TOLERANSI OSMOTIK ERITROSIT
LAPORAN PRAKTIKUM UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Fisiologi Hewan dan Manusia yang dibina oleh Dr. Sri Rahayu Lestari, M.Si
Oleh Kelompok 4 Maulidan Asyrofil Anam Mita Larasati Nur Fitriana Olivia Yunita
(140342604964) (140342604964) (140342601011) (140342601011) (140342601325) (140342601325) (140342600097) (140342600097)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Nopember 2015
A. Judul
Toleransi Osmotik Eritrosit B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan: 1. Mengetahui kecepatan terjadinya hemolisis dan krenasi eritrosit pada medium berbeda-beda. 2. Mengetahui persentase hemolisis eritrosit pada medium yang berbeda-beda. C. Dasar Teori
Darah merupakan cairan tubuh yang terdiri atas dua komponen dasar yaitu plasma darah dan sel-sel darah. Plasma darah adalah komponen darah berupa cairan sedangkan sel-sel darah adalah komponen darah yang terdiri atas eritrosit, leukosit dan trombosit. Darah mempunyai peranan sebagai alat pengangkut bermacam-macam substansi seperti gas-gas respirasi (O2 dan CO2), nutrisi, zat sisa metabolisme dan hormone (Isnaeni, 2006). Di antara tiga tipe sel darah, yang berjumlah paling banyak adalah sel darah merah. Sel-sel darah merah (eritrosit) mengandung protein yang sangat penting bagi fungsinya yaitu globin yang dikonjugasikan dengan pigmen hem membentuk hemoglobin untuk mengikat oksigen. Oksigen yang diikat oleh hemoglobin kemudian akan digunakan untuk proses katabolisme sehingga dihasilkan energi. Kemampuan mengikat oksigen dalam darah tergantung pada jumlah hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Rendahnya kadar hemoglobin menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah (Alamanda, 2007). Bentuk dan ukuran sel darah merah (eritrosit) tergantung pada jenis hewan. Pada mammalia eritrositnya tidak berinti, umumnya berbentuk bulat bikonkaf. Eritrosit pada vertebrata lain berbentuk lonjong, bikonvek dan berinti. Pada umumnya eritrosit yang tidak berinti mempunyai ukuran lebih kecil daripada eritrosit yang berinti. Bentuk bikonkaf pada eritrosit menyebabkan cepatnya proses pertukaran gas-gas antara sel darah merah dengan sel-sel pada jaringan dan plasma darah (Hartadi et al , 1992). Di antara eritrosit vertebrata, eritrosit Amphibi memiliki ukuran yang paling besar. Faktor yang menentukan dan mempertahankan bentuk eritrosit yang khas itu adalah unsur molekul khusus pada membran selnya dan konstitusi kompleks koloid yang mengisinya (Cormack, 1994).
Seperti sel-sel lain, eritrosit dibatasi oleh suatu membran yang bersifat semipermeabel atau selekstif permeabel, artinya membran dapat ditembus oleh air dan zat terlarut terte ntu, tetapi tidak dapat ditembus oleh zat tertentu yang lain. Membran eritrosit u mumnya mudah dilalui oleh ion-ion H +, OH -, NH 4+, PO 42-, HCO3- dan oleh zat-zat seperti glukosa, asam amino, urea, dan asam urat. Sebaliknya membran eritrosit tidak mudah ditembus oleh Na +, K +, Ca2+, Mg2+, fosfat organik dan zat-zat lain seperti hemoglobin dan protein plasma (Isnaeni, 2006). Osmosis memainkan peranan yang sangat penting pada tubuh makhluk hidup, begitu pula pada membrane sel darah merah. Eritosit mampu bertahan terhadap perubahan kekuatan osmosis yang normal, yakni dalam larutan yang isotonik. Saat lingkungan eksternal konsentrasinya sama dengan lingkungan internal maka darah akan mengalami kondisi isotonik sehingga tidak terjadi perubahan struktur sel (Latief, 2002). Namun, dalam larutan yang cukup hipotonik eritrosit menyerap cairan dari larutan, kemudian membengkak dan menjadi bulat hingga membran sel tidak mampu lagi menahan cairan di dalamnya. Pada keadaan ini membran sel akan pecah dan cairan bocor keluar, peristiwa ini dikenal sebagai hemolisis (Bajpai, 1989). Menurut Hendrayati (2007) hemolisis menurut penyebabnya dapat dibagi menja di dua macam, yaitu : 1. Hemolisa osmotik, hemolisa yang terjadi karena adanya perbedaanyang besar antara tekanan osmosis cairan di dalam sel eritrosit dengan cairan disekelilingnya. 2. Hemolisa kimiawi, terjadi karena membran sel dirusak oleh berbagai substansi kimia seperti chloroform, aseton, alkohol, benzena dan eter. Sebaliknya, jika eritrosit ditempatkan dalam larutan hipertonik maka cairan di dalam sel akan keluar, sehingga sel-selnya mengerut dan permukaannya berubah tidak teratur. Menurut Singh (1991) peristiwa ini disebut dengan krenasi. Kerapuhan membran eritrosit dipengaruhi oleh umur eritrosit, semakin tua umur eritrosit maka membran selnya semakin rapuh. Di dalam tubuh hewan, eritrosit tua dan muda saling bercampur. Oleh karena itu batas toleransi osmotik membran eritrosit harus dibedakan menjadi batas atas toleransi dan batas bawah toleransi. Batas bawah toleransi ditunjukkan oleh kepekatan suatu medium, dimana apabila eritrosit dilarutkan dalam medium tersebut, sudah nampak eritrosit yang mengalami hemolisis. Sedangkan batas atas toleransi osmotik eritrosit mengacu kepada kepekatan suatu medium dimana bila eritrosit dilarutkan dalam medium tersebut akan mengalami hemolisis sempurna, artinya semua eritrosit sudah mengalami hemolisis (Isnaeni, 2006).
D. Alat dan Bahan 1. Alat
2. Bahan
a. Mikroskop cahaya
a. Katak hijau
b. CCTV
b. NaCl
c. Kaca benda
0,7%
untuk
cairan
fisiologis katak
d. Kaca penutup
c. Larutan
NaCl
dengan
e. Mikropipet
konsentrasi 3%, 2%, 1%, 0%,
f. Pipet tetes
0,9%, 0,7%, 0,5%, 0,3%, 0,1%
g. Papan dan alat seksi
d. Aquadest
h. Gelas piala
e. Anti koagulan
i. Tabung reaksi kecil j. Sentrifuge
beserta
mikrosentrifuge
tabung zxk
E. Prosedur Kerja 1. Mengetahui Kecepatan Hemolisis dan Krenasi
Mensingle pit katak, membedah katak hingga nampak jantung pembuluh darah
Menusuk pembuluh darah besar hingga darah keluar
Meneteska larutan NaCl 0,7 % pada kaca benda, melarutkan sedikit darah katak pada tetesan NaCl
Mengamati terjadinya hemolisis di bawah mikroskop dan mencatat waktunya
Melakukan cara kerja no 3 untuk larutan 0,5 % NaCl, 0,3 % NaCl, 0,1 % NaCl, dan aquades.
Mencatat hasil dan membuat kesimpulan
Untuk mengetahui kecepatan krenasi, melakukan seperti cara nomor 3 dengan menggunakan larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,7 %
.Mencatat hasil dan membuat kesimpulan
2. Menghitung Persentase Hemolisis
Mensingle pit katak, membedah katak hingga nampak jantung pembuluh darah besar
Menampung ± 2-5 ml sampel darah dalam suatu tabung reaksi yang telah diberi anti koagulan
Menyiapkan 5 tabung mikrosentifuge, mengisi masing-masing dengan 0,1 ml sampel darah, memberikan nomor/label pada tabung reaksi
Menambahkan 1 ml NaCl 0,7 % pada tabung 1, 1 ml NaCl 0,5 % pada tabung 2, 1 ml NaCl 0,3 % pada tabung 3, 1 ml NaCl 0,1 % pada tabung 4, dan 1 ml aquades pada tabung 5
Mendiamkan darah dalam tabung reaksi sekitar 10 menit, setelah itu pusingkan selama 5 menit dengan kecepatan 3.000 rpm
Mengamati warna dan volume supernatan, serta endapan eritrosit
Mengamati terjadinya batas bawah dan atas toleransi osmotis membran eritrosit
F. Data Pengamatan 1. Mengetahui Kecepatan Hemolisis dan Krenasi
Konsentrasi
3
NaCl (%)
2
1
0,9
Perubahan
0,7
0,5
0,3
0,1
Akuades
0
Bentuk
pada
Krenasi
eritrosit
Eritrosit
Hemolisis
tetap 5
6
7
8
hingga
4
1
1
57
menit
menit
menit
menit
10
menit
menit
menit
detik
2
19
22
23
menit
37
detik
detik
detik
detik
tidak
detik
Waktu
berubah
Gambar
2. Menghitung Persentase Hemolisis
Konsentrasi NaCl (%) Supernatan Endapan
0,7
0,5
0,3
0,1
Akuades 0
-
+
++
+++
++++
++++
+++
++
+
-
Keterangan Supernatan
Keterangan Endapan
++++ : merah pekat
++++ : banyak sekali
+++
: merah
+++
: banyak
++
: merah (sedang)
++
: sedang
+
: merah pudar
+
: sedikit
-
: bening
-
: tidak ada endapan
G. Analisis Data 1. Mengetahui Kecepatan Hemolisis dan Krenasi
Percobaan ini diawali dengan mensingle pith katak, kemudian membedahnya hingga nampak jantung dan pembuluh darah besar. Salah satu pembuluh darah besar ditusuk sehingga darahnya keluar. Kemudian menyiapkan kaca benda yang masingmasing telah ditetesi larutan 0,7% NaCl, 0,5% NaCl, 0,3% NaCl, 0,1% NaCl dan aquadest. Kepada tetesan larutan NaCl tersebut dilarutkan sedikit darah katak, kemudian ditutup dengan kaca benda dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Waktu hemolisis eritrosit dihitung mulai dari pelarutan darah pada tetesan NaCl hingga terjadi hemolisis ketika diamati di bawah mikroskop. Dari pengamatan yang dilakukan, eritrosit yang mengalami hemolisis mulamula ukurannya membesar kemudian pecah dan mengeluarkan cairan dari dalam selnya. Pada konsentrasi NaCl 0,7% hingga menit ke-10 tidak menunjukkan adanya eritrosit yang mengalami hemolisis. Pada konsentrasi NaCl 0,5% hemolisis terjadi setelah 4 menit. Pada konsentrasi NaCl 0,3% hemolisis terjadi s etelah 1 menit 40 detik. Pada konsentrasi NaCl 0,1% hemolisis terjadi setelah 1 menit, sedangkan pada aquades hemolisis terjadi setelah 57 detik. Berdasarkan pengamatan ini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa: semakin rendah konsentrasi larutan NaCl, maka semakin cepat terjadinya hemolisis pada eritrosit katak; hemolisis paling cepat terjadi ketika darah dilarutkan pada aquadest; larutan NaCl 0,7% isotonis terhadap eritrosit katak. Untuk mengetahui kecepatan krenasi eritrosit katak, digunakan prosedur yang sama dengan pengukuran kecepatan hemolisis. Namun konsentrasi larutan NaCl yang digunakan lebih pekat daripada 0,7% yaitu larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9%, 1%, 2% dan 3%. Dari pengamatan yang dilakukan, eritrosit yang mengalami krenasi ditunjukkan dengan keluarnya cairan dari dalam sel, sehingga eritrosit mengerut (ukuran sel mengecil). Pada konsentrasi larutan NaCl 0,9 %, eritrosit mengalami krenasi setelah 8 menit 23 detik. Pada konsentrasi larutan NaCl 1% krenasi terjadi setelah 7 menit 22 detik. Pada konsentrasi larutan NaCl 2% krenasi terjadi setelah 6 menit 19 detik dan pada konsentrasi larutan NaCl 1% krenasi terjadi setelah 5 menit 2 detik. Berdasarkan pengamatan ini, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan NaCl, maka semakin cepat terjadinya krenasi pada eritrosit katak.
2. Menghitung Persentase Hemolisis
Pada praktikum menghitung persentase hemolisis, darah yang digunakan adalah darah yang sama yang juga digunakan pada praktikum pertama. Awalnya disiapkan terlebih dahulu 5 buah tabung mikro sentrifuge yang masing-masing telah diisi dengan larutan tertentu. Tabung 1 diisi dengan 2 ml 0,7% NaCl, tabung 2 diisi dengan 2 ml 0,5% NaCl, tabung 3 diisi dengan 2 ml 0,3% NaCl, tabung 4 diisi dengan 2 ml 0,1% NaCl, dan tabung 5 diisi dengan 2 ml aquadest. Selanjutnya pada masing-masing tabung mikrosentrifuge yang telah berisi larutan NaCl terse but ditambah dengan 2 tetes darah lalu dikocok pelan dan didiamkan selama ± 10 menit. Setelah didiamkan selama ± 10 menit, semua tabung dimasukkan ke dalam sentrifuge dengan kecepatan 3.000 rpm selama 5 menit. Hal yang diamati selanjutnya adalah warna dan volume supernatant serta endapannya. Dari praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut. Pada darah yang dicampur dengan NaCl 0,7%, supernatant berwarna bening dan terlihat endapan darah di bagian bawah yang menunjukkan bahwa darah tersebut tidak mengalami hemolisis. Pada darah amatan yang dicampur dengan NaCl dengan konsentrasi tertentu menunjukkan gradasi warna merah yang semakin menua pada konsentrasi NaCl yang semakin rendah, sehingga warna darah yang paling tua (merah pekat) terdapat pada darah yang dicampur dengan NaCl 0% (aquadest) tanpa adanya endapan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada darah tersebut mengalami hemolisis dengan persentase tinggi (hemolisis sempurna). Pada darah yang dicampur NaCl 0,5%, supernatant berwarna merah pudar dengan sedikit endapan. Pada darah yang dicampur NaCl 0,3%, supernatant berwarna merah sedang dengan endapan sedang. Pada darah yang dicampur NaCl 0,1%, supernatant berwarna merah dengan endapan yang cukup banyak. Dari data tersebut, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa konsentrasi NaCl berpengaruh terhadap persentase hemolisis darah. Semakin encer konsentrasi NaCl yang diberikan (kurang dari 0,7%), semakin tinggi persentase hemolisis. Hal tersebut ditunjukkan dengan warna supernatant yang semakin pekat dan supernatant yang semakin sedikit pada konsentrasi NaCl yang semakin rendah. Sedangkan konsentrasi NaCl 0,7% merupakan konsentrasi yang sesuai dengan tekanan osmotik darah sehingga tidak menyebabkan terjadinya hemolisis.
H. Pembahasan 1. Mengetahui Kecepatan Hemolisis dan Krenasi
Toleransi osmotik eritrosit berbagai hewan memiliki tingkat yang berbeda beda. Toleransi osmotik eritrosit yang dimiliki oleh hewan berdarah dingin atau sering disebut poikiloterm sama dengan tekanan osmotik larutan NaCl 0,7 %, sedangkan toleransi osmotik eritrosit hewan berdarah panas atau sering disebut homoioterm sama dengan tekanan osmotik larutan NaCl 0,9 % (Ningsi dan Ramadhanty, 2014). Adanya toleransi osmotik tersebut menyebabkan eritrosit akan mengalami peristiwa hemolisis atau krenasi apabila dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi yang berbeda. Amir (2014) menyatakan peristiwa hemolisis pada eritrosit akan terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi rendah atau hipotonis, peristiwa krenasi akan terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam larutan berkonsentrasi tinggi atau hipertonis, sedangkan apabila eritrosit dimasukkan ke dalam larutan isotonis maka eritrosit tidak akan mengalami peristiwa hemolisis atau pun krenasi. Dari literatur di atas dapat diketahui, dalam praktikum yang telah dilakukan menggunakan katak sebagai objek yang diambil darahnya merupakan salah satu anggota hewan berdarah dingin (poikiloterm) sehingga dapat dipastikan bahwa toleransi osmotik eritrosit di dalam darah katak sama dengan tekanan osmotik larutan NaCl 0,7 %. Berikut merupakan gambar hasil praktikum peristiwa hemolisis dan krenasi yang terjadi pada darah katak:
1) Darah di dalam aquades Gambar 1
2) Darah di dalam larutan NaCl Gambar 2
NaCl 0,1 % Gambar 4
NaCl 0,5 % Gambar 6
NaCl 0,9 % Gambar 8
NaCl 2 %
Gambar 3
NaCl 0,3 % Gambar 5
NaCl 0,7 % Gambar 7
NaCl 1 % Gambar 9
NaCl 3 %
Berdasarkan analisis dan gambar di atas, dapat diketahui saat darah katak dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,7 % tidak terjadi perubahan apa pun pada eritrosit yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 x. Hal ini terjadi karena larutan NaCl 0,7 % memiliki konsentrasi yang sama (seimbang) dengan cairan yang terdapat di dalam eritrosit atau dapat dikatakan bahwa larutan NaCl 0,7 % bersifat isotonis terhadap cairan yang ada di dalam eritrosit, sehingga meskipun ditunggu hingga beberapa menit eritrosit tidak akan mengalami perubahan apa pun. Menurut Tanjung, dkk (2012) cairan yang terdapat di dalam sel darah merah atau eritrosit memiliki konsentrasi yang seimbang dengan larutan NaCl 0,7 % atau larutan NaCl 0,7 % bersifat isotonis terhadap eritrosit, sehingga pada praktikum toleransi osmotik ketika eritrosit dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,7 % dan ditunggu selama beberapa menit tidak akan terjadi perubahan apa pun pada eritrosit tersebut. Tidak hanya itu, seperti yang telah disebutkan bahwa katak merupakan salah satu anggota hewan poikiloterm yang toleransi osmotik eritrositnya sama dengan tekanan osmotik larutan NaCl 0,7 % (Ningsi dan Ramadhanty, 2014). Saat darah katak dimasukkan ke dalam aquadest, larutan NaCl 0,1 %, larutan NaCl 0,3 %, dan larutan NaCl 0,5 % dapat diketahui dari analisis dan gambar yang didapatkan melalui pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 x bahwa eritrosit yang awalnya berbentuk oval lama-kelamaan menjadi menggembung dan kemudian pecah. Menggembung dan pecahnya eritrosit diakibatkan oleh banyaknya aquadest atau larutan yang masuk ke dalam eritrosit. Pecahnya membran plasma pada eritrosit atau sel darah merah disebut peristiwa hemolisis. Dari pengamatan yang telah dilakukan, peristiwa hemolisis pada eritrosit terjadi ketika eritrosit dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi rendah atau hipotonis. Hemolisis merupakan suatu peristiwa rusaknya membran plasma pada sel darah merah atau eritrosit yang diakibatkan adanya larutan hipotonis yang masuk secara osmosis ke dalam eritrosit (Natalina, 2010). Cairan yang bersifat hipotonis terhadap eritrosit katak dan dapat menyebabkan terjadinya peristiwa hemolisis yaitu aquadest dan larutan NaCl dengan berbagai konsentrasi di bawah 0,7 %, serta perlu diketahui bahwa semakin rendah konsentrasi suatu cairan di luar eritrosit maka peristiwa hemolisis yang terjadi akan semakin cepat (Setiyani, 2013). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil praktikum yang telah dilakukan, yaitu peristiwa hemolisis yang terjadi pada darah katak yang dimasukkan ke dalam aquadest lebih cepat jika dibandingkan dengan peristiwa
hemolisis yang terjadi ketika darah katak dimasukka ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,1 %, 0,3 %, dan 0,5 %. Dan berdasarkan gambar serta analisis yang telah dilakukan, darah katak yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9 %, 1 %, 2 %, dan 3 % mengalami peristiwa krenasi. Peristiwa krenasi yang terjadi pada eritrosit yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 x menunjukkan adanya perubahan bentuk yang awalnya oval menjadi seperti berbentuk pipih. Hal itu dapat ter jadi karena larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9 %, 1 %, 2 %, dan 3 % bersifat hipertonis pada eritrosit katak, sehingga apabila darah dimasukkan ke dalam larutan tersebut maka partikel partikel yang terdapat di dalam larutan akan masuk ke dalam eritrosit dan mendesak cairan yang ada di dalam eritrosit keluar sehingga eritrosit menjadi gepeng dan mengkerut. Krenasi ialah peristiwa mengkerutnya membran sel darah merah atau eritrosit yang diakibatkan oleh keluarnya cairan yang terdapat di dalam sel tersebut (Amalia, 2014). Peristiwa krenasi pada sel darah merah atau e ritrosit terjadi apabila sel tersebut dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi tinggi atau hipertonik dan semakin tinggi konsentrasi larutan akan mempercepat terjadinya peristiwa krenasi (Syafar dan Hamsah, 2014). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil praktikum yang telah dilakukan, yaitu peristiwa krenasi terjadi lebih cepat ketika darah dimasukkan ke dalam larutan NaCl 3 % dibandingkan dengan peristiwa krenasi yang terjadi ketika darah dimasukkan ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9 %, 1 %, dan 2 %.
2. Menghitung Persentase Hemolisis
Lisis merupakan istilah umum untuk peristiwa menggelembung dan pecahnya sel akibat masuknya air ke dalam sel. Lisis pada eritrosit disebut hemolysis, yang berarti peristiwa pecahnya eritrosit akibat masuknya air ke dalam eritrosit seingga hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke cairan sekelilingnya. Membran eritrosit bersifat permeable selektif, yang berarti dapat ditembus oleh air dan zat-zat tertentu tetapi tidak dapat ditembus oleh zat-zat tertentu yang lain (Soewolo. 2000: 88). Dalam pengamatan yang telah dilakukan untuk menghitung persentase hemolisis setelah mensentrifuge selama 5 menit didapatkan hasil sebagai berikut darah yang dicampur dengan akuades (NaCl 0%) mengalami hemolisis sempurna karena supernatan berwarna merah pekat tanpa adanya endapan. Pada NaCl 0,1% supernatan berwarna merah dengan sedikit endapan merah tua sehingga mengalami hemolisis
sebagian. Pada NaCl 0,3% supernatan berwarna merah (sedang) dengan endapan yang sedang dan berwarna merah tua sehingga mengalami hemolisis sebagian. Pada NaCl 0,5% supernatan berwarna merah pudar dengan banyak endapan sehingga juga dapat dikatakan mengalami hemolisis sebagian. Sedangkan pada NaCl 0,7% supernatan berwarna bening dengan banyak sekali endapan sehingga dapat dikatakan terjadi hemolisis sebagian.
Gambar 10:
Hasil sentrifuge darah yang dicampur dengan NaCl konsentrasi 0,7% (A), 0,5% (B), 0,3%(C), 0,1% (D), dan 0% atau aquadest (D). Pada gambar, persentase hemolisis dapat diamati melalui gradasi warna supernatant yang semakin menua dan natan yang semakin sedikit pada konsentrasi NaCl yang semakin pekat.
Data pengamatan yang diperoleh sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soewolo (2000) bahwa, bila eritrosit mengalami hemolisis maka hemoglobin akan larut dalam mediumnya. Akibat dari terlarutnya hemoglobin tersebut, medium akan berwarna merah. Makin banyak eritrosit yang mengalami hemolisis maka makin merah warna mediumnya. Dengan dibandingkan warna medium dengan larutan standar (eritrosit dalam air suling/akuades), maka dapat ditentukan tingkat kerapuhan membrane eritrosit (tingkat toleransi osmotik membrane eritrosit). Dari pembahasan yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa kesimpulan sementara sudah sesuai dengan literature yang ada. Sehingga kesimpulan akhir yang dapat diambil adalah bahwa konsentrasi NaCl berpengaruh terhadap persentase hemolisis darah. Semakin encer konsentrasi NaCl yang diberikan (kurang dari 0,7%), semakin tinggi persentase hemolisis darah. Sedangkan konsentrasi NaCl 0,7% merupakan konsentrasi yang sesuai dengan tekanan osmotik darah sehingga tidak menyebabkan terjadinya hemolisis.
I. Kesimpulan
1. Pada praktikum mengetahui kecepatan hemolisis dan krenasi, semakin rendah konsentrasi larutan NaCl maka semakin cepat terjadinya hemolisis pada eritrosit katak. Hemolisis paling cepat terjadi ketika darah dilarutkan pada aquadest. Sedangkan pada larutan NaCl 0,7% tidak terjadi perubahan pada eritrosit katak karena toleransi osmotik eritrosit di dalam darah katak sama dengan tekanan osmotik larutan NaCl 0,7 %. Dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9 %, 1 %, 2 %, dan 3 %, eritrosit mengalami krenasi. Peristiwa krenasi terjadi lebih cepat ketika darah dimasukkan ke dalam larutan NaCl 3% dibandingkan dengan peristiwa krenasi yang terjadi ketika darah dimasukkan ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9%, 1%, dan 2%. 2. Pada praktikum menghitung persentase hemolisis, konsentrasi NaCl berpengaruh terhadap persentase hemolisis darah. Semakin encer konsentrasi NaCl yang diberikan (kurang dari 0,7%), semakin tinggi persentase hemolisis darah. Sedangkan konsentrasi NaCl 0,7% merupakan konsentrasi yang sesuai dengan tekanan osmotik darah sehingga tidak menyebabkan terjadinya hemolisis.
DAFTAR PUSTAKA
Alamanda, I. 2007. Penggunaan Metode Hematologi dan Pengamatan Endoparasit Darah untuk Penetapan Kesehatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kolam Budidaya Desa Mangkubumen Boyolali. Biodiversitas, 8 (1): 34-38. Amalia, R. 2014. Toleransi Osmotik Hewan Poikiloterm dan Homoioterm. (Online), (www.academia.edu), diakses 11 Nopember 2015. Amir, G. 2014. Fisiologi Darah (Hemolisis). (Online), (www.academia.edu), diakses 12 Nopember 2015. Bajpai, R. N. 1989. Histologi Dasar . Jakarta: Binarupa Aksara. Cormack, D.H. 1994. HAM Histologi Jilid 1. Edisi Kesembilan. Jakarta: Binarupa Aksara. Hartadi, D. et al . 1992. Simulasi Penghitungan Sel Darah Merah. Transmisi, 8 (2): 1 – 6. (Online), (http:// http://jeb.biologists.org/content), diakses tanggal 12 Nopember 2015. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius. Latief, A.S., dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Terapi Cairan Pada Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI Mayer H, Follin SA. Fluid and Electrolyte Made Incredibly Easy. Pennsylvania: Springhouse. Natalina. 2010. Toleransi Osmotik Eritrosit Terhadap Berbagai Tingkat Kepekatan, Medium pada Hewan Poikilotermik dan Aliran Darah dalam Sistem Peredarah Darah Tertutup. (Online), (https://id.scribd.com), diakses 12 Nopember 2015. Ningsi, R. & Ramadhanty, D. 2014. Laporan Praktikum Hemolisa dan Krenasi, Golongan Darah dan Tekanan Darah. (Online), (www.academia.edu), diakses 12 Nopember 2015. Setiyani, D., A. 2013. Mengetahui Krenasi dan Lisis pada Eritrosit . (Online), (https://id.scribd.com), diakses 12 Nopember 2015. Singh, I. 1991. Teks dan Atlas Histologi Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara. Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Syafar, A. & Hamsah. 2014. Hemolisa dan Krenasi, Golongan Darah, Tekanan Darah . (Online), (www.slideshare.net ), diakses 12 Nopember 2015. Tanjung, A., A., dkk. 2012. Konsentrasi Sel-Sel Darah Merah pada Manusia, Ikan, dan Katak. (Online), (www.dokumen.tips), diakses 12 Nopember 2015.