BAGIAN ANESTESIOLOGI, TERAPI INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
Laporan Kasus Agustus 2015
ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARKINSON YANG MENJALANI OPERASI HISTEREKTOMI TOTAL DAN SALPINGO OVAREKTOMI BILATERAL
Oleh:
dr. Fitriani Asrul C113210205 Pembimbing:
Dr.dr. Hisbullah, Sp.An-KIC-KAKV
DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 BIDANG STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
1
ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARKINSON YANG MENJALANI OPERASI HISTEREKTOMI TOTAL DAN SALPINGO OVAREKTOMI BILATERAL
PENDAHULUAN Penyakit parkinson adalah gangguan neurologik degeneratif yang disebabkan oleh degenerasi sel-sel saraf di bagian substansia nigra yang menyebabkan kelemahan koordinasi motorik. Sel sel saraf tersebut mati atau mengalami kerusakan, karena kehilangan kemampuan untuk memproduksi dopamin. Gangguan motorik dapat berupa gejala tremor, bradikinesia, rigiditas, dan instabilitas postural. Pada awalnya penyakit parkinson ini diyakini hanya sebagai gangguan motorik saja, namun kenyataannya sebagian penderita parkinson menunjukkan gejala non motorik 1,2,3. Penyakit parkinson telah dikenal sejak abad kesembilan. Pada tahun 1817 Dr.James Parkinson, seorang klinisi dari London secara resmi mempublikasikan kasus pasien yang mengalami shaking palsy dalam sebuah buku berjudul An Essay on The Shaking Palsy. Sejak saat itulah muncul istilah parkinsonisme. Kemudian pada tahun 1861, Jean-Martin Charcot bersama Alfred Vulpian menambahkan bradikinesia dan rigiditas dalam gejala parkinson. Johnson dkk mengemukakan bahwa diagnosis klinis penyakit parkinson dapat ditegakkan bila dijumpai sekurang-kurangnya 2 dari 4 gejala berikut yaitu: tremor, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural . Pada tahun 1960 Ehringer dan hornykiewicz mengungkapkan bahwa kematian neuron dengan berkurangnya produksi dopamin serta lesi di pars kompakta substansia nigra yang mendasari penyakit parkinson.4,5,6
2
Penyakit parkinson terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi meningkat secara eksponensial pada umur 65 sampai 90 tahun. Rata-rata 0,3% dari seluruh populasi dan 3% dari populasi diatas 65 tahun. Namun suatu studi yang dilakukan pada 120.000 pasien di London menunjukkan insiden yang lebih rendah. Lima sampai sepuluh persen pasien mempunyai gejala sebelum umur 40 tahun (young onset parkinson disease). Laporan terendah ditemukan pada orang Asia dan kulit hitam Afrika sedangkan insiden tertinggi pada orang kulit putih. Penyakit parkinson merupakan gangguan gerakan,umumnya dijumpai pada populasi usia 50 – 70 tahun, di mana prevalensinya pada penduduk Amerika Serikat dan Kanada sebanyak 3 %. Penyakit parkinson lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Penderita penyakit parkinson diperkirakan sebanyak 876.665 orang di Indonesia dari total penduduk.3,6 Meskipun penyebab penyakit parkinson bersifat idiopatik, namun diperkirakan bahwa faktor neurodegeneratif yang dicetuskan oleh faktor genetik, paparan lingkungan serta penuaan juga memegang peranan penting. Bahkan pada pertemuan World Parkinson Meeting di Shanghai China tahun 1911, hal ini di dukung lagi dengan penemuan-penemuan patologis di mana didapatkan lesi dengan proses degeneratif terutama di daerah limbik. Disimpulkan ada 5 gejala non motorik yang muncul mendahului gejala motorik, yaitu: gangguan penciuman, obstipasi, gangguan tingkah laku, gangguan tidur, dan gangguan kognitif.4
3
LAPORAN KASUS Seorang pasien wanita Ny. D, 52 tahun, dengan berat badan 55 kg dan tinggi badan 155cm di konsul dari bagian obstetri dan ginekologi tanggal 31 mei 2013, pukul 15.35 dengan diagnosis neoplasma ovarium kistik suspek ganas dengan penyakit parkinson yang direncanakan operasi histerektomi total dan salphingo oovarektomi bilateral Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan utama : Benjolan pada perut dirasakan sejak 1 tahun yang lalu Riwayat anestesi dan operasi : Tidak ada Riwayat penyakit paru/asma : Tidak ada Riwayat penyakit jantung / vascular : Tidak ada Riwayat penyakit diabetes mellitus : Tidak ada Riwayat penyakit SSP : tremor,rigiditas,
bradikinesia dan instabilitas postural Riwayat gangguan pembekuan darah : Tidak ada Riwayat penyakit hati / gastrointestinal : Tidak ada Riwayat penyakit ginjal / urologi : Tidak ada Riwayat alergi obat / makanan : Tidak ada Riwayat minum alkohol : Tidak ada Riwayat minum obat-obatan herbal / jamu : Tidak ada Riwayat minum obat-obatan saat ini : Trihexyphenidil 2mg 2x1 tablet
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Tanda Vital :
: Baik, GCS15 (E4M6V5)
Tekanan darah : 120/70 mmHg Nadi
: 64x/menit, regular kuat angkat
Pernafasan
: 18x/menit, Ronkhi tidak ada, Wheezing tidak ada 4
Suhu
: 37,20 C
VAS
: 0/10
Kepala / Leher
:Normocephal, konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, buka mulut 3,5 cm, Mallampati II, ekspresi wajah datar
Leher
:Tidak teraba massa tumor,tidak ada pembesaran kelenjar,tidak ada deviasi trakea, TMD 6,8 cm, menoleh kekanan dan kekiri kesan hipertoni
Paru
:Napas
spontan,
pernapasan
thoracoabdominal,
simetris kanan=kiri, BP=vesikuler, bunyi tambahan ronchi(-/-), wheezing (-/-) Jantung
:Bunyi jantung I/II regular murni, bising (-), bunyi tambahan (-)
Abdomen
:Cembung, nyeri tekan (-), teraba massa tumor setinggi umbilikus, peristaltik (+) kesan normal
Urogenital
:Urine spontan
Ekstremitas
:Edema(-), sianosis(-), fraktur(-), tremor pada kedua tangan terutama tangan kiri, gaya berjalan lambat dengan langkah kecil, kepala dan badan condong kedepan
Pemeriksaan Penunjang
5
Laboratorium darah (28 Mei 2013) : Hb
: 14,4 g/dL
Hct
: 44,0% : 11.500/mm3
Lekosit Platelet
: 181.000/mm3
GDS
: 134 mg/dL
Ureum
: 23 mg/dL
Kreatinin
: 0,9 mg/dL
SGOT
: 34 U/L
SGPT
: 39 U/L
HbSAg
: Negatif
PT
: 13,0 detik
aPTT
: 30 detik
INR
: 1,08
Radiologi Foto thoraks PA ( 5 juni 2013)
6
Cor,pulmo, diafragma, sinus dalam batas normal
Elektrokardiogram: Sinus ritme, HR 64x/menit normo axis USG Abdomen : Neoplasma kistik susp.ganas, kista ovarium bersepta. Diagnosis pra bedah : Neoplasma ovarium kistik suspek ganas dengan penyakit parkinson Rencana tindakan : Histerektomi total dan salpingo ovarektomi bilateral Kesimpulan Pasien termasuk kategori ASA PS II
Rencana Anestesi Combined Spinal Epidural Anesthesia (CSEA) Anjuran 1. Puasa 8 jam pre operasi (mulai pukul 02.30 WITA) 2. Pasang IV-Line dengan IV-catheter 18 G di tangan kanan, IVFD RL 20 tetes/menit 3. Antibiotik profilaksis cefotaxime 1 gr/IV/ 1 jam sebelum operasi 4. Siap darah PRC 500 cc di Bank Darah
7
5. Obat trihexyphenidil 2mg tetap diminum besok pagi (1 jam sebelum operasi dengan sedikit air) Identifikasi Masalah
Masalah medis
Sistem susunan saraf pusat : tremor, rigiditas, bradikinesia, instabilitas postural
Laboratorium : Lekositosis
Masalah pembedahan : perkiraan waktu operasi, perdarahan intraoperatif
Masalah anestesi : -
Hipotensi yang dapat terjadi akibat obat-obat anestesi atau perdarahan
-
Nyeri postoperatif
-
Sebaiknya menghindari obat-obatan anestesi yang dapat mencetuskan terjadinya parkinson atau yang memperberat gejala parkinson selama preoperatif, intraoperatif maupun postoperatif
Persiapan Preoperatif
Berikan Informasi ke pasien dan keluarga pasien tentang prosedur anestesi yang akan dilakukan dan persetujuan tindakan, termasuk risiko, penyulit dan komplikasi yang dapat terjadi. Membawa obat antiparkinson ke kamar operasi.
Persiapan alat dan obat anestesi umum (intubasi) 8
Persiapan alat dan obat anestesi regional (spinal dan epidural)
Intraoperatif Prosedur Anestesi: 1. Pasien diposisikan terlentang, terpasang i.v. kateter no. 18 G di tangan kanan, cairan RL maintanence 20 tts/mnt = 90cc/jam. 2. Pasang alat monitor untuk pemantauan EKG, tekanan darah, frekuensi nadi, pernapasan, dan saturasi oksigen. Parameter tanda vital yang terukur sebelum operasi : TD
: 126/72 mmHg
Nadi
: 62 x/mnt, regular
Pernapasan
: 18 x/mnt
Suhu
: 36,80C
Saturasi O2
: 100%
3. Premedikasi
: difenhidramin 20 mg/IV
4. Loading cairan koloid 5. Pasien diposisikan Left Lateral Dekubitus (LLD): Prosedur CSEA: Identifikasi interspace L1-2
dan L3-4, desinfeksi dengan
alkohol 70% dan Betadine, skin wheal dengan lidokain 2% 40 mg. Insersi jarum Epidural Touhy di interspace L1-2 pendekatan paramedian, teknik Loss 9
of Resistence, LOR (+). Insersi kateter epidural, 3,5 cm di kulit, 5 cm di ruang epidural. Test dose: Lidokain 45 mg + epinefrin 1:200.000, nadi dan tekanan darah stabil. Fiksasi kateter epidural. Insersi Spinocan no.25G di interspace L3-4 pendekatan paramedian, LCS (+) mengalir jernih, darah (-), barbotage (+), injeksi Bupivacain 0,5% 15mg sebanyak 3cc + Fentanyl 25µg. Pasien diposisikan terlentang, cek ketinggian blok dengan pin prick test, didapatkan blok sensoris setinggi dermatom Th6. 6. Pasang oksigen 2 liter/menit via nasal kanul 7. Pasang kateter urine, urine inisial ± 50 cc. Kosongkan kantong urin. 8. Operasi dimulai
Status Anestesi Intraoperasi
10
Jalannya operasi : Operasi berlangsung selama ± 1 jam 35 menit (mulai pukul 11.00 sampai dengan 12.35 WITA) 11
Perdarahan sekitar ±150 cc Cairan koloid 250cc, RL ± 750 cc Produksi urine ± 80 cc
Post operatif Pemantauan post operatif di ICU RS.Labuang Baji dengan pain control epidural; Bupivacain 0,125% +fentanyl 2mcg/cc 4 cc/jam/SP dengan metamizole 1 gr/IV/8 jam
PEMBAHASAN Pasien ini berumur 52 tahun, seorang perempuan dengan riwayat penyakit parkinson yang diketahui sejak 2 tahun yang lalu. Pada pasien ini ditemukan gejala 12
tremor pada kedua tangan dan lebih jelas terlihat tremor pada tangan kiri, rigiditas, dengan bradikinesia/ gerak tubuh melambat, wajah dengan efek datar seperti topeng, termasuk ketidakstabilan reflex postural dengan langkah dan gaya berjalan dengan langkah kecil, dengan kepala dan badan condong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri, terdapat kekakuan pada leher
yang termasuk dalam kriteria
diagnosis probable menurut Hughes dan perjalanan penyakitnya masuk dalam stadium III menurut Hoehn dan Yahr. Penyakit parkinson mempengaruhi gerakan (gejala motorik) dan gejala lainnya termasuk gangguan suasana hati, gangguan tidur, dan sensasi (gejala non-motorik) . Penyakit parkinson terdiri dari tiga gejala yang disebut trias klasik yaitu tremor, kekakuan otot (rigiditas), bradikinesia/akinesia1,7,8 . Kriteria diagnosis penyakit Parkinson menurut Hughes: 1. Possible Terdapat salah satu gejala utama: 1. Tremor (gemetar) istirahat 2. Rigiditas (kekakuan) 3. Bradikinesia (berkurangnya kecepatan gerakan) 4. Kegagalan reflex postural 2. Probable
13
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan reflex postural) dan alternatif lain: tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris, atau bradikinesia asimetris. 3. Definite Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda cardinal), atau dua dari tiga tanda tersebut, dengan satu dari ketiga tanda pertama, asimetris. Bila semua tandatanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan beberapa bulan kemudian. Perkembangan penyakit parkinson dapat dievaluasi dengan skala menurut Hoehn dan Yahr yaitu :
Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak (unilateral), gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat.
Stadium II : Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/ cara
jalan terganggu
Stadium III: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalan/ berdiri, disfungsi umum sedang
14
Stadium IV: Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang dibanding sebelumnya.
Stadium V: Stadium kakhetik (cachetic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan, memerlukan perawatan tetap
Pada pasien ini telah mendapat pengobatan trihexyphenidil 2 mg/12 jam/PO selama masa rawat jalan, dan selama rawat inap di rumah sakit. Begitu pula saat 1 jam sebelum operasi pasien dianjurkan untuk minum obat antiparkinson trihexyphenidil (dengan sedikit air putih) untuk mencegah gejala eksaserbasi intraoperasi. Penatalaksanaan penyakit parkinson terbagi atas 2 bagian yaitu secara medikal dan tindakan operasi. Pengobatan parkinson secara medikal terbagi atas 2 yaitu secara farmakologi dan non farmakologi. Secara farmakologi dengan obat golongan dopaminergik yaitu Levodopa/ benserazide, DA agonis(bromocryptine, pramipexole, ropinirole),MAO-B inhibitor (selegilline), COMT inhibitor (entacapone, tolcapone), NMDA receptor antagonis (amantadine), dan obat golongan antikolinergik ; trihexyphenidil.
Tindakan
operasi
yaitu
Ablative/lesioning
(thalamotomy,
pallidectomy) dan Deep brain stimulation. Penyakit parkinson dikarakterisir oleh berkurangnya neuron dopaminergik pada substansia nigra pada ganglia basalis. Substantia nigra berfungsi
untuk
mengontrol gerakan sadar dan pengaturan suasana hati. Pada penyakit parkinson, asetilkolin terdapat dalam jumlah normal pada striatum. Akan tetapi, defisiensi dopamin menyebabkan ketidakseimbangan rasio dopamin:asetilkolin, dengan
15
demikian semakin memperburuk gejala penyakit parkinson. Defisiensi dopamin dihubungkan dengan peningkatan aktivitas inhibitory nuclei pada ganglia basalis, yang pada akhirnya menyebabkan inhibisi berlebihan bahkan penghentian nukleus talamus dan batang otak yang menerima aliran dari ganglia basalis. Inhibisi berlebihan pada talamus menyebabkan penekanan pada sistem motor kortikal sehingga terjadi akinesia, rigiditas, dan tremor. Degenerasi saraf menyebabkan penurunan produksi dopamin pada nigrostriatal juga menyebabkan peningkatan aktivitas kolinergik striatal yang mengakibatkan efek tremor. Sedangkan inhibisi pada batang otak berkontribusi pada abnormalitas postural dan abnormalitas gerakan melangkah. Abnormalitas patologis yang utama adalah degenerasi sel dengan hilangnya neuron dopaminergik yang terpigmentasi di pars kompakta substansia nigra di otak dan ketidakseimbangan sirkuit motor ekstrapiramidal (pengatur gerakan di otak). Pada orang normal berkurangnya dopamin 5% perdekade, pada penderita parkinson menurun 45% selama dekade pertama setelah di diagnosis. Biasanya gejala baru muncul ketika dopamin di striatum sudah berkurang 60-80%3 . Pertimbangan perioperatif Manajemen perioperatif pasien parkinson merupakan tantangan bagi seorang ahli anestesi. Perhatian harus dipusatkan pada tiga hal, yaitu pemberian obat-obatan anti parkinson pada periode perioperatif, adanya kemungkinan interaksi merugikan dari obat-obatan anestesi dengan obat anti parkinson, serta gangguan fisiologis yang ditimbulkan oleh penyakit parkinson.9 Pada fase awal penyakit, fungsi intelektual pasien biasanya masih normal. Namun seiring waktu, fungsi intelektual semakin menurun. Terapi farmakologis yang 16
diberikan pada pasien parkinson ditujukan langsung untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul. Salah satu preparat yang digunakan pada pasien ini adalah golongan antikolinergik yaitu trihexyphenidil 2 mg/12 jam/PO.3 Pemeriksaan pre anestesi pasien dengan penyakit Parkinson mencakup hal-hal berikut ini:10 1. Diagnosis dan durasi penyakit 2. Penilaian terhadap perubahan-perubahan pada berbagai sistem 3. Prosedur pembedahan yang akan dilakukan (elektif atau darurat) 4. Obat-obatan anti parkinson yang dikonsumsi dan efek yang ditimbulkan serta potensi interaksi dengan agen anestesi yang akan digunakan 5. Pemberian levodopa atau antikolinergik preoperatif 6. Premedikasi dan profilaksis aspirasi asam lambung Tabel.1.Penilaian pasien dengan penyakit parkinson yang direkomendasikan6,11 Sistem
Penilaian
Tes
Kepala dan leher
Disfungsi otot faring Disfagia Sialorrhoea Blepharospasme
Pernapasan
Gangguan
pernapasan
dari Rontgen Thorax
kekakuan, bradikinesia atau gerakan involunter terkoordinasi dari otot17
otot pernapasan Tes
fungsi
paru
(spirometri) Analisa gas darah arteri Kardiovaskuler
Hipotensi ortostatik
EKG
Aritmia jantung Hipertensi Hipovolemia Disfungsi otonom Gastrointestinal
Berat badan
Serum albumin
Gizi buruk
Tes alergi kulit
Kerentanan terhadap refluks Urologi
Kesulitan dalam berkemih
Endokrin
Metabolisme
glukosa
(selegine) Musculoskeletal
Kekakuan otot
CNS
Kekakuan otot
abnormal Konsentrasi glukosa darah
Tremor Akinesia Kebingungan Depresi Halusinasi Gangguan berbicara Dikutip dari : Nicholson G, Pereira AC, Hall GM. Parkinson’s disease and anesthesia. British Journal of Anaesthesia. 2002;89(6):904-16
18
Pemilihan Tehnik dan Agen Anestesi Pada kasus ini menggunakan tehnik kombinasi anestesi spinal epidural, dengan bupivacaine 0,5% 15mg dengan penambahan fentanyl 25µg untuk spinal. Target blok setinggi dermatom thorakal 6. Dosis obat untuk anestesi spinal adalah bupivacaine 12,5-15 mg. Fentanyl 10-25 mcg dapat ditambahkan untuk kontrol nyeri pasca bedah. Teknik anestesi yang dipilih, apakah anestesi umum ataupun regional tergantung beberapa faktor seperti kebutuhan pembedahan/prosedur operasi, ahli anestesi, persetujuan pasien, kondisi pasien dan faktor risiko yang ada. Untuk pemilihan anestesi pada pasien ini berdasar pada kebutuhan pembedahan, ahli anestesi, kondisi pasien, dan tidak ada kontraindikasi anestesi regional. Kombinasi dengan tehnik epidural dipilih sebagai antisipasi kemungkinan operasi yang memanjang, sebagai analgetik pasca bedah dan beberapa keuntungan dari anestesi regional dibandingkan anestesi umum. Pada pasien ini dengan anestesi regional CSEA pasien tetap terjaga dengan tetap memperhatikan reflex faringeal dan laryngeal. Pada pasien ini diberikan premedikasi difenhidramin 20 mg/IV. Difenhidramin berguna sebagai anti emetik, anti vertigo, pengobatan reaksi alergi, pengobatan simptomatik dari reaksi ekstrapiramidal akibat obat. Dosis difenhidramin PO 25-50 mg (0,3-0,5 mg/kg) setiap 6-8 jam IV/I, 10-50 mg (0,2-0,5 mg/kg), dengan dosis maksimum harian 400mg. Jika diperlukan sedasi, dapat digunakan difenhidramin yang merupakan antagonis reseptor H1 histamin dengan efek antikolinergik sentral dan bersifat sedatif 12,13.
19
Pada pasien ini dilakukan anestesi regional dengan mempertimbangkan keuntungan anestesi regional dibandingkan anestesi umum yaitu 14,15,16,17: 1. Pasien dapat mengutarakan keluhan sehingga dapat dilakukan penanganan lebih cepat. 2. Efek pelumpuh otot pada anestesi umum dapat dihindari, dimana efek tersebut dapat menyamarkan myopotential yang merupakan tanda awal eksaserbasi intra operatif. 3. Pasien dapat tetap meneruskan terapi antikolinergik oral/ levodopa oral sebelum operasi, selama operasi jika dibutuhkan, dan segera setelah operasi. 4. Anestesi regional tidak menggunakan agen anestesi inhalasi, dimana penggunaan anestetik inhalasi yang dikombinasikan dengan opioid intravena dapat mencetuskan gejala penyakit Parkinson. 5. Anestesi regional memudahkan pengelolaan nyeri post operatif dan menekan respon stres akibat tindakan operasi. 6. Pasien dengan penyakit parkinson lebih rentan mengalami infeksi paru sebelum dan setelah prosedur operasi dengan anestesi umum, karena mereka mengalami kesulitan untuk membersihkan sekret akibat terganggunya reflex batuk dan menelan. 7. Insiden postoperative nausea and vomiting (PONV) lebih jarang ditemukan pada anestesi regional, dimana PONV dapat menghambat pemberian terapi parkinson post operatif.
20
Teknik anestesi regional juga memiliki kekurangan dibandingkan dengan teknik anestesi umum. Beberapa kekurangan dari teknik anestesi regional adalah 12,15. 1. Sulitnya memposisikan pasien dengan penyakit Parkinson. 2. Anestesi regional tidak dapat menghilangkan gejala penyakit parkinson seperti tremor dan rigiditas. Tremor dapat mengganggu peralatan monitor dan menyulitkan interpretasinya. 3. Beberapa prosedur operasi memerlukan keadaan di mana pasien tidak boleh bergerak sama sekali. Jika diputuskan untuk melakukan tindakan anestesi umum, perlu dilakukan antisipasi terhadap kemungkinan difficult airway, hipereaktif jalan napas serta aspirasi akibat sekret yang banyak. Perlu juga dipertimbangkan kemungkinan perlunya ventilasi mekanik post operasi.Pada pasien yang menjalani prosedur anestesi umum, rigiditas yang terjadi setelah pemberian fentanyl dosis tinggi maupun rendah dapat ditemukan pada pasien normal. Namun pada penderita parkinson lebih cenderung terjadi kebingungan dan halusinasi post operasi 17,18. Selanjutnya,
penting
untuk
memastikan
bahwa
pasien
mendapatkan
pengobatan pada periode post operatif. Dosis rutin dari obat anti parkinson harus segera dilanjutkan secepat mungkin setelah operasi dilakukan untuk mencegah gejala eksaserbasi. Penghentian levodopa secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala eksaserbasi, terutama disfagia dan rigiditas otot otot skelet dinding dada sehingga akan mempengaruhi kemampuan ventilasi dan akan memperburuk gangguan respirasi, atau dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome (NMS).3,9,14,19 21
Namun terdapat suatu laporan kasus dimana pemberian levodopa diberikan melalui nasogastric tube intra operatif pada pasien parkinson yang menjalani prosedur laparatomi darurat akibat perforasi ileum dengan teknik anestesi umum. Obat-obatan yang dapat menimbulkan gejala extrapiramidal, antagonis dopamin (seperti fenotiazin, butirofenon/ droperidol), serta metoklopramid tidak boleh diberikan. Aspirasi pulmoner merupakan penyebab kematian tersering pada pasien parkinson. Agen prokinetik seperti cisapride atau domperidon tidak memberikan efek pada keseimbangan dopamin sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk menggantikan metoklopramid.9,15,16,19 Jika diputuskan untuk tindakan anestesi umum beberapa agen yang perlu dipertimbangkan. Pada penggunaan agen anestesi inhalasi,salah satu hal yang harus dihindari adalah kemungkinan terjadinya takiaritmia akibat penggunaan halotan pada pasien
parkinson
yang
diterapi
dengan
levodopa,
karena
halothan
dapat
mengsensitisasi jantung terhadap katekolamin. Belum ada laporan mengenai efek buruk dengan penggunaan isofluran, sevofluran, maupun desfluran pada pasien Parkinson. Isofluran dan sevofluran merupakan agen inhalasi pilihan meskipun dapat menimbulkan hipotensi, terutama pada pasien dengan neuropati otonom serta pada pasien yang mendapatkan terapi bromocriptin atau selegiline.
14,17,19,20
Ketamin harus digunakan dengan hati-hati karena dapat terjadi interaksi antara levodopa dengan sifat simpatomimetik dari ketamin. Namun demikian, belum ada laporan mengenai efek buruk yang terjadi pada penggunaan ketamin pada pasien parkinson. Adanya kemungkinan gangguan kardiovaskular pada pasien geriatri dengan penyakit parkinson menyebabkan ketamin jarang digunakan. Walaupun
22
demikian, terdapat laporan bahwa ketamin dapat menghentikan gejala motorik parkinson untuk sementara.19 Propofol dapat mencetuskan diskinesia. Namun propofol dapat juga menghentikan tremor. Hal ini menunjukkan bahwa propofol memiliki efek baik eksitasi
maupun
inhibisi
terhadap
pasien
parkinson.
Fentanyl
berpotensi
memperburuk rigiditas otot. Kekakuan otot yang di induksi opioid berespon terhadap pelumpuh otot dan diperkirakan akibat penghambatan presinaptik dari pelepasan dopamin. Alfentanil dihubungkan dengan reaksi distonik akut pada pasien parkinson. Morfin dosis kecil dilaporkan dapat menurunkan diskinesia, namun dalam dosis besar dapat memperberat diskinesia. Terdapat laporan terjadinya agitasi, rigiditas otot, serta hipertermi akibat pemberian meperidine pada pasien parkinson yang mendapatkan selegiline (suatu MAO Inhibitor). Namun pengalaman klinis menunjukkan bahwa tidak banyak pasien parkinson yang mendapatkan terapi selegiline. Pemberian opioid sistemik sebagai analgesia post operatif pada pasien parkinson yang sebelumnya telah mendapatkan agen sedasi akan menyebabkan kesulitan dalam penanganan pasien tersebut. Hal ini mungkin berhubungan dengan fakta bahwa pasien parkinson 8 kali lebih berisiko mengalami delirium post operatif dibandingkan dengan pasien tanpa Parkinson. Paracetamol dan obat-obatan NSAID dapat diberikan dengan aman.9,14,19,20 Tidak ada laporan mengenai penggunaan pelumpuh otot non depolarisasi dapat memperburuk gejala Parkinson. Bagaimanapun, perdebatan muncul mengenai penggunaan suxamethonium. Seorang peneliti melaporkan terjadinya hiperkalemia akibat penggunaan suxamethonium pada pasien parkinson. Namun peneliti lainnya menegaskan
bahwa
suxamethonium
tidak
menginduksi
hiperkalemia.
Jika
23
antikolinergik diperlukan, maka agen yang cocok adalah glycopyrrolate bromide karena obat ini tidak melewati sawar darah otak. Ventilasi dan reflex airway harus dinilai secara teliti sebelum memutuskan untuk melakukan ekstubasi pada pasien dengan parkinson sedang dan berat. Ondansetron merupakan agen alternatif yang aman untuk pencegahan maupun penanganan emesis pada pasien parkinson. Butyrophenone dan phenothiazine, yang bekerja dengan memblok reseptor dopamin, dapat memperparah penyakit parkinson.10,14,19 Tabel 2. Kemungkinan interaksi obat-obatan dengan penyakit Parkinson Obat-obatan
Keterangan
Agen Intravena Propofol
Hindari pada prosedur stereotactic
Thiopentone
Dapat digunakan dengan aman
Etomidate
Dapat digunakan dengan aman
Agen Volatil Halothan
Dapat mencetuskan aritmia
Isofluran
Dapat digunakan dengan aman
Sevofluran
Dapat digunakan dengan aman
Desfluran
Dapat digunakan dengan aman
Agen Pelumpuh Otot Suxamethonium
Dapat mencetuskan hiperkalemia
24
Agen non-depolarisasi
Dapat digunakan dengan aman
Analgetik Morfin
Dapat menimbulkan rigiditas otot
Petidin
Hindari pada pasien yang menggunakan selegiline
Fentanyl
Dapat menimbulkan rigiditas otot
Alfentanil
Dapat menimbulkan reaksi distonik
Dikutip dari: Rudra A, Rudra P, Chatterjee S, Das T, Ray M, Kumar P. Parkinson’s disease and anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2007;51(5):382-388
25
KESIMPULAN Telah dilaporkan kasus anestesi pada pasien perempuan 52 tahun dengan diagnosa neoplasma ovarium kistik suspek ganas dengan penyakit parkinson yang menjalani operasi histerektomi total dan salpingo ovarektomi bilateral. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Jika diputuskan teknik anestesi yang dipilih, apakah anestesi umum ataupun regional tergantung beberapa faktor seperti kebutuhan pembedahan/prosedur operasi, ahli anestesi, persetujuan pasien, kondisi pasien dan faktor risiko yang ada. Pada kasus ini pemilihan anestesi regional dengan kombinasi anestesi spinal dan epidural lebih dipertimbangkan oleh karena keuntungan anestesi regional dibandingkan anestesi umum. Pasien ini mendapatkan analgetik post operasi melalui epidural. Tidak ditemukan komplikasi baik intraoperatif maupun pasca operasi pada kasus ini. Beberapa laporan kasus merekomendasikan pemilihan anestesi regional dibandingkan anestesi umum pada pasien yang akan menjalani operasi dengan penyakit parkinson. Untuk pemilihan anestesi tidak ada teknik anestesi yang sederhana untuk pasien parkinson. Oleh karena itu, penilaian pre operatif yang teliti, pemberian terapi saat tindakan anestesi dan setelah anestesi, serta menghindari agen-agen yang diketahui dapat mencetuskan gejala parkinson merupakan faktor utama dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas post operatif . 26
DAFTAR PUSTAKA 1. Doyle SR, Kremer MJ. Parkinson disease. AANA Journal. 2003;71(3):229-34 2. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia & C0-Existing Disease 5th ed. New York:Churcill-Livingstone; 2008 : 227-28 3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Anesthesia for patients with neurologic & psychiatric disease in Clinical anesthesiology, 4th ed. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2006; p.64761 4. Syamsudin T. Penyakit parkinson. In: Syamsudin T,et al. Buku panduan tatalaksana penyakit parkinson dan gangguan gerak lainnya. Kelompok Studi Gangguan Gerak Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2013: p.7-24 5. Lumbantoding SM. Gangguan gerak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005;p.67-115 6. Nicholson G, Pereira AC, Hall GM. Parkinson’s disease and anesthesia. British Journal of Anaesthesia. 2002;89(6):904-16 7. Naesh O. Jensen S. Parkinson’s Disease: a Challenge to the anesthesiologist. Lakartidingen. 2010; 107 (23):1552-5
27
8. Sunaryati T. Penyakit Parkinson. Surabaya. 2014. Tersedia dari : www.scrib.com 9. Culley DJ, Crosby G. Neurologic disease and anesthesia. In: Cottrell JE, Smith DS, editors. Anesthesia and neurosurgery, fourth ed. Missouri: Mosby Inc,2001;p.611-22 10. Shaikh SI, Verma H. Parkinson’s disease and anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2011;55(3):228-34 11. Patel S. Stickrath C. Anderson M. Klepitskaya. How should Parkinson’s disease be managed perioperatively. The Hospitalists. 2010; 1-8 12. Sladen RN. Parkinson’s disease. In: Sladen RN, Coursin DB, Ketzler JT, Playford H, editors. Anesthesia and co-existing disease. Cambridge: Cambridge University Press, 2007;p.338-41 13. Omoigui S. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. EGC. Jakarta.2012;88-89 14. Bailey PD, Tobin JR. Evaluation of the patient with neuropsychiatric disease. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. New York: McGraw-Hill Companies,2008;p.145-55 15. Goyal N, Wajifdar H, Jain A. Anaesthetic management of a case of parkinson’s disease for emergency laparotomy using enteral levo-dopa intraoperatively. Indian Journal of Anaesthesia. 2007;51(5):427-28
28
16. Fischer SP, Bader AM, Sweitzer BJ. Preoperative evaluation. In: Miller RD, editor. Miller’s anesthesia, seventh ed. Volume 1. Philadelphia: Churcill Livingstone Elsevier,2010;p.1001-66 17. Oguz E, Ozturk I, Ozkan D, Ergil J, Aydin GB. Parkinson’s disease and spinal anesthesia. Turk J Anaesth Reanim. 2014;42(5):280-2 18. Holyachi R. Karajagi S. Biradar S. Anaesthesia Management of a geriatric Patient with Parkinson’s Disease, who was Posted for Emergency Laparatomy- A Case Report. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013 19. Rudra A, Rudra P, Chatterjee S, Das T, Ray M, Kumar P. Parkinson’s disease and anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2007;51(5):382-8 20. Grant IS, Nimno GR, Nimno S. Intercurrent disease and anaesthesia. In: Aitkenhead AR, Smith G, Rowbotham DJ, editors. Textbook of anaesthesia, fifth ed. Philadelphia: Churcill Livingstone Elsevier,2007;p.444-83
29