LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
INVENTORI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI BANJARAN
Kelompok : 22
Lokasi : Sawangan
Waktu : 08.45– 10:10 WIB
Pendamping : Dra. Errie Kolya Nasution, M.Si.
Nama
NIM
Muhammad Iqbal G
B1J012135
Nurul Amalia
B1J012137
Woro Dyah Lestari
B1J012139
Nael Huda Qonita
B1J012143
Desi Ariana Syahid
B1J012145
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2014
PENDAHULUAN
Ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling berinteraksi (Nybakken, 1992). Bagian-bagian komponen dan sistem secara keseluruhan berfungsi berdasarkan suatu urutan kegiatan yang menyangkut energi dan pemindahan energi. Setiap individu memiliki pola penyebaran tertentu dalam suatu ekosistem. Di alam ada tiga pola penyebaran individu, yaitu penyebaran seragam, penyebaran mengelompok, dan penyebaran acak (Odum, 1971).
Ekosistem perairan tawar dibedakan menjadi dua, yaitu ekosistem perairan tawar tertutup dan ekosistem perairan tawar terbuka. Ekosistem perairan tawar tertutup adalah ekosistem yang dapat dilindungi terhadap pengaruh dari luar, sedangkan ekosistem perairan tawar terbuka adalah ekosistem perairan yang tidak atau sulit dilindungi terhadap pengaruh dari luar (Effendi, 2007). Ekosistem perairan tawar terbuka dibedakan menjadi dua yaitu ekosistem perairan tawar yang mengalir dan ekosistem perairan tawar yang menggenang. Contoh dari perairan menggenang atau tidak mengalir (lentic waters) yaitu danau, waduk dan rawa. Perairan ini memiliki aliran tetapi aliran – aliran tersebut tidak memiliki peranan penting karena alirannya tidak besar dan tidak mempengaruhi kehidupan jasad–jasad di dalamnya. Yang memegang peranan penting dan berpengaruh besar terhadap jasad–jasad hidup di dalamnya adalah terbaginya perairan tersebut menjadi beberapa lapisan dari atas ke bawah (stratifikasi) yang berbeda–beda sifatnya karena airnya berhenti. Perairan mengalir (lotic waters) adalah mata air dan sungai. Aliran air pada perairan ini biasanya terjadi karena perbedaan ketinggian tempat dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah (Nybakken, 1988).
Daerah Aliran Sungai atau yang biasa disebut DAS, merupakan kawasan yang dibatasi oleh topografi yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimentasi dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungainya keluar pada satu titik (outlet). Fungsi dari DAS sendiri adalah untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, dan kemudia nmengalirkan melalui sungai utamanya (single outlet). Umumnya, suatu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS) oleh pemisah dan topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan (Saputra, 2011). Komponen-komponen dari suatu ekosistem adalah sebagai berikut:
a. Komponen Biotik
Merupakan bagian hidup dari lingkungan, termasuk seluruh populasi yang berinteraksi dengannya. Contoh dampak faktor biotik pada suatu lingkungan adalah penyerbukan bunga oleh angin. Komponen biotik dapat dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai berikut:
Produsen, semua makhluh hidup yang dapat membuat makanannya sendiri. Contohnya: makhluk hidup autotrof, seperti tumbuhan berklorofil.
Konsumen, semua makhluk hidup yang bergantung pada produsen sebagai sumber energinya. Berdasarkan jenis makannya konsumen dibagi menjadi:
Herbivor,
Konsumen yang memakan tumbuhan. Contoh: sapi, kambing, dan kelinci.
Karnivor,
Konsumen yang memakan hewan lain. Contoh: harimau, serigala, dan macan.
3. Omnivor,
Konsumen yang memakan tumbuhan dan hewan. Contoh: manusia dan tikus.
Dekomposer atau pengurai, semua makhluk hidup yang memperoleh nutrisi dengan cara menguraikan senyawa-senyawa organik yang berasal dari makhluk hidup yang telah mati. Contohnya: bakteri, jamur, dan cacing.
b. Komponen Abiotik
Komponen ini merupakan semua bagian tidak hidup dari ekosistem. Komponen abiotik pada ekosistem diantaranya: air, cahaya matahari, oksigen, suhu, dan tanah.
MATERI DAN METODE
Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah termometer 2 buah (udara dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 2 buah (untuk kecepatan arus dan sampel air), tali raffia 3 utas ( untuk kecepatan arus, kuadrat 0,5 x 0,5 m dan 10 x 10 m), kantong plastik untuk sampel moluska, bambu dan tanah, kertas pH dan soil tester, penggaris, timbangan dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska, sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.
Metode
Ekosistem
Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.
Dibuat model interaksi faktor abiotik dan biotik (diperlukan data tentang benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)
Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.
Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organisme tersebut.
Komunitas
Pengambilan sampel moluska dan air
Sampel diambil dengan metode kuadrat
Dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m
Dipilih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat tersebut.
Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam toples.
Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode
Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.
Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian
Sampel diambil dengan metode kuadrat
Dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m
Dipilih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan bambu tersebut.
Diamati daun pelepah. warna buluh, buliran, perbungaan, percabangan, dan durinya.
Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium
Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.
3. Populasi
Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida ukuran dari spesies yang dominan.
Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan pengukuran pada sampel moluska (panjang dan bobotnya), pada sampel bambu (tinggi dan diameter).
Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran bambu dilakukan di lapangan.
Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.
Dibuat empat piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang, bobot, tinggi dan diameter) dari data diatas.
4. Faktor Lingkungan
Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti: temperatur udara, air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air pada ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem daratan.
Diambil sampel air sungai sebanyak 250 ml dan tanah sebanyak 250 gr yang kemudian diukur pH nya di laboratorium.
5. Distribusi organisme dan Faktor Lingkungannya
Dibuat table kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai kranji 1,2,3 dan 4).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Lokasi
Tipe Pemanfaatan Lahan (landuse)
Aktivitas masyarakat
Sungai Banjaran
No Lokasi : 06. Sawangan
Waktu Pengamatan : 08.15 WIB
Pemukiman
Memancing
Pemakaman
Mencuci
MCK
Tempat pembuangan sampah
No Lokasi : 09.Sidaboa
Waktu Pengamatan : 08.00 WIB
Sungai
Mencuci, mandi, BAB, dan memancing
Perkebunan
Bercocok tanam (berkebun)
Tabel 1. Tipe Pemanfaatan Lahan
Tabel 2. Komponen Abiotik dan Biotik
No
Abiotik (benda mati)
Biotik (benda hidup)
Perairan
1
Pasir
Kepiting
2
Kayu
Ikan kecil
3
Batu
Cacing
4
Serasah
Lumut Hijau
5
Kain
Lumut Kuning
6
Plastik
Moluska
7
Botol minuman
Plankton
8
Air
Daratan
1
Tanah
Manusia
2
Plastik
Ayam
3
Serasah daun
Pohon Bambu
4
Pohon Nangka
5
Pohon Kelapa
6
Pohon Abasia
7
Pohon Pisang
8
Pohon Waru
9
Pohon Jati
10
Pohon Pepaya
11
Pohon Mengkudu
12
Paku-pakuan
13
Rumput
14
Semut
15
Ulat bulu
16
Nyamuk
17
Kupu-kupu
18
Capung
BatuSemutNyamukCacingAirLumutAyamIkan kecilKepitingUlat buluManusiaBatuSemutNyamukCacingAirLumutAyamIkan kecilKepitingUlat buluManusia
Gambar 1. Model Interaksi dalam EkosistemGambar 1. Model Interaksi dalam Ekosistem
Batu
Semut
Nyamuk
Cacing
Air
Lumut
Ayam
Ikan kecil
Kepiting
Ulat bulu
Manusia
Batu
Semut
Nyamuk
Cacing
Air
Lumut
Ayam
Ikan kecil
Kepiting
Ulat bulu
Manusia
Gambar 1. Model Interaksi dalam Ekosistem
Gambar 1. Model Interaksi dalam Ekosistem
Tabel 3. Komponen Biotik Penyusun Ekosistem
Komponen Penyusun
No
Organisme
Perairan
Daratan
Produser
1
Lumut Hijau
Pohon Bambu
2
Lumut Kuning
Pohon Nangka
3
Plankton
Pohon Abasia
4
Pohon Kelapa
5
Pohon Pisang
6
Pohon Waru
7
Pohon Jati
8
Pohon Pepaya
9
Pohon Mengkudu
10
Rumput
11
Paku-pakuan
Makro-konsumer tingkat I
1
Ikan Kecil
Ulat bulu
2
Semut
3
Ayam
4
Nyamuk
Makro-konsumer tingkat II
1
Kepiting
Ayam
2
Manusia
Dekomposer
1
Cacing
Tabel 4. Kekayaan Spesies dan Kelimpahan Moluska
No
Nama Spesies
Jumlah (individu)
1
Spesies A (Brotia insolita)
16
2
Spesies B (Brotia costulata)
1
3
Spesies C (Pomacea canaliculata)
3
4
Spesies D (Physa acuta)
1
Tabel 5. Kekayaan Spesies dan Kepadatan Bambu
No
Nama Spesies
Jumlah (individu)
1
Gigantochloa apus
23
Tabel 6. Populasi yang Dominan
Lokasi/Waktu
Spesies yang Dominan
Sawangan, 08.15 WIB
Nama spesies moluska yang dominan : Brotia insolita Dengan Kelimpahan 16 indivu/250 Cm2.
Nama spesies bamboo yang dominan : Gigantochloa apis dengan kepadatan 23 individu/100 meter2.
Sidaboa, 08.00 WIB
Nama spesies moluska yang dominan : Fossaria spp dengan kelimpahan 21 individu/250 Cm2.
Nama spesies bamboo yang dominan : Bambusa maculate dan Gigantochloa atroviclacea dengan kepadatan masing-masing 4 individu/100 meter2.
Tabel 7. Ukuran Moluska dan Bambu
No
Panjang Cangkang Moluska (mm)
Diameter Batang Bambu (mm)
1
42 mm
60 mm
2
40 mm
58 mm
3
33 mm
62 mm
4
35 mm
59 mm
5
30 mm
58 mm
6
27 mm
67 mm
7
28 mm
65 mm
8
27 mm
60 mm
9
32 mm
65 mm
10
23 mm
63 mm
11
34 mm
56 mm
12
26 mm
58 mm
13
35 mm
60 mm
14
34 mm
54 mm
15
29 mm
56 mm
16
30 mm
57 mm
17
20 mm
59 mm
18
15 mm
60 mm
19
35 mm
60 mm
20
45 mm
58 mm
21
40 mm
61 mm
22
59 mm
23
59 mm
Tabel 8. Struktur Populasi Moluska
Ukuran Panjang Cangkang
Jumlah individu
10 mm sampai dengan 20 mm
1
21 mm sampai dengan 30 mm
7
31 mm sampai dengan 40 mm
9
41 mm sampai dengan 50 mm
4
9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 921-30 mm31-40 mm41-50 mm 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 921-30 mm31-40 mm41-50 mmGambar 2.Piramida Populasi Panjang MoluskaGambar 2.Piramida Populasi Panjang Moluska
9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
21-30 mm
31-40 mm
41-50 mm
9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
21-30 mm
31-40 mm
41-50 mm
Gambar 2.Piramida Populasi Panjang Moluska
Gambar 2.Piramida Populasi Panjang Moluska
Tabel 9. Struktur Populasi Bambu
Ukuran Diameter Batang
Jumlah individu
51 mm sampai dengan 55 mm
1
56 mm sampai dengan 60 mm
15
61 mm sampai dengan 65 mm
7
Gambar 3. Piramida Populasi Diameter Batang BambuGambar 3. Piramida Populasi Diameter Batang Bambu56-60 mm61-65 mm 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1556-60 mm61-65 mm 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 3. Piramida Populasi Diameter Batang Bambu
Gambar 3. Piramida Populasi Diameter Batang Bambu
56-60 mm
61-65 mm
15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
56-60 mm
61-65 mm
15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tabel 10. Distribusi Longitudinal Moluska
Spesies
Hulu
Tengah
Hilir
Brotia insolita
-
+
-
Brotia costulata
-
+
-
Pomacea canaliculata
-
+
-
Physa acuta
-
+
-
Potamopyrgus antipodarum
+
-
-
Stagnicola spp
+
-
-
Pyrgulopsis bruncauensis
+
-
-
Fluminicola nuttalliana
+
-
-
Pyrgulopsis robusta
+
-
+
Sulcospira biconia
+
-
-
Tarebia granifera
+
-
-
Thiara scabra
+
-
-
Melanoides schmackeri
+
-
-
Brotia pseudoasperata
+
-
-
Fossaria spp
-
-
+
Stagnicola spp
-
-
+
Potamopyrgus antipodarum
-
-
+
Tabel 11. Kondisi Perairan
Parameter Lingkungan
Hulu
Tengah
Hilir
Temperatur udara
330C
300C
280C
Temperatur air
280C
280C
270C
Arus
66,7 detik
2,91 detik
29 detik
Substrat yang dominan
Pasir berbatu
Pasir
Batu besar
pH
7
6
5,8 – 6,8
Tabel 12. Distribusi Longitudinal Bambu
Spesies
Hulu
Tengah
Hilir
Gigantochloa apus
-
+
-
Gigantochloa sp
+
-
-
Dendrocalamus
+
-
-
Indocalamus
+
-
-
Bambusa maculate
-
-
+
Gigantochloa atrovidacca
-
-
+
Tabel 13. Kondisi Daratan
Parameter Lingkungan
Hulu
Tengah
Hilir
Temperatur udara
320C
300C
280C
Tipe tanah
Pasir
Gembur
Tanah
pH
6
6
5,8-6,8
Gambar 8. Unsur Biotik di Sungai SawanganGambar 8. Unsur Biotik di Sungai SawanganGambar 7. Pemanfaatan Lahan sebagaiTempat Pembuangan SampahGambar 7. Pemanfaatan Lahan sebagaiTempat Pembuangan SampahGambar 6. Brotia costulataGambar 6. Brotia costulataGambar 5. Physa acutaGambar 5. Physa acutaGambar 4. Pomacea canaliculataGambar 4. Pomacea canaliculataGambar 3. Brotia insolitaGambar 3. Brotia insolitaGambar 2. Aktivitas MemancingGambar 2. Aktivitas MemancingGambar 1. Aktivitas MencuciGambar 1. Aktivitas Mencuci
Gambar 8. Unsur Biotik di Sungai Sawangan
Gambar 8. Unsur Biotik di Sungai Sawangan
Gambar 7. Pemanfaatan Lahan sebagai
Tempat Pembuangan Sampah
Gambar 7. Pemanfaatan Lahan sebagai
Tempat Pembuangan Sampah
Gambar 6. Brotia costulata
Gambar 6. Brotia costulata
Gambar 5. Physa acuta
Gambar 5. Physa acuta
Gambar 4. Pomacea canaliculata
Gambar 4. Pomacea canaliculata
Gambar 3. Brotia insolita
Gambar 3. Brotia insolita
Gambar 2. Aktivitas Memancing
Gambar 2. Aktivitas Memancing
Gambar 1. Aktivitas Mencuci
Gambar 1. Aktivitas Mencuci
Pembahasan
Ekosistem adalah tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup (biotik) dan tak hidup (abiotik) yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi karena adanya arus materi dan energi, yang terkendali oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem. Berdasarkan tipenya, ekosistem dibedakan menjadi dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Ekosistem daratan adalah ekosistem yang dikontrol oleh iklim dan gangguan sedangkan yang termasuk ekosistem perairan yaitu ekosistem laut, ekosistem pantai, ekosistem estuaria, dan ekosistem sungai. Ekosistem sungai juga terdiri dari dua komponen yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen abiotik pembentuk ekosistem daratan di bagian hilir Sungai Banjaran yaitu batu, pasir, plastik, sampah, kaleng, udara, serasah, limbah rumah tangga dan tanah. Komponen biotik pembentuk ekosistem perairan dibagian tengah Sungai Banjaran adalah kepiting, ikan kecil, cacing, lumut hijau, lumut kuning, moluska, dan plankton. Komponen biotik pembentuk ekosistem darat dibagian tengah Sungai Banjaran yaitu manusia, ayam, pohon bambu, pohon nangka, pohon kelapa, pohon abasia, pohon pisang, pohon waru, pohon jati, pohon pepaya, pohon mengkudu, paku-pakuan, rumput, semut, ulat bulu, nyamuk, kupu-kupu, capung. Komponen abiotik yang terdapat pada ekosistem perairan dibagian tengah Sungai Banjaran adalah pasir, kayu, batu, serasah, kain, plastik, botol minuman, dan air. Komponen abiotik pada ekosistem darat dibagian tengah Sungai Banjaran yaitu tanah, plastik dan serasa daun.
Komponen biotik penyusun ekosistem terdiri dari produser, makro-konsumer tingkat I, makro-konsumer tingkat II, dan dekomposer. Pada organisme perairan lumut hijau, lumut kuning, dan plankton berperan sebagai produser dan pada organisme daratan yang berperan sebagai produser adalah pohon bambu, pohon nangka, pohon abasia, pohon kelapa, pohon pisang, pohon waru, pohon jati, pohon pepaya, pohon mengkudu, rumput, dan paku-pakuan. Ikan kecil berperan sebagai makro-konsumer tingkat I pada organisme perairan. Ulat bulu, semut, ayam, dan nyamuk berperan sebagai makro konsumer tingkat I pada organisme daratan. Organisme perairan yang berperan sebagai makro-konsumer tingkat II adalah kepiting, dan pada organisme daratan adalah ayam dan manusia. Organisme perairan yang berperan sebagai dekomposer adalah cacing.
Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim dan air. Masing-masing omponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Didalam DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan. Berikut interaksi antar komponen DAS (daerah aliran sungai).
Interaksi antar komponen biotik dengan komponen abiotik yaitu hubungan antara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem juga terdapat struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Jenis-jenis interaksi dalam ekosistem antara lain:
(a). Interaksi antar organisme.
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut:
Netral, yaitu hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak. Contohnya adalah antara capung dan sapi.
Parasitisme, yaitu hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, dan jika salah satu organisme hidup mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Contohnya adalah benalu dengan pohon inang.
Komensalisme, merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan, yaitu salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya, Anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
Mutualisme, adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan diantara keduanya. Contohnya bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
(b). Interaksi antarpopulasi, yaitu antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya. Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut:
Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik
Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.
(c). Interaksi antarkomunitas, yaitu kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup kompleks karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga terjadi aliran energi.
Perbedaan antara ekosistem darat dan air terletak pada ukuran tumbuhan hijau, di mana autotrof daratan cenderung lebih sedikit, akan tetapi ukurannya lebih besar. Perbedaan antara habitat daratan dan air adalah sebagai berikut:
Habitat daratan, kelembaban merupakan faktor pembatas, organisme daratan selalu dihadapkan pada masalah kekeringan. Evaporasi dan transpirasi merupakan proses yang unik dari kehilangan energi pada ingkungan daratan.
Variasi suhu dan suhu ekstrem lebih banyak di udara daripada media air.
Sirkulasi udara yang cepat di permukaan bumi akan menghasilkan isi-campuran O2 dan CO2 yang tetap.
Meskipun tanah sebagai penyangga yang padat bukan udara, kerangka yang kuat telah berkembang di tanah yaitu tanaman dan binatang yang akhir-akhir ini mempunyai arti khusus bagi perkembangan.
Tanah tidak seperti lautan yang selalu berhubungan dimana tanah sebagai barier geografi terpenting dala gerak bebasnya.
Sebagai substrat alam, meskipun yang terpenting adalah di air. Namun, yang paling khusus adalah dalam lingkngan daratan. Tanah adalah sumber terbesar dari bermacam-macam nutrisi 9 nitrit, fosfor, dan sebagainya) yang merupakan perkembangan besar dari subsistem ekologi (Heddy, 1989).
Spesies moluska yang dominan pada bagian hulu, tengah dan hilir Sungai Banjaran, secara berturut-turut yaitu Brotia insolita, Brotia costulata, Pomacea canaliculata, physa acuta, Potamopyrgus antipodarum, Stagnicola spp, Pyrgulopsis bruncauensis, Fluminicola nuttalliana, Pyrgulopsis robusta, Sulcospira biconia, Tarebia granifera, Thiara scabra, dan Melanoides schmackeri. Kekayaan dan perbedaan penyebaran jenis moluska yang beragam pada bagian hulu, tengah dan hilir Sungai Banjaran, umumnya dipengaruhi oleh karena adanya perbedaan pengaruh bahan organik dan adanya perubahan kondisi lingkungan, khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis moluska tertentu. Substrat yang dominan pada bagian hulu sungai yaitu pasir berbatu. Bagian tengah sungai yaitu pasir, sedangkan hilir sungai substrat yang dominan adalah batu besar. Kecepatan sirkulasi air yang tinggi, kandungan oksigen yang cukup serta mendapat sinar matahari yang cukup (Taylor, 1971). Hidayat (2004), menambahkan bahwa kehidupan mollusca dipengaruhi oleh kualitas perairannya, antara lain jenis substrat tempat hidup, kekeruhan, pH, suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut dan polutan.
Hasil pengamatan distribusi moluska di Sungai Banjaran pada daerah hulu, tengah, dan hilir diperoleh bahwa spesies moluska yang dominan pada daerah hulu adalah Stagnicola spp sebanyak 30 individu/250 cm. Daerah tengah sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Brotia insolita sebanyak 16 individu/250 cm. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Stagnicola spp 16 individu/250 cm. Perbedaan distribusi moluska dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengaruh bahan organik dan adanya perubahan kondisi lingkungan, khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis moluska tertentu. Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya berkisar antara 5 - 6 jenis, menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong rendah. Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum (1971), penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar bisa saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan tersebut.
Disini tampak bahwa penyebaran jenis pada masing-masing tempat tidak merata, dimana ada beberapa tempat yang mempunyai jumlah jenis yang tinggi sedangkan tempat yang lain sedikit bahkan tidak sama sekali moluska (Hendrik, 2008). Odum (1971) menyatakan bahwa penyebaran individu yang berkelompok yang diakibatkan oleh perubahan musim, perubahan habitat dan proses reproduksi. Sifat individu yang berkelompok dapat meningkatkan persaingan dalam mendapatkan makan dan ruang gerak.
Moluska merupakan filum kedua terbesar setelah Arthopoda. Moluska yang telah dideskripsikan adalah sekitar 80.000 spesies yang masih hidup dan 35.000 spesies ditemukan sebagai fosil. Moluska merupakan hewan yang bertubuh lunak, mempunyai ciri tubuh yang tidak bersegmen dan rongga tubuh yang kecil, kaki berotot di bagian ventral, masa visceral dibagian dorsal, dan mempunyai mantel yang mensekresikan bahan-bahan untuk pembentukan cangkang (Rupert, 1994). Moluska tersebar luas dengan kemampuan beradaptasi yang tinggi, terdiri dari tujuh kelas, yaitu kelas Monoplacophora , Polyplachora, Aplacophora, Scaphopoda, Gastropoda, Pelecypoda, atau Bivalvia, dan Cephalopoda. Dari ketujuh kelas tersebut terdapat dua kelas yang menghuni perairan air tawar, yaitu Gastropoda dan Bivalvia (Dharma, 1992).
Filum moluska ditandai oleh tubuh yang lunak, yang tidak terbagi dalam segman, segmen yang biasanya dilindungi oleh satu atau lebih keping cangkang. Moluska merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Mason,1981).
Kebiasaan makan dan sumber makanan bagi moluska berbeda-beda untuk setiap jenis dan dipengaruhi oleh pola adaptasi terhadap lingkungannya. Menurut Barnes (1987), sumber makanan bagi hewan yang hidup di dasar perairan (bentos) terdiri dari detritus dan plankton dari masa air serta detritus dan mikroorganisme yang melekat di dasar. Berdasarkan kebiasaan makannya, moluska dibedakan menjadi herbivora, karnivora, pemakan bangkai, pemakan deposit (deposit feeders) dan parasit. Gastropoda air tawar bersifat herbivora dan pemakan detritus. Moluska berperan penting dalam suatu ekosistem yaitu sebagai bagian dari rantai makanan dan sebagai indikator pencemaran. Beberapa jenis moluska air tawar sangat bergantung pada tumbuhan air baik sebagai makanan ataupun sebagai tempat hidupnya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Izmiarti (1991) bahwa tumbuhan Potamogeton merupakan tempat hidup bagi beberapa gastropoda dari family Thiaridae yaitu Anentoma helena, Salinator burnama, Indoplanorbis, Bellamya dan Gabbia ditemukan pada tanaman Euryale ferox (tergolong Graminae) yang biasa digunakan sebagai makanan dan sebagai bahan obat-obatan.
Kehidupan moluska juga dipengaruhi oleh pemangsa atau predator. Ikan pemakan moluska yaitu Astatorechromis allaudi dapat mengontrol populasi gastropoda Bullinus yang merupakan vektor penyebab penyakit Schistosomiasis. Penyebaran dan kelimpahan moluska berhubungan dengan tekstur substrat suatu perairan. Pleurocera terdapat di substrat berbatu, Thiaridae dan Ampulariidae disubstratyang berlumpur, sedangkan Corbiculidae dan Vivipariidae dijumpai di substrat berpasir (Pennak, 1978).
Menurut Lohachit (1990), beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan moluska perairan air tawar adalah dispersi atau pemencaran, perilaku, hubungan dengan organisme lain serta faktor-faktor fisik dan kimiawi perairan. Dispersi dan perilaku tidak terlalu berperan dibandingkan ketiga faktor lainnya. Hubungan moluska dengan organisme lainnya dapat berupa hubungan dengan predator, makanannya, dan organisme penyebab penyakit. Faktor fisik meliputi suhu, kelembaban, struktur substrat dan nutrien serta air (kedalaman, arus gelombang, banjir, perputaran,dan fluktuasi air). Sedangkan faktor kimiawi yang sangat berperan penting dalam kehidupan moluska antara lain salinitas, keseimbangan ion, pH, dan tingkat polusi.
Hasil pengamatan distribusi bambu di Sungai Banjaran pada daerah hulu, tengah, dan hilir diperoleh data bahwa pada daerah hulu, spesies bambu yang dominan adalah Gigantolochoa sebanyak 55 individu/100m. Daerah tengah sungai Banjaran spesies bambu yang dominan adalah Gigantolocho apus 23 individu/100m. Adapun pada daerah hilir, diperoleh bahwa jenis spesies bambu yang dominan adalah Bambusa maculata sebanyak 4 individu/100 meter. Pengaruh ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung. Artinya perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Bambu tergolong kedalam suku poaceae atau gramineae, dan marga bambuseae. Bambu dikenal memiliki karakter yaitu tumbuh merumpun, memiliki batang bulat, berlubang, dan beruas-ruas, dengan percabangan kompleks, setiap daun bertangkai dan bunganya terdiri atas sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota, serta 3-6 buah benang sari (Widjaja, 2001). Dari segi kesesuaian iklim, bambu dapat tumbuh mulai dari daerah yang memiliki iklim tropis sampai sub-tropis, mulai dari agak lembab sampai agak kering. Di daerah dengan iklim basah seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand selatan, bambu mendominasi suatu lanskap hutan bekas tebangan. Tanah subur dengan drainase yang baik mampu meningkatkan pertumbuhan dan adaptasi bambu (Widjaja, 2001).
Gigantochloa apus (Bl.Ex Schult.) f. Kurz. memiliki nama local yang dikenal masyarakat di Indonesia antara lain pring tali atau pring apus (Jawa) dan awi tali (Sunda). Menurut Utami (2011) pertumbuhan jenis bambu tali setelah berusia satu tahun akan menghasilkan 10 sampai 15 buluh dewasa yang kemudian dipanen pada usia satu hingga tiga tahun mendatang. Diameter bambu tali sekitar antara empat sampai 13 cm dengan ketebalan mencapai 1,5 cm dan ketinggian maksimum mencapai delapan hingga 30 m. Buluh bambu tali berwarna hijau dan hijau terang dan kekuningan dan diselimuti lapisan lilin pada saat usianya masih muda.
Spesies bambu yang berada di Sungai Banjaran Desa Sawangan yaitu bambu tali (Gigantochloa apus), klasifikasinya sebagai berikut:
Gigantochloa apus Kurz.Gigantochloa apus Kurz.
Gigantochloa apus Kurz.
Gigantochloa apus Kurz.
Klasifikas bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa apus Kurz.
Deskripsi:
Habitus
Pohon, berumpun, tinggi 10-15 m.
Batang
Berkayu, bulat, berlubang, beruas-ruas, tunas atau rebung berbulu, putih kehitaman, hijau.
Daun
Tunggal, berseling, berpelepah, lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal membulat, panjang 20-30 cm, lebar 4-6 cm, pertulangan sejajar, hijau.
Bunga
Majemuk, bentuk malai, ungu kehitaman.
Menurut Sutiyono et al., (1992), penyebaran bambu yang luas sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain suhu, curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain. Daerah yang memiliki curah hujan tahunan minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan suhu optimum antara 8,8-36oC merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan bambu. Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang berada di dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi pertumbuhannya lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di tempat dengan ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5 (Asadk, 1995).
Distribusi longitudinal bambu tersebut menurut Widjaja (2001) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
Tanah
Bambu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering sampai becek, dan dari tanah subur sampai kurang subur. Juga dari tanah pegunungan yang berbukit terjal sampai tanah yang landai. Perbedaan jenis tanah dapat berpengaruh terhadap kemampuan perebungan bambu. Tanaman bambu dapat tumbuh pada tanah yang bereaksi masam pada pH 3,5 dan umumnya menghendaki tanah yang pH-nya 5,0 sampai 6,5. Pada tanah yang subur tanaman bambu akan tumbuh baik karena kebutuhan makanan bagi tanaman tersebut akan terpenuhi.
Ketinggian Tempat
Tanaman bambu dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi yaitu antara 0 – 1000 m dpl bahkan jenis-jenis yang berbatang kecil dijumpai tumbuh pada ketinggian antara 2000-3750 m dpl. Pada ketinggian 3750 m dpl, habitusnya berbentuk rumput.
c. Iklim
Lingkungan yang sesuai untuk tanaman bambu adalah yang bersuhu sekitar 8,8-360C. Suhu lingkungan ini juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin tinggi suatu tempat, semakin rendah suhunya. Tanaman bambu bisa dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 0 sampai 2.000 m dpl. Walaupun demikian tidak semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik pada semua ketinggian tempat. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimum 1.020 mm / tahun. Kelembaban udara yang dikehendaki minimum 80%.
d. Teknik Pembibitan
Perbanyakan tanaman bambu dapat dilakukan dengan cara vegetatif dan generatif, perbanyakan generatif melalui bijinya, sedangkan perbanyakan vegetatif melalui stek batang atau stek rhizoma.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Penyebaran distribusi bambu yang paling dominan di Sungai Banjaran bagian tengah daerah Sawangan adalah Gigantochloa apus, sedangkan penyebaran distribusi molusca yang paling dominan di Sungai Banjaran bagian tengah adalah Brotia insolita.
Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau disebut rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaring-jaring makanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi molusca dan distribusi bambu antara lain gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH, dan substrat.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem daratan yaitu cahaya, temperatur dan air. Sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan faktor tuga besar untuk perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. Saunders Company, London.
Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia. Sarana Graha, Jakarta.
Effendi, Edie. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air.
Heddy, S. dan K. Metty. 1989 . Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hendrik Alexander, 2008. Moluska Bentik Di Perairan Muara Sungai Cisadane, Tangerang, Banten. Oseanologidan Limnologi indonesia Vol. 34: 13-23.
Hidayat W. J., Baskoro K., Sopiany R., 2004. Struktur Komunitas Mollusca Bentik Berbasis Kekeruhan di Perairan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang Bioma, ISSN: 1410-8801 Vol. 6, No. 2, Hal. 53-56.
Izmiarti. 1991. Jenis-jenis Makroinvertebrata yang terdapat pada Tumbuhan Air Potamogeton di Danau Singkrak. Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Lohachit, C. 1990. Ecology and Habitat of Molusca. Departement of Tropical Medicine Faculty of Tropical Medicine, Bangkok.
Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution.Longman Inc. New York.
Nybakken, J.,W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta.
Odum, T. Howard.1992. Sistem Ekologi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A Willey Interscience Publications John Willey and Sons.
Rupert, E. E. and R. D. barnes. 1994. Invertebrate Zoology 6 Edition. Saunders Collage Publishing. Philadelphia.
Sutiyono, Hendromono, M., Wardani dan I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. (15). 1-25
Taylor, J.D. 1971. Reef Asociated Molluscan assemblage In The Western Indian Ocean. Symposium of zoological Society of London. 28 : 510-534.
Utami F. N. W., 2011. Karakteristik Lanskap Tegakan Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi. Tesis. IPB. Bogor.
Widjaja, A.E. 2001. Identifikasi Jenis-Jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.