/pagghun/ /cTכєk/ /qbrכhan/
/sakє?/
xvii
DAFTAR TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA Huruf Arab
Nama
Transliterasi
Contoh
- akbar ; Syakura
ا
alif
a
ب
ba
B
ت
ta
T
ث
tsa
Ts
ج
jim
J
Jam‟iyah
ح
cha
Ch
- Achmad
خ
kha
Kh
- khairun
د
dal
D
tauhid
ذ
dzal
Dz
ر
ra
R
– rabbi
ز
za
Z
- zaitun
س
sin
S
ش
syin
Sy
ص
shad
Sh
- shadaqah
ض
dlad
Dl
- wudlu‟
ط
tha
Th
- thaharah
ظ
dza
Dz
- dzalim
ع
„ain
„
غ
ghin
Gh
ف
fa
F
Keterangan
-
ba'dah Tabi‟iin - Tsanawiyah
- dzikrullah
- samii‟un - syifa‟
- ba‟da - Ghazwul fikri - Faqir
xviii
Huruf alif hidup dan mati biasa dilambangkan dengan a
ق
qaf
Q
ك
kaf
K
ل
lam
L
م
mim
M
- mabrur
ن
nun
N
- nahdlatun
و
wau
W
ه
ha
H
ء ي
hamzah dilambangkan ' ya
vokal aa ii uu panjang
- Qalbun Kafir - Lazim
- waladun - „alaihim - qori‟
Y
yaumun
aa ii uu
assalaamu‟alaikum
ﻱ
ai
ai
- Maisarah
ﻭ
au
au
- Taufiq
xix
DAFTAR LAMBANG, SINGKATAN, DAN GLOSARIUM (A) Daftar Lambang []
: lambang atau transkripsi fonetis
//
: lambang fonem
{}
: lambang morfem
„…‟ : mengapit makna/arti “…” : mengapit kutipan langsung (
) : mengapit terjemahan harfiah/padanan kata ↑
: tekanan nada suara tinggi
→
: tekanan nada suara datar
↓
: tekanan nada suara rendah
(B) Daftar Singkatan Akml : Akmal Almdn : Alimuddin Amnh : Aminah Ansr : Ansori Arf : Abd. Rauf BAl : Bhâsa alos BI : Bahasa Indonesia BLmdn : Bindhârâ Lamudin BM : Bahasa Madura BMlj : Bhâsa Melajhu bpk : bapak Br : Bari BSbn : Bindhârâh Sarbini BSd : Bindhârâh Sidi BSgn : Bu Sugina BSlm : Bindhârâh Salim BSrn : Bu Sarni dsb. : dan sebagainya FORSA : Forum Santri An-Nuqoyyah HAzis : H. Abd. Azis HBdw : H. Baidawi HJfr : Haji Ja‟far Hfdz : Hafidz HHrs : H. Herus HMhfd : H. Mahfud Hrsn : Harsono Hrs : Hairus xx
Hry Hrtd Hsn HSts Hsym HTbrn HZn HZnl Idrs IG Iryn IS Istfdh Jml Jr KAA KAmn KAShj KAN KAd KAhmdn KAkml KAWf KAmr KBIH KHd Khlik KHlm KHmd KHsn KHsym Khtb Khtmh KIsml KIsmn Kkh KKhlk KL KLM KLS KMdrs KMhfd KMhd KMnr KP KSbr
: Haryo : Hartadi : Husnan : H. Santuso : Hasyim : H. Thabrani : Hazin : H. Zainal : Idrus : istri berlatar belakang guru : Iriyani : istri berlatar belakang santri : Istifadah : Jamal : Juri : Kiai Abd. Azis : Kiai Amin : Kiai Achmad Shonhaji : Kiai A. Nasihun : Kiai Ashadi : Kiai Ahmadun : Kiai Akmal : Kiai Ali Wafa : Kiai Amir : Kelompok Bimbingan Ibadah Haji : Kiai Hadi : Khalik : Kiai Hilmi : Kiai Hamid : Kiai Hasan : Kiai Hsyim : Khatib : Khatimah : Kiai Ismail : Kiai Ismun : Kiai Khatib : Kiai Kholik : Kiai Langghârân : Kiai lebih muda : Kiai lebih sepuh : Kiai Mudarris : K. Mahfudz : Kiai Muhid : Kiai Munir : Kiai Pesantren : Kiai Subairi xxi
KSd KSdr KSyd LAdh Ltf Mdrrs MHsn Mkrs Mksm Mmnh Mntpr Mnwr MrSd Mrtpr Mryd MSd MSrt MSyhr NFkh NHsnh NUEM NyMrht PHzh PKtn PSgn PSjs Pnd Pnlt PNwt PUnsyh RAbd RBkhr Rdwn RLtf saw. sdr. SG Sgt SHjh Sndn swt. Syt HSlh SS Sul THd
: Kiai Said : Kiai Sudarwan : Ki Sya‟di : lè Abduhi : Latif : Mudarris : M. Hasan : Makhrus : Maksum : Muthmainnah : menantu perempuan : Munawar : Mursid : mertua perempuan : Maryadi : Masud : Moh. Sirat : Moh. Syahri : Ning Faikoh : Ning Hasanah : NU etnik Madura : Nyai Marhati : Pak Hamzah : Pak Kustini : Pak Sugina : Pak Sujais : Pandi : Peneliti : Pak Nawati : Pak Unsiyah : Ra Abduh : Ra Bukhari : Ridwan : Ra Latif : sallaahu alihi wasallam : saudara : suami berlatar belakang guru : Sugito : shohibul hajah : Senadin : subhaanahu wata’aalaa : Suyitno :Hajah Sholeha : suami berlatar belakang santri : Sulaiman : Tohed xxii
Umt WNUEM YTtk Znl PQtr
: ummat : Warga NU Etnik Madura : Yu Tutik : Zainal : Pak Qotir
(C) Glosarium abhâsa berbasa menggunakan bahasa dengan tingkat tutur di atas E-I (ngoko), yaitu E-E (krama), È-B (krama inggil), dan atau bhâsa alos (bahasa kraton). afdal, afdol lebih baik, yg terbaik, lebih utama, yang paling utama, biasanya untuk menyatakan tentang peran sesorang atau situasi dan kondisi sesuatu. ahlususunnah wal jamaah suatu aliran kepercayaan dalam agama Islam yang mengikuti tuntunan, jejak Rasul Muhammad dan ijma/kesepakatan para sahabat. ajunan sebutan untuk orang kedua tunggal pada tingkat tutur È-B dan BAl akhlaqul karimah budi pekerti yang mulia/baik alim orang yang sangat pandai dalam bidang agama Islam Allahummmaghfirlahu, almaghfirah lafadz do‟a/sebutan yang digunakan oleh WNUEM untuk menyebut seorang tokoh (kiai, ulama) yang sudah meninggal . almarhum sebutan yang digunakan oleh WNUEM untuk menyebut seorang tokoh (kiai, ulama), maupun kaum muslimin dan muslimat yang sudah meninggal. aqiqah, kekah, akikah Suatu acara dengan menyembelih kambing setelah lahirnya bayi, yang biasa dilakukan pada hari ketujuh, atau kelipantannya, tapi bagi yang tidak mampu bisa dilakukan setelah dewasa atau sebelum meninggal dunia. Pada momentum tersebut, dalam tradisi NU dibacakan sholawat Nabi dan si bayi digendong dibawa keliling untuk dipotong rambutnya oleh para kiai/tokoh dan jamaah yang hadir. Bid’ah, bidah pembaruan ajaran agama dengan tidak berpedoman kepada AlQuran dan Hadis bèsan hubungan dua keluarga (orang tua) karena adanya tali pertunangan atau perkawinan. bindhârâh sebutan kepada seorang santri laki-laki atau lulusan pesantren yang mengajarkan ilmu agama kepada santri colokan di masyarakat. bhâsah alos bahasa tinggi yang biasa digunakan di kalangan pesantren/keraton. bhâsa mlaju bahasa ragam kota, yang biasanya campuran antara BI dan BM yang digunakan dalam suasana keakraban antarteman. xxiii
cia” ‘hambar‟ dalam konteks BM diibaratkan pada makanan yang tidak ada garamnya/gulanya atau kurang bumbunya, sehingga tidak berasa apa-apa dan tidak enak jika dimakan dâbuna guru „perkataan guru‟ semua ucapan yang keluar dari kiai/ulama yang biasanya didasarkan kepada Al-Quran, Hdits Rasul, ijma‟, dan kias. Dhâlem rumah keluarga kiai atau untuk menyatakan kediaman orang yang sangat dihormati. diba’an, sholawatan, puji-pujian yang essensinya untuk mengungkapkan rasa cinta ummat kepada Nabi Muhammad Saw. diniyah ilmu yang berkaitan dengan agama Islam dhika panggilan orang kedua pada tingkat tutur Eg-E, biasanya digunakan mertua kepada menantu, guru kepada santrinya. Forsa akronim dari Forum Santri An-Nuqayyah guru alif guru yang pertama kali mengajarkan Al-Quran, mulai dari huruf hijaiyah hablum minannas (hubungan dengan manusia), hubungan antarmanusia sesama makhluk ciptaan Allah haul (hari ulang tahun) yang biasanya oleh masyarakat NU digunakan untuk memperigati para leluhur dengan kegiatan membaca tawashul fatihah, yasin, tahlil, dan do‟a. imam arba’ imam yang membawa haluan atau ajaran mengenai hukum Islam yang menjadi ikutan umat Islam (ada empat jumlahnya, yaitu: Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafi‟i): umat NU di Indonesia penganut imam Syafii imtihan, haflatul imtihan ujian lisan bagi para santri yang dilakukan secara terbuka di pesantren, yang biasanya dihadiri wali santri. insyaAllah „jika Allah menghendaki‟ bisanya diuacapkan, ketika seseorang berjanji. istiqoma, ajek suatu amalan yang dilakukan secara terus-menerus dengan memperhatikan waktu dan bilangannya. izzul islam wal muslimin kemuliaan Islam dan ummat Islam. jama’ah, jamaah suatu perkumpulan (dalam NU) yang tidak resmi layaknya organisasi yang pengrusnya di-SK-an, pengurusnya biasanya sangat sederhana (ketua, sekretaris, dan bendahara) seperti jamaah yasinan, dibaan, manakiban dsb. jam’iyah suatu perkumpulan (dalam NU) yang resmi, pengrusnya di-SK-an, biasanya pengurusnya selain pengurus inti (ketua, sekretaris, dan bendahara), juga dilengkapi dengan seksi-seksi/bidang-bidang. kabulâ seseorang yang dipercaya sebagai pesuruh keluarga kiai, biasanya santri. xxiv
kalimat tauhid (Laaailaaha illAllaah) kalimat untuk mengesakan Allah. khilafah, khalifah, kepemimpinan Islam periode setelah wafatnya Rasulullah. Kiai langghârân kiai yang bukan keturunan kiai, tapi karena memiliki ilmu agama yang memadai sebagai tempat bertanya di masyarakat setempat, biasanya memiliki langgar (mushalla) untuk tempat mengaji santri colokan (santri yang datang untuk mengaji, tapi tidak menginap). Kiai Pesantren kiai pengasuh pesantren, atau keturunan kiai pengasuh pesantren. kultur paternalistik adalah kepatuhan santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus menerus baik selama di pesantren, maupun setelah kembali ke masyarakat. lampa kebiasaan hidup seseorang yang patut diteladani oleh para pengikutnya, termasuk keturunan dan para santri/muridnya. lora, gus anak laki-laki yang dilahirkan dari keluarga kiai. madzhab, mazhab haluan atau ajaran mengenai hukum Islam yang menjadi ikutan umat Islam (ada mpat jumlahnya, yaitu: mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii): umat Islam di Indonesia khususnya warga NU penganut madzhab Syafii. makhrujul huruf keluarnya suara huruf hijaiyah dari alat ucap manusia yang ukuran dan kebenarannya didasarkan pada ilmu tajwid. ma’shiyat, maksiat perbuatan yg melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb.) makom kedudukan seseorang yang didasarkan pada status sosial, peran, jabatan dan, nasabnya. mauludan acara memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. pada momentum tersebut biasanya dibacakan sholawat nabi secara bersama-sama. morok mengajari santri membaca Al-Quran atau kitab kuning. muhrim orang yang haram dinikahi. muhrim bitta’bit orang yang haram dinikahi untuk selama-lamanya, seperti orang tua dan mertua. muthola’ah membuka kitab dengan tujuan untuk mengulangi, belajar sendiri atau secara bersama-sama dengan sesama santri. muzakki orang yang mengeluarkan zakat Nahdlatul Ulama organisasi sosial keagamaan berhaluan ahlussunnah waljamaah, yang tetap mengakomodasi tradisi masyarakat setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. nahdiyyin warga NU nasabiyah, nasab keturanan, silsilah keturunan xxv
ngabdi mengabdi, belajar ilmu agama meupun ilmu tèngka (akhlak) di pesantren. nyabis bersalaman dengan mencium tangan kiai/nyai, kadang kala disertai uang. nyorok belajar kitab kuning kepada seseorang (kiai, ustadz, bindhârâ) di pesantren atau langgar NU padhâna, paduka panggilan orang kedua dalam ragam BM keraton (BAl) panjenengan panggilan orang kedua dalam tingkat tutur BM È-B parjâji golongan ningrat, termasuk pejabat pesantren salaf pesantren yang memfokuskan pengkajiannya hanya pada ilmu– ilmu keagamaan Islam (diniyah) yang dikelola secara tradisional maupun modern. ru’yah, rukyat penglihatan (rukyatulhilal), melihat bulan tanggal satu untuk menentukan hari permulaan dan penghabisan puasa Ramadhan. santri colokan santri yang datang ke langgar untuk mengaji dan tidak menginap. selera sebutan muka untuk orang yang dihormati seperti kiai. shohibul bait tuan rumah, orang yang ketempatan/mengadakan acara shohibul hajah orang yang mempunyai hajat sidang isbath sidang untuk menentukan 1 Ramadlan, 1 Syawal, dan hari raya idul adlha yang dipimpin langsung oleh menteri agama. sorokan pengkajian kitab kuning, pada umumnya santri kepada kiai/ustadz. sungkan malu, pearasaan segan kepada orang yang dihormati. syar’iyah hal-hal yang berkaitan dengan hukum agama Islam. ta’abhâsah, tidak berbhasa menggunakan tingkat tutur E-I (ngoko). ta’dzim memuliakan, digunakan kepada orang yang sangat dihormati di kalangan NU, seperti kiai/ulama. tahlilan pengucapan kalimat tauhid la ila ha illAllah „tidak ada Tuhan selain Allah‟ secara berulang-ulang yang dipadukan dengan kalimat toyyibah lainnya, yang disusun sedemikian rupa oleh para ulama NU―dibaca pada suatu acara pengajian, atau kematian warga NU. tawadlu’ tawaduk rendah hati, patuh, taat kepada guru. tingkepan acara selamatan kehamilan tujuh bulan, biasanya para undangan diminta untuk mengaji surat-surat tertentu dengan maksud tertentu pula. ilmu tèngka, Akhlak, budi pekerti ilmu yang berkaitan dengan tatanan hidup di masyarakat, segala tindakan dan perilaku yang dapat diadobsi dari kiai dan diterapkan kelak, kalau santri sudah hidup di tengah-tengah masyarakat. ondâghân bhâsa, unda usuk tingkat tutur (speech level).
xxvi
wali, waliyullah kekasih Allah, seperti wali sanga, kiai, yang karomah yang memiliki keistimewaan di mata santri/ummat NU walimah, pesta pernikahan, acara yang dilaksanakan setelah acara akad nikah, ada kalanya bersamaan, dengan mengundang tetangga dan handai taulan. washilah perantara, penghubung, biasanya dalam berdo‟a warga NU berwashilah/bertawashul kepada Rasulullah, para wali, dan ulama sebagai kekasih Allah.
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar Pertanyaaan untuk menggali data berupa Informasi Lampiran 2: Peta Kabupaten Jember Lampiran 3: Riwayat Hidup Penulis Lampiran 4: Surat Ijin Penelitian
xxviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Hampir semua manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orangorang di sekitarnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia, agar mereka tidak terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Pesan-pesan itu tercermin dalam perilaku manusia. Ketika seseorang sedang berbicara, maka dia sebenarnya sedang berperilaku. Begitu juga ketika seseorang melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, manganggukkan kepala, atau memberikan suatu isyarat, maka dia juga sedang berperilaku. Perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, dan perilaku-perilaku tersebut dapat didefinisikan sebagai bentuk komunikasi apabila bermakna. Bahasa merupakan suatu produk sosial dan budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial dan budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sudah barang tentu, bahasa sebagai hasil budaya megandung nilai-nilai masyarakat penuturnya (Sumarsono & Partana, 2002: 2021). Oleh karena itu, bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik, bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik―bahasa daerah sebagai alat identitas suku. Ada pula 1
pandangan akan adanya hubungan yang tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik dengan suatu bahasa atau variasi bahasa tertentu. Bahasa sering dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, namun fungsi bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Lyons (1972) Brown dan Yule (1996) mengemukakan bahwa pengertian komunikasi dengan mudah dipakai untuk menunjukkan perasaan, suasana hati, dan sikap. Karena itu, ia terutama akan tertarik pada penyampaian informasi faktual atau proporsional
yang
disengaja.
Jadi
komunikasi
merupakan
usaha
pembicara/penulis untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar/pembaca atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Peran bahasa tidak sama dalam lingkungan masyarakat tertentu. Bahasa bisa berperan sebagai identifikasi kategori sosial, pemeliharaan dan pengaturan hubungan, dan jaringan sosial individu serta bisa digunakan untuk melakukan kontrol sosial. Kategori sosial merupakan bagian dari sistem sosial yang juga menjadi tambahan dalam sisitem bahasa sebagaimana digunakan untuk menandai kategori-kategori itu. Dalam
melaksanakan
pembangunan
bangsa,
kita
tidak
dapat
mengabaikan keberadaan bahasa dan budaya sekelompok masyarakat tertentu sebagai alat komunikasi. Sebab, keduanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukung bahasa dan kebudayaan tersebut. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa bahasa dan budaya tidak selalu berdampak positif terhadap keberlangsungan pembangunan bangsa. Bahasa dan budaya dapat berdampak positif, jika masyarakat yang terlibat dalam 2
pemakaian bahasa tersebut tidak salah dalam memahami dan menggunakan bahasa dan
budaya suatu masyarakat dan kelompok tertentu. Akan tetapi
sebaliknya, jika pemakai bahasa dan pelaku budaya salah dalam memahami makna dan simbol bahasa dan budaya yang dipakai sebagai alat komunikasi, maka bahasa dan budaya dapat menjadi sumber persoalan dan konflik di masyarakat. Bahasa dan budaya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena melalui pemahaman terhadap budaya masyarakat tertentu dapat tercermin unsur-unsur komunikasi dalam pemakaian bahasa yaitu, siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, apa makna yang terkandung dalam pesan, dalam konteks apa seseorang berpesan, dan bagaimana menafsirkan pesan. Kesalahan dalam menempatkan unsur-unsur komunikasi dalam
budaya
masyarakat,
dapat
komunikasi―bahkan akan menyulut
mengakibatkan
hambatan/kegagalan
timbulnya konflik dan kekerasan
antarkelompok penganut budaya tersebut. Tidak jarang masalah-masalah kecil (spele) telah menjadi masalah besar seperti pembunuhan, karena disebabkan kegagalan komunikasi. Bahasa
merupakan alat
utama
yang
digunakan
budaya
untuk
menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan membentuk pikiran. 3
Masalah utama yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa suatu etnik adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaanperbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman terhadap bentukbentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain. Pemberian makna terhadap suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim maupun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan tujuan pemakaian bahasa. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-orang yang berlatar belakang berbeda budaya, sehingga tidak dapat memahami bentuk-bentuk komunikasi satu dengan lainnya dengan akurat.
Pemahaman atas perbedaan-perbedaan budaya ini akan
membantu mengetahui sumber-sember masalah yang potensial dalam pemakaian bahasa, sedangkan pemahaman seseorang atas persamaan-persamaannya akan membantunya lebih mendekatkan kepada pihak lain yang berbeda budaya dan pihak lainpun akan merasa lebih dekat kepadanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya mempengaruhi pola komunikasi. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa tutur antarperson, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang penutur dengan petutur (partisipan tutur), nada suara yang sesuai untuk pembicaraan topik dan partisipan tertentu. Budaya juga melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh tradisi masyarakat tertentu, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antar apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan sesuai konteksnya, seperti kata “silahkan” yang maksudnya bisa ‛perintah‟ atau ‛larangan‟. 4
Perbedaan status dan kelas sosial menyebabkan orang-orang yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam even diskusi dan perdebatan. Seseorang yang berstatus lebih rendah (bawahan) harus menyatakan rasa hormat kepada orang yang berstatus lebih tinggi (atasannya). Status dan kelas sosial juga menentukan apakah suatu bisnis akan terjadi antarindividu dan antarkelompok (Whyte & Hall, Schrope,1974; Mulyana & Rakhmat 2003). Karena itu pola komunikasi masyarakat tertentu cenderung dipengaruhi keseluruhan pola budaya termasuk pemberlakuan status dan kelas sosial sebagai unsur yang mempengaruhi pola komunikasi. Perubahan utama dalam kategori-kategori struktur sosial biasanya juga membawa perubahan pola komunikasi. Kaitannya dengan pembangunan bangsa, terutama yang berhubungan dengan pembangunan sumber daya manusia, organisasi sosial kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang amat penting. NU telah menjadi pemerakarsa berdirinya pesantren di Indonesia sebagai lembaga pendidikan alternatif yang hidup di tengah masyarakat pedesaan, walaupun kini pesantren juga tumbuh secara pesat di daerah perkotaan―bahkan oraganisasiorganisasi lain di luar NU juga telah berinisiatif mendirikan pesantren. Warga NU yang jumlahnya cukup besar memilki tradisi dan budaya yang sangat unik, khususnya yang berada di Jember yang sebagian besar berlatar belakang EM. Menurut pendapat Sutarto (2005) NU dikenal sebagai kekuatan Islam yang sangat menghormati tradisi dan budaya lokal, bahkan ada yang menyebut NU sebagai kelompok Islam tradisional, Islam kultural, kelompok 5
sarungan, kolot, dan entah apa lagi. Mereka (warga NU) hidup di tengah perpaduan antara tradisi dan syari‟at Islam. Warga NU sebagian besar dilahirkan dari embrio kehidupan pesantren salaf dengan kultur paternalistik yang sudah mengakar. Yang dimaksud pesantren salaf disini adalah pesantren yang memfokuskan pengkajiannya hanya pada ilmu–ilmu keagamaan (diniyah) baik yang dikelola secara tradisional. Sedangkan kultur paternalistik adalah kepatuhan santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus menerus baik selama ia berada di pesantren, maupun setelah kembali ke masyarakat. Karena itu, kehidupan taradisi dan budaya masyarakat NU cenderung mengikuti pola tradisi dan budaya pesantren. Fenomena-fenomena di atas, jika dikaitkan dengan studi pendahuluan di lapangan menghasilkan asumsi-asumsi yang membuat penulis merasa perlu, penting, dan tertarik untuk meneliti “Pola komunikasi warga NU di Jember” yang mayoritas pendukungnya etnik Madura. Asumsi-asumsi ini, merupakan dampak kultur paternalistik yang sudah mengakar di kalangan NU dapat dijabarkan sebagai berikut; Pertama, stratifikasi sosial kiai di kalangan warga nahdiyyin ditempatkan pada posisi yang paling terhormat sehingga tercermin dalam pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan ummat NU, kiai diposisikan sebagai kelompok yang sangat dita’dzimkan (amat dihormati). Dalam struktur sosial maupun politik kiai juga menempati posisi yang amat penting dan paling terhormat, karena 6
peran kiai di masyarakat berbasis NU sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat. Karena itu, ketaatan ummat kepada kiai yang sekaligus dianggap guru dan pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur NU. Kedua,
rendahnya
tingkat
pendidikan sebagian
WNUEM
telah
menyebabkan rendahnya kompentensi komunikatif yang dimiliki. Fenomena ini telah berakibat kurangnya pemahaman terhadap tiga aspek kempetensi komunikatif (Linguistic knowledge, interaction skill, dan cultural knowledge), sehingga sering menimbulkan kegagalan komunikasi bahkan memicu terjadinya konflik. Ketiga, dalam sistuasi dan kondisi tertentu komunikasi antarWNUEM menggunakan referensi para ulama/kiai yang dikagumi sebagai bagian strategi komunikasi. Partisipan tutur akan lebih antusias mendengarkan apa yang disampaikan penutur, jika di sela-sela percakapannya menceritakan ulama yang dikagumi sebagai strategi untuk mencapai tujuan tutur. Alasan-alasan tersebut menggambarkan adanya keunikan dan kekhasan kultur dalam kelompok warga NU di Jember yang dapat dilihat melalui faktafakta kebahasaannya. Pola komunikasi yang digunakan warga NU di Jember tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), pilihan bahasa yang digunakan, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur, serta alih giliran tutur. 7
Pola komunikasi tersebut tercermin dalam percakapan yang melibatkan orang-orang yang status sosialnya berbeda, memiliki peran dan jabatan yang berbeda, umur yang berbeda, dan kelompok sosial yang berbeda, seperti pertuturan antara kiai-ummat, antara guru-santri atau orang tua-anak Kesalahan dalam penggunaan pola komunikasi tersebut, dalam perspektif warga NU merupakan masalah yang dapat menyebabkan interpretasi yang negatif
terhadap
pemakainya. Mereka telah dianggap melanggar konvensi
dalam pemakaian bahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat tersebut, sehingga dapat menyebabkan seseorang terisolasi dari pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di masyarakat. Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini menarik dan amat penting untuk dilakukan sebagai upaya menggali lebih mendalam fenomenafenomena kebahasaan yang terjadi dalam kelompok warga NU di Jember yang tercermin dalam pola pemakaian bahasanya. Melalui
penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan tambahan khasanah baru bagi kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya komunitas tertentu (sosiolinguistik dan etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga NU. Rekomendasi penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi warga NU dan kelompok lainnya dalam berkomunikasi, sehingga dapat mencegah terjadinya kegagalan komunikasi yang dapat mengakibatkan kesenjangan hubungan dan konflik.
8
1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian 1.2.1 Rumusan Masalah Berdasarkan
pada
latar
belakang
tersebut,
dapat
dirumuskan
permasalahan penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana pola komunikasi WNUEM di Jember?” Rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi kiai? 2. Bagaimana pola komunikasi kiai-UNUEM? 3. Bagaimana pola komunikasi UNUEM? 4. Mengapa terjadi pola komunikasi WNUEM di Jember?
1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang pola komunikasi dengan objek penelitian bahasa warga NU memiliki cakupan yang sangat luas. Karena itu, agar penelitian ini lebih spesifik sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka peneliti perlu
melakukan pembatasan-pembatasan berkaitan dengan subaktivitas
penelitian, objek penelitian, dan peristiwa tutur, sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan pola komunikasi, penelitian ini berkonsentrasi pada subaktivitas penggunaan kode tutur yang meliputi: penggunaan tingkat tutur (speech level), pilihan bahasa sebagai bentuk alih kode dan campur kode, nada suara (tone), bahasa tubuh (body language), dan alih giliran tutur. 2. Berkaitan dengan objek penelitan yakni bahasa warga NU yang terdiri dari barbagai etnik di Jember. Penelitian ini hanya berfokus pada bahasa warga NU etnik Madura (WNUEM), karena WNUEM merupakan etnik terbesar di 9
Jember yang memiliki kekhasan dan keunikan kultur yang tecermin dalam pola komunikasinya. 3. Berkaitan dengan peristiwa tutur, penelitian ini mencakup situasi formal dan informal. Dalam Situasi formal, hanya berfokus pada setting pertemuanpertemuan yang bersifat rutin, pengajian, acara perkawinan, dan hari-hari besar Islam. Sedangkan situasi informal hanya berfokus pada obrolan seharihari dan pertemuan yang sifatnya santai seperti di masjid, Moshalla/langgar NU, rumah WNUEM, dan termasuk dalam ranah keluarga. Peristiwa tutur dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal yang bekaitan dengan politik, jual beli seperti di toko dan di pasar, tidak tercakup dalam penelitian ini―karena merupakan permasalahan yang pembahasannya sangat luas dan juga membutuhkan energi yang besar, sehingga perlu diteliti secara khusus pada even-even penelitian yang lain.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali dan mendeskripsikan pola komunikasi WNUEM di Jember.
b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menggali dan mendeskripsikan pola komunikasi kiai. 2. Menggali dan mendeskripsikan pola komunikasi kiai-UNUEM. 10
3. Menggali dan mendeskripsikan pola komunikasi UNUEM. 4. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola komunikasi WNUEM di Jember .
1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan dua kontribusi positif, yakni kontribusi teoritis dan kontribusi praktis. Dari segi teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang digunakan oleh komunitas tertentu. Karena keunikan dan kekhasan penggunaan kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada kelompok masyarakat NU telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang digunakan. Sehingga deskripsi ini diharapkan dapat memperkaya teori-teori dalam kajian etnografi komunikasi. Dari segi praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam penyusunan bahan ajar etnografi komunikasi yang kini masih langka dan inspirasi bagi penelitian selanjutnya yang sejenis. Selain itu, rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak terkait dan organisasi Nahdlatul Ulama untuk mengidentifikasi akar masalah yang berkaitan dengan kegagalan komunikasi yang sering terjadi baik antarwarga NU sendiri, maupun antarwarga NU dengan mitra tutur yang lain (di luar warga NU) yang berbeda kultur.
11
1.4
Metode Penelitian Metode yang dimaksud dalam penelitian adalah cara atau prosedur dan
langkah-langkah serta tahapan-tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Cara, tahapan, dan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: (1) Pendekatan Penelitian; (2) Teknik Memasuki Lokasi Penelitian; (3) Peran peneliti; (4) Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Setting Penelitian; (5) Teknik Pengumpulan Data; (6) Transkripsi Data; (7) Teknik Analisis Data; (8) Penyajian Hasil Analisis Data; (9) Sistematika Penulisan.
1.4.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam peneletian ini adalah pendekatan kualitatif dengan fokus kajian etnografi komunikasi. Studi etnografi komunikasi menurut
Kuswarno (2008) suatu kajian yang dapat
menggambarkan,
menjelaskan, dan membangun hubungan dari kategori-kategori data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari etnografi komunikasi untuk menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan perilaku berbahasa dari suatu kelompok sosial. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penelitian pola komunikasi warga NU dalam perspektif etnografi komunikasi bertujuan untuk memberikan gambaran dan pemahaman secara global mengenahi perilaku berbahasa warga NU dalam konteks sosial dan budaya yang unik. Sekaligus memberikan gambaran bagaimana aspek sosiokultural tersebut berpengaruh terhadap perilaku berbahasa warga NU. 12
1.4.2 Teknik Memasuki Lokasi Penelitian Teknik yang dipakai untuk memasuki lokasi penelitian adalah formal dan informal. Teknik formal digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan konteks pemakaian bahasa pada situasi formal. Sedangkan teknik informal digunakan untuk menggali data pada konteks obrolan sehari-hari (situasi tidak formal). Digunakannya teknik informal untuk menjaga kekhawatirkan warga NU akan merubah pola komunikasi dari yang sebenarnya dan mereka akan berbahasa/memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kebiasaan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keaslian data yang didapat dari para informan maupun dari pengamatan secara langsung dalam observasi partisipasi dan nonpartisipasi di lapangan.
1.4.3 Peran peneliti Dalam penelitian ini, peran peneliti sebagian besar tertutup baik dalam situasi formal maupun informal. Dikatakan tertutup karena peneliti merahasiakan identitas sebagai peneliti―dalam hal ini peneliti berperan sebagai inteligent. Peran tertutp ini dilakukan untuk menjaga validitas keaslian data. Namun dalam waktu-waktu tertentu peran peneliti bisa terbuka misalnya, berkaitan dengan pengurusan ijin atau kebutuhan organisasi NU yang sedang diteliti.
1.4.4 Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Setting Penelitian Lokasi penelitian, sumber data, dan setting penelitian merupakan aspek yang amat penting dalam penelitian bahasa, kerena ketiganya berkaitan langsung 13
dengan konteks penelitian yang menentukan kapan dan bagaimana bahasa itu digunakan dalam masyarakat tutur. a. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh data dalam pelaksanaan penelitian ini berada dalam ruang lingkup Kabupaten Jember. Dipilihnya Kabupaten Jember
sebagai lokasi penelitian, karena di daerah
tersebut merupakan basis warga NU yang masih memiliki keunikan dan kekhasan kultural. Rekomendasi penelitian ini nanti akan menjadi cerminan pola komunikasi warga NU di daerah tapal kuda lainnya (Pasuruan, Lumajang, situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi) yang memiliki karakter kultur daerah yang hampir sama. a. Sumber Data Data akan diperoleh dari tiga sumber: sumber pertama akan digali dari pengamatan secara langsung proses komunikasi komunitas warga NU melalui observasi partisipasi; sumber kedua akan digali dari para informan dari kalangan warga NU dan sumber ketiga, akan digali dari para tokoh agama dan ilmuwan yang menekuni tentang kajian NU dan kajian Madura. c. Setting Penelitian Yang akan dijadikan setting untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah situsi formal dan informal, dimana proses komunikasi tersebut berlangsung. Situasi formal seperti dalam rapat-rapat, pengajian, rapat-rapat pengurus NU dan sebagainya. Adapun situasi informal, yaitu komunikasi yang terjadi dalam pembicaraan obrolan (santai) antarwarga NU di luar situasi formal. 14
1.4.5 Teknik Pengumpulan Data Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data atau informasi di lapangan untuk menjawab permasalahan penelitian. Untuk memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, akan digunakan metode dan teknik sebagai berikut: a. Observasi Partisipasi dan Nonpartisipasi Dalam penelitian etnografi komunikasi, metode pengumpulan data yang paling umum dan relevan di dalam domain kebudayaan adalah observasi partisipasi dan non partisipasi. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperoleh data peristiwa komunikasi dengan cara mengamati, mencatat, dan merekam secara langsung data penelitian. Dalam observasi partisipasi, peneliti bisa sambil berpartisipasi dengan mitra tutur berada di tengah-tengah komunitas warga NU dan sesekali juga terlibat langsung dalam proses komunikasi, sedangkan obessrvasi non partisipasi peneliti hanya menyimak langsung pemakaian bahasa dalam komunikasi tanpa terlibat dalam komunikasi. Kedua metode tersebut menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, rekam, dan catat. b. Wawancara Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang perilaku komunikasi/tindak tutur yang dipergunakan oleh komunitas warga NU dalam setting komunikasi yang sesungguhnya, sehingga diperoleh data untuk mengetahui sebab-sebab yang dapat mempengaruhi pola komunikasi. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) Wawancara terarah 15
(terstruktur), yakni wawancara yang dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan, sedangkan wawancara tidak terarah (tidak terstruktur) adalah wawancara yang bersifat bebas dan santai. Digunakannya wawancara tidak terarah bertujuan agar informan memberikan keterangan seluasluasnya, yang tidak dapat terungkap dengan metode wawancara terarah. b. Perekaman Kegiatan ini digunakan untuk merekam proses komunikasi dan wawancara baik dalam situasi formal maupun informal untuk mengatasi keterbatasan peneliti dalam mencatat secara langsung proses komunikasi dalam observasi partisipasi mapun wawancara. d. Pencatatan Kegiatan ini dilakukan untuk mencatat data-data yang diperoleh dari lapangan secara langsung, dalam artian semua data dan informasi yang didapat di lapangan dicatat secara cermat pada hari yang sama. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari kemungkinan terlupakan atau tumpang tindih data dan informasi yang diperoleh, baik melalui observasi partisipasi maupun dari informan penelitian.
1.4.6 Transkripsi Data Data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi partisipasi dengan alat rekam, ditarnsikripsikan ke dalam data tertulis secara fonologis. Secara fonologis artinya kata-kata dalam data tersebut ditranskripsi apa adanya sesuai ucapan yang dikemukakan oleh subjek penelitian dan aturan ejaan yang diberlakukan 16
dalam bahasa tersebut, agar ciri-ciri fonologis bahasa yang ada dalam data lisan dapat ditampakkan dalam data tulis yang telah tertranskripsi.
1.4.7 Metode Analisis Data Data yang diperoleh melalui observasi partisipasi dan non partisipasi dalam penelitian ini, akan dipilah-pilah dan diverifikasi sesuai dengan permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Selanjutnya, setelah data dikelompokkan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode etnografi komunikasi, analisis percakapan, dan konsep pragmatik. Metode etnografi komunikasi digunakan dengan cara mengadakan analisis secara mendalam komponen tutur yang digunakan warga NU dalam berkomunikasi dengan mitra tutur. Adapun komponen tutur tersebut dalam teori etnografi komunikasi yang dikemukakan Hymes dalam (Schiffrin, 1994) yang dikenal dengan „SPEAKING grid‟meliputi: (1) S: Situation/Setting (situasi) „tempat dan suasana‟; (2) P: Partisipan (peserta tutur) „pembicara, yang dituju, pendengar/penerima)‟; (3) E: Ends (akhir) „hasil, tujuan tutur‟; (4) A: act sequence (urutan bertindak) „termasuk alih giliran tutur‟; (5) K: key (kunci) „nada tutur‟; (6) I: instrumentalities „sarana tutur‟; (7) N: norms (norma-norma) „norma interaksi dan interpretasi‟; (8) G: genres 'jenis tuturan'. Dalam analisis komponen tutur tersebut juga digunakan metode analisis interaksi. Metode interaksi digunakan untuk menganalisis model-model interaksi yang digunakan warga NU di Jember dalam berkomunikasi.
17
Metode analisis conversation digunakan untuk menganalisis percakapan yang digunakan warga NU misalnya, ketika seseorang bertanya: “Mengapa anda tidak datang ke pengajian?” Kemudian dijawab, “Tetangga kedatangan besan”. Antara kalimat pertanyaan dan jawaban secara struktural tidak berhubungan. Tetapi kalimat jawaban “Tetangga kedatangan besan” dilihat dari konteks percakapan dapat saja diinferensi berbeda-beda oleh pertisipan tutur yang mengarah terhadap jawaban dari pertanyaan “Mengapa anda tidak datang ke pengajian?” Metode analisis wacana dengan bantuan konsep pragmatik (lihat Brown & Yule, 1996) dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hambatan atau kegagalan komunikasi, dengan cara menganalisis secara mendalam prinsip kerjasama (PK) dan prinsip sopan santun (PS) Grice (1975, dalam Yule 1996). Prisnsip PK meliputi empat maksim, yaitu: Kualitas (Quality): tingkat kualitas (kebenaran) percakapan yang sedang berlangsung, Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan itu. Jangan memberikan sumbangan
lebih
informatif
dari pada
yang
diperlukan.
Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda relevan dengan topik. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) hindari kekaburan; 2) hindari ketaksaan (makna ganda); 4) bicaralah singkat;
5)
bicaralah secara teratur. Data yang diperoleh melalui wawancara akan dianalisis secara diskriptif kualitatif untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola 18
komunikasi yang digunakan warga NU pada situasi formal dan informal, dengan cara menganalisis secara mendalam perilaku dalam berkomunikasi dan tradisitradisi serta budaya yang mempengaruhi pola komunikasi.
1.4.8 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini, yakni berupa deskripsi dan penjelasan tentang jawaban terhadap rumusan masalah yang diajukan. Sebagaimana telah disinggung pada penggunaan pendekatan dalam penelitian ini, bahwa pendekatan kualitatif selain memiliki karakter alamiah, juga menghasilkan data deskriptif. Deskripsi dan penjelasan tersebut didasarkan pada analisis komponen tutur dibantu dengan analisis percakapan dan analisis wacana dengan konsep pragmatik. Dalam penyajian data tersebut, juga digunakan simbol-simbol,
lambang-lambang
kebahasaan,
singkatan-singkatan,
dan
transliterasi Arab-Indonesia yang secara rinci cara penulisan dan pemaknaannya, dijelaskan pada daftar fonetis dan ortografis, daftar transliterasi Arab-Indonesia, daftar lambang dan singkatan, dan glosarium.
1.4.9 Sistematika Penulisan Adapaun sistematika punulisan disertasi disajikan sebagai berikut: HALAMAN JUDUL LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR INTISARI ABSTRACT DAFTAR ISI 19
DAFTAR TABEL DAFTAR LAMBANG FONETIS DAN ORTOGRAFIS DAFTAR TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA DARTAR LAMBANG DAN SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian 1.2.1 Rumusan Masalah 1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1.3.2 Manfaat Penelitian 1.4 Metode Penelitian 1.4.1 Pendekatan Penelitian 1.4.2 Teknik Memasuki Lokasi Penelitian 1.4.3 Peran Peneliti 1.4.4 Lokasi, Sumber Data, dan Setting Penelitian 1.4.5 Teknik Pengumpulan Data 1.4.6 Transkripsi Data 1.4.7 Metode Analisis Data 1.4.8 Penyajian Hasil Analisis Data 1.4.9 Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Konsep Etnografi Komunikasi 2.2.2 Pola Komunikasi 2.2.3 Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi 2.2.4 Fungsi-Fungsi Komunikatif Bahasa 2.2.5 Kompetensi Komunikatif 2.2.6 Bahasa dan Kebudayaan 2.2.7 Konteks 2.2.7.1 Masyarakat Tutur (Speech Community) 2.2.7.2 Peristiwa Tutur (Speech Event) 2.2.7.3 Tindak Tutur (Speech act) 2.2.8 Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam Berkomunikasi 2.2.9 Tingkat Tutur dan Pragmatik Lintas Budaya 2.2.9.1 Tingkat Tutur (Speech level) 2.2.9.2 Pragmatik Lintas Budaya 2.2.10 Kode, Alih Kode, dan Campur Kode 2.2.11 Stilistika: Sebagai Setrategi Komunikasi BAB III NU, PESANTREN, DAN KULTUR PATERNALISTIK 20
BAB IV: SITUASI KEPENDUDUKAN DAN KEBAHASAAN DI JEMBER BAB V: POLA KOMUNIKASI KIAI BAB VI: POLA KOMUNIKASI KIAI-UNUEM BAB VII: POLA KOMUNIKASI UNUEM BAB VIII: KISAH ULAMA KOMUNIKASI
SEBAGAI
POLA
DAN
STRATEGI
BAB IX : FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP POLA KOMUNIKASI WNUEM DAN IMPLIKASI TEMUAN TERHADAP PEMERTAHANAN BM BAB X :
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Keunikan kultur komunitas masyarakat di Jember menjadi salah satu alasan banyaknya para ahli tertarik untuk meneliti dan menulis tantang warga masyarakat tersebut dengan kajian masalah dan sudut pandang yang berbedabeda. Namun, penelitian yang objeknya melibatkan warga NU dan menekankan pada kajian etnografi komunikasi atau kajian yang menelaah penggunaan bahasa yang dihubungkan dengan konteks sosial dan budaya, sepengetahuan penulis belum banyak dilakukan. Adapun penelitian-penelitian
dengan topik yang
memiliki kemiripan dengan topik penelitian ini adalah sebagai berikut: Wahyuningsih dkk. (2004) meneliti dengan judul “Sistem Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo”. Penelitian ini menekankan pada sistem komunikasi yang digunakan di dalam pesantren, yang mana pesantren tersebut berlatar belakang etnik Madura (EM), berbasis warga NU, dan tata cara pengamalan keagamaannya menganut paradigma yang diberlakukan oleh organisasi NU. Komunitas pesantren tersebut berasal dari EM, sehingga bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi baik dalam situasi formal maupun informal adalah bahasa Madura (BM). Sistem komunikasi yang digunakan di lingkungan pesantren merupakan refleksi dari sistem komunikasi yang berlaku di kalangan NU. Wibisono (2005) penelitian desertasi berjudul “Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis Madura di Jember dalam Obrolan dengan Mitra Tutur Sesama 22
dan Lain Etnis”. Penelitian tersebut menghasilkan temuan penggunaan tingkat tutur (speech level), ketika EM berbahasa dengan sesama etnis, dan lain etnis. Penelitian tersebut juga mencari faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan kode dan ragam bahasanya, baik dalam berbahasa dengan sesama etnis maupun lain etnis. Namun, penelitian tersebut tidak dihubungkan dengan kultur dalam organisasi keagamaan khususnya NU, sehingga belum menyentuh karakteristik NU dan warga NU secara khusus. Haryono, 2006 penelitian tesisnya
berjudul “Pola
Komunikasi di
Pesantren Salaf „A‟ di Jember”. Penelitian ini menekankan pada model-model komunikasi yang diperagakan oleh komunitas salah satu pesantren salaf di Jember. Namun, model-model komunikasi di pesantren salaf tersebut hanya merupakan bagian kecil dari tradisi dan budaya NU yang ada di masyarakat. Wibisono dan Haryono, 2009 meneliti dengan judul “Pola-Pola Komunikasi
Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi
Komunikasi)”.
Penelitian
ilmiah/akademis
tentang
tersebut pola-pola
menghasilkan komunikasi,
temuan
Penjelasan
faktor-faktor
yang
menyebabkan kegagalan komunikasi, dan penggunaan tingkat tutur EM pelaku perkawinan usia dini. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lain sebelumnya ada tiga hal yakni: Pertama, penelitian tentang Sosiolinguistik (Etnografi Komunikasi) sebelumnya lebih menekankan pada aspek sistem komunikasi dan penggunaan tingkat tutur yang berlaku di suatu komunitas, namun belum menyentuh pola 23
komunikasi yang dipengarui oleh perilaku budaya yang sudah menjadi konvensi dalam masyarakat NU di Jember; Kedua, kajian-kajian sebelumnya hanya berobjek EM secara umum, artinya EM dari berbagai latar belakang, baik dari segi tingkatan strata sosial, umur, maupun pendidikan. Penelitian ini lebih menekankan pada kelompok WNUEM di Jember; Ketiga, Pola Komunikasi yang diteliti Haryono (2006) hanya menekankan pada komunitas pesantren, sedangkan pada penelitian ini lebih menekankan pada pola-pola komunikasi yang tercermin dalam bahasa dan budaya warga NU yang telah berakulturasi dengan kemajmukan budaya di masyarakat. Karena itu, orientasi penelitian ini semoga dapat menelorkan perspektif baru bagi kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga NU dan sekaligus sebagai upaya mengidentifikasi terjadinya masalah sebagai akibat kegagalan komunikasi antarkomunitas warga NU yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Konsep Etnografi Komunikasi Konsep dapat dijadikan sebagai dasar acuan awal dalam proses suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide, pengertian , dan gambaran awal dari objek yang diabstrakkan dari peristiwa konkret dan digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Hal yang sama 24
juga diungkapkan oleh Kridalaksana (2001: 117) mengatakan bahwa konsep adalah gambaran awal dari objek penelitian yang digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Paparan konsep-konsep bisa bersumber dari pendapat para ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Untuk memahami konsep etnografi komunikasi, baik sebagai dasar teori (ilmu) maupun sebagai studi riset, sebaiknya diawali dengan pemahaman tentang aspek-aspek dasar yang mempengaruhi lahirnya cabang ilmu linguistik tersebut. Aspek-aspek tersebut adalah bahasa, komunikasi, dan kebudayaan, karena ketiga aspek tersebut yang tergambar dalam kajaian etnografi komunikasi. Studi etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk penelitian
kualitatif
(paradigma
interpretatif
dan
alamiah),
yang
mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan manusia dalam suatu masyarakat tutur (Hymes dalam Saville-Troike, 2003). Tentu saja penemuan berbagai pola komunkasi tersebut didasarkan pada analisis komponen tutur yang dipengaruhi tiga aspek penting yang mendasari pemolaan komunikasi yaitu: linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan. Memahami pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat tutur, atau masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk berkomunikasi, akan memberikan gambaran umum regularitas dari perilaku komunikasi masyarakat tersebut. Dari pola tersebut juga dapat diketahui bagaimana unit-unit komunikatif dari suatu masyarakat tutur diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai „cara-
25
cara berbicara‟, dan bersama dengan makna, menurunkan makna dari aspekaspek kebudayaan yang lain. Ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan rekan kerjanya akan spontan
mengubah
gaya
komunikasinya
lantaran
seorang
atasannya
menghampirinya. Kita sering tidak menyadari, suara (tone), lafal maupun gerakgerik telah berubah-ubah, ketika menghadapi bayi, anak kecil, orang sebaya, orang tua, dan bahkan kekasih kita. Seseorang tentu tidak menggunakan kalimat perintah, ketika yang dihadapi orang lebih tua dan dihormati. Misalnya, Ibu sudah punya buku ini? Seraya menunjukkan buku yang diharapkan dibelinya. Kalimat tersebut bentuknya kalimat tanya, namun fungsinya kalimat perintah atau permintaan agar ibu tersebut membeli buku itu. Hubungan bentuk dan fungsi komunikasi inilah yang dalam kajian etnografi komunikasi disebut sebagai contoh pemolaan komunikasi (communication patterning). Studi etnografi komunikasi adalah pengembangan dari antropologi linguistik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini diperkenalkan pertama kali oleh Dell Hymes pada tahun 1964, sebagai kritik terhadap ilmu linguistik yang terlalu menfokuskan diri pada fisik bahasa saja. Etnografi komunikasi juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu antropologi, khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes (1964a) beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada komunikasi bukan pada bahasa.
26
Bahasa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan bermakna
jika tidak
digunakan dalam komunikasi. Hymes kemudian mendefinisikan ethnography of speaking sebagai gabungan dari etnologi dan linguistik, suatu kajian yang menyangkut situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri. Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah pendekatannya itu dari ethnography of speaking menjadi ethnography of communication. Semenjak itu pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas dan diakui sebagai suatu kajian yang penting dalam memandang perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan (Kuswarno, 2008). Secara singkat dapat dikatakan, etnografi komunikasi merupakan pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural. Dengan demikian,
tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan pemahaman
global mengenai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya. Dengan kata lain etnografi komunikasi menggabungkan sosiologi (analisis interaksional dan identitas peran) dengan
antropologi
(kebiasaan
pengguna
bahasa
dan
melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi, atau ketika
filosofi
yang
bahasa itu
dipertukarkan. Hymes (1964a) mengemukakan bahwa ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut: (1) Pola dan fungsi komunikasi (Patterns and function of communication); (2) Hakikat dan definisi masyarakat tutur 27
(nature and definition of speech community); (3) Cara-cara berkomunikasi (means of communication); (4) Komponen-komponen kompetensi komunikatif (components of communicative competence); (5) Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and social organization); dan (6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial (linguistic and social universals and inqualities).
2.2.2 Pola Komunikasi Telah diakui bahwa perilaku linguistik ditentukan oleh „kaidah‟ (rules) yaitu, mengikuti pola-pola dan kaidah-kaidah yang diformulasikan secara deskriptif sebagai aturan (Sapir, dalam Saviel-Troike, 2003). Dengan demikian, bunyi-bunyi (sounds) harus dihasilkan dalam bahasa yang spesifik (language specific), tetapi urutan kaidah jika diinterpretasikan sebagai kehendak penutur; pesan dan bentuk kata yang mungkin dalam suatu kalimat ditentukan oleh kaidah grammatika; dan bahkan definisi wacana yang tersusun dengan baik (wellconstructed discourse) ditentukan oleh kaidah retorika budaya yang spesifik (culture-sopesific rules of rhetoric) (Saville-Troike, 2003). Didasarkan pada pendapat di atas, konsep pola komunikasi dapat didefinisikan
sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang
didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural. Pola komunikasi tersebut dapat berupa
kategori dan fungsi bahasa yang
tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhâghân bhâsa / speech 28
level)pilihan bahasa yang digunakan sebagai bentuk alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur. Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh pemolaan komunikatif (communicative patterning) dalam dimensi yang berbeda-beda. Misalnya, bertanya kepada seseorang „apakah seseorang mempunyai rokok‟ segera disadari sebagai permintaan daripada sekedar pertanyaan yang memerlukan informasi. Begitu pula, ketika seseorang bertanya: ”Punya uang?” yang disampaikan dengan nada landai dan santun, maka segera direspon oleh partisipan tutur dengan jawaban ”butuh berapa?” atau untuk beli apa?” ini berarti bahwa seseorang akan pinjam atau meminta uang. Dalam kelompok masyarakat NU di Jember pemakaian dan fungsi bahasa, penggunaan tingkat tutur, alih giliran berbicara, intonasi (tone), bentuk-bentuk pilihan bahasa serta penggunaan gaya bahasa dalam konteks tuturan tertentu merupakan bentuk pola komunikasi. Pemolaan (Patterning)
terjadi pada
semua
tingkat
komunikasi:
masyarakat, kelompok, dan individu (periksa, Hymes, 1964a; Haryono, 2006). Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia, status sosial, dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara berbicara yang berbeda dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen asuransi. Cara berbicara juga berpola menurut 29
tingkat pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri kelompok, serta organisasi sosial yang lain. Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu, pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktor-faktor emosional seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada mekanisme vokal, faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai bagian dari komunikasi, tetapi banyak simbol konvensional yang merupakan bagian dari komunikasi terpola. Persepsi individu sebagai ‟lancar bicara atau grogi‟ (voluble or taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural (idem, 2003). Seperti, ketika seorang santri menghadap kiai yang terjadi adalah kegrogian yang disebabkan status sosial berbeda, rasa hormat, dan patuh yang amat mendalam kepada seorang guru, tetapi hubungan sesama santri menjadi lancar berbicara lantaran mereka memiliki status sosial yang sama dan penuh keakraban dalam hubungan personal. Kalau kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat, kelompok, dan individu memiliki pola sendiri-sendiri dalam berkomunikasi.
Namun
demikian, terdapat benang merah keterkaitan hubungan yang tidak dapat dipisah antara tingkat-tingkat itu, dan juga antarsemua pola kebudayaan. Sebaiknya ada topik umum yang menghubungkan pandangan dunia (world view) yang hadir dalam berbagai aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan dimanifestasikan pada cara berbicara
sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan sistem nilai. 30
Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan batasanbatasan dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan organisasi sosial (Thompson, 1978; Watkins 1979; Witherspoon 1977). Perhatian terhadap pola merupakan dasar antropologi dengan interpretasi makna dasar yang tergantung pada temuan dan diskripsi struktur serta desain normatif. Penekanan yang lebih pada proses interaksi dalam menghasilkan polapola perilaku memperluas perhatian kajian etnografi komunikasi sampai pada penjelasan dan diskripsi linguistik, aspek-aspek sosial, dan norma-norma kebudayaan.
2.2.3 Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi Para ahli tata bahasa formal, ahli sejarah linguistik, dan bahkan para ahli sosiolinguistik seringkali menginterpretasikan "penggunaan bahasa" dalam pemahaman yang sempit, seperti tindakan yang sebenarnya merupakan refleksi dari pengujaran-pengujaran tertentu―kata-kata ataupun suara yang dilakukan oleh penutur tertentu pada waktu dan tempat tertentu (Lyons, 1972). Oleh karena itu, tujuan para ahli sosiolinguistik untuk barasumsi bahwa pola-pola variasi berdasarkan contoh yang sistematis dari "penggunaan" yang lebih atau kurang terkontrol (atau actes de parole), merupakan pengaruh dari pemahaman yang sempit. Maksud penggunaan bahasa ini secara tegas dikaitkan dengan sudut pandang sosiolinguistik yang
hanya sebagai suatu metodologi yang 31
berbeda―suatu cara yang berbeda dalam memperoleh data daripada yang biasa dilakukan oleh para ahli tata bahasa formal (Labov, 1972: 259). Dalam pandangan ini, ahli sosiolinguistik digambarkan sebagai seseorang yang menolak untuk menerima atau menguji intuisi-intuisi linguistik dan mereka lebih menyukai tape-recorder
sebagai alat untuk mengumpulkan data daripada
tuturan yang sebenarnya. Walaupun para ahli tata bahasa formal telah menerima signifikansi sosial dari penelitian sosiolinguistik, namun banyak di antara mereka yang belum mampu melihat signifikansinya dari sudut pandang teori gramatikal (Chomsky, 1977: 55) 3. Apa yang tidak tampak di sini adalah realisasi oleh para ahli tata bahasa, dan kemampuan para ahli tata-sosiolinguistik untuk meyakinkan bahwa deskripsi struktural dari bentuk-bentuk linguistik hanya berguna dan menarik tetapi secara konsisten kurang ada beberapa segi yang sangat penting, yaitu tentang apa yang membuat bahasa itu begitu berharga bagi manusia, yaitu kemampuan bahasa untuk memfungsikan "dalam konteks" sebagai alat refleksi dan aksi atas dunia. Apa yang disebut "model-model kognitif" terletak pada asumsi bahwa mungkin—dan kenyataannya dianjurkan agar memiliki sebuah teori untuk menjelaskan tingkah laku manusia melalui aturan-aturan konteksindependen. Akan tetapi, sekarang kita akan tahu bahwa segi-segi yang dikontekstualisasikan menemukan objek-objek dan memberikan analisis-analisis yang secara kualitatif berbeda dengan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial (Bourdieu, 1977; Dreyfus, 1983; Dreyfus & Dreyfus, 1986). Penggunaan intuisiintuisi dalam linguistik serta dalam tingkah laku metalinguistik dapat dipandang sebagai kemampuan individu untuk merekonstruksi informasi kontekstual. 32
Jadi, bagi para ahli Ethnografi Komunikasi (EK), serta para peneliti lain dalam bidang ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, penggunaan bahasa harus diinterpretasikan sebagai penggunaan kode-kode (symbol) linguistik dalam tingkah laku kehidupan sosial. Menurut Wittgenstein EK adalah penyatuan "(suatu) bahasa",
yang merupakan sebuah ilusi―dan seseorang harus lebih
melihat pada konteks khusus dari penggunaan bahasa, agar dapat menerangkan bagaimana simbol-simbol linguistik dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Melihat begitu pentingnya interaksi antara kemampuan bertutur dan tindakan sosial, sehingga metodologi dan cara menulis yang dikembangkan untuk mempelajari penggunaan referensial (atau denotasi) dari kemampuan berbicara belum mencakup aspek fungsi sosialnya (Silverstein, 1977). Istilah pertuturan diperkenalkan oleh Hymes untuk menekankan aspek yang berorientasi pada praktis (kebiasaan yang dapat diterima) dari kode linguistik. Oleh karena itu, pertuturan harus dianggap sebagai suatu bentuk tugas manusia
yang secara
filogenitis dan ontogenitis merupakan bentuk yang paling kuat dari tingkah laku kooperatif (Vygotsky, 1978). Oleh karena itu, kepedulian terhadap penggunaan bahasa tidak hanya berupa komitmen metodologi dalam mendapatkan apa yang
sebenarnya
dikatakan oleh penutur dalam berbagai macam konteks, akan tetapi juga konsekuensi ketertarikan terhadap sesuatu yang dilakukan oleh penutur dengan bahasa tersebut, baik dengan suka maupun tidak suka, sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung. Pada khususnya, para ahli EK peduli dengan karya yang dilakukan oleh dan melalui bahasa dalam (1) membentuk, 33
menentang, dan menciptakan kembali identitas sosial dan hubungan sosial; (2) menjelaskan pada yang lainnya termasuk kita sendiri mengapa dunia seperti ini dan apa yang dapat dan seharusnya dilakukan untuk mengubahnya; (3) memberikan kerangka bagi peristiwa-peristiwa pada tingkat sosial maupun individual; dan (4) membuka penghalang-penghalang fisik, politik, dan budaya. Di antara beberapa bidang penelitian ini juga diteliti dalam pragmatik (Gadzar, 1979; Levinson, 1983). Yang biasanya membedakan pendekatan etnografi komunikasi dengan analisis pragmatik sebagai dua pendekatan yang berusaha menelaah bahasa yang digunakan dalam konteks tertentu adalah Etnografi komunikasi memiliki kepedulian yang lebih kuat terhadap konteks sosial-budaya penggunaan bahasa, dengan hubungan khusus
antara bahasa dan sistem-sistem lokal ilmu
pengetahuan dan tatanan sosial (antropologi), dan kurangnya komitmen terhadap relevansi cara penulisannya terhadap penggunaan kemampuan bertutur yang strategis dalam interaksi sosial dan digunakannya analisis komponen tutur yang diformulasikan
dalam
SPEAKING-gird.
Sedangkan
Pragmatik
lebih
menekankan pada studi tentang makna yang dikehendaki oleh penutur dan yang diterima (diinterpretasi) oleh petutur (partisipan tutur, lawan tutur, mitra tutur) dengan memperhatikan hubungan dengan situasi ujar (speech situations) dan menggunakan perangkat analisis PK ( Grice, 1975) yang dirinci ke dalam 4 maksim (Quality, Quantity, Relation / Relevance, Manner) dan PS (Prinsip kesantunan dalam berbahasa). Sehingga dalam kajian pragmatik fokus pengkajian sering mengaitkan implikatur, presupposisi, dan inferensi. 34
Namun demikian kita tidak perlu terlalu jauh mempersoalkan perbedaan kedua pendekatan tersebut, karena keduanya saling mendukung dan mimilki keterkaitan satu sama lain sebagai pendekatan yang mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya masyarakat tutur tertentu.
2.2.4 Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa Pada tingkat masyarakat, bahasa banyak memerankan banyak fungsi. Fungsi bahasa yang paling utama di antaranya adalah mencipatakan batasan, menyatukan para penuturnya sebagai anggota sebuah masyarakat tutur, dan mengesampingkan outsider dari komunikasi intrakelompok. Banyak bahasa juga berfungsi sebagai identifikasi sosial di dalam suatu masyarakat dengan memberikan
indikator-indikator
linguistik
yang
bisa
digunakan
untuk
mendorong adanya stratifikasi sosial (Ibrahim 1994). Pada tingkat individu dan kelompok yang berinteraksi dengan pihak lain, fungsi-fungsi komunikasi secara langsung berkaitan dengan tujuan dan kebutuhan partisipan (Hymes; 1972). Hal ini menyangkut kategori fungsi ekspresif (menyampaikan perasaan atau emosi), fungsi direktif (memohon atau memerintah), referensi (isi proposisi benar atau salah), poetik (estetika), fatik (empati dan solidaritas), dan metalinguistik (referensi pada bahasa itu sendiri). Kategori fungsi tersebut sama dengan kelas illocutionary act Searly (1977) (representatif, direktif, komisif, ekspresif, deklarasi), tetapi terdapat perbedaan dalam perspektif dan skop yang memisahkan bidang etnografi komunikasi (ethnography of communication) dengan teori tindak tutur (speech 35
act theory) dalam pragmatik―diantaranya adalah berfokus pada bentuk, dengan tindak tutur hampir selalu bersifat koterminus dengan kalimat-kalimat dalam analisis. Bagi etnografer, perspektif fungsional memiliki prioritas dalam deskripsi, sementara fungsi bisa bertepatan (coincide) dengan urutan gramatikal tunggal, atau sebuah kalimat dapat memerankan beberapa fungsi secara simultan. Lebih lanjut, kalau para teoris tindak tutur dan para pragmatisi secara umum menyisihkan penggunaan bahasa metaforis dan fatik sebagai pertimbangan dasar, hal
ini
menjadi
fokus
utama
deskripsi
etnografi.
Komunikasi
fatik
menyampaikan pesan, tetapi tidak menyampaikan makna (Saville-Troike, 1982 dan 1984) Perbedaan antara maksud fungsional penutur dan pengaruh aktual yang dimiliki para pendengar merupakan bagian konsep relativitas fungsional (fungtional relativity) (Hymes 1972b). Keduanya relevan untuk deskripsi dan analisis peristiwa komunikasi. Sementara banyak fungsi bahasa bersifat universal, cara dimana komunikasi beroperasi dalam satu masyarakat untuk memerankan fungsi-fungsi yang bersifat spesifik bahasa. Status relatif penutur bisa dipandang melalui pilihan bentuk pronominal dalam satu bahasa; dalam bahasa yang lain dengan jarak mereka berdiri atau posisi tubuh mereka pada saat berbicara; dan antara bilingual, bahkan dengan pilihan bahasa mana yang akan digunakan dalam menyapa satu sama lain (Ibrahim 1994). Fungsi-fungsi
bahasa
memberikan
dimensi
primer
untuk
mengkarakterisasi dan mengorganisasikan proses komunikatif dan produk dalam 36
masyarakat―tanpa
memahami
penggunaan
bahasa
dalam
masyarakat
sebagaimana mestinya, dan konsekuensi-konsekuensi dari penggunaan bahasa itu, sulit kiranya untuk dapat memahami maknanya dalam konteks interaksi sosial.
2.2.5 Kompetensi Komunikatif Kompetensi Komunikatif (KK) merupakan istilah Hymes (1972b) bahwa penutur yang bisa menghasilkan kalimat gramatikal suatu bahasa yang didasarkan pada definisi kompetensi linguistik Chomsky (1965) akan terinstitusionalisasi apabila mereka mencoba melakukannya (Hymes, 1982b). Kompetensi komunikatif melibatkan pengetahuan tidak saja mengenahi kode bahasa, tetapi juga apa yang akan dikatakan kepada siapa, dan bagaimana mengatakannya secara benar dalam situasi tertentu. Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan sosial dan kebudayaan yang dimiliki penutur untuk membantu mereka menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kenyataan bahwa seorang anak yang normal belajar tentang susunan kalimat, tidak hanya tata bahasanya, tetapi juga belajar tentang kesesuaian pemakaiannya dalam konteks tertentu. Dia belajar kompetensi tentang kapan dia berbicara dan kapan tidak berbicara, dan apa yang dibicarakan, dengan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana caranya. Pendek kata, seorang anak dengan kemampuan bertuturnya menjadi mampu mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, menirukan lagu-lagu, bermain peran (roleplay) dengan menirukan 37
seseorang yang berperan sebagai dokter dan pasien, pembeli dan penjual, dan sebagainya. Di samping itu, KK merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan sikap, nilai, dan motivasi yang berkenaan dengan bahasa, sisi-sisi, dan penggunaannya, serta tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi untuk menentukan sikap terhadap interrelasi bahasa dengan kode-kode dan simbolsimbol lain dari tindakan komunikatif (Hymes, 1972b: 277-278). Pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya berkisar di antara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi gramatikal dengan kondisi-kondisi yang sesuai, (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya (Hymes, 1982b). Kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku non verbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana
menawarkan
bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya (Ibrahim,1994) Ternyata, perbedaan utama antara pemikiran Chomsky dan Hymes tentang kompetensi adalah: Chomsky mengandalkan asumsi yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat dipelajari secara terpisah dengan tindakan, yang 38
diartikan sebagai implementasi dari ilmu pengetahuan tersebut dalam penggunaan bahasa, sedangkan bagi Hymes, partisipasi, penampilan, dan ilmu pengetahuan intersubjektif secara keseluruhan merupakan segi-segi yang sangat penting sebagai kemampuan untuk "mengetahui sebuah bahasa" (Saville-Troike, 1982 dan 1984). Kita semua tahu bahwa sebagian besar dari hasil karya yang dilakukan oleh Chomsky dan murid-muridnya didasarkan pada kemampuannya untuk menemukan (yaitu membayangkan) konteks yang sesuai dalam mengujarkan jenis-jenis ujaran tertentu. Walaupun ada asumsi teoritis tentang aspek-aspek tertentu dalam tata bahasa yang dianggap sebagai kognitif murni, akan tetapi definisi yang kemungkinan
sebenarnya dari aspek-aspek semacam itu terletak pada dalam
sebenarnya, yang
memadukan
kalimat-kalimat
dengan
dunia
yang
pada gilirannya disusun berdasarkan pengalaman yang
dimiliki oleh para ahli bahasa tentang dunia di mana mereka tinggal (Garfinkel, 1967; Bleicher, 1982). KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa
yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat.
Karena itu, KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok tertentu (seperti aspek-aspek lain dalam suatu kebudayaan), meskipun hal ini sangat bervariasi dalam anggota-anggota kelompok yang melibatkan individu-individu yang berbeda. Hakekat kompetensi individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. (Saville-Troike, 2003)
39
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-konflik atau menyebabkan kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan dan interpretasi. Oleh karena itu, KK seharusnya dimasukkan dalam konsep kompetensi kebudayaan (cultural
competence),
atau keseluruhan pengetahuan dan
keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer berhubungan dengan simbol (periksa Geertz, 1973;). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan pola simbol, dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini. Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna di mana perilaku linguistik itu ditempatkan. Outline berikut ini meringkas rentang pengetahuan yang harus dimiliki penutur untuk bisa berkomunikasi secara tepat. Dari perspektif etnografer, ini juga menunjukkan rentang fenomena linguistik, interaksional, dan kultural yang harus diberi perhatian dalam suatu deskripsi dan penjelasan komunikasi yang memadai. Berikut ini merupakan komponen-komponen kompetensi komunikasi:
1.Pengetahuan Linguistik (linguistik knowledge) a. Elemen-elemen verbal; b. Elemen-elemen nonverbal; c. Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu; d. Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan pengorganisasian elemen-elemen itu) 40
e. Makna varian-varian dalam situasi tertentu.
2.Keterampilan interaksi (interaction skills) a. Persepsi ciri-ciri penting dalam situasi komunikatif; b. Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi, peran dan hubungan tertentu (kaidah untuk penguna ujaran); c. Norma-norma interaksi dan interpretasi; d. Strategi untuk mencapai tujuan.
3.Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) a. Struktur sosial b. Nilai dan sikap; c. Peta/skema kognitif d. Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan) (Saville-Troike, 2003)
Dari Outline di atas, dapat disarikan bahwa kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, meskipun hal ini bervariasi dalam anggota-anggotanya secara individual.
41
2.2.6 Bahasa dan Kebudayaan Keunikan tradisi dan budaya
masyarakat
suatu etnik
terbentuknya keunikan bahasa yang dipakai dalam
berkibat
berkomunikasi. Ini
menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Menurut Kramsch (1998, 2009) ada tiga hal mengapa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain: pertama, language expreses cultural reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua, language embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas budaya); dan Ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai simbol realitas budaya). Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa seseorang diucapkan mengacu pada pengalaman yang pernah mereka lalui. Mereka menyatakan fakta, gagasan, atau peristiwa yang dapat disampaikan, sebab mereka mengacu pada pengetahuan tentang dunia (world view) yang orang lain juga memahami. Kata-kata juga mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka, sisi pandangan mereka. Pandangan ini dipertegas pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan bahwa setiap bahasa merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan khas. Sejumlah elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya masyarakat penuturnya. Berkaitan dengan budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para penuturnya menunjukkan bahwa jarang sekali anggota
masyarakat atau
kelompok sosial tidak menyatakan pengalamannya―mereka juga menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa. Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium itu, yang mereka pilih untuk 42
berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari sepanjang hidup mereka. Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain dengan menggunakan bahasa mereka―mereka memandang bahasa mereka sebagai sebuah simbol identitas sosial mereka. Hubungan intrinsik bahasa dan kebudayaan (language & culture) sudah diketahui secara mendalam, tetapi cara-cara dimana pemolaan perilaku komunikatif dan sistem kebudayaan merupakan hubungan yang amat penting baik dalam pengembangan teori umum komunikasi, dan deskripsi serta analisis komunikasi di dalam masyarakat tutur yang spesifik. Konsep evolusi kebudayaan tergantung pada kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa untuk tujuan pengorganisasian kerjasama sosial (Saville-Troike, 1982 dan 1984). Terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan kepercayaan, nilai, dan kebutuhan saat ini dalam kebudayaan para penuturnya. Kosa kata
bahasa
memberi kita suatu katalog mengenahi hal-hal yang penting bagi masyarakat, yang merupakan suatu indeks bagi para penutur untuk mengkategorikan pengalaman-pengalaman yang pernah mereka lalui―dan seringkali merupakan catatan yang berhubungan dengan masa lalu dan kebudayaan yang dimiliki. Gramatika
bisa
menunjukkan
bagaimana
waktu
disegmentasikan
dan
diorganisasikan menurut kepercayaan tentang kekuatan makhluk hidup dan 43
kategori-kategori sosial yang penting dalam kebudayaan (culture) (SavilleTroike, 2003) Hymes mengemukakan bahwa tipe kedua relativitas linguistik yang memandang bukti garammatika tidak saja merupakan kategori sosial yang statis, tetapi juga asumsi sosial para penutur mengenahi dinamika hubungan peran, dan mengenahi hak-hak dan tanggung jawab yang dipersepsi dalam masyarakat. Sementara tipe-tipe relativitas linguistik pertama mengklaim bahwa realitas kebudayaan sebagian merupakan hasil dari faktor-faktor linguistik. Lebih lanjut Hymes
mengemukakan
bahwa
seseorang
yang
memiliki
pengalaman
kebudayaan yang berbeda cenderung akan melakukakan sistem dan pola komunikasi yang berbeda, dimana nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan merupakan bagian dari relativitas linguistik (1966b). Keterkaitan pola dalam berbagai aspek kebudayaan terlalu luas untuk bisa disebut tema (themes), atau prinsip-prinsip organisasi sentral yang mengontrol perilaku. mencontohkan konsep ini dengan tema „Apache‟ mengenahi superioritas pria, yang juga direalisasikan dalam pola komunikasi maupun domain religius dan politik. Dalam pertemuan-pertemuan suku, misalnya hanya beberapa wanita tua saja yang diperkenankan berbicara sebelum kesemua pria terdengar suaranya, dan merupakan hal yang tidak biasa bagi wanita untuk berdo‟a keras di muka umum.( Hymes, 1966b) Jika directness dan indirectness (langsung atau tidak langsung) merupakan tema kebudayaan―tema-tema itu selalu berhubungan dengan bahasa. Sebagaimana didefiniskan dalam teori tindak tutur, tindak langsung merupakan 44
tindak dimana bentuk lahir cocok dengan fungsi interaksi, seperti „diam‟ yang digunakan sebagai perintah atau larangan, versus yang tidak langsung „kok makin gaduh ya disini‟ atau „sampai saya tidak bisa mendengarkan pikiran saya‟. Padahal dalam konteks tersebut seseorang meminta orang lain diam atau tidak ramai. Penggunaan metafor dan peribahasa merupakan strategi komunikatif yang umum untuk mendepersonalisasi apa yang dikatakan dan memberikan ketidaklangsungan. Meskipun bahasa tidak dipertanyakan lagi merupakan bagian integral dari kebudayaan, mengasumsikan pengalaman kebudayaan yang spesifik dan kaidahkaidah perilaku sebagai koordinat keterampilan linguistik spesifik merupakan penyederhanaan yang naif terhadap hubungan bahasa dan kebudayaan.
2.2.7 Konteks Dalam analisis linguistik formal, konteks biasanya terjadi ketika kesulitan atau keraguan muncul berkenaan dengan interpretasi atau akseptabilitas pengungkapan linguistik tertentu. Walaupun kenyataannya konteks merupakan hal yang sangat penting dalam membayangkan interpretasi alternatif yang mungkin terjadi dari kalimat yang bermakna ganda, akan tetapi penggunaan dan perannya secara resmi tidak dikenal dalam model-model kompetensi linguistik formal. Di sisi lain, pekerjaan ahli etnografi sangat bergantung pada kemampuan yang baik dan eksplisit untuk menghubungkan bentuk-bentuk tingkah laku, termasuk kemampuan berbicara, dengan konteks sosio-budaya mereka yang lebih luas. 45
Malinowski, bapak ernografi moderen, yang pertama kali menekankan perlunya menginterpretasikan kemampuan berbicara dalam konteks situasi (context of situation) suatu ungkapan, yang pada sisi lain mengindikasikan bahwa konsepsi konteks harus diperluas dan pada sisi yang lain, yakni situasi, di mana kata-kata diujarkan tidak pernah dapat melampaui sesuatu yang tidak relevan dengan ungkapan linguistik (Duranti, 1988). Walaupun sebenarnya Malinowski berasumsi bahwa perlunya terus menjaga kemampuan berbicara dan konteks untuk terus dikaitkan antara yang satu dengan yang lainnya dibatasi pada penelitian "masyarakat primitif", di mana bagi mereka bahasa merupakan cara bertindak dan bukannya alat refleksi, namun dia kemudian memformulasikan pandangannya untuk memasukkan perlunya konteks dalam interpretasi semua bahasa, semua jenis penggunaan, termasuk masalah keberaksaraan (Duranti, 1988). Definisi tentang makna, memaksa kita pada jenis observasi yang baru dan lebih luas. Agar dapat memahami makna kata-kata,
kita tidak hanya harus
memberikan suara ujaran dan persamaan signifikansi―yang terpenting, kita harus memberikan konteks pragmatik di mana kata-kata tersebut diucapkan, korelasi suara dengan konteks, dengan tindakan dan dengan peralatan; dan sambil lalu, dalam deskripsi linguistik yang lengkap akan menjadi penting juga untuk menunjukkan jenis-jenis latihan atau pengkondisian atau pembelajaran dimana kata-kata memerlukan interpretasi makna. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya konteks di mana suatu kata, ujaran, kalimat dan bahkan wacana itu berlangsung. Dengan 46
kata lain konteks dapat menentukan makna kata, makna ujaran, makna kalimat dilihat dari konteks pragmatiknya dan topik suatu wacana. Dalam dua puluh tahun terakhir atau lebih, istilah konteks didefinisikan kembali ke dalam bermacam-macam versi untuk memasukkan cakupan penggunaan bahasa yang potensial dan sebenarnya, yaitu dimensi ruang dan waktu dari interaksi tersebut serta tujuan partisipan. Tiga gagasan yang telah diadopsi dan dibahas dalam EK, yaitu: masyarakat tutur (speech community), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act).
2.2.7.1 Masyarakat tutur (Speech Community) Masyarakat tutur (Speech Community) didefinisikan sebagai sekelompok masyarakat yang menggunakan aturan yang sama dalam menginterpretasi dan menggunakan paling tidak satu bahasa (Gumperz, 1972: 16) atau variasi linguistik (Hymes 1972 a: 54). Salah satu alasan untuk menggunakan speech community sebagai titik awal dalam penelitian linguistik adalah untuk menghindari asumsi bahwa pemakaian secara bersama-sama terhadap "bahasa" yang sama menunjukkan adanya pemahaman yang sama atas penggunaan dan maknanya dalam konteks yang berbeda-beda (Hymes, 1972 a,b). Para linguis secara umum menyetujui bahwa masyarakat tutur tidak bisa disamakan secara persis dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang sama, karena para penutur bahasa Spanyol di Texas dan Argentina merupakan anggota masyarakat tutur yang berbeda meskipun mereka memiliki kode bahasa yang sama. Apakah fokus kita dalam mendefinisikan masyarakat sebagai kajian 47
harus berada dalam bentuk dan penggunaan bahasa yang sama, atau pada batasbatas geografis dan politis umum, ciri-ciri kebudayaan, dan bahkan mungkin karakteristik fisik. Oleh karena itu, penggunaan dan interpretasi bahasa, kaidah berbicara, dan sikap mengenahi bahasa merupakan bagian dari produk penelitian etnografi. Dengan demikian semakin jelaslah untuk mendefinisikan kelompok yang akan diteliti (speech community). Dalam mendifinisikan masyarakat tutur seharusnya diarahkan pada perbedaan ruang lingkup yang dimiliki „masyarakat‟ menurut kriteria yang berbeda: 1.Merupakan kelompok manapun dalam masyarakat yang memiliki sesuatu yang signifikan secara umum (termasuk agama, etnik, ras, usia, tuli tidaknya, orientasi jenis kelamin, atau jabatan, tetapi bukan warna mata atau tinggi badan). 2.Merupakan unit batasan fisik manusia yang memiliki kesempatan peran sepenuhnya (suku atau bangsa yang terorganisir secara politis, tetapi bukan satu jenis kelamin, satu usia, atau satu kelas saja seperti rumah jompo atau kelompok sejenisnya). 3.Merupakan kumpulan etnisitas yang berada pada tempat yang sama yang memiliki sesuatu yang bersifat umum (seperti dunia barat, negara-negara berkembang, pasar umum Eropa, atau PBB) (Saville-Troike, 2003) Telah dijelaskan bahwa gagasan speech community seharusnya tidak sekedar disamakan dengan homogenitas linguistik dari segi yang terdefinisi dengan baik (Hudson, 1980; Hymes, 1982 b). Dalam masyarakat Norwegia yang 48
diteliti oleh Bloom dan Gumperz (1972), misalnya, pemakai bahasa yang secara individu dilahirkan dan dibesarkan dalam masyarakat tersebut menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam bentuk penggunaan pengalihan kode, interpretasi, dan nilainya. Satu cara dalam menerangkan perbedaan semacam itu adalah dengan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan karakteristik penggunaan komunikasi linguistik dalam kehidupan sosial: “Ketika menyelidiki segala seluk-beluknya secara rinci, dengan metode lapangan yang dirancang untuk memperoleh kemampuan berbicara dalam konteks yang signifikan, maka semua masyarakat pengguna bahasa secara linguistik berbeda dan hal ini dapat ditunjukkan bahwa perbedaan ini memberikan fungsi komunikatif yang penting dalam menandai sikap-sikap antarpengguna bahasa dan dalam memberikan informasi tentang identitas sosial pengguna bahasa tersebut” (Gumperz 1972: 13). Cara lain dalam menghadapi jenis perbedaan yang kebenarannya dibuktikan oleh Gumperz dan para ahli lain adalah dengan cara mengajukan bahwa pada hakikatnya masyarakat pengguna bahasa tidak ada kecuali sebagai "prototipe" yang ada dalam pikiran manusia (Hudson, 1980: 30). Untuk menguji hipotesis seperti itu, adalah menjadi penting dalam menunjukkan bahwa ada realitas psikologis dari segi penggunaan bahasa yang "ídeal" atau prototipikal dalam kelompok masyarakat tertentu. Beberapa temuan Labov's (1972) terhadap keseragaman jenis tingkah laku evaluatif yang sangat jelas dapat digunakan dalam argumen seperti itu. Pada saat yang sama, hasil kerjanya yang rinci terhadap pola-pola variasi dalam ranah 49
fonologis dan leksikal menunjukkan adanya hipotesis yang berbeda, atau sebaliknya, yaitu gagasan bahwa "jenis" atau keteraturan yang ditemukan tidak ada dalam pikiran seseorang melainkan berada nun jauh di luar sana, yaitu di dalam dunia nyata. Oleh karena itu, segala gagasan tentang masyarakat bahasa (dan hal ini juga akan menjadi benar dalam mendefinisikan "dialek" atau "logat asli") akan bergantung pada dua fenomena: (1) pola-pola variasi dalam kelompok pengguna bahasa juga dapat ditetapkan di tempat tertentu, di luar homogenitas linguistik dan (2) aspek-aspek yang dicapai secara kooperatif dalam tingkah laku manusia sebagai strategi untuk membentuk keanggotaan dalam tingkah laku kehidupan sosial. Kemampuan menerangkan (1) pada akhirnya bergantung pada keberhasilan kita dalam memahami (2). Bahasa
sering
berfungsi
mempertahankan
pemisahan
identitas
masayarakat tutur di dalam masyarakat yang lebih besar, dimana anggota masyarakat tutur itu juga merupakan anggota masyarakat yang lebih besar tersebut. Dalam kasus-kasus di mana individu dan kelompok menjadi milik lebih dari satu masyarakat tutur, berguna sekali untuk membedakan keanggotaan primer dan sekunder. Dengan demikian, individu, khususnya dalam masyarakat
yang
kompleks, bisa berpartisipasi dalam sejumlah masyarakat tutur yang diskrit (terpisah) maupun yang overlap, seperti halnya mereka berpartisipasi dalam setting sosial yang bervariasi yang dipilih oleh seseorang sebagai orientasi
50
dirinya
sendiri
pada
saat
tertentu
dengan
mengatur
kaidah
yang
digunakan―merupakan bagian dari strategi komunikasi.
2.2.7.2 Peristiwa Tutur (Speech Event) Asumsi dasar tentang analisis speech event penggunaan bahasa adalah bahwa suatu pemahaman tentang bentuk dan isi percakapan sehari-hari dalam manifestasinya yang beraneka ragam menunjukkan adanya suatu pemahaman tentang kegiatan sosial, di mana percakapan tersebut terjadi (Levinson, 1979; Duranti, 1985). Namun demikian, aktivitas seperti itu tidak hanya dibarengi oleh interaksi verbal, akan tetapi juga harus dibentuk berbagai cara, di mana kemampuan berbicara memiliki peran dalam konstitusi kegiatan sosial. Barangkali kasus yang paling jelas adalah percakapan melalui telepon, di mana hal itu tidak akan terjadi jika tidak ada tukar-menukar percakapan. Bahkan kegiatan yang sangat mengandalkan fisik seperti kegiatan olah raga atau ekspedisi perburuan, sangat bergantung pada komunikasi verbal. Bagaimanakah
seseorang
harus
menghadapi
tugas
berat
dalam
mengisolasi dan menggambarkan unit-unit peristiwa? Hymes mengemukakan beberapa komponen peristiwa komunikatif dengan akronim SPEAKING (Hymes, 1972 a) (1) S: Situation/Setting (situasi) 'tempat dan suasana tuturan'); (2) P: Partisipan (peserta tutur) 'pembicara, yang dituju, pendengar / penerima'; (3) E: Ends (akhir) 'hasil, tujuan tutur'; (4) A: act sequence (urutan bertindak) 'bentuk pesan dan isi pesan'; (5) K: key (kunci): 'Nada tutur'; (6) I: instrumentalities 'sarana tutur'; (7) N: norms (norma-norma) 'norma interaksi dan 51
interpretasi'; (8)G: genres ' jenis tuturan'. (Lihat juga Duranti, 2000; SavilleTroike, 2003). Dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih, unit speech-event telah menjadi alat yang berguna untuk menganalisis penggunaan bahasa di dalam dan antarmasyarakat. Banyaknya sumbangan terhadap pemahaman peran pertuturan (speaking) dalam arena politik, cara membesarkan anak, kegiatan membaca, dan penyuluhan, baik eksplisit maupun tidak, telah membuat peran speech event sangat berguna (Duranti 1988; Scollon & Scollon 1981; Heath 1983; Brennies & Myers 1984;). Speech event masih merepresentasikan tingkat analisis yang dapat memiliki keunggulan dalam mempertahankan informasi tentang sistem sosial secara keseluruhan, sementara pada saat yang sama memungkinkan peneliti melihat secara mendalam seluk-beluk tindakan orang per orang. Model pertuturan juga merepresentasikan perbedaan yang mendasar antara EK dan cabang linguistik lain dalam bermacam-macam versi. Cabang tersebut telah selalu mempertahankan status etic (phonetic) tertentu dan tanpa dibarengi dengan teori (umum) yang berkaitan dengan komponen yang beraneka ragam. Dalam program Hymes (1972a), pembahasan teori seperti itu tampaknya hanya memungkinkan pada level lokal (yaitu berkenaan dengan masyarakat tertentu) dan bukan dalam kerangka yang lebih global dan komparatif. Dalam EK hal ini diperlukan, di mana tidak pernah ada usaha dalam memformulasikan fonemik umum dari peristiwa komunikasi. Hubungan antara komponen52
komponen model tersebut terbukti sangat berarti dalam masyarakat tertentu, akan tetapi tidak perlu menunjukkan prinsip yang universal dari hubungan antara kemampuan bertutur dan konteks dalam masyarakat pada umumnya. Sedikit usaha, seperti yang dilakukan Irvine (1979), terbukti merupakan pembahasan tentang bagaimana seseorang seharusnya tidak berkesimpulan tentang segi universal dari kelompok masyarakat tertentu; yaitu apa yang dianggap "formal" dalam satu konteks tidak harus formal dalam konteks yang lain. (Beberapa perkecualian di sini berlaku pada beberapa usaha dalam menjelaskan bentuk areal secara umum, di mana ada studi lokal yang dapat mencakup kemungkinan tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Roberts & Forman, 1972; Abraham, 1983). Jika beberapa jenis tuntutan universal diterima oleh EK, maka hal ini akan menjadi sama dengan apa yang disebut Merlau-Ponty sebagai lateral universal, yaitu universalitas usaha intersubjektif ketimbang struktur. Untuk memahaminya, kita harus merefleksikan kembali tujuan-tujuan yang ingin dicapai EK. Berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain dalam linguistik, EK sangat peduli dengan penggunaan bahasa sebagai perekat dan alat dalam kehidupan sosial. Ini berarti bahwa ahli etnografi objektif dan intersubjektif (yaitu, intuisi, audio-recording, transkripsi, wawancara, partisipasi dalam kehidupan "subjek") terlibat dalam mempelajari "objek" yang lebih kompleks dan lebih multi bentuk daripada yang diteliti dalam cabang linguistik lain. Salah satu tujuan EK adalah untuk mempertahankan
53
kompleksitas languange as praxis daripada menguranginya menjadi pokokpokok yang abstrak dan independen.(Duranti, 1988) Kritik yang memungkinkan terhadap kelemahan analisis speech event adalah bahwa ia cenderung menyeleksi bidang-bidang interaksi yang dilabeli oleh suatu budaya, akan tetapi ia dapat mengabaikan interaksiinteraksi yang tidak dikenal oleh anggota-anggotanya sebagai bagianbagian. Hal yang perlu dijelaskan di sini bahwa walaupun keberadaan istilah leksikal bagi "bidang interaksi" hanya merupakan pendukung dari pengorganisasian pengalaman
lapangan, akan tetapi istilah
tersebut
merupakan kata kunci yang menarik bagi pekerja lapangan.
2.2.7.3 Tindak Tutur (Speech act) Bahasa memiliki banyak fungsi untuk memenuhi kebutuhan para penggunanya. Fungsi utama bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan atau maksud dari penutur kepada petutur (mitra tutur). Maksud yang terkandung dalam komunikasi tersebut diungkapkan dengan kalimat. Kailmat-kalimat yang komunikatif terbagi menjadi dua kategori berdasarkan maknanya, yakni (1) kalimat perlakuan (performative) dan (2) kalimat pernyataan (constative). Tujuan speech act menurut Austin, (1975) adalah menekankan pada fungsi pragmatik dari kemampuan berbicara, yang tidak hanya menggambarkan pandangan dunia, akan tetapi juga mengubahnya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat pada umumnya.
54
Penerimaan tujuan speech act tidak perlu disampaikan secara tidak langsung akan diterimanya landasan epistimologi atau ideologi yang mendasari teori tindakan komunikasi (Pratt, 1981). Secara khusus, teori seperti itu dikatakan telah banyak memberi keunggulan bagi perhatian pengguna bahasa sebagai definisi makna pengucapan. Akhir-akhir ini sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa peran yang diberikan atas perhatian
pengguna
bahasa
dalam
menginterpretasi
cara
berbicara
sebenarnya berbeda antarbudaya dan konteksnya (Streeck, 1980; Ochs, 1982; Rosaldo, 1982; Kochman, 1983; Duranti, 1984). Kalimat-kalimat perlakuan relatif tidak begitu banyak jumlahnya dalam suatu bahasa; yang jauh lebih banyak adalah kalimat pernyataan. Austin (1962) mengatakan bahwa makna atau juga disebut nilai kalimat adalah tindakan membuat janji itu. Jadi mengucapkan kalimat adalah „perlakuan berjanji‟ dan kalimat itu disebut kalimat perlakuan. Di sini tidak dipermasalahkan „benar‟ atau „tidak benar‟, baik apa yang dikatakan dalam kalimat “saya datang besok”, maupun kalimat induknya “saya berjanji”. Dengan kata lain berjanji itu adalah pengucapan kalimat: “saya berjanji datang besok pagi”. Selanjutnya, teori sebagai hasil pengkajian kalimat-kalimat sebagai ungkapan disebut teori tindak tutur (speech act theory). Menurut Searle, dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak 55
tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, petanyaan dan perintah (Yule, 1996). Wijana (2010) mengemukakan, tindak tutur (speech act) adalah berbagai bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh penutur (termasuk juga penulis) dalam menggunakan bahasanya. Menurutnya, sekurang-kurangnya ada 7 jenis tindak tutur yang mungkin dilakukan oleh penutur. Ketujuh jenis tindak tutur itu adalah tindak tutur asertif, performatif, verdikatif, ekspresif, direktif, komisif, dan fatis. Pembagian tersebut didasarkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan dalam setiap tuturan pada peristiwa komunikasi. Sudut pandang fungsional dalam hal ini harus dibedakan dengan sudut pandang formal yang selama ini digunakan oleh ilmu tata bahasa di dalam menggolong-golongkan kalimat. Penggolongan kalimat menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (introgatif), dan kalimat perintah (imperatif) didasrakan atas kriteria yang bersifat formal, yakni lagu akhir (terminal counter) masing-masing kalimat itu. Selanjutnya Wijana memmberi contoh sebagai barikut: (1) Udaranya dingin sekali. (2) Apakah pohon-pohon yang sudah susah payah kita tanam ini harus ditebang? (3) Pergi lagi sana! Ketiga kalimat tersebut dari sudut pandang struktural masing-masing adalah: (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, dan (3) kalimat perintah. Namun dari sudut pandang fungsional, ketiga kalimat di atas dapat memerankan fungsi56
fungsi yang mungkin saja sama atau berbeda bergantung pada konteks tuturannya yang berkaitkan dengan siapa yang berbicara, kepada siapa, dimana, dan untuk apa pembicaraan itu. Misalnya, dalam konteks tuturan (1) bukan kalimat berita, tetapi perintah tidak langsung kepada seseorang untuk menutup pintu atau mematikan AC. Demikian juga tuturan (2) bukanlah pertanyaan yang sebenarnya, boleh jadi merupakan strategi tidak langsung untuk mempengaruhi lawan tutur agar mendukung usulan penutur untuk tidak menebang pohon. Sedangkan tuturan (3) mungkin juga merupakan larangan yang diutarakan secara tidak literal agar lawan bicara tidak pergi. Dengan demikian, kalimat yang secara formal sudah memiliki bentuk yang relatif tetap, ternyata memungkinkan memiliki fungsi yang berbeda-beda, sehingga dimungkinkan lawan tutur dapat menangkap sesuatu yang diungkapkan secara langsung atau tidak langsung, secara literal atau tidak literal, dan berbagai maksud yang lain adalah karena penutur dan lawan tutur memiliki asumsi dan penfsiran yang sama terhadap kaidah-kaidah berlangsungnya
pertuturan pertuturan
beserta yang
berbagai wajar,
prinsip
termasuk
yang berbagai
mengatur macam
penyimpangannya. Dalam pertuturan yang wajar, penutur lazimnya ingin mengemukakan sesuatu dan berharap lawan tutur dapat menagkap atau memahami apa yang diungkapkannya secara rasional. Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun makna kalimat tidak ditentukan hanya oleh tindak tutur seperti dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh 57
penuturnya. Oleh sebab itu, mungkin juga dalam setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Dalam pegertian seperti itu, studi tentang makna kalimat dan studi tentang tindak tutur bukanlah dua studi yang terpisah, melainkan satu studi dengan dua paradigma yang berbeda. Dengan demikian, teori tindak tutur adalah teori yang lebih cenderung meneliti tentang makna kalimat dan bukannya teori yang lebih cenderung berusaha menganalisis struktur kalimat (Rani, 2004: 159) Oleh karenanya, tuturan yang sama dapat digunakan pada tujuan yang berbeda, berdasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang peristiwa sosial dimana percakapan tersebut dilakukan. Tugas penganalisis adalah menerangkan hubungan antara realitas subjektif pengguna bahasa, bentuk linguistik yang dipilih dan respon dari audien: "Level tindakan komunikasi segera menjembatani antara tingkat tata bahasa biasa dan situasi,
sehingga ia mengimplikasikan
bentuk linguistik dan norma-norma sosial" (Hymes, 1972 a:7). Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud suatu kalimat. Untuk menyampaikan makna atau maksud tersebut, penutur harus menuangkan dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan disampaikannya tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: dengan media bahasa apa dia harus bertutur, kepada siapa dia akan menyampaikan ujarannya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakannya. Dengan demikian, untuk satu maksud,
58
perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu. Posisi penutur dan situasi ujaran yang berbeda akan menyebabkan perbedaan tindak tuturnya. Tindak tutur untuk menyampaikan maksud seperti itu dalam suatu bahasa tertentu akan berbeda lagi apabila yang dipergunakan bahasa yang lain. Bahasa Madura misalnya, akan segera nampak perbedaan tindak tuturnya jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kemungkinan memilih tidak tutur sangat ditentukan oleh bahasa itu untuk menyampaikan ujarannya (Hymes, 1972) Austin menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: (1) tindak lokusi (locutinary act) (2) tindak ilokusi (illocutionary act) (3) tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi menurut Searle disebut tindak proposisi (propotional act) mengacu pada aktivitas bertutur kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Selanjutnya Austin menyatakan: “Tindak tutur itu merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi”. (Rani, 2004) 59
Tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan, mengeluarkan perintah atau permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal, dan lain-lain (Lyons, 1977: 730). Kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu, sedangkan tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Tindak dalam mengatakan sesuatu inilah yang oleh Austin disebut tindak ilokusi, sedangkan tindak mengatakan sesuatu lebih dekat hubungannya dengan tindak lokusi. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan (force) yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan sesuatu tindak tertentu.(Rani, 2004) Secara khusus, searle mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: (1) Asertif atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya; (2) Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan; (3) Direkstif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati; (4) Ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan
ucapan
selamat,
memuji,
menyatakan
bela
sungkawa,
mengkritik. Tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan 60
sikap psikologis penutur terhadap mitra tutur; dan (5) Deklarasi, yakni tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya (Rani, 2004). Kategori yang terakhir (5) itu menurut searle, merupakan kategori tindak ilokusi yang sangat spesifik. Tindak deklarasi dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam kerangka kerja institusional. Misalnya, seorang hakim, yang bertugas menjatuhkan hukuman, seorang wali yang menikahkan anaknya, dan seorang pejabat yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar. Sebagai tindak institusional, kata-kata tersebut jarang diucapkan secara spotan. Sebagai contoh, pernyataan seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa pada umumnya berbentuk klise, tidak berubah dari satu terdakwa ke terdakwa lainnya dan dinyatakan dengan tegas (periksa Leech, 1993). Jika kita cermati, dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih ditujukan pada diri si penuturnya. Dalam tindak perlokusi, isi ujaran itu lebih ditujukan pada diri si pendengar. Austin mengemukakan bahwa mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti. Implikasi tindak lokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, misalnya: menjadikan orang marah, dan membuat seseorang tertawa. Dengan kata lain untuk membuat orang lain bereaksi. Tujuan tertentu yang dirancang oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur perlokusi (Leech, 1993). 61
Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak lokusi dengan „predikasi‟ tindak ilokusi dengan „maksud kalimat‟ dan tindak perlokusi dengan „akibat suatu ungkapan‟ (Rani, 2004: 163). Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat, ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, permintaan, ejekan, keluhan, pujian, dan lain sebagainya; dan perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya.
2.2.8 Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam Berkomunikasi Prinsip Kerjasama (PK) (Cooperative Principle) dalam suatu percakapan adalah suatu pedoman yang perlu diperhatikan dan ditaati oleh partisipan tutur dalam peristiwa tutur, agar komunikasi berjalan dengan lancar dan efektif, serta tidak terjadi kesalahpahaman. Grice dalam Yule (1996), Nadar (2008) menjelaskan bahwa PK itu mempunyai pengertian sebagai berikut: Buatlah sumbangan percakapan anda sedemikian rupa sesuai yang dikehendaki, sesuai dengan perkembangan konteks atau situasi terjadinya percakapan, dan sesuai dengan maksud atau arah yang disepakati dalam percakapan yang anda ikuti. Kita membutuhkan PK untuk lebih mudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya―penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah
yang timbul dalam semantik yang memakai
pendekatan kebenaran (truth-based approch).
62
Grice lebih lanjut merinci prinsip kerjasama ke dalam 4 maksim (maxims / guidelines)sbb: a. Kualitas (Quality):Buatlah sumbangan percakapan dan merupakan sumbangan percakapan yang benar, khususnya: Jangan mengatakan apa yang dianggap anda salah; Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung bukti yang cukup. b. Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan itu―jangan memberikan sumbangan lebih informatif dari pada yang diperlukan . c. Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda relevan. d. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) Hindari kekaburan; 2) Hindari ketaksaan; 4) Bicaralah singkat; 4) Bicaralah secara teratur. Keempat maksim tersebut menjelaskan apa yang harus dilakukan peserta percakapan, agar dia dapat berbicara secara efisien, rasional, dan dilandasi kerjasama, artinya pembicara harus bekerja dengan jujur, relevan, dan jelas dengan memberikan informasi secukupnya. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan percakapan berikut. Ada seorang wanita yang sedang duduk pada suatu kursi panjang dipertamanan, dan seekor anjing terbaring di tanah di depan kursi panjang itu. Seorang lelaki datang mendekati dan duduk pada kursi tersebut. Man Women
: Does your dog bite ? : No
(Orang lelaki itu membungkuk untuk mengelus-elus anjing tersebut. Anjing itu menggigit tangan lelaki tersebut) Man
: Ouch! Hey! You said your dog doesn’t bite. 63
Women
: He doesn’t. But that’s not my dog. (Yule, 1996)
Permasalahan dalam percakapan ini bukanlah permasalahan praanggapan (presupposition) karena asumsi „your dog (the women has a dog)‟ adalah benar. Wanita tersebut memang mempunyai anjing. Yang menjadi masalah adalah anggapan bahwa pertanyaannya „Does your dog bite ?‟ dan jawaban wanita itu „No‟ dimaksudkan tidak berlaku untuk anjing yang terbaring di depannya. Dipandang dari perspektif lelaki tersebut, jawaban wanita itu tidak memberi informasi yang lengkap sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, dia (wanita itu) diharapkan memberi jawaban atau informasi seperti dinyatakan dalam kalimat terakhir. Dia tidak memberikan informasi yang lengkap. Hal ini melanggar maksim kuantitas. Dia semestinya tidak hanya berkata „No‟ terhadap pertanyaan lelaki itu. Akan tetapi, yang terjadi bahwa wanita itu sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa dia tidak ingin bercakap-cakap dengan orang asing (orang yang belum dia kenal), sehingga dia tidak menunjukkan cooperative interaction. Karena tidak ditaatinya PK, dalam konteks di atas kurang lengkap informasi/kurang infonmatif (melanggar maksim kuantitas), maka terjadilah salah inferensi dan digigitlah
tangan laki-laki tersebut oleh anjing itu. PK
memang selalu mendasari setiap percakapan, jika percakapan diharapkan berjalan lancar. Namun demikian, tidak semua maksim berlaku untuk semua situasi―ada kalanya maksim-maksim dalam PK dilanggar untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih penting. Berkaitan dengan PK, (Leech, 1993; Nadar, 2008) mengemukakan bahwa ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan atau 64
mendahulukan prinsip sopan santun (PS) (Politeness Priciple) dari pada PK. Lebih-lebih dalam masyarakat yang beradab, PS tidak dapat dikesampingkan, tidak dapat dianggap sebagai tambahan terhadap PK. Selanjutnya
Leech
memberikan contoh sebagai berikut: A: We’ll all miss Bill and Agatha, won’t we? (Kita semua akan merindukan Bill dan Agatha bukan ?) B: Well, we’ll all miss Bill (Ya, kita semua akan merindukan Bill) Dalam percakapan tersebut di atas, B dengan jelas melanggar maksim kuantitas: Ketika A menginginkan B mengiakan pendapat A,
B hanya
mengiakan sebagaian saja, dan tidak menghiraukan bagian terakhir pendapat A. Dari sini kita memperoleh: „Penutur berpendapat bahwa tidak semua orang merindukan agatha‟. Bahwa B sengaja tidak menyatakan pendapat ini, melanggar maksim kuantitas atau maksim kejelasan/kelengkapan informasi, dan maksim hubungan atau relevansi. B lebih mentaati PS dari pada PK karena dia tidak ingin bertindak tidak sopan terhadap pihak ketiga (Agatha).
2.2.9 Tingkat Tutur dan Pragmatik Lintas Budaya Pada umumnya di dalam suatu bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam bertutur. Sikap itu biasanya sangat bervariasi dan sangat ditentukan oleh anggapan tentang tingkatan sosial para peserta tutur itu. Misalnya, ketika seorang penutur bertutur dengan seorang yang perlu dihormati, maka pastilah penutur itu 65
akan menggunakan kode tutur yang memiliki makna hormat. Demikian pula manakala si penutur berbicara dengan seorang yang tidak perlu dihormati, maka penutur sudah barang tentu akan menggunakan kode tutur yang tidak dihormati pula (Rahardi, 2001). Fenomena tersebut terjadi karena di dalam masyarakat tutur terdapat anggota-anggota golongan tertentu yang sangat perlu untuk dihormati dalam bertutur, tetapi ada juga dalam golongan masyarakat tertentu yang tidak perlu mendapatkan penghormatan yang khusus. Oleh karena itu, sebenarnya bentuk tingkat tutur itu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua macam bentuk tingkat tutur itu ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Masyarakat akan dihormati atau barangkali tidak dihormati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosial, kekuatan, dan pengaruh politiknya, alur kekerabatan, usia, jenis kelamin, kondisi psikis, dan lain sebagainya. Di dalam kebanyakan tingkat tutur pemakaian bentuk-bentuk pronomina atau kata ganti banyak yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat penutur kepada sang mitra tutur.
Simbol-simbol tersebut seringkali
dipakai dalam bertutur untuk menunjukkan rasa hormat. Dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata-kata tertentu seperti istana, putera, bersabda, menganugerahi, dan sebagainya untuk menunjukkan rasa hormat. Dalam bahasa Madura caracara seperti yang ada dalam bahasa Indonesia juga ada dengan pronomina orang 66
pertama terdapat kata sengko‟, kaulâ, abdhina; dengan pronomina orang kedua yaitu, bâ’na, sampèyan, dhika, panjenengan, ajunan, padhâna. Bentuk-bentuk dengan kata benda dalam bahasa Madura yang menunjukkan perbedaan rasa hormat itu misalnya bengko, compo’, dhâlem, yang kesemuanya bermakna „rumah‟. Pada kata kerja misalnya terdapat tèdung, sarèn, kèlem, yang maknanya adalah „tidur‟. Pada kata sifat misalnya terdapat sakè’, bârâng, songkan’, yang maknanya „sakit‟. Dalam bahasa Jerman juga terdapat variasi pronomina orang pertama ich, wir „saya, kami/kita‟ walaupun tidak menunjukkan untuk menyatakan rasa hormat, sedangkan pronomina orang kedua Sie „tuan/bapak‟ dan du „kamu‟ dapat membedakan rasa hormat dan tidak hormat atau akrab dan tidak akrab. Sie yang disebut Sie groß digunakan untuk berbahasa dengan orang yang dihormati atau belum akrab, sedangkan du digunakan untuk berbahasa dengan orang sebaya atau orang yang sudah dianggap akrab. Dalam bahasa Jawa cara-cara yang ada pada bahasa Indonesia, bahasa Madura, Bahasa Jerman itu juga ada, misalnya dengan pronomina orang pertama terdapat kata aku, kula, dalem, kawula, dengan pronomina orang kedua terdapat kosa kata kuwe, sampèyan, panjenengan, paduka dan dengan pronomina orang ketiga digunakan kata dèwèkè, kiyambakè, piyambakipun, dan panjenenganipun. Bentuk-bentuk kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukkan perbedaan rasa hormat itu misalnya omah, griya, dalêm, yang kesemuanya bermakna „rumah‟. Dengan kata kerja misalnya terdapat turu, tilem, sarè yang maknanya adalah „tidur‟. Dengan kata sifat misalnya terdapat lara, sakit, gerah yang maknanya „sakit‟.
67
Berdasarkan penjelasan dan contohs-contoh tersebut dapat dikatakan bahwa dalam bahasa apapun terdapat kosa kata dan kalimat yang dapat digunakan untuk menyatakan rasa hormat dan biasa (akrab), khususnya dalam bahasa-bahasa daerah yang secara terinci diatur dalam penggunaan tingkat tutur (speech level).
2.2.9.1. Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura Dilihat dari sudut pemakaiannya, bahasa Madura (BM) memiliki variasi dialektis dan variasi tingkat tutur (ondhâghân bhâsa). Variasi dialektis BM ada empat macam, yaitu: (1) dialek Sumenep, (2) dialek pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean. Dialek sumenep digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep, kecuali beberapa Kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan; dialek Pamekasan digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep bagian barat dan Kabupaten Pamekasan; dialek Bangkalan digunakan di wilayah Kabupaten Sampang dan kabupaten Bangkalan; sedangkan dialek Kangean digunakan di Pulau Kangean dan wilayah Kabupaten Sumenep (Wibisono, 2005; Sofyan, 2009). Menurut pendapat Sofyan (2009), di samping ketiga tingkat tutur tersebut, dalam BM juga terdapat satu variasi tingkat tutur yang jarang sekali digunakan, yakni yang disebut bhâsa alos (BA) atau bhâsa karaton „bahasa keraton‟ dan dua buah variasi tingkat tutur yang sangat sering digunakan, yakni (1) ragam kota atau sering disebut bhâsa Malaju (BMlj) „bahasa Melayu‟ dan (2) tingkat tutur engghè-enten (Eg-E). BM ragam kota disebut sebagai bhâsa 68
Malaju karena bahasa yang digunakan lebih mirip dengan bahasa Melayu, dengan penggunaan kata-kata: saya „saya‟, situ „kamu‟, enda’ „tidak‟,(i)ya „ya‟, kamana’a „akan kemana‟, dâri mana „dari mana‟, tidak pernah menggunakan ella „jangan‟ tetapi menggunakan jhâ’…ya. Ragam bahasa ini biasa digunakan dalam pergaulan di perkotaan, baik oleh para remaja maupun orang dewasa. Etnik Arab dan Cina—yang merupakan etnik yang jumlahnya cukup banyak di Madura—biasanya menggunakan BM ragam ini. Tingkat tutur Eg-E adalah tingkat tutur yang biasa dituturkan oleh penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada lawan tutur; dengan hubungan antarpenutur agak akrab atau sudah lama saling kenal. Ciri dari BM ragam ini adalah penggunaan kata-kata: bulâ „saya‟, dhika „kamu, anda‟, maddhâ „mari‟, empon „jangan‟, marè „sudah‟, enten „tidak‟, engghè „ya‟, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, tingkat tutur BM dan penggunaannya dalam interaksi sosial masyarakat Madura dapat digambarkan seperti tabel berikut:
69
Tabel 2.1: Tingkat Tutur No Tingkat Tutur/ Ragam 1.
enjâ’-iyâ (E-I)
2.
Hubungan Partisipan sebaya atau
dengan teman
penutur berumur
akrab; orang
lebih tinggi;
tua kepada
sangat akrab
anak
engghi-enten penutur berumur (E-E)
Penggunaan
sesama dewasa
lebih rendah dg
yg baru kenal,
jarak status
kpd orang tua
Contoh Pemakaian Kata saya
Engkau
ya
sèngko’
bâ’na
iyâ
kaulâ
sampèyan
engghi
bhâdhân panjhәn-
èngghi
sosial tidak terlalu jauh 3.
èngghi-
penutur berumur
kpd atasan,
bhunten
lebih rendah dg
kpd mertua
(È-B)
kaulâ
nengngan
jarak status sosial cukup jauh; sering berinteraksi
+4.
bhâsa alos (BAl)
penutur dg jarak
kpd kiai; kpd
dâlәm/
Ajunan,
dhâlәm
status sosial
pejabat tinggi
abdhina
padhâna
bulâ
Dhika
engghe
saya
Situ
iya
sangat jauh; jarang berinteraksi +5. engghè-enten penutur berumur (Eg-E)
mertua kpd
lebih tua; sering
menantu,
berinteraksi
tetangga yg lebih muda
+6. bhâsa Malaju agak akrab, tidak (ragam kota) ada hubungan (BMlj)
keluarga
teman sekolah atau kantor, etnik lain
Diadopsi dari Sofyan, (2009) sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis sesuai topik penelitian
70
2.2.9.2 Pragmatik Lintas Budaya (Cross-cultural Pragmatics) Penguasaan terhadap suatu bahasa tidak menjamin mulusnya hubungan komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa walaupun bahasanya sudah dikuasai masih sering terjadi kegagalan komunikasi (communication break-down) (Suparmin, 2000). Perbedaan lintas budaya bisa dan memang sering memicu terjadinya konflik sebagai akibat kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan interpretasi (SavilleTroike, 1982 dan 1984). Konflik etnik juga bisa terjadi karena kegagalan komunikasi, dimana etnik yang satu tidak mengenal budaya etnik yang lain, sehingga terjadi kesalah pahaman dalam komunikasi. Begitu juga seringnya kekerasan yang menimpa para TKI asal Indonesia di luar negeri, mungkin juga karena minimnya pengetahuan lintas budaya negara tujuan, sehingga terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Bahkan menurut Suparmin (2000) pernah terjadi seorang mahasiswa Indonesia (MI) yang mendapat tugas belajar di Amerika pernah harus menanggung malu besar bukan karena masalah penguasaan bahasa, tetapi karena ketidak tahuannya akan kebiasaan pragmatik lintas budaya setempat. Suatu hari waktu istirahat makan siang di kampus, dia diajak seorang teman mahasiswa asal Amerika (MA) makan siang di kafe. MA : Do you like to come with me to cafee ? MI : Yes, okay
71
Tentu saja tanpa berbasa-basi dan menanyakan apakah dia akan ditraktir. Dia malah merasa senang sekali karena saat itu kebetulan dia tidak membawa uang sama sekali karena lupa―kebetulan sekali ada yang mau mentraktir―begitulah inferens yang dia tangkap. Merasa akan ditraktir dia managmbil makanan agak lebih dari bisanya. Pada saat membayar temannya tadi ternyata membayar hanya untuk makanan yang dia ambil saja, sedangkan makanan yang diambil si MI tidak dibayarnya―tentu saja dia terkejut sekali―sudah terlanjur mengambil makanan, tetapi tidak membawa uang. Pada hal sudah berada di depan kasir yang siap menerima pembayaran dan dibelakangnya banyak yang antri akan membayar. Akhirnya, dengan menahan rasa malu dia terpaksa pinjam dulu kepada teman yang masih belum lama dikenalnya tersebut. Rupanya kebiasaan di sana tidak seperti di Indonesia, mengajak makan bersama bukan berarti mentraktir, kecuali kalau secara jelas (eksplisit) yang mengajak menyatakan bahwa nanti dia akan membayar. Mereka yang pernah tinggal di luar negeri atau di luar daerah di mana ia dibesarkan, pasti pernah menanggung malu, mendapat marah atau sikap yang kurang bersahabat dan sebagainya, bukan karena penguasaan bahasa, tetapi karena ketidak pahaman budaya setempat, sehingga menimbulkan inferensi yang salah. Kesalah pahaman seperti di atas, sering terjadi tidak saja dalam komunikasi verbal (dengan menggunakan kata-kata), tetapi juga dalam komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan gerakan-gerakan tubuh atau bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh ini bisa berupa ekspresi 72
wajah, gerak mata, kepala, bahu, tangan, kaki, dan sebagainya yang sering digunakan bersamaan dengan bahasa lisan (oral language). Banyak contoh kejadian kesalah pahaman dalam komunikasi non-verbal, seperti halnya dalam komunikasi verbal mengakibatkan rasa malu, dimarahi, dan sebaginya―bahkan pernah terjadi di Kairo (Mesir) seorang profesor Inggris didemo mahasiswanya dan dituntut supaya diusir kembali ke negaranya gara-gara „body language‟ ini. Asal mulanya adalah pada waktu berada dalam kelas sehari sebelumnya si profesor, mungkin karena santainya, duduk di kursi dengan kakinya di julurkan ke depan (selonjor), sehingga alas sepatunya terlihat atau menghadap ke arah mahasiswanya. Rupanya dia tidak memahami bahwa di Mesir hal itu merupakan suatu bentuk penghinaan yang luar biasa. Salah paham ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap gerak tubuh dalam budaya yang berbeda. Misalnya, membuat lingkaran kecil dengan ibu jari dan telunjuk, kalau di Amerika artinya sama dengan „okay‟, di Jepang artinya „uang‟ di Perancis artinya „sesuatu yang tidak ada nilainya‟ bahkan di Yunani gerak itu ditafsirkan sebagai gerakan tidak senonoh (porno) (Suparmin, 2000). Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa budaya bersifat „group-specific‟―artinya, tiap kelompok masyarakat mempunyai ciri budaya sendiri-sendiri, atau dengan perkataan lain kelompok yang berbeda mempunyai budaya yang berbeda pula, sehingga di dunia ini dapat dijumpai berbagai budaya yang berbeda satu sama lain. Murdock (1961) mengemukakan bahwa pola tingkah laku budaya memiliki tujuh ciri yang bersifat universal, yaitu dapat dijumapai dalam budaya manapun juga. Ciri-ciri tersebut ialah bahwa 73
pola tingkah laku budaya tadi: (1) Berasal dari alam pikiran manusia; (2) Mempermudah interaksi manusia dengan lingkungannya; (3) Memenuhi kebutuhan dasar manusia; (4) Bersifat komulatif dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kondisi eksternal dan internal; (5) Cenderung membentuk struktur yang konsisten; (6) Dipelajari dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat; dan (7) Diteruskan kepada generasi baru. Begitu pula kesopanan merupakan konsep yang universal (That Pliteness is conceptually universal) yaitu, kesopanan dapat dijumpai dimanapun dalam bahasa dan budaya manapun juga.
2.2.10 Kode, Alih Kode, dan Campur Kode Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya memiliki ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, hadirnya orang ketiga, dan situasi tuturan. Jadi, dalam kode ini terdapatlah unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem, dan fonem. Lebih lanjut Poedjosoedarmo (1978:5) menyatakan kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota suatu masyarakat tutur. Suwito (dalam Rahardi, 2001:22) juga menyatakan kode adalah salah satu varian di dalam hirarki kebahasaan yang dipakai dalam berkomunikasi. Dengan demikian, dalam suatu bahasa dapat terkandung beberapa kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Pendapatpendapat para ahli tersebut memberikan batasan bahwa kode merupakan varian bahasa. 74
Kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia dan beragam bahasa daerah bahkan kini bahasa-bahasa asing (Bahasa Inggris, Madarin, Jerman, Jepang, Perancis, Belanda, dsb.) sudah diajarkan di sekolahsekolah. Di sekolah-sekolah berbasis agama Islam dan pesantren bahasa Arab menjadi kurikulum inti. Oleh karena itu, di negara Indonesia tidak jarang ditemui orang-orang yang dapat berbahasa lebih dari satu bahasa. Kesanggupan mereka dapat menggunakan lebih dari satu bahasa tersebut disebabkan oleh keinginannya untuk saling berkomunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, baik intraetnik maupun antaretnik. Penggunaan alih kode dan campur kode dapat terjadi pada setiap penutur bahasa. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur ekabahasawan, misalnya beralihnya seseorang dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur dwibahasawan, misalnya beralihnya seseorang dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua atau lebih bahasa, versi-versi dari bahasa yang sama atau bahkan gaya-gaya bahasanya dalam satu situasi tuturan oleh seseorang penutur atau partisipan tutur (Hymes dalam Saville-Troike, 2003). Kontak antara dua bahasa atau lebih yang terjadi terus-menerus di dalam situasi masyarakat tutur yang bilingual cenderung mengakibatkan gejala kebahasaan yang disebut alih kode. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa di dalam masyarakat dwibahaswan―artinya, di dalam 75
masyarakat dwibahasawan hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikit pun beralih kode ke bahasa yang lain. Alih kode dapat didefinisikan juga sebagai peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan tingkat tutur level È-B (krama inggil) dan kemudian beralih menggunakan tingkat tutur E-E (krama madya), maka peralihan penggunaan bahasa seperti inilah yang bisa disebut sebagai alih kode Konsep alih kode mencakup tidak saja peristiwa peralihan bahasa, tetapi juga peristiwa peralihan ragam bahasa atau dialek (Umar, 1993:13). Contoh : Ketika A dan B bertemu dalam acara pesta, biasanya mereka mengawali pembicaraannya dengan topik sehari-hari, seperti masalah keluarga, pekerjaan dan lain-lain. Dalam topik seperti ini, pada umumnya dipergunakan bahasa ragam santai. Tetapi ketika komunikasi beralih ke masalah politik, bahasa yang dipergunakan pada umumnya bukan ragam santai, melainkan ragam formal. Peristiwa pergantian ragam informal ke ragam formal atau sebaliknya dikatakan sebagai alih kode. Appel (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Misalnya: Ali dan Ibrahim, keduanya berasal dari Pesantren, dua puluh menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa Arab. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Anto, teman kuliahnya yang bukan dari pesantren, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Arab. Anto menyapa mereka 76
dalam bahasa Indonesia. Lalu mereka segera terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Peristiwa peralihan penggunaan bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang dilakukan Ali dan Ibrahim kerena berubahnya situasi yang dipengaruhi datangnya orang ketiga, yakni situasi “kearaban” berubah menjadi situasi “keindonesiaan” yang dipengaruhi oleh datangnya Anto sebagai partisipan tutur baru yang memulai dengan tuturan bahasa Indonesia. Hymes (dalam Rahardi, 2001:20) menyatakan bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam bahasa. Sementara itu Mansoer Pateda (1990: 83) mengemukakan pendapatnya bahwa, seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan bicaranya. Pengkodean itu melalui suatu proses yang terjadi pada pembicara, hampa suara, dan pada lawan bicara. Kodekode itu harus dimengerti oleh kedua belah pihak―kalau pihak yang satu memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicaranya, maka ia akan mengambil kesimpulan dan bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Tindakan itu, misalnya diam, memutuskan pembicaraan, atau mengulangi lagi pertanyaan sebagai bentuk kode yang digunakan untuk mengajak lawan tutur mencurahkan perhatiannya. Seseorang berkode bahasa dengan berbagai variasi sesuai suasana emosional penutur yang dapat diimplementasikan dengan nada suara lembut, keras, cepat, lambat, dan sebagainya, misalnya kalau marah tentu dengan nada cepat dan keras, sebaliknya kalau merayu tentu dengan nada pelan dan lembut. 77
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode meliputi bahasa dengan segala unsur-unsurnya (seperti kalimat, kata, morem, maupun fonem), variasi-variasi bahasa, dan gaya-gaya bahasa. Alih kode adalah pertukaran dari satu bahasa ke bahasa lain, atau pertukaran dari satu variaan bahasa ke bahasa varian bahasa lain dalam bahasa yang sama, ataupun pertukaran dari satu gaya bahasa yang satu ke gaya bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Alih kode terjadi untuk menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu seorang penutur―kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, untuk mengubah situasi dari formal menjadi tidak formal atau sebaliknya untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode―apalagi jika latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Kegiatan alih kode antarbahasa, antarvariasi bahasa, dan antargaya bahasa dapat dilihat pada situasi berikut : Alih kode antarbahasa, misalnya: Ketika dua orang sedang bercakapcakap
dengan bahasa Inggris, karena kebetulan keduanya mahasiswa Jurusan
Sastra Inggris. Di tengan-tengah perbincangan tersebut, tiba-tiba datang orang ketiga temannya yang kini sebagai mahasiswa pada Jurusan Sastra Indonesia yang kurang memahami bahasa Inggris. Selanjutnya, percakapan beralih dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia agar orang ketiga tersebut dapat ikut dalam peristiwa tutur. 78
Alih kode antarvarian bahasa, misalnya: Seseorang beralih dari varian bahasa Madura kasar enjâ’-iyâh kepada varian bahasa Madura level èngghibhunten atau bhâsa alos, karena diantara partisipan tutur yang datang kemudian ternyata ada orang yang amat dihormati. Alih kode antargaya bahasa, misalnya ketika sedang meminta sesuatu dari orang lain, tentu dengan nada suara yang lembut, Tetapi ketika seseorang sedang marah tentu beralih kode dengan nada suara yang kasar dan keras. Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb. Campur kode adalah proses yang sama―yang digunakan untuk membuat bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah bahasa pidgin diciptakan di dalam kelompok-kelompok yang tidak menggunakan satu bahasa yang sama, sedangkan campur kode terjadi ketika para penutur multilingual menggunakan satu bahasa yang sama atau lebih (Kridalaksana, 2008) Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan, atau tidak adanya padanan yang tepat untuk mengungkap suatu fenomena. Misalnya, untuk membangkitkan rasa humor, seorang kiai yang sedang berceramah dengan BI di depan mayoritas UNUEM, bercampur kode ke kosa kode BM yang dapat membangkitkan tawa―untuk mengungkapkan kosa 79
kata BA yang kurang pas di terjemahkan ke BI, segera bercampur kode ke BA―dan untuk menunjukkan keakraban, WNUEM sering bercampur kode ke BMlj dan BA. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi, karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain―walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya; dan (2) Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur; dan (2) kebahasaan (linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode: (a) penyisipan kata, (b) menyisipan frasa (c) penyisipan klausa, (d) penyisipan ungkapan atau idiom, dan (e). penyisipan bentuk blaster (gabungan pembentukan asli dan asing).
80
2.2.11 Stilistika: Sebagai Setrategi Komunikasi Stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, yakni ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan (Pradopo, 2004: 1). Slametmuljana (1956: 4) mengemukakan bahwa stilistika itu pengetahuan tentang kata berjiwa. Kata berjiwa itu adalah kata yang dipergunakan dalam cipta sastra yang mengandung perasaan pengarangnya. Adapun tugas stilistika adalah membeberkan kesan pemakaian bahasa dalam kalimat kepada pembacanya. Penempatan kata dalam kalimat menyebabkan gaya kalimat, disamping ketetapan pemilihan kata memegang peranan penting dalam ciptaan sastra. Dari pengertian di atas, dapat disarikan bahwa stilistika merupakan ilmu tentang gaya bahasa. Hal ini seperti pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Purwadarminta (1988: 859) yaitu stilistika itu ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya susastra. Akan tetapi, kini stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya dalam bahasa pada umumnya meskipun ada perhatian khusus pada bahasa kesusastraan yang paling sadar dan paling kompleks. Menurut Turner dalam Pradopo (2004), stilistika adalah bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa. Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa stilistika adalah studi gaya yang menyarankan bentuk suatu ilmu pengetahuan atau paling sedikit berupa studi yang metodis.
81
Kini stilistika diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemakainya (Aminuddin, 1995: 119). Sebutan gaya bahasa tersebut tidak dirujukkan pada keseluruhan wujud penggunaan bahasa sebagai wacana, melainkan pada kata dan satuan ujaran yang dianggap mengandung keindahan (estetika). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya bahasa (stylistic) merupakan penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu. Sehingga apa yang akan disampaikan oleh pembicara, pengarang, maupun penulis dapat diterima oleh para pendengar atau pembaca. Gaya pada dasarnya merupakan cara yang digunakan penutur, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam memaparkan gagasan sejalan dengan tujuan dan motif yang melatar belakanginya. Guna mencapai tujuan dengan berbagai motif tersebut penutur selain secara kreatif menggarap aspek isi tuturannya juga menggarap bentuk pelambangan sebagaimana terwujud dalam system tandanya. Tujuan tersebut dapat berkaitan dengan upaya mewujudkan paparan yang terasa hidup dan imajinatif, paparan yang padat dan kaya, gagasan jernih tetapi sublimatis, gagasan yang kompleks dan menyimpan berbagai macam kemungkinan baru, dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan gaya mampu memberikan kekayaan nuansa pada sistem tanda
yang digunakan
penuturnya.
82
BAB III NU, PESANTREN, DAN KULTUR PATERNALISTIK
3.0 Pengantar Nahdlatul Ulama (NU) merupakan oraganisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki pendukung terbesar di Jember yang terdiri dari para ulama/kiai, cendikiawan, para santri, dan kalangan arus bawah (buruh, petani, pedagang, dsb.). Diantara komponen pendukung NU ini, kalangan arus bawah menempati jumlah terbesar―mereka itu sebagian besar tidak terdaftar secara formal pada keanggotaan NU. Namun demikian, mereka (golongan arus bawah) justru termasuk kelompok yang mempunyai fanatisme yang sangat tinggi kepada NU, baik dalam mendukung kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh NU maupun dalam memegang teguh amalan-amalan, ajaran-ajaran syari’at Islam, dan kultur ala NU. Keberadaan masyarakat etnik Madura (EM) yang merupakan etnik mayoritas di Kabupaten Jember, telah membentuk massa pendukung NU terbesar pula. Di kalangan EM fanatisme terhadap agama Islam juga sangat tinggi yang juga tercermin dalam fanatismenya dalam mendukung organisasi NU, yang merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi yang berlandaskan syari’at Islam. Sedangkan penduduk terbesar kedua di kabupaten Jember berlatar belakang etnik Jawa. Dalam Bab III ini, untuk memperjelas keterkaitan antara NU, pesantren, dan kultur paternalistik yang dapat berpengaruh terhadap keunikan bahasa yang 83
digunakan warga NU di Jember, akan dibahas secara rinci topik-topik yang meliputi: 3.1 Sejarah Berdirinya NU dan Keanggotaannya (3.2) NU, Pesantren, dan Kultur Paternalistik; (3.3) Kiai dalam pandangan Warga NU di Jember
3.1 Sejarah Berdirinya NU dan Keanggotaannya Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan kebangkitan nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana, setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dari bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan adhoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Setelah berkoordinasi dengan para kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. "http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul Ulama" (diakses 28 Februari 2007). Di sisi lain, pendorong utama para kiai dan ulama pesantren mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah semakin meningkatnya kesadaran akan 84
pentingnya
kerja
sama
yang
lebih
teratur
diantara
mereka
dalam
memperjuangkan izzul Islam wal muslimin dalam bingkai ahlussunnah waljamaah. Selama ini, kerja sama di antara mereka hanya berlangsung secara kultural, antara lain melalui pertemuan walimah, haul, imtihan, dan lain sebagainya. Ada kalanya juga dikuatkan dengan besanan antarkiai yang membuat mereka semakin kuat hubungannya (Muzadi, 2003) Dorongan kerjasama untuk mendirikan organisasi juga dipicu dengan peristiwa konferesnsi khilafah yang akan diadakan oleh pemerintah Saudi Arabia. Sebab, setelah berakhirnya perang dunia kedua dan kesultanan turki yang diakui sebagai khilafah islamiyah jatuh karena revolusi yang dipimpin oleh Kamal Attarturk. Maka rupanya pemerintah Saudi Arabia berambisi untuk memangku Khilafah Turki itu. Maka dirancanglah Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Makkah dan diundanglah perwakilan-perwakilan negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Di Indonesia sudah terbentuk sebuah komite (panitia) untuk mengirim utusan ke sana. Sudah pula dirancang anggota-anggota delegasi yang antara lain Al-Maghfirah KH. Abd. Wahab Hasbullah yang mencerminkan perwakilan ulama, serta beberapa tokoh lain yang mewakili organisasi-organisasi besar lainnya. Dengan alasan yang kurang maton, rancangan susunan anggota delegasi berubah. KH. Abd. Wahab Hasbullah tidak jadi masuk menjadi anggota delegasi, karena tidak mewakili organisasi apapun. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang sangat meandalam di kalangan ulama. Perubahan yang tidak beralasan ini dianggap suatu penghinaan
terhadap keaberadaan para ulama pesantren di 85
Indonesia yang demikian besar pengaruhnya dan demikian kuat posisinya di kalangan ummat Islam. Padahal, para ulama Ahlussunnah wal jama’ah Indonesia itu mempunyai kepentingan yang lebih besar dari pada urusan khilafah, yaitu menyampaikan uneg-uneg berhubungan dengan beaberapa tindakan pemerintah Saudi Arabia yang melarang dan membid’ahkan beberapa amalan keagamaan, seperti mauludan, tahlilan, diba’an dan lain sebagainya. Lebih dari itu, pemerintah Saudi Arabia bersikap anti madzhab dan mulai melakukan penggusuran petilasan-petilasan sejarah penting Islam, seperti makam-makam, bahkan makam Rasulullah Saw. pun termasuk target penggusuran. Semua dianggap bid’ah yang harus dilarang. Untuk itu, ulama Ahlussunnah wal jama’ah Indonesia yang dipelopori ulama (kiai) pesantren merasa perlu bertemu dengan pemerintah Saudi Arabia. Setelah kemungkinan untuk bergabung dengan delegasi ummat Islam lainnya tertutup para ulama berusaha sendiri dengan kekuatan sendiri untuk mengirim delegasi ulama ahlussunnah wal jamaah Indonesia mengahadap pemerintah Saudi Arabia untuk keperluan hal tersebut. Kemudian dibentuklah Komite Hijaz, yakni sebuah panitia untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan ummat bagi terlaksananya kerja besar ini. Delegasinya hanya KH. Abd. Wahab Hasbullah sendiri dengan didampingi seorang penasehat, yaitu Syekh Ghonaim seorang warga negara Mesir (untuk memperkuat wibawa delegasi). Sekretarisnya diambil dari seorang mahasantri Indonesia yang ada di Saudi Arabia, dan KH. Dachlan Nganjuk. Sebelum berangkat terbersik pikiran untuk mempermanenkan Komite Hijaz`itu menjadi organisasi yang tetap yaitu Nahdlatul Ulama. 86
Nama Nahdlatu Ulama yang berarti kebangkitan ulama sengaja dipilih dengan alasan “bangkit” diharapkan lebih dinamis dari pada sekedar “kumpul” (perkumpulan) saja. Sedang “ulama” dimaksudkan sebagai inti kekuatan jam’iyah ini. Ulama adalah salah satu eksponen atau tokoh masyarakat yang berasal dari para tokoh agama yang notabene berasal dari pesantren. Keistimewaannya karena hubungan antara ulama dengan masyarakat terikat dengan tali kerohanian, bukan kebendaan atau kepentingan semacam kebendaan lainnya. Oleh karena itu, ulama memiliki kedudukan khusus di hati masyarakat (Muzadi, 2003). Mungkin ada pihak yang cemburu dengan kududukan ulama yang lebih tinggi sampai ada yang meramalkan
bahwa kedudukan ulama, nanti secara
khusus bisa diganti oleh tokoh-tokoh lain, seperti cendekiawan, tokoh kampus, dan lain sebagainya. Selama hubungan antara ulama dan masyarakat masih eksis sebagai tali kerohanian, kedudukan khusus itu akan terpelihara. Kecuali, kalau hubungan itu berubah menjadi hubungan kebendaan, kedudukan/jabatan, dan sebagainya, maka kedudukan para ulama akan merosot di mata ummat. Bahkan menurut Allahummmaghfirlahu KH. Achmad Siddiq pernah mengatakan: “Kalau para ulama tidak mampu mengingatkan kualitas diri, maka berangsur-angsur ulama akan ditinggalkan oleh ummat”. (Muzadi, 2003) Setelah terbentuknya organisasi NU, untuk menegaskan prinsip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang 87
dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik (Anam, 1985) Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang―bahkan kini jauh lebih banyak dari perkiraan itu. Mereka memiliki beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesivitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama―selain itu, mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU "http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul_Ulama" (diakses 28 Februari 2007). Didasarkan pada jenis keanggotaan pengikutnya, NU mempunyai dua wajah pertama, wajah jam’iyah (NU jam’iyah) yaitu sebagai oragnisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi moderen, seperti adanya pengurus, ada pengesahan pengurus, ada pemilihan pengurus, ada anggota, ada iuran, ada rapat-rapat resmi, ada keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya, sebgaimana aturan main dalam organisasi pada umumnya; kedua, Wajah Jamaah (NU Jamaah) yaitu, kelompok idiologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan, dan budaya ala NU―bahkan ada diantara mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jamaah yasinan, tahlilan, diba’an, wali murid madrasah NU, jamaah masjid dan mushalla NU. Anehnya mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyah anggota NU. 88
Menilik keanggotaan NU menurut KH. Hasyim Muzadi di atas, dan hasil observasi paartisipasi di lapangan, penulis mengkategorikan warga NU yang didasarkan pada keterlibatannya dalam NU, tingkat intelektualitas/ keterpelajaran dan kepahamannya terhadap oraganisasi Nahdlatul Ulama.
Berdasarkan hal
tersebut warga NU dibagi menjadi 5 lima, yaitu: (1) Para ulama/kiai, baik yang berlatar belakang lulusan pesantren salaf (tradisional) maupun lulusan pesantren khalaf (moderen). Para ulama/kiai ini pada umumnya terlibat secara langsung baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota NU; (2) Para alumni pesantren, yang notabene dikelola secara syar’iyah dan kultural NU. Walaupun mereka belum menyandang predikat sebagai seorang ulama/kiai,
tetapi mereka terlibat langsung dalam kepengurusan dan
keanggotaan NU; (3) Kalangan intelektual dan terpelajar, yang diantara mereka berlatar belakang pernah belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi formal―bahkan selama proses pendidikan sebagian mereka pernah terlibat baik dalam kepengurusan maupun dalam keanggotaan organisasi yang berhaluan NU, seperti Pemuda NU, Pelajar NU, dan PMII. Mereka itu pada umumnya dilahirkan dari keluarga NU. Namun demikian, ada juga pelajar dan mahasiswa yang lahir dari keluarga NU yang mereka justru berorganisasi di luar organisasi yang independen, seperti HMI, GMNI, Mahasiswa PKS, dan sebagainya,
namun
demikian
pilihan
organisasi
keagamaan,
dan
89
sosialkemasyarakatannya tetap NU. Mereka itu juga terlibat langsung dalam kepengurusan maupun keanggotaan NU; (4) Para alumni pesantren dan kalangan intelektual/terpelajar, yang tergabung dalam kelompok pengajian NU (seperti yasinan, tahlilan, dibaan dan sebagainya), tetapi tidak terlibat dalam kepengurusan mapun keanggotaan NU. (5) Warga NU yang sejak turun temurun melakukan amalan yang dicontohkan oleh kiai yang memiliki idiologis kultural dan syar’i ala NU. Mereka itu pada umumnya tidak tahu menahu apalagi memahami eksistensi sebagai warga NU―mereka ketika ditanyakan apakah sebagai warga NU? jawabannya adalah noro’ lampana tor dâbuna kiae „mengikuti jejak dan dawuhnya kiai‟. Bahkan mereka itu sangat patuh dan fanatik mengikuti apa yang menjadi tuntunan para ulama/kiai yang notabene cara beribadah dan kulturnya berhaluan NU tadi. Karena itu, walaupun mereka secara oraganisatoris tidak terlibat secara langsung dalam keanggotaan NU, akan tetapi meraka sangat patuh terhadap kiai dan amalan-amalan yang dinjurkannya seperti, pola ibadahnya yang memakai puji-pujian sebelum sholat, dzikir dengan suara keras yang dilakukan secara bersama-sama setelah sholat, suka berziarah ke makam para wali, dan sebagainya. Mereka juga terlibat dalam jamaah yasinan, diba’an, tahlilan, dan jamaah masjid/mushlla NU. Dengan demikian dapat dipilah-pilah bahwa kelompok warga NU yang berada pada kategori (1) s.d. (3) merupakan potensi NU yang menurut Muzadi dapat digolongkan ke dalam Jam’iyah Nahdlatul Ulama yang dapat kelola 90
menjadi organisasi kader. Sedangkan yang berada pada kelompok (4) dan (5) dapat dikategorikan sebagai Jama’ah NU yang merupakan pendukung massal bagi gagasan, sikap-sikap, langkah-langkah amaliah NU. Walaupun mereka tidak teardaftar sebagai warga Jam’iyah NU―mereka memiliki fanatisme yang luar biasa kepada NU, khususnya yang berada pada kelompok (5). Warga NU (5) ini memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dan jumlahnya paling besar. Mereka memposisikan sebagai ummat NU yang memiliki rasa ta’dzim dan sangat patuh kepada kiai. Berdasarkan peran, ketokohan, dan pengaruhnya dalam NU, warga NU pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua yaitu: (1) Kiai/ulama yang difigurkan sebagai guru karena perannya sebagai pengasuh pesantren, sehingga diposisikan sebagai guru oleh para santrinya baik yang masih berada di pesantren, maupun yang sudah kembali berada di tengah-tengah masyarakat. Kiai pengasuh pesantren tersebut dalam penelitian ini disebut kiai pesantren (KP). Ada pula kiai yang tidak memiliki pesantren, tetapi karena ilmu dan ketinggian akhlaknya sehingga menjadikannya sebagai figur anutan di masyarakat setempat berbasis NU. Kiai ini disebut kiai langghârân (KL); dan (2) Ummat sebagai warga masyarakat yang telah memposisikan diri sebagai santri tentunya dalam tradisi dan syari’at yang telah menjadi kultur dalam NU―harus ta’dzim dan patuh kepada guru yang dalam hal ini disebut dengan ulama/kiai. Hal tersebut, seiring dengan pendapat Muzadi (2003) Bahwa jam’iyah NU dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya (ummatnya). Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti 91
NU hanya beranggotakan ulama, tetapi maksudnya para ulama memiliki kedudukan istimewa di dalam NU, karena para ulama adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris mutlak penting adanya. Tentu kualitas keulamaan dalam NU harus lebih terseleksi dari pada yang lain (ummat). Ada kriteria dan persyaratan tertentu yang ketat untuk menjadi ulama NU. Ulama NU harus memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku, dan akhlaqul karimah, sehingga patut menjadi panutan ummat dan tidak manutan kepada pihak lain. Pendapat ini menegaskan bahwa di dalam NU memang ada paradigma dua kelompok yang berbeda yakni ulama/kiai yang patut dijadikan panutan ummat dan ummat sebagai orang yang manut (patuh) kepada ulama. Didasarkan pada asal-muasal berdirinya sebagaimana dipaparkan di atas, warga NU memiliki aspek kultur dan pandangannya yang sama terhadap syari‟at Islam yang berwawasan Ahlussunnah Waljama’ah. NU yang dilahirkan dari masyarakat pesantren, merupakan organisasi yang mengakomodasi tradisi-trsidisi yang sudah lama hidup di masyarakat dengan tetap memperhatikan dan mengacu kepada nilai-nilai syari’at Islam. Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Sehingga, kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat ini di sektor buruh di perkotaan juga cukup dominan. Demikian juga dengan
92
terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
3.2 NU, Pesantren, dan Kultur Patternalistik Mula-mula warga NU sebagian besar dilahirkan dari embrio kehidupan pesantren salaf dengan kultur paternalistik yang sudah mengakar. Yang dimaksud pesantren salaf disini adalah pesantren yang memfokuskan pengkajiannya hanya pada ilmu-ilmu keagamaan (diniyah) yang dikelola secara tradisional. Kini dengan akses teknologi dan informasi yang semakin canggih banyak pesantren salaf yang sudah dikelola dengan media moderen, namun menejemen tradisional sulit ditinggalkan. Sedangkan kultur paternalistik adalah kepatuhan santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus menerus baik selama di pesantren, maupun setelah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Karena itu, kehidupan tradisi dan budaya masyarakat NU cenderung mengikuti pola tradisi dan budaya pesantren. Ketika berbicara tentang keunikan warga NU sulit untuk dipisahkan dari kehidupan tradisi dan kultur pesantren. Dunia pesantren adalah dunia yang sebagian besar isinya terkait dengan masalah konvensi dan tradisi yang melibatkan komunitas muslim tradisional yang sebagian besar hidup di alam pedesaan. Pesantren dikenal sebagai institusi yang memiliki budaya sendiri, yakni budaya masyarakat pesantren yang mencerminkan budaya khas masyarakat tradisional pedesaan. Pondok dan asrama adalah komponen yang membentuk 93
santri menjadi insan mandiri, karena di tempat itulah mereka belajar agama dan kemudian mengajar serta memproduksi kitab-kitab keagamaan atau kitab-kitab lain yang bernuansa keagamaan (Sutarto: 2002). Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyah NU, maka semestinya, segala kegiatan mereka disalurkan melalui jalur NU. Tetapi kenyataanya berbeda, para ulama pesantren masih memiliki dan berpegang kepada kemandirian masing-masing, terutama dalam mengelola basis sosialnya (para santri dan keluarga serta para murid dari santri). Ini mungkin juga penyebabnya adalah campur tangan atau koordinasi yang dapat dilakukan oleh NU masih sangat kecil. Uniknya, basis sosial para ulama tersebut sangat fanatik kepada NU, sanggup berjuang membela mati-matian ajaran NU seperti tahlil, talqin, diba’an, dan sebaginya. Kenyataan membuktikan bahwa hampir 100 % alumni pesantren menjadi warga NU, meskipun tidak ada nama pesantren yang menggunakan nama NU dan tidak diberikan pelajaran tentang ke-NU-an. Sepertinya mereka menjadi NU secara alamiah, maka jangan heran kalau NU-nya juga selalu alamiah (Muzadi, 2003). NU merupakan organisasi kemasyarakatan yang memiliki anggota terbesar di Kabupaten Jember. Organisasi NU lahir dari embrio pondok pesantren yang sebagian besar berdiri di pedesaan. Inilah yang membedakan NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dengan organisasi kemasyarakatan lainnya, yang biasanya organisasinya dulu berdiri, baru kemudian mendirikan pesantren. Sebagaimana dikatakan seorang pengurus NU Cabang Jember K.H. Misrawi, bahwa NU memang berbeda dengan organisasi lainnya, karena NU lahir dari pesantren, sehingga tradisi dan budaya NU tidak terlepas dari budaya dan tradisi pesantren. 94
(Hasil wawancara tangal 03 Nopember 2010, Jam 19.00 WIB.) Data tersebut mengindikasikan bahwa tradisi dan budaya warga NU merupakan implementasi tradisi dan budaya masyarakat pesantren. Oleh karena itu, warga NU yang dilahirkan dari embrio kehidupan pesantren, memiliki kultur paternalistik yang sudah mengakar di kalangan warga NU. Warga NU yang jumlahnya cukup besar memilki tradisi dan budaya yang sangat unik, khususnya yang berlatar belakang etnik Madura. Sebagaimana pendapat Sutarto (2005), NU dikenal sebagai kekuatan Islam yang sangat menghormati tradisi dan budaya lokal, bahkan ada yang menyebut NU sebagai kelompok Islam tradisional, Islam kultural, kelompok sarungan, dan entah apa lagi. Mereka (warga NU) hidup di tengah perpaduan antara tradisi dan syari’at Islam. Karena itu penggunaan bahasa yang diperagakan warga NU di Jember dalam berkomunikasi sebagai cerminan ciri khas yang merupakan perpaduan tradisi dan kultur NU, etnik Madura, dan nilai-nilai syari’at Islam.
3.3 Kiai dalam Pandangan Warga NU di Jember Dalam komunitas NU, kiai merupakan kelompok elit yang memiliki kedudukan dan status sosial paling tinggi dalam struktur kehidupan sosial, politik, dan pendidikan. Sebagai pemuka sekaligus tokoh masyarakat, kiai memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan sosial politik dalam masyarakat NU khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Kiai dan keluarga 95
kiai dipandang sebagai guru yang harus dita’dzimkan, sedangkan ummat sebagai santri yang harus menta’dzimkan kiai dan keluarganya sebagai guru. Nahdlatu Ulama (NU) merupakan organisasi yang mula-mula didirikan oleh para ulama pengasuh pesantren yang sudah tentu di dalamnya adalah kumpulan-kumpulan ulama yang dalam tradisi NU identik dengan kumpulankumpulan kiai. Kiai memiliki status sosial, dan pengaruh yang berbeda-beda di masyarakat NU yang didasarkan pada latar belakang bagaimana predikat tersebut diperoleh. Karena itu, kiai dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, Kiai yang memiliki karisme keturunan. Pemimipin tertinggi dalam pondok pesantren adalah kiai yang berwibawa, yang mengatur bukan karena kekuasaan, tapi karena hubungan bathin antara yang memimpin (kiai) dengan yang dipimpin (santri). Kharisme yang lahir dari kiai bukan berdasarkan SK (Surat Keputusan), tetapi karena memang watak dan pembawaan (Nasir, 2003). Kharisma kiai juga tidak terlepas dari kharisme turun–temurun, artinya kharisme yang diturunkan oleh para pendahulunya. Ketika seorang istri kyai (nyai) melahirkan anak, maka anak tersebut langsung menyandang gelar, kalau dia laki-laki dipanggil lora (gus: Jawa), sedangkan kalau perempuan mendapat sebutan nyai (neng: Jawa). Menyangkut karisme keturunan ada juga santri yang karena ketinggian ilmunya kemudian dijadikan anak manantu kiai, maka dia juga akan menyandang sebutan kiai, jika sudah mendapat pelimpahan sebagai pengasuh pesantren. Kedua, Kiai yang memiliki karisma karena ke’aliman dan ketinggian akhlaknya. Kiai kategori ini berasal dari keluarga NU bukan keturunan kiai, 96
namun karena kealimannnya (penguasaannya terhadap ilmu syar’i yang amat tinggi) disertai dengan ketinggian akhlaknya, sehingga dia pantas menjadi panutan di masyarakat. Orang yang seperti ini, biasanya mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk dititipi putra-putrinya belajar agama. Karena itu dia memiliki kesempatan untuk menjadi pengasuh pesantren. Dengan perannya tersebut, maka menjadi layak dalam norma masyarakat NU mendapat sebutan kiai. Sebagai santri maupun alumni sebelum dia mendapat predikat sebagai kiai, biasanya mendapat sebutan bindhârâh. Ketiga, Kiai yang memiliki karisme keturunan kiai, tapi bukan pengasuh pesantren. Ada seorang kiai yang berasal dari keturunan kiai tapi tidak memiliki bakat menjadi pengasuh pesantren. Hal ini bisa dipengaruhi banyak faktor, bisa saja memang dia kurang percaya diri karena keterbatasan ilmunya, atau tidak mendapat kesempatan disebabkan sepeninggal pendahulunya pesantrennya tidak lagi ada santrinya. Namun demikian, karena jasa-jasa pendahulunya sebagai sumber ilmu dan keteladanan tetap mendapat sebutan kiai. Bahkan sebagaimana disebutkan di atas bahwa semenjak dilahirkan sampai pada usia muda sudah mendapat sebutan lora. Kiai yang berada pada posisi pertama, kedua, dan ketiga tersebut, dikategorikan sebagai kiai pesantren (KP). Keempat, Kiai bukan keturunan kiai dan bukan pengasuh pesantren. Kiai kategori ini berasal dari keluarga warga NU, bukan keturunan kiai, tapi karena memiliki ilmu agama yang memadai sebagai tempat bertanya di masyarakat biasanya memiliki langgar (mushalla) untuk tempat mengaji santri colokan 97
(santri yang datang untuk mengaji, tapi tidak menginap). Karenanya, di masyarakat mendapat julukan kiai langghârân (KL). Kalau dia kiprahnya amat penting dan mempunyai akhlak yang sesuai dengan kemampuan ilmunya dan berkenan di hati masyarakat, maka dia akan mendapat sebutan kiai, atau paling tidak bindhârâh. Masyarakat EM yang merupakan pendukung NU terbesar di Jember, yang pada umumnya mempunyai nilai-nilai religius yang sangat tinggi. Karena itu, tokoh agama seperti kiai, lora/gus, dan bindârâh lebih menjadi pola anutan ketimbang tokoh pemerintahan seperti, Kepala Dusun, Kepala Desa dan Camat sekalipun. Keprcayaaan itulah yang kemudian semua masalah keluarga dan masyarakat yang sulit dipecahkan diserahkan kepada kiai untuk dicari solusinya―baik masalah ekonomi, pendidikan, sosial budaya, maupun politik. Suatu contoh, ketika pemerintah menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) di kalangan EM, maka yang dijadikan ujung tombak adalah kiai―dan kenyataannya program tersebut berhasil. Begitu juga masalah yang sangat pribadi dan prinsip sekalipun, misalnya masalah perjodohan dan masalah keluarga, kiai merupakan orang yang dianggap paling tepat untuk diajak musyawarah dan sebagai tumpuan petanyaan―sehingga tidak jarang permasalahan yang berkaitan dengan harga diripun diserahkan kepada kiai. Menurut Niehof (1988) yang dikutip oleh Affandi (1998) bahwa di wilayah-wilayah pedesaan Madura para pemimpin informal adalah hampir selalu pemimpin agama yaitu guru muslim atau kiai.
98
Sebagaimana disinggung pada halaman terdahulu bahwa warga NU di Jember sebagian besar berlatar belakang EM. Dalam budaya Madura yang tercermin dalam kearifan lokalnya menganjurkan bahkan mengharuskan adanya kepatuhan terhadap kedua orang tua (bhuppa, bhabu’), guru (ghuru), dan pemimpin (rato). Sebagai pengasuh pesantren, kiai telah menjadi orang tua santri selama berada di pesantren dan bahkan juga dianggap sebagai orang tua, setelah mereka kembali pulang di masyarakat. Hal ini terbukti dari para alumni yang setiap saat sering nyabis―bahkan mereka rela mengorbankan kepentingan diri dan keluarganya, jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh kiai/nyai. Sebagai ulama yang tugasnya mentransfer ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu tèngka sepatutnya kiai mendapat predikat sebagai guru. Sebagai tokoh yang dianut dan dipatuhi di masyarakat, kiai patut mendapatkan julukun pemimpin―kepatuhan WNUEM terhadap guru melebihi kepatuhan kepada pemimpin formal, seperti kepala desa maupun camat, bahkan pemimpin-pemimpin yang lain. Kearifan lokal Madura yang menganjurkan adanya kepatuhan dan rasa hormat tercermin dalam ungkapan Bhuppa’ Bhâbhu’, Ghuru, Rato. Bhuppa’–Bhâbhu’, sesuai dengan masa-masa jenjang generasi muda, bhuppa’ bhâbhu’ yang berperan sebagai pembaptis terhadap kepatuhan dan ketaatan, tanpa reserve terhadap orang tua. Dengan posisi seperti itu, bhuppa’ bhâbhu’ tidak akan lagi sebagai pembaptis atau pembesar dalam rumah tangga yang perintahnya harus selalu ditaati tanpa reserve, melainkan menjadi pengayom dini bagi putera-puteri dan seluruh anggota keluarganya, serta menghindarkan perasaan anak sebagai anak pembantu rumah tangga (baby sitter). Dengan 99
perubahan sistem tersebut, orang tua
dituntut membekali dirinya
dengan
keilmuan dalam pendidikan anak. Orang tua harus meninggalkan karakter pembesar dalam rumah tangga. Dalam Al Qur‟an banyak ayat yang menyuruh anak berbakti kepada orang tuanya, seperti: “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat kebaikan kepada kedua ibu bapaknya…“Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik–baiknya.” Ghuru (guru), ghuru sangat terkait dengan pendidikan. Jabaran klasik mengatakan bahwa ghuru merupakan figur yang harus digugu dan ditiru. Penjelasan ini berasal dari zaman Hindu yang diambil alih oleh islam di Madura. Pada masa klasik, sang cantrik (murid) duduk bersila, patuh, diam dalam mendengarkan wejangan (pelajaran) pandita (ghuru). Wejangan pandita tak ubahnya seperti sabda raja, bertuah merupakan sabda pendita ratu yang benar dan tak perlu dikaji ulang dan ditafsirkan. Kewajiban cantrik cuma mengingat dan melaksanakan ajaran tersebut. Dalam keadaan seperti itu masyarakat Madura dalam waktu yang lama benar–benar patuh dan taat kepada ghuru. Semua apa yang berasal dari ghuru harus dihormat, bahkan ludah ghuru sekalipun diyakini akan memberi kualat bila dipijaknya. Apabila ghuru pergi ke suatu perhelatan selalu diringi oleh banyak santrinya. Mereka bukan hanya berfungsi sebagai pengiring saja, namun juga sebagai penjaga keselamatan ghuru selama diperjalanan. 100
Akhir–akhir ini sudah jarang kiai terlihat diiringi oleh santrinya ketika menghadiri kenduri atau sebangsanya. Hal ini bukan berarti martabat ghuru (kiai) telah turun dipandangan santrinya, melainkan karena tidak mungkin santri selalu mengiringi ghuru. Satu sebab yang utama karena saat ini ghuru bila ke tempat perjamuan sudah tidak berjalan kaki seperti dahulu, melainkan menggunakan motor atau mobil. Menurut K.H. Tidjani Djauhari simbol keagamaan yang sering digunakan adalah kiai yang bukan hanya sebagai pemuka agama, tetapi juga informal leader bagi masyarakatnya. Kepemimpinan seorang kiai yang begitu dominan menempatkan lembaga pendidikan pesantren atau madrasah yang di pimpinnya pada suatu posisi yang menentukan dalam masyarakat dan berperan aktif dalam pembangunan. Jelas peran ghuru (kiai) seperti yang diutarakan di atas, sudah merupakan revolusi yang dilakukan oleh ghuru sendiri. Melihat peran ghuru dari masa ke masa, perlu dicermati ketelatenan, kesabaran, dan ketaatan pada waktu yang telah disediakan kepadanya untuk memberi wejangan, yang kesemuannya telah dilaksanakan dengan teratur dan konsekuen. Dalam revolusi pendidikan sebagai mana disebutkan di atas, ghuru sebut saja guru, dosen, tutor, pelatih atau lainnya yang statusnya mengajar, selain beliau ini, orang Madura serukan pula peningkatan kesadaran kepada masyarakat yang merupakan “sumber anak didik”. Namun dari pihak guru seyogiannyalah menyadari keberadaan tanggung jawabnya, sehingga anak didik tidak merasa kehilangan pembimbing. Untuk revolusi yang akan merubah total sebuah sistem tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kiranya tidak cukup sekalipun anggaran pendidikan dinaikkan seperti yang diminta. Kesadaran pendidik dan peserta didik merupakan kontribusi yang sangat besar dalam memajukan pendidikan. Satu hal 101
yang perlu diingat, jangan sampai ada guru/dosen hanya kenal nama siswa tanpa mengetahui siapa yang mempunyai nama tersebut (karena jarang datang mengajar). Demikian pula sebaliknya jangan sampai ada siswa/mahasiswa hanya kenal nama guru/dosen bersangkutan tetapi tidak mengetahui beliau yang punya nama tersebut, karena sering absen. Dengan kata lain proses belajar mengajar harus dipenuhi dengan disiplin. Di sisi lain revolusi dimaksud masih akan terhadang oleh kurikulum atau silabi yang telah dianut oleh lembaga pendidikan di Madura. Namun, orang Madura sudah harus bersyukur karena pesantren yang dulunya hanya menggunakan kurikulum lokal kini sudah setara dengan tingkatan pendidikan umum, bahkan pesantren telah banyak yang menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi yang berkualitas dalam rangka menjadikan IPTEK masuk pesantren. Jauh sebelum itu, leluhur Madura telah mendatangkan tembang dalam macopat tentang ilmu pengetahuan antara sebagai berikut : Maghatro: Èmodhâ, mon rajhâbrâna ka’ dinto, najjhân ta’ onèng aghuli, nangèng èbhâsa ka’dinto, èngghi kobâsa manghuli, orèng sadhunnya bunèbun. (ingatlah bahwa ilmu pengetahuan, walau tidak bisa bergerak, cuma tetaplah diingat, ialah suatu kekuatan yang ada padanya bisa menggerakkan ribuan orang di dunia.) „ingatlah bahwa ilmu pengetahuan tersebut besar manfaatnya, sebab dengan ilmu pengetahuan orang yang ribuan jumlahnya bisa berkiprah sesuai dengan yang dikehendakinya. dalam hal ilmu pengetahuan ini orang Madura tidak akan pernah melupakan ghuru sebagai penyebar ilmu pengetahuan. Sebagai kata penutup guru bagi generaasi Madura tidak lain merupakan pembimbing untuk menjadi manusia intelektual.‟ Rato sebagai figur terakhir dalam ajaran Bhuppa’Bhabhu’ Ghuru Rato adalah rato (pemerintah). Pada masa lalu, sebelum Indonesia merdeka, rato ini 102
sangat berperan dalam kehidupan masyarakat Madura. Pengabdian orang Madura terhadap rato ini sekental pengabdian mereka terhadap bhuppa’ bhabhu’ dan ghuru. Apabila ajaran Bhuppa’ bhâbhu’ ghuru rato
terkait pula dengan
pendidikan, maka jelas falsafah ini termasuk yang akan mengalami revolusi, dibongkar diubah total, tetapi tidak akan menghilangkan semanghat tradisional dari falsafah ini yang telah memberi jati diri orang Madura dari generasi ke generasi dalam kurun waktu yang panjang hingga saat ini. Jati diri khas Madura dalam “menghormati yang lebih tua dan orangtua., menghormati yang lebih tinggi statusnya” dalam masyarakat
serta menghormati
yang lebih tinggi
ilmunya. Dengan kata lain apabila terpikir bahwa falsafah bhuppa’bhâbhu’ ghuru rato tersebut merupakan sebuah sistem kenyataan telah berlangsung
ajaran bagi generasi Madura,
dan
ratusan tahun, maka revolusi yang akan
dikumandangkan kiranya tepat bila orang Madura mengarahkan falsafah tua tersebut telah menjadikan orang Madura yes man dalam makna sebagai “Pak Turut”. Karena itu orang Madura merubah sedemikian rupa tanpa menghilangkan karakter ke-Maduraannya. Jika dikaitkan dengan perannya sebagai orang tua (Bhuppa’ Bhâbhu’), guru (ghuru), pemimpin di masyarakat (rato), dalam budaya Madura, kiai amat sangat patut dimulyakan. Karena itu, santri/ummat kepada kiai menggunakan bhâsa alos (BAl) dan tingkat tutur yang paling tinggi sebagai bentuk penta’dziman.
103
BAB IV SITUASI KEPENDUDUKAN DAN KEBAHASAAN DI JEMBER
4.0 Pengantar Kabupaten Jember marupakan salah satu daerah multikultural yang berada di daerah tapal kuda (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Banyuwangi, dan Bondowoso). Hal itu terjadi, karena Jember dihuni oleh berbagai etnik―namun etnik yang paling banyak jumlahnya adalah etnik Madura (EM), kemudian disusul etnik Jawa (EJ). Menurut (Rochiyati, 2009) secara geografis kabupaten Jember dibagi menjadi tiga wilayah kebahasaan, yaitu Kabupaten Jember bagian utara didiami EM, bagian selatan didiami EJ, dan bagian tengah (wilayah kota) didiami etnik campuran yaitu EM dan EJ. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat Kabupaten Jember dapat digolongkan pada masyarakat diwibahasawan (bilingual), bahkan multibahasawan (multilingual). Secara historis, pada mulanya komunitas EM di Jember merupakan komunitas monolingual, artinya mereka hanya menguasai dan menggunakan satu bahasa sebagai sarana interaksi sosial, yaitu bahasa Madura (BM). Sebagian besar penduduk EM di Jember menguasai dan menggunakan BM sebagai sarana komunikasi intraetnik. Sebagai masyarakat bilingual atau bahkan multilingual tidak terlapas dari adanya kontak bahasa diantara bahasa-bahasa itu, sehingga bahasa yang satu mempengaruhi bahasa yang lain. Karena EM sangat dominan, maka bahasa dan kultur Madura juga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya situasi kebahasaan di Jember. Oleh karena itu, dalam konteks penggunaan bahasa 105
untuk mencapai tujuan tuturan tertentu, BM sering muncul baik sebagai alat untuk memperjelas tuturan, maupun sebagai alat untuk berkelakar mencairkan suasana dalam komunikasi yang mungkin sudah mulai jenuh, seperti data berikut: Allah Swt. Tidak suka pada orang yang sombong, jangan ko’masèngko’, thaq masèthaq, dim-makodim. ‘Allah Swt. Tidak menyukai orang yang sombong, karena itu hidup ini jangan merasa dirinya besar, angkuh, sok kuat’ Tuturan di atas diungkapkan oleh seorang ustadz NU yang sedang memberi santapan rohani pada jamaah yasinan di daerah perkotaan yang partisipan tuturnya terdiri dari etnik Jawa dan Madura. ko’masèngko’, thaq masèthaq, dim-makodim
Kosa kata Madura
yang bermakna ‘merasa dirinya
besar, angkuh, sok kuat’ digunakan sebagai kalimat penegasan terhadap kata sombong. Kosa kata tersebut berfungsi sebagai strategi komunikasi dan untuk mencairkan suasana jamaah yang sudah mulai ngantuk dan konsentrasinya mulai turun. Dengan alih kode tutur dari bahasa Indonesia ke bahasa Madura Jemberan yang dianggap sebagai kosa kata yang lucu, dapat membuat partisipan tutur tertawa terbahak-bahak dan tujuan tutur yang intinya melarang agar seseorang di dalam hidup tidak boleh menyombongkan diri, dapat dipahami dengan baik. Berdasarkan fenomena pada data tersebut, dapat diasumsikan bahwa BM lebih dominan digunakan oleh masyarakat Jember. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dipaparkan secara rinci situasi kependudukan dan kebahasaan di Jember. Deskripsi berkaitan dengan situasi kependudukan dan kebahasaan di Jember didasarkan pada hasil penelitian, artikel-artikel ilmiah, dan hasil observasi di lapangan. Adapun subbab yang akan dibahas dalam Bab IV ini adalah sebagai 106
barikut: (4.1) Situasi Kependudukan di Jember; (4.2) Situasi Kebahasaan di Jember; (4.3) Penggunaan BM oleh warga NU di Jember.
4.1 Situasi Kependudukan di Jember Orang Madura (OM) atau juga dikenal sebagai etnik Madura (EM) adalah kelompok etnik yang berasal dari pulau Madura, tetapi sekarang ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Ciri-ciri umum OM yang paling penting di seluruh nusantara adalah pemeluk agama Islam fanatik dan pengguna BM. EM adalah etnik religius muslim yang sebagian besar fanatik terhadap Nahdlatul Ulama sebagai organisasi muslim moderat di Indonesia. Pesantren memiliki peran penting dalam kehidupan EM. Sementara OM memiliki akar di Madura, di lepas pantai timur laut Jawa, kini mayoritas OM tidak tinggal di pulau itu. Orang-orang Madura bermigrasi ke luar dari pulau Madura selama beberapa ratus tahun yang lalu. Sebagian besar didorong oleh sumber daya pertanian yang kurang mendukung perekonomian di pulau asal mereka. Mayoritas telah menetap di Jawa, di mana diperkirakan enam juta OM menetap terutama di Jawa Timur, dimana mereka membentuk sekitar lebih dari setengah populasi penduduk Jawa Timur. Sudah sejak lama EM diasosiasikan dengan atribut kemiskinan dan keterbelakangan (Wiyata, 1990: 2002). Atribut itu diperoleh karena kondisi alam Madura yang gersang dan tandus, sehingga daya dukung alam terhadap penduduk tidak memadai, khususnya sektor pertanian. Tekanan ekonomi yang berat memaksa EM pergi merantau ke daerah lain dalam rangka mencari penghidupan 107
yang lebih layak dan lebih baik. Wilayah perantauan OM memang sangat luas, tetapi daerah ‘tapal kuda’ Jawa Timur yang meliputi Pasuruan, Probolinngo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi, merupakan daerah rantau yang paling penting pada masa lalu. Karena itu, dapat dimengerti bila sekarang ini daerah tersebut mayoritas dihuni penduduk beretnik Madura (Siswanto, at al, 1983: 33-37). Cikal bakal masyarakat EM di wilayah Jember adalah para emigran yang bekerja di Afdeling perkebunan milik maskapai Belanda. Menurut Arifin (1990), Nugroho (2000) pada tahun 1860 pemerintah kolonial Belanda membuka lahan perkebunan pertama di daerah Jember dengan nama NV. Landbouw Maatcappij Oud Djember (LMOD), yang dipimpin oleh seorang administrator yang bernama George Bernie. Pada umumnya pendatang baru yang berasal dari EM, semula berasal dari golongan kelas bawah. Hal ini terindikasi dari tujuan mereka datang ke Jember yakni, untuk bekerja menjadi buruh kasar di lahan perkebunan tersebut (Haryono, 2008).
Dengan kegigihan dan keuletannya, kini EM berada di
berbagai lapisan, yakni dari kalangan masyarakat arus bawah hingga mencapai posisi pejabat-pejabat teras. Para kiai dan ulama juga sebagaian besar beralatar belakang EM. Seiring dengan terjadinya migran yang berasal dari EM dan etnik lain telah membentuk kelompok masyarakat multietnik di Jember. Data kependudukan hasil sensus yang dilaksanakan oleh pemerintah VOC tahun 1930 menunjukkan bahwa Jember merupakan daerah yang dihuni oleh banyak etnik (multy ethnic) dengan perolehan data sebagai berikut: 108
Tabel 4.1: Presentase Jumlah Etnik di Jember Regency Distric Javanese Madurese
Using
Other
Jember
Tanggul 34,5 63,1 2,4 Puger 75,1 24,3 0,6 Wuluhan 73,5 22,8 2,8 0,9 Rambipuji 36,6 61,1 1,6 0,7 Jember 11,4 80,3 8,1 0,2 Mayang 4,7 93,2 1,7 0,4 Kalisat 2,4 95,7 1,6 0,3 Jumlah 7 238,2 440,5 15,8 5,5 Rata-rata Persentase 34,02 62,92 2,25 0,78 Dikutip dari: Volkstellung 1930, Vol.III: Inheemse Bevolking Van Oost Java (Batavia Landsdrukkerij, 1934, dalam Nawiyanto, 2003). Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa EM merupakan penduduk mayoritas yakni mencapai 62,92 % dari seluruh jumlah penduduk yang kini menyebar di 32 Kecamatan di Kabupaten Jember, disusul EJ 34,02 %, etnik Using 2,25 % dan etnik-etnik yang lain hanya mencapai 0,78 % . Kondisi tersebut masih eksis sampai sekarang―9 wilayah Kecamatan yang berada di daerah Jember bagian selatan (Jombang, Kencong, Puger, Gumuk Mas, Balung, Wuluhan, Ambulu, Semboro, dan Umbulsari) dihuni oleh mayoritas EJ, daerah Jember kota (Kecamatan Kaliwates, Patrang, Sumbersari) dihuni oleh masyarakat campuran walaupun dari segi jumlah masih didominasi oleh EM, sedangkan 19 wilayah Kecamatan yang berada di daerah Jember bagian utara ke timur (Sumberbaru, Tanggul, Bangsalsari, Rambipuji, Sukorambi, Panti, Pakusari, Jenggawah, Ajung, Tempurejo, Mumbulsari, Mayang, Arjasa, Jelbuk, Kalisat, Silo, Ledokombo, Sukowono, dan Sumberjambe) termasuk daerah-daerah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat EM. Jika dipersentasekan 19 wilayah kecamatan yang dihuni oleh mayoritas EM dari 33 kecamatan dikurangi 3 Kecamatan wilayah kota, EM di Kabupaten Jember mencapai 63,33 %. Ini menunjukkan bahwa 109
sampai kini warga EM di Jember masih tetap mayoritas. Bahkan daerah-daerah di 9 wilayah kecamatan yang berada di wilayah selatan khususnya di daerah pesisir Watuulo Ambulu, Puger, dan Paseban Kencong juga dihuni oleh sebagian besar EM. Masing-masing kelompok etnik sudah tentu membawa serta bahasa dan budaya nenek moyang mereka. Akibatnya, kelompok mayoritas berhasil mewarnai bahasa dan budaya kelompok etnik yang lain. Apalagi kelompok EM di Jember yang cenderung menguasai daerah-daerah
pesisir, perdagangan, dan
daerah perkotaan yang tingkat interaksi sosialnya sangat tinggi tentu berpeluang mempengaruhi bahasa dan budaya masyarakat etnik yang lain. Walaupun memang bisa terjadi akulturasi budaya yang dalam bahasa Jember disebut dengan bahasa Jemberan atau ada yang menyebutnya bahasa dan budaya pendalungan.
4.2 Situsi Kebahasaan di Jember BM adalah bahasa daerah yang digunakan oleh EM sebagai alat komunikasi sehari-hari yang merupakan salah satu produk budaya daerah yang memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia. BM memiliki jumlah penutur yang cukup besar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat eksistensi masyarakat EM di berbagai daerah di Indonesia yang tetap menggunakan BM sebagai alat komunikasi intraetnik. Kesusastraan Madura baik lisan maupun tulis, dengan sarana BM masih hidup dan terpelihara dalam masyarakat EM. Oleh karena jumlah penuturnya yang begitu banyak dan didukung oleh eksistensi tradisi sastranya, BM dipilah menjadi bahasa daerah yang besar. Karena itu, perumusan 110
kedudukan bahasa daerah tahun 1976 di Yogyakarta mengkalisifikasikan BM sebagai bahasa daerah yang besar (Sofyan, & Wibisono, 2004). Sebagai bahasa daerah, BM mempunyai tiga fungsi seperti yang disebutkan dalam Halim (ed.) (1976), yakni sebagai: (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. UUD 1945, Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa bahasa daerah adalah salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara. Karena itu, BM yang dinyatakan berkedudukan sebagai bahasa daerah didasarkan pada kenyataan tersebut. Kini BM masih dipakai sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat EM, baik dipulau Madura maupun di tempat-tempat lain di luar pulau Madura. Wilayah penggunaan BM meliputi pulau-pulau di sekitar pulau Madura, yakni pulau Sapudi, Raas, Kambing, Kangean, dan pulau lain di sekitarnya. Pulau-pulau tersebut mayoritas dihuni oleh masyarakat EM. Di Luar pulau-pulau tersebut, EM juga masih menggunakan BM sebagai sarana komunikasi, utamanya dalam komunikasi intraetnik Madura. Di Pulau Jawa, EM perantau banyak dijumpai tinggal dan menetap di wilayah Kabupaten Gresik, Surabaya, Pasuruan (di Tosari), Probolinggo, (di Lumbang, sapikerep), Bondowoso, Jember, Lumajang, dan Banyuwangi. Di wilayah pantai Jawa Timur mulai dari gresik sampai Banyuwangi sebagian besar penduduknya adalah Masyarakat EM. BM yang digunakan oleh pemiliknya, yakni masyarakat EM, merupakan salah satu dari sekian bahasa daerah yang ada di Indonesia. Kedudukan BM sama 111
dengan kedudukan bahasa-bahasa daerah yang lain, seperti bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Batak, dan sebagainya. BM adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi interetnik Madura dalam kehidupan sehari-hari. Di wilayah Jember utara BM digunakan dalam ranah keluarga, obrolan dalam kegiatan sehari-hari, dan acara-acara resmi keagamaan, seperti selamatan, tahlilan, diba’an, arisan-arisan, serah-serahan dalam
pertunagan, pernikahan,
dan acara-acara resmi lainnya yang melibatkan sebagaian besar EM. Rochiyati (2008) mengemukakan bahwa salah satu indikator penting dalam pemeliharaan BM adalah penggunaan BM oleh keluarga muda, karena mereka merupakan generasi penerus pengganti para orang tua yang merupakan salah satu penentu masa depan eksistensi kebahasaan BM. Penggunaan BM pada keluarga muda EM di Kabupaten Jember mencakup dua wilayah, yaitu daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Status sosial penutur dipilah menjadi status sosial tinggi, menengah, dan rendah. Yang diklasifikasikan pada status sosial tinggi adalah pegawai, status sosial menengah adalah pedagang, dan status sosial rendah adalah petani dan buruh. Sementara itu, penggunaan BM diklasifikasi: (1) tingkat penguasaan, (2) penggunaan BM dalam ranah keluarga, dan (3) sikap terhadap BM. Tingkat penguasaan BM meliputi lima kategori, yakni sangat menguasai (SM), menguasai (M) menguasai sedikit-sedikit (MSS) tidak menguasai (TM), dan tidak menguasai sama sekali (TMS). Adapun deskripsi mencakup baik keluarga muda EM yang berada di desa maupun yang berada di kota. Diskripsi juga menyangkut status sosial yang ditentukan, yaitu pegawai, pedagang, dan 112
petani/buruh. Hasil identifiksi dan penghitungan tingkat penguasaan BM dikemukakan pada tabel berikut: Tabel 4.2: Tingkat Penguasaan Bahasa Madura Keluarga Muda No Status Tingkat Penguasaan . Sosial SM M MSS TM TMS Jumlah K D K D K D K D K D K D 1. Pegawai 14 26 26 48 32 26 28 0 0 0 100 100 2. Pedagang 20 38 54 44 26 18 0 0 0 0 100 100 3. Petani/Buruh 42 60 46 30 12 10 0 0 0 0 100 100 Jumlah 25,3 41,3 42 40,7 23,3 18 9,4 0 0 0 100 100 Rata-rata Jumlah 33,3 Rata-rata 41,35 20,65 4,7 0 100 Di Kab. Jember Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis Tabel 4.2 menunjukkan bahwa tingkat penguasaan BM keluarga muda EM baik di desa, maupun di kota dengan kriteria sangat menguasai (SM) didominasi oleh golongan para petani/buruh, yaitu di wilayah perkotaan mencapai 42 % dan di wilayah pedesaan mencapai 60 %. Pada kriteria menguasai (M), di wilayah perkotaan didominasi oleh golongan pedagang yakni mencapai 54 %, sedangkan di desa didominasi oleh golongan pegawai mencapai 48 %. Kategori menguasai sedikit-sedikit (MSS), baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan sama-sama berada pada golongan pegawai, yakni pegawai di wilayah perkotaan mencapai 32 % dan pegawai di wilayah desa mencapai 26 %. Kriteria menguasai sedikit-sedikit (MSS) hanya berada pada kuantitas yang sangat kecil berada pada golongan petani, yakni 12 % di wilayah perkotaan, dan 26 % di wilayah pedesaan. Adapun kriteria tidak menguasai (TM), hanya terjadi pada keluarga muda EM di wilayah kota dan secara khusus hanya terjadi pada golongan pegawai, yaitu hanya
113
mencapai jumlah 28 %. Sedangkan untuk kategori tidak menguasai sama sekali (TMS) tidak terdapat sama sekali. Berdasrkan data tersebut, dapat disarikan bahwa tingkat penguasaan keluarga muda EM di Kabupaten Jember, berada pada tingkat menguasai (41,35%) dan sangat menguasai (33,3 %) mendominasi. Tingkat penguasaan tersebut didasarkan pada penguasaan penggunaan tingkat tutur dalam berbahasa yang meliputi, bhâsa èngghi-bhunten (È-B) (krama inggil dalam bahasa Jawa), bhâsa engghi-enten (E-E) (tingkat tutur krama mdya dalam bahasa Jawa), dan bhâsa enjâ’-iyâh (E-I) (ngoko dalam bahasa Jawa). Dari ketiga tingkat tutur tersebut adalah bhâsa È-B yang paling dominan digunakan oleh masyarakat EM keluarga muda di kabupaten Jember. Data tersebut juga menunjukkan bahwa penguasaan BM di kalangan keluarga muda sebagai penentu masa depan BM di Jember dapat dikategorikan sangat baik. Hal ini berarti pula bahwa penggunaan BM di Jember masih amat dominan, karena penguasaan bahasa tentu saja sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunkasi dalam kehidupan seharihari. Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga merupakan tala ukur pertama keberhasilan pemertahanan eksistensi suatu bahasa daerah. Penggunaan BM dalam ranah keluarga adalah penggunaan BM dalam kehidupan sehari-hari antaranggota keluarga seperti orang tua dengan anak, anak dengan anak, ayah dengan ibu, besan dengan besan, mertua dengan anak menantu, dan suami dengan istri. 114
Kini pada keluarga muda EM di Jember, selain menggunakan BM komunikasi pada ranah keluarga juga menggunakan bahasa campuran (BC, yakni bahasa campuran antara BM, BJ, dan BI), bahkan dalam keluarga NU sering terjadi interferensi BA. Jumlah pemakaian masing-masing bahasa tersebut tergambar pada tabel berikut: Tabel 4.3: Penggunaan BM dalam Ranah Keluarga Penggunaan Bahasa No Status Sosial BM BC BI Jumlah . K D K D K D K D 1. Pegawai 38 63 26 3 36 6 100 100 2. Pedagang 65 77 29 12 6 1 100 100 3. Petani/Buruh 84 89 16 11 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata 62,3 76,3 23,7 21,5 14 2,4 100 100 Jumlah Rata-rata 69,3 22,5 8,2 100 di Kab. Jember Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis Tabel 3 ini memberikan gambaran secara umum bahwa penggunaan BM dalam ranah keluarga, keluarga muda EM di kabupaten Jember sebagaian besar di wilayah pedesaan yakni mencapai (76,3 %) dan didominasi oleh kelas sosial petani/buruh mencapai (89 %). Begitu juga, penggunaan BM di wilayah perkotaan didominasi oleh kelompok sosial petani/buruh dengan capaian (84 %), walaupun masih lebih besar petani/buruh di daerah pedesaan yakni mencapai (89 %). Sementara untuk penggunaan BC dalam ranah keluarga yang paling besar terjadi pada golongan pegawai di wilayah pedesaan yakni mencapai (31 %), sedangkan penggunaan BC jumlah paling kecil jatuh pada golongan petani wilayah pedesaan yakni (11 %). Untuk penggunaan BI dalam ranah keluarga, persentase yang paling besar adalah pada golongan pegawai di wilayah perkotaan mencapai (36 %) dan penggunaan paling kecil berada pada kelompok pedagang di wilayah pedesaan 115
hanya (1 %). Sementara itu, golongan petani/buruh di wilayah pedesaan tidak pernah menggunakan BI dalam ranah keluarga. Berdasarkan data hasil penghitungan pada tabel 3 di atas, dapat disarikan bahwa dalam komunikasi sehari-hari pada ranah keluarga di Kabupaten Jember, sebagaian besar bahasa yang digunakan adalah BM yakni mencapai (69,3 %), dikuti BC mencapai (22,6 %), dan kemudian BI mencapai (8,2 %). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam ranah keluarga, bahasa yang paling dominan digunakan oleh keluarga muda EM di kabupaten Jember adalah BM, kemudian disusul BC, dan yang peling kecil adalah penggunaan BI. Ini berarti pula bahwa penggunaan BM di Kabupaten Jember sebagai cerminan khasanah budaya bangsa masih sangat mungkin untuk dijamin keberadaannya. Untuk memahami dan menggunakan suatu bahasa daerah tentu diawali sikap atau persepsi penutur terhadap bahasa tersebut. BM yang dikategorikan sebagai bahasa daerah besar tentu karena memiliki penutur yang juga besar, walaupun sikap dan persepsi penutur terhadap BM tentunya berbeda-beda. Sikap keluarga muda EM di Jember terhadap penggunaan BM diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan sikap, yakni sangat setuju (SS), setuju (S), dan tidak setuju (TS). Kategori-kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.4: Sikap Penutur di Jember terhadap BM Sikap Terhadap BM Status Sosial No. SS S TS Jumlah K D K D K D K D 1. Pegawai 16 30 40 52 44 18 100 100 2. Pedagang 20 30 58 62 22 8 100 100 3. Petani/Buruh 30 22 60 70 10 8 100 100 Jumlah Rata-rata 22 27,3 52,7 61,4 25,3 11,3 100 100 Jumlah Rata-rata Di Jember 24,56 57,05 18,3 100 Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis 116
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sikap keluarga muda EM di Jember sangat setuju (SS) rata-rata mencapai 22 % di wilayah perkotaan, dan 27,3 % di wilayah pedesaan; untuk kategori setuju (S) rata-rata mencapai 52,7 % di wilayah perkotaan, dan 61,4 % di wilayah pedesaan. Adapun kategori tidak setuju (TS) rata-rata mencapai 25,3 % di wilayah perkotaan, dan 11,3 % untuk daerah pedesaan. Hal ini menunjukkankan bahwa secara umum keluarga muda menyatakan sikap setuju dan yang paling dominan di daerah pedesaan yakni mencapai 61,4 % dan sikap sangat setuju (SS) paling tinggi di desa mencapai 27,3 %. Sedangkan sikap tidak setuju (TS) terjadi di daerah perkotaan mencapai 25,3 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum sikap keluarga muda EM di Kabupaten Jember yang paling dominan adalah sikap setuju (S) yakni mencapai 57,05 %, kemudian disusul sikap sangat setuju (SS) mencapai 24,56 %, dan yang paling kecil persentasenya adalah tidak setuju (TS) mencapai 18,3 %. Ini berarti pula bahwa sikap keluarga muda EM di wilayah Kabupaten Jember terhadapa penggunaan BM secara umum adalah baik (positif). Sikap setuju dan sangat setuju tersebut yang merupakan representasi sikap positif EM terhadap BM, diperkuat dengan argumentasi bahwa BM masih diperlukan untuk digunakan sebagai sarana komunkasi dalam kehidupan seharihari khususnya dalam ranah keluarga, karena dengan penggunaan BM, prinsipprinsip kesantunan berbahasa sebagai budaya bangsa akan terjaga dan sekaligus upaya pemertahanan BM dapat terpelihara dengan baik.
117
4.3 Penggunaan BM oleh Warga NU di Jember Warga NU di wilayah Kabupaten Jember yang notabene Masyarakat EM, sangat konsen menggunakan BM. BM digunakan oleh warga NU dalam komunikasi sehari-hari baik dalam situasi formal maupun informal. Acara-acara formal yang biasa dilakukan warga NU adalah acara peringatan hari-hari besar Islam, akad nikah, serah-serahan dalam pertunangan dan upacara perkawinan, walimatul ursy, selamatan-selamatan memperingati kematian,
pengajian-
pengajian rutin (yasinan, tahlilan, diba’an, manakiban, khatmil
Quran) dan
rapat-rapat pertemuan organisasi. Dalam rapat organisasi yang melibatkan warga NU intelektual biasanya menggunakan BI campuran BM dan BA. Adapun situasi informal ialah konteks tuturan dalam rumah tangga, di tempat-tempat ibadah, obrolan sebelum dan sesudah rapat, dan even-even lain di luar konteks tuturan formal. BM digunakan warga NU sebagai upaya untuk mempertahankan rasa dan sikap hormat penutur kepada mitra tutur. Dalam masyarakat NU yang sangat menjunjung tinggi nilai kultur pesantren yang mempersatukan nilai-nilai kultural masyarakat setempat
(etnik Madura) dan syari’at Isalam telah berhasil
membentuk sikap saling menghormati antarsesama, hormat kepada yang lebih tua dan ta’dzim kepada orang yang memiliki status sosial dan peran yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip kesantunan tersebut tercermin dalam penggunaan kode tutur dan alih giliran tutur. BI digunakan warga NU di wilayah Kabupaten Jember untuk mengakomodasi tujuan tutur yang sulit diterjemahkan ke dalam BM dan juga 118
untuk menunjukkan bahwa rapat tersebut melibatkan partisipan tutur orang-orang terpelajar. Sedangkan kosa kata BA sering juga secara spontan digunakan karena memang kosa kata BA tersebut telah menjadi kebiasaan digunakan di kalangan santri dan juga sebagai sebagai prestis bagi penggunanya, seperti: halal bi halal, mu’tamar, milad, ta’dzim, shoheh, afdlal, muhasabah, ta’dzim, bilhal, billisan, imtihan, sema’an, tahlilan dsb. Dalam komunitas warga NU di daerah Jember, sebagai penutur BM memang sedikit berbeda dalam memperlakuakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Semakin tinggi status sosial suatu keluarga, akan semakin respek terhadap penggunaan BM. Sebab tingginya status sosial dalam komunitas NU semakin menjustifikasi tingginya akhlak dan budi pekerti yang menjadi harapan keluarga. Akhlak dan budi pekerti yang baik tentu paling mudah dilihat dari perilaku berbahasa seseorang. Karena itu, bahasa daerah
digunakan sebagai
upaya untuk mempertahankan prinsip-prinsip kesantunan dalam berbahasa yakni dengan abâsah (jawa: boso) atau dengan kata lain menggunakan tingkat tutur sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam rumah tangga atau masyarakat. Bahkan dalam keluarga NU yang notabene santri―abâsah sudah diberlakukan sejak
anak-anak
mulai
bisa
menggunakan
bahasa
sebagai
alat
komunikasi―khususnya pada keluarga kiai yang memiliki santri. Merupakan keharusan bagi para santri untuk menggunakan ondâghân bhasa krama atau bhâsa alos (BAl) kepada putra putri kiai yang dalam istilah BM mendapat panggilan lora/agus dan nyai/ning. Penggunan bhâsah alos itu dalam pandangan warga NU sebagai bentuk rasa ta’dzim seorang santri kepada gurunya, karena 119
dalam kultur masyarakat NU yang dianggap guru tidak hanya sebatas kiai/nyai yang secara langsung mengajarkan ilmu, tetapi keturunannya (lora/nyai) bahkan sampai kepada cucu-cucu setelahnya juga dianggap sebagai guru. Begitu juga sebaliknya para orang tua yang dulu pernah menimba ilmu di salah satu pesantren, juga akan memberitahu kepada putra-putri dan bahkan cucunya, bahwa kiai A adalah guru di pesantren yang pernah memberikan ilmunya kepada orang tua dulu. Karena itu, kiai tersebut dita’dzimkan oleh anak-anak dan cucunya. Sebagaimana seorang tokoh NU memberi contoh: Kiai Umar Pengasuh Pondok Pesantren Sumberwringin pertama, dahulu berguru kepada kiai Ali Wafa di Pondok Pesantren Tempurejo. Suatu ketika Ra Abduh (RA) cucu Kiai Ali Wafa nyabis ke Kiai Khatib Umar diantar salah seorang ulama Jember yang juga terkenal. Setelah diperkenalkan bahwa yang datang adalah cucu Kiai Ali Wafa Tempurejo, maka Kiai Khatib yang terbilang Kiai sepuh yang sangat disegani di Jember, nyabis kepada RA yang masih relatif muda seraya mempersilahkannya untuk duduk di tempat yang paling terhormat, dan memerintah kepada semua lora yang terdiri dari putra dan cucu-cucunya untuk nyabis kepada RA, bahkan santri-santrinya juga diperintahkan untuk nyabis juga. Ini menunjukkan bahwa guru muslim (kiai) dita’dzimkan oleh para santrinya, tanpa melihat perbedaan umur, peran, dan jabatan saat ini. Tetapi yang jadi patokan adalah peran dan jasa para pendahulunya yang sudah dianggap sebagai guru. Karena itu, keturunan kiai yang telah berjasa besar dengan morok ilmu agama dan ilmu tèngka kepada santrinya, kelak anak cucunya akan tetap diposisikan menjadi orang yang amat terhormat (dita’dzimkan). Ini adalah salah satu bentuk keunikan dan kekhasan kultur dalam oraganisasi yang bernama NU yang sulit ditemukan pada organisasi-organisasi Islam lainnya.
120
BAB V POLA KOMUNIKASI KIAI
5.0 Pengantar Sebagaimana dipaparkan pada bab terdahulu bahwa pola komunikasi dalam penelitian ini adalah model-model interaksi penggunaan bahasa dengan menggunakan kode-kode tutur tertentu, yang dipengaruhi oleh hubunganhubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur. Pola komunikasi tersebut dalam penelitianini, berupa kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai bentuk alih kode dan campur kode, penggunaan tingkat tutur
(ondhâghân bhâsa/speech level),
intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung dalam memahami tindak tutur yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur. Pola komunkasi WNUEM dalam penelitian ini didasarkan pada analisis delapan komponen tutur yang dikemukakan (Hymes, 1972 a dalam Duranti, 1985; Saville-Troike, 2003) dengan akronim SPEAKING-gird. Kedelapan komponen tutur
itu meliputi: (1) S: Situation/Setting (situasi) 'tempat dan
suasana tutur'; (2) P: Partisipan (peserta tutur) „pembicara, yang dituju, penerima atau pendengar‟; (3) E: Ends (akhir) 'hasil, tujuan tutur'; (4) A: act sequence (urutan tindak) „termasuk alih giliran tutur‟; (5) K: key (kunci) „nada tutur‟; (6)I: instrumentalities (sarana) „alat tutur‟; (7) N: norms (norma-norma) 'norma interaksi dan interpretasi'; (8) G: genres/message form „jenis/bentuk pesan‟. 121
Seiring dengan pendapat Hymes di atas, Poedjosoedarmo (dalam Soendjono Dardjowidjojo, 1985) mengembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tutur di Indonesia, khususnya masyarakat tutur Jawa. Komponen tutur dalam versinya menjadi lebih rinci dan luas dari versi Hymes yang dijadikan dasar. Menurut versi Poedjosoedarmo terdapat sedikitnya tiga belas komponen tutur yang dapat mempengaruhi peristiwa tutur. Ketiga belas komponen tutur tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pribadi si penutur atau orang pertama, (2) anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak bicara, (3) kehadiran orang ketiga, (4) maksud dan kehendak si penutur, (5) warna emosi si penutur, (6) nada suasana bicara, (7) pokok pembicaraan, (8) urutan bicara, (9) bentuk wacana, (10) sarana tutur, (11) adegan tutur, (12) lingkungan tutur, (13) norma kebahasaan lainnya. Didasarkan pada kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaanya, bahasa Jawa memiliki kesamaan dengan bahasa Madura, sehingga komponen turtur menurut versinya juga dapat dijadikan pembenading dan referansi dalam analisis komponen tutur Hymes tersebut. Komponen tutur merupakan alat analisis yang amat penting dalam kajian etnografi komunikasi. Sebab dengan analisis karakteristik komponen tutur yang mempengaruhi peristiwa komunikasi akan ditemukan pola komunikasi masyarakat tutur sebagai hasil refleksi dari hubungan dan fungsi antarkomponen tutur tersebut. Menurut Kuswarno (2008), komponen komunikasi (komponen tutur) dapat dipahami dengan baik melalui penjelasan ciri-ciri umum perilaku berbahasa. Pendapat ini, jika dicermati memberikan penjelasan bahwa komponen 122
tutur dapat mempengaruhi perilaku berbahasa. Begitu pula dengan mengamati perilaku berbahasa suatu komunitas dapat ditemukan pula aspek-aspek komponen tutur yang dapat mempengaruhi pola komunikasi. Sedangkan dalam menganalisis data komponen tutur akan dikemukakan teori-teori
pragmatik
(implicature),
yang
refrensi
berkaitan
(refrence),
dengan
penggunaan
prinsip-prinsip
kesantunan
implikatur (politness
principle), dan prinsip kerja sama (cooperative principle), yang mana aspekaspek kebahasaan tersebut merupakan bagian strategi komunikasi yang sering digunakan WNUEM untuk mencapai tujuan komunikasi. Nahdlatu Ulama (NU) merupakan organisasi yang mula-mula didirikan oleh para ulama pengasuh pesantren yang sudah tentu di dalamnya adalah kumpulan-kumpulan ulama yang dalam tradisi NU identik dengan kumpulankumpulan kiai. Kiai memiliki status sosial dan pengaruh yang berbeda-beda dalam masyarakat NU. Dengan kedudukan dan status sosial yang berbeda-beda yang didasarkan pada peran dan jabatannya di masyarakat, secara umum para kiai tersebut memiliki perilaku yang hampir sama yakni saling ikram (memuliakan). Dalam masyarakat NU yang membedakan status antara kiai yang satu dengan yang lainnya dipengaruhi banyak faktor, tetapi faktor utama dan sudah menjadi norma yang diakui adalah peran dan kedudukan kiai sebagai guru-santri. Peran dan kedudukan tersebut
bisa diperoleh melalui dirinya sendiri dan para
pendahulunya, artinya kiai atau sesepuh kiai yang satu dahulu pernah ngabdih kepada kiai yang lain, sehingga kiai dan anak cucunya yang pernah menjadi 123
santri tersebut harus ta‟dzim kepada kiai dan anak cucunya yang telah menjadi gurunya. Ada pula predikat guru dan santri yang diperoleh secara langsung di masyarakat, yaitu karena keilmuannya yang tinggi yang dimiliki oleh seorang kiai yang tentunya diikuti dengan pengamalannya di tengah-tengah masyarakat, sehingga kiai yang lain sering bertanya dan menimba ilmunya, maka kiai tersebut juga dita‟dzimkan sebagai guru. Mengacu pada penjelasan di atas, maka pola komunikasi kiai secara umum dapat dipetakan menjadi tiga, yakni (5.1) Pola komunikasi kiai yang memiliki hubungan guru-santri; (5.2) Pola komunikasi kiai yang sederajat; dan (5.3) Pola komunikasi kelurga kiai.
5.1 Pola Komunikasi Kiai yang Memiliki Hubungan Guru-Santri Kiai pengasuh pesantren memiliki status sosial dan pengaruh yang begitu besar di dalam masyarakat NU, karena dianggap sebagai guru yang telah berjasa besar mengasuh dan mengelola pendidikan di pesantren―yang merupakan pendidikan alternatif masyarakat pedesaan. Karena itu, kiai yang para sesepuhnya dahulu berguru kepada salah satu pesantren, maka anak-cucunya menganggap sebagai guru kepada kiai beserta anak-cucu pengasuh pesantren tersebut, sekalipun para alumni itu kini telah berhasil mendirikan pesantren yang lebih besar. Bahkan bukan hanya anak cucunya yang menganggap berguru, para santrinya pun juga dianjurkan menta‟dzimkan kiai-kiai yang berasal dari peasantren, di mana pengasuh pesantren tersebut pada masa lalu menimba ilmu.
124
5.1.1 Menta’dzimkan Guru dalam Tradisi NU Keharusan santri menta‟dzimkan gurunya diperlihatkan dalam data (1) yang berbentuk bahasa verbal dan non verbal pada acara pernikahan di Sempolan Jember berikut: Data 1: Hasil observasi partisipasi pada acara akad nikah di Sempolan Jember pada sore hari pukul 13.00 WIB Pada suatu acara akad nikah seorang yang masih sangat muda duduk diantara kiai-kiai sepuh. Kemudian tiba-tiba ada seseorang santri akan nyabis (sungkem: Jawa) kepada salah seorang kiai sepuh yang duduk di acara itu. Namun kiai sepuh tersebut kemudian menunjuk dengan ibu jarinya kepada seorang pemuda itu seraya berkata kepada santrinya itu ”nyabis ka kiai dimin” (Sungkem ke kiai dulu) „cium tangan kiai dahulu‟. Bahasa non verbal salah seorang kiai sepuh yang menunjuk dengan ibu jarinya kepada seorang pemuda yang diikuti dengan bahasa verbal nyabis ka kiai dimin (Sungkem ke kiai dulu) „cium tangan kiai dahulu‟ sebelum menyalami kiai yang lain pada data (1) di atas, sebagai kode (simbol) untuk mempersilahkan seorang santrinya tersebut berjabat seraya mencium tangan kiai yang masih relatif muda, yang dalam acara itu duduk diantara kiai-kiai sepuh di desa sempolan itu. Berdasarkan informasi dari salah seorang kiai di desa tersebut, ternyata anak muda itu adalah lora (cucu kiai), yang dahulu para kiai sepuh tersebut telah berguru di pesantren kakeknya. Untuk lebih jelasnya tentang pola komunikasi tersebut terjadi berikut dipaparkan analisis komponen tutur.
Topik: Bagaimana memuliakan guru
125
Tujuan tutur: Mengenalkan kultur pesantren seraya memberi pembelajaran kepada santri tentang keharusan menta‟dzimkan guru.
Situasi atau tempat dan suasana tutur: Pra acara akad nikah di rumah salah seorang alumni pesantren. Dengan demikian situasi tuturan tersebut dapat dikategorikan formal.
Nada tutur: Nada suara rendah digunakan dalam bahasa verbal dan menundukkan pandangan―merupakan bentuk bahasa nonverbal yang berfungsi untuk menta‟zimkan seorang kiai yang dianggap sebagai guru para kiai di desa itu.
Peserta tutur: P1: Kiai yang berkedudukan sebagai Guru (KG) P2: kiai yang berpredikat sebagai santri (KS) P3: Santri dari P2 P4: para undangan (ummat NU)
Bentuk pesan: Perintah yang bentuknya bahasa verbal dan nonverbal.
Urutan tindak: P3 akan nyabis kepada P2, P2 menolak P3 dan langsung memerintahkan P3 untuk nyabis kepada P1 terlebih dahulu sebagai guru P2 P3 nyabis kepada P1, baru kemudian kepada P2 P4 memperhatikan peristiwa tutur yang terjadi
126
Norma interaksi dan interpretasi: Bahasa verbal dan bahasa isyarat yang ditunjukkan seorang kiai sepuh tersebut sebagai simbol penghormatan (rasa ta‟dzim) seorang santri kepada gurunya dan sebagai bentuk pembelajaran ilmu akhlak kepada santrinya, bahwa urut-urutan penta‟dziman kepada guru dalam tradisi pesantren NU harus dimulai dari pesantren tertua, di mana dulu sang guru menimba ilmu. Perbedaan umur dalam konteks tuturan ini tidak diperhitungkan dalam menentukan pola komunikasi. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa status sosial dan pengaruh kiai yang berlatar belakang keturunan kiai pesantren (guru), berpengaruh besar terhadap pola komunikasi antara kiai dengan kiai yang berlatar belakang gurusantri. Bahkan sebagai bentuk rasa ta‟dzim kepada sang guru, para kiai sepuh yang berada di acara itu memohon lora tersebut agar berkenan menikahkan mempelai laki-laki. Begitu pula, para orang tua di kalangan NU merasa lebih afdlal, kalo yang mengakadnikahkan anaknya adalah kiai, terutama kiai yang merupakan mantan gurunya di pesantren.
5.1.2 Pola Komunikasi KG-KS dalam Situasi Formal Dalam
rapat-rapat
pengurus
NU
yang
melibatkan
kiai
yang
kedudukannya sebagai guru (KG) dan kiai yang berpredikat sebagai santri (KS), pola komunikasi diikuti dengan penggunaan kode tutur yang mencerminkan rasa hormat seorang santri kepada gurunya, seperti tercermin pada data berikut: Data 2: Prakata Kiai Pesantren (KG): Assalaamu‟alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh (KS): Waalaikumsalaam warahmatullaahi wabarakaatuh (KG):Alhamdulillaahi rabbil „alamiin ashshalaatu wassalaamu alaa Rasuulillah wa‟alaa aalihi washahbihi ajmaiin. Saamponah bhâdân kaulâ mundud kasimpulan dâri jawabhân sareng-sareng (santrè khusus sarêng alumni khusus), angèngèngè masalah 127
kanca otabâ alumni khusus sè èlatè sareng orèng luar korang langkong saka‟dinto “ènggi saè manabi coma‟ alatè otabâ adampingè coma kalabân bâdâ filtêr sè nyarèng sopajâ setèl sarêng kabâdhâân sè ampon biasa kalabân salèng pengertèan. (Alhamdulillaahi rabbil „alamiin ashshalaatu wassalaamu alaa Rasuulillah wa‟alaa aalihii washahbihii ajmaiin. setelah saya mengambil kesimpulan dari jawaban teman-teman (para santri khusus dan alumni khusus), memperbolehkan masalah santri atau alumni khusus yang dilatih oleh orang luar kurang lebih demikian: iya baik kalau cuma melatih atau mendampingi, namun dengan ada filter yang menyaring supaya cocok dengan keadaan yang sudah biasa dengan saling pengertian) „Alhamdulillaahi rabbil „alamiin ashshalaatu wassalaamu alaa Rasuulillah wa‟alaa aalihii washahbihii ajmaiin. Setelah saya menyimpulkan jawaban para santri dan alumni khusus tentang mereka yang dilatih oleh para ahli dari luar kurang lebih sebagai berikut: saya kira boleh-boleh saja kalau hanya melatih atau mengajari, selama ada filter yang dapat menyaring, agar tidak bertentangan dengan kultur pesantren dan adanya saling pengertian.‟ Tuturan tersebut (data 2) dimulai dengan salam dan ucapan syukur dalam BA sebagai penciri identitas dan kebiasaan warga NU yang merupakan masyarakat santri. Pada tuturan di atas, terdapat tuturan èngghi saè manabi coma‟ alatè otabâ adampingè „baik kalau cuma melatih atau mendampingi‟. Kosa kode èngghi saè mengindikasikan bahwa KG pada prinsipnya menyetujui tenaga dari luar untuk melatih dan mendampingi pengurus dan asatidz dalam proses pelatihan, namun dengan syarat agar para tenaga dari luar paham terhadap kultur pesantren. Hal ini ditegaskan dengan kata coma „namun‟ yang merupakan kata prasyarat, yang menunjukkan penerimaan tenaga dari luar. Bandingkan dengan data berikut: Data 3: Samangkèn bâdân kaulâ anyo‟ona pamangghi dhâ‟ panjenengan sadhâjâ angèngèngè masalah bâtes-bâtes otabâ cara-cara kaangguy saterrosa. Maka dhari ka‟dinto, parlo sami usaha kaangguy masami pamanggi (salèng pengertian). Pola bisa ajâgâ kasaèan hubungan kaangguy saterrosa, sanaossa bâdâ perubahan-perubahan. Kalabân 128
aparèng onèng rambu-rambu sarêng cara-cara, jughân berusaha pola sobung masalah dâ‟ budina. (sekarang saya mohon pendapat kepada anda semua mengingat masalah batas-batas atau cara-cara untuk selanjutnya. Maka dari itu, perlu sama usaha untuk menyamakan pendapat (saling pengertian). Mungkin bisa menjaga kebaikan hubungan untuk selanjutnya, walaupun ada perubahan-perubahan. Dengan memberitahu rambu-rambu dan caracara, juga berusaha mungkin tidak ada masalah ke belakangnya). „Pada pertemuan ini, kami mohon pendapat peserta rapat tentang batasan-batasan ataupun metode yang akan digunakan selanjutnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk menyamakan persepsi, yang kemungkinan dapat menjaga hubungan baik selanjutnya, walaupun nanti ada perubahan-perubahan. Dengan memberitahukan batasanbatasan (rambu-rambu pesantren) dan metode-metode pendekatannya mungkin dapat meminimalisir masalah-masalah yang akan terjadi‟. Tuturan pada data (3) merupakan lanjutan dari tuturan data (2) namun isinya merupakan permohonan,
seperti tertera dalam kutipan data di atas
anyo‟ona pamanggi „mohon pendapat‟ sami usaha kaangguy masami pendapat „diperlukan suatu usaha
untuk
menyamakan persepsi‟. Tuturan tersebut
merupkan bentuk kalimat permohonan agar partsisipan tutur memiliki pendapat yang sama dalam mengelola pesantren. Pada sambutan tersebut terdapat tuturan angèngèngè masalah bates-bates otabâ cara-cara kaangguy saterrosa „tentang masalah batas-batas atau cara-cara untuk selanjutnya‟. Tuturan tersebut dapat diinferensi berbeda-beda oleh partisipan tutur, karena yang dimaksud „batasbatas‟ pada tuturan tersebut tidak jelas, begitu juga kata „cara-cara‟ tidak jelas cara-cara apa dan bagaimana yang dimaksud. Ditinjau dari teori pragmatik, pada tuturan tersebut terdapat pelanggaran terhadap kaidah-kaidah yang dapat menunjang keberhasilan komunikasi yaitu pelanggaran terhadap prinsip kerja sama Grice yang diformulasikan ke dalam 4 maksim, yang diantaranya adalah maksim kuantitas yang menyatakan „buatlah percakapan anda seinformatif 129
mungkin‟ dan maksim cara yang menyebutkan „hindari kekaburan‟. Namun sebagai bentuk rasa hormat dan tawadlu agar tidak cangkolang kepada KG, para kiai yang hadir tidak menanyakan tentang maksud dan tujuan tuturan tersebut. Pada data (2) dan (3) tersebut kiai pengasuh pesantren dan sekaligus orang yang dihormati dalam tuturan formal ini, kiai menggunakan kosa kode panjenengan yang menunjukkan tingkat tutur È-B (Jawa: Krama Inggil). KG dalam mengakhiri sambutannya menggunakan kata-kata penutup dan tuturan yang menunjukkan hubungan sebab akibat (relevansi) dengan isi tuturan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan berikut ini: Data 4: Maka dâri ka‟dinto, bâdân kaulâ anyo‟ona pamanggi neng è papanggiân ka‟dinto: (1) ponapa hal-hal sè kodhu èparèngagi onèng dâ‟ tenaga sè dâri luar, sopajah ta‟ ngacèwa‟agi dha‟ tenaga sè dâri luar jughân ta‟ sala paham; (2) ponapa hal-hal sè kodu èparèngagi onèng dâ‟ tenaga dâlem, sopajâ orèng dâlem ta‟ arassa tertekan jughân ta‟ sala paham.” (Maka dari itu, saya mohon pendapat di pertemuan ini:(1) apa hal-hal yang harus diberitahukan kepada tenaga yang dari luar, supaya tidak mengecewakan kepada tenaga dari luar dan juga tidak salah paham;(2) apa hal-hal yang harus diberitahukan kepada tenaga dari dalam, agar orang dalam tidak measa tertekan dan juga tidak salah paham). „Oleh karena itu, kami mohon masukan pada pertemuan ini:(1) Apa saja yang seharusnya dipaparkan kepada tenaga ahli dari luar, agar tdak kecewa dan juga tidak salah paham?; (2) Apa saja yang seharusnya dikemukakan kepada para pengurus dan ustadz, agar tdak merasa tertekan dan juga tidak salah paham.‟ Tuturan Maka dhari ka‟dinto „Oleh karena itu‟ sebagai penutup prakata KG, memiliki hubungan sebab akibat (relevansi) dengan isi tuturan sebelumnya. Dalam tuturan tersebut juga terdapat kosa kata serapan dari BI seperti maka, tertekan, dan salah paham. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam situasi formal KG sering bercampur kode ke kosa kata BI yang sudah lazim digunakan. 130
Penggunaan campur kode itu, untuk mengunkapkan kosa kata yang sulit dicari padanannya dalam tingkat tutur È-B. Hal tersebut juga sebagai bentuk strategi untuk mempermudah pemahaman KS dalam menginferensi
tuturan yang
disampaikan KG. Sambutan tersebut ternyata masih dilanjutkan dengan kata „Saterrosa‟ „selanjutnya‟, yang mengindikasikan bahwa tuturan tersebut masih akan dilanjutkan. Sebagaimana tertera pada data berikut: Data 5: Saterrosa, kaangguy musyawarah sè bhâkal dâteng ènggi ka‟dinto, angèngèngè masalah sistêm hubungan sasarengan. Sanyatana masalah ka‟dinto èbantu tenaga-tenaga sè bisa è bhâdi panegghu‟an/ penampungan masalah, jughân èssèna èngghi ka‟dinto jhâlân kaluar kalabân ngalastarèaghi hal-hal sè pajhât parlo jughân ampon ma‟lum. Coma‟, karena bâdâ pan-saponapan hal sè ghi‟ bellun bisa è lastarèaghi, maka ide akadiyâ marloagi bantuan tenaga dâri luar, ropana sè èmusyawaraaghi samangkèn ka‟dinto. (Selanjutnya, untuk musyawarah yang akan datang yaitu, tentang masalah sistem hubungan setemanan. Sebenarnya masalah ini dibantu tenaga-tenaga yang bisa dibuat pegangan / penampungan masalah, juga isinya yaitu jalan keluar dengan mengakhiri hal-hal yang mestinya perlu juga sudah maklum. Cuma, karena ada beberapa hal yang belum dapat diselesaikan, maka ide mungkin memerlukan bantuan tenaga dari luar, rupanya yang dimusyawarahkan pada hari ini.) „Yang akan dibicarakan pada musyawarah yang akan datang yaitu, tentang sistem hubungan diantara komunitas pesantren. Sebenarnya masalah ini dapat dibantu oleh tenaga-tenaga yang dapat menampung permasalahan pesantren, dan juga isinya yaitu jalan keluar dengan mengakhiri hal-hal yang semestinya sudah diketahui. Namun, karena ada beberapa hal yang belum dapat diselesaikan, maka penyelesaian masalah ini perlu bantuan tenaga dari luar, yang menjadi pembicaraan pada pertemuan ini.‟ Referensi masalah ka‟dinto „masalah ini‟ dalam tuturan pada data (5) tersebut kembali kepada
masalah sistem hubungan sasarengan „sistem
hubungan diantara komunitas pesantren‟. Tenaga-tenaga
sè bisa è bhâdi
panêggu‟ân „tenaga-tenaga yang dapat menampung permasalahan pesantren‟ 131
implikaturnya adalah orang-orang yang dapat dijadikan mediator dalam menyelesaikan masalah-masalah pesantren. Implikatur tersebut agak sulit dipahami oleh kalangan kiai pengurus pesantren. Walaupun demikian sikap para peserta rapat tidak pernah bertanya/berkomentar tentang ketidak jelasan dalam tuturan tersebut, sehingga presupposisi tidak dapat disimpulkan dengan baik oleh para peserta rapat. Sikap para KS yang jarang mau bertanya/berkomentar tentang pokok isi tuturan yang disampaikan oleh KG, sebagai bagian kultur pesantren yang menganjurkan seorang santri bertawadlu kepada guru, Fenomena ini, kadangkala dapat menyebabkan inferensi yang salah terhadap tujuan tutur yang disampaikan oleh KG. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa implikaturimplikatur yang sulit dipahami dapat menyebabkan inferensi yang salah dalam menanggapi presupposisi KG. Untuk membahas lebih mendalam pola komunikasi KG-KS
dalam situasi formal, berikut akan disajikan analisis
komponen tutur.
Topik: Bagaimana meperbaiki manajemen pesantren.
Tujuan tutur: Memberikan pemahaman agar terjadi persepsi yang sama dalam pengelolaan pesantren. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Rapat berlangsung di ruangangan khusus yang disediakan untuk para tamu pesantren yang ada keperluan kepada kiai. Tempat dan situasi tuturan tersebut cukup menegangkan, dimana tidak semua santri bisa sewaktu-waktu berada di tempat ini tanpa dipanggil oleh pengasuh. 132
Sehingga tempat dan situasi tersebut memungkinkan terciptanya komunikasi formal dan serius.
Nada Tutur: Jenis tuturan serius, namun disampaikan dengan nada tutur datar-datar saja karena sifatnya himbauan dan permohonan
Peserta Tutur: P1: kiai yang berkedudukan sebagai guru (KG) P2: para kiai yang berpredikat sebagai santri (KS)
Bentuk Pesan: Sambutan kiai dalam pertemuan dengan para pengasuh pesantren
Urutan Tindak: P1 mempersilahkan para kiai masuk ke dalam ruang tamu yang dideasin menjadi ruang rapat. P2 memasuki ruangan pertemuan. Sementara menunggu kiai yang masih mempersiapkan apa yang akan disampaikan, para alumni menunggu dengan tenang tanpan berbasa-basi apapun, kecuali pembicaraan dengan suara kecil bersama partisipan tutur disebelahnya (sesama mantan santri). P1 memberi sambutan dengan selalu mengarahkan pandangan kepada partsipan tutur, sedangkan P2 mendengarkan tuturan dengan penuh perhatian seraya menundukkan kepala. Alih giliran tutur normanya pertama-tama diberikan kepada KG, terkecuali karena suatu hal KG mempersilahkan KS (para alumni) untuk mngemukakan pendapatnya terlebih dahulu. Bahkan para alumni merasa cangkolang
(jawa: tidak punya unggah-ungguh) untuk berbicara
mengemukakan pendapatnya, jika tidak diminta oleh KG.
133
Norma Interaksi dan Interpretasi: Dalam even pertemuan ini, P2
sebagai partisipan tutur selalu
menundukkan kepala sebagai perwujudan rasa tawadlu‟ kepada guru. Hal tersebut merupakan bagian dari kultur pesantren berhaluan NU. Oleh karena itu, seringkali bahasa isyarat (body language) terabaikan, sehingga tujuan tutur kurang dapat dipahami dengan baik. Dalam tradisi WNUEM, P2 jarang sekali berbicara, tanpa diminta oleh P1. Adapun kalau ada hal yang amat penting P2 meminta ijin dengan mengatakan “cabis pamator atau cangkolang pamator” Pada umumnya pada situasi formal KG selalu menggunakan ragam bahasa È-B. Keterbatasan kosa kata yang dapat digunakan pada tingkat tutur È-B, pada situasi formal kiai sering bercampur kode ke BI. Sedangkan BA digunakan sebagai penciri khas bahwa kiai NU sebagian besar lulusan pesantren yang dianggap fasih dan terbiasa berbahasa Arab. Dalam situasi formal seperti pada data 3, 4, dan 5 di atas, sering terjadi komunikasi satu arah (one way traffic communiiication), karena sebagai seorang santri biasanya lebih banyak mendengarkan pembicaraan, yang dalam istilah NU di Jember sering disebut patuh kepada dâbuna ghuru „apa yang dikatakan guru‟ Berdasarkan hasil analisis data komponen tutur di atas, dapat disarikan bahwa secara umum dalam situasi formal pola komunikasi KG-KS sebagai berikut: Tabel 5.1: Pola Komunikasi KG-KS dalam situasi Formal Peserta Tutur
Tingkat Tutur
KG
È- B
KS
È- B dan BAl
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa BM Lebih tinggi Pandangan BI dan dari nada tutur kepada BA KS Partisipan tutur Menundukkan BM Lebih rendah kepala dan BI dan dari nada tutur pandangan ke BA KG bawah
Alih Giliran Tutur Dominan pada giliran pertama Setelah KG atau mohon ijin bicara
134
5.1.3 Pola Komunikasi KG-KS dalam Situasi Informal Dalam situasi informal
KG dan KS tetap memegang teguh prinsip-
prinsip kesantunan dalam berkomunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kode tutur yang cenderung menunjukkan bentuk rasa hormat seorang santri kepada gurunya. Berdasarkan ciri-ciri dan proporsi kosa kode yang digunakan oleh KG dalam berkomunikasi dengan KS yang umurnya lebih muda, secara umum KG menggunakan BM level E-E becampur kode level È-B. Sedangkan KS selalu menggunakan BM level È-B dan BAl. Begitu pula nada (tone) yang digunakan KS selalu lebih rendah dari KG. Fenomena tersebut dapat dilihat pada kutipan data berikut ini: Data 6: Komunikasi RAbd (KG) dan Jml (KS) (A) RAbdh : Dâgghi‟ panjenengan→ tèlpon maghrib bhâ‟ ta‟ sibu‟a?↑ (Nanti, panjenengan telepon maghrib apa tidak sibuk) „Nanti, setelah sholat maghrib apa anda tidak ada kesibukan, kalau saya telepon‟ (B) Jml
: Ka‟dinto.↓ (saya) „Saya kiai‟
(C) RAbdh : Ba‟ ta‟ sibu‟a↑ dagghi‟ maghrib?↑ (Apakah tidak sibuk nanti maghrib) „Apakah anda tidak ada kesibukan setelah sholat maghrib‟ (D) Jml
: Ka‟dinto↓, lastarè maghrib abdina morok.↓ (Ka‟dinto, setelah maghrib saya mengajar.) „Saya kiai, setelah sholat maghrib saya mengajar.‟
(E) RAbdh : Lastarè isya‟↑ kol bâllu‟?↑ (Setelah isya‟ pukul delapan?) „Setelah sholat isya‟ pukul delapan?‟ (F) Jml
: Èngghi↓, satengnga bâllu‟ bisa.↓ 135
(Ya, setengah delapan bisa.) „Ya, setengah delapan saya bisa‟ (G) RAhbd : Sè lowong→, pokol bâllu‟↑ sampè‟ pokol?↑ (Yang longgar pukul delapan sampai pukul?) „Anda mempunyai kesempatan pukul delapan sampai pukul berapa?‟ (H) Jml
: Satengnga bâllu‟↓ sampè‟ pokol sanga‟.↓ (Setengah delapan sampai pukul sembilan) „Setengah delapan sampai dengan pukul sembilan‟
(I) RAbdh : Sul↑, Muzammil pokol satengnga bâllu‟→ sampè‟ pokol sanga‟.↑ (Sul, Muzammil pukul setengah delapan sampai pukul sembilan.) „Sul, Muzammil ada kesempatan pukul setengah delapan sampai dengan pukul sembilan.‟ (J) Sntr
: Èngghi (Ya) „Ya‟ Pada percakapan data (6) tersebut terjadi pengulangan tuturan dengan pemolaan komunikasi yang berbeda, tapi memiliki topik dan tujuan tutur yang sama yaitu, 6(A) Daggi‟ panjênêngan tèlpon maghrib bha‟ ta‟ sibu‟a? „Nanti, panjenengan akan saya telepon setelah maghrib apa tidak sibuk?‟; 6(C)Bha‟ ta‟ sibu‟a dagghi‟ maghrib? „Apakah tidak sibuk nanti maghrib‟. Pengulangan tersebut terjadi karena jawaban Jml 6(B) Ka‟dinto „Saya‟ dan Ēngghi „Ya‟ tidak mencerminkan jawaban yang mengindikasikan rasa paham terhadap pertanyaan yang disampaikan RAbdh. Ketidakpahaman tersebut juga disebabkan pola kalimat 6(A) yang disampaikan RAbdh kurang jelas. Sehingga Jml takut memberikan inferensi yang salah terhadap pertanyaan RAbdh. Sementara presupposisi penutur sulit diterima oleh partisipan tutur―agar tidak melanggar maksim kejelasan, kalimat 6(A) seharusnya Dagghi‟ manabi bâdhân kaulâ è 136
bakto setelah maghrib telpen panjenengan bhâ ta‟ sibu‟a? „Nanti malam setelah sholat maghrib apa anda tidak ada kesibukan, kalau saya
telepon?‟ Untuk
memahami tuturan tersebut Jml seharusnya memahami konteks pembicaraan sebelumnya. Sedangkan Jml sebagai mitra tutur tidak mengetahui konteks pembicaraan sebelumnya. Ini berarti pula bahwa implikatur-implikatur dapat diinferensi secara benar, jika mitra tutur mengetahui konteks tuturan sebelumnya. Dalam pecakapan tersebut, Jml sebagai mantan santri tidak berani menolak secara langsung seruan RA. Namun dengan pemolaan pada data 6(D) Lastarè maghrib abdina morok „Setelah maghrib saya mengajar‟. Jadi jawaban Jml tersebut sebagai pernyataan penghalus „tidak bisa‟. Sehingga RA langsung menanyakan kembali 6(E) Lastarè isya‟ kol bâllu‟? „Setelah isya‟ pukul delapan ?‟ Ini berarti pula bahwa kedudukan Jml sebagai mantan santri tidak berani menolak secara langsung, sehingga memerlukan pemolaan komunikasi yang berfungsi penolakan secara halus. Kosa kata ka‟dinto pada data 6(D), merupakan jawaban mantan santri kepada guru―sebagai bentuk penghalusan tuturan dan penghormatan kepada lawan tutur. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa, faktor status sosial dan umur dapat berpengaruh terhadap pola komunikasi.
Analisis komponen tutur:
Topik: Bagaimana meminta kesediaan orang lain.
137
Tujuan tutur: Menanyakan kesediaan seseorang untuk ditelepon. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di rumah kiai mantan alumni via telepon.
Jenis tuturan: Bahasa lisan disampaikan via telepon dengan nada serius
Peserta tutur: P1: Kiai yang berstatus sebagai guru (KG) P2: Kiai yang berstatus sebagai santri (KS) P3: Santri dari P1
Bentuk pesan: Percakapan
yang berlangsung melalui media telekomunikasi. P1
menggunakan nada suara lebih keras dari partisipan tutur yang lain.
Urutan tindak: P1 meminta P3 untuk menghubungkan telepon dengan P2, P3 tanpa berkomentar apa-apa, tetapi langsung mencari buku telepon dan kemudian mngubungi P2 P1 memulai pembicaraan, P2 menjawab setiap pertanyaan yang diajukan P1 P1 meminta P3 mencatat waktu kesedian P2 untuk dihubungi
Norma interaksi dan interpretasi: Pola komunukasi KG-KS, dilihat dari ciri-ciri dan proporsi kosa kode yang digunakan oleh KG, secara umum sering bercampur kode BM level E-E dan BM level È-B. Hal tersebut dapat dilihat dari kosa kata seperti bâ „apa‟ 6(C), yang menunjukkan tingkat tutur E-E, sedangkan 138
panjenengan, lastarè, merupakan kosa kata BM dalam tingkat tutur È-B. Campur kode dengan tingkat tutur È-B tersebut digunakan KG sebagai bentuk penghormatan kepada KS yang umurnya lebih tua. Sedangkan P2 selaku KS selalu menggunakan BM level È-B dan BAl. Penggunaan kesantunan tersebut dapat dilihat dari kosa kata ka‟dinto „saya‟ pada data 6(B) yang merupakan kosa kode È-B, sedangkan penggunaan kosa kata abdhina „hamba‟ 6(D) merupakan ciri kosa kode BAl. Tingkat tutur dan BAl tersebut digunakan sebagai bentuk rasa ta‟dzim kepada KG yang dalam tradisi NU memiliki status sosial yang lebih tinggi dari KS.
Umur KG yang lebih banyak dari umur KS juga menentukan penggunaan pola komunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan data berikut ini:
Data 7 : Percakapan antara KAG (KG)-KAH (KS) (A) KAG : Assalaamu‟alaikum (B) KAH: Waalikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh (C) KAG : ta‟ kaluaran?↑ (tidak keluaran ) „Tidak pergi kemana-mana ?‟ (D) KAH: Bhunten.↓ (Tidak) „Tidak‟ (E) KAG : Dâgghi‟ malem musyawarah, ghè?↑ (Nanti malam musyawarah, ya) „Nanti malam ada musyawarah, bukan?‟ (F) KAH : Èngghi↓, pokol ennem è compo‟en Kè Hsn.↓ (Ya, pukul enam di rumahnya Ki Hsn.) „Ya, pukul enam di rumah Ki Hsn‟ (G) KAG : Sèrah↑ sè bisa?↑ (Siapa yang bisa?) 139
„siapa saja yang bisa ikut pertemuan?‟ (H) KAH : Bellun↓ èhubungi sadhâjâ ka‟dinto.↓ (Bellum dihubungi semua ini.) „Bellum sempat dihubungi semua‟ (I) KAG : Napè?↑ (Apa) „apa‟ (J) KAH : Anu.. ka‟dinto↓. Ngubungna↓ P. Hari dimèn→, P.Roji→, pas terrossa ka Tompeng→, pas bâli polè dâ‟ Kè Bakir↓, ka‟dinto.↓ (oh... ini, mau menghubungi pak Hari dulu, pak Roji, pas terus ke Tumpeng, lalu kembali lagi ke Ki Bakir, ini.) „yaitu, masih akan menghubungi pak Hari dahulu, kemudian ke pak Roji, terus langsung ke Tumpeng, kemudian kembali lagi ke Ki Bakir.‟ (K) KAG : Rofi‟i nyambi kabbhi dagghi‟ kan→, ghè?↑ (Rofi‟i membawa semua nanti, kan iya?) „Semua naik kendaraan Rofi‟i, bukan?‟ (L) KAH : Ènggi.↓ (Ya) „Ya‟ (M) KAG : Bilâ Rofi‟i èhubungè↑, sopajâ nyampè‟aghi?↑ (Kapan Rofi‟i dihubungi, untuk menyampaikan?) „Apakah Rofi‟i sudah dihubungi untuk menyampaikan?‟ (N) KAH : Ampon lastarè sadhâjâ↓ dâ‟ ka‟ Rofi‟i→, ka‟dinto.↓ (Sudah selesai semua kepada kak Rofi‟i ini) „Sudah dibicarakan semua dengan ka‟ Rofi‟i.‟ Pada data (7) di atas, tujuan tutur tercermin dalam 7(E) Dagghi‟ malêm musyawarah, ghè? „Nanti malam jadi musyawarah, bukan?‟ Kalimat tersebut merupakan kalimat pertanyaan yang fungsinya sebagai penegasan apakah KAH sudah mempersiapkan dan mengundang peserta rapat yang akan diadakan nanti malam. Hal tersebut ditegaskan dalam tuturan berikutnya 7(G) Sèra sè bisa? 140
„siapa saja yang bisa hadir?‟ Ketika KS menjawab 7(H) Bellun èhubungi sadhâjâ, ka‟dinto. „Belum sempat dihubungi semua‟―KAG kemudian bertanya dengan nada tinggi 7(I) Napè? „apa katamu‟. Napè dalam tuturan tersebut sangat pendek tapi memiliki implikatur „implied meaning‟ yang lebih dari yang dikatakan yakni: pertama, KG terkejut karena KS belum menyampaikan kepada calon peserta rapat yang lain. Kedua, Sebagai seruan agar KAH segera menghubungi orang-orang yang sudah ditunjuk KAG. Karena itu, KAH dengan gugub dan rasa takut langsung menjawab dengan 7(H) anu, ka‟dinto
„O.. ya
itu‟ dan kemudian diikuti nama santri yang akan dihubungi. Tuturan Anu, ka‟dinto sebagai upaya KAH mengklarifikasi desakan KAG bahwa dia akan segera melaksanakan perintahnya. Ini berarti pula bahwa pola komunikasi yang ditunjukkan dengan nada tinggi dapat menyebabkan rasa takut KAH sebagai KS kepada KAG selaku KG. Pada tuturan ini KAG maupun KAH lebih banyak menggunakan pola kalimat pendek tetapi memiliki implikatur yang cukup luas. Sehingga dapat menyebabkan inferensi yang berbeda-beda bagi partisipan tutur.
Analisis komponen tutur
Topik: Bagaimana berusaha, agar para santri alumni hadir dalam pertemuan yang akan diselenggarakan oleh pengasuh.
Tujuan tutur: Menyampaikan kepada P2, agar undangan pertemuan diketuk tularkan kepada yang lain.
141
Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Bertempat di rumah salah satu alumni pada siang hari dalam situasi tidak formal tapi serius.
Jenis tuturan: Serius dan menegangkan, karena kiai selaku guru melihat sinyal-sinyal bahwa sebagaian besar alumni belum diberi tahu tentang undangan pertemuan yang akan diselenggrakan kiai. Sehingga tampak nada suara P1 lebih tinggi dari P2
Peserta tutur: P1: Kiai yang berlatar belakang sebagai guru (KG) P2: Kiai yang berpredikat sebagai santri (KS) P3: santri dari P2
Bentuk pesan: Percakapan serius, sehingga walaupun tidak formal, tapi menimbulkan rasa tegang P1, sedangkan P2 timbul perasaan takut.
Urutan tindak: P1 Memberi salam P2 menjawab salam P1 memulai percakapan P2 menjawab setiap pertanyaan P1 dengan tegang dan perasaan takut, sehingga terjadi kegugupan dalam berbicara.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan anatra P1
dan P2 tetap memegng teguh prinsip-
prinsip sebagai guru-santri, walaupun pada situasi informal. Secara umum pola komunikasi KG-KS dalam situasi informal adalah sebagai berikut: Tingkat tutur yang digunakan KG Eg-E, sedangkan KS kepada KG 142
menggunakan ragam bahasa È-B dan BAl (Krama Inggil dan bahasa kraton). Topik dapat berpengaruh terhadap situasi tutur, apakah serius atau santai. Tujuan tutur diungkapkan dalam bentuk implikaturimplikatur yang disertai dengan nada tinggi sebagai bentuk emosional yang terjadi pada percakapan. Prinsip-prinsip kesantunan (politeness) dalam tuturan tersebut sangat dipatuhi. Dalam tuturan tersebut faktor perbedaan umur sangat menentukan pola komunikasi. Dengan umur P1 lebih banyak dari P2 tidak ada lagi kosa kode yang dipakai P1 menunjukkan kosa kode È-B. Begitu juga nada suara keras yang disampaikan dengan kalimat-kalimat
pertanyaan sangat
dominan
digunakan oleh P1. Sedangkan P2 hanya mengiyakan, menjawab, dan memberi penjelasan dengan nada suara yang rendah.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan dan hasil
analisis data 6 dan 7
tersebut, dapat dipaparkan pahwa pola komunikasi KG-KS dalam situasi informal adalah sebagai berikut: Tabel 5.2: Pola Komunikasi KG-KS dalam Situasi Informal Peserta Tutur
Tingkat Tutur
KG ( umur lebih Muda)
È-E È- B
KS (umur lebih tua)
È- B BAl
KG (umur lebih tua)
Eg –E
KS (umur lebih muda)
È- B BAl
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body (Nada Suara) Bahasa Language BM Lebih tinggi BI dan dari nada tutur BA KS Tidak tampak, karena BM Lebih rendah Via telepon BI dan dari nada tutur BA KG BM BI dan BA BM BI dan BA
Lebih tinggi dari nada tutur KS Lebih rendah dari nada tutur KG
Alih Giliran Tutur Memulai Tuturan, bertanya Giliran kedua Menjawab pertanyaan dan memberi alasan
Pandangan kepada lawan tutur
Giliran pertama
Menundukkan pandangan
Setelah KG atau mohon ijin bicara
143
5.2 Pola Komunikasi Kiai yang Sederajat Yang dimaksud kiai yang sederajad dalam sub bab ini adalah kiai yang tidak ada keterkaitan sebagai guru-santri. Karena itu, mereka
memiliki
kedudukan dan status sosial yang sama. Kiai sebagai sesama alumni pesantren, baik yang berasal dari satu pesantren maupun dari pesantren lainnya memiliki pengaruh, peran, dan status sosial yang sama di tengah-tengah masyarakat NU. Mereka juga memiliki pola komunikasi yang setara antara kiai yang satu dengan yang lainnya, bahkan tingkat keakraban yang tinggi biasa terjadi dalam berkommunikasi. Pola komunikasi ini juga tidak terlepas dari penggunaan tingkat tutur (speech level),
pilihan bahasa dan ragam bahasa, tone, body
language, dan alih giliran tutur. Poedjosoedarmo (2003) memukakan bahwa tingkat tutur (unda usuk) adalah variasi yang keberadaannya dan perbedaan bentuknya ditentukan oleh anggapan si penutur terhadap lawan tutur yang didasarkan pada tingkat keakraban atau rasa hormatnya. Dengan kata lain, tingkat tutur itu ditentukan oleh hubungan si penutur dan lawan tutur, antara O1 (orang pertama) dengan O2 (orang kedua). Ada hubungan yang akrab, dan ada yang berjarak. Ada hubungan yang santun, penuh rasa hormat, dan ada yang tak perlu menghormat. Masyarakat yang tingkat peradabannya tinggi biasanya memiliki tingkat tutur yang kelihatan jelas. Di Jerman orang membedakan tingkat tutur Sie dan du, di Perancis ada Vus dan Tu. Di Madura, Jawa, Sunda, dan Bali pilahan-pilahan tingkat tutur juga kelihatan jelas. Tingkat tutur tersebut , sebagai tola ukur penggunaan kode tutur yang lain dalam peristiwa komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan tingkat tutur membentuk 144
pola komunikasi. Seseorang yang menggunakan tingkat tutur È-B, berupaya secara konsisten memilih BM untuk mempertahankan
politeness,
bersuara
lemah lembut (merendahkan suaranya), menunjukkan bahasa tubuh yang santun (seperti, menundukkan kepala dan pandangan), dan memtahui alih giliran tutur. Didasarkan pada konteks terjadinya tuturan, pola komunikasi kiai yang sederajat ini, akan di petakan menjadi dua kategori yakni, pola komunikasi kiai yang sederajat dalam situasi formal dan informal.
5.2.1 Pola Komunikasi Kiai Sederajat dalam Situasi Formal Dalam situasi formal, kiai lebih berhati-hati dalam berkomunikasi termasuk bagaimana menggunkan bahasa halus (abhâsa) dan penggunaan tingkat tuturnya biasanya cenderung konsisten. Karena itu, petuturan yang di dalamnya jauh dari keakraban dan situasinya formal, cenderung menggunakan bahasa yang juga konsisten, agar terhindar dari penggunaan bahasa yang yang kasar (ta‟ abhâsa). Fenomena tersebut dapat dilihat pada data berikut: Data 8: Sambutan Kiai pada Acara selamatan tingkepan tujuh bulan Assalaamu‟alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh Wa‟laikum Salaam Warahmatullaahi Wabarokaatuh Bismillaahi Alhamdulillah Ashsholaatu wassalaamu ‟alaa sayyidinaa Muhammadin wa‟alaa „aalihi waashbihii wamawwalah walaahaula quwwata illa billah, ammaa ba‟duh. Para onjhângan sadhâjâ, insyaAllah sè pareppaen è muljaaghi Allah Swt. Cabis pamator, badan kaulah narèmah mandat dâri shohibul hajah sekeluarga kaangguy makkèlèn pamator sè bhâdi èyatorroaghi dâ‟ panjenengan sadhâjâ. Ngèngèngèn klabân acara slametan è malem samangkèn, engghi ka‟dinto: nomor sèttong, atas nama shohibul hajah mator syukur kehadirat Allah swt. atas terlaksana èpon ponapa sè dhâddhi cita-cita otabâ hajhât dari shohibul hajâh sekeluarga, sampè‟ hajât dari 145
shohibul hajah è malem samangkèn paneka nagatorè longghu dâ‟ bâdân kaulâ sadhâjâ. Lastarè ka‟dinto ca‟èpon, atas kehadiran èpon panjenengan sadâjâ sanget è kabhunga, mator sakalangkong sè cè‟ rajhâna, kalabân nyo‟on dâ‟ ka Allah Swt. kalabân settong pernyo‟onan Jazaakumullaahu khairan katsiiraa. Amien yaa rabbâl‟aalamaiin. (Bismillaahi Alhamdulillah Ashsholaatu wassalaamu ‟alaa sayyidinaa Muhammadin wa‟alaa „aalihi washahbihii wamawwalah walaahaula walaa quwwata illaa billah, ammaa ba‟duh. Para undangan semua, insyaAllah yang sedang di muliakan Allah swt. Sowan pembicaraan, badan saya menerima mandat dari shohibul hajah sekeluarga untuk mewakili pembicaraan yang akan dihaturkan ke panjenengan semua. Mengingat dengan acara selamatan di malam ini, yaitu: nomor satu, atas nama shohibul hajah mengucapkan syukur kehadirat Allah swt. atas terlaksananya apa yang menjadi cita-cita atau hajat dari shohibul hajah sekeluarga, sampai hajat dari orang yang punya hajat di malam sekarang ini mempersilahkan duduk kepada badan saya semua. Setelah ini katanya, atas kehadirannya penjenengan semua sangat menyenangkan, ucapan terima kasih yang sangat besar, dengan memohon kepada Allah Swt. dengan suatu permohonan semoga Allah mengganti kebaikan yang banyak, Amien ya rabbâl‟alamaiin!) „Bismillaahi Alhamdulillah Ashsholaatu wassalaamu ‟alaa sayyidinaa Muhammadin wa‟alaa „aalihi washahbihii wamawwalah walaahaula walaa quwwata illaa billah, ammaa ba‟duh. Para undangan yang insyaAllah sedang di muliakan Allah swt. mohon ijn berbicara, saya menerima mandat dari shohibul hajah sekeluarga untuk mewakili prakata ke panjenengan semua. Berkaitan dengan acara selamatan pada malam hari ini, yaitu: pertama, atas nama shohibul hajah kami bersyukur kehadirat Allah swt. atas terlaksananya acara ini, sehingga niatan shohibul hajah pada malam hari ini mengundang kita semua. Kemudian, atas kehadiran penjenengan semua merupakan kebahagiaan bagi shohibul hajah. Karena itu, kami ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, seraya memohon kepada Allah Swt. dengan suatu permohonan semoga Allah mengganti dengan kebaikan yang lebih besar, Amiin ya rabbâl‟aalamaiin!‟ Pada acara formal kata sambutan seperti pada data (8) di atas, tuturan diawali dengan salam yang lengkap, dan partisipan tutur juga menjawabnya dengan salam yang lengkap. Setelah itu, ucapan syukur dan sholawat kepada Nabi yang dikemukakan dengan BA. Sebelum memulai sambutan kiai menyatakan Para onjhângan sadhâjâ sè muljâ „Para undangan yang mulia‟ sebagai kata sebutan untuk memuliakan partisipan tutur. Kata Cabis pamator 146
„mohon ijn berbicara‟ pada tuturan tersebut digunakan untuk menyatakan permohonan ijin, karena mendapat mandat untuk berbicara atas nama shohibul hajah. Kata tersebut
dipertegas dengan makkèlèn pamator „mewakili
menyampakan prakata‟ sebagai bentuk pernyataan bahwa, apa yang akan disampaikannya adalah prakata tuan rumah. Sambutan tersebut pertama bersyukur, atas terlaksananya acara tersebut, dan yang kedua uacapan terima kasih kepada para undangan atas kehadirannya, seraya berdo‟a semoga Allah Swt. membalas kebaikan para hadirin. Untuk lebih jelasnya, tentang pola komunikasi antarkiai yang sederajat dalam situasi formal, dapat dicermati pada analisis komponen tutur berikut:
Tujuan tutur: Ucapan syukur dan terima kasih mewakili shohibul hajah Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di rumah keluarga UNUEM dalam acara selamatan tingkepan pada malam hari setelah sholat maghrib.
Jenis tuturan: Serius, disampaikan dengan bahasa lisan dengan bantuan alat pengeras suara.
Peserta tutur: P1: beberapa kiai dengan kedudukan dan status sosial sederajat P2: Kiai yang bertindak sebagai shohibul hajah P3:UNUEM
147
Bentuk pesan: Pidato dalam rangka mewakili shohibul hajah
Urutan tindak: P2 meminta salah satu dari P1 memimpin acara dan memberi sambutan dan sekaligus meminta P1 menentukan pimpinan bacaan-bacaan dan do‟a P1 Memberi salam dan menlajutkan dengan kata-kata sambutan shohibul hajah. P3 Mendengarkan sekaligus mengikuti acara yang dipimpin P1
Norma interaksi dan interpretasi: Pada pertemuan yang sifatnya formal, kiai selalu menggunakan tingkat tutur È-B.
Adanya campur kode ke BI secara spontan, karena
keterbatasan penutur untuk menggunakan kosa kata sesuai kode tutur È-B. Dalam norma suatu masyarakat tutur lebih baik beralih kode ke BI dari pada beralih ke tingkat tutur yang lebih rendah atau bahkan tidak menggunakan tingkat tutur (mapas). Adapun alih kode dan campur kode ke BA lebih disebabkan kebiasaannya dalam menggunakan kode tutur BA, baik selama berada di pesantren maupun ketika bertemu dengan sesama teman alumni pesantren. Pada tuturan tersebut partsipan tutur sesama kiai sederajat menunjukkan sikap keakraban yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari bahasa tubuh yang saling memandang satu sama lain. Bagitu pula alih giliran bicara lebih moderat, tergantung kepentingan masing-masing partisipan tutur. Kiai yang satu bisa menunjuk kiai yang lain untuk memimpin bacaan-bacaan tertentu atau do‟a. Tinggi rendahnya nada tutur juga disesuaikan dengan tujuan dan konteks tuturan. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi yang melibatkan kiai sederajat pada tabel berikut: 148
Tabel 5.3: Pola Komunikasi Kiai Sederajat pada Situasi Formal Peserta Tutur
Tingkat Tutur È –B
Kiai
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa -diawali bersalaman Tinggi BM dengan tidak rendahnya BI mencium tangan sesuai topik dan BA -Pandangan kepada tujuan tutur lawan tutur
Alih Giliran Tutur Bebas sesuai dengan susunan acara
5.2.2 Pola Komunikasi Kiai Sederajat dalam Situasi Informal Di dalam masyarakat NU di Jember, tingkat keakraban dan rasa hormat antara penutur dan lawan tutur tidak hanya menghasilkan penggunaan tingkat tutur yang berbeda, akan tetapi juga menentukan pilihan bahasa, nada suara, body language maupun alih giliran tutur. Pola komunikasi antarkiai yang sederajat dipengaruhi dua faktor yaitu: a) Perbedaan Umur dan b) Keeratan Hubungan.
a. Faktor Perbedaan Umur Karena kiai yang sederajat dianggap memiliki status sosial yang sama, maka faktor utama yang mempengaruhi pola komunikasi adalah perbedaan umur. Kiai yang umurnya lebih muda pada umumnya berbahasa santun kepada kiai yang lebih tua, sebagaimana terlihat pada berikut:
Data 9: Percakapan Kiai KMdrs dan KHlm (A) KMdrs : Ngèreng→ èyatorè kè !→ (Mari disilahkan, kiai!) „Mari dipersilahkan, kiai‟ (B) KHlm : Torè→, embian bâi!↑ (Mari, sampean saja!) „Silahkan, sampean saja‟ 149
(C) KMdrs : Ta‟ langkong→, ngèreng lebbi afdlol panjenengan.↓ (Tidak boleh, mari Lebih utama panjenengan.) „Mari panjenengan saja yang lebih utama‟
Kata ngèreng yang secara harfiah bisa diartikan berada di belakang seseorang, atau mempersilahkan lawan tutur berada di depannya. Jika diartikan secara bebas sesuai konteks tuturan, data 9(A) (setelah digabungkan dengan frasa èyatorè kè) bermakna „mari dipersilahkan‟―fungsinya adalah memohon seseorang untuk melakukan sesuatu. Pada percakapan tersebut KMdrs yang umurnya lebih muda, mempersilahkan KHlm yang umurnya lebih sepuh untuk memimpin acara pengajian sebagai bentuk rasa hormatnya kepada yang lebih tua. Dilihat dari kosa kode yang digunakan, kata ngèreng termasuk ragam BM tingkat tutur È-B.
KMdrs mengembalikan permintaan tersebut kepada KHlm
dengan kalimat penolakan Torè, mbian bâi! „Mari sampean saja!‟ Kalimat tersebut diungkapkan sebagai bentuk penghargaan kepada yang lebih muda sesama kiai yang keilmuannya dianggap mumpuni. Namun demikian, KM tetap menolak dengan cara yang lebih hormat dengan mengatakan Ta‟ langkong, ngèreng lebbi afdlol panjenengan. „Mari panjenengan saja yang lebih utama‟. Frasa ta‟ langkong, jika diartikan secara harfiah bisa berarti tidak boleh, yang bermakna melarang penutur sendiri untuk melakukan hal tersebut, karena masih ada yang lebih sepuh yakni KHlm. Pelarangan terhadap diri sendiri tersebut dipertegas dengan tuturan lebbi afdlol panjenengan „libih utama panjenengan‟ yang berarti lebih utama KHlm dari dirinya (KMdrs). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi masyarakat NUEM, umur merupakan faktor utama rasa horamat antarkiai yang sederajat. 150
Pada situasi komunikasi yang lain, shohibul hajah memasrahkan acara kepada kiai yang lebih sepuh yakni KAd, selajutnya KAd meminta kiai yang lebih muda yaitu, KMnr untuk membuka acara. Namun demikian, pimpin do‟a tetap diserahkan kepada KAd oleh KMnr, seperti data berikut:
Data 10: Percakapan antara SHjh, KAd, dan KMnr. (A) SHjh : Ngèrèng èatorè↓, saèbu arèna eppa‟↓ ban ngènga‟è para leluhur dâri ghulâ sareng ne‟binè‟→, ahli kubur, tor se andi‟ beddâ‟an.↓ (Mari diaturi, seribu harinya bapak dan mengingat para leluhur dari saya dan istri, ahli kubur, yang punya bukaan.) „Mari bisa dimulai, Memperingati seribu hari bapak, sekaligus kirim do‟a untuk para leluhur, ahli kubur, dan yang membabat tanah di sini‟ (B) KAd : Èngghi→, torè pon!↑ (Ya, disilahkan mari) „Ya, mari dipersilahkan‟ (C) KMnr : Ngèrèng↓ èatorè!↓ (Mari disilahkan!) „Mari dipersilahkan‟ (D) KAd : Torè→ bukka‟aghi!↑ (Mari dibukakan!) „Mari dibuka dulu‟
Percakapan pada data (10) dimulai dengan permohonan shohibul hajah untuk memulai acara dengan tuturan Ngèrèng eatorè, saèbu arèna eppa‟ ban ngènga‟è para leluhur dâri ghulâ sareng ne‟binè‟, ahli kubur, tor se andi‟ beddâ‟an” „Mari bisa dimulai, Memperingati seribu harinya bapak, sekaligus kirim do‟a untuk para leluhur, ahli kubur, dan almarhum yang membabat tanah di sini‟. Tuturan 10(A) tersebut disampaikan kepada kiai yang umurnya paling sepuh sebagai bentuk penghormatan, walaupun memiliki kedudukan dan status 151
sosialnya sederajat dengan kiai yang lain. KAd menjawab dengan tuturan Èngghi, torè pon! „Ya, mari dipersilahkan‟10(B). Kata Èngghi sebagai jawaban terhadap permohonan shohibul hajah untuk memulai acara, sedangkan frasa torè pon! dengan menunjukkan ibu jari kepada KMnr sebagai bentuk pendelegasian wewenang untuk memulai acara tersebut. Namun demikian, KMnr yang merasa lebih muda tidak langsung menerima seruan KAd. Dengan tuturan yang lebih santun Ngèrèng èatorè! yang diikuti dengan bahasa isyarat dengan menunjukkan ibu jarinya kembali kepada KAd sebagai bentuk penolakan yang santun― sebagai orang muda seharusnya perannya dibelakang orang yang lebih sepuh. Dengan
tuturan
perintah
Torèh
bukka‟aghi!
„Mari
dibuka
dulu‟10(D)―Akhirnya KMnr membuka acara tersebut, karena tuturan itu lebih dianggapnya sebagai perintah orang yang lebih sepuh. Namun demikian, KMnr tetap memohon KAd untuk memimpin tahlil dan do‟a.
Analisis komponen tutur
Tujuan tutur: Mempersilahkan untuk memmipin acara tahlil memperingati seribu hari bapak dari shohibul hajah. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan berada di rumah keluarga WNUEM dalam rangka memperingati seribu hari
Jenis tuturan: Jenis tuturan pada data tersebut formal dan serius dengan menggunakan bahasa lisan yang dipadukan dengan bahasa isyarat sebagai bentuk rasa 152
saling menghormati antarpartisipan tutur. P2 berusaha merendahkan nada suaranya kepada P1.
Peserta tutur: P1: Kiai yang usianya lebih sepuh (KLS) P2: Kiai yang usianya lebih muda (KLM) P3: Shohibul hajah P4: UNUEM
Bentuk pesan: Percakapan sebelum acara tahlil seribu hari salah seorang UNUEM
Urutan tindak: P3 mempersilahkan para kiai dan ummat NU menempati tempat sesuai dengan posisi masing-masing. Kiai duduk berjejer pada posisi menghadap ummat NU sedangkan ummat NU duduk berhadaphadapan dengan sesama ummat NU. P3 mempersilahkan P1 untuk memulai acara tahlil P1 mempersilahkan P2 untuk memimpin acara, tetapi P2 menolak dan mempersilahkan kembali kepada P1 untuk memimpin acara. P1 meminta P2 membuka acara P2 membuka acara, P1 memimpin pembacaan surat yasin dan tahlil
Norma interaksi dan interpretasi: Pada kedudukan yang sederajat antarkiai, pola komunikasi ditentukan oleh perbedaan umur. Tuturan pada data 9 dan 10 tampak penggunaan tingkat tutur È-B digunakan oleh KMnr selaku KLM, sedangkan KAd menggunakan tingkat tutur E-E. Alih giliran tutur antara KLS dan KLM tergantung pada situasi tuturan. Pada data 9 KLM memulai tuturan, sedangkan pada data 10 KLS memulai tuturan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedudukan yang sederajat dapat membebaskan alih 153
giliran tutur antarkiai. Penentuan peran dalam suatu acara yang melibatkan kiai sederajat, UNUEM lebih memilih usia yang lebih sepuh sebagai pimpinan acara. Namun demikian KLS menunjuk KLM sebagai bentuk saling memuliakan orang yang dianggap alim dan KLM juga menolak seruan KLS sebagai bentuk rasa hormat kepada yang lebih sepuh.
b. Faktor Keeratan Hubungan Pola komunikasi kiai sederajat juga ditentukan oleh jarak kedekatan (distance)
secara personal antara penutur dan partisipan tutur. Persahabatan
semenjak kecil, teman sepermainan (umur sederajat), dan persaudaraan bisa membuka ruang terjadinya keeratan hubungan yang dapat mempengaruhi pola komunikasi, seperti terlihat dalam percakapan berikut:
Data 11: Komunikasi KAkml, KMhfd, dan KHd (A) KAkml : Assalaamu‟alaikum „Assalaamu‟alaikum‟ (B) KMhfd : Wa‟alikum salaam Warahmatullaahi wabarakaatuh „Wa‟alikum salaam Warahmatullaahi wabarakaatuh‟ (C) KAkml : Kadhinapah kabhâr kè? (Bagaimana kabar Ki?) „Apa kabar Ki‟ (D) KMhfd : Alhamdulillah kè, saè. (Alhamdulillah ki, baik) „Alhamdulillah ki, baik-baik) (E) KAkml: Cè bennya‟na ujian, kè. (Sangat banyak ujian, ki) „Ini lagi banyak ujian ki‟ (F) KMHfd : È soarghâ sè sobung ujiân kè, ha..ha..ha.... (Di surga yang habis ujian ki, ha..ha..ha....) „Di surga nanti yang tidak ada ujian kiai, ha..ha..ha....‟ 154
(G) KHd : Mon marè ujian biasana, ongghâ‟â kelas. (Kalo sudah ujian biasanya, mau naik kelas) „Biasanya kalau sudah ujian, akan naik kelas‟ (H) KAkml : Amien..amien...amien.... „Amien..amien...amien....‟
Pada percakapan di atas, setelah ucapan salam diikuti dengan kalimat tanya kadhinapah kabhâr kè? „Apa kabar ki‟ 11(C) sebagai bentuk pembuka percakapan dengan partisipan tutur yang sudah kenal baik. Kata sapaan kè „Ki‟ merupakan bentuk kode keakkraban dan penghormatan antarsesama kiai. Tuturan Cè bennya‟na ujian, kè „Ini lagi banyak ujian ki‟11(E) sebagai bentuk kalimat curhat kepada sesama kiai yang sudah dianggapnya teman akrab. Jawaban kiai È soarghâh sè sobung ujian kè, ha..ha..ha.... „Di surga nanti yang tidak ada ujian kiai, ha..ha..ha....‟ 11(F) sebagai bentuk kalimat berkelakar seraya menciptakan suasana petuturan yang lebih akrab dan tidak serius. Partisipan tutur ketiga menyambung dengan tuturan Mon marè ujian biasana, ongghâ‟a kelas „Biasanya kalau sudah ujian, akan naik kelas‟ 11(G). Tuturan tersebut sebagai bentuk penghibur perasaan sedih yang menimpa seorang teman dan sekaligus sebagai bentuk do‟a. Karena itu KAkml menjawab tuturan tersebut dengan kata Amien..amien...amien.... 11(H) sebagai bentuk ucapan rasa terima kasih atas kalimat penghibur yang sekaligus secara implisit tersirat do‟a. Untuk itu, kata Amien juga digunakan sebagai bentuk permohonan, agar apa yang dikatakannya dikabulkan oleh Allah Swt. Keakraban atau keeratan hubungan antarpartisipan tutur juga bisa dilihat dari penggunaan kode dan alih kode, seperti tidak menggunakan bahasa krama 155
atau kadangkala bahasanya menggunakan campuran BM dan BI, sebagaimana data berikut:
Data 12 : Percakapan kiai yang sederajat yang memiliki keeratan hubungan (A) KSdr : Ma‟ pas gitu, situ syekh? (Kok pas gitu situ syekh?) „Kenapa kok begitu engkau syekh?‟ (B) KHsn : Kan innaddunya la‟ibun walahwun (Kan, sesungguhnya dunia itu main-main dan senda gurau) „bukankah, di dunia itu sesungguhnya permainan dan senda gurau‟ (C) KSdr : Oh, senèkah? (Oh, gitu ?) „Oh, begitu ya ?‟ (D) KHsn: Ya gus, di dunia ini panggung sandiwara “innaddunya mata‟ul ghurur. (Ya gus, di dunia ini panggung sandiwara “sesungguhnya dunia panggung sandiwara”) „Ya gus, dunia ini panggung sandiwara “sesungguhnya dunia ini panggung sandiwara”‟ (E) KSdr: Wah, haa…haa… begitu ya ? „Wah, haa…haa… begitu ya ?‟ Data 12 merupakan percakapan kedua kiai yang dulu semasa mengabdi di pesantren merupakan teman akrab satu kamar tidur. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu ternyata KHsn sudah menjadi kiai yang berpengaruh, namun memiliki sikap yang berbeda dari yang dulu dikenal KSdr. Tuturan Ma‟ pas gitu, situ syekh „Kenapa kok begitu engkau syekh ?‟12(A) sebagai bentuk keterkejutan KSdr terhadap sikap KHsn yang aneh di depan para pengagumnya. Kata situ yang merupakan kosa kata bhâsa malajhu „BM ragam kota‟ sebagai bentuk sapaan keakraban untuk orang kedua, tetapi tidak meninggalkan rasa hormat 156
terhadap teman yang sudah dianggapnya berpengaruh. Bagitu juga kata syekh yang berarti „tuan‟ sebagai bentuk sapaan akrab, tetapi menunjukkan rasa hormat yang sudah menjadi tradisi di kalangan santri. Jawaban KHsn yang beralih kode ke dalam BA Kan innaddunya la‟ibun walahwun „bukankah, di dunia itu sesungguhnya permainan dan senda gurau‟12(B). Alih kode dan campur kode ke BA di samping sebagai bentuk ciri khas warga NU yang notabene lulusan pesantren, juga dimaksudkan agar hanya dipahami lawan tutur yang menjadi tujuan. Pernyataan dan alih kode tersebut dipertegas dengan tuturan “innaddunya mata‟ul ghurur” „sesungguhnya dunia panggung sandiwara‟12(D). Jawaban KSdr „Wah, haa…haa… begitu ya ?‟ sebagai jawaban yang menunjukkan bahwa KHsn paham terhadap tuturan BA KSdr dan juga sebagai sarana membangun keakraban dengan lawan tutur yang dulu di pesantren dianggap sebagai teman yang paling dekat.
Tujuan tutur: Memperjelas perilaku teman akrab yang sudah lama tidak bertemu Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Di ruang keluarga untuk menghindari partisipan tutur yang bersifat umum, disamping ingin melepaskan kerinduan sebagai teman akrab yang sudah lama tidak bertemu.
Jenis tuturan: Bahasa lisan yang disalurkan dengan nada santai dan penuh keakraban. Tinggi-rendahnya nada tutur disesuaikan tujuan tutur.
Peserta tutur: 157
P1: KSdr P2: KHsn Keduanya sebagai teman akrab ketika sama-sama ngabdhi di pesantren
Bentuk pesan: Percakapan dalam situasi santai antara dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Urutan tindak: P2 mempersilahkan P1 masuk ke ruang keluarga untuk menghindari partisipan tutur yang lain, dengan alasan: (1) agar keakraban antarkeduanya tidak terganggu oleh partisipan tutur yang merupakan ummat pengagum KHsn; dan (2) topik tuturan rahasia bagi partisipan yang lain. P2 masuk ke ruang keluarga KHsn dan langsung membuka percakapan dengan penuh keakraban.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam komunikasi yang melibatkan partisipan kiai yang sederajat dan berlatar belakang teman akrab, sering terjadi alih kode dari BM ke bhâsa malahju dan BA. Pilihan kode tersebut sebagai bentuk keeratan hubungan antarpartisipan tutur. Untuk menghindari kesalah pahaman partisipan yang lain (UNUEM) pada tuturan tersebut di setting tempat khusus yang dapat digunakan oleh partisipan tutur kiai yang sederajat. Kegiatan mufaroqoh itu dilakukan untuk menjaga terjadainya salah pengertian partisipan tutur yang lain dan juga dimaksudkan untuk menjaga kewibawaan kiai di depan ummat yang bersifat umum. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa kedekatan secara personal dapat membuat keakaraban dalam pertuturan (komunikasi). Dalam situasi keabraban seperti pada data di atas, nada tutur dan alih giliran tutur bebas sesuai dengan tujuan tutur masing-masing partisipan tutur. 158
Berdasarkan penjelasan dan analisis data 9, 10, 11, dan 12
dapat
disimpulkan bahwa pola komunikasi antarkiai yang sederajat pada situasi informal sebagai berikut: Tabel 5.4: Pola Komunikasi Kiai Sederajat pada Situasi Informal Kode Tutur yang Digunakan Tingkat Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Tutur Bahasa Dipengaruhi Perbedaan Umur BM Pandangan kepada lawan KLS Lebih tinggi E –E BA tutur Menundukkan kepala, BM KLM È- B Lebih rendah tetapi pandangan BA mengarah ke lawan tutur Dipengaruhi Keeratan Hubungan BM Sama, sesuai Pandangan kepada lawan Kiai E –E BI topik dan tujuan tutur BA tutur Peserta Tutur
Alih Giliran Tutura
Bebas sesui keperluan, konteks, dan tujuan tutur
5.3 Pola Komunikasi Keluarga Kiai Pola komunikasi pada ranah keluarga kiai biasanya juga ditentukan oleh perbedaan kedudukan dan status sosial yang ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu: adanya ikatan status guru-santri, nasabiyah, tingkat kealiman, perbedaan umur, keeratan hubungan, yang ada dalam keluarga dan antarkeluarga. Suamiistri yang memiliki ikatan status guru-santri juga menentukan rasa hormat dalam bertutur―keluarga yang berlatar belakang dari keluarga kiai pesantren menempati posisi lebih terhormat ketimbang asal suami/istri yang berasal dari keturunan keluarga ummat. Dalam keluarga yang memiliki status sosial sama, umur menjadi pertimbangan dalam menentukan rasa hormat. Kealiman seseorang dapat menjadi penentu tingkat hormatnya dalam keluarga; Keeratan hubungan, misalnya adanya hubungan pertemanan sebelum menikah, dapat juga menjadi penyebab terjadinya keakraban dalam berbahasa―tidak perlu 159
menggunakan tingkat tutur yang tinggi dan biasanya tingkat tutur yang digunakan kedua belah pihak setara. Dari beberapa faktor yang mentukan pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga kiai, ikatan status guru-santri berperan paling dominan dalam penentuan rasa hormat yang tercermin dalam penggunaan tingkat tutur, bentuk pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai alih kode dan campur kode, tekanan suara, bahasa isyarat (body language) dan alih giliran tutur. Namun demikian, secara umum dalam keluarga kiai NUEM, baik kiai yang berlatar belakang keturunan pesantren dan non pesantren, penggunaan bahasa halus (abhâsa) menjadi kebiasaan sehari-hari seperti di keraton. Bahkan sejak anak-anak (lora atau nyai), penggunaan BAl sudah mulai dibiasakan oleh para abdinya yang biasanya terdiri dari para santri. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, pola komunikasi dalam ranah keluarga dapat dipetakan menjadi: (5.3.1) Pola komunikasi dengan pendamping hidup; (5.3.2) Pola komunikasi orang tua-anak; (5.3.3) Pola komunikasi dengan saudara.
5.3.1 Pola Komunikasi dengan Pendamping Hidup (Suami-Istri) Pola komunikasi dengan pendamping hidup dalam keluarga kiai dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a. Faktor ikatan guru-santri; b. Faktor kealiman; dan c. Faktor keeratan hubungan sebelum menikah.
160
a. Faktor Ikatan Guru-Santri Dalam keluarga kiai yang terbentuk dari latar belakang keluarga gurusantri, pola komunikasi dipengaruhi kultur yang mengharuskan seorang santri ta‟dzim kepada gurunya. Karena itu, pola komunikasi yang terjadi didasarkan pada status sosialnya (peran dan kedudukan) sebagai guru-santri. Fenomena ini dapat dilihat dari data berikut: Data 13: Komunikasi suami-istri berlatar belakang IG-SS (A) Mmnh: Bâ maddâ pon↑, jhâ‟↑ dus-thodus↑ (Ah... mari sudah, jangan malu-malu) ‛Ayo silahkan, jangan malu-malu‟ (B) Almdn: Èngghi ↓ (inggih: Jawa) ‛saya nyai‟
Pada tuturan (data 13) tersebut, IG memulai percakapan Bâh maddâ pon, jhâ‟ dus todus ‛Ayo silahkan, jangan malu-malu‟ sebagai bentuk pencairan suasana yang kelihatan tegang dan malu-malu. Hal itu dipertegas dengan tuturan jhâ‟ dus thodus „jangan malu-malu‟ yang dimaksudkan agar sebagai suami seharusnya tidak perlu malu, karena adanya ikatan guru-santri. Walaupun demikian, sebagai santri
yang pernah berguru kepada abanya, perasaan
cangkolang tetap menjadi hal yang sulit dihilangkan. Hal ini terlihat dari jawaban suami èngghi (inggih: Jawa) ‛saya nyai‟ yang merupakan jawaban formal layaknya santri kepada gurunya. Untuk lebih mendalam tentang pola komunikasi
suami-istri yang berlatar belakang guru-santri dapat dijelaskan
melalui analisis komponen tutur berikut:
161
Topik: Upaya menetralisir keangkeran dalam rumah tangga, karena istri bersatus sebagai guru
Tujuan tutur: Mempersilahkan suami mantan santrinya untuk melakukan layaknya hubungan suami istri. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Di rumah nyai dalam situasi santai.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam situasi santai tapi serius
Peserta tutur: P1: Nyai sebagai istri yang masih dianggap sebagai guru (IG) P2: Suami yang masih memposisikan dirinya sebagai santri (SS)
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi pengaruh peran dan status sosial masing-masing partisipan tutur yang berbeda, menjadikan tuturan formal.
Urutan tindak: P1 mendekati P2 P2 duduk dengan posisi tegang menundukkan kepala P1 memulai percakapan, alih giliran tutur dalam percakapan ini didasarkan pada peran dan status sosial, yang dalam hal ini nyai dianggap sebagai guru P2 menjawab pertanyaan P1 dengan suara rendah menundukkan kepala, posisi pandangan ke bawah
162
Norma interaksi dan interpretasi: Data di atas diperoleh dari hasil wawancara yang menceritakan rasa cangkolang
seorang santri yang menikah dengan nyai, dimana dia
(suami) pernah menimba ilmu di pesanren tersebut. Walaupun sudah diikat dengan ijab qobul, tapi si santri tersebut masih merasa cangkolang dan selama beberapa hari dingin-dingin saja―karena rasa ta‟dzimnya kepada sang guru. Melihat kondisi yang demikian P1 (IG) berinisiatif dengan mendekati seraya mengatakan Bâ maddâ pon, jhâ‟ dus thodus ‛Ayo silahkan, jangan malu-malu‟. Kalimat tersebut diungkapkan untuk mencairkan suasana agar suaminya yang masih berpredikat sebagai santri tidak perlu malu-malu melakukan layaknya hubungan suami istri. Namun demikian, sebagai seorang santri tidak berani mengatakan yang lebih dari pada jawaban èngghi (Jawa: inggih) ‛saya nyai‟ dengan tekanan nada lebih rendah dari suara yang dikeluarkan oleh nyai istrinya―dan dalam komunikasi tersebut menundukkan kepala pandangan mata ke bawah sebagai bentuk rasa ta‟dzim kepada P1. Dalam komunikasi tersebut P1 menggunakan tingkat tutur E-E dengan campur kosa kode E-I, sedangkan suaminya menggunakan tingkat tutur È-B dan BAl. Perbedaan penggunaan tingkat tutur ini disebabakan kedudukan suaminya yang awalnya di samping sebagai santri dan istri sebagai anaknya guru di pesantren. Ini menunjukkan bahwa kedudukan dan status sosial IG yang masih dianggap sebagai guru dan sekaligus majikan di pesantren masih mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, ikatan pernikahan tidak secara langsung mencairkan hubungan kedudukan sebagai guru-santri yang masih melekat dan cenderung dipertahankan untuk selalu menta‟dzimkan gurunya. Dalam tradisi NU guru mendapat tempat yang amat dihormati di kalangan para santrinya, bahkan guru sering dita‟dzimkan melebihi orang tua―apalagi guru yang ada di pesantren. Hal tersebut lebih disebabkan peran guru selama di pesantren tidak lain sama dengan orang tua―karena ketika seorang anak (santri) telah dipasrahkan kepada kiai, maka dia baik buruk 163
secara penuh diserahkan kepada kiai sebagai pengasuh. Di samping sebagai orang tua, kiai juga sebagai guru yang mengajarkan ilmu agama yang fungsinya dapat menyelamat para santri terhadap sisksa api neraka, sedangkan ilmu tèngka dapat menunjukkan manusia dalam berhubungan baik sesama manusia (hablum minannas). Karena itu, peran kiai dianggap melebihi orang tua. Sedangkan orang tua dengan anak ada keeratan hubungan dalam keluarga―sehingga rasa hormat kepada orang tua masih dikategorikan di bawah kiai.
Pola komunikasi suami berlatar belakang guru (SG) dengan istri yang berlatar belakang santri (IS) dapat dilihat dari data berikut: Data 14: Komunikasi suami-istri yang berlatar belakang guru-santri (A) KSd : Mi,↑ ghuemma Nisa‟? ↑ (Mi, mana Nisa‟?) (Ummi, dimana Nisa‟?) (B) Itfdh : Ghi‟ mandi,↓ ka‟dinto.↓ (Masih mandi, ini) „Masih sedang mandi‟ (C) KSd: Mon marè↑ soro ka bulâ ghi!↑ (Kalau sudah, suruh ke saya!) „Kalau sudah mandi, suruh menemui saya‟ (D) Itfdh : Èngghi.↓ (Inggih: Jawa) (Ya) Kosa kata ghuemma, bulâ „dimana‟ „saya‟ yang digunakan Ksd (SG) pada tuturan data 14(A&C) merupakan kosa kode Eg-E. Sedangkan kosa kata ka‟dinto, èngghi „ini‟, „ya‟ 14(B&D) merupakan kosa kode
È-B. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Ksd menggunakan BM tingkat tutur Eg-E dan Itfdh menggunakan BM tingkat tutur È-B. 164
Penggunaan kode tutur tidak hormat juga bisa digunakan Khsym (SG) kepada Amnh (IS) seperti data berikut: Data 15: Percakapan SG dan IS (A) Amnh: Kè→, bâdâ tamoy, ka‟dinto.↓ (Ki, ada tamu, ini) „Kiai, ada tamu‟ (B) KHsym: Kabrâmpa ?↑ (keberapa?) „Berapa orang‟ (C) Amnh: Kaduâ↓, ka‟dinto.↓ (Berdua, ini) „Dua orang‟ (D) KHsym: Yâ→, soro toju‟ kadâ‟! ↑ (Ya, suruh duduk dulu!) „Ya, dipersilahkan duduk dahulu!‟ Kabrâmpa, „Berapa orang‟, Yâh, soro toju‟ kadâ‟ „Ya, dipersilahkan duduk dahulu!‟ pada data 15(B&D) merupakan kosa kode BM E-I. Amnh pada percakapan tersebut menggunakan BM È-B yang ditunjukkan dengan pemakaian kosa kata ka‟dintoh 15(A&C). Untuk lebih jelasnya, pola komunikasi dengan pendamping hidup yang berlatar belakang ikatan guru-santri, berikut dikemukakan analisis komponen tutur.
Tujuan tutur: Data (14) meminta istri menuyuruh putrinya menghadap suami Data (15) memberitahu suami bahwa ada tamu Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di dhâlem 165
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, tapi serius karena percakapan melibatkan suami istri yang berlatar belakang guru-santri.
Peserta tutur: P1: Suami (SG) P2: Istri (IS) P3: Anak P4: Tamu P5: Santri
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi serius antara suami-istri
Urutan tindak: Data (14) P1 datang ke dapur dan meminta nyai memberi tahu putrinya P2 mengiyakan permintaan P1
Data (15) P2 mendantangi P1 yang sedang membaca kitab di ruang muthola‟ah P2 Memberi tahu kalau ada tamu P1 Menyuruh P2 mempersilahkan tamu masuk P2 menyruh P5 mempersilahkan P4 masuk P4 masuk ruang tamu
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut data (14 dan 15), yang merupakan tuturan dua keluarga yang berbeda, namun secara konsisiten P2 (IS) menggunakan tingkat tutur È-B. Ini menunjukkan bahwa secara umum IS kepada SG selalu menggunakan BM level È-B seraya menundukkan pandangan dan 166
dengan tutur lebih rendah dari lawan tutur (SG). Hal tersebut sebagai bentuk penta‟dziman kepada guru dalam berkomunikasi. P1 pada data 14 menggunakan BM level Eg-E, sedangkan pada data 15 menggunakan BM level E-I dengan nada tutur lebih tinggi dari nada tutur P2 (IS) dan pandangan tertujua kepada lawan tutur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam keluarga SG secara umum dapat menggunakan BM level Eg-E atau E-I. Dalam ranah keluarga alih giliran tutur bebas tergantung keperluan masing-masing.
b. Faktor Nasabiyah dan Kealiman Pola komunikasi dengan pendamping hidup dalam keluarga kiai yang berasal dari nasab yang berbeda, juga dipengaruhi oleh tingkat ke‟aliman suami yang menikah dengan putri kiai. Dengan perbedaan nasab, misalnya seorang santri yang berasal dari keluarga ummat, karena kealimannya dia dipersunting menjadi menantu kiai, maka dalam penggunaan kode tuturan menjadi imbang, seperti data berikut: Data 16: Percakapan antara istri yang berasal dari nasab kiai dan suami yang alim berasal dari kalangan ummat (A) NFkh: Èatorè↓ ampon pak Khotib!→ (Mari sudah pak khotib!) „Mari pulang pak Khotib!‟ (B) Khtb: Èngghi↓, ngèrèng ampon.→ (Ya, ngikuti sudah) „Ya, mari sudah‟ (C) HJfr: Ka‟dimmaa pon→, ghi‟ bhâri‟→ (Mau kemana sudah, masih sore) „Kok buru-buru, masih sore saja‟ (D) HSlh: Manten baru, yah.→ „Kemanten baru, ayah.‟ 167
Frasa èatorè ampon! „Mari pulang!‟16(A) sebagai kalimat permohonan yang dalam konteks tuturan tersebut dipahami oleh lawan tutur sebagai ajakan pulang. Karena itu, lawan tutur segera menjawab dengan Èngghi, ngèrèng ampon „Ya, mari sudah‟ 16(B) sebagai kalimat persetujuan kepada ajakan lawan tutur. Sebagai tuan rumah sudah menjadi kebiasaan berbasa-basi untuk menunda tamu yang sedang pamet dengan tuturan Ka‟dimmaa pon, ghi‟ bhâri‟ „Kok buruburu, masih sore saja‟16(C). Kalimat tersebut sebagai bentuk ungkapan rasa senang „well come‟ dengan kedatangan tamunya. Namun demikian, bibi ingin berkelakar dengan kalimat Manten baru, yah, „Kemanten baru, ayah‟16(D). Ungkapan tersebut sebagai bentuk pengakraban dalam suatu percakapan yang melibatkan partisipan tutur yang memiliki keeratan hubungan dalam keluarga.
Tujuan tutur: Mengajak lawan tutur pulang Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah paman dalam situasi tidak formal
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, sehingga nada tutur yang digunakan partisipan tutur datar-datar saja.
Peserta tutur: P1: Istri (putri kiai) P2: Suami (mantan santri, namun memiliki kaaliman yang memadahi sebagai pengasuh pesantren) P3: Paman (berasal dari kalangan ummat) P4: Bibi (keturunan kiai) 168
Bentuk pesan: Percakapan santai dalam suasana bertamu yaitu keponakan dengan paman dan bibi
Urutan tindak: P1 mengajak pulang P2 menyetujui permintaan P1 P3 ingin menunda kepulangan P1 dan P2 P4 merestui kepulangannya, dengan berguarau kepada kemenakannya yang masih sebagai manten baru
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut semua partisipan tutur menggunakan tingkat tutur È-B. Ini menunjukkan kesetaraan dan saling memuliakan dalam berkomunikasi. P1 dimuliakan karena putri dari kiai karismatik; P2 dita‟dzimkan karena kealimannya; P3 dihormati karena kesepuhannya dan sebagai suami dari bibi yang merupakan putri seorang kiai; sedangkan P4 dihormati karena bibi umurnya juga lebih tua dari P1 dan P2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam keluarga faktor nasabiah, dan kealiman, menjadi penentu penggunaan pola komunikasi.
c. Faktor Keeratan Hubungan Keeratan
hubungan
antarsuami-istri
sebelum
menikah
dapat
mempengaruhi pola komunikasi dalam keluarga kiai, seperti tercermin pada data berikut: Data 17: Percakapan suami-istri yang berlatar belakang teman akrab (A)Iryn : Ba, ghulâ kaloarra sakejhâ‟ (Ba, saya mau keluar sebentar) „Aba, saya akan pergi sebentar‟ 169
(B) KAmdn : engghi mi, tè-ngatè! (ya mi, ti-hati!) „Ya umi, hati-hati!‟ Ghulâ kaloarra sakejhâ‟ „saya akan pergi sebentar‟ dalam tuturan 17(A) sebagai bentuk permohonan ijin istri kepada suaminya. Karena itu,
suami
mengiyakan permohonan ijin tersebut dengan tuturan engghi mi, tè-ngatè! „Ya umi, hati-hati!‟. Kata ulang tè-ngatè yang bermakna meminta istrinya berhatihati dalam konteks tuturan tersebut sebagai bentuk do‟a dan rasa perhatian suami kepada istrinya yang telah meminta ijin.
Tujuan tutur: Memohon ijin kepada suami Stuasi „tempat, dan suasana tutur‟: Konteks tuturan baerlangsung di rumah dalam suasana santai pada pagi hari. Suami sedang duduk di ruang tamu, sedang istri berdiri di ruang keluarga.
Jenis tuturan: Bahasa lisan yang disampaikan dengan nada santai antara suami dan istri yang merupakan teman sekolah di perguruan tinggi
Peserta tutur: P1: Suami P2: Istri P3: Peneliti
170
Bentuk pesan: Percakapan santai antara suami istri yang berlatar belakang memiliki keeratan hubungan sebelum menikah.
Urutan tindak: P1(istri) mendekati suami yang sedang berbicara dengan tamu berdiri di dekat pintu antara ruang tamu dan ruang keluarga P1 mohon ijin kepada suami P2 (suami) mengijinkan sekaligus memberi saran istri untuk berhati-hati
Norma interaksi dan interpretasi: Percakapan pada data (17) di atas, merupakan pasangan suami istri yang memiliki keeratan hubungan semasa kuliah, bahkan merupakan teman akrab, walaupun keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda―istri berasal dari keluarga keturunan kiai, sedangkan suami berasal dari kalangan ummat. Namun demikian, keeratan hubungan di masa lalu telah berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan. Tuturan pamit istri Ghulâ kaloarra sakejhâ‟ „saya akan pergi sebentar‟ dan jawaban suami engghi mi, tè-ngatèh „ya, ummi, hati-hati‟ merupakan kosa kode yang setara, yakni merupakan tingkat tutur madya E-E. Di samping tingakat tutur yang digunakan sepadan, dilihat dari bahasa tubuh yang diperagakan dan suara yang digunakan dalam percakapan tersebut juga terjadi kesetaraan, dan tidak terjadi keangkeran pada kedua belah pihak. Ini menunjukkan bahwa keeratan hubungan di masa lalu juga berpengaruh terhadap pola kumunikasi yang digunakan, yakni terjadinya keakraban dalam perilaku berbahasanya.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data (13,14,15,16,17) di atas dapat dideskripsikan bahwa pola komunikasi suami-istri dalam keluarga kiai sebagai berikut: 171
Tabel 5.5: Pola Komunikasi Suami-Istri dalam Keluarga Kiai Peserta Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Tingkat Pilihan Tone Body Language (Nada Tutur Bahasa Suara)
Dipengaruhi Faktor Ikatan Guru-Santri Istri berlatar belakang Eg –E BM guru (IG)
lebih tinggi
Suami berlatar belakang santri (SS)
lebih rendah
È –B
BM
Suami berlatar belakang Eg –E lebih BM guru (SG) E-I tinggi Istri berlatar belakang lebih È –B BM santri (IS) rendah Dipengaruhi Faktor Nasabiyah dan Kealiman Istri berasal berlatar Sama belakalang keturunan È–B BM rendah kiai karismatik Suami berasal dari È–B Sama kalangan ummat, tetapi BM rendah alim Dipengaruhi Faktor Keeratan Hubungan sama sesuai Suami-istri E–E BM tujuan tutur
Alih giliran Tutur
Pandangan kepada lawan tutur Menundukkan kepala dan pandangan mata ke bawah Pandangan kepada lawan tutur Menundukkan kepala
Sedikit Menundukkan kepala dan pandangan mata kepada partisipan tutur
Bebas, tergantung keperluan, konteks, dan tujuan tutur
Pandangan kepada lawan tutur
5.3.2 Pola Komunikasi Orang Tua-Anak Yang dimaksud orang tua dalam sub bab ini adalah orang tua kandung, mertua, dan paman/bibi. Sedangkan yang dimaksud anak adalah anak kandung/anak asuh, menantu, kemenakan. Karena itu, dalam sub bab ini pola komunikasi akan dipetakan sebagai berikut: (1) Pola komunikasi orang tua -anak kandung; (b) Pola komunikasi mertua-menantu; (c) Pola komunikasi paman/bibikemenakan.
a. Pola Komunikasi Orang Tua-Anak (Kandung) Yang dimaksud orang tua dan anak dalam pembahasan ini adalah termasuk anak asuh dan orang tua asuh yang hidup bersama-sama dalam 172
lingkungan keluarga yang masing-masing sudah dianggap orang tua atau anak kandung sendiri. Dalam hubungan keluarga inti seperti ini, umur menjadi penentu utama penggunaan kode tutur, misalnya orang tua ta‟ abhâsah (tidak berbhasa) kepada anak, sedangkan anak abhâsah (berbhasa) kepada orang tua, sebagaimana dapat dilihat pada data berikut: Data 18: Percakapan orang tua-anak kandung (A) KAmr : Sè khutbah rowa ba‟na, (Yang khutbah itu kamu) „Apakah kamu yang khutbah‟ (B) KSyd : Èngghi. (Inggih: Jawa) „ya‟ (C) KAmr : Ma‟ pas ba‟na? (Kok pas kamu) „Mengapa kamu yang khutbah ?‟ (D) KSyd : Jhâ‟ rèng man Basyir songkan. (soalnya man Basyir sakit) „Paman Basyir sedang sakit‟ (E) KAmr : Marè abâlâ bâ‟na? (sudah mengatakan kamu) „Apakah kamu sudah minta ijin?‟ (F) KSyd : Bhunten. (tidak) „tidak‟ (G) KAmr : Jâriyâ sè ta‟ mapan. (itu yang tidak bagus) „Perilaku seperti itu tidak bagus‟ Percakapan di atas, terjadi ketika Ki Basyir sakit. Beliau seharusnya pada hari Jum‟at itu tiba giliran sebagai khatib. KSyd selaku keponakan Ki Basyir langsung menggantikan kekosongan tersebut. KAmr sebagai orang tua Ksyd― 173
beliau juga selaku sesepuh di Pesantren, langsung memanggil KSyd. Kalimat yang diungkapkan KAmr sè khutbah rowa bâ‟na?,
„Apakah kamu yang
khutbah?‟ 18(A), merupakan kalimat pertanyaan yang sebenarnya sudah diketahui oleh si penanya. Kemudian dilanjutkan dengan ma‟ pas bâ‟na? „Mengapa kamu yang khutbah ?‟18(C)―dijawab lawan tutur bahwa pamannya sedang sakit. Sebetulnya kalimat yang menjadi tujuan pokok percakapan adalah Marè abâlâ bâ‟na? „Sudah minta ijin kamu? 18(E). Ksyd menjawab dengan Bhunten „tidak‟. Kemuadian ditutup oleh penutur Jâriyâ sè ta‟ mapan „perilaku itu yang tidak bagus‟18(G). Kalimat penutup tersebut sebagai inti percakapan ingin memberikan pendidikan akhlak (budi pekerti) kepada anak bahwa dalam kondisi apapun seseorang yang akan menggantikan posisi orang lain harus meminta ijinnya.
Topik: Mengajarkan akhlak (etika) kepada anak untuk menghormati yang lebih tua.
Tujuan tutur: Menklarifikasi kepada anak tentang penggantian khatib. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di rumah dalam situasi tidak fromal pada siang hari setelah sholat Jum‟at.
Jenis tuturan: Bahasa lisan yang diikuti dengan ekpresi wajah yang serius. Nada suara tinggi aba sebagai ekspresi perasaan marah kepada anaknya, sedangkan 174
nada suara rendah dan tertatih-tatih yang keluar dari anak merupakan ekspresi perasaan takut kepada abanya.
Peserta tutur: P1: Aba „ayah‟ P2: anak P3: Umi „ibu‟
Bentuk pesan: Percakapan serius sebagai bentuk rasa marah orang tua kepada anaknya
Urutan tindak: P1 memanggil P2 P1 bertanya kepada P2 P2 menjawab pertanyaan P1 P3 mendengarkan tanpa mengatakan satu suarapun Alih giliran tutur dalam percakapan ini terjadi dari umur yang tua (orang tua) kepada umur yang muda (anak)
Norma interaksi dan interpretsi: Kosa kata yang digunakan P1 sebagai orang tua adalah kosa kode dalam tingkat tutur E-I, sedangkan kosa kata yang digunakan P2 adalah kosa kode tingkat tutur È-B dan BAl. Ini berarti bahwa dalam lingkungan keluarga inti kiai, tingkat keangkeran orang tua khususnya aba (ayah) masih terjadi. Tingkat keangkeran tersebut juga dipengaruhi oleh perasaan marah yang tampak melalui tuturan-tuturan P1 yang berupa pertanyaan-pertanyaan yang cenderung bertubi-tubi memojokkan P2. Ini berarti pula bahwa tujuan tutur dapat mempengaruhi situasi tuturan yang seharusnya santai menjadi tuturan formal dan serius. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara komponen tutur yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan bahkan saling mempengaruhi. P3 sebagai orang 175
yang memiliki otoritas di bawa P1 tidak berani mencampuri apa yang menjadi tujuan tutur P1, karena dalam kultur NU aba lebih dominan dalam mencetak karakter anak-anak ketimbang ibu. Hal tersebut dapat dilihat dari pasifnya P3 dalam percakapan. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam keluarga kiai tingkat keangkeran orang tua terhadap anak lebih dominan dari pada tingkat keakrabannya. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan tingkat tutur anak yang harus selalu abhâsah kepada kedua orang tuanya, termasuk kepada saudara-saudara dari orang tua, seperti paman, bibi, dan yang sederajat lainnya dengan menggunakan tingkat tutur È-B atau BAl.
b. Pola Komunikasi Mertua-Menantu Hubungan mertua-menantu dalam pandangan masyarakat NU sama dengan hubungan orang tua dan anak kandung, karena lantaran hubungan pernikahan menjadi hubungan muhrim bitta‟bit „muhrim selama-lamanya‟ yang identik dengan orang tua kandung―namun, dalam hubungan interaksi antara mertua-menantu tetap ada jarak yang berbeda, dibanding orang tua dengan anak. Seperti halnya, orang tua dalam posisi anak bersalah bisa langsung memarahi, akan tetapi ketika menantu bersalah, mertua biasanya hanya mengingatkan, dan yang lazim dilakukan melalui mediator anak sendiri (istri/suami dari menantu). Untuk lebih jelasnya, bagaimana pola komunikasi mertua-menantu dapat dilihat paparan data berikut.
Data 19: Komunikasi Mertua-Menantu (A) KMhd: Bâjâna dhika sanonto? (Waktunya kamu sekarang?) „Giliran kamu sekarang?‟ 176
(B) RBkhr: Bhunten, abdina Jum‟at dâteng. (Tidak, hamba Jum‟at datang) „Bukan, saya Jum‟at depan‟ (C) KMhd: Bhulâ bilâ? (Saya kapan?) „Giliran saya kapan?‟ (D) RBkhr: Aba, Jum‟at Manis. (Aba, Jum‟at Manis) „Aba gilirannya Jum‟at Manis‟ Tuturan Bâjâna dhika sanonto? „Giliran kamu sekarang?‟19(A) sebagai bentuk pertanyaan yang belum jelas objeknya. Berdasarkan konteks tuturan yang terjadi pada hari Jum‟at pagi, maka yang dimaksud dengan giliran itu adalah giliran khutbah. Jawaban Bhunten, abdina Jum‟at dâteng „Bukan, saya Jum‟at depan‟19(B) menunjukkan bahwa inferensi RBkhr tepat sesuai tujuan yang disampaikan penutur. Kata dhika, bulâ, sanonto, termasuk kosa kode Eg-E, sedangkan bhunten dan abdina masing-masing tersamasuk ke dalam kosa kode BM level È-B dan BAl. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak menantu kepada Mertua menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan BAl, sedangkan mertua kepada anak menantu menggunakan BM level Eg-E.
Tujuan tutur: Menanyakan giliran sebagai khatib Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di lingkungan pesantren tepatnya di depan dhâlem pada hari Jum‟at pagi. P1 baru pulang dari Masjid, sedangkan P2 sedang membersihkan mobil.
177
Jenis tuturan: Bahasa lisan yang disampaikan dengan santai. Nada suara aba mertua lebih tinggi dari nada suara anak menantu.
Peserta tutur: P1: Aba mertua P2: anak menantu laki-laki P3: Umi „ibu‟ P4: anak perampuan (istri P2)
Bentuk pesan: Percakapan santai menanyakan giliran khatib dalam posisi sama-sama berdiri.
Urutan tindak: P1 mendekati P2 yang sedang membersihkan mobil P1 bertanya kepada P2 P2 menghentikan pekerjaannya seraya menjawab pertanyaan P1 P3 dan P4 mendengarkan tanpa mengatakan apapun Alih giliran tutur dalam percakapan ini dari mertua ke anak menantu
Norma interaksi dan interpretsi: Kosa kata yang digunakan P1 sebagai orang tua adalah kosa kode dalam tingkat tutur Eg-E, sedangkan kosa kata yang digunakan P2 adalah kosa kata tingkat tutur È-B. Ini berarti bahwa dalam lingkungan keluarga kiai, mertua pada umumnya menggunakan tingkat tutur BM level Eg-E, sedangkan anak menantu menggunakan BM level È-B dan BAl. Panggilan aba sebagai pengganti „ajunan/panjenengan‟ sebagai bentuk alih kode panggilan akrab seorang anak kepada orang tua. P2 sengaja menghentikan pekerjaannya nyerbèti (membersihkan) mobil sebagai bentuk penghormatan dan perhatian kepada lawan tutur.
Bentuk rasa 178
hormat P2 tersebut juga ditunjukkan dengan menyilangkan tangannya di depan bawah perut serta menundukkan pandangannya dalam situasi tuturan tersebut hanya sebagai pendengar, karena topik tuturan dalam ruang lingkup pembicaraan yang lazim diperbincangkan laki-laki.
Berbeda dengan komunikasi mertua dan menantu perempuan, yang pada umumnya memiliki kedekatan dan keakraban yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh tradisi EM yang menempatkan derajat perempuan dalam rumah tangga berada di bawah laki-laki. Fanomena ini berpengaruh terhadap pola komunikasi yang digunakan, sebagaimana dalam tuturan berikut: Data 19: Percakapan Mertua-mntpr (A) NyMrht: Èdhikanè abana na‟↑, èadâ‟!→ (Dipanggil abanya nak, di depan!) „Dipanggil aba nak, di depan!‟ (B) Khtmh: Ka‟dinto↓ ba...?→ (ini, ba...?) „Ada apa ba..?‟ (C)KIsmn: Iyâ na‟→, ca‟na abana bân ummina↓ andi‟ rencana berangkatta taon dâteng?→ (ya nak, katanya abanya dan umminya punya rencana mau berangkat tahun depan?) „Apa benar nak, aba dan ummi mempunyai rencana akan berangkat tahun depan?‟ (D) Khtmh: InsyaAllah↓, manabi badâ panggilan, ka‟dinto↓. (InsyaAllah, kalau ada panggilan, ini) „InsyaAllah, kalau ada panggilan Allah‟ (E) KIsmn: Mon bisa→, mayu nyumbâng na‟!→ (Kalau bisa, mari nyumbang nak!) „Kalau bisa, mari kita sumbang nak! (F) Khtmh: InsyaAllah ba↓, abdina matorra↓ ka abana na‟ kana‟→ (InsyaAllah Aba, saya mau mengatakan ke abanya anakanak) 179
„InsyaAllah Aba, saya akan musyawarah dengan abanya anak-anak‟ Tuturan NyMrht (Mrtpr) kepada Khtmh (Mntpr) Èdikanè abana na‟ èadâ‟. „Dipanggil aba nak, di depan‟ 19(A) sebagai bentuk kalimat informasi yang menyampaikan permintaan untuk menghadap aba. Kata Èdhikanè yang merupakan kosa kode È-B yang digunakan Mrtpr kepada Mntpr bukan sebagai bentuk bhâsa mertua kepada menantunya, tetapi sebagai bentuk berbhâsa kepada aba yang sekaligus pembelajaran bagi anak. Bentuk na‟ „anak‟ baik yang diungkapkan oleh Mrtpr maupun Mrtlk sebagai sapaan akrab dalam keluarga, sebagai upaya memposisikan menantu perempuan seperti anak sendiri. Kata na‟ juga bisa diganti dengan sapaan akrab lainnya seperti jih „jika anaknya sudah haji‟ atau ummina/abana „ummi/aba‟ soleha―jika anaknya punya anak bernama sholeha. Kata Ka‟dinto ba...? „ada apa ba...?‟19(B)
sebagai kalimat yang
mempertanyakan maksud dan tujuan aba memanggil Khtmh. Kata ka‟dinto, manabi, matorra, yang digunakan Mntpr merupakan kosa kode
È-B. Ini
menunjukkan bahwa menantu perempuan kepada mertua menggunakan BM level È-B―mertua kepada menantu menggunakan BM level E-I. Hal ini dapat dilihat dari kosa kode E-I yang digunakan mertua pada kalimat Iyâh na‟, ca‟nah abanah bân umminah andi‟ rencana bârangkatta taon dâteng „Apa benar nak, aba dan ummi berencana akan berangkat tahun depan?‟ 19(C)― kalimat Mon bisa, mayu nyumbâng na‟! „Kalau bisa, mari kita sumbang nak! Kalimat 19(C) sebanarnya tidak jelas tujuan keberangkatannya kemana. Namun demikian, dalam konteks tuturan dan tradisi NUEM kata „bârangkat‟ (berangkat) biasa diartikan „menunaikan ibadah haji‟. Karena itu, lawan tutur langsung memahami 180
dengan jawaban
InsyaAllah, manabi bâdâ panggilan, ka‟dinto „InsyaAllah,
kalau ada panggilan Allah‟.
Kata panggilan dalam kalimat 19(D) sebagai
penegasan bahwa orang naik haji itu merupakan panggilan menjadi tamu Allah, sehingga kalau sudah ditakdirkan, pasti ada rejeki yang menopangnya. Untuk mendekatkan kepada panggilan tersebut, aba mengajak anak menantunya untuk memberi bantuan dengan tuturan Mon bisa, mayu nyumbâng na‟! „Kalau bisa, kita sumbang nak!. Kalimat tersebut, merupakan kalimat ajakan untuk menyumbang orang tua anak menantu (besan) yang berencana menunaikan ibadah haji.
Analisis Komponen tutur: Tujuan tutur: 1. Memberitahu menantu perempuan kalau dipanggil aba 2. Menanyakan keberangkatan besan menunaikan ibadah haji Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di dhâlem pada pagi hari. P1 sedang memasak di dapur, P2 membantu P1.
Jenis tuturan: Bahasa lisan yang disampaikan dengan santai―nada suara P1 dan P3 lebih tinggi daripada nada suara P2 (anak menantu perempuan).
Peserta tutur: P1: Ummi mertua P2: Menantu perempuan P3: Aba mertua P4: Santri 181
Bentuk pesan: Percakapan santai―menanyakan keberangkatan orang tua menantu menunaikan ibadah haji.
Urutan tindak: P1 menyampaikan pesan kepada P2 tentang panggilan aba P2 bertanya kepada P3 tentang maksud panggilan P3 menghentikan atktivatasnya yang sedang membaca kitab P3 bertanya kepada P2 P2 menjawab P3 memberi saran P2 menerima saran dan akan bermusyawarah dengan suami Alih giliran tutur dalam percakapan ini, bebas sesuai kepentingan masing-masing pihak dan tujuan tutur.
Norma interaksi dan interpretsi: Kosa kata yang digunakan P1 sebagai orang tua adalah kosa kode dalam tingkat tutur E-I, sedangkan kosa kata yang digunakan P2 adalah kosa kode tingkat tutur È-B yang dimaksudkan untuk berbhâsa kepada P3. P2 selalu menggunakan BM level È-B dan bercampur kode BAl. Ini berarti bahwa dalam lingkungan keluarga kiai, mertua kepada menantu Perempuan pada umumnya menggunakan tingkat tutur BM level E-I― anak menantu kepada mertua menggunakan BM level È-B bercampur kode BAl. Panggilan Aba/ummi sebagai penganti „ajunan/panjenengan‟ sebagai bentuk alih kode panggilan akrab seorang anak kepada orang tua. Bentuk rasa hormat P2 juga ditunjukkan dengan menundukkan pandangannya di depan P3. Di depan P1, P2 tidak menundukkan pandanggannya. Ini menunjukkan bahwa tingkat keangkeran laki-laki dalam pandangan WNUEM melebihi perempuan. Pengaruh peran antara ummi mertua dan menantu perempuan yang sama-sama di belakang telah menyebabkan hilangnya keangkeran, sehingga terlihat akrab dalam 182
berkomunikasi. Panggilan sapaan na‟ „anak‟ kepada menantu telah membuang sekad hubungan anatara mertua dan menantu.
P4 dalam
tuturan tersebut hanya sebagai pendengar, karena perannya sebagai santri tidak lazim menyela pembicaraan keluarga guru.
c. Pola Komunikasi Paman/bibi-Kemenakan Pada umumnya komunikasi paman/bibi-kemenakan dalam keluarga kiai memiliki pola yang sama dengan pola komunikasi orang tua-anak―karena dalam keluarga kiai tingkat formalitas hubungan antara keduanya sama. Oleh karena itu, dalam sub bab ini hanya akan dideskripsikan pola komunikasi paman/bibi yang dianggap berbeda/unik, yakni paman yang berasal dari nasibiyah golongan ummat dengan kemenakan yang memang asli keturunan kiai. Dalam hubungan kekerabatan antara kularga kiai yang berlatar belakang asli keturunan kiai dan keluarga kiai yang berasal dari keturunan ummat, terjadi adanya perbadaan penggunaan variasi bahasa dan kode tutur untuk mempertahankan rasa hormatnya kepada keluarga kiai yang dalam traidis NU dianggap keturunan ulama. Berikut ini contoh percakapan antara paman (pak de/bapak sepuh) yang kedudukannya sebagai ummat dan keponakan yang kedudukannya berlatar belakang putri kiai karismatik.
Data 20: Percakapan antara paman-kemenakan (A) HSts: Ajunan nyarè sè enga‟ napa ning ?→ (Ajunan mencari yang seperti apa ning ?) „Kamu mencari jodoh yang bagaimana ning ?‟ (B) NHsnh: Yaa... mon ca‟ San→, bhunten, kaulâ↓ ta‟ lè mèlè→, kèng ghi‟ ta‟ dâpa‟→. 183
(Yaa, kalau ca‟ San, tidak, saya tidak memilih-milih, tapi belum sampai) „yaa, kalau ca‟ San, sebenarnya saya tidak pilih-pilih, tapi mungkin belum ketemu jodoh‟ Percakapan terjadi dalam situasi santai di rumah HSts―paman berlatar belakang dari kalangan umat (PUmt), yang merupakan kakak ipar ummi dari ning Hsnh. Abi Hsnh adalah seorang kiai karismatik asal pesantren besar yang oleh HSts dianggap sebagai guru. Dalam percakapan tersebut, HSts memanggil NHsnh dengan sebutan ajuanan. Ajunan merupakan panggilan orang kedua yang biasanya digunakan untuk orang yang sangat dihormati dan merupakan kosa kode dari tingkat tutur È-B (Jawa: Krama inggil) dan juga BAl. Penggunaan kosa kata ajunan sebagai bentuk rasa hormat, karena kemenakannya sebagai putri/cucu kiai pengasuh pesantren, yang di kalangan masyarakat WNUEM di Jember diposisikan sebagai guru ummat. Namun dalam tuturan tersebut HSts selaku pak de menggunakan campur kode nyarè sè ènga‟ napa ning ? „memilih jodoh yang bagaimana ning‟. Tuturan ini, dibangun dengan kosa kata tingkat tutur E-E (Jawa: Krama madya). Penggunaan alih keode ke tingkat tutur E-E, karena posisi HSts adalah sebagai paman dan juga sebagai bentuk pengakraban pada situasi komunikasi dalam keluarga. Begitu pula NHsnh memanggil HSts dengan panggilan ca‟ San, sebagai bentuk tiruan bahasa abi dan uminya, untuk panggilan HSts. Panggilan ca‟ sebagai bentuk panggilan akrab kepada HSts, agar tidak terlalu kaku pada situasi komunikasi dalam ranah keluarga. Tingkat tutur E-E digunakan NHsnh sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang dianggapnya lebih tua.
184
Topik: Mencari tahu lelaki yang menjadi idaman kemenakannya
Tujuan tutur: Menanyakan kriteria jodoh yang diharapkan. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan terjadi di rumah paman HSts dalam suasana santai di ruang keluarga.
Jenis tuturan: Jenis tuturan pada data (20) adalah santai (tidak serius), sehingga terjadi hubungan komunikasi yang terbuka dan tanpa beban. Nada tutur yang digunakan oleh partisipan tutur hampir sama yaitu, sedang (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).
Peserta tutur: P1: Paman (HSts) berasal dari kalangan ummat P2: bibi berasal dari keluarga kiai pengasuh pesantren P3: keponakan berasal dari keluarga kiai pengasuh pesantren karismatik
Bentuk pesan: Percakapan santai di ruang keluarga
Urutan tindak: P3 memberi salam P1 dan P2 menjawab salam dan mempersilahkan P3 masuk ke ruang keluarga P3 mencium tangan P1 dan P2 P2 menghidangkan makanan miniman ringan
185
P3 duduk bersebelahan berhadapan dengan P1 dan bersebelahan dengan P2 P1 memulai percakapan dan P3 menjawab pertanyaan P1
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam tradisi NU keturunan kiai pesantren karismatik ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat. Rasa hormat tersebut dapat dilihat dari kode tutur yang digunakan P1 (PUmt) kepada P2 (keponakan yang berlatar belakang keturunan kiai karismatik). P1 menggunakan tingkat tutur È-B bercampur kode E-E, sedangkan P3 menggunakan tingkat tutur
E-E
bahkan dengan sapaan ca‟ (kakak) yang menunjukkan panggilan akrab. Dalam tuturan tersebut P1 tetap menunjukkan rasa` hormatnya kepada P3, sedangkan P3 selaku keponakan juga menunjukkan rasa hormat dengan kode tutur tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor nasabiyah yang mengacu pada hubungan guru-santri dapat mempengaruhi pola komunikasi dalam keluarga kiai.
Berdasarkan penjelasan dan analisi data (18,19,20) di atas, dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi orang tua-anak dalam keluarga kiai pada tabel berikut:
186
Tabel 5.6: Pola Komunikasi Orang Tua-Anak Kode Tutur yang Digunakan Alih giliran Tingkat Pilihan Tone Body Language Tutur (Nada Suara) Tutur Bahasa Pola Komunikasi Orang Tua-Anak Kandung Nada suara pandangan kepada Aba/Ummi E–I BM lebih tinggi partisipan tutur Menundukkan kepala È–B Nada suara Anak BM dan pandangan mata BA rendah ke bawah Pola Komunikasi Mertua-Menantu Pada umumnya Eg-E Nada suara pandangan kepada Mertua BM diawali dari E-I lebih tinggi partisipan tutur orang yang Dalam posisi berdiri lebih biasanya tua/mertua/pamenylilangkan kedua B Al Nada suara man/bibi, baru Menantu (Lk) BM tangan di depan È–B lebih rendah kemudian bawah perut sambil anak/menantu/ menundukkan kepala kemenakan. dan pandangan Dalam kondisi B Al BM Nada suara Menundukkan tertentu dalam Menantu (Pr) È–B lebih rendah pandangan keluarga boleh Pola Komunikasi Paman –Kemenakan mendahului, È –B sesuai Paman berasal Bercam kebutuhan dan BM Pandangan kepada dari kalangan pur tujuan tutur lawan tutur ummat (PUmt) kode ENada suara E tinggi rendahnya Sedikit Kemenakan sama Menundukkan berasal dari E –E BM kepala, tapi kalangan kiai pandangan mata karismatik kepada lawan tutur Peserta Tutur
c. Pola Komunikasi Kakak-Adik Dalam masyarakat NU faktor usia juga sangat diperhitungkan untuk menentukan rasa hormat kepada seseorang―tidak terkecuali dalam hubungan keluarga yang biasanya umur juga menjadi
penentu penggunaan pola
komunikasi yang tercermin dalam penggunaan kode tutur dan penentuan alih giliran berbicara. Menrurut pendapat Poedjosoedarmo (1979) banyak sekali orang yang berbasa terhadap orang lain semata-mata karena faktor usia lanjut.
187
Beliau memberi contoh bahwa banyak orang yang berbasa (abhâsa) kepada pengemis hanya kerana pengemis itu sudah tua. Padahal jelas pengemis itu tidak mempunyai apa-apa yang menyebabkan dia angker, kecuali usianya yang banyak. Tentang pola komunikasi di kalangan keluarga kiai NUEM yang dipengaruhi oleh usia dapat dilihat pada data berikut: Data 21: Pola Komunikasi RAbd (kakak) dan RLtf (adik) (A) RAbd : Lè‟ Latif ↑ (dèk Latif) „adik Latif‟ (B) RLtf : Ka‟dinto.↓ (Ini) „Saya kak‟ (C) RAbd : Kadiponapa Jamil Bunut? ↑ (Bagaimana Jamal Bunut?) „Bagaimana pendapatmu tentang Jamal Bunut?‟ (D) RLtf : Aponapa èpon? ↓ (Apanya?) „tentang apanya?‟ (E) RAbd : Pèkkèra ↓, idena ↓, dha‟ ka‟dimma? ↑ (Pikirannya, idenya, kemana?) ‘Pikirannya dan idenya arahnya ke mana?‟ (F) RLtf: Samangkèn ropana faktor usia, ta‟ patè rus-ngurusin ka‟dinto.↓ (Sekarang rupanya faktor usia, dak begitu ngurusi, itu.) „Sekarang rupanya karena faktor usia, tidak begitu aktif urusan luar‟ (G) RAbd : Ènggi↑, mon lamba‟ ponapa‟an karirra? ↑ Ja‟ mola‟a→. (Ya, kalau dulu apa karirnya, misalnya?) „Ya, kalau dahulu aktif di kegiatan apa, misalnya ?‟ (H) RLtf : Ènggi ↓, manabi lambâ‟ PPP, saka‟dinto↓ (Ya, kalau dulu PPP, demikian) „Ya, dulu aktif di PPP.‟ 188
Frasa Lè‟ Latif
„adik Latif‟ dalam tuturan 21(A) sebagai bentuk
panggilan untuk memulai percakapan, sembari menanyakan kesiapan lawan tutur untuk diajak berkomunikasi. Sebagai orang yang lebih muda RLtf menjawab dengan Ka‟dinto. „Saya kak‟ sebagai pernyataan kesediaan untuk memulai percakapan. RAbd kemudian memulai masuk dengan pertanyaan Kadiponapa Jamal Bunut? „Bagaimana pendapatmu tentang Jamal
Bunut?‟21(C).
Pertanyaan tersebut tidak dipahami dengan jelas maksudnya oleh RLtf. Karena itu, RLtf bertanya lebih khusus dengan pertanyaan Aponapa èpon? „tentang apanya?‟21(D). RA kemudian menjelaskan secara rinci apa yang dimaksudkan Pèkkèra, idena, dhâ‟ ka‟dimma? „Pikirannya dan idenya arahnya ke mana?‟. Yang dimaksud “Pèkkèra, idena” dalam kontek tuturan 21(E) adalah pilihan partainya. Samangkèn ropana faktor usia, ta‟ patè rus-ngurusin ka‟dinto. „Sekarang rupanya karena faktor usia, tidak begitu aktif urusan itu‟21(F). Jawaban ini sebagai bentuk penegasan bahwa Jml sudah tidak lagi berkecipung dalam urusan partai karena usianya sudah tua. Namun RA masih kurang puas karena jawaban RLtf 21(F) mengindikasikan kegiatan Jamal saat ini berhenti dipartai karena usia sudah tua. Tuturan Mon lamba‟ ponapa‟an karirra? „kalau dulu apa karirnya?‟21(G) merupakan bentuk pertanyaan RA tentang keaktifan dalam politik, ketika Jml masih muda. Akhirnya, RLtf menjawab bahwa Jml aktif di PPP dengan tuturan Ènggi, manabi lambâ‟ PPP, saka‟dinto” „Ya, dulu aktif di PPP.‟
Topik: Mencari tahu sikap politik seorang alumni pesantren. 189
Tujuan tutur: Menanyakan sikap politik seorang alumni pesantren Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan di rumah salah seorang santri dalam situasi tidak formal―terjadi pada siang hari.
Jenis tuturan: Serius, walaupun dalam situasi tidak formal, nada tutur P1 lebih tinggi dari nada tutur P2
Peserta tutur: P1: Kakak sebagai pengasuh pesantren P2: Adik juga sebagai pengasuh pesantren P3: Para alumni pesantren
Bentuk pesan: Percakapan agak serius, karena topik yang dibicarakan adalah masalah berkaitan dengan politik
Urutan tindak: P1 bertamu di rumah salah satu alumni P2 secara kebetulan juga bersilaturahmi ke tempat itu P2 berjabat tangan dengan mencium tangan P1 P1 membuka percakapan P2 menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan P1 P3 hanya sebagai pendengar yang selalu menundukkan pandangan
Norma interaksi dan interpretasi: Pada data (15) di atas, terdapat kosa kata Ka‟dinto Kadiponapa, Aponapa èpon, ponapa‟an, yang dipakai oleh RAbd dan RLtf pada tuturan. Kosa 190
kata-kosa kata tersebut adalah kosa kode yang lazim dipakai dalam tingkat tutur È-B. Ini menunjukkan bahwa tingkat tutur (speech level) yang dipakai oleh kedua belah pihak adalah
BM level È-B. Yang
membedakan pola komunikasi antarkeduanya adalah tinggi rendahnya suara yang digunakan dan perilaku non verbal antara penutur dan lawan tutur. RAbd yang merupakan saudara tua berbahasa dengan tone lebih tinggi dibandingkan suara RLtf yang umurnya lebih muda, yang dalam status kekeluargaan berpredikat adik. Begitu pula perilaku nonverbalnya seorang adik lebih cenderung menundukkan kepala di hadapan seorang kakak sebagai bentuk rasa hormat kepada yang lebih tua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan umur dalam keluarga kiai dapat menentukan bentuk rasa hormat dari yang lebih muda kepada yang lebih tua melalui kode-kode bahasa verbal (tekan suara: tone) dan nonverbal (perilaku yang menunjukan rasa hormat, seperti menundukkan kepala, tidak melihat selera lawan tutur dsb.). Jika dicermati pada percakapan di atas, tidak ada nada tutur yang digunakan RLtf sebagai adik yang menunjukkan tekanan suara tinggi, tetapi sebaliknya RAbd sebagai kakak cenderung menggunakan tekanan suara lebih tinggi, baik di tengah maupun akhir kalimat. Sedangkan kata ka‟dinto yang sering diucapakan pada akhir kalimat
sebagai bentuk penghalusan tuturan.
Adapun kedudukan dan status sosial dapat menentukan speech level yang digunakan dalam berkomunikasi―karena keduanya berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan dan peran yang sama dan juga keduanya sebagai pengasuh pesantren, maka tingkat tutur yang digunakan relatif sama yakni BM level È-B.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pola komunikasi antara kakak dan adik dalam keluarga kiai sebagai berikut:
191
Tabel 5.7: Pola Komunikasi Kakak-Adik Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kakak
È–B
Adik
È–B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language Bahasa (Nada Suara) BM Nada suara Pandangan Beralih lebih tinggi kepada lawan kode dari P2 tutur ke BI Sedikit Menundukkan kepala dan Nada suara pandangan mata BM lebih rendah ke bawah, dari P1 sesekali tertuju kepada lawan tutur
Alih giliran Tutur Di awali dari yang lebih tua (kakak), baru kemudian yang lebih muda (adik), Dalam situasi tuturan tertntu alih giliran tutur sesuai dengan keperluan dan tujuan tutur
5.4 Ringkasan Pola komunikasi kiai dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok yakni: (1) Pola komunikasi kiai yang memiliki ikatan guru-santri; (2) Pola komunikasi kiai sederajat; (3) Pola komunikasi keluarga kiai.
(1) Pola komunikasi kiai yang memiliki ikatan guru-santri Pola komunikasi KG-KS dipengaruhi oleh faktor situasi yaitu, situasi formal dan informal. Pada situasi formal, selalu konsisten menggunakan tingkat tutur BM level È-B (karma inggil). Pilihan bahasa yang digunakan untuk beralih kode dan bercampur kode adalah BI dan BA. Penggunaan BI sebagai alih kode dan campur kode untuk menjembatani adanya keterbatasan kosa kode tingkat tutur È-B yang dimiliki penutur, agar tidak berbahasa yang kasar (ta‟ abhâsa)―sedangkan BA digunakan untuk menungkapkan istilah-istilah yang kurang/tidak pas
diterjemahkan ke dalam BM atau BI―di samping itu,
penggunaan BA sebagai penciri warga nahdiyyin yang notabene lulusan 192
pesantren. Nada tutur yang digunakan KG pada umumnya lebih tinggi dari nada tutur KS, kecuali pada setting tuturan yang berbentuk pidato―nada tutur disesuaikan dengan topik dan tujuan yang disampaikan. Body language yang ditunjukkan dalam berkomunikasi, KG arah pandangan kepada KS, sedangkan KS menundukkan kepala dan pandangan. Alih giliran tutur pada komunikasi tersebut, KG dominan pada urutan pertama, kecuali KS meminta ijin untuk mendahului atau sudah ditentukan sesuai susunan acara. Pada situasi informal pola komunikasi KG-KS dipengaruhi perbedaan umur. Perbedaan umur tersebut, yang mempengaruhi perbedaan pola komunikasi KG-KS pada situasi formal dan informal yakni hanya pada sisi penggunaan tingkat tutur, sedangkan pada sisi pilihan bahasa, nada suara, body language, dan alih giliran tutur tidak terdapat perbedaan. KG yang berumur lebih muda kepada KS yang berusia lebih tua menggunakan tingkat tutur BM E-E dan sering beralih kode dan bercampur kode ke BM level È-B. KG yang berumur lebih tua menggunakan tingkat tutur BM Eg-E kepada KS yang usianya lebih muda. Adapun KS selalu menggunakan BM level È-B dan BAl.
(2) Pola komunikasi Kiai sederajat Pola komunikasi kiai sederajat juga dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor situasi formal dan Informal. Pada situasi formal, kiai sederajat menggunakan tingkat tutur yang sama yakni BM level È-B. Selain BM, pilihan bahasa yang digunakan untuk beralih kode dan bercampur kode adalah BI dan BA. Penggunaan BI sebagai alih kode 193
dan campur kode untuk menjembatani adanya keterbatasan kosa kode tingkat tutur È-B,
agar tidak berbahasa yang kasar (ta‟ abhâsa)―sedangkan BA
digunakan untuk mengungkapkan istilah-istilah yang kurang/tidak tepat diterjemahkan ke dalam BM atau BI―di samping itu penggunaan BA sebagai penciri dan kebiasaan warga NU yang notabene lulusan pesantren yang sudah terbiasa menggunakan BA dalam komunikasi sehari-hari. Karena status sosialnya sederajat, tinggi rendahnya nada suara relatif sama sesuai dengan topik dan tujuan tutur. Begitu pula arah pandangan partisipan tutur tertuju kepada lawan tutur. Adapun alih giliran tutur juga bebas sesuai dengan keperluan masing-masing partisipan tutur. Pada situasi informal, pola komunikasi kiai sederajat dipengaruhi perbedaan umur dan faktor keeratan hubungan. KLS menggunakan tingkat tutur level E-E, sedangkan KLM mengunakan speech level BM È-B. Pilihan bahasa yang digunakan keduanya adalah BM dan BA. BM digunakan untuk mempertahankan politeness kepada lawan tutur, sedangkan BA sebagai ciri khas warga NU dan untuk mengungkapkan kosa kata BA yang kurang/tidak pas diterjemahkan ke dalam BM atau BI. KLS bersuara dengan tekanan lebih keras dari nada suara KLM. Hal ini juga sebagai bentuk hormat KLM kepada KLS. Dalam bertutur, arah pandangan KLS kepada lawan tutur (KLM), sedangkan KLM menundukkan kepala, namun arah pandangan tertuju kepada lawan tutur. Kiai sederajat yang memiliki keeratan hubungan, mempunyai kesamaan dalam penggunaan kode tutur yaitu menggunakan tingkat tutur BM yang sama (E–E), nada tutur sama sesuai topik dan tujuan tutur, arah pandangan sama-sama kepada 194
lawan tutur, dan juga alih giliran tutur
bebas sesuai dengan kepentingan,
konteks, topik, dan tujuan tutur. Adapaun penggunaan BI dan BA untuk beralih kode dan beracampur kode, sebagai bentuk pengakraban dalam tuturan.
(3) Pola komunikasi keluarga kiai. Pola komunikasi keluarga kiai dikelompokkan menjadi: a) Pola komunikasi suami-istri; b) Pola komunikasi orang tua-anak; c) Pola komunikasi kakak-adik.
a) Pola komunikasi suami-istri Pola komunikasi suami-istri dipengaruhi oleh faktor ikatan guru-santri, faktor kealiman dan nasabiyah, dan faktor keeratan hubungan. Istri berlatar belakang guru (IG) kepada suami berlatar belakang santri (SS) dalam berkomunikasi menggunakan tingkat tutur Eg-E, sedangkan SS kepada IG menggunakan BM level È-B. Nada suara (tone) yang digunakan IG/SG pada umumnya lebih tinggi dari tone IS/SS, karena IS/SS selalu berusaha merendahkan suaranya di bawah SG/IG sebagai bentuk hormat. Adapun Body Language yang ditunjukkan dalam situasi komunikasai, IS/SS menundukkan pandangannya, sedangkan SG/IG pandangan tertuju kepada lawan tutur. Suamiistri yang masing-masing memiliki kelebihan, misalnya yang satu (istri) berasal dari keturunan kiai pesantren karismatik, sedangkan yang lain (suami) berasal dari kalangan ummat, tapi memiliki tingkat kealiman yang tinggi―maka pola komunikasi dari keduanya menunjukkan derajat yang sama, seperti penggunaan tingkat tutur yang sama, nada suara sama, bahkan body language sama. Adapun 195
suami-istri yang memiliki keeratan hubungan misalnya, berasal dari keluarga dekat, teman sepermainan/sekolah, maka dalam keluarga juga memiliki tingkat keakraban yang tinggi, sehingga berpengaruh pada penggunaan tingkat tutur (EE), tekanan suara, body language, yang digunakan sama/sederajat. Suami-istri dalam keluarga kiai EM, pada umumnya menggunakan BM dalam komunikasi sehari-hari. Alih giliran tutur dalam keluarga bebas, tergantung
keperluan,
konteks, dan tujuan tutur
b) Pola komunikasi orang tua-anak Pola komunikasi orang tua-anak dapat dikelompokkan lagi menjadi pola komunikasi orang tua-anak kandung, mertua-menantu, dan paman/bibikemenakan. Aba/ummi kepada anak kandung menggunakan tingkat tutur E-I (ngoko), sebaliknya anak menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan BAl. Mertua kepada meantu menggunakan tingkat tutur BM level Eg-E, sedangkan menantu menggunakan BM level È-B dan BAl. Pada umumnya, tone lebih tinggi digunakan oleh orang tua (orang tua kandung/mertua/paman/bibi) dalam berkomunikasi dengan anak (anak kandung/menantu/kemenakan). Dalam siatuasi komunikasi, arah pandangan orang tua kepada anak, sedangkan anak menundukkan pandangannya di hadapan orang tua―bahkan dalam posisi berdiri anak laki-laki pada umumnya menyilangkan tangannya di depan orang tua, sebagai bentuk rasa hormatnya. Begitu pula alih giliran tutur dimulai dari orang tua baru kemudian anak―kecuali dalam situasi dan kondisi tertentu dalam keluarga, alih giliran bicara sesuai dengan keperluan dan tujuan tutur. BM selalu digunakan dalam komunikasi Orang tua-anak. Yang berbeda adalah penggunaan 196
bahasa antara paman yang berlatar belakang ummat dengan kemenakan dari keturunan kiai karismatik. Paman kepada kemenakan menggunakan tingkat tutur BM level È-B bercampur kode E-E, sedangkan kemenakan menggunakan ondhâghân bhâsa BM E-E. Tekanan suara tinggi rendahnya sama. Arah pandangan paman kepada lawan tutur (kemenakan), sedangkan
kemenakan
sidikit menundukkan kepala, tetapi arah pandangan kepada lawan tutur.
c) Pola komunikasi kakak-adik Penggunaan tingkat tutur kakak-adik dalam keluarga kiai sama yakni menggunakan speech level BM È-B, kakak kadang kala beralih kode ke BI, sedangkan adik tetap mempertahankan rasa hormatnya dengan menggunakan BM. Nada suara kakak cenderung lebih tinggi dari nada suara adik. Arah pandangan kakak tertuju kepada lawan tutur, sedangkan adik sedikit menundukkan kepala, arah pandangan mata ke bawah, sesekali tertuju kepada lawan tutur. Alih giliran tutur diawali dari yang lebih tua, kecuali ada keperluan mendesak, sesuai kepentingan dan tujuan tutur. Pola komunikasi dalam ranah keluarga kiai secara umum dipengaruhi oleh perbedaan kedudukan dan status sosial yang ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu: adanya ikatan status guru-santri, nasabiyah, tingkat kealiman, perbedaan umur, keeratan hubungan,
yang ada dalam keluarga dan
antarkeluarga.
197
BAB VI POLA KOMUNIKASI KIAI-UMMAT
6.0 Pengantar Pola komunkikasi kiai-ummat juga dipengaruhi oleh berbagai komponen tutur. Dari delapan komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes dan tiga belas komponen tutur yang dikemukakan Poedjosoedarmo, yang paling menonjol mempengaruhi pola komunikasi kiai-ummat adalah komponen partisipan tutur yang meliputi siapa penutur dan siapa lawan tutur, siapa pendengar, hadirnya orang ketiga.....dsb. Berkaitan dengan partisipan tutur, status sosial (peran, jabatan, nasabiyah, pendidikan), umur, dan keeratan hubungan, juga menentukan terjadinya variasi tutur. Fakator-faktor penentu dan raut pembeda antara variasi-variasi yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1979), pada prinsipnya memperkuat teori yang dikemukakan (Hymes, 1972) yang disebut komponen tutur. Dengan cara menghubungkan masing-masing variasi tutur dengan komponen tuturannya, klasifikasi variasi tutur itu dapat kelihatan jelas dan lebih sederhana. Setiap kali ditemui istilah variasi tutur yang baru, seketika itu pula dapat dilihat komponen tutur mana yang kiranya mempengaruhi terbentuknya variasi
itu. Dengan
demikian, komponen tutur itu dapat dijadikan acuan untuk menentukan faktor penentu adanya variasi yang berbeda-beda tersebut. Dengan kata lain, keberadaan dan wujud suatu variasi tutur berbeda dengan wujud variasi yang lain, karena variasi itu terpengaruh salah satu komponen tutur tertentu. 198
Komponen tutur ini menjadi konteks dan sekaligus penentu terbentuknya berbagai variasi tuturan, yang dalam penelitian ini disebut pola komunikasi. Pola komunikasi kiai-ummat dapat dikelompokkan menjadi: (6.1) Pola Komunikasi Kiai Pesantren-ummat; (6.2) Pola komunikasi Kiai langghârânummat
6.1 Pola Komunikasi Kiai Pesantren-Ummat Yang dimaksud kiai pesantren (KP) dalam sub bab ini adalah kiai yang memiliki peran dan jabatan sebagai pengasuh pesantren. Kiai pesantren sebagaimana telah disinggung pada paparan sebelumnya, merupakan sosok yang dianggap sangat berpengaruh dan berstatus sosial paling tinggi dan dita‟dzimkan (sangat dihormati), karena di samping
kedudukannya sebagai pengasuh
pesantren, dia juga berperan sebagai tokoh, guru, dan
pemuka agama di
masyarakat. Karena itu, kiai kategori ini di kalangan UNUEM amat dita‟dzimkan dan ditaati. Pola komunikasi memang selalu dipengaruhi oleh berbagai komponen tutur yang paling tidak, ada delapan yang oleh Hymes pada bagian terdahulu disingkat
dengan
SPEAKING-gird,
kemudian
Poedjosoedarmo
mengembangkannya yang disesuaikan dengan kultur yang melekat pada bahasa Jawa menjadi tiga belas komponen tutur. Namun demikian, ada komponen tutur yang paling dominan yang mempengaruhi pola komunikasi kiai pesantrenummat, yakni partisipan tutur. Sebagaimana dinyatakan Kunjana (2011), aspek konteks yang berupa partisipan tutur (penutur dan mitra tutur)– speaker dan 199
hearer atau ada yang menyebutnya speaker dan interlocutor―sangat berdekatan dengan dimensi peran, jabatan, usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis, atau mentalnya. Berdasarkan penjelasan di atas, pola komunikasi KP-UNUEM, dapat dikelompokkan sebagai berikut: (6.1.1) Pola komunikasi KP-UNUEM yang berpredikat guru-santri; (6.1.2) Pola komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; (6.1.3) ) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; (6.1.4 Pola komunikasi KP-UNUEM yang berbeda umur; dan (6.1.5) Pola komunikasi KP-UNUEM dalam situasi formal
6.1.1 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat Guru-Santri Menurut pendapat Poedjosoedarmo (1979) bahwa, ada dua hal yang mempengaruhi penggunaan tingkat tutur: pertama, tingkat formalitas hubungan seseorang, dan yang kedua ialah status sosial yang dimiliki orang kedua (O2). Ikatan guru-santri adalah termasuk kategori hubungan formal. Yang dimaksud ikatan guru-santri adalah kiai dan ummat yang pernah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam ikatan sebagai pengasuh dan santri dalam suatu pesantren. Pola komunikasi KP-UNUEM yang berlatar belakang guru-santri juga dipengaruhi oleh perbedaan umur. Kepada ummat mantan santrinya yang berumur lebih tua, kiai juga berbhâsa dengan tingkat tutur Eg-E, seperti terlihat pada data berikut:
200
Data 22: Percakapan KSbr (kiai pesantren) dengan Sndn (UNUEM) (A) KSbr: Dika↑ din?↑ (Kamu din?) „Kamu din?‟ (B) Sndn: Èngghi↓, ka‟dinto.↓ (Ya, ini) „Ya, saya‟ (C)KSbr: Dâri compo‟?↑ (Dari rumah?) „Dari rumah saja‟ (D) Sndn: Èngghi↓, cabis pamator→, ka‟dinto↓ (Ya, Cabis perkataan, ini) „Ya, mohon ijin bicara‟ (E) KSbr: Engghi↑, napè↑ din?→ (Ya, apa din?) „Ya, ada apa din?‟ (F) Sndn: Nyo‟ona↓ èdhi sareng barokah du‟a→! Bâdi→ matowa‟a↓ Azizah↓, ka‟dinto.↓ (Mohon ijin dan barokah do‟a! Mau menuakan Azizah, ini.) „Mohon ijin dan do‟a restunya! Rencana akan menikahkan Azizah‟ (G) KSbr: Bilâ→, din?↑ (Kapan, din?) „Kapan rencananya, din? (H) Sndn: InsyaAllah↓ bulân Rebbâ tanggal salèkor→, èso‟ona↓ rabuna↓ sadâja.↓ (InsyaAllah bulan ruwah tanggal dua puluh satu, dimohon kedatangannya semua!) „InsyaAllah bulan Sya‟ban tanggal dua puluh satu, kami mohon kehadiran kiai beserta keluarga besar‟ (I) KSbr: InsyaAllah→ din↑, bulâ→ mandâr tadâ‟a alangan→ bân dhika↑ èpalancarra.→ (InsyaAllah din, saya semoga tidak ada halangan dan kamu dilancarkan.) „InsyaAllah din, semoga kami tidak ada halangan dan urusanmu diberi kelancaran. 201
(J) Sndn: Amien....... → „Amien.....‟ Tuturan Dika din? „Kamu din‟ pada data 21(A) sebagai bentuk sapaan kepada lawan tutur yang sudah dikenal akrab. Jawaban Nadin Èngghi, ka‟dinto „Ya, saya‟ sebagai penegasan bahwa yang berada dihadapan kiai adalah benar din yang dimaksud kiai. Sedangkan ka‟dinto dalam kalimat 21(B) hanya sebagai penanda fatis untuk menghaluskan tuturan. Adapun tuturan Dâri compo‟? „Dari rumah saja‟21(C) merupakan bentuk pertanyaan yang secara implisit menanyakan maksud dan tujuan kedatangannya ke dhâlem. Karena itu, Nadin langsung menjawabnya dengan Èngghi, cabis pamator, ka‟dinto. „Ya, mohon ijin bicara‟ yang berfungsi sebagai pembuka tujuan tutur yang pada umumnya diucapkan UNUEM―ketika akan menyampaikan tujuan tutur tertentu kepada kiai. Pertanyaan kiai pada data 21(E) Engghi, napè din? „Ya, apa din?‟ yang merupakan
kalimat
tanya,
berfungsi
mempersilahkan
Nadin
untuk
mengemukakan tujuan tutur yang akan disampaikan. Tuturan 21(F) sebagai bentuk kalimat yang menegaskan bahwa semua urusan masyarakat selalu memohon ijin dan doa restu dari kiai sebagai orang yang ditokohkan. Kata matowa‟a „membuat seseorang menjadi tua‟ pada data 21(F) bermakna „menikahkan seseorang‟, yang mana pernikahan itu sendiri merupakan suatu proses pendewasaan seseorang atau hilangnya masa remaja menuju kepada generasi yang lebih dewasa. Pernyataan hari dan tanggal pada tuturan 21(H) yang diikuti dengan èso‟ona rabuna sadâja. „dimohon kehadirannya semua‟ merupakan undangan kepada kiai beserta keluarganya. Kata InsyaAllah „jika 202
Allah mengijinkan‟ pada data 21 (H) dan (I) digunakan untuk menyatakan bahwa suatu hal akan terjadi atas idzin Allah. Kata tersebut biasa digunakan, ketika seseorang akan berjanji untuk menentukan suatu acara, dan even-even lain. Namun seringkali, justru kata InsyaAllah sebagai simbol tidak akan ditepatinya janji. Kalimat mandhâr moghâ sobung alangan bân dhika èpalancarra. „semoga engkau diberi kelancaran‟ sebagai bentuk do‟a dari kiai, agar dapat hadir dan pelaksanaan acara pernikahan berjalan dengan lancar.
Analisis komponen tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang belakang dhâlem kiai. Keangkeran Situasi „tempat dan suasana tutur‟ berdampak pada terbentuknya tuturan yang seirus.
Peserta tutur: P1: Kiai pengasuh pesantren. P2: UNUEM P3: Nyai (istri kiai) P4: Santri perempuan
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon do‟a restu dan mengundang kiai untuk acara pernikahan santri.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi serius, karena membicarakan topik yang penting.
203
Urutan tindak: P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu yang disedikan P2 masuk ruangan belakang P4 menyuguhkan mamiri P1 datang di ruang belakang P2 memberi salam P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam P1 memulai percakapan
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan serius. Dalam tuturan ini, nadin sebagai ummat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi: Setiap perjumpaan antarwarga NU dengan kiai biasa diawali dengan ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 dhika 21 (A), compo‟ 21(C), napè 21 (E) dan seterusnya yang merupakan kosa kode BM level Eg-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh P1, bahkan dia mantan santrinya yang umurnya juga lebih muda. Sedangkan P2 menggunakan BAl dan BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 bersebelahan dengan P3 menghadap kepada P2 sebagai lawan tutur, sedangkan P2 seringkali menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya. UNUEM pada umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai dan nyai. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika ummat minta ijin dengan frasa cabis pamator „mohon ijin bicara‟. Untuk melaksanakan acara-acara yang berkaitan dengan agama dan akan melibatkan warga NU, seperti pernikahan―UNUEM biasa memohon ijin dan do‟a restu kepada kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat. 204
Kehadiran kiai pada acara-acara yang diselenggarakan ummat NU merupakan berkah dan menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi ummat NU.
Kepada ummat mantan santrinya yang lebih muda, kiai tidak berbhâsa, yakni mengunakan BM level E-I, seperti data berikut: Data 23: Percakapan KAN (Kiai pesantren) dengan Msd dan Ismail (ummat) (A) KAN: Aroa Mail→, olok cong↑ soro dâ‟ na‟!→ (Itu Mail, panggil cong suruh ke sini!) „Itu Mail, Panggilkan nak suruh ke sini!‟ (B) Msd: langsung memanggil mail, tanpa komentar apapun. (C)KAN: Il-mail↑, ngala‟aghi↑ rekomendasi talangan→ tello‟an cong↑, bi‟ amploppa!→ (Il-mail, ambilkan rekomendasi talangan tiga cong, dengan amplopnya!) „Il-mail, ambilkan format rekomendasi dana talangan tiga nak, sekalian dengan amplopnya!‟ (D)Ismail:Langsung mengambil berkomentar apapun
formulir
dan
amplop,
tanpa
Aroa Mail „itu Mail‟ pada data 23(A) sebagai bentuk kalimat penunjuk orang yang sudah kelihatan mata. Kata aroa untuk menunjuk sesuatu yang jauh. Sedangkan Mail merupakan nama penunjuk panggilan orang, yang dalam BM bisa menggunakan suku kata paling belakang, seperti Ibrahim – him, Dafir – Fir, Mashuri – Ri, dsb. Untuk memanggil langsung orang kedua biasanya digunakan reduplikasi seperti data 20(C) Il-mail, dan contoh yang lain Dun-Madun, KiRifki, Man-Firman dsb. Panggilan Cong „nak‟ dalam BM sebagai bentuk sapaan rasa dekat dan sayang orang tua kepada anak atau siapa saja yang sudah dianggap sebagai anak. Begitu pula kiai kepada santri yang berperan sebagai 205
pengasuh di pesantren, sudah menganggap santri sebagai anak sendiri. Dalam percakapan tersebut Msd dan Ismail
tidak berkata-kata sepatahpun, namun
langsung dengan tindakan (bilhal) melaksanakan apa yang menjadi perintah kiai.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di dua tempat yang berbeda. Kiai berada di Ruang terima tamu (èmperan dhalem kiai), sedangkan santri berada di halaman depan dhâlem.
Peserta tutur: P1: Kiai pengasuh pesantren. P2 dan P3 : UNUEM yang berlatar belakang santri dengan umur lebih muda P4: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah meminta santri untuk megambilkan rekomendasi.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan serius yang berbentuk perintah.
Urutan tindak: P1 menyuruh P2 untuk memanggil P3 P2 menyampaikan ke P3 bahwa di panggil P1 P3 menghadap P1 P1 memerintah P3 mengambil rekomendasi 206
P3 mengambilkan rekomendasi dan menyerahkan kepada P1
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal, tapi serius. Dalam tuturan ini, Msd dan Ismail tidak berkata apa-apa, kecuali melaksanakan apa yang diperintahkan kiai.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam tuturan tersebut P1 tidak berbhâsa yakni menggunakan BM level E-I. Hal tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 Aroah „itu‟, olok „panggil‟ soro „suruh‟ dâ‟ na‟ „ke sini‟ pada data 21(A), dan ngala‟aghi „ambilkan‟ bi‟ „dengan‟ 21(C), yang merupakan kosa kata BM level E-I. Pemilihan tingkat tutur E-I (ngoko) tersebut disebabkan P2 dan P3 merupakan ummat yang umurnya setara dengan putra-putri kiai. Sedangkan P2 dan P3 langsung melaksanakan perintah dengan bilhal (perbuatan) yakni langsung melaksanakan perintah P1. Melaksanakan perintah dengan perbuatan sebagai jawaban terhadap perintah lawan tutur, sebagai bentuk kepatuhan dan rasa ta‟dzim santri kepada guru yang lebih afdlol dalam pandangan NUEM daripada hanya sekedar menjawab tapi tidak langsung dilaksanakan. Hal tersebut juga sebagai cerminan kultur paternalistik. Pada tuturan tersebut P2 dan P3 dalam posisi berdiri di halaman dhâlem kiai dengan menundukkan kepala dan menyilangkan tangannya di depan bawa pusar. Body language ini, juga sebagai bentuk rasa ta‟dzim mantan santri kepada gurunya. Berdasarkan paparan analisis data (22) dan (23) tersebut, dapat disarikan bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang berlatar belakang guru-santri dapat dilihat pada tabel berikut:
207
Tabel 6.1: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat Guru-Santri Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kiai Pengasuh Pesantren
Eg-E E-I
UNUEM mantan santri
È-B dan BAl
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa Nada suara Pandangan kepada BM kiai lebih Partisipan tutur tinggi Menundukkan kepala dan pandangan ke Nada tutur BM bawah. dalam posisi UNUEM lebih berdiri menyilangkan rendah tangannya di bawah perut.
Alih Giliran Tutur Dimulai dari kiai, baru kemudian UNUEM, kecuali mohon ijin dengan cabis pamator
6.1.2 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Bertatus Sosial Tinggi Status sosial ummat sebagai lawan tutur dapat mempengaruhi pola komunikasi
KP-UNUEM.
Sebagaimana
dikkemukakan
Poedjosoedarmo
sebelumnya, bahwa status sosial O2 amat penting harus diingat ketika akan menentukan tingkat tutur yang akan dipakai. Hal ini juga berlaku dalam masyarakat NUEM bahwa pola komunikasi juga ditentukan oleh status sosial penutur dan lawan tutur, seperti terlihat pada data percakapan berikut: Data 24: Percakapan KAN (Kiai Pesantren) dengan Hry (UNUEM) (A) Hry: Anyo‟ona↓ rekomendasi→, ka‟dinto↓ (Mohon rekomendasi, ini) „Mohon rekomendasi‟ (B) KAN: Rekomendasi ponapa?↑ (Rekomendasi apa) „Rekomendasi untuk apa?‟ (C) Hry: Kaanguy pesen korsè→, ka‟dinto.↓ (Untuk pesan kursi, ini) „Untuk pesan porsi haji‟ (D) KAN: Pesan kedudukan.→ (Pesan kedudukan.) 208
„Pesan kedudukan.‟ (E) Hry: Berarti è kadinto↓ benya‟ rekomnedasi.→ (Berarti di sini banyak rekomendasi) „Berarti banyak rekomendasi yang bisa diminta disini‟ (F) KAN: Kemarin Pak Bupati merekomendasi dua puluh tujuh calon jamaah Haji→, minta diberangkatkan cepat→, semua ditolak.→ „Kemarin Bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua puluh tujuh calon jamaah Haji, agar diberangkatkan cepat, semua saya tolak.‟ (G) Hry: Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi K. Abd. Ghani?→ „Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd. Gahni?‟ (G) KAN: langsung..→ (Langsung.) „Langsung diterima‟ Anyo‟ona „mohon‟ pada tuturan 24(A) digunakan untuk meminta sesuatu kepada orang yang dihormati, sedangkan, ka‟dinto „ini, di sini‟ sebagai penanda fatis yang dipakai untuk menunjukkan rasa hormat kepada lawan tutur. Rekomendasi ponapa? „Rekomendasi apa?‟24(B) sebagai pertanyaan kepada lawan tutur tentang rekemendasi yang dimaksud, karena ternayata terdapat berbagai rekomendasi yang bisa dikeluarkan oleh kiai. Kaanguy pesen korsè, ka‟dinto
„Untuk pesan porsi haji‟ yang berarti untuk memesan porsi tahun
keberangkatan haji. Pesan korsè yang diidentikkan dengan „Pesan kedudukan‟ 24(D), juga sebagai bentuk kelakar kiai yang dalam BM pesen ketoju‟ân „pesan kursi/porsi‟, sedangkan kedudukan identik dengan pangkat dan jabatan. Sebagai bentuk kelakar ummat bertanya pada tuturan 24(E) Berarti è kadinto benya‟ rekomnedasi. „Berarti di sini banyak rekomendasi.‟ Jawaban kiai pada tuturan 209
24(F) „Kemarin bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua puluh tujuh calon jamaah haji, agar diberangkatkan cepat, semua saya tolak.‟ Sebagai bentuk informasi bahwa rekomendasi yang bisa di dapat dari kiai sebagai ketua KBIH Al-Ghazali adalah rekomendasi yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji maupun umroh, termasuk mempercepat pemberangkatan. Begitu pula ummat bisa bergurau dengan pertanyaan „Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd. Gahni?‟. Pada hal K. Abd. Ghani hanya sebagai kiai langghârân yang tidak memiliki power apa-apa di bandingkan dengan bupati. Jawaban kiai „langsung diterima‟ sambil tertawa kecil pada tuturan 24(G), sebagai bentuk kelakar juga, yang sebanarnya mengandung arti siapapun yang memberi rekomendasi tentang keberangkatan, kiai lebih memperhatikan faktor kebutuhan dan keadilan.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang terima tamu (èmperan dhalem kiai) dengan tempat duduk bersila di karpet (lesehan).
Peserta tutur: P1: KP. P2 : UNUEM yang berlatar belakang pendidikan tinggi P3: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum P4: Mantan Santri (kabulâ) berada di luar pintu
210
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut
adalah memohon
rekomendasi untuk memesan porsi haji.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai penuh kelakar antarpartisipan tutur.
Urutan tindak: P1 mempersilahkan para tamu meminum air kemasan yang disediakan P2 memohon rekomendasi kepada P1 P1 bertanya kepada P2, dan memberikan rekomendasi kepada P2 P3 dan P4 mendengarkan percakapan P1 dan P2
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal, sehingga terjadi kelakar antara P1 dan P2.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan pada data 24, P1 mengunakan BM level È-B sering beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosa kode yang digunakan pada tuturan 24(B) yakni ponapa „apa‟ yang merupakan kosa kata BM dalam tingkat tutur È-B. Adapaun penggunaan BI dapat dilihat pada 24 (G), dan (I). Pada tuturan tersebut P1 juga sering berkelakar dengan menggunakan BM yang diindenesiakan seperti terlihat pada tuturan 24 (D). Alih kode ke BI dan kelakar tersebut
sebagai upaya P1 untuk
menghindari percakapan yang terlalu formal. Ini berarti pula bahwa dengan ummat yang terpelajar kiai dan berstatus sosial tinggi berusaha menghilangkan sekad yang terlalu jauh dalam berkomunkasi. P2 dalam percakapan tersebut juga menggunakan BM level È-B dan berbahasa Indonesia. Hal tersebut terlihat dari kosa kata yang digunakan anyo‟ona 211
„mohon‟ ka‟dinto „ini‟ 24(A) dan èka‟dinto 24(E) yang merupakan BM level È-B. Sedangkan penggunaan BI bisa dilihat pada tuturan 24(A) dan (F). Hal ini menunjukkan adanya kesetaraan antara UNUEM yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan terpelajar dengan kiai dalam berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga terindikasi dari tidak adanya penggunaan cabis pamator „mohon ijin berbicara‟ yang biasanya digunakan UNUEM untuk memulai pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah pihak saling menatap dalam situasi komunikasi. Dengan pejabat kiai menggunakan pola komunikasi seperti pada data berikut: Data 25: Percakapan KHmd (KP) dengan MHsn, Ph.D (ummat) (A) KHmd: Saè pak Hasan? → (Baik pak Hasan?) „Bagaimana kabar pak Hasan?‟ (B) MHsn: Alhamdulillah pak kiai.→ (Alhamdulillah pak kiai.) „Alhamdulillah kabar baik, pak kiai‟ (C)KHmd: Saya tidak bisa membantu apa-apa→, hanya bisa mendo‟akan→, semoga diberi kekuatan dalam mengemban amanah.→ „Saya tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa mendo‟akan, semoga diberi kekuatan dalam mengemban amanah‟ (D) MHsn: Alhamdulillah terima ksih→, itu sudah cukup kiai.→ „Alhadulillah terima kasih, itu sudah cukup kiai.‟ Kata saè „baik‟ yang diungkapkan dengan nada tutur tanya dalam tuturan 25(A) di atas, berfungsi untuk menanyakan baik atau tidaknya kabar seseorang. Dalam tuturan tersebut disamping menanyakan kabar, juga sebagai 212
basa basi untuk memulai percakapan. Sedangkan kata alhamdulillah „segala puji bagi Allah‟ yang merupakan jawaban Hsn dalam tuturan 25(B) sebagai bentuk pernyataan rasa syukur kepada Allah yang sekaligus sebagai jawaban kepada lawan tutur, bahwa keadaannya baik-baik atas karunia Allah semata. Tuturan 25(C) sebagai refleksi dukungan kiai atas kepemimpinan pak Hasan sebagai rektor yang sekaligus memberi spirit dengan do‟a, agar selalu diberi kekuatan dalam mengemban tugas-tugas sebagai pejabat rektor.
Karena itu, MHsn
menyatakan ungkapan terima kasihnya, atas spirit dan dukungan dari kiai yang diekpresikan pada tuturan 25(C).
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di Masjid dalam acara ramah tamah, setelah pelaksanaan acara akad nikah.
Peserta tutur: P1: KP P2:Orang yang berlatar belakang pendidikan tinggi berkedudukan sebagai pejabat. P3: Para kiai, ulama, dan para pejabat
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut
adalah menyampaikan
dukungan dan spirit atas terpilihnya pak Hsn sebagai rektor yang merupakan putra NU.
213
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai penuh keakraban antarpartisipan tutur, karena masing-masing partisipan tutur dengan kedudukan dan perannya memiliki status sosial yang hampir sama. Namun demikian, situasi saling memuliakan antarpartisipan tutur tampak dalam acara ramah tamah tersebut.
Urutan tindak: P1 mendekati tempat duduk P2 yang sudah lebih dulu duduk bersama partisipan yang lain. P2 menebarkan senyum kepada P1 yang baru duduk di hadapan P2 P1 memulai percakapan P3 mendegarkan pembicaraan
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal dan terjadi dalam suasana santai penuh keakraban.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan pada data 25, P1 mengunakan BM level È-B dan beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosa kode yang digunakan pada tuturan 25(A) yakni saè „baik‟ yang merupakan kosa kata BM dalam tingkat tutur È-B. Penggunaan BI sebagai alih kode, karena lawan tutur menyebut kiai dengan sebutan yai pada 25(B). Kata yai biasa digunakan oleh etnik Jawa. Di samping itu, partisipan tutur yang lain juga kelihatan terpelajar dan melibatkan etnik lain―bahkan keluarga manten laki-laki berasal dari luar Jawa. P2 sebagai pejabat menggunakan BI dalam percakapan tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya kesetaraan status sosial antara kiai dengan ummat yang berlatar belakang
pendidikan
tinggi
yang
sekaligus
pejabat
dalam
berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga terindikasi dari 214
tidak adanya penggunaan cabis pamator „mohon ijin berbicara‟ yang biasanya digunakan ummat untuk memulai pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah pihak saling menatap dalam situasi komunikasi. Namun demikian, i‟tikat saling ikram tampak atarpartisipan tutur. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut, dapat disarikan bahwa pola komunikasi kiai pesantren dengan ummat yang bersatus sosial tinggi adalah pada tabel berikut: Tabel 6.2: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus Sosial Tinggi Peserta Tutur
KP
Tingkat Tutur Kepada (A) dan (B) È-B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
BM BI
UNUEM terpelajar (A)
È- B
BM, BI, dan BMlj
Ummat NU terpelajar & pejabat (B)
È-B
BM dan BI
Tergantung keperluan dan tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Bebas
6.1.3 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan Pola komunikasi KP-UNUEM yang tidak memiliki ikatan guru-santri, bisa ditentukan oleh tingkat keeratan hubungan. Yang dimaksud tingkat keratan hubungan dalam pembahasan ini adalah kenal atau tidaknya kiai dan ummat, seperti tercermin dalam data berikut: Data 26: Percakapan KP-UNUEM yang belum kenal (A) Sgt
: Assalaamu‟alaikum→
215
(B) KKhlk: Wa‟alaikum Salaam →warahmatullaahi wabarakaatuh,→ dâri ka‟dimmah?→ „Wa‟alaikum Salam warahmatullahi wabarakatuh, dari mana?‟ (C) Sgt: Dâri Mayang↓, ka‟dinto↓ (Dari Mayang, ini) (Dari Mayang) (D) KKhlk: Kadhinapa↓, saè?→ (Bagaimana, Baik?) „Bagaimana, keadaan baik-baik?‟ (E) Sgt: Alhamdulillah↓, Cabis pamator, ka‟dinto.→ (Alhamdulillah, Cabis berbicara, ini) (Alhamdulillah, mohon ijin berbicara) (F) KKhlk: Ponapa?↑ (Apa) „Apa‟ (G) Sgt: Bhâdi mabâdâ‟â↓ pengajiân Isra‟ Mi‟raj↓, ka‟dinto.→ (Akan mengadakan pengajian Isra‟ Mi‟raj, ini) „Rencana akan mengadakan pengajian Isra‟ Mi‟raj‟ (H) KKhlk : Bilâèpon?↑ (Kapan?) „Kapan?‟ (I) Sgt: Manabi pangaterro→ tangghâl pètolèkor rejeb.↓ (Kalau keinginan tanggal dua puluh tujuh rajab.) „Keinginan masyarakat tanggal dua puluh tujuh rajab.‟ (J) KKhlk: Tagghâl ka‟dinto→, ampon bâdâ. → (Tanggal ini, sudah ada) „Pada tanggal ini, sudah ada yang mengundang‟ (K) Sgt : Ngèrèng ajunan saos↓, ka‟dinto.↓ (Dibelakang kiai saja, ini.) „Pasrah ke kiai saja‟ (L) KKhlk: Tangghâl sangalèkorra→, ghè?↑ (Tanggal dua puluh sembilannya, ya?) „Bagaimana, kalau tanggal dua puluh sembilan saja ya? (M) Sgt : Èngghi↓, saè→ 216
(ya, baik) „Baik, kiai‟ Assalamu‟alaikum
pada tuturan tersebut, digunakan sebagai salam
pembuka pertemuan antarpartisipan tutur, yang kemudian dijawab dengan lengkap oleh semua partisipan tutur dengan ucapan Wa‟alaikum Salam warahmatullahi wabarakatuh,. Frasa
dâri ka‟dimma? „Dari mana?‟ sebagai
pembuka percakapan untuk mengidentifikasi―apakah lawan tutur sudah dikenal dengan baik. Sebab, biasanya kiai sulit mengenal satu persatu ummat NU yang begitu banyak. Jawaban Dâri Mayang „Dari Mayang‟ merupakan penegasan bahwa memang ummat tersebut belum dikenal erat dengan kiai. Sebagai bentuk perhatian kepada tamu, kiai menanyakan dengan kalimat Kadhinapa, saè? „Bagaimana keadaan, baik-baik‟. Pertanyaan tersebut tidak hanya menyangkut lawan tutur, tetapi juga menanyakan perihal situasi dan kondisi ummat yang berada di daerah Mayang.
Untuk menyampaikan tujuan tutur UNUEM
menggunakan frasa Cabis pamator, ka‟dinto „mohon ijin berbicara‟ yang kamudian kiai menjawab dengan ponapa „apa‟. Kata ponapa? yang merupakan kalimat tanya berfungsi sebagai persetujuan/mempersilahkan lawan tutur untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Bhâdi mabâdâ‟â pengajiân Isra‟ Mi‟raj, ka‟dinto. „Rencana akan mengadakan pengajian Isra‟ Mi‟raj‟.
Tuturan ini
berbentuk kalimat informatif yang berfungsi sebagai bentuk undangan kepada kiai untuk memberi ceramah pada acara pengajian tersebut. Kiai kemudian bertanya Bilâèpon?
„Kapan?‟ Kalimat yang menanyakan hari dan tanggal
pelakasaan tersebut sebagai bentuk respon kiai terhadap tujuan tutur yang disampaikan UNUEM. Manabi pangaterro tangghâl pètolèkor rejeb. „Keinginan 217
masyarakat tanggal dua puluh tujuh rajab.‟ sebagai bentuk harapan ummat dan opsi yang diberikan kepada kiai, yang intinya menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan, agar kiai bisa hadir. Tuturan tersebut dipertegas dengan Ngèrèng ajunan saos, ka‟dinto. „Pasrah ke kiai saja masalah hari dan tanggal pelaksanaan‟. Akhirnya kiai menentukan tanggal 29 Rajab yang dianggap kosong dan UNUEM menyatakan persetujuannya dengan tuturan Èngghi, saè „Baik, kiai‟.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang tamu di dhâlem kiai.
Peserta tutur: P1: Kiai pesantren. P2: UNUEM P3: Wali santri (dari kalangan UNUEM) P4: Santri
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah mengundang kiai untuk ceramah pada acara Isra‟Mi‟raj.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi serius―karena membicarakan topik yang penting.
Urutan tindak: P4 mempersilahkan para tamu masuk ruang tamu yang disedikan 218
P2 dan P3 masuk ruangan P4 menyuguhkan mamiri P1 datang di ruang tamu P2 sebagai perwakilan para tamu memberi salam. P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam P1 memulai percakapan
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. UNUEM berusaha menggunakan nada tutur tone lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi: Setiap pertemuan warga NU selalu diawali dengan ucapan salam dengan BA, seperti data 26 (A) dan (B), sebagai penciri khas salam yang biasa disampaikan ummat Islam pada umumnya. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level È-B dan sering beralih kode ke BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 kadhiponapa, ka‟dinto, bilâèpon pada data 26(D), (F), dan (H), yang merupakan kosa kode BM level È-B, sedangkan ghè pada data 26(L) adalah kosa kata BM level Eg-E. Penggunaan alih kode tersebut disebabkan P2 belum dikenal secara baik oleh P1. Sedangkan P2 menggunakan BAl dan BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 menghadap kepada semua partisipan tutur dengan pandangan tertuju kepada lawan tutur, sedangkan P2 dan P3 menundukkan kepala. UNUEM pada umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Alih giliran tutur, pada umumnya juga dimulai dari kiai, kecuali uacapan salam yang bisa didahului oleh siapa saja. Memberi salam lebih dahulu menurut pandangan sya‟riat Islam mendapat pahala lebih besar dibanding yang menjawab salam―dalam tradisi NU, ummat boleh memberi salam lebih dahulu kepada kiai, dan bahkan hal tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain.
219
Pola komunikasi dengan ummat yang sudah dikenal, dapat dicermati pada data berikut: Data 27: Percakapan Kiai Pesantren-UNUEM yang sudah dikenal (A) Hrtd: Sabelâs taon samangkèn→, manabi orèng seppo↓, ponapa badâ prioritas?→ (Sebelas tahun sekarang, kalau orang tua apa ada prioritas?) „Sekarang daftar tunggu sudah sebelas tahun, kalau orang tua apakah ada prioritas?‟ (B)KAN: Prioritas bâdâ↓, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu→, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri→, baru èmondutaghi sè seppo→, tapè sanaossa sè seppo↑, sè urut jhughân nomerra→, palèng seluruh Indonesia saèbu→, mon, ka‟dinto. → (Prioritas ada, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri, baru diambilkan yang tua, tapi walaupun yang tua, yang urut juga nomornya, paling seluruh Indonesia seribu, kalau, ini) „Prioritas memang ada, seperti Jawa Timur yang koutanya tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu itu ada yang mengundurkan diri, maka baru diambilkan umur yang tua, tapi walaupun umurnya tua, tentu dipilih juga yang nomornya urut, paling seluruh Indonesia seribu, kalau ada‟ (C) HRY: Kadhiponapa↓ sè saè→, ponapa èpaumroh?→ (Bagaimana yang enak, apa diumrohkan?) „Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja?‟ (D)KAN:Kan adaftar ka‟dinto, ampon aniyat→, memang katento‟na saka‟dinto.→ (Kan mendaftar itu, kan sudah berniat, memang ketentuannya seperti itu) „Bukankah mendaftar itu sudah termasuk berniat, karena ketentuannya memang sudah seperti itu‟ Sabelâs taon samangkèn „Sekarang daftar tunggu sudah sebelas tahun‟ 27(A) dalam konteks tuturan tersebut adalah porsi haji daftar tunggunya sejak mendaftar sudah mencapai sebelas tahun. Sedangkan orèng seppo „orang tua‟ orang yang telah berumur enam puluh tahun labih, ketika mendaftar. Kata prioritas „diutamakan‟ merujuk kepada orang yang usianya lebih dari 60 tahun. 220
Kadhiponapa sè saè, ponapa èpaumroh? „Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja?‟ pada tuturan 27(C) sebagai bentuk permohonan pertimbangan kepada kiai tentang kondisi ibu dari ummat yang sudah berumur lebih 60 tahun. Jawaban kiai Kan adaftar ka‟dinto, kan ampon aniyat, memang katento‟na saka‟dinto
„Bukankah
mendaftar
itu
sudah
termasuk
berniat,
karena
ketentuannya memang sudah seperti itu‟ 27(D) sebagai bentuk jawaban persuasif bahwa orang yang sudah mendaftar haji tidak perlu bingung yang penting sudah berupaya mendaftar, maka kewajiban dengan sendirinya telah gugur, karena memang ketentuannya tidak mungkin berangkat dalam waktu dekat. Jadi semua dipasrahkan saja kepada Allah Swt.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu di dhâlem kiai.
Peserta tutur: P1: Kiai pengasuh pesantren. P2: UNUEM yang sudah kenal akrab P3: Wali santri (UNUEM) P4: Santri
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memperjelas tentang daftar tunggu pemberangkatan haji.
221
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi serius, karena topik yang menjadi pembicaraan menyangkut hal yang penting yakni berkaitan dengan masalah haji.
Urutan tindak: P2 menanyakan kepada P4 ada tidaknya kiai P4 mempersilahkan P2 masuk ruang tamu yang disedikan P2 memulai percakapan P1 menjawab setiap pertanyaan P2 P3 menyimak percakapan
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan santai, tapi serius. Nada tutur sesuai dengan tujuan tutur.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 menggunakan BM level È-B dan sering beralih kode dan bercampur kode ke BI dan bahkan bahasa ragam populer. Penggunaan tingkat tutur itu terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 èmondutaghi, seppo, sanaossa, jhughân pada data 27 (B) dan ka‟dinto, ampon, saka‟dinto 27(D), yang merupakan kosa kata BM level È-B―sedangkan prioritas, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri, baru pada data 27(B) adalah kalimat yang terdiri dari kosa kata BI. Penggunaan alih kode ke BI tersebut disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh P1 sebagai orang yang berpendidikan tinggi dan di kalangan para intelektual kosa kata pada kalimat 27(B) lebih mudah diucapkan dan diterima oleh mitra tutur. P2 menggunakan BM level È-B dan BI. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggunaan kosa kata pada data 27(A) dan (C) samangkèn, manabi, seppo, ponapa, kadhiponapah, saè, yang merupakan kosa kode 222
dalam BM level È-B dan prioritas adalah kosa kode BI ragam ilmiah populer. Penggunaan kosa kode BI ragam ilmiah popular oleh P2, karena diketahu bahwa lawan tutur adalah kiai yang berpendidikan tinggi. Semua peserta tutur duduk lesehan di karpet yang dalam hal ini juga menjadi tradisi di sebagaian besar dhâlem kiai NU. Posisi tempat duduk P1 menghadap kepada semua partisipan tutur dengan pandangan tertuju kepada lawan tutur, sedangkan P3 dan P4 menundukkan kepala―P2 bertutur dengan arah pandangan tertuju kepada P1, tetapi sesekali menundukkan kepala. Ummat pada umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Alih giliran tutur pada percakapan ini dimulai dari ummat, karena adanya keeratan hubungan antara penutur dan lawan tutur.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut dapat disarikan pada tabel berikut bahwa pola komunikasi
KP-UNUEM
yang dipengaruhi oleh
tingkat keertan hubungan adalah sebagai berikut: Tabel 6.3: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi Tingkat Keeratan hubungan Peserta Tutur KP
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa
Alih Giliran Tutur
È- B E-E
BM BI
Dominan pada giliran pertama
Lebih tinggi dari nada tutur Ummat
UNUEM yang belum kenal
BAl & È- B
BM
Lebih rendah dari nada tutur Kiai
UNUEM yang sudah kenal akrab
È- B & E-E
BM BI
Tergantung tujuan tutur dan situasi tuturan
Pandangan kepada Partisipan tutur Menundukkan kepala dan, pandangan ke bawah sesekali memandang lawan tutur Menundukkan kepala, arah pandangan kepada lawan tutur.
Setelah kiai atau mohon ijin bicara
Tergantung tujuan tutur.
223
6.1.4 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Umur Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa banyak sedikitnya umur partisipan tutur (penutur dan mitra tutur) dapat mempengaruhi pilihan kode tutur yang digunakan dalam peristiwa komunikasi. Orang pertama (O1) yang lebih muda tentu akan menaruh rasa hormat kepada orang kedua (O2) yang lebih tua. Rasa hormat tersebut paling mudah dilihat dari perilaku berbahasa seseorang atau pola komunikasinya―tidak terkecuali pola komunikasi KP-UNUEM. Dengan ummat yang umurnya lebih tua KP menggunakan pola komunikasi seperti data berikut:
Data 28: Percakapan KP-UNUEM yang umurnya lebih tua (A) KAA: Panjenengan→, pak Maryadi?↑ (Engkau, pak Maryadi?) „Pak Maryadi ya?‟ (B) Mryd: Èngghi↓, ka‟dinto.↓ (Ya, ini) „Ya, saya‟ (C) KAA: Kadhiponapa→, saè sadhâjâ?↑ (Gimana, baik semua?) „Bagaimana kabar, baik-baik semua?‟ (D) Mryd: Alhamdulillah↓, Cabis pamator→, ka‟dinto.↓ (Alhamdulillah, Cabis perkataan, ini) „Alhamdulillah, mohon ijin bicara‟ (E) KAA: Ponapa pak Maryadi?↑ (Apa Pak Maryadi?) „Ada apa Pak Maryadi?‟ (F) Mryd: Anyo‟ona↓ barokah dhu‟a↓, bhâdi amulaè Mushalla.→ (Mohon barokah do‟a, mau memulai Mushalla) „Mohon bantuan do‟anya, rencana akan memulai pembangunan mushalla‟ 224
(G) KAA: Rajâ↑ rencanana?→ (Besar rencananya?) „Rencananya besar bangunannya?‟ (H) Mryd: Sia, bhunten↓, namung okoran lèma kalè enem↓ (Sia, tidak, hanya ukuran lima kali enam) „yach, tidak, hanya berukuran lima kali enam.‟ (I) KAA: Engghi→ mandhâr èpalancara→, torè aminè!→ (Ya, semoga dilancarkan, mari diamini) „Ya, Semoga diberi kelancaran, Mari berdo‟a bersamasama‟ Kalimat Panjenengan, pak Maryadi? „Pak maryadi ya?‟ pada data 28(A) digunakan untuk menyapa orang yang sudah dikenal dan umur lebih tua. Sebenarnya dengan menggunakan panjenengan? Sebagai kata sapaan sudah bermakna, akan tetapi belum menunjukkan bahwa lawan tutur itu sudah dikenal baik. Begitu pula frasa pak Maryadi, bisa berdiri sendiri sebagai kata sapaan, tapi dalam BM belum sempurna tanpa kata panjenengan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sedangkan Èngghi, ka‟dinto „ya, saya‟ tidak hanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan kiai pada tuturan 28(A), tapi juga berfungsi sebagai sinyal bahwa pak Maryadi sudah siap menjadi mitra tutur. Karena itu, kiai langsung menanyakan Kadhiponapa, saè sadhâjâ? „Bagaimana kabar, baik-baik semua?‟―sebagai bentuk perhatian terhadap orang yang sudah dikenal akrab. Tetapi pertanyaan tersebut sangat jarang dipertanyakan UNUEM kepada kiai sebagai bentuk perhatian. Tuturan Cabis pamator, ka‟dinto? „mohon ijin bicara‟28(D), selain digunakan untuk mengalihkan pembicaraan ke pokok tujuan tutur, juga digunakan sebagai bentuk rasa hormat kepada kiai untuk menyatakan sesuatu. Pada tuturan 22(E) pertanyaan kiai Ponapa pak Maryadi? „Apa pak Maryadi‟ berfungsi sebagai pemberian ijin pak Maryadi berbicara 225
untuk menyatakan pokok tuturan yang akan disampaikan. Karena itu, Pak Maryadi langsung mengemukakan pokok tuturannya Anyo‟ona barokah dhu‟a, bhâdi amulaè Mushalla. „Mohon bantua do‟anya, rencana akan memulai membangun mushalla‟. Tuturan 28(F) tersebut sebagai bentuk pemberitahuan dan sekaligus mohon do‟a restu kepada kiai untuk memulai pembangunan mushalla. Sebagai jawaban dan implementasi terhadap tujuan tutur tersebut, kiai langsung menyatakan dukungannya dan mendo‟akan dengan pernyataan Engghi mandhâr èpalancarra, torè aminè! „Ya, Semoga diberi kelancaran, Mari berdo‟a bersama-sama‟. torè aminè pada tuturan 28(I) tersebut sebagai bentuk ajakan kiai untuk mengamini do‟anya.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang tamu dhâlem kiai.
Peserta tutur: P1: Kiai pengasuh pesantren. P2: UNUEM umur lebih sepuh dan kenal akrab P3: Santri laki-laki
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon ijin dan do‟a restu untuk memulai pembangunan mushalla.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi serius, karena membicarakan topik yang penting. 226
Urutan tindak: P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu P2 masuk ruang tamu P3 menyuguhkan mamiri P1 datang di ruang tamu P2 memberi salam P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam P1 memulai percakapan
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. Dalam tuturan ini, Pak Maryadi sebagai ummat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi: Setiap pertemuan antarwarga nahdiyyin selalu diawali dengan ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level È-B dengan beralih kode ke level E-E. Penggunaan ondhâghan bhâsa tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 Panjenengan 28 (A), kadhiponapa, saè, sadhâjâ, 28(C), ponapa 28(E) yang merupakan kosa kata BM level È-B―sedangkan engghi, torè 28(I) kosa kode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 berumur lebih tua, walaupun sudah dikenal baik oleh P1, karena mantan santri orang tua P1. Sedangkan P2 menggunakan BAl dan BM level È-B. Penggunaan BAl dapat dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai kosa kode BAl. Sedangkan penggunaan kosa kata ka‟dinto, anyo‟ona merupakan kosa kode BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan dengan P2 sebagai lawan tutur. P2 seringkali menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya, selalu berusaha merendahkan suaranya di bawah suara KP. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika ummat minta ijin dengan frasa cabis pamator „mohon ijin 227
bicara‟. Pemakaian kode, alih kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness mantan santri kepada gurunya. Untuk memulai dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama dan akan melibatkan warga nahdiyyin, seperti pembangunan masjid, mushlla – UNUEM biasa mohon ijin dan do‟a restu kepada kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat, agar diberi kelancaran dan mendapat dukungan dari masyarkat. Restu dan do‟a kiai merupakan modal spirit bagi ummat NU.
Pola Komunikasi KP-UNUEM yang umurnya sederajat dapat dilihat pada data berikut: Data 29: Percakapan KP-UNUEM yang berumur sederajat (A) MSyhr: Cabis pamator→, ka‟dinto.↓ (Cabis berbicara, ini) „Mohon ijin berbicara‟ (B) KIsml: Napa?↑ (apa) „silahkan‟ (C) MSyhr: Sya‟i KKN ka‟dinto↓, tako‟ èkaposang→ (Sya‟i KKN ini, takut dicari) „Sya‟i sedang melaksanakan KKN, Khwatir dicari‟ (D) KIsml: Engghi↑, èka‟emma?→ (Ya, dimana?) „Ya, KKN dimana? (E) MSyhr: Ka kalisat.↓ (Ke Kalisat.) „Ke Kalisat.‟ Kalimat Cabis pamator, ka‟dinto „mohon ijin berbicara‟ pada tuturan 29(A) sebagai pembuka pembicaraan untuk mengalihkan perbincangan dari topik dan partisipan tutur yang lain. Hal tersebut juga sebagai bentuk ungkapan rasa 228
cangkolang kepada kiai. Jawaban kiai Napa „apa‟ 29(B) merupakan kata tanya, yang fungsinya mempersilahkan lawan tutur untuk berbicara. Sya‟i KKN ka‟dinto „Sya‟i sedang melaksanakan KKN‟ 29(C) adalah kalimat informsi yang fungsinya memohon ijin untuk sementara tidak mengajar di sekolah yang diasuh kiai, karena sedang melaksanakan KKN. Frasa tersebut dipertegas dengan tako‟ èkaposang „khawatir dicari‟ yang bermakna ketidakhadiran Sya‟i untuk sementara waktu agar diketahui oleh kiai. Sebagai bentuk perhatian, kiai menanyakan èkaemma „di mana‟ yang bermaksud menanyakan tempat KKN itu dilaksanakan.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang tamu dhâlem kiai duduk lesehan di lantai.
Peserta tutur: P1: KIsml (KP) P2: UNUEM berumur sederajat KP P3: Tamu UNUEM yang lain P4: santri laki-laki
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohonkan ijin anaknya yang sementara melaksanakan KKN, agar mendapat ijin untuk tidak mengajar sementara.
229
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi serius. P2 (UNUEM) berusaha merendahkan suaranya.
Urutan tindak: P4 mempersilahkan para tamu masuk ruang tamu P2 masuk ruangan tamu P2 mohon ijin berbicara untuk mengalihkan pembicaran dari topik dan partisipan tutur yang lain P1 mempersilahkan P2 berbicara dan menanyakan hal-hal yang tidak diketahui P3 dan P4 mendengarkan, tanpa berkomentar apapun
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa tidak formal, tapi serius. Dalam tuturan ini, Pak Sya‟i sebagai ummat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam tuturan 29(A) ini, frasa cabis pamator „mohon ijin berbicara‟ digunakan ummat untuk memohon ijin kepada kiai memulai tuturan, mengalihkan dari partsipan yang lain, dan mengalihkan dari topik yang sedang menjadi perbincangan ke topik yang baru. Permohonan ijin berbicara tersebut juga sebagai upaya menghilangkan rasa cangkolang ummat kepada kiai. Dalam tuturan tersebut, P1 menggunakan BM level E-E. Penggunaan ondhâghan bhâsa tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 napah „apa‟ 29 (B), ekaemma „di mana‟ 29 (C), yang merupakan kosa kode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 berumur setara dengan P1. P2 menggunakan BM level ÈB dan BAl. Penggunaan BAl dapat dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai kosa kode BAl―penggunaan kosa kata ka‟dinto 230
merupakan kosa kode BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan dengan P2 dan P3 sebagai partisipan tutur. P2 dan P3 seringkali menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya sebagai bentuk perhatian ketika P1 berbicara. Nada suara P2 dan P3 selalu lebih rendah dari nada suara KP. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai kecuali, jika ummat minta ijin dengan frasa cabis pamator „mohon ijin bicara‟. Pemakaian kode, alih kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness ummat kepada kiai. Dalam permohonan ijin tersebut, tersirat maksud agar kiai memberi barokah do‟a kepada anaknya yang sedang melaksanakan KKN. Dalam pandangan WNUEM do‟a kiai yang dianggap lebih dekat dengan sang pencipta dapat menjadi wasilah untuk meraih kesuksesan. Karena itu, semua hal yang berkaitan dengan kehidupan selalu memohon do‟a restu dan barokah dari kiai. Berdasarkan uraian dan analisis data 28 dan 29 tersebut, dapat disarikan bahwa pola komunikasi kiai dengan ummat, yang dipengaruhi perbedaan umur pada tabel berikut: Tabel 6.4: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi Umur Peserta Tutur
KP
UNUEM umur lebih tua (A)
UNUEM yang umurnya sederajat/lebih muda (B)
Tingkat Tutur Kepada (A) È- B, E- E Kepada (B) E-E
BAl & È- B
BAl & È- B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa
BM
Lebih tinggi dari nada tutur UNUEM (A) dan (B)
BM
Lebih rendah dari nada tutur KP
BM
Lebih rendah dari nada tutur KP
Pandangan kepada Partisipan tutur
Menundukkan kepala dan, pandangan ke bawah sesekali memandang lawan tutur Menundukkan kepala dan, pandangan ke bawah sesekali memandang lawan tutur
Alih Giliran Tutur
Dominan pada giliran pertama
Diawali dari kiai atau ummat mohon ijin bicara Diawali dari kiai atau ummat mohon ijin bicara
231
6.1.5 Pola Komnikasi KP-UNUEM dalam Situasi Formal Konteks yang berkaitan dengan situasi tuturan, juga menentukan kode tutur yang digunakan oleh partisipan tutur. Dalam situasi formal pilihan bahasa, penggunaan tinggkat tutur, tinggi rendahnya suara, dan alih giliran tutur sangat menjadi perhatian penutur. Terutama, situasi yang melibatkan partisipan tutur kelas sosial terendah hingga kelas sosial yang paling tinggi. Kesalahan dalam memperlakukan bahasa dalam berkomunkasi, dianggap tidak bisa berbhâsa atau bahkan dicemooh sebagai orang yang tidak bisa bersopan santun. Dalam acara-acara formal yang diprakarsai WNUEM, KP tentu menjadi orang yang paling dihormati. Karena itu, sebutan
kiai akan mendapat giliran
pertama ucapan dimuliakan (dita‟dzimkan), baru kemudian pejabat pemerintah atau tokoh NU yang lain. Hal tersebut tercermin dalam prakata panitia maupun sambutan-sambutan dari para tokoh dalam even pengajian peringatan Maulud Nabi, berikut: Data (30): Sambutan ARf (ketua panitia) dalam acara peringatan maulud Nabi (A) ARf: Assalaamu‟alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh (B) WNUEM: Wa‟alaikum salaam Warahmatullaahi Wabarokaatuh (C) ARf: Bismillaahi Alhamdulillah Ashsholaatu wassalaamu ‟alaa sayyidinaa Muhammadin wa‟alaa „aalihi washahbihii wamawwaalah walaahaula quwwata illaa billah „ammaa ba‟duh. Hadlorotil mukarram KH. Ach. Shonhadji yang kami ta‟dzimkan, para „alim, asaatidz, yang kami muliakan, Yang terhormat Bapak camat Mumbulsari atau yang mewakili seluruh kaum muslimin dan muslimat yang kami muliakan „Assalaamu‟alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh. Bismillaahi Alhamdulillah Ashsholaatu wassalaamu ‟alaa sayyidinaa Muhammadin wa‟alaa „aalihii wasahbihii wamawwaalah walaahaula quwwata illaa billah „ammaa 232
ba‟duh. KH. Ach. Shonhadji yang sangat kami mulayakan, para „alim, asaatidz, yang kami muliakan, Yang terhormat Bapak Camat Mumbulsari atau yang mewakili, seluruh kaum muslimin dan muslimat yang kami muliakan‟ Pertemuan-pertemuan yang melibatkan WNUEM, sambutan didahului dengan ucapan salam, kemudian ucapan syukur kepada Allah Swt, kemudian ucapan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Dalam ucapan sholawat dan salam kepada Rasul ini, dalam tradisi NU didahului dengan sayyidinaa sebelum kata muhammad. Kata sayyidinaa yang berarti „tuan kami‟ bertujuan menyanjung sekaligus menempatkan Rasulullah sebagai junjungannya. Karena Nabi Muhammad selain
telah
membawa ummat Islam dari kegelapan (jahiliyah) menuju kepada cahaya yang diridoi Allah Swt, juga dapat memberikan syafaat nanti di yaumil akhirah (alam akhirat). Pada prakata data (30) tampak setelah ucapan syukur dan sholawat kepada Nabi, kiai mendapatkan sebutan pertama kali dengan ucapan “Hadlorotil mukarram dan yang kami ta‟dzimkan” „Kepada yang mulia dan yang kami muliakan‟. Kata tersebut dalam tradisi WNUEM hanya lumrah diucapkan pada orang yang amat dimuliakan. Peristiwa tutur tersebut jika dianalisis dengan komponen tutur dapat dipaparkan sebagai berikut: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan tersebut dalam situasi formal pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang berlangsung malam hari di halaman masjid.
233
Peserta tutur: Partisipan tutur dalam konteks tuturan pada data (30) terdiri dari berbagai latar belakang strata sosial, yaitu kiai yang oleh WNUEM dinggap memiliki strata sosial paling tinggi, pejabat pemerintah, dan ummat NU. Untuk itu diklasifikasikan sebagai berikut: P1: Pembawa acara (UNUEM) P2: Ketua Panitia (UNUEM) P3: penceramah (KP) P4: Pejabat pemerintah P5: Ummat NU
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut sebagai pembuka prakata dan memuliakan kiai sebagai seorang yang dijunjung tinggi dalam masyarakat WNUEM.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah pidato yang berisi sapaan penghormatan kepada Kiai dan pihak-pihak terkait.
Urutan tindak: P1(MC) memanggil P2 untuk memberikan prakata P2 berpidato selaku ketua panitia P3 (Kiai), dan P4 (para pejabat pemerintah) menyimak pidato, P5 (ummat NU) mendengarkan prakata yang disampaikan P2
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius yang disampaikan dalam pembukaan pidato. Karena itu, nada tutur (tone) tinggi rendah disesuaikan dengan gaya berpidato.
234
Alat/sarana tutur: Sarana tutur dalam komunikasi ini adalah bahasa lisan yang dibantu dengan pengeras suara berupa soundsystem. Digunakannya pengeras suara dalam tuturan tersebut, karena melibatkan partisipan tutur yang sangat banyak.
Norma interaksi dan interpretasi: Frase hadlorotil mukarram dan yang kami ta‟dzimkan „kepada yang mulia dan yang kami mulayakan‟ digunakan sebagai bentuk ungkapan rasa hormat yang khusus hanya diucapkan kepada kiai. Dalam situasi formal seperti ini uangkapan-ungkapan tersebut menjadi lazim bahkan wajib diucapkan. Kealpaan dalam mengucapkan kata-kata tersebut (data 30) dianggap suatu kekurangan. Pemilihan kata Hadlorotil mukarram dan yang kami ta‟dzimkan „Kepada yang mulia dan yang kami muliakan‟ pada data (30) sesuai dengan apa yang dinyatakan Hymes (1972) bahwa, dalam berkomunikasi tidak terlepas dari siapa partisipan tuturnya yang dituju, bagaimana status sosialnya, peran, serta jabatannya. Tuturan tersebut
sebagai indikasi bahwa peran dan jabatan kiai pengasuh
pesantren dan tokoh masyarakat telah menempatkannya pada status sosial yang paling tinggi dalam masyarakat WNUEM. Dengan Frase Hadlorotil mukarram dan yang kami ta‟dzimkan pada data (30) tersebut, membuat implikasi yang luar biasa terhadap perhatian UNUEM―karena frase tersebut, sekaligus sebagai setrategi komunikasi untuk mencapai tujuan dalam memberi sambutan―dengan frase itu, UNUEM akan menjadi lebih antusias perhatiannya, lantaran orang yang menjadi sanjungannya telah disebut-sebut namanya seraya dimuliakan dan sebagai pertanda sudah hadir di tengah-tengan ummat. Penggunaan BA pada data (30) tersebut, sebagai bentuk penciri khas atau style bahwa WNUEM sebagaian besar lulusan pesantren dan terbiasa berbahasa Arab.
235
Dalam pidato pada situasi formal, kiai juga memberi sapaan kepada sesama kiai terlebih dahulu, kemudian para pejabat pemerintah, dan baru kepada ummat. Pada momentum tersebut, kiai menggunakan bahasa BM level È-B, kadang kala beralih kode ke BA, dan juga ke BI, sebagaimana terlihat pada data berikut: Data 31: Pembuka Ceramah KAShj dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad (A) KAShj: Assaalamu‟alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh (B) (WNUEM): Wa‟alaikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh (C) KAShj: Alhamdulillaahi Rabbil‟aalamiin, wabihii nasta‟iinu „alaa umuriddunyaa waddiin, Ashsholaatu wassalaamu „alaa asrofil anbiyaai walmursaliin sayyidinaa wamaulanaa Muhammadin wa‟alaa „aalihi washahbihii ajma‟iin, ammaa ba‟du: Hadarotil mukarram para „aalim, para asaatidz, para sepuh, wabil khusus kiai hajji Abdul Muhith sè bhâdhân kaulâ amuljâagi, para rabu kaum muslimin wal muslimat sè sami muljâh, bân moghâ-moghâ èmuljâaghi dining Allah Swt. (Bersyukur kepada Allah Tuhan alam semesta, dan dengannya pertolongan atas kami, atas urusan dunia dan agama, sholawat dan salam atas seluruh para nabi dan para rasul, junjungan kami dan kekasih kami Nabi Muhammad dan atas keluarganya dan atas sahabatnya semua, kemudian: Kepada yang mulia para „alim, para ustadz, para sepuh, dan dengan khusus kiai hajji Abddul Muhith yang saya muliakan, para hadirin kaum muslimin dan muslimat yang sama mulia, dan mudah-mudahan dimuliakan oleh Allah Swt.) „Dalam kesempatan ini saya bersyukur kepada Allah swt. Tuhan semesta alam, karena atas pertolongannya kepada kita, baik urusan dunia dan agama (khirat), sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada seluruh para nabi dan rasul, khususnya junjungan dan kekasih kami Nabi Muhammad saw., keluarganya dan semua para sahabatnya, kemudian: Kepada yang mulia para „alim, para ustadz, para sepuh, dan scara khusus kiai hajji Abdul Muhith yang saya muliakan, para hadirin kaum muslimin dan muslimat yang saya muliakan, dan mudah-mudahan dimuliakan oleh Allah Swt.‟ 236
Dalam pidato pembuka ceramah yang disampaikan kiai, juga didahului dengan ucapan salam, kemudian ucapan syukur kepada Allah Swt, baru kemudian ucapan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga dan para sahabatnya. Dalam ucapan sholawat dan salam kepada rasul ini, juga tidak lupa didahului dengan sayyidina sebelum kata muhammad. Kata sayyidina yang berarti „tuan kami‟ juga bertujuan menyanjung sekaligus menempatkan Rasulullah sebagai junjungannya. Pada pembuka ceramah 31(C), tampak setelah ucapan syukur dan sholawat kepada Nabi, para „aalim yang juga merupakan julukan para kiai. Kiai Muhith juga mendapatkan sebutan secara khusus sebagai satu-satunya kiai pesantren yang hadir di tengah-tengah ummat dengan ucapan wabil khusus kiai hajji Abdul Muhith sè bhâdhân kaulâ amuljâagi „scara khusus kiai hajji Abdul Muhith yang saya memuliakan‟. Setelah itu, baru kemudian ucapan penghormatan disampaikan kepada para hadirin kaum muslimin dan muslimat. Peristiwa tutur tersebut, jika dilakukan analisis komponen tutur, dapat dipaparkan sebagai berikut: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan tersebut dalam situasi formal pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang berlangsung malam hari di halaman masjid.
Tujuan tutur: Mengucapkan syukur kepada Allah, solawat
kepada nabi dan para
sahabat, serta ucapan penghormatan sebagai pembuka pidato.
237
Partisipan tutur: Partisipan tutur dalam konteks tuturan pada data (31) terdiri dari berbagai latar belakang strata sosial, kiai yang oleh WNUEM dinggap memiliki strata sosial paling tinggi, pejabat pemerintah, dan ummat NU. Untuk itu diklasifikasikan sebagai berikut: P1: Penceramah 1 (KP) P2: Penceramah 2 (KP) P3: Pejabat pemerintah P4: MC (UNUEM) P5:UNUEM
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut sebagai pembuka ceramah dan memuliakan kiai sebagai seorang yang dijunjung tinggi dalam masyarakat WNUEM.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah pembuka ceramah yang berisi sapaan penghormatan kepada Kiai, pihak-pihak terkait, dan kemudian ummat.
Urutan tindak: P4 (MC) menghaturkan P1 untuk memberikan hikmah Maulid Nabi P1 berpidato selaku penceramah P2 (Kiai Muhith), dan P3 (para pejabat pemerintah) menyimak pidato, P5 (ummat NU) mendengarkan secara seksama pembuka ceramah yang disampaikan oleh P1
238
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa formal dan serius yang disampaikan dalam pembuka ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw. Karena itu, nada tutur (tone) tinggi rendahnya disesuaikan dengan gaya pembuka berpidato.
Alat/sarana tutur: Sarana tutur dalam komunikasi ini adalah bahasa lisan yang dibantu dengan pengeras suara berupa soundsystem. Digunakannya pengeras suara dalam tuturan tersebut, karena melibatkan partisipan tutur yang sangat banyak.
Norma interaksi dan interpretasi: Para frase Hadarotil mukarram para „alim, para asatidz, para sepuh, wabil khusus kiai hajji Abdul Muhith sè bhâdhân kaulâ amuljâagi, para rabu kaum muslimin wal muslimat sè sami muljâ „Kepada yang mulia para „alim, para ustadz, para sepuh, dan scara khusus kiai hajji Abdul Muhith yang saya memuliakan, para hadirin kaum muslimin dan muslimat yang saya muliakan‟ digunakan sebagai bentuk ungkapan rasa hormat yang diucapkan kiai secara berurutan dari kiai, ustadz, para sepuh, baru kepada ummat (para hadirin) yang diucapkan secara berjamaah. Uruta-urutan ucapan penghormatan pada data 31(C) tersebut, sebagai indikasi bahwa para „aalim (KP) adalah orang yang pertama mendapat sebutan penta‟dziman, bahkan panggilan tersebut diperkuat dengan panggilan secara khusus kepada Kiai Muhith yang hadir di tengah-tengah WNUEM―sedangkan ummat yang dalam pembukaan pidato tersebut disebut paling belakang, sebagai indikasi bahwa status sosialnya ditempatkan paling belakang. Dalam situasi formal seperti ini, uangkapan-ungkapan tersebut menjadi lazim bahkan wajib diucapkan. Kealpaan dalam mengucapkan kata-kata tersebut data 31(C) dianggap suatu kekurangan. Pemilihan kata Hadlorotil mukarram dan sè bâdhân kaulâ amuljâaghi „Kepada yang mulia dan yang saya muliakan‟, pada 239
data 31(C) juga sesuai dengan apa yang dinyatakan Hymes (1972) bahwa, dalam berkomunikasi tidak terlepas dari siapa partisipan tuturnya yang dituju, bagaimana status sosialnya, peran, serta jabatannya. Tuturan tersebut, sebagai indikasi bahwa peran dan jabatan kiai pengasuh pesantren memiliki status sosial yang paling tinggi dalam masyarakat WNUEM. Penggunaan BA dalam data (31) tersebut sebagai bentuk penciri khas atau style bahwa WNUEM sebagaian besar memahami BA dan terbiasa menggunakannya. Berdasarkan penjelasan dan hasil analisis data 30 dan 31, dapat disarikan pada tabel berikut: Tabel 6.5: Pola Komunikasi KP-UNUEM pada Situasi Formal Peserta Tutur
Tingkat Tutur
KP
È- B BAl
UNUEM
È- B BAl
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body (Nada Suara) Bahasa Language BA BM Sesuai topik dan Pandangan BI tujuan tutur yang kepada disampaikan dalam Partisipan BA berpidato tutur BM BI
Alih Giliran Tutur Sesuai susunan acara yang ditentukan panitia penyelenggara pertemuan
6.2 Komunikasi Kiai Langghârân-UNUEM Kiai langghârân (KL) sering juga mendapat sebutan bindhârâh atau ustadz. Kata bindhârâh awalnya berasal dari kata bin yang berarti putra laki dan doro yang berarti tuan―yang dalam konteks ini merujuk kepada kiai pengasuh pesantren. Jadi kata bindhârâh yang berasal dari bindoro memiliki pengertian putra kiai di pesantren, karena statusnya sebagai santri sudah dianggap menjadi anak asuh kiai―bahkan baik buruknya santri oleh walinya dipasrahkan kepada kiai. Sedangkan kata Ustadz berasal dari BA yang artinya adalah guru. Ustadz 240
disini didefinisikan sebagai guru yang mengajar agama Islam di langgar-langgar NU, sehingga karena peran bindhârâh atau ustadz sebagai guru ngaji dan pendidikan diniyah, kemudian mendapat sebutan KL. Pola komunikasi KLUNUEM dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (6.2.1) Pola komunikasi KLUNUEM yang memiliki ikatan guru-santri; (6.2.2) Pola komunikasi KLUNUEM yang berstatus sosial tinggi; (6.2.3) Pola komunikasi KL-UNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur; (6.2.4) Pola komunikasi KL-UNUEM dalam situasi formal.
6.2.1 Pola Komunikasi KL-UNUEM yang memiliki Ikatan Guru-Santri Ikatan guru-santri juga terjadi pada KL dengan santri colokan yang pernah mengaji di langgarnya. Namun demikian, hubungan itu tidak seformal hubungan KP-santri/alumninya. Hal tersebut diantaranya disebabkan santri colokan setiap hari pulang ke rumah, sehingga hubungan hanya sebatas pengajarpembelajar (ustad-santri)―tidak ada hubungan orang tua-anak yang sangat mendalam sebagaimana di pondok-pondok pesantren. Di dalam keluarga KL juga tidak terbiasa menggunakan bhâsa alos (BAl) sebagaimana di dalam pesantren-pesantren pada umumnya, sehingga mempengaruhi pola komunikasi KL-UNUEM―karena penggunaan
BAl dan tingkat tutur juga berpengaruh
terhadap perilaku berbahasa yang digunakan, seperti: tone, alih kode, dan body language, sebagaimana dapat dilihat pada data berikut: Data 32: Komunikasi BSlm-PUnsyh (A) BSlm: Bâen Un, dari bengko? (Kamu Un, dari rumah?) 241
„Kamu Un, dari rumah saja?‟ (B) PUnsyh: Engghi Man, nèkah apètraa. (Ya Man, ini mau fitrah) „Ya paman, ini mau menyerahkan zakat fitrah‟ (C) BSlm: Rèng kabârempa Un? (Orang berapa Un) „Untuk orang berapa Un?‟ (D) PUnsyh: Katello man. (Orang tiga man) „Untuk orang tiga man‟ (E) BSlm: Marè èhukumi Un? (Sudah dihukumi Un?) „Apa sudah dibacakan niatnya Un?‟ (F) PUnsyh: Bellun (Belum) „Belum‟ (G) BSlm: Mara noro‟aghi! (Mari ngikuti!) „Mari mengikuti saya!‟ Bâen Un „Kamu Un‟ pada tuturan 32(A) sebagai bentuk sapaan kepada orang yang umurnya lebih muda atau dua orang sebaya yang sudah kenal akrab seperti: orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, kakak kepada adiknya, atau antarteman sebaya. Kata panggilan Un merupakan kepanjangan dari Unsiyah yang diambil dari nama anak yang paling tua. Sedangkan tuturan Marè èhukumi Un? „Apa sudah dibacakan niatnya Un?‟ digunakan KL untuk menanyakan apakah zakat yang diantarkan sudah dibacakan lafal niat? Karena PUnsyh menjawab belum, maka KL kemudian mengajak dengan tuturan Marah noro‟aghi! „Mari mengikuti saya‟―sebagai bentuk ajakan kiai, agar PUnsyh
242
menirukan lafal niat yang dibacakan oleh kiai. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan analisis komponen tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang tamu rumah kiai, pada malam hari setelah isya‟.
Peserta tutur: P1: KL P2: UNUEM (mantan santri colokan)
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah menyerahkan zakat fitrah.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai di rumah kiai, tapi agak formal karena topik percakapan hal yang penting.
Urutan tindak: P1 membuka percakapan dengan menanyakan kehadiran P2, apa sudah tadi. P2 menjawab pertanyaan P1, dan percakapan berlangsung diakhiri dengan do‟a “semoga Allah member rizki yang berlipat ganda kepada UNUEM sebagai muzakki”.
Jenis tuturan: Tuturan termasuk kategori bahasa lisan santai tapi agak formal. Dalam tuturan ini, P1 sebagai guru bersuara lebih tinggi dari P2.
243
Norma interaksi dan interpretasi: Pada percakapan (32), P1 sebagai guru menggunakan BM level E-I. Penggunaan ondâghân bhâsa tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 bâen, bengko, 32(A), Reng kabârempa, 32(C), Marè 32(E), mara 32(G) yang merupakan kosa kata dalam BM level E-I. Pemilihan tingkat tutur tersebut, karena P2 adalah santri colokan yang sudah dikenal sejak kecil dan biasanya masih kerabat. Karena itu, panggilan paman juga sering digunakan oleh UNUEM kepada KL. P2 kepada P1 menggunakan BM level E-E dengan suara lebih rendah dari KL. Penggunaan kosa kata Engghi Man, nèka apètraa, pada tuturan 32(B) merupakan kosa kode BM level E-E. P2 menggunakan BM E-E, karena P1 adalah mantan guru ngajinya―biasanya masih ada hubungan kekerabatan dengan P2 yang sama-sama dilahirkan di desa itu. Karenanya, panggilan man (paman) pada 32(C) sebagai bentuk panggilan akrab, karena di samping sebagai guru KL juga dianggap sebabagi kerabat dekat. Percakapan berlangsung dalam posisi duduk di kursi setelah sholat isya‟ dalam posisi saling berhadapan dan pandangan kepada lawan tutur. Ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak ingin saling menunjukkan keakraban. Alih giliran tutur, sesuai dengan keperluan kedua belah pihak. Dalam tradisi yang dianut WNUEM, seorang santri selalu berzakat kepada gurunya ngajinya. Kepada UNUEM mantan santri colokan tersebut, KL selalu mendoakan agar diberi rizki yang lebih banyak dan barokah. Berdasarkan paparan dan analisis data (32) di atas, dapat disarikan pada tabel berikut: Tabel 6.6:Pola Komunikasi KL-UNUEM yang Memiliki Ikatan Guru-Santri Peserta Tutur KL UNUEM yang berstatus santri
Tingkat Tutur E-I E-E
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body (Nada Suara) Bahasa Language BM Nada tutur KL Pandangan lebih tinggi dari kepada UNUEM BM lawan tutur mantan santri
Alih Giliran Tutur Bebas, tergantung konteks, keperluan, dan tujuan tutur
244
6.2.2 Pola Komunikasi KL-UNUEM yang Dipengaruhi Status Sosial Selain dipengaruhi oleh perbedaan umur, pola komunikasi KL-UNUEM juga dipengaruhi oleh status sosial UNUEM. Dengan UNUEM yang berstatus sosial tinggi seperti guru PNS, KL menggunakan pilihan kode tutur yang berbeda dibanding dengan lawan tutur UNUEM arus bawah. Fenomena tersebut dapat dilihat dari data berikut: Data 33: Komunikasi BSd (KL)-PSjs(UNUEM) PNS (A) PSjs: Ampon saponapa sèakorban kè? (Sudah berapa yang kurban ki?) „Sudah berapa yang mengantarkan hewan kurban Ki?‟ (B) BSd: Gi‟ tello‟an, ka‟dinto. (Hanya tiga, ini) „Baru tiga ekor‟ (C) PSjs: Bâdhân kaulâ settong, kè. (Saya satu ki.) „Saya satu ekor ki.‟ (D) BSd:Èngghi Alhamdulillah, sakalangkong. Mandhâr jân èpalancarra rajekkèna! (Ya, Alhamdulillah, terima kasih. Semoga tambah dilancarkan rejekinya!) „Ya, Alhamdulillah, terima kasih. Semoga diperlancar rejekinya!‟ (E) PSjs: Amien…. „semoga dikabulkan do‟nya‟ Ampon saponapa sèakorban kè?„Sudah berapa yang mengantarkan hewan kurban ki?‟ 33(A), sebagai bentuk pertanyaan basa-basi untuk membuka suatu percakapan. Sebenarnya tujuan tutur utama adalah 33(C) Bâdhân kaulâ settong, kè. „Saya satu ekor ki‟ yang berarti bahwa PSjs akan berkurban satu ekor kambing. Walaupun pada tuturan 33(C) tidak disebutkan kambing/sapi, tetapi 245
tiga
ekor
hewan
kurban
yang
disebutkan
KSd
adalah
tiga
ekor
kambing―sehingga pernyataan PSjs „satu‟ berarti juga satu ekor kambing. Karena itu, BSd langsung memberi jawaban „Alhamdulillah‟ yang dilanjutkan dengan terima kasih kepada PSjs, bahkan diiringi dengan do‟a „Semoga diperlancar rejekinya!‟ Hal ini merupakan kebiasaan seorang kiai untuk berterima kasi kepada Allah terlebih dahulu, baru kemudian kepada manusia yang menjadi asbab terjadinya suatu kenikmatan. Iringan do‟a pada data 33(D) sebagai bentuk penghargaan BSd kepada orang yang telah rela menyumbangkan hewan kurban, agar diberi karunia yang lebih besar oleh Allah Swt.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di langgar setelah sholat isya‟.
Peserta tutur: P1: UNUEM berstatus sosial sebagai guru PNS P2: KL P3: para santri colokan (nonpartisipasi)
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah PSjs menyerahkan hewan kurban kepada KSd sebagai KL.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai setelah sholat isya‟, tapi serius karena topik percakapan hal yang penting.
246
Urutan tindak: P1 membuka percakapan dengan menanyakan banyaknya jamaah yang sudah menyerahkan hewan kurban P2 menjawab pertanyaan P1, dan percakapan berlangsung. P3 mendengarkan, sambil mempersiapkan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Jenis tuturan: Tuturan termasuk kategori bahasa lisan santai tapi serius. Dalam tuturan ini, P1 dan P2 saling merendahkan suaranya sebagai bentuk saling menghormati.
Norma interaksi dan interpretasi: Pada percakapan (33), P1 menggunakan BM level È-B. Penggunaan speech level tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 ampon saponapa 33(A), bâdhân kaulâ, 33(C) yang merupakan kosa kode dalam BM level È-B. Pemilihan tingkat tutur tersebut, karena P2 (KL) yang juga merupakan guru dari anaknya. P2 juga menggunakan BM level È-B. Penggunaan kosa kata namong „hanya‟, pada tuturan 33(B) dan sakalangkong 34(D) merupakan kosa kode BM level È-B. P2 menggunakan BM È-B, karena P1 berstatus sosial tinggi, yakni seorang guru PNS. Dalam masyarakat WNUEM guru bidang apapun juga mendapat status sosial yang cukup dihormati di tengah-tengah masyarakat, apalagi guru tersebut PNS yang dalam masyarakat Madura disebut parjâjih (pegawai). Percakapan berlangsung dalam posisi duduk di lantai setelah sholat dan dizkir bersama dalam posisi saling berhadapan tetapi juga saling menundukkan kepala. Ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak ingin saling menunjukkan rasa hormatnya. Alih giliran tutur, sesuai dengan keperluan kedua belah pihak. Kebiasaan dalam tradisi WNUEM seseorang yang merasa mendapatkan kenikmatan diucapkan Alhamdulillah, kemudian terima kasih kepada orang yang menjadi asbab 247
kenimkmatan tersebut―bahkan memohonkan kenikmatan yang lebih besar kepada Allah swt.
Berdasarkan paparan analisis data 33 di atas, dapat disarikan bahwa komunikasi KL-UNUEM yang berstatus sosial tinggi berpola seperti pada tabel berikut: Tabel 6.7: Pola Komunikasi KL-UNUEM yang Dipengaruhi Status Sosial Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language Bahasa (Nada Suara)
KL
È-B
BM
UNUEM yang berstatus Guru PNS
È- B
BM
Saling merendahkan suaranya
Pandangan kepada partisipan tutur Sesekali samasama menunduk
Alih Giliran Tutur Bebas, tergantung konteks, keperluan, dan tujuan tutur
6.2.3 Pola Komunikasi KL-UNUEM yang Dipengaruhi Umur Kepada UNUEM yang umurnya lebih tua, KL berbhâsa dengan menggunakan tingkat tutur E-E. Begitu pula UNUEM juga menggunakan tingkat tutur E-E, sebagaimana terlihat pada data di bawah ini: Data 34: Komunikasi BLMdn (KL)-PNwt (UNUEM) (A) BLmdn: Embian↑ pak Nawati?→ (Kamu pak Nawati?) „Kamu pak Nawati?‟ (B) PNwt: Engghi↓, Nawati terro ngaji èkaento↓ (Ya, Nawati ingin ngaji di sini) „Ya, Nawati ingin mengaji di sini‟ (C) BLmdn: Engghi pon↑ soro maso‟→ (Ya sudah suruh masuk) „Ya, silahkan suruh masuk saja‟ (D) PNwt: Mulaè bilâ↓ sè saè?→ 248
(Mulai kapan yang enak?) „Kapan enaknya memulai?‟ (E) BLmdn: Rebbhu dâteng↓, insyaAllah saè.→ (Rabu depan, insyaAllah baik) „Rabu depan, insyaAllah hari yang baik‟ Embian pak Nawati? „Kamu pak Nawati?‟ pada data 34(A) sebagai bentuk kata sapaan kepada orang yang sudah dikenal dan sekaligus sebagai pembuka percakapan. Lawan tutur menjawab engghi, „ya‟ dalam tuturan 34(B) diikuti dengan tujuan pokok tuturan Nawati terro ngajiâ è kaento „Nawati ingin mengaji di sini‟ sebagai bentuk pemasraan anaknya yang ingin mengaji kepada kiai di langgar. Kiai langsung merespon dengan kalimat 34(C) Engghi pon soro maso‟ „Ya, silahkan suruh masuk saja‟ sebagai bentuk persetujuan KL untuk mengajar ngaji anak UNUEM yang di pasrahkan. Selaku orang tua, dalam tradisi WNUEM menanyakan waktu yang baik untuk memulai sesuatu kepada kiai biasa dilakukan, khususnya soal mengaji dengan tuturan
Mulaè bilâh sè saè?
„Kapan enaknya memulai?‟ 34(D). Kiai menjawabnya dengan tuturan Rebbhu dâteng, insyaAllah bagus „Rabu depan, insyaAllah hari yang baik‟ sebagai petunjuk bahwa hari Rabu adalah hari yang baik untuk memulai mengaji. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan kiai, hari Rabu memang hari baik yang dianjurkan Rasulullah saw. untuk memulai menuntut ilmu.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang tamu kiai pada malam hari. 249
Peserta tutur: P1: KL P2: UNUEM umur lebih sepuh dan kenal akrab P3: Nyai (istri KL) P4: Istri UNUEM
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut
adalah memasrahkan
anaknya untuk mengaji kepada KL.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi formal―karena membicarakan topik yang penting.
Urutan tindak: P3 mempersilahkan P2 dan P4 masuk, P2 memasuki ruang tamu depan, P4 dan P3 di ruang tengah. P3 menyuguhkan mamiri P1 masuk ke ruang tamu laki-laki dan menyapa P2 sebagai pembuka percakapan
Jenis tuturan: Tuturan termasuk kategori bahasa lisan formal. Dalam tuturan ini, tinggi rendahnya suara P1 dan P2 bebas, tergantung tujuan tutur.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan (34), P1 menggunakan BM level E-E. Penggunaan ondhâghan bhâsa tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 embian 34 (A), soro maso‟ bâih pon, 32(C) yang merupakan kosa kode dalam BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 umurnya lebih tua dari P1. Sedangkan P2 juga menggunakan BM level E250
E, dan beralih kode ke level È-B. Penggunaan tingkat tutur tersebut terlihat dari penggunaan kosa kode engghi, èkaento, pada tuturan 34(B), yang merupakan kosa kode BM level E-E. Sedangkan bentuk alih kode terlihat pada penggunaan kosa kata saè „baik‟ 34(D), yang merupakan kosa kode BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan dengan P2 sebagai lawan tutur. P2 selalu berkomunikasi dengan pendangan tertuju kepada lawan tutur―begitu pula P1, pandangan tertuju kepada ummat. Alih giliran tutur, tergantung pada keperluan masing-masing pihak dan tergantung pada tujuan tutur. Sebagaimana biasa dalam tradisi NU, untuk memulai dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama termasuk memulai mengaji―UNUEM biasanya mohon petunjuk kepada kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat, agar apa yang menjadi tujuannya tercapai―dan
tidak salah dalam
pandangan agama. Berkah kiai, syafaat Rosul, dan ridlo Allah selalu menjadi harapan seseorang yang datang kepada kiai. Dengan ummat yang umurnya lebih muda, dan sudah dikenal sejak kanak-kanak, KL sering ta‟abhâsa (tidak berbhâsa) seperti data berikut: Data 35: Percakapan KL-UNUEM yang umurnya lebih muda (A) BSrbn: Di, la lulus ba‟en cong? (Di, dah lulus kamu nak?) „Di, apa kamu sudah lulus nak?‟ (B) Pnd: Èngghi „ya‟ (C) BSrbn: Kan bisa atu-bantu èdinna‟? (Kan bisa bantu-bantu disini?) „Kan bisa membantu mengajar disini?‟ (D) Pnd: Èngghi, insyaAllah. (Ya, insyaAllah.) „Ya, insyaAllah.‟
251
Kata Di yang lengkapnya adalah Pandi dalam tuturan 35(A) digunakan sebagai kata sapaan nama orang yang dalam tradisi masyarakat Madura panggilan sapaan biasa menggunakan suku kata belakang. Bâen „kamu‟ merupakan BM Jember ngoko yang dalam BM Sumenep bâ‟na adalah merupakan kosa kode BM level E-I. Tuturan 35(A) tersebut untuk menanyakan kelulusan seorang anak remaja dari pesantren. Jawaban èngghi „ya‟ sebagai bentuk pernyataan bahwa anak muda tersebut sudah lulus. Karena itu, Bsrbn meneruskan pokok tujuan tuturnya Kan bisa atu-bantu èdinna‟? „Kan bisa membantu mengajar disini?‟, sebagai bentuk permintaan agar pemuda itu bisa membantu mengajar di pesantren. Tuturan 35(D) sebagai bentuk persetujuan, namun diikuti dengan kata insyaAllah yang maknanya jika Allah mengijinkan.
Analisis Komponen Tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di depan langgar setelah sholat „asyar.
Peserta tutur: P1: KL P2: UNUEM (umur lebih muda dan kenal sejak anak-anak) P3: UNUEM (jamaah sholat „asyar)
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah KL meminta lawan tutur agar bersedia membantu mengajar di langgar kiai.
252
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi agak serius.
Urutan tindak: P1 membuka percakapan dengan menanyakan lulus atau tidaknya P2 P2 menjawab pertanyaan P1 dengan singkat P3 mendengarkan, sambil pulang ke rumah masing-masing
Jenis tuturan: Tuturan termasuk kategori bahasa lisan santai, tapi agak serius. Dalam tuturan ini, P1 bersuara lebih tinggi dari P2
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan (35), P1 menggunakan BM level E-I. Penggunaan ondhâghan bhâsa tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 bâen, 35(A), èdinna‟, 35(C) yang merupakan kosa kode dalam BM level E-I. Pemilihan tingkat tutur tak abhâsa „tidak berbhasa‟ tersebut disebabkan P2 sudah dikenal sejak kanak-kanak oleh P1 dan umurnya jauh lebih muda. Sedangkan P2 menggunakan BM level È-B. Penggunaan kosa kata èngghi, pada tuturan 35(B) dan (D), merupakan kosa kode BM level È-B. Percakapan berlangsung dalam posisi berdiri. Alih giliran tutur, biasa dimulai dari orang yang lebih tua. Kebiasaan dalam tradisi ummat Islam termasuk dalam NUEM, pernyataan janji selalu diikuti dengan ucapan insyaAllah. Berdasarkan paparan analisis data di atas, dapat disarikan bahwa pola komunikasi KL-UNUEM didasarkan pada perbedaan umur, yakni dengan ummmat yang umurnya sama atau lebih tua dan ummat yang umurnya jauh lebih muda, dapat dilihat pada tabel berikut: 253
Tabel 6.8: Pola Komunikasi KL-UNUEM yang Dipengaruhi Perbedaan Umur Peserta Tutur
KL UNUEM umur setara atau lebiih tua (A) UNUEM umur lebih muda (B)
Tingkat Tutur Kepada (A) E-E Kepada (B) E-I E-E beralih kode È- B È- B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language Bahasa
(Nada Suara)
BM
Lebih tinggi dari nada tutur Ummat
Pandangan kepada lawan tutur
BM
Lebih rendah dari nada tutur KL
BM
Lebih rendah dari nada tutur KL
Pandangan kepada lawan tutur Menundukkan kepala, tetapi arah pandangan kepada lawan tutur
Alih Giliran Tutur Tergantung konteks, keperluan, dan tujuan tutur Diawali dari KL sebagai orang yang lebih sepuh
6.2.4 Pola Komunikasi KL-UNUEM dalam Situasi Formal Pola komunikasi yang hanya melibatkan KL, sebutan penghormatan kepada lawan tutur dimulai dari yang umum yakni para hadirin, para sepuh, baru kepada KL yang hadir. Dalam situasi formal juga sering beralih kode dari BM level È-B, ke BI, seperti terlihat dalam data tuturan berikut ini: Data 36: Sambutan Ketua Forsa (KF) dalam pertemuan yang bertempat di langgar samping rumahnya. (A) KF: Asslaamu‟alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh (B) UNUEM: Waalaikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh (C) KF: Para hadirin, para seppo sè muljâ, wabilkhusus Kè Musbith sè bâdân kaulâ amuljâ‟aghi, para pengurus yang kami hormati, alhamdulillah è arè samangken kaulâ sareng panjenengan sadhâjâ bisa papanggian è ka‟dinto tempat dalam rangka pertemuan rutin, saya atas nama tuan rumah, terima kasih atas keikhlasan para panjenengan sadhâjâ, terutama dâ‟ ka Pak Haryono sè ampon ikhlas untuk menghadiri acara ini. (Para hadirin, para sepuh yang mulia, secara khusus Ki Mushbith yang saya muliakan, para pengurus yang kami hormati. Alhamdulillah di hari ini saya bersama panjenengan semua bisa bertemu di sini tempat dalam rangka pertemuan rutin, saya atas nama tuan rumah, terima kasih atas keikhlasan 254
para panjenengan semua, terutama ke pak Haryono yang sudah ikhlas untuk menghadiri acara ini) „Para Hadirin, para sepuh yang kami muliakan, secara khusus (terutama) Kiai Mushbith yang saya muliakan, para pengurus yang kami hormati. Alhamdulillah hari ini kita bisa bertemu di tempat ini dalam rangka pertemuan rutin, saya atas nama tuan rumah menyampaikan terima kasih atas keikhlasan para bapak, terutama kepada pak Haryono yang sudah ikhlas untuk menghadiri acara ini‟ Dalam sambutan tersebut (data 36) umur menjadi perhatian utama. Hal tersebut terindikasi dengan tuturan para seppo sè muljâ „para sepuh yang kami muliakan‟. Ini menunjukkan bahwa umur menjadi patokan pertama dalam menunjukkan rasa hormat seseorang, jika peristiwa tutur tidak dihadiri kiai karismatik (KP). Namun demikian, secara khusus selaku tuan rumah juga menyambut seorang „alim yang lahir dari embrio pondok pesantren di Madura dengan sebuatan “wabilkhusus Kè Musbith
sè bâdhân kaulâ amuljâ‟aghi.”
„secara khusus (terutama) Kiai Mushbith yang saya muliakan‟. Tuturan pada data 36(C), menunjukkan bahwa KL sebagai orang „alim bisa mendapat sebutan kiai, jika mampu mengamalkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula kedatangan peneliti sebagai seorang
pendatang dari luar juga mendapat
sambutan yang begitu hangat dari ketua Forsa dengan tuturan “terutama dâ‟ ka Pak Haryono sè ampon ikhlas untuk menghadiri acara ini.” „terutama kepada pak Haryono yang sudah ikhlas untuk menghadiri acara ini‟. Tuturan ini sebagai bentuk aplikasi memuliakan tamu. Hal tersebut juga sebagai bentuk pengamalan WNUEM terhadap hadits rasul yang menyatakan „Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, maka hormatilah tamu‟. Berikut ini, akan disajikan analisis komponen tutur : 255
Tempat dan suasana Tutur: Kontek tuturan berlangsung di mushalla milik ketua FORSA pada sore hari. Susana tuturan formal, tetapi penuh keakraban, karena berasal dari status sosial yang sama.
Peserta tutur: Peserta tutur terdiri dari para alumni pesantren berbasis NU di Madura. P1: MC (UNUEM) P2: Ketua Forsa (UNUEM) P3: KL P4: anggota Forsa (UNUEM)
Tujuan tutur: Ucapan terima kasih dan penghormatan kepada para anggota dan pengurus perkumpulan yang telah berkenan hadir pada pertemuan rutin dan juga sebagai bentuk pengharagaan terhadap tamu yang hadir.
Jenis Tuturan: Bahasa lisan yang disampaikan pada situasi formal berupa kalimat pujian kepada para hadirin yang berisi pernyataan memuliakan dan ucapan terima kasih atas hadirnya pada pertemuan yang sudah lama libur. Nada tutur tinggi rendahnya sesuai dengan maksud dan tujuan tutur yang disampaikan.
Urutan tindak: P1 meminta P2 untuk memberi sambutan P2 memulai sambutannya P3 mendengarkan tuturan yang berbentuk pidato
256
Sarana tutur: Tuturan menggunakan bahasa verbal tidak menggunakan pengeras suara, karena peserta yang hadir tidak terlalu banyak.
Bentuk pesan: Pidato yang merupakan sambutan tuan rumah di tengah-tengah partisipan tutur yang status sosialnya sama.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam komunikasi yang tidak melibatkan KP, umur menjadi faktor utama dalam pemakaian bahasa. Hal ini terlihat dari giliran penyebutan rasa hormat yang menempatkan “para seppo” „para sepuh‟ pada sebutan pertama kali―kemudian diikuti dengan orang yang dianggap mumpuni dalam ilmu agama (orang „alim) serta mampu mengaplikasikan keilmuannya di tenagah-tengah masyarakat, baru setelah itu penghargaan diberikan kepada pendatang dari luar (peneliti) yang dianggap sebagai tamu. Sedang KL mendapat ucapan secara khusus namun diucapkan setelah sebutan yang umum yakni, para hadirin, para sepuh, dan para „alim. Ini menunjukkan bahwa KL tidak mendapatkan penghormatan sebagaimana KP yang biasanya secara khusus disebut pertama kali. Fenomena ini juga berarti bahwa, status sosial KL di bawah KP. Penggunaan alih kode dari BM ke BI dalam komunikasi tesebut, untuk menghindari keterbatasan kosa kata Bhâsa alos dan tingkat tutur È-B yang dikuasai penutur. Sedangkan alih kode ke BA (seperti: wabilkhusus) sebagai penciri bahwa oraganisasi NU sebagai embrio lulusan pesantren yang biasa berbahasa Arab.
Berdasarkan paparan dan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi KL-UNUEM pada situasi formal,
dapat dilihat pada tabel
berikut: 257
Tabel 6.9: Pola Komunikasi KL-UNUEM dalam Situasi Formal Peserta Tutur
Tingkat Tutur
UNUEM
È- B BAl
KL
È- B BAl
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body (Nada Suara) Bahasa Language BA BM Sesuai topik dan Pandangan BI tujuan tutur yang kepada disampaikan Partisipan BA dalam berpidato tutur BM BI
Alih Giliran Tutur Sesuai susunan acara yang ditentukan panitia penyelenggara pertemuan
6.3 Kategori dan fungsi Ujaran sebagai bentuk pola komunikasi KiaiUmmat Hubungan bentuk dan fungsi merupakan bagian pemolaan komunikatif (communicative patterning) dalam dimensi yang berbeda-beda, misalnya, ketika seseorang sedang sakit―kebetulan yang ada di dalam kamar hanyalah mertuanya, padahal si sakit merasa di ruangan itu sangat panas dan dia tidak pantas untuk menyuruh ibu mertuanya untuk menghidupkan AC yang ada di ruangan itu―yang akan dia lakukan adalah menyatakan “wah... sangat panas ruangan ini.” Tak lama kemudian mertua menghidupkan AC yang ada di ruangan tersebut. Kalimat yang dituturkan seorang menantu yang sedang sakit itu dilihat dari bentuknya hanya kalimat berita, tetapi ketika mertua kemudian menyalakan AC, maka fungsi tuturan tersebut adalah perintah. Begitu pula hubungan kiai dan ummat, sebagaimana disinggung pada bab sebelumnya, bahwa peran dan kedudukan kiai dalam masyarakat NU adalah sebagai guru, orang tua, dan tokoh masyarakat bagi ummat. Karena peran dan kedudukan itu, kiai menjadi orang yang hanya pantas menyuruh tetapi tidak patut untuk diperintah. Namun, dalam situasi dan kondisi tertentu berkaitan dengan 258
penerapan syari‟at Islam dan aturan pesantren, ummat dapat meminta kiai melakukan sesuatu dan hal tersebut menjadi lumrah, misalnya: Orang laki-laki yang akan mengirim anak perempuan/saudara perempuannya, tentu tidak boleh masuk ke lokasi pondok pesantren perempuan. Dalam hal ini, ummat boleh meminta bantuan kiai untuk memanggilkan anak/saudara perempuannya. Namun demikian, kecangkolangan kepada kiai masih harus tetap terjaga, dengan menggunakan pola dan strategi komunikasi yang dapat menghilangkan perilaku yang dianggap tidak hormat kepada kiai, seperti pada data berikut: Data 37: Komunikasi Kiai-UNUEM (A) AKml: Cangkolang pamator, ka‟dinto (Cangkolang pembicaraan, ini) „Mohon Maaf, atas hal yang saya haturkan?‟ (B) KAmin: èngghi, ponapa ? (ya, apa) „Ya, apa yang bisa saya bantu?‟ (C) Akml: Terrro ngèrèmma alè‟. (Ingin ngirim adik) „Ingin menyampaikan kiriman kepada adik‟ (D) KAmin: Pasèra asmana ? (Siapa namanya?) „Siapa namanya?‟ (E) Akml: Aisyah. Kosa kata cangkolang (nuwun sewu: Jawa) dalam tuturan 37(A) tersebut digunakan untuk menyatakan rasa ketidakpantasan seorang ummat untuk menyuruh melakukan sesuatu kepada kiai―orang yang sangat mereka hormati. Jika kata cangkolang digabungkan dengan kosa kata pamator „perkataan‟, maka fungsinya menjadi frasa untuk menyatakan ketidakpantasan seorang untuk 259
mengatakan sesuatu kepada mitra tutur, yakni kiai. Namun, dengan kosa kata yang cenderung merendahkan diri di depan kiai, tentu mitra tutur menganggap hal tersbut menjadi maklum―sehingga kiai menjawabnya dengan èngghi, ponapa „apa yang bisa dibantu‟. Kemudian akml menjawabnya dengan kalimat 37(C) terrro ngèrèmma alè‟ „ingin menyampaikan kiriman kepada adik‟. Kata terro „ingin‟ dalam konteks tuturan tersebut sebagai bentuk pernyataan pengharapan bahwa pekerjaan tersebut akan dilakukan jika mendapat ijin kiai. Tuturan yang kategorinya kalimat informasi 37(C) tersebut berfungsi sebagai perintah yang menurut Hymes (dalam Saville-Troike, 2003) kategori dan fungsi ujaran sebagai Communication Patterning. Begitu pula pertanyaan
Pasèrah
asmanah? „siapa namanya?‟ yang kategorinya sebagai kalimat pertanyaan, namun fungsinya sebagai kalimat persetujuan terhadap maksud lawan tutur. Ini juga menunjukkan bahwa pola dan strategi komunikasi yang tepat dapat menjadikan seseorang yang tidak pantas diperintah menjadi lumrah.
Tujuan tutur: Memohon kiai memanggilkan saudara P2 untuk menyampaikan kiriman. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di ruang tamu laki-laki dhâlem kiai pengasuh pesantren pada malam hari dalam situasi tidak formal.
Jenis tuturan: Serius, dalam situasi tidak formal, tetapi tingkat keangkeran kiai tampak dari bahasa yang digunakan ummat yakni dengan nada suara rendah dan pilihan kosa kata yang khusus hanya diungkapkan kepada kiai. 260
Peserta tutur: P1: KP P2: Wali santri (UNUEM) P3: UNUEM (non partisipasi)
Bentuk pesan: Percakapan serius, karena perbedaan status peran dan status sosial yakni kiai dan ummat, sehingga tingkat formalitas hubungan sangat tampak terlihat pada bahasa tubuh yang diekspresikan kiai dan ummat.
Urutan tindak: P1 mempersilahkan para tamu (ummat) masuk P2 nyabis kepada kiai P1 menghidangkan minuman untuk para tamu P1 mempersilahkan para tamu ke meja makan yang telah disediakan P1 menayakan keadaan para tamu sebagai pembuka percakapan P2 memulai inti percakapan
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut keangkeran kiai sebagai orang yang sangat dita‟dzinmkan oleh wali santri selaku partisipan tutur tampak dari prilaku kiai yang santai, sedangkan wali santri berusaha untuk menundukkan pandangan seraya merendah suaranya. Selaku ummat, memuliakan kiai yang dianggap sebagai guru merupakan hal yang sudah menjadi tradisi dalam NU. Perasaan cangkolang untuk meminta bantuan kiai memanggilkan adiknya yang akan dikirim, tentu masih menjadi kegalauan. Rasa kecangkolangan itu, kemudian disampaikan kepada kiai sebagai bentuk permohonan ijin 37(A), kalimat harapan 37(C) yang sebenar berfungsi meminta kesediaan kiai untuk memanggilkan adiknya yang akan dikirim. Pola dan strategi komunikasi dengan perilaku berbahasa yang santun yang diperagakan UNUEM, telah berhasil 261
membuat sesuatu yang tidak wajar menjadi wajar dilakukan. Karena itu, kiai sebagai shohibul bait tampak dari tuturan pada data 37(B dan D) mengabulkan setiap keinginan lawan tutur. Dalam syari‟at Islam yang dianut oleh etnik Madura dan warga NU khususnya―menghormati tamu merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Dalam tuturan tersebut, kiai menggunakan ondâghân bhâsa È-B. Hal tersebut
terlihat
dari
penggunaan kosa kode pada tuturan 37(B dan D) yang merupakan kosa kode BM level È-B. Sedangkan ummat menggunakan tingkat tutur È-B dan BAl. Penggunaan speech level tersebut dapat dilihat dari kosa kata yang digunakan pada tuturan 37(A dan C) yang terjadi campur kode BM È-B dan BAl. Penggunaan tingkat tutur dan BAl yang diperagakan ummat tersebut sebagai implementasi bentuk hormat kepada kiai. Berdasarkan uraian dan analisis data 37 tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan bentuk dan fungsi ujaran sebagai bagian pola komunikasi kiaiummat, yang dapat dilihat pada table berikut: Tabel 6.10: Bentuk dan Fungsi Tuturan sebagai Pola Komunikasi KiaiUmmat Bentuk Informasi Pertanyaan Harapan Pertanyaan
Kalimat 37 (A) 37 (B) 37(C) 37(D)
Peserta Tutur
Tingkat Tutur
UNUEM
BAl & È- B
Kiai
È- B & E- E
Fungsi permohonan Persetujuan Perintah Persetujuan
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa Menundukkan kepala dan, Lebih rendah dari pandangan ke BM nada tutur kiai bawah sesekali memandang lawan tutur Lebih tinggi dari Pandangan kepada BM nada tutur ummat Partisipan tutur
Alih Giliran Tutur Setelah kiai atau ummat mohon ijin bicara Dominan pada giliran pertama
262
6.4 Ringkasan Pola komunikasi kiai-ummat
dapat dikelompokkan menjadi (1) Pola
Komunikasi KP-UNUEM dan (2) Pola Komunikasi KL-UNUEM.
(1) Pola Komunikasi KP-UNUEM Pola Komunikasi KP-UNUEM dapat dikelompokkan menjadi: a) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dingaruhi ikatan guru-santri; b) Pola komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; d) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi perbedan umur; dan e) Pola komunikasi KP-UNUEM pada situasi tuturan formal.
a) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Memiliki Ikatan Guru-Santri Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM mantan santrinya adalah BM level Eg-E atau E-I, Sedangkan UNUEM menggunakan BM level ÈB dan BAl. BM konsisten digunakan untuk mempertahankan rasa hormat kepada guru. KP bertone lebih tinggi dari tekanan suara UNUEM. Arah pandangan KP tertuju kepada UNUEM sebagai lawan tutur, sedangkan UNUEM menundukkan kepala dan pandangan ke bawah―dalam posisi berdiri UNUEM menyilangkan tangannya di depan bawah pusar. Body language tersebut juga sebagai refleksi rasa hormat santri kepada gurunya. Alih giliran tutur dimulai dari KP baru kemudian UNUEM. Kecuali UNUEM memohon ijin bicara dengan uacapan cabis pamator.
263
b) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi Tingkat tutur yang digunakan KP-UNUEM terpelajar dan pejabat speech level BM level È-B. KP mengunakan BM dan BI sebagai pilihan bahasa untuk beralih kode dan bercampur kode, UNUEM terpeajar menggunakan BM, BI, dan BMlj―UNUEM pejabat menggunakan BM dan BI sebagai pilihan bahasa. Alih kode dan campur kode ke BI dan BMlj tersebut, untuk mengurangi tingkat formalitas hubungan dalam situasi komunikasi informal, karena masing-masing partisipan tutur menganggap lawan tuturnya memiliki status sosial yang tinggi. Kesamaan status sosial itu, juga terimplementasi pada penggunaan nada suara (tone) yang menunjukkan kesetaraan tekanan. Begitu pula body language yang ditunjukkan dengan pandangan sama-sama mengarah kepada lawan tutur. Alih giliran tutur juga bebas sesuai keperluan dan tujuan tutur.
c) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan Kepada UNUEM yang sudah kenal maupun belum, KP menggunakan tingkat tutur BM È-B dan E-E, UNUEM yang belum kenal menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan BAl, sedangkan UNUEM yang sudah kenal akrab dengan KP menggunakan BM level È-B dan E-E. Pilihan bahasa yang digunakan KP dan UNUEM yang belum dikenal adalah BM, sedangkan KP dan UNUEM yang sudah kenal akrab menggunakan pilihan bahasa BM dan BI. Alih kode dan campur kode dari BM ke BI sebagai bentuk keakraban, yang sekaligus mengurangi tingkat formalitas antarpartisipan tutur. Nada tutur yang digunakan KP pada umumnya lebih tinggi dari tone UNUEM yang belum dikenal, sedang nada tutur KP dan UNUEM yang sudah dikenal akrab 264
adalah sama. UNUEM yang belum kenal menundukkan kepala dan pandangan di hadapan kiai, sedangkan yang sudah kenal akrab menundukkan kepala, tetapi pandangan kepada kiai―adapun kiai pandangan selalu ke arah lawan tutur. Alih giliran tutur KP biasanya dominan pada giliran pertama, UNUEM yang belum kenal pada giliran kedua―adapun UNUEM yang sudah kenal tergantung keperluan dan tujuan tutur.
d) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berbeda umur Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM yang lebih tua adalah BM level È-B dan E-E, kepada UNUEM yang sederajat atau lebih muda, KP menggunakan speech level BM level E-E. KP dan UNUEM yang lebih tua maupun yang lebih muda selalu konsisten menggunakan BM sebagai tanda adanya
formalitas
hubungan
dan
upaya
mempertahankan
politeness
antarpartisipan tutur. Tone KP selalu lebih tinggi dari nada tutur UNUEM, karena UNUEM selalu merendahkan suaranya di bawah nada suara kiai. Begitu pula arah pandangan KP yang merupakan bagian body language―selalu tertuju ke arah lawan tutur, sedangkan UNUEM selaku lawan tutur selalu menundukkan kepala dan pandangannya. Alih giliran tutur KP pada giliran pertama.
e) Pola Komunikasi KP-UNUEM pada Situasi Formal. Pada situasi formal baik KP, maupun UNUEM selalu berusaha menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan BAl, karena dalam situasi formal partisipan tutur biasanya terdiri dari berbagai kelompok umur dan status sosial―sehingga juga diperlukan penggunaan tingkat tutur yang bisa diterima 265
oleh semua kalangan. Pilihan bahasa yang digunakan oleh partisipan tutur adalah BA, BM, dan BI. Alih kode dan campur kode tersebut digunakan untuk menghindari keterbatasan kosa kata BAl dan tingkat tutur È-B yang dikuasai penutur. Alih kode dan campur kode ke BA untuk menghindari terjemahan dari BA ke BI dan BM yang kurang pas atau bahkan tidak bisa diterjemahkan. Nada suara KP dan UNUEM disesuaikan dengan topik dan tujuan tutur yang disampaikan dalam berpidato. Pandangan tertuju kepada partisipan tutur. Adapun alih giliran tutur sesuai susunan acara yang ditentukan panitia penyelenggara pertemuan.
(2)Pola komunikasi KL-UNUEM. Pola komunikasi KL-UNUEM dapat klasifikasikan sebagai berikut: a) Pola komunikasi KL-UNUEM yang memiliki ikatan guru-santri; b) Pola komunikasi KL-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi KLUNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur; d) Pola komunikasi KL-UNUEM dalam situasi formal.
a) Pola komunikasi KL-UNUEM yang berlatar belakang guru-santri Kepada UNUEM mantan santrinya KL menggunakan tingkat tutur BM level E-I, sedangkan UNUEM menggunakan speech level E-E. Mereka pada umumnya konsisten menggunakan BM dalam berkomunikasi. Nada tutur KL selalu lebih tinggi dari nada tutur UNUEM, karena UNUEM selalu merendahkan suaranya di bawah KL. Arah pandangan partisipan tutur dalam berkomunikasi
266
kepada lawan tutur. Sedangkan alih giliran tutur bebas sesuai konteks, keperluan, dan tujuan tutur.
b) Pola komunikasi KL-UNUEM yang berstatus sosial tinggi KL dengan UNUEM yang berstatus sosial tinggi, seperti guru PNS samasama menggunakan tingkat tutur BM level È-B. Dalam bertutur keduanya saling merendahkan suaranya sebagai bantuk saling menghormati. Pandangan megarah kepada lawan tutur, sesekali sama-sama menundukkan pandangannya. Adapun alih giliran tutur bebas tergantung pada konteks, keperluan, dan tujuan tutur.
c) Pola komunikasi KL-UNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur Kepada UNUEM yang umurnya setara atau lebih tua, KL menggunakan tingkat tutur BM level E-E―kepada UNUEM yang umurnya lebih muda, KL menggunakan tingkat tutur BM level E-I, sedangkan WNUEM yang umurnya sama atau lebih tua dari KL, menggunakan tingkat tutur level E-E beralih kode dan bercampur kode ke BM level È-B―WNUEM yang lebih muda dari KL secara konsisten menggunakan BM level È-B. KL dan UNUEM selalu menggunakan BM dalam berkomunikasi dengan nada tutur KL lebih tinggi dari nada tutur UNUEM. Arah pandangan kepada lawan tutur ditunjukkan sebagai bagian Body language oleh KL dan UNUEM yang yang umurnya setara atau lebih sepuh UNUEM, sedangkan UNUEM yang umurnya lebih muda dari KL menundukkan kepala, tetapi arah panadangan kepada lawan tutur. Alih giliran tutur pada komunikasi KL―UNUEM, yang umurnya setara atau lebih tua, bebas
267
tergantung konteks dan tujuan tutur, sedangakan UNUEM yang lebih muda dari KL giliran tutur setelah KL.
d) Pola Komunikasi KL-UNUEM dalam situasi formal Pada situasi formal baik KL maupun UNUEM selalu menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan BAl, karena pada situasi
formal selalu
melibatkan partisipan tutur dari berbagai status sosial dan umur yang berbedabeda. Penggunaan BM, BA, dan BI dalam tuturan, sebagai bentuk alih kode dan campur kode untuk menghindari keterbatasan penggunaan kosa kata BAl dan tingkat tutur È-B yang dikuasai penutur―di samping itu, penggunaan BA untuk menghindari terjemahan yang tidak/kurang pas ke dalam BI, maupun BM dan juga sebagai ciri khas warga NU yang biasa berbahasa Arab. Nada suara yang digunakan pada situasi formal tergantung topik dan tujuan tutur. Penutur dan lawan
tutur
saling
mengarahkan
pandangannya
untuk
menunjukkan
perhatiannaya. Alih giliran tutur sesuai dengan susunan acara yang ditentukan sebelumnya.
(3) Bentuk dan Fungsi Tuturan sebagai Pola Komunikasi Kiai-UNUEM Pola komunikasi Kiai-UNUEM juga termasuk dalam kategori bentuk yang berbeda dengan fungsinya, seperti kalimat informasi dapat berfungsi sebagai permohonan, kalimat pertanyaan berfungsi sebagai persetujuan, kalimat harapan berfungsi sebagai kalimat perintah―bahkan dalam konteks yang lain kalimat pertanyaan dapat berfungsi sebagai permintaan, ejekan, dsb.
268
Untuk mendukung bentuk dan fungsi tersebut, tidak terlepas dari penggunaan kode tutur yang sesuai, agar tuturan dapat berfungsi dengan baik dan diterima sesuai tujuan tutur. Tingkat tutur yang digunakan UNUEM kepada kiai adalah BM level È-B dan BAl, sedangkan kiai menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan E-E. Tone yang digunakan UNUEM lebih rendah dari tone kiai. Begtu pula body language UNUEM yang merupakan cerminan politeness kepada kiai, selalu menundukkan kepala dan arah pandangan tidak kepada lawan tutur (kiai)―sedangkan kiai mengarahkan pandangannya kepada UNUEM. Kiai lumrahnya mendapat giliran tutur dominan pertama, namun untuk tujuan tutur tertentu UNUEM boleh memohon ijin, untuk bertutur mendahului kiai dengan frasa cabis pamator―untuk mengatakan hal yang tidak pantas, UNUEM terlebih dahulu mengatakan cangkolang pamator.
269
BAB VII POLA KOMUNIKASI UMMAT
7.0 Pengantar Dalam pandangan masyarakat NU, warga NU selain kiai memiliki status sosial yang tidak jauh berbeda, yakni dikategorikan sebagai ummat. Status sosial antarummat NU dalam masyarakat ditentukan oleh peran dan jabatannya dalam masyarakat, keilmuannya, pengamalannya terhadap nilai-nilai agama, serta perbedaan umur. Berdasarkan penjelasan tersebut, pada bab ini pola komunikasi ummat dapat dipetakan sebagai berikut: (7.1) Pola komuniksi yang melibatkan tokoh NU; (7.2) Pola komunikasi yang melibatkan UNUEM terpelajar; (7.3) Pola komunikasi UNUEM yang dipengaruhi umur; (7.4) Pola Komunikasi yang dipengaruhi keeratan hubungan (7.5) Pola komunikasi dalam keluarga ummat.
7.1 Pola Komunikasi yang Melibatkan Tokoh NU Tokoh NU dalam bab ini adalah warga NU selain kiai yang terlibat langsung dalam kepemimpinan Jam’iyah dan atau jamaah NU, seperti pengurus NU, ketua pengajian yang bernafaskan NU, Pengelola sekolah-sekolah NU, dsb. Di kalangan WNUEM tokoh NU tersebut, status sosial dan kedudukannya tetap sebagai ummat yakni di bawah status sosial kiai. Data berikut adalah komunikasi UNUEM yang melibatkan tokoh NU. Data 40 : Komunikasi dalam pertemuan rutin FORSA (A) MC
: Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh. 270
(B) UNUEM: Waalaikum salaam Warahmatullaahi Wabarokaatuh. (C) MC
: Bismillaahi Alhamdulillah Ashsholaatu wassalaamu ’alaa sayyidinaa Muhammadin waalaa ‘aalihi wasahbihi wamawwaalah walaahaula quwwata illaa billaah ‘Ammaa ba’duh. Para rabu sè sami muljâ, para pengurus FORSA, saudara-saudara yang kami muliakan. Pada siang hari ini kita patut bersyukur kepada Allah subhaanahu wata’aalaa, atas limapahan rahmat dan hidayah kepada kita semua, sehingga dapat bermuajjahah di tempat yang penuh mubarak ini. Marilah acara ini kita mulai dengan tawasshu fatihah yang akan dipimpin oleh ustad ikram, dipersilahkan. (Dengan nama Allah Sholawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad sholallaahu alaihi wasallam, atas keluarganya, dan kepada para sahabatnya, dan tidak ada daya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah―adapun sesudahnya: Para hadirin yang sama mulia, para pengurus FORSA Saudara-saudara yang kami muliakan. Pada siang hari ini kita patut bersyukur kepada Allah subhaanahuu wata’aalaa, atas limapahan rahmat dan hidayah kepada kita semua, sehingga dapat bertemu muka di tempat yang penuh keberkahan ini. Marilah acara ini kita mulai dengan tawasshu fatihah yang akan dipimpin oleh ustad ikram, dipersilahkan) „Dengan nama Allah, Sholawat dan salam semoga tetap dlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad sholallaahu alaihi wasallam, kepada keluarganya, dan para sahabatnya, dan tidak ada daya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah. Para hadirin yang dimuliakan Allah, para pengurus FORSA, saudarasaudara yang kami muliakan. Pada siang hari ini kita patut bersyukur kepada Allah subhaanahua wata’aalaa, atas limapahan rahmat dan hidayah kepada kita semua, sehingga dapat bertemu muka di tempat yang penuh keberkahan ini. Marilah acara ini kita mulai dengan tawasshul fatihah yang akan dipimpin oleh ustad ikram, dipersilahkan.‟
Tuturan pada data (40) tersebut, MC selaku pembawa acara tidak secara khusus menyebut nama orang yang ditokohkan. Tuturan “Para rabu sè sami muljâ, para pengurus FORSA, saudara-saudara yang kami muliakan” „Para 271
hadirin yang sama dimuliakan Allah, para pengurus FORSA, saudara-saudara yang kami muliakan‟,
sebagai bentuk panggilan yang setara antarpartisipan
tutur. Kesamaan status sosial tersebut di pertegas dengan frase Para rabu sè sami muljâ „Para hadirin yang sama dimuliakan Allah‟ mengindikasikan bahwa para prtisipan tutur yang hadir pada pertemuan tersebut memiliki tingkat status sosial yang sama. Ammaa ba’du „adapun sesudahnya‟ biasa digunakan untuk mengalihkan tuturan BA ke BI atau mengalihkan dari topik yang satu ke topik yang lain. Untuk mengetahui hubungan antarkomponen tutur dalam peristiwa tuturan tersebut, berikut ini akan diipaparkan analisis komponen tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks terjadinya peristiwa komunikasi ini berada di rumah ketua FORSA, pada pertemuan rutin bulanan siang hari jam 14.00-selesai, dengan suasana tuturan penuh keakraban antarpartisipan tutur. Karena itu, walaupun situasi formal, tapi canda dan tawa muncul dalam pertemuan tersebut.
peserta tutur: Partisipan tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur terdiri dari: P1: MC (dari kalangan UNUEM) P2: Para pengurus, asatidz (para guru diniah),
dan para anggota
organisasi.
Tujuan tutur: Tujaun tutur adalah membuka acara pertemuan rutin FORSA dengan ucapan hormat kepada partisipan tutur.
Urutan tindak: 272
P1 membuka acara P2 UNUEM sebagai peserta pertemuan menjawab salam dan menyimak Salah satu dari P2 memimpin tawashul fatihah.
Nada tutur: Selaku MC, tinggi rendahnya nada suara disesuaikan dengan gaya berpidato pembuka acara.
Sarana tutur: Bahasa lisan dan tidak menggunakan pengeras suara, karena pertemuan ini hanya melibatkan pengurus dan anggota FORSA yang anggotanya tidak terlalu banyak yang hadir.
Bentuk pesan: Tutur data (40) adalah pidato sebagai pembuka acara―isi pesan adalah berupa ucapan hormat kepada partisipan tutur dan susunan acara yang akan diikuti oleh partisipan tutur dan sekaligus berisi siapa-siapa yang akan berbicara sesuai giliran tutur yang telah disusun sebelumnya.
Norma interaksi dan interpretasi: Pada peristiwa tutur tersebut, melibatkan
partisipan tutur dengan latar
belakang status sosial yang hampir sama, sehingga tidak ada panggilan sebutan yang memuliakan seseorang lebih dari yang lain. Tuturan „para hadirin yang dimuliakan Allah, para pengurus FORSA, saudara-saudara yang kami muliakan‟ sebagai bentuk penghargaan yang tanpa perkecualian kepada para partisipan tutur yang hadir pada acara tersebut. Pada pertemuan yang melibatkan partisipan tutur dengan status sosial yang sama sering terjadi munculnya kosa kata BI sebagai bentuk keakraban dalam pertemuan yang dihadiri oleh sahabat-sahabat seorganisasi―sedangkan kosa kata BA seperti „tawasshul Fatihah, mubarak’ pada tuturan 40(C), sering muncul sebagai ciri khas organisasi 273
Islam yang lahir dari embrio pondok pesantren. Digunakannya kosa kata BA sebagai bentuk alih kode yang menjadi penegas bahwa warga NU yang notabene lulusan pesantren tentunya berbekal BA dan terbiasa menggunakannya. Dalam pertemuan yang melibatkan status sosial yang sama, faktor perbedaan umur lebih menjadi acuan dalam perilaku berbahasa, seperti penggunaan tingkat tutur. Bahkan sering terjadi memuliakan patisipan didahului dengan orang yang paling tua (para sepuh).
Dalam situasi tidak formal, pola komunikasi antarummat NU dengan tokoh NU dapat dilihat pada data percakapan berikut: Data 41: Percakapan HBdw (tokoh NU) dengan PHmzh (ummat) (A) HBdw
: Pon gellâ’?↑ (dah tadi?) „Sudah tadi?‟
(B) PHmzh
: Bhunten↓, ghi’ buru↓. (tidak, masih baru) „Tidak, baru saja‟
(C) HBdw
: Kadhinapa↑ bhâr-kabhâr?→ (Gimana bar-kabar?) „Bagaimana kabar?‟
(D) PHmzh
: Alhamdulillah↓ saè sadhâjâ→ Alhamdulillah, baik semua Alhamdulillah, semua baik-baik saja
(E) HBdw
: Mangkèn panèka kabâtèr →, ngabâs kabâdâân generasi muda.→ (Sekarang ini khawatir, melihat keadaan generasi muda) „Jaman sekarang ini khawatir, kalau melihat keadaan generasi muda‟
(F) PHmzh
: Ma’↑ saka’dinto?↑ (Kok begitu?) „Kenapa begitu?‟ 274
(G) HBdw : Ma’ ta’ sakaèntoa,↓ ghâr-langghâr bannya’ kosong→, gedung bioskop pon bâdha è po’-compo’.→ (Kok tidak begitu, langgar-langgar banyak kosong, gedung bioskop dah ada di rumah-rumah) „Kok tidak akan menjadi begitu, langgar-langgar sudah banyak yang kosong, gedung-gedung bisokop sudah pindah di rumah-rumah‟ Kalimat tanya Pon gellâ’? „Sudah tadi?‟ pada tuturan 41(A), sering digunakan sebagai bentuk basa-basi dua orang yang sudah saling mengenal untuk membuka pembicaraan. Adapun kata ulang bhâr-kabhâr? Pada tuturan 41 (C), berfungsi untuk menanyakan hal-hal yang lebih luas daripada sekedar menanyakan lawan tutur, termasuk kondisi ummat yang lain di daerah lawan tutur. Karena itu, lawan tutur menjawabnya labih luas, yakni dengan tuturan saè sadhâjâ „baik semua‟ yang menunjukkan jawaban tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga kondisi keluarga dan ummat di sekitarnya.
Analisis komponen tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks terjadinya peristiwa komunikasi ini di rumah salah satu ummat NU pagi hari sekitar jam 10.00. PHmzh sudah berada di tempat itu sebelum HBdw datang. Sedangkan tuan rumah sedang berada di dalam ruang keluarga. Situasi tuturan tersebut tidak formal.
Peserta tutur: Partisipan tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur terdiri dari: P1: Tokoh NU P2: Jamaah NU. P3: Shohibul Hajah 275
Tujuan tutur: Tujaun tuturan adalah mengemukakan kekhawatiran tentang pengaruh media elektronik terhadap perilaku generasi muda masa kini.
Urutan tindak: P2 sedang bersilaturrahim di rumah P3 P1 datang kemudian di rumah P3 P3 mempersilahkan P1 dan P2 masuk P3 masuk ke ruang keluarga P1 memulai percakapan
Nada tutur: Nada tutur biasa-biasa saja artinya sesuai tujuan tutur dan dan bentuk kalimat, karena antara keduanya sama-sama dari kalangan ummat.
Sarana tutur: Bahasa lisan degan posisi saling berhadapan.
Bentuk pesan: Jenis tuturan yang terjadi pada peristiwa tutur data (41) adalah berupa percakapan dua orang yang status sosialnya tidak jauh berbeda, walaupun salah satu lawan tutur berperan sebagai tokoh NU, akan tetapi masih dikategorikan sesama ummat.
Norma interaksi dan interpretasi: Pada peristiwa tutur tersebut, malibatkan
partisipan tutur dengan latar
belakang status sosial yang hampir sama, sehingga dalam bertutur antara petutur dan lawan tutur bebas saling memandang, dengan tinggi rendahnya nada suara relatif sama. Adapun tekanan disesuaikan dengan tujuan tutur dan bentuk kalimat. Namun demikian, sebagai ummat yang tidak memiliki peran sebagai tokoh masyarakat, P2 menggunakan tingkat 276
tutur È-B kepada P1. Hal tersebut, dapat dilihat pada tuturan 41(B) bhunten „tidak‟, (D) sadâjâ „semua‟, (F) saka’dinto „seperti ini‟ yang merupakan kosa kode BM level È-B. Sedangkan P1menggunakan BM level E-E, sebagaimana terlihat pada data 41(A) pon ghellâ’? „sudah tadi?‟, (C) kadhinapa
„bagaimana‟, (E) mangkèn „sekarang‟ (G)
sakaèntoa „begitu‟ yang merupakan kosa kode BM level E-E. Dengan demikian
dapat
dikatakan,
bahwa
peran
sebagai
tokoh
dapat
meningkatkan status sosial seseorang yang berpengaruh terhadap penggunaan politness. Berdasarkan penjelasan dan analisis data 40 dan 41 tersebut atas, dapat disimpulkan pada table, bahwa pola komunikasi dengan ummat yang berlatar belakang tokoh NU adalah sebagai berikut: Tabel 7.1: Pola Komunikasi yang Melibatkan Tokoh NU Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Situasi Formal Tokoh NU Jamaah NU
È- B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Bahasa (Nada Language Suara) BM, BI, dan BA
Alih Giliran Tutur
Tergantung bentuk kalimat dan tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Sesuai susunan acara
Tergantung bentuk kalimat dan tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Sesuai kebutuhan partisipan tutur
Situasi Informal Tokoh NU Jamaah NU
E-E
È-B
BM BM
7.2 Pola Komunikasi yang Melibatkan Ummat Terpelajar Ummat terpelajar dalam sub bab ini adalah UNUEM yang semenjak kecil mengenyam pendidikan di bangku sekolah umum. Ummat terpelajar ini biasanya 277
sering menggunakan BI dalam berkomunikasi,
baik antarummat terpelajar
maupun ketika berkomunikasi dengan ummat yang berlatar belakang lulusan pesantren―paling tidak mereka sering beralih kode dari BM ke BI. Karena kebiasaan berbahasa Indonesia itu, menjadikan ummat terpelajar lebih sulit untuk menggunakan kosa kata BM pada situasi formal. Fenomena penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat pada data berikut: Data 42: Prakata ketua pengajian pada acara pengajian rutin yasinan Para ‘alim, para asatidz sè muljâ, para sepuh dan seluruh anggota pengajian yang kami muliakan. Alhamdulillah pada malam yang penuh mubarak ini, kita masih dipertemukan dalam suasana sehat walafiyah. Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw. (Para ilmuwan, para guru yang mulia, para sepuh, dan semua anggota pengajian yang kami muliakan. Segala puji bagi Allah pada malam yang penuh keberkahan ini, kita masih dipertemukan dalam suasana sehat walafiyah. Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw.) „Para ilmuwan, para guru yang kami muliakan, para sepuh, dan seluruh anggota pengajian yang juga kami muliakan. Segala puji bagi Allah pada malam yang penuh keberkahan ini, kita masih dipertemukan dalam suasana sehat walafiyah. Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw.‟ Kata para yang biasa digunakan sebagai penunjuk orang jamak, seperti Para alim, para asatidz „para ilmuwan, para guru‟. Kata asatidz merupakan jama‟ bahasa Arab dari ustadzun „guru‟. Kata muljâ „mulia‟ dalam tuturan tersebut digunakan untuk memuliakan orang yang dianggap berilmu dan juga para guru. Sedangkan para sepuh pada tuturan tersebut mendapat sapaan hormat „dimuliakan‟ setelah para alim dan para guru. Kosa kata BA mubarak „keberkahan‟ digunakan untuk menyatakan bahwa pertemuan itu akan banyak mendatangkan berkah. 278
Analisis komponen tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek tuturan berlangsung di rumah ummat NU pada malam hari. Susana tuturan formal, yakni prakata ketua pengajian sekaligus memandu acara dalam pengajian rutin.
Peserta tutur: P1: Ketua pengajian (ummat terpelajar) P2: UNUEM
Tujuan tutur: Ucapan
syukur kepada Allah, sholawat kepada Nabi, serta ucapan
hormat kepada para anggota pengajian yasinan.
Jenis Tuturan: Bahasa lisan yang disampaikan pada situasi formal dan serius, berupa kalimat pujian kepada para hadirin yang berisi pernyataan memuliakan dan ucapan syukur kepada Allah Swt. dan salam kepada junjungan Nabi Muhammmad saw. Nada tutur tinggi rendahnya sesuai dengan topik dan tujuan yang disampaikan dalam berpidato.
Urutan tindak: P2 meminta P1 untuk memimpin acara P1 memulai sambutannya P2 menyimak dengan penuh perhatian tuturan yang berbentuk pidato
Sarana tutur: Tuturan menggunakan bahasa verbal dan menggunakan pengeras suara, karena peserta yang hadir cukup banyak.
279
Bentuk pesan: Pidato (prakata) ketua pengajian di tengah-tengah partisipan (UNUEM) yang status sosialnya sama.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam komunikasi yang tidak melibatkan kiai, kealiman menjadi patokan utama dalam menyatakan politeness. Hal ini terlihat dari giliran penyebutan rasa hormat yang menempatkan para alim „para ilmuwan‟ pada sebutan pertama kali. Kemudian diikuti dengan asatidz „para guru‟, baru kemudian penghormatan diberikan kepada para undangan yang lain. Penggunaan alih kode dan campur kode dari BM ke BI dalam tuturan tersebut sebagai bentuk kebiasaan ummat terpelajar. Dalam situasi formal, penggunaan BI dianggap lebih elegan untuk menghindari keterbatasan penguasaan tingkat tutur BM level È-B dan BAl yang jarang digunakan oleh penutur. Di samping itu, alih kode dan campur kode ke BI lebih bisa diterima oleh partisipan tutur yang bersifat plural baik dari segi umur maupun tingkatan status sosial―sedangkan campur kode ke BA (seperti: ucapan syukur dan sholawat kepada Nabi) sebagai penciri bahwa oraganisasi NU sebagai embrio lulusan pesantren yang terbiasa berbahasa Arab.
Alih kode dan campur kode ke BI, juga terjadi pada situasi tidak formal seperti data berikut: Data 43: Komunikasi UNUEM yang melibatkan ummat terpelajar (A) Idrs
: Saponapa↓ pasang baru?↑ (Berapa pasang baru?) „Berapa harga pasang sambungan baru‟
(B) Khlik
: Empat ratus lima puluh.→ (Empat ratus lima puluh.) „Empat ratus lima puluh ribu rupiah.‟ 280
(C) Idrs
: Sareng pasangna↑ empat ratus lima puluh?→ (Dengan pasangnya empat ratus lima puluh?) „Sudah termasuk biaya pemasangannya empat ratus lima puluh ribu rupiah?‟
(D) Khlik
: Èngghi↓, termasuk pipa untuk anten.→ (Ya, termasuk pipa untuk anten) „Ya, sudah termasuk pipa untuk anten‟
(E) Idrs
: Bâdhân kaulâ↓ andi’ anu→, bâdâ tingkatta è ka’dissa↓’ (Saya punya anu, ada tingkatnya di sana) „Saya memiliki aa, lantai dua di rumah‟
(F) Khlik
: Loteng↑, èngghi cokop satu lonjor→, tidak terlalu tinggi sami sareng anten teve ka’dissa’.→ (Loteng, ya cukup satu lonjor, tidak terlalu tinggi sama dengan anten teve itu) „Loteng maksudnya, ya kalo begitu cukup satu lonjor saja, tidak terlalu tinggi kok, sama dengan anten teve.‟
Alih kode ke BI terlihat pada tuturan 43(B)―campur kode terlihat pada tuturan 43(A, C, D, F), seperti 43(A) Saponapa pasang baru? Saponapa „berapa‟ merupakan kosa kode BM level È-B, sedangkan pasang baru merupakan kosa kode BI. Penggunaan kosa kode BI tersebut, karena pasang baru jika diterjemahkan ke BM „pasang anyar‟. Kata anyar biasa digunakan untuk kata sifat dari kata benda seperti kelambhi anyar „baju baru‟ sepeda anyar „sepeda baru‟ dsb.―kurang tepat untuk mensifati sebuah aktivitas, seperti dalam BI pasang baru, membuat baru, dsb. Di samping itu, alasan yang paling dominan adalah karena ummat yang terpelajar lebih terbiasa menggunakan kosa kata BI, bahkan dengan anak-anak di rumah sudah sejak kecil menggunakan BI. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan analisis komponen tutur.
281
Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks terjadinya peristiwa tutur ini di langgar ummat NU sore hari sekitar jam 19.00, sebelum acara ijtima‟ bulanan pengurus NU ranting Sumbersari.
Peserta tutur: Partisipan tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur terdiri dari: P1: UNUEM lulusan pesantren P2: UNUEM terpelajar P3: UNUEM (pengurus dan anggota NU)
Tujuan tutur: Tujaun tutur untuk menanyakan tentang pasang baru paket internet.
Urutan tindak: P1 dan P3 sedang terlibat percakapan di langgar P3 memanggil P2 masuk di langgar untuk menjembatani keperluan P1 P1 memulai percakapan dengan P2
Jenis tuturan: Santai―karena itu, nada tutur biasa-baiasa saja, artinya sesuai dengan topik dan tujuan tutur, karena antara keduanya sama-sama dari kalangan ummat.
Sarana tutur: Bahasa lisan degan posisi saling berhadapan dan pandangan penutur kepada lawan tutur.
Bentuk pesan:
282
Bentuk tuturan yang terjadi pada peristiwa tutur data (43) adalah percakapan dua orang yang status sosialnya sama, tapi yang satu orang terpelajar dan yang lain lulusan pesantren.
Norma interaksi dan interpretasi: Pada peristiwa tutur tersebut (43), malibatkan
partisipan tutur dengan
latar belakang status sosial yang sama, namun dari latar belakang pengalaman keilmuan yang berbeda, yang satu lulusan sekolah umum (terpelajar), sedangkan yang lain adalah lulusan pesantren (santri). Oleh karenanya, dalam bertutur antara penutur dan lawan tutur bebas saling memandang dengan nada suara yang relatif sama. Adapun tekanan suara disesuaikan dengan topik dan tujuan tutur. Namun demikian, karena melibatkan ummat
yang dikategorikan terpelajar,
P1 menggunakan
tingkat tutur BM È-B bercampur kode BI pada data 43(A, C, E). Begitu pula P2 bercampur kode ke BI. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan 43(B, D, dan F). Penggunaan campur kode BI, karena P1 sebagai orang terpelajar sering bahkan terbiasa menggunakan BI, baik di dalam lingkungan keluarga
maupun di luar.
Sedangkan P2 dan P3
menyesuaikan pola penggunaan bahasa yang digunakan P1. Ini berarti bahwa pola komunikasi yang melibatkan orang terpelajar sering beralih kode dan bercampur kode ke BI atau BMlj.. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, komponen tutur hadirnya orang ketiga dalam tuturan yang dikemukakan Poejosoedarmo (dalam Rahardi, 2001) benar-benar mempengaruhi pola komunikasi Berdasarkan penjelasan dan analisis data 42 dan 43 tersebut di atas, dapat disarikan bahwa pola komunikasi dengan ummat yang berlatar belakang orang terpejar adalah pada tabel berikut:
283
Tabel 7.2: Pola Komunikasi yang Melibatkan UNUEM Terpelajar Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Bahasa (Nada Suara) Language
Alih Giliran Tutur
Situasi Formal antarUNUEM terpelajar
È- B
Situasi Informal UNUEM È-B Terpelajar Santri
BM, BI, dan BA
Tergantung topik & tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Sesuai susunan acara
BM, BI, dan BA
Tergantung topik dan tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Sesuai kebutuhan partisipan tutur
7.3 Pola Komunikasi UNUEM yang Berbeda Umur Dalam tradisi dan budaya WNUEM, komunikasi yang tidak melibatkan para tokoh masyarakat dan para „alim, banyak-sedikitnya umur dapat menentukan rasa hormat atau tidaknya penutur kepada lawan tutur. Kepada lawan tutur yang umurnya lebih banyak, penutur tentu menaruh rasa hormat. Karena itu, sebutan para sepuh pada umumnya diucapkan pertama kali, seperti tercermin pada data berikut: Data 44: Sambutan Ketua Forsa dalam pertemuan yang bertempat di rumahnya. Para seppo, para hadirin, sè muljâ, wabilkhusus para pengurus yang kami hormati, alhamdulillah, è arè samangkèn kaulâ sareng panjenengan sadhâjâ bisa papanggiân è ka’dinto tempat dalam rangka pertemuan rutin, saya atas nama tuan rumah, terima kasih atas keikhlasan para panjenengan sadhâjâ. (Para sepuh, para hadirin yang mulia, secara khusus para pengurus yang kami hormati. Segala puji bagi Allah, di hari ini saya bersama panjenengan semua bisa bertemu di sini tempat dalam rangka pertemuan rutin, saya atas nama tuan rumah, terima kasih atas keikhlasan para panjenengan semua) „Para sepuh para hadirin, yang kami muliakan, secara khusus (terutama) para pengurus yang kami hormati. Segala puji bagi Allah, pada hari ini kita bisa bertemu di tempat ini dalam rangka pertemuan rutin, saya atas nama tuan rumah menyampaikan terima kasih atas keikhlasan para bapak‟ 284
Dalam sambutan tersebut data (44), umur menjadi perhatian utama. Hal tersebut terindikasi dari tuturan para seppo sè muljâ ‘para sepuh yang kami muliakan‟. Ini menunjukkan bahwa umur menjadi patokan pertama status sosial seseorang, jika peristiwa tutur tidak dihadiri para alim dan ustadz.
Namun
demikian secara khusus selaku tuan rumah menggunakan sebuatan wabilkhusus „secara khusus (terutama)‟ kepada pengurus FORSA. Tuturan ini sebagai bentuk aplikasi memuliakan para tamu. Hal tersebut juga sebagai bentuk pengamalan WNUEM terhadap hadits rasul yang menyatakan „Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, maka hormatilah tamu‟. Berikut ini akan disajikan analisis komponen tutur yang berpengaruh terhadap penggunaan pola komunikasi:
Tempat dan suasana Tutur: Kontek tuturan berlangsung di mushalla milik ketua FORSA pada sore hari dalam situasi formal, namun susana tuturan penuh keakraban, karena berasal dari status sosial yang sama.
Peserta tutur: Peserta tutur terdiri dari para alumni pesantren berbasis NU di Madura.
Tujuan tutur: Ucapan terima kasih kepada para anggota dan pengurus perkumpulan yang telah berkenan hadir pada pertemuan rutin dan juga sebagai bentuk pengharagaan terhadap tamu yang hadir.
285
Jenis Tuturan: Bahasa lisan yang disampaikan pada situasi formal dan serius, berupa kalimat pujian kepada para hadirin yang berisi pernyataan penhormatan dan ucapan terima kasih atas kehadirannya pada pertemuan yang sudah lama libur. Tinggi rendahnya nada tutur sesuai dengan maksud dan tujuan tutur yang disampaikan.
Urutan tindak: P2 meminta P1 untuk memberi sambutan P1 memulai sambutannya P3 mendengarkan tuturan yang berbentuk pidato
Sarana tutur: Tuturan menggunakan bahasa verbal tidak menggunakan pengeras suara, karena peserta yang hadir tidak terlalu banyak, sehingga suara penutur dapat menjangkau semua partisipan tutur.
Bentuk pesan: Pidato sebagai sambutan tuan rumah di tengah-tengah partisipan yang status sosialnya sama.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam komunikasi yang tidak melibatkan para tokoh dan ulama, umur menjadi patokan utama dalam penerapan politeness perinciple. Hal ini terlihat dari giliran penyebutan rasa hormat yang menempatkan para seppo „para sepuh‟ pada sebutan pertama kali, kemudian diikuti dengan para pengurus, baru selanjutnya penghormatan diucapkan kepada para tamu yang lain. Penggunaan bahasa campuran (BM, dan BI) dalam komunikasi tersebut sebagai bentuk pengakraban antarpartisipan tutur dan BI sebagai bahasa yang paling elegan untuk semua kalangan dalam situasi tuturan formal, seperti pidato. Penggunaan kosa kode BA (seperti: 286
wabilkhusus) dalam situasi formal adalah sebagai penciri bahwa oraganisasi NU sebagai embrio lulusan pesantren, yang sehari-hari selama di pesantren terbiasa berbahasa Arab. Dalam obrolan sehari-hari dengan ummat NU yang lebih sepuh, pola komunikasi antarummat NU dapat dilihat pada percakapan berikut: Data 45: Percakapan yang melibatkan orang yang berbeda umur (A) BSrn: Bâen↓, cong?↑ „Kamu, Nak?‟ (B) Mdrrs: Èngghi↓, nèka be’↑ sè nyarè bhâreng?→ (Ya, ini bi yang cari teman) „Ya, Ini bi yang mencari pembantu‟ (C) BSrn: yâ, Alhamdulillah↓, mandhâr pas èpaperna’a.→ (Ya Alhamdulillah, semoga dikerasankan.) „Ya Alhamdulillah, semoga kerasan.‟ (D) Mdrrs:Amien ...,→ nèka tretan ghulâ↓, insyaAllah èanggep keluarga dhibi’→ (Amien...,ini saudara saya, insyaAllah dianggap keluarga sendiri) „Amien...,ini saudara saya, InsyaAllah dianggap sebagai keluarga sendiri‟ (D) BSrn: Alhamdulillah↓, kaso’on.→ „Alhamdulillah, terima kasih‟ Tuturan bâen cong? „Kamu nak‟ pada data 45(A) berfungsi sebagai sapaan kepada orang yang umurnya lebih muda. Bâen merupakan kosa kode level BM level E-I, sedangkan cong (le: Jwa) merupakan panggilan yang digunakan orang tua kepada anaknya atau seseorang kepada anak yang setara dengan umur anaknya. Kata bhâreng „teman‟ pada tuturan 45(B) sebagai bentuk penghalusan kata pembantu. Engghi Alhamdulillah „Ya, Alhamdulillah‟ 45(C) sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada lawan tutur melalui ucapan terima 287
kasih kepada Allah. Hal ini sebagai penciri orang yang religius yang selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Nèka tretan ghulâ „ini saudara saya‟ paada data 45(D) sebagai bentuk penjaminan bahwa anak lawan tutur tidak akan diperlakukan semena-mena, yang kemudian dipertegas dengan tuturan InsyaAllah èanggep keluarga dhibi’ InsyaAllah dianggap keluarga sendiri‟ artinya bahwa anak tersebut nanti akan dianggap sebagai bagian dari keluarga majikan. Karena itu, lawan tutur menjawab Alhamdulillah, kaso’on „Alhamdulillah, terima kasih‟. Alhamdulillah sebagai bentuk bersyukur kepada Allah, sedangkan kaso’on sebagai ucapan terima kasih kepada sesama manusia. Untuk lebih dalam tentang pengaruh sosial budaya terhadap pemakaian bahasa, berikut disajikan analisis komponen tutur: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks terjadinya peristiwa tutur ini di rumah UNUEM sore hari sekitar jam 16.00. Mdrrs mengantarkan seorang saudaranya yang sedang membutuhkan pembantu ke rumah salah seorang ummat NU yang masih kerabat dengan istrinya.
Peserta tutur: Partisipan tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur terdiri dari: P1: UNUEM (umur lebih tua) P2: UNUEM (umur lebih muda) P3: Suami istri dari kalangan NUEM
Tujuan tutur: Tujaun tuturan adalah memperkenalkan seseorang yang sedang membutuhkan pembantu kepada orang tua yang seorang anaknya akan bekerja. 288
Urutan tindak: P2 dan P3 datang ke rumah P1 P1 mempersilahkan P2 dan P3 masuk P1 memulai percakapan
Nada tutur: Nada tutur biasa-baiasa saja, artinya sesuai dengan topik dan tujuan tutur, karena antara keduanya sama-sama dari kalangan ummat.
Sarana tutur: Bahasa lisan degan posisi saling berhadapan.
Bentuk pesan: Jenis tuturan yang terjadi pada peristiwa tutur data (45) adalah berupa percakapan dua orang yang status sosialnya sama-sama ummat, tapi berbeda umur.
Norma interaksi dan interpretasi: Pada peristiwa tutur tersebut (45), malibatkan
partisipan tutur dengan
latar belakang status sosial yang hampir sama, sehingga dalam bertutur antara penutur dan lawan tutur bebas saling memandang dan dengan nada suara yang relatif sama. Adapun tekanan disesuaikan dengan topik dan tujuan tutur. Namun demikian, sebagai ummat yang dikategorikan lebih tua, P1 menggunakan tingkat tutur BM level E-I kepada P2. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan 45(A) bâen „kamu‟, (C) yâ „ya‟, yang merupakan kosa kode BM level E-I. Sedangkan P2 menggunakan BM level E-E, sebagaimana terlihat pada data 45(B) nèka „ini‟, (D) engghi ‘ya’(F) kaso’on „terima kasih‟ yang merupakan kosa kode BM level E-E. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UNUEM yang lebih muda hormat kepada UNUEM yang umurnya lebih banyak.
289
Berdasarkan penjelasan dan analisis data 44 dan 45 tersebut di atas, dapat disarikan pada tabel bahwa pola komunikasi dengan ummat yang berbeda umur adalah sebagai berikut: Tabel 7.3: Pola Komunikasi UNUEM yang Berbeda Umur Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
Situasi Formal UNUEM dari berbagai umur
È- B
BM, BI, dan BA
Tergantung topik & tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Sesuai susunan acara
Tergantung tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Sesuai kebutuhan partisipan tutur
Situasi Informal UNUEM lebih tua UNUEM lebih muda
E-I
E-E
BM
BM
7.4 Pola Komunikasi yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan Yang dimaksud keeratan hubungan dalam sub bab ini adalah kenal atau tidaknya penutur dengan lawan tutur. Pada tataran umur yang seimbang antara penutur dan mitra tutur, tetapi
belum saling kenal pada umumnya abhâsa
(menggunakan tingkat tutur BM di atas level E-I)―bahkan yang paling sering digunakan tingkat tutur È-B, seperti pada data berikut: Data 46: Komunikasi yang melibatkan partisipan tutur yang belum dikenal (A) Ansr: Segghut kapangghi sareng panjenengan neng è masjid jalan Sriwijaya→, ponapa pengurussa?↑ (Sering ketemu dengan kamu di masjid jalan Sriwijaya, apa pengurusnya?) „Saya sering ketemu kamu di masjid jalan Sriwijaya, apa jadi pengurus di sana?‟ (B) HMfd: Sè andi’ tegghu’ân→, nèka.↑ (Yang punya pegangan, ini.) 290
„Yang pegang peranan, beliau ini.‟ (C) Hfdz: Sia, Bhunten↓, coma khaddâmma masyarakat.→ (Yach, tidak, cuma pelayan masyarakat) (Yach, bukan, saya hanya sebagai pelayan masyarakat saja. Segghut kapangghi sareng panjenengan „Sering ketemu kamu‟ pada data 46(A) sebagai bentuk sapaan dan pembuka percakapan kepada orang yang belum dikenal, agar lawan tutur merasa senang dan tersanjung. Perasaan tersanjung tersebut dipertegas dengan sambutan partisipan tutur pada tuturan 46(B) Sè andi’ tegghu’ân, nèka „Yang pegang peranan, beliau ini‟. Data 46(B) tersebut sebagai bentuk jawaban pembenar bahwa Hfdz benar sebagai pengurus ta’mir masjid di jalan Sriwijaya. Namun demikian, pada tuturan 46(C) Hafidz merendahkan diri dengan tuturan coma khaddâmma masyarakat „hanya khaddam masyarakat‟. Kata khaddam yang berasal dari BA berarti pesuruh, jadi khaddam masyarakat berarti hanya pesuruh masyarakat. Untuk lebih jelasnya berkaitan dengan pola komunikasi yang melibatkan partisipan tutur yang belum dikenal, akan dianalisis dengan komponen tutur sebagai berikut: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan berlangsung di mushalla warga NU pada malam hari sekitar pukul 19.30 dalam suasana tidak formal.
Peserta tutur: P1 dan P2: ummat NU belum kenal. P3: UNUEM yang sudah kenal baik dengan P1 dan P2
291
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut
adalah mengenal lawan
tutur.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, pada situasi tuturan yang belum saling mengenal.
Urutan tindak: P3 memanggil P1 ke dalam mushalla P1mengidentifikasi partisipan tutur yang belum dikenal, tapi sudah pernah bertemu. P1 memulai percakapan P3 memperjelas status P1 sebagai seorang ta’mir masjid di Jl Sriwijaya P2 menanggapi tuturan P1 dan P3
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan santai. Nada tutur disesuaikan dengan topik dan tujuan tutur.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut, P1 menggunakan BM level È-B. Hal tersebut terlihat dari kosa kode yang digunakan P1 panjenengan 46(A), yang merupakan kosa kode BM level È-B. P2 juga menggunakan BM level ÈB dan bercampur kode ke BA. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggunaan kosa kata pada data 46 (C) Bhunten „tidak‟, yang merupakan kosa kode dalam BM level È-B. Adapun campur kode ke BA dapat dilihat dari penggunaan kosa kode Khaddâma „pelayannya‟ yang merupakan kosa kata berasal dari BA. Penggunaan BM level È-B yang digunakan P1 dan P2, disebabkan keduanya belum kenal akrab. Sedangkan penggunaan kode BA untuk merendahkan diri penutur sendiri 292
yang dalam BI memiliki pengertian pelayan atau pesuruh. Penggunaan BM level E-E yang digunakan oleh P3 pada data 46(B) sebagai pertanda bahwa keeratan hubungan antara P3 dengan p1 dan P2 sudah terjalin lama. Posisi tempat duduk P1, P2, dan P3 saling berhadapan antarpartisipan tutur. Hal tersebut terjadi, karena partisipan tutur memiliki status sosial yang sama, yakni sebagai ummat. Kesamaan status sosial ini juga berdampak pada Alih giliran tutur yang bebas sesuai dengan topik, tujuan, dan kepentingan masing-masing partisipan tutur. Partisipan tutur UNUEM yang sudah saling kenal akrab, sering beralih kode dan bercampur kode ke BM, BMlj, dan juga BA. Begitu juga dalam penggunaan tingkat tutur sering beralih kode dari tingkat tutur E-E, ke E-I. seperti terlihat pada data berikut: Data 47: Komunikasi yang melibatkan partisipan tutur yang sudah dikenal baik. (A) Rdwn: Ollè undangan muktamar?→ (Dapat undangan muktamar?) „Sudah terima undangan muktamar?‟ (B) Hsym: Enten↓ nèka.→ (Tidak ini) „Tidak‟ (C) Rdwn: Situ ollè syekh?↑ (Kamu dapat syekh?) „Kamu dapat undangan syekh?‟ (D) Mksm: ya↓, saya kan mewakili ranting.→ (Ya, saya kan mewakili ranting.) Ya, saya diundang untuk mewakili ranting. (E) Hsym: Oh ya↓, situ kan pengurus.→ „Oh ya, kamu kan pengurus‟ Pada data 40 di atas, tampak terjadi campur kode dan alih kode BM, BI, BA, sebagaimana terlihat pada data 47(A). Ollè „sudah terima‟ merupakan kosa 293
kode BM,
undangan, kosa kata BI, dan
mu’tamar „konferensi, kongres,
konvensi, atau musyawarah‟ kosa kata yang diserap dari BA, yang biasa digunakan oleh organisasi NU, sedangkan campur kode dari BMlj, BM, dan BI terlihat pada data 47(C), situ „kamu‟ merupakan BMlj, (BI ragam kota), ollè kosa kode BM, dan syekh „tuan‟, kosa kode BA, biasa digunakan untuk panggilan akrab antarUNUEM. Adapun alih kode ke BI dapat dilihat pada data 47(D) ya, saya kan mewakili ranting, sedangkan alih kode ke BMlj terlihat pada data 47(E) Oh ya, situ kan pengurus „Oh ya, kamu kan pengurus‟. Untuk menguak aspek sosial budaya
yang mempengaruhi pola komunikasi akan diperjelas dengan
analisis komponen tutur berikut: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan berlangsung di rumah warga NU pada sore hari sekitar pukul 15.30 dalam suasana obrolan santai.
Peserta tutur: P1 dan P2: UNUEM yang sudah kenal akrab.
Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah menanyakan tentang keterlibatan lawan tutur sebagai peserta muktamar NU.
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, pada situasi tuturan yang sudah saling mengenal akrab.
Urutan tindak: P1 bertamu ke rumah P2 294
P2 mempersilahkan P1 masuk. P1 memulai percakapan P2 menjawab setiap tuturan P1
Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan santai. Nada tutur sesuai dengan topik dan tujuan tutur.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan 47 tersebut, P1 dan P2 menggunakan BM level E-E bercampur kode BM, BI, BA, dan BMlj. Di samping itu, partisipan tutur sering beralih kode dari BM ke BI dan BMlj.
BM level E-E yang
digunakan P1 dan P2, disebabkan keduanya sudah saling kenal akrab. Sedangkan penggunakan campur kode dan alih kode, dimaksudkan untuk memperlancar dan mengakrabkan tuturan dengan lawan tutur yang sudah dikenal akrab. Posisi tempat duduk P1 dan P2 di kursi dengan santai saling berhadapan dengan arah pandangan kepada lawan tutur. Hal tersebut terjadi, karena partisipan tutur memiliki status sosial yang sama yakni sebagai ummat. Kesamaan status sosial ini juga berdampak pada Alih giliran tutur yang bebas sesuai dengan topik, tujuan, dan kepentingan masing-masing partisipan tutur. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut, dapat disarikan pada table 7.4 bahwa pola komunikasi
UNUEM yang dipengaruhi oleh tingkat
keertan hubungan adalah sebagai berikut:
295
Tabel 7.4:Pola Komunikasi Ummat yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan. Kode Tutur yang Digunakan Peserta Tutur UNUEM yang belum saling kenal UNUEM yang sudah saling Kenal
Tingkat Tutur È- B
E-E
Pilihan Bahasa BM BI BA BM BI BA BMlj
Tone Sesuai dengan topik dan tujuan tutur
Body Language Pandangan kepada lawan tutur
Sesuai dengan topik dan tujuan tutur
Pandangan kepada lawan tutur
(Nada Suara)
Alih Giliran Tutur Seseuai kepentingan masingmasing partisipan tutur
7.5 Pola Komunikasi dalam Keluarga Ummat Pola komunikasi dalam keluarga ummat dapat dipetakan menjadi: (7.5.1) Pola komunikasi dengan pasangan hidup (Suami-Istri); (7.5.2) Pola Komunikasi Orang tua-anak; dan (7.5.3) Pola Komunikasi Kakak-Adik.
7.5 1 Pola Komunikasi dengan Pasangan Hidup Pola Komunikasi dengan pasangan hidup pada umumnya dipengaruhi oleh dua hal: Pertama, tingkat keeratan hubungan sebelum menikah;
dan
Kedua, pandangan budaya Madura tentang kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Suami istri yang belum pernah kenal sebelumnya, akan berbhâsa dalam komunikasi sehari-hari, seperti pada data berikut ini: Data 48: Percakapan suami-istri yang belum pernah kenal sebelumnya (A) Nisa : Pon ranta↓, sèadâ’ârrâ!→ (Dah siap, yang mau makan) „Sudah siap, silahkan makan‟ (B) Hozin : Engghi lè’→, ghi’ matotokka karè sakonè’→ (Ya dik, masih mau nyelesaikan tinggal sedikit) „Ya dik, saya selesaikan dulu, tinggal sedikit‟ (C) Nisa : Dhigghâl kadâ’→, patotok marèna! Pong ghi’ anga’.→ 296
(biar dulu, selesaikan nanti! Mumpung masih hangat.) „Biarkan saja dulu, diselesaikan setelah makan, mumpung masih hangat‟ (D) Hozin : Engghi↓, torèh pon.→ (Ya, mari dah) „Ya, mari sudah‟ Tuturan Pon ranta, sèadâ’ârrâ „Sudah Siap, silahkan makan‟ pada data 48(A) merupakan bentuk kalimat permintaan kepada pasangan hidup untuk memakan makanan yang telah disediakan di meja. Jawaban suami pada data tuturan 48(B) Engghi lè’
„Ya dik‟ sebagai bentuk persetujuan, sedangkan
kalimat ghi’ matotokka karè sakonè’ „Saya selesaikan dulu, sudah tinggal sedikit‟ merupakan bentuk penolakan terhadap ajakan istri untuk makan. Tetapi Nisa‟ sang istri yang sudah menyiapkan makan dan ingin menemani suaminya makan mengungkapkan tuturan 48(C)―sebagai bentuk ajakan keharusan agar suaminya berhenti dulu bekerja untuk makan bersama dengan alasan mumpung masakannnya masih hangat. Akhirnya, Hozin sebagai suami mengiyakan ajakan istrinya dengan Engghi, torèh pon „Ya, mari sudah‟, sebagai bentuk persetujuan untuk menghargai istri yang sudah bersusah payah memasak dan menghidangkan makanan. Berikut ini akan disajikan analisis komponen tutur:
Tujuan tutur: Mempersilahkan suami untuk makan Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah dalam situasi informal. Istri setelah menyiapkan makanan, mempersilahkan suami yang sedang menulis untuk makan. Jenis tuturan: 297
Bahasa lisan dalam suasana santai, sehingga nada tutur yang digunakan partisipan tutur
datar-datar saja. Tinggi rendahnya antara suami istri
sesuai tujuan kalimat yang disampaikan.
Peserta tutur: P1: Istri P2: Suami P3: anak-anak
Bentuk pesan: Percakapan santai antara suami-istri
Urutan tindak: P1 mengajak makan P2 P2 menolak permintaan P1,
dan masih meneruskan pekerjaannya yang
sudah hampir selesai P1 meminta untuk kedua kalinya dan P2 mengiyakan dan langsung menuju meja makan P3 sudah siap di meja makan
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 dan P2 menggunakan tingkat tutur E-E. Hal ini menunjukkan kesetaraan hubungan dan saling menghormati antarsuami-istri. Penggunaan tingkat tutur E-E tersebut, bermula karena keduanya diawal pernikahannya tidak saling mengenal―sehingga merasa canggung
untuk
tidak
berbhâsa
(menggunakan
bahasa
ngoko).
Penggunaan BM level E-E dapat dilihat dari kosa kode yang digunakan pada data 48 yang kesemuanya termasuk kosa kode tingkat tutur E-E. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola komunikasi dengan pendamping hidup ditentukan oleh tingkat keakraban sebelum menikah. Adapun kesetaraan hubungan suami istri juga dapat dilihat dari bahasa 298
tubuh yang digunakan tidak menunjukkan adanya saling hormat yang berlebihan, seperti menundukkan kepala, perbedaan nada tutur, alih giliran tutur.
Dengan pasangan hidup yang sudah saling kenal sebelumnya, atau ada hubungan keluarga,
dalam berkomunikasi pada umumnya tidak berbhâsa,
seperti data berikut: Data 49: Percakapan suami-isteri yang sudah saling kenal sebelum menikah (A) Salma: Ya’ è→, kopina↓ (Ini è, kopinya) „Ini kopinya‟ (B) Salim: Yâ↓, sabâ èjâriâ la→ (Ya, taruh di situ saja) „Ya, Taruh saja di sana dulu‟ (D) Salim: Korang sèttong è’→ (Kurang satu è) „Kurang satu lagi è‟ (D) Salma: Can engko’ mè’ pèra’ kaduâ → (Kata saya hanya berdua) „Saya kira hanya dua orang‟ Kata è dalam tuturan 49(A) dalam masayarakat EM biasa digunakan untuk panggilan kepada suami maupun istri yang sejak dari awal pernikahan sudah digunakan―sehingga, sampai keduanya dikaruniai anak sulit untuk merubah kebiasaan itu. Pada tuturan tersebut, istri memanggil suaminya untuk menghidangkan kopi yang sudah ada di tangan istri di ruang tengah, sementara suami sedang bercakap-cakap dengan para tamu. Karena itu, dia mempersilahkan istrinya untuk menaruh kopi itu di meja ruang tengah dulu dengan tuturan Yâ, sabâ èjâriâ la „Ya, taruh saja di sana dulu‟. Setelah suami masuk ternyata kopi 299
masih kurang satu, sehingga suami mengatakan Korang sèttong è’ „Kurang satu è‟ yang merupakan kalimat informtif tetapi berfungsi untuk menyruh istri membuat kopi tambahan. Karena itu, jawaban istri Can engko’ mè’ pèra’ kaduâ „Saya kira hanya dua orang‟ sebagai bentuk inferensi, yang fungsinya menyatakan perasaan setuju atas permintaan suami. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pengaruh sosial budaya dalam penggunaan bahasa, barikut akan disajikan analisis komponen tutur:
Tujuan tutur: Meminta suami untuk meneruskan hidangan kopi kepada tamu. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah dalam situasi tidak formal. Istri setelah membuatkan kopi, mengantarkan ke ruang tengah untuk secara estafet diantarkan suami ke ruang tamu.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, sehingga nada tutur yang digunakan partisipan tutur datar-datar saja. Tinggi rendahnya tone suami-istri sesuai tujuan tutur yang disampaikan.
Peserta tutur: P1: Istri P2: Suami P3: Para tamu
Bentuk pesan: Percakapan santai antara suami-istri
300
Urutan tindak: P1 membuatkan kopi dan mengantar
ke ruang tengah, kemudian
memanggil P2 P2 mempersilahkan P1 menaruh di ruang tengah P2 mengambil kopi untuk disuguhkan kepada tamu, seraya meminta tambahan satu cangkir kopi lagi P1 membuat tambahan kopi P3 mendegarkan percakapan P1 dan P2
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 dan P2 menggunakan tingkat tutur E-I (ta’abhâsa). Hal ini menunjukkan kesetaraan hubungan antarsuami-istri. Penggunaan tingkat tutur E-I tersebut, bermula karena keduanya diawal pernikahannya sudah saling mengenal―sehingga merasa lebih elegan menggunakan bahasa ngoko. Penggunaan BM level E-I dapat dilihat dari kosa kode yang digunakan pada data 49 yang kesemuanya termasuk kosa kode tingkat tutur E-I. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola komunikasi dengan pasangan hidup yang sudah saling kenal sebelumnya ditentukan oleh tingkat keakraban sebelum menikah. Adapun kesetaraan hubungan suami istri juga dapat dilihat dari bahasa tubuh yang digunakan tidak menunjukkan adanya saling hormat yang berlebihan, seperti menundukkan kepala, tidak adanya perbedaan nada tutur, dan alih giliran tutur juga bebas.
Dalam tradisi yang diadopsi dari budaya Madura, laki-laki diposisikan di atas perempuan. Karena itu, dalam berbahasa memiliki pola yang berbeda. Seperti penggunaan tingkat tutur, suami pada umumnya tidak berbhâsa kepada istrinya―tetapi sebaliknya istri berbhâsa kepada suaminya. Hal tersebut dapat dilihat pada data berikut ini: 301
Data 50: Percakapan suami-istri (A) Istri
: Mahfudi telpon, kaènto↓. (Mahfudi telepon, ini) „Ada telepon dari Mahfudi‟
(B) Suami : Kèba dâ’ enna’!↑ (Bawa ke sini!) „Dibawakan ke sini!‟ (C) Istri
: Kaènto!↓ „Ini!‟
(D) Suami : Kèbâ dâenna’, ko!↑ (Bawa ke sini, ah!) „Bawakan ke sini!‟ Mahfudi telpon, kaènto „Ada telepon dari Mahfudi‟ pada tuturan 50(A) merupakan kalimat informatif yang fungsinya meminta suami datang kepada istri untuk menerima telepon. Namun suami menolak dengan kalimat perintah 50(B) agar istrinya membawakan HP tersebut kepada suaminya. Istrinya juga menolak dengan kata
Kaènto ! „ini‟50(C) yang fungsinya tetap meminta suami untuk
mengambil teleponnya, karena di ruang tamu ada dua tamu laki-laki yang bukan muhrimnya. Untuk kedua kalinya suami meminta istri Kèbâh dâenna’ ko! „Bawakan ke sini!‟50(D). Kata ko dalam tuturan tersebut bermakna fatis yang biasanya digunakan untuk menyuruh orang kedua kalinya setelah sbelumnya dianggap tidak memperhatikan perintahnya. Dengan tuturan permintaan kedua kalinya itu, istri kemudian memberikan HP melalui tabir yang dipasang antara ruang keluarga dan ruang tamu. Berikut akan disajikan analisis komponen tutur: Tujuan tutur: Memberitahu dan sekaligus meminta suami untuk menerima telpon di HP yang sedang dipegang istri 302
Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah dalam situasi tidak formal. Istri berada di ruang keluarga sedang menerima panggilan di HP suaminya, sedangkan suami berada di ruang tamu sedang memperbaiki HP milik kedua tamunya.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai. Nada tinggi digunakan suami, sedang istri menggunakan tone lebih rendah dari suami.
Peserta tutur: P1: Istri P2: Suami P3: Para tamu
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi agak tegang dan serius antara suami istri yang disaksikan dua partisipan tutur.
Urutan tindak: P1 menerima panggilan telepon, kemudian memanggil P2 P2 meminta P1 mengantarkan ke ruang tamu, tapi P1 tetap meminta P2 mengambil teleponnya P2 meminta untuk kedua kalinya P1 mengangtarkan dari balik tabir kelambu P3 mendegarkan percakapan P1 dan P2, sembari salah satu dari P3 menerimakan teleponnya untuk disampaikan kepada suaminya.
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 menggunakan BM level E-E dan bercampur kode BM È-B, sedangkan P2 menggunakan tingkat tutur E-I. Penggunaan campur kode E-E dan È-B yang digunakan istri sebagai 303
bentuk hormatnya kepada suami. Perbedaan penggunaan tingkat tutur tersebut disebabkan dalam budaya Madura asli kurang patut seorang suami berbhâsa kepada istrinya. Sebagaimana dikatakan seorang informan yang aslinya berasal dari Sumenep bahwa dimin kaulâ abhâsa ka nè’ binè’ saamponah dâpa’ dâ’ Madhurâ, caèpon orèng seppo ta’ lèbur „Dahulu saya berbhâsa kepada istri, tapi setelah pulang ke Madura, kok katanya, kurang bagus (tidak pantas). Akhirnya sampai sekarang ta’ abhâsa. Informasi ini menunjukkan bahwa suami ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari istri. Penggunaan tingkat tutur tersebut, juga berpengaruh terhadap nada tutur yang digunakan istri maupun suami. Istri menggunakan nada tutur lebih rendah dari suami. Penggunaan BM level E-E dapat dilihat dari kosa kode kaènto yang digunakan oleh P1 pada tuturan 50(A dan C),
yang termasuk kosa kode tingkat tutur È-B.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola komunikasi dengan pendamping hidup dalam keluarga UNUEM, juga ditentukan oleh kedudukan seorang laki-laki dan perempuan yang dalam tradisi Madura orang laki-laki derajatnya ditempatkan di atas perempuan. Namun demikian, alih giliran tutur dalam rumah tangga tergantung pada kebutuhan suami-istri. Berdasarkan paparan dan analisis data tersebut, dapat dijelaskan pada table, bahwa pola komunikasi dengan pendamping hidup sebagai berikut: Tabel 7.5: Pola Komunikasi dengan Pendamping Hidup Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Dipengaruhi Keratan Hubungan Suami-Istri yang blm saling E-E mengenal sblm menikah Suami-Istri yang sdh saling E-I mengenal sebelum menikah Dipengaruhi Tradisi EM Suami Istri
E-I E-E/È-B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Body Suara) Bahasa Language
BM BM
BM
Nada suara sama sesuai tujuan tutur
Saling memendang lawan tutur
Nada tutur suami lebih tinggi
Istri sedikit menundukkan pandangan
Alih giliran Tutur Bebas sesuai dengan keperluan dalam rumah tangga
304
7.5.2 Pola Komunikasi Orang Tua-Anak Yang dimaksud orang tua dalam bagian ini adalah orang tua kandung, mertua, dan paman/bibi, sedangkan yang termasuk kategori anak adalah anak kandung, menantu, dan kemenakan. Hubungan mereka itu (orang tua dengan anak kandung, mertua dengan menantu, paman/bibi dengan kemenakan), dalam pandangan WNUEM termasuk muhrim, artinya orang-orang yang diharamkan untuk menikah. Karena itu, hubungan mereka dalam masyarakat NUEM dianggap setara yakni ikatan orang tua-anak―yang membedakan hubungan mereka adalah tingkat formalitas. Hubungan mertua-menantu akan lebih formal dari pada hubungan orang tua kandung-anak atau paman/bibi-kemenakan. Untuk itu, pola komunikasi orang tua-anak, akan dipetakan sebagai berikut: (a) Pola Komunikasi Orang tua-Anak kandung; (b) Pola Komunkikasi Mertua-Menantu; (c) Pola Komunikasi Paman/Bibi-Kemenakan.
a. Pola Komunikasi Orang Tua-Anak Kandung Orang tua-anak dalam masyarakat NUEM
yang masih menjaga
formalitas hubungan, akan menggunakan tingkat tutur BM
sesuai dengan
kedudukannya. Orang tua biasanya menggunakan ondâghân bhâsa E-I, sedangkan anak kepada orang tua menggunakan speech level E-E, seperti terlihat pada data berikut ini: Data 51: Komunikasi Orang Tua-Anak Kandung (A) Aba :Sèngajiâ→ cong!↑ (Yang mau ngaji nak!) „Ayo ngaji nak!‟ (B) Anak : Prai→ mangkèn ba.↓ 305
(Libur sekarang ba) „Sekarang libur aba‟ (C) Ummi: Bâ→, ma‟ Prai↑, bâdâ apa?↑ (Wah, kok libur, ada apa? „Kenapa libur, ada apa?‟ (D) Anak : Lamarna↓ kak Faruq.↓ (Lamarannya kak Faruq) „Kak Faruq Lamaran‟ Sèngajiâ cong „Ayo ngaji nak‟ pada tuturan 51(A) sebagai bentuk seruan orang tua agar anaknya segera pergi mengaji. Anak menjawab 51(B) Prai mangkèn ba. „Sekarang libur aba‟. Ummi yang sedang mengerjakan sesuatu di rumah bertanya alasan diliburkannya ngaji 51(C). Pada tuturan 51(D) si anak menjawab bahwa pengajian sedang diliburkan, karena ustadznya sedang mangantarkan anaknya yang bernama faruq lamaran. Berikut akan disajikan analisis komponen tutur:
Tujuan tutur: Menyuruh anak untuk mengaji Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah dalam situasi informal. Anak sedang menonton acara televisi di ruang keluarga.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai. Nada tinggi digunakan ayah untuk menyatakan seruan, agar anaknya mengaji―anak menggunakan tone lebih rendah dari aba dan ummi.
Peserta tutur: P1: Aba 306
P2: Anak P3: Ummi
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi agak serius antara orang tua-anak yang sedang mengingatkan untuk pergi mengaji.
Urutan tindak: P1 baru pulang bekerja P2 sedang menonton televisi bersama ummi
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 dan P3 menggunakan BM level E-I, sedangkan P2 menggunakan tingkat tutur E-E. Penggunaan tingkat tutur E-E seorang anak kepada orang tua sebagai bentuk politeness untuk mengekspresikan rasa hormat anak kepada orang tua, karena dalam budaya NUEM yang juga tertuang dalam nas Al-Qur‟an bahwa menghormati orang tua sebagai suatu keharusan sebagammana firmannya yang artinya: “janganlah engkau mengatakan ah kepada kedua orang tuamu, dan berkatalah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia (sopan)”. Orang tua kepada anak pada umumnya menggunakan BM level E-I. Penggunaan tingkat tutur E-I kepada anak sebagai bentuk aplikasi rasa dekat orang tua kepada anaknya. Penggunaan BM level E-E yang digunakan anak dan E-I yang digunakan orang tua bermplikasi terhadap nada tutur yang digunakan anak yakni, lebih rendah dari orang tua. Begitu pula body language yang ditunjukkan anak menundukkan pandangan di depan orang tua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan tingkat tutur dapat berpengaruh terhadap terbentuknya budi pekerti kepada lawan tutur.
307
Kini dengan berbagai alasan, banyak orang tua di kalangan WNUEM yang membiasakan anak-anaknya berbahasa Indonesia sejak dini. Alasan tersebut diantaranya, agar anaknya tidak sulit berbahasa Indonesia ketika nanti masuk sekolah, tapi ada juga alasan lain, yakni agar di dalam keluarga tidak terlalu formal. Komunikasi yang berbahasa Indonesia seperti pada data berikut: Data 52: Komunikasi orang tua-anak yang berbahasa Indonesia (A) Ummi: Kamu besok masuk jam berapa Lel?↑ „Besok, kamu masuk pukul berapa Lel?‟ (B) Lely: Jam tujuh↓, mi.→ „Pukul tujuh, umi‟ (C) Umi: Kalau gitu→, diantar cak Rifki ya?↑ „Kalau begitu, biar diantarkan ca‟ Rifki ya?‟ (D) Rifki: Saya besok ulangan mi.→ „Saya besok ada ulangan umi.‟ (E) Aba: Biar aba saja yang ngantar.→ „Kalau gitu, aba saja yang akan mengantarkan.‟ Pertanyaan ummi kepada lely pada tuturan 52(A) sebagai bentuk pembuka percakapan, yang sebenarnya intinya akan menyuruh Rifqi untuk mengantarkan adiknya. Hal tersebut terlihat pada tuturan 52(C) “Kalau gitu diantar cak Rifki ya?” „Kalau begitu, biar diantarkan ca‟ Rifki ya?‟ Pertanyaan kepada lely tersebut sekaligus berfungsi sebagai kalimat perintah yang ditujukan kepada Rifqi. Kareena itu, pertanyaan tersebut dijawab oleh Rifqi pada tuturan berikutnya
„Saya besok ada ulangan umi.‟. Kalimat informatif
tersebut
berfungsi sebagai kalimat penolakan terhadap seruan umminya. Ponolakan tersebut disambut tuturan aba yang menyatakan kesanggupannya untuk mengantarkan Lely ke sekolahnya. Untuk menguak pengaruh sosial budaya 308
penutur terhadap pola komunikasi, akan disajikan analisis komponen tutur berikut:
Tujuan tutur: Memastikan siapa yang akan mengatarkan Lely ke sekolah besok pagi. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah dalam situasi informal dan santai pada malam hari, setelah makan malam.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai. Nada tinggi digunakan umi untuk bertanya kepada anaknya, sedangkan aba menggunakan nada tutur datar sebagai bentuk kesanggupan untuk mengantarkan Lely.
Peserta tutur: P1: Ummi P2: Lely (anak) P3: Rifki (anak) P4: Aba
Bentuk pesan: Percakapan santai antara orang tua-anak untuk mengklirkan siapa yang akan mengantarkan Lely ke sekolah.
Urutan tindak: P1 bertanya kepada P2 P2 menjawab pertanyaan P1 P1 menyuruh P3 mengantarkan P2 P3 menolak seruan P1 dengan alasan P4 menyatakan kesediaannya 309
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1, P2, P3, dan P4, sebagai suatu keluarga menggunakan BI dalam berkomunikasi.
Dengan menggunakan BI
sebagai bahasa sehari-hari dalam rumah tangga, tingkat formalitas dalam keluarga semakin berkurang atau dengan kata lain tingkat keeratan hubungan semakin tercipta. Namun, di sisi yang lain
tidak adanya
penggunaan tingkat tutur (ta’ abhâsa) telah menyebabkan kurangnya perilaku hormat anak kepada orang tua. Fenomena ini terlihat dari body language yang ditunjukkan anak di depan orang tua yang terlihat tidak menundukkan pandangan, maupun merendahkan suaranya.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan tingkat tutur dapat berpengaruh terhadap terbentuknya budi pekerti kepada lawan tutur. Dilihat dari sudut pandang pemertahanan bahasa daerah sebagai khasanah budaya bangsa, penggunaan BI dalam rumah tangga dapat menyebabkan punahnya bahasa dan budaya daerah.
b. Pola Komunkikasi Mertua-Menantu Dalam pandangan agama Islam, mertua dan orang tua kandung sama kedudukannya yakni, muhrim bitta’bid „muhrim untuk selamanya‟. Akan tetapi, tingkat formalitas hubungan dengan menantu berbeda―mertua-menantu akan memiliki tingkat formalitas yang lebih dibanding hubungan orang tua-anak. Karena itu, dalam penggunaan bahasapun akan berbeda―menantu biasanya menggunakan tingkat tutur È-B, sedangkan mertua menggunakan Eg-E atau E-I, seperti terlihat pada data berikut: Data 53: Komunikasi Mertua-menantu (A) HAzis: Dika↑ sè kasabâ’â cong?→ (Kamu yang akan ke sawah nak?) „Kamu akan pergi ke sawah nak?‟ 310
(B) Mnwr: Èngghi↓, caèpon adik.→ (Ya, katanya adik.) „Ya, saya diminta adik‟ (C) HAzis: Mon dâento↓, matoro’a rokok sakalè.→ (Kalau begitu, mau nitip rokok sekalian.) „Kalau begitu, saya titip rokok sekalian‟ (D) HAmnh: Bitong sakalè ghè↑ sè alako→, jhâ kabârâmpa.→ (Hitung sekalian nak yang kerja, jangan keberapa.) „Dihitung sekalian nak orang yang kerja, berapa jumlahnya.‟ (E) Mnwr : Èngghi↓, dâgghi nelpona ka adik.→ (Ya, nanti mau telepon ke adik.) „Ya, nanti saya akan menelpon adik.‟ Tuturan Dika sè kasabâ’â cong? „Kamu akan pergi ke sawah nak?‟ pada data 53(A), sebagai bentuk pertanyaan yang berfungsi
untuk
menegaskan
pilihan bahwa yang akan pergi ke sawah penutur atau lawan tutur. Jawaban Èngghi, caèpon adik. „Ya, saya diminta adik‟ menegaskan bahwa lawan tutur (menantu) yang akan pergi ke sawah atas permintaan istrinya. Jawaban tersebut sesuai yang diinginkan mertua―yang pada intinya akan menyuruh menantu membawakan rokok sebagaimana pada tuturan 53(C). Sedangkan ibu mertua menyuruhnya menghitung pekerja yang ada di sawah 53(D). Jawaban menantu pada data 53(E) secara ekspilisit tidak ada relevansi dengan seruan bapak dan ibu mertua. Kata èngghi „ya‟ pada tuturan 53(E) sekaligus memberi jawaban persetujuan kepada perintah bapak dan ibu mertua, sedangkan
dâgghi nelpona
ka adik „nanti saya akan menelpon adik.‟ Sebagai respon terhadap perintah ibu mertua yang menyuruhnya menghitung pekerja yang ada di sawah yang intinya dia akan menelpon istrinya jika jumlah pekerja di sawah sudah diketahui. Berikut akan disajikan analisis komponen tutur. 311
Tujuan tutur: Memastikan menantu pergi ke sawah untuk melihat orang yang sedang bekerja. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah dalam situasi santai pada pagi hari setelah menantu dan mertua minum kopi. Walaupun situasi santai hubungan penutur dan lawan tutur tetap formal.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, tapi agak formal. Nada lebih tinggi digunakan
mertua
kepada
menantunya,
sedangkan
menantu
menggunakan nada tutur lebih rendah sebagai bentuk politeness kepada mertua.
Peserta tutur: P1: Aba mertua P2: anak menantu P3: Ummi mertua P4: Istri dari P2
Bentuk pesan: Percakapan santai antara
mertua-menantu
untuk memastikan
menantunya yang akan pergi ke sawah.
Urutan tindak: P1 bertanya kepada P2 P2 menjawab pertanyaan P1 P1 akan menitipkan rokok kepada P2 P3 menyuruh P2 menghitung jumlah pekerja di sawah P2 menyatakan persetuannya kepada P1 dan P3 312
P4 mendengarkan percakapan
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut, P1 dan P3 selaku UNUEM yang berlatar belakang santri menggunakan BM level Eg-E. Penggunaan tingkat tutur tersebut dapat dilihat dari kosa kode dhika „kamu‟ 53(A) ghè „ya‟ 53(D) yang merupakan kosa kode BM level Eg-E. Sedangkan menantu menggunakan speech level BM È-B. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan
Èngghi, caèpon 53(B) dan Èngghi 53(E), yang merupakan kosa
kode BM level È-B. Tingkat tutur level Eg-E dan È-B yang digunakan mertua-menantu sebagai pertanda adanya hubungan formal antara keduanya. Formalitas hubungan tersebut juga terlihat dari nada tutur yang digunakan menantu lebih rendah dari tone mertua. Penggunaan tingkat tutur menantu yang lebih tinggi dari mertua berimplikasi pada politeness yang ditampakkan melalui body language yakni selaku menantu menundukkan pandangan dan posisi tangan menyilang di depan bawah perut. Berbeda dengan UNUEM yang tidak berlatar belakang santri, mertua biasanya ta’ abhâsa (tidak berbasa), yaitu menggunakan tingkat tutur BM E-I kepepada menantu, sedangkan menantu menggunakan BM level E-E kadang bercampur kode ke level È-B, sebagaimana terlihat pada data berikut: Data 54: Komunikasi Mertua-menantu (A) PSgn : Bâen→ Kus?↑ „Kamu Kus‟ (B) PKtn : Èngghi↓ pa’→ „Ya, pak‟ (C) BSgn : Kan-ngakan Kus↑, wa’a è mèja!→ (Kan-makan Kus, itu di meja) „Silahkan makan Kus, itu sudah siap di meja‟ 313
(D) PKtn : Gi’ bhuru lastarè→ è compo.↓ (Baru saja selesai di rumah) „Baru saja sudah makan di rumah.‟ (E) PSgn : Ma’ ta’ dâ’na bun Kus↑, bâri.→ (Kok tidak ke sini bu Kus, kemarin) „Kok tidak datang ke sini ibunya Kus, kemarin.‟ (F) PKtn : Èadâân→ andi repot.↓ (Di depan ada sibuk) „Di depan rumah mempunyai hajat‟ Tuturan Bâen Kus? „Kamu Kus?‟54(A) merupakan kalimat pertanyaan yang berfungsi sebagai sapaan kepada orang yang sudah dikenal, tapi baru bertemu. Kalimat sapaan tersebut sekaligus sebagai pembuka percakapan. Kalimat sapaan itu, biasanya diuangkapkan oleh tuan rumah kepada tamunya atau seseorang yang melihat lebih dulu kepada sesesorang yang sudah dikenalnya di suatu tempat. Kata “Kus” pada tuturan 54(A) adalah panggilan nama orang tua dari anak yang pertama. Dalam tradisi EM pada umumnya anak pertama menjadi panggilan nama orang tuanya, seperti pak Kus/bu Kus adalah nama suku kata pertama dari nama anaknya yang bernama Kustini. Reduplikasi Kan-ngakan „silahkan makan‟ dalam konteks tuturan 54(C) berfungsi untuk mempersilahkan lawan tutur memakan makanan yang telah tersedia. Ajakan tersebut dipertegas dengan tuturan wa’a è mèja „itu di meja‟ yang menunjukkan bahwa makanan tersebut sudah siap di meja. Adapun jawaban PKstn Gi’ bhuru lastarè è compo „Baru saja sudah makan di rumah.‟54(D), merupakan kalimat informatif yang berfungsi sebagai penolakan atas seruan ibu mertua (lawan tutur). Jawaban PKstn Èadâân andi repot „Di depan rumah punya hajat‟ 54(F) terhadap pertanyaan 54(E) Ma’ ta’ dâ’na bun Kus, bâri? „Kok tidak datang ke 314
sini ibunya Kus, kemarin.‟ tidak memenuhi unsur kejelasan, karena mestinya yang sesuai dengan kaidah pragmatik adalah jawaban Bu Kus abhânto tatangghâ sèandi hajhât èadâ’na compo „Bu Kus membantu tetangga depan rumah yang punya hajat‟. Namun demikian, konteks tuturan telah memberikan bantuan untuk menyimpulkan (menginferensi) jawaban PKstn.
Untuk mengungkap aspek-
aspek sosial budaya yang mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi mertuamenantu, berikut akan disajikan analisis komponen tutur:
Tujuan tutur: Menanyakan kepada menantu kenapa istrinya kemarin tidak hadir di rumahnya. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah mertua dalam situasi santai pada malam hari. Menantu yang sudah berumah sendiri di tempat lain sengaja berhenti (mampir) di rumah mertua setelah membeli sesutu di toko―walaupun situasi santai hubungan penutur dan lawan tutur tetap formal.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, tapi hubungan penutur dan lawan tutur formal. Nada lebih tinggi digunakan mertua kepada menantunya, sedangkan
menantu menggunakan nada tutur lebih rendah sebagai
bentuk politeness kepada mertua.
Peserta tutur: P1: Bapak mertua P2: anak menantu P3: Ibu mertua
315
Bentuk pesan: Percakapan yang merupakan obrolan santai antara
mertua-menantu
dengan topik menanyakan ketidak hadiran anaknya.
Urutan tindak: P2 datang dan masuk rumah P1/P3 P1 membuka percakapan P2 menjawab P3 menyela dengan tuturan mempersilahkan menantunya makan P2 menolak dengan kalimat informatif sebagai bentuk politeness P1 menanyakan prihal anaknya yang tidak datang di rumahnya kemarin P2 Menjawab dengan alasan
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 dan P3 selaku UNUEM yang tidak berlatar belakang santri pondughân, menggunakan BM level E-I. Penggunaan tingkat tutur tersebut, dapat dilihat dari kosa kode bâen „kamu‟ 54(A) kan-ngakan „silahkan makan‟54(C), dâteng „datang‟ yang merupakan kosa kata BM level E-I. Sedangkan menantu menggunakan speech level BM È-B. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan
èngghi,
54(B) dan lastarè 53(E), yang merupakan kosa kode BM level È-B―alih kode ke BM level E-E terlihat pada tuturan 54(F) andi‟ „punya‟ yang merupakan kosa kode BM level E-E. Tingkat tutur level È-B dan E-E yang digunakan menantu sebagai bentuk politeness yang juga ditampakkan melalui body language dengan menundukkan pandangan dan dengan nada suara lebih rendah. Sedangkan mertua tidak berbhâsa atau menggunakan BM level E-I kepada menantu sebagai bentuk pengakuan dan anggapan bahwa menantu sudah tidak ada bedanya dengan anak sendiri. Hal tersebut juga untuk mengurangi tingkat formalitas hubungan antara mertua-menantu.
316
c. Pola Komunikasi Paman/Bibi-Kemenakan Pola
komunikasi
paman/bibi-kemenakan,
ada
kalanya
tingkat
formalitasnya melebihi orang tua, akan tetapi ada pula yang hubungannya lebih erat dari pada hubungan anak-orang tua. Dengan paman/bibi yang status sosialnya lebih tinggi dari status orang tua di rumah, tingkat formalitas hubungan kemenakan dengan paman/bibi lebih formal. Status sosial tersebut biasanya diukur dengan kedudukan paman/bibi di masyarakat, misalnya sebagai tokoh masyarakat, guru, PNS, dsb. Kepada paman/bibi yang berstatus sosial sama dengan keluarga kemenakan, biasanya menggunakan tingakat tutur E-E, sedangkan paman menggunakan tingkat tutur BM level E-I, seperti pada data berikut: Data 55: Komunikasi Kemenekan-Paman/bibi (A) Paman
: Perna bâen bing↑ neng dinna?→ (Kerasan kamu nak di sini?) „Kerasan kamu nak di sini?‟
(B) Martina : Nèka kalambi→ bennya’ sè ta’ seddeng↓ (Ini baju banyak yang tidak cukup) „Ini bajuku banyak yang sudah tidak cukup‟ (C) Bibi
: Yâ, ta’ perna’a dâ’ remma↓, jâ’ sabhârang karè nyetèt.→ (Ya, tidak kerasan gimana, wong sembarang tingggal tombol.) „Ya, pasti kerasan, orang segala sesuatunya tinggal pencet tombol‟
(D) Martina : Yâ be, mon è bengko sabârâng gi’ repot nyello’,↓ mon èkaento kran kabbi.↓ (Ya bi, kalau di rumah sembarang masih repot nimba, kalau di sini kran semua.) „Ya bi, kalau di rumah air masih repot nimba, kalau di sini serba kran‟ 317
Jawaban Martina pada tuturan 55(B) terhadap pertanyaan paman pada data 55(A) sedikit melanggar maksim kejelasan, karena „baju banyak yang tidak cukup‟ kurang relevan dengan pertanyaan paman 55(A). Namun, konteks tuturan telah menunjukkan implikatur yang terdapat dalam tuturan kalambi benyak sè ta’ seddeng „baju banyak yang tidak cukup‟ dapat dirunut dari badannya telah menjadi gemuk, sebab pikirannya tenang―yang bisa diartikan krasan. Berikut akan disajikan analisis komponen tutur untuk memperjelas pengaruh sosial budaya terhadap pola komunikasi.
Tujuan tutur: Menanyakan kepada kemenakan tentang kerasan atau tidaknya di tempat pemondokan yang baru. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di asrama putri tempat kemenakan kost dalam situasi santai pada sore hari. Paman dan bibi sedang menegok kemenakannya yang baru pindah kost.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, tapi hubungan penutur dan lawan tutur sedikit formal. Nada lebih tinggi digunakan paman dan bibi kepada kemenakannya, sedangkan kemenakan menggunakan nada tutur lebih rendah sebagai bentuk politeness kepada paman dan bibi yang sudah dianggap orang tua.
Peserta tutur: P1: Paman P2: Kemenakan P3: Bibi 318
Bentuk pesan: Percakapan yang merupakan obrolan santai antara
paman/bibi-
kemenakan dengan topik menanyakan perihal kerasan atau tidaknya P2 di tempat yang baru.
Urutan tindak: P1 dan P3 datang ke tempat kost baru dari P2 P1 bertanya kepada P2 P2 menjawab pertanyaan P1 P3 menyela dengan tuturan penegasan tentang situasi kenyamanan di asrama P2 mengiyakan tuturan P3
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 dan P3 selaku paman menggunakan BM level E-I. Penggunaan tingkat tutur tersebut dapat dilihat dari kosa kode bâen „kamu‟, è dinna „disini‟ 55(A), sabhârâng „segala sesuatu‟55(C), yang merupakan kosa kata BM level E-I. Penggunaan tingkat tutur ngoko ini, karena paman dan bibi berkedudukan sama dengan orang tua, sehingga dengan menggunakan BM level E-I tampak keeratannya sebagai orang tua.
Dengan demikian, dapat mengurangi tingkat formalitas
hubungan antara paman/bibi-kemenakan. Sedangkan kemenakan kepada paman menggunakan speech level BM E-E. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan
neka, 55(B) yang merupakan kosa kode BM level E-E. Tingkat
tutur level E-E yang digunakan kemenakan sebagai bentuk politeness yang juga ditampakkan melalui body language dengan sedikit menundukkan pandangan dan dengan nada suara lebih rendah. Kepada bibi yang meruapakan saudara kandung dari bapak, P2 menggunakan BM level E-I. Hal tersebut dapat dilhat pada penggunaan kosa kode yâ „ya‟, bengko „rumah‟ pada tuturan 55(E) yang meruapakan kosa kode E-I. Penggunaan
E-I
tersebut
lebih
disebabkan
keeratan
hubungan 319
kemenakan-bibi yang semejak kecil sudah saling mengenal―bahkan bibi ketika masih bujang merupakan teman sepermainan. Ini berarti bahwa tingkat keeratan hubungan dapat menghilangkan tingkat formalitas hubungan seseorang dengan orang lain.
Kepada paman/bibi yang status sosialnya lebih tinggi dari orang tua, kemenakan menggunakan
tingkat tutur BM level È-B dan E-E, sedangkan
Paman/ bibi menggunakan speech level E-I, seperti terlihat pada data berikut: Data 56: Komunikasi dengan Paman/Bibi yang memiliki ststus sosial yang sama (A) Paman: Bâen→ cong?↑ „Kamu nak?‟ (B) Hafidi: Èngghi↓ le’.↑ „Ya, le‟.‟ (C) Bibi : Bân sapa→ bâen cong?↑ (Dengan siapa kamu nak?) „Bersama siapa kamu nak?‟ (D) Hafidi: Kadhibi gulâ be’↓, è compo kaloar kabbi→ (Sendirian saya be‟, di rumah keluar semua) „Saya sendirian be‟, di rumah semua keluar‟ (E) Paman : Tèdung dinna→ cong!↑ (Tidur sini nak!) „Bermalam di sini, nak!‟ (F) Hafidi : Asakola kaulâ lagghu’. → (bersekolah saya besok.) „Besok saya sekolah‟ Frasa Bâen cong? „Kamu nak‟ sebagai bentuk sapaan akrab orang tua kepada anak atau kepada anak yang umurnya setara dengan hubungan orang tua -anak, seperti paman/bibi kepada kemenakan. Kalimat sapaan tersebut biasanya digunakan sebagai tegur sapa pembuka oleh tuan rumah kepada tamu yang 320
umurnya setara dengan anaknya dan sudah dikenal akrab. Adapun kata le’ yang merupakan singkatan dari pak le’ yang diadobsi dari BJ “bapak seng cilik” artinya adik dari bapak/ibu, sedangkan pak de kependekan dari bapak seng gede artinya saudara tua dari ayah/ibu.
Dalam masyarakat EM di Jember tidak
dikenal panggilan pak de―panggilan untuk saudara tua maupun saudara muda dari bapak atau ibu yang lazim adalah le’/paman untuk laki-laki dan bebe untuk saudara bapak/ibu yang perempuan.
Analisis komponen tutur:
Tujuan tutur: Menyapa kemenakan yang baru datang sebagai tamu di rumah paman/bibi. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Konteks tuturan di rumah paman/bibi pada pagi hari pada hari libur dalam suasana santai.
Jenis tuturan: Bahasa lisan dalam suasana santai, tapi hubungan penutur dan lawan tutur sedikit formal. Nada lebih tinggi digunakan paman dan bibi kepada kemenakannya, sedangkan kemenakan menggunakan nada tutur lebih rendah sebagai bentuk politeness kepada paman dan bibi yang sudah dianggap orang tua.
Peserta tutur: P1: Paman P2: Kemenakan P3: Bibi 321
Bentuk pesan: Percakapan yang merupakan obrolan santai antara
paman/bibi-
kemenakan dengan topik obrolan sehari-hari.
Urutan tindak: P2 datang ke rumah P1/P3 P1 menyapa P2 P2 menjawab sapaan P1 P3 bertanya kepada P2 bersama siapa P2 datang Perckapan berlangsung
Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut P1 dan P3 menggunakan BM level E-I. Penggunaan tingkat tutur tersebut, dapat dilihat dari kosa kode bâen „kamu‟ 56(A), bân sapa „dengan siapa‟56(C), tèdung dinna „menginap di sini‟ yang merupakan kosa kode BM level E-I. Digunakannya tingkat tutur ngoko oleh paman dan bibi, karena kedudukan keduanya sama seperti orang tua. Di samping itu, penggunaan BM level E-I untuk mendekatkan keeratan hubungan paman/bibi dengan kemenakan, sehingga dapat mengurangi tingkat formalitas hubungan antarmereka. Hafidi kepada paman selaku kemenakan menggunakan speech level BM È-B. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan
èngghi, 56(B) dan kaulâ
56(F) yang merupakan kosa kode BM level È-B. Tingkat tutur level È-B yang digunakan kemenakan sebagai bentuk politeness kepada paman yang status sosialnya dianggap lebih tinggi dengan orang tua di rumah. Sedangkan kepada bibi kemenakan menggukan BM level E-E yang dapat dilihat pada penggunaan kosa kata kadhibi gulâ 56(D) yang merupakan kosa kode BM level E-E. Penggunaan BM level E-E ini, karena bibi memiliki hubungan yang erat yakni saudara kandung dari ibu. Rasa santun itu juga terlihat dari body language yang digunakan kemenakan kepada bibi yakni dengan sedikit menundukkan pandangan dan dengan 322
nada suara lebih rendah. Pada tuturan tersebut juga terlihat paman dan bibi berada pada posisi alih giliran tutur pertama. Ini juga menunjukkan bahwa politeness principle masih dipertahankan dalam komunikasi paman/bibi-kemenakan. Berdasarkan paparan dan analisis data tersebut, dapat disarikan bahwa pola komunikasi orang tua anak, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7.6: Pola Komunikasi Orang tua-Anak Kode Tutur yang Digunakan Tingkat Pilihan Tone Body Alih giliran (Nada Suara) Tutur Bahasa Language Tutur Pola Komunikasi Orang Tua-Anak Kandung Nada suara memendang Orang tua E-I BM sedikit lebih lawan tutur tinggi Nada suara memendang Bebas sesuai BI sesuai tujuan lawan tutur dengan tutur keperluan Sedikit dalam rumah Nada suara Anak kandung E-E BM menundukkan tangga lebih rendah pandangan Nada suara memendang BI sesuai tujuan lawan tutur tutur Pola Komunikasi Mertua-Menantu Mertua santri Eg-E BM Nada suara memendang sedikit lebih Pada umumnya Mertua bukan lawan tutur E-I BM tinggi mertua pada santri giliran Sedikit È-B Nada suara pertama Menantu BM menundkkan E-E lebih rendah pandangan Peserta Tutur
Pola Komunikasi Paman/Bibi-Kemenakan Paman/bibi yang berstatus sosial sama
E-I
Kemenakan
E-E
Paman/bibi yang berstatus sosial lebih tinggi
E-I
BM
Kemenakan
È-B
BM
Paman/Bibi sdr kandung bpk/ibu
E-I
BM
Kemenakan
E-I/E-E
BM
BM
Nada suara paman/bibi sedikit lebih tinggi Nada suara paman/bibi sedikit lebih tinggi Nada suara sama sesuai tujuan tutur
memandang lawan tutur Menundukkan pandangan memandang lawan tutur Menundukkan pandangan Pandangan kepada lawan tutur
Pada umumnya paman pada giliran pertama Pada umumnya paman pada giliran pertama Sesuai keperluan dan tujuan tutur
323
7.5.3 Pola Komunikasi Kakak-Adik Sebutan kakak-adik dalam tradisi EM didasarkan pada banyak dan sedikitnya umur. Umur saudara laki-laki yang lebih banyak biasanya dalam BM Jember disebut kaka’/caca‟, kalau perempuan disebut yu/embuk. Adapun umur saudara yang lebih sedikit baik laki-laki maupun perempuan disebut alè’. Dalam keluarga ummat, kaka’/yu-alè memiliki hubungan setara. Karena itu, mereka dalam komunikasi sehari-hari tidak berbhâsa (menggunakan tingkat tutur BM level E-I). Kesetaraan hubungan itu, berdampak pada pola komunikasi yang digunakan, seperti terlihat pada data berikut: Data 57: Percakapan Kaka’-Alè (A) MrSd : Endi’ klambhi anyar↑ bâen↓ la nal?→ (Punya baju baru kamu sudah nal?) „Sudah punya baju baru kamu nal?‟ (B) Znl
: Enjâ’ gi’ ka’→, caen bâen↓ sè mellèa.→ (Tidak masih kak, katanya kamu yang mau beli.) „balum kak, katanya kamu yang akan membelikan.‟
(C) MrSd : Yâ↓, lagghu’ ka toko.→ (Ya, besok ke toko.) „Ya, besok kita ke toko.)
Kata Nal yang merupakan nama panggilan dari Zainal dalam tuturan 57(A), sebagai bentuk sapaan
untuk memnggil saudara yang labih muda.
Akhiran atau awal kata nama orang sebagai kata sapaan, dalam tradisi EM lazim digabung dengan kata bâen „kamu‟. Sebagai orang yang lebih muda zainal menjawab dengan ka’ „kak‟ sebagai panggilan sapaan kepada saudara tua lakilaki, walau juga diikuti dengan bâen „kamu‟ sebagai bentuk sapaan akrab yang tidak berbhâsa. 324
Analisis komponen tutur
Topik: Baju baru untuk hari raya.
Tujuan tutur: Menanyakan kepada adik apakah sudah mempunyai baju baru untuk hari raya. Situasi „tempat dan suasana tutur‟‟: Kontek tuturan di rumah dalam situasi informal, terjadi pada sore hari sekitar jam 17.00.
Jenis tuturan: Santai, dalam situasi tidak formal, nada tutur P1 dan P2 tekanannya sesuai dengan tujuan tutur.
Peserta tutur: P1: Kakak P2: Adik
Bentuk pesan: Percakapan santai, karena topik yang dibicarakan adalah masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi.
Urutan tindak: P1 datang di rumah Zainal yang masih serumah dengan orang tua. P2 sedang berada di rumah P1 bertanya kepada P2 dan percakapan berlangsung.
325
Norma interaksi dan interpretasi: Tuturan Endi’ klambhi anyar bâen? „Kamu sudah punya baju baru?‟ Pada data 57(A) di atas, merupakan susunan kosa kata yang dipakai dalam tingkat tutur BM level E-I (mapas). Bhâsa mapas tersebut diikuti panggilan nama Nal „Zainal‟ yang dalam tradisi
Madura lazim
digunakan oleh kakak kepada adik. Zainal (P2) selaku adik juga tidak berbhâsa kepada P1 kakaknya. Hal tersebut terlihat pada tuturan 57(B) yang kosa katanya menunjukkan kosa kode BM level E-I. Ini menunjukkan bahwa tingkat tutur (speech level) yang dipakai oleh kedua belah pihak (P1 dan P2) adalah
BM level E-I (ta’ abhâsa). Tidak
berbhâsa antara kakak adik menunjukkan tingkat keakraban yang tinggi antarpartisipan tutur. Keeratan hubungan itu, juga terlihat dari tinggi rendahnya suara yang digunakan dan perilaku nonverbal antara penutur dan mitra tutur yang menunjukkan kesetaraan hubungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan umur kakak-adik dalam keluarga NUEM tidak menentukan bentuk rasa hormat dari yang lebih muda kepada yang lebih tua melalui kode-kode bahasa verbal (tekan suara: tone, penggunaan tingkat tutur) dan nonverbal (perilaku yang menunjukan rasa hormat, seperti menundukkan kepala, tidak melihat selera lawan tutur dsb.). Yang membedekan antara keduanya adalah panggilan sapaan―adik tidak boleh mapas (memanggil nama) dan harus memanggil kaka‟/yu kepada saudara tua, tetapi kakak boleh memanggil nama (mapas) kepada adik, boleh nama kecil mapun nama anak yang tertua. Kaka’/yu-alè’ yang sudah menikah dan memiliki anak, panggilan kepada adik biasanya dialihkan kepada anaknya yang tertua, sedangkan kepada saudara yang lebih tua tetap kaka’/yu melakat pada panggilan anak tertua. Jika panggilan kaka’/yu ditiadakan dalam kultur EM dianggap mapas. Data 58: Percakapan Yu-alè 326
(A) YTtk
: Noro’ maju’ Ab! (Ikut ayo Ab!) „Ayo, ikut Ab!‟
(B) LAdh : Dâ’emma’ah yu? (Mau ke mana yu?) „Akan pergi ke mana yu?‟ (C) YTtk
: Ya’a ngateraghiâ panakanna ka ponduk. (Ini mau nagtar ponakannya ke pondok.) „Akan mengantarkan keponakanmu ke Pondok.‟
(D) LAdh : Yâ, kok ghi’ mandiâ. (Ya, saya masih mau mandi.) „Ya, saya akan mandi dulu‟ Kata Ab yang merupakan kependekan nama panggilan Abdullah dalam tuturan 58(A) sebagai bentuk sapaan untuk memnggil saudara yang labih muda (alè’) dengan panggilan anaknya yang paling tua. Awal kata nama dari anak pertama tersebut sebagai kata sapaan dalam tradisi EM lazim digabung dengan man „bapaknya‟ sehingga man Ab berarti bapaknya Ab. Sebagai orang yang lebih muda Abdullah menjawab dengan yu/embuk sebagai panggilan sapaan kepada saudara perempuan yang lebih tua. Melihat kosa kode yang digunakan pada tuturan 58, kakak beradik tersebut ta’ abhâsa.
Analisis komponen tutur :
Tujuan tutur: Yu mengajak alè’ untuk ikut mengantar anaknya ke pondok. Situasi „tempat dan suasana tutur‟‟: Kontek tuturan di rumah dalam situasi tidak formal terjadi pada sore hari sekitar jam 15.00 WIB.
327
Jenis tuturan: Santai, dalam situasi informal, nada tutur P1 dan P2 tekanannya sesuai dengan tujuan tutur.
Peserta tutur: P1: Yu „kakak perempuan‟ P2: Alè‟ „Adik‟
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi terburu-buru, karena segera akan melaksanakan apa yang menjadi isi percakapan.
Urutan tindak: P1 datang di rumah man Ab, adik P2 yang sudah berumah tangga. P2 sedang santai di rumah P1 mengajak P2 ikut ke pondok pesantren anaknya dan percakapan terjadi
Norma interaksi dan interpretasi: Tuturan Noro’ maju’ Ab! „Ikut ayo Ab!‟ Pada data 58(A) di atas, sebagai bentuk ajakan kakak kepada adik yang tidak boleh ditolak. Hal ini juga menunjukkan tingkat keeratan hubungan kakak-adik―sehingga adik langsung menjawab dengan 58(B), sebagai betuk persetujuan atas ajakan P1. Tuturan pada data 58 tersusun dari kosa kode yang dipakai dalam tingkat tutur BM level E-I (mapas). Bhâsa mapas tersebut diikuti panggilan nama Ab „man Ab‟ yang dalam tradisi
Madura lazim
digunakan oleh kakak kepada adik yang sudah memiliki anak. Ini sebagai indikasi bahwa tingkat tutur (speech level) yang dipakai oleh kedua belah pihak (P1 dan P2) adalah BM level E-I (ta’ abhâsa). Kakak-adik yang tidak berbhâsa tersebut menunjukkan tingkat keakraban yang tinggi antarpartisipan tutur. Keeratan hubungan itu juga terlihat dari tinggi 328
rendahnya suara yang digunakan dan perilaku nonverbal antara penutur dan
partisipan
tutur,
yang
menunjukkan
kesetaraan
hubungan
antarkeduanya. Tinggi rendahnya suara yang digunakan ditentukan oleh topik dan tujuan tutur.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perbedaan umur kakak-adik dalam keluarga NUEM, tidak menentukan bentuk rasa hormat dari yang lebih muda kepada yang lebih tua melalui kode-kode bahasa verbal (tekan suara: tone, penggunaan tingkat tutur) dan nonverbal (perilaku yang menunjukan rasa hormat, seperti menundukkan kepala, tidak melihat selera lawan tutur dsb.).
Yang
membedekan antara keduanya adalah panggilan sapaan―adik tidak boleh mapas (memanggil nama) dan harus memanggil kaka‟/yu kepada yang tua, tetapi kakak boleh memanggil nama anak yang paling tua (mapas) kepada adik. Dengan demikian dapat disarikan pada tabel bahwa pola komunikasi antara kakak dan adik dalam keluarga ummat sebagai berikut: Tabel 7.7: Pola komunikasi kakak-adik dalam keluarga UNUEM Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body (Nada Bahasa Language
Alih giliran Tutur
Suara)
Kaka‟, Caca‟/Yu, embuk Ale‟
E-I E-I
BM
BM
Nada suara disesuaikan dengan topik dan tujuan ttur.
pandangan kepada partisipan tutur
Bebas, sesuai keperluan
7.6 Faktor-faktor Pemicu Kegagalan Komunikasi UNUEM Ada dua faktor penting pemicu terjadinya kegagalan komunikasi antarummat NUEM di Jember, yaitu: (7.6.1) Tidak adanya kiai yang disegani dalam peristiwa tutur; dan (7.6.2) Rendahnya kompetensi komunikatif.
329
7.6.1 Tanpa Kiai yang Disegani Dalam Peristiwa Tutur Keberadaan seorang kiai sebagai orang yang dipatuhi dan disegani dalam kelompok masyarakat NUEM amat penting, karena kehadiran seorang kiai menjadikan ummat segan untuk berargumen dengan suara keras, yang akan memicu terjadinya konflik dalam pertemuan-pertemuan untuk membicarakan topik-topik tertentu, yang melibatkan WNUEM. Sebab kiai merupakan pola anutan yang menjadi sumber ilmu, yang sangat dita’dzimkan oleh UNUEM. Karena itu, tanpa kehadiran seorang kiai sebagai orang yang dipatuhi dan disegani, dapat berakibat terjadinya masalah dalam komunikasi yang menyulut terjadinya konflik―kadang persoalan kecil (spele) dapat menjadi persoalan yang rumit, seperti tercermin dalam tuturan berikut: Data 59: Pertemuan UNUEM membicarakan penentuan Hari Raya Idul Adha. (A) HChl : Kapan wukuf ?↑ „Kapan jamaah haji di padang Arofah wukuf?‟ (B) HSdrt: Senin↑, tapi pemerintah menetapkan sidang isbath pada hari Rabu.→ „Hari Senin, tapi pemerintah menetapkan hari raya melalui sidang isbath pada hari rabu‟ (C) HChl: Situ↑ kan sudah Haji↑. Setiap wukuf ↑ besoknya hari raya Idul Aldha.→ „bukankah anda sudah haji. Setelah wukuf sudah lazim besok harinya hari raya Idul Adha‟ (D) HSdrt: Itu kan↑ pemerintah Arab→, di Indonesia lain mengikuti hasil ru’yah↑. „Itu kan aturan pemerintah Arab Saudi, di Indonesia kebijakannya berbeda, mengikuti hasil ru’yah‟.
Komunikasi pada data (59) tersebut, telah menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan antarpartisipan tutur. Penutur dan lawan tutur sama-sama 330
mempertahankan argumentasinya, tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan (politeness principle)―bahkan tuturan tersebut diikuti dengan tone yang begitu keras dan suara yang tinggi. Tuturan Situ kan sudah Haji „Bukankah anda sudah haji‟59(C) berpola kalimat tanya, namun fungsinya tidak lain adalah sebagai kalimat ejekan. Betapa bodonya, orang sudah naik haji kok belum tahu kalau di mekah setelah wukuf, esok harinya hari raya Kurban. Begitu juga kalimat sanggahan lawan tutur 59(D) „itu kan peraturan pemerintah Arab, di Indonesia memiliki kebijakan lain mengikuti hasil ru’yah, merupakan kalimat ejekan bahwa lawan tuturnya seolah-olah tidak tahu prosedur penetapan hari raya Kurban yang sedang menjadi topik pembicaraan. Kedua belah pihak telah mengeluarkan tuturan yang sama-sama dirasakan mendeskriditkan, sehingga memicu terjadinya konflik. Dengan demikian, kehadiran seorang tokoh kiai yang disegani amat penting dalam komunitas NU, karena dengan kehadiran seorang kiai, para partisipan tutur lebih berhati-hati dalam bertutur―apalagi untuk mengutarakan tuturan dengan suara yang keras dan menyinggung perasaan partisipan tutur yang lain. Biasanya apa yang menjadi fatwa (keputusan) kiai tidak diperdebatkan lagi, bahkan menjadi acuan yang ditaati oleh WNUEM.
Analisis komponen tutur:
Topik: Penentuan hari raya Idul Adha
Tujuan tutur: Mengklarifikasi perbedaan pendapat tentang penentuan Hari Raya Idul Adha 331
Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Rapat mendadak, yang dilaksanakan sebelum sholat Jum‟at bertempat di Masjid. Pembicaraan agak tergesa-gesa, karena segera akan diumumkan kepada jamaah Jum‟at.
Nada tutur: Nada tutur sama-sama tinggi, karena percakapan serius dengan topik yang agak bertentangan.
Peserta tutur: P1: Ketua ta’mir masjid P2: Ketua PHBI P3: Sekretaris dan seksi-seksi yang lain
Bentuk pesan: Percakapan serius pengurus ta’mir masjid
Urutan tindak: P1 mengajak pengurus yang lain bermusyawarah untuk menentukan hari raya Idul Adha P2 dan P3 sepakat untuk bermusyawarah untuk membicarakan penetapan hari raya Idul Adha dan rapat kemuadian berlangsung
Norma interaksi dan interpretasi: Kehadiran orang ketiga yakni kiai, amat diperlukan dalam musyawarah yang melibatkan UNUEM. Poedjosoedarmo (dalam Rahardi, 2001) menyatakan bahwa kehadiran orang ketiga dapat juga dipakai sebagai penentu berubahnya kode yang digunakan oleh partisipan tutur dalam berkomunikasi. Dalam masyarakat NU, kiai adalah tokoh yang disegani dan dihormati. Karena itu, kehadiran kiai dapat menjadi persuasif bagi partisipan tutur yang lain. Dengan keberadaan kiai, partisipan tutur akan 332
sungkan (segan) untuk mengeluarkan tuturan yang keras, kasar, dan mendiskriditkan orang lain. Partisipan tutur akan mengatur nada suara (tone) yang keluar, agar tidak lebih keras dari suara kiai. Begitu juga pandangan, sudah tentu akan lebih menundukkan kepala. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kehadiran kiai dalam even-even komunikasi dapat
berfungsi sebagai antisipsi terjadinya konflik
antarpartisipan tutur.
7.6.2 Rendahnya Kompetensi Komunikatif UNUEM Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar arus bawah UNUEM, telah menyebabkan rendahnya kompentensi komunikatif yang dimiliki. Fenomena ini telah berakibat kurangnya pemahaman terhadap tiga aspek kempetensi komunikatif (Linguistic knowledge, interaction skill, dan cultural knowledge), sehingga sering terjadi kegagalan komunikasi bahkan memicu terjadinya konflik, seperti data tuturan berikut: Data 60: Percakapan antarpengurus ta’mir masjid. (A) HTbrn : Cara jhuâl belli ghânika tak sya sè bân H. Athok menurut syara’, karna ghi’ bermasalah↑. Ta’mir jhâ’ bân sarobân mellè↑. Kèng ghulâ yakin ta’mir masjid nèka tak bhâkal sambhârangan.→ (Cara jual beli itu tidak sah yang dengan H. Athok menurut hukum agama‟, karena masih bermasalah. Ta’mir jangan sembarangan beli, tapi saya yakin ta’mir masjid itu ndak akan sembarangan) „Cara jual beli tanah dengan H. Athok itu tidak sah menurut hukum agama, karena masih bermasalah. Ta’mir jangan tergesa-gesa membeli, tapi saya yakin bahwa ta’mir Masjid tidak akan sembarangan membeli tanah itu‟ (B) HMhfd: Saporana→, mungghu aghâmah bân pamarènta ampon syah↑. Kaangguy lebbi jelas saè adabu dhibi’ sareng jhi Hèrus.→ (Maaf, menurut agama dan pemerintah sudah sah, untuk lebih jelas, sebaiknya berbicara sendiri dengan Haji Herus.) 333
„Maaf, menurut hukum agama dan pemerintah jual beli itu sudah sah, untuk lebih jelasnya, sebaiknya bapak berbicara sendiri dengan pak Haji Herus.‟ (C) HTbrn : Kabâlâ ka ta’mir↑, soro jhâ’ terros aghi.↑ (Sampaikan ke ta‟mir, suruh jangan teruskan.) „Sampaikan kepada ta‟mir, agar jangan diteruskan‟ (D) HHrs : Ghulâ↑ sè lebbi onèng↑ persoalan nèka.→ (saya yang lebih tahu persoalan ini) „saya yang lebih mengetahui permasalahan ini‟ Pernyataan HTbrn Cara jhuâl belli ghânika tak syah „Cara jual beli itu tidak sah‟ 60(A), telah membuat salah satu ta’mir masjid tersinggung, karena pernyataan „tidak syah‟ pada tuturan tersebut diterima partisipan tutur (pengurus ta’mir masjid) sebagai akibat dari ketidak pahaman terhadap hukum agama. Oleh sebab itu, HMhfd kemudian menjawab pada tuturan 60(B) mungghu aghâma bân pamarènta ampon syah ‘menurut hukum agama dan pemrintah sudah sah.‟ Pernyataan tersebut
tidak lain sebagai kalimat bantahan bahwa
ta‟mir juga paham ilmu agama dan transaksi jual beli itu tidak salah. Kondisi yang sudah memanas semakin diperparah dengan pernyataan HTbrn 60(C) Kabâlâ
ka ta’mir soro jhâ’ terros aghi
„katakan kepada ta’mir jangan
diteruskan‟. Tuturan ini telah memperpanas suasana, karena kalimat larangan „jangan diteruskan‟ mempertegas pernyataan „tidak syah‟ pada tuturan sebelumnya. Hal yang paling membuat emosi pengurus ta’mir yang lain adalah keberadaan HTbrn yang masih baru telah berani melarang orang yang sudah lama di keta’miran masjid tersebut. Karena itu, pernyataan HHrs 60(D) Ghulâ sè lebbi onèng persoalan nèka „saya yang lebih paham terhadap persoalan ini‟ tak lain sebagai kalimat sanggahan bahwa pengurus lama akan lebih tahu dan 334
memahami persoalan yang terjadi dan juga sekaligus sebagai penegasan bahwa orang baru tidak boleh sok tahu dan otoriter. Konflik yang disebabkan kesalahan dalam penggunaan strategi komunikasi tersebut, telah menjadikan pudarnya kepercayaan pengurus ta’mir masjid terhadap HTbrn.
Anslisis komponen tutur:
Topik: Meninjau kembali jual-beli tanah masjid.
Tujuan tutur: Menyampaikan tentang ketidaksahan jual beli tanah masjid. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Diskusi informal berlangsung di rumah salah satu ta’mir masjid. Pembeicaraan agak emosi, karena masing-masing partisipan tutur kurang memahami strategi komunikasi.
Nada tutur: Nada tutur sama-sama tinggi, karena percakapan serius dan masingmasing partisipan tutur saling mempertahankan argumennya dalam suasana emosional.
Peserta tutur: P1: Anggota ta’mir masjid P2: Khatib masjid sekaligus ta‟mir P3: Ketua ta’mir masjid
Bentuk pesan: Percakapan serius pengurus ta’mir masjid. 335
Urutan tindak: P1 Datang ke rumah P2 P1 mengomentari perihal jual beli tanah masjid P2 melalui telepon meminta P3 datang ke rumah P2 P3 datang di rumah P2 Percakapan berlangsung.
Norma interaksi dan interpretasi: Tuturan 60A) tidak menunjukkan adanya politeness principle―P1 langsung mejustifikasi bahwa jual beli yang dilakukan ta‟mir masjid tidak sah. Ini menunjukkan bahwa P1 tidak memahami strategi komunikasi. Semestinya kalimat yang digunakan adalah kalimat tanya, misalnya, “apakah jual beli itu sudah sah menurut hukum agama?” Begitu pula Jawaban P2 (HMhfd) pada data 60(B) yang langsung memastikan bahwa jual beli tersebut menurut hukum pemerintah dan agama sudah sah. Mestinya, P2 sebagai orang yang lebih muda balik bertanya “Bagaimana menurut pendapat Bapak?” Kegagalan komunikasi tersebut diperkeruh dengan suasana dipanggilnya HHrs sebagai orang yang dianggap melaksanakan proses jual beli tersebut. Begitu pula Pernyataan HTbrni pada data 60(C) yang terkesan memaksakan kehendaknya telah mengesampingkan keberadaan kultur NU yang semestinya dalam organisasi keta’miran yang berbasis NU mendahulukan musyawarah dengan para ulama untuk memutuskan sesuatu. Hal tersebut seiring dengan pernyataan seorang ulama NU yang menyitir Al-Quran Surat Al-Imran, ayat 159 “ Bermusyawarahlah dalam suatu urusan, jika engkau sudah bulat tentang urusan itu, maka serahkanlah kepada Allah Swt”. Akhirnya pada tuturan 60(D) HHrs juga menunjukkan perasaan paling tahunya sebagai orang yang paling lama menjadi pengurus masjid tersebut dengan nada tutur yang tinggi. Fenomena ini, juga menunjukkan kurangnya skill interaksi dalam berkomunikasi. Semestinya, untuk meredam suasana emosional tampung saja dulu pendapat HTbrn dan 336
selanjutnya katakan bahwa akan dibicarakan dalam forum musyawarah ta’mir masjid. Berdasarkan observasi partisipasi dan analisis data 60 di atas, ditemukan bahwa elemen-elemen verbal dan
nonverbal yang ditunjukkan penutur dan
lawan tutur belum mengcu pada pola elemen-elemen linguistik yang bisa diterima oleh partisipan tutur dalam peristiwa tutur tertentu, sehingga makna varian-varian bahasa yang diterima cenderung diinferensi menyudutkan partisipan tutur. Hal tersebut terlihat dari turuan HTbrn, HMhfd dan HHrs yang menggunakan kalimat-kalimat perintah dan kalimat-kalimat larangan yang dapat membuat perasaan tidak enak partisipan tutur. Fenomena ini jelas berkaitan dengan pengetahuan linguistik (linguistik knowledge) yang dimilki masingmasing partisipan tutur. Berkaitan dengan keterampilan interaksi (interaction skill), yang dimiliki pertisipan tutur ditemukan bahwa persepsi ciri-ciri penting penggunaan bahasa dalam situasi komunikatif belum menunjukkan seleksi dan interpretasi bentukbentuk yang tepat untuk situasi, peran, dan hubungan tertentu
sehubungan
dengan kaidah-kaidah pengunaan ujaran. Dalam interaksi UNUEM tersebut juga meninggalkan norma-norma iteraksi yang berlaku dalam masyarakat NUEM, sehingga menimbulkan interpretsi yang salah di benak partisipan tutur. Hal tersebut
berimplikasi pada strategi komunikasi untuk mencapai tujuan.
Fenomena ini terlihat interkasi antara penutur dan lawan tutur yang meninggalkan dua prinsip yang dikemukakan Grice dalam Yule (1996) yakni, cooperativ principle dan politeness principle. Pernyataan-pernyataan partisipan 337
tutur pada data (60) yang ditemukan dalam komunikasi tidak mencerminkan penerapan
prinsip-prinsip
kesantunan
dan
prinsip
kerja
sama
dalam
berkomunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pola kalimat yang digunakan, tekanan suara, dan body language yang dinjukkan dalam berkomunikasi. Kurang terpenuhinya kedua aspek pendukung kompotensi komunikatif tersebut, akhirnya berdampak pada tertinggalnya perhatian terhadap nilai-nilai kltural
yang telah menjadi konvensi dalam masyarakt NUEM, yakni sikap
religius, sopan santun, dan saling hormat, serta sikap musawarah mufakat yang menjadi acuan dalam berperiku WNUEM. Fenomena ini sebagai indikator masih lemahnya pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge)
yang dimiliki
sebagaian UNUEM. Temuan tersebut menunjukkan bahwa, ketiga unsur pendukung kompetensi komunikatif (linguistik knowledge, interaction skill, dan cultural knowledge),
satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan mempengaruhi
dalam menentukan pola dan strategi komunikasi.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa, kegagalan komunikasi yang terjadi pada UNUEM diantaranya disebabkan kurangnya penguasaan dan penerapan kompetensi komunikatif dalam berkomunikasi. HTbrn yang semula dipercaya sebagai orang yang ‘alim „orang yang mumpuni dalam bidang ilmu agama‟ dan akan diangkat sebagai imam masjid tersebut menjadi gagal, sebagai akibat kegagalan komunikasi. Hal tersebut tergambar dalam percakapan pada data berikut: Data 61: Percakapan HMhfd dan ketua ta’mir 338
(A) HMhfd : Dâ’ remma ji, tolos HTbrn sè èangkattah imam ? (Gimana pak haji, jadi HTbrn yang akan diangkat imam?) „Gimana pak haji, apakah HT jadi yang rencananya akan diangkat imam? (B) HHrs
: Enjâ’ la burung, cia la. (tidak lah gagal, hambar dah) „tidak jadi, sudah hambar perasaanku‟
Kata cia „hambar‟ pada data 61(B) dalam konteks BM diibaratkan pada makanan yang tidak ada garamnya/gulanya atau kurang bumbunya, sehingga tidak berasa apa-apa dan tidak enak jika dimakan. Jika kata cia „hambar‟ dihubungkan dengan konteks tuturan di atas, memiliki makna konotatif yang bermacam-macam: „tidak bisa dipercaya lagi sebagai tokoh, kata-katanya tidak bisa dijadikan rujukan, fatwahnya tidak bisa dijadikan pegangan ummat dsb.‟ Ini berarti bahwa Pola-pola komunikasi yang tidak dibarengi dengan kompetensi
komunikatif
akan menyebabkan konflik dalam komunikasi
WNUEM. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi di kalangan WNUEM sebagai akibat kegagalan komunikasi yang disebabkan rendahnya pengetahuan tentang kompetensi komunikatif. Rendahdahnya kompetensi komunikatif juga dapat dipicu oleh rendahnya tingkat pendidikan.
7.7 Ringkasan Pola komunikasi ummat dapat dipetakan sebagai berikut: (1) Pola komuniksi yang melibatkan tokoh NU; (2) Pola komunikasi yang melibatkan UNUEM terpelajar; (3) Pola komunikasi UNUEM yang berbeda umur; (4) Pola Komunikasi UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan (5) 339
Pola komunikasi dalam keluarga ummat. Klasifikasi tersebut, sekaligus sebagai indikator bahwa, pola komunikasi UNUEM ditinjau dari partisipan tutur sebagai faktor dominan dipengaruhi oleh: a) Status sosial yang didasarkan pada peran dan jabatan; b) Tingkat pendidikan umum; c) Perbedaan umur; d) Tingkat keeratan hubungan; e) Tingkat formalitas.
1) Pola Komuniksi yang Melibatkan Tokoh NU Pada situasi formal tokoh NU dan jamaah UNUM menggunakan tingkat tutur setara yaitu, BM level È-B. Di samping BM, mereka juga menggunakan BI dan BA untuk beralih kode dan bercampur kode. Dalam situasi tersebut, nada suara yang digunakan tergantung bentuk kalimat dan tujuan tutur―pandangan pada umunya kepada mitra tutur. Alih giliran tutur sesuai dengan susunan acara yang sudah ditentukan panitia atau shohibul hajah. Pada situasi informal tokoh NU menggunakan tingkat tutur E-E, sedangkan UNUEM menggunakan tingkat tutur È-B. Perbedaan penggunaan tingkat tutur tersebut, karena adanya perbedaan status sosial keduanya. Nada suara juga tegantung pada bentuk kalimat dan tujuan tutur. Begitu juga arah panadangan tertuju kepada lawan tutur. Alih giliran tutur sesuai dengan keperluan masing-masing partisipan tutur.
(2) Pola komunikasi yang melibatkan UNUEM terpelajar Baik dalam situasi formal maupun informal, tingkat tutur yang digunakan partisipan tutur adalah BM level È-B. Namun demikian, karena melibatkan 340
UNUEM terpelajar partisipan tutur sering baralih kode dan bercampur kode ke BI―sebagai penciri WNUEM juga sering bercampur kode ke BA. Nada suara juga ditentukan oleh topik dan tujuan tutur. Arah pandangan sebagai bagian body language tertuju kepada mitra tutur. Pada situasi formal alih giliran tutur sesuai susunan acara, sedangkan dalam situasi informal alih giliran tutur berdasarkan kebutuhan partisipan tutur.
(3) Pola komunikasi UNUEM yang berbeda umur Pada situasi formal UNUEM selalu konsisten menggunakan BM level ÈB, karena melibatkan partisipan tutur dari berbagai umur. Karena itu, untuk mengantisipasi keterbatasan penutur dalam menggunakan kosa kata tingkat tutur level È-B, beralih kode dan bercampur kode ke BI―sedangkan sebagai ciri khas masyarakat pesantren dan untuk menghindari kesulitan penterjemahan baik ke dalam BM maupun BI, UNUEM sering beralih kode dan bercampur kode ke BA. Tekanan suara tergantung pada topik dan tujuan tutur dan arah pandangan kepada mitra tutur. Adapun alih giliran tutur sesuai susunan acara yang sudah ditentukan. Pada situasi informal UNUEM yang berumur lebih tua menggunakan speech level BM E-I, sedangkan UNUEM yang berumur lebih muda menggunakan tingkat tutur BM level E-E. Dalam petuturan selalu konsisten menggunakan BM dengan nada suara tergantung tujuan tutur. Arah pandangan juga kepada mitra tutur. Alih giliran tutur sesuai kebutuhan masing-masing partisipan tutur. 341
(4)Pola Komunikasi UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan UNUEM yang belum saling kenal, pada umumnya menggunakan tingkat tutur BM level È-B, sedangkan UNUEM yang sudah saling mengenal, menggunakan tingkat tutur BM level E-E. UNUEM yang belum kenal, biasanya sering bercampur kode ke BI dan BA. UNUEM yang sudah kenal, selain beralih kode dan bercampur kode ke BI dan BA, juga bercampur kode ke BMlj, sebagai bentuk keakraban antar partisipan tutur. Sesama ummat NU yang dianggap memiliki status sosial yang sama, penggunaan nada tutur sama sesuai topik dan tujuan tutur. Begitu pula arah pandangan yang merupakan cerminan dari body language tertuju kepada lawan tutur. Adapun alih giliran tutur bebas sesuai kepentingan masing-masing partisipan tutur.
(5) Pola komunikasi dalam keluarga ummat Pola komunikasi dalam keluarga ummat dapat dipetakan menjadi: (1) Pola komunikasi dengan pasangan hidup (Suami-Istri); (2) Pola komunikasi orang tua-anak; dan (3) Pola komunikasi kakak-adik.
(1) Pola komunikasi dengan pasangan hidup (Suami-Istri) Pola Komunikasi dengan pasangan hidup pada umumnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu, tingkat keeratan hubungan sebelum menikah, dan pandangan budaya Madura tentang kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
342
Pasangan suami-istri, yang sebelum menikah tidak saling mengenal menggunakan tingkat tutur BM level E-E, sedangkan yang sudah saling kenal menggunakan tingkat tutur BM level E-I. Dalam lingkungan keluarga, suamiistri konsisten menggunakan BM dengan tinggi rendahnya tekanan suara sama sesuai tujuan tutur. Arah pandangan yang merupakan bagian Body language tertuju kepada lawan tutur. Adapun alih giliran tutur dalam keluarga UNUEM, bebas sesuai dengan keperluan dan tujuan tutur. Sebagian WNUEM masih mempertahankan tradisi dan budaya Madura yakni, peran dan status sosial laki-laki (suami) dalam keluarga di tempatkan di atas perempuan (istri). Hal tersebut berdampak pada pola komunikasi, suami mengunakan tingkat tutur BM E-I, sedangkan istri menggunakan tingkat tutur BM level E-E atau È-B―nada suara suami lebih tinggi dari istri. Istri biasanya juga sedikit menundukkan kepala di depan suami―sedangkan alih giliran tutur bebas sesuai keperluan dan tujuan tutur.
(2) Pola komunikasi orang tua-anak Pola komunikasi orang tua-anak meliputi: (a) Pola Komunikasi Orang tua-anak kandung; (b) Pola Komunikasi Mertua-Menantu; dan (c) Pola Komunikasi Paman/Bibi-Kemenakan. Pola komunikasi orang tua anak tersebut dipengaruhi oleh tingkat formalitas hubungan dalam keluarga dan status sosial.
343
(a) Pola Komunikasi Orang tua-anak kandung Orang tua-anak kandung yang sehari-hari berbahasa Madura dalam berkomunikasi―orang tua menggunakan tingkat BM level E-I, sedangkan anak menggunakan tingkat tutur E-E. Penggunaan tingkat tutur tersebut diikuti dengan tekanan suara lebih rendah oleh anak dari pada nada tutur orang tua. Begitu pula arah pandangan anak sedikit menundukkan kepala, sedangkan orang tua tertuju kepada anak (lawan tutur). Berbeda dengan UNUEM yang sehari-hari berbahasa Indonesia dalam keluarga. Mereka tidak menggunakan tingkat tutur, tinggi rendahnya suara tergantung tujuan tutur, dan pandangan anak tertuju kepada orang tua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan BI dalam keluarga telah mengurangi prinsip-prinsip kesantuanan dalam berbahasa atau berarti pula bahwa
penggunaan bahasa daerah dapat mempertahankan
politeness.
(b) Pola Komunikasi Mertua-Menantu Mertua yang berlatar belakang santri kepada menantu pada umumnya menggunakan tingkat tutur BM level Eg-E, mertua yang bukan santri menggunakan tingkat tutur level E-I. Anak menantu yang berlatar belakang santri menggunakan tingkat tutur È-B, sedangkan yang bukan santri mggunakan BM level E-E. Nada suara menantu secara umum lebih rendah dari tone mertua. Di hadapan mertua, menantu sedikit menundukkan pandangannya, sedangkan mertua pandangan ke arah lawan tutur. Alih giliran tutur pada umumnya mertua pada giliran pertama.
344
(c) Pola Komunikasi Paman/Bibi-Kemenakan Paman/bibi kepada kemenakan yang berstatus sosial sama menggunakan tingkat tutur E-I, sedangkan kemenakan E-E. Paman/bibi yang berstatus sosial lebih tinggi kepada kemenakan menggunakan tingkat tutur BM level E-I, kemenakan menggunakan speech level BM È-B. Nada sura paman/bibi biasanya lebih tinggi dari tekanan suara kemenakan. Arah pandangan paman/bibi kepada kemenakan, sedangkan kemenakan sedikit menundukkan pandangan. Hal tersebut, merupakan cerminan body language. Pada umumnya, paman/bibi pada giliran pertama dalam petuturan. Kepada paman/bibi saudara kandung ayah/ibu, kemenakan menggunakan tingkat tutur E-E atau E-I, paman/bibi kepada kemenakan menggunakan BM level E-I. Tekanan suara tinggi rendah sesuai tujuan tutur. Arah pandangan partisipan tutur tertujun kepada lawan tutur. Adapun alih giliran tutur sesuai keperluan dan tujuan tutur.
a) Pola komunikasi kakak-adik Kakak-adik
dalam
keluarga
UNUEM
tidak
berbhâsa,
yakni
menggunakan tingkat tutur BM ngoko E-I. Nada suara disesuaikan dengan topik dan tujuan tutur. Arah pandangan kepada lawan tutur. Adapun alih giliran tutur bebas sesuai keperluan dan tujuan tutur. Ada dua faktor penting pemicu terjadinya kegagalan komunikasi antarUNUEM, yaitu: (a) Tidak adanya kiai yang disegani dalam peristiwa tutur; dan (b) Rendahnya kompetensi komunikatif.
345
BAB VIII KISAH PARA ULAMA SEBAGAI BENTUK POLA DAN STRATEGI KOMUNIKASI WNUEM
8.0 Pengantar Kisah-kisah ulama/kiai
yang dikagumi juga sebagai bagian dari pola
komunikasi WNUEM, baik di kalangan kiai maupun di kalangan ummat. Sebagai strategi komunikasi, penceritaan kisah ulama/kiai dapat membangkitkan konsentarasi lawan tutur untuk menyimak dan memahami tuturan yang disampaikan oleh penutur. Sebagai
pola
komunikasi,
penceritaan
kisah
ulama/kiai
harus
memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam komponen tutur (Hymes dalam Saville-Troike, 2003), seperti kesesuaian topik cerita dengan tujuan tutur, siapa partisipan tuturnya, bagaimana menyampaikannya (berkaitan dengan tone, body language, dan pilihan bahasa), norma interaksi dan interpretasi, dsb. Adapun sebagai strategi komunikasi, penceritaan kisah ulama/kiai harus memenuhi unsur PK Grice, dalam Yule (1996) yang dirinci ke dalam 4 maksim (Quality, Quantity, Relation / Relevance, Manner) dan PS (Prinsip kesantunan dalam berbahasa). Grice menjelaskan bahwa PK itu mempunyai pengertian sebagai berikut: Buatlah sumbangan percakapan anda sedemikian rupa sesuai yang dikehendaki, sesuai dengan perkembangan konteks atau situasi terjadinya percakapan, dan sesuai dengan maksud atau arah yang disepakati dalam percakapan yang anda ikuti. Untuk lebih jelasnya, dalam sub bab ini akan dipaparkan beberapa kisah hasil observasi nonpartisipasi di lapangan, yaitu: (8.1 Kisah yang mencerminkan 346
kepatuhan dan rasa takut hamba kepada sang kholik; (8.2) Kisah yang mencerminkan kepatuhan santri (murid) kepada gurunya; (8.3) Kisah yang menggambarkan perbedaan makom antara santri dan guru; (8.4) Kisah yang mencerminkan
perilaku
saling
ikram
antarsesama;
(8.5)
Kisah
yang
mencerminkan pembelajaran etika; (8.6) Kisah yang mencerminkan Kedisiplinan dan Rasa tanggung jawab; (8.7) Kisah yang mencerminkan keikhlasan seorang kiai dalam beribadah; (8.8) Ringkasan.
8.1. Kisah yang Mencerminkan Kepatuhan Hamba Kepada Khaliknya Gambaran tentang kepatuhan dan rasa takut hamba kepada sang kholik, tercermin dalam data tuturan berikut ini: Data 62: Cerita Sunan Bonang dalam peristiwa komunikasi kiai-ummat (A) HMhfd: Kalimat tauhid, ponapa ollè manabi èbhâdi anyo‟on rajekkè? (Kalimat Tauhid, apakah boleh kalau dibuat meminta rejeki?) „Apakah boleh, jika kalimat Tauhid digunakan untuk memohon rejeki?‟ (B) KNshn :Ta‟ napa, pokok jha‟ kalaban nafsu―èparèng alhamdulillah, ta‟ èparèng èngghi alhamdulillah. Mon bisa noro‟ lampana Sunan Bonang “Sunan Bonang nèka è sèttong bakto karna labuâ, negghu‟i ka rebbhâ, teros rebbhâna ka dhâbu‟. Rebbhâ ka‟dinto kan ngaghungi hak hidup sebagai makhlul Allah. Sunan bonang minta ampunnya luar biasa ka Allah. (Tidak apa-apa asal jangan dengan nafsu―diberi Alhamdulillah, tidak diberi ya Alhamdulillah. Kalau bisa ikut jejaknya Sunan Bonang: Sunan Bonang itu di suatu waktu―karena akan jatuh, pegangan ke rumput kemudian rumputnya tercabut. Rumput itu kan mempunyai hak hidup sebagai makhluk Allah. Sunan Bonang minta ampunnya luar biasa ke Alllah.) 347
„Tidak apa-apa asalkan jangan dengan nafsu―diberi bersyukur Alhamdulillah, tidak diberi juga bersyukur Alhamdulillah. Kalau bisa mengikuti jejaknya Sunan Bonang: Sunan Bonang itu suatu ketika―karena akan jatuh, maka pegangan rumput kemudian rumput tercabut. Rumput juga dianggapnya mempunyai hak hidup sebagai makhluk Allah. Sehingga Sunan Bonang minta ampun merasa sangat berdosa kepada Alllah.‟ Tuturan “ta‟ napa pokok jha‟ kalaban nafsu” „tidak apa-apa asalkan jangan diikuti dengan nafsu‟ pada data 62(B) di atas, merupakan bentuk jawaban yang persuasif, sebab di kalangan NU memang banyak masyarakat mengamalkan kalimat tauhid dijadikan sebagai washilah untuk memohon rejeki kepada Allah― dan juga ada yang tidak sependapat dengan itu. Jawaban kiai pada tuturan tersebut sebagai jalan tengah yang dapat berimplikasi membolehkan tapi dengan syarat tidak boleh diikuti dengan nafsu. Hal tersebut dipertegas dengan tuturan èparèng alhamdulillah,
ta‟
èparèng
èngghi
alhamdulillah
„Diberi
bersyukur
alhamdulillah, tidak diberi juga bersyukur alhamdulillah.‟ Jadi tidak dengan nafsu maksudnya adalah tidak memaksakan kehendak kepada Allah, tapi amalan itu hanya sebagai bentuk ikhtiar permohonan hambanya kepada Allah Swt. Pernyataan tersebut sebagai strategi komunikasi, agar tidak menyinggung orang yang tidak sependapat dengan kalimat tauhid untuk dijadikan alat memohon rejeki kepada Allah swt. Padahal, orang memohon rejeki dapat dipastikan dengan nafsu (keinginan). Tuturan tersebut dapat diindikasikan bahwa Jawaban KNshn sebenarnya kurang sependapat bahwa membaca kalimat tauhid dilandasi dengan keinginan yang lain, seperti memohon rejeki. Hal tersebut dipertegas dengan tuturan “Mon bisa noro‟ lampanah Sunan Bonang” „Kalau bisa ikut jejaknya 348
sunan bonang‟. Sunan Bonang yang suatu ketika akan jatuh, beliau dengan tidak sengaja pegangan pada rumput di depannya, kemudian rumput tersebut tercabut. Rumput
juga dianggapnya nempunyai hak hidup sebagai makhluk Allah.
Sehingga Sunan Bonang minta ampun merasa sangat berdosa kepada Alllah. Perilaku sunan bonang yang diceritakan KNshn sebagai indikasi rasa patuh dan takut seorang hamba atas ketentuan yang diberikan kepada setiap makhluknya. Apalagi mau meminta hal-hal yang sudah ditentukan besar kecilnya oleh Allah Swt. Tuturan tersebut jika dianalisis dengan komponen tutur sebagai berikut:
Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Kontek terjadinya peristiwa tutur semi formal dan agak serius bertempat di kediaman P1 pada sore hari.
Peserta tutur: P1: Kiai P2: UNUEM.
Tujuan tutur: Mencari kejelasan tentang boleh atau tidaknya penggunaan kalimat tauhid untuk kepentingan momohon rejeki kepada Allah Swt.
Urutan tindak: P1 (kiai) mempersilahkan UNUEM masuk ke kediaman kiai P2 masuk dengan didahului nyabis kepada kiai P1 memulai dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka dengan menyakan kabar masing-masing partisipan tutur P2 memohon ijin untuk menyampaikan pertanyaan, P1 mempersilahkan P2. Tanya Jawab antara P1 dan P2 berlangsung 349
Jenis Tuturan: Tanya jawab dalam situasi santai, tapi serius
Bentuk pesan: Percakapan dan cerita yang merupakan pertanyaan dan jawaban tentang halal atau haram penggunan kalimat tauhid untuk keperluan momohon rejeki.
Sarana tutur: Bahasa lisan―tidak memerlukan instrumen lain, karena posisi tuturan antarpartisipan tutur sangat dekat dan partisipannya tidak banyak.
Norma interaksi dan interpretasi: Tuturan 62(A) di dahului dengan frase cabis pamator „mohon ijin untuk mengatakan sesuatu‟ sebagai bentuk penghormatan ummat kepada kiai. Dalam tradisi NU yang berlatar belakang etnik Madura (EM), apabila ingin mengatakan sesuatu kepada kiai kata-kata tersebut selalu diucapkan, agar tidak cangkolang (dikatakan tidak hormat) kepada kiai. Bahkan, dalam tradisi WNUEM seseorang baru akan berbicara, jika ditanya atau diminta oleh kiai. Untuk mencapai tujuan tutur kiai menggunakan Sunan Bonang sebagai refrens. Sunan Bonang yang dalam pandangan WNUEM dianggap waliullah „kekasih Allah‟ yang begitu besar jasanya dalam penyebaran Islam di Indonesia dan patut diteladani, baik perjuangannya maupun ketaqwaannya kepada Allah Swt. Karena itu, Sunan Bonang sengaja dijadikan referensi sebagai bentuk setrategi komunikasi, agar orang yang dituju lebih mudah menerima apa yang menjadi tujuan akhir tuturan kiai. Dalam observasi partisipasi terlihat para partisipan tutur lebih antusias dalam mendengarkan tuturan kiai, setelah mendengarkan paparan kisah Sunan Bonang tersebut. Penggunaan tingkat tutur È-B kepada kiai merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh WNUEM. Pelanggaran terhadap penggunaan tingkat tutur ini dalam BM dianggap mapas (tidak 350
bisa berbhâsa), sehingga orang yang melanggar konvensi ini oleh masyarakat dikatakan tidak bisa bersopan santun. WNUEM dalam berinteraksi dengan kiai biasanya selalu menundukkan kepala dan merendahkan suaranya (tone) sebagai bentuk rasa hormat yang amat tinggi kepada kiai. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut, dapat sarikan bahwa pola dan strategi komunikasi yang mencerminkan kepatuhan hamba kepada penciptanya sebagai berikut: Tabel 8.1:Pola dan Strategi Komunikasi untuk Menyampaikan Figur Seorang Hamba yang Patuh terhadap Ketentuan Pencipta. Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
Situasi Informal Kiai È- B E-E
UNUEM
BM, BI, dan BA
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Pandangan penutur kepada mitra tutur
UNUEM pada giliran pertama, dengan ucapan cabis pamator
Tujuan Tutur: Menyampaikan Pentingnya Patuh pada Ketentuan sang Pencipta
8.2 Kisah yang Mencerminkan Kepatuhan Santri kepada Gurunya Kisah yang mencerminkan kepatuhan santri kepada guru terlihat pada tuturan berikut: Data 63 : Cerita KASmd kepada UNUEM Ki Husnan ghi‟ ngabdhi è ponduk, è settong bhâkto èdhikanè kiai “Nan, sello‟en nyaina cong ghâghghâr ka WC” langsung èsarè, èraghâ sareng Ki Husnan ka dâlem WC. (Ki Husnan masih ngabdi di pondok, pada suatu waktu dipanggil kiai “Nan, cincinnya nyainya nak jatuh ke WC”, langsung dicari, digerayai oleh Ki Husnan ke dalam WC) „Ki Husnan ketika masih belajar di pesantren, pada suatu ketika dipanggil oleh kiai “Nan, cincinnya nyaimu nak jatuh ke WC”, 351
langsung tanpa berbasa-basi dicari dengan tangannya oleh Ki Husnan di dalam WC‟ Ki Husnan dalam tuturan tersebut dikisahkan sebagai orang yang patuh dan penuh pengabdian kepada guru. Tuturan Nan, sello‟en nyaina cong ghâghghâr ka WC „nan, cincinnya nyaimu nak jatuh ke WC‟ merupakan kalimat informasi, yang fungsinya ingin mengetahui tingkat kepatuhan santri kepada kiai, atau kiai ingin meminta khusnan untuk mecari cincin nyai yang hilang, tetapi kiai tidak sampai hati. Namun ternyata, tanpa berbasa-basi Ki Husnan langsung ke WC tempat hilangnya cincin nyai. Perilaku Ki Husnan tersebut menunjukkan kepatuhan seorang santri kepada kiainya. Karena itu, kini Ki Husnan menjadi pengasuh pesantren yang santrinya luar biasa banyaknya. Kisah tersebut sengaja dicontohkan oleh KASmd, agar ditiru santrinya selaku partisipan tutur.
Analisis komponen tutur:
Topik: Bagaimana membentuk jiwa santri menjadi orang yang patuh kepada guru dan penuh keikhlasan. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Peristiwa tutur berlangsung di masjid, ketika kiai mengajarkan kitab kuning.
Peserta tutur: P1: KP P2: UNUEM P3: KL 352
Tujuan tutur: Strategi komunikasi dalam memberi pemahaman tentang kepatuhan santri (murid) kepada gurunya.
Bentuk pesan: Kisah tentang seorang kiai yang sudah berhasil mendirikan pesantren, karena kepatuhannya kepada sang guru ketika dia menimba ilmu di pesantren.
Jenis tuturan: Serius, nada tutur disesuaikan dengan kisah yang diceritakan.
Sarana tutur: Tuturan disampaikan dengan bahasa lisan dengan alat pengeras suara, karena melibatkan partisipan tutur yang besar.
Norma interaksi dan interpretasi: Refrens Kiai Husnan pada data (63) merupakan bentuk pola komunikasi yang berfungsi sebagai strategi komunikasi. Tokoh Ki Husnan sengaja dihadirkan dalam tuturan tersebut untuk memberi contoh kepada partisipan tutur tentang pengabdian Ki Husnan kepada gurunya, ketika masih ngabdih di pesantren. Karena pengabdiannya yang penuh ikhlas tersebut, beliau mendapat berkah gurunya, sehingga kini santrinya sangat banyak. Kepatuhan santri kepada guru dalam tradisi NUEM, merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan―ketidak patuhan kepada guru (kiai) dapat menyebabkan ilmunya tidak bermanfaat. Sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Mudarris yang didasarkan kepada kitab ta‟limul muta‟allim bahwa “Tidak bisa menjadi ilmu yang bermanfaat walaupun ilmu itu sudah didapat oleh seorang santri, tanpa diikuti ta‟dzim kepada guru―dan tidak bisa hilang ilmu itu, kecuali pada orang yang meninggalkan hormat kepada guru. Ini berarti bahwa ta‟dzim kepada guru merupakan kunci keberhasilan 353
bagi para santri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hormat kepada guru merupakan kunci keberhasilan seorang santri di masyarakat. Penceritaan kisah Ki Husnan tersebut amat penting dalam memberikan informasi kepada partisipan tutur tentang kepatuhan santri kepada gurunya, sehingga tidak perlu menyuruh secara langsung, agar seorang santri harus patuh kepada guru.
Ini menunjukkan bahwa, serategi
komunkasi dengan referensi seorang kiai yang dikagumi juga merupakan komponen tutur yang dapat berpengaruh terhadap pola komunikasi.
Untuk lebih jelasnya, pola dan strategi komunikasi untuk menyampaikan figur seorang santri yang patuh dan pengabdi kepada guru dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 8.2:Pola dan Strategi Komunikasi Untuk Menyampaikan Figur Seorang Santri yang Patuh dan Pengabdi kepada Guru Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
Situasi Formal dalam Pengajian Kiai-UNUEM
È- B E-E
BM, BI, dan BA
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Pandangan kiai kepada mitra tutur, UNUEM menundukkan pandangan
Kiai penutur utama
Tujuan Tutur: Menyampaikan pentingnya kepatuhan dan pengabdian santri kepada guru, agar kelak ilmunya bermanfaat
8.3 Kisah Mencerminkan Perbedaan Makom Guru dan Santri Referensi ulama yang dikagumi berkaitan perbedaan makom guru dan santri, dapat dilihat pada tuturan berikut: Data 64: Referensi ulama yang mencerminkan perbedaan makom guru-santri. KN : Ki As‟ad èsèttong bâkto è bulân pasa perna adâ‟âr bân-abân, tapè santrèna nèro‟na ta‟ ollè. “Ba‟na rea ghi‟ ta‟ dapa‟”. 354
Saamponah Ki As‟ad anganga, ternyata è lèsana pas akaton tasè‟. Ki As‟ad jughân pernah negghu‟ apoy, tapè santrèna ta‟ kuat. (Ki As‟ad di suatu waktu siang hari pada bulan puasa pernah makan di siang hari, tapi santrinya mau ngikuti tidak boleh. “Kamu ini belum sampai”. Setelah Ki As‟ad menganga, ternyata di lisannnya terlihat lautan. Ki As‟ad juga pernah memegang api, tapi santrinya tidak kuat.) ‛Ki As‟ad pernah pada bulan puasa makan di siang hari, tapi santrinya tidak diperbolehkan mengikuti perilakunya. Anda ilmunya belum cukup. Ki As‟ad kemudian memperlihatkan rongga mulutnya, ternyata di dalam lisan beliau tampak lautan. Ki as‟ad juga pernah memegang api, tapi santrinya mencoba tidak kuat.‟ Ki As‟ad sebagai refrens dalam tuturan tersebut menjadi tokoh yang juga dianggap mimiliki dunia yang berbeda dengan partisipan tutur. Kekaguman kepada kiai pada tuturan tersebut, merupakan hal yang biasa di kalangan NUEM―bahkan hal tersebut dipercaya sebagai orang yang istimewa di hadapan Allah Swt. Dengan hadirnya tokoh Ki As‟ad sebagai simbol yang dianggap memilki kelebihan, warga NU menjadi lebih perhatian terhadap apa yang disampaikan penutur.
Peristiwa tuturan tersebut dapat dianalisis dengan
komponen tutur sebagai berikut:
Topik: Menyikapi perbedaan-perbedaan seorang guru dengan santri sebagai suatu keistimewaan. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Peristiwa tutur berlangsung di kediaman HMhfd pada malam hari dalam situasi informal.
355
Peserta tutur: UNUEM
Tujuan tutur: Strategi memberi pemahaman tentang keterbatasan ilmu seorang santri di hadapan gurunya.
Bentuk pesan: Cerita tentang santri dan seorang guru yang dikagumi.
Jenis tutur: Serius, nada tutur disesuaikan dengan kisah yang diceritakan.
Sarana tutur: Tuturan disampaikan dengan bahasa lisan tanpa alat pengeras suara, karena peristiwa tutur terjadi saling berhadapan.
Norma interaksi dan interpretasi: Refrens Kiai As‟ad pada data (64) sebagai strategi komunikasi. Pada tuturan tersebut, kisah itu sengaja dihadirkan untuk menambah cakrawala berpikir para partisipan tutur tentang adanya maqom (kedudukan) yang berbeda-beda bagi setiap manusia. Refrens Ki As‟ad juga sebagai bentuk penggambaran terhadap maqom seorang guru yang tidak sama dengan murid yang sedang mediskusikan, namun secara implisit sebenarnya KNshn ingin menyampaikan pesan bahwa partisipan tutur seharusnya tidak mengikuti perilaku seorang guru yang tidak sesuai Al-Quran dan Hadits Rasul, karena ilmu dan kedekatannya dengan Allah Swt berbeda. Ini menunjukkan bahwa serategi komunkasi dengan referensi orang yang dikagumi juga merupakan komponen tutur yang dapat berpengaruh terhadap pola komunikasi.
356
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut di atas, dapat disarikan pada table berikut: Tabel 8.3: Pola dan Strategi Komunikasi Untuk Menyampaikan Perbedaan Makom Santri dengan Guru Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language (Nada Suara) Bahasa
Alih Giliran Tutur
Situasi Informal dalam Diskusi UNUEM UNUEM
È- B E-E E-I
BM BI
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Pandangan lawan tutur kepada penutur, dengan perhatian secara penuh dan seksama
Bebas
Tujuan Tutur: Menyampaikan pentingnya mengetahui perbedaan makom santri dengan guru.
8.4 Kisah yang Mencerminkan Perilaku Saling Menghormati Antarsesama Kisah yang mencerminkan saling menghormati antarsesama dan menjaga keharmonisan dalam hidup bermasyarakat tercermin dalam tuturan berikut: Data 65: Percakapan anggaota Forsa sebelum acara formal dimulai Syt : Ki Basyir merehap jembatan, itu masih dalam keadaan è totop, tapi sudah bisa dilalui, cuma dalam beberapa bulan ditutup. Ketika sopirnya mau berangkat jemput Kè Waris, Kè Basyir telepon sopirnya “dagghi‟ lebat Latè (nama dusun), Engghi.” Ketika Ki Waris ongghâ ka kendaraan “badha dabu dari Kè Basyir è pakon lebât Latè. Kan jembatannya masih diperbaiki? Abdinah namung tarèma dhâbu, saka‟dinto”. Ketika Ki Waris dalam perjalanan sampè‟ di Berpenang, ternyata sudah dipersiapkan jembatan itu untuk Kè Waris. Katika Kè Waris sampè dekat dhâlem, Kè Waris acabis dimin ka Kè Basyir. Dua hari kemudian Kè Basyir acabis ka Kè Waris. Lho enga‟ nèka terharu, sobung ponapa mon enga‟ neka, dâ‟ napah, dâ‟ tokaran. (Kiai Basyir merehab jembatan, itu masih dalam keadaan ditutup, sudah bisa dilalui, namun dalam beberapa bulan ditutup. Ketika sopirnya akan berangkat jemput Ki Waris, Ki Basyir telepon sopirnya „nanti lewat Latè!‟. ya. Ketika Ki Waris naik ke kendaraan “ada pesan dari Ki Basyir disuruh lewat Latè” Kan jembatannya 357
masih diperbaiki? saya hanya menerima pesan seperti itu. Ketika Ki Waris dalam perjalanan sampai di Berpènang, ternyata sudah dipersiapkan jembatan itu untuk Ki Waris. Ketika Ki waris sampai di dekat dhâlem Ki Basyir, Ki Waris acabis dulu ke Ki Basyir. Dua hari kemudian Ki Basyir nyabis ke Ki Waris. Lho, seperti itu terharu. Tidak ada apa-apa kalau seperti ini―tidak ada apa-apa, tidak ada pertengkaran.” „Kiai Basyir merehab jembatan. Jembatan itu masih dalam keadaan ditutup―walaupun sebenarnya sudah bisa dilalui, namun dalam beberapa bulan ditutup. Ketika sopirnya akan berangkat jemput Kiai Waris, Kiai Basyir telpon sopirnya „nanti lewat Latè (nama dusun)!‟ Saya pak kiai. Ketika Ki Waris menaiki kendaraan “ada pesan dari Ki Basyir disuruh lewat Latè” Kan jembatannya masih diperbaiki? Saya hanya menerima pesan seperti itu. Ketika Ki Waris sampai di Sumberpinang ternyata sudah dipersiapkan jembatan itu untuk Ki Waris. Ketika Ki waris sampai di dekat kediaman Ki Basyir, Ki Waris Soan dulu ke Ki Basyir. Dua hari kemudian Ki Basyir soan ke Ki Waris. Melihat seperti itu saya terharu. Tidak ada apa-apa kalau seperti ini―tidak ada apa-apa, tidak akan pernah ada konflik.” Tuturan Syt pada data (65) tentang kerendahan hati seorang kiai yang ingin ikram (memuliakam)
sesama pengasuh pesantren sebagai upaya
memberikan pemahaman kepada partisipan tutur tentang akhlak seorang kiai pengasuh pesantren yang saling memuliakan satu sama lain. Ki Basyir yang diceritakan sengaja tidak membuka jembatan yang direhabnya―tidak lain hanya agar yang lewat pertama kali pada jembatan tersebut Ki Waris. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pengikraman kepada Ki Waris. Ki Waris juga begitu, setelah sampai di depan Ki Basyir Baliau “nyabis” duluan kepada Ki Basyir. Dua hari kemudian, Ki Basyir nyabis kepada Ki Waris. Perilaku ini menunjukkan bahwa antarkiai pengasuh pesantren saling memuliakan dan saling bersilaturrahim, sehingga pada tuturan tersebut syt menyatakan “Lho enga‟ neka terharu, sobung ponapa mon enga‟ neka, da‟ napa, da‟ tokaran.” „Melihat seperti itu saya terharu, tidak ada apa-apa kalau seperti ini―tidak ada apa-apa, tidak akan ada konflik.‟ 358
Perilaku kedua kiai tersebut
mengharukan,
karena akan menimbulkan
keharmonisan hubungan dan akan terjaga dari konflik.
Analisis komponen tutur:
Topik: Bagaimana mengantisipasi konflik yang terjadi antarpengasuh pesantren. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Peristiwa tutur berlangsung di langgar salah satu WNUEM pada sore hari dalam situasi informal, sebelum acara formal dimulai.
Peserta tutur: UNUEM
Tujuan tutur: Strategi
memberi
pemahan
tentang
pentingnya
saling
ikram
antarpengasuh pesantren atau antartokoh masyarakat.
Bentuk pesan: Cerita tentang dua pengasuh pesantren yang dikagumi. Keduanya dalam hidupnya saling memuliakan.
Jenis tutur: Santai, nada tutur disesuaikan dengan kisah yang diceritakan.
Sarana tutur: Tuturan disampaikan dengan bahasa lisan tanpa alat pengeras suara, karena peristiwa tutur terjadi saling berhadapan.
359
Norma interaksi dan interpretasi: Refrens Ki Basyir pada data (65), sebagai pola dan strategi komunikasi untuk menyampaikan pesan akhlak mulia yang ditunjukkan oleh dua pengasuh pesantren. Kisah itu sengaja diceritakan, agar partisipan tutur yang merupakan santri dari kedua tokoh tersebut dapat mengambil hikmah dari kisah tersebut. Refrens Ki Basyir dan Ki Waris dalam tuturan tersebut sebagai bentuk penggambaran terhadap dua orang tokoh yang dalam hidupnya saling memuliakan sebagai upaya menjaga tali silaturrahim dan menghindari konflik antarpengasuh pesantren. Dengan kisah dua orang guru yang dikagumi tersebut para partisipan tutur menunjukkan antusiasnya dalam menerima pesan penutur. Ini menunjukkan bahwa serategi komunkasi dengan referensi orang yang dikagumi juga merupakan komponen tutur yang dapat berpengaruh terhadap pola komunikasi. Pada tuturan tersebut, Syt sering menggunkan BI sebagai bentuk keakraban antarpartisipan tutur, sedangkan BM level È-B dan E-E digunakan untuk menirukan percakapan Kiai dan sopirnya yang sedang diceritakan. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Tabel 8.4: Pola dan Strategi Komunikasi Untuk Menyampaikan Keutamaan Saling Ikram Antarsesama Pengasuh Pesantren/Tokoh Masyarakat Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
Situasi Informal UNUEM
È- B E-E
BM BI
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Penutur dan mitra tutur saling menunjukkan pandangan
Bebas
Tujuan Tutur: Menyampaikan keutamaan saling ikram antarpengasuh pesantren atau antartokoh masyarakat.
360
8.5 Kisah yang Mencerminkan Pembelajaran Etika Kisah pada sub bab ini sebagai respon partisipan tutur yang lain terhadap kisah cerita (65). Kisah ini menceritakan tentang akhlak yang ditunjukkan para kiai di lingkungan pesantren NU yang pernah dilihatnya ketika mengabdi di Pesantren. Bagaimana seharusnya seorang yang lebih muda berakhlak kepada yang lebih tua. Hal tersebut tercermin dalam tuturan di bawah ini: Data 66 : Tuturan HMhfd sebagai penyeimbang dalam percakapan santai HMhfd:Waktu Kè Basyir songkan, Kè Sya‟di keponakan Kè Basyir langsung aghântè kuthbâna. Kè Amir orèng seppo Kè Sya‟di yang sekaligus seseppo Kiai Ghulu‟-Guhulu‟, langsung merèksanè Kè Sya‟di: ”sè khutbah rowah bâ‟na, èngghi. Ma‟ pas bâ‟na? Jha‟ rèng man Basyir songkan. Marè abâlâ bâ‟na? Bhunten. Jâriâ sè ta‟ mapan.” Sejak itu, Kè Sya‟di tidak pernah lagi berkhutbah. (Ketika Ki Basyir sakit, Ki Sya‟di keponakan Ki Basyir langsung mengganti khutbahnya. Ki Amir orang tua Ki Sya‟di yang sekaligus sesepuh Kiai di Ghuluk-Ghuluk langsung menanyakan Ki Sya‟di: " yang khutbah itu kamu?” Ya, kok terus kamu? wong paman Basyir sakit. Sudah bilang kamu? Tidak. Itu yang tak bagus.” Sejak itu Ki Sya‟di tidak pernah lagi berkhutbah) ‛Ketika Ki Basyir sakit, Ki Sya‟di keponakannya langsung menggantikan Ki Basyir berkhutbah. Ki Amir orang tua Ki Sya‟di yang sekaligus sesepuh Kiai di Ghuluk-Ghuluk langsung menanyakan kepada Ki Sya‟di: "Apa kamu yang khutbah?” Ya. kok terus kamu yang khutbah? Karena paman Basyir sakit. Sudah minta ijin kamu? Tidak. Itu yang tidak bagus.” Sejak itu Ki Sya‟di tidak pernah khutbah lagi‟
Tuturan HMhfd pada data (66) sebagai penyeimbang peristiwa tuturan yang disampaikan syt (65) dengan menceritakan perihal seorang keponakan kiai yang menggantikan posisi khotib pamannya (Ki Basyir) yang sedang sakit. Namun, karena tanpa seijin orang yang diwakili, maka orang tuanya menegurnya dengan tuturan "sè khutbâh rowa bâ‟na, èngghi. Ma‟ pas bâ‟na? Jhâ‟ rèng man 361
Basyir songkan. Marè abâlâ bâ‟na? Bhunten. Jâriâ sè ta‟ mapan.” ‛Apa kamu yang khutbah?” Ya, kok terus kamu yang khutbah? Karena paman Basyir sakit. Sudah minta ijin kamu? Tidak, Itu yang tidak bagus.‟. Tuturan "Jâriâ sè ta‟ mapan” ‛Itu yang tidak bagus‟
merupakan pokok dari tujuan tutur. Tuturan
tersebut dapat memiliki arti akhlak yang jelek. Jadi menggantikan seseorang tanpa seijin orang yang digantikan, walaupun kondisi sakit termasuk akhlak yang tidak bagus dalam pandangan WNUEM. Peristiwa komunikasi tersebut, jika dianalisis dengan komponen tutur dapat dipaparkan sebagai berikut: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Peristiwa tutur terjadi dalam situasi informal, bertempat di mushalla sebelum acara pertemuan formal di mulai.
Peserta tutur: Partisipan tutur terdiri dari para alumni pesantren An-Nuqoyyah GulukGuluk Madura yang terhimpun dalam oraganisasi FORSA.
Tujuan tutur: Memberikan gambaran kepada partisipan tutur tentang pentingnya beretika kepada orang yang lebih sepuh. Tujuan akhir tuturan tersebut adalah untuk menjaga keharmonisan hubungan antarsesama dan mencegah terjadinya konflik.
Jenis Tuturan: Cerita tentang kisah perilaku seorang kiai pengasuh pesantren yang menegur putranya, agar beretika kepada orang yang lebih sepuh.
362
Nada tutur: Serius, nada tutur dalam menyampaikan cerita tersebut naik turunnya sesuai dengan kondidsi kejadian yang diceritakan. Suara kiai yang lebih tinggi ditirukan dengan suara yang lebih tinggi, yang mencerminkan rasa marah.
Sarana tutur: Tuturan disampaikan dalam bahasa lisan dengan ekspresi sesuai dengan kejadian yang diceritakan. Dalam tuturan informal jarang sekali menggunakan alat bantu pengeras suara.
Norma interaksi dan interpretasi: Penggunaan kisah perilaku kiai yang dikagumi, sebagai bentuk cerita dalam komunikasi informal yang melibatkan partisipan tutur sesama UNUEM, merupakan bentuk setrategi komunikasi yang biasa digunakan WNUEM, agar orang yang terlibat sebagai partisipan tutur lebih tersentuh dan memberikan perhatian yang lebih seksama ketika peristiwa tutur terjadi. Hal itu juga dimaksudkan, agar semua partisipan tutur meniru perilaku mulia kiai yang dikagumi tersebut. Dengan demikian, tujuan tutur yang baik secara eksplisit maupun implisit terkandung dalam cerita para masyayikh tersebut bisa tercapai. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan perckapan antara anak dengan orang tua. Anak menggunakan BM level ÈB, sedangkan orang tua menggunakan tingkat tutur BM level E-I. Adapun HMhfd sebagai penutur menggunakan BM level E-E, karena partisipan tutur sebagaian besar memiliki keeratan hubungan yakni, sebagai teman di pesantren.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut di atas, dapat disarikan sebagai berikut:
363
Tabel 8.5: Pola dan Strategi Komunikasi Untuk Menyampaikan Pentingnya Etika kepada yang Lebih Sepuh Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
Situasi informal UNUEM
È- B E-E E-I
BM
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Penutur dan mitra tutur saling menunjukkan pandangan
bebas
Tujuan Tutur: Menyampaikan pentingnya etika kepada yang Lebih Sepuh
8.6 Kisah yang Mencerminkan Kedisiplinan dan Rasa Tanggung Jawab Untuk mengingat figur seorang kiai yang patut diteladani, baik oleh para putra-putri maupun santrinya, dalam pertemuan-pertemuan yang melibatkan para alumni dan penerusnya diceritakan tentang lampa (kebiasaan hidup) yang dilakukan kiai selama hidupnya. Kisah yang mencerminkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sebagai pengasuh pesantren adalah sebagai berikut: Data 67: Kisah Kedisiplinan dan Rasa Tanggung Jawab Sebagai Pengasuh Pesantren (A) HZn: Dimèn Allahummaghfirlahu, manabi rabu dâri Jakarta dâpa dhâlem langsung ngentèng, sanaossa pokol sèttong malem. Almarhum kan DPR pusat, dâddhi sering ka Jakarta. Sanaossa ampon sibuk akadhiâ ka‟dinto, ètempo bulân pasa manabi bâdâ orèng nyorok sanaossa kasorang èlayanè. (Dulu Allahummaghfirlahu, kalau datang dari Jakarta sampai rumah langsung ngenteng, walaupun pukul satu malam. Almarhum kan DPR pusat, jadi sering ke Jakarta. Walaupun sudah sibuk seperti itu, di waktu bulan puasa kalau ada orang ngaji walaupun seorang dilayani.) „Duhulu Allahummaghfirlahu, kalau pulang dari Jakarta sampai rumah langsung membunyikan kenteng (bell), walaupun pukul satu dini hari. Almarhum waktu itu DPR pusat. Karena itu, sering ke Jakarta. Walaupun beliau sibuk 364
seperti itu, pada bulan pausa kalau ada orang minta ngaji kitab kuning, walaupun hanya seorang dilayani‟ (B) THd: Almarhum Jhughân disiplin dâlem hal kasèhatan―manabi bâdâ tamoy abâto‟an, èatorè ka budi. Para santrè jhâman ka‟dissa jhugân èwajibaghi rutin olah raga. (Almarhum juga disiplin dalam hal kesehatan―kalau ada tamu berbatuk , dipersilahkan ke belakang. Para santri jaman itu, juga diwajibkan rutin berolah raga.) „Almarhum juga disiplin dalam hal menjaga kesehatan―kalau ada tamu berbatuk, dipersilahkan ke ruang khusus di belakang. Pada jaman itu, para santri juga diwajibkan untuk berolah raga secara rutin.‟ Frasa Allhummaghfirlahu „ya Allah ampunilah dosa-dosanya‟ dan almarhum „semoga Allah menyayangi‟ pada tuturan 67(A), biasa digunakan masyarkat NUEM untuk menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebutan tersebut, sekaligus sebagai do‟a untuk orang yang disanjung dan dikagumi. Tuturan manabi rabu dâri Jakarta dâpa dhâlem langsung ngntèng „kalau datang dari Jakarta sampai rumah langsung ngenteng, walaupun pukul satu dini hari‟ sengaja dikedepankan
untuk membuat kesan awal kepada para
partisipan tutur tentang perilaku KAWf yang sangat disiplin dan memiliki rasa tanggung jawab yang sangat tinggi terhadap sorokan para santrinya, sehingga walupun pukul 01.00 dini hari, almarhum membangunkan santri dan langsung morok „mengajar‟. Sedangkan tuturan Almarhum kan DPR pusat „Beliau adalah DPR pusat‟ sebagai penegasan bahwa beliau termasuk orang yang sibuk dan juga sering ke Jakarta, tapi masih mampu mengatur dan menyisihkan waktunya untuk mengajar santri yang sudah dipasrahkan orang tuanya di pesantren, yang beliau asuh. Bahkan selama hidupnya telah banyak mengabdikan dirinya untuk kepentingan ummat. Rasa kagum penutur tersebut ditambahkan pada akhir tuturan 365
Sanaossa ampon sibuk akadhiâ ka‟dinto, ètempo bulân pasa manabi bâdâ orèng nyorok sanaossa kasorang èlayane „Walaupun beliau sibuk seperti itu, pada bulan puasa, kalau ada orang minta ngaji kitab kuning, walaupun hanya seorang dilayani‟. Hal tersebut sebagai indikasi bahwa KAWf termasuk orang yang paling
menghargai orang yang berniatan mengaji―satu orangpun dilayani.
Kebiasaan para guru masa kini kalau sudah sibuk akan lupa kepada santrinya, apalagi hanya satu orang yang akan nyorok. Ini menunjukkan bahwa KAWf sebagai referens, adalah sosok yang amat menghargai waktu, dan orang yang benar-benar tahu tentang tanggung jawab utamanya sebagai pengasuh pesantren dan tokoh masyarakat. Pada tuturan 67(B), THd seorang alumni juga memberi tambahan informasi tentang kedisiplinan KAWf dalam menjaga kesehatan lingkungan maupun para santri. Hal tersebut ditunjukkan, ketika ada tamu yang sedang berbatuk, maka disiapkan ruang tersendiri dikumpulkan dengan para tamu yang sama-sama menderita penyakit batuk. Para santri juga diwajibkan secara rutin berolah raga, agar kesehatannya terjaga, sehingga dalam menuntut ilmu bisa tenang dan kuat. Peristiwa tutur tersebut, jika dianalisis dengan komponen tutur dapat dipaparkan sebagai berikut: Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Peristiwa tutur terjadi dalam situasi informal, bertempat di ruang tamu sebelum acara pertemuan formal di mulai.
366
Peserta tutur: Partisipan tutur terdiri dari KAZs Putra KAWf dan para alumni salah satu pesantren salaf di Jember.
Tujuan tutur: Memberi gambaran kepada partisipan tutur khususnya kepada para alumni baru yang tidak diasuh KAWf di pesantren. Cerita tersebut mengisahkan tentang kedisiplinan dan rasa tanggung jawab almarhum sebagai pengasuh pesantren maupun abdi masyarakat. Beliau juga memiliki keperdulian dalam menjaga kesehatan santri dan lingkungan.
Jenis Tuturan: Cerita tentang kisah kiai pengasuh pesantren yang dapat dijadikan contoh kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sebagai pengasuh pesantren dan dalam hidup sebagai abdi masyarakat.
Nada tutur: Serius―nada tutur dalam menyampaikan cerita tersebut naik turunnya disesuaikan dengan topik kisah yang diceritakan.
Sarana tutur: Tuturan disampaikan dalam bahasa lisan dengan ekspresi sesuai dengan kejadian yang diceritakan. Tuturan ini dalam suasana informal, sehingga tidak perlu menggunakan alat bantu pengeras suara.
Norma interaksi dan interpretasi: Dengan menceritakan kisah perilaku seorang kiai yang dikagumi yang pernah dirasakan dan dilihat selama penutur diasuh menjadi santri, merupakan bentuk pola dan setrategi komunikasi yang biasa digunakan WNUEM, agar apa yang menjadi tujuan tutur dapat diterima oleh semua orang yang terlibat sebagai partisipan tutur. Bahkan dengan pola 367
komunikasi yang menceritakan kisah-kisah seperti itu, partisipan tutur lebih tersentuh dan memberikan perhatian yang lebih seksama, ketika peristiwa tutur terjadi. Hal itu juga dimaksudkan, agar semua partisipan tutur meniru perilaku mulia kiai yang dikagumi tersebut. Dengan demikian tujuan tutur yang secara eksplisit maupun implisit terkandung dalam cerita seorang kiai yang dikagumi tersebut bisa tercapai.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut di atas, dapat disarikan pada tabel berikut: Tabel 8.6: Pola dan Strategi Komunikasi Untuk Menyampaikan Pentingnya Kedisiplinan dan Rasa Tanggung Jawab Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone (Nada Suara) Bahasa
Body Language
Alih Giliran Tutur
Situasi Semi Formal Kiai dan UNUEM
È- B
BM BI BA
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Pandangan partisipan tutur kepada penutur
UNUEM diberi kesempatan
Tujuan Tutur: Menyampaikan pentingnya disiplin dan rasa tanggung jawab
8.7 Kisah yang Mencerminkan Keikhlasan seorang Kiai dalam Beribadah Kisan tentang kemakbulan bacaan dan do‟a seseorang tergantung pada keikhlasannya. Hal tersebut tercermin dalam tuturan berikut: Data 68: Kisah Bujuk Syamsudin dan Ki Sendâng KAG: Kè sendâng guru ngajina Ki Syamsuddin (buju‟ latthong)― saampona cokop omor Kè Syamsuddin aghuru ka Jhâbâ. È sèttong bhakto saampona èlmona seddengan nyabis ka Kè Sendâng. Kè Sendâng pancet akadhiyâ dimèn manabi maca waladldloolliin èbâca walallââliin. Karana Kè Syamsuddin ampon ngaonèngè jhâ‟ sala, maka langsung mateppa‟ Kè Sendâng. Jâwâbân Kè Sendang”dina la sèngko‟ biasana ènga‟ jeriyâ”. Saampona ka‟dinto, Kè Syamsuddin bhubhâr. È jhâlân èambâ‟ olar sè langkong rajâ. Kè Syamsuddin abâli teros mator ka Kè Sendâng: “badâ olar lankong rajâ, ampon èbaca‟aghi ayat 368
kursi sareng ayat sè laèn pancet ta‟buru”. Jawab Kè Sendâng bâcaè walallââlin.” Saampona èbâcaè alfatihah sareng Kè Sendâng olar panèka buru. (Ki sendâng guru ngajinnya Ki Syamsuddin (buju‟ latthong). Setelah cukup umur, Ki Syamsuddin berguru ke Jawa. Di Satu waktu setelah ilmunya cukupan nyabis ke Ki Sendâng. Ki Sendâng tetap seperti dulu, kalo baca waladldloolliin dibaca walallââliin. Karena Ki Syamsuddin sudah mengetahui kalau salah, maka langsung memperbaiki Ki Sendâng. Jawaban Ki Sendâng” biarlah saya bisanya seperti ini”. Setelah itu, Ki Syamsuddin pulang. Di jalan dijemput ular yang agak besar. Ki Syamsuddin kembali terus bilang ke Ki Sendâng: “ada ular agak besar, sudah dibacakan ayat kursi dengan ayat yang lain tetap tidak lari”. Jawab Ki Sendâng bacakan walallââliin.” Setelah dibacakan surat Alfatihah dengan Ki Sendâng, ular itu lari.) „Ki sendâng adalah guru ngaji dari Ki Syamsuddin (Buju‟ Latthong). Setelah umurnya cukup Ki Syamsuddin berguru ke salah satu pesantren di Jawa. Suatu ketika, setelah memperoleh ilmu yang cukup, beliau nyabis kepada Ki Sendâng. Ki Sendâng masih tetap seperti dahulu, kalau membaca waladldloolliin dibaca dengan makhrujul huruf walallââliin. Karena Ki Syamsuddin sudah mengetahui bahwa makhrujnya salah, maka langsung memperbaiki bacaan Ki Sendâng. Jawaban Ki Sendâng” biar lah saya memang tidak bisa membaca yang seperti itu”. Setelah itu, Ki Syamsuddin pulang. Di tengah perjalanan ada seekor ular yang agak besar membentang di tengah jalan. Ki Syamsuddin kembali ke kediaman gurunya, kemudian mengatakan kepada Ki Sendâng bahwa ada ular agak besar, sudah dibacakan ayat kursi dengan ayat yang lain tetapi tetap tidak lari. Jawab Ki Sendâng bacakan walallââliin.” Setelah dibacakan surat Alfatihah oleh Ki Sendâng ular itu lari.‟
Tuturan KAG pada data (68) yang mengisahkan tentang keikhlasan hati seseorang lebih makbul di hadapan Allah, ketimbang yang keluar dari mulut―dan setinggi apapun ilmu yang didapat seorang murid, dalam aspek manfaat tidak sehebat gurunya. Kisah seorang guru dan murid pada data (68) tersebut sebagai upaya memberikan pemahaman kepada partisipan tutur tentang keikhlasan seseorang dalam beribadah maupun berdo‟a kepada Allah swt. dan bagaimana seharusnya berakhlak kepada seorang guru walaupun si murid menganggap 369
ilmunya sudah lebih tinggi. Karena dalam beribadah, Allah tidak hanya melihat dari yang tampak dari luar, tapi justru yang ada di dalam benak masing-masing orang (keikhlasan) dan keistiqomahannya dalam pengamalan. Bacaan apapun yang dibaca oleh si murid ternyata tidak membuahkan hasil yang diinginkan, akan tetapi bacaan guru yang dianggap murid kurang tepat ternyata lebih dikabulkan oleh Allah swt, sehingga ular yang ada di hadapannya berlalu. Ini menunjukkan bahwa sang guru karena keikhlasannya masih lebih dikabulkan oleh Allah swt. ketimbang si murid yang bacaannya lebih bagus, tapi kurang ikhlas.
Topik: Bagaimana menciptakan keikhlasan dalam membaca ayat-ayat Al-Quran
Tujuan tutur: Menyampaikan kepada partisipan tutur bahwa amalan ikhlas amat penting dalam beribadah kepada Allah Swt. Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Di langgar pada pengkajian kitab dalam situasi formal.
Nada tutur: Tinggi rendahnya suara tergantung kisah yang diceritakan.
Peserta tutur: P1: Kiai, P2 : UNUEM
Bentuk pesan: Cerita yang mengisahkan seorang kiai yang dikagumi. 370
Urutan tindak: P1 mempersiapkan kitab yang akan digunakan dalam pengajian P2 membuka kitab masing-masing P1 berceramah kemudian mempersilahkan partisipan yang lain bertanya. P2 beberpa partisipan tutur mengajukan pertanyaan P1 menceritakan kisah (data 68).
Norma interaksi dan interpretasi: Untuk mencairkan suasana yang sudah mulai penat dalam pengkajian kitab, sebagai bagian dari strategi komunikasi P1 menceritakan tentang kisah seorang murid dengan seorang guru ngaji. Kisah yang disampaikan KAG tersebut juga sebagai upaya untuk mencapai tujuan dalam pengkajian pada hari itu yang bertopik keikhlasan seseorang dalam beribadah.
Dengan pola dan strategi komunikasi tersebut (data 68)
partisipan tutur menjadi lebih antusias perhatiannya dan bahkan dapat menginferensi kisah yang disampaikan oleh P1 lebih luas dari topik pengkajian hari itu, yaitu: (1) Ibadah seseorang dipandang Allah pertamatama dari aspek keikhlasannya, artinya benar-banar dilakukan semata-mata karena-Nya; (2) Tawadlu‟ kepada guru alif sangat dianjurkan, karena guru aliflah yang pertama-pertama mengajarkan Al-Quran; (3) ketinggian ilmu seseorang belum tentu menjamin derajat amalannya disisi Allah Swt. Dengan demikian, dapat dikatan bahwa strategi komunikasi menceritakan kisah orang-orang yang dikagumi di tengah-tengah petuturan lebih efektif sebagai bagian strategi komunikasi untuk mencapai tujuan tutur di kalangan WNUEM. Dalam penceritaan kisah tersebut, P1 menggunakan BM level È-B dan E-E, karena partisipan tutur berasal dari latar belakang status sosial dan umur yang berbeda-beda. BA dan BI, juga digunakan untuk mengungkapkan kosa kata yang kurang pas, jika diungkapkan dengan BM.
371
Berdasarkan uraian dan analisis data tersebut di atas, dapat disimpulkan pada tabel berikut: Tabel 8.7: Pola dan Strategi Komunikasi Untuk Menyampaikan Pentingnya Ikhlas dalam beribadah dan bertawadlu’ kepada Guru Peserta Tutur
Tingkat Tutur
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Language Bahasa (Nada Suara)
Alih Giliran Tutur
Situasi Informal Kiai LangghârânUNUEM
È- B E-E E-I
BM BI BA
Tergantung topik dan kisah yang diceritakan
Perhatian mitra tutur kepada penutur menunjukkan keseriusan
Kiai Langghârân sebagai narator utama
Tujuan Tutur:Menyampaikan pentingnya ikhlas dalam beribadah dan bertawadlu kepada guru
8.8 Ringkasan Dari beberapa contoh pola dan strategi komunikasi yang dikemukakan di atas, memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menyampaikan Pentingnya Patuh pada Ketentuan sang Pencipta Sebagai bagian strategi komunikasi, kisah tersebut untuk memberikan persuasif jalan tengah kepada UNUEM yang sedang berbeda pendapat, agar tidak terjadi konflik. Tingkat tutur yang digunakan kiai dan UNUEM adalah tingkat tutur BM level E-E dan È-B. Bahasa yang digunakan adalah BM beralih kode dan bercampur kode ke BI dan BA. Nada suara tergantung pada topik dan kisah yang diceritakan. Arah pandangan tertuju kepada penutur. UNUEM pada giliran tutur pertama dengan cabis pamator.
372
2. Untuk Menyampaikan Pentingnya Kepatuhan dan Pengabdian Santri kepada Guru, Agar Kelak Ilmunya Bermanfaat Kisah tersebut diceritakan pada forum pengajian santri, agar topik yang dibahas dapat diterima dengan baik oleh para santri maupun mantan santri. Tingkat tutur yang digunakan kiai È-B dan E-E, namun untuk menyatakan kosa kata yang sulit atau tidak bisa diterjemahkan ke BM, kiai sering beralih kode dan bercampur kode ke BI dan BA. Nada suara tergantung pada topik dan kisah yang diceritakan. Pandangan kiai mengarah kepada mitra tutur, sedangkan UNUEM menundukkan kepala. Pada konteks tuturan ini, kiai sebagai penutur utama dan komunikasi searah (one way traffic).
3. Untuk menyampaikan pentingnya mengetahui perbedaan makom santri dengan guru Konteks tuturan ini hanya melibatkan partsipan UNUEM yang menceritakan kisah yang mencerminkan perbedaan guru dan santri. Karena itu, tingkat tutur yang digunakan BM level È- B, E-E, dan E-I. Pilihan bahasa yang digunakan adalah BM dan BI, untuk beralih kode dan bercampur kode. Nada suara tergantung pada topik dan kisah yang diceritakan. Pandangan lawan tutur kepada penutur secara seksama dengan penuh perhatian. Alih giliran tutur bebas, karena hanya melibatkan UNUEM.
373
4. Untuk Menyampaikan Keutamaan Saling Ikram (memuliakan) Tuturan ini disampaikan pada situasi informal sebelum acara formal dimulai. Tingkat tutur yang digunakan UNUEM adalah BM level È-B dan E-E. Sebagai bentuk keakraban beralih kode dan bercampur kode ke BI. Nada suara tergantung pada topik dan kisah yang diceritakan. Dalam tuturan ini, panutur dan mitra tutur saling menunjukkan pandangannya dengan kelihatan antusias. Alih giliran tutur bebas sesuai dengan keperluan dan tujuan tutur.
5. Untuk Menyampaikan Pentingnya Etika kepada yang Lebih Sepuh Konteks tuturan penceritaan kisah ini pada situasi informal. Tingkat tutur yang digunakan adalah BM level È-B, E-E, dan E-I. Dalam tuturan ini secara konsisten menggunakan BM dengan nada suara sesuai topik kisah yang diceritakan. Mitra tutur dengan antusias mendengarkan kisah yang diceritakan dengan pandangan kepada penutur. Alih giliran tutur bebas.
6. Untuk Menyampaikan Pentingnya disiplin dan Rasa Tanggung Jawab Konteks tuturan pada situasi semi formal. Tingkat tutur yang digunakan dalam penceritaan kisah ini adalah BM level È-B. Dalam tuturan tersebut sering bralih kode dan bercampur kode ke BI dan BA. Nada tutur sesuai dengan topik dan kisah yang diceritakan. Arah pandangan partisipan tutur kepada penutur. UNUEM diberi kesempatan oleh kiai untuk menceritakan perilaku lain dari kiai yang sedang diceritakan.
374
7. Untuk
Menyampaikan
Pentingnya
Ikhlas
dalam
Beribadah
dan
Bertawadlu kepada Guru Karena kisah yang diceritakan adalah percakapan antara guru dan santri, maka tingkat tutur yang digunakan adalah È-B, E-E, dan E-I. Selain BM, KL dalam bertutur sering beralih kode dan bercampur kode ke BI dan BA. Nada suara sesuai topik dan kisah yang diceritakan. Perhatian mitra tutur kepada penutur menunjukkan keseriusan. Pada tuturan tersebut hanya KL yang bertindak sebagai narator. Penceritaan kisah ulama/kiai yang dikagumi sebagai pola dan strategi komunikasi, pada umumnya menggunakan tingkat tutur yang sesuai dengan tingkat tutur yang digunakan dalam kisah yang diceritakan dan juga menyesuaikan dengan partisipan tutur―sedangkan nada suara selalu disesuaikan dengan topik dan tujuan kisah yang diceritakan. Body language yang ditunjukkan pasrtisipan tutur menunjukkan keseriusan dan antusias perhatian yang amat tinggi dengan mengarahkan pandangan kepada penutur. Alih giliran tutur biasanya bebas, sesuai dengan kehendak narator. Kisah yang diceritakan adalah kisah guru atau ulama/kiai yang sudah dianggap guru oleh para narator.
375
BAB IX FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA KOMUNIKASI DAN IMPLIKASI TEMUAN TERHADAP PEMERTAHANAN BM
9.0 Pengantar Berdasarkan analisis data pada bab terdahulu, ditemukan bahwa pola komunikasi WNUEM di Jember
dipengaruhi oleh elemen-elemen komponen
tutur dan kompetensi komunikatif, yang saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Elemen-elemen tersebut sudah tentu tidak bisa terlepas dari aspek sosiokultural yang terjadi dalam masyarakat tutur, sehingga mempengaruhi perilaku berbahasanya. Karena itu, untuk mengetahui lebih detail bagaimana elemen-elemen komponen tutur dan kompetensi komunikatif yang berkaitan erat dengan sosiokultural dapat berpengaruh terhadap pola komunikasi, dalam bab ini akan dibahas: (9.1) Pengaruh Kultur Paternalistik; (9.2) Faktor Komponen Tutur; (9.3) Faktor Kompetensi Komunikatif; (9.4) Implikasi Temuan terhadap Pemertahanan BM.
9.1 Pengaruh Kultur Paternalistik Keunikan tradisi dan kultur WNUEM di Jember berpengaruh signifikan pada terbentuknya keunikan bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Temuan ini berarti memperkuat pernyataan Kramsch (1998, 2009), bahwa ada tiga hal yang menyebabkan bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan 376
satu sama lain: pertama, language expreses cultural reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua, language embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas budaya); dan Ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai symbol realitas budaya). Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa WNUEM merupakan refleksi dari kultur paternalistik yang didasarkan pada pengalamannya selama berada di pesantren maupun lingkungan masyarakat yang sudah lama menganut kultur pesantren. Kultur tersebut merupakan perpaduan antara nilainilai syari’at Islam dan tradisi EM, sehingga bahasanya juga mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka, sisi pandangan mereka baik ditinjau dari sisi agama maupun kultur EM. Pandangan ini dipertegas pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan bahwa setiap bahasa merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan khas. Sejumlah elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya masyarakat penuturnya. Berkaitan budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para penuturnya menunjukkan bahwa jarang sekali anggota
masyarakat atau kelompok sosial
seperti WNUEM tidak menyatakan pengalamannya―mereka juga menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa. Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium itu, yang mereka pilih untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Seperti, ketika mereka mengekspresikan kisah perilaku para masyayikh yang mereka kagumi sebagai pola dan strategi komunikasi.
Mereka selama di pesantren maupun di masyarakat mengamati
perilaku-perilaku yang dicontohkan oleh para ulama yang menjadi pola anutan 377
WNUEM (periksa Bab VIII). Hal ini dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari sepanjang hidup mereka. Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain dengan menggunakan bahasa mereka―mereka memandang bahasa mereka sebagai sebuah simbol identitas sosial mereka. Simbol-simbol bahasa yang diperlihatkan WNUEM sebagai cerminan kultur paternalistik, yakni bentuk kultural yang mencerminkan kepatuhan dan ta’dzim seorang santri kepada gurunya. Di dalam peristiwa komunikasi terdapat simbol-simbol yang dapat dicerna sebagai sesuatu yang dapat sebagai pengganti unsur komunikasi yang lain. Sebagaimana dikemukakan Larsen (1994) bahwa, “Tanda adalah suatu objek yang lainnya. Makna adalah representasi dari suatu obejek di dalam atau objek lainnya.” Tanda atau objek yang mewakili itu, dapat mewakili manifestasinya yang material sepanjang tanda yang bersangkutan dapat berisi fungsi representasional, seperti siapa berbicara dengan siapa dengan pola komunikasi tertentu, tentang apa yang akan disampaikan kepada mitra tutur dengan kode-kode tertentu, dan bagaimana orang menyandi pesan melalui gerakan, isyarat (body language) yang sudah menjadi konvensi pada kelompok tertentu. Sehingga makna yang terkandung dalam pesan dapat diinferensi dengan baik oleh mitra tutur. Konteks tuturan juga menentukan simbol-simbol dan kode-kode linguistik mana yang lazim digunakan, sehingga simbol-simbol dan kode-kode linguistik tersebut 378
dapat ditafsirkan secara benar oleh mitra tutur. Kesalahan dalam menempatkan simbol-simbol dan kode-kode sebagai unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat NUEM, dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi― bahkan akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya tersebut. WNU di Jember yang mayoritas pendukungnya EM, ditemukan memiliki keunikan tradisi dan budaya yang tercermin dalam pola-pola komunikasinya sebagai berikut; Pertama, kedudukan dan status sosial kiai di kalangan warga NU ditempatkan pada posisi yang paling terhormat, sehingga berimplikasi terhadap pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan WNUEM, kiai diposisikan sebagai kelompok yang sangat dita’dzimkan. Dalam struktur sosial maupun politik, kiai juga menempati posisi yang amat penting dan paling terhormat―pengaruhnya di masyarakat berbasis NU, peran kiai sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat. Hal tersebut ditemukan dalam fakta kebahasaan sebagai berikut: Data 70: Komunikasi kiai-UNUEM (wali santri) (A) WS
: Cabis pamator→, ka’dinto.↓ (Cabis pembicaraan, ini.) „saya mohon ijin untuk mengatakan sesuatu.‟
(B) Kiai
: Èngghi→ (Inggih: Jawa) „Ya, silahkan!‟
(C) WS
: Abdhina↓ terro mangabdiâ↓ budu’↓ è ka’dinto↓. (Hamba ingin mengabdikan anak di sini) „Hamba ingin mengabdikan anak di pesantren ini‟
(D) Kiai
: Mandhâr perna’a.→ (Semoga krasan.) 379
„Semoga kerasan di pesantren ini.‟ Frase cabis pamator 70(A) yang berarti mohon ijin untuk menyampaikan sesuatu dihadapan kiai, sebagai cerminan rasa hormat yang amat tinggi WNUEM kepada kiai. Bahkan, diikuti dengan frase terro mangabdiâ budu’ 70(C), yang berarti ingin anaknya dijadikan abdi (pesuruh) kiai. Kata abdi (pesuruh) dalam konteks WNUEM di Jember juga berarti bahwa mereka merendahkan diri dihadapan kiai yang sekaligus harus patuh selama berada di pesantren, maupun natinya setelah pulung ke masyarakat. Begitu pula, kata budu’ yang biasanya dalam BM digunakan untuk panggilan anak binatang sengaja digunakan UNUEM untuk merendahkan diri sebagai abdi dihadapan seorang kiai. Hal tersebut dilakukan karena UNUEM menganggap bahwa kedudukan atau status sosial kiai jauh lebih tinggi. Bagi UNUEM pengabdian kepada seorang guru (kiai) lebih dari hanya sekedar menimba ilmu, karena menjadi abdi sekaligus memiliki pengertian mempelajari ilmu agama maupun ilmu tèngka.
Analisis komponen tutur:
Topik: Memasrahkan anaknya untuk menuntut ilmu di pesantren.
Tujuan tutur: Memohon ijin agar anaknya bisa menjadi santri/abdi di pesantren Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Ruang terima tamu wali santri dengan suasana tuturan tidak formal, tapi serius. 380
Nada tutur: Nada tutur UNUEM lebih rendah dari nada tutur kiai, sebagai bentuk hormat kepada lawan tutur yang dianggap status sosialnya lebih tinggi.
Peserta tutur: P1: Kiai, P2: UNUEM (walai santri)
Bentuk pesan: Percakapan serah terima antara pengasuh pesantren dan wali santri.
Urutan tindak: P1 mempersilahkan P2 untuk masuk ke ruang yang telah disediakan P1 menanyakan tempat tinggal P2 P2 menjawab P1 bercerita tentang suasana di pesantren dan masyarakat. P2 mohon ijin berbicara P1 dan P2 terlibat dalam pembicaraan inti.
Norma interaksi dan interpretasi: Tingginya strata sosial kiai juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa UNUEM yang selalu menundukkan kepala ketika berkomunikasi dengan kiai dan berusaha untuk tidak menatap selera (muka) kiai. Menatap selera kiai dalam pandangan WNUEM termasuk cangkolang dan jika dilakukan, dapat dikatakan tidak punya sopan santun atau tatakrama. Dalam berbahasa verbal, WNUEM selalu berusaha mengatur tekanan suaranya, agar lebih rendah dari suara kiai, sehingga dalam percakapan tersebut tampak tekanan suara kiai cenderung lebih tinggi dari suara UNUEM. Begitu pula dalam penggunaan tingkat tutur (ondaghân bhâsa/speech level), UNUEM menggunakan tingkat tutur yang paling tinggi yaitu BAl dan È-B, sedangkan kiai menggunakan speech level madya (E-E) atau 381
ngoko (E-I). Pola komunikasi yang terlihat dari tekanan suara, body language, dan penggunaaan tingkat tutur tersebut, sebagai implikasi rasa ta’dzim UNUEM kepada kiai sebagai gurunya. Hal tersebut, seiring dengan pernyataan ustad Mudarris seorang informan yang sering terlibat dalam jam’iyah NU, bahwa “Tidak bisa menjadi kafir orang yang mengerjakan ma’shiyat dan bisa menjadi kafir orang yang meninggalkan hormat kepada guru”. Selanjutnya Ustadz Mudarris menyitir hadits Rasulullah saw. yang berbunyi: “Barang siapa yang meremehkan guru, maka oleh Allah akan diberi tiga balasan: (1) lupa kepada sesuatu (ilmu) yang sudah diketahui; (2) lisannya tumpul (tidak dipercaya orang), walaupun ilmunya tinggi; dan (3) fakir diakhir hayatnya (Fakir ilmu/fakir harta). Pendapat yang diambil dari kitab ta’limul mutaallim dan hadits Rasul tersebut mengindikasikan betapa pentingnya hormat kepada guru, sehingga di kalangan NU perbuatan ta’dzim kepada guru menjadi kajian dan kebiasaan yang sangat dianjurkan. Kedua, Ketaatan WNUEM kepada kiai yang dianggap guru dalam segala hal sebagai cerminan kultur paternalistik, yang sudah mengakar`di kalangan WNU―sejak mereka di tempa di pesantren. Di dalam dunia pesantren yang berhaluan NU otoritas kiai bersifat mutlak. Tunduk dan patuh kepada kiai sebagai guru dan pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren. Hal tersebut tercermin dalam komunikasi antara ummat NU (sebagai alumni yang sudah lama pulang di masyarakat) dengan seorang kiai (gurunya). Data 71: Komunikasi Kiai-UNUEM mantan santrinya (A) KKh
: Jhi↑, tada ’ acara ?↑ (Ji, dak ada acara ?) „Ji, apakah tidak ada acara ?‟
382
(B) HZnl : Abdina↓ è pakon ngirèng ummi pokol sanga’↓, gella’ pokol pètto’ sè makon↓, tergantung ka padhâna↓, ka’dinto↓. (Hamba disuruh dibelakang ummi pukul sembilan, tadi jam tujuh yang nyuruh, tergantung ke paduka, ini.) „Hamba disuruh mengantarkan ummi pada pukul sembilan, tadi pada pukul tujuh beliau menyuruh saya, tapi hal ini semua saya pasrahkan kepada kiai.‟ (C) KKh
: Mon dâ’ento↓ ngèrèng ummina kadâ’→, mon marè nèlpon ka bulâ, pola ami’ gi’ ta’ jhâlân→. (Kalau begitu dibelakang umminya dulu, kalau selesai telpon ke saya, mungkin saja belum jalan.) „Kalau begitu antarkan umminya saja dulu, kalau sudah di rumah telpon saya, siapa tahu saya belum berangkat.‟
Pada tuturan di atas, HZnl selaku UNUEM yang pernah mengabdi di pesantren merasa tidak patut untuk menolak ajakan guru, tetapi juga merasa tidak mungkin untuk mengabaikan kewajiban kepada orang tua. HZnl berpandangan bahwa “kedudukan orèng seppo sami sareng guru, orèng seppo sè ngalaèraghi tor marajâ, sedangkan guru sematao pasèra orèng seppo” „Kedudukan guru itu sama dengan orang tua―orang tua yang melahirkan dan membesarkan, sedangkan guru adalah orang yang berjasa mengenalkan siapa orang tua.‟ Orang tua yang telah merawat dan mengasihi kita semenjak kecil, sedangkan guru telah berjasa mentransfer ilmu, sehingga seseorang tahu bagaimana berbakti kepada Allah, rasul, dan kedua orang tuanya―bahkan bisa berguna bagi lingkungannya. Pandangan ini menyebabkan begitu patuhnya UNUEM kepada kiai yang merupakan guru, yang jasanya disamakan dengan orang tua. Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan ustadz Makhrus bahwa orang tua itu ada tiga: pertama, orang yang melahirkan; kedua, orang yang mengawinkan (mertua); ketiga, orang yang mengajarkan ilmu (guru). Dari ketiga orang tua tersebut, yang 383
paling utama adalah yang ketiga yakni guru. Ini berarti bahwa hormat kepada guru paling utama dalam pandangan WNU, karena guru yang telah membuka mata seseorang menjadi tahu siapa Allah, rasul, dan kedua orang tuanya.
Analisis komponen tutur
Topik: Berbakti kepada orang tua dan guru
Tujuan tutur: Menyampaikan penolakan yang halus terhadap ajakan guru Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Di rumah masing-masing dalam suasana tidak formal. Pecakapan dilakukan melalui telepon
Nada tutur: UNUEM berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai.
Peserta tutur: P1: Kiai; P2: UNUEM (mantan santri)
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi serius
Urutan tindak: P1: memanggil P2 via HP P2: mengangkat HP P1 dan P2 terlibat percakapan. 384
Norma interaksi dan interpretasi: Kepatuhan ummat kepada kiai tercermin dalam tuturannya pada data 71 (B), yang menyatakan bahwa Abdina è pakon ngirèng ummi „Saya disuruh mengantarkan ummi‟. Tuturan tersebut sebenarnya sebagai bentuk penolakan yang sangat halus dan tidak langsung kepada kiai. Sebab, dengan mengatakan disuruh orang tua, kiai akan menyuruh untuk mendahulukan apa yang diperintahkan orang tua seperti pada tuturan kiai data 71(C) Mon dâ’ento ngèrèng ummina kadâ’ „Kalau begitu antarkan ummi saja dulu.‟ Dengan demikian, pola komunikasi yang merupakan bagian dari strategi komunikasi yang disampaikan P2 sebagai partisipan tutur, telah berhasil menyatakan penolakannya tanpa menyinggung perasaan kiai sebagai guru. Figur kiai yang tentunya menginginkan santrinya bisa
birrul walidain „berbuat baik kepada orang tua‟ juga
tampak dalam tuturan tersebut. Untuk tidak mengurangi rasa patuhnya kepada kiai, HZnl menyerahkan sepenuhnya apa yang seharusnya dilakukannya berkaitan dengan dua fenomena yang kedua-duanya amat penting dengan meneruskan tuturan tergantung ka padhânah ka’dintoh „tapi semua saya pasrahkan pada paduka.‟ Tuturan ini mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan WNUEM kepada kiai yang dianggap sebagai guru amat tinggi. Pada tuturan tersebut, P2 menggunakan BAl. Hal tersebut dapat dilihat dari kosa kode yang digunakan pada tuturan 71(B) abdina „hamba‟ èpakon ngirèng „disuruh mengantarkan‟ padhâna „paduka‟
ka’dinto „ini‟, yang merupakan kosa kode BM level BAl .
Sedangkan Kiai menggunakan BM level E-I bercampur kode Eg-E. Penggunaan tingkat tutur tersebut, dapat dilihat dari kosa kode yang digunakan dalam bertutur, yakni tadâ’ „tidak ada‟ (kosa kode BM level EI); mon dâ’ento „kalau begitu‟ bulâ „saya‟ ( kosa kode BM Level Eg-E). Bagi WNUEM kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan agama masih ditempatkan di bawah kedudukan
mengabdi kepada orang tua dan guru.
Hal ini tercermin dalam pola-pola komunkasinya pada tuturan berikut ini: 385
Data 72 : Percakapan via telpon malam hari (A) KKh
: Jhi↑, bâdâ acara?↑ (Ji, ada acara?) „Ji, apa ada acara?‟
(B) HZ
: Anu↓, bâdhi ngater orèng nyetor hajiân↓, tapè ka’dinto tersera ka padhâna.↓ (Anu, akan ngantarkan orang setor hajian, tapi ini terserah ke paduka) „Aa, akan mengantarkan orang mau menyetor uang haji, tapi semua terserah kepada paduka‟
(C) KKh : Èngghi→, coba’ mi’ bisa ètunda→, kabâlâ dhika è yajhâg bulâ↓. (Ya, coba kali bisa ditunda, katakan sampean diajak saya) „Ya, coba barangkali bisa ditunda, katakan anda diajak saya‟ (D) HZ
: Èngghi↓, ècoba’a↓ pola amè’ bisa ètunda↓. (Ya, akan dicoba, kali bisa ditunda.) „Ya, saya akan mencoba, barangkali bisa ditunda.‟
Percakapan pada data (72) di atas, menggambarkan bahwa kedudukan membantu orang lain untuk kepentingan agama di bawah kepentingan mengabdi kepada guru dan orang tua, sehingga tampak tidak mutlak harus dilakukan pada saat itu. Hal ini tercermin dalam tuturan kiai Èngghi, coba’ mi’ bisa ètunda, kabala dhika è yajâg bhulâ. „Ya, coba barangkali bisa ditunda, katakan saja anda diajak saya.‟ Kalimat seruan tersebut mengindikasikan bahwa kepentingan membantu orang lain masih bisa diabaikan sesuai tingkat urgensinya. Ini berarti pula, bahwa sebenarnya kepatuhan kepada orang tua dan guru dalam pandangan WNUEM di Jember di atas yang lain. Apalagi kepentingan itu bersifat individu, maka WNUEM akan langsung menyatakan kesediaannya, jika diminta bantuan oleh kiai. Namun demikian kiai sebagai seorang yang paham agama tidak otoriter 386
dalam menyuruh para mantan santrinya yang ada di masyarakat, seperti tergambar dalam data percakapan berikut: Data 73: (A) KS
: Lagghu’↑, dhika↑ ada’ acara ji?↑ (Besok, dhika tidak ada acara ji? „Besok, sampean tidak ada acara Ji?‟
(B) HZl
: Sobung↓, ka’dinto.↓ (tidak ada, ini) „tidak ada‟
(C) KS
: Bisa kol sanga’↑ lagghu’ ka kaento?↑ (Bisa pukul sembilan besok kesini) „Besok pukul sembilan pagi, apa bisa datang kesini?‟
(D) HZ
: InsyaAllah.↓ „InsyaAllah‟
Kalimat pertanyaan Lagghu’ dhika ada’ acara jhi? ‘Besok anda tidak ada acara Jhi?‟ pada data 73(A) sebagai bentuk penghargaan terhadap otoritas orang lain. Frasa Sobung, ka’dinto „tidak ada, ini‟ 73(B), merupakan jawaban terhadap pertanyaan kiai bahwa besok tidak ada acara. Kata ka’dinto dalam tuturan di atas, berfungsi sebagai bentuk penghalusan tuturan. Dengan jawaban tersebut, kiai seharusnya bisa langsung memerintah „datang ke rumah besok!‟. Namun sebagai orang yang bijak dan tidak otoriter kiai memerintah dengan kalimat pertanyaan berikut Bisa kol sanga’ lagghu’ ka ka’ento? „Besok pukul sembilan pagi bisa ke sini?‟. Kalimat pertanyaan tersebut sebenarnya berfungsi sebagai kalimat perintah, karena kiai sudah tahu bahwa HZnl esok harinya benar-benar tidak ada acara. Ini menunjukkan bahwa, kiai tidak menggunakan otoritasnya sebagai guru dalam meminta bantuan kepada UNUEM mantan santrinya. 387
Analisis komponen tutur
Tujuan tutur: Meminta UNUEM (mantan santri) untuk datang di dhâlem kiai Situasi „tempat dan suasana tutur‟: Di rumah masing-masing, karena percakapan via HP.
Nada tutur: Nada tutur dalam percakapan ini santai tapi formal, karena itu, nada tutur santri tetap lebih rendah dari nada tutur kiai.
Peserta tutur: P1: Kiai, P2: UNUEM (mantan santri)
Sarana tuturan: Bahasa verbal dengan menggunakan HP, sehingga tidak tampak bahasa nonverbal (body language)―karena masing-masing peserta tutur berada pada tempat yang berjauhan.
Bentuk pesan: Percakapan santai, tapi serius―karena partisipan tutur adalah kiai-santri.
Urutan tindak: P1 memanggil P2 via HP P2 menerima telepon dari P1 P1 dan P2 terlibat dalam percakapan
Norma interaksi dan interpretasi:
388
Dalam pembicaraan yang menggunakan telepon sebagai alat komunikasi, rasa ta’dzim kepada kiai hanya bisa ditunjukkan melalui tekanan sura (tone) dan penggunaan ondâghan bhâsa (speech level) yang digunakan kiai-ummat. Dalam percakapan tersebut santri tetap berusaha untuk merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Begitu pula dalam berbhâsa, UNUEM berusaha menggunakan bahasa yang lebih halus dibandingkan dengan bahasa yang digunakan kiai. Hal itu sebagai bukti rasa ta’dzim santri kepada seorang gurunya.
Ketiga, kehadiran ulama/kiai dalam peristiwa tutur dapat mengantisipasi terjadinya tuturan yang dapat menimbulkan konflik di kalangan ummat―karena dengan hadirnya sosok kiai yang dita’dzimkan dan ditaati, maka peristiwa tutur yang memperhatikan politeness principle, akan terjaga seperti telihat pada data (70). Akan tetapi sebaliknya,
jika dalam suatu peristiwa komunikasi
antarUNUEM tidak melibatkan kiai/ulama, maka sering terjadi adu argumentasi yang dapat memicu terjadi konflik antarpartisipan tutur (periksa, BAB VII, 7.6). Keempat, Sebagai strategi komunikasi di kalangan WNUEM, penceritaan kiai yang dikagumi dalam peritiwa tutur sebagai bentuk pola komunikasi. Sebagai gaya retorik tidak langsung cerita kiai yang dikagumi dalam peristiwa komunikasi dapat membangkitkan perhatian partisipan tutur unatuk menyimak secara seksama topik dan tujuan tutur yang disampaikan penutur (periksa, BAB VIII).
9.2 Faktor Komponen Tutur Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa pola komunikasi yang terbentuk di kalangan WNUEM di Jember dipengaruhi oleh sejumlah komponen tutur baik yang dikemukakan Hymes (1972), Saville & Troika (2003)
dan 389
Poedjosoedarmo (1978). Komponen-komponen tutur tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana
komponen tutur tersebut mempengaruhi pola komunikasi dan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dapat dideskripsikan sebagai berikut:
9.2.1 Setting (Situasi ) ‘tempat dan suasana tutur’ Situasi tuturan, tempat, suasana, dan waktu tuturan terjadi berkaitan erat dengan konteks tuturan. Konteks sangat berpengaruh terhadap terjadinya peristiwa tutur. Tuturan yang terjadi di tempat-tempat formal seperti di dhâlem kiai, langgar, dan masjid berbeda dengan konteks tuturan yang terjadi di pasar, di jalan, dsb. Tuturan yang terjadi di tempat-tempat formal akan memungkinkan terjadinya tuturan serius, sebaliknya tuturan yang terjadi di tempat-tempat santai akan memungkinkan terjadinya obrolan santai. Menurut Rahardi (2001) suasana tutur berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan. Suasana tutur dapat juga digunakan untuk menunjuk batasan kultural dari tempat terjadinya tuturan tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa tempat tutur (setting) berbeda dengan suasana tutur (scenes)―karena yang pertama (setting) merujuk kepada kondisi fisik tuturan, sedangkan yang kedua (scenes) merujuk pada kondisi psikologis dan batasan kultural sebuah tuturan. Dimungkinkan pula, bagi seorang penutur untuk beralih dari kode yang satu ke kode yang lain dalam suasana tertentu di tempat (setting) yang sama. Dalam petuturan yang terjadi di Masjid misalnya, seseorag akan beralih kode dan bercampur kode dari BM ke kosa kode BI dan BA, ketika 390
segera diketahui bahwa ternyata partsipan tutur yang ada di tempat itu adalah sesama ummat NU lulusan pesantren dan kalangan terpelajar. Dengan demikian dapat dikatakan tempat, suasana, dan waktu terjadinya tuturan masih tergantung pada komponen tutur yang lain seperti partisipan tutur, topik tuturan, jenis tuturan, dan tujuan tutur.
9.2.2 Participant ‘Peserta Tutur’ Peserta tutur dalam komunikasi yang melibatkan WNUEM, kedudukan dan peran partisipan tutur amat penting diketahui. Kaitannya dengan komponen partisipan tutur, ada beberapa variabel yang dapat mempengaruhi pola komunikasi yang digunakan oleh WNUEM, antara lain: (1) variabel sosial; (2) psikologis; dan (3) kultur pesantren yang merupakan embrio WNUEM. Variabel sosial yang mempengaruhi pola komunikasi di kalangan komunitas WNUEM di Jember dalam berkomunikasi adalah: Perbedaan status sosial yang dipengaruhi kedudukan dan peran sebagai guru-santri, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, tingkat keeratan hubungan, dan jenis kelamin; Variabel psikologis yang menentukan pola komunikasi antara lain: perasaan enak dan kurang enak, yang juga disertai perasaan takut. Sedangkan variabel kultur yang mempengaruhi pola komunikasi adalah perasaan ingin bertawadlu’ dan berta’dzim kepada guru yang merupakan faktor tradisi dan budaya yang sudah lama menjadi konvensi di kalangan WNUEM. Dilihat dari perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur, penelitian ini menemukan bahwa pola komunikasi WNUEM dalam berkomunikasi secara konsisten dipengaruhi oleh siapa penutur dan siapa pihak 391
kedua yang menjadi mitra tutur serta kehadiran orang ketiga baik sebagai partisipan tutur aktif maupun pasif (hearer). Status sosial penutur dan mitra yang disebabkan adanya ikatan guru-santri merupakan faktor dominan yang mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi. Pola komunikasi yang digunakan antarkiai, kiai-ummat, yang berlatar belakang guru-santri, berbeda dengan pola komunikasi yang tanpa adanya hubungan guru-santri. WNUEM yang berasal dari kalangan santri (ummat) kepada kiai selalu menggunakan pola komunikasi yang cenderung mempertahankan rasa tawadlu’ dan ta’dzim kepada guru, yakni dengan menggunakan BAl dan BM tingkat
tutur level yang paling tinggi yakni È-
B―nada suara (tone) yang lebih rendah dari nada tutur kiai, alih giliran tutur yang tidak mendahului kiai, menundukkan pandangannya, dan jarak tertentu yang sudah menjadi norma dalam masyarakat WNUEM. Dari variabel psikologi ditemukan bahwa ummat sebagai santri kadangkadang merasa enak dan kurang enak, perasaan takut yang berlebihan dalam berkomunikasi―sehingga menimbulkan pola komunikasi yang cenderung lebih berhati-hati, agar tujuan tutur yang akan disampaikan tidak menimbulkan rasa cangkolang kepada kiai sebagai orang yang dipatuhi dan dita’dzimkan. Dengan pola komunikasi yang mencermati kedudukan dan status sosial para partispan tutur―penolakan, permintaan, dan bahkan suatu perintah bisa menjadi lumrah dilakukan, tanpa membuat perasaan tidak enak bagi partisipan tutur. Dilihat dari sisi kiai sebagai orang yang dimuliakan, juga lebih berhati-hati agar santri yang sudah lama mendapat pembelajaran ilmu tèngka di pesantren tidak dikotori dengan kesalahpahaman dalam berkomunikasi. 392
Penelitian ini juga menemukan bahwa variabel kultur yang dapat mempengaruhi pola komunikasi adalah faktor tradisi yang sudah lama dipertahankan di dalam organisasi NU yang kental dengan kehidupan pesantren. Di kalangan NU masih mempertahankan kultur paternalistik yang dapat mengikat WNUEM selalu menjunjung tinggi kepatahun ummat kepada kiai selaku guru yang dicerminkan dengan rasa tawadlu’ dan ta’dzim. Sebagai implimentasi rasa tawadlu’ dan ta’dzim tersebut,
UNUEM selalu bersuara dengan tone lebih
rendah, dan menundukkan pandangannya, ketika berkomunikasi dengan kiai― sedangkan kiai lebih santai dalam situasi petuturan dengan menggunakan nada suara yang lebih tinggi ketimbang suara ummat dan pandangan kepada lawan tutur.
9.2.3 End/function/purpose ‘Tujuan Tutur’ Tujuan tutur selalu berbeda-beda dalam peristiwa komunikasi. Dalam peristiwa komunikasi yang melibatkan WNUEM, tujuan tutur juga berbeda-beda yaitu, bertanya, menyampaikan informasi, meminta penjelasan tentang suatu hal, meminta sesuatu, mengajak, merayu, marah, dsb. Dalam menyampaikan tujuan tutur ini, di samping melihat pada tujuan di atas, tentu penutur harus melihat komponen yang lain―siapa partisipan tuturnya, nada tutur yang pantas untuk tujuan tertentu, jenis tuturannya apa, bagaimana alih giliran tuturnya (act sequence), sarana yang digunkan apa, dan bagaimana norma-norma yang dipakai. Misalnya, ketika sesorang ummat akan memasrahkan anaknya kepada kiai untuk menjadi abdi di pesantren, maka untuk memulai percakapan, akan mengatakan 393
sesuatu, mengalihkan topik pembicaraan, atau mendahului giliran tutur kepada kiai didahului dengan frasa cabis pamator atau cangkolang pamator dengan nada tutur yang lebih rendah dari nada kiai, dan menundukkan kepala sebagai sebagai bentuk rasa ta’dzim yang ditunjukkan dengan bahasa nonverbal. Perilaku berbahasa tersebut sebagai bentuk implementasi norma interaksi dan interpretasi yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat NUEM. Ini menunjukkan bahwa komponen tujuan tutur “end” tidak bisa terlepas dari komponen tutur yang lain.
9.2.4 Act sequence ‘Urutan Tindak’ Urutan tindak dalam masayarakat NUEM menjadi norma yang amat penting, khususnya yang terkait dengan alih giliran tutur. Alih giliran tutur dalam masyarakat NUEM didasarkan pada urutan partisipan tutur menyangkut status sosial, (kedudukan, peran, dan jabatan), tingkat formalitas hubungan, umur, dan jenis kelamin. Urutan-urutan tersebut dapat dilanggar, jika diantara partisipan tutur memiliki tujuan tutur yang amat penting untuk disampaikan dengan menggunakan kode tutur cangkolang pamator. Dengan nada tutur yang rendah yang disertai dengan gaya nonverbal menundukkan kepala, frasa cangkolang pamator
juga dapat
merubah setting dan suasana tuturan menjadi
harmonis―tidak terkesan melangkahi partisipan tutur lain, ditinjau dari faktor status sosial, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, dan jenis kelamin. Ini juga berarti bahwa komponen tutur act sequnce memiliki keterkaitan dengan komponen tutur yang lain.
394
9.2.5 Key (kunci) ‘nada tutur’ Nada tutur juga ditentukan oleh komponen tutur yang lain, yaitu tujuan tutur, jenis tuturan, sarana tutur, tempat dan suasana, norma, dan partisipan tutur. Komponen-komponen tersebut dapat mepengaruhi tuturan yang dapat menunjuk kepada nada serius (formal), santai, tegang, marah, lembut, dan sebagainya. Misalnya, UNUEM yang sedang bertutur dengan
kiai akan selalu dengan nada
tutur yang rendah, seirus, dan bisa tegang; begitu pula, ketika seseorang menginkan sesuatu dari orang lain pasti dengan jenis dan tujuan tuturan rayuan, yang demikian ini tentu dengan nada yang lambut. Seorang kiai dalam berceramah yang mengisahkan kepemimpinan khalifah umar, dapat dipastikan dengan nada suara keras dan berapi-api. Tetapi ketika menceritakan khalifah abu Bakar tentunya lebih tepat dengan suaru yang lemah lembut. Manurut pendapat Rahardi (2001), nada tutur dapat dibedakan menjadi nada tutur yang sifatnya verbal dan nonverbal. Nada tutur verbal dapat berupa nada, cara, dan motivasi yang menunjuk pada situasi dan kondisi serius, santai, formal, lembut, kasar, marah, seperti yang telah dipaparkan di atas. Adapun nada tutur nonverbal dapat berupa tindakan yang bersifat para linguistik yang diperlihatkan dengan berbagai macam bahasa tubuh (body language), kial (gesture), dan juga jarak antarpenutur dan lawan tutur. Bahasa nonverbal ini sangat penting perannya dalam mendukung nada tutur yang bersifat verbal. Bahkan dalam masyarakat tutur Madura, bahasa nonverbal ini dipakai sebagai salah satu parameter tatakrama dari seseorang. Orang yang sedang bertutur menunjuk dengan tangan kiri kepada mitra tutur diindikasikan sebagai orang yang tidak memiliki sopan santun. Demikian pula 395
seseorang yang bertutur dengan mitra tutur yang bersatus sosial lebih tinggi seperti ummat kepada kiai, santri kepada guru, menantu kepada mertua dengan memandang kepada selara (wajah), dapat juga dikatakan sebagai orang yang tidak memiliki rasa ta’dzim.
9.2.6 Instrumentalis ‘sarana tutur’ Sarana tutur merupakan alat utama yang digunakan penutur dalam mengekspresikan tuturannya. Sarana tersebut dapat berupa saluran verbal dan nonverbal. Dalam masyarakat tutur NUEM saluran verbal dan nonverbal hampir merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam komunikasi yang melibatkan WNUEM kedua saluran tersebut sering diperagakan secara bersamasama. Penggunaan saluran tutur tersebut berkaitan erat dengan komponen partisipan tutur, tujuan tutur, suasana dan tempat tuturan, nada tutur, jenis tuturan, dan norma-norma tutur. WNUEM akan menggunakan tuturan dengan bahasa verbal Ngèrèng èyatorè ! „mari dipersilahkan‟ seraya menunjuk dengan ibu jari kepada sesuatu yang dipersilahkan untuk para tamu yang menjadi partisipan tutur. Seorang ustad akan menggunakan suara yang lebih keras dalam ceramah yang melibatkan orang banyak seraya mengacung-acungkan tangannya. Bahkan dengan massa yang tergolong besar seperti pengajian akbar pengeras suara dibutuhkan untuk membantu menyampaikan informasi pada saluran verbal dan LCD digunakan untuk membantu dalam mengekspresikan bahasa nonverbal. Tujuan tutur juga berpengaruh terhadap pemakaian sarana tutur, misalnya ketika orang
396
akan melakukan janji, maka sarana tutur lisan dan sms melalui HP sering menjadi pilihan yang lebih praktis.
9.2.6 Norm of interactionand and
interpretation ‘Norma interaksi dan
interpretasi’ Dalam masyarakat tutur WNUEM, norma interaksi dan norma interpretasi sangat menjadi perhatian―dan bahkan menjadi suatu keharusan untuk dilakukankan dalam suatu tuturan. Pelanggaran terhadap norma-norma tutur akan menjadi cercaan sebagai orang yang tidak tahu bertatakrama/bersopan santun. Perhatian terhadap norma-norama ini, didasarkan kepada komponen tutur yang lain yaitu, partisipan tutur, tujuan tutur, tempat dan suasana tuturan, jenis tuturan, sarana tutur, dan sebagainya. Misalnya, UNUEM tidak boleh mendahului kiai dalam bertutur; Dalam situasi formal menggunakan tingkat tutur BM level È-B; Tuturan yang bersifat permohonan bisanya dilkukan dengan nada tutur yang rendah dan lemah lembut; Dalam menyampaikan khutbah seorang kiai selalu menggunakan sarana lisan yang dibantu dengan pengeras suara dan bahasa tubuh (body language). Menurut Rahardi (2001), norma interaksi merujuk kepada halhal yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Sebagai contoh dalam masyarakat NUEM, alih giliran tutur ditentukan oleh kedudukan dan status sosial, umur, dan jenis kelamin―ummat tidak wajar jika berbicara mendahului kiai tanpa diminta. Seorang ummat berbicara mendahului kiai dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma. Di dalam masyarakat tutur WNUEM juga tidak lumrah nada suara ummat lebih tinggi dari 397
nada suara kiai atau nada suara anak lebih tinggi dari nada suara orang tua―jika dilakukan, hal itu juga dianggap melanggar norma. Lebih lanjut menurut Rahardi (2001), norma interpretasi masih memungkinkan adanya pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi yang berbeda terhadap mitra tutur, khususnya manakala ada yang terlibat dalam tuturan tersebut adalah komunitas
tutur
yang
berbeda
(outsider).
Selanjutnya
Rahardi
(2001)
mengemukakan contoh dari Graves yang dikemukakan (Gumperz) bahwa para mahasiswa Amerika berbeda dengan para mahasiswa Arab dalam hal norma interpretasi. Para mahasiswa Arab lebih sering melakukan pertentangan dan pertengkaran yang dilakukan dengan berhadapan muka. Namun demikian, mereka juga lebih sering duduk berdampingan antara yang satu dengan yang lainnya. Para mahasiswa Arab juga cenderung berbicara dengan suara yang lebih keras dari pada mahasiswa Amerika. Dalam tradisi NU mencium tangan kiai merupakan hal yang biasa dan bahkan sudah menjadi tradisi sebagai bentuk ta’dzim (politeness) santri kepada guru. Bagi organisasi sosial keagamaan yang lain, seperti Muhammadiyah tidak biasa dilakukan, bahkan
bisa dianggap
sebagai
pengkultusan. Akhirnya, dapat pula dikatakan bahwa norma interaksi dan interpretasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sistem kepercayaan dan nilai masyarakat tutur. UNUEM percaya bahwa kiai merupakan sumber ilmu yang dapat disamakan kedudukannya dengan guru―bankan karena fungsi sebagai penerus risalah para nabi, maka para ulama disebut Al-Ulama waratsatul anbiya (Ulama itu penerus para nabi). Oleh karena itu, para kiai cenderung dihargai dan dita’dzimkan dalam berkomunikasi. Bertutur kepada lawan tutur sesama ummat 398
dengan pola komunikasi yang sama seperti kepada kiai, dapat diinterpretasikan yang berbeda―dapat dianggap sebagai guyonan atau bahkan ejekan. Hal demikian, dapatlah digunakan sebagai indikator bahwa norma interaksi
dan
interpretasi dalam suatu masyarakat tutur, pastilah tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan, nilai, dan adat istiadat yang terdapat dan berlaku dalam masyarakat tutur tersebut.
9.2.7 Genres/message form ‘Jenis Tuturan’ Jenis tutur menurut Hymes (dalam Saville-Troike, 2003) merupakan jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan, yakni menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan sebagainya. Jenis tutur yang berbeda, akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur itu. Orang becerita, tentu akan menggunakan kode yang berbeda dengan kode orang yang sedang berpidato. Kode yang digunakan dalam percakapan akan berbeda dengan kode tutur yang digunakan dalam pidato dan bercerita. Dalam masyarakat NUEM cerita tentang orang yang dikagumi seperti kiai, para wali, sering digunakan sebagai strategi komunikasi dalam percakapan maupun cermah (pidato). Jenis tutur yang terjadi dalam peristiwa tutur juga tidak dapat terlepas dari komponen tutur yang lain, yaitu setting dan suasana tutur, partisipan tutur, tujuan tutur, nada tutur, alih giliran tutur, dan norma-norma yang telah menjadi konvensi di dalam masyarakat tutur, misalnya seseorang yang bertutur dalam setting dan suasana yang tidak formal tidak bisa menggunakan jenis tuturan pidato. Bagitu pula, dalam memberi wasiat kepada partisipan yang sangat banyak jumlahnya dan situasinya formal 399
tidak bisa menggunakan model tuturan percakapan. Hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap nada tutur yang digunakan, urutan tindak, topik, sarana tutur yang digunakan, dan norma-norma dalam masyarakat tutur tersebut. Hal demikian, dapat digunakan sebagai bukti bahwa komponen tutur genre „jenis tutur‟ juga saling terkait dengan komponen tutur yang lain.
9.2.8 Kisah Ulama yang dikagumi Penelitian ini juga menemukan temuan baru, bahwa dalam peristiwa tutur dengan partisipan tutur WNUEM, sering menceritakan kisah ulama yang dikagumi seperti kiai, imam arba’, (Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi‟i) dan para wali sebagai pola dan strategi komunikasi untuk mencapai tujuan tutur. Dengan demikian, hadirnya orang ketiga sebagai bahan cerita dalam peristiwa tutur dapat dimasukkan dalam salah satu komponen tutur, karena sangat berkaitan erat dengan komponen tutur yang lain, seperti: partisipan tutur, tujuan tutur, jenis tuturan, nada tutur, dsb. Seseorang tidak akan menggunakan cerita orang ketiga yang dikagumi, jika partisipan tuturnya bukan warga NU; Hanya tujuan tutur tertentu yang dapat menggunakan cerita orang ketiga yang dikagumi; bercerita termasuk jenis tuturan yang berbentuk dongeng, sehingga pilihan nada tutur disesuaikan tone dongeng. Penjelasan terebut sebagai bukti bahwa penceritaan kisah ulama yang dikagumi sebagai komponen tutur yang bisa disandingkan dengan komponen tutur yang lain. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pola-pola komunikasi yang digunakan oleh komunitas WNUEM di Jember, secara umum 400
dipengaruhi komponen tutur yang terkait dengan (1) variabel sosial; (2) psikologis; dan (3) kultur paternalistik. Jika temuan ini dikaitkan dengan Teori Komponen Tutur yang dkemukakan oleh Hymes (1975) dan pengikutpengikutnya. Relevansi temuan penelitian dengan teori komponen tutur dapat dijelaskan sebagai berikut. Hymes (1975) mengemukakan bahwa penggunaan varian bahasa ditentukan oleh komponen tutur. Komponen tutur yang yang mengikat penggunaan bahasa antara lain komponen partisipan tutur (siapa penutur dan siapa mitra tutur) berperan dalam menentukan pilihan kode bahasa yang digunakan, karena kebanyakan lingkungan masyarakat tutur (speech community) menurut Hymes membedakan tipe-tipe dan jenis-jenis kode yang tepat digunakan dalam hubungan peran tertentu. Adapun status sosial, umur, tingkat formalitas hubungan, dan jenis kelamin penutur dan mitra tutur mempengaruhi dan berperan dalam menetukan pola komunikasi yang dalam penelitian ini meliputi kode dan alih kode, pilihan bahasa yang digunakan, penggunaan ondâghan bhâsa (speech level), alih giliran tutur, penggunaan nada tutur, dan bahasa nonverbal (body language). Teori tersebut relevan dengan fenomena yang ditemukan dalam penelitian ini. Dikaitkan dengan pernyataan Holmes (1997), Wibisono (2005) yang menyebutkan bahwa pola komunikasi antara lain terikat dengan partisipan tutur. Pernyataan tersebut benar adanya. Demkian pula pernyataan Ervin-Tripp dalam Wibisono (2005) yang menyebutkan bahwa penyebab pilihan bahasa seseorang adalah partisipan interaksi. Pendapat tersebut relevan dengan fakta yang 401
ditemukan dalam penelitian ini. Demikian pula penyataan Groesjen (1982) yang mengemukakan bahwa pilihan bahasa terikat oleh partisipan tutur, terdukung oleh temuan penelitian ini. Temuan penelitian ini juga mempertegas pernyataan bahwa pola komunikasi seseorang terkait dan ditentukan oleh komponen tutur, terutama adalah komponen partisipan tutur yaitu penutur dan mitra tutur. Dimensi sosial manusia yang terlibat dalam komunikasi, baik dimensi horisontal (solidarity), yaitu menyangkut hubungan penutur dan mitra tutur, maupun dimensi vertikal (power), yakni berkaitan dengan masalah umur, status sosial, tingkat formalitas hubungan, tingkat keeratan dan semacamnya menentukan pola komunikasi. Di samping ditentukan oleh partisipan tutur, penelitian ini menemukan bahwa koponen topik dan situasi tutur juga mempengaruhi kode bahasa yang digunakan, karena topik dan situasi yang mengacu kepada pengertian berkomunikasi tentang apa dan dalam situasi bagaimana, berperan dalam menentukan pilihan kode bahasa, sehingga terjadilah pola komunikasi. Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa disamping komponen partisipan tutur, situasi tutur, tujuan tutur, topik tutur, dan lainnya yang tertera dalam „SPEAKING grid‟ juga berperan dalam menentukan terbentuknya pola komunkasi. Temuan tersebut relevan dengan teori komponen tutur. Dengan demikian, temuan penelitian ini meperkuat pendapat bahwa teori komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes (1975), Poedjosoedarmo dan pengikut-pengikut yang lain masih relevan untuk mengkaji
402
peristiwa tutur yang terjadi atas dasar komponen-komponen tutur yang membangun sebuah tuturan. Kaitannya dengan komponen tutur hadirnya orang ketiga yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1978) ditemukan bahwa kehadiran seorang kiai dalam tuturan menentukan pilihan bahasa yang digunakan, penggunaan kode dan alih kode, penentuan alih giliran tutur, pengaturan nada tutur, dan penggunaan bahasa tubuh termasuk jarak antar kiai dengan partsipan tutur yang lain. Bahkan keterlibatan kiai dalam peristiwa tutur sangat penting sebagai persuasi dan antisipasi terjadinya konflik antarpartisipan tutur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadirnya orang ketiga (kiai) dapat berpengaruh besar terbentuknya pola komunikasi.
9.3 Faktor Kompetensi Komunikatif Penelitian ini menemukan bahwa pada situasi formal WNUEM berkomunikasi dengan ragam BM level È-B (Jawa: Krama Inggil) dan BAl (bahasa keraton). Sedangkan pada situasi tidak formal terdapat beberapa ragam bahasa yang digunakan oleh WNUEM yaitu (1) Dalam berkomunikasi yang melibatkan partisipan tutur sesama kiai yang tidak memiliki kaitan guru-santri menggunakan ragam bahasa È-B. Sesama kiai yang berlatar belakang gurasantri―guru menggunakan ragam bahasa È-B dan santri menggunakan BAl dan È-B. Di dalam keluarga kiai pola komunikasi juga ditentukan oleh ikatan gurusantri, tingkat ke’aliman, dan perbedaan umur; (2) Ketika berkomunikasi dengan sesama kiai yang berlatar belakang
keluarga pesantren, partisipan tutur 403
menggunakan BM level È-B; (3) Ragam bahasa yang digunakan Kiai dengan UNUEM yang berlatar belakang sama-sama menjadi pengasuh pesantren dan berperan sebagai tokoh masyarakat adalah BM level È-B bercampur kode dengan ragam BM level E-E; dan (4) dengan UNUEM kyai menggunakan ragam BM level E-E dan È-B. Para pengurus NU, asatidz, dan UNUEM kepada kyai pada situasi apapun selalu menggunakan ragam BAl dan BM level È-B. Fenommena tersebut menunjukkan bahwa penggunaan komponenkomponen kompetensi komunikatif yang dikemukakan oleh Saville-Troike (2003) yang meliputi pengetahuan linguistik (linguistic knowledge), keterampilan interaksi (interaction skills), dan pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) sudah diterapkan oleh WNUEM―walaupun kemampuan mengimplementasikan kompetensi komunikatif tersebut bisa saja diperoleh melalui proses alami karena tuntutan kultur―namun hal tersebut cukup memberikan kepuasan bagi partisipan tutur. Pengetahuan linguistik yang tercermin dalam elemen-elemen verbal dan nonverbal dapat membantu memberikan interpretasi yang benar bagi partisipan tutur. Tekanan suara kiai yang lebih tinggi dari nada tutur UNUEM, dapat menimbulkan beban psikologi bagi partisipan tutur, sehingga presupposisi yang muncul dalam peristiwa tutur sering tidak bisa diinferensi secara baik oleh UNUEM―kiai sering tidak dapat memahami tujuan tutur WNUEM, karena suaranya seringkali sulit didengar secara sempurna. Kaitaannya dengan elemenelemen nonverbal seperti gerakan tubuh sering diabaikan oleh para santri, karena kultur NU lebih menekankan rasa tawadlu‟ kepada guru dengan implimentasi 404
salah satunya yang tercermin dalam proses komunikasi adalah menundukkan kepala dan bersuara lebih rendah di depan guru. Kaitannya dengan makna varianvarian yang terbentuk dalam pola komunikasi, sering juga menimbulkan inferensi yang salah bagi partisipan tutur. Hal tersebut lebih disebabkan sulitnya partisipan tutur dalam mencerna implikatur-implikatur (implied meaning) yang terdapat dalam tuturan. Temuan tersebut memperkuat pendapat Hymes (1982b) yang menyatakan bahwa pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya berkisar diantara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi grammatikal dengan kondisi-kondisi yang sesuai; (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya. Mengenahi keterampilan dalam berinteraksi kaitannya dengan situasi komunikasi,
peran, serta norma-norma interaksi dan interpretasi ditemukan
bahwa situasi komunikasi dan partisipan tutur menentukan varian-varian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dari kode bahasa yang digunakan oleh WNUEM dalam berkomunikasi yang ditempatkan sesuai dengan peran masing-masing partisipan tutur sebagaimana telah disinggung di atas. Penempatan kode sesuai dengan perannya telah menempatkan norma-norma interaksi dan interpretasi sebagai strategi untuk mencapai tujuan tutur. Fenomena temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Hymes dalam savilletroike (2003) yang mengemukakan bahwa kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam 405
setting tertentu, kapan mengatakannya, dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku nonverbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya. Selanjutnya Saville-Troike, (2003) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok, meskipun hal ini (seperti aspek-aspek lain suatu kebudayaan) bervariasi dalam anggota-anggota secara individual. Hakekat kompetensi individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. Dari aspek pengetahuan budaya kaitannya dengan struktur sosial, nilai, dan sikap ditemukan bahwa struktur sosial di didalam kelompok WNUEM memperhatikan status sosial yang didasarkan pada kedudukan sebagai gurusantri, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, tingkat keeratan, dan gender partisipan tutur. Hal tersebut dibatasi dengan nilai-nilai religius pesantren dan kultur paternalistik yang sudah menjadi kebiasaan di lingkungan WNUEM. Fenomena tersebut menentukan sikap partisipan tutur dalam berkomunikasi sebagaimana telah disinggung juga di atas yang tercermin dalam pemakaian simbol dengan ragam bahasa tertentu yang digunakan oleh komunitas pesantren dalam berkomunikasi. 406
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-konflik yang ditimbulkan kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan interpretasi. Oleh karena itu, Geertz, (1973); Doglas (1970) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif haruslah
ditambahkan
dalam
konsep
kompetensi
kebudayaan
(cultural
competence), atau keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer berhubungan dengan simbol. Sistem kebudayaan merupakan pola simbol, dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini. Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna di mana perilaku linguistik itu ditempatkan.
9.4 Implikasi Temuan terhadap Pemertahanan Bahasa Madura. Pada penghujung abad ke- 21, diperkirakan hanya sekitar 10 persen saja bahasa daerah yang bisa bertahan, karena bahasa-bahasa itu semakin jarang dipergunakan (Nurmulia, 2011). Indonesia adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai kelompok etnik. Setiap kelompok ini tentu memiliki kebudayaan dan bahasa sendiri. Secara umum, Indonesia terbagi atas dua kelompok bahasa besar yakni rumpun Austronesia dan Non-Austronesia―dari sekian banyak bahasa yang ada, diperkirakan 169 bahasa etnik di antaranya terancam punah. Ancaman kepunahan 407
bahasa daerah cenderung terjadi pada rumpun non-Austronesia, khususnya terletak di Indonesia bagian timur. Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdul Rachman Patji menyebut, jumlah bahasa daerah yang terancam punah menurut referensi penelitian adalah 169 bahasa etnik (http://m.kompas.com/ news/read/ 2011/07/26/03535664). Setidaknya, ada 13 faktor penyebab suatu bahasa daerah itu bisa punah. Pendapat ini dirangkum dari berbagai sumber. Faktor-faktor itu adalah: 1. Urbanisasi; 2. Perkawinan antaretnik; 3.Para orang tua tidak lagi mengajarkan kepada anak-anaknya dan mereka juga tidak secara aktif menggunakannya di rumah atau dalam berbagai ranah komunikasi; 4. Para penuturnya berpikir tentang dirinya sebagai inferior secara sosial; 5. Terikat pada masa lalu; 6. Sisi tradisional; 7. Secara ekonomi kehidupannya stagnan; 8. Kebijakan pemerintah, penggunaan bahasa dalam pendidikan; 9.Tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa yang berdampingan; 10. Kurangnya „rasa bangga‟ menguasai bahasa daerah; 11. Perkawinan antaretnik yang berbeda bahasa lebih memilih jalan tengah dengan menggunakan BI sebagai alternatif relevan bahasa sehari-hari demi kelancaran komunikasi; 12. Adanya anggapan sebagian orangtua bahwa berbahasa Indonesia lebih maju dibanding berbahasa daerah. Ramai-ramai mereka mengajarkan anak-anaknya bahasa asing; dan 13. Kurangnya perhatian pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dalam melestarikan bahasa daerah. Tidak adanya mata pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum pemerintah yang
408
mencantumkan penguasaan bahasa daerah. (http://m.kompas.com/ news/read/ 2011/07/26/03535664) Dari faktor-foktor penyebab punahnya bahasa daerah di atas, apakah bahasa daerah BM akan punah juga?
Penduduk pulau Madura yang suka
merantau dan sebagian penduduknya mencari nafkah di luar pulau Madura, entah ke luar negeri atau merantau ke pulau-pulau lain di dalam negeri―kepunahan BM bukan tidak mungkin akan terjadi pada beberapa dekade yang akan datang. Sebagian besar ke-13 faktor penyebab punahnya suatu bahasa daerah itu, akan bersentuhan langsung kepada sebagian besar penduduk pulau Madura yang "nota bene" suka merantau itu. Urbanisasi, perkawinan antaretnik, hilangnya rasa bangga akan bahasa daerahnya, lemahnya dukungan orang tua dalam menuturkan bahasa daerah kepada anaknya, serta tidak adanya kebijakan pemerintah daerah dalam pembinaan bahasa daerahnya akan mempercepat punahnya bahasa daerah. Bagaimanakah fungsi pemerintah daerah dalam pelestarian bahasa daerah? Tentu saja, fungsi pemerintah daerah sangat penting dalam pelestarian bahasa daerah. Pada hal fungsi bahasa daerah Sejak 1975, dan sampai sekarang belum pernah ada upaya untuk mengubahnya, ditetapkan Politik Bahasa Nasional (Halim, 1976) yang mendudukkan fungsi bahasa daerah seperti berikut ini. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, seperti bahasa-bahasa daerah lainnya, bahasa daerah berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. 409
Di dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (1) pendukung bahasa nasional; (2) bahasa pengantar untuk sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran BI dan mata pelajaran lain; dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Keluarga adalah benteng terakhir atas pelestarian bahasa. Penutur asli suatu bahasa daerah juga tidak kalah pentingnya dalam pelstarian bahasa daerah. Acara-acara seremonial seperti resepsi pernikahan, peringatan hari-hari besar, dan acara adat adalah momentum yang tepat untuk pelestarian bahasa daerah. Terkait dengan tiga belas temuan LIPI yang dapat menyebabkan punahnya bahasa daerah, temuan penelitian ini dapat menjadi solusi pemertahanan BM sebagai bahasa daerah, sebagai berikut: Di kalangan kiai NUEM urbanisasi jarang terjadi, karena kiai dalam pandangan WNUEM merupakan tokoh yang keberadaanya dibutuhkan ummat. Karena itu, sangat jarang para kiai yang terlibat dalam urbanisasi, sehingga BM dapat secara terus menerus digunakan baik dalam ranah keluarga maupun masyarakat. Hasil temuan menunjukkan sangat jarang WNUEM di Jember yang terlibat dalam perkawinan antaretnik, apalagi di kalangan keluarga kiai. Pada hal penggunaan BM yang dimulai sejak dini adalah dalam keluarga kiai. Ini menunjukkan bahwa faktor perkawinan antaretnik jarang sekali ditemukan. Karena itu, pemertahanan bahasa sangat terjamin di kalangan keluarga kiai NUEM. 410
Poin yang menyatakan para orang tua tidak lagi mengajarkan kepada anakanaknya dan mereka juga tidak secara aktif menggunakannya di rumah atau dalam berbagai ranah komunikasi―jelas bertentangan dengan temuan penelitian. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam keluarga kiai sejak dini lora dan nyai sudah diajak bicara BAl oleh para abdinya. Di samping setiap waktu menyaksikan secara langsung pola komunikasi yang digunakan para santri dengan kiai/nyai. Hal ini jelas sebagai sarana pemertahanan BM. Keluarga kiai dalam pandangan WNUEM sebagai keluarga yang memiliki status sosial yang paling tinggi. Karena itu, perasaan inferior sulit ditemukan di kalangan kiai, sehingga sebagai penutur BM tentunya merasa bangga menggunakan BM. Kebanggaan inilah akan dapat menjaga BM dari kepunahan. Penggunaan BM oleh kalangan NUEM, tentu tidak akan merasa terikat pada masa lalu, karena sampai kini pengkajian kitab kuning masih eksis menggunakan BM. Ini juga sebagai momentum pemertahanan BM. Anggapan pemakaian BM sebagai bahasa tradisional tentu sulit ditemukan di kalangan UNUEM, karena justru penggunaan BM dapat mempertahankan politeness kepada lawan tutur yang seharusnya dihormati. Karena itu, dengan mempertahankan tatakrama dan sopan santun daalam berbahasa dapat mempertahankan BM sebagai bahasa daerah. Pendidikan di pesantren salaf di Jember yang merupakan embrio WNUEM, justru membantu pemerintah dalam pemertahanan BM, karena bahasa sehari-hari yang digunakan adalah BM, termasuk dalam pengkajian kitab kuning.
411
Dengan adanya pemakaian BM pada ranah-ranah keagamaan oleh warga NU di Jember, justru BM menjadi bahasa daerah yang dominan yang mewarnai bahasa-bahasa daerah yang lain yang berdampingan. Hal tersebut juga sebagai bentuk pemertahanan BM sebagai bahasa daerah. Kebanggaan berbahasa Madura tentunya dapat dilihat di kalangan kiai NU yang tetap mempertahankan BM sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga. Kebanggan tersebut terlihat dari masih dipertahankannya penggunaan tingkat tutur dalam BM. Adanya anggapan sebagian orang tua bahwa berbahasa Indonesia lebih maju dan moderen dibanding berbahasa daerah―BM sebagai bahasa daerah dianggap terbelakang dan tradisional. Di kalangan UNUEM anggapan tersebut memang terjadi, hal tersebut terbukti dari penggunaan BI dengan anak-anaknya yang dilakukan sejak dini, akan tetapi berbeda dengan keluarga kiai yang menggunakan BM dengan putra-putrinya semenjak kecil, bahkan dengan tingkat tutur BM level tinggi (krama inggil dan BAl.) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola komunikasi yang diperagakan kalangan kiai dan sebagian besar UNUEM dapat dijadikan sebagai sarana pemertahan BM secara alami, mengingat BM digunakan WNUEM dalam berbagai ranah kehidupan, baik dalam situasi formal seperti pengkajian kitab kuning, pertemuan-pertemuan untuk membahas topik tertentu, pengajian umum, serah-serahan dalam perkawinan, acara pernikahan dsb., maupun informal, seperti dalam rumah tangga, di pasar, di lingkungan pesantren dan sebagainya. Penggunaan BM itu digunakan secara alami dan terus-menerus, karena pola 412
komunikasi WNUEM mensyaratkan adanya penggunaan politeness sebagai bentuk rasa ta’dzim santri kepada guru, rasa hormat anak kepada orang tua, seseorang yang umurnya lebih muda kepada yang tua dsb. Penggunaan sopan santun dalam berbahasa tersebut, dapat berjalan secara efektif dan lebih proporsional, jika menggunakan BM sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakana bahwa penggunan BM oleh WNUEM dalam ranah-ranah penggunaan bahasa seperti di atas, sebagai sarana pemertahanan BM sebagai bahasa daerah yang besar. Sejatinya, bahasa selain sebagai alat komunikasi sehari-hari juga memegang peran penting sebagai instrumen menunjukkan jati diri si penuturnya―tanpa bahasa, mungkin budaya, ilmu pengetahuan, dan segala kreasi manusia tidak bisa ditransformasikan ke segala penjuru. Suatu bahasa menunjukkan identitas sekaligus tolak ukur peradaban manusia tertentu. Hilangnya suatu bahasa sama saja dengan hilangnya sebuah peradaban (Suadi, 2012).
9.5 Ringkasan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola komunikasi WNUEM adalah: (1) Pengaruh Kultur paternalistik; (2) Faktor komponen tutur; (3) Faktor kompetensi komunikatif. Temuan penelitian ini juga memiliki implikasi yang sangat kuat terhadap pemertahanan BM. Pola komunikasi yang diperlihatkan WNUEM sebagai cerminan kultur paternalistik, yakni bentuk kultural yang mencerminkan kepatuhan dan ta’dzim seorang santri kepada gurunya. Pertama, kedudukan dan status sosial kiai di 413
kalangan warga NU ditempatkan pada posisi yang paling terhormat, sehingga kiai diposisikan sebagai kelompok yang sangat dita’dzimkan; Kedua, Ketaatan UNUEM kepada kiai yang dianggap guru dalam segala hal sudah mengakar` sejak mereka di tempa di pesantren. Di dalam dunia pesantren yang berhaluan NU otoritas kiai bersifat mutlak. Tunduk dan patuh pada kiai sebagai guru dan pembimbing spiritual, merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren; Ketiga, sebagai dampak dari poin (1) dan (2), kehadiran ulama/kiai dalam peristiwa tutur dapat mengantisipasi terjadinya tuturan yang dapat menimbulkan konflik di kalangan ummat―karena dengan hadirnya sosok kiai yang dita’dzimkan dan ditaati, maka peristiwa tutur akan memperhatikan politeness principle. Keempat, Sebagai strategi komunikasi di kalangan WNUEM, penceritaan ulama/kiai yang dikagumi dalam peritiwa tutur sebagai bentuk pola komunikasi. Komponen-komponen tutur WNUEM hasil temuan dalam penelitian ini tidak bisa dipisahkan, karena adanya saling keterkaitan satu dengan lainnya dalam membangun sebuah tuturan yang berakibat terjadinya peristiwa tutur. Dalam peristiwa tutur tersebut terbentuklah pola komunikasi WNUEM. Ada tiga aspek yang dapat mempengaruhi peristiwa tutur yaitu Aspek linguistik (linguistic knowledge), aspek interaksi (interaction skill) dan aspek budaya (cultural knowledge). Ketiga aspek tersebut memiliki peran yang amat penting dalam menentukan terbentuknya pola komunkasi. Pengetahuan linguistik yang tercermin dalam elemen-elemen verbal dan nonverbal dapat membantu memberikan interpretasi yang benar bagi partisipan 414
tutur. Kaitaannya dengan elemen-elemen nonverbal seperti gerakan tubuh sering diabaikan oleh para santri, karena kultur NU lebih menekankan rasa tawadlu‟ kepada guru dengan implimentasi salah satunya yang tercermin dalam proses komunikasi adalah menundukkan kepala dan bersuara lebih rendah di depan guru. Kaitannya dengan makna varian-varian yang terbentuk dalam pola komunikasi, sering juga menimbulkan inferensi yang salah bagi partisipan tutur. Hal tersebut lebih disebabkan sulitnya partisipan tutur dalam mencerna implikatur-implikatur (implied meaning) yang terdapat dalam tuturan. Keterampilan dalam berinteraksi kaitannya dengan situasi komunikasi, peran, serta norma-norma interaksi dan interpretasi ditemukan bahwa situasi komunikasi, peran, jabatan, keilmuan, dan perbedaan umur menentukan varianvarian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sebagai bagian pola dan strategi untuk mencapai tujuan tutur. Dari aspek pengetahuan budaya kaitannya dengan struktur sosial, nilai dan sikap ditemukan bahwa struktur sosial di dalam kelompok WNUEM memperhatikan status sosial, kedudukan, perbedaan umur dan peran partisipan tutur dalam masyarakat tutur. Status Sosial, kedudukan, peran, dan perbedaan umur tersebut dibatasi dengan nilai-nilai religius pesantren dan kultur paternalistik yang sudah menjadi konvensi di lingkungan WNUEM. Tidak adanya kiai yang disegani dalam peristiwa tutur dan rendahnya komptensi komunikatif dapat menyebabkan terjadinya kegagalan komunikasi, yang dapat menyulut terjadinya konflik-konflik antarpartisipan tutur. Misalnya,
415
masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda dipahami berbeda dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan interpretasi. Pola komunikasi di kalangan kiai dan sebagian besar UNUEM, dapat menjadi sarana pemertahan BM secara alami, karena BM digunakan WNUEM dalam berbagai ranah kehidupan, baik dalam situasi formal maupun informal.
416
BAB X SIMPULAN DAN SARAN
10.1 Simpulan Berdasarkan fakta kebahasaan sesuai rumusan masalah dan hasil analisis data pada bab sebelumnya, pola komunikasi warga NU di Jember dapat disimpulkan dan diklasifikasikan sebagai berikut:
10.1.1 Pola Komunikasi WNUEM Berdasar hasil observasi partisipasi maupun non partisipasi di lapangan dan analisis data, pola komunikasi (prilaku berbahasa) WNUEM memiliki ciriciri umum sebagai berikut: 1) Berpola komunikasi yang berbeda
untuk partisipan tutur yang berbeda―
dipengaruhi oleh status sosial (nasabiyah, peran, jabatan), perbedaan usia, tingkat kealiman, jenis kelamin, dan keeratan hubungan antarpartisipan tutur; Pola komunikasi tersebut juga dipengaruhi oleh aspek psikologis, baik dari dalam dirinya maupun dari lawan tutur. 2) Sebagai bentuk politeness (ta’dzim & tawadlu’) kepada orang yang sangat dihormati (seperti kiai/guru, orang tua, mertua, dsb.), selalu menggunakan bhâsa alos (BAl) dan tingkat tutur BM level È-B, konsisten menggunakan BM, berusaha bersuara lebih
rendah, menundukkan kepala dan atau
pandangan, dan mematuhi alih giliran tutur. Alih giliran tutur bisa dilanggar, jika orang yang sangat dihormati memberi kesempatan, atau orang yang status 417
sosialnya lebih rendah mengucapkan frasa cabis pamator/cangkolang pamator―kecuali dalam keluarga alih giliran tutur tergantung keperluan. 3) Untuk hubungan setara, menggunakan tingkat tutur BM level E-E dan E-I― sering menggunakan BMlj (bahasa ragam kota) dalam situasi tidak formal untuk tujuan keakraban. 4) Pada situasi formal, jika tidak menggunakan BI, selalu menggunakan ragam bahasa formal yakni, BAl dan
tingkat tutur BM level È-B―dan
menggunakan pengeras suara, jika melibatkan massa yang besar. 5) Beralih kode dan bercampur kode (BM, BI, dan BA) untuk menghindari keterbatasan penguasaan kosa kode BAl dan tingkat tutur BM level È-B, sebagai bentuk hormat, menunjukkankeakraban, melucu untuk mencairkan suasana, kebiasaan, dan atau tidak adanya padanan kata yang tepat untuk bahasa-bahasa yang digunakan. 6) AntarpartisipanWNUEM, pada situasi dan setting tuturan tertentu, sering menggunakan refrens kisah ulama/kiai yang dikagumi sebagai bagian pola dan setrategi komunikasi; 7) BM sebagai pilihan utama, jika berkomunikasi dimuliakan,
kecuali
orang
yang
dimuliakan
dengan orang yang tersebut
membiasakan
berkomunikasi dengan bahasa yang lain. 8) Dari seluruh komponen tutur sebagai ancangan analisis dalam penelitan ini, partisipan tutur yang mengacu pada status guru-santri, merupakan faktor utama yang mempengaruhi pola komunikasi.
418
10.1.2 Pola Komunikasi Kiai Pola komunikasi kiai dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok yakni: 1) Pola komunikasi kiai yang memiliki ikatan guru-santri. Pola komunikasi KG-KS dipengaruhi oleh faktor situasi yaitu, situasi formal dan informal. Pada situasi informal pola komunikasi KG-KS dipengaruhi perbedaan umur. Perbedaan umur tersebut, yang mempengaruhi perbedaan pola komunikasi KG-KS pada situasi formal dan informal yakni hanya pada sisi penggunaan tingkat tutur, sedangkan pada sisi pilihan bahasa, nada suara, body language, dan alih giliran tutur tidak terdapat perbedaan. 2) Pola komunikasi kiai yang sederajat. Pola komunikasi kiai sederajat juga dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor situasi formal dan informal. Pada situasi informal pola komunikasi kiai sederajat dipengaruhi perbedaan umur dan faktor keeratan hubungan. 3) Pola
komunikasi
keluarga
kiai.
Pola
komunikasi
keluarga
kiai
dikelompokkan menjadi: a) Pola komunikasi suami-istri. Pola komunikasi suami-istri dipengaruhi oleh faktor ikatan guru-santri, faktor kealiman dan nasabiyah, dan faktor keeratan hubungan. b) Pola komunikasi orang tuaanak yang dapat dikelompokkan lagi menjadi pola komunikasi orang tuaanak kandung, mertua-menantu, dan paman/bibi-kemenakan.
c) Pola
komunikasi kakak-adik. Pola komunikasi dalam ranah keluarga kiai secara umum dipengaruhi oleh perbedaan kedudukan dan status sosial yang ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu: adanya ikatan status guru dan santri,
419
nasabiyah, tingkat kealiman, perbedaan umur, keeratan hubungan, yang ada dalam keluarga dan antarkeluarga. Dari seluruh komponen tutur sebagai ancangan analisis dalam penelitan ini, partisipan tutur yang mengacu pada status guru-santri, merupakan faktor utama yang mempengaruhi pola komunikasi kiai.
10.1.3 Pola Komunikasi Kiai-Ummat Pola komunikasi kiai-ummat
dapat dikelompokkan menjadi (1) Pola
Komunikasi KP-UNUEM dan (2) Pola Komunikasi KL-UNUEM. 1) Pola komunikasi KP-UNUEM dapat dikelompokkan menjadi: a)
Pola
komunikasi KP-UNUEM yang dingaruhi ikatan guru-santri; b) Pola komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; d) Pola komunikasi KPUNUEM yang dipengaruhi perbedan umur; dan e) Pola komunikasi KPUNUEM pada situasi tuturan formal. 2) Pola komunikasi KL-UNUEM. Pola komunikasi KL-UNUEM dapat klasifikasikan sebagai berikut: a) Pola komunikasi KL-UNUEM yang memiliki ikatan guru-santri; b) Pola komunikasi KL-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi KL-UNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur; d) Pola komunikasi KL-UNUEM dalam situasi formal.
10.1.4 Pola Komunikasi UNUEM Pola komunikasi UNUEM dapat dipetakan sebagai berikut:
420
(1) Pola komuniksi yang melibatkan tokoh NU; (2) Pola komunikasi yang melibatkan UNUEM terpelajar; (3) Pola komunikasi UNUEM yang berbeda umur; (4) Pola Komunikasi UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; (5) Pola komunikasi dalam keluarga ummat. Klasifikasi tersebut, sekaligus sebagai indikator bahwa, pola komunikasi UNUEM ditinjau dari partisipan tutur sebagai faktor dominan dipengaruhi oleh: a) Status sosial yang didasarkan pada peran dan jabatan; b) Tingkat pendidikan umum; c) Perbedaan umur; d) Tingkat keeratan hubungan; e) Tingkat formalitas. Pola komunikasi dalam keluarga ummat dapat dipetakan menjadi: (1) Pola komunikasi dengan pasangan hidup (suami-istri); (2) Pola komunikasi orang tua-anak; dan (3) Pola komunikasi kakak-adik. Pola Komunikasi dengan pasangan hidup pada umumnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu, tingkat keeratan hubungan sebelum menikah, dan pandangan budaya Madura tentang kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Pola komunikasi orang tua-anak ini diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Pola Komunikasi Orang tua-Anak kandung; (b) Pola Komunkikasi MertuaMenantu; (c) Pola Komunikasi Paman/Bibi-Kemenakan. Pola komunikasi orang tua anak tersebut dipengaruhi oleh tingkat formalitas hubungan dalam keluarga dan status sosial. Ada dua faktor penting pemicu terjadinya kegagalan komunikasi antarUNUEM, yaitu: (a) Tidak adanya kiai yang disegani dalam peristiwa tutur; dan (b) Rendahnya kompetensi komunikatif.
421
10.1.5 Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Pola Komunikasi WNUEM dan Implikasi Temuan terhadap Pemertahanan BM Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola komunikasi WNUEM adalah: kultur paternalistik, komponen tutur, dan kompetensi komunikatif. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat WNUEM memiliki implikasi yang sangat kuat terhadap pemertahanan BM. Komponen-komponen tutur WNUEM hasil temuan dalam penelitian ini tidak bisa dipisahkan, karena adanya saling keterkaitan satu dengan linnya dalam membangun sebuah tuturan yang berakibat terjadinya peristiwa tutur. Ada tiga aspek yang dapat mempengaruhi peristiwa tutur yaitu Aspek linguistik (linguistic knowledge), aspek interaksi (interaction skill) dan aspek budaya (cultural knowledge). Ketiga aspek tersebut memiliki peran yang amat penting dalam menentukan terbentuknya pola komunkasi. Pengetahuan linguistik yang tercermin dalam elemen-elemen verbal dan nonverbal dapat membantu memberikan interpretasi yang benar bagi partisipan tutur. Elemen-elemen nonverbal seperti gerakan tubuh sering diabaikan oleh para santri, karena kultur NU lebih menekankan rasa tawadlu’ dan ta’dzim kepada guru dengan tidak menatap perilaku nonverbal kiai. Makna varian-varian yang terbentuk dalam pola komunikasi, sering juga menimbulkan inferensi yang salah bagi partisipan tutur. Keterampilan dalam berinteraksi kaitannya dengan situasi komunikasi, peran, serta norma-norma interaksi dan interpretasi ditemukan bahwa situasi 422
komunikasi, peran, jabatan, keilmuan, dan perbedaan umur menentukan varianvarian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sebagai bagian pola dan strategi untuk mencapai tujuan tutur. Dari aspek pengetahuan budaya kaitannya dengan struktur sosial, nilai, dan sikap ditemukan bahwa struktur sosial di dalam kelompok WNUEM memperhatikan status sosial, kedudukan, perbedaan umur dan peran partisipan tutur dalam masyarakat tutur. Status, kedudukan, peran, dan perbedaan umur tersebut dibatasi dengan nilai-nilai religius pesantren dan kultur paternalistik yang sudah menjadi konvensi di lingkungan WNUEM. Tidak adanya kiai yang disegani dalam peristiwa tutur dan rendahnya komptensi komunikatif dapat menyebabkan terjadinya kegagalan komunikasi, yang dapat menyulut terjadinya konflik-konflik antarpartisipan tutur. Pola komunikasi di kalangan kiai dan sebagian besar UNUEM, dapat menjadi sarana pemertahan BM secara alami, karena BM digunakan WNUEM dalam berbagai ranah kehidupan, baik dalam situasi formal maupun informal.
10.2 Saran Berdasarkan pada kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat kami kemukakan: 1. Setiap kelompok masyarakat atau organisasi kemasyarakatan, sebaiknya memahami, baik bahasa dan budaya sendiri maupun bahasa dan budaya kelompok lain, agar tidak terjadi misunderstanding communication, sehingga dapat menyulut terjadinya konflik intra– dan antarkelompok. 423
2. Kepada Fakultas yang memiliki jurusan berbasis bahasa, hendaknya secara terus menerus mengabdikan diri untuk meneliti dan mensosialisasikan hasilnya baik kepada guru-guru, masyarakat, dan para santri di pesantren. Untuk itu, komunitas yang bergerak dalam bidang pendidikan juga dibekali dengan pembelajaran kompetensi komunikatif yang dibarengi dengan pengenalan cara model berbahasa yang benar. 3. Kepada para peneliti yang tertarik pada kajian etnografi komunikasi masih banyak isu yang dapat diteliti. Untuk itu, semoga hasil penelitian ini menjadikan acuan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
424
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin, 1995. STLISTIKA: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, Semarang: IKIP Semarang Press Anam, Choirul. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Solo: Penerbit Jatayu Bogdan Robert & Taylor I. Steven. 1975. Introduction to Qualitative Research to the Social Sciences. New York: John & Sons, Inc. Brennies & Myers, 1984. F. (eds.).1984. Dangerous words: language and politics in the pacific. New York: New York University Press. Brown, Gillian & George, Yule. (1996). Analisis Wacana. Diindonesiakan oleh I. Soetikno, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bodhiono, Hery, R. 2010. “Orang Kaso: Sekelebat Tinjauan Etnografi Komunikasi terhadap Sebuah Komunitas Tutur.” Dalam Jurnal Sawerigading, Jurnal Bahasa dan Sastra terakreditasi, Volume 16, Nomor 3, Desember 2010. ISSN 0854-4220, hal. 334-342. Chomsky, N. 1977.Language and Responsibity. Based on conversation with Mitsou Ronat. Trans. By J. Viertel. New York:Panthcon. Dharwis, KH, Ellyasa. 2010. Gus Dur–NU –dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS. Duranti, Alessandro. 1988. “Ethnography of Speaking”. dalam Newmeyer, Frederick J. Language: The Socio-cultural Context Volume IV. Linguistics: The Cambridge Survey. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 210-228. Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Anthropologi. Cambridge: Cambridge University Press. Eco, Umberto. 2009. TEORI SEMIOTIKA „Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori produksi–Tanda‟ duterjemahkan Inyiak Ridwan Munzir. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Fetterman, D.M. 1989. Ethnography: Step by Step. Newbury Park CA: Sage. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. Hammersmith, London: Fontana Press. Halim, Amran (Ed.).1976. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pangembangan Bahasa. Haryono, Akhmad .2006. “Pola Komunikasi di Pesantren Salaf “A” di Jember”, Tesis S2: Universitas Negeri Surabaya. 425
Heath, S. 1983. Ways with words: Language, life, and work in communities and classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. Hofstede, Geert. 1994. Cultures and Organisation: Software of the Mind. London: Mc-Graw Hill Book Company. Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistic. London and New York: Longman. Hymes. D. 1964a. “Introduction: toward etnographies of communication”. In American Antghropoligiest 66. Special publication: J.J. Gumperz & D. Hymes. (eds.)The Etnogaphy of Cmmunication, PP. 1-34 (Part 2) Hymes. D. 1964b. Language in Culture and society: a reader in linguistics and anthropologiy. New York: Harper and Row. Hymes. D. 1972b. “On Cmmuninicative competence”. In J.B. Pride & J. Holmes (eds.) Socolinguistics. Harmondswort: Penguin, PP. 269-293 (Part 2) Hymes. D. 1982b. Postface. in Hymes. 1982a. Vers la competence de communicatin. Trans. by F. Mugler. Paris: Hatir Credif. Ibrahim, Abd. Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional. Irvine,
J.T. 1979. Formality and nonformality in communicative events. American Anthropologist 81: 773-90.
Jung, Ji-Young. 2008. “Discourse Markers in Cross-Cultural Conversation”. In the Forum Teachers College, Columbia University, Working Papers in TESOL & Applied Linguistics, 2008, Vol. 8, No. 2 Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. New York: Oxford University Press. Kridalaksana, Harimurti (2008). Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8. Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran. Labov. W. 1972. Sosiolinguistic pattern. Philadelpia: University of Pennsylvania Press. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjem. dari The Princiiple of Pragmatics. Penterj.: Oka. Jakarta:UI Press Levinson, stephen C. 1983. Pragmatics. Great Britain: Cambridge University Press. Lyon, John. 1972. “Human Language”. In R.A. Hinde (ed.) Non Verbal communication. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 49-85 426
Moleong, J. Lexy. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muliana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin (Ed.). 2003. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Murdock, George Peter. 1961. “The Cross-cultural Survey”. Dalam Frank.W. Moore (ed). Reading in Cross Cultures. New Haven: HRAF Press, PP. 361-370 Muzadi, Abdul Muchith. 2003. Apa dan Bagaimana Nahdlatul Ulama. Jember: Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu Nawiyanto. 2003. Agricultural Development in A Frontier Region of Java. Yogyakarta: Galang Press. Nurmulia, P. Rekso, 2012. “719 Bahasa Daerah Terancam Punah” dalam batam. tribunnews.com newscom 13-12-2012. Diakses tanggal 29 Desember 2012. Nwagbara Uzoechi, 2010. “When Language Means Power: A Sociolinguistic study of Bill Clinton’s between Hope and History”. In the Lumina eJournal, vol. 21, No. 2, October 2010, ISSN 2094-1188 Holy Name University, PP. 1-19. Poejosoedarmo, Soepomo, at al.1979. Tingkat Tutur bahasa Jawa. Jakarta: DEPDIKBUD. Pratt, M.L. 1981. “The ideology of speech-act theory”. Centrum New Series 1: 518. Premsrirat, Suwilai. 2002. ”Appropriateness in Khmu Cuture”. Mon-Khmer Studies Ethnolinguistic Journal 32: Institute of Language and Culture for Rural Development. Mahidol University Thailand, Selaya, Nakhon Pathom 73170, PP. 117 – 129. Rachmad, Jalaluddin. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Rani, Abd. 2004. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing. Rochiyati, Erna. A. 2008. “Penggunaan Bahasa Madura Keluarga Muda Etnik Madura di Jember” Dalam Semiotika. Volume 9 (2), Juli-Desember 2008. ISSN 1411-5948, hal. 199-206. 427
Saville-Troike, Muriel. 2003. Ethnography of Communication: an Introduction. New York: Blackwell Publishing Ltd. Schiffrin, Deborah. 1994. Aproaches to discourse. Cambridge, Massachusetts 02142 USA: 108 Cowley Road Oxford OX4 1Jf UK Scollon. R. & scollon S.K. 1981. Narative, literacy, and face in interethnic communication. Norwood: Ablex Silverstein. M.1977. “Cultural Prerequisites to Grammatical Analysis”. In M. Saville-Troike (ed) Linguistic and anthropology. Washington: Georgetown University Press, PP.139-152 Sofyan, Akhmad. 2009. "Morfologi Bahasa Madura Dialek Sumenep”. Disertasi: Universitas Gadjah Mada. Suparmin. (2000). “Pemahaman Budaya sebagai Penunjang Keberhasilan Komunikasi dan Implikasinya dalam Pengajaran Bahasa Asing” Jember: Makalah disampaikan pada Seminar. Jember: Fakultas Sastra Unej,. Streeck, J. 1980. “Speech acts in interaction: a critique of Searle”. Discourse Prosesses 3: 133-54 Suadi. 2012. ”Bahasa-Etnis”, dalam www.suarapembaruan.com/home/169. diakses tanggal 29 Pebruari 2012.. Sumarsono, Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Sutarto, Ayu, 2002. “Pesantren, Budaya Lokal, dan Prahara Informasi” dalam MENJINAKKAN GLOBALISASI: Tentang Peran Strategis ProdukProduk Budaya Lokal. Jember: Kompyawisda & Universitas Jember. Sutarto, Ayu, 2004. Pesantren dan Politik Tinjauan Kultural-Historis dalam Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember: Kompyawisda & Universitas Jember. Sutarto, Ayu, 2005. Menjadi NU menjadi Indonesia. Jember: Kompyawisda Jatim. Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok: Desantara. Wahyuningsih, Indah. 2004. “Sistem Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo: Studi Kasus Kebekuan Hubungan Sosiolinguistik antara Kyai dan Santri”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Wibisono, Bambang . (2005). “Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis Madura di Jember Dalam Obrolan Dengan Mitra Tutur Sesama dan Lain Etnis ". Disertasi: Universitas Negeri Malang. 428
Wibisono, Bambang & Haryono Akhmad (2009). “Pola-Pola Komuniaksi Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi Komunikasi) ”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Wijana, I. Dewa Putu.1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Wijana, I. Dewa Putu.2004. “Relasi Bahasa dan Budaya serta Berbagai Permasalahannya”, dalam Jurnal Semiotika. Volume 5. No. 2, Juli 2004. Jember: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Satra Universitas Jember. Yule, George. 1996. Pragmatics. Hongkong: Oxford University Press. Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi (Pengantar Ontologi, Epistimologi, Aksiologi). Yogyakarta 55511: Graha Ilmu "http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama"(diakses 28 Februari 2007) “http://m.kompas.com/news/read/2011/07/26/03535664/10 4http://haluan kepri. com/news/tanjungpinang/20607-700-bahasa-daerah-terancam-punah. html " (diakses 29 September 2011)
429
Lampiran-Lampiran
1.Daftar Pertanyaan Untuk Menjaring Data Berupa Informasi
1. Dilihat dari keanggotaannya, terdiri dari berapa komponen warga NU? 2. Ditilik dari status sosial dan rasa hormat WNU, ada berapa macam kiai? 3. Mengapa kiai sangat dita’dzimkan oleh ummat NU? 4. Sebagai bentuk politeness, bagaimana WNUEM memperlakukan bahasa? 5. Mengapa nada suara ummat cenderung lebih rendah dari nada suara kiai? 6. Bahasa apa saja yang digunakan, WNUEM sebagai bentuk alih kode dan campur kode? Mengapa terjadi alih kode dan campur kode? 7. Mengapa WNU sangat mematuhi alih giliran tutur?
Bagaimana cara
melanggar alih giliran tutur? 8. Apa yang terjadi, jika dalam peristiwa komunikasi tidak ada figur kiai yang disegani? 9. Apa saja yang dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat WNUEM, sebagai akibat penggunaan bahasa? 10. Mengapa UNUEM, menundukkan kepala dan pandangan di depan kiai? 11. Mengapa dalam berkomunikasi WNUEM sering menceritakan kisah ulama/kiai yang dikagumi? 12. Sebutkan bentuk kategori dan fungsi tuturan! Mengapa demikian? 13. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pola komunikasi WNUEM? 14. Bagaimana dampak penggunaan politeness terhadap pemertahanan bahasa daerah (BM)
430
2. Riwayat Hidup Penulis
A. Identitas 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Lengkap Jabatan Fungsional Jabatan Struktural NIP NIDN Tempat dan tanggal lahir Alamat Rumah No. Telp./Fax/HP Alamat Kantor
10 No. Telp./Fax 11 Alamat e-mail
13 Mata Kuliah yang Diampu
: : : : : : : : : : : 1 2 3 4 5
Akhmad Haryono Lektor Kepala -19671003 199803 1 002 0003106709 Jember, 3 Oktober 1967 Jl. Sriwijaya X/12 Jember (0331)5251560/081559648347 Fakultas Sastra, Jl. Kalimantan, Kampus Tegalboto Jember (0331) 337188/Fax.332738 [email protected] Etnografi Komunikasi Metodologi Penelitian Bahasa Comparative Linguistic Bahasa Madura Bahasa Jerman
37
B. Riwayat Pendidikan Nama Perguruan Tinggi Bidang Ilmu Tahun Masuk-Lulus Judul Skripsi/Thesis/Disertasi
Nama Pembimbing
S1 UNPATTI Bahasa Jerman 1988-1993 Penggunaan Permainan dalam Pembelajaran Bahasa jerman -Drs. F.Ch. Manusamma. -Drs. E. Makaruku,M.Pd
S2 UNESA Etnografi Komunikasi 2003-2006 Pola Komunikasi Komunitas Pesantren Salaf di Jember -Prof. Dr. A. Abbas Badib, M.A. -Dr.Irene Risakotta, M.Pd
S3 UGM Etnografi Komunikasi 2009-Sekarang Pola Komunikasi Warga NU di Jember
-Prof. Dr. I.Dewa Putu Wijana, S.U,M.A. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo
431
C. Pengalaman Penelitian No
Tahun
1.
2005
2.
2005
3.
2005
5
2006
6
. 2007
7
2008
8
2009
9
2009
10
2009
Pendanaan Sumber Jumlah Judul Penelitian (Juta Rp) Tradisi Perkawinan Usia Dini: Studi BBI DP4M 5 Kasus Etnis Madura di Kabupaten DIKTI Jember Sistem Komunikasi di Pesantren DIPA 3 Salaf: Studi Kasus Kesenjangan Hubungan Sosiolinguistik di Pesantren Salaf Identifikasi Ungkapan Tradisional Diks Rutin 2 Madura di Kecamatan Jenggawah, Jember (Sebagai Upaya Mengenal Identitas dan Karakter Etnis Madura di perantauan) Pemahaman Etnis Madura terhadap Dosen Muda 9 Ungkapan Tradisional Madura di DP2M Dikti Kabupaten Jember: Suatu Kajian Pragmatik. Hak dan Kemampuan Reproduksi SKW 9 Perempuan Etnis Madura : Studi DP2M Dikti Kasus Pelaku Perkawinan Usia Dini Etnis Madura di Jember STUDI KOMPARATIF Dosen Muda 9.9 PEMAHAMAN MASYARAKAT DP2M Dikti ETNIS MADURA DI JEMBER (Perantauan) DAN DI SUMENEP (Madura asli) TERHADAP UNGKAPAN TRADISIONAL MADURA (Sebagai Upaya Mencari Pemahaman yang Benar terhadap Ungkapan Tradisional Madura) PERILAKU KEWIRAUSAHAAN Hibah Bersaing 20. LULUSAN PESANTREN SALAF: DP2M Dikti Sebagai Upaya Mendesain Kurikulum Berbasis Budaya Pesantren Salaf dan Berorientasi Kewirausahaan POLA-POLA KOMUNIAKSI Fundamental 35 ETNIS MADURA PELAKU DP2M Dikti PERKAWINAN USIA DINI (Kajian Etnografi Komunikasi) KEARIFAN LOKAL MADURA: Hibah Strategis 100 432
11
2010
12
2010
13
2011
14
2012
Sebagai Resolusi Konflik Etnis Madura di Perantauan dalam Perspektif Budaya. Pola-pola Komunikasi Warga NU Etnis Madura di Jember
Nasional DIPA UNEJ Hibah Disertasi Doktor DP2M Dikti
34
REVITALISASI DAN DESIMINASI KEARIFAN LOKAL MADURA: Sebagai Resolusi Konflik Etnis Madura di Perantauan dalam Perspektif Budaya REVITALISASI DAN DESIMINASI KEARIFAN LOKAL MADURA: Sebagai Resolusi Konflik Etnis Madura di Perantauan dalam Perspektif Budaya (Lanjutan) PENGUATAN NILAI-NILAI KEBANGSAAN DAN BUDI PEKERTI BANGSA MELALUI PEMAHAMAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MADURA: Upaya Mempersiapkan Masyarakat Madura Pasca dibukanya Jembatan Suramadu
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti
75
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti
75
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti
35
D. Publikasi Ilmiah (Artikel Jurnal Ilmiah) No. Judul Artikel Ilmiah
1
Volume/ Nomor/ Tahun Vol 2/No 2/ 2006
2
Kelogisan Dalam Berbahasa: Hubungan antara Logika dan Makna (Suatu Kajian Semantik) SISTEM KOMUNIKASI DI PESANTREN Vol 1/No 1/ 2007 SALAF: Kesenjangan Hubungan Sosiolinguistik antara Kyai dan Santri
3
Lagu „Du‟ Karya Orlov Kunze: Kajian Stilistika.
4
Vol. 8 (2) JuliDesember / 2007 Tradisi Perkawinan Usia Dini Etnis Madura Vol 2/No 3/ di Jember 2008
Nama Jurnal
JIB (Jurna Ilmu Bahasa dan Sastra, FS UNEJ) Kultur (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora), Lemlit UNEJ Semiotika (Jurnal Ilmu Bahasa dan sastra) Kultur (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora), Lemlit 433
5
Dadaisme Karya Dewi Sartika: Kajian Psikologi Sastra dan Feminisme
Vol. 9 (2) JuliDesember/ 2008 Volume IX Agustus / 2008
6
Identifikasi Nilai dan Fungsi Ungkapan Tradisional Madura di Jember (Memahami Identitas dan Karakter Etnis Madura di Perantauan.
7
Bahasa, etnisitas, dan Rasisme dalam masyarakat Multilingual
8
Hak dan Kemampuan Reproduksi: Tinjauan Budaya Perempuan Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini di Jember
9
Bahasa dan Pikiran Manusia
10
Penggunaan Bahasa dan Gaya Bahasa Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Madura Yang Berfungsi Sebagai Resolusi Konflik
11
Pola Komunikasi Warga NU Etnis Madura sebagai Refleksi Budaya Paternalistik.
Volume 23, Nomor 2, Juni 2011
12
Perubahan dan Perkembangan Bahasa: Tinjauan Historis dan Sosiolinguistik
Volume 18, No.35, September 2011
Vol 3/No 2, Desember/ 2008 Volume X Januari / 2009
Vol 4/No 1, Juli – Desember/ 2009 /2009; Vol.16 no.3 Desember / 2010
UNEJ Semiotika (Jurnal Ilmu Bahasa dan sastra) Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Terakreditasi SK Ditjen Dikti No. 55/ Dikti/Kep. 2005. Medan Bahasa (Jurnal Balai Bahasa Surabaya) Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Terakreditasi SK Ditjen Dikti No. 55/ Dikti/Kep. 2005. Medan Bahasa (Jurnal Balai Bahasa Surabaya) Jurnal Saweri Gading BB Ujung Pandang, terakreditasi no. 150-LIPI/P2MBI Jurnal Humaniora UGM, Terakreditasi no. 110/Dikti/ Kep/2009, Jurnal Linguistika UDAYANA, ISSN: 0854-9613
434
E Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan / Seminar Ilmiah No. Nama Pertemuan Judul Artikel Ilmiah Waktu & Tempat ilmiah/seminar 1. Seminar Pentingnya Pengetahuan Bahasa Universitas PGRI Internasional Dan Pemamahaman Budaya Adibuana Surabaya ”Relasi Lokalitas- Dalam Komunikasi Globaltas Menuju Antarbudaya. Moderenitas Bahasa dan Sastra Indonesia” Yang diselenggarakan pada tanggal 24 s.d. 25 Juni 2009 2. Seminar Nasional Pentingnya Kompetensi HPBI Cabang “Peran Strategis Komunikatif Bagi Entrepreneur surabaya & Dep. Bahasa dalam Dan Setrategi Komunikasi Sastra Indonesia Menumbuhkan Dalam Iklan: Uapaya Mencapai FIB Unair, Yang Jiwa Kesuksesan Dalam diselenggarakan Kewirausahaan” Kewirausahaan pada tanggal 31 oktober 2009. F. Pengalaman Pengabdian No Tahun 1
2006
2
2007
3
4
2008
2009
Judul Pebgabdian Kepada Masyarakat Peranan Bahasa Asing di Era Globalisasi dan Informasi Peningkatan Prestasi Belajar Bahasa Inggris Murid SD dengan Menggunakan Peamainan sebagai Media Pembelajaran Pembinaan Surat Menyurat Dinas dan Sistem Kearsipan yang Benar Pada Perangkat Kelurahan Karang Rejo, Sumbersari. Pembinaan Surat Menyurat Dinas dan Sistem Kearsipan yang Benar Pada Remaja Masjid Miftahul Jannah, Jl. Sriwjaya Jember
Sumber Dana
Jumlah (Juta Rp)
Mandiri
3
DIKS
5
Mandiri
3
Mandiri
3
Demikian Daftar Riwayat Hidup ini, saya buat dengan sebenarnya sebagai lampiran dalam tulisan akhir (disertasi) Jember, 15 Januari 2013 Penulis,
Akhmad Haryono 435
3. Peta Kabupaten Jember
436
437
Sign In