BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Persalinan prematur didefinisikan sebagai persalinan yang dimulai sebelum 37 minggu dari masa kehamilan normal. Tingkat kelahiran prematur telah dilaporkan berkisar dari 5% sampai 7% dari kelahiran hidup di beberapa negara maju, tetapi angka kelahiran premature diperkirakan jauh lebih tinggi di negara berkembang (10-13%), bahkan lebih, di beberapa negara (Pakistan, Indonesia , Mauritania) dengan laporan angka kejadian yang sangat tinggi (15-16%). Kelahiran prematur merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal di negara maju dan negara berkembang. [1] Sebesar 70% penyebab tingginya kematian perinatal disebabkan oleh persalinan prematur, sedangkan kematian perinatal sendiri merupakan tolak ukur kemampuan suatu negara dalam upaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh. [2] Kelahiran prematur merupakan penentu utama kematian neonatal, morbiditas dan kecacatan masa kanak-kanak. Kelahiran prematur tetap menjadi salah satu masalah di bidang obstetri yang paling serius. Kelahiran prematur diakui sebagai masalah di seluruh dunia yang bertanggung jawab terhadap sebagian besar kematian neonatal dan sebagian besar morbiditas neonatal pada bayi yang masih hidup. Insiden kelahiran prematur relatif konstan selama tiga dekade terakhir dan ada kecenderungan mengkhawatirkan bahwa angka tersebut akan terus meningkat.[1, 2] Ada banyak penyebab persalinan prematur, bagaimanapun, infeksi passageway passageway adalah salah satu penyebab paling penting karena partisipasi yang tinggi dalam jumlah persalinan prematur dan juga karena fakta
1
bahwa hal tersebut menimbulkan beban ganda dan ancaman bagi bayi yang baru lahir. Setidaknya 40% dari kelahiran prematur berhubungan dengan infeksi intrauterin. Dalam kasus-kasus individual seringkali sulit untuk menentukan apakah infeksi tersebut merupakan penyebab atau konsekuensi dari proses menuju kelahiran prematur. [3] Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terjadi penurunan AKB (Angka Kematian Bayi) sejak tahun 1991 yaitu sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup menurut SDKI 2007.3 Namun, angka tersebut masih jauh dari target Millennium Development Goals (MDGs) ke 4 yang berisi target untuk menurunkan angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Disamping itu, adanya program Expanding Maternal
and
Neonatal
Survival
(EMAS)
yang
bertujuan
untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi sebesar 25% pada tahun 2011 hingga 2016, menjadikan perlunya mempelajari faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi luaran maternal dan perinatal, khususnya pada pada persalinan prematur sehingga dapat menekan angka mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi. [4] Keberhasilan perinatal
yang
menurunkan
angka
berhubungan dengan
morbiditas
persalinan
dan
preterm
mortalitas mungkin
memerlukan identifikasi faktor risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah persalinan preterm. Sehinggan diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm.[1, 2, 3, 4]
2
bahwa hal tersebut menimbulkan beban ganda dan ancaman bagi bayi yang baru lahir. Setidaknya 40% dari kelahiran prematur berhubungan dengan infeksi intrauterin. Dalam kasus-kasus individual seringkali sulit untuk menentukan apakah infeksi tersebut merupakan penyebab atau konsekuensi dari proses menuju kelahiran prematur. [3] Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terjadi penurunan AKB (Angka Kematian Bayi) sejak tahun 1991 yaitu sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup menurut SDKI 2007.3 Namun, angka tersebut masih jauh dari target Millennium Development Goals (MDGs) ke 4 yang berisi target untuk menurunkan angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Disamping itu, adanya program Expanding Maternal
and
Neonatal
Survival
(EMAS)
yang
bertujuan
untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi sebesar 25% pada tahun 2011 hingga 2016, menjadikan perlunya mempelajari faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi luaran maternal dan perinatal, khususnya pada pada persalinan prematur sehingga dapat menekan angka mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi. [4] Keberhasilan perinatal
yang
menurunkan
angka
berhubungan dengan
morbiditas
persalinan
dan
preterm
mortalitas mungkin
memerlukan identifikasi faktor risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah persalinan preterm. Sehinggan diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm.[1, 2, 3, 4]
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
DEFINISI
Kelahiran prematur didefinisikan sebagai setiap kelahiran sebelum 37 minggu masa kehamilan normal. Diperkirakan 15 juta bayi dilahirkan prematur, dengan berbagai komplikasi yang dihasilkan. Ini adalah penyebab utama dari sekitar satu juta kematian neonatal setiap tahun dan merupakan kontributor signifikan untuk morbiditas masa kanak-kanak. [5] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kelahiran prematur sebagai setiap kelahiran sebelum 37 minggu penuh, atau kurang dari 259 hari sejak hari pertama menstruasi terakhir wanita. Ini dibagi lagi atas dasar usia kehamilan: [5]
extremely preterm
< 28
weeks;
very preterm
28
– < 32
weeks;
moderate or late preterm
32
– < 37
weeks.
Ini adalah yang paling banyak digunakan dan diterima sebagai definisi kelahiran prematur.
2.2.
EPIDEMIOLOGI
Kelahiran prematur, yang didefinisikan sebagai kelahiran terjadi antara 20 dan 36 minggu kehamilan, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal. Komplikasi prematur adalah penyebab utama kematian di kalangan anak-anak di bawah usia lima tahun, hampir setengah dari kelahiran yang terjadi sebelum 32 minggu masa kehamilan mengakibatkan kematian oleh karena kurangnya biaya perawatan. [1, 6]
3
Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terjadi penurunan AKB (Angka Kematian Bayi) sejak tahun 1991 yaitu sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup menurut SDKI 2007.3 Namun, angka tersebut masih jauh dari target Millennium Development Goals (MDGs) ke 4 yang berisi target untuk menurunkan angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. [4]
2.3.
ETIOLOGI
Pada kebanyakan kasus, penyebab pasti dari persalinan preterm tidak diketahui. Beberapa mekanisme yang dapat terjadi termasuk infeksi, inflamasi, iskemia atau perdarahan uteroplasenta, peregangan uterus yang berlebihan, 4atrog, dan berbagai macam proses imunologi. Secara garis besar terdapat tiga kelompok yang mungkin menjadi penyebab persalinan preterm, yaitu :[2, 4, 5] 1.
Persalinan preterm atas indikasi ibu atau janin (4atrogenic) merupakan suatu persalinan yang dilakukan atas indikasi medis dimana kehamilannya dapat membahayakan ibu atau janinnya. Janin dilahirkan untuk mencegah morbiditas atau mortalitas pada ibu dan atau janin tanpa memperhatikan usia kehamilan. Kondisi ini termasuk preeklamsia, hipertensi kronis, diabetes mellitus, plasenta previa atau solusuio plasenta. Persalinan seperti ini terjadi sekitar 20 % dari seluruh persalinan preterm.
2.
Sekitar 30-40% persalinan preterm disebabkan oleh pecahnya membrane koriamnion pada usia kehamilan preterm dengan atau tanpa adanya infeksi. Kondisi ini sering didahului oleh adanya tanda-tanda persalinan preterm spontan .
3.
Sisanya 40-50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui (idiopatik).
4
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifactorial dan sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya i alah: [1,2,3,4] 1.
Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2.
Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3.
Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4.
Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5.
Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6.
Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik),
7.
Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamushipofisisadrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan
8.
Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).
2.4.
FAKTOR RESIKO
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor risiko persalinan preterm, namun faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalian preterm, bahkan sebagian persalinan preterm normal tidak mempunyai faktor risiko.
[1. 6, 7]
Beberapa faktor risiko di atas yang diketahui meningkatkan persalinan preterm dapat digolongkan menjadi dua kriteria: [7] 1.
Kriteria Mayor a.
Kehamilan Ganda
b.
Hidramnion
c.
Anomali Uterus
5
d.
Pembukan Servik > 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu
e.
Panjang Servik < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (TVS)
2.
f.
Riwayat abortus pada trimester 2 > 1x
g.
Riwayat persalinan preterm sebelumnya
h.
Operasi abdominal pada kehamilan preterm
i.
Riwayat konisasi
j.
Iritabilita uterus
k.
Penggunaan kokain atau amfetamin
Kriteria Minor a.
Penyakit yang disertai demam
b.
Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu
c.
Riwayat pielonefritis
d.
Merokok lebih dari 10 batang per hari
e.
Riwayat abortus pada trimester 2
f.
Riwayat abortus pada trimester 1 lebih dari 2 x
Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor). [2, 7]
2.5.
PATOGENESIS
Patogenesis kelahiran prematur terutama berhubungan dengan sitokin, matrixmetalloproteinases dan prostaglandin. Efek pemicu terutama terlihat pada reseptor pengenalan pola ( pattern recognition receptors – PRR). Reseptor ini memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi struktur molekul tertentu, umum terdapat di sebagian besar mikro-organisme.
6
Selain itu, reseptor ini juga mengikat “sinyal berbahaya” dari jaringan yang rusak - produk stres oksidatif (yang mungkin merupakan suatu jalur non-infesius dari kelahiran prematur). Kelompok yang paling penting diwakili oleh Toll-like receptors, TLR. Pengikatan ligan pada reseptor PRR / TLR menghasilkan aktivasi faktor kappa B nuklir, yang stimulasinya terhubung dengan stimulasi sitokin, matrixmetalloproteinase dan growth-factor transkripsi gen. Beberapa sitokin memiliki efek pro atau anti-inflamasi, misalnya interleukin-6 dan -8 atau interleukin-10. Dalam beberapa interleukin, peran mereka berubah secara dinamis selama peradangan, Interleukin-10
misalnya
pada
dianggap
TGF – transforming
sebagai
salah
satu
growth
factor .
kunci
untuk
faktor
“pemeliharaan” kehamilan. TGF – beta1 merupakan salah satu sitokin dari fase inisiasi peradangan dan dihubungkan dengan korelasinya terhadap kondisi janin sebagai suatu allograft. [8] Penelitian-penelitian
tentang
epidemiologi
dan
patogenesis
persalinan preterm menyimpulkan 4 jalur penyebab yang mendasari terjadinya persalian preterm, yaitu;[2, 6, 7, 8, 9] 1.
Infeksi dan inflamasi
2.
Aktivasi maternal-fetal hipotalamus-hipofisis-axis adrenal
3.
Perdarahan desidua
4.
Peregangan uterus
Masing-masing dari keempat jalur penyebab persalinan preterm tersebut akan menyebabkan kontraksi uterus, dilatasi serviks, pecah ketuban dan persalinan preterm. Keempat jalur patogenesis persalinan preterm ini mempunyai mediator kimia yang unik. [2, 6, 7, 9, 10] 2.5.1.
Infeksi dan Inflamasi
Banyak bukti yang menunjukan bahwa mungkin sepertiga kejadian persalian preterm pada populasi (wanita hamil) berkaitan dengan infeksi intra uteri. Dari penelitian yang dilakukan oleh Bobbit dkk membuktikan infeksi intra amnion subklinis sebagai
7
penyebab persalinan preterm dimana dengan amniosintesis didapat mikroorganisme patogen sekitar 20% dari wanita-wanita yang
mengalami
persalinan
preterm
dengan
korioamnion yang intak dan tanpa gejala klinis infeksi.
membran [2, 6, 7, 9, 10]
Bakteri yang sering dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm adalah: Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella ureaplasma dan Escherchia coli tapi kebanyakan bakteri-bakteri vagina ini virulensinya rendah. Bakteri lain yang juga sering berhubungan dengan infeksi saluran genitalia,seperti: N. Gonorrhoeae, C. Trachomatis, Streptococcus group B dan E.Coli. [2, 6, 7, 8, 10] Korioamnionitis adalah infeksi pada membran janin dan cairan amnion, juga dihubungkan dengan persalinan preterm. Infiltrasi sel-sel radang pada membran janin dan desidua merangsang pengeluaran prostaglandin yang memicu terjadi persalinan. Cara yang paling sering menyebabkan infeksi intra uteri adalah melalui jalur ascenden dari bakteri di saluran genitalia bawah ke lapisan koriondesidua selanjutnya menuju rongga
amnion
dan
dapat
menyebakan
desiduitis,
korioamnionitis, koriovaskulitis. Dan bila memasuki aliran darah janin dapat mengakibatkan bakterimia pada janin dan sepsis. Jal ur ascenden ini dapat dijelaskan sebagai berikut: [2, 7, 9] 1.
Mikroorganisme menghasilkan enzim protease dan musinase yang menghidrolisis barier mukus serviks dan melemahkan jaringan kolagen pada selaput membran
korioamnion
sehingga
mikroorganisme
dapat menembus serviks. 2.
Bakteri juga menghasilkan fosfolipase yang berperan dalam
pembentukan
asam
arakidonat
(senyawa
pembentuk prostaglandin). Prostaglandin merupakan
8
mediator penting terjadinya kontraksi otot polos uterus dan pembukaan serviks. 3.
Mikroorganisme menghasilkan sitokin dan kemokin inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang merangsang pembentukan
prostaglandin
metalloproteinase
(MMP)
dan
yang
matrix
menyebabkan
kerusakan membran, preterm premature rupture of the membrane
(PPROM),
pembukaan
serviks
dan
kontraksi uterus. 4.
Pada
janin
yang
terinfeksi,
terjadi
peingkatan
produksi corticotropin releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Sekresi
kortisol
akan
meningkatkan
produksi
prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus. Patogenesis terjadinya persalinan preterm oleh karena infeksi melalui beberapa jalur yang dijelaskan sebagai berikut: jalur pertama yang menginisiasi persalinan preterm adalah invasi bakteri
pada
koriodesidua
yang
merangsang
pelepasan
endotoksin, eksotosin, dan mengaktifkan desidua dan membran janin untuk menghasilkan berbagai sitokin yaitu TNF-α, IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colony-stimulating factor (GCSF).
Sitokin,
endotoksin,
dan
eksotosin
merangsang
pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta mengawali kemotaksis neutrofil, infiltrasi dan aktivasi, dimana pada puncaknya akan terjadi pembentukan dan pelepasan matrix metalloproteinase dan substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin akan
merangsang
kontraksi
uterus
dimana
invasi
metalloproteinase pada membran korioamnion menyebabkan
9
pecah
ketuban
dan
juga
menyebabkan
perlunakan
dan
remodelling kolagen serviks. [2, 8, 9] Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel miometrium dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua dirangsang oleh tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Keberadaan IL-6 pada serum, cairan amnion serta sekret servikovagina berhubungan dengan kejadian korioamnionitis dan persalinan preterm. Aktivasi dari jejaring sitokin menyebabkan apoptosis plasenta dan selaput korioamnion dengan glikoprotein pada Fas Ligand (Fasl). Fasl diatur oleh TNF-α pada plasenta. Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam pembukaan serviks dan mengambil tempat pada sel epitel amnion dalam sel selaput janin dan menyebabkan pecahnya selaput ketuban. [6, 7, 9] Jalur
kedua
yang
berperan
adalah
prostaglandin
dehidrogenase di jaringan korion yang menghambat masuknya prostaglandin ke miometrium sehingga mencegah terjadinya kontraksi uterus. Infeksi korionik dapat menurunkan aktivitas prostaglandin dehidrogenase sehingga menyebabkan peningkatan jumlah prostaglandin yang mencapai miometrium.[2, 8, 9] Jalur ketiga melibatkan janin. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan produksi CRH (Corticotropin Releasing Hormone)
oleh
hipotalamus
janin
dan
plasenta
yang
menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Pada akhirnya sekresi kortisol akan meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Pada 88% kasus janin terinfeksi dan terjadi peningkatan sitokin, terjadi persalinan dalam waktu 48-72 jam kemudian. [2, 7, 8, 9]
10
2.5.2.
Aktivitas Maternal-Fetal Hipotalamus-Hipofisis-Axis Adrenal
Stres meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm dengan meningkatkan pelepasan CRH (Corticotropin Releasing Hormone). CRH berasal dari hipotalamus dan berperan sebagai mediator pelepasan ACTH (Adrenocorticotropin Hormone), kemudian
ACTH
akan
meningkatkan
sekresi
kortisol.
Peningkatan kortisol secara cepat dapat meningkatkan jumlah CRH dalam sirkulasi darah sehingga produksi prostaglandin juga meningkat. Prostaglandin berperan sebagai uterotonin dan meningkatkan kemampuan miometrium melalui peningkatan jumlah reseptor oksitosin dan juga melalui pembentukan gap junction. CRH juga merangsang produksi esterogen plasenta dengan menstimulasi prekursor dari kelenjar adrenal janin. Esterogen berinteraksi dengan miometrium sehingga terjadi kontraksi dan pembukaan serviks. [1, 2, 7, 8, 9] 2.5.3.
Perdarahan Desidua
Perdarahan desidua merupakan perdarahan yang terjadi didalam desidua yaitu jaringan endometrium yang membatasi uterus, yang berhubungan dengan membran janin dan plasenta. Perdarahan
desidua
pembuluh
darah
menyebabkan uteroplasenta
penurunan
fungsi
sehingga
dari
menyebabkan
kekurangan oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan serbukan makrofag dengan pelepasan sitokinnya atau
secara
langsung
merangsang
produksi
protease
dan
prostanoid desidua melalui pembentukan trombin. Aktivasi thrombin merangsang koagulasi dan pembentukan gumpalan darah (clot), sehingga merangsang produksi protease yang memiliki
kemampuan
merusak
membrane
janin
dan
menyebabkan dilatasi serviks sehingga terjadi pecah ketuban. Trombin juga secara tidak langsung memiliki efek uterotonika pada miometrium dan merangsang kontraksi. [2, 7, 8, 9}
11
Berkurangnya aliran darah ke uterus akibat kelainan pembuluh darah berakibat terjadinya kerusakan jaringan setempat oleh lipid peroksidase (LOP) dan radikal bebas, ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease dan endotelin yang akan meningkatkan pelepasan CRH. [2, 7, 10] 2.5.4.
Peregangan Uterus
Peregangan uterus yang berlebihan seperti polihidramnion, kehamilan
multipel
dan
kelainan
anatomi
uterus
dapat
meningkatkan risiko persalinan preterm spontan. Mekanisme yang ditimbulkan adalah peregangan dapat meningkatkan aktivasi miometrium,
pengeluaran
prostaglandin
dan
sitokin,
serta
meningkatkan reseptor oksitosis pada miometrium sehingga terjadi persalinan preterm.[2, 8, 9, 10] 2.5.5.
Matrix Metalloproteinase
Matrix metalloproteinase (MMP) yang juga disebut dengan matrixins, mendegradasi kedua protein matriks dan nonmatriks, meliputi proteoglikan didalam ruang ekstraselular. Manusia memiliki 23 jenis MMP. MMP merupakan golongan enzim yang menggunakan zinc sebagai mekanisme katal itik untuk menghidrolisis substrat peptida. MMP dibagi menjadi empat golongan meliputi: [6, 8, 10] 1.
Kolagense;
meliputi
MMP-1,
MMP-8
yang
disekresikan oleh neutrofil, dan MMP-13. Tipe kolagen ini dapat memecah kolagen yang berstruktur helix dan menghancurkan kolagen tipe I dan III. 2.
Gelatinase; meliputi MMP-2 dan MMP-9. Kelompok ini mempunyai struktur fibronektin tipe II yang berfungsi
untuk
berikatan
dengan
gelatin
dan
memecah struktur gelatin.
12
3.
Stromelysins; meliputi MMP-3, MMP-10, dan MMP11, yang dapat menghancurkan kolagen tipe IV, V, IX,dan X
4.
Membran MMP tipe 1; meliputi MMP-14, kelompok ini memiliki furin pada strukturnya yang memiliki fungsi mengaktivasi MMP di intraselular, tipe ini tidak diekskresikan ke ekstraselular.
Matrix
metalloproteinase
berperanan
penting
dalam
perbaikan dan remodeling jaringan, penyembuhan luka pada respon terhadap trauma, dan pada morphogenesis. Perananya tidak hanya terbatas untuk degradasi matriks ekstraselular tetapi juga pada sel permukaan dan aktivasi dari protein matriks ekstraselular. MMP menghancurkan sel permukaan atau molekul matriks ekstraselular yang mengubah sel matriks atau interaksi sel-sel, dan menghasilkan growth factors. MMP memainkan peran dalam migrasi sel, diferensiasi sel, pertumbuhan, apoptosis dan respon inflamasi yang tidak berhubungan dengan degradasi kolagen atau molekul matriks lainnya. MMP memiliki peranan dalam kerusakan fetal membran, ripening of the cervix, dan kontraksi uterus.[6, 8, 10] Matrix metalloproteinase disintesis dalam bentuk laten oleh beberapa sel seperti fibroblas dan leukosit. Mekanisme kerja MMP mengakibatkan degradasi matriks ekstraselular merupakan suatu stimulus yang bekerja melalui ikatan membran atau reseptor interselular, yang mengakibatkan signal cascade intraselular yang menyebabkan sintesis MMP mRNA. Kemudian MMP mRNA dirubah dalam bentuk laten atau pro-MMP, membutuhkan aktivasi oleh proteinase lain di dalam matriks ekstraselular. MMP aktif dapat berikatan dengan inhibitor MMP dan menyebabkan degradasi. Beberapa MMP seperti MMP-11 diaktifkan melalui jalur furin proteolitik.[6, 8, 10]
13
Matrix metalloproteinase-9 dan MMP-2 berhubungan dengan respon inflamasi. MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim yang diekspresikan dalam plasenta dan fetal membran. MMP-9 diekspresikan di epitel amnion dan bersama MMP-2 di chorion trophoblast, aktifitas MMP diregulasi oleh tissue inhibitors of matrix metalloproteinase (TIMP). Keseimbangan antara MMP-2, MMP-9 dan TIMP memiliki peranan penting dalam aktifitas kolagenolitik lokal.[6, 8, 10] 2.5.5.1.
Peranan Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9)
Matrix metalloproteinase (MMP) merupakan kelompok enzim yang bekerja dengan mendegradasi komponen
matrix
ekstraselular.
Kolagenase
interstisial (MMP-1) dapat membelah kolagen tipe I, II dan III. Gelatinase (MMP- 2 dan MMP -9) mampu menguraikan lebih lanjut fragmen kolagen yang telah terdenaturasi oleh kolagenase interstitial. Enzim gelatinase juga mampu menguraikan berbagai macam komponen membrane basal dan proteoglikan. [8, 10] Matrix metalloproteinase-9 yang juga dikenal sebagai 92-kDa type IV collagenase / gelatinase B, mendegradasi
berbagai
komponen
matriks
ekstraselular meliputi kolagen tipe IV, V, dan XI, elastin, proteoglikan, dan gelatin. MMP-9 disekresi oleh berbagai sel-sel penghasil produk inflamasi, sel tumor, dan sel normal sebagai zymogen. MMP-9 dianggap
memiliki
hubungan
dengan
cellular
migration, invasi dan tissue remodeling pada proses reproduksi. MMP-9 diketahui diproduksi oleh banyak inflammatory
cells
seperti
macrophage,
polymorphonuclear leukocytes, T-lymphocytes, dan B-lymphocytes. Peningkatan konstrentrasi MMP-9 di
14
segmen bawah uterus selama persalinan diinduksi oleh adanya IL-8 dan TNF-α.[2, 8] Beberapa sitokin telah teridentifikasi potensial memodulasi ekspresi MMP pada membrane fetal, namun mekanisme aktivasi MMP belum diketahui secara pasti. In vitro stimulasi terhadap amniokorion manusia dengan IL-1β atau TNF-α menyebabkan sekresi dari MMP-9 proenzim. Dari percobaan yang menggunakan amniokorion yang distimulasi dengan lipopolisakarida (LPS) menunjukkan bahwa IL-1β merupakan sitokin kunci yang menginduksi ekspresi MMP-9 pada jaringan. [6, 7, 8] Pada membran janin produksi IL-8, TNF-α, IL-6 dan IL-1β meningkat, menyebabkan peningkatan MMP-9, penurunan MMP-2, dan penurunan kadar TIMPs. Enzim MMP-9 meningkat sacara signifikan oleh amnion tapi tidak oleh korion. Kadar MMP-9 meningkat ketika amion dipapar oleh TNF-α atau IL1β, walaupun sekresi dari korion tidak berubah. Peningkatan
aktivitas
kolagenase
menyebabkan
lemahnya kekuatan regangan membrane dan memicu pecahnya membrane (Peltier MR, 2003). TNF-α dan IL-β memperlihatkan efek produksi MMP-9 dari amnion. [6, 7,
8]
Stimulasi sel amnion dan korion oleh IL-1β dan TNF-α menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin E2 (PGE2) melalui cyclooxygenase (COX)-2. PGE2 menyebabkan peningkatan produksi MMP-9 atau menyilang membrane menstimulasi ripening serviks pada serviks atau menstimulasi kontraksi oleh miometrium. [6, 8]
15
Pada suatu analisa imunohistokimia biopsi servik
menunjukkan
bahwa
IL-
1β
diproduksi
predominan oleh leukosit, IL-6 oleh leukosit, sel epitel glandular dan sel epitel permukaan, dan IL-8 diproduksi terutama oleh leukosit, sel epitel glandular, sel
epitel
permukaan
dan
sel
stroma.
Sitokin
proiflamasi menginduksi ripening servik melalui beberapa jalan. IL-1β dan TNF-α meningkatkan produksi MMP-1, MMP-3, MMP-9 dan cathepsin S. Dan IL-1β menurunkan regulasi ekspresi TIMP-2, inhibitor endogen MMP-2. Proteinase ini mencerna kolagen dan serat elastin pada metrix ekstraselular servik yang meningkatkan cervical compliance.[8, 10] Penelitian yang dilakukan oleh Botsis pada tahun 2006, yang menilai panjang servik dan kadar plasma proMMP-9 untuk memprediksi kelahiran preterm
pada
wanita
hamil
dengan
ancaman
persalinan, mendapatkan nilai sensitifitas 81.1% dan spesitifitas 92.1% jika hanya dilakukan pemeriksaan panjang servik saja. Tetapi nilai sensitifitas dan spesitifitas meningkat menjadi sensitifitas 90,9% dan spesitifitas 98.3% ketika kedua pemeriksaan tersebut dilakukan. Jadi kadar plasma proMMP-9 dapat digunakan untuk memprediksikan persalinan preterm bila fasilitas USG tidak ada. [2, 6, 7, 8, 10] Berbagai
faktor
etiologi
dari
persalinan
preterm dan pecah ketuban dini disebabkan oleh sistem MMP melalui 4 jalan. Kunci dari MMP-9 pada persalinan preterm ditunjukkan pada:[2, 6, 7, 8, 10]
16
1.
Konsentrasi MMP-9 stabil pada plasma maternal
selama
kehamilan
tampa
komplikasi sampai persalinan dimulai 2.
Kosentrasi MMP-9 meningkat pada cairan ketuban selama persalinan aterm dan preterm,
pada
kehamilan
dengan
koriomanionitis dengan atau tampa pecah ketuban 3.
Aktifasi
dan
konsentrasi
MMP-9
meningkat pada cairan ketuban pada kehamilan
dengan
komplikasi
pecah
ketuban dini 4.
Gen MMP-9 terinduksi pada membrane fetus selama persalinan, pecah ketuban dan korioamnionitis.
Dari
kedua
enzim
gelatinase,
MMP-9
diketahui berkaitan sangat spesifik dengan adanya infeksi
intra
amnion.
Fortunato
dkk
(1997)
menemukan kadar MMP-2 pada wanita hamil yang tidak dalam persalinan dan wanita dengan infeksi intra-amnion. Namun MMP-9 hanya ditemukan pada wanita dengan infeksi intraamnion.[7, 8, 10] Penelitian lain menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar enzim ini dalam cairan amnion pada
wanita
dengan
PPROM.
Penelitian
lain
mengatakan bahwa kadar MMP-9 plasma meningkat tiga kali lipat pada wanita dengan rupture membrane spontan
atau
persalinan
spontan,
meski
tidak
meningkat secara signifikan dalam waktu 1 minggu menjelang
persalinan.
Penemuan-penemuan
ini
menunjukkan bahwa peningkatan MMP-9 dapat
17
digunakan untuk memperkirakan terjadinya persalinan preterm atau adanya rupture membrane pada wanita dengan tanda dan gejala adanya persalinan preterm, apapun hasil kultur cairan amnionnya. [8, 10]
2.6.
DIAGNOSIS
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.[2, 10, 11] Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu: [10, 11] 1.
Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2.
Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3.
Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4.
Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
18
5.
Pemeriksaan
dalam
menunjukkan
bahwa
serviks
telah
mendatar 50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm, 6.
Selaput amnion seringkali telah pecah,
7.
Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Berikut
beberapa
metode
yang
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm: [10, 11] 2.6.1.
Skoring Resiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko, antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih
dianggap
berisiko
tinggi
mengalami
persalinan
preterm.Meskipun Creasy dkk. serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. Pada prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.[10, 11] 2.6.2.
Uji Kontraksi Uterus Ambulatorik ( H ome Uterine Activity
Monitoring ) Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan pencatatan telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian
19
hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap pasien tersebut melalui telepon.[10, 11] Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada wanita hamil. Selain itu metode ini membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak direkomendasikan pada praktek klinis rutin. [10, 11] 2.6.3.
Estriol Saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur
dari aksis
HPA pada persalinan
preterm
akan
meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi perediktor dimulainya persalinan preterm. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami persalinan preterm atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan atau tanpa gejala.[10, 11]
20
2.6.4.
Skrining Bacterial Vaginosis (BV)
Vaginosis
bakterialis
telah
lama
dikaitkan
dengan
persalinan preterm spontan, ketuban pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Jauh sebelumnya PlatzChristense dkk. telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan persalinan preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion. Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami persalinan preterm yang meningkat 2 kali lipat. Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut ini:[10, 11] 1. pH vagina > 4,5 2.
adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada pewarnaan gram
3.
adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida. Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat persalinan preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah persalinan preterm pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan kesimpulan
yang
pasti.
Telah
banyak
hasil
yang
tidak
meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining vaginosis
bakterialis
yang
bertujuan
untuk
memprediksi
persalinan preterm, terutama pada kelompok risiko rendah.[10, 11]
21
2.6.5.
Pengukuran Panjang Serviks
Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya selama proses persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya persalinan ialah terjadinya pemendekan dari serviks.
Perhatian
terhadap
penilaian
panjang
serviks
menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor persalinan preterm muncul setelah Iams dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat meningkatkan
risiko
persalinan
preterm.
Suatu
penelitian
prospektif yang melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan
ultrasonografi
pada
serviks
secara
serial
menunjukan suatu risiko relatif terhadap persalinan preterm ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan 28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang serviks sebagai prediktor persalinan preterm tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang luas pada nilai prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi persalinan preterm sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada
22
kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.[10, 11] 2.6.6.
Cervicometry
USG
pemeriksaan
serviks
dengan
probe
vagina
-
cervicometry - mungkin membantu membedakan antara rongga ketuban, chorion atau infeksi plasenta dan kolonisasi umum. Invasi mikroba dari rongga ketuban (microbial invasion of amniotic cavity – MIAC) berhubungan dengan kualitatif (penyaluran) dan kuantitatif (pemendekan) perubahan serviks. Perubahan ini dikenal sebagai insufisiensi serviks. Intraamnial kolonisasi mikroba terjadi pada sebanyak 80% penderita dengan insufisiensi serviks akut.[10, 11] 2.6.7.
Kombinasi Penilaian Ffn Dengan Ultrasonografi Serviks
Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN secret vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm mungkin bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya persalinan preterm spontan pada wanita yang memiliki riwayat persalinan preterm sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko persalinan preterm hanya sebesar 25%. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya persalinan preterm pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu memprediksi terulangnya persalinan preterm pada wanita risiko tinggi.[10, 11]
23
2.7.
PENATALAKSANAAN
Manajemen persalinan preterm sangat bergantung pada beberapa faktor, diantaranya: [10, 11] 1.
Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2.
Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
3.
Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu. a.
Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer, mengingat prognosis relative baik.
b.
Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
2.7.1.
4.
Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
5.
Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Tocolytic
Meski
beberapa
macam
obat
telah
dipakai
untuk
menghambat persalinan, tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm. Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah: [10, 11] 1.
Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2.
Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru janin
3.
Memberi
kesempatan
transfer
intrauterine
pada
fasilitas yang lebih lengkap
24
4.
Optimalisasi personil.
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis pada persalinan preterm, antara lain: [10, 11]
Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg, obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang, sedanhkan dosis perawatan 3x10 mg.
Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 μg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2 -4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam sedangkan dosis p er oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.
Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 46 gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX
yang
cukup
kuat,
namun
menimbulkan
risiko
kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.
25
Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti: [10, 11] a.
Oligohidramnion
b.
Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c.
Preeklamsia berat
d.
Hasil nonstrees test tidak reaktif
e.
Hasil contraction stress test positif
f.
Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan kesejahteraan janin baik
g.
Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h.
Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan betamimetik.
2.7.2.
Akselerasi Pematangan Fungsi Paru
Pemberian
terapi
kortikosteroid
dimaksudkan
untuk
pematangan surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu dan lebih dari 23 minggu. [10, 11] Obat
yang
diberikan
ialah
deksametason
atau
betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan
janin
terhambat.
Pemberian
siklus
tunggal
kortikosteroid ialah: [10, 11] 1.
Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2.
Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
26
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin
releasing
hormone 400
ug
iv,
yang
akan
meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol,
karena
inositol
merupakan
komponen
membran
fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan. [10, 11] 2.7.3.
Antibiotika
Pada
penelitian
sebelumnya
menunjukkan,
bahwa
pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Antibiotika hanya
diberikan
bilamana
kehamilan
mengandung
risiko
terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak
dianjurkan
pemberian
ko-amoksiklaf
karena
risiko
necrotising enterocolitis. [10, 11] Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis. [10, 11] Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila
janin
presentasi
kepala
maka
diperbolehkan
partus
27
pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forceps terutama pada bayi < 35 minggu. [10, 11] Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Indikasi seksio sesarea: [10, 11]
Janin sungsang
Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
Gawat janin
Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).
2.8.
KOMPLIKASI
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan bagi bayi, persalinan preterm menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intra/periventrikular,
necrotising
enterocolitis
(NEC),
displasia
bronkopulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga
28
dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik. [10, 11, 12]
2.9.
INTERVENSI – PREVENTIF
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes. [10, 11, 12] Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah: [10, 11, 12] 1.
Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2.
Akselerasi
pematangan
fungsi
paru
janin
dengan
kortikosteroid, Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik. [10, 11, 12]
29