Abstraksi Kajian terhadap kekerasan simbolik memang masih jarang dilakukan, padahal kekerasan jenis ini juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kelangsungan kehidupan yang merdeka. Kekerasan model ini bisa terjadi setiap saat, dan dapat terjadi dimana pun, termasuk dalam lingkungan pendidikan yang menjadi kawah dimana pengetahuan digali dan pembentukan karakter ditempa untuk kelangsungan manusia sosial yang selalu dinamis dan majemuk. Maka, memutus spiral kekerasan simbolik mutlak untuk diwujudkan demi masa depan anak didik yang bebas dari hegemoni sehingga melanggar ketidakadilan dan kemanusiaan.
Kata Kunci: Kekerasan, Simbolik, Pendidikan, Habitus
Pendahuluan Kekerasan selalu erat hubungannya dengan peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Tindakan kekerasan selalu mewarnai segala sendi kehidupan manusia, baik itu dalam segi sosial, politik, budaya, bahkan sampai pada aspek pendidikan. Jika merunut pada jejak-jejak sejarah kehidupan manusia, maka kita akan mendapati kenyataan bahwa kekerasan (dalam bentuk apapun) telah mendampingi kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Bahkan bisa dikatakan bahwa usia kekerasan, baik kekerasan kekerasan indiidu indiidu maupun institus institusi, i, kekerasan kekerasan !isik maupun psikis, psikis, serta kekerasan model lainnya, lainnya, adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri. "alam tradisi #slam, kita mengenal tindak penghilangan nyawa yang teren$ana dari $erita tentang %obil dan &abil. 'ambaran ke$il tersebut telah menjadi saksi bahwa diawal keberadaan manusia tindakan men$ederai bahkan sampai membunuh telah dilakukan. eiring dengan perkembangan zaman, kekerasan menjadi akrab dengan kehidupan manusia. oti! yang kian sulit untuk di$erna akal sehat menjadi ra$un untuk untuk sedikit sedikit demi sedikit sedikit membunuh membunuh hakikat hakikat kemanusiaa kemanusiaan. n. Kekerasan Kekerasan terbukti terbukti telah *merepotkan+ *merepotkan+ manusia dengan segala konsekuensinya. ejarah men$atat untuk membendung tindakan kekerasan itu dengan dibuatnya tata aturan atau konensi hukum yang telah disepakati untuk meneguhkan kemanusian. ebut saja agna harta, Bill o! ights ersi #nggris dan merika, Declaration des droits droits delhome et du Citoyen Citoyen milik /eran$is, atau yang paling popular adalah The Universal Declaration of Human Rights
("eklarasi &) buatan /BB, serta koenan-koenan hukum lainnya, merupakan kesepakatan yang berawal dari suatu kejadian atau akti!itas yang menyentuh aspek-aspek asasi dalam kehidupan manusia, yaitu berupa akumulasi kekerasan-kekerasan. eiring perkembangan zaman dengan lahirnya istilah-istilah baru seperti globalisasi, modernisasi, dan istilah-istilah lainnya terbukti tidak mampu menggeser kekerasan dari ranah kehidupan sosial manusia. Kekerasan intelektual, kekerasan ekonomi, kekerasan dalam bidang agama, dan kekerasan-kekerasan lainnya seakan-akan memiliki *hak paten+ dan meneguhkan diri untuk hidup dan berkembang bersama manusia. Beberapa !enomena kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa kekerasan seakan-akan *memproklamirkan+ diri sebagai salah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. "isadari atau tidak, kehidupan memang selalu berkaitan dengan hal-hal yang kontradikti!, dan kekerasan termasuk di dalamnya. Konklusi dari tak mampunya segala bentuk aturan dan teori-teori untuk menghapus tindakan destrukti! ini adalah bahwa kekerasan memang lahir dari manusia, dan akan terus berkembang serta menjadi pendamping setia kehidupan sosial manusia. Kompleksitas moti! dari kekerasan membuatnya dengan $epat merasuk, memenuhi segala dimensi kehidupan, bahkan salah satu aspek untuk *men$etak+ dan membuat manusia menjadi manusia, yaitu pendidikan telah sangat erat dengan prilaku ini. Kekerasan dalam dunia pendidikan ibarat !enomena gunung es, yang se$ara tiba-tiba longsorannya akan sangat mematikan. Bukan rahasia umum kalau dalam pendidikan memang selalu mentradisikan kekerasan. Tawuran, bullying yang dapat menyebabkan tekanan psikologis pada anak, andalisme yang dilakukan oleh pelajar, bahkan sampai kekerasan seksual yang berujung kematian pun erat dengan dunia pendidikan kita. Kekerasan telah menggurita didalam temboktembok sekolah dan kampus. 0enomena ini tentu sangat kontradikti! ditengah demokratisasi yang menjunjung tinggi asas humanisme, justice, sampai rasional. 0enomena kekerasan dalam dunia pendidikan yang kian hari kian gen$ar tentu tidak lahir dengan sendirinya. da banyak !aktor yang melandasi kenapa problematika kekerasan ini tidak $epat berhenti. ystem pendidikan dan peran pemerintah dalam menentukan kebijakan dirasa masih belum e!ekti! untuk melahirkan generasi-generasi bangsa yang $erdas dan bermoral. uatan kurikulum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kogniti! dan mengabaikan pendidikan a!ekti!, menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. 1 "itambah lagi problem tersebut dewasa ini dibenturkan dengan realitas sosial yang sedang chaos dan *sakit+ setidaknya dapat menyulut bara api kekerasan dilingkungan pendidikan. 2ilai-nilai kesantunan dan keberadaban yang telah diajarkan didalam pendidikan lambat laun mulai terkikis oleh menjamurnya anomali sosial yang berlaku ditengah panggung kehidupan masyarakat. 2ilainilai luhur telah terbonsai menjadi prilaku yang sarat dengan muatan destrukti!, merusak dengan tidak dilandasi oleh akal sehat dan memanjakan hasrat purbanya. /ara pelajar kini lebih mudah termotiasi untuk memilih jalan agresi!-destrukti! ketimbang menggunakan rasionalitasnya dalam menyelesaikan permasalahan.3 arut marut persoalan ini semakin kompleks ketika nilai-nilai dalam dunia pendidikan tidak bisa bersinergi dengan kebijakan pemerintah yang hanya menyiapkan pendidikan sebagai alat trans!ormasi kapitalisme semata. 1 Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep,
(Yogyakarta: iara !a"ana Yogya, #$$%&, hlm. ' 2 indunata (ed.&, Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: )enerbit Kanisius, #$$*&, hlm. +*
/endidikan yang hakikatnya didesain untuk membentuk manusia yang berbudi luhur dan manusiawi kini menjadi ladang subur untuk memproduksi bibit manusia destrukti!. eminjam istilahnya "ukheim, bahwa pendidikan (sekolah) adalah miniatur masyarakat, 4 kini telah terkontaminasi dan mengajarkan pelestarian kekerasan se$ara kasat mata. Tentu kondisi di internal sekolah inilah yang akan dibawa peserta didik ketika kembali ke masyarakat kelak. Bukan mustahil bahwa tindakan kekerasan yang selama ini dianggap menjadi *solusi+ akan senantiasa lestari karena pengaruh sejak dini dilingkungan pendidikan.
Tipologi Kekerasan dalam Pendidikan ealitas kekerasan yang telah membudaya dilingkungan pendidikan perlu disikapi dengan kritis. engidenti!ikasi jenis dan moti! dari tindakan destrukti! ini mutlak dilakukan untuk memutus mata rantai atau sekedar mengurangi tindakan yang diluar iklim akademis pendidikan. Bagi kebanyakan orang awam, kekerasan yang ada dilingkungan pendidikan sering di$ampur adukkan kedalam satu deskripsi penyebabnya. /adahal realitasnya, kekerasan yang dilakukan baik oleh pendidik ataupun yang terdidik sering berbeda akar dan moti!. Berbeda akar dan moti! tentu membutuhkan $ara penyelesaian yang berbeda pula. /enyamarataan metode penyelesaian akan membuat strategi dan aksi menyelesaikan problem akut pendidikan ini tidak e!ekti! dan $enderung jalan ditempat. Banyaknya jenis dan klasi!ikasi kekerasan dalam pendidikan membuat kajian ini terdapat banyak ulasan oleh para pakar. #denti!ikasi kekerasan dalam pendidikan dapat ditinjau dalam perspekti! tingkatannya, prilaku ini dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan, yakni berupa potensi kekerasan (violence as potential ). /ada tingkat ini kekerasan biasanya dilakukan tertutup ($onert), kekerasan de!ensie, unjuk rasa, pele$ehan martabat, dan penekanan psikis. Kedua, kekerasan tingkat sedang, yang berupa prilaku kekerasan dalam pendidikan itu sendiri ( violence in education). #ndi$ator kekerasan tingkat sedang ini men$akup5 kekerasan terbuka ( overt ), terkait dengan !isik, pelanggaran terhadap aturan sekolah atau kampus, serta membawa symbol dan nama sekolah. edangkan tingkatan yang etiga adalah kekerasan tingkat berat, yakni tindakan $riminal ( criminal action). /ada tingkat ini kekerasan berbentuk tindak o!ensi!, ditangani oleh pihak yang berwajib, ditempuh oleh jalur hukum, dan berada diluar ruang lingkup sekolah yang berwenang. 6 elain klasi!ikasi dan bentuk-bentuk kekerasan berdasarkan tingkatannya diatas, kekerasan juga dapat digolongkan menjadi tiga kelompok se$ara garis besar. Pertama, kekerasan !isik, kekerasan model ini tergolong dalam kekerasan yang berat dan men$ederai. /emukulan, penyerangan terhadap korban, menghukum dengan menekankan pada !isik seseorang, sampai yang paling ekstrim adalah membunuh 3 mil -urkheim sering disebut sebagai sosiolog pendidikan, beliau berpendapat bahwa
sekolah merupakan satusatunya institusi yang menyiapkan fungsi sosial dan tidak dimiliki oleh institusi lain. ekolah adalah miniatur masyarakat, sebuah model system sosial. -alam sekolah, siswa harus berinteraksi dengan anggota masyarakat di sekolah menurut seperangkat peranperan tertentu. )engalaman berinteraksi ini yang akan menyiapkan peserta didik untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat se"ara keseluruhan menurut peranperan tertentu. 4 eori tentang jenis, tingkat kekerasan dan indikatornya di atas diambil dari /a"k -. -ouglas dan 0ran"es 1haput !aksler, 2Kekerasan3 dalam homas antoso (d&. Teori-teori Kekerasan, (/akarta: 4halia, #$$#& 5lm. **%#, dan A Ridwan 5alim, Tindak Pidana Pendidikan dalam Asas-asas Hukum Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Yuridis dukati!, (/akarta: 4halia, *678& 5lm. #6'*, yang penulis himpun dari buku karya Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: iara !a"ana Yogya, #$$%&, hlm. '9
atas dasar penegakan aturan yang dilakukan terlalu berlebihan merupakan salah satu $ontoh ke$il dari kekerasan !isik ini. Kekerasan !isik biasanya dilakukan se$ara indiidu ataupun berkelompok. 2aluri destrukti! dan mental purba yang disulut amarah a$apkali menjadi dasar kekerasan yang dapat membuat penderitaan terhadap manusia ini. Kekerasan !isik yang dilakukan oleh kelompok jauh lebih mengerikan, menurut 7ri$ &o!!er, pemi$u kekerasan dalah hal-hal yang mempersatukan gerakan massa. eperti rasa ben$i kolekti!, prilaku meniru rekannya, bujukan pihak tertentu, karena ajakan pemimpin ataupun yang ditokohkan, adanya unsure ke$urigaan dan upaya penggalangan atau persatuan massa. edangkan aksi pendorong timbulnya aksi bersama adalah keterikatan terhadap suatu kelompok ( gan, club dan sebagainya). 8 Kedua, kekerasan psikis. Kekerasan model ini dapat terjadi dari mulai pendidikan setingkat TK (Taman Kanak-kanan) sampai perguruan tinggi. Kekerasan /sikis ini biasanya terjadi melalui kata-kata, baik katakata pedas, sinis, atau penghinaan. Bentuk kekerasan psikis, misalnya, dengan melontarkan umpatan 9bodoh kamu9, 9otak udang9, atau 9otakmu di dengkul9, dan kalimat :bully: yg lain. Kekerasan psikis dapat mengakibatkan, antara lain, murid atau mahasiswa menjadi rendah diri atau pasi!. /engkerdilan potensi yang diakibatkan oleh kekerasan psikis akan sangat berdampak pada pertumbuhan dan proses dialektika pengetahuan di dalam lingkup pendidikan. ula-mula, siklus pengkerdilan potensi lewat kekerasan psikis menurut 7ri$h 0romm adalah bahwa tiap anak pasti memiliki dan menyimpan sikap menentang dan daya berontak tertentu, lantaran selalu berada dalam kon!lik dengan lingkungan sekitar yang $enderung menghalangi gerak-jelajahnya, dan sikap itu makin kental karena, sebagai pihak yang lebih lemah, si anak biasanya harus mengalah. /roses pendidikan pun direka dengan salah satu sasaran awal berupa penghapusan tanggapan antagonisti$ anak ini. etoda-metoenya berma$am-ma$am, ada yang menakut-nakuti anak, mengan$am dan menghukum, menakut-nakuti anak, sampai ke $ara-$ara yang lebih samar yakni lewat penyuapan atau *penjelasan+ yang membingungkan si anak dan membuatnya kerdil dan menanggalkan sikap semula. "alam kekalahannya, si anak akan berhenti mengungapan perasaan-perasaan sejatinya, kemudian lamakelamaan ia berhenti merasa.; Kekerasan model ini kerap kali dilakukan oleh pendidik-pendidik di 2egara kita, terutama sekolah yang masih menggunakan metode tradisionalis dalam proses belajar mereka. Ketiga, adalah kekerasan simbolik. "iantara dua model kekerasan diatas, kekerasan simbolik adalah kekerasan yang kasat mata, tak tampak tapi berdampak besar. 2amun sebenarnya bentuk kekerasan ini mudah untuk diamati. #a sebenarnya ada dimana-mana, dalam dunia pendidikan, dengan segala konsep dan strateginya. Konsep kekerasan simbolik pada umumnya digunakan untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elit atau kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial untuk *memaksakan+ ideology, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya.< isi dari kekerasan simbolik adalah berusaha memaksakan kehendak, baik berupa 5 ri" 5oer, 2he rue ;elie
=bor >ndonesia, *677& 6 elengkapnya ba"a di )aulo 0reire, >
lli"h, ri"h fromm dkk, #enggugat Pendidikan; $undamentalisme, Konser%atisme, &i'eral, Anarkis (Yogyakarta: )ustaka )elajar, *666& 5lm. '%% 7 ?anang Martono, Kekerasan Sim'olik di Sekolah; Se'uah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre (ourdieu (-epok: ) Rajagra@ndo )ersada, #$*#& 5lm. +
symbol-simbol ataupun gaya hidup orang elit kepada mereka yang se$ara struktur sosial dibawah kelas atas tadi. /endidikan digunakan sebagai *medan perang+ dengan berbagai strategi dan mekanisme untuk membangun paradigma kelas bawah agar mereka senantiasa mengakui dan menjadi bagian yang *dipaksakan+ untuk mengikuti alur kehidupan masyarakat atas. "ari ketiga tipologi kekerasan yang ada dalam ruang lingkup pendidikan diatas, memberikan penjelasan kepada kita bahwa bentuk-bentuk kekerasan tersebut akan sangat berbahaya bagi kelangsungan proses transfer of no!ledge . Kekerasan yang timbul dari institusi yang selama ini dikenal sebagai tempat penanaman nilai-nilai yang berbasis humanisme dan rasional, menjadi kian terkesampingan akibat budaya amu dan lekat dengan penindasan. #nstitusi yang seharusnya menyiapkan peserta didik di masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai luhur menjadi kian terasing dari hakikat sebenarnya. aka, memutus rantai kekerasan tersebut mutlak dilakukan agar proses = apa yang disebut 0reire = dehumanisasi didalam pendidikan tidak terus terjadi.
Belajar dari Pierre Bourdieu; Kekerasan Simbolik Konsep kekerasan simbolik sendiri pada awalnya lahir dari sosiolog /ran$is, /ierre Bourdieu. /ria dengan nama lengkap /ierre-0eli> Bourdieu lahir di "esa "enguin ("istrik /yrenees-tlanti$ues), di selatan /ran$is pada 1 gustus 1?4@. #stilah kekerasan simbolik boleh dikatakan baru, karena umur pemikiran ini baru dimulai Bourdieu sekitar 6@ tahun belakangan dengan para sejawatnya di /ran$is. Boudieu memang tertarik se$ara politis dan akti! sebagai intelektual kiri. #a memberontak melawan mekanisme-mekanisme dominasi sosial dan membela kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan tertindas. #a memimpin sebuah komisi yang mere!leksikan mengenai isi pengajaran yang diminta oleh /residen 0ran$ois itterand. #a mendukung gerakan demonstrasi yang dilakukan untuk menolak dan menentang seleksi masuk ke uniersitas.A Bagi para mahasiswanya di niersitas /aris, Bourdieu tak ubahnya sebagai mahaguru, Bour-dieu (dewa) atau, malah sebaliknya, $ontoh teoritis mengerikan dalam samaran sosiologi. ? /engaruh-pengaruh yang membentuk pemikiran Bourdieu sangat beragam, Karena dia menggabungkan sosiologi, antropologi dan !ilsa!at. "ibidang sosiologi, sosok Bourdieu ini lebih dikenal sebagai pakar sosiologi pendidikan. Tentang hal ini, Bourdieu pernah berkata, *sosiologi pendidikan bukanlah disiplin ilmu sekunder. ebaliknya, ia merupakan inti ( core) seluruh sosiologi+. Tak heran ketika Bourdieu dikenal sebagai penerus sosiologi pendidikannya 7mil "urkheim. Kalau "urkheim menjelaskan pendidikan dari perspekti! stru$tural !ungsional, bahwa pendidikan merupakan miniature masyarakat. edangkan Bourdieu se$ara kritis mengkaji struktur kuasa yang kasat mata dari pendidikan. #a berpandangan bahwa sekolah sangat erat dengan kekerasan simbolik untuk melegitimasi tatanan sosial yang berlaku atau absah. Jika tatanan sosial berada diluar kendali, maka akan terjadi kekerasan di masyarakat kita. ntuk memahami pemikiran Bourdieu kita harus mempertimbangkan dua pokok yang berkaitan dengan basis teorinya. Pertama, teorinya bersi!at epistemologis yang mengarahkan pada suatu $ara memikirkan dan memahami dunia dengan $ermat, namun bukan teori positiistik yang berisi konsep-konsep operasional. Kedua, penelitian Bourdieu memberikan $ara-$ara penting untuk mempertimbangkan hubungan antara pendidikan dengan reproduksi dan mekanisme sosial tempat berlangsungnya inklusi dan
8 I'id, 5lm. '$ 9 Ri"hard 5arker dkk, )Ha'itus * #odal+ anah . Praktik; Pengantar Paling Komprehensi!
kepada Pemikiran Pierre (ourdieu, (Yogyakarta: /alasutra, #$$6& 5lm.
ekslusi sosial yang di$iptakan dalam medan relasional sebagai !akta sosiologis dan historis. 1@ #a sangat serius dalam pen$ariannya akan *proses sosiologis uniersal+. Basis teori Bourdieu untuk menuju kepada apa yang disebutnya sebagai kekerasan simbolik ada empat ma$am, yaitu *modal+, *kelas+, *habitus+ serta *kekerasan dan kekuasaan+. Berikut deskripsi dari masing-masing konsepC 1. Modal
Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang *terbendakan+ atau bersi!at *menumbuh+- terjiwai dalam diri seseorang). 11 "alam bahasa yang lebih sederhananya, modal dapat juga diartikan sebagai sekumpulan sumber daya (baik materi maupun non materi) sebagai upaya untuk men$apai tujuan yang diinginkan. /osisi atau struktur sosial akan sangat ditentukan oleh seberapa besar modal yang dimiliki seseorang. odal mesti ada didalam sebuah ranah, agar ranah tersebut dapat memiliki arti. anah dapat dipahami sebagai ranah kekuatan dan perjuangan posisi dan otoritas legitimit. "alam hal ini Bourdieu mengklasi!ikasikan modal menjadi beberapa hal. Pertama, *modal sosial+ (so$ial $apital), hal ini dapat diartikan sebagai sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan saling mengakui yang member anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. 13 odal sosial erat hubungannya dengan kondisi sehari-hari sesorang ketika bersosialisasi. Bentuk dari modal sosial ini bisa berupa hubungan sosial yang tidak terikat, misalkan pertemanan atau yang terikat, misalkan sesama suku atau kelompok yang saling berhubungan dengan intensi!. Kedua, *modal budaya+ ($ultural $apital), merujuk kepada kemampuan dan keahlian indiidu. "idalamnya dapat berarti kemampuan seseorang untuk bertutur, berpenampilan, $ara bergaul dan sebagainya. odal budaya ini terwujud berkat keahlian yang dimiliki dan mendapat pengakuan dalam status sosial se$ara $ultural dan !ormal. Ketiga, *modal simbolik+ (symboli$ $ultural), merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain dan mungkin tidak dikenal sebagai suatu bentuk material kekuasaan yang se$ara institusional diorganisasi dan diberi jaminan. 14 ontoh yang paling sederhana dari modal simbolik ini adalah dengan pemilihan suatu tempat atau yang membedakan indiidu satu dengan indiidu yang lain. isalC dimana dia tinggal, diperumahan elit atau kumuh, dan lain sebagainya. /osisi sema$am ini menurut Bourdieu dapat membawa serta *kekuasaan untuk memberi nama+ (aktiitas, kelompok), kekuasan untuk mewakili pendapat umum (common sense) dan yang terpenting kekuasaan untuk men$iptakan *ersi dunia yang resmi+. Kekuasaan untuk merepresentasikan seperti itu berakar dari modal simbolik. 2. Kelas
e$ara umum, konsepsi kelas menurut Bourdieu sangat erat dengan pendahulunya, Karl ar>. e$ara khusus Bourdieu mende!inisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang 10 ?anang Martono, Kekerasan Sim'olik di Sekolah; Se'uah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
(ourdieu (-epok: ) Rajagra@ndo )ersada, #$*#& 5lm. '* 11 I'id, 5lm. '# 12 I'id, 5lm. '' 13 Ri"hard 5arker dkk, )Ha'itus * #odal+ anah . Praktik; Pengantar Paling Komprehensi! kepada Pemikiran Pierre (ourdieu, (Yogyakarta: /alasutra, #$$6& 5lm. *7
serupa (Bourdieu dalam &a$ker5 3@@?). enurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. "isini Bourdieu lebih menitikberatkan konsepsinya pada hubungan antar kelas se$ara langsung diranah sosial kemasyarakatan. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga. /embedaan ini sekali lagi didasarkan pada !aktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang $ukup besar. #ndiidu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan se$ara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua, kelas borjuasi ke$il. ereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan si!at dengan kaum borjuis, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. ereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. ereka berada pada posisi yang $enderung menerima dominasi kelas dominan, mereka $enderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan. 16 3. Habitus
enurut Bourdieu &abitus adalah suatu system disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition ) yang ber!ungsi sebagai basis generatie bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu se$ara objekti! (&a$ker5 3@@?). &abitus menga$u pada sekumpulan disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama) yang ter$ipta dan ter!ormulasi melalui kombinasi struktur objekti! dan sejarah personal. "isposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada didalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjekti! terhadap posisi tersebut. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan !ilsa!ati atas perilaku manusia. "alam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan ter$ipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi $ara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. "alam bahasa yang lebih sederhana habitus juga disebut sebagai *kebiasaan+. "ari modal dan kelas yang berbeda, seseorang akan mempuanyai habitusnya (kebiasaan) sendiri dan akan bertahan lama. 4. Kekerasan dan Kekuasaan
enurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. &al tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. 18 "isini kekerasan mun$ul sebagai upaya kelas dominan melanggengkan dominasi dan struktur sosialnya kepada kelas yang terdominasi. "alam mempertahankan kekuasaan kelas dominan, maka mereka kerap menjalankan aksinya dengan kekerasan yang sistemik dan tidak mudah dikenali untuk menan$apkan kuasa bagi kalangan yang ditindasnya.
14 ?anang Martono, Kekerasan Sim'olik di Sekolah; Se'uah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
(ourdieu (-epok: ) Rajagra@ndo )ersada, #$*#& 5lm. '+'8 15 ?anang Martono, Kekerasan Sim'olik di Sekolah; Se'uah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre (ourdieu (-epok: ) Rajagra@ndo )ersada, #$*#& 5lm. '6
ekanisme pelanggengan kekuasaan dengan jalan kekerasan tersebut tidak harus dilakukan dengan jalan kekerasan !isik yang nyata dan mudah dikenali. ekanisme yang dilakukan kelas dominan untuk melanggengkan kekuasaan se$ara perlahan namun pasti, tidak dengan $ara-$ara instant namun dengan $ara sistemik dan berkelanjutan. ehingga kelas yang terdominasi tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dijadikan sebagai objek kekerasan. /ola dan mekanisme yang demikian sangat sulit dikenali untuk menindas, mendominasi kelas bawah dan memaksakan kehendak berkuasa lewat dominasi simbol. ekanisme yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai kekerasan simbolik. /ola melanggengkan dan menindas seperti ini sesuai dengan apa yang disebut 'rams$i sebagai hegemoni. &egemoni kekuasaan lewat kekerasan jauh lebih berbahaya, karena pola kekerasan ini terletak pada upaya a$tor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada a$tor lain sebagai sesuatu yang alami dan tidak kenali. Bahkan makna sosial tersebut kemudian lambat laun menjadi sesuatu yang dianggap benar dan absah bagi kalangan tertindas. Kekerasan ini bahkan tidak dirasakan oleh objeknya sebagai pemaksaan kehendak dari yang dominan, sehingga dapat berjalan maksimal dan mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai upaya pemaksaan yang sudah mendapatkan keper$ayaan yang sudah tertanam se$ara sosial. /ada akhirnya, yang tertindas akan mempunyai nalar berpikir *memang seharusnya demikian+ menjadi tujuan dari dominasi kekuasaan lewat kekerasan simbolik tersebut.
Pendidikan Sebagai Ladang Kekerasan Simbolik /endidikan yang seyogyanya digunakan sebagai wahana ilmiah, obyekti!, kritis, bebas dan merdeka dalam pen$arian dan pengembangan pengetahuan pun tak luput dari problem kekerasan ini. #a telah menjelma menjadi media bagi pen$iptaan kepatuhan total terhadap kekuasaan yang memperalatnya. /endidikan telah menjadi alat $ontrol pikiran yang sistematis, yang melaluinya pikiran setiap peserta didik tidak dibiarkan berkembang luas se$ara bebas dan luas, tapi justru dipenjara didalam sebuah perangkap pikiran yang hanya memiliki satu dimensi, yaitu kepatuhan total. Debih dari itu, kekerasan simbolik berperan sebagai soft!are yang memainkan pengaruh pada pembentukan pola pikir, wawasan, ke$erdasan dan sikap terhadap lingkungan sosial yang dehumanistik C jauh melewati batas peran hard!are pendidikan berupa institusi serupa sekolah, akademi, institute, perguruan tinggi atau uniersitas.1; /endidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. ekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya ( cultural reproduction)1<, sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antar generasi ('iddens, 3@@;). Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui = apa yang disebut #lli$h = hidden curriculum, pendidikan (dalam konteks ini sekolah) mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. /elaku 16 M -awam Rahardjo, 2)embangunan dan Kekerasan truktural : Agenda Riset
)erdamaian3, dalam Prisma (/akarta: )', *67*& 17 >stilah /ultural reprodu/tion diperkenalkan ;ourdeau di )ran"is pada awal *69$. Analisis ;ourdieu ini melihat praktik pendidikan dalam masyarakat modern. >a per"aya bahwa dalam masyarakat modern, praktik pendidikan selalu digunakan sebagai alat untuk mereproduksi budaya kelas dominan dalam rangka kelas dominan itu terus mengendalikan kekuasaannya. 4agasan /ultural reprodu/tion ini ditulis bersama koleganya /ean 1laude )asseron dalam 20ultural eprodu/tion and So/ial eprodu/tion3.
pendidikan (siswa) dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan $ara berbi$ara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa diistilahkan oleh Bourdieu dengan habitus untuk melanggengkan dominasi. /raktik kekerasan simbolik dalam ruang lingkup pendidikan ini bisa kita kenali lewat kegiatan dan tata aturan yang menjadi budaya kelas dominan dan dipaksa masuk dalam tataran struktur sosial yang majemuk di sekolah. emisal kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan yang tentu jarang terjamah oleh kelas bawah. Belum lagi persoalan biaya yang akan dikeluarkan ketika peserta didik turut serta masuk dalam budaya kelas atas tersebut, tentu bagi kelas bawah yang notabene dari keluarga yang kurang mampu akan kesulitan mengikuti gaya hidup kelas dominan tersebut. ekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai $ara praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan guru di sekolah. /emisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. rtinya, se$ara tidak langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi pelajaran se$ara penuh, karena sebagian materi yang lain akan disampaikan melalui bimbingan belajar. iswa dari kelas bawah juga tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. ekali lagi, $ara-$ara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal. 1A Komersialisasi menjadi kian lekat ketika pendidikan yang seharusnya menjadi wahana akulturasi sosial sejak dini bagi anak-anak sudah kelihatan menganga jurang perbedaannya dengan pemaksaan yang sistematis seperti ini. Dambat laun, budaya kelas dominan = mau tidak mau = harus juga menjadi budaya yang diikuti oleh seluruh elemen dalam pendidikan tersebut. etiap hari mereka selalu *dikenalkan+ dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, $ara berpakaian, $ara bersikap, $ara berperilaku, $ara bertutur kata, $ara bertindak *yang baik+ menurut kelas dominan. kan tetapi, mereka selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur *dari sananya+, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas dominan dengan lapang dada. /adahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila habitus mereka telah diinjak-injak, di$ampakan, dibuang, dianggap sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. &abitus mereka tidak boleh dibawa di sekolahC di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. ereka harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka5 berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali diatur sedemikian rupawarna sepatu harus hitamC ketika pelajaran olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga. 1? /raktik kekerasan simbolik pun tak hanya lewat kegiatan sekunder seperti diatas, bahkan materi ajar yang digunakan dalam kurikulum sangat lekat dengan praktik ini. Buku-buku ba$aan dalam sekolah kerap hanya $ondong memberikan $ontoh budaya kelas dominan saja. &al itu lengkap ter$oer dalam penelitian 18 ?anang Martono, Kekerasan Sim'olik di Sekolah; Se'uah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
(ourdieu (-epok: ) Rajagra@ndo )ersada, #$*#& 5lm. %% 19 I'id, 5lm. %+
yang dilakukan 2anang artono terhadap buku ajar bagi jenjang pendidikan dasar. &al ini menjadi bukti dasar bahwa kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin dalam ruang lingkup pendidikan sengaja dipelihara dengan memaksakan pemakaian budaya dominan yang digunakan sebagai standart. "engan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. /roses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah se$ara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum !ormal maupun hidden curriculum yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi5 melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. "alam kontestasi masyarakat majemuk, kurikulum adalah sarana ampuh untuk men$iptakan dominasi. "ominasi mayoritas tentu akan dipertahankan melalui system pendidikan yang belum tentu diterima oleh habitus lain. /enyeragaman kurikulum sesuai dengan pesanan pemerintah kerap hanya digunakan sebagai wahana pelanggengan kekuasaan dan truth claim terkait isi sang penguasa. Eang lebih menghawatirkan adalah, kekerasan simbolik ini diturunkan se$ara hierarki, mulai dari enteri /endidikan 2asional (endiknas), kepala dinas, kepala sekolah, sampai guru sebagai ujung tombaknya. aka yang kemudian terjadi adalah *totalitarianisme pendidikan+, menjalankan proses pendidikan sebagaimana melaksanakan perang, harus satu komando dan mengharamkan adanya pemikiran kritis dan inoasi.
Pendidikan Liberati Sebagai Alternati emutus spiral kekerasan simbolik dalam pendidikan bukanlah perkara mudah. ungguh pun demikian, pengampu kebijakan dan pelaku pendidikan harus melakukan upaya seksama agar dalam lembaga pendidikan praktek hegemoni habitus dominan tidak kian menggurita. "ari sini pulalah diharapkan adanya sebuah kenis$ayaan untuk menemukan jalan keluar demi memutus rantai kekerasan yang dimaksud. "isini penulis memberikan alternatie tawaran dengan basis teori pendidikan nilai yang memerdekakan (liberati!). /endidikan sejatinya harus diarahkan kepada proses emansipasi para mitra-didik. "on multa sed multum, bukan yang tau banyak tetapi yang tau mendalam, kata adagium romawi klasik. /endidikan yang multum tidak mun$ul dari system yang memberatkan dan bersi!at ha!alan. Karena jika demikian memberatkan (multa), yang mun$ul ialah siswa siap pakai dalam arti siap disuruh dan terhegemoni. Fleh karena itu, omo angun (1??A) memberikan tiga sasaran emansipatoris, yakni tujuan pendidikan yang eksplorati!, kreati! dan integral. 3@ igni!ikansi pendidikan di atas diarahkan untuk membuat peserta didik dalam mempertajam $akrawala perspekti! dan peran institusi pendidikan digunakan sebagai mediasi yang membuat mereka menjadi sadar dan peka realitas sosial, bukan pola pendidikan yang mendiskreditkan habitus kelas terdominasi untuk dipaksa menerima realitas sosial kelas dominan. /aradigma tersebut sesuai dengan argumentasi untuk mendidik anak se$ara utuh sebagai manusia dinamis dalam kondisi sosial yang beragam. /endidikan 20 ihat pemikiran Romo Mangun dalam umartana dkk. #endidik #anusia #erdeka: omo
Y1(1 #angun2ija3a 45 Tahun, (Yogyakarta: ->A?B>nter@dei dan )ustaka )elajar, 1et. >>, *66+&, 5lm. %+
liberati! menghendaki suatu pendidikan yang dipertautkan dengan system sosial, sehingga dapat membentuk pribadi yang utuh dan tidak terpisah atau teralienasi dari pengalaman hidup. /endidikan nilai yang memerdekakan tidak direduksi melalui bobot pelajaran yang eksploitati!, tetapi lebih menunjukkan upaya penyadaran (conscienti#ation) bagi jiwa dan akal budi. /endidikan liberati! tidak hanya berupaya memahami pengetahuan, tetapi tujuan hakiki yang hendak dibangun ialah kesadaran untuk kehidupan sosial yang lebih luas. "alam konteks kekerasan simbolik, untuk men$apai !ungsi pendidikan liberati! hendaknya pendidikan harus dijauhkan dari upaya hegemoni dan membonsai kesadaran habitus kelas dominan untuk menjadi kesepakatan sosial yang wajib dipakai untuk ruang lingkup pendidikan yang seharusnya dinamis. ateri ajar yang menjadi muatan utama pendidikan harus menyajikan materi yang lebih netral dan seimbang. "etral dalam arti, sebaiknya bahan, baik berupa kalimat ataupun gambar yang digunakan tidak mengandung bias kelas. "alam pengertian yang lebih mendalam bias kelas dapat diartikan sebagai upaya yang hanya menonjolkan kelas tertentu, terutama kelas dominan. $eimbang dalam arti, habitus kelas atas dan kelas bawah harus disajikan se$ara proporsional agar habitus kelas atas tidak mendominasi. Budaya-budaya kelas atas harus ditampilkan se$ara proporsional tanpa harus mendiskriminasikan posisi mereka dalam status sosial. Begitupun dengan kebijakan-kebijakan lain dalam ruang lingkup pendidikan, netralitas dan seimbang harus didahulukan dalam system yang dewasa ini terlihat lebih mengakomodir kelas dominan. da banyak budaya kelas bawah yang patut diapresiasi di balik berbagai kekurangan yang dialami masyarakat kelas bawah, misalnya5 sederhana dan hemat. 2ilai-nilai inilah yang seharusnya bisa dikembangkan sehingga pendidikan tidak kaku dan terkesan hanya yang memiliki modal budaya tinggilah yang dapat menikmati. /eran pendidikan bagi 0reire, adalah menjadikan manusia sadar akan kemanusiaannya. "ominasi kelas elit yang sistematis dalam symbolic violence akan menyebabkan manusia menjadi tertindas se$ara tidak sadar. Ke$enderungan menindas yang demikian sudah mengarah ke sadisme, dimana ke$enderungan yang didapat dari dominasi penuh atas orang lain adalah intisari dorongan sadistik. ara lain untuk merumuskan pemikiran yang sama adalah dengan berkata bahwa sasaran sadism adalah mengubah orang menjadi benda, mengibah makhluk hidup jadi tak bernyawa, lantaran dengan $ontrol penuh yang mutlak makhluk hidup pun kehilangan kualitas esensial untuk hidup = yakni kebebasan. 31 Fleh sebab itu, kekerasan simbolik adalah bagian dari penindasan yang halus, tidak dikenali dan sistematis tetapi tidak kalah sadisnya dengan penindasan !isik dan yang lain. emutus spiral kekerasan ini dengan pendekatan pendidikan yang memerdekakan dan berbasis pada nilai sosial (liberati!) adalah se$uil gagasan yang dapat diterapkan.
Simpulan Kekerasan simbolik selalu menampakkan dirinya seolah-olah itu GbenarH menurut semua orang, tetapi dampak yang ditimbulkan bisa jauh lebih besar dari kekerasan-kekerasan yang !amiliar ditelinga kita. Terkait dengan itu, seluruh elemen bangsa dan 2egara perlu memiliki komitmen total untuk membumikan pendidikan yang humanis-subtanti!, memerdekakan kemanusiaan dan tanpa ter$ampuri oleh kepentingan kekuasaan. #ntinya, menyadur ungkapan oroush, metode dan etika moral patut dikedepankan guna
21 )aulo 0reire, >lli"h, ri"h fromm dkk, #enggugat Pendidikan; $undamentalisme,
Konser%atisme, &i'eral, Anarkis (Yogyakarta: )ustaka )elajar, *666& 5lm. %%6
membatasi kekuasaan, men$apai keadilan, dan menggapai hak asasi. 33 "engan demikian kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana yang digunakan untuk menegakkan keadilan dan menginternalisasi nilainilai kemanusiaan yang menjadi sejatinya pendidikan, sehingga setiap orang dan kelompok memperoleh hak-haknya yang setara tanpa hegemoni, paksaan dan kekerasan, apapun bentuknya itu.
22 Abdol Karim oroush, eason, $reedom, and 6emo/ra/3 Islam: ssential 7ritings o!
A'dolkarim Soroush (=Cford Dni