PELAKSANAAN KAWIN KONTRAK DAN KONSEKUENSI PELAKU KAWIN KONTRAK TERHADAP ISI SURAT PERJANJIAN KAWIN KONTRAKNYA
TESIS
Oleh: Sendy Yudhawan 0906498004
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK 2011
i
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
PELAKSANAAN KAWIN KONTRAK DAN KONSEKUENSI PELAKU KAWIN KONTRAK TERHADAP ISI SURAT PERJANJIAN KAWIN KONTRAKNYA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Oleh: Sendy Yudhawan 0906498004
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK 2011
ii
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
PELAKSANAAN KAWIN KONTRAK DAN KONSEKUENSI PELAKU KAWIN KONTRAK TERHADAP ISI SURAT PERJANJIAN KAWIN KONTRAKNYA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Oleh: Sendy Yudhawan 0906498004
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK 2011
ii
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
iii
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
iv
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karunia-Nya yang telah ia limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini dengan judul “Pelaksanaan Kawin Kontrak Dan Konsekuensi Pelaku Kawin Kontrak Terhadap Isi Surat Perjanjian Kawin Kontraknya” ditujukan untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari tanpa doa, dukungan moril dan materiil, bimbingan, saran dan pengembangan ide dari berbagai pihak tidak mungkin tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 1.
Ibu Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H.., selaku pembimbing yang telah memberikan ide, nasehat, semangat, pertolongan, serta kesabarannya dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas panduannya, waktu yang diluangkan, serta atas perhatiannya untuk memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga bagi keberhasilan penulis yang sebaik-baiknya.
2.
Bapak Prof. Wahjono Darmabrata, S.H., M.H., selaku dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan dewan penguji yang telah mendidik dan memberikan saran dan panduan kepada penulis dalam pembuatan tesis ini.
3.
Bapak DR. Drs. Widodo Suryandono S.H., MH., selaku dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Pembimbing Akademik yang telah mendidik penulis dan memberikan panduan penulisan dalam pembuatan tesis ini.
4.
Dosen-dosen pengajar pada program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmu-ilmu yang sangat berharga kepada penulis dan memberikan panduan kepada penulis hingga bisa menyelesaikan masa perkuliahan dengan baik.
v
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
5.
Yang tercinta dan selalu kubanggakan, istri dan anak penulis, Caroline Yudhawan SH., MCL, dan Dicarlova Hira Yudha untuk selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang dan kebahagiaan kepada penulis.
6.
Yang tercinta dan selalu kubanggakan, keluarga penulis, Irjen. Pol (Pur). Drs. Doddy Sumantyawan S.H., dan Hj. Genny Gandawati untuk selalu menjadi orang tua yang baik dan selalu mencurahkan kasih sayang, doadoa dan kepercayaannya kepada penulis, juga kepada Benny Kriswanto dan Maryke Sukendar untuk selalu menjadi mertua dan orang tua yang baik yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa-doa, semangat dan kepercayaannya kepada penulis.
7.
Yang tercinta dan selalu kubanggakan, kakak-kakak penulis, Donny Herindrajaya, S.E., Fitria Primadani S.E., Drg. Intan Andalia, Komisari Polisi. Indra Darmawan, Sik, MSi.,dan Michel Fabio Kriswanto, S.E.
8.
Sahabat-sahabat penulis selama di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Peter Adrian, Achmad Zacky Yamani, Firdaus, Missi Ananda, Maya Hasanah, Puspa, Rendy, M. Heru Mahyudin, Tri Juliyanto , Rama Halim, Reza Maulana, Titie, yang sudah memberikan dua tahun yang menyenangkan bagi penulis selama masa kuliah di Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia.
9.
Harley Susanto, Mada Apriandi Zuhir, Rino Surya Budisaputra, Mellisa Titradijaya, Christine Yunita Pakpahan, Andrias Adi Nugroho, Made Bagus Dicky, Yanti Dewi, Sandra Carolina, Santi, Willy Hioe, Rewina Isnanto, Reza Baskoro, Yudis Siregar, Kianti Darusman, Troy Tobing, Lena, Raga dan Jefry selaku sahabat atas doa-doa, bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
10.
Seluruh teman-teman Magister Kenotariatan angkatan 2009.
11.
Karyawan-karyawan pada SekretariatProgram Kenotariatan Universitas Indonesia yang telah memberikan informasi dan bantuan yang sangat bermanfaat kepada penulis.
12.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penyusunan tesis ini.
vi
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian tesis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya mebangun sangat diharapkan bagi penyempurnaan pemikiran di kemudian hari. Demikian besar harapan penulis agar tesis ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang mebacanya. Depok, Juni 2011
Sendy Yudhawan
vii
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
ABSTRAK
Nama
: Sendy Yudhawan
Program Studi
: Magister Kenotariatan
Judul
: Pelaksanaan Kawin Kontrak Dan Konsekuensi Pelaku Kawin Kontrak Terhadap Isi Surat Perjanjian Kawin Kontraknya
Di Indonesia, perkawinan adalah sah menurut hukum apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama. Didalam perkembangan masyarakat sekarang ini munculah istilah kawin kontrak, dimana perkawinan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan adanya imbalan materi bagi salah satu pihak, serta ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam suatu kontrak atau kesepakatan tertentu.
Hal tersebut menjadi permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini. Didalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah empiris yuridis, dengan menggunakan metode analisis kualitatif, sehingga akan menghasilkan suatu data deskriptif, yaitu data yang melukiskan keadaan obyek atau peristiwa yang diteliti. Diperlukan upaya hukum untuk mencegah kawin kontrak, seperti upaya pemerintah memasukkan Rancangan UndangUndang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan ke dalam program legislasi nasional 2010-2014 yang melarang praktek kawin kontrak, atau diperlukan upaya hukum lainnya seperti membuat para pihak dalam perjanjian kawin kontrak tersebut mempunyai kedudukan yang seimbang.
Kata Kunci: Kawin Kontrak, Konsekuensi Pelaksanaan Perjanjian Kawin
Kontrak.
viii
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
ABSTRACT
Name
: Sendy Yudhawan
Program
: Notary Magister
Title
: The Implementation of a Marriage Contract and the Consequences on Its Terms of Agreement for Both Parties.
In Indonesia, the marriage is legally valid if done in accordance with the religion and belief each and were listed in the registry office marriages. Law No. 1 Year 1974 on Marriage view that marriage was not only seen from purely formal aspect, but also viewed from the aspect of religion. In the development of today's society comes the term marriage contract, where the marriage conducted in a certain period of time, and the material rewards for either party, as well as other provisions stipulated in a contract or specific agreement. This becomes the issue raised in this study. In this study, the method used is empirical juridical, using methods of qualitative analysis, so it will generate some descriptive data, ie data that describes the state of the object or event under study. Necessary legal measures needs to be taken to prevent the marriage contract, such as government efforts to incorporate the Bill (the Bill) Religious Courts Law on Marriage Material into the national legislation program from 2010 to 2014 that prohibiting the practice of marriages contract, or other legal efforts as necessary to make the parties to the agreement marriage contract has a balanced position.
Keywords: Efforts, Consequences, Terms of Marriage Contract Agreement.
ix
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH ………………………..……...…..1 1.2. PERUMUSAN MASALAH ………………………………....………..5 1.3. METODE PENELITIAN ……………………………...………………6 1.3.1 Jenis Penelitian ……………………………………………..…..…...6 1.3.2 Lokasi Penelitian ……………………..……………………………..6 1.3.3 Jenis dan Sumber Data ………………………………………...……6 1.4. MANFAAT PENELITIAN ……………………………………...…….8 1.5. SISTEMATIKA PENULISAN ………………………………….….…8
BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN 1. Tinjauan Umum Perkawinan ………………………………….….…….12 1.1. Pengertian Perkawinan ………………………………….…….….…..12 1.2. Asas-Asas Perkawinan ……………………………………….……….13 1.3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974 ………………………………………………...….14 1.4. Tujuan Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974 …………………………………………..….……..20 1.5 Harta Benda Dalam Perkawinan ……………………………….…......20 1.5.1 Harta Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ……………………………..…………..…....….21 1.5.2 Harta Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata …………………....……...22 1.5.3.Harta Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ………………………….......……24
x
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
1.6. Tinjauan Umum Perceraian …………………………………………..26 1.6.1 Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor Tahun 1974. ………………….……..….26 1.6.2. Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam. ………………………………..………..27 2. Tinjauan Tentang Kawin Kontrak Menurut Undang Undang No.1 Tahun 1974 ……………………………...……………31
BAB III PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK DI DESA BANDENGAN, JEPARA KOTA, DAN UPAYA HUKUM PENCEGAHANNYA 3.1. Upaya Yang Ditempuh Oleh Pelaku Kawin Kontrak Agar Dapat Terlaksananya Kawin Kontrak. …………………………….……..…36 3.2. Konsekwensi Pelaksanaan Isi Surat Perjanjian Kawin Kontrak Terhadap Pelaku Kawin Kontrak ………..…………..43 3.3. Pelaksanaan Perjanjian Kawin Kontrak Terhadap Asas-Asas Perkawinan ………………………….…...…….53 3.4. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Kawin Kontrak …………………………………………………..……56 3.5. Upaya Hukum Oleh Pihak Yang Berwenang Untuk Mencegah Terjadinya Kawin Kontrak ………………………..59 3.6. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Notaris Dalam Menyikapi Permintaan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Kontrak ……………………………..……….63
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan….………………………………………………………...68 4.2. Saran-Saran……………………………………………………………71
xi
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan
xii
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Di Indonesia perkawinan adalah sah menurut hukum apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil.
1
Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini munculah istilah kawin kontrak. Perkawinan kontrak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan adanya imbalan materi bagi salah satu pihak, serta ketentuan-ketentuan lain, yang diatur dalam suatu kontrak atau kesepakatan tertentu, jadi dalam kawin kontrak yang menonjol hanyalah keuntungan dan nilai ekonomi dari adanya perkawinan tersebut. Adanya kontrak atau kesepakatan tersebut yang menyebabkan kawin kontrak berbeda dengan perkawinan pada umumnya, karena memuat jangka waktu berakhirnya perkawinan maka perkawinan itu akan berakhir tanpa adanya putusan pengadilan, perceraian, atau kematian. Sehingga kawin kontrak sendiri tidak dapat dicatat oleh kantor pencatatan perkawinan seperti KUA dan catatan sipil. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan yang didasarkan pada kontrak tentu saja bertentangan dengan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk membangun sebuah perkawinan harus didasari adanya kasih sayang diantara keduanya, dan adanya niat tulus untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, rahmah dan kekal selama-lamanya. Walaupun dalam kawin 1
Prof. Wahjono Darmabrata, SH.,MH, Hukum Perdata: Asas‐ Asas Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Gitamajaya, 2004), hlm 101.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
2
kontrak juga didasari adanya rasa kasih sayang, tetapi tidak ada niat yang tulus untuk membangun perkawinan yang mulia, dan tidak bertujuan untuk membangun rumah tangga yang kekal dan selama-lamanya tetapi hanya bersifat sementara. Perbedaan-perbedaan tersebut yang menyebabkan kawin kontrak disebut sebagai perkawinan yang tidak diakui, karena kawin kontrak sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan yang sangat mulia. Dalam hukum islam kawin kontrak atau dalam istilah lain disebut nikah
mut’ah
tidak diperbolehkan karena melanggar
aturan agama, karena sifatnya yang dibatasi. Kawin kontrak bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan ekonomi semata, sedangkan dalam islam perkawinan tidak hanya untuk kebutuhan dunia saja, tetapi juga untuk akhirat. Fenomena kawin kontrak ini semakin lama semakin banyak, walaupun pelaksanaannya sangat bertentangan dengan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum agama Islam. Setiap orang yang menjadi bagian di dalamnya pastinya memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap permasalahan kawin kontrak tersebut, oleh karenanya Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, pelaksanaan perkawinan merupakan momentum yang penting dan harus dilestarikan, maka selain perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaannya, maka perkawinan hendaklah dicatatkan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat: (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu“ (2) “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan
perkawinan
sebenarnya
hanya
merupakan
tindakan
administrasi negara, karena di dalam rukun dan syarat perkawinan tidak ditentukan, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama setempat, walaupun pencatatan tidak merupakan keharusan akan tetapi dengan pencatatan perkawinan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
3
akan mempunyai bukti otentik yang mempunyai kekuatan hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan : (1) “Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) (2) “Perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum” Berdasarkan pengertian kawin kontrak di atas dapat diketahui bahwa, kawin kontrak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita untuk jangka waktu tertentu, setelah jangka waktu tertentu tersebut habis maka perkawinan tersebut berakhir secara otomatis tanpa adanya kewajiban maupun hak-hak antara kedua belah pihak yang harus diselesaikan dan dilaksanakan. Di Indonesia, kawin kontrak, di dalam kalangan masyarakat sendiri masih terdapat keragaman pemahaman tentang perkawinan tersebut sendiri, hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara para ulama (pemuka ajaran Islam) dengan para Syi’ah, diantaranya perbedaan antara Ulama Ahlu Sunnah dengan Syi’ah Imamiyah, yang menurut Jumhur Ulama Ahlu Sunnah, dinyatakan bahwa, kebolehan nikah mut’ah atau kawin kontrak itu sebenarnya sudah dicabut, yang mengandung pengertian bahwa, sekarang hukumnya haram, akan tetapi menurut pandangan Ulama Syi’ah menyatakan, kebolehannya melakukan nikah mut’ah atau kawin kontrak, dari dulu sudah merupakan ijma’ ulama dan telah diyakini bersama akan kebolehannya, sedangkan adanya dalil yang mencabut larangan untuk nikah mut’ah atau kawin kontrak tersebut masih bersifat diragukan, karena menurut Ulama Syi’ah ini bahwa, tidak sesuatu yang yang telah meyakinkan tidak dapat dicabut, dan dinyatakan pula tidak ada Hadist Nabi yang shahih yang 2
mencabut kebolehan untuk melakukan Nikah Mut’ah atau kawin kontrak. Oleh karenanya di Indonesia pada kurun waktu sekarang ini di beberapa daerah pelaksaan kawin kontrak sudah membudaya dan tidak asing lagi, para pelaku kawin kontrak beranggapan bahwa perkawinan mereka juga sah, karena dilakukan 2
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011 ‐02 17/93143/MUI_Jatim_Terjunkan_Tim_Pencari_Fakta_ke_Pasuruan, April 2011
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
4
di depan penghulu atau kyai setempat dan telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sehingga sudah dapat dikatakan kalau perkawinan yang mereka lakukan sah-sah saja, walaupun di dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian kontrak maupun perjanjian lainnya yang telah menjadi kesepakatan kedua belah pihak yang bersangkutan, yang mana isi dari perjanjian tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang dijanjikan setelah ijab qobul selesai, isi dari surat perjanjian yang disepakati kedua belah pihak tersebut biasa dibuat oleh pihak laki-laki dan pada umumnya merugikan pihak wanita, akan tetapi bagi para wanita yang melaksanakan kawin kontrak atau nikah mut’ah tersebut pada umumnya tidak keberatan melaksanakan walaupun kalau dilihat dari isi perjanjian tersebut pihak wanita sangat dirugikan, karena para wanita yang melakukan kawin kontrak atau nikah mut’ah tersebut mempunyai maksud dan tujuan tertentu, sehingga mereka merasa untung juga. Adapun tujuan para wanita pelaku kawin kontrak adalah untuk mendapatkan perbaikan kesejahteraan pada tingkat perekonomian yang lebih memadai, karena si wanita akan memperoleh materi dan mas kawin atas kesanggupannya sebagai istri kontrak. Oleh karenanya banyak masyarakat Indonesia yang beragama Islam melakukannya, walaupun dalam ajaran Islam sekarang ini telah dilarang, seperti yang terjadi di daerah Kabupaten Jepara di desa Bandengan, kaum wanitanya banyak melakukan kawin kontrak atau nikah mut’ah dengan orang asing, hal ini lazim dilakukannya sehingga tidak heran para orang tua yang mempunyai anak gadis akan mempunyai kehidupan yang lebih baik, karena para orang tua tersebut justru mendukung dan mencarikan anak gadisnya yang mau mengontraknya, karena nilai kontrak perkawinannya dan mas kawinnya dinilai sangat tinggi, oleh karenanya mereka beranggapan beruntung karena dapat berpola hidup yang lebih baik. Di dalam perkawinan kontrak semua akibat hukum yang timbul dari perkawinan sulit dilaksanakan, karena dalam pelaksanaa n kawin kontrak telah ada kesepakatan antara para pihak pelaku kawin kontrak dalam bentuk surat perjanjian, yang mana isi dari surat perjanjian kontrak biasanya hanya diketahui oleh kedua belah pihak dan keluarganya, sedangkan akibat hukum dari perkawinan kontrak jarang sekali dipermasalahkan, karena semua kesepakatan, maupun pembagian harta kekayaan, semua hak dan kewajiban serta hak asuh dan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
5
rawat anak telah dibicarakan dan diselesaikan pada awal pelaksanaan perkawinan, yang telah tertuang dalam isi surat perjanjian, sehingga bila waktu kawin kontrak telah berakhir semua telah jelas dan akan berakhir dengan sendirinya tanpa beban hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan ditanggung oleh para pihak. Para pelaku kawin kontrak beranggapan bahwa perkawinan yang telah mereka lakukan adalah sah, karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, sebagaimana rukun dan syarat yang ditentukan dalam ajaran Islam, serta langkah-langkah dan proses pelaksanaan perkawinan kontrak juga sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh adat kebiasaan setempat dan ajaran agama yang diyakininya, maka perkawinan kontrak mereka anggap sah, walaupun kawin kontrak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari perkawinan yang tertuang dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dalam Pasal : Pasal (1) “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Demikian juga tujuan dari perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, tetuang dalam Pasal (3): “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Sedangkan maksud dan tujuan dari kawin kontrak hanya dengan batasan waktu tertentu untuk mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan yang diinginkan, tidak akan terwujud adanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, karena tidak ada ikatan lahir dan batin antara kedua belah pihak. 1.2. PERUMUSAN MASALAH
Perkawinan yang dilakukan dengan perjanjian kawin kontrak ini akan menimbulkan akibat yang berpengaruh terhadap : 1. Apakah konsekuensi dari pelaksanaan isi perjanjian kawin kontrak terhadap pelaku kawin kontrak? 2. Apakah bentuk perlindungan hukum untuk pelaku kawin kontrak?
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
6
3. Upaya apakah yang ditempuh oleh pihak yang berwenang untuk mencegah timbulnya kawin kontrak?
1.3. METODE PENELITIAN 1.3.1 Jenis Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendektan yuridis empiris, yaitu prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan.3 Faktor yuridis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Pemerintah atau Undangundang, sedangkan fakta empirisnya yaitu dengan melihat kenyataan yang ada mengenai pelaksanaan Kawin kontrak dan Akibat Hukumnya. Dalam pendekatan yuridis empiris, permasalahan yang akan diteliti menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan Pelaksanaan kawin Kontrak, prosedur yang harus dipenuhi untuk tercapainya pelaksanaan Kawin kontrak, sehingga kawin kontrak dapat terlaksana.
1.3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi Desa Bandengan, Kecamatan jepara Kota, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
1.3.3 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan terdiri atas dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder yang dapat diperoleh melalui tatakerja sebagai berikut: 1. Data primer
3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pers, Jakarta, 1984), hlm. 52.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
7
Adalah data yang diperoleh secara langsung dari sembernya sehingga dapat memberikan keterangan secara jelas dan nyata. Cara memperoleh data dilakukan dengan wawancara, wawancara dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik 4
dan masuk kepada tujuan penelitian. Teknik wawancara yang digunakan adalah tehnik wawancara terarah (directive interview). Didalam wawancara terarah terdapat pengarahan atau struktur tertentu yaitu: 1. Rencana pelaksanaan wawancara; 2. Mengatur daftar pertanyaan serta membatasi jawaban-jawaban; 3. Memperhatikan karakteristik pewawancara maupun yang diwawancarai; 4. Membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa. Wawancara terarah menggunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan terlebih dahulu, namun tidak menutup kemungkinan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara berlangsung dan bertujuan supaya arah wawancara tidak menyimpang dari pedoman yang ditetapkan sebelumnya. 2. Data Sekunder Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup : 1. Bahan Hukum Primer, yaitu meliputi : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan; d. Kompilasi Hukum Islam 2. Bahan hukum sekunder, yaitu meliputi :
4
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta:Andi offset, 1989), hlm. 193.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
8
a. Artikel-artikel; b. Buku-buku; c. Internet; d. Makalah-makalah dan tulisan ilmiah. Data yang di kedepankan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder akan dipergunakan sebagai landasan pemikiran yang bersifat teoritis yang mana diharapkan dapat memberikan analisis yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian dalam kasus ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam menganalisa : 1. Secara praktis, diharapkan dengan penelitian ini akan memberikan bahan masukan bagi pemerintah, khususnya terhadap perlindungan hukumnya terhadap wanita Indonesia yang melaksanakan kawin kontrak dengan warganegara asing yang berdomisili sementara di Indonesia; 2. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan keilmuan khususnya pengembangan ilmu hukum.
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
Didalam tesis ini yang akan memaparkan Pelaksanaan Kawin Kontrak dan Konsekwensi Pelaku Kawin Kontrak Terhadap Isi Surat Perjanjian Kawin Kontraknya, penulis berusaha menyusun secara sistematis mengenai masalah tersebut, yang merupakan verbalisasi isi penulisan secara singkat. Adapun bagian bagiannya, yaitu:
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
9
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN
Di dalam tesis ini terdiri beberapa bab yang satu dan lainnya saling terkait, untuk lebih jelasnya tesis ini akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Didalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, metode penelitian yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dan kemudian dilanjutkan dengan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai landasan teoritis di dalam penelitian ini berupa penjelasan mengenai subjek-subjek penelitian, baik bersumber dari buku buku,
pendapat
para
ahli
maupun
sumber-sumber
lain
yang
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk dapat dijadikan dasar pemikiran dalam penulisan tesis ini.
BAB III PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK DI DESA BANDENGAN, JEPARA KOTA, DAN UPAYA HUKUM PENCEGAHANNYA
Pada bab ini berisi analisis permasalahan kawin kontrak yang akan dipaparkan secara rinci kemudian akan dianalisa oleh penulis
BAB IV PENUTUP
Pada bagian penutup dari tesis ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat ditarik dari permasalahan dalam kawin kontrak dan upaya untuk mencegah terjadinya kawin kontrak dan diakhiri dengan saran dari penulis mengenai permasalahan tersebut.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
10
BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN
1. Tinjauan Umum Perkawinan
1.1 Pengertian Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh yang mengikat kedua pihak saja. Suami istri ialah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak ada fungsi sebagai suami istri.5 Dalam rumusan UU No.1 Tahun 1974, mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal yang dapat berakhir dengan kematian. Makna perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974, adalah perkawinan dapat memenuhi kebutuhan lahiriah sebagai manusia, sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya, yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. 6 Dari perkawinan tersebut, diharapkan akan lahir keturunan, sehingga manusia dapat melestarikan jenisnya.
5
Prodjodikoro Wirjono,SH, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (1990: Bulan Bintang, Jakarta), hlm 23. 6 Mr Martiman Prodjohamidjojo, MM, MA, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal center Publishing, 2007), hlm 9.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
11
1.2. Asas-Asas Perkawinan
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan menurut UndangUndang nomor 1 Tahun 1974, terdapat asas-asas yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan perkawinan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana dijelaskan di dalam penjelasan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, bahwa : 7
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam rangka mencapai kebahagiaan spiritual.
b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa, suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. berla ku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan pencatatan penting dalam kehidupan seseorang, seperti halnya kelahiran dan kematian atau suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini mencatat asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan kareana hukum atau agama mengijinkannya seorang suami dapat beristri lebih dari seorang, meskipun hal itu dilakukan dengan pemenuhan berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa, calon suami-istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Perkawinan erat dengan masalah kependudukan, maka bila batas umur yang lebih muda, bagi 7
Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH, dan Surini Ahlan Sjarif, SH.,MH, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm 17‐20
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
12
seorang wanita untuk melakukan perkawinan akan berakibat laju angka kelahiran yang tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang telah cukup untuk melakukan perkawinan. Oleh karenanya undang-undang menentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.
e. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di muka sidang pengadilan.
f. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.
1.3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Dalam UU No.1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing itu”, dan pada ayat 2 disebutkan:”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing masi ng-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai UUD 1945. yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. UU No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan yaitu pada Bab II pasal 6 sampai 12, yang dimaksud syarat ialah segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang, sebelum perkawinan dilangsungkan. Ada
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
13
dua macam syarat-syarat perkawinan, yaitu syarat-syarat material dan syaratsyarat formal. Syarat-syarat material adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga ‘syaratsyarat subjektif”. Sedangkan syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undangundang disebut juga “syarat-syarat objektif”. Syarat-syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan adalah:8
1). Persetujuan kedua calon mempelai
Menurut ketentuan pasal 6 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Artinya kedua calon mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai pula dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Persetujuan kedua calon mempelai ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam undang undang, dan tidak pula mengurangi ketentuan yang berlaku berla ku menurut hukum agamanya masingmasing.
2). Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun
Menurut ketentuan pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan.
3). Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun
Menurut ketentuan pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974, untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus 8
Ibid., hlm21‐32.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
14
mendapat izin kedua orang tua. Izin orang tua ini wajar, karena mereka yang belum berumur 21 tahun itu adalah belum berumur dewasa menurut hukum. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin itu cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (ayat 3). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (ayat 4). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal 6 ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadailan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin, setelah lebih dahulu mendengar orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini (ayat 5). Ketentuan yang tersebut dalam ayat 1 sampai dengan 5 pasal ini berlaku sepanjang
hukum
masing-masing
agama
dari
yang
bersangkutan
tidak
menentukan lain.
4). Tidak masih terikat dalam satu perkawinan
Menurut ketentuan pasal 9 UU No.1 tahun 1974, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 (tentang poligami). Ini adalah ketentuan mengenai perkawinan monogami, dalam waktu yang sama seorang suami tidak boleh mengawini wanita lain lagi. Tetapi apabila ia telah bercerai dengan istrinya dengan putusan pengadilan, barulah ia boleh kawin lagi dengan wanita lain.
5). Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami/istri yang samayang hendak dikawini
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
15
Menurut ketentuan pasal 10 UU No.1 tahun 1974, apabila suami dan istri telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masingmasing agama dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
6). Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu
Menurut ketentuan pasal 11 ayat 1 bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Menurut ketentuan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 masa tunggu ditetapkan sebagai berikut:
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari,
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari, dan bagi yang sedang hamil ditetapkan sampai melahirkan anak, dan bagi yang belum pernah disetubuhi oleh bekas suaminya tidak ada waktu tunggu.
3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung
mempunyai
sejak
kekuatan
jatuhnya hukum
putusan
yang
tetap,
pengadilan
yang
sedangkan
bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian suaminya.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
16
7). Sudah memberi tahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Menurut ketentuan pasal 3 P.P. No.9 tahun 1975, setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (pasal 4 P.P. No.9 tahun 1975). Jika pemberitahuan dilakukan oleh wakil, harus dilakukan dengan surat kuasa khusus.
8). Tidak ada yang mengajukan pencegahan
Menurut ketentuan pasal 13 UU Perkawinan, perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan. Ini berarti apabila ada yang mencegah pelangsungan perkawinan, di antara dua calon mempelai itu masih ada syarat yang belum dipenuhi. Tetapi jika tidak ada yang mencegah berarti kedua calon mempelai itu memenuhi syaratsyarat. Yang dapat mengajukan pencegahan itu ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan (pasal 14 ayat 1 UU Perkawinan). Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan, dengan pemberitahuan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Oleh pegawai pencatat perkawinan pencegahan tersebut diberitahukan kepada kedua calon mempelai (pasal 17 UU Perkawinan).
9). Tidak ada larangan perkawinan
Mengenai larangan perkawinan, ada diatur dalam pasal 8 UU Perkawinan. Menurut ketentuan pasal 8 UU Perkawinan, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
17
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah, misalnya antara anak dengan bapak/ibu, antara cucu dengan nenak/kakek,
b. Berhubungan darah dalam garis keterunan menyamping yaitu antara saudara , antara seorang dengan orang tua, antara seorang dengan saudara neneknya,
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri,
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,dan bibi/paman susuan,
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang,
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Dengan demikian, apabila salah satu dari larangan ini tidak ada, berarti syarat ini dipenuhi, dan perkawinan dapat dilangsungkan.
Kesembilan syarat di atas ini sifatnya kumulatif, artinya harus dipenuhi semua. Apabila sudah dipenuhi semua syarat tersebut, maka perkawinan dapat dilangsungkan.tetapi apabila salah satu saja tidak/belum dipenuhi maka 9
perkawinan ditunda sampai dipenuhinya semua syarat.
9
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional , (Jakarta: Bineka Cipta, 1991), hlm 36.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
18
1.4. Tujuan Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Menurut ketentuan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa.
Membentuk
keluarga
artinya
membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anakanak, membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami dan istri, atau antara suami istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja menurut kehendak pihak-pihak. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan secara berkeadaban pula, sesuai dengan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Setiap perkawinan pasti ada tujuan. Tujuan ini tersimpul dalam fungsi suami istri. Tidak mungkin ada fungsi suami istri tanpa mengandung suatu tujuan. Tujuan ini dalam Undang-Undang Perkawinan dirumuskan dengan jelas yaitu membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 1 UndangUndang
Perkawinan
rumusan
perkawinan
sekaligus
mencakup
tujuan.
Lengkapnya adalah “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa”.10
10
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor:1‐1974, (Jakarta: Tintamas, 1986) hlm 74
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
19
1.5 Harta Benda Dalam Perkawinan
Adanya harta kekayaan dalam perkawinan merupakan salah satu akibat dari adanya perkawinan, dimana selama dalam perkawinan harta yang diperoleh adalah merupakan harta bersama, dalam perjalanan hidup berumah tangga tentunya tidak akan selalu berjalan mulus, tentunya akibat terburuknya adalah perceraian, akibat dari perceraian sendiri akan membawa dampak terhadap harta benda sepanjang perkawinan, maka akan terjadi pembagian harta benda antara suami dan istri serta anak-anak sebagai ahli warisnya. Pembagian tersebut dapat dilaksanakan melalui sidang di Pengadilan Agama atau dapat juga dilaksanakan di luar persidangan Pengadilan Agama, yakni dengan musyawarah para pihak.
11
1.5.1 Harta Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974.
Harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, yang berbunyi:
12
Pasal 35:
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
11
Prof. Wahjono Darmabrata, SH, MH, Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan, (Jakarta: Rizkita, 2009), hlm 128. 12 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), cet 15, (Jakarta: Pradnya Paramitra, 1982).
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
20
2) Mengenai harta bersama masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37:
1) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Atas dasar pasal-pasal tersebut di atas yang dimaksud harta bersama adalah harta bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh suami-istri semenjak mereka terikat ke dalam suatu perkawinan yang sah dan apabila perkawinan putus, maka harta perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama atau hukum adat ataupun 13
hukum lainnya. Seperti halnya dalam kawin kontrak, berakhirnya perkawinan akan membawa akibat terhadap harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung, akan tetapi biasanya penyelesaiannya tidak rumit, karena ada perjanjian yang telah mengikat untuk menyelesaikannya.
1.5.2 Harta Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Harta kekayaan dalam perkawinan menurut UU Hukum Perdata diatur 14
dalam bab ke enam, yang pasal-pasalnya berbunyi :
Pasal 119 : “Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan prjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri”.
13
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju,1990) hlm 151. 14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), cet 15, (Jakarta: Pradnya Paramitra, 1982).
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
21
Pasal 120 : “Sekedar mengenai laba-labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan istri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal terakhir ini si yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya”.
Pasal 121 : “Sekedar mengenai beban-bebannya, persatuan itu meliputi segala utang suami istri masing-masing yang terjadi, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan”.
Pasal 122: ”Segala hasil dan pendapatan, sepertipun segala utang dan rugi sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan”.
Pasal 123 : ”Segala utang kematian, terjadi setelah matinya, harus dipikul ahli waris dari si yang meninggal sendiri”.
Untuk pemisahan harta kekayaan diatur dalam Bab ke sembilan, diatur dalam pasal-pasal:
Pasal 186 :
“Sepanjang perkawinan setiap istri berhak memajukan tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal-hal sebagai berikut : Ayat (1e) : “Jika si suami karena kelakuannya yang nyata tak baik telah memboroskan harta kekayaanpersatuan dan karena itu menghadapkan segenap keluarga rumah kepada bahaya keruntuhan”.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
22
Ayat (2e): ”Jika karena tidak ada ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta kekayaansi suami sendiri, jaminan guna harta kawin si istri dan guna segala apa yang menurut hukum menjadi hak si istri akan menjadi kabur atau jika karena sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta kawin si istri kekayaan ini dalam keadaan bahaya. Pemisahan harta kekayaan atas permufakatan sendiri adalah dilarang”.
1.5.3. Harta Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Harta perkawinan diatur dalam Bab XIII, dari Pasal 85 sampai dengan Pasal 97, adapun pasal-pasal tentang harta bersama sepanjang perkawinan terdapat dalam pasal-pasal15 :
Pasal 85:
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri”.
Pasal 86 :
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
15
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (Jkarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2002)
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
23
Pasal 87 :
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya.
Pasal 88:
“ Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri tentang harta bersama, maka penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.
Dari uraian pasal-pasal tersebut di atas, maka yang dimaksud harta bersama menurut KUH Perdata adalah harta bergerak maupun tidak bergerak yang dihasilkan oleh seseorang sesudah kawin menjadi harta persatuan dari kedua belah pihak yaitu pihak suami maupun pihak istri, baik tentang rugi atau laba maupun utang piutang merupakan kekayaan persatuan yang dapat diperhitungkan, dan apabila suami ternyata terbukti seorang pemboros, pemabok, maka pihak istri dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri dan menghadapkan segenap keluarganya agar harta kekayaannya dipisahkan. Dari pasal-pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dapat disimpulkan bahwa, Harta Bersama adalah harta yang dimiliki seseorang sejak mereka diikat dalam suatu perkawinan, harta itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau harta berwujud atau tidak berwujud, sedangkan harta bawaan merupakan harta yang dimiliki calon suami maupun calon istri sebelum diikat dalam suatu perkawinan, harta kekayaan tersebut dapat dipersatukan sesuai dengan suatu perjanjian yang mereka 16
sepakati. Sedangkan menurut hukum islam atau di dalam kompilasi Hukum
16
Zahry Hamid, Pokok ‐Pokok Hukum Perkawinan dan UU Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Binacipta, 1978), hlm 158.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
24
Islam (KHI) pada prinsipnya harta bersama tidak ada, akan tetapi Harta Hasil Usaha selama dalam perkawinan wajib dipelihara oleh masing-masing suami dan 17
istri.
1.6. Tinjauan Umum Perceraian
1.6.1. Terjadinya Perceraian Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974
Perceraian merupakan salah satu cara untuk memutuskan ikatan perkawinan sebagaimana tertera dalam Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; c. Atas keputusan pengadilan”.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian karena tujuan daripada perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Adapun alasan perceraian yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 beserta penjelasannya dan depertegas lagi dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
1. Salah satu pihak menjadi penzina, pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagaimana yang sulit disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang salah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
17
Zahry Ahmid, Pokok ‐Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990),hlm 141.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
25
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau menderita penyakit, dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
6. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1.6.2. Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam
Tata cara perceraian juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yang 18
menyatakan putusnya perkawinan terjadi karena :
a. Talak (Pasal.114)
b. Gugatan cerai (Pasal.114)
c. Li’an (Pasal.124)
a. Tata Cara Talak
Arti talak terdapat dalam Pasal 117 UU Perkawinan, dikatakan bahwa “Talak adalah ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,130,131, adapun talak yang dimaksud dalam Pasal 117 Kompilasi hukum Islam adalah sebagai berikut : 18
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (Jkarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2002)
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
26
1. Suami beragama Islam akan menjatuhkan telak kepada istrinya dengan mengajukan permohonan baik lisan meupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan serta minta diadakan sidang untuk keperluan itu (Pasal 129).
2. Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap keputusan itu dapat diadakan upaya hukum banding (Pasal 130).
3. Sesudah menerima permohonan talak dari suami, Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan yang dimaksud alam Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pemohon dan istrinya
untuk
meminta
penjelasan
tentang
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak (Pasal 131, ayat 1).
4. Sesudah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga maka Pengadilan Agama menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan Agama menjatuhkan putusan tentang ijin bagi suami untuk mengikrarkan talak (Pasal 130, ayat 2).
5. Sesudah
keputusan
mempunyai
kukuatan
hukum
tetap,
suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama dengan dihadiri oleh istri atau kuasanya (Pasal 130, ayat 3).
6. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak keputusan Pengadilan Agama tentang ijin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
27
mengikrarkan talak tersebut gugur dan perkawinan tetap utuh (Pasal 130, ayat 4).
7. Sesudah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat tentang terjadinya talak sebanyak empat rangkap yang merupakan bukti perceraian untuk bekas suami dan istri. Lembar pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah, untuk lembar ke dua dan ke tiga diberikan kepada masing-masing suami-istri dan lembar ke empat disimpan oleh Pengadilan Agama, maka sahlah perceraian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa, “perceraian itu terjadi terhitung saat perceraian tersebut dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama, mulai saat itu segala akibat perceraian berlaku”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada bermacam-macam talak, yaitu :
1. Talak Raj’I: yaitu talak ke satu atau ke dua dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa idah (Pasal 118).
2. Talak Ba’in Sungkra: yaitu talak yang tidak dapat dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suami meskipun dalam masa iddah, yang dimaksudkan dengan ba’in sugkra di sini talak yang terjadi qabla al dukhul, yakni talak dengan tebusan (khuluk) dan talak yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (Pasal 119).
3. Talak Ba’in Kubra: yaitu talak yang terjadi untuk ke tiga kalinya, talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikmati lagi kecuali bila pernikahan tersebut dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dhukul dan habis masa iddahnya (Pasal 120).
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
28
4. Talak Suny: yaitu talak yang dilarang, yang dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan tidak suci, tetapi sudah dicampuri dalam keadaan suci tersebut (Pasal 121).
b. Tata cara Li’an.
Selain talak cara putusnya perkawinan yang juga terjadi karena diajukan suami adalah Li’an, yakni pemutusan hubungan suami-istri untuk selama-lamanya yang dilakukan oleh suami (Pasal 125). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berzina dan mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istrinya menolak tuduhan dan atau pengingkaaran tersebut. Adapun tata cara Li’an diatur dalam Pasal 127 Kompilasi hukum Islam, sebagai berikut :
1. Suami bersumpah empat kali dengan kata-kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah ke lima dengan kata-kata “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.
2. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali, dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah ke lima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengigkaran tersebut benar”.
3. Apabila tata cara angka sati tidak diikuti dengan tata cara angka 2, maka dianggap tidak pernah terjadi li’an.
Dalam hal ini li’an hanya sah apabila dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 128). Akibat dari li’an ini maka perkawinan tersebut putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suami bebas dari kewajiban memberi nafkah. Istri yang telah di li’an oleh suaminya biasanya akan mendapat cap yang buruk sebagai wanita yang bejat,
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
29
karena menyeleweng dari suami dan bagi suami sendiri jika telah melakukan li’an maka penyesalan tidak akan berguna dan bila suami akan merujuk istrinya kembali sudah tidak bisa, di lain pihak untuk kepentingan anak sendiri akan berakibat buruk juga di masyarakat, karena masyarakat akan menganggap anak tersebut sebagai anak luar kawin atau anak haram, hal ini akan mempengaruhi jiwa dan kehidupan. Mengingat akibat li’an sangat buruk maka sebelum suami memutuskan untuk menjatuhkan li’an terhadap istrinya, suami harus benar-benar memikirkan segala akibat yang akan terjadi dengan adanya li’an tersebut, sebaiknya suami memilih cara cerai lain yang bisa dilakukan dengan tuduhan 19
melakukan zina.
c. Tata Cara Cerai Gugat
Cerai gugat merupakan cara perceraian yang diawali dengan pengajuan gugatan cerai oleh istri melalui Pengadilan Agama, untuk mengajukan suatu gugatan perceraian istri dapat melakukannya secara langsung maupun melalui kuasa hukumnya. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempattinggal penggugat kecuali bila istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin suami (Pasal 132). Cerai gugat melalui empat proses, yaitu :
1. Pengajuan gugatan; 2. Pemanggilan; 3. Pemeriksaan; 4. Putusan.
19
Ibid, hlm 145.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
30
2. Tinjauan Tentang Kawin Kontrak Menurut Undang Undang No.1 Tahun 1974
Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah kawin kontrak. Kawin kontrak tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, karena kawin kontrak merupakan
sebuah
fenomena
baru
dalam
masyarakat.
Kawin
kontrak
menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan dari kawin kontrak adalah untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tanpa disertai adanya keinginan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan perkawinan pada umumnya, sehingga kawin kontrak dianggap menyimpang dari tujuan
perkawinan
yang
mulia.
Kawin
kontrak
merupakan
perkawinan
berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan yang dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa asas tersebut diantaranya adalah:
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
31
a. Tujuan perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, serta sangat
mengharapkan
keuntungan
secara
ekonomi
dari
dilaksanakannya
perkawinan, selain itu memiliki keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam kawin kontrak.
b. Perkawinan kekal
Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka berlangsunglah perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal batas waktu. Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan asas tersebut. Jika dilakukan juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, karena jangka waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka waktunya telah habis maka perkawinan dapat diputuskan.
c. Perjanjian Perkawinan
Mempelai laki-laki dan mempelai wanita yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya: Pasal 1, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Pasal 2, “Perjanjian tersebut
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
32
tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.”
Pasal
3,
“Perjanjian
tersebut
berlaku
sejak
perkawinan
dilangsungkan.” Pasal 4, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Menurut isi ketentuan pasal 29 tersebut, perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1). Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
2). Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai pencatat,
3). Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan,
4). Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
5). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah,
6). Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.
Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi 20
pada masa yang akan datang. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami dan istri adalah sebagai berikut:
1). Perjanjian mengikat pihak suami dan istri,
20
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, ( Bandung: Mandar Maju,1990) hlm 176.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
33
2). Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan,
3). Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri, serta disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun 1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Karena isi perjanjian
perkawinan
dalam
kawin
kontrak
mengatur
tentang
jangka
waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan yang sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah perkawinan yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk kebahagiaan dunia tetapi juga untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan batas batas agama, hukum dan kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka perkawinan tersebut batal karena melanggar ketentuan UU No.1 tahun 1974. Secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal. Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
34
bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
35
BAB III PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK DI DESA BANDENGAN, JEPARA KOTA, DAN UPAYA HUKUM PENCEGAHANNYA
3.1. Upaya Yang Ditempuh Oleh Pelaku Kawin Kontrak Agar Dapat Terlaksananya Kawin Kontrak
Untuk dapat terlaksananya kawin Kontrak atau Nikah mut’ah dapat dilalui dengan beberapa tahapan,meskipun kawin kontrak atau nikah mut’ah telah dilarang oleh fatwa MUI dan tidak diakui olrh Undang-Undang, akan tetapi dikalangan masyarakat masih banyak praktek dilakukannya kawin kontrak (nikah mut’ah), hal ini dilakukan karena adanya alasan tertentu, diantaranya :
1. Adanya keinginan peningkatan ekonomi yang lebih tinggi;
2. Terdesaknya kebutuhan rumah tangga;
3. Adanya dorongan dari orang tua dan keluarga;
4. Ingin mendapatkan keturunan yang lebih baik.
Kalaupun Nabi Muhammad pernah memperbolehkan nikah mut’ah kepada kaum laki-laki saat peperangan dahulu, itu karena waktu itu hukumIslam belum sempurna, karena nikah menurut pandangan Islam merupakan aktualisasi dari ketakwaan, jadi bukan hanya sekedar menghalalkan hubungan biologis, akan tetapi juga memiliki pesan-pesan yang mulia, oleh karenanya nikah mut’ah 21
diharamkan, supaya aktualisasi dan kebaikannya menjadi tidak hilang. Dengan adanya larangan dari Rosulullah dan hadist-hadist Nabi yang mengharamkan nikah mut’ah, maka umat Islam takut melakukan nikah mut’ah karena hukumnya haram sama dengan berzina, seperti dikatakan oleh Imam Ash-Shadiq, bahwa 21
http://www.nurmadinah.com/2010/11/nikah ‐mut%E2%80%99ah ‐halal‐atau‐haram/, Juni 2011
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
36
22
“Mut’ah itu sama dengan zina.” (Al-Baihaqi). Sebenarnya semua aliran Syi’ah juga mengharamkan Mut’ah, akan tetapi ada juga aliran Syi’ah yang memperbolehkan nikah mut’ah, yaitu Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah, aliran ini beranggapan berzina lebih dosa daripada mut’ah, aliran ini juga mengatakan bahwa, yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Kholifah Umar, ini berarti bahwa Khalifah Umar telah kafir karena dia telah mengharamkan mut’ah yang halal23 Khalifah Syi’ah itu sengguh berani mengkafirkan Khalifah Umar padahal beliau adalah penasihat Khalifah Ali Bin Abi Thalib, khalifah Syi’ah Imamiyah 24
Itsna Asyariyah memang benar-benar benci kepada para sahabat Nabi. Oleh karenanya
seperti
halnya
di
daerah
Bandengan,
Jepara
ini,
sebagian
masyarakatnya juga beranggapan bahwa nikah mut’ah (kawin kontrak) juga dihalkan karena menurut mereka pelaksanaan kawin kontrak (nikah mut’ah) telah sesuai dengan rukunnya nikah, adapun rukunnya perkawinan menurut Fathullah Al-Kasyani ada lima sebagai berikut : 25
1. Suami;
2. Istri;
3. Mahar;
4. Pembatasan waktu;
5. Shiqhat ijab qabul.
Rukun dan syarat perkawinan Islam dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 sampai dengan pasal 17, adapun syarat dan rukun yang paling utamanya terdapat dalam pasal 15 ayat (1), sebagaimana ditetapkan pula 22
http://www.albayyinat.net/mutaht.html, Juni 2011 http://www.eramuslim.com/berita/tahukah ‐anda/syi ‐ah‐menurut‐kacamata‐sejumlah‐ tokoh.htm, Juni 2011 24 http://www.eramuslim.com/berita/tahukah ‐anda/syi ‐ah‐menurut‐kacamata‐sejumlah‐ tokoh.htm, Juni 2011 25 http://lateralbandung.wordpress.com/2007/07/26/sekilas ‐nikah‐mutah/, Juni 2011 23
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
37
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, isi pasal tersebut sama, yakni sama-sama mengatur usia perkawinan, dengan batasan untuk calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan untuk calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Oleh karenanya untuk melaksanakan suatu perkawinan apabila telah memenuhi rukun seperti yang tersebut di atas dianggap sudah sah, maka dengan kelangsungan kawin kontrak yang dilakukan di daerah Bandengan Jepara pada dasarnya telah memenuhi rukun dan syarat sahnya suatu perkawinan, sehingga mereka beranggapan bahwa, pernikahan mereka juga sah, akan tetapi mereka juga mengakui kalau perkawinannya tidak terdaftar di kantor cacatan KUA, sehingga mereka tidak mendapatkan bukti atas telah dilangsungkannya perkawinan. Para pemuka agama dan pemuka masyarakat di daerah desa Bandengan juga telah mengetahui kalau kawin kontrak nikah mut’ah itu sudah tidak diperbolehkan lagi, apalagi kalau pernikahan tersebut diketahui oleh para pejabat Kantor urusan Agama setempat maka Kyai yang menikahkan akan ditegur, akan tetapi sampai saat ini pernikahan kawin kontrak di lingkungan desa Bandengan tetap saja tidak menimbulkan banyak masalah, karena para pemuka agama di sekitar desa tersebut juga ikut memikirkan keadaan lingkungannya, supaya lingkungan desanya terangkat, ada peningkatan kesejahteraan para penduduknya, dan mengurangi pengangguran, sehingga para warga tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mencari pekerjaan, karena di sekitar desanya telah banyak berdiri perusahaan asing yang tentunya banyak membutuhkan tenaga kerja, oleh karenanya para pemuka agama di desa tersebut juga memikirkan dengan keberadaan perusahaan asing di desanya tentunya akan banyak pekerja asing juga di sekitar desanya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya perzinahan dan berganti-ganti pasangan, akan terkesan kotor di lingkungan desa, maka bila pendatang menginginkan pendamping hidup selama melakukan pekerjaan di desa tersebut, sebaiknya dilakukan suatu ikatan dalam bentuk perkawinan yang sifatnya untuk sementara waktu saja, dengan ikatan perkawinan akan menguntungkan juga bagi kedua belah pihak, walaupun sebenarnya tidak boleh dilakukan malah diharamkan. Keuntungan tersebut bagi pengontrak akan mendapatkan pasangan yang bersih, karena tidak akan berganti-ganti pasangan dan terjamin kenyamanannya karena mendapatkan dukungan dari keluarga dan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
38
masyarakat sekitar yang mayoritas adalah pekerja perusahaan milik orang asing 26
tersebut.
Atas dasar alasan seperti tersebut di atas maka, demi ketenangan dan ketentraman warga dalam hidup berumah-tangga dan dalam bekerja apabila ada maksud dari para orang asing yang bekerja atau yang mempunyai perusahaan yang ada di sekitar desa tersebut, jika ingin mempunyai teman hidup selama dia bekerja di daerah tersebut, maka sebaiknya dilaksanakan dengan ikatan perkawinan walaupun ada batas waktunya dengan disertai perjanjian-perjanjian yang harus disepakati para pihak. Dengan mengingat pula untuk syarat sahnya perkawinan bagi orang asing yang ingin melangsungkan perkawinannya di Indonesia dengan wanita Indonesia, syaratnya sangat ketat, yang harus dibekali dengan surat pesetujuan dari kedutaan, karena tanpa surat itu tidak akan bisa menikah secara resmi sesuai ketentuan dan peraturan negara Indonesia. Oleh karenanya para pemuka agama memikirkan untuk dapat menciptakan kedamaian di lingkungan desanya supaya dapat terlaksananya suatu perkawinan antara orang asing sebagai pendatang dari manca negara dengan wanita pribumi beragama Islam, maka diupayakan suatu perkawinan dengan batas waktu tertentu agar perkawinan tersebut tidak zina, oleh karenanya dilakukan dengan cara-cara :27
1. Para pihak saling berkenalan atau saling memperkenalkan diri, setelah masingmasing pihak saling kenal, lalu pihak laki-laki dengan diantar oleh walinya atau salah satu karyawan perusahaannya yang dianggap sebagai sesepuh bertamu ke rumah pihak wanita untuk mengutarakan maksud dan tujuannya.
2. Setelah kedua belah pihak mengetahui maksud dan tujuannya, pihak keluarga dan orang tua pihak wanita setuju, maka pihak wanita menentukan hari, tanggal, bulan kapan pernikahan akan dilangsungkan, setelah menentukan hari, tanggal dan bulan, pihak keluarga wanita menyampaikannya melalui yang mengantarkan pihak laki-laki. Akan tetapi, pihak laki-laki belum membawa apapun untuk
26
Hasil wawancara dengan Modin Kasan dan Kadarusman, tanggal 4 Mei 2011. Hasil wawancara dengan Modin Kasan dan Kadarusman, tanggal 4 Mei 2011.
27 27
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
39
dipersembahkan kepada pihak wanita hanya mengutarakan niatnya saja. Kalau tanggal dilaksanakan pernikahan terlalu lama pihak laki-laki keberatan dan ingin segera dipercepat, karena orang asing tidak terlalu percaya dengan adat, kalau keberatan makapihak wanita mencari hari dan tanggal lagi sampai mendapat 28
persetujuan dan kesepakatan kedua pihak.
3. Setelah sepakat waktu akan dilangsungkannya pernikahan, maka pihak wanitalah
yang
menyiapkan
semua
apa
yang
diperlukan
agar
dapat
terlaksanakannya perkawinan tersebut, yakni seperti mencarikan siapa yang akan menjadi wali baik untuk pihak laki-laki maupun untuk pihak wanitanya, keluarga pihak wanita meminta tolong kepada kiai dan modin setempat untuk bersedia menikahkan anaknya dengan menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa anaknya akan dinikahi kontrak oleh laki-laki berkewarganegaraan asing, mas kawinnya juga diutarakan karena untuk penilaian dari para pemuka masyarakat setempat, karena tidak semua kiai maupun modin bersedia menikahkan kawin kontrak, kiai atau modin yang tidak bersedia biasanya mereka kiai atau modin yang ditunjuk atau utusan dari Departemen Agama untuk desa dan kantor mereka di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, walaupun kiai atau modin tersebut tidak bersedia, akan tetapi mereka mendengar dan mengetahuinya, karena memang mereka tinggal di daerah desa tersebut. Biasanya yang bersedia menikahkan kawin kontrak di desa Bandengan tersebut kiai pemuka masyarakat desa tersebut serta didampingi modin dari desa tersebut sekaligus sebagai saksi ataupun wali nikahnya.
4. Setelah mengetahui, siapa yang akan menikahkan, wali-walinya serta saksisaksinya, lalu pihak wanita menyiapkan segala keperluan untuk menjamu para tamu undangan, perjamuan cukup diselenggarakan di rumah pihak wanita sa ja dan dilakukan dengan cara sederhana, hanya syukuran untuk teman-teman dekat, tetangga terdekat dan kerabat saja. Pihak wanita menghitung semua jumlah uang yang diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan perkawinan tersebut, lalu pihak wanita memberitahukannya kepada pihak laki-laki jumlah semua pengeluaran 28
Hasil wawancara dengan Modin Kasan dan Kadarusman, tanggal 4 Mei 2011
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
40
yang harus disediakan, lalu pihak laki-laki melalui suruhannya untuk ke rumah pihak wanita menyerahkan sejumlah uang yang diperlukannya.
5. Selang waktu beberapa hari sebelumnya tanggal pernikahan, kiai dan modin mendatangani rumah keluarga pihak wanita yang akan dinikahi kontrak, mereka datang untuk memberikan penjelasan kepada keluarga wanita maupun wanita yang akan dinikah kontrak tersebut, kiai dan modin menjelaskan sebab dan akibatnya perkawinan kontrak, halal dan haramnya, akan tetapi mereka beranggapan apabila ke lima rukunnya telah terpenuhi maka perkawinan tersebut dianggap sah, walaupun tidak dapat dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
6. Setelah kiai dan modin memberikan penjelasan senyatanya tentang segala sesuatunya kawin kontrak (nikah mut’ah) kepada keluarga dan pihak wanita, biasanya mereka juga tidak berubah keputusan, mereka tetap akan melangsungkan perkawinan kontrak tersebut, pihak keluarga merasa senang dan bangga karena anaknya dapat meringankan beban keluarga, dambaan mereka akan dapat hidup lebih baik dari kehidupan yang sekarang mereka jalani, oleh karena itu pihak keluarga sangat mendukung perkawinan kontrak tersebut.
7. Selang beberapa waktu kemudian pihak laki-laki datang untuk menemui wanita yang akan dikontraknya, dengan memberikan persyaratan yang harus diketahui dan disetujui oleh wanita yang akan dikontraknya, persyaratan itu ditulis dalam bentuk surat perjanjian, yang mana surat perjanjian tersebut harus ditanda tangani kedua belah pihak setelah ijab qabul selesai, isi daripada surat perjanjian tersebut hanya diketahui oleh kedua belah pihak dan pihak keluarga wanita saja . Walaupun isi surat perjanjian dinilai cukup berat dan mengikat bagi pihak wanita, akan tetapi wanita yang akan dikontrak dan keluarganya tidak merasa keberatan, karena mereka beranggapan hidup mereka akan terjamin dan lebih nyaman.
8. Sebelum perkawinan dilaksanakan, pihak laki-laki (pengontrak) harus melengkapi beberapa syarat terlebih dahulu karena ia orang asing, pada umumnya
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
41
para orang asing yang menginginkan kawin kontrak tidak mempunyai surat-surat yang diperlukan dalam perkawinan di Indonesia, para orang asing tersebut hanya mempunyai paspor saja sebagai identitasnya, sehingga menyulitkan para petugas untuk melangsungkan pernikahan, kalau melihat kenyataan yang ada pernikahan ini tidak akan dapat terlaksana karena secara hukum di Indonesia tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, para pendatang dari manca negara tersebut ingin melakukan perkawinan sebagai pendamping hidupnya selama bera da di Indonesia tetapi surat persetujuan dari kedutaanpun mereka tidak dapat tunjukkan, maka para pemuka agama dan masyarakat di sekitar tempat tersebut mengupayakan jalan keluarnya agar perkawinan dapat terlaksana sesuai dengan rukunnya, walaupun sebenarnya para wali nikah maupun kiai yang akan menikahkannya keberatan, akan tetapi untuk menjaga kehidupan yang aman, tentram dan nyaman, serta demi kepentingan
warga
masyarakatnya.
Oleh
karenanya
sebelum
pernikahan
berlangsung, pihak pengontrak karena orang asing dan biasanya mereka non muslim, maka sebelumnya ia harus membuat surat pernyataan tertulis di atas meterai terlebih dahulu, isi dari surat pernyataan tersebut menyatakan bahwa :
1. Bersedia masuk ke dalam agama Islam;
2. Menuliskan dua kalimat syahadat beserta artinya ;
3. Bersedia mengucapkan dua kalimah syahadat tersebut di depan para saksi dan waktu akad nikah; Surat pernyataan tersebut ditanda tangani oleh yang bersangkutan
di atas meterai, dua orang
saksi dan kiai yang mensahkan kalau dia benar-benar telah masuk Islam dan telah di-Islamkan.
9. Setelah di-Islamkan dengan kesaksian pemuka agama setempat, maka akan mudah untuk melaksanakan perkawinannya, karena telah seiman dan semua r ukun serta syaratnya telah terpenuhi, maka perkawinan akan segera dapat dilaksanakan.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
42
10. Lalu ijab qabul dilaksanakan, dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masingmasing pihak didampingi oleh wali mereka masing-masing, dan seorang kiai yang menikahkannya, masing-masing wali nikah membuat surat pernyataan yang ditanda tangani oleh wali tersebut di atas meterai enam ribu Rupiah, surat pernyataan tersebut isinya tentang wali yang menikahkannya, dengan menuliskan nama para pihak yang dinikahkan dan menuliskan bentuk dan jumlah besarnya mas kawin yang diberikan.
11. Setelah ijab qabul selesai diucapkan, kemudian diucapkan pula jangka waktu lamanya kontrak perkawinan oleh pihak laki-laki (yang ngontrak). Kemudian wanita yang dikontrak harus menanda tangani isi dari surat perjanjian yang ditulis oleh pihak pengontrak, setelah menanda tangani kesepakatan surat perjanjian tersebut, maka seketika itu juga wanita yang dikontrak diboyong ke rumah dimana laki-laki pengontrak tersebut tinggal, rumah dan semua isinya tersebut setelah perkawinan berakhir serta mobil akan sepenuhnya menjadi milik wanita yang dikontraknya, pernyataan ini juga diucapkan oleh pengontrak setelah ijab qabul dilaksanakan dengan disksikan oleh pihak keluarga wanita yang dikontrak.
Demikian langkah-langkahnya sehingga perkawinan antara orang asing dengan wanita Indonesia dapat terlaksana, walaupun syarat dan rukunnya dapat terpenuhi menurut ajarannya akan tetapi perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum Islam maupun menurut Hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia, karena pernikahan merupakan hal yang sakral, suatu ikatan lahir dan bathin dengan tidak ada batas waktu lamanya perkawinan berlangsung, kecuali maut yang memisahkannya.
3.2. Konsekuensi Pelaksanaan Isi Surat Perjanjian Kawin Kontrak Terhadap Pelaku Kawin Kontrak
Walaupun kawin kontrak tidak diakui secara hukum, akan tetapi dalam prakteknya kawin kontrak terus berlangsung, pelaksaan kawin kontrak ini benar-
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
43
benar terjadi, di Indonesia kawin kontrak terjadi pada beberapa daerah tertentu saja, antara lain daaerah yang marak kawin kontrak yaitu sepoerti Bogor, Puncak, dan Jepara, karena di ketiga daerah tersebut banyak peluang usaha maupun sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi para pendatang dari manca negara. Sebagaimana disiarkan di stasiun televisi swasta yaitu TransTV, tanggal 7 Juni 2011, diberitakan tentang banyaknya kawin kontrak yang dilakukan oleh penduduk Indonesia dengan para tenaga kerja asing biasanya dilakukan oleh penduduk setempat di mana orang asing tersebut melakukan pekerjaannya, seperti halnya di daerah Ungaran banyak tenaga kerja asing yang bekerja sebagai konsultan perusahaan asing dari asal negaranya masing-masing, seperti dari Korea, Thailand, dan Singapura, para orang tersebut umumnya melakukan kawin kontrak dengan penduduk setempat atau karyawan perusahaannya sendiri di mana mereka sebagai tenaga kerja dari perusahaan asing tersebut. Pada kurun waktu sekarang ini tujuan dari kawin kontrak tidak sama dengan kawin kontrak pada jaman Rosulullah, pada masa sekarang ini kawin kontrak dilakukan karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu tidak hanya untuk bersenang-senang hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, akan tetapi pelaku kawin kontrak era sekarang ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan perekonomian keluarga pada pihak yang dikontrak, sedangkan pada pihak pengontrak bertujuan untuk mendapatkan kenyamanan hidup sekitarnya, disamping untuk memenuhi kebutuhan biologis juga untuk mendapatkan kemudahan dan memperlancar semua birokrasi perusahaannya yang ada di daerah setempat. Seperti halnya di kota Jepara tepatnya di desa Bandengan, Kecamatan Jepara Kota, Kabupaten Jepara. Di daerah tersebut banyak perusahaan asing yang bergerak di bidang permebelan dari berbagai negara seperti dari negara Korea, Taiwan, dan Australia, pertimbangan penanam modal asing di daerah tersebut karena :
1. Mudah dan murah mendapatkan bahan baku produksi yang mereka butuhkan;
2. Banyak pengrajin seni ukir yang sudah berpengalaman;
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
44
3. Penduduk Jepara 90 % bermata pencaharian pengrajin mebel;
4. Biaya hidup dan tenaga kerja murah
Perusahaan asing tersebut tentunya juga mempekerjakan tenaga asing asal negaranya untuk mengatur sistem manajemen nya biasanya mereka pegang sendiri, sedangkan untuk tenaga tukang, pengrajin mebelnya, tukang ukirnya, dan tenaga produksinya (mandor, tukang amplas, plitur) semua itu dipercayakan kapada penduduk setempat pribumi Jepara. Dengan maraknya perusahaan industri mebel setempat sehingga akan meningkatkan dan mengangkat tingkat perekonomian di daerah setempat serta mengurangi tingkat angka pengangguran penduduk setempat, maka penduduk sekitar tidak perlu pergi jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk mencari pekerjaan karena peluang pekerjaan sudah ada di daerahnya. Peluang usaha perusahaan asing tersebut dengan merekrut para tenaga kerja dari masyarakat di sekitar perusahaan yang juga akan menguntungkan bagi pihak orang asing, karena dengan demikian orang asing tersebut akan mudah beradaptasi dengan penduduk sekitar dan akan mempermudah serta membantu kenyamanan untuk tinggal dan bekerja, dengan demikian bila mereka menginginkan sesuatu akan mudah mendapatkannya karena telah mendapat simpati dari penduduk setempat, seperti halnya minta bantuan dan dukungannya dalam memilih atau mencari pasangan hidup untuk sementara waktu berada di Indonesia dimana orang asing itu bekerja, para tenaga kerja asing maupun pengusaha asing tersebut tinggal sementara waktu untuk beberapa tahun lamanya atau mungkin selamanya, akan tetapi mereka tidak menetap di Indonesia karena mereka juga mempunyai keluarga di negara asal mereka masing-masing, dan selang waktu beberapa bulan mereka pulang ke negaranya untuk menengok bisnisnya atau untuk menengok keluarganya, oleh karenanya sebagai manusia normal biasa sama-sama ciptaan Tuhan walaupun beda tanah kelahiran dan kulitnya, akan tetapi sebagai manusia normal tetap membutuhkan kebutuhan biologis di saat
mereka tinggal dan bekerja di Jepara berbulan-bulan bahkan
dalam setahun mereka baru pulang menengok negara asalnya, oleh karenanya para
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
45
tenaga asing kerap mencari wanita setempat untuk dinikahi secara kontrak, biasanya mereka minta dicarikan oleh penduduk setempat yang bekerja di perusahaannya atau karyawannya sendiri. Untuk di daerah desa Bandengan, Jepara ini mayoritas penduduknya beragama Islam, oleh karenanya untuk menginginkan hidup bersama harus disahkan terlebih dahulu dengan suatu perkawinan yang tentunya sebelum perkawinan dilaksanakan harus dipenuhi terlebih dahulu syarat dan rukun perkawinan, walaupun perkawinan tersebut hanya berlangsung beberapa waktu lamanya saja. Di desa Bandengan ini istilah kawin kontrak sudah tidak asing lagi dan sebagian penduduk melakukannya, pelaku kawin kontrak di daerah ini tidak canggung dan tidak malu karena pelaku pihak wanita biasanya didukung oleh keluarganya dan keluarganya malah bangga karena merasa anaknya yang terbaik dipilih oleh orang yang berkedudukan di daerahnya, dalam arti orang yang berduit sebagai pemilik perusahaan yang besar, oleh karenanya kaum wanita di daerah tersebut berlomba-lomba mendapatkannya, bahkan para orang tua yang mempunyai anak-anak gadis berlomba menawarkannya, akan tetapi para orang asing yang ingin mengontrak juga selektif, mereka biasanya memilih wanita yang sederhana dan muda, walaupun janda tetapi masih muda, bahkan ada juga wanita tersebut sudah bersuami, tetapi suami wanita tersebut tinggal di lain desa dan suaminya mengijinkannya, atau para orang asing tersebut kebanyakan memilih wanita dari karyawan perusahaan sendiri kemudian wanita tersebut diangkat sebagai sekretaris pribadinya dan ikut mengurus perusahaannya, jadi bila orang asing tersebut pulang ke tanah airnya hanya untuk beberapa saat, maka sekretarisnya atau wanita yang dikontraknyalah yang mengatur dan mengurus semua keperluan perusahaan tersebut, tidak heran kalau wanita yang dikontrak tersebut menjadi bangga dan medapatkan keuntungan finansial yang signifikan karena ikut serta mengendalikan perusahaan. Dari rasa bangga tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak didasari adanya rasa cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak, melainkan sekedar upaya menghalalkan hubungan biologis dan motif ekonomi belaka maka sirnalah arti dari kesakralan pernikahan. Pelaku kawin kontrak di daerah ini pada umumnya berasal dari keluarga ekonomi menengah ke
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
46
bawah dengan tingkat pendidikan orang tuanya yang rendah pula, beban ekonomi keluarganya banyak, dengan tingkat pendidikan yang rendah ataupun janda usia muda. Kasus-kasus kawin kontrak yang terjadi di desa Bandengan, kabupaten Jepara adalah:
a).Kasus pertama, kawin kontrak yang dilakukan oleh Indah (nama samaran), 29 tahun, dengan Abdullah (nama samaran), 45 tahun, warga negara asing keturunan arab berkebangsaan Australia. Proses perkenalan mereka dimulai ketika Indah bekerja di perusahaan milik Abdullah sebagai buruh amplas. Karena kemampuan berbahasa inggrisnya yang bagus, Abdullah tertarik dengan Indah. Dari sinilah proses perkenalan mereka dimulai, sampai akhirnya mereka sepakat melakukan kawin kontrak pada tahun 1997, kira-kira proses perkenalan sampai mereka menikah adalah 3 bulan. Proses perkawinan mereka dilakukan secara agama Islam. Selama melangsungkan perkawinan dibuat kesepakatan berupa perjanjian atau kontrak, yang dimana berdasarkan pada wawancara tanggal 4 Mei 2011, isi 29
dari perjanjian tersebut adalah :
1. Mereka sepakat untuk hidup sebagai suami istri layaknya dalam perkawinan biasa. Jangka waktu perkawinan adalah 5 tahun (1997- 2002), apabila setelah 5 tahun dirasakan ada kecocokan maka perkawinan dilanjutkan kembali sampai keduanya merasa bosan atau tidak cocok lagi.
2. Selama kawin kontrak Indah harus tinggal bersama Abdullah.
3. Selama kawin kontrak berlangsung Indah tidak boleh mempunyai anak, jika Indah sampai hamil maka kesepakatan kawin kontrak mereka berakhir.
4. Apabila sebelum jangka perkawinan berakhir, Indah meninggalkan Abdullah, maka Indah tidak berhak mendapatkan membawa harta apapun yang sudah diberikan Abdullah kepadanya. 29
Hasil wawancara dengan Indah (nama samaran) pelaku kawin kontrak, tanggal 4 Mei 2011.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
47
5. Setiap bulannya Abdullah akan memenuhi semua kebutuhan ekonomi Indah. Setiap bulannya Indah mendapatkan jatah uang bulanan yang jumlahnya tidak tetap tergantung pemberian Abdullah.
Pada awalnya kehidupan Indah dan Abdullah berlangsung bahagia, terutama bagi Indah karena setiap bulannya kehidupan ekonominya tercukupi. Namun pada tahun-tahun terakhir Indah merasa tertekan karena selama perkawinan Abdullah tetap menginginkan adanya hubungan profesional diantara mereka, jadi Indah tetap bekerja sebagai buruh di perusahaan milik Abdullah. Padahal
sebagai
istri,
walaupun
hanya
sebagai
istri
kontrakan,
Indah
mengharapkan statusnya akan menjadi lebih baik tidak menjadi buruh lagi. Selain itu selama perkawinan Indah dilarang terlalu sering berinteraksi dengan keluarganya,
sehingga
Indah
jarang
mengunjungi
keluarganya,
apalagi
memberikan uang, karena Abdullah sangat mengawasi keuangan Indah. Jadi walaupun sekarang kehidupan Indah berlebihan uang tetapi dia tidak bisa membantu keluarganya. Hubungan Indah dengan keluarganya menjadi renggang. Keadaan ini menyebabkan Indah merasa tertekan, dan berpikir percuma dia melakukan kawin kontrak jika tidak bisa membantu keluarganya. Perbedaan pendapat juga sering terjadi antara mereka, hal ini dikarenakan perbedaan perbedaan pemikiran akibat perbedaan kebudayaan diantara mereka. Keadaan tersebut semakin membuat Indah tersiksa, dan merasakan tidak ada keuntungan dan kebahagiaan yang diperoleh dari kawin kontrak yang dia jalani. Pada akhirnya sebelum masa kawin kontraknya berakhir Indah meninggalkan Abdullah dan kembali kepada orang tua dan keluarganya. Padahal sesuai dengan kesepakatan apabila Indah meninggalkan Abdullah maka dia tidak berhak atas harta yang diberikan Abdullah selama masa perkawinan. Setelah memutuskan mengakhiri perkawinannya, Indah kembali ke keluarganya, namun karena malu dengan masyarakat yang mengetahui ia kawin dengan orang asing tapi tidak punya apaapa, akhirnya Indah memutuskan untuk bekerja ke Jakarta.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
48
b).Kasus kedua, kawin kontrak yang dilakukan oleh Dewi (nama samaran), 30 tahun, dengan Arsene (nama samaran), 50 tahun, warga negara asing berkebangsaan Perancis. Dewi dan Arsene pertama kali bertemu pada tahun 2000. Dewi yang waktu itu bekerja di perusahaan dealer mobil di Jepara. Setiap harinya bersama kedua temannya naik angkutan umum untuk sampai ke tempat kerjanya. Sedang Arsene yang saat itu belum memiliki usaha mebel sendiri, bertempat tinggal di Kudus dan sering melewati jalan raya di depan rumah Dewi. Pada suatu hari Arsene mengajak Dewi dan kedua temannya untuk berangkat ketempat kerjanya bersama-sama. Akhirnya setiap hari Dewi selalu berangkat ke Jepara bersama Arsene. Bermula dari pertemuan yang tidak disengaja tersebut, timbul rasa ketertarikan diantara mereka. Hubungan mereka pun terus berlanjut, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan kawin kontrak pada akhir tahun 2000. Setelah sepakat untuk melakukan kawin kontrak, mereka kemudian hidup bersama layaknya suami istri yang terikat perkawinan. Mereka tidak melakukan perkawinan resmi maupun perkawinan secara agama, karena banyak perbedaan diantara
mereka.
Diantaranya
adalah
perbedaan
agama
dan
perbedaan
kewarganegaraan sehingga sulit untuk kawin secara resmi atau kawin secara agama Islam. Akhirnya mereka hanya hidup bersama layaknya suami istri namun tanpa ikatan perkawinan, dimana yang mengikat mereka adalah sebuah kontrak atau perjanjian yang dimana berdasarkan wawancara pada tanggal 5 Mei 2011, isi 30
dari perjanjian isi perjanjian tersebut adalah :
1. Dewi dan Arsene hidup bersama sebagai suami istri. Perkawinan mereka berjangka waktu dua tahun. Apabila usaha mebel yang sedang dibangun Arsene berhasil maka kawin kontrak yang mereka akan diperpanjang, namun apabila usaha mebel yang dibangun Arsene tidak berhasil maka perkawinan mereka berakhir dalam jangka waktu dua tahun.
2. Semua kekayaan Arsene yang berupa perusahaan, rumah , tanah diatas namakan Dewi, tetapi Indah tidak boleh memiliki dan menjual harta Arsene. 30
Hasil wawancara dengan Dewi (nama samaran) pelaku kawin kontrak, Tanggal 5 Mei 2011.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
49
3. Selama dua tahun Dewi tidak boleh memiliki anak.
4. Setiap bulannya Dewi mendapat imbalan Rp. 2.000.000,-.
Setelah dua tahun, usaha mebel yang dijalankan Arsene mengalami perkembangan yang sangat pesat. Karena usaha mebel Arsene berhasil maka kawin kontrak mereka akhirnya diperpanjang. Untuk menutupi perkawinan mereka yang hanya kawin kontrak Indah menginginkan mereka agar bisa menikah secara resmi. Arsene tidak bersedia menikah secara resmi karena apabila jangka waktu perkawinan berakhir proses untuk berpisah sulit. Akhirnya mereka sepakat untuk menikah secara agama Islam. Sebelum menikah mereka membuat perjanjian baru, dimana perjanjian tersebut dijadikan pedoman dalam menjalankan rumah tangga mereka. Berdasarkan wawancara pada tanggal 5 Mei 2011, Indah menjelaskan isi perjanjian baru tersebut adalah:
1. Dewi dan Arsene sepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri. Jangka waktu perkawinan mereka tidak lagi ditentukan berdasarkan tahun, tapi didasarkan pada usaha mebel yang dijalankan Arsene, apabila usaha mebel yang dijalankan Arsene bankrut maka perkawinan mereka pun usai dan Arsene kembali ke negaranya.
2. Karena Arsene memiliki keluarga di Perancis, pada usia 65 tahun dia ingin kembali kenegaranya dan berkumpul bersama anak, isteri dan kedua orang tuanya di Perancis. Maka sebanyak 60% harta kekayaan Arsene akan dibawa pulang kenegaranya, dan 40% nya akan diberikan pada Dewi dan anaknya.
3. Setiap bulannya Dewi memperoleh uang bulanan sebesar Rp. 3.000.000,-. Karena usaha mebel yang dimiliki Arsene diatasnamakan Dewi, maka Dewi berhak memperoleh 10% dari laba perusahaan.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
50
4. Dewi boleh mempunyai anak dari Arsene, tetapi selanjutnya apabila perkawinan mereka berakhir anak tersebut menjadi tanggungan Dewi. Kawin kontrak antara Dewi dan Arsene masih berlangsung sampai sekarang. Nasib Dewi mungkin lebih beruntung daripada Dewi, karena mendapatkan suami yang baik. Arsene tidak mengijinkan Dewi untuk ikut bekerja di perusahaan mebel miliknya, namun menyuruh Dewi untuk lebih berkonsentrasi mengurus rumah tangga dan putra mereka yang sekarang berusia dua tahun. Arsene tidak pernah mencampuri urusan Dewi dalam mengatur keuangannya. Dewi bebas menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadinya atau keluarganya. Banyaknya keuntungan yang diperoleh Dewi karena melakukan kawin kontrak menyebabkan dia tidak menyesal melakukan kawin kontrak.
c) Kasus ketiga adalah yang dialami Lastri, ia melakukan kawin kontrak dengan orang asing berkewaraganegaraan Korea bernama Han, disamping ia sebagai istri kontraknya, ia juga bekerja di perusahaan Han sebagai sekretarisnya, walaupun ia sebagai sekretarisnya ia juga harus menanda tangani isi dari surat perjanjian yang dibuat oleh Han, berdasarkan wawancara pada tanggal 6 Mei 2011, isi dari surat perjanjian tersebut antara lain31:
1. Uang kontrak akan diberikan untuk tiap bulannya sebesar sepuluh juta Rupiah dan untuk keluarganya sebesar lima ratus ribu Rupiah;
2. Tidak boleh keluar dari rumah selain pergi ke kantor dan pulang dari kantor harus selalu bersam-sama dengan suami;
3. Boleh keluar rumah ataupun pergi harus bersama-sama dengan suami;
4. Tidak boleh berkali-kali meminta ijin untuk pulang ke rumah orang tuanya ataupun
keluarganya
hanya
ingin
menengoknya,
membicarakan hal-hal yang tidak penting; 31
Hasil wawancara dengan Lastri pelaku kawin kontrak, tanggal 6 Mei 2011.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
ataupun
untuk
51
5.
Tidak boleh menerima tamu, baik itu tamu keluarga sendiri, teman atau tamu lain, tetapi boleh terima tamu atas ijin terlebih dahulu dari suami, boleh atau tidaknya tamu tersebut ditemui dan tidak boleh berbicara dengan tamu atau orang lain lebih dari setengah jam;
6. Tidak boleh memakai jilbab, tetapi boleh beribadah menurut agamanya;
7. Tidak boleh bermake-up, termasuk pakai bedak tidak boleh, baik di rumah maupun pergi bersama suami;
8. Tidak boleh pergi sendiri atau dengan keluarga atau dengan orang tua atau dengan teman, tanpa terkecuali harus dengan suami;
9. Tidak boleh terlalu banyak bertanya tentang urusan pribadi suami ataupun hal-hal di luar pekerjaan kantor;
10. Diupayakan sedapat mungkin tidak boleh hamil, karena akan mengganggu perkerjaan;
11. Tidak boleh membantah apa yang menjadi keputusan suami, kecuali bila diminta pendapatnya;
12. Tidak boleh banyak bicara dengan pelayan yang ada di rumah ;
13. Tidak boleh membuka-buka tas ataupun almari milik suami;
14. Tidak boleh meminta uang tambahan apapun di luar uang kontrak atau keperluan kantor.
Menurut Lastri, isi perjanjian tersebut tidak begitu memberatkan, walaupun ia tidak boleh bertemu dengan orang tuanya maupun keluarganya, tetapi
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
52
dia masih bisa ketemu dengan adiknya dan mendengar kabar tentang orang tuanya dari adiknya juga, karena adiknya dipekerjakan juga pada perusahaan milik Mister Han tersebut, walaupun demikian ia tidak boleh banyak bicara dengan 32
adiknya. Isi perjanjian tersebut mengikat dan memaksa pihak wanita, kalau kita lihat dan kita kaji isi perjanjian tersebut tidak berperi kemanusiaan, karena membatasi ruang gerak sebagai manusia sebagai mahkluk sosial yang harus bersosialisasi dengan masyarakat sekitar bahkan keluarganya sendiri. Perjanjian ini telah melanggar hak azazi sebagai manusia, apalagi adanya larangan untuk hamil, sedangkan hamil merupakan kehendak Allah s.w.t. kita sebagai manusia biasa tidak akan pernah tahu bisa hamil atau tidak, sedangkan kehamilan adalah karunia dari Allah s.w.t, larangan ini dapat dikatakan sebagai manusia yang tidak berperi kemanusiaan, maka akan timbul pertanyaan juga “Bagaimana jika terlanjur hamil?”. Lastri sendiri sebagai pelaku kawin kontrak tidak dapat menjawab pertanyan tersebut, karena selama ini ia baik-baik saja dan belum pernah hamil, karena sebelumnya ia telah mengantipasi kehamilannya dengan ikut KB. Isi perjanjian tersebut untuk masyarakat sekitar desa Bandengan, bahkan masyarakat Jepara sudah tidak asing lagi, masyarakat desa Bandengan sudah maklum dan paham terhadap isi perjanjian tersebut, mereka menganggap lumrah karena, wanita tersebut telah dikontrak dan dibayar mahal oleh karenanya wajar saja kalau pengontrak membatasi ruang gerak wanita yang dikontraknya, walaupun demikian tidak ada orang yang berani menentangnya, karena kedua belah pihak telah sepakat dan mereka saling membutuhkan sehingga tidak keberatan untuk melakukan perjanjian tersebut
3.3.
Pelaksanaan
Perjanjian
Kawin
Kontrak
Terhadap
Asas-asas
Perkawinan
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan menurut UndangUndang nomor 1 Tahun 1974, terdapat asas-asas yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan perkawinan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana dijelaskan di dalam penjelasan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, bahwa : 32
Hasil wawancara dengan Lastri, Jepara, 6 Mei 2011.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
53
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam rangka mencapai kebahagiaan spiritual. Dalam asas ini diharapkan agar dalam rumah tangga untuk saling melengkapi, sedangkan dalam kawin kontrak sesuai dalam isi perjanjian kawin kontrak yang telah disepakati, bahwa yang dominan menentukan segalanya dalam kehidupan bersama adalah pihak pengontrak yaitu pihak suami, sedangkan pihak yang dikontrak tidak boleh ataupun tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya, menentukan maupun mengatur dalam kehidupan rumah tangganya tentunya selama perkawinan berlangsung, jadi dalam perkawinan kontrak tidak dibutuhkan adanya kebersamaan yang saling melengkapi, kebahagiaan hanya didominir oleh pihak pengontrak dalam hal ini oleh suami saja.
b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa, suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan pencatatan penting dalam kehidupan seseorang, seperti halnya kelahiran dan kematian atau suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 33 Pelaksanaan kawin kontrak yang berlangsung di desa Bandengan-Jepara oleh para pelakunya dianggap telah sesuai dengan rukunnya dari ajaran agamanya, akan tetapi untuk perkawinan kontrak ini tidak dapat dicatat menurut perundangundangan yang berlaku, karena di dalam kawin kontrak terdapat ketentuan lamanya waktu perkawinan berlangsung, dan tentunya adanya persyaratan tertentu bagi warga negara asing, diantaranya surat persetujuan dari kedutaan, sebagian besar pelaku kawin kontrak tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, oleh karenanya perkawinan dianggap tidak sah, karena tidak sesuai dengan asas perkawinan dalam perundang-undangan yang berlaku.
33
Zahry Ahmid, op. cit hlm 159.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
54
c. Undang-undang ini mencatat asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum atau agama mengijinkannya seorang suami dapat beristri lebih dari seorang, meskipun hal itu dilakukan dengan pemenuhan 34
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Sedangkan dalam perkawinan kontrak suami dapat melakukan perkawinan lebih dari satu kali tanpa mendapatkan atau tanpa ijin dari istri yang pertama terlebih dahulu, karena dalam kawin kotrak ini semua tergantung dari materi, semakin besar jumlah materinya maka kesempatan memperoleh istri semakin banyak pula, karena tinggal memilih wanita mana yang akan dikawin kontrak.
d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa, calon suami-istri itu harus matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Perkawinan erat dengan masalah kependudukan, maka bila batas umur yang lebih muda, bagi seorang wanita untuk melakukan perkawinan akan berakibat laju angka kelahiran yang tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang telah cukup untuk melakukan perkawinan.35 Oleh karenanya undang-undang menentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Dalam kawin kontrak memang pengontrak selalu memilih wanita yang sudah dewasa, yang telah matang dalam melakukan kehidupan berumah tangga, seperti halnya yang ditetapkan batas usia perkawinan bagi wanita sesuai yang tertera dalam asasnya perkawinan, akan tetapi dalam kawin kontrak maksud dewasa bukan dewasa dalam mengatur kehidupan berumah tangga maupun pengaruhnya terhadap laju kependudukan, tetapi dewasa untuk bisa memenuhi kebutuhan biologisnya, dan untuk laju kependudukan tidak berarti bagi kawin kontrak karena dalam isi surat perjanjian kawin kontrak biasanya mencantumkan adanya kesepakatan untuk tidak boleh hamil sehingga melanggar hak pasangan untuk mendapatkan keturunan.
34 35
Ibid., hlm 161. Ibid., hlm 164.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
55
e. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di muka sidang pengadilan. Pada asas perkawinan ini jelas berbeda dengan maksud dan tujuan daripada perkawinan kontrak, dalam kawin kontrak tidak ada unsur kekekalan, karena perkawinan dibatasi oleh waktu tertentu, jadi perkawinan akan berakhir dengan sendirinya tanpa harus ada perceraian.
f. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri Untuk hak maupun kedudukan antara suami dengan istri dalam perkawinan kontrak jelas tidak ada keseimbangan karena semua diatur dan ditentukan oleh suami, yang telah mengontraknya dengan bayaran yang tinggi, seolah-olah hampir sama kedudukannya antara buruh dengan majikan.
Walaupun sudah ada enam asas-asas perkawinan yang ada dalam perundangundangan di Indonesia, tetapi perkawinan kontrak banyak terjadi di Indonesia, asas-asas perkawinan tersebut tidak dapat diterapkan di dalam pelaksanaan kawin kontrak di Indonesia, karena tidak sesuai dengan isi perjanjian dalam kawin kontrak, yang hanya untuk mencari kesenangan, kebahagiaan dan kekayaan saja dengan batas waktu tertentu lamanya perkawinan berlangsung.
3.4. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Kawin Kontrak
Kawin kontrak di Indonesia secara kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak tercatat, secara yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan kontrak di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum yang ada saat ini. Dengan memperhatikan kenyataan semakin maraknya perkawinan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
56
kontrak tersebut, apakah hukum perkawinan di Indonesia harus tetap tinggal diam dan membiarkan praktek perkawinan kontrak itu tetap jalan terus, dan tidak perlu di akomodir dalam hukum/ undang undang perkawinan yang ada. Atau apakah jawabannya hanya mencukupkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang menyatakan bahwa hukum nikah mut’ah adalah haram dan di Indonesia dilarang, padahal larangan nikah mut’ah itu sendiri tidak terdapat satu pasal pun diatur dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, disatu sisi, sedangkan disisi lain, sifat dari fatwa MUI itu sendiri tidak mengikat dan atau tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana hukum positif, karena ia hanya bersifat normatif, sehingga tidak dapat dijadikan dasar bagi penegak hukum untuk menjaring pelaku praktek kawin kontrak tersebut. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengakui adanya kawin kontrak, namun masalahnya selama ini tidak dapat diterapkan larangan kawin kontrak karena kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bukan wewenang pengadilan agama. Dalam menyikapi hal tersebut diatas, paling tidak ada dua opsi yang perlu dipertimbangkan untuk dapat dirumuskan agar masuk dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Apabila perkawinan kontrak memang terpaksa harus dilegalkan di Indonesia, maka ada dua kemungkinan dapat ditempuh, yaitu: Bila perkawinan kontrak/nikah mut’ah antara sesama warga negara Indonesia atau warga negara asing , maka disamping berlaku hukum seperti disebut dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No.1 Tahun 1974, pasal tersebut perlu ditambah sebagai pasal tersendiri, disisipkan katakanlah dengan pasal 7a yang bunyinya memuat persyaratan yang ketat, situasi darurat dan atau keadaan yang memaksa, dan harus atas izin pengadilan. Yang kedua, juga diatur dalam pasal tersendiri yang memuat sanksi hukum terhadap pelanggaran dari aturan tersebut. Hukuman yang dapat dimuat dalam UU Perkawinan berupa denda dengan disertai kewajiban pembayaran restitusi dari pelaku kepada istri/istri-istri dan anak-anak yang dirugikan, dan pelaku kawin kontrak harus mencatatkan perkawinannya dihadapan pejabat pencatat pernikahan, apabila tidak dilakukan maka akan diberikan sanksi berupa kurungan badan sebagai unsur pemaksa. Untuk melindungi kaum wanita dan anak-anak, kiranya isi perjanjiannya harus dirubah. Kiranya, ikatan perjanjian kawin kontrak yang dapat di izinkan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
57
oleh pengadilan harus memuat hal-hal yang harus dipatuhi oleh pelaku kawin kontrak yaitu:
1. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan kontrak juga menjadi tanggung jawab suami dan mempunyai garis keturunan kepada pihak ayah serta wajib diakui sebagai anak yang sah;
2. Anak memiliki hak waris dari pihak ayah dan pihak ibu;
3. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya, dan apabila perkawinan kontrak itu berakhir, pihak suami berkewajiban untuk memberikan tunjangan kepada istri dan anak yang besarannya dapat ditentukan dalam isi kontrak atau atas penetapan pengadilan;
4. Pihak suami harus memberikan uang jaminan yang nilainya ditentukan oleh pengadilan sebagai jaminan kepada pihak istri bahwa suami akan melaksanakan isi dalam kontrak dan apabila terjadi pelanggaran maka uang jaminan tersebut menjadi milik istri sebagai restitusi dari pihak suami. Uang jaminan tersebut disimpan di Bank Syariah yang dapat dicairkan atas perintah pengadilan.
5. Kewajiban pihak istri didalam perjanjian kawin kontrak tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia.
Hal lain yang dapat ditempuh untuk menjerat pelaku kawin kontrak adalah dengan menjerat pada Pasal 304 KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena akibat kawin kontrak rentan terjadinya perlakuan orang tua, suami, atau isteri yang melakukan tindak pidana berupa penelantaran rumah tangga, baik secara ekonomi maupun secara kejiwaan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 304 KUHP, bahwa:
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
58
“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Berdasarkan isi pasal tersebut diatas, bagi pelaku kawin kontrak yang membiarkan anaknya atau isteri/suaminya dalam keadaan sengsara dimana seharusnya memberikan biaya kehidupan kepada anak-anak atau isterinya dengan sengaja dapat dipidana. Contoh unsur kesengajaan penelentaran keluarga oleh pelaku kawin kontrak dapat terlihat dari dibuatnya perjanjian dalam kontrak yang mengatur dilepasnya tanggung jawab sebagai orang tua dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut yang juga sekaligus mengakhiri perkawinan tersebut.
3.5. Upaya Hukum Oleh Pihak Yang Berwenang Untuk Mencegah Terjadinya Kawin Kontrak
Ketiadaan aturan hukum yang mengatur mengenai kawin kontrak dengan segala akibatnya menyebabkan beberapa pihak mendesak agar dilakukannya pembaharuan dalam hukum perkawinan. Banyak warga negara asing yang biasanya merupakan pelaku praktik kawin kontrak dijerat dengan peraturan soal keimigrasian. Namun itu untuk warga negara asing, bagaimana dengan warga lokal, karena pelaku praktik ini tidak selalu dilakukan oleh warga negara asing. Seiring dengan dilakukannya upaya hukum untuk mencegah kawin kontrak, saat ini pemerintah telah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan yang telah masuk dalam program legislasi nasional 2010, di dalam situs DPR, dpr.go.id, RUU itu tercatat dalam daftar prolegnas nomor 56. RUU yang diprakarsai oleh Departemen Agama RI sejak beberapa tahun ini, terbagi atas 24 Bab dengan 156 Pasal mengatur nikah siri, poligami, dan kawin kontrak. RUU ini menuai kontroversi dari berbagai kalangan karena negara dinilai menerobos batas syariah Islam dan hukum formal
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
59
demi membela hak perempuan sehingga salah satu bentuk kontra yaitu dibuatnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Namun di satu sisi, RUU Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan sangat diperlukan untuk memperketat tentang pernikahan terutama untuk kawin kontrak, kawin siri dan poligami yang bertujuan untuk menekan angka perceraian, melindungi hak-hak wanita, dan melindungi hak anak untuk mendapatkan surat lahir dan hak waris. Hal ini menjadi upaya hukum yang dinilai tepat karena melihat urgensi permasalahan perkawinan di Indonesia, seperti tercatat oleh kementerian Agama bahwa pada tahun 2010 tercatat 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk,hak-hak hukum seperti hak waris, 36
dan sebagainya. Selain itu, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200 ribu perceraian.37 Selain itu, kelahiran RUU tersebut didasarkan atas inisiatif pemerintah untuk menaikkan status Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-Undang. Inisiatif tersebut dilatar belakangi absennya Instruksi Presiden dalam hierarki Peraturan Perundangundangan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Karena KHI menjadi acuan para Hakim Peradilan Agama ketika akan memutus perkara yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang melibatkan umat muslim. Hingga tak heran bila akan banyak Pasal dan Bab dalam RUU sebagai 38
penyempurnaan dari Kompilasi Hukum Islam.
RUU ini mengatur tentang perkawinan siri, perkawinan kontrak, dan poligami. Pro dan kontra pun bergulir diantara masyarakat dan para ulama, pasalnya dalam RUU tersebut nyata-nyata terkandung klausul pemidanaan (kriminalisasi) dalam bidang perkawinan. Berdasarkan draft RUU Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan dikelompokkan pasal-pasal pidana di RUU tersebut dalam dua bagian. Yakni, kelompok tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Menurut RUU tersebut, kategori pelanggaran meliputi 36
www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012, Juni 2011 www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012, Juni 2011 38 www.tempointeraktif.com/hg/.../brk,20041109 ‐07,id.html, Juni 2011 37
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
60
pasal 143, 145, 146, dan 148 dan kategori kejahatan meliputi pasal 144, 147, 149, dan 150. Meski sama-sama pelanggaran hukum pidana, dalam praktik pengadilan pemidanaan akan berbeda. Pidana untuk kategori kejahatan tentu akan lebih berat daripada kategori pelanggaran. Sebagai contoh, sanksi pidana untuk orang yang melakukan kawin kontrak lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi pidana untuk nikah siri. Sebab, nikah siri sekadar pelanggaran karena tak mau mencatatkan perkawinan ke Tata Usaha Negara. Sedangkan kawin kontrak punya maksud memenuhi kebutuhan ekonomi dan biologis dalam jangka waktu tertentu tanpa bertanggung jawab. Karena itu, perkawinan kontrak digolongkan oleh pembentuk undang-undang sebagai kejahatan terencana sebagaimana tersirat di dalam Pasal 151. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan secara nikah siri, poligami, maupun kawin kontrak dimana setiap penghulu atau pejabat pencatat nikah yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, atau pegawai kantor urusan agama yang menikahkan mempelai melanggar persyaratan juga diancam denda Rp. 12.000.000,- (dua belas juta Rupiah) dan sanksi pidana paling lama 1 tahun penjara sebagaimana ternyata di dalam pasal 148. Beberapa pasal krusial antara lain pasal 143 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah akan dipidana dengan ancaman hukuman denda mulai Rp. 6.000.000,- (enam juta Rupiah) dan hukuma kurungan paling lama 6 bulan. Mencatatkan perkawinan dalam tata usaha negara memang tidak diwajibkan dalam syariat agama. Namun, syariat mewajibkan setiap orang tua melindungi hak-hak keturunannya. Karena itu, menurut tafsirnya, setiap orang tua wajib mencatatkan perkawinan agar seluruh hak anaknya terpenuhi. RUU ini berpendapat bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut agama dan dicatatkan dihadapan pejabat pencatat nikah, dimana dua peristiwa tersebut menunjukkan kualifikasi yang sederajat antara pernikahan yang dilakukan menurut agama dengan pencatatan, sehingga yang satu dapat menganulir yang lain, akibatnya perbuatan hukum yang sah yaitu perkawinan, wajib dicatatkan sebagai dasar hukum, sehingga akibat hukum dari perkawinan tersebut juga menjadi sah dimana hubungan keperdataan antara suami, isteri dan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
61
anak-anak yang dilahirkan menjadi mengikat dimata hukum. Namun dalam pasal 143, perlu dilakukannya pembatasan dalam unsur “dengan sengaja” untuk menghindari tidak terjadinya kesewenang-wenangan terhadap semua perkawinan yang tidak dicatat agar tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Oleh karena itu, hendaknya diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai unsur “dengan sengaja” yaitu setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah dengan tujuan untuk menyembunyikan 39
perkawinan agar tidak diketahui oleh orang lain atau orang tertentu/masyarakat.
RUU tersebut tak hanya menjadi ancaman bagi mereka yang melakukan pernikahan siri, tapi juga pelaku kawin mut'ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menjelaskan, setiap orang yang melakukan perkawinan mut'ah dihukum selamalamanya tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum. Namun pasal 144 kiranya akan menuai resistensi dari masyarakat karena sifatnya yang membatalkan perkawinan, di satu sisi menurut UU no 1 tahun 1974, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan (pasal 2 ayat (1)). Jika dasar pemikiran dari pasal 144 RUU ini adalah untuk melindungi hak-hak istri dan anak, maka akan timbul pertanyaan jika perkawinan justru dibatalkan, karena jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi istri dan anak. Memang bentuk kawin kontrak/kawin mut’ah adalah penyelundupan hukum baik hukum agama dan masyarakat, namun keberadaannya tak terlepas dari keadaan sosiologis masyarakat yang kondusif bagi praktek-praktek seperti itu sehingga perlu pemikiran lebih jauh untuk melindungi para korban kawin kontrak terutama anak-anak yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebut. RUU itu juga akan mengatur perkawinan campur antara mempelai yang berbeda kewarganegaraan yang dimana diatur di pasal 142 ayat 3 dalam RUU, disebutkan bahwa calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah). Pada pasal 184 yaitu pasal yang memberikan wewenang kepada penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan untuk menyelidiki, menyidik dan menangkap pelaku kawin kontrak dimana dalam
39
Neng Djubaidah, SH.,MH, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 271.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
62
pasal tersebut, kejaksaan dan kepolisian menyelidiki dan menyidik setelah menerima laporan masyarakat. Namun hendaknya perlu dibatasi mengenai orang yang dapat melakukan pengaduan kepada pihak yang berwenang, dimana sebaiknya yang berhak melapor adalah istri, suami, anak-anak yang lahir dari seluruh perkawinan bersangkutan, anggota keluarga, dan pihak lain yang dirugikan oleh adanya perkawinan tersebut. Dalam kedudukannya, RUU Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan jika diundangkan akan lebih kuat jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan yang memuat 45 pasal sanksi pidana karena RUU tersebut merupakan produk wakil rakyat. Selain UU lebih tinggi daripada PP, UU lebih kuat memberikan sanksi. Meski RUU ini telah masuk dalam prioritas Prolegnas 2010 di DPR RI, namun pemberlakuannya sepenuhnya bergantung pada pemerintah selaku inisiator karena merupakan inisiasi pemerintah dan pembahasannya tentunya tergantung pada seberapa jauh pemerintah mempersiapkannya.
3.6. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Notaris Dalam Menyikapi Permintaan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Kontrak
Fenomena kawin kontrak terjadi hampir di setiap daerah, di Indonesia. Padahal tujuan perkawinan menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Pasal 3 KHI bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal itu tentu berbeda dengan tujuan kawin kontrak karena tujuan perkawinannya semata-mata mencari kepuasan biologis bagi pihak laki-laki dan upah bagi pihak perempuan. kawin kontrak adalah perkawinan yang dilarang tidak diakui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagaimana seandainya kalau ada pihak yang datang kepada Notaris untuk meminta dibuatkannya akta perjanjian kawin kontrak, bagaimanakah sikap notaris dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris mengenai hal tersebut. Meskipun dalam praktiknya selama ini belum pernah ada Notaris yang membuat akta perjanjian kawin kontrak.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
63
Sebelumnya, diperlukan pemahaman apakah perjanjian kawin kontrak tersebut termasuk didalam hukum perjanjian dan apakah termasuk dalam hukum keluarga, oleh karena itu perlu dicermati pasal-pasal dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sehubungan dengan persolan kawin kontrak tersebut. Definisi Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 : "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sumai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa". Dengan memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin; ini berarti bahwa kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal diatas maka kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk perjanjian atau kontrak). Dijelaskan pula didalam penjelasan pasal 1 tersebut bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin (rohani) memiliki peranan penting. Memiliki keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua. Di dalam Bab V, Perjanjian Perkawianan Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. Dari uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tidak membenarkan adanya kawin kontrak. Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian, tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
64
4. Suatu sebab yang halal. Sedikit membahas tentang pasal 1320 KUHPerdata, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian 40
ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang barang (Pasal 1332 BW) dan bukan perasaan, sebagimana dimaksudkan dalam klausula kawin kontrak pada umumnya. Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga kawin kontrak dapat dibatalkan. Sebagai bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus mematuhi seluruh kaedah moral yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Selain dari adanya tanggung jawab dan etika profesi, adanya integritas dan moral yang baik merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki oleh seorang notaris. Dikatakan demikian karena tanggung jawab dan etika profesi mempunyai hubungan yang erat dengan integritas dan moral. Agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pelayan masyarakat, seorang profesional harus menjalankan jabatannya dengan menyelaraskan antara keahlian yang dimilikinya dengan menjunjung tinggi kode etik profesi. Adanya kode etik bertujuan agar suatu profesi dapat dijalankan dengan moral/martabat, motivasi dan orientasi pada keterampilan intelektual serta berargumentasi secara rasional dan kritis serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Untuk melindungi kepentingan masyarakat umum dan menjamin pelaksanaan jabatan notaris yang dipercayakan oleh undang-
40
Ricardo Simanjuntak,SH., LLM., ANZIIF, CIP, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (2006:Jakarta, Mingguan Ekonomi dan Bisnis KONTAN), hlm 93
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
65
undang dan masyarakat pada umumnya, maka adanya pengaturan secara hukum mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan notaris sangat tepat, karena dalam menjalankan jabatannya yang diamanatkan oleh undang-undang tetapi juga berfungsi sebagai pengabdi hukum yang meliputi bidang yang sangat luas. Dengan adanya kode etik kepentingan masyarakat yang akan terjamin sehingga memperkuat kepercayaan masyarakat. Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik profesi juga penting sebagai sarana kontrol sosial yang dimana kode etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum adalah merupakan salah satu organ negara yang mendapat amanat dari sebagian tugas dan kewenangan negara yaitu berupa tugas, kewajiban, wewenang dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum di bidang keperdataan. Jabatan yang diemban notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang diamanatkan oleh undang-undang dan masyarakat, untuk itulah seorang notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selaiu menjunjung tinggi etika hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya, sebab apabila hal tersebut diabaikan oleh seorang notaris maka akan berbahaya bagi masyarakat umum yang dilayaninya. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus mematuhi seluruh kaedah moral yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Selain dari adanya tanggung jawab dari etika profesi, adanya integritas dan moral yang baik merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki oleh seorang notaris. Oleh karena itu notaris harus senantiasa menjalankan jabatannya menurut kode etik notaris yang ditetapkan dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang telah mengatur mengenai kewajiban, dan larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris dalam menegakkan kode etik notaris dan mematuhi undang-undang yang mengatur tentang Jabatan Notaris yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.41
41
Drs. H. Soegeng Santosa, SH, MH, Bidang Tugas Pengayoman Dikaitkan Dengan Undang‐ Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: Diskusi Panel Bedah Krisis Pasal UU No. 30/2004 (UUJN) dan Implementasinya, Hotel Sahid Jaya Jakrta‐13, Desember 2004.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
66
Berdasarkan uraian tersebut diatas, sikap yang perlu diambil oleh seorang notaris terhadap pihak yang ingin dibuatkannya perjanjian kawin kontrak adalah menolaknya dimana diatur didalam pasal 16 (d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, notaris dapat menolak memberikan
pelayanannya kepada masyarakat apabila ada alasan hukum untuk menolak memberikan pelayanan hukum tersebut. Penolakkan tersebut harus diikuti dengan penyuluhan hukum kepada pihak tersebut mengenai apakah dasar alasan penolakannya sesuai dengan penjelasan diatas, selain itu notaris perlu memberikan saran kepada pihak tersebut agar perkawinan kontrak tersebut perlu dicatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil agar status perkawinannya menjadi sah dan melindungi kedua belah pihak serta anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, sehingga perjanjian dalam kawin kontraknya dapat dirubah menjadi perjanjian perkawinan akan tetapi harus menghilangkan pasal-pasal yang melanggar hukum dimana yang utama adalah menghilangkan jangka waktu dari perkawinan tersebut dan hal-hal yang melanggar hak asasi manusia sehingga notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum serta otentik. Selain itu notaris sebagai pengabdi hukum di bidang hukum perdata, harus menawarkan jasa untuk membantu yang sesuai dengan kapasitasnya untuk membuat perkawinan kontrak tersebut sah menurut hukum, dengan cara penyuluhan hukum dan menghubungi pihak-pihak yang terkait untuk membantu men-sahkan perkawinan tersebut sepanjang hal ini disetujui oleh pihak yang bersangkutan.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
67
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Konsekuensi isi surat perjanjian kawin kontrak memberatkan pihak wanita yang dikontrak karena melanggar hak asasi manusia, semua gerak dan kehidupan sehari-hari diatur oleh pihak laki-laki yaitu pengontrak. Walaupun berat isi surat perjanjian dalam kawin kontrak tersebut, akan tetapi tidak ada masalah dalam pelaksanaannya, para pelaku kawin kontrak, terutama pihak yang dikontrak tidak keberatan atas isi surat perjanjian yang telah ditanda tanganinya, mereka melaksanakannya dengan senang hati tanpa masalah apapun karena mereka mempunyai maksud dan tujuan tertentu, dengan harapan dapat hidup lebih baik demi peningkatan ekonomi keluarganya.
2. Untuk melindungi kaum wanita dan anak-anak, kiranya isi perjanjiannya harus dirubah. Kiranya, ikatan perjanjian kawin kontrak yang dapat di izinkan oleh pengadilan harus memuat hal-hal yang harus dipatuhi oleh ole h pelaku kawin kontrak yaitu:
1. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan kontrak juga menjadi tanggung jawab suami dan mempunyai garis keturunan kepada pihak ayah serta wajib diakui sebagai anak yang sah;
2. Anak memiliki hak waris dari pihak ayah dan pihak ibu;
3. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya, dan apabila perkawinan kontrak itu berakhir, pihak suami berkewajiban untuk memberikan tunjangan kepada istri dan anak yang besarannya dapat ditentukan dalam isi kontrak atau atas penetapan pengadilan;
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
68
4. Pihak suami harus memberikan uang jaminan yang nilainya ditentukan oleh pengadilan sebagai jaminan kepada pihak istri bahwa suami akan melaksanakan isi dalam kontrak dan apabila terjadi pelanggaran maka uang jaminan tersebut menjadi milik istri sebagai restitusi dari pihak suami. Uang jaminan tersebut disimpan di Bank Syariah yang dapat dicairkan atas perintah pengadilan.
5. Kewajiban pihak istri didalam perjanjian kawin kontrak tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia.
Hal lain yang dapat ditempuh untuk menjerat pelaku kawin kontrak adalah dengan menjerat pada pasal-pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena akibat kawin kontrak rentan terjadinya perlakuan orang tua, suami, atau isteri yang melakukan tindak pidana berupa penelantaran rumah tangga, baik secara ekonomi maupun secara kejiwaan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga.
3. Seiring dengan dilakukannya upaya hukum untuk mencegah kawin kontrak, DPR dan Pemerintah harus segera memberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan karena mempunyai sanksi pidana yang tegas untuk mencegah terjadinya kawin kontrak. Meski RUU ini telah masuk dalam prioritas Prolegnas 2010 di DPR RI, namun pemberlakuannya sepenuhnya bergantung pada pemerintah selaku inisiator karena merupakan inisiasi pemerintah dan pembahasannya tentunya tergantung pada seberapa jauh pemerintah mempersiapkannya.
4.2. SARAN-SARAN
Dalam maraknya kawin kontrak yang ada di Indonesia sekarang ini , walaupun tidak diakui di dalam UU Perkawinan dan diharamkan oleh fatwa MUI, yang mana telah menghapuskan arti kesakralan dalam suatu lembaga perkawinan
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
69
dan merugikan pihak wanita karena harus taat dan patuh terhadap apa yang diinginkan dan diharapkan oleh pengontrak, akan tetapi tetap saja masih dilaksanakan oleh masyarakat dan mereka tidak merasa keberatan terhadap perlakuan yang demikian tersebut, akan tetapi akan dapat memperburuk keadaan generasi mendatang dan moral manusia pelakunya, oleh karenanya perlu ditempuh upaya:
1. Pemerintah secara tegas menertibkan tempat-tempat tertentu yang marak dengan kehidupan kawin kontrak tersebut dengan
sanksi yang
memberatkan yaitu dengan cara mensahkan RUU Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan agar memperketat lembaga perkawinan dengan diikuti pendidikan hukum bagi masyarakat, sosialisasi peraturan perundangan, pengefektifan birokrasi perkawinan, pendataan warga asing di lingkungan, hingga penegakan nilai agama oleh pemuka agama setempat harus lebih dikedepankan.
2. Apabila RUU Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan telah disahkan maka Kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru peradilan agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan problema hukum yang berkembang di masyarakat.
3. Pemerintah dengan melibatkan penggiat hak asasi manusia atau lembaga swadaya masyarakat dan akademisi harus meningkatkan perlindungan hak-hak asasi manusia, dengan cara memberikan penyuluhan bimbingan moral dan pengenalan pola hidup yang mandiri bagi wanita di daerahdaerah pedesaan.
4. Pemerintah hendaknya membuat ketentuan untuk memintakan jaminan terhadap kaum wanita Indonesia yang diinginkan para orang asing tersebut, apabila mereka menghasilkan keturunan.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
70
5. Para pemuka Agama di daerah-daerah yang marak dengan pendatang dari manca negara hendaknya membuat ketentuan dan sanksi adat yang tegas terhadap masyarakat setempat, sehingga warga masyarakatnya akan terjamin kehidupannya.
6. Pemerintah pusat dan daerah harus melakukan pemerataan kesejahteraan dan meningkatkan mutu pendidikan bagi warga setempat yang daerahnya rentan dengan fenomena kawin kontrak.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
DAFTAR REFERENSI
I. BUKU
Ahmid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Ahmid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Binacipta, 1978.
Darmabrata , Wahjono. Hukum Perdata: Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Gitamajaya, 2004. Darmabrata, Wahjono. Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan, Jakarta: Rizkita,
2009. Darmabrata, Wahyono dan Sjarif, Ahlan, Surini.
Hukum Perkawinan dan
Keluarga di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004. Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2010. Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor:1-1974, Jakarta: Tintamas, 1986. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: Andi offset, 1989. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju,1990.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2007. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, Jakarta, 1984.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
Simanjuntak, Ricardo. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,: Jakarta, Mingguan Ekonomi dan Bisnis KONTAN, 2006. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Bineka Cipta, 1991 Wirjono, Prodjodikoro. Hukum Perkawinan Di Indonesia, 1990: Bulan Bintang, Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bergelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh
Subekti. Jakarta : PT. Pradna Paramita, 2004 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht)
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan , Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, Nomor 9 Tahun 1975
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. Indonesia , Rancangan Undang-Undang Hukum Materill Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Tahun 2007.
III. INTERNET
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-02 17/93143/MUI_Jatim_Terjunkan_Tim_Pencari_Fakta_ke_Pasuruan http://www.nurmadinah.com/2010/11/nikah-mut%E2%80%99ah-halal-atauharam/ http://www.albayyinat.net/mutaht.html http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/syi-ah-menurut-kacamatasejumlah-tokoh.htm
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
http://lateralbandung.wordpress.com/2007/07/26/sekilas-nikah-mutah/ www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012 www.tempointeraktif.com/hg/.../brk,20041109-07,id.html
IV. MAKALAH
Soegeng, Santosa. Bidang Tugas Pengayoman Dikaitkan Dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: Diskusi Panel Bedah Krisis Pasal UU No. 30/2004 (UUJN) dan Implementasinya, Hotel Sahid Jaya
Jakarta-13, 2004.
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
LAMPIRAN
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN
2008
Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
DAFTAR ISI
halaman KONSIDERAN BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII
BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI BAB XII
BAB XIII BAB XIV BAB XV BAB XVI
BAB XVII BAB XVIII BAB XIX BAB XX BAB XXI BAB XXII BAB XXIII BAB XXIV
2 KETENTUAN UMUM DASAR-DASAR PERKAWINAN PEMINANGAN RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN MAHAR LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN YANG DILARANG TAKLIK TALAK DAN PERJANJIAN PERKAWINAN Bagian Kesatu : Taklik Talak Bagian Kedua : Perjanjian Perkawinan PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG PENCEGAHAN PERKAWINAN BATALNYA PERKAWINAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu : Umum Bagian Kedua : Kedudukan Suami Isteri Bagian Ketiga : Kewajiban Suami Bagian Keempat : Tempat Kediaman Bagian Kelima : Kewajiban Isteri HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN KEDUDUKAN ANAK PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu : Akibat Cerai Talak Bagian Kedua : Waktu Tunggu Bagian Ketiga : Harta Bersama Akibat Perceraian Bagian Keempat : Akibat Khuluk Bagian Kelima : Akibat Lian PEMELIHARAAN ANAK PERWALIAN RUJUK PERKAWINAN CAMPURAN KETENTUAN PIDANA KETENTUAN LAIN KETENTUAN PERALIHAN KETENTUAN PENUTUP
PENJELASAN UMUM PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
4 7 8 9 13 14 17 17 17 19 20 22 24 27 27 27 28 29 29 30 33 34 39 39 39 41 41 41 41 43 45 46 46 48 48 49 50 52
2
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR __ __ TAHUN __ __ __ __ TENTANG HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
: a. bahwa penyelesaian perkara pada Badan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan ke-hakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan harus berdasarkan undang-undang; b. bahwa hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksa-naannya belum memadai bagi Badan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesai-kan perkara sehingga perlu menggunakan landasan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Pre-siden Nomor 1 Tahun 1991; c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUn-dang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan acara Peradilan Agama perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang yang mengatur ten-tang hukum materiil peradilan agama di bidang per-kawinan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di-maksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Hukum Ma-teriil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Da-sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Ta-hun 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2019); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Un-dang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Per-ubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Repu-blik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400); 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ke-kuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2004 Nomor 8; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG PERKAWINAN.
MEMUTUSKAN TENTANG HUKUM MATERIIL
PERADILAN
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
AGAMA
BIDANG
3
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dengan: a. b.
perkawinan adalah pernikahan yang berlaku bagi umat Islam; peminangan atau disebut khitbah adalah permintaan dari pihak laki-laki sebagai peminang kepada pihak perempuan yang dipinang untuk menikah; c. wali nikah adalah laki-laki yang berhak menikahkan seorang perempuan, menurut hukum Islam, baik wali nasab maupun wali hakim; d. wali nasab adalah laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan pihak ayah calon mempelai perempuan; e. wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Agama, untuk bertindak sebagai wali nikah bagi mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali atau mempunyai wali yang tidak dapat menggunakan hak walinya; f. akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dan kabul yang diucapkan oleh mem-pelai laki-laki atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi; g. Akta Nikah adalah dokumen resmi yang diterbitkan/dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan; h. Pejabat Pencatat Nikah atau disebut Penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh Menteri Agama dengan kewenangan untuk mencatat dan mengadminis-trasikan perkawinan menurut Undang-Undang; i. mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, dalam bentuk benda atau uang yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; j. taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan mempelai laki-laki setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Kutipan Akta Nikah, berupa janji talak yang digantungkan kepada keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang; k. pemeliharaan anak atau disebut hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; l. perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseo-rang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wa-kil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mem-punyai orangtua, atau orangtua yang masih hidup tidak ca-kap melakukan perbuatan hukum; m. khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwad kepada suami atau atas persetujuan suaminya; n. nusyuz adalah perilaku membangkang dan mengingkari ke-wajiban yang dilakukan oleh isteri terhadap suami atau se-baliknya; o. qabladdukhul adalah kondisi suami isteri belum melakukan hubungan badan; p. ba’dadukhul adalah kondisi suami isteri telah melakukan hubungan badan; q. mutah (mut’ah) adalah pemberian berupa benda atau uang dari bekas suami kepada isteri yang telah dijatuhi talak; r. perkawinan mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu dengan maksud untuk mencari kesenangan dan/atau kepuasan seksual; s. zina adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan; t. lian (li’an) adalah sumpah dengan cara tertentu yang diucapkan oleh suami yang mengandung tuduhan bahwa isterinya telah berzina, atau sangkalan bahwa janin/bayi yang dikandung/ dilahirkan oleh isterinya sebagai anak kandungnya; dan di-ikuti dengan sumpah yang diucapkan oleh isteri yang mengandung penolakan atas tuduhan suami; u. Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar-iyah.
B A B II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 Pasal 2x Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai dengan hukum Islam. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
4
Pasal 3 Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Pasal 4 Setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menu-rut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 (1) Untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap perkawinan wajib di-langsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.
(1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 6 Perkawinan dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Ni-kah, dapat diajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan. Permohonan isbat nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan dengan alasan hilangnya Akta Nikah dan Ku-tipannya. Perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat diisbatkan dengan dikenai sanksi pidana yang diten-tukan dalam Undang-Undang ini. Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berke-pentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 7 Putusnya perkawinan selain karena kematian dibuktikan dengan Akta Cerai berdasarkan putusan Pengadilan. Pasal 8 (1) Apabila Akta Cerai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak ditemukan karena hilang atau sebab lain yang sah, dapat dimin-takan keterangan resmi dari Pengadilan. (2) Dalam hal keterangan resmi dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan atau gugatan perce-raian kepada Pengadilan. Pasal 9 Rujuk dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah.
B A B III PEMINANGAN Pasal 10 Peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya. Pasal 11 (1) Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah menikah yang idahnya telah habis. (2) Peminangan dilarang terhadap: a. perempuan yang masih berada dalam idah, kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sindiran t(a’ridl ); b. perempuan yang sedang dipinang laki-laki lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan. (3) Pinangan pihak laki-laki dinyatakan putus dengan adanya per-nyataan tentang putusnya hubungan pinangan. Pasal 12 (1) Peminangan belum menimbulkan akibat hukum perkawinan bagi para pihak. (2) Para pihak dapat memutuskan hubungan pinangan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama Islam dan kebiasaan setempat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. (3) Dalam hal pemutusan hubungan pinangan menimbulkan keru-gian terhadap salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
5
B A B IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Pasal 13 (1) Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. calon suami; b. calon isteri; c. wali nikah; d. dua orang saksi; e. ijab dan kabul; dan f. mahar. (2) Pelaksanaan perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) tidak sah. Pasal 14 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan men-capai umur 16 tahun. (2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ayat (1), orangtua atau walinya harus meminta dispensasi kepada Pengadilan. Pasal 15 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas dengan lisan atau tulisan, dengan isyarat, atau dengan diam, dalam arti tidak ada penolakan. Pasal 16 (1) Sebelum perkawinan berlangsung, Pejabat Pencatat Nikah mena-nyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah. (2) Apabila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan. (3) Persetujuan calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 17 Pasal 17 Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dan 16, perkawinan dapat dilangsungkan apabila tidak terdapat larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 18 (1) Wali nikah terdiri atas: a. wali nasab, dan b. wali hakim. (2) Wali nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus meme-nuhi syarat: a. laki-laki, b. muslim, c. akil, d. balig, dan e. tidak sedang ihram. Pasal 19 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok menurut kedudukan dan hubungan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan, de-ngan urutan sebagai berikut: a. Ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya; b. Saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka; c. saudara laki-laki kandung ayah, saudara laki-laki seayah dari ayah, dan keturunan laki-laki mereka; dan d. Saudara laki-laki kandung dari orangtua laki-laki ayah, saudara laki-laki seayah dari orangtua laki-laki ayah, dan keturunan laki-laki mereka. (2) Dalam hal seorang janda tidak mempunyai wali kecuali anak kandungnya yang laki-laki, maka anak kandungnya tersebut menjadi wali bagi dirinya. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
6
(3) Apabila terdapat beberapa orang dalam satu kelompok wali nikah maka yang paling berhak adalah wali yang memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan calon mempelai perempuan. (4) Apabila dalam satu kelompok wali memiliki kesamaan derajat kekerabatan maka saudara kandung lebih berhak menjadi wali nikah dari pada saudara seayah. (5) Dalam hal satu kelompok wali hanya terdiri dari saudara kandung atau saudara seayah maka hak menjadi wali nikah diberikan kepada yang berusia lebih tua. (6) Perselisihan tentang wali nikah dapat diselesaikan melalui pe-netapan Pengadilan dan tidak dapat dimohonkan banding atau kasasi. Pasal 20 Apabila wali nikah yang paling berhak menurut urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Pasal 21 (1) Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, atau enggan menikahkan (‘adhal ). (2) Dalam hal wali ‘adhal , wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan tentang ‘adhal-nya wali tersebut.’ Pasal 22 Selain wali nasab dan wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21, tidak sah bertindak sebagai wali nikah. Pasal 23 Pasal 23 Setiap perkawinan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat: a. laki-laki, b. muslim, c. adil, d. akil, e. balig, dan f. tidak tuna rungu dan/atau tidak tuna netra. Pasal 24 Saksi wajib hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Pasal 25 Ijab dan kabul antara wali nikah dan calon mempelai laki-laki harus dilaksanakan secara jelas dan dilangsungkan dalam satu majelis akad nikah yang beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 26 (1) Ijab diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya, dan kabul diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. (2) Dalam hal calon mempelai perempuan atau wali berkeberatan terhadap calon mempelai laki-laki yang mewakilkan ucapan ka-bulnya maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan. BAB V MAHAR Pasal 27 Pasal 27 (1) Mempelai laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada mempe-lai perempuan. (2) Bentuk, jenis, dan jumlah mahar didasarkan atas asas kesederhanaan dan kepatutan yang disepakati kedua belah pihak. (3) Mahar menjadi hak milik pribadi mempelai perempuan. Pasal 28 Pasal 28 (1) Mahar dibayar langsung secara tunai kepada mempelai perempuan. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
7
(2) Apabila calon mempelai perempuan menyetujui, pembayaran mahar boleh ditangguhkan seluruhnya atau sebagian dan menjadi hutang mempelai laki-laki. Pasal 29 (1) Suami yang menalak isterinya qabladdukhul dan belum membayar mahar, wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, kecuali jika qabladdukhul itu terjadi karena kesalahan atau nusyuznya isteri. (2) Apabila suami meninggal dunia qabladdukhul maka seluruh ma-har yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya. (3) Apabila terjadi perceraian qabladdukhul namun besarnya mahar belum ditetapkan maka suami wajib membayar mutah. Pasal 30 (1) Mahar yang mengandung cacat atau kurang, tetapi diterima tanpa syarat oleh mempelai perempuan dianggap telah dibayar lunas. (2) Suami harus mengganti mahar yang cacat atas permintaan isteri. (3) Dalam hal terjadi perselisihan mengenai mahar maka penyele-saian perselisihan dapat diajukan ke Pengadilan.
B A B VI LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN YANG DILARANG Pasal 31 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki de-ngan seorang perempuan, disebabkan: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping, yaitu saudara, saudara orangtua, dan saudara kakek/nenek; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, menantu, anak tiri, dan ayah/ibu tiri; d. berhubungan susuan yaitu, ibu susuan, anak susuan, sau-dara susuan, dan paman/bibi susuan; atau e. mempunyai hubungan yang oleh hukum Islam dilarang me-langsungkan perkawinan. Pasal 32 (1) Seorang laki-laki dilarang memadu isterinya dengan seorang perempuan yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isterinya telah ditalak dan masih dalam idah.
Pasal 33 Seorang laki-laki dilarang melangsungkan perkawinan dengan seo-rang perempuan yang: a. terikat perkawinan dengan laki-laki lain; b. berada dalam masa idah dengan laki-laki lain; dan/atau c. tidak beragama Islam. Pasal 34 Dalam hal seorang laki-laki mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang bersangkutan dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan apabila: a. masih terikat tali perkawinan yang sah dengan isteri-iste-rinya; b. salah seorang atau beberapa orang dari keempat isterinya tersebut masih dalam idah talak raj’i ; atau c. keempat isterinya masih dalam idah talak raj’i . Pasal 35 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dan: a. seorang perempuan bekas isterinya yang ditalak tiga kali; atau b. seorang perempuan bekas isterinya yang dilian. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku, jika bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain sebagaimana layaknya. Pasal 36 Seorang perempuan muslimah dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
8
Pasal 37 (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, dilarang melangsungkan perkawinan dan bertindak sebagai wali nikah dan menjadi saksi dalam perkawinan. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah. Pasal 38 Seorang isteri dilarang memiliki suami lebih dari satu orang. Pasal 39 Laki-laki muslim atau perempuan muslimah dilarang melang-sungkan perkawinan mutah.
B A B VII TAKLIK TALAK DAN PERJANJIAN PERKAWINAN Bagian Kesatu Taklik Talak
(1) (2) (3) (4)
Pasal 40 Setelah akad nikah, suami dapat mengucapkan dan menan-datangan taklik talak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hal pernyataan yang tercantum dalam taklik talak kemu-dian terjadi, talak jatuh jika isteri mengajukan gugatan ke Penga-dilan dan gugatan tersebut diterima. Perjanjian taklik talak bukan suatu kewajiban dalam perka-winan, tetapi jika sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Bagian Kedua Perjanjian Perkawinan Pasal 41 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pejabat Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masingmasing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. (3) Di samping ketentuan pada Ayat (1) dan (2) di atas, dapat pula isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Pasal 42 (1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebu-tuhan rumah tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tetap ter-jadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pasal 43 (1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 44 (1) Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah. (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib didaftarkan di Kantor Pejabat Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. (3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
9
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 45 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan dapat dijadikan alasan bagi isteri atau suami untuk meminta pembatalan nikah atau meng-ajukan gugatan perceraian ke Pengadilan.
Pasal 46 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini-kahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. B A B VIII PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA Pasal 47 Pasal 47 (1) Seorang perempuan hamil karena zina, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menzinainya. (2) Perkawinan dengan perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat perempuan hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Pasal 48 Perempuan hamil akibat perkosaan dapat dikawinkan dengan laki-laki lain tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak diperlukan perkawinan ulang sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3). Pasal 49 Dalam hal seorang laki-laki menzinai seorang perempuan yang belum kawin dan menyebabkan kehamilannya, sedangkan lakilaki tersebut menolak mengawininya sehingga terjadi perselisihan, maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan.
B A B IX BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG Pasal 50 (1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, dibatasi hingga empat orang isteri. (2) Untuk dapat beristeri lebih dari seorang, suami disyaratkan mampu memberikan nafkah lahir dan batin serta berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. (3) Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. Pasal 51 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran, dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini-kahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pasal 52 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan (2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perudangundangan. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
10
Pasal 53 Pasal 53 (1) Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan; atau d. terdapat alasan lain yang dibenarkan menurut hukum. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus dibuktikan dengan keterangan tim dokter rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah atas permintaan pengadilan. Pasal 54 Pasal 54 (1) Selain syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) maka untuk memperoleh izin Pengadilan, harus dipenuhi pula syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan isteri/isteri-isteri; dan b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan ter-tulis, harus dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada si-dang Pengadilan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila: a. isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai perse-tujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; b. tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau c. sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 55 Pasal 55 Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Pengadilan dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan isteri yang bersangkutan di persidangan Pe-ngadilan, dan terhadap penetapan ini tidak dapat dimintakan ban-ding atau kasasi. BAB X PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 56 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang dan yang tidak memenuhi syarat menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan harus dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 Tidak sepadan (sekufu) tidak dapat dijadikan alasan untuk men-cegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena alasan akhlak dan perbedaan agama. Pasal 58 (1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Walaupun ayah kandung tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga, hak kewaliannya tidak gugur untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain. Pasal 59 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan. Pasal 60 Pejabat Pencatat Nikah berwenang mencegah perkawinan jika rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
11
Pasal 61 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan di daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan serta diberita-hukan kepada Pejabat Pencatat Nikah. (2) Pemberitahuan mengenai permohonan pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan Kepada calon mempelai oleh Pejabat Pencatat Nikah. Pasal 62 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut oleh pemohon. Pasal 63 Dalam hal Pengadilan menolak permohonan pencegahan maka perkawinan dapat dilangsungkan. Pasal 64 Pejabat Pencatat Nikah dilarang melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 14, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 Undang-Undang ini, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
(1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 65 Pejabat Pencatat Nikah wajib menolak perkawinan jika terdapat larangan menurut Undang-Undang ini. Dalam hal adanya penolakan maka atas permintaan salah satu pihak yang berkehendak melangsungkan perkawinan, Pejabat Pencatat Nikah menerbitkan surat penolakan disertai dengan alasan penolakannya. Para pihak yang kehendak nikahnya ditolak berhak mengajukan permohonan untuk mendapatkan penetapan Pengadilan yang mewilayahi Pejabat Pencatat Nikah, dengan menyerahkan surat penolakan tersebut. Pengadilan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan memberikan penetapan, apakah menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hilang ke-kuatannya jika larangan yang mengakibatkan penolakan tersebut telah hilang, dan para pihak yang hendak melangsungkan perka-winan dapat mengulangi pemberitahuan kehendak nikah mereka. B A B XI BATALNYA PERKAWINAN Pasal 66
Perkawinan batal apabila: a. seseorang melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam idah talak raj’i ; b. seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya; c. seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak; d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, atau sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Undang-Undang ini; e. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain; atau f. perkawinan dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. Pasal 67 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami beristeri lebih dari satu orang tanpa izin Pengadilan; b. perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi isteri laki-laki lain yang mafqud ; c. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); atau d. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 68 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pem-batalan perkawinan apabila: a. perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman; b. terjadi penipuan dalam perkawinan; atau c. salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (2) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pemba-talan, maka haknya gugur. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
12
Pasal 69 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; b. suami atau isteri ; c. Pejabat Pencatat Nikah; atau d. pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan.
Pasal 70 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 71 Keputusan Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; dan/atau b. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum putusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 72 Pasal 72 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya.
B A B XII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu Umum
(1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 73 Suami isteri berkewajiban menegakkan rumah tangga yang sakinah yang dilandasi mawadah dan rahmah. Suami isteri harus saling mencintai, menghormati, setia, dan membimbing serta saling memberi bantuan lahir batin. Suami isteri harus mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Suami isteri harus memelihara kehormatan diri dan nama baik keluarganya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Pasal 74
Pasal 74 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Tempat kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diten-tukan bersama oleh suami isteri.
Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri Pasal 75 (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga serta pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) Masing-masing suami dan isteri berhak untuk melakukan perbu-atan hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
13
Bagian Ketiga Kewajiban Suami
(1) (2) (3) (4)
(5) (6)
Pasal 76 Suami adalah pembimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan penting dalam rumah tangga diputuskan bersama oleh suami isteri. Suami harus melindungi dan membantu isteri lahir dan batin serta memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tang-ga sesuai dengan kemampuannya. Suami harus memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan ber-manfaat. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. nafkah, pakaian dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan c. biaya pendidikan bagi anak. Apabila suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai-mana dimaksud ayat (2) dan (4), isteri dengan kerelaannya dapat membebaskan suami dari kewajiban tersebut. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Pasal 77 Dalam hal suami menunjukkan tanda-tanda nusyuz atau tidak mempergauli isteri dengan baik maka isteri dapat menentukan pilihannya apakah tetap mempertahankan perkawinan atau meng-ajukan gugat cerai. Bagian Keempat Tempat Kediaman Pasal 78 (1) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk suami isteri dan anak-anaknya selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat yang disediakan oleh suami atau diusahakan bersama. (2) Tempat kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menca-kup perlengkapan rumah tangga dan sarana penunjang lainnya sesuai dengan kemampuan suami. Pasal 79 Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing is-teri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian per-kawinan. Bagian Kelima Kewajiban Isteri Pasal 80 (1) Isteri wajib menaati suami lahir dan batin di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Pasal 81 (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewa-jiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 tanpa a-lasan yang sah. (2) Kewajiban suami terhadap isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak berlaku kecuali yang berkaitan dengan kepenting-an anak dan berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz. (3) Ketentuan tentang adanya nusyuz isteri harus berdasarkan buk-ti yang sah dan ditetapkan oleh Pengadilan.
B A B XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Pasal 82 Pasal 82 (1) Perkawinan tidak mengakibatkan percampuran harta suami dan harta isteri kecuali suami isteri menentukan lain. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
14
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh oleh-nya. Pasal 83 Harta kekayaan dalam perkawinan dapat terdiri dari: a. Harta bersama (syirkah), yaitu harta yang diperoleh suami isteri baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun kecuali suami isteri menen-tukan lain; b. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami atau isteri yang diperoleh sebelum terjadi perkawinan dan hasilnya; c. Warisan, hibah, dan hadiah yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam perkawinan. Pasal 84 (1) Harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b dan huruf c, di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang pa-ra pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan atau perjanjian lain. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, ha-diah, shadaqah atau lainnya. (3) Terhadap harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas perse-tujuan kedua belah pihak. Pasal 85 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan. Pasal 86 (1) Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri. (2) Isteri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
(1) (2) (3) (4)
Pasal 87 Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 83 huruf a di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak ber-gerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak kekayaan intelektual dan hak lainnya yang bernilai ekonomis. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh sa-lah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 88 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau mengalihkan hak atas harta bersama.
(1) (2) (3) (4)
Pasal 89 Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibeban-kan pada hartanya masing-masing. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk ke-pentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Pasal 90 (1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. (2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. (3) Penghitungan pemilikan harta bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam putusan Pengadilan dalam perkara permohonan izin beristeri lebih dari satu. Pasal 91 (1) Suami atau isteri dapat meminta Pengadilan untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan izin talak atau gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, atau boros. (2) Selama masa sita, dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
15
Pasal 92 (1) Dalam hal perkawinan putus karena kematian, seperdua harta bersama menjadi hak suami atau isteri yang masih hidup. (2) Pembagian harta bersama bagi suami atau isteri yang mafqud di-tangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tentang mafqud-nya isteri atau suami. Pasal 93 Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
B A B XIV KEDUDUKAN ANAK Pasal 94 (1) Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah. (2) Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar cara alami dan dilahirkan oleh i steri tersebut adalah anak yang sah. Pasal 95 Anak yang lahir akibat perzinaan dan/atau di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 96 Dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak akad nikah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 97 PSeorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri menyangkalnya, suami dapat meneguhkan pengingkarannya dan isteri dapat meneguhkan penyangkalannya dengan lian. Pasal 98 Pengingkaran suami terhadap anak yang lahir dari isterinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 diajukan ke Pengadilan.
Pasal 99 Pasal 99 (1) Asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. (3) Atas dasar penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan tersebut memberikan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
B A B XV PUTUSNYA PERKAWINAN Pasal 100 Perkawinan putus karena: a. kematian, b. perceraian, atau c. putusan Pengadilan. Pasal 101 Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi karena talak yang diikrarkan suami atau talak berdasarkan gugatan perceraian. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
16
Pasal 102 Perceraian dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 103 Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut: a. salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlang-sung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. di antara suami dan isteri terjadi perselisihan dan perteng-karan terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. suami melanggar taklik-talak; atau h. suami atau isteri keluar dari agama Islam (murtad).
Pasal 104 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan yang menja-di salah satu sebab putusnya perkawinan. Pasal 105 Talak sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 dapat berupa: a. talak raj’i , b. talak bain sugra dan bain kubra, c. talak suni (sunni ), d. talak bid’i , dan e. talak khuluk. Pasal 106 Pasal 115 Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua yang suami dapat meru-juk isterinya selama idah. Pasal 107 (1) Talak bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam idah. (2) Talak bain sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi qabladdukhul ; b. talak dengan tebusan atau khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Pasal 108 Talak bain kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya yang menyebabkan tidak dapat rujuk dan tidak dapat nikah kembali, ke-cuali apabila perkawinan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’dadukhul dan habis masa idahnya. Pasal 109 Talak suni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak campur dalam waktu suci tersebut. Pasal 110 Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu: a. talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid; atau b. talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 111 Perceraian terjadi dan terhitung pada saat dinyatakan di depan sidang Pengadilan. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
17
Pasal 112 Khuluk harus berdasarkan alasan perceraian yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 113 Putusnya perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf c, terjadi karena lian atau fasakh. Pasal 114 Lian terjadi karena suami menuduh zina dan/atau mengingkari anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh isterinya; sedangkan isteri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran suami. Pasal 115 Pasal 124Tata urutan lian diatur sebagai berikut: a. suami bersumpah empat kali dengan tuduhan zina dan/atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan ucapan: “Laknat Allah atas diriku apabila tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut dusta.”; b. isteri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut de-ngan bersumpah empat kali dengan ucapan: “Tuduhan dan /atau pengingkaran tersebut tidak benar,” dan diikuti sum-pah kelima dengan ucapan: “Murka Allah atas diriku bila tu-duhan dan/atau pengingkaran tersebut benar.”; c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d. apabila ketentuan pada huruf a tidak diikuti dengan keten-tuan pada huruf b, maka lian tidak terjadi.
Pasal 116 Lian hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan. Pasal 117 Pasal 126 Fasakh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dapat terjadi karena: a. perkawinan dilakukan tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan; b. melanggar larangan perkawinan; atau c. suami atau isteri keluar dari Islam. Pasal 118 Tata cara perceraian dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di pengadilan. Pasal 119 Dalam hal talak dijatuhkan tidak di depan sidang Pengadilan maka isteri dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan dan/atau dirugikan akibat talak tersebut berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan.
B A B XVI AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Cerai Talak Pasal 120 Putusnya perkawinan karena cerai talak mengakibatkan bekas suami wajib: a. memberikan mutah yang layak berupa uang atau benda kepa-da bekas isterinya, kecuali qabladdukhul yang sudah ditetap-kan maharnya; b. memberi nafkah, tempat kediaman, dan pakaian kepada be-kas isteri selama dalam idah, kecuali bekas isteri telah dija-tuhi talak bain atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi seluruh mahar yang masih terhutang, dan separuh-nya apabila qabladdukhul yang sudah ditetapkan maharnya; dan d. memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
18
Pasal 121 Bekas suami berhak melakukan rujuk dengan bekas isterinya yang masih dalam idah raj’i . Pasal 122 Bekas isteri selama idah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan, dan tidak menikah dengan laki-laki lain.
Bagian Kedua Waktu Tunggu
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 123 Waktu tunggu atau idah berlaku bagi janda yang perkawinannya putus kecuali perceraian qabladdukhul . Waktu tunggu janda ditentukan sebagai berikut: a. apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian suami; b. apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 9 (sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sem-bilan puluh) hari; terhitung sejak: 1) diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus ka-rena cerai talak, atau 2) putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perkawinan putus karena cerai gugat dan kare-na putusan Pengadilan; c. apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran anaknya. Waktu tunggu bagi isteri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga bulan (90 hari). Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani idah tidak haid bukan karena menyusui, maka idahnya satu tahun, akan tetapi bila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka idahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 124 Apabila bekas suami meninggal dalam waktu idah talak raj’i sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf b, ayat (3) dan ayat (4), maka idah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari terhitung sejak kematian bekas suami.
Bagian Ketiga Harta Bersama Akibat Perceraian Pasal 125 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dan Pasal 93. Bagian Keempat Akibat khuluk Pasal 126 Perceraian dengan talak khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Bagian Kelima Akibat lian Pasal 127 (1) Apabila lian terjadi maka perkawinan putus untuk selamanya. (2) Status anak yang lahir dari perkawinan yang putus karena lian dinasabkan kepada ibunya sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah. (3) Dalam hal dapat dibuktikan bahwa anak tersebut adalah anak ayahnya, maka ia dinasabkan kepada ayahnya d an nafkahnya menjadi kewajiban ayahnya.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
19
B A B XVII PEMELIHARAAN ANAK (HADANAH) Pasal 128 Dalam hal terjadinya perceraian: a. hak pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun dipegang oleh ibunya, kecuali untuk kepentingan anak, pengadilan memutuskan lain; b. apabila ibu anak sebagaimana dimaksud pada huruf a me-ninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1) perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan anak yang bersangkutan, 5) perempuan kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu, atau 6) perempuan kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ayah. Pasal 129 Pasal 129 (1) Biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada ayahnya, dan apa-bila ayahnya telah meninggal dunia, biaya pemeliharaan ditang-gung oleh ahli waris atau kerabat ayahnya. (2) Dalam hal ahli waris atau kerabat ayahnya sebagaimana disebut pada ayat (1) tidak ada, biaya pemeliharaan dibebankan kepada ibunya atau kerabat ibunya. Pasal 130 (1) Ayah menurut kemampuannya menanggung biaya hadanah se-kurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa atau sudah berumur 21 tahun dan dapat mengurus diri sendiri. (2) Pengadilan dapat pula menetapkan jumlah biaya untuk peme-liharaan dan pendidikan anak yang tidak ikut pada ayahnya ber-dasarkan kemampuannya. Pasal 131 (1) anak yang sudah mumayiz berhak memilih hadanah dari ayah atau ibunya. (2) apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun telah memberikan biaya naf-kah dan hadanahnya secara cukup maka atas permintaan kera-bat yang bersangkutan Pengadilan dapat menggantinya dengan pemegang hak hadanah lainnya. Pasal 132
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan memberikan putusannya berdasarkan Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103.
B A B XVIII PERWALIAN Pasal 133
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan/atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perwali-an atas diri dan harta kekayaan anak. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya maka atas permohonan kerabat yang lain, Peng-adilan dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali. (4) Wali diutamakan dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang muslim, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkela-kuan baik; atau badan hukum. Pasal 134 Orangtua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak/anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Pasal 135 Pasal 104 draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
20
Pengadilan dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabat anak bila pemegang hak perwalian tersebut pemabuk, pen-judi, pemboros, gila dan/atau melalaikan, atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali, demi kepentingan terbaik bagi anak yang berada di bawah perwalian.
(1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 136 Wali berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan, dan keterampilan la-innya untuk masa depannya. Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan anak atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Wali bertanggungjawab terhadap harta anak yang berada di ba-wah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul seba-gai akibat kesalahan atau kelalaiannya. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di ba-wah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua keterangan mengenai perubahan yang terjadi atas harta benda anak/anak-anak itu. Pertanggungjawaban wali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.
Pasal 137 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. (2) Dalam hal anak telah mampu mengurus diri dan hartanya walau-pun belum mencapai umur 18 tahun, maka atas permintaan a-nak yang bersangkutan, wali dapat melepaskan hak perwali-annya. (3) Pengadilan berwenang mengadili perselisihan antara wali dan a-nak yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang dise-rahkan kepadanya. Pasal 138 Pasal 107 Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada di bawah per-waliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau cara yang makruf apabila wali itu fakir.
B A B XIX RUJUK
(1) (2) (3) (4)
Pasal 139 Bekas suami dapat merujuk bekas isterinya dalam idah talak raj’i . Bekas isteri dalam idah talak raj’i berhak menyatakan keberatan atas kehendak rujuk bekas suaminya. Rujuk suami dan/atau keberatan isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya dapat dilakukan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Pejabat Pencatat Nikah hanya dapat mencatat rujuknya suami apabila memperoleh persetujuan isteri.
Pasal 140 Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya dari Kantor Urus-an Agama Kecamatan yang mencatat peristiwa rujuknya. Pasal 141 Tata cara rujuk dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-un-dangan. B A B XX PERKAWINAN CAMPURAN
(1) (2)
Pasal 142 Pelaksanaan perkawinan di Indonesia antara pasangan warga negara asing dan warga negara Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 26. Calon suami atau isteri yang berkewarganegaraan asing harus mendapatkan izin tertulis dari negara asalnya berdasarkan bukti dari kedutaan Negara yang bersangkutan.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
21
(3)
Calon suami yang berkewarganegaraan asing telah membayar u-ang jaminan kepada calon isteri melalui bank syariah di Indo-nesia sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
B A B XXI KETENTUAN PIDANA Pasal 143 Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 144 Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dan perkawinannya batal karena hukum. Pasal 145 Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,(enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)bulan. Pasal 146 Setiap orang yang menceraikan isterinya tidak di depan sidang Pengadilan sebagaimana dalam Pasal 110 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) atau hukum-an kurungan paling lama 6 (enam)bulan. Pasal 147 Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 148 Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.,- (dua belas juta rupiah). Pasal 149 Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 150 Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 151 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal 145 merupakan tindak pidana pelanggaran, dan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 144, Pasal 146, dan Pasal 147 adalah tindak pidana kejahatan. B A B XXII KETENTUAN LAIN Pasal 152 Perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, dan Pasal 146 dan/atau kejahatan sebagaimana dimaksud Pasal 142, Pasal 145, Pasal 147, dan Pasal 148 Undang-Undang ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan setelah Pengadilan menerima perkara tersebut dari Kejaksaan Negeri setempat. Pasal 153 Kepolisian dan Kejaksaan Negeri melakukan penyelidikan, penyi-dikan, dan penuntutan perkara pidana tersebut dalam Pasal 141 sampai Pasal 148 setelah menerima laporan dari masyarakat atau dari pihak-pihak yang berkepentingan.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
22
B A B XXIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 154 Pasal 152 Pada saat Undang-Undang ini berlaku: (1) Perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini wajib diajukan permohonan isbat ke Pengadilan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah Undang-undang ini berlaku. (2) Tindak pidana perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini yang belum diajukan ke Pengadilan Negeri maka perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Agama.
B A B XXIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 155 Pasal 153 Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 150 Undang-Undang ini adalah Hukum Acara Pidana yang berlaku pada Peng-adilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pasal 156 Pasal 155 Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengun-dangan Undang-Undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indo-nesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
23
PENJELASAN
I.
ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN kum di bidang perkawinan, maka materi Kompilasi Hukum Islam Buku UMUM I tentang Hukum Perkawinan perlu diatur dengan undang-undang, Undang-Undang Dasar Negara sebagaimana halnya materi Buku III Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hukum Perwakafan telah menegaskan bahwa Indonesia ditampung dalam Undang-Undang adalah negara hukum. Prinsip itu Nomor 41 Tahun 2004 tentang menuntut penyelenggaraan Wakaf. kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan negara Dengan pertimbangan perlunya harus diselenggarakan dengan Hukum Islam di bidang Perkawinan atau berdasarkan undangdijadikan sebagai bagian dari undang. sistem hukum nasional serta Dalam menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, Mahkamah Agung dan badan peradilan agama menerapkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Mengingat hukum materiil di bidang perkawinan belum memadai, sedangkan sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing, maka dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, para hakim berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam yang tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat hukum materiil di bidang perkawinan. Untuk memenuhi kebutuhan para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dengan atau berdasarkan Undang-undang, dan masyarakat yang memerlukan kepastian hu-
adanya berbagai perubahan kehidupan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pemahaman mengenai perkawinan, maka Undang-undang ini melengkapi beberapa ketentuan hukum materiil di bidang perkawinan. Beberapa materi pokok Undangundang ini adalah sebagai berikut: a.
Sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Undang-Undang ini mewajibkan pencatatan perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah untuk menjamin ketertiban administrasi perkawinan dan kepastian hukum bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan guna membentuk keluarga sakinah. Kewajiban hukum pencatatan perkawinan membebankan tugas dan wewenang kepada Pejabat Pencatat Nikah untuk mencatat perkawinan dan mengadministra-sikannya
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
dalam Akta Nikah dan Buku Pencatatan Rujuk. Selain itu pencatatan perkawinan merupakan peristiwa penting dari aspek administrasi kependudukan, sehingga Akta Nikah merupakan akta autentik dalam sistem administrasi Akta Catatan Sipil berdasarkan UndangUndang. b. Perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan atau melanggar ketentuan larangan perkawinan, dinyatakan batal atau dapat dibatalkan berdasarkan gugatan yang diajukan ke Pengadilan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan tidak sejalan dengan dasar negara Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. c. Perkawinan mensyaratkan mempelai pria mencapai umur 21 tahun dan mempelai wanita 18 tahun. Peningkatan batas minimum usia perkawinan ini dengan pertimbangan bahwa kondisi kehidupan keluarga (rumah tangga) sakinah me-nuntut kesiapan suami dan isteri untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang 24
makin berat antara lain dalam mengusahakan nafkah dan penyediaan tempat kediaman se-hingga diperlukan tingkat kedewasaan yang umumnya ditandai dengan kematangan usia (maturity ). Dengan demikian perkawinan di bawah umur yang merupakan penyimpangan terhadap ketentuan ini harus dengan dispensasi Pengadilan. d.
Mengingat perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum agama, maka larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam dimaksudkan untuk menghindari konflik yang terus menerus dalam rumah tangga yang dibangun atas dasar perbedaan agama (interfaith marriage). Perbedaan agama yang terjadi karena salah satu pihak keluar dari agama Islam (murtad) menjadi alasan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan.
e. Mengingat penegakan hukum materiil di bidang perkawinan termasuk kewenangan yang berada dalam lingkungan peradilan agama, maka perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran UndangUndang ini harus diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama setelah perkara tersebut dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri setempat.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 cukup jelas Pasal 3 cukup jelas Pasal 4 Kata “wajib” dalam pasal ini dimaksudkan sebagai kewajiban administrasi. Pasal 5 ayat (1) cukup jelas ayat (2) Perkawinan yang tidak dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah berakibat suami atau isteri tidak mendapatkan akta nikah sebagai bukti autentik sahnya perkawinan. Perkawinan yang tidak memiliki bukti autentik tersebut menyebabkan suami atau isteri tidak memperoleh perlindungan hukum dalam hal gugat menggugat di Pengadilan seperti gugatan perceraian, pembagian harta bersama, nafkah, waris mewaris atau untuk kepentingan lainnya. Pasal 6 Ayat (1) Kepada masing-masing suami dan isteri diberikan Kutipan Akta Nikah yang dapat digunakan sebagai alat bukti perkawinannya. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan adanya tata cara peminangan menurut adat dan tata cara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
Huruf a Peminangan terhadap janda yang ditinggal mati sua-minya tidak boleh menggunakan kalimat yang jelas (sha-rih) mengandung makna pinangan melainkan hanya dengan menggunakan kalimat sindiran/ kiasan (ta’ridl ). Huruf b Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa antara peminang dan yang dipinang belum mempunyai ikatan sebagai layaknya suami isteri, sehingga berlaku ketentuan larangan khalwat. Ayat (2) Terdapat banyak ragam tata cara peminangan yang dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia yang telah menjadi tradisi. UU ini hendak memberi batasan bahwa kebiasaan/ tradisi yang diperbolehkan adalah yang tidak bertentangan dengan syariah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan kerugian adalah kerugian yang bersifat materiil. Dalam peminangan dapat saja terjadi penawaran atau pengajuan syaratsyarat tertentu yang telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Maka, dalam hal pemutusan hubungan pinangan menimbulkan kerugian materiil, ia dapat 2
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Wali dikatakan ‘adhal apabila ia enggan menikahkan anak perempuannya yang telah balig dengan lakilaki yang sekufu. Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37
Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Yang dimaksud dengan perkawinan mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu (misalnya sebulan atau setahun), dengan maksud untuk mencari kese-nangan dan/atau kepuasan seksual. Perkawinan ini dilarang karena bertentangan dengan syariat dan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Ketentuan dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan hukum agama yang mengatur tentang zina. Kebolehan menikahi perempuan hamil berdasarkan dalil dalam surah An Nur ayat 4, kecuali dengan orangorang yang diharamkan menikahi perempuan hamil tersebut karena mahram, serta orang yang berbeda kewarganegaraan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 48 Yang dimaksud dengan laki-laki lain dalam pasal ini adalah selain pelaku pemerkosa. Pasal 49 Dalam hal terdapat lebih dari seorang laki-laki yang menzinai seorang perempuan yang belum
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
kawin sehingga mengakibatkan kehamilan perempuan tersebut, maka dimungkinkan terjadi perselisihan mengenai siapa yang harus diminta pertanggungjawabannya oleh pihak perempuan. Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas 3
Pasal 75 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa isteri menempati kedudukan terhormat dalam keluarga sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab dalam mengurus dan mengatur rumah tangga serta sebagai pendamping suami (ro’iyah fi bayti zaujiha). Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95
Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bukti lainnya” adalah alat bukti menurut hukum acara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 100 Cukup jelas Pasal 101 Cukup jelas Pasal 102 Cukup jelas Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Cukup jelas Pasal 105 Cukup jelas Pasal 106 Cukup jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas Pasal 109 Cukup jelas Pasal 110 Cukup jelas Pasal 111 Cukup jelas Pasal 112 Cukup jelas Pasal 113 Cukup jelas Pasal 114 Cukup jelas Pasal 115 Cukup jelas Pasal 116 Cukup jelas Pasal 117 Cukup jelas Pasal 118 Cukup jelas Pasal 119
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011 ile Yuli Muth, Juni 2009
Yang dimaksud dengan pihak lain dalam pasal ini seperti anak, wali nikah, orang tua, saudara, dan sebagainya. Pasal 120 Cukup jelas Pasal 121 Cukup jelas Pasal 122 Cukup jelas Pasal 123 Cukup jelas Pasal 124 Cukup jelas Pasal 125 Cukup jelas Pasal 126 Cukup jelas Pasal 127 Cukup jelas Pasal 128 Cukup jelas Pasal 129 Cukup jelas Pasal 130 Cukup jelas Pasal 131 Cukup jelas Pasal 132 Cukup jelas Pasal 133 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan badan hukum, antara lain yayasan atau perkumpulan yang bertindak sebagai wali pengampu yang tidak bertentangan dengan syariah. Pasal 134 Cukup jelas Pasal 135 Cukup jelas Pasal 136 Cukup jelas Pasal 137 Cukup jelas Pasal 138 Cukup jelas 4