Kultur Oosit Ikan Nilem Dengan Metode Submerge
Nama NIM Rombongan Kelompok
Oleh : : Ita Pratiwi K : B1J012042 : II :3
LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN HEWAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2014
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kultur jaringan yaitu suatu cara untuk mempelajari populasi sel-sel hidup diluar organisme. Cara ini juga dikenal sebagai penanaman in vitro. Kultur jaringan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kultur sel, kultur jaringan, dan kultur organ. Kultur sel mencakup penanaman sel-sel yang terus membelah, sampai kemudian sel-sel ini dipindahkan ke dalam tabung percobaan yang baru karena jumlahnya yang terus meningkat. Kultur jaringan biasanya mencakup pemindahan potongan jaringan suatu embrio (eksplan) ke dalam suatu kultur. Sedangkan kultur organ terdiri atas potongan jaringan atau potongan organ yang telah berkembang baik. Kultur jaringan berperan dalam kemungkinan untuk percobaan pengamatan morfogenesis (asal perkembangan bentuk biologis, dan struktur), nutrisi sel-sel, interaksi antar sel, dan sejumlah fenomena biologis yang penting (Tufan, Akdogan, dan Adiguzel, 2004). Banyak hal yang menjadi masalah untuk menentukan apakah sifat-sifat sel yang dikultur sama dengan sifat sel in vivo, karena perubahan-perubahan lingkungan sel dalam kultur, proliferasi sel in vitro yang tidak terjadi seperti in vivo, interaksi antar-sel dengan sel dan sel dengan matriks menurun, karena kemurnian turunan sel kehilangan heterogenitas dan bentuk 3 dimensinya yang ada pada in vivo, dan juga perubahan lingkungan hormonal ataupun nutrisi. Lingkungan kultur sel menyebabkan sel untuk menyebar, migrasi, dan proliferasi sel yang tidak mengalami deferensiasi khusus. Adanya lingkungan yang sesuai, nutrisi, hormon dan substrat merupakan dasar untuk jaringan itu supaya dapat menunjukkan tanda-tanda fungsi khusus (Barski et al.,1961).
Perkembangan gonad pada ikan membutuhkan hormon gonadotropin yang dilepaskan oleh kelenjar pituitari yang kemudian terbawa aliran darah masuk ke gonad. Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka, menstimulasi terbentuknya testosteron yang kemudian akan masuk ke sel granulosa untuk dirubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol 17β. Hormon estradiol 17β kemudian masuk ke dalam hati melalui aliran darah dan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini desertai dengan perkembangan diameter telur (Sularto, 2002). In Vitro Maturation adalah pematangan oosit pada medium di luar tubuhdan dikultur secara in vitro (Gordon dkk., 1994). Adanya tehnik in vitro maturation dimungkinkan untuk memperoleh oosit matang dalam jumlah besar dengan cara menanam teluryang belum diovulasikan dalam medium pematan.gan. Pematangan oosit primer dapat berkembang menjadi oosit sekunder yang akan melakukan proses pembelahan meiosis dengan normal dansempurna sehigga menghasilkan sel telur yang siap untuk dibuahi (Trounson, 1992).
B. Tujuan Tujuan praktikum iniadalah dapat membekali mahasiswa dengan keterampilan untuk melakukan kultur dengan metode submerge.
II.
MATERI DAN METODE A. Materi Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah alat bedah, mikroskop, 24 well plate culture dish, pipet transfer, mikropipet beserta pipette tip, tabung valcon 50 ml, enkase, cawan petri, sterilizator, incubator, lampu UV, lampu spiritus dan sarung tangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ikan nilem betina, GnRH analog (Ovaprim), medium kultur pemeliharaan (DMEM, serum, glutamine, antibiotik dan FBS) B. Metode
Persiapan Alat
1. Meja kerja yang akan digunakan disterilkan dengan tissue dan spray alkohol. 2. Alat bedah, pipet tip, kain lap, cawan petri, tabung falcon, dan well Plate disterilisasi dengan sterilizer. 3. Air disterilisasi dengan autoklaf. 4. Sterilisasi ruang dengan disinari dengan UV (dalam Laminar Air Flow).
Persiapan Pelaksanaan
1. Dikeluarkan medium, serum, antibiotik, dan glutamin dari tempat penyimpanan ke enkase untuk mengkondisikan dengan suhu ruang. 2. Handling medium dan culture medium dipersiapkan. 3. Handling medium: DMEM + 0,5% antibiotik. 4. Culture medium: DMEM 800µl, antibiotik 50µl, serum 100µl, dan glutamin 50µl. 5. Ovaprim : 10 µL/500mL
6. Medium culture dimasukkan ke dalam well plate dan ditambahkan ovaprim kemudian diekuilibrasi dalam inkubator. 7. Bahan-bahan yang tidak digunakan lagi dikembalikan ketempat semula. Pengambilan Oosit 1. Ikan nilem dibunuh dengan dirusak otaknya dengan alat bedah, lalu dibedah abdomennya setelah dibersihkan dengan tissue beralkohol. 2. Ovarium ikan diisolasi dan diletakkan di petridish kecil. Alternatifnya ambilah sampel oosit ikan menggunakan kanula 3. Ditambahkan handling medium agar oosit tidak mengalami dehidrasi 4. Diamati inti oosit dengan diletakkan pada cavity slide dan ditambahkan larutan penjernih. Kemudian diamati dibawah mikroskop. 5. Oosit diambil kembali dengan cara kanulasi dan dibawa keruang kultur kemudian diambil beberapa oosit untuk dikultur.
Proses Kultur
1. Well plate yang berisi medium kultur yang telah diekuibrasi dikeluarkan dari inkubator. Masukkan 10 oosit kedalam masing-masing well plate. Tutup well plate dengan baik dan dimasukkan ke dalam inkubator. 2. Semua alat yang sudah tidak digunakan dibersihkan.
Evaluasi Hasil Kultur
1. Hari kedua diamati kondisi telur dan inti oosit yang telah direndam pada medium kultur + GnRH analog (ovaprim). 2. Diamati kondisi telur dengan memindahkan oosit dari medium kultur + ovaprim ke medium PBS. Kemudian oosit diletakkan pada cavity slide dan diamati dibawah mikroskop 3. Diamati inti oosit dengan memindahkan oosit dari medium medium PBS ke dalam larutan penjernih dan didiamkan selama 2 menit. Kemudian oosit diletakkan pada cavity slide dan diamati inti oositnya dibawah mikroskop.
4. Hasi dicatat dan didokumentasikan.
1.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
Tabel 1.Hasil Pengamatan Kultur Oosit Ikan Nilem Metode Submerge yang Berkualitas Baik Perlakuan D0 D1 D2 D3
1 20% 22,2% 11,1% 10%
Ulangan (%) 2 3 4 0% 0% 10% 30% 10% 20% 11,1% 20% 0% 20% 20% 10%
Gambar 1. D0 Ulangan Ke- 5
5 11,1% 0% 0% 10%
6 0% 0% 0% 0%
∑
xx
41,1% 82,2% 42,2% 70%
6,85% 13,7% 7,03% 11,6%
Gambar 2. D0 Ulangan Ke- 6
Gambar 3. D1 Ulangan Ke-5
Gambar 4. D1 Ulangan Ke- 6
Gambar 5. D2 Ulangan Ke-5
Gambar 6. D2 Ulangan Ke-6
Gambar 7. D3 Ulangan Ke-5
Gambar 8. D3 Ulangan ke-6
B. Pembahasan Praktikum kali ini adalah melakukan kultur oosit dengan penambahan hormone GnRH analog untuk pematangan oosit secara in vitro. Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil bahwa rata-rata telur yang baik pada perlakuan kontrol sebesar 6,85%, pada perlakuan D1 sebesar 13,7%, pada perlakuan D2 sebesar 7,03% dan pada perlakuan D3 sebesar 11,6%. Kerusakan oosit yang sangat mendominasi dimungkinkan karena inkubasi dilakukan selama 22 jam. Setelah 16 jam oosit matang dan memijah kemudian tidak terjadi fertilisasi maka oosit akan mengalami degradasi. Selain itu, dapat juga diakibatkan karena lamanya oosit terendam pada handling medium. Handling medium hanya mengandung medium basal (DMEM) ditambah dengan antibiotik sedangkan medium kultur terdapat suplementasi serum dan glutamine. Tidak adanya komponen serum dalam handling medium memungkinkan terjadinya kegagalan. Menurut Acea (2013) serum mengandung faktor pertumbuhan, yang berfungsi dalam proliferasi sel, serta faktor adhesi dan aktivitas antitrypsin. Serum juga merupakan sumber mineral, lipid, dan hormon. Serum tidak aktif dengan menginkubasi selama 30 menit pada +56°C Oolema yang tidak baik ditandai dengan adanya ruang perivitelin. Terbentuknya ruang perivitelin pada oosit ikan dapat disebabkan karena kegagalan tahapan oosit. Tahapan perkembangan oosit yang disertai dengan pembentukan ruang
paravitelin
menunjukkan
bahwa
unsure-unsur
vitelogenin
untuk
perkembangan oosit tidak mencapai organ target.Vitelogenin seharusnya berfungsi untuk penimbunan yolk dan akan berhenti pada ruang perivitelin yang telah terbentuk, Hal ini juga dapat mengakibatkan tidaj terjadinya pertambahan
diameter oosit. Perkembangan oosit dalam medium kultur atau kondisi in vitro sangt dipengaruhi oleh kesesuaian mediumnya. Menurut Freshney (2000) kelangsungan hidup sel, jaringan atau organ yang dikultur bergantung kepada medium pertumbuhannya. Medium kultur yang baik harus mempu mendukung pertumbuhan sel atau jaringan dengan menyediakan unsur – unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan seperti karbohidrat, asam amino, lemak, garam dan mineral. Terdapat beberapa medium yang telah digunakan dalam kultur oosit ikan antara lain M199 dan DMEM (Mortensen dan Arukwe, 2007). Medium DMEM diketahui memiliki konsentrasi garam inorganik, asam amino dan vitamin lebih tinggi dibandingkan dengan medium lainnya. Garam organic yang terkandung dalam DMEM seperti CaCl 2 selama vitelogenesis berperan sebagai perantara transportasi vitelogenin dalam darah yaitu dalam bentuk persenyawaan Ca2+ (Yaron, 1995). Penambahan glutamine pada medium kultur bertujuan untuk meningkatkan angka keberhasilan fertilisasi. Penambahan glutamin ke dalam medium kultur dapat menggantikan peran Bovine Serum Albumin yang mendukung proses perkembangan embrio secara in vitro (Malole, 1990). Kemampuan dalam In Vitro Maturation tergantung pada seberapa matang folikel sebelumnya. Ada beberapa tahap dalam folliculogenesis, dimulai dengan folikel primordial, yang kemudian menjadi primer, sekunder, tersier awal (antral), akhir tersier dan akhirnya folikel praovulasi (Cole et al, 1997). Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin dalam kultur sel, karena penggunaannya terus menerus mendorong pengembangan strain resisten antibiotik dan memungkinkan kontaminasi tingkat rendah untuk bertahan, yang dapat berkembang menjadi kontaminasi skala penuh setelah antibiotik akan
dihapus dari media. Antibiotik seharusnya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir dan hanya untuk aplikasi jangka pendek, dan mereka harus dihapus dari kultur sesegera mungkin. Jika mereka digunakan dalam jangka panjang, kultur tanpa antibiotik harus dipertahankan secara paralel sebagai kontrol untuk kontaminansi yang samar (Gibco, 2013). In Vitro Maturation adalah pematangan oosit pada medium di luar tubuh dan
dikultur
secara in
vitro (Gordon
dkk.,
1994).
Adanya
tehnik in
vitro maturation dimungkinkan untuk memperoleh oosit matang dalam jumlah besar dengan cara menanam telur yang belum diovulasikan dalam medium pematan.gan. Pematangan oosit primer dapat berkembang menjadi oosit sekunder yang akan melakukan proses pembelahan meiosis dengan normal dansempurna sehigga menghasilkan sel telur yang siap untuk dibuahi (Trounson, 1992). In Vitro Maturation (IVM) dapat digunakan untuk memperoleh oosit yang mature dalam jumlah besar dengan cara mengkultur oosit dalam medium IVM tertentu. Medium merupakan faktor penting dalam proses IVM yaitu sebagai penyedia kebutuhan nutrisi, hormon maupun faktor bahan biokimia lainnya untukperkembangan kumulus oophorus (Mogas dkk., 1996). Hasil yang berbeda telah dilaporkan antara maturasi oosit in vivo dan in vitro yang mungkin menjelaskan perbedaan kemampuan berkembang. Ekspansi cumulus biasanya lebih
ekstensif
selama
maturasi in
vivo.
Selain
itu,
terdapat
tingkat homogeneity yang tinggi pada oosit yang dimaturasi in vivo pada level ultrastruktur; hal ini jauh berbeda dengan heterogeneity ultrastruktur yang ditunjukkan oosit dimaturasi in vitro, meskipun pada populasi sama akhirnya diseleksi sebelum maturasi in vitro.
Sera (yaitu FCS dan OCS) dan BSA adalah suplemen protein yang paling umum untuk media IVM. Alasan ilmiah untuk efek menguntungkan dari penambahan serum tidak jelas diiketahui tetapi diterima secara umum bahwa salah satu peran biologis utama serum adalah untuk mengimbangi elemen penting yang hilang dari media dengan cara melayani sebagai reservoir untuk banyak komponen yang bermanfaat, seperti energi dari substrat yang berbeda, steroid, asam amino, asam lemak, vitamin dan faktor pertumbuhan. Serum juga berfungsi sebagai pelindung terhadap senyawa ion dan molekul kecil yang dikeluarkan dari perkembangan embrio. Namun, persyaratan keselamatan membatasi penggunaan produk ini, terutama dalam sistem IVF manusia. Oleh karena itu, pengganti serum sintetis diproduksi secara komersial, dan menggunakan sera sebagai pengganti dalam media kultur telah memungkinkan para ilmuwan untuk mengembangkan media kultur yang didefinisikan dengan baik untuk in vitro produksi embrio (Saúirkaya et al., 2003).
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Banyak oosit yang mengalami degradasi saat proses kultur dan proses pematangan dengan GnRH analog. 2. Faktor yang menyebabkan kerusakan pada oosit adalah medium, lama inkubasi dan lingkungan seperti suhu dan pH. 3. Serum merupakan suplemen penting yang perlu ditambahkan karena adanya growth factor pada serum tersebut.
DAFTAR REFERENSI Acea. 2013. Culture and Monitoring of Animal Cells Basic Techniques. Celligence, ACEA Biosciences, Inc. USA. Barski, G., J. L. Biedler, and F. Cornefert. 1961. Modification of characteristics of an in vitro mouse cell line after an increase of its tumor-producing capacity. J. Nat. Cancer Inst. 26: 865-889. Cole,H.H and P.T. Cupps. 1997. Reproduction In Domestic Animals. ThirdEdition. Academic press Inc London. Freshney, R.I. 200. Culture of Animals Cells: Fourth Edition, A Manual of Basic Technique. John Willey&Sons. Inc Publishers, New York. Gibco. 2013. Cell Culture Basics. Life Technologies Corporation. Indonesia. Gordon, I. (1994). Laboratory Production of Cattle Embryos. Department of Animal Science and Production. University College. Dublin. Ireland. Malole, M.B M., 1990 Kultur Sel dan Hewan. Depdikbud Dirjen Dikti. PusatAntar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor. Mogas, T.M.J., M.D Izquerdo dan Paramio. 1996. Development Capacity of InVitro Maturated and Fertilized Oocytes from Prepubertal and Adult Goats. Departement de Patologia de Produlecio. Animal UniversityAutonoma de Barcelona. Spain. Mortensen, A.S., and A, Arukwe. 2007. Interaction Between Estrogen and AhReceptor Signaling Pathway in Primary Culture of Salmon Hepatocytes Exposed to Nonylphenol and 3,3’, 4,4-Tetrachlorobiphenyl (Congener 77). Comparative Hepatology. 6:2 (10-1186/1476-5926-6-2). Sularto. 2002. Pengaruh Implantasi LHRH Dan Estradiol-17â Terhadap Perkembangan Gonad Ikan Pangasius Djambal: Analisis Procrustes. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Trounson, A. 1992. The Production of Ruminant Embryos In Vitro. Anim Reprod.Sci. 28:125-137. Tufan, C. A., Akdogan, I., and Adiguzel, E. 2004. Shell-less culture of the chick embryo as a model system in the study of developmental neurobiology. Neuroanatomy. Vol 3 : 8-11. Yaron, Z. 1995. Endocrine Control of Gametogenesis and Spawning Induction in The Carp. Aquaculture, 129 : 49-73. Saúirkaya, Hakan., Yaúmur, Mehmet., NUR, Zekariya., Soylu, Mustafa Kemal. 2004. Replacement of Fetal Calf Serum with Synthetic Serum Substitute in the In Vitro Maturation Medium: Effects on Maturation, Fertilization and
Subsequent Development of Cattle Oocytes In Vitro. Turk J Vet Anim Sci, 28 (2004) 779-784. Department of Reproduction and Artificial Insemination, Faculty of Veterinary Medicine, UludaÛ University, 16059 G.r.kle, Bursa - TURKEY