri dengan hitungan cawan dengan metode inokulasi sebar dan tuang penting untuk dilakukan.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari cara melakukan pengenceran
serial dan menentukan jumlah bakteri dalam suatu sampel dengan metode hitungan cawan.
II.
2.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Praktikum perhitungan bakteri dengan metode cawan dilaksanakan pada
hari Jumat tanggal 7 November 2007 pada pukul 08.00-10.00 WIB dan pengamatan dilakukan hari Sabtu tanggal 8 November 2014 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikrotube, mikropipet,
eppendof, cawan petri kosong yang telah disterilkan, cawan petri telah berisi media SWC, batang penyebar, tissue, korek api, bunsen, tube dan mikropipet. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biakan bakteri Bacillus sp. dengan kode NP5, media SWC cair bersuhu 50oC, Phosphate buffered saline (PBS), dan alkohol 70%.
2.3
Prosedur Kerja
2.3.1 Pengenceran Bakteri Tahap awal yang dilakukan adalah mensterilkan lingkungan dengan alkohol 70% yang disemprotkan pada meja kerja dan tangan praktikan. kemudian mikropipet diambil dengan tangan kanan lalu mikrotube dipasangkan pada ujungnya. Kemudian eppendof yang berisi suspensi bakteri Bacillus sp. dengan faktor pengenceran 10 -4 diambil dengan tangan kiri, lalu tutup eppendof dibuka dengan menggunakan jempol tangan kiri dan di ambil 100 µl menggunakan mikropipet. Selanjutnya 100 µl suspensi bakteri tersebut dimasukkan ke dalam eppendof baru yang telah berisi 0,9 ml PBS (Phosphat Buffer Salin). Eppendof hasil pemindahan tersebut merupakan larutan suspensi bakteri Bacillus sp dengan faktor pengenceran 10 -5. Prosedur yang sama dilakukan hingga pengenceran 10-7.
75
Gambar 22 Metode Pengenceran (Madigan et al. 2012)
2.3.2 Metode Cawan Tuang Pada tahapan awal metode tuang suspensi bakteri sebanyak 50 µl diambil menggunakan mikropipet dari masing-masing larutan suspensi Bacillus sp yang telah diencerkan dengan faktor pengenceran 10 -5 , 10-6, dan 10-7. Suspensi yang telah diambil lalu dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang kosong. Selanjutnya media SWC cair bersuhu 50oC (panas kuku) sebanyak 12 ml dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri. Setelah itu cawan petri yang telah berisi sampel dan media dihomogenkan dengan cara digoyangkan (membentuk huruf 8) secara perlahan-lahan hingga tercampur merata. Campuran dibiarkan hingga memadat, kemudian diletakkan secara terbalik untuk diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam.
2.3.3 Metode Cawan Tebar Pada tahapan awal metode tuang suspensi bakteri sebanyak 50 µl diambil menggunakan mikropipet dari masing-masing larutan suspensi Bacillus sp yang telah diencerkan dengan faktor pengenceran 10 -5 , 10-6, dan 10-7. Suspensi yang telah diambil lalu dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang berisi media SWC padat. Sampel kemudian disebar secara merata di atas agar dengan menggunakan
76 batang penyebar yang sebelumnya telah disterilkan menggunakan alkohol dan api bunsen. Selanjutnya cawan diletakkan secara terbalik untuk diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam.
Gambar 23 Metode Tuang dan Metode Sebar (Madigan et al. 2012)
Hasil pengamatan akan dihitun dengan rumus perhitungan bakteri. Adapun rumus penghitungan bakteri dengan metode hitungan cawan adalah sebagai berikut : Bakteri = 𝑁 + Keterangan : N = Jumlah Bakteri/koloni yang didapat A = Faktor Pengenceran B = Volume sampel
1 1 + 𝐴 𝐵
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diperoleh data sebagai
berikut : Tabel 10 Hasil pengamatan Total Plate Count (TPC) bakteri dengan metode hitungan cawan tuang dan sebar Total Plate Count (cfu/ml) 10-5 10-6 10-7 7 8 Tuang 35,8 x 10 33,6 x 10 18,4 x 109 1 1 Ub Sebar 58,6 x 109 8 Tuang 1,6 x 10 0 0 2 NP5 Sebar TBUD 7,8 x 108 0 Tuang 3 Sta Sebar Tuang 16,2 x 109 4 1 Ub Sebar TBUD Tuang TBUD 2,34 x 1011 0 5 NP5 Sebar TBUD TBUD TBUD Tuang 6 Sta Sebar Tuang 25,8 x 107 43,2 x 109 7 1 Ub Sebar TBUD TBUD TBUD Tuang 0 0 8 NP5 Sebar 15 x 108 0 Tuang 9 Sta Sebar Tuang TBUD TBUD TBUD 10 Sta Sebar TBUD TBUD TBUD Keterangan: *Syarat statistik dalam TPC adalah terdapat 30-300 jumlah koloni yang tumbuh. TBUD : Terlalu Banyak Untuk Dihitung ( 300 koloni bakteri), 0 : Jumlah koloni 30, (-) : Kontaminasi (bakteri tidak tumbuh) Kelompok
Isolat
Metode
Berdasarkan data pada Tabel 10 di atas diketahui bahwa pada pengenceran bakteri 10-5, 10-6, dan 10-7 bakteri yang ditanam beberapa tumbuh pada isolate 1 Ub dan NP5 baik TBUD maupun tidak, sedangkan pada Isolat Sta rata-rata menunjukkan tidak adanya pertumbuh selain pada kelompok 10 dengan hasil TBUD yang keseluruhan menunjukkan terjadinya kontaminasi. Pada kelompok 1 dengan isolate 1 Ub, pertumbuhan lebih baik pada metode tuang dari pada metode sebar. Pertumbuhan tampak baik dari 10-5 hingga 10-7, sedangkan pada kelompok 2 pertumbuhan tambak baik pada metode sebar. Adapun kelompok 3, 6 dan 9 tidak terdapat bakteri tumbuh. Pada kelompok 4 pertumbuhan terbaik pada pengenceran 10-7 begituhalnya pada kelompok 5 dan 7 yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri pada pengenceran 10 -6 sedangkan pada pengenceran
78 10-7 ditemukan pertumbuhan. Pada kelompok 10, seluruh cawan TBUD yang diakibatkan oleh komtaminasi bakteri lain. A5
A6
A7
B5
B6
B7
Gambar 24 (A) Metode Tuang Pengenceran A5=10-5, A6=10-6, A7=10-7 (B) Metode Sebar Pengenceran B5=10 -5, B6=10-6, B7=10-7 3.2
Pembahasan Pada praktikum ini digunakan bakteri Bacillus sp. dengan kode isolat NP5.
Bakteri ini merupakan bakteri probiotik yang seringkali digunakan dalam kegiatan akuakultur untuk meningkatkan immunitas organisme budidaya. Menurut Hatmanti (2000) bahwa Bacillus spp. digolongkan ke dalam kelas bakteri heterotrofik, yaitu protista bersifat uniseluler, termasuk dalam golongan mikroorganisme redusen atau yang lazim disebut sebagai dekomposer. Sebagian besar bakteri laut termasuk dalam kelompok bakteri bersifat heterotrofik dan saprofitik. Marga Bacillus merupakan salah satu dari enam bakteri penghasil endospora. Endospora tersebut berbentuk bulat, oval, elips atau silinder, yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Endospora tersebut membedakan Bacillus dari tipe-tipe bakteri pembentuk eksospora. Sedangkan menurut Keynan dan Sandler (1983) dalam Hatmanti (2000) bahwa Endospora yang dihasilkan oleh Bacil-lus mempunyai ketahanan
79 yang tinggi terhadap faktor kimia dan fisika, seperti suhu ekstrim, alkohol, dan sebagainya. Jenis-jenis tersebut seluruhnya mengandung Dipicolinic Acid (DPA) dan mereka mempunyai derajat dormansi unparalel pada bentuk kehidupan yang lain. Spora tersebut membawa siklus perkembangan dimana sel vegetatif dapat membentuk spora dan spora kemudian dapat tumbuh berkecambah menjadi sel vegetatif. Proses tersebut pertama kali ditunjukkan pada tahun 1876 oleh Koch pada B. anthracis dan oleh Cohn pada B. Subtilis. Adapun klasifikasi Bacillus sp. menurut Bergey's Manual of Determinative Bacteriology dalam Hadioetomo (1985) adalah sebagai berikut: Kingdom : Procaryotae Devisi : Bacteria Class : Schizomycetes Order : Eubacteriales Family : Bacillaceae Genus : Bacillus
Gambar 25 Bacillus sp. (Krisno 2011)
Metode perhitungan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yakni metode perhitungan langsung dan metode perhitungan tidak langsung. Menurut Waluyo (2011) metode perhitungan tidak langsung menggunakan cara volumetric dan cara gravimetric. Cara ini untuk menghitung massa sel. Namun teknik ini jarangan digunakan dalam pengujian bakteri pada bahan tetapi sering digunakan untuk mengukur pertumbuhan bakteri selama proses fermentasi. Adapun pengukuran secara langsung dilakukan dengan hitungan mikroskopik yakni menggunakan mikroskop dengan kotak skala pada kaca preparat, perhitungan cawan yakni dengan menggunakan media cawan untuk menumbuhkan bakteri. Keuntungan dari metode cawan adalah sangat sensitif sehingga hanya bakteri yang hidup saja yang bisa dihitung, beberapa jasad renik dapat dihitung sekaligus namun kekurangannya perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya karena beberapa sel berdekatan mungkin membentuk koloni. Mikroba yang dihitung harus dapat tumbuh pada medium padat, dan memerlukan waktu persiapan dan inkubasi yang relatif lama. Pada metode perhitungan cawan juga terdapat dua cara yakni metode tuang dan metode sebar. Kelebihan dari metode tuang adalah dapat
80 meminimalkan terjadinya kontaminasi karena pada metode sebar menggunakan batang penggerus yang memungkinkan terjadi kontaminasi, namun kelemahannya metode tuang dapat membunuh beberapa bakteri karena media yang dituang masih dalam suhu tinggi sedangkan pada metode sebar tidak. Prinsip dasar metode cawan pengenceran adalah tiap sel mikroba yang hidup dalam suspensi akan berkembang dan membentuk suatu koloni dalam kondisi lingkungan yang sesuai. Asumsi utama dari metode agar cawan ini adalah penyebaran contoh merata, medium tumbuh cocok dengan mikroba, dan tidak ada interaksi antara mikroba pada medium. Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum, bakteri tumbuh dengan bentuk bulat dan berwarna putih. Menurut Hatmanti (2000) bahwa jenis Bacillus spp. menunjukkan bentuk koloni yang berbeda-beda pada medium agar cawan Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya putih sampai kekuningan atau putih suram, tepi koloni bermacam-macam namun pada umumnya tidak rata, permukaannya kasar dan tidak berlendir, bahkan ada yang cenderung kering berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni dan ukurannya sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Selain itu setiap jenis juga menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda-beda dalam menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam, dan sebagainya. Populasi bakteri yang ditemukan pertumbuhan bakteri pada metode tuang dengan pengenceran 10 -5 adalah 1,6x108 cfu/ml. Pertumbuhan tersebut merupakan pertumbuhan yang lebih rendah jika dibandingkan pada metode sebar dengan pengenceran yang sama diperoleh hasil TBUD. Sedangkan pada metode sebar pengenceran 10-6 ditemukan bakteri 7,8x108 sedangkan pada metode tuang ditemukan 0. Menurut Cappucino (1983) bahwa pertumbuhan bakteri dianggap baik apabila jumlah koloni tiap cawan petri antara 30-300 koloni. Jika tidak ada yang memenuhi syarat maka akan dipilih jumlah yang mendekati 30 atau 300 koloni per cawan petri. Semakin tinggi tingkat pengenceran bakteri maka jumlah koloni bakteri akan semakin sedikit. Hasil TBUD (tidak bisa dihitung) dapat disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya human error seperti proses pengenceran yang kurang benar, pengenceran kurang
81 homogen karena tidak adanya vortex atau prose pengocokan, kurang aseptik sehingga terjadi kontaminasi, saat proses penyebaran tidak merata, dan terjadinya penumpukan sel sehingga sulit dihitung. Viablitas bakteri probiotik Bacillus sp. pada praktikum menunjukkan total hingga 108, Jika diaplikasikan dalam akuakultur, maka menurut International Diary Federation (IDF) bahwa standar jumlah minimum probiotik hidup sebagai acuan adalah 106 CFU/ml pada produk akhir (Indratingsih 2004). Sehingga bakteri tersebut dapat digunakan sebagai probiotik dalam kegiatan akuakultur.
IV.
4.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
perhitungan bakteri dengan metode cawan dilakukan dengan cawan tuang dan cawan sebar. Populasi bakteri yang ditemukan adalah 1,6x108 cfu/ml pada metode tuang dengan pengenceran 10-5. dan 7,8x108 pada metode sebar pengenceran 10 -6. Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp yang dihitung bisa digunakan sebagai probiotik dilingkungan akuakultur.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya diharapkan dapat dilaksanakan menggunakan metode
perhitungan tidak langsung agar dapat dibedakan secara langsung proses maupun hasil yang akan diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Cappucino JG. 1983. Microbiology: A Laboratory Manual.Addison Wesley Publishing Company. Hadioetomo, R. S. 1985. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Teknik dan Prosedur Dasar dalam Laboratorium. Institut Pertanian Bogor. PT Gramedia. Jakarta. Hatmanti, A. 2000. Pengenalan Bacillus spp. Jurnal Oseana, XXV (1); 31-41. Indratingsih,W. S., Salasia, S. dan Wahyuni, E., 2004, Produksi Yoghurt Shiitake (Yohsitake) Sebagai Pangan Kesehatan Berbasis Susu, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. XV (1), No. 54-60. Krisno, A. 2011. Rekayasa Genetika Bakteri Bacillus thuringiensis dalam Perakitan Tanaman Transgenik Hama. Artikel. Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A. Clark, D.P. 2012. Brock Biology of Microorganisms. 13th Ed. Pearson Education, Inc., Benjamin Cummings Publishing. Pelczar, M.J. Dan Chan, E.C.S. 1986, Dasar-Dasar Mikrobiologi.Universitas Indonesia Press. Jakarta. Purwoko, T. 2009. Fisiologi Mikroba. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 277 hal. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-7 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Jumat /21 November 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
PENGARUH SUHU DAN SALINITAS TERHADAP VIABILITAS BAKTERI
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertumbuhan
mikroorganisme
dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor
diantaranya adalah kondisi lingkungan. Faktor lingkungan meliputi faktor kimia seperti pH, oksigen, amonia dan faktor fisika seperti suhu, tekanan osmosis, sinar matahari, dan lain-lain. Menurut Madigan et al. (2002) bahwa aktivitas mikroorganisme termasuk pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh keadaan kimia dan fisik lingkungan mereka. Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi, namun, empat faktor kunci mengontrol pertumbuhan semua mikroorganisme: suhu, pH, ketersediaan air, dan oksigen. Seperti mikroorganisme pada umumnya,
bakteri mempertahankan
kelangsungan hidupnya melalui penyesuaian diri terhadap lingkungan. Untuk itu, bakteri mampu menggunakan bahan-bahan kimia yang ada di sekitar lingkungannya sebagai sumber energi dan zat pembangun. Salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi adalah suhu. Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling penting mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme. Pada suhu terlalu dingin atau terlalu panas, bakteri tidak akan dapat tumbuh bahkan mungkin mati. Begitu halnya dengan salinitas, karena salinitas utamanya pada bakteri akuatik mempengaruhi tekanan osmotic selnya. Sel tunggal dari bakteri prokariot sangat sensitif dengan tekanan osmotic. Tekanan osmotik terjadi akibat perbedaan zat terlarut di dalam dan di luar sel. Salah satu bakteri bakteri akuatik yang dipengaruhi oleh suhu dan salinitas adalah Aeromonas hydrophila dan Bacillus sp. Kedua bakteri tersebut sangat dipengaruhi oleh fluktuasi faktor lingkungan terutama fluktuasi suhu. Jika suhu lingkungan sesuai dengan syarat hidupnya, maka bakteri tersebut akan tumbuh dengan baik. Kedua jenis bakteri tersebut juga memiliki perbedaan daya toleransi suhu dan salinitas, karena pada dasarnya setiap bakteri memiliki respon yang berbeda
terhadap
pengaruh
suhu dan
salinitas. Pengaruh
suhu dan
salinitas tersebut dapat diketahui dengan melihat tingkat pertumbuhan koloni bakteri pada medium agar yang telah diinkubasi dengan perlakuan suhu dan salinitas yang
berbeda-beda. Dengan
demikian,
pertumbuhan
dan
fungsi
85 metabolisme meningkat sampai ke titik suhu maksimal dimana denaturasi akan berlangsung. Di atas titik suhu tersebut fungsi sel akan berhenti. Untuk setiap mikroorganisme ada suhu minimum dimana pertumbuhan tidak mungkin terjadi, suhu optimum sehingga pertumbuhan paling cepat dan suhu di atas maksimum dimana pertumbuhan juga tidak mungkin terjadi. Berdasarkan hal di atas maka perlu dilakukan praktikum mengenai batas toleransi suhu dan salinitas yang berpengaruh terhadap aktivitas dan pertumbuhan bakteri khususnya bakteri A. hydrophila dan Bacillus sp. di alam khususnya lingkungan akuakultur.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengamati pengaruh suhu dan salinitas
terhadap viabilitas bakteri.
II.
2.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Praktikum dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 21 November 2014 pada
pukul 15.30-16.00 WIB. Sementara pengamatan dilakukan pada hari Sabtu tanggal 22 November 2014 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah jarum ose, korek api, dan
bunsen. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah media TSA dalam petri, media TSA pada cawan petri dengan konsentrasi NaCl 0%, 1.5%, 3%, dan 5%, biakan cair bakteri A. hydrophila dan Bacillus sp dalam eppendof yang telah diinkubasi pada suhu kamar, 4oC, 37oC, dan 70oC selama 30 menit, tissue dan alkohol 70%. 2.3
Prosedur Kerja
2.3.1 Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri Pada prosedur kerja pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dimulai dengan mensterilkan meja dan tangan praktikan dengan alkohol 70%. Selanjutnya biakan cair bakteri A. hydrophila dan Bacillus sp dalam eppendof yang telah diinkubasi pada suhu kamar, 4oC, 37oC, dan 70oC selama 30 menit diambil dengan jarum ose steril kemudian di gores secara zig-zag pada media TSA satu persatu. Setelah selesai maka petri ditutup kembali dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar.
Suhu 4oC
Suhu 28 oC
Suhu 37oC
Suhu 70oC
Gambar 26 Perlakuan suhu berbeda pada media
87 2.3.2 Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan bakteri Pada prosedur kerja pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dimulai dengan mensterilkan meja dan tangan praktikan dengan alkohol 70%. Selanjutnya biakan cair bakteri Aeromonas hydrophila dan Bacillus sp dalam eppendof yang berumur selama 24 jam diambil dan digores secara zig-zag pada media TSA satu persatu. Media TSA yang digunakan berjumlah empat buah dengan konsentrasi NaCl yang berbeda yaitu : 0%, 1.5%, 3%, dan 5%. Setelah selesai maka petri ditutup kembali dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar.
0%
1,5%
3%
Gambar 27 Perlakuan salinitas berbeda pada media
10%
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan mengenai pengaruh suhu dan
salinitas terhadap pertumbuhan bakteri diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 11 Hasil pengamatan suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri Isolat bakteri 4°C Ah ++ 1 NP5 +++ Ah ++ 2 NP5 ++ 3 Ah +++ NP5 +++ Ah ++ 4 NP5 ++ Ah +++ 5 NP5 +++ Ah ++ 6 NP5 ++ Ah +++ 7 NP5 ++ Ah +++ 8 NP5 +++ Ah +++ 9 NP5 ++ Ah +++ 10 NP5 +++ Keterangan: (+++) = bakteri tumbuh sedikit, (-) : bakteri tidak tumbuh. Kelompok
Suhu Salinitas 28°C 37°C 70°C 0% 1,5% 3% 5% ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++ + +++ +++ + +++ ++ ++ + +++ ++ +++ +++ ++ +++ ++ + +++ +++ +++ + ++ +++ ++ +++ ++ ++ +++ + ++ +++ ++ + +++ ++ +++ +++ ++ +++ ++ + +++ +++ +++ + +++ ++ +++ ++ + +++ ++ + +++ ++ ++ ++ +++ ++ + +++ ++ ++ + +++ ++ + +++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ ++ ++ + +++ +++ ++ + +++ +++ ++ +++ +++ +++ +++ ++ + +++ ++ ++ + +++ ++ +++ +++ ++ +++ ++ + +++ +++ ++ + luar biasa, (++) = bakteri tumbuh baik, (+) = bakteri tumbuh
Berdasarkan data pada Tabel 11 di atas diketahui bahwa A. hydrophila tumbuh baik pada suhu kamar (27 oC), 4oC dan 37oC sedangkan pada suhu 70 oC A. hydrophila tumbuh pada dua kelompok namun tergolong tumbuh sedikit dan tidak tumbuh dikelompok yang lain. Sedangkan Bacillus sp. tumbuh sangat banyak/luas biasa pada suhu kamar (27 oC), 4oC dan 37oC, sementara tumbuh baik pada suhu 70oC. Berdasarkan data pada juga diketahui bahwa A. hydrophila tumbuh sangat baik/luas biasa pada salinitas 0%, 1.5%, dan 3%. Sementara pada salinitas 5% A. hydrophila tidak tumbuh. Sedangkan Bacillus sp. tumbuh sangat banyak/luar biasa pada salinitas 0%, 1.5% dan 3%, sementara tumbuh sedikit pada salinitas 5%. Adapun hasil pengamatan pada media pengaruh suhu terhadap viabilitas bakteri A. hydrophila dan Bacillus sp sebagai berikut:
89
4oC
Suhu kamar
37oC
70oC
Sedangkan pengaruh salinitas terhadap viabilitas bakteri Aeromonas hydrophila dan Bacillus sp.
0%
1,5%
3%
5%
Gambar 28 Hasil Pengamatan Pada Cawan Petri Keterangan : Bagian kiri = Bakteri A. hydrophila Bagian kanan = Bacillus sp.
3.2
Pembahasan Mikroorganisme termasuk di dalamnya dari golongan bakteri, kebanyakan
hidup dalam kisaran suhu dan salinitas tertentu saja, daya toleransi masing-masing bakteri berbeda-beda tergantung sifat fisiologis dan struktur selnya. Setiap bakteri memiliki toleransi suhu dan salinitas maksimum dan minimum. Apabila kondisi lingkungsn keluar dari kisaran, maka pertumbuhan bakteri tersebut akan terhambat, bahkan mati. Dalam kondisi demikian, maka bakteri pada umumnya memerlukan suhu dan salinitas optimum untuk keberlangsungan proses metabolisme selnya. Berdasarkan hasil pengamatan pada pengaruh suhu terhadap viabilitas bakteri menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. lebih toleran pada suhu tinggi (70oC) jika dibandingkan dengan bakteri A. hydrophylla. Oleh sebab itu, bakteri
90 Bacillus sp. termasuk bakteri termofilik sedangkan bakteri A. hydrophylla termasuk bakteri mesofilik. Menurut Waluyo (2011) bahwa berdasarkan daerah aktivitas temperatur, mikroba dapat dibagi dalam tiga golongan utama yakni mikroba psikrofil adalah bakteri yang dapat tumbuh pada suhu 0-30oC dengan temperatur optimum 10-15oC, kebanyakan bakteri-bakteri ini tumbuh pada daerah dingin, baik darat maupun lautan. Mikroba mesofil adalah golongan mikroba yang dapat hidup dengan baik pada temperatur 5-60oC, sedangkan temperatur optimumnya 25-40oC. Umumnya mikroba ini hidup dalam alat pencernaan. Mikroba termofik yaitu golongan mikroba yang tumbuh pada temperatur 40-80oC, dan temperatur optimumnya 55-65oC. Golongan mikroba ini terutama terdapat disumber air panas dan tempat-tempat bertemperatur tinggi. Suhu memegang peranan penting dalam proses metabolisme bakteri yakni dengan mempengaruhi kinerja enzim-enzim yang terdapat di dalam tubuh bakteri. Enzim akan bekerja optimum pada suhu yang optimum. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Bakteri-bakteri yang tahan terhadap suhu tinggi adalah bakteri-bakteri yang biasanya dapat membentuk spora untuk melindungi selnya. Menurut Waluyo (2011), bakteri dari genus Bacillus dan Clostridium dapat bertahan hidup pada suhu tinggi karena dapat membentuk spora. Bahkan bakteri ini dapat bertahan pada perlakuan suhu uap 100 oC selama 30 menit. Sedangkan bakteri A. hydrophilla menurut Michael et al. (1997) memiliki toleransi suhu untuk pertumbuhannya berkisar antara 20 – 40 °C, dan Menurut Percival et al. (2004) Bakteri Aeromonas sp penyebab penyakit pada ikan dari jenis mesophiles dapat tumbuh baik pada suhu berkisar antara 15 – 35°C. Suhu yang terlalu tinggi akan menghambat proses metabolis sel bakteri, bahkan akan mempengaruhi/menghentikan semua proses/reaksi kimiawi bakteri. Genus Bacillus mampu tumbuh pada temperatus 10-50° C, merupakan saprofit ringan yang tak berbahaya, mudah tumbuh dalam kerapatan tinggi dan mampu membentuk endospora yang tahan panas (Salle 1984 dalam Hatmanti 2000). Letak endospora di dalam sel serta ukuran selama pembentukannya tidak sama bagi setiap jenis Bacillus spp., artinya ada yang terletak di sentral (di tengah sel), di terminal (di ujung sel) dan adapula yang sub- terminal (di bagian dekat ujungsel). Diameter sporanya pun dapat lebih besar atau lebih kecil dari diameter
91 sel vegetatifnya, oleh karena itu terdapatnya endospora, letak endospora, dan ukuran endospora dapat dipergunakan untuk mengindentifikasi marga Bacillus ini (Pelczar and Chan 2013). Bentuk spora yang dihasilkan oleh Bacillus spp. pun bermacam-macam tergantung jenisnya. B.subtilis dan B.cereus memproduksi spora bentuk silinder yang tidak membengkak. B. polymixa dan B. spaericus memproduksi spora yang membengkak (lebih besar dari sel vegetatifnya). Selain itu Bacillus spp. membentuk tidak lebih dari satu endospora untuk tiap sel dan sporulasinya tidak tergantung pada udara terbuka. Selain suhu, salinitas juga mempengaruhi viabilitas bakteri. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. memiliki daya toleransi salinitas lebih tinggi dibandingkan dengan A. hydrophilla. Bakteri Bacillus sp dan A. hydrophilla tumbuh baik pada salinitas 0%, 1,5% dan 3%. Pada salinitas 5%, bakteri Bacillus masih bisa tumbuh sedikit sedangkan A. hydrophilla tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. memiliki kemampuan hypotonic yang lebih baik dari pada A. hydrophilla. Meskipun pada umumnya perbedaan salinitas menyebabkan perubahan tekanan dari lingkungan ke sel maupun sebaliknya, sehingga sel bakteri akan berupaya untuk mengembalikan/menyesuaikan tekanan menjadi isotonik. Menurut Waluyo (2011) bahwa terjadinya plasmolisis pada sel bakteri akibat konsentrasi zat terlarut dari dalam sel lebih tinggi dibandingkan dengan luar sel/lingkungan, kondisi demikian disebut hypertonic. Sedangkan pada keadaan sebaliknya yakni hypotonic, dimana konsentrasi zat terlarut lebih rendah di dalam sel dibandingkan diluar sel/lingkungan akan menyebabkan sel pecah atau palmoptisis. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bakteri Bacillus merupakan bakteri yang termasuk dalam golongan halofilik (dapat tinggi pada kadar garam tinggi) sedangkan sebaliknya pada bakteri A. hydrophilla hanya bisa bertahan pada salinitas hingga 3% atau lebih dominan hidup diair tawar. Hal ini diduga dipengaruhi juga oleh kemampuan bakteri Bacillus sp. dalam membentu spora. Salinitas akan mempengaruhi tekanan osmotik bakteri. Tekanan osmotik sangat erat hubungannya dengan kandungan air. Menurut Pelczar dan Chan (2013) bahwa
berdasarkan
tekanan
osmosis
yang
diperlukan,
bakteri
dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu bakteri osmofil, bakteri halofil, dan bakteri
92 halodurik. Bakteri halodurik merupakan kelompok bakteri yang dapat tahan (tidak mati) tetapi tidak dapat tumbuh pada kadar garam tinggi, kadar garamnya dapat mencapai 30%. Bakteri Aeromonas sp. merupakan bakteri penyebab penyakit yang bersifat patogen pada berbagai jenis ikan, hewan dan penyakit pada manusia, khususnya pada spesies budidaya. Bakteri A. hydrophila menyebabkan penyakit Haemorrhagic septicemia, yaitu penyakit yang merusak jaringan dan organ pembuat sel darah. Austin dan Austin (1993) mengemukakan bahwa bakteri A. hydrophila memiliki sinonim atau sering juga disebut A. Formicans atau A. liquefacians. Karakteristik bakteri A. hydrophila yaitu; bersifat bakteri gram negatif dengan bentuk batang pendek, fakultatif anaerob, oksidase positif, tidak berspora, motil (bergerak aktif) mempunyai satu flagel (monotrichous polar flagellum) dan hidup pada kisaran suhu 250C-300C. Bakteri A. hydrophila memproduksi enzim dan toksin yang dikenal sebagai produk ekstraseluler yaitu hemolisin, enterotoksin, sitotoksin dan protease. Produksi toksin ekstraseluler yang mengandung enzim protease dan hemolisin dari A. hydrophila bersifat racun bagi ikan. Apabila disuntikkan ke tubuh ikan, produk ekstraseluler ini dapat menimbulkan kematian dan perubahan jaringan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa perlakuan suhu dan salinitas
mempengaruhi viabilitas bakteri. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa A. hydrophila tumbuh baik pada suhu kamar, 4oC dan 37oC sedangkan pada suhu 70oC A. hydrophila tidak tumbuh. Sedangkan Bacillus sp. tumbuh sangat banyak pada suhu kamar, 4oC dan 37oC, sementara tumbuh baik pada suhu 70oC. Untuk salinitas A. hydrophila tumbuh baik pada salinitas 0%, 1.5%, dan 3%. Sementara pada salinitas 5% A. hydrophila tidak tumbuh. Sedangkan Bacillus sp. tumbuh sangat banyak pada salinitas 0%, 1.5% dan 3%, sementara tumbuh sedikit pada salinitas 5%.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya diharapkan dapat menggunakan bakteri yang lebih
bervariasi dan memiliki pengaruh besar pada lingkungan budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Austin B. dan Austin, D.A. 1989. Methods For The Microbilogical Examination Of Fish and Shellfish. Department of Biological Sciences. Chishester Publisher. New York. Hatmanti, A. 2000. Pengenalan Bacillus spp. Jurnal Oseana, XXV (1); 31-41. Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A. Clark, D.P. 2012. Brock Biology of Microorganisms. 13th Ed. Pearson Education, Inc., Benjamin Cummings Publishing. Michael T. M.M, Jack P., 1997. Mirobial Growth In the Biology of Microorganisms. Prentice Hall Internatioal, Inc. United States of America. Pelczar, M.J. Dan Chan, E.C.S. 1986, Dasar-Dasar Mikrobiologi.Universitas Indonesia Press. Jakarta. Percival S L, RM Chalmers, M Embrey, P R Hunter, J Sellwood, P Wyn-Jones., 2004. Bacteriologi, In the Microbiology of Waterborne Diseases. Elsevier Academic Press. Great Britain. 21 – 209 P. Purwoko, T. Fisiologi Mikroba. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 277 hal. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-8 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin/24 November 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
PENGARUH BAHAN ANTIMIKROBA TERHADAP VIABILITAS BAKTERI
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Mikroorganisme ada yang dapat menyebabkan bahaya dan kerusakan,
mereka dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, maupun tanaman. Mikroorganisme juga mampu mencemari makanan sehingga makanan tersebut tidak layak dimakan bahkan beracun. Oleh karena itu perlu adanya pengendalian terhadap bakteri-bakteri ini, yaitu dengan menghambat, membasmi, atau membunuh mikroorganisme. Salah satu sarana pengendalian mikroorganisme adalah dengan menggunakan bahan antimikroorganisme atau antimikroba. Bahan antimikroba ini dapat berupa bahan kimia atau pun bahan alami. Pemakaian suatu bahan antimikroba merupakan suatu usaha untuk mengendalikan mikroorganisme, yaitu segala kegiatan yang dapat menghambat, membasmi atau menyingkirkan mikroorganisme. Bahan antimikroba yang efektif menghambat mikroorganisme antara lain: fenol dan persenyawaan fenolat, alkohol, halogen, logam berat, detergen, aldehide, dan kemosterilisator gas (Pelczar dan Chan 1986). Keberadaan bakteri di alam dapat menguntungkan dan merugikan bagi organisme lainnya. Peran positif bakteri antara lain sebagai penghasil antibiotik, sebagai dekomposer, membantu proses fermentasi, memperbaiki kualitas lingkungan, meningkatkan nutrisi dalam pakan, dan juga sebagai perantara dalam rekayasa genetika. Sementara peran negatif bakteri adalah sebagai patogen dan kontaminan yang terdapat pada produk. Selain zat kimia tersebut, beberapa mikroorganisme diketahui dapat meghasilkan produk metabolik yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain. Zat kimia ini dikenal sebagai antibiotik. Antibiotik merupakan produk metabolik yang dihasilkan suatu mikroorganisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau mengahambat mikroorganisme lain. Dengan perkataan lain, antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang menghambat mikroorganisme lain. Cara kerja zat-zat kimia dalam menghambat atau mematikan mikroorganisme itu berbeda-beda, beberapa diantaranya adalah mendenaturasi protein, merusak
96 membran, mengganggu sintesis protein, menghambat pembentukan dinding sel dan lain-lain. Pengaruh berbagai bahan antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri ini perlu diketahui agar ditemukan suatu antibiotik yang sesuai untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu, praktikum mengenai pengaruh bahan antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri ini sangat penting untuk dilaksanakan.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengamati pengaruh berbagai bahan
antimikroba terhadap viabilitas bakteri.
II. 2.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Praktikum dilaksanakan pada hari Senin tanggal 23 November 2014 pada
pukul 08.00-10.00 WIB. Sementara pengamatan dilakukan pada hari Selasa pukul 10.00 WIB tanggal 24 November 2014 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah dua petri medium TSA,
pinset, mikropipet, mikrotube, batang penyebar, tissue, korek api, dan bunsen. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kertas cakram, biakan cair bakteri Aeromonas hydrophila dan Bacillus sp. dalam eppendof, larutan PBS (Phosphat Buffer Saline), bahan-bahan antimikroba yaitu: larutan alkohol 50%, chlorampenicol, Garcina mangostana, dan alkohol 70% untuk sterilisasi.
2.3
Prosedur Kerja Alat-alat dan bahan yang diperlukan untuk praktikum disiapkan dan
diletakkan di atas meja kerja laboratorium. Langkah pertama yaitu pembagian cawan petri yang terdapat media agar menjadi tigas. Selanjutnya yaitu secara aseptik dilakukan pengambilan 0,1 ml suspensi biakan bakteri dengan mikropipet dan diteteskan pada media TSA. Tetesan diletakkan pada beberapa titik. Kemudian disebar secara merata dengan batang penyebar. Pinset dipanaskan di atas bunsen, kemudian kertas saring dalam eppendof diambil satu per satu dan dicelupkan sesuai dengan bahan antimikroba yang diujicobakan dan biarkan sebentar sampai kertas tidak terlalu basah atau larutan menetes (Gambar 28). Kertas saring selanjutnya diletakkan dibagian tengah masing-masing daerah yang telah dibagi sebelumnya sesuai bahan antimikroba (Gambar 29). Cawan diinkubasi dalam inkubator selama kurang lebih 24 jam, setelah itu diamati zona bening pada masing-masing kertas saring dan diukur diameternya.
98
Biakan Bakteri merata pada lempengan agar
disebarkan permukaan
Kertas cakram yang telah direndam dalam cairan fisiologis dan antimikroba diambil dengan pinset
Kertas cakram ditempatkan diatas permukaan lempengan agar
Setelah diinkubasi 24 jam diukur zona jernihnya
Gambar 29 Prosedur pengujian bahan antimikroba dengan metode zona hambat
chlorampenicol
PBS
G. mangostana
Alkohol 50%
Gambar 30 Cara penempatan kertas saring pada media TSA
99 Adapun rumus perhitungan untuk pengamatan zona bening adalah sebagai berikut: db =
𝑎+𝑏+𝑐 3
Keterangan : db a b c
= diameter daerah bening = diameter paling panjang (cm) = diameter paling pendek (cm) = diameter sedang (cm)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Hasil Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan mengenai pengaruh berbagai
bahan antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 12 Zona bening pada sebaran bakteri A. hydrophila Diameter Zona Bening (cm) No Bahan I III IV V II 1 PBS 0,6 0 0,1 0,6 0 2 Alkohol 70% 0,7 * 0,2 * 0,7 3 Alkohol 50% * * * 0,6 * 4 Alkohol 30% * 0,7 * * * 5 Rifamfisin 0,6 * 0,6 * * 6 Chlorampenicol * * * 0,6 1,5 7 Streptomisin * 0,7 * * * 8 Ekstrak Curcuma langa 30% 0,6 * 0,2 * * 9 Ekstrak Garcinia mangostana * * * 0,6 0 10 Ekstrak Nigella sativa * 0,8 * * * Keterangan : 0 = tidak terbentuk zona bening, (*) = tidak diuji pada ulangan tersebut.
Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa bahan antimikroba yang paling besar pengaruhnya terhadap viabilitas bakteri A. hydrophila adalah Chloramfenicol, lalu kemudian alkohol 70% dan Rifampisin, C. langa 30% G. mangostana 30 mg/ml. Sedangkan bahan antimikroba yang tidak berpengaruh, ditunjukkan dengan tidak adanya zona bening adalah alkohol 50%, alkohol 30%, dan streptomisin. Tabel 13 Zona bening pada sebaran bakteri NP5 Bacillus sp. Diameter Zona Bening (cm) No Bahan I III IV V II 1 PBS 0,8 1,2 0,1 0,7 2 Alkohol 70% 1,6 * 0,1 * 3 Alkohol 50% * * * 0,7 * 4 Alkohol 30% * 0,8 * * * 5 Rifampisin 1,8 * 0,9 * * 6 Chlorampenicol * * * 0,7 7 Streptomisin * 1,1 * * * 8 Ekstrak Curcuma langa 30% 0,8 * 0,1 * * 9 Ekstrak Garcinia mangostana * * * 1,0 1,1 10 Ekstrak Nigella sativa * 1,1 * * * Keterangan : 0 = tidak terbentuk zona bening, (*) = tidak diuji pada ulangan tersebut.
101 Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa bahan antimikroba yang paling besar pengaruhnya terhadap viabilitas bakteri Bacillus sp. adalah Rifampisin, lalu kemudian alkohol 70% dan Streptomisin. Sedangkan bahan antimikroba yang tidak berpengaruh, ditunjukkan dengan tidak adanya zona bening adalah alkohol 50%, alkohol 30%.
a
b
Gambar 31 (a) pengaruh bahan antimikroba terhadap bakteri Aeromonas hydrophila, dan (b) pengaruh bahan antimikroba terhadap bakteri Bacillus sp. 3.2
Pembahasan Antimikroba merupakan bahan yang digunakan untuk mengganggu
pertumbuhan dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pelczar dan Chan (1986) menjelaskan bahwa pemakaian bahan antimikroba merupakan suatu usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur. Baik dengan menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme. Sementara Antimikroba menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara bakteriostatik atau bakterisida. Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang esensial untuk pertumbuhan. Reaksi tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk mensintesis makromolekul seperti protein atau asam nukleat, sintesis struktur sel seperti dinding sel atau membran sel dan sebagainya. Menurut Kusmiati (2007) bahwa Keefektifan penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu senyawa antimikroba untuk diaplikasikan sebagai bahan antimikroba. Semakin kuat penghambatannya semakin efektif untuk digunakan. Senyawa antibakteri dapat bekerja sebagai bakteristatik, bakterisidal, dan bakterilitik. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada bakteri A. hydrophilla, menunjukkan
terbentuknya
zona
hambtan
tertinggi
pada
antibiotic
102 Chlorampenichol dan selanjutnya Alkohol 70%. Sedangkan untuk G. mangostana tidak terbentuk zona hambatan. Hal ini menunjukkan bahwa zona hambatan pada Chlorampenicol lebih efisien digunakan dalam membunuh bakteri A. hydrophilla. Menurut Waluyo (2011) bahwa Chlorampenicol bersifat bakteriostatik, aktif terhadap sejmlah bakteri gram positif dan negatif, antibiotik ini menghambat proses sintesis protein pada proses translasi. Adapun alkohol merupakan zat efektif dalam sterilisasi. Alkohol mendenaturasi protein sel bakteri dan merusakkan dinding sel bakteri gram negatif yang sebagian besar mengandung lemak. Rusaknya dinding sel juga akan merusak enzim-enzim seluler. Etanol murni kurang daya hambatnya, namun jika dicampur akuades, alkohol 50-70% dapat digunakan sebagai disinfektan. Menurut Purnomo (2007) bahwa antibiotik merupakan senyawa kimia yang diproduksi oleh suatu mikroorganisme dalam jumlah yang sangat sedikit yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain atau membunuh mikrooorganisme lain. Mekanisme kerja antibiotik yaitu menghambat sintesis dinding sel, menggangu fungsi membran sel, menghambat sintesis protein, menghambat sintesis asam nukleat dan berperan sebagai antimetabolit. Kloramfenikol adalah salah satu jenis antibiotik yang tidak berasal dari alam tetapi sepenuhnya disintesis melalui proses kimia. Meskipun antibiotik mempunyai spektrum yang luas sebagai tetrasiklin, tetapi sangat beracun bagi selsel manusia sehingga penggunaannya dibatasi.
Gambar 32 Struktur Chlorampenicol (Setiabudy dan Kunardi 2003)
103 Berbeda dengan hasil pengujian pada bakteri Bacillus sp. Pembentukan zona hambatan hanya pada pemberian G. mangostana, dimana zona yang terbentuk sebesar 1,1 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa G. mangostana lebih efektif digunakan sebagai antimikroba pada bakteri Bacillus sp dibandingkan dengan antimikroba lain. Proses penghambatan diduga karena G. mangostana mengandung senyawa fenol dan flavonois yang dapat merusak dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau mengahambat proses pembentukan dinding sel oleh bakteri. Menurut Norsileny (1998) bahwa Kandungan metabolit sekunder dalam kulit buah manggis yaitu tannin dan xanthone. Xanthone merupakan substansi kimia alami yang tergolong senyawa polyphenolic. Xanthone sangat bermanfaat
untuk
kesehatan tubuh
sebagai
antioksidan,
antiproliferatif,
antiinflamasi dan antimikroba. Senyawa lain adalah mangostin, garsinone, flavonoid dan tannin di buah manggis merupakan senyawa bioaktif fenolik. Senyawa-senyawa ini diduga berperan dalam menentukan jumlah antioksidan di manggis.
Gambar 33 Reaksi penguraian fosfolipida pada membran sitoplasma bakteri oleh flavon (Gilman et al. 1991 dalam Kurniaji 2014)
Kandungan senyawa antibakteri pada ekstraksi G. mangostana terdiri dari flavonoid yang berperan sebagai senyawa antibakteri. Menurut Purnobasuki (2004) bahwa senyawa flavonoid merupakan senyawa yang berpotensi sebagai senyawa antibiotik dan antibakteri karena memiliki aktifitas antioksidan.
104 Sedangkan menurut Andrawulan et al. (2010) bahwa flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang terdapat disetiap tanaman. Senyawa ini disintesis oleh tanaman sebagai sistem pertahanan dalam responnya terhadap infeksi oleh mikroorganisme, sehingga senyawa ini efektif sebagai senyawa antimikroba terhadap sejumlah mikroorganisma. Adapun senyawa fenol yang terdapat pula dalam ekstrak G. mangostana menurut Peoloengan dkk. (2006) bahwa seyawa fenol ini merupakan senyawa yang berfungsi sebagai antimikroba, dengan mekanisme penghambatan mikroba oleh fenol yakni merusak dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat proses pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, mendenaturasi protein sel, merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler. Adanya perbedaan antara zona hambat pada pengujian bakteri A. hydrophilla dan Bacillus sp. menunjukkan bahwa kedua bakteri memiliki kemampuan dalam
mempertahankan pertumbuhannya terhadap pengaruh
antimikroba. Diketahui bahwa bakteri A. hydrophilla merupakan bakteri dari gram negatif, sehingga dapat dihambat/dibunuh dengan pemberian Chlorampenicol dan Alkohol 70%. Bakteri gram negatif memiliki kandungan lemak (lipopolisakarida) yang lebih tinggi, sehingga dapat larut di alkohol dan menyebabkan lisis. Sedangkan Chloranpenicol diduga dapat menembus dinding sel dan menghambat proses sintesis protein. Adapun bakteri Bacillus sp tidak terhambat oleh alkohol dan Chlorampenicol karena dinding selnya tersusun atas peptidoglikan yang tebal sehingga dengan konsentrasi antibiotic dan alkohol demikian tidak mampu masuk kedalam sel. Namun untuk G. mangostana yang mengandung fenol, senyawa fenol dan flavonoid diduga mampu berikatan dengan fosfolipid pada dinding sel dan masuk ke dalam sel sehingga menganggu proses metabolit sel bakteri. Pada control digunakan larutan Phosphate buffered saline (PBS) mengandung natrium klorida, natrium fosfat, dan (dalam beberapa formulasi) kalium klorida dan kalium fosfat. PBS berfungsi membantu untuk menjaga konstan pH sehingga tidak memiliki efek untuk menghambat pertumbuhan bakteri, di samping itu PBS mampu mempertahankan mikroba tetap hidup pada
105 kondisi yang isotonis. PBS digunakan sebagai kontrol. Oleh karena itu hasil pengamatan menunjukkan tidak terbentuknya zona hambat. Penggunaan antimikroba sangat bermanfaat di bidang akuakultur karena dapat mengendalikan keberadaan mikroba patogen. Penggunaan antimikroba digunakan untuk menghindari penyakit yang disebabkan oleh bakteri, fungi dan mikroba lain. Hanya saya dalam penggunaannya perlu memperhatikan dosis yang tepat agar keberhasilan dalam membunuh bakteri yang merugikan tidak menganggu pertumbuhan organisme budidaya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
penggunaan antimikroba mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Pada pengujian bakteri A. hydrophilla, diperoleh zona hambatan tertinggi pada pemberian Chlorampenicol dan Alkohol 70%. Sedangkan pada pengujian Bacillus sp. diperoleh zona hambatan tertinggi pada pemberian G. mangostana. Hal ini karena kedua bakteri memiliki perbedaan sifat fisiologis dan struktur sel. Bakteri A. hydrophilla merupakan bakteri gram negatif sehingga dinding selnya mudah larut dalam alkohol sedangkan Bacillus sp termasuk bakteri gram positif, sehingga hanya bisa dihambat oleh ekstrak G. mangostana.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan zat
antimikroba yang lebih bervariasi utamanya jenis antibiotic dan bahan fitofarmaka lainnya, agar dapat dibandingkan secara kompleks pengaruhnya terhadap pertumbuhan bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N., Batari, R., Sandrasari, D. A., Bolling, B., Wijaya, H. 2010. Flavonoid Content and Antioxidant Activity of Vegetables From Indonesia. Food Chemistry Journal, 121: 1231–1235. Kurniaji, A. 2014. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Mangrove (Sonneratia alba) Pada Bakteri Vibrio harveyi Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Haluoleo. Kendari. Kusmiati, N.W.S. Agustini. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari Mikroalga Porphyridium cruentum. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong 16911. Biodiversitas. Volume 8, Nomor 1. Halaman : 48 – 53. Norsileny. 1998. Uji Daya Hambat Ekstrak Methanol,Fraksi Etil Asetat dan Fraksi Air dari Ekstrak Methanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana Linn) terhadap Pertumbuhan Jamur Microsporum gypseum dan Skrinning Kandungan Kimia secara KLT [skripsi]. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Surabaya Pelczar JM dan ECS Chan. 1988. Microbiology, Fifth Edition. University of Washington. Peoloengan, M., Chairul, Komala, I., Salamah, S., Susan, M. N. 2006. Aktivitas Antimikroba dan Fitokimia dari Beberapa Tanaman Obat. Jurnal Teknologi dan Veteriner. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. Purnobasuki, H. 2004. Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat. Hasil Penelitian Biota. FMIPA Universitas Airlangga, 9 (2): 125-126. Purwoko, T. Fisiologi Mikroba. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 277 hal. Setiabudy R dan Kunardi L. 2003. Golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Ganiswarna SG, editor. Farmakologi dan terapan. Edisi ke-4. Jakarta (ID): Gaya Baru. Hlm 657-659. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
Laporan Praktikum ke-9 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin/1 Desember 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
PEMBERIAN PENANDA BAKTERI PROBIOTIK UNTUK AKUAKULTUR
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkembangan usaha budidaya dibidang perikanan memacu perkembangan
penggunaan probiotik. Hal ini juga memicu peningkatan kegiatan ekplorasi bakteri-bakteri alam dari berbagai sumber yang potensial digunakan sebagai probiotik dan biokontrol. Penggunaan probiotik tersebut diarahkan pada pemecahan permasalahan berupa penurunan daya dukung lingkungan bagi kehidupan ikan yang dibudidayakan dan pencegahan peningkatan intensifitas organisme patogen. Selain itu pula, peningkatan penggunaan probiotik tersebut merupakan langkah solutif dari dampak penggunaan antibiotik yang seringkali menimbulkan resistensi terhadap organisme pathogen dan menimbulkan penurunan kualitas air. Probiotik ialah suplemen pakan berupa mikroba hidup yang bermanfaat dalam mempengaruhi hewan induk semang melalui perbaikan keseimbangan mikroba dalam usus (Fuller 1992 dalam Haetami dkk. 2008). Meskipun dalam definisi ini probiotik hanyalah merupakan pakan tambahan bagi ikan, namun dapat juga diaplikasikan pada manusia. Efek mikroorganisme di atas ialah mempengaruhi komposisi mikroba usus, yang berarti mempengaruhi ekosistem usus. Beberapa efek yang muncul akibat perubahan ekosistem usus ialah: meningkatkan resistensi terhadap penyakit infeksi, khususnya penyakit saluran pencernaan, mengurangi durasi diarrhea dan menurunkan konsentrasi kholesterol dalam serum. Mekanisme probiotik yang cukup menguntungkan ialah dapat merangsang reaksi enzimatik yang berkaitan dengan detoksifikasi, khususnya pada racun yang potensial menyebabkan keracunan, baik yang berasal dari makanan (exogenous) maupun dari dalam tubuh (endogenous); merangsang enzim yang berkaitan dengan proses pencernaan bahan yang kompleks atau enzim tersebut tidak ada dalam saluran pencernaan mammalia; dan mensintesis zat-zat yang esensial yang tidak cukup jumlahnya dari makanan. Selain perbaikan sistem pencernaan, probiotik juga dapat digunaka dalam mempertahankan kualitas air lingkungan budidaya dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen pada ikan atau udang yang dipeliharan.
109 Dalam aplikasi probiotik, seringkali digunakan penanda molekuler untuk mengetahui/menelusuri keberadaan probiotik, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat dari aplikasi probiotik benar berasal dari bakteri probiotik yang kita gunakan.
Penandan
tersebut
biasanya
menggunakan
antibotik
untuk
menumbuhkan bakteri uji probiotik yang resisten agar mudah dikenali saat setelah pengujian pada organisme. Antibiotik merupakan produk metabolit yang dihasilkan suatu mikroorganisme tertentu yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain. Terjadinya resisten oleh bakteri terhadap antibiotic karena terjadinya mutasi gen pada DNA bakteri. Oleh sebab itu praktikum pemberian penanda bakteri probiotik ini sangat penting untuk dilakukan.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari metode pemberian penanda
bakteri probiotik dengan melakukan uji sensitivitas antibiotik dan uji mutasi spontan.
II. METODOLOGI 2.1
Waktu dan Tempat Praktikum pemberian penanda bakteri probiotik dilaksanakan pada hari
Senin tanggal 1 Desember 2014 pukul 08.00-10.00 WIB. Sementara pengamatan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2014 pukul 10.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung eppendof,
mikropipet, mikrotube, bunsen, dan batang penyebar, jarum ose. Sementara bahan-bahan yang digunakan adalah isolat murni Bacillus sp. dengan kode isolate NP5 (pengenceran 100, 10-5, 10-6 dan 10-7) medium TSA, media TSA+antibiotik, biakan bakteri Bacillus sp. yang dipekatkan, serta alkohol 70%.
2.3
Prosedur Kerja
2.3.1 Uji Sensitivitas Antibiotik Prosedur kerja pada praktikum ini diawali dengan sterilisasi dan persiapan alat dan bahan. Kemudian biakan bakteri Bacillus sp. pada stok dengan pengenceran 100 di ambil dengan jarum ose secara aseptic kemudian digores secara zig zag pada media TSA yang telah disediakan sebelumnya. Penggoresan dilakukan pada cawan petri berisi media TSA saja dan cawan petri yang berisi media TSA yang telah dicampur antibiotik Chlorampenicol 25 ppm. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Lalu diamati viabilitas bakteri probiotik Bacillus sp. pada kedua media dan dibandingkan.
2.3.2 Uji Mutasi Spontan Prosedur kerja pada praktikum ini diawali dengan sterilisasi dan persiapan alat dan bahan. Kemudian melakukan pengenceran dari 100 biakan bakteri Bacillus sp. menjadi 10-5, 10-6 dan 10-7. Biakan cair bakteri Bacillus sp.
111 pengenceran 10-5, 10-6 dan 10-7 masing-masing selanjutnya diambil 50 µl menggunakan mikropipet dan disebar secara merata di atas medium TSA dengan menggunakan batang penyebar secara steril. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Begitu juga dengan biakan cair bakteri Bacillus sp. yang telah dipekatkan diambil 50 µl menggunakan mikropipet dan disebar secara merata di atas medium TSA + antibiotik dengan menggunakan batang penyebar. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Terakhir, jumlah koloni bakteri pada pengenceran 10 -5, 10-6 dan 10-7 (kontrol) dihitung dengan menggunakan metode perhitungan cawan. Begitu juga dengan media TSA+antibiotik, diamati jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Jika terdapat koloni bakteri, maka uji mutasi positif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berdasarkan hasil pengamatan uji sensitivitas antibiotik diperoleh hasil
sebagai berikut: Tabel 14 Hasil uji sensivitas dan jumlah kepadatan bakteri setelah uji mutasi spontan pada pengenceran yang berbeda Uji Sensivitas TPC Uji Mutasi Spontan (cfu/ml) Isolat K + Ab 100 + Ab 10-5 K 10-6 K 10-7 K 8 1 + TBUD 11,3 x 10 0 2 + TBUD 29,8 x 108 0 3 + 28,9 x 105 98,0 x 106 0 4 + 15,6 x 105 42,0 x 106 98,0 x 108 5 + 44,7 x 105 10,0 x 106 0 Keterangan : K = kontrol, Ab = antibiotik, TPC = Total Plate Count atau kepadatan bakteri (cfu/ml), (+) = resisten, (-) = sensitif, 0 = jumlah koloni 30, TBUD = Terlalu Banyak Untuk Dihitung ( 300 koloni bakteri). Kelompok
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 14, dapat diinterpretasikan bahwa bakteri Bacillus sp. dengan pengenceran 100 tumbuh pada media TSA namun tidak tumbuh pada media TSA bersama antibiotik. Sementara pada uji mutasi spontan bakteri Bacillus sp. pada kontrol pengenceran 10-5 diperoleh TBUD, pengenceran 10-6 diperoleh kepadatan 29,8 x 108 cfu/ml, dan pada pengenceran 10-7 diperoleh 0 atau kepadatan bakteri dibawah 30. Adapun kepadatan bakteri Bacillus sp. yang telah dipekatkan yang disebar di media TSA bersama antibiotik tidak tumbuh sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada bakteri Bacillus sp. yang berhasil melakukan mutasi.
TSA
TSA+Antibiotik
Gambar 34 Hasil Uji Sensitifitas
113
Biakan TSA 10-0
Biakan TSA 10-5
Biakan TSA 10-7
Biakan TSA 10-6
TSA+Antibiotik
Gambar 35 Hasil Uji mutasi spontan
3.2
Pembahasan Penggunaan probiotik pada akuakultur adalah antisipasi yang paling baik
guna mencegah infeksi mikrobial dan untuk menggantikan antibiotic dan khemoterapi. Probiotik sendiri merupakan suplementasi sel mikroba hidup pada pakan yang menguntungkan inangnya dengan memperbaiki keseimbangan dalam intestinalnya. Menurut Irianto (2003) bahwa probiotik merupakan selain untuk perbaikan pakan, dimaksudkan juga untuk perbaikan lingkungan hidupnya baik untuk meningkatkan sistem imun dan pertumbuhan. Oleh sebab itu probiotik merupakan produk yang mengandung mikroorganisme hidup non patogen yang berfungsi sebagai penghambat bakteri patogen. Bakteri probiotik dapat diperoleh dari tubuh inangnya. Sebagaimana teknik seleksi probiotik, maka hal terpenting yang dilakukan adalah menguji kemampuan isolat-isolat murni bakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan metode in vitro. Metode in vitro ini dilakukan baik dengan melihat pembentukan zona hambatan maupun dengan pengujian menggunakan medium cair. Menurut Kurniaji (2014) bahwa pengujian
114 in vitro untuk melihat pertumbuhan populasi bakteri dilakukan dengan dua tahapan yakni dengan mengamati terbentuknya zona hambatan (kualitatif) maupun dengan perhitungan bakteri yang sebelumnya ditumbuhkan pada media cair (kuantitatif), sehingga dapat ditentukan jenis bakteri yang memiliki zona daya hambat tertinggi terhadap bakteri patogen atau mengetahui jumlah bakteri petogen yang berhasil dihambat oleh kandidat bakteri probiotik. Setelah didapatkan kandidat probiotik yang diinginkan, maka selanjutnya dilakukan penanda. Penanda ini bertujuan untuk memastikan bahwa bakteri yang naninya di uji secara in vitro benar-benar kandidat bakteri probiotik yang telah diseleksi sebelumnya. Pada praktikum ini dilakukan pemberian penanda dengan menggunakan antibiotik. Berdasarkan hasil pengamatan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. dengan pengenceran 100 tumbuh pada media TSA namun tidak dapat tumbuh pada media TSA yang mengandung antibiotik. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap antibiotik, sehingga tidak mampu resisten terhadap antibiotik. Antibiotik yang digunakan dalam pengujian ini adalah Chlorampenicol. Antibiotik itu sendiri merupakan agen antimikroba yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Antibiotik diproduksi oleh berbagai jenis bakteri maupun mikroorganisme laiinya yang memiliki fungsi untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme lain. Menurut Madigan etl al. (2012) bahwa ada beberapa mekanisme antibiotik dalam menghambat pertumbuhan bakteri yakni dengan penghambatan sintesis dinding sel, merusakkan struktur membran sel atau fungsi-fungsi organel sel bakteri, menghambat struktur dan fungsi dari DNA dan RNA, menghambat proses sintesis protein pada tahapan translasi serta melakukan blok pada jalur metabolisme. Adapunmekanisme penghambatan Chlorampenicol adalah dengan menghambat proses sintesis protein sel bakteri (Madigan et al. 2012). Chloramfenikol merupakan turunan asam dikloroasetat yang mengandung gugus nitrobenzene. Chloramfenikol berikatan secara irreversibel dengan reseptor pada sub unit ribosom 50S dan menghambat kinerja enzim peptidil transferase sehingga pembentukan ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein tidak terjadi. Chloramfenikol dapat diisolasi dari Streptomyces venezuelae. Chloramfenikol
115 bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisidal terhadap mikroba-mikroba tertentu (Setiabudy dan Kunardi 2003).
Gambar 36 Mekanisme kerja antibiotic (Madigan et al. 2012)
Berdasarkan hasil pengujian sensitivitas sel bakteri, maka dilanjutkan dengan pengujian mutasi spontan bakteri Bacillus sp. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada inokulasi bakteri yang telah dipekatkan, tidak terdapat bakteri yang tumbuh pada media yang mengandung antibiotik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada bakteri Bacillus sp. yang berhasil melakukan mutasi. Sedangkan pada kontrol pengenceran 10-5 diperoleh hasil TBUD, pengenceran 10-6 diperoleh kepadatan 29,8 x 108 cfu/ml, dan pada pengenceran 10-7 diperoleh hasil 0 atau kepadatan bakteri dibawah 30. Hal ini menunjukkab bahwa tidak adanya proses resistensi yang terjadi dari bakteri Bacillus sp, padahal control menunjukkan bahwa pertumbuhan tanpa antibiotic pada media, Bacillus sp dapat tumbuh secara normal. Proses resistensi sendiri merupakan kondisi dimana sel bakteri telah mengalami mutasi gen, sehingga mampu hidup pada media yang mengandung antibiotik. Menurut Jawetz (1997) bahwa resistensi terhadap suatu antibiotik dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotik, bakteri mampu mengubah permeabilitas
116 dirinya terhadap obat, bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat, bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat, dan bakteri mampu mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat daripada enzim pada bakteri yang rentan (Jawetz 1997). Sedangkan menurut Madigan et al. (2012) bahwa mikroba menjadi resisten karena beberapa sebab antara lain; (1) mutasi spontan pada kromosom gen, atau (2) akuisisi gen baru pada seluruh atau satu set gen melalui transfer dari spesies lain. Resistensi juga bisa terjadi melalui transfer intermicrobial dari kromosom gen dan plasmid yang disebut resistensi (R) faktor (Gambar 35).
Gambar 37 Proses transfer resistensi antimikroba (Madigan et al. 2012)
Beberapa hal yang menyebabkan bakteri menjadi resisten antara lain adanya enzim alternatif yang menonaktifkan antibiotik karena aktifnya gen baru, permeabilitas atau penyerapan antibiotik ke dalam bakteri mengalami penurunan atau dieliminasi, mikroba melibatkan transportasi khusus yang menghilangkan efek antimikroba seperti melalui virus, mengurangi nilai afinitas pada binding site, hal ini bisa terjadi melalui mutasi atau akuisisi gen baru. Kemduian jalur metabolisme yang terkena efek antibiotik dimatikan dengan alternatif jalur metabolisme lain.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian penanda bakteri probiotik dengan melakukan uji sensitivitas antibiotik dan uji mutasi spontan menunjukkan hasil negatif. Hasil pengamatan uji sensitivitas menunjukkan bakteri Bacillus sp. dengan pengenceran 100 tumbuh pada media TSA namun tidak tumbuh pada media TSA yang mengandung antibiotik. Sedangkan hasil uji mutasi spontan menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. pada kontrol tumbuh sedangkan pada bakteri yang dipekatkan dan diinokulasi pada media TSA yang mengandung antibiotic tidak terdapat pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp. memiliki sensitivitas tinggi dan tidak dapat mengalami mutasi.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya diharapkan dapat dilaksanakan dengan menggunakan
kandidat bakteri probiotik yang beragam dan penggunaan antibiotik yang berbeda agar dapat dibandingkan resistensi terhadap antibotik dan memungkinkan terjadinya mutasi spontan.
DAFTAR PUSTAKA
Haetami, K., Abn, Mulayani, Y. 2008. Studi Pembuatan Probiotik bacillus lichenformis, Aspergullus niger, dan Sacharomices cereviceae Sebagai Feed Suplement serta Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Merah. Laporan Penelitian. DIKTI. Irianto. 2003. Probiotik Akuakultur. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical pharmacology. Third Edition. Appleton ang Lange, Norwalk. Kurniaji, A. 2014. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Mangrove (Sonneratia alba) Pada Bakteri Vibrio harveyi Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Haluoleo. Kendari. Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A. Clark, D.P. 2012. Brock Biology of Microorganisms. 13th Ed. Pearson Education, Inc., Benjamin Cummings Publishing Setiabudy R, Kunardi L. 2003. Golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Ganiswarna SG, editor. Farmakologi dan terapan. Edisi ke-4. Jakarta (ID): Gaya Baru. Hlm 657-659.
Laporan Praktikum ke-10 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Senin/8 Desember 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
SELEKSI BAKTERI PROBIOTIK UNTUK AKUAKULTUR
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Akuakutur merupakan kegiatan perikanan yang menjanjikan penyediaan
pemenuhan nutrisi bagi masyarakat selain penangkapan. Salah satu kendala yang dihadapi oleh pembudidaya adalah timbulnya berbagai jenis penyakit, baik infeksius maupun non infeksius. Penyakit infeksius umumnya disebabkan oleh berbagai pathogen salah satunya adalah bakteri. Bakteri patogen tersebut menyerang dalam sel inang melalui berbagai cara baik menurunkan kualitas air, memicu pertumbuhan bakteri pathogen lainnya bahkan hingga menginfeksi inang secara langsung. Sehingga hal ini dapat menimbulkan penyakit bahkan kematian massal pada organisme budidaya. Berbagai upaya telah dilakukan, baik pemberian antibiotic maupun vaksinasi. Namun hasilnya menunjukkan tingkat resistensi yang semakin meninggi. Sehingga dikembangkan teknologi baru yang memanfaatkan mikroba hidup untuk menekan pertumbuhan bakteri pathogen ataupun meningkatkan immunitas inang yang disebut probiotik. Probiotik merupakan sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya. Mikroba hidup tersebut biasanya ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan inang dengan memperbaiki keseimbangan mikroba dalam sistem pencernaannya. Sehingga sel tersebut harus dapat melalui saluran pencernaan agar dapat memberikan efek setelah dikonsumsi inang. Pada hewan akuatik selain pencernaan, air di sekeliling organisme tersebut juga memegang peranan penting. Sehingga probiotik untuk hewan akuatik selain untuk memperbaiki mikroflora pada pencernaan juga sebagai agen untuk perbaikan kualitas air dan meningkatkan imunitas. Menurut Verschuere et al. (2000) dalam Widanarni dkk. (2014) bahwa probiotik untuk hewan akuatik adalah agen memberikan pengaruh menguntungkan pada inang, menjamin perbaikan dalam penggunaan pakan atau memperbaiki nilai nutrisinya, memperbaiki respon inang terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas lingkungan ambangnya Seleksi bakteri probiotik untuk kegiatan pemeliharaan larva hewan akuatik dapat mencakup beberapa tahapan dengan tujuan akhir memperoleh bakteri
120 probiotik yang memiliki kemampuan tinggi dalam berkompetisi dengan bakteri patogen, tidak bersifat patogen bagi inang, dan dapat digunakan secara ekonomis. Secara umum, sebelum melakukan penanda probiotik, terlebih dahulu seleksi kandidat probiotik dilakukan dengan menguji kemampuan isolat-isolat murni bakteri yang telah diperoleh dari berbagai sampel dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Oleh sebab itu, untuk mengatahui teknik seleksi bakteri probiotik akuakultur dengan mengingat potensi penggunaan bakteri probiotik yang sangat penting dalam akuakultur, maka praktikum ini penting untuk dilakukan.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari metode seleksi bakteri probiotik
untuk akuakultur.
II. METODOLOGI
2.1
Waktu dan Tempat Praktikum seleksi bakteri probiotik untuk akuakultur dilaksanakan dalam
pada hari selasa, tanggal 8 Desember 2014 pukul 08.00-10.00 WIB. Sementara untuk pengamatan dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 9 Desember 2014 pukul 10.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan terdiri dari mikropipet, tip pipet, bunsen, tabung
eppendof dan batang penyebar. Sementara bahan-bahan yang digunakan adalah isolat
murni
Bacillus
sp.
dengan
kode
isolate
NP5,
isolat
murni
Pseudoalteromonas sp. dengan kode isolate I-UB,. dan Vibrio alginolyticus dengan kode isolate SKTB, isolate murni Vibrio harveyi dengan pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7. media SWC, media SWC yang mengandung pati, media SWC yang mengandung minyak zaitun, media SWC yang mengandung skim milk, medium TCBS, larutan Kalium Iodida, larutan CuSO4 serta alkohol 70%.
2.4 Prosedur Kerja 2.3.1 Uji Amilase Tahapan pertama adalah proses sterilisasi dan penyiapan alat serta bahan yang akan digunakan. Kemudian media SWC yang mengandung pati disiapkan dengan membagi tiga sector, setiap sector akan diinokulasikan bakteri yang berbeda yakni (NP5, SKTB dan I-UB). Pati yang digunakan adalah tepung tapioka karena mengandung amilopektin paling besar dibandingkan dengan jenis tepung lainnya. Selanutnya setiap isolat bakteri diambil secara aseptik menggunakan jarum ose dan digoreskan secara zig zag pada media. Kemudian media diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi, media yang telah ditumbuhi bakteri diteteskan indikator amilum yaitu larutan KI pada permukaan media. Kemudian diamati indeks amilolitik dengan melihat diameter zona bening yang
122 terbentuk. Jika terbentuk zona bening, maka isolate bakteri positif memiliki enzim amilase yang dapat mengurai pati. Semakin besar zona bening yang terbentuk berarti semakin kuat aktivitas bakteri memanfaatkan amilum yang terkandung dalam media.
SKTB
I-UB
NP5
SWC + Pati
Inkubasi 24 Jam
Genangi dengan KI
Amati Zona Litik (Bening +)
Gambar 38 Tahapan Proses Uji Amilase
2.3.2 Uji Lipase Prosedur yang sama dengan uji amylase, tahapan pertama dimulai dengan proses sterilisasi dan penyiapan alat serta bahan yang akan digunakan. Kemudian media SWC yang mengandung minyak zaitun disiapkan dengan membagi tiga sector, setiap sector akan diinokulasikan bakteri yang berbeda yakni (NP5, SKTB dan I-UB). Minyak zaitun yang dipilih karena minyak ini mudah larut di air, sehingga bisa digunakan dalam media. Selanutnya setiap isolat bakteri diambil secara aseptik menggunakan jarum ose dan digoreskan secara zig zag pada media. Kemudian media diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi, media yang telah ditumbuhi bakteri diteteskan indikator protein yaitu larutan CuSO4 pada
123 123 permukaan media. koloni yang berwarna hijau tosca merupakan koloni bakteri probiotik yang mampu memanfaatkan lipid yang terkandung dalam media.
SKTB
I-UB
NP5
SWC + Minyak Zaitun
Inkubasi 24 Jam
Genangi dengan CuSO4 Amati Zona Litik (Hijau Tosca +)
Gambar 39 Tahapan Proses Uji Lipase
2.3.3 Uji Protease Prosedur yang sama dengan uji lipase, tahapan pertama dimulai dengan proses sterilisasi dan penyiapan alat serta bahan yang akan digunakan. Kemudian media SWC yang mengandung Skim Milk disiapkan dengan membagi tiga sektor, setiap sector akan diinokulasikan bakteri yang berbeda yakni (NP5, SKTB dan IUB). Selanutnya setiap isolat bakteri diambil secara aseptik menggunakan jarum ose dan digoreskan secara zig zag pada media. Kemudian media diinkubasi selama 24 jam.
Setelah diinkubasi, buka cawan petri diamati diameter zona
bening yang terbentuk. Zona bening yang terbentuk memperlihatkan aktivitas enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri, semakin besar zona bening yang terbentuk berarti semakin kuat aktivitas bakteri memanfaatkan protein yang terkandung dalam media.
124
SKTB
I-UB
NP5
SWC + Minyak Zaitun
Inkubasi 24 Jam
Genangi dengan CuSO4
Amati Zona Litik (Hijau Tosca +)
Gambar 40 Tahapan Proses Uji Protease 2.3.4 Uji Kompetisi/Kultur Bersama Tahapan awal yakni sterilisasi meja dan lingkungan menggunakan alkohol 70% dan mempersiapkan alat dan bahan. Selanjutnya biakan bakteri V. harveyi yang telah dikultur pada media SWC diambil 103 dan dimasukan pada media SWC cair untuk dikultur bersama. Kemudian biakan bakteri Pseuoalteromonas yang juga sebelumnya dikultur pada media SWC dimasukan 10 6 pada media SWC cair yang telah mengandung biakan bakteri V. harveyi. Selanjutnya dihomogenkan dan diinokulasikan sebanyak 50 µl pada media TCBS dengan pengenceran 10 -2 dan 10-3. Adapun untuk kontrol atau uji kompetisi, bakteri V. harveyi yang telah disiapkan 103 pada tabung ependof, diambil 100 µl dan dimasukkan pada media SWC selanjutnya disebar sebanyak 50 µl pada media TCBS dengan pengenceran 10-5, 10-6, 10-7. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Begitu juga dengan biakan cair V. harveyi + kandidat bakteri probiotik 1UB pengenceran 10-2 Jumlah koloni dihitung dengan menggunakan metode perhitungan cawan. Keberhasilan diukur dari jumlah koloni V. harveyi yang
125 terbentuk pada kontrol, semakin banyak koloni V. harveyi yang terbentuk pada kontrol semakin baik kinerja bakteri probiotik.
VH
IUB
SWC
SWC
100 µl
103
100 µl
106
Uji Kultur Bersama
SWC 50µl
Kontrol
SWC
10-2
10-3
50µl
TCBS
10-5
10-6
10-7
Gambar 41 Tahapan Proses Uji Kompetisi dan Uji Kultur Bersama
III.
3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Berdasarkan hasil pengamatan uji amilase, uji lipase, dan uji protease pada
medium SWC oleh bakteri kandidat probiotik, diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 15 Hasil uji seleksi dan TPC uji kompetisi dan kultur bersama bakteri NP5, SKT-b, dan 1-Ub pada pengenceran berbeda Uji Seleksi TPC Uji Kompetisi TPC Kultur Bakteri (cfu/ml) Bersama (cfu/ml) A L P 10-5 K 10-6 K 10-7 K 10-2 10-3 A + + 1 B + TBUD 2,4 x 109 0 0 0 C + + + A + 2 B + TBUD 1,5 x 109 0 C + + + A 3 B 3,7 x 108 8,0 x 108 0 C + A + + 4 B + TBUD 6,0 x 108 0 0 0 C + + A + + 5 B + + TBUD 194 x 108 0 0 C + + Keterangan : Isolat A = NP5, Isolat B = SKT-b, Isolat C = 1-Ub, Uji Seleksi A = uji Amilase, L = uji Lipase, P = uji Protease, TPC = Total Plate Count atau kepadatan bakteri (cfu/ml), K = kontrol, (+) = tumbuh, (-) = tidak tumbuh, 0 = jumlah koloni 30, TBUD = Terlalu Banyak Untuk Dihitung (300 koloni bakteri). Kelp
Isolat
Berdasarkan data pada Tabel 15, diketahui bahwa isolate bakteri A, B, dan C pada uji amilase membentuk zona bening. Zona bening yang terbentuk merupakan akibat aktivitas amilolitik bakteri isolat. Namun pada kelompok 3 uji amylase negatif pada bakteri A dan B serta pada kelompok 4 uji amylase negatif pada bakteri B. Pada uji lipase bakteri A, B, dan C juga membentuk zona bening yang menunjukkan bahwa bakteri isolat mempunyai enzim lipolitik. Namun hanya ditemukan pada hasil pengujian kelompok 5, sedangkan kelompok lain diperoleh hasil positif hanya pada bakteri isolate C. Koloni yang berwarna hijau tosca, artinya isolat bakteri melakukan aktivitas lipolitik. Sedangkan pada uji protease bakteri A menunjukkan hasil positif pada kelompok 1 dan 4 sedangkan yang lain negatif, kemudian bakteri B menunjukkan hasil positif hanya pada
127 kelompok 4, dan pada bakteri C diperoleh hasil positif pada kelompok 1 dan 2. Hasil positif menunjukkan perubahan warna kuning. a
b
c
Gambar 42 Hasil pengujian (a) amilase, (b) lipase, (c) protease
Berdasarkan data yang terdapat dalam tabel tersebut, dipeoleh pertumbuhan bakteri pada pengenceran 10-5 bahkan hingga hasil koloni (TBUD) setelah diinkubasi. Sementara pada pengenceran 10 -6 diperoleh koloni 8,0 x 108 hingga 2,4 x 109, dan pada pengenceran 10-7 tidak ditemukan koloni bakteri yang tumbuh. Sedangkan pada pengujian kultur bersama, tidak ditemukan koloni bakteri V. harveyi yang tumbuh pada media atau koloni tumbuh dibawah 30 koloni. Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteri probiotik yang digunakan memiliki aktifitas hambatan yang tinggi terhadap pertumbuhan Vibrio harveyi. b
a
d
c
e
Gambar 43 Hasil pengujian kultur kompetisi (a:10 -5, b:10-6, c:10-7) dan Uji Kultur Bersama (d: 10-2, e: 10-3)
128 3.2
Pembahasan Probiotik memiliki peranan penting dalam dunia akuakultur. Peran tersebut
diantaranya menjaga kesehatan ikan dan mengendalikan populasi pathogen di lingkungan. Menurut Fuller (1992) dalam Widanarni dkk. (2014) bahwa probiotik adalah mikroba hidup yang ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan inang dengan memperbaiki keseimbangan mikrob ususnya. Probiotik umunya juga bertindak sebagai agen yang menjamin perbaikan dalam penggunaan pakan atau memperbaiki nilai nutrisinya, memperbaiki respon inang terhadap penyakit, dan memperbaiki kualitas lingkungan ambangnya. Dalam aplikasinya probiotik seringkali diperoleh dari alam dimana juga digunakan prebiotik sebagai suplementasi makanan probiotik, kombinasi keduanya disebut sinbiotik. Menurut Ringo et al. (2010) Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh inang namun dapat dimetabolisme oleh bakteri yang menguntungkan. Prebiotik dapat meningkatkan dan mengoptimalkan peran mikroflora dalam saluran pencernaan sehingga dapat menekan jumlah patogen dalam tubuh inang serta meningkatkan sistem imun inang. Sedangkan Collin (1999) dalam Manurung (2008) sinbiotik (Eubiotik), merupakan metode alternatif yang digunakan untuk mengatur keberadaan mikroflora dalam inang. Sinbiotik merupakan kombinasi antara probiotik dan prebiotik. Pelaksanaan praktis dari sinbiotik misalnya dengan menambahkan fructooligosaccharide (FOS) yang dikombinasikan dengan bifidobacterium atau lactitol yang dikombinasikan dengan bakteri Lactobacillus ke dalam komposisi pakan. Keuntungan dari kombinasi ini adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik oleh karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih sempurna dari kombinasi ini. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukkan bahwa isolat bakteri Bacillus sp., V. algynoliticus, dan bakteri Pseudoaltermonoas. pada uji amilase membentuk zona bening. Zona bening yang terbentuk merupakan akibat aktivitas amilolitik bakteri isolat. Pada uji lipase isolate bakteri Bacillus sp. dan V. algynoliticus tidak membentuk zona bening yang menunjukkan bahwa bakteri tersebut tidak mempunyai enzim lipolitik. Berbeda dengan bakteri bakteri
129 Pseudoaltermonoas yang menunjukkan hasil positif memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lipid. Koloni yang berwarna hijau tosca, artinya isolat bakteri melakukan aktivitas lipolitik. Begitu halnya pada pengujian protease, bakteri Bacillus sp. dan V. algynoliticus menunjukkan hasil negatif sedangkan bakteri Pseudoaltermonoas menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya koloni yang berwarna hijau tosca, artinya isolat bakteri tidak melakukan aktivitas proteolitik. Bakteri Bacillus sp. merupakan bakteri yang dapat memproduksi enzim amilase tinggi sehingga sering diguakan dalam keperluan industri. Menurut Sivaramakrishnan et al. (2006) dalam
Zahidah dan Shovitri (2013) bahwa
Bacillus merupakan genus bakteri penghasil enzim amilase ekstraseluler terbesar. Beberapa spesies dari genus ini, seperti B. subtillis, B. stearothermophilus, B. lichenformis dan B. amyoliquefasciens seringkali digunakan untuk memproduksi enzim amilase secara komersial untuk berbagai keperluan. Sedangkan menurut Wang et al. (2009) bahwa selulase dan enzim pendegradasi selulosa lainnya, seperti xylanase merupakan enzim yang umum ditemukan pada kelompok Bacillus. Gen yang bertanggung jawab atas aktivitas endoglukanase juga telah berhasil dikloning dari spesies kelompok Bacillus. Endo-β-glucanase terutama bertanggung jawab untuk hidrolisis ikatan glikosidik internal untuk mengurangi panjang dari rantai selulosa. Adapun untuk aktifitas enzim protease, Menurut Zahidah dan Shovitri (2013) bahwa Bacillus hanya memiliki sebagian kecil aktifitas enzim protease. Bakteri Pseudoalteromonas sp. merupakan bakteri yang dapat menghasilkan enzim amilase, menurut Pangastuti (2002) bahwa bakteri Pesudomonas mampu menghasilkan enzim amilase. Enzim yang disandikan oleh gen Gen amyH dari H. meridian. Gen ini menunjukkan kekerabatan dekat dengan gen penyandi amilase dari P.haloplanktis, isolat bakteri psikrofil yang berasal dari Antartika. Enzim amilase mengkatalisis hidrolisis ikatan 1,4 pati menghasilkan maltodekstrin linear pendek. Enzim ini digunakan secara luas dalam industri makanan dan deterjen. Penggunaan amilase dari bakteri halofil dapat memberikan keuntungan karena memiliki aktivitas optimum di kadar garam tinggi. Adapun bakteri V. algynoliticus juga mampu menghasilkan enzim amilase dan protease, hasil l penelitian Widanarni et al. (2003) menunjukkan bahwa bakteri SKT-b atau V.
130 algyniliticus mampu menghasilkan enzim protease dan amilase. Enzim exogenous tersebut akan membantu enzim endogenous pada inang untuk menghidrolisis nutrien pakan. Hal ini akan meningkatkan ketersediaan nutrien yang siap diserap dari saluran pencernaan untuk masuk ke pembuluh darah, dan akan diedarkan ke seluruh bagian tubuh dan jaringan yang dibutuhkan dalam proses metabolisme selanjutnya. Semakin tinggi nutrien pakan yang tercerna, semakin besar pula kemungkinan nutrien tersebut dimanfaatkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Selain itu, peningkatan pertumbuhan dapat disebabkan pula karena adanya peningkatan nutrisi pakan (terutama protein). Bakteri merupakan salah satu sumber protein mikrobial sehingga pemberian bakteri dalam pakan mampu meningkatkan protein pakan. Berdasarkan data yang terdapat pada pengujian kultur bersama, dipeoleh pertumbuhan bakteri pada pengenceran 10 -5 bahkan hingga hasil koloni (TBUD) setelah diinkubasi. Sementara pada pengenceran 10-6 diperoleh koloni 1,5 x 109 cfu/ml, dan pada pengenceran 10-7 tidak ditemukan koloni bakteri yang tumbuh. Sedangkan pada pengujian kultur bersama, tidak ditemukan koloni bakteri V. harveyi yang tumbuh pada media atau koloni tumbuh dibawah 30 koloni. Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteri probiotik yang digunakan memiliki aktifitas hambatan yang tinggi terhadap pertumbuhan V. harveyi. Bakteri V. harveyi yang berasal dari laut ini memiliki ciri khusus yang menyala pada kondisi gelap sehingga mudah dikenali diperairan tambak. Berikut ini klasifikasi bakteri V. harveyi menurut Kirkup et al. (2010) yang menyebutkan: Kingdom
: Bacteria
Phyllum
: Proteobacteria
Class
: Gammaproteobacteria
Order
: Vibrionales
Family
: Vibrionaceae
Genus
: Vibrio
Species
: Vibrio harveyi Gambar 44 Karakteristik Morfologi Koloni Bakteri V. harveyi pada media TCBSA Kurniaji (2014)
131 Vibrio harveyi adalah spesies bakteri gram negatif anggota genus Vibrio. Vibrio harveyi umumnya hidup bebas pada perairan laut tropis pada suhu 4-35oC. Ciri-ciri bakteri ini adalah berbentuk koma, bersifat motil, ukuran sel 1- 4 mikron, anaerobik fakultatif, halofilik dan termasuk bakteri yang memiliki bioluminescent (Austin and Zhang 2006). V. harveyi menyebakan penyakit vibriosis pada udang windu. Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri V. harveyi mempunyai sifat menyerang yang ganas. Hal ini karena bakteri V. harveyi dilengkapi dengan flagel dan mampu tumbuh pada kondisi yang ekstrim. Sehingga seringkali menjangkiti berbagai jenis ikan dan udang utamanya udang windu (P. monodon). Tidak hanya menyebabkan penyakit vibriosis, bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit udang bengkok dan pengrusakan sirip pada ikan (Kordi, 2011). V. harveyi telah menyebabkan peningkatan mortalitas udang di tambak. Penggunaan antibiotik telah memberikan peningkatan resistensi terhadap bakteri itu sendiri, sehingga penggunaannya akan menjadi sia-sia (Moriarty 1999). Hasil praktikum pada uji kultur bersama menunjukkan keberhasilan Pseudoalteromonas dalam menghambat pertumbuhan bakteri V. harveyi. Oleh sebab itu bakteri ini dapat digunakan dalam aplikasi probiotik pada hewan akuatik. Menurut Widanarni dkk. (2003) V. algynoliticus (SKT-b) dan Pseudoalteromonas (1UB) sangat potensial menghambat pertumbuhan V. harveyi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa bakteri
Bacillus sp memiliki aktiftas amilolitik namun tidak pada aktifitas lipolitik dan proteoliti. Begitu halnya pada bakteri V. algynoliticus juga memiliki aktifitas amilolitik namun tidak pada lipolitik dan proteolitik. Sedangkan pada pengujian bakteri Pseudoalteromonas menunjukkan adanya aktifitas amilolitik dan proteolitik, sementara lipolitik tidak ada. Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa bakteri V. algynoliticus mampu menghambat pertumbuhan bakteri V. harveyi sehingga potensial untuk digunakan pada aplikasi probiotik.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya diharapkan dapat dilaksanakan dengan menggunakan
kandidat bakteri probiotik yang berbeda untuk uji kultur bersama, sehingga dapat diketahui kandidat probiotik yang dapat menghambat pertumbuhan V. harveyi.
DAFTAR PUSTAKA Austin B dan Zhang XH. 2006. Vibrio harveyi: a significant pathogen of marine vertebrates and invertebrates. Letters in Applied Microbiology 43 (2): 119–214. Kirkup, B. C., Leeann Chang, Sarah Chang, Gevers, D., Polz, M. F. 2010. Vibrio Chromosomes Share Common History. BMC Microbiology Research Article. Cambridge MA, USA. 10 hal. Kordi, K. M. G. 2011. Marikultur, Prinsip dan Praktik Budidaya Laut. Lily Publiser. Yogyakarta. 618 hal. Kurniaji, A. 2014. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Mangrove (Sonneratia alba) Pada Bakteri Vibrio harveyi Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Haluoleo. Kendari. Manurung NNP. 2008. Efektivitas Pemberian Sinbiotik Dibandingkan dengan Plasebo pada Anak Penderita Diare Akut [tesis]. Medan (ID): Program Magister Kedokteran Klinik-Spesialis Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Moriarty, D. J. W. 1999. Disease Control in Shrimp Aquaculture with Probiotic Bacteria. Microbial Interaction in Aquaculture. Atlantic Canada Sociaty for Microbial EcoLogy. Canada. 7 p. Pangastuti, A., Wahjuningrum, D. dan Suwanto, A. 2002. Isolasi, Karakterisasi, dan Kloning Gen Penyandi Amilase Bakteri Halofil Moderat asal Bledug Kuwu. Jurnal Hayati, 9 (1); 10-14. Ringo E, Olsen RE, Gifstad TO, Dalmo RA, Amlund H, Hemre GI. 2010. Prebiotics in aquaculture: a review. Aquaculture Nutrition. 16(2):117136. Wang, X. Huan, Y. Zhou, Q. Ma, and Y. Chen. 2009. Simultaneous Cloning and Expression of Two Cellulase Genes from Bacillus subtilis Newly Isolated from Golden Takin (Budorcas taxicolor Bedfordi. Biochemical and Biophysical Research Communications 383 397– 400. Widanarni, Suwanto A, Sukenda. 2003. Potency of Vibrio isolates for biocontrol of vibriosis in tiger shrimp Penaeus monodon larvae. Biotropia 20:1123. Widanarni, Wahjuningrum, D., Yuhana, M. 2014. Materi Praktikum Dasar-dasar Mikrobiologi Akuatik Tahun Ajaran 2013/2014. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Widanarni. 2004. Penapisan Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu: Kontruksi Penanda Molekuler dan Esei Pelekatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zahidah, D. dan Shovitri, M. 2013. Isolasi, Karakterisasi dan Potensi Bakteri Aerob Sebagai Pendegradasi Limbah Organik. Jurnal Sains dan Seni Pomits. Surabaya, 2 (1); 2337-3520.
Laporan Praktikum ke-11 m.k. Mikrobiologi Akuakultur
Hari/tanggal Kelompok Asisten
: Minggu/13 Desember 2014 : II : Rahman, S.Pi., M.Si dan Tim Asisten
DETEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
Disusun oleh : Ardana Kurniaji C151140261
MAYOR ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Virus merupakan salah satu faktor penyebab penyakit bagi organisme
budidaya. Virus tidak dapat tumbuh dalam media buatan seperti layaknya bakteri, virus hanya dapat ditumbuhkan pada sel-sel hewan maupun tumbuhan. Virus juga tidak dapat tumbuh diluar sel makhluk hidup lain dalam waktu lama, sehingga virus dikatakan sebagai parasit obligat. Biasanya virus mengandung sejumlah kecil asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya) yang diselubungi bahan pelindung yang terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Salah satu virus yang biasanya menyebabkan kematian missal pada organisme budidaya adalah Koi herpes virus (KHV). Koi herpes virus (KHV) merupakan penyakit pada ikan yang disebabkan oleh DNA virus. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1998 di Israel dan USA menyerang ikan jenis “common carp” dan ikan koi yang menyebabkan kematian masal. Di Indonesia penyakit KHV pertama kali terjadi pada ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret 2002 kemudian menyebar keberbagai daerah. Sehingga wabah KHV di Indonesia sampai saat ini telah menyebar sampai ke Bali (Denpasar dan Badung); Jawa Timur (Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, Surabaya); Jawa Tengah (Semarang dan Brebes); Jawa Barat (Subang, Bogor, Bandung, Purwakarta, Cianjur, Bekasi); Banten; Sumatera (Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan) (Malole 2005). Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) telah didiagnosa pada ikan koi dan ikan mas, namun spesies golongan cyprinid lainnya seperti common goldfish (Carassius auratus) dan grass carp (Ctenopharyngngodon idella) menunjukkan tidak terserang KHV. Seperti halnya infeksi virus hepers lainnya KHV diyakini berada dalam tubuh ikan mas yang terinfeksi, sehingga untuk kelangsungan hidupnya ikan mas tersebut berpotensi sebagai carrier virus. Ikan koi (Cyprinus carpio) lebih mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh kondisi lingkungan hidup yang tidak stabil dan kondisi daya tahan tubuh ikan yang menurun Amri dan Khairuman (2002). Menurut Kordi (2004) bahwa hingga saat ini penanggulangan penyakit KHV hanya bisa dilakukan dengan pencegahan, karena obat yang bisa
135 digunakan belum diketahui secara pasti. Salah satu upaya untuk mengatasi kerugian akibat serangan KHV adalah dengan melakukan pencegahan dan deteksi dini. Ada beberapa metode identifikasi penyakit viral yaitu: metode serologi, histopatologi, imunohistokimia, mikroskop elektron, dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR (Polymerase chain reaction) adalah suatu proses pembentukan cetakan DNA secara berulang kali dengan menggunakan prosedur dan waktu yang tertentu. PCR menggunakan teknik amplifikasi (perbanyakan) secara spesifik pada suatu segmen DNA secara in vitro dengan menggunakan DNA polimerase, cetakan (template), DNA genom, dan primer oligonukleotida yang akan menempel pada segmen yang akan diamplifikasi (Davis et al. 1994). Oleh karena itu praktikum mengenai identifikasi penyakit KHV dengan metode PCR ini sangat penting untuk dilaksanakan.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari prosedur analisa
DNA untuk mendeteksi keberadaan KHV pada ikan mas melalui metode PCR.
II. METODOLOGI
2.1
Waktu dan Tempat Praktikum Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) dengan Metode Polymerase
Chain Reaction (PCR)” dilaksanakan dalam dua tahapan, tahapan pertama yakni Ekstraksi DNA yang dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 14 Desember 2014 pukul 08.00-14.00 WIB. Kemudian tahapan kedua adalah Elektroforesis yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 15 Desember 2014 pada pukul 08.00-10.00. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan terdiri dari sarung tangan, microtube, mikropipet,
peralatan elektroforesis, sentrifuse, ice bath, mesin PCR, inkubator, peralatan untuk mencetak gel, UV iluminator, vortex, dan kamera. Sementara bahan-bahan yang digunakan adalah ikan mas (bagian insang), primer forward, primer reverse, 200 µl cell lysis solution, ethidium bromida, 50 µl larutan protein precipitation solution, gel agarosa, primer, 1,5 µl RNAse, 300 µl isopropanol, 300 µl etanol 70%, marker DNA, 1,5 µl proteinase-K, ion exchange water (IEW), larutan 1x TBE (Tris Base, Boric Acid, EDTA) atau 1x TAE (Tris Base, Glacial Acetic Acid, EDTA), dan loading buffer.
2.5
Prosedur Kerja
2.5.1 Ekstraksi DNA -
Lisis sel secara enzimatis dengan Proteinase K Tahapan pertama yang dilakukan adalah suhu inkubator diatur pada suhu 55
o
C, kemudian disiapkan mikrotube steril, 200 µl cell lysis solution, dan 1,5 µl
proteinase-K. Ikan mas diambil bagian insangnya sebanyak 10 dan 12 mg lalu dimasukkan ke dalam mikrotube. Masing-masing sampel diberi kode S1, dan S2. Kemudian ditambahkan 200 µl cell lysis solution dan proteinase-K, lalu di vortex dan diinkubasi semalam pada suhu 55 oC.
137 - Treatment dengan RNAse Sampel yang telah diinkubasi semalam, dikeluarkan dari inkubator dan didiamkan hingga suhu ruang. Lalu kemudian ditambahkan 1,5 µl RNAse dan dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan tabung sebanyak 30 kali. Selanjutnya sampel diinkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 1 jam dan didinginkan sampai suhu ruang. - Pengendapan protein Sampel yang telah didinginkan sampai suhu ruang kemudian ditambahkan 50 µl larutan protein precipitation solution dan di vortex selama 30 detik untuk menghomogenkan protein precipitation solution dengan sampel. Larutan akan menjadi keruh. Selanjutnya sampel diinkubasi di ice bath selama + 10 menit dan disentrifuse pada suhu 4oC dengan kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit. Sebanyak 300 µl isopropanol absolut ditambahkan pada mikrotube yang baru, lalu supernatan dituangkan pada mikrotube tersebut dan dihomogenkan dengan cara dibolak-balikkan lalu disentrifuse pada suhu 4 oC dengan kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit, natan diambil dan supernatannya dibuang. Kemudian ditambahkan 300 µl etanol 70% dan dibolak-balikkan beberapa kali untuk mencuci DNA. Selanjutnya disentrifuse kembali pada suhu 4oC dengan kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit, supernatannya dibuang dan natannya dikeringkan. Lalu kemudian ditambahkan ion exchange water (IEW) sebanyak 30-50 µl, di vortex untuk melarutkan DNA dan disimpan pada suhu -20 oC.
2.5.2 PCR (Polymerase Chain Reaction) Reagen PCR yang digunakan pada praktikum ini adalah kit yang sudah mencakup keseluruhan reagen. Pada tube terdapat reagen yang berbentuk padat. Sebelumnya dibuat premix terlebih dahulu dengan komposisi IEW sebanyak 19 µl/tube, primer forward 2 µl/tube, dan primer reverse 2 µl/tube. Total premix per tube yaitu 23 µl. Premix ini dibuat sebanyak 46 µl
untuk dua tube premix.
Kemudian satu tube premix ini ditambahkan dengan larutan kit lalu di vortex. Setelah di vortex selanjutnya larutan dibagi menjadi dua tube, satu tube ditambahkan dengan 1 µl sampel 1, dan satu tube ditambahkan 1 µl sampel 2. Kemudian premix tube kedua ditambahkan dengan larutan kit lalu di vortex.
138 Setelah di vortex selanjutnya larutan dibagi menjadi dua tube, satu tube ditambahkan dengan 1 µl virus KHV (kontrol positif), dan satu tube tidak ditambahkan sampel (kontrol negatif). Sehingga total tube yang digunakan sebanyak 4 tube yang terdiri dari: sampel 1, sampel 2, kontrol positif KHV, dan kontrol negatif KHV. Selanjutnya mesin PCR disiapkan dengan pengaturan sebagai berikut: tahap predenaturasi (94 oC) selama 3 menit, denaturasi (94oC) selama 30 detik, annealing (57 oC) selama 30 detik, extension (72 oC) selama 30 detik, dan final extension (72 oC) selama 3 menit sebanyak 35 siklus.
2.5.3 Elektroforesis Pertama kali terlebih dahulu dibuat gel agarose yaitu serbuk agarose 0,81,9% dalam larutan 1x TBE (Tris Base, Boric Acid, EDTA) atau 1x TAE (Tris Base, Glacial Acetic Acid, EDTA). Lalu dipanaskan dalam microwave/hot plate selama 1,5 menit atau larutan sampai mendidih dan menjadi bening. Kemudian larutan dibiarkan menjadi hangat dan dituangkan ke dalam cetakan yang telah dilengkapi sisir/comb sebagai cetakan sumur/well elektroforesis. Selanjutnya gel dibiarkan membeku dan kemudian dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang telah berisi buffer eletroforesis (1x TBE atau 1x TAE). Sampel DNA sebanyak 3 µl dicampurkan dengan 0,5 µl loading buffer yang mengandung bahan pemberat DNA dan pewarna bromthimol blue. Selanjutnya campuran dimasukkan ke dalam sumur-sumur elektroforesis. Sebanyak 3 µl marker DNA dimasukkan ke dalam sumur di dekat sumur sampel. Kemudian bak elektroforesis ditutup dan dialiri listrik dengan tegangan 200 volt dan kuat arus 60 mA. Ketika DNA telah bermigrasi dari kutub negatif ke kutub positif mencapai ¾ bagian dari panjang gel, maka proses elektroforesis dapat dihentikan. Lalu gel diangkat dari bak elektroforesis dan dilepaskan dari cetakan dan selanjutnya diamati dengan ultraviolet transluminator dengan panjang gelombang pendek (280 nm) melalui kamera digital yang sudah terhubung ke komputer dengan pemotretan secara otomatis menggunakan bantuan software.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berdasarkan hasil pengamatan elektroforesis insang ikan mas diperoleh
hasil sebagai berikut:
M
A
C
-
+
300 kb
100 kb
Gambar 44 Amplifikasi DNA Sampel. Keterangan: (M) Marker (KAPPA® DNA Ladder, (A) Sampel A, (B) Sampel C, (-) Kontrol Negatif, (+) Plasmid Glikoprotein KHV (Kontrol Positif).
3.2
Pembahasan Virus merupakan mikroba terkecil karena mampu melewati saringan bakteri
sehingga disebut juga contangium vivum fluidum. Virus membawa bahan genetik berupa DNA atau RNA. Strukturnya relatif sederhana yang hanya terdiri dari kapsid yang mengelilingi asam nukleat. Virus juga hanya mampu bereproduksi dalam sel inang yang hidup, baik dalam sitoplasmanya, nukleus atau keduaduanya. Virus tidak melakukan pembelahan biner seperti layaknya bakteri, namun virus baru dibentuk dari suatu proses biosintesis majemuk yang dimulai dari
140 pemecahan partikel virus hingga perakitan baru. Bentuk virus bervariasi, beberapa berbentuk bulat, oval, memanjang, silindris dan berbentuk T. ukuran virus juga beragam tergantung jenis, secara umum sekitar 300 x 250 x 100 nm. Genom virus hanya mengandung satu jenis asam nukleat yaitu RNA atau DNA. Asam nukleat virus umunya berada dalam partikel yang dikelilingi oleh selubung protein yang disebut kapsid (Waluyo 2011). Koi herpes virus (KHV) merupakan virus yang memiliki kapsid berbentuk simetri icosahedral dengan diameter 100-110 nm, sementara virion matangnya memiliki amplop yang longgar sehingga ukuran diameternya menjadi 170-230 nm. Selain itu juga terdapat benang-benang penyangga seperti struktur tegument pada permukaan inti yang mirip dengan kelompok herpesvirus. Patogenisitas KHV sangat tinggi dan penyebarannya sangat cepat, sehingga dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling serius dalam budidaya ikan air tawar (Nuryati dkk. 2007) Gejala klinis yang diamati meliputi Koi dan ikan mas yang terserang KHV pada umumnya menunjukkan tanda putih pada selaput insang. Ikan seringkali berenang ke permukaan dan menunjukkan gangguan pernapasan. Tanda lainnya seperti mata tenggelam atau masuk, luka pada sekujur tubuh, lendir, yang berlebihan dan kulit yang pucat. Namun beberapa ikan yang terinfeksi bisa saja tidak menunjukkan tanda-tanda terlihat dengan kasat mata. Infeksi KHV ditandai terutama oleh adanya bercak merah atau kerusakan insang serta kematian massal ikan yang terserang (Hartman et al. 2004).
Gambar 45 Gejala Klinis Ikan koi yang terserang KHV, a) Hemorgik pada tubuh. b) Nodule putih pada insang.
141 Hasil praktikum menunjukkan bahwa pada sampel A positif terserang virus KHV sedangkan pada sample C menunjukkan hasil yang negatif. Hasil ini dapat diketahui dari hasil elektroforesis yang menunjukkan adanya pita DNA pada panjang 300 kb. Pita DNA pada sampel A sejajar dengan pita DNA pada kontrol positif. Gen penyandi KHV berukuran 300 kb, sementara pada pita DNA sampel C sejajar dengan kontrol negatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irianto, 2006) bahwa sampel dikatakan terinfeksi positif ringan KHV tatkala pada sampel tersebut menunjukkan pita 290 pada foto hasil PCR. Hal ini berarti bahwa pada ikan tersebut terdapat virion didalam organ yang terinfeksi, namun dalam jumlah yang sedikit, para peneliti sering menggolongkan ikan tersebut sebagai carrier, yang artinya dapat menulari ikan yang lain apabila berada dalam satu wadah yang sama dengan ikan yang sehat (tidak terinfeksi) (Irianto 2005). Ikan yang bersifat karier biasanya tidak menunjukkan gejala klinis, namun telah membawa bahan genetic dari virus sehingga sewaktu-waktu bisa aktif dan menyerang ikan tersebut. Menurut Masri (2013) bahwa Ikan yang tidak menunjukkan gejala klinis adanya serangan KHV merupakan ikan yang terinfeksi ringan. Ikan yang tidak memperlihatkan ciri yang jelas terinfeksi KHV namun dari hasil PCR terbentuk pada band 290 bp maka dapat diindikasikan ikan tersebut adalah positif carrier (pembawa yang dapat menulari). Terbentuknya pita pada posisi 290 bp mengindikasikan bahwa adanya virion yang terdapat di sampel dan adanya kesesuaian basa oligonukleotida yang dihasilkan berdasarkan primer yang digunakan dan sequencing DNA virus yang terdapat pada ikan yang terinfeksi, hanya saja virion tersebut dalam jumlah yang
sedikit sehingga tidak terlalu
memperlihatkan ciri infeksi. Koi dan ikan mas yang terserang KHV pada umumnya menunjukkan tanda putih pada selaput insang. Ikan seringkali berenang ke permukaan dan menunjukkan gangguan pernapasan. Tanda lainnya seperti mata tenggelam atau masuk, luka pada sekujur tubuh, lendir, yang berlebihan dan kulit yang pucat. Namun beberapa ikan yang terinfeksi bisa saja tidak menunjukkan tanda-tanda terlihat dengan kasat mata. Infeksi KHV ditandai terutama oleh adanya bercak merah atau kerusakan insang serta kematian massal ikan yang terserang. Selain itu biasanya diikuti oleh adanya infeksi sekunder berupa luka atau bercak putih di
142 permukaan tubuh yang diinfeksi oleh bakteri bakteri seperti Aeromonas hydrophilia ataupun Flexibacter columunaris (Mudjiutami 2007).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa deteksi
KHV pada ikan mas menunjukkan hasil positif yaitu ikan terinfeksi oleh virus KHV pada sampel A namun negatif pada sampel B. Hal ini diketahui karena pita DNA semua sampel A sejajar dengan kontrol positif, sedangkan pita DNA pada sampel B sejajar dengan kontrol negatif.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya diharapkan dapat dilakukan diagnosa ikan sakit
sebelum melakukan deteksi PCR, dan juga bisa dilakukan teknik deteksi lain seperti immunohistokimia atau IFAT.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K., dan Kahiruman. 2002. Menanggulangi penyakit pada Ikan Mas dan Koi. Agromedia Pustaka. Jakarta. Davis, L., M. Kuehl, & J. Battey. 1994. Basic methods: Molecular biology. 2nd ed. Appleton & Lange, Norwola. Hartman KH, Yanong RPE, Petty BD, Francis-Floyd R, Ringgs AC. 2004. Koi Herpes Virus (KHV) Disease. University of Florida. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kordi, G. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Bina Adiaksara. Jakarta. Malole. 2005. Bahan teori dan Praktikum Apresiasi Teknik Virologi dan PCR Penyakit Hewan Aquatik. Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta. Jakarta. Masri, m. 2013. Deteksi Koi Harpes Virus (KHV) pada Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio l) dengan Menggunakan Metode Aplikasi Polymerase Chain Reaction(PCR) Jurnal Teknosains, (2); 189-200. Mudjiutami E, dkk. 2007. Pengendalian Penyakit Pada Ikan Mas. Departemen Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Nuryati, S., Puspitaningtyas, D. dan Wahjuningrum, D. 2007. Potensi Ekstrak Bawang Putih Allium Sativum Untuk Menginaktifasi Koi Herpesvirus (Khv) Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Potency Of Garlic Extract Against Koi Herpesvirus (Khv) In Common Carp. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 147–154. Waluyo, L. 2011. Mikrobiologi Umum. Umm Press. UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi Praktikum 1. Persiapan Media a
b
c
d
Keterangan: (a) Fouder Media, (b) Media dipanaskan, (c) Penuangan Media, (d) media didiamkan 2. Inkubasi, Pengujian dan Pengamatan b
a
c
d
Keterangan: (a) media inkubasi, (b) pengambilan biakan murni, (c) pengamatan mikroskopik, (d) uji oksidase
3. Teknik Pengambilan sampel dan Teknik Inokulasi Aseptik a
b
d
e
c
f
g
Keterangan: (a) pengambilan sampel kapang pada ikan, (b) penyebaran bakteri, (c) inokulasi sampel kapang, (d) pengambilan inokulan bakteri, (e) inokulasi bakteri pada media menggunakan mikropipet, (f) teknik penggoresan zig-zag, (g) pemberian zat antimikroba pada kertas cakram secara aseptic 4. Bahan antimikroba, Isolat bakteri dan PCR a
c
b
d
Keterangan: (a) Bahan antimikroba, (b) Isolat Bakteri, (c) Isolat DNA ikan, (d) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Lampiran 2 Jurnal Harian 1. Praktikum II Kultur Koloni Bentuk Elevasi
Tepian
Tumbuh (Ya/Tidak)
-
-
Tidak
Sirkular
Raised
Entire
Ya
-
-
-
-
Tidak
Orange
Sirkular
Raised
Entire
Ya
Isolat
Medium
A
EMBA
-
-
B
TSA
Kuning
C
TCBS
D
SWC
Warna
Gambar
2. Praktikum III Kelompok
2
Gram
Hasil Bentuk
Penataan
S
+
Coccus
Staphylo
B
-
Basil
Mono
V
-
Basil
Mono
Medium
Gambar
3. Praktikum IV Uji Sifat O/F Katalase Oksidase Motilitas Gelatin Gram Bentuk Genus Bakteri
A B F F + + + + + + + Basil Coccus Listeria Staphylococcus, Pediococcus
Isolat C F + Coccus Streptococcus, Pediococcus, Gamella
D E F F + + Basil Basil Cardiobakterium, Pseudomonas, Eikenella Streptobacillus
4. Praktikum V ∑ Sel Mati (%) 12,25 11,48 16,70 24,00 47,00 26,00 0,00 0,00 0,00 27,00 Set 1 Set 2 Gula O/F Gula O/F + O + F + F + F + F + O + F + F + F -
Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Uji Gula Glukosa Dekstrosa Sukrosa Rafinosa Trehalosa Laktosa Maltosa
∑ Sel Hidup (%) Bentuk Koloni 87,75 Elips 88,52 Sirkular 83,30 Sirkular 76,00 Sirkular 53,00 Sirkular 74,00 Elips 100 Sirkular 100 Sirkular 100 Sirkular 73,00 Sirkular Set 3 Set 4 Set 5 Gula O/F Gula O/F Gula O/F + O + F + O + O + F + O + O + O + O + O + F + F + O + F + O
5. Praktikum VI Kelompok
Isolat
1
1 Ub
2
NP5
3
Sta
4
1 Ub
5
NP5
6
Sta
7
1 Ub
8
NP5
Metode Tuang Sebar Tuang Sebar Tuang Sebar Tuang Sebar Tuang Sebar Tuang Sebar Tuang Sebar Tuang
Total Plate Count (cfu/ml) 10-5 10-6 10-7 7 8 35,8 x 10 33,6 x 10 18,4 x 109 58,6 x 109 8 1,6 x 10 TBUD TBUD TBUD 7,8 x 108 0 16,2 x 109 TBUD TBUD 2,34 x 1011 0 TBUD TBUD TBUD 25,8 x 107 43,2 x 109 TBUD TBUD TBUD 0 0
9
Sta
10
Sta
Sebar Tuang Sebar Tuang Sebar
15 x 108 TBUD TBUD
TBUD TBUD
0 TBUD TBUD
6. Praktikum VII Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Isolat bakteri Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5 Ah NP5
4°C ++ +++ ++ ++ +++ +++ ++ ++ +++ +++ ++ ++ +++ ++ +++ +++ +++ ++ +++ +++
Suhu 28°C 37°C ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ ++ ++ +++ ++ +++ +++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ +++ ++ +++ ++ +++ ++
70°C + ++ + + + + + + + + ++ + +
0% ++ ++ ++ +++ +++ +++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++
Salinitas 1,5% 3% ++ ++ ++ ++ ++ + ++ ++ +++ ++ +++ +++ +++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ +++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ +++ ++ ++ +++ ++ +++ ++
5% ++ + + + + ++ + + + +
7. Praktikum VIII No
Bahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
PBS Alkohol 70% Alkohol 50% Alkohol 30% Rifamfisin Chlorampenicol Streptomisin Ekstrak Curcuma langa 30% Ekstrak Garcinia mangostana Ekstrak Nigella sativa
No
Bahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
PBS Alkohol 70% Alkohol 50% Alkohol 30% Rifampisin Chlorampenicol Streptomisin Ekstrak Curcuma langa 30% Ekstrak Garcinia mangostana Ekstrak Nigella sativa
I 0,8 1,6 * * 1,8 * * 0,8 * *
Diameter Zona Bening (cm) I II III IV 0,6 0 0 0,1 0,7 0,7 * 0,2 * * * * * * 0,7 * 0,6 * * 0,6 * 1,5 * * * * 0,7 * 0,6 * * 0,2 * 0 * * * * 0,8 * Diameter Zona Bening (cm) II III IV V 1,2 0,1 0,7 * 0,1 * * * * 0,7 * 0,8 * * * * 0,9 * * * 0,7 * 1,1 * * * * 0,1 * 1,1 * * 1,0 * 1,1 * *
V 0,6 * 0,6 * * 0,6 * * 0,6 *
8. Praktikum IX Kelompok 1 2 3 4 5
Uji Sensivitas Isolat K + Ab + + + + + -
TPC Uji Mutasi Spontan (cfu/ml) 0
10 + Ab -
10-5 K TBUD TBUD 28,9 x 105 15,6 x 105 44,7 x 105
10-6 K 11,3 x 108 29,8 x 108 98,0 x 106 42,0 x 106 10,0 x 106
10-7 K 0 0 0 98,0 x 108 0
9. Praktikum X Kelp
1
2
3
4
5
Kelp
6
7
8
9
10
A B C A B C A B C A
Uji Seleksi Bakteri A L + + + + + + + + + + -
B
-
-
C A B C
+ + + +
+ + + +
Isolat
Isolat A B C A B C A B C A B C A B C
Uji Seleksi Bakteri A L + + + + + + + + + + + + + + + + +
P + + + + -
P + -
TPC Uji Kompetisi (cfu/ml) 10-5 K 10-6 K 10-7 K
TPC Kultur Bersama (cfu/ml) 10-2 10-3
TBUD
2,4 x 109
0
0
0
TBUD
1,5 x 109
0
-
-
3,7 x 108
8,0 x 108
0
-
-
TBUD
6,0 x 108
0
0
0
TBUD
194 x 108
0
0
-
TPC Uji Kompetisi (cfu/ml) 10-5 K 10-6 K 10-7 K
TPC Kultur Bersama (cfu/ml) 10-2 10-3
5,0 x 108
9,6 x 109
0
0
0
31,6 x 107
4,2 x 108
0,6 x 109
0
0
4,2 x 107
11 x 108
0
0
0
TBUD
TBUD
0
0
-
0
19 x 1011
TBUD
-
0