BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan
metoda
utama
dalam
mengimplementasikan
proses
keperawatan.
Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang besar (Abdalati, 1989). Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup ketrampilan intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku “caring” atau kasih sayang / cinta (Johnson, 1989) dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perawat yang memiliki ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya masalah legal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit, tetapi yang paling penting adalah mengamalkan ilmunya i lmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama manusia. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian komunikasi termasuk komunikasi terapeutik pada pasien waham untuk praktek keperawatan, sikap dan tekhnik serta dimensi hubungan dari komunikasi terapeutik.
B. TUJUAN MAKALAH
1. Membekali perawat pada saat akan melekukan tindakan kepada pasien yang mengalami waham 2. Agar perawat dan pasien terjalin komunikasi yang baik 3. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan. 4. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
1
BAB II KOMUNIKASI KOMUNIKASI
Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Makalah ini difokuskan pada komunikasi interpersonal yang terapeutik. Komunikasi interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua orang atau dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi interpersonal yang sehat memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal.
A.
PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48). Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi in adalah adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003 : 48). Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003 50).
B.
FASE-FASE KOMUNIKASI TERAPEUTIK 1.
Tahap Persiapan (Prainteraksi) (Prainteraksi)
`Tahap `Tahap persiapan persiapan atau prainterak prainteraksi si sangat sangat penting penting dilakuka dilakukan n sebelu sebelum m beri be rint nter erak aksi si dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap iniperawat menggali perasaan dan mengi me ngide denti ntifi fika kasi si kele ke lebi bihan han dan da n kekura kekuranga nganny nnya. a. Pada tahap tahap ini perawat perawat juga juga mencari mencari informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama 2
dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh seorang perawat untuk memahami dirinya, mengatasikecemasannya dan meyakinkan dirinya bahwa dia siap untuk berinteraksi dengan klien (Suryani, 2005). Tugas perawat pada tahap ini antara lain : a) Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi dengan klien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan dengan interaksi yang akan dilakukan. Apakahada perasaan cemas? Apa yang dicemaskan? (Suryani, 2005). b) Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan klien. Misalnya seorang perawat mungkin mempunyai kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk memudahkannya dalam membuka pembicaraan dengan klien danmembina hubungan saling percaya (Suryani, 2005). c) Mengumpulkan data tentang klien. Kegiatan ini juga sangat penting karena dengan mengetahui informasi tentang klien perawat bisa memahami klien. Paling tidak perawat bisa mengetahuiidentitas klien yang bisa digunakan pada saat memulai interaksi (Suryani, 2005). d) Merencanakan
pertemuan
yang
pertama
dengan
klien.
Perawat perlu
merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Hal yang direncanakan mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk pertemuan pertama tersebut (Suryani, 2005).
2.
Tahap Perkenalan
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer dalam Suryani, 2005). Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). 3
Tugas perawat pada tahap ini antara lain: a) Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka. Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan hubungan terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005), karena tanpa adanya rasa saling percaya tidak mungkin akan terjadi keterbukaan antara kedua belah pihak. Hubungan yang dibina tidak bersifat statis, bisa berubah tergantung pada situasidan kondisi (Rahmat, J dalam Suryani 2005). Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan saling percaya perawatharus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa adanya, menepati janji, dan menghargai klien (Suryani, 2005). b) Merumuskan kontrak pada klien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam Suryani, 2005). Pada saat merumuskan kontrakperawat juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasi peran peran perawat dan klien agar tidak terjadi kesalah pahaman klien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu juga untuk menghindari adanya harapan yang terlalu tinggi dari klien terhadap perawat karena klien menganggap perawat seperti dewa penolong yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Perawat perlu menekankan bahwa perawat hanya membantu, sedangkan kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada diri klien sendiri (Suryani, 2005). c) Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap ini perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan memberikan pertanyaanterbuka,
diharapkan
perawat
dapat
mendorong
klien
untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga dapat mengidentifikasi masalah klien. d) Merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi bersama klien karena tanpa keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.
3.
Tahap Kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien bekerja bersama-sama untuk mengatasimasalah yang dihadapi klien. Pada tahap kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkap perasaan dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk 4
mempunyai kepekaan dan tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal klien. Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui acti ve listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih. Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien. Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-klien memiliki pikiran dan ide yang sama(Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik menyimpulkan adalah membantu klien menggali halhal dan tema emosional yang penting (Fontaine & Fletcner dalam Suryani, 2005).
4.
Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina, dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah terminasi sementara, perawat
akan bertemu kembali dengan
klien pada
waktu
yang telah
ditentukan. Terminasi akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan. Tugas perawat pada tahap ini antara lain: a) Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh terkesan menguji kemampuanklien,
akan
tetapi
sebaiknya
terkesan
sekedar
mengulang
atau menyimpulkan. b) Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat.Perawat perlu mengetahui bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Apakah klien merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya? Apakah klien merasa bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan masalah baru bagi klien.
5
c) Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini juga disebut sebagai pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya. Misalnya pada akhir interaksi klien sudah memahami tentang beberapa alternatif mengatasi marah. Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa meminta klien untuk mencoba salah satu dari alternatif tersebut. d) Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya. Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi. e) Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses terminasi perawatklien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan, sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi dan kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut sangatdipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka,
empati
dan responsif terhadap
kebutuhan
klien pada pelaksanaan
tahap sebelumnya.
C.
PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik adalah : 1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut. 2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai. 3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien. 4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental. 5. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi. 6. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi. 7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
6
8. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik. 9. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik. 10. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu petugas perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual dan gaya hidup. 11. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu. 12. Altruisme, yaitu mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi. 13. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia. 14. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.
7
BAB III KOMUNIKASI TERAPEUITIK PADA PASIEN WAHAM
Proses berfikir meliputi proses pertimbangan ( judgment), pemahaman (comprehension), ingatan serta penalaran ( reasoning ). Arus idea simbul atau asosiasi yang terarah kepada tujuan dan yang di bangkitkan oleh suastu masalah atau tugas dan yang menghantarkan kepada suatu penyelesaian yang terorientasi pada kenyataan merupakan proses berfikir yang normal. Aspek proses berfikir dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu bentuk pikiran, arus pikiran dan isi pikir. Gangguan isi pikir dapat terjadi baik pada isi pikiran non verbal maupun pada isi pikiran verbal diantaranya adalah waham. Marasmis juga menekankan bahwa berbagai macam factor yang mempenngaruhi proses pikir itu, umpamanya factor somatic ( gangguan otak, kelelahan). Factor fsikologi (gangguan emosi, psiko, factor social, kegaduhan dan keadaan social yang lain) yang sangat mempengaruhi ketahanan dan konsentrasi individu. Aspek proses pikir yaitu : bentuk pikir, arus pikir dan isi pikir ditanbah dengan pertimbangan. Kaplan dan Sadock (1998) mengatakan bahwa waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan. Waham sedikitnya harus ada selama sebelum dan sistematik dan tidak bizar ( dalam bentuk fragmentasi, respon, emosi pasien terhadap system waham biasanya kongruen dan sesuai dengan isi waham itu. Pasien secara relative biaanya bebas dari psikopatologi diluar wawasan system wahamnya. Awal mulanya sering terjadi pada umur dewasa , menengah dan lanjut. David A Tomb (2004) beranggapan bahwa waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut, mungkin aneh dan tetap dipertahankan meskipun telah diberikan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham sering ditemukan dalam gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizoprenia. Semakin akut psikosis semakin sering di temui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis. Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikir yang tidak sesuai dengan kenyataanya atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan, biarpun dibuktikan kemustahilan hal itu.
8
Townsend 1998 mengatakan bahwa waham adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan ide-ide yang salah. Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa waham sebagai salah satu perubahan proses khususnya isi pikir yang ditandai dengan keyakinan terhadap ide-ide, pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diubah dengan logika atau bukti bukti yang ada.
A.
Jenis-Jenis Waham
adapun jenis-jenis waham menurut Marasmis, stuart and sundeen ( 1998) dan Keliat (1998) waham terbagi atas beberapa jenis, yaitu: a) Waham agama : keyakinan klien terhjadap suatu agama secara berlebihan diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. b) Waham kebesaran : klien yakin secara berlebihan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuatan khusus diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. c) Waham somatic : klien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya teganggu dan terserang penyakit, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. d) Waham curiga : kecurigaan yang berlebihan dan tidak rasional dimana klien yakin bahwa ada seseorang atau kelompok orang yang berusaha merugikan atau mencurigai dirinya, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. e) Waham nihilistic : klien yakin bahwa dirinya sudah ridak ada di dunia atau sudah meninggal, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. f) Waham bizar 1. Sisip pikir : klien yakin ada ide pikiran orang lain yang dsisipkan di dalam pikiran yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan
2. Siar pikir : klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun dia tidak menyatakan kepada orang tersebut, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. 3. Kontrol pikir : klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar. 9
B.
Fase-Fase Waham
1. Lack of Selfesteen -
Tidak ada pengakuan lingkungan dan meningkatnya kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Ex : perceraian->berumah tangga tidak diterima oleh lingkungannya.
2. Control Internal Eksternal -
Mencoba berfikir rasional, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
3. kenyataan. Ex : seseorang yang mencoba menutupi kekurangan 4. Environment support - kerusakan control dan tidak berfungsi normal ditandai dengan tidak merasa bersalah saat berbohong. Ex : seseorang yang mengaku dirinya adalah guru tari
Respon neur obiol ogist
Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan tentang respon gangguan adaptif dan malladaptif dapat dijelaskan sebagai berikut ( stuart dan sundeen, 1998 hal 302) : Rentang respon
Respon maladaptif
Respon adaptif
Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten dengan pengalaman Prilaku sesuai Berhubungan social
Distorsi pikiran Ilusi Reaksi emosi berlebihan atau kurang Prilaku aneh Menarik diri
Gangguan proses pikir/delusi/waham Halusinasi Sulit brespon emosi Prilaku disorganisasi Isolasi sosial
Dari rentang respon neurobiologis diatas dapat dijelaskan bila individu merespon secara adaptif maka individu akan berfikir secara logis. Apabila individu berada pada keadaan diantara adaptif dan maladaptif kadang-kadang pikiran menyimpang atau perubahan isi pikir terganggu. Bila individu tidak mampu berfikir 10
secara logis dan pikiran individu mulai menyimpang maka ia makan berespon secara maladaptif dan ia akan mengalami gangguan isi pikir : waham curiga. Agar individu tidak berespon secara maladaptive maka setiap individu harus mempunyai mekanisme pertahanan koping yang baik. Menurut seorang ahli medis dalam penelitiannya memberikan definisi tentang mekanisme koping yaitu semua aktivita kognitif dan motorik yang dilakukan oleh seseorang yangnn sakit untuk mempertahanakna intrgritas tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak dna membatasi adanya kerusakan yang tidak bisa dipulihkan. Mekanisme koping dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pad atindakan untuk memenuhi secara reakstik tuntunan situasi stress. a. Prilaku mnyuerang, digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan. b. Prilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun psikologic untuk memindahkan seseorang dari sumber stress. c. Prilaku
kompromi,
digunakan
untuk
mengubah
cara
seseoprang
mengoprasikan, menmgganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang. 2. Mekanisme pertahana ego, merupakan mekanismne yang dapat membantu mengatasi cenas ringan dan sedang, jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan diri dan disorientasi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptive terhadap stress.
C.
Psikopatologi Waham
Etiologi Townsend (1998, hal 158) menagatakan bahwa „hal -hal yang menyebabkan gangguan isi pikir : waham adalah ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain, panic, menekan rasa takut stress yang berat yang mengancam ego yang lemah., kemungkinan factor herediter”. Secara khusus factor penyebab timbulnya waham dapat diuraikan dalam beberapa teori yaitu : a.
Factor Predisposisi
11
Menurut Townsend (1998, hal 146-147) faktor predisposisi dari perubahan isi pikir : waham kebesaran dapat dibagi menjadi dua teori yang diuraikan sebagai berikut :
1.
Teori Biologis a) Faktor-faktor
genetic
yang
pasti
mungkin
terlibat
dalam
perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain). b) Secara relative ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan skizoprenia mungkin pada kenyataanya merupakan suaru kecacatan sejak lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan suatu kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang menderoita skizoprenia. c) Teori
biokimia
menyatakan
adanya
peningkata
dupamin
neorotransmiter yang dipertukarkan mengahasilkan gejala-gejala peningkatan aktifitas yang berlebihan dari pemecahan asosiasiasosiasi yang umumnya diobservasi pada psikosis. 2.
Teori Psikososial a) Teori
sistem
menggambarkan
keluarga
Bawen
perkembangan
dalam
Townsend
skizofrenia
sebagai
(1998) suatu
perkembangan disfungsi keluarga. Komflik diantara suami istri mempengaruhi
anak.
Penanaman
hal
ini
dalam
anak
akan
menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansietas dan suatu kondisi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan yang saling mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan anak-anak. Anak harus meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan masuk kepada masa dewasa, dimana di masa ini anak tidak akan mampu memenuhi tugas perkembangan dewasanya. b) Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak menerima pesan-pesan yang membingungkan
12
dan penuh konflik dan orang tua tidak mampu membentuk rasa percaya tehadap orang lain. c)
Teoti psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling mempengaruhi orang tua dan anak . karena ego menjadi lebih lemah penggunaan mekanisme pertahanan itu pada waktu kecemasan yang ekstrem mennjadi suatu yang maladaptive dan perilakunya sering kali merupakan penampilan dan sekmen diri dalam kepribadian.
b.
Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal 310) factor presipitasi dari perubahan isi pikir : waham kebesaran yaitu : 1. Biologis 2. Stressor biologis yang berhubungan dengan nerobiologis yang maladaptive termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan. 3. Stress lingkungan 4. Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang 5. berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku. 6. Pemicu gejala 7. Pemicu yang biasanta terdapat pada respon neurobiologist yang maladaptive berhubungan denagn kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti : gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkunag yang penuh kritik, masalah perumahan, kelainan
terhadap penampilan, stress
agngguan dalam berhubungan interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaa, kemiskinan, keputusasaan dan sebaigainya.
13
D.
Proses terjadinya waham
Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham, menggunakan mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi, digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan cinta. Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang kokoh. Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak dapat diterima didalam dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas, telah dihipotesiskan menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi, waham kebesaran dan superioritas. Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka. Waham kebesaran merupakan regresi perasaan maha kuasa dari anak-anak, dimana perasaan akan kekuatan yang tidak dapat disangkal dan dihilangkan (Kaplan dan Sadock, 1997). Cameron, dalam Kaplan dan Sadock, (1997) menggambarkan 7 situasi yang memungkinkan perkembangan waham, yaitu : peningkatan harapan, untuk mendapat terapi sadistik, situasi yang meningkatkan ketidakpercayaan dan kecurigaan, isolasi sosial, situasi yang meningkatkan kecemburuan, situasi yang memungkinkan menurunnya harga diri (harga diri rendah), situasi yang menyebabkan seseorang melihat kecacatan dirinya pada orang lain, situasi yang meningkatkan kemungkinan untuk perenungan tentang arti dan motivasi terhadap sesuatu.
E. Akibat dari Waham
Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
F.
Gejala- Gejala Waham
Menurut Kaplan dan Sadock (1997), kondisi klien yang mengalami waham adalah: 1. Status mental
14
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal, kecuali bila b) ada sistem waham abnormal yang jelas. a. Mood klien konsisten dengan isi wahamnya. b. Pada waham curiga, didapatkan perilaku pencuriga. c. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri, c) mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal. a. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas d) depresi ringan. a. Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap, kecuali e) pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan f) ditemukan halusinasi dengar. 2. Sensori dan kognisi a. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki waham b) spesifik tentang waktu, tempat dan situasi. a. Daya ingat dan proses kognitif klien adalah intak (utuh). b. Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek. c. Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya. Keputusan c) terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah dengan menilai d) perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan
15
G. KOMUNIKASI PADA PASIEN WAHAM
SP
1 :
Pasien
Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan
Fase 1 ORIENTASI Perawat
:
“Assalamu‟alaikum,”
Pasien
:
“Wa‟alaikum Salam”.
Perawat
:
Perkenalkan nama saya‟ani‟, saya perawat yang dinas pagi ini di ruang Melati, saya dinas dari pukul 07 – 14.00 nanti, saya yang akan merawat abang hari ini, “Nama abang siapa”.
Pasien
:
Abang “W”.
Perawat
:
Senangnya di panggil apa?
Pasien
:
Terserah suster saja.
Perawat
:
Bisa kita berbincang – bincang tentang apa yang abang “W” rasakan sekarang?
Pasien
:
Boleh, kenapa dengan saya, saya tidak sakit karena setiap malam Malaikat selalu turun menjaga saya tidur, saya kan seorang Nabi jadi kalian semua harus mengikuti perintah saya.
Perawatn
:
Ber apa lama bang „W” mau kita berbincang – bincang, bagaimana kalau 15 menit?
Pasien
:
Ya, tapi jangan lewat dari 15 menit.
Perawat
:
Dimana enaknya kita berbincang – bincang bang?
Pasien
:
Bagaimana kalau di taman tempat saya biasa duduk.
Fase 2 KERJA
Perawata
:
Saya mengerti bang “W” merasa bahwa bang “W” adalah Nabi tapi sulit bagi saya untuk mempercayainya karena setahu saya semua Nabi sudah tidak ada lagi.
Pasien
:
Siapa bilang”buktinya saya masih ada”. 16
Perawat
:
Bisa kita lanjutkan pembicaraan yang tadi terputus bang, tampaknya bang “W” gelisah sekali, bisa abang ceritakan apa yang bang “W”
Pasien
:
rasakan? Saya sudah tidak tahan lagi hidup dirumah ini. Saya takut nanti
Perawat
:
mereka semua terlalu mengatur – atur saya. O….Jadi bang “W” merasa takut nanti di atur – atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk mengatur diri abang sendiri, siapa menurut
Pasien
:
bang “W” yang sring mengatur – atur diri abang.
Perawat
:
Ibu, adik dan kakak saya, mereka lah yang sering mengatur saya. Tadi ibu yang terlalu mengatur-aturnya bang, juga kakak dan adik
Pasien
:
abang yang lain.
Perawat
:
“Ya”.
Pasien
:
Kalau abang sendiri inginnya seperti apa? Saya ingin punya kegiatan di luar rumah, supaya saya bisa keluar,
Perawat
:
karena saya merasa bosan kalau di rumah terus. O…Bagus abang sudah ounya rencana dan jadwal untuk diri sendiri.
Pasien
:
Coba kita tuliskan rencana dan jadwal tersebut bang? Misalnya, setiap 3 hari sekali saya mau memancing dan selebihnya
Perawat
:
saya juga ingin kerja Bantu cari nafkah keluarga. Wah…. bagus sekali, jadi setiap harinya abang ingin ada kegiatan di
Pasien
:
luar rumah, karena bosan kalau di rumah terus, ya. Ya, Suster.
Fase 3 TERMINASi Perawat
:
Pasien
:
Bagaimana perasaan bang “W” setelah berbincang – bincang dengan saya.
Perawat
:
Saya merasa lebih tenang karena semua keinginan saya sudah saya
Pasien
:
bilang semuanya sama suster. Apa saja tadi yang telah kita bicarakan.
Perawat
:
Tentang keluarga saya yang terlalu mengatur – atur saya, dan masalah
Pasien
:
kegiatan saya di luar rumah. 17
Perawat
:
Bagus, bagaimana kalau jadwal ini abang coba lakukan, setujua bang. Baiklah, saya akan tunggu suster, tapi apa yang mau suster bicarakan?
Pasien
:
Kita bercakap – cakap tentang kemampuan yang pernah abang miliki,
Perawat
:
mau dimana kita bercakap – cakap, bagaimana kalau disini lagi. Baiklah saya setuju. Terima kasih ya bang. Saya permisi…
18
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik pada penderita waham memerlukan
latihan
dan
kepekaan
serta
ketajaman
perasaan,
karena
komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan bagi perawat. 2.
Komunikasi
juga
akan
memberikan
dampak
terapeutik
bila
dalam
penggunaanya diperhatikan sikap dan tehnik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan factor penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.
B. SARAN
1.
Dalam melayani klien hendaknya perawat selalu berkomunikasi dengan klien untuk mendapatkan persetujuan tindakan yang akan di lakukan.
2.
Dalam berkomunikasi dengan klien hendaknya perawat menggunakan bahasa yang mudah di mengerti oleh klien sehingga tidak terjadi kesalahpahaman komunikasi.
3.
Dalam menjalankan profesinya hendaknya perawat selalu memegang teguh etika keperawatan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, A.Y.S (1996). Komunikasi Terapeutik . Jakarta: tidak dipublikasikan Marlindawani Purba, Jenny dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa . Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan : USU Press Art Design, Publishing & Printing. Anang Rachyudi. (2009). Konsep Komunikasi Terapeutik . Dapat diakses di http://www.scribd.com/doc/17427921/Konsep-Komunikasi-Terapeutik di
buka
pada tanggal 08 Desember 2013. Dwi Andini (2008). Komunikasi Terapeutik . Dapat diakses di http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/komunikasi-terapeutik/ di buka pada tanggal 08 Desember 2013. Ghana Syakira. (2009). Unsur dan Prinsip Komunikasi Terapeutik. Dapat diakses di http://syakira-blog.blogspot.com/2009/01/unsur-dan-prinsip-komunikasiterapeutik.html di buka pada tanggal 08 Desember 2013. Dalami,Ermawati.2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta : Trans Info Media http://dhanwaode.wordpress.com/2010/10/09/komunikasi-dalam-proses-pembangunandalam-proses-keperawatan/ http://riff46.wordpress.com/2011/05/21/integrasi-konsep-komunikasi-dan-etika dalam-pemberian-obat/ http://www.scribd.com/doc/94295114/Makalah-Komunikasi-Dalam-Keperawatan http://www.scribd.com/doc/138339534/Makalah-waham
20