DARI REDAKSI
Sidang Pembaca yang terhormat, Penasehat Ir. Ferry A. Soetikno, M.Sc., M.B.A. Ketua Pengarah/Penanggung Jawab Dr. Raymond R. Tjandrawinata
Pada edisi Juli - September 2006 ini, tema utama yang kami tampilkan, Fluoxetine yang merupakan obat antidepresi dan Bupivacain yang Bupivacain yang yaitu men genai Fluoxetine yang merupakan obat untuk anestesi spinal. Untuk mengetahui artikel-artikel ini lebih jauh lagi, silahkan membaca kedua artikel tersebut.
Pemimpin Redaksi dr. Grace V.J., M.M.
Di samping itu, kami juga menampilkan beberapa artikel-artikel yang menarik
Redaktur Pelaksana Tri Galih Arviyani, S.Kom. Staf Redaksi dr Adam Iskandarmudasyah dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni Gelly Eka Prasasti, S.Si., Apt. Herminta Pramitasan, S.Si., Apt Gunawan Raharja, S.Si., Apt. Drs. Karyanto, MM dr. Marini Johan Puji Rahayu, S.Farm, Apt. dr. Ratna Kumalasari Rosalia Hanesthi Kurniasari, S.F., Apt. Stefani, S.Si, Apt. dr. Lydia Fransisca H. Tambunan Yosi Krisyanti, S.Si, Apt Peer Review
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And. Prof.Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D. Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D ., F.I.C.S., F.C.T.S. F.C.T.S. Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG. Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH
Redaksi/Tata Usaha Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33 Telp. (021) 7509575 Fax. (021) 75816588 Email:
[email protected]
lainnya yang bisa menambah pengetahuan para pembaca. Diantaranya ada dua artikel yang membahas mengenai epilepsi yang mengkaji mengenai hasil penelitian terkini tentang epidemiologi epilepsi dan mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang prognosis epilepsi. Sedangkan artikel bebas menarik lainnya adalah Abses Otak pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik, Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher, Respons Imun pada Kanker dan Rinitis Hipertrofi. Kami berharap sekali bahwa apa yang kami suguhkan untuk pembaca bisa menambah ilmu dan wawasan. Pada rubrik profil kali ini, kami menampilkan seorang Guru Besar dari bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelusuran Jurnal yang memuat artikel-artikel terbaru sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan untuk pembaca dan Kalendar Peristiwa yang memuat jadwal simposium yang diadakan pada tahun 2006 ini tetap kami tampilkan untuk tiap edisinya. Seperti biasa kami terus mengundang para pembaca untuk berpartisipasi mengisi lembaran Dexa Media dengan memberikan tulisan berupa Tinjauan Pustaka, Case Report, Report, Artikel Penelitian. Salam!
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media
Rekomendasi Depkes RI 0358/AA/III/88
Artikel Utama:
Ijin Terbit 1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988
Tinjauan Pustaka: Pus taka:
Peran Neuroendokrin Pada Depresi
Abses Otak Pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Karakteristik Epidemiologi Onset Anak-Anak; Telaah Pustaka Terkini Karakteristik Prognosis Epilepsi Rinitis Hipertrof i Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher Respons Imun Pada Kanker
121 122
123
127 131 134 138 143 148
Profil: Prof. Dr. Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ(K)
Cover: DEPRESI SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau mengubah metode penulisan, tanpa mengubah tulisan yang dimuat apabila dipandang perlu.
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
153
Sekilas Dexa Medica Group AAM Raih Dua Penghargaan e-Company Award Dharma Dexa Peduli Gempa Jogja & Jateng Penelusuran Jurnal Kalender Peristiwa Daftar Iklan: Nopres, Epirubrain
155 156 158 159
121
DARI REDAKSI
Sidang Pembaca yang terhormat, Penasehat Ir. Ferry A. Soetikno, M.Sc., M.B.A. Ketua Pengarah/Penanggung Jawab Dr. Raymond R. Tjandrawinata
Pada edisi Juli - September 2006 ini, tema utama yang kami tampilkan, Fluoxetine yang merupakan obat antidepresi dan Bupivacain yang Bupivacain yang yaitu men genai Fluoxetine yang merupakan obat untuk anestesi spinal. Untuk mengetahui artikel-artikel ini lebih jauh lagi, silahkan membaca kedua artikel tersebut.
Pemimpin Redaksi dr. Grace V.J., M.M.
Di samping itu, kami juga menampilkan beberapa artikel-artikel yang menarik
Redaktur Pelaksana Tri Galih Arviyani, S.Kom. Staf Redaksi dr Adam Iskandarmudasyah dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni Gelly Eka Prasasti, S.Si., Apt. Herminta Pramitasan, S.Si., Apt Gunawan Raharja, S.Si., Apt. Drs. Karyanto, MM dr. Marini Johan Puji Rahayu, S.Farm, Apt. dr. Ratna Kumalasari Rosalia Hanesthi Kurniasari, S.F., Apt. Stefani, S.Si, Apt. dr. Lydia Fransisca H. Tambunan Yosi Krisyanti, S.Si, Apt Peer Review
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And. Prof.Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D. Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D ., F.I.C.S., F.C.T.S. F.C.T.S. Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG. Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH
Redaksi/Tata Usaha Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33 Telp. (021) 7509575 Fax. (021) 75816588 Email:
[email protected]
lainnya yang bisa menambah pengetahuan para pembaca. Diantaranya ada dua artikel yang membahas mengenai epilepsi yang mengkaji mengenai hasil penelitian terkini tentang epidemiologi epilepsi dan mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang prognosis epilepsi. Sedangkan artikel bebas menarik lainnya adalah Abses Otak pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik, Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher, Respons Imun pada Kanker dan Rinitis Hipertrofi. Kami berharap sekali bahwa apa yang kami suguhkan untuk pembaca bisa menambah ilmu dan wawasan. Pada rubrik profil kali ini, kami menampilkan seorang Guru Besar dari bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelusuran Jurnal yang memuat artikel-artikel terbaru sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan untuk pembaca dan Kalendar Peristiwa yang memuat jadwal simposium yang diadakan pada tahun 2006 ini tetap kami tampilkan untuk tiap edisinya. Seperti biasa kami terus mengundang para pembaca untuk berpartisipasi mengisi lembaran Dexa Media dengan memberikan tulisan berupa Tinjauan Pustaka, Case Report, Report, Artikel Penelitian. Salam!
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media
Rekomendasi Depkes RI 0358/AA/III/88
Artikel Utama:
Ijin Terbit 1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988
Tinjauan Pustaka: Pus taka:
Peran Neuroendokrin Pada Depresi
Abses Otak Pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Karakteristik Epidemiologi Onset Anak-Anak; Telaah Pustaka Terkini Karakteristik Prognosis Epilepsi Rinitis Hipertrof i Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher Respons Imun Pada Kanker
121 122
123
127 131 134 138 143 148
Profil: Prof. Dr. Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ(K)
Cover: DEPRESI SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau mengubah metode penulisan, tanpa mengubah tulisan yang dimuat apabila dipandang perlu.
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
153
Sekilas Dexa Medica Group AAM Raih Dua Penghargaan e-Company Award Dharma Dexa Peduli Gempa Jogja & Jateng Penelusuran Jurnal Kalender Peristiwa Daftar Iklan: Nopres, Epirubrain
155 156 158 159
121
PETUNJUK PENULISAN Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus den-
11. Nomor halaman dalam angka romawi
gan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology.
1.
Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
2.
Tulisan berupa ketikan ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di pro-
Buku dan monograf lain
gram MS Word dan print-out dan print-out dan dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui
12. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2 nd
e-mail kami. e-mail kami. 3.
tidak timbal balik. 4.
ed. Albany ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan
13. Editor sebagai sebagai penulis
Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). words) . Abstrak hendak-
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
nya tidak melebihi 200 kata.
York:Churchill Livin gstone; 1996 14. Organisasi sebagai sebagai penulis
5.
Judul tulisan tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap dipecah menjadi anak judul.
6.
Nama penulis harap disertai alamat kerja yang jelas.
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
7.
Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan
Washington:The Institute; 1992
8.
Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), style), lihat contoh
9.
15. Bab dalam buku
penulisan daftar pustaka.
Catatan: menurut pola Vancouver Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. cukup.
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke
BM, editors. Hypertension: editors. Hypertension: Patophysiology, Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer kepada peer reviewer.
16. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances Ad vances in clinical neurophysiology. Pro-
12. Tulisan disertai data penulis/ curriculum alamat email (jika (jika ada), no. curriculum vitae, juga alamat email
ceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology;
telp/fax yang telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
17. Makalah dalam konferensi
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemuncu-
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement BG. Enforcement of data protection, privacy and se-
lan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6
P, Piemme TE, editors. curity in medical information. In: information. In: Lun KC, Degoulet P, th MEDINFO 92. Proceedings of the 7 World Congress on Medical Informat-
orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
ics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.
Artikel dalam jurnal
p.1561-5
1. Artikel standar
2.
3.
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis
Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with
Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed dur-
124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Ma-
ing skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health
suyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Cher-
and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct.
nobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12
Report No.: HHSIGOEI69200860
Suatu organisasi sebagai penulis
Diterbitkan oleh unit pelaksana:
The Cardiac Society Society of Australia Australia and New Zealand. Zealand. Clinical Exercise Stress Test-
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research:
ing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
Work Force and Education Issues. Issues. Washington:National Academy Press;
Tanpa nama penulis
1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4.
Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Care Policy and Research 19. Disertasi
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral JH. Bilateral infrapatellar seneruptur seneruptur hos
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utiliza-
tidligere frisk kvinne. Tidsskr kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5.
Volum dengan suplemen
tion [dissertation]. St. [dissertation]. St. Louis (M O): Washington Univ.; 1995 20. Artikel dalam koran
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational
Lee G. Hosp G. Hospitali italizati zations ons tied to ozone ozone pollution: pollution: study study estimat estimates es 50,000 50,000 admisadmis-
lung cancer. Environ cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Edisi dengan suplemen
sions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A :3 (col.5) 21. Materi audio audio visual
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis Louis (MO):
breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
Mosby-Year Book; 1995
7. Volum dengan bagian
8.
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N.Plasma N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin de-
Materi elektronik
pendent diabetes mellitus. Ann mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Edisi dengan bagian
Morse SS. Factors SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the
[serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK
leg in ageing patients. N patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Felland er-Tsai er-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrode-sis in rheumatoid arthritis. Clin arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10.Tanpa 10.Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. TW. Immunologic status status of the cancer patient patient and
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maib ach H. CMEA Multim edia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program].
Surg 1993;325-33
Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
122
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
ARTIKEL UTAMA
Peran Neuroendokrin Neuroendok rin
Pada Depresi Jan S Purba Purb a Departemen Neurologi FKUI/RSCM Jakarta
Pendahuluan Depresi merupakan suatu penyakit yang berkaitan dengan fungsi otak dan berdampak pada seluruh organ tubuh. Studi epidemiologi menemukan sekitar 16% dari populasi pada umur sekita 20-an pernah mengalami depresi di mana wanita menderita 2 kali lebih banyak dibanding pria. Angka ini akan berubah pada umur sekitar 50-55 tahun setelah wanita memasuki masa menopause. 1 Tipe depresi yang dikenal adalah tipe depresi mayor dan depresi bipolar. bipolar. Depresi mayor dikenal dengan depresi tanpa episode manik atau hipomanik, sementara bipolar ditandai dengan episode depresi dan manik.2 Tipe bipolar lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pria (1.2:1 sampai 2:1) sementara episode manik lebih sering pada pria.2 Pada lanjut usia depresi bisa menyebabkan gangguan kognitif dan memori sehingga bisa menyamarkan diagnosis demensia. Diperkirakan depresi merupakan penyebab disabilitas tingkat kedua tertinggi pada tahun 2020 sesudah penyakit jantung koroner.3
Etiologi Depresi Sampai sekarang belum diketahui dengan jelas penyebab depresi. Namun ada beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya depresi antara lain fakor genetik, lingkungan dan neurobiologi. Menyangkut faktor genetik ditemukan pada beberapa anggota keluarga kembar monozigotik sekitar 6079% dibanding kembar dizigotik yang mencapai sekitar 13-20%.4 Kondisi lingkungan seperti kehilangan orang yang dicintai, penderitaan penyakit yang kronik. Kelainan neurobiologi berkaitan dengan gangguan neurohormonal seperti epinefrin, dopamin, tiroid, gangguan serotonergik serta gangguan aktivitas aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) limbik berperan dalam etiologi depresi. Walaupun faktor genetik dianggap sebagai salah satu faktor penentu, namun pengaruh lingkungan dianggap sangat berperan sebagai penyebab depresi. Baik pengaruh lingkungan maupun DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
neurobiologik ataupun genetik bisa mengakibatkan disfungsi reseptor kortisol baik dalam jumlah maupun sensivitas di hipotalamus ataupun di hipofisa5 di mana dengan pemberian antidepresan kondisi reseptor dan aksis HPA ini akan kembalik pada kondisi normal. 6
Observasi Neuropatologi Depresi Penelitian patobiologi otak pada yang tergolong dalam kelompok penyakit neuropsikiatri terus berkembang. Dalam menyikapi gangguan neuropsikiatrik maka penelitian tertuju pada fungsi neuron tertentu sebagai penghasil neurotransmiter yang akan berkorelasi dengan depresi. Otak yang kita sebut sebagai pusat komando dari seluruh organ tubuh akan mengatur kegiatan dari seluruh organorgan baik dalam fungsi dalam pertumbuhan atau degenerasi. Gangguan terhadap komando ini bisa dilihat sebagai kelainan ataupun perubahan emosi dan somatik. Untuk itu penelitian tertuju pada areal yang berperan dalam pe rilaku dalam hal ini sistem limbik. Seperti diketahui bahwa sistem limbik berfungsi mengatur keseimbangan emosi dan fisik. Hasil penelitian postmortem dan imaging menemukan menemukan 2 jalur anatomi di mana gangguan pada sirkuit ini akan memperlihatkan gangguan dalam mengatur mood. mengatur mood.7-9 Sirkuit pertama adalah sirkuit limbictalamik-kortikal termasuk amigdala, nucleus media dorsalis dari talamus dan bagian ventrolateral dari korteks prefrontal. Sirkuit kedua adalah sirkuit limbik-striatal-palidal-talamikkortikal. Struktur lain di sistem limbik yang berperan dalam pengatur reaksi emosi adalah amigdala dan hipokampus. Hipotalamus yang juga berperan dalam pengaturan suhu badan, pengaturan tidur dan sirkadian, pengaturan rasa lapar, libido, reaksi stres, reproduksi sangat berperan dalam kondisi ini. Khusus bagian hipotalamus yang mengatur irama sirkadian adalah nukleus supra khiasmatik (SCN) yang juga ditemukan mendapat kelainan pada penderita depresi.10
123
ARTIKEL UTAMA Peran Sistem Neuroendokrin dan Neurotransmiter dalam Patologi Depresi Untuk mengerti apa yang terjadi di otak pada seseorang penderita depresi serta bagaimana kerja antidepresan maka sebelumnya perlu diketahui fungsi neuron dan neurotransmiter. Neurotransmiter dibutuhkan untuk mengatur komunikasi neuron dengan neuron lain melalui reseptor yang ada di post-sinapsis. Neurotransmiter yang disekresi ke sinapsis bisa: a) dipecah oleh enzim yang ada di sinapsis; b) bisa juga berikatan dengan reseptor di post sinaspis atau c) di ambil kembali melalui autoreseptor ke presinaptik yang disebut dengan reuptake. Sampai sekarang ini sistem neuroendokrin dianggap sebagai pintu masuk untuk mengetahui aktivitas dari neurotransmiter seperti norepinefrin dan serotonin pada penyakit depresi. Aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) dikenal sebagai pengatur sistem neuroendokrin, metabolisme serta gangguan perilaku. Aksis ini terdiri dari tiga komponen: a) corticotrophin releasing hormone (CRH) yang ditemukan di nukleus paraventrikularis di hipotalamus yang menstimulasi adrenocorticotropin hormone (ACTH) di hipofisa; b) ACTH menstimulasi korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol dan c) kortisol dengan reaksi umpan balik, baik ke hipofisa ataupun ke hipotalamus untuk mengatur kembali keseimbangan sekresi CRH dan ACTH. Hiperaktivitas dari aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) ditemukan pada penderita.5,11,12 Peningkatan aktivitas aksis HPA ini diperkirakan akibat reduksi baik jumlah maupun fungsi dari reseptor kortisol pada penderita depresi. 13 Hal ini terbukti bahwa dengan pemberian antidepresan mengakibatkan kegiatan aksis HPA menjadi normal kembali. 6 Beberapa penelitian menemukan bahwa sistem aminergik LC berperan dalam kejadian penyakit neuropsikiatrik. 11,12,1416 Penelitian Murphy et al. (1995)17 membuktikan bahwa pemberian obat yang sifatnya menginhibisi reuptake norepinefrin (NA) di sinapsis, mempunyai efek yang sama dengan pemberian obat antidepresan. Gangguan pengaturan keseimbangan serotonin dikatakan merupakan penyebab depresi.18 Rafe dorsalis merupakan sumber suplai serotonin yang diproyeksikan ke forebrain di mana penelitian invivo single photon emission computer tomography (SPECT) pada penderita depresi major ditemukan sekitar 19% lebih rendah disbanding kontrol orang sehat.19 Gangguan keseimbangan ini menyangkut potensi serotonergik dalam hal transportase serta ikatan sangat rendah dengan reseptor serotonin pada penderita major depression terutama di amigdala, hipokampus, thalamus putamen kortek singulus anterior dan midbrain.20 Seperti diketahui bahwa kortisol yang juga berfungsi untuk mengatur metabolisme neuron berinteraksi dengan reseptor serotonin di otak termasuk sistem limbik, yakni hipokampus. Kedua sistem ini yakni HPA dan serotonergik berkaitan sangat erat di mana sistem limbik HPA mengatur bangun/terjaga,
124
tidur, rasa lapar begitu juga dalam emosi dalam pengaturan mood.21,22 Oleh sebab itu perbaikan serotonergi akan juga berdampak pada perbaikan aksis HPA.
Penanggulangan Penanggulangan depresi apakah itu berawal dari faktor penyebab lingkungan, neurobiologi maupun genetik mendasar pada gangguan keseimbangan neurotransmiter di otak. Gangguan keseimbangan ini dalam proses kronik tentu akan dapat menyebabkan perubahan struktur neuron di otak apakah terjadi kemation akibat stimulasi toksik yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama misalnya kematian neuron di hopokampus sehingga bisa berakibat pada terjadinya demensia. Hal lain yang dapat terjadi akibat kesalahan reseptor misalnya ketidakpekaan reseptor kortisol di hipotalamus maupun di hipofisa sehingga sel penghasil CRH dipaksa bekerja keras berakibat pada pembesaran sel itu sendiri.12 Di pihak lain karena kortisol dan serotonin berinteraksi dalam hal metabolisme melalui reseptor di otak maka dalam penanggulangan depresi kaitan aksis HPA dan system serotonergik tidak bisa dipisahkan. 21,22 Beberapa jenis obat antidepresan yang dikenal seperti trisiklik (TCAs), monoamino oxidase inhibitors (MAOIs), selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mendasar pada patofisiologi depresi seperti diterangkan di atas maka startegi adalah mengembalikan keseimbangan neurotransmiter tadi dengan memilih obat-obat antidepresan yang spesifik untuk menghindari efek samping baik efek yang mengganggu fungsi dan metabolisme sistem saraf pusat maupun organ-organ lain di luar otak. Efek samping yang dimaksud misalnya yang satu bisa berperan sebagai antikholinergik, berperan dalam sistem imun.23 Selain tidak berefek sebagai anti kholinergik juga terhadap kardiovaskular, berat badan seperti efek samping TCAs seperti fluoxetine. Oleh sebab itu penggunaan fluoxetin sebagai anti depressan yang juga penderita diabetes tipe 2 sangat dianjurkan.24 Penelitian terhadap obat-obat antidepresan berfokus pada efek terapi akut,25,26 dengan tujuan untuk menurunkan dan menghilangkan simptom serta menghindarkan berulangnya depresi.27,28 Beberapa tahun terakhir ini setelah pengobatan akut dihentikan akan juga muncul depresi yang kronik. Keadaan ini mamicu untuk mengadakan penelitian terhadap lama penggunaan antidepresan untuk mencegah kondisi kronik dan relapsis.27,28 Dari hasil beberapa penelitian menemukan bahwa relapsis bisa terjadi sesudah terapi akut yang bervariasi antara 1 bulan sampai dengan 2 tahun.29,30 Oleh sebab itu untuk menghindari relapsis direkomendasikan pemberian antidepresan selama 4 sampai 6 bulan secara terus-menerus. 31,32 Penelitian Reimherr et al. (1998)33 dengan menggunakan fluoxetine menyimpulkan untuk menurunkan resiko relapsis dibutuhkan pemberian yang kontinu selama 26 minggu. Martenyi and Soldatenkova, (2004) 34 menemukan
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
ARTIKEL UTAMA
dalam penelitian mereka bahwa pemberian fluoxetine secara kontinu dalam 24 minggu dapat menghindarkan relapsis depresi pada penderita posttraumatic stress disorder (PTSD).
Kesimpulan Penyebab depresi sampai sekarang ini belum jelas diketahui, namun faktor-faktor seperti genetik, lingkungan serta neurobiologi sangat berperan dalam etiologi depresi. Depresi terjadi akibatkan ketidakseimbangan sistem neuroendokrin di otak sehingga keadaan ini bisa mengakibatkan kerusakan struktur di otak sendiri demikian juga mempengaruhi organorgan tubuh di luar otak. Dalam strategi penanggulangan mendasar pada gangguan keseimbangan neuroendokrin/ neurotransmiter di otak. Obat-obat yang digunakan sedapat mungkin mempunyai efek maksimal terhadap penanggulangan ketidakseimbangan tadi dan berefek negatif yang minimal terhadap metabolisme organ-organ tubuh baik korelasi sesama neurotransmiter lainnya demikian juga efek terapi terhadap terjadinya relapsis. Beberapa peneliti menemukan bahwa fluoxetine memberikan efek terapeutik yang sangat maksimal dan efek negatif yang minimal terhadap gangguan organ di luar otak termasuk metabolisme dan neurotransmiter seperti kholinergik.
Daftar Pustaka 1. Bland RC. Epidemiology of affective disorders: a review. Can J Psychiatry 1997; 42:367-77 2. Judd LL and Huey LY. Major affective disorders. In: Braunwald E, Isselbacher KJ, Petersdorf RG, et al. (Eds.) Harrison’s Principles of Internal Medicine, Chpt 360. New York: McGraw-Hill Book Company; 1987.p.2085-9 3. Murray CJL, Lopez AD. Alternative projections of mortality and disability by cause 1990-2020: global burden of disease study. Lancet 1997; 349:1498-504 4. Kendler KS. Major depression and environment: a psychiatric genetic perspective. Pharmacopsychiatry 1998; 31:5-9 5. Plotsky PM, Owen MJ, Nemeroff CB. Psychoneuroendocrinology of depression. Hypothalamic-pituitary adrenal axis. Psychiatr Clin North Am 1998; 21:293-307 6. Sallee FR, Nesbitt L, Dougherty D, et al. Lymphocyte glucocorticoid receptor: predictor of sertraline response in adolescent major depressive disorder (MDD). Psychopharmacol Bull 1995; 31:339-45 7. Seline YI, Shanghavi M, Mintun MA, et al. Hippocampal atrophy in recurrent major depression. Proc Natl Acad Sci USA 1996; 93:3908-13 8. Soares CJ, Mann JJ. The functional neuro anatomy of mood disorders. J Psychiatr Res 1998; 49:341-61 9. Drevets WC. Functional neuroimaging studies of depression: the anatomy of melancholia. Annu Rev Med 1998; 49:341-6 10. Bos NP, Mirmiran M. Circadian rhythms in spontaneous neural discharges of the cultured suprachiasmatic nucleus. Brain Res 1990; 511:158-62 11. Raadsheer FC, Van Heerikhuize JJ, Lukassen PJ, et al. Increased corticotropin-releasing hormone (CRH) mRNA in the paraventricular nucleus of patients with Alzheimer and depression. Am J Psychiatr 1995; 152:1372-6 12. Purba JS, Hoogendijk WJG, Hofman MA, et al. Increased number of vasopressin and oxytocin expressing neurons in the paraventricular nucleus of the hypothalamus in Depression. Arch Gen Psychiat 1996; 53:137-43 DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
13. Gormley GJ, Lowy MT, Reder AT, et al. Glucocorticoid receptors in depression: relationship to the dexamethasone suppression test. Am J Psychiatry 1985; 142:1278-84 14. Hoogendijk WJG, Purba JS, Raadsheer FC, e t al. The hypothalamus of depressed patients. J Assoc Eur Psychiatr 1996; 11:156s 15. Hoogendijk WJG, Purba JS, Hofman MA, et al. Depression in Parkinson’s disease is not accompanied by activation of corticotropinreleasing hormone (CRH) neurons in the hypothalamic paraventricular nucleus. Biol Psychiatr 1998; 43:913-7 16. Mann DMA, Yates PO, Hawkes J. The pathpology of the human lacus coeruleus. Clin Neuropathol 1983; 2:1-7 17. Murphy DL, Mitchell PB, Potter WZ. Novel pharmacological approaches to the treatment of depression. In: Bloom FE, Kupfer DJ (Eds). Psychopharmacology; the Fourth Generation of Progress. New York: Raven Press; 1995.p.1143-53 18. Melter H. Serotonergic dysfunction in depression. Br J Psychiatry 1989; 155:25-31 19. Malison RT, Price LH, Berman R, et al. Reduced brain serotonin transporter availability in major depression as measured by [123I]-2 beta-carbomethoxy-3 beta-(4-iodophenyl) tropane and single photon emission computed tomography. Biol Psychiatry 1998; 44:1090-8 20. Parsey RV, Hasting RS, Oquendo MA, et al. Lower serotonin transporter binding potential in the human brain major depressive episode. Am J Psychiatry 2006; 163:52-8 21.Chalmers DT, Lopez JF, Akil H, et al. Molecular aspect of stress axis and serotonergic function in depression. Clin Neuroscience 1993; 1:122-8 22. Lopez JF, Liberzon I, Vasquez DM, et al. Serotonin 1a receptor mRNA regulation in the hippocampus after acute stress. Biol Psychiatry 1999; 45:943-7 23. Rabkin JG, Wagner GJ, Rabkin R. Fluoxetine treatment for depress ion in patient with HIV and AIDS: a randomized, placebo-controlled trial. Am J Psychiatry 1999; 156:101-7 24. Cheer SM, Goa KL. Fluoxetine: a review of its therapeutic potential in the treatment of depression associated with physical illness. Drugs 2001; 61:81-110 25. Kupfer DJ. Maintenance treatment in recurrent depression: current and future directions: the rst William Sargant lecture. Br J Psychiatry 1992; 161:309-16 26. Montgomery SA. Long-term treatment of depression. Br J Psychiatry 1994; 165(Suppl 26):31-6 27. Kupfer DJ, Keller MB. Management of recurrent depression. J Clin Psychiatry 1993; 54(Suppl 2):29-35 28. Frank E, Prien RF, Jarrett RB, et al. Conceptualization and rationale for consensus denitions denitions of term in depressive disorders: remission, recovery, relapse, and recurrence. Arch Gen Psychiatry 1991; 48:851-5 29. Angs J, Baastrup P, Grof P, et al. The course of monopolar depression and bipolar Psychoses. Psychiatr Neurol Neurochir 1973; 76:489-500 30. Keller MB, Klerman GL, Lavory PW, et al. Long-term outcome of episodes major depression: clinical and public health signicance. JAMA 1984; 252:788-92 31.Prien FR, Kupfer DJ. Contuation drug therapy for major depressive episodes: how long should be maintained?. Am J Psychiatry 1986; 143:18-23 32. Montgomery SA, Dufour H, Brion S, et al. The prophylactic efcacy of uoxetine in unipolar depression. Br J Psychiatry Supp 1988; 3:69-76 33. Reimherr FW, Amsterdam JD, Quitkin FM, et al. Optimal length of continuation therapy in depression: a prospective assessment during long-term uoxetine treatment. Am J Psychiatry 1998; 155:1247-53 34. Martenyi F, Soldatenkova V. Fluoxetine in the acut treatment and relapse prevention of combat-related post-traumatic stress disorder: analysis of the veteran group of a placebo-controlled, randomized clinical trial. Euro Psychopaharmacol 2006; 16:340-9 125
TINJAUAN PUSTAKA
Abses Otak Pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik N Supatra Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar - Bali Abstrak. Abses otak adalah proses supurasi yang menyebabkan tekanan di sekitarnya. Untuk menegakkan diagnosis abses otak, diperlukan adanya gambaran klinis yang sesuai serta diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu: EEG (Electroencephalogram ), LCS, darah dan CT (Computerised Tomography ) scan. Sedangkan untuk penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan: foto, toraks, EKG (Electrokardiogram) dan ekokardiografi. Walaupun fasilitas diagnosis dan pengobatan abses otak telah mengalami banyak k emajuan, mortalitas tetap tinggi. 1 Sebagian besar penyakit jantung bawaan yang menyebabkan komplikasi di dalam otak ter masuk di dalam golongan penyakit jantung bawaan sianotik,1 yang terbanyak adalah tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. Pada pemeriksaan otopsi anak, yang meninggal dengan penyakit jantung bawaan ternyata 10-25% memperlihatkan kelainan serebro vaskular. 2 Abses otak dapat berasal dari beberapa sumber infeksi, yaitu fokus infeksi dekat, misalnya otitis media, mastoiditis, sinusitis paranasal dan fokus infeksi jauh, misalnya dari paru-paru dan jantung, luka penetrasi, operasi dan akibat komplikasi meningitis bakterialis. 3 Keberhasilan mengetahui penyebab abses sangat dipengaruhi cara pembiakan.4 Penyebab abses tergantung dari lokasi abses dan sumber abses. Pada penyakit jantung bawaan sianotik sering ditemukan Streptococcus, sedangkan bila abses terjadinya paska kraniotomi sering ditemukan Staphylococcus atau Streptococcus.6 Kata kunci: Abses otak, penyakit jantung bawaan, gejala-gejala neurologis
Pendahuluan Abses otak adalah proses supuratif yang menyebabkan tekanan di sekitarnya. Walaupun fasilitas diagnosis dan pengobatan abses otak telah mengalami banyak kemajuan, mortalitas tetap tinggi. 1 Diagnosis sering terlambat karena gejala abses otak tidak khas. Tindakan operasi tidak selalu dapat dilakukan karena lokasi abses tidak dapat dicapai atau adanya abses multipel. Kapsul yang tebal dan adanya berbagai mikroorganisme penyebab baik aerob, anaerob, campuran, jamur, atau parasit mempersulit pemilihan antibiotika yang akan digunakan. Sebanyak 21-30% abses otak disebabkan oleh infeksi sinus atau telinga tengah. 1 Sebagian besar penyakit jantung bawaan yang menyebabkan komplikasi di dalam otak termasuk di dalam golongan penyakit jantung bawaan sianotik,1 yang terbanyak adalah tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. Pada pemeriksaan otopsi anak yang meninggal dengan penyakit jantung bawaan ternyata 10-25% DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
memperlihatkan kelainan serebrovaskular. 2 Penyebab Abses otak dapat berasal dari beberapa sumber infeksi, yaitu fokus infeksi dekat misalnya otitis media, mastoiditis, sinusitis para nasal dan fokus infeksi jauh misalnya dari, paru-paru dan jantung, luka penetrasi, operasi dan akibat komplikasi meningitis bakterialis.3 Keberhasilan mengetahui penyebab abses sangat dipengaruhi oleh cara pembiakan. 4 Di RRC terdapat 33,43% kasus yang menunjukkan biakan positif. Sedangkan Brook (1981) 5 melaporkan bahwa pada 100% kasus menunjukkan mikroorganisme pada biakan dan pada 12-30% kasus ditemukan lebih dari satu mikroorganisme. Penyebab abses tergantung dari lokasi abses dan sumber abses. Pada penyakit jantung bawaan sianotik sering ditemukan Streptococcus, sedangkan bila abses terjadinya paska kraniotomi sering ditemukan Staphylococcus atau Streptococcus.6 127
TINJAUAN PUSTAKA Patogenesis Penyakit jantung bawaan sianotik dengan pirau dari kanan ke kiri, terutama terjadi pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun, dikenal luas sebagai faktor predisposisi abses otak. Pada penderita ditemukan polisitemia dengan aliran darah yang lambat, sehinga dapat menyebabkan terjadinya infark kecil di dalam otak yang merupakan tempat abses mulai timbul. Aliran darah pirau dari kanan ke kiri, tidak difiltrasi di paru-paru, sehingga memudahkan terjadinya septikemia. Hal-hal tersebut merupakan faktor predisposisi terjadinya abses otak pada penderita penyakit jantung bawaan sianotik. 1 Terjadinya abses dapat dibagi menjadi empat stadium, yaitu: fase serebritis dini, fase serebritis lambat, pembentukan kapsul dini dan pembentukan kapsul lambat. Abses otak pada penyakit jantung bawaan sianotik biasanya soliter, sering terdapat pada lobus frontalis, temporalis, dan parietalis. 7 Histopatologis Biasanya proses dimulai dengan serebritis lokal dengan perlunakan, peradangan dan hiperemi. Perubahan nekrotik mulai di tengah diikuti pencairan dan pembentukan nanah. Fibroblast dan gliosis yang melingkari serebritis akhirnya membentuk kapsul, mula–mula tidak rata, lama kelamaan lebih tegas. Biasanya jaringan di sekitarnya memperlihatkan tanda edema dan jaringan tersebut dimasuki sel oleh lekosit polimorfonuklear dan sel plasma, tidak perlu terdapat sel limfosit. Lama kelamaan terbentuk jaringan nekrosis yang membentuk kapsul. Dan waktu yang diperlukan untuk membentuk jaringan nekrosis ini adalah antara 4-6 minggu. 2 Manifestasi Klinis Tidak ada gejala patognomonik untuk abses otak, gejala abses otak tergantung dari lokasi abses, besar abses, virulensi organisme, derajat edema dan respons tubuh terhadap infeksi.6 Trias yang terdiri dari tanda infeksi, tanda peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologis fokal ditemukan pada 50% penderita.8 Pada stadium serebritis, terdapat sakit kepala, demam, letargi, dan kejang. Tapi sering pula tidak terlihat manifestasi klinis sehingga proses penyakitnya terlihat akibat adanya lesi desak ruang. Gejala dapat menjadi progresif, terlihat dengan adanya kelainan saraf lokal dan tekanan intrakranial yang meningkat. Sakit kepala, muntah, dan kesadaran mulai menurun dan disertai dengan hemiparesis, hemianopia atau kelainan neurologi lainnya. Walaupun gejala klinis sering terlihat, adakalanya tidak terdapat gejala selama beberapa waktu, keluhan hanya berupa demam yang hilang timbul, dan se rangan sakit kepala. Dalam perkembangannya, abses otak dapat melalui tiga fase, walaupun secara klinis sulit dibedakan. Tiga fase tersebut, yaitu: fase pertama adalah fase ensefalitis atau serebritis, dengan gejala demam, mengantuk, sakit kepala, kaku dan kejang. Fase kedua adalah fase pembentukan kapsul, di mana terjadi pada saat fase pertama mulai menurun atau
128
bertambah, yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu, namun abses tetap bertambah secara perlahanlahan. Fase yang ketiga adalah fase dekompresi serebral, dengan tekanan intrakranial yang meninggi, kelainan fokal dan herniasi unkus dengan penekanan batang otak, edema papil, hemiparesis, hemianopia, yang lama-kelamaan masuk dalam keadaan stupor dan gangguan vital.
Dalam perkembangannya, abses otak dapat melalui tiga fase, walaupun secara klinis sulit dibedakan. Tiga fase tersebut, yaitu: fase pertama adalah fase ensefalitis atau serebritis, dengan gejala demam, mengantuk, sakit kepala, kaku dan kejang. Fase kedua adalah fase pembentukan kapsul, di mana terjadi pada saat fase pertama mulai menurun atau bertambah, yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu, namun abses tetap bertambah secara perlahan-lahan. Fase yang ketiga adalah fase dekompresi serebral, dengan tekanan intrakranial yang meninggi, kelainan fokal dan herniasi unkus dengan penekanan batang otak, edema papil, hemiparesis, hemianopia, yang lama-kelamaan masuk dalam keadaan stupor dan gangguan vital. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan darah tepi kadang-kadang terdapat leukositosis. Cairan serebrospinal biasanya bersifat jernih dan steril, kecuali bila abses pecah yang akan menyebabkan terjadinya meningitis. Tekanan cairan serebrospinal sering kali meningkat, dengan kadar protein yang sedikit meninggi. Jumlah sel dapat normal atau sedikit meninggi. Pada stadium awal, jumlah sel polimorfonuklear lebih banyak, namun bila sudah terbentuk kapsul, maka jumlah limfosit akan lebih banyak. Foto kepala tidak banyak menolong kecuali bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial yang berlangsung lama. EEG (Electroencephalogram) dapat menunjukkan lokasi abses, dengan memperlihatkan gelombang delta voltase tinggi pada tempat lesi supuratif. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan EEG kembali untuk melihat adanya pembentukan dan penambahan gelombang delta setempat. 3 DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA CT (Computerised Tomography) scan merupakan prosedur yang sangat bermanfaat untuk memastikan diagnosis abses otak. Pada CT Scan akan terlihat daerah dengan densitas yang kurang, bila sudah terbentuk kapsul akan dilingkari oleh daerah dengan densitas yang lebih tinggi.3 Pemeriksaan CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging ) hanya sebatas sebagai alat bantu. Diagnosis abses otak terutama didasarkan atas gambaran klinis. Pada abses otak yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan sianotik harus ada gambaran tentang penyakit jantung tersebut. Gambaran CT scan dan MRI pada abses otak menunjukkan daerah dengan densitas rendah yang dikelilingi oleh kapsul. Pada tumor otak gambaran CT Scannya adalah masa dengan densitas yang tinggi tanpa kapsul. MRI berguna untuk menentukan kepastian lokasi abses pada otak. 10 Untuk mengetahui adanya penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan foto toraks, EKG ( Electrocardiogram), dan ekokardiografi. 11 Penatalaksanaan Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi e fek masa dan menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik. Pemantauan ketat harus dilakukan terhadap keadaan umum dan tanda vital penderita. Seperti juga pada meningitis bakterialis, pada setiap penderita dengan abses otak diberikan antibiotik berspektrum luas. Banyak kesulitan pada pemberian antibiotik karena harus dapat menembus sawar otak, harus mampu menembus kapsul bila abses telah berkapsul, mempunyai spektrum yang luas karena adanya berbagai macam mikroorganisme penyebab abses. Penyuntikan antibiotik langsung ke dalam abses otak tidak dianjurkan, karena hal ini dapat menyebabkan fokus epileptogenesis. 12 Black (1973) melaporkan bahwa nafsilin tidak dapat masuk ke dalam abses, sedang kloramfenikol, penisilin, dan metisilin dapat masuk ke dalam abses. Sefalosporin dan aminog likosida tidak dapat menembus kapsul, sedangkan linkomisin dan asam fusidat dapat menembus kapsul. 13 Harus diingat bahwa kuman dapat tetap ada dalam abses walaupun tercapai konsentrasi antibiotik adekuat dalam abses dan kuman tersebut sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. 12 Ukuran abses penting dalam pengobatan dengan antibiotik. Abses dengan diameter antara 0,8-2,5 cm dilaporkan bisa sembuh dengan pemberian antibiotik.14 Abses yang lebih besar memerlukan tindakan pembedahan. Tindakan tanpa operasi biasanya dilakukan pada penderita dengan abses multipel atau bila lesinya kecil dan sulit dicapai dengan operasi. Bila terdapat abses multipel, aspirasi abses yang besar tetap dilakukan untuk menentukan jenis mikroorganisme dan uji resistensi. Kuman anaerob memerlukan metronidasol sebagai pengobatannya. 15 Rosenblum (1980) mengajukan kriteria
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
penderita yang merupakan kandidat untuk pengobatan dengan antibiotika saja, yaitu bila diperkirakan operasi akan memperburuk keadaan, terdapat abses multipel terutama yang jaraknya berjauhan satu sama lain, abses disertai dengan meningitis, abses yang lokasinya sulit dicapai dengan operasi atau operasi diperkirakan akan merusak fungsi vital, abses yang disertai dengan hidrosefalus yang mungkin akan terinfeksi bila dioperasi.14 Konsultasi kepada ahli bedah saraf dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dilakukannya pengeluaran abses dari jaringan otak dengan pembedahan. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat anak juga menderita kelainan jantung, serta terdapatnya kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi. Pada penderita yang diduga atau terbukti mengalami peningkata tekanan intrakranial, dapat diberikan kortikosteroid atau cairan hiperosmoler, misalnya manitol. Pengobatan penunjang serta perawatan yang baik perlu dilakukan dengan seksama termasuk pengobatan simtomatik terhadap edema dan kejang. Sedang untuk penyakit jantung bawaan sianotik perlu dilakukan operasi paliatif. Hal ini merupakan operasi pertolongan sebelum dilakukan operasi koreksi total. Operasi koreksi total pada bayi dan anak dengan berat badan yang masih rendah mempunyai banyak risiko. Meskipun demikian, dengan majunya teknik operasi akhir–akhir ini, banyak pusat penyakit jantung yang berusaha melakukan operasi koreksi total sedini mungkin. Operasi paliatif ini pada umumnya membuat anastomosis antara aorta dan arteri pulmonalis. Dengan demikian diharapkan darah dari aorta akan mengalir ke dalam arteri pulmonalis. Paru-paru akan mendapat cukup darah, sehingga
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik.
129
TINJAUAN PUSTAKA jumlah darah yang dioksigenasi lebih banyak. Ada beberapa macam tehnik operasi paliatif. Anastomose Blalock – Taussig, menghubungkan salah satu arteria subklavia dan salah satu arteria pulmonalis. Hubungan ini dapat secara end to end atau end to side. Anastomosis Pott, menghubungkan sisi sama sisi antara arteri pulmonalis kiri dengan aorta descendens di luar perikardium. Sedangkan anastomasis Waterston, menghubungkan sisi sama sisi antara arteri pulmonalis kanan dengan aorta descendens. Pada beberapa pusat penyakit jantung, operasi koreksi total dilakukan pada umur sekitar 3 sampai 5 tahun. Angka kematian operasi koreksi total pada pusat penyakit jantung yang baik sebanyak 5%, dengan gambaran angka kematian lebih tinggi pada bayi kecil.16 Dengan adanya kemajuan teknologi angka kematian koreksi total pada penyakit jantun g bawaan sianotik yang dulu mencapai 5% se karang menjadi 13%.17 Prognosis Mortalitas lebih tinggi pada penderita yang menunjukkan perjalanan penyakit yang cepat. Penderita dengan gejala leb ih dari 2 minggu dan memperlihatkan abses berkapsul mempunyai prognosis yang lebih baik. Keadaan umum penderita juga menentukan prognosis. Penderita dalam keadaan koma preoperatif mempunyai prognosis yang buruk. 14,18 Penderita dengan gangguan kekebalan mempunyai prognosis buruk. Keterlambatan operasi dapat pula menyebabkan kematian. Kematian disebabkan oleh karena ruptur abses ke dalam ventrikel atau ruang subaraknoid, herniasi atau sepsis. 18 Adanya penyakit jantung bawaan akan memperberat penderita. Separuh penderita yang sembuh memperlihatkan keadaan hemiparesis, sedangkan gangguan kognitif mencapai 70%. Kejang dapat terjadi selama atau setelah pembentukan abses. Paska operasi terdapat serangan kejang pada 30-50% penderita. Bila kejang telah terjadi preoperatif umumnya selalu terjadi kejang paska operasi. Kejang dapat terjadi setelah 4 tahun pengobatan. Di antara penderita yang mengalami kejang paska operasi, 50% berupa kejang umum dan 30% menunjukkan epilepsi parsial kompleks atau epilepsi fokal. Sebanyak 8-10% penderita mengalami yang berulang, umumnya abses dalam 6-24 minggu pertama. Kesimpulan Telah dibahas mengenai abses otak pada penyakit jantung bawaan sianotik. Untuk menegakkan diagnosis abses otak, diperlukan adanya gambaran klinis yang sesuai serta diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu : EEG, LCS, darah dan CT scan. Sedangkan untuk penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan: foto torak, EKG dan ekokardiografi. Walaupun fasilitas diagnosis dan pengobatan abses otak telah banyak mengalami kemajuan, namun mortalitas tetap tinggi. Sebagian besar penyakit jantung bawaan yang
130
menyebabkan komplikasi otak, termasuk dalam golongan penyakit jantung bawaan sianotik, seperti tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar, sehingga perlu dilakukan operasi paliatif. Hal ini merupakan operasi pertolongan sebelum dilakukan operasi koreksi total, sehingga komplikasi ke otak tidak terjadi lagi. Oleh karena kelainan ini merupakan salah satu predisposisi terjadinya abses otak, maka harus waspada bila ditemukan gejala-gejala neurologis pada penyakit jantung bawaan sianotik. Daftar Pustaka 01. Hardiono DP. Abses otak. Naskah Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak ke XVIII. Kedaruratan Saraf Anak, Jakarta; 1989 02. Hendarto SK. Komplikasi serebral pada penyakit jantung. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX. Penatalaksanaan Kedaruratan Kardiovaskular Pada Anak, Jakarta; 1989 03. Huttenlocher PR. The nervous system. In: WE Nelson, RE Berhman, VC Vaugan (eds.). Nelson Text Book of Pediatrics. 12th ed. Philadelphia: Saunders; 1983.p.1546–600 04.Yang SY. Brain abscess: a review of 400 cases. J Neurosurg 1981; 55:794-9 05. Brook I. Bacteriology of intracranial abcess in children. J Neurosurg 1981; 54:484-8 06. Britt RH, Enzumann DR, Yeager AS. Neuropathological and computerized tomographic fndings in experimental brain abscess. J Neurosurg 1985; 55:590–603 07. Gordon IB. The cardiovascular system. In: WE Nelson, RE Berhrman, VC Vaugan (eds.). Nelson Text Book of Pediatrics. 12th ed. WB Saunders Company: Philadelphia; 1983.p.1100-203 08. Patrick CC, Kaplan SL. Current concept in the pathogenesis and management of brain abscess in children. Pediatr Clin N Am 1988; 35:625-36 09. Bell W, Chun WM, Jabbour JT, et al. Brain abscess, bacterial infectious of the nervous system. In: Sweiman, Wright, editor. The Practica of Pediatric Neurology. 1st ed., 1988.p.678-86 10. Robert HAH. Brain abscess. In: Behrman, Kligman, Jenson (eds). Nelson Textbook of Pediatrics. 17th eds. China:Saunders; 2004.p.2047-8 11. Bambang M. Pemeriksaan ekokardiograf pada penyakit jantung bawaan. Naskah Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak Ke XI. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan Yang Dapat Dikoreksi, Jakarta; 1985 12. Black P, Graybill J, Charace P. Penetration of brain abscess by systemically administered antibiotics. J Neurosurg 1973; 38:705-9 13. Louvois J, Gortval P, Hurley R. Bacteriology of abscess of the central nervous system: a multicentre prospective study. Br Med J 1977; 2:981–4 14. Rosenblum ML, Hoff JT, Norman D, et al. Non operative treatment of brain abscess in selected high risk patients. J Neurosurg 1980; 52:217-25 15. Ingham HR, Selkom JB, Roxby CM. Bacteriological study of ontogenic cerebral abscess: chemotherapeutic role of metronidazole. J Br Med J 1977; 2:991-3 16. Samik Wahab A. Penyakit jantung pada anak. Bandung:Bina Cipta; 1982 17. William WH Jr, Myron JL, Judith MS, et al. Current pediatric diagnosis and treatment. International edition 17th ed. New York:Lange McGraw-Hill; 2005 18. Karandanis D, Hulman JA. Factors associated with mortality in brain abscess. Archs Int Med 1975; 135:1145-50
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik
Epidemiologi Onset Anak-Anak; Telaah Pustaka Terkini Rizaldy Pinzon SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy Ambon Abstract. Epilepsy is one of the major neurological diseases with complex additional problems. This review is aimed to explain the epidemiological pattern of childhood epilepsy. The data were obtained from several previous studies. The incidence of childhood epilepsy ranging from 50 to 100 per 100.000 with prevalence from 3 to 11 per 1.000 were found and the onsets of epilepsy in most cases are less than 10 years old. Abstrak. Epilepsi merupakan penyakit neurologi dengan permasalahan yang kompleks. Tujuan telaah pustaka ini adalah mengkaji aspek epidemiologi epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu. Telaah pustaka di atas menunjukkan bahwa prevalensi epilepsi pada usia anak-anak berkisar antara 3-11 per 1.000 orang penduduk. Insidensi epilepsi pada anak-anak dan remaja diperkirakan berkisar antara 50 sampai 100 per 100.000 anak. Pada populasi anak-anak, maka puncak usia awitan akan terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Sebagian besar kasus memiliki onset kurang dari usia 10 tahun. Kata kunci: Epilepsi, epidemiologi, prevalensi, insidensi, onset
Pendahuluan Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang (paling sering dalam manifestasi kejang) yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. 1 Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami 2 kali bangkitan tanpa provokasi. 2 Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. 1 Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak. Namun pada beberapa kasus, epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. 1 Serangan epilepsi bersifat paroksismal dengan berbagai manifestasi gejala. Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi neuron kortikal yang mengalami gangguan. 2 Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion.4 Sebagian besar kasus epilepsi dijumpai pada usia anakanak, dan merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama pada kelompok usia tersebut.3 Tujuan penulisan makalah adalah mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang epidemiologi epilepsi. Pelacakan kepustakaan dilakukan melalui fasilitas internet dan perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Kata kunci yang digunakan adalah epilepsi, epidemiologi, prevalensi, insidensi, onset. Pembahasan Prevalensi epilepsi Gambaran prevalensi epilepsi pada kelompok usia anakanak dari berbagai penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini. 131
TINJAUAN PUSTAKA Tabel 1. Pola angka prevalensi epilepsi pada anak–anak Peneliti (tahun)
Tempat sumber data
Haimanot, Ethiopia, dkk5 Afrika
Murphy, dkk6
Metode Pengambilan data
Kelompok umur populasi (tahun)
Survei di komunitas, 60.820 orang
Laki-laki -0-4 -5-9 - 10 - 14 Perempuan -0-4 -5-9 - 10 - 14
Angka prevalensi (1.000 penduduk)
95% Cl
3.7 4.1 9.7 1.3 4.2 5.5
Atlanta, AS
Catatan Medis
10 - Laki-laki - Perempuan
6.0 6.7 5.2
5.5 - 6.5 6.0 - 7.5 4.6 - 6.0
Kurtz, dkk7 Inggris, Skotlandia, Wales
Prospektifkonfirmasi catatan medik neurologis
-0-7 - 8 - 11 - 12 - 16 - 17 -23
3.89 4.28 4.91 6.28
2.90 - 4.87 3.25 - 5.31 3.78 - 6.04 4.89 - 7.68
Sridharan dan Murthy8
India
Kajian sistematis
- < 10 - 10 - 19
5.36 8.95
-
Karaagac, dkk9
Turki
Survei dan rekam medis
- < 10 - 10 - 19
5.8 11.0
3.80 - 7.25
Pal, dkk
10
Coleman, dkk11
46 desa India
Survei rumah ke 2 - 8 rumah
5.52
Gambia
Survei rumah ke - <15 rumah - 15 - 24
2.4 6.6
Insidensi epilepsi Insidensi epilepsi pada anak-anak dan remaja diperkirakan berkisar antara 50 sampai 100 per 100.000 anak. 14 Gambaran insidensi epilepsi anak-anak dari berbagai penelitian epidemiologi terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Pola angka insidensi epilepsi pada anak–anak Angka Kelompok insidensi umur populasi (/100.000 (tahun) penduduk)
95% Cl
Prospektif (4 tahun) - catatan medis
-<1 1-4 5-9 10 - 14
- 56.8 - 74.3 - 58.5 56.0
-
Texas Amerika Serikat
Prospektif (6 tahun) - catatan medis
-<5 5 - 14
- 67.0 59.6
-
Kurtz, dkk7
Inggris, Skotlandia, Wales
Prospektif (23 tahun)
0 - 23
84.2
88.2 - 100.2
Heaney, dkk17
London - Inggris
Prospektif (2 tahun) -catatan medis
-0-4 - 5 - 14
190 75.4
138 - 262 52.1 - 109
Tempat sumber data
Metode pengambilan data
Zarrelli, dkk15
Minnesota Amerika Serikat
Annergers, dkk16
Peneliti
-
Tabel di atas menunjukkan bahwa prevalensi epilepsi pada usia anak-anak berkisar antara 3-11 per 1.000 orang penduduk. Laporan CDC12 menunjukkan bahwa prevalensi epilepsi pada usia kurang dari 15 tahun di Amerika Serikat tahun 1994 adalah sebesar 4.0 per 1.000 penduduk (95% CI 3.0-5.0), epilepsi lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria (4.4:3.6). Di antara 6 buah penelitian tentang prevalensi epilepsi pada anak-anak di atas, penelitian yang dilakukan oleh Kurtz, dkk7 dan Pal, dkk 10 merupakan penelitian yang paling menarik untuk disimak. Penelitian Kurtz, dkk7 melibatkan jumlah sampel yang besar (17.414 anak) dengan pengamatan prospektif jangka panjang (23 tahun). Prevalensi epilepsi aktif akan sangat tergantung pada insidensi kumulatif dan tercapainya remisi. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan gradual prevalensi epilepsi dari 3.89/1.000 anak (95% CI 2.90-4.87) pada umur 7 tahun menjadi 6.28/1.000 anak (95% CI 4.89-7.68) pada umur 23 tahun. Penjelasan yang paling mungkin adalah angka insidensi epilepsi pada anak-anak lebih tinggi daripada angka remisi epilepsi. Penelitian tentang prevalensi epilepsi anak-anak yang menarik pula untuk disimak adalah penelitian Pal, dkk 10 di India. Penelitian ini tampak mewakili gambaran prevalensi epilepsi anak-anak di negara berkembang. Penelitian Pal, dkk10 melibatkan 46 desa di Kalkuta bagian selatan India. Penelitian ini dilakukan dengan survei dari rumah ke rumah dan wawancara selama 6 bulan, dengan melibatkan jumlah anak-anak berusia 2-18 tahun sebesar 40.574 jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak berusia 2-18 tahun adalah 5.52/1.000 orang anak 132
(95% CI 3.80-7.25). Sebuah penelitian retrospektif terhadap 302 orang anak di Arab Saudi oleh El Awad dan Adedoyin 13 menunjukkan bahwa kejang menempati urutan pertama penyakit neurologis pada anak-anak, dengan rasio laki-laki dibanding wanita sebesar 1.0 : 0.6. Epilepsi merupakan urutan pertama (52.1%) penyebab kejang pada anak-anak (51.7% epilepsi idiopatik dan 48.3% epilepsi sekunder), sementara kejang demam menempati urutan kedua (38.3%) kasus.
Di antara 4 penelitian epidemiologi di atas, penelitian Kurtz, dkk7 dan Heaney, dkk17 merupakan 2 buah penelitian yang paling menarik untuk disimak. Penelitian Kurtz, dkk7 merupakan pengamatan prospektif jangka panjang (23 tahun) dengan melibatkan 17.414 anak. Selama pengamatan didapatkan 124 kasus epilepsi baru, insidensi kumulatif 8.4/1.000 (95% CI 6.8-10). Rata-rata insidensi epilepsi per tahun adalah 35/100.000 (berkisar antara 0-14 kasus baru per tahun). Kasus baru epilepsi paling banyak dijumpai pada umur pertama kehidupan, yaitu sebesar 14 kasus baru. Penelitian lain dilakukan oleh Heaney, dkk17 di Inggris secara prospektif terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Sepanjang pengamatan dijumpai 190 kasus baru (angka insidensi: 51.5/100000, 95% CI : 44.4-59.3). Di antara 190 kasus baru epilepsi, 65 di antaranya (34.2%) dimulai saat pada usia <14 tahun. Onset epilepsi Sebagian besar kasus epilepsi dijumpai pada usia anakanak, dan merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama pada kelompok usia tersebut. Kajian yang dilakukan Wong18 terhadap berbagai penelitian epidemiologi terdahulu menunjukkan bahwa puncak insidensi epilepsi dijumpai DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA pada masa awal usia anak-anak. Karaagac, dkk 9 menemukan bahwa prevalensi epilepsi di Turki paling tinggi dijumpai pada kelompok umur 10-19 tahun, yaitu sebesar 11 per 1.000 penduduk. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sridharan dan Murthy8 menemukan hal serupa dengan angka prevalensi sebesar 8.95 per 1.000 penduduk pada kelompok umur 10-19 tahun. Kajian yang dilakukan oleh Neville 19 menunjukkan bahwa lebih dari 60% kasus epilepsi dimulai saat usia anak-anak. Umur saat onset serangan epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Usia awitan epilepsi dari penelitian epidemiologi terdahulu Peneliti (tahun)
Tempat
Metode dan subjek penelitian
Usia onset
Persentase
Haimanot, Ethiopia dkk5
Penelitian epidemologi di komunitas 60.820 subjek penelitian 316 kasus epilepsi
0-4 tahun 5-14 tahun 15-19 tahun
31,9% 38,6% 9,6%
Silampaa, dkk20
Penelitian prospektif tentang prognosis > 2 tahun 423 penderita epilepsi anak
< 1 tahun 1-12 tahun > 12 tahun
7% 77% 16%
Kurtz, dkk7 Inggris, Survei komunitas 17.414 anak, 124 kasus Swedia, baru epilepsi ditemukan selama 23 tahun dan Wales pengamatan
<8 tahun 8-12 tahun
50% 16%
Karaagac, dkk9
Turki
Survei komunitas 4.803 subjek, 49 kasus epilepsi ditemukan
0-9 tahun 41% 10 - 19 tahun 31%
Berg, dkk21
Amerika Serikat
Penelitian epidemologi di 16 pusat kesehatan 4-5 tahun neurologi anak 6 - 10 tahun 613 penderita epilepsi anak berusia 0 -15 11 -15 tahun tahun
Finlandia
17.9% 31% 13.7%
Hasil penelitian Haimanot, dkk5 memperlihatkan bahwa sebagian besar kasus epilepsi bermula pada usia <20 tahun (70%). Hasil serupa ditunjukkan pula oleh penelitian Karaagac, dkk9 yang memperlihatkan bahwa sebanyak 72% kasus epilepsi beronset pada usia <20 tahun. Pada populasi anak-anak, maka puncak usia awitan akan terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Penelitian Kurtz, dkk7 memperlihatkan bahwa pada epilepsi usia muda, maka separuh kasus (50%) memiliki usia awitan <8 tahun. Hasil serupa ditunjukkan oleh Berg, dkk 21 yang memperlihatkan bahwa >80% kasus epilepsi memiliki usia awitan kurang dari 10 tahun. Sebuah penelitian di Indonesia oleh Satya, dkk22 dengan mendeskripsikan catatan medis 416 pasien epilepsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 61% penderita memiliki usia awitan <18 tahun. Puncak usia awitan adalah antara usia 10-18 tahun, yaitu 186 kasus (44.7%). Kesimpulan Telaah pustaka di atas menunjukkan bahwa prevalensi epilepsi pada usia anak-anak berkisar antara 3-11 per 1.000 orang penduduk. Prevalensi epilepsi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena angka insidensi epilepsi pada anak-anak lebih tinggi dari pada angka remisi epilepsi. Insidensi epilepsi pada anak-anak dan remaja
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
diperkirakan berkisar antara 50 sampai 100 per 100.000 an ak. Pada populasi anak-anak, maka puncak usia awitan akan terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Sebagian besar kasus memiliki onset kurang dari usia 10 tahun. Daftar Pustaka 01. WHO. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis. WHO Fact Sheet No. 165; 2001 02. Cavazos JE, Lum F, Spitz M. Seizure and epilepsy: overview and classifcation. Available from: http://www.emedicine.com/neuro/ topic415.htm 03. Holmes GL, Ben-Ari Y. The neurobiology and consequences of epilepsy in developing brain. Pediatr Res 2001; 49:320-5 04. Filloux FM. Seizures and epilepsy. University of Utah School of Medicine; 2000 05. Haimanot RT, Forsgren L, Abebe M, et al. Clinical and electroencephalographic characteristics of epilepsy in rural ethiopia: a community based study. Epilepsy Res 1990; 7:230-9 06. Murphy CC, Trevathan E, Allsopp MY. Prevalence of epilepsy and epileptic seizure in 10 year old children: results from the metropolitan Atlanta developmental disabilities study. Epilepsia 1995; 36:866-72 07. Kurtz Z, Tookey P, Ross E. Epilepsy in young people: 23 years followup of The British National Child Development Study. BMJ 1998; 316:339-42 08. Sridharan R, Murthy BN. Prevalence and pattern of epilepsy in India. Epilepsia 1999; 40:631-6 09. Karaagac N, Yeni SN, Senocak M, et al. Prevalence of epilepsy in Silivri; a rural area of Turkey. Epilepsia 1999; 40:637-42 10. Pal DK, Das T, Sengupta S. Comparison of key informant and survey methods for ascertainment of childhood epilepsy in West Bengal India. Internat J Epid 1999; 27:672-6 11. Coleman R, Loppy L, Walraven G. The treatment gap and primary health care for people with epilepsy in rural Gambia. Bulletin of The World Health Organization 2002; 80:378-83 12. CDC. Seizures and epilepsy, a public health priority of the centers for disease control and prevention. National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion; 2001 13. El Awad MEH, Adedoyin M. Trend of neurological disease in Saudi children. Available from: http://www.kfshrc.edu.sa/annals/152/ brg329ar.html 14. Hauser WA. The prevalence and incidence of convulsive disorder in children. Epilepsia 1994; 35 (suppl. 2):S1-S6 15. Zarrelli MM, Beghi E, Rocca WA, e t al. Incidence of epileptic syndromes in Rochester Minnesota: 1980-1984. Epilepsia 1999; 40:1708-14 16. Annegers JF, Dubinsky S, Coan SP, et al. The incidence of epilepsy and unprovoked seizure in multiethnic, urban health maintenance organizations. Epilepsia 1999; 40:502-6 17. Heaney DC, MacDonald BK, Everitt A, et al. Sosioeconomic variation in incidence of epilepsy: prospective community based study in South East England. BMJ 2002; 325:1013-6 18. Wong M. Prognosis of epilepsy, evidence based epilepsies, an epilepsy reference sources. Pediatric Epilepsy Centre; 2000 19. Neville BGR. Fortnightly review: epilepsy in childhood. BMJ 1997; 315:924-30 20. Silampaa M, Camfeld P, Camfeld C. Predicting long-term outcome of childhood epilepsy in Nova Scotia, Canada, and Turku, Finland: validation of a simple scoring system. Arch Neurol 1995; 52:589-92 21. Berg AT, Shinnar S, Levy SR, et al. Newly diagnosed epilepsy in children: presentation at diagnosis. Epilepsia 1999; 40:445-52 22. Satya H, Manfaluthy H, Zakiah S. Usia saat awitan penderita di klinik epilepsi bagian Neurologi FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Epilepsi 1998 ; 3(1)
133
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik
Prognosis Epilepsi Rizaldy Pinzon SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy Ambon
Abstract. Epilepsy is one of the major neurological diseases with complex additional problems. The knowledge about epilepsy prognosis and its prognostic factors are very important for giving adequate information and planning further management. Most patients would achieve 6-months remission, but only about half patients that achieved 2-year remission have been reviewed. The relapse rate after medication withdrawal accounts for about 18 to 66%. The prognosis factors consist of the initial clinical characteristic, the EEG abnormality, and compliance of medication. Abstrak. Epilepsi merupakan penyakit neurologi dengan permasalahan yang kompleks. Pengetahuan tentang prognosis dan faktor prognosis sangat diperlukan untuk pemberian informasi yang adekuat, dan perencanaan tatalaksana yang tepat. Telaah pustaka ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mencapai remisi 6 bulan, namun hanya kurang lebih separuh yang dapat mencapai remisi 2 tahun. Angka relaps setelah penghentian pengobatan adalah 18-66%. Faktor prognosis meliputi karakteristik klinik, gambaran abnormalitas EEG, dan kepatuhan terhadap regimen terapi. Kata kunci: Epilepsi, remisi, relaps, prognosis, kematian
Pendahuluan Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. 1 Epilepsi merupakan penyakit kronik dengan jangka waktu terapi yang relatif lama. Pemberian informasi yang jelas terhadap penderita dan keluarganya merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi. 2,3 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.4 Pengetahuan tentang prognosis akan sangat berguna untuk pemberian informasi yang adekuat pada penderita epilepsi dan keluarganya, serta membantu dalam pengambilan keputusan medis.5 Konsep dasar utama prognosis epilepsi adalah kesempatan untuk mencapai remisi serangan dan kemungkinan terjadinya kematian prematur.6 Beberapa konsep prognosis yang lain 134
adalah: kualitas hidup, status psikososial, fungsi neurologis, dan kemampuan mengikuti pendidikan.4 Kajian yang dilakukan oleh Wong (2000) menunjukkan bahwa beberapa hasil penelitian terdahulu tentang prognosis epilepsi masih kontroversial.6 Permasalahan yang muncul adalah: bagaimana karakteristik prognosis epilepsi. Tujuan penulisan makalah ini adalah mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang prognosis epilepsi. Pelacakan kepustakaan dilakukan melalui fasilitas internet dan perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Kata kunci yang digunakan adalah epilepsi, prognosis, remisi, relaps, kematian. Pembahasan Pengetahuan tentang prognosis akan sangat berguna untuk pemberian informasi yang adekuat pada penderita dan keluarganya, serta membantu dalam pengambilan keputusan medis.5 Kajian yang dilakukan oleh Neville8 dan Gilliam9 menyatakan bahwa pengetahuan tentang faktor prediktor prognosis sebaiknya digunakan untuk membantu tindakan penatalaksanaan medis pasien epilepsi. DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA Remisi Epilepsi Batasan remisi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.10 Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE.11 Penelitian prospektif terhadap 792 orang pasien epilepsi menunjukkan bahwa 87% pasien (95% CI 83-91) akan mencapai remisi 3 tahun. Penderita epilepsi sekunder (simptomatik) memiliki kemungkinan remisi yang lebih rendah dan dihubungkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.12 Remisi pada penderita epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat disimak pada tabel berikut ini. Tabel 1. Tingkat remisi epilepsi dari berbagai peneliti an terdahulu10-18 Peneliti
Tempat
Loiseau, dkk (1987)
Perancis
Subjek dan metode Penelitian
Batasan Remisi
Jumlah (%)
Penelitian berbasis rumah sakitprospektif 1.033 penderita epilepsi
Remis i 5 tahun
35.5%
Kaliaperumai, India dkk (1989)
Penelitian prospektif tentang prognosis 95 penderita epilepsi parsial
Remisi > 2 tahun
38.9%
Cockerell, dkk Inggris (1998)
Prospektif (9 tahun) di komunitas 792 penderita
Remisi 2 tahun Remisi 5 tahun
96% 71%
Carpay, dkk (1998)
Belanda
Silampaa, dkk Finlandia (1998) Stroink, dkk (1998)
Belanda
Studi prospektif-RS 494 penderita 245 penderita epilepsi Penelitian kohort prospektif RS
Remisi 1 tahun
Remisi 5 tahun
Penelitian prognosis prospektif-RS Bebas bangkitan 156 anak 12 bulan
tinggi didapatkan pada penderita epilepsi kriptogenik (43%), dan pada penderita dengan jumlah serangan sebelum terapi yang kurang dari 20 kali (73%). Penelitian Berg, dkk10 memperlihatkan bahwa remisi 2 tahun dapat dicapai oleh 74% penderita. Waktu tengah ( median time) untuk mencapai remisi adalah 2.3 tahun (antara 2-6 tahun). Probabilitas untuk tercapainya remisi pada pengamatan 2 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun berturutturut adalah 7% (95% CI 5%-9%), 50% (95% CI 46%-54%), dan 73% (95% CI 69%-77%). Relaps Epilepsi Segera setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan. Dokter harus benar-benar mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat, sehingga keputusan untuk penghentian obat adalah bersifat individual. 19 Tingkat relaps setelah penghentian obat anti epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Kejadian relaps pada penderita epilepsi setelah obat dihentikan 10,19-24 Peneliti
Tempat
Subjek dan metode Penelitian
Kejadian relaps
Overweg, dkk (1987)
Belanda
Penelitian prospektif pada penderita epilepsi yang telah bebas serangan minimal 3 tahun Follow up lengkap 62 penderita
66%
Dooley, dkk (1996)
Kanada
97 penderita epilepsi anak dengan bebas serangan 1 tahun Prospektif (rata-rata follow up 32.4 bulan)
34%
Andersson, dkk (1997)
Swedia
154 penderita epilepsi anak, obat dihenrtikan setelah 8 bulan bebas serangan Prospektif dengan lama pengamatan 2 tahun
37%
Berg, dkk (2001)
Amerika Serikat
Penelitian prognosis prospektif (median follow up 5 tahun) 613 penderita epilepsi anak-anak 442 yang mengalami remisi 2 tahun
24%
Penelitian prognosis prospektif follow up 5 tahun 531 pasien epilepsi
19%
198 penderita epilepsi anak (usia awitan 1 bulan - 14 tahun) bebas j\kejang selama 2 tahun Prospektif dengan rata-rata lama pengamatan 5.9 tahun (1.6 -13.2 tahun)
18%
52,00%
112 (64%)
78%
Arts, dkk (1999)
Belanda
Penelitian prognosis prospektf 466 anak epilepsi
Remisi > 6 bulan dalam 2 tahun terapi
320 (69%)
Aminah, dkk (2000)
Indonesia
Retrospektif deskriptif RS 42 pasien epilepsi
Remisi 2 tahun
16 (33.34%)
Lamdhade (2002)
India
Leiden, Belanda
Kwan dan Penelitian prognosis prospektif Skotlandia Brodie (2000) 525 penderita
Remisi 1 tahun
333 (63.4%)
Bouma, dkk (2002)
Berg, dkk (2001)
Remis i 2 tahun
74%
225 penderita epilepsi anak dan dewasa Speechio, dkk Bari, Italia Prospektif dengan rata-rata lama pengamatan 48.0 + (1999) 49.4 bulan
Amerika Serikat
Penelitian prognosis prospektif 613 penderita epilepsi anak-anak
Di antara berbagai penelitian di atas, penelitian Silampaa, dkk,16 Kwan dan Brodie,18 dan Berg, dkk, 10 merupakan penelitian yang paling menarik untuk disimak. Penelitian Silampaa, dkk16 menunjukkan bahwa 64% penderita epilepsi akan mencapai remisi 5 tahun. Epilepsi idiopatik merupakan epilepsi dengan tingkat remisi paling tinggi (92%). Tingkat remisi paling rendah didapatkan pada epilepsi simptomatik dengan tingkat remisi 45%. Penelitian Kwan dan Brodie18 menunjukkan bahwa tingkat remisi 1 tahun mencapai 63,4%. Angka remisi paling
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
50%
Kajian penelitian di atas menunjukkan bahwa kejadian relaps berkisar antara 18-66% setelah OAE dihentikan. Tingkat relaps setelah penghentian obat anti epilepsi rutin adalah sebesar 25% pada tahun pertama, dan 29% pada tahun kedua. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja/dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Penelitian Bouma, dkk23 menunjukkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps adalah defisit neurologi yang menyertai epilepsi.
135
TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Berg, dkk10 memperlihatkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps dalam analisa multivariat adalah: 1. gambaran perlambatan fokal pada EEG (RR 2,13, 95% CI 1.19-3.87, p = 0.01), dan 2. bangkitan epilepsi mioklonik (RR : 2.67, 95% CI 1.096.66, p = 0.03) Penelitian lain oleh Speechio, dkk23 di Italia terhadap 225 penderita epilepsi anak dan dewasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps adalah penghentian obat (RR: 2,9, 95% CI 1.8-4.6) dan status psikiatrik abnormal (RR: 2,1, 95% CI 1.3-3.6). Kematian pada Penderita Epilepsi Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal seperti terlihat pada tabel 3. Risiko kematian ditunjukkan dengan nilai Standarized Mortality Ratio (SMR) yang merupakan hasil bagi antara jumlah kematian pada penderita epilepsi dibanding dengan populasi rujukan. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital dengan SMR sebesar 50 (95% CI 10-146), epilepsi simptomatik di urutan kedua dengan SMR sebesar 4.3 (95% CI 3.3-5.5). Penderita epilepsi idiopatik memiliki risiko kematian yang paling rendah dengan SMR sebesar 1.6 (95% CI 1.0-2.4).12 Jumlah, persentase dan faktor penyebab kematian penderita epilepsi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Kejadian kematian pada penderita epilepsi 13,16,25-28 Peneliti (tahun)
Tempat
Metode dan subjek Penelitian
Loiseau, dkk (1987)
Penelitian berbasis rumah sakit Perancis prospektif 1.033 penderita epilepsi
Haimanot, dkk (1990)
Penelitian komunitas 60.820 subjek penelitian, 316 kasus Ethiopia epilepsi terjadi 20 kematian dalam 2 tahun terakhir
Cockerell, dkk (1997)
Inggris
Penelitian prognosis prospektif (9 tahun) 792 pasien epilepsi
245 penderita epilepsi anak Silampaa, dkk Finlandia berbasisi rumah sakit (1998) Penelitian kohort Kurtz, dkk (1998)
Inggris, Swedia, dan Wales
Camfield, dkk (2002)
Nova Penelitian prognosis prospektif - Scotia, 692 pasien epilepsi anak (1 bulan Kanada - 16 tahun)
Survei komunitas 124 kasus baru epilepsi
Kejadian Kematian
Keterangan
13 (1.2%)
Dari 13 kematian, 10 (97.6%) akibat bangkitan epilepsi
20 (6.3%)
Dari 20 kematian, akibat bangkitan epilepsi, 7 penyakit lain, 1 trauma dan 3 tidak diketahui
Kematian pada 114 (14.3%) epilepsi simtomatik 58% 44 (17,9%)
45% berhubungan langsung dengan bangkitan epilepsi
9 (7%)
5 akibat bangkitan epilepsi, 4 akiibat penyakit lain
26 (3.8%)
Kematian peling tinggi pada epilepsi general sekunder (13 kematian)
Pada tabel di atas angka kematian paling tinggi didapatkan pada penelitian Silampaa, dkk 16, yaitu sebesar 17.9%. Angka insidens kematian pada penderita epilepsi adalah 6,8 per 1.000 orang penduduk, risiko kematian meningkat pada penderita yang berumur kurang dari 20 tahun (RR 7,6, 95% 136
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa
penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. CI 6.5-8.7). Sebuah kajian ahli (expert panel) terhadap 45 kematian epilepsi menunjukkan bahwa 18 kematian bersifat mendadak dan tidak terjelaskan/SUDEP (Sudden Unexplained Death in Epilepsy), dengan angka kejadian 3,5 per 1.000 penderita epilepsi.29 Penyebab SUDEP sampai saat ini masih kontroversial, hipotesa yang diajukan sampai saat ini adalah hipoventilasi sentral dan gangguan jantung. Penelitian Camfield, dkk28 menunjukkan bahwa kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi (84.6%). Faktor prediktor kematian yang paling bermakna dalam analisa multivariat adalah adanya defisit neurologis penyerta (RR : 22,03, 95% CI 6.97-68.65). Faktor Prediktor Remisi Epilepsi Data yang lengkap dan teliti tentang prognosis epilepsi akan sangat penting untuk menentukan terapi yang rasional dan pemberian penyuluhan dan nasihat yang tepat.6 Kajian yang dilakukan Wong7 terhadap berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. Angka remisi spontan tanpa terapi akan tercapai pada kurang lebih 50% penderita epilepsi. Pada penderita epilepsi anak-anak faktor prognosis yang dihubungkan dengan kemungkinan remisi yang lebih besar adalah tidak adanya defisit neurologis, fungsi psikomotor yang normal, intelegensi normal, umur awitan di atas 2 tahun, frekuensi serangan yang rendah sebelum terapi rutin OAE, gambaran EEG yang normal, dan respon terhadap terapi yang cepat.30 DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor karakteristik awal bangkitan (jumlah dan frekuensi serangan), usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi, gambaran EEG, pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap regimen terapi. Kajian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa peran berbagai faktor prediktor prognosis epilepsi masih kontroversial dan tidak konklusif.7 Kesimpulan Hasil telaah pustaka terhadap berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. Angka remisi spontan tanpa terapi akan tercapai pada kurang lebih 50% penderita epilepsi. Kajian penelitian di atas menunjukkan bahwa kejadian relaps berkisar antara 18-66% setelah OAE dihentikan. Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor karakteristik usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi, gambaran EEG, pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap regimen terapi.
13. Loiseau P, Pestie M, Dartiques JF. Symptomatology and prognosis in adolescent epilepsies (a study of 1.033 cases ). Epilepsy Res
1987; 1:290-6 14. Kaliaperumal VG, Sundararaj N, Mani KS. Seizure prognosis for partial epilepsies in India. Epilepsy Res 1989; 3:86-91
15. Carpay HA, Arts WFM, Geerts AT, et al. Epilepsy in childhood: an audit of clinical practice. Arch Neurol 1998; 55:668-73
16. Silampaa M, Jalava M, Kaleva O, et al. Long-term prognosis of epilepsy with onset in childhood. N Engl J Med 1998; 338:1715-22
17. Aminah S. Pola penderita epilepsi anak di Poliklinik Saraf subdivisi Neuropediatri RSHS FK UNPAD Bandung. Epilepsi 2000; 5:39-43
18. Kwan P, Brodie MJ. Early identication of refractory epilepsy. N Engl J Med: 2000; 342:314-9 19. Overweg J, Binnie CD, Oosting J, et al. Clinical and EEG prediction of seizure recurrence following anti epileptic withdrawal. Epilepsy
Res 1987; 1:272-83 20. Dooley J, Gordon K, Camfeld P, et al. Discontinuation of anticonvulsant therapy in children free of seizures for 1 year: a prospective study. Neurology 1996; 46:969-74
21. Andersson T, Braathen G, Person A, et al. A comparison between
Daftar Pustaka 1. WHO. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis. WHO Fact Sheet No. 165, 2001 2. Brodie MJ, Dichter MA. Antiepileptic drugs. N Engl J Med 1996;
of and three years of treatment in uncomplicated childhood epilepsy: a prospective study. The EEG as predictor of outcome after withdrawll of treatment. Epilepsia 1997; 38:225-32
22. Lamdhade SJ, Taori GM. Study of factors responsible for recurrence of seizures in controlled epileptics for more than 1½ years after
334:168-75 3. Smith D, Chadwick D. The management of epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001; 70(Suppl 2):ii15-ii21 4. Dreifuss FE. Prognosis of childhood seizure disorders: present and future. Epilepsia 1994; 35 (suppl 2):s30-s34
5. Sacket DL. Evidence based medicine: How to practice and teach EBM. Oxford University Press; 2001
6. Harsono. Epilepsi. 11stedition. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press; 2001 07. Wong M. Prognosis of epilepsy, evidence based epilepsies. An epilepsy reference sources. Pediatric Epilepsy Centre; 2000
08. Neville BGR. Fortnightly review: Epilepsy in childhood. BMJ 1997;
withdrawal of antiepileptic drugs. Neurol India 2002; 50:295-300
23. Bouma PAD, Peters ACB, Brouwer OF. Long-term course of childhood epilepsy following relapse after anti epileptic drug withdrawal. J
Neurol Neurosurg Psichiatry 2002; 72:507-10 24. Specchio LM, Tramacere L, La Neve A, et al. Discontinuing antiepileptic drugs in patients who are seizure free on monotherapy. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2002; 72:22–5 25. Haimanot RT, Forsgren L, Abebe M, et al.
Clinical
and
electroencephalographic characteristics of epilepsy in rural Ethiopia: a community based study. Epilepsy Res 1990; 7:230-9
26. Lhatoo SD, Johnson AL, Goodridge DM, et al. Mortality in epilepsy in the rst 11 to 14 years after diagnosis: multivariate analysis
315:924-30 9. Gilliam F. Epilepsy outcomes: Prognosis and predictive factors. Epilepsy Quarterly 2001:9(2) 10. Berg AT, Shimar S, Levy SR, et al. Two year remission and subsequent relapse in children with newly diagnosed epilepsy. Epilepsia 2001;
of a long-term, prospective, population-based cohort. Ann Neurol
2001; 49:336–44 27. Kurtz Z, Tookey P, Ross E. Epilepsy in young people: 23 years followup of The British National Child Development Study. BMJ 1998;
316:339-42
44:1553-62 11. Arts WFM, Geerts AT, Brouwer OF, et al. The early prognosis of epilepsy in childhood: The prediction of poor outcome. The Dutch Study of Epilepsy in Childhood. Epilepsia 1999; 40:726-34
12. Cockerell OC, Johnson AL, Sander JWAS, et al. Prognosis of epilepsy: a review and further analysis of the rst nine years of The British National General Practice Study of Epilepsy. A prospective population based study. Epilepsia 1997; 38:31-46
28. Camfeld CS, Camfeld PR, Veugelers PJ. Death in children with epilepsy: a population-based study. Available from: http://image.
thekancet.com/extras/01art3267web.pdf 29. Leetsma JE, Annegers JF, Brodie MJ, et al. Sudden unexplained death in epilepsy: observations from large clinical development program. Epilepsia 1997; 38: 47-55
30. Placencia JG. Epilepsy in childhood, brain and mind magazine. Brazil: State University of Campinas; 1997
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
137
TINJAUAN PUSTAKA
Rinitis Hipertrof i Delfitri Munir
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
Abstrak. Proses infeksi dan iritasi yang kronis akan dapat menyebabkan hipertrofi konka nasalis. Septum deviasi juga dapat menyebabkan penyakit ini secara kontralateral. Gejala utama rinitis hipertrofi adalah hidung tersumbat. Keadaan ini memerlukan tindakan koreksi karena pengobatan dengan medikamentosa saja sering tidak memberi hasil yang memuaskan. Tindakan yang paling ringan seperti kauter sampai pemakaian laser dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan hidung tersumbat akibat hipertrofi konka. Kata kunci: Hipertrofi konka, conchotomy, turbinoplasty
Etilogi Penyebab umum konka hipertrofi adalah infeksi hidung berulang, sinusitis kroni, iritasi kronis mukosa hidung karena rokok dan bahan-bahan iritan industri. Penggunaan tetes hidung yang berkepanjangan, rinitis alergi, dan rinitis vasomotor juga dapat menyebabkan penyakit ini. Pada kasus septum deviasi, di mana pada sisi hidung kontralateral dapat terjadi hipertrofi konka inferior dan media yang merupakan mekanisme kompensasi untuk mengurangi luasnya rongga hidung.1,2
bentuk menjadi epitel kuboid bertingkat serta bertambahnya sel goblet. Pada submukosa terjadi edema, infiltrasi sel bulat dan sel plasma serta fibroblas. Rongga pleksus kavernosus makin melebar sementara otot polosnya mengalami atrofi. Periosteum menebal dan terbentuk tulang baru di bawahnya akibat aktivitas osteoblas. Bentuk papiler akan tampak pada ujung posterior bagian bawah konka inferior dan mediae, seperti buah murbei yang terbentuk akibat lekukan penebalan mukosa oleh duktus kelenjar dan infiltrasi sel sekitar kelenjar.1,3
Patogenesis Beberapa faktor yang mempengaruhi membran mukosa hidung antara lain suhu udara, kelembaban dan polusi akan merangsang kelenjar di hidung menjadi hiperaktif. Hal ini juga dapat ditimbulkan oleh rangsangan akibat asap rokok, parfum, bau-bauan yang mengiritasi, dan gangguan vasomotor. 3 Akibat rangsangan yang berlangsung lama dan berulang, mukosa konka akan menebal dan terjadi pelebaran pembuluh darah mukosa terutama pleksus kavernosus konka. Lama kelamaan epitel akan kehilangan silia dan berubah
Gejala dan Tanda Klinis Gejala utama konka hipertrofi adalah sumbatan hidung.2,4,5 Sekret hidung biasanya banyak, kental dan mukopurulen. Beberapa penderita mengeluhkan sakit kepala, rasa berat di kepala, dan gangguan penghidu. 2 Pada stadium awal dari pemeriksaan tampak membran mukosa membengkak dan merah kemudian terjadi konka hipertrofi. 5 Mukosa konka lebih tebal dan tidak melekuk bila ditekan. Hipertrofi dapat terjadi pada seluruh ataupun sebagian konka inferior, dan dapat pula terjadi pada konka media walaupun jarang. 2,6
138
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry. Anamnesis yang cermat mengenai riwayat hidung tersumbat sebagai akibat hipertrofi konka. Keluhan lain dapat berupa sakit kepala, gangguan penghidu, rasa kering dan kasar pada faring. Keluhan ini dapat diikuti dengan adanya post nasal drip, sekresi hidung yang berlebih serta gangguan fungsi tuba3,4. Pemeriksaan klinis dengan rinoskopi anterior dapat menilai ukuran konka dengan memperhatikan septum nasal dan dinding lateral rongga hidung. Bila perlu dapat diberikan obat vasokonstriktor lokal agar diperoleh jangkauan pandang yang lebih luas. Pada rinoskopi posterior dapat dinilai batas pemisah konka kanan dan kiri serta ujung posterior konka inferior dan mediae. Pemeriksaan radiologi tidak mutlak dilakukan untuk menilai sumbatan hidung. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai besar konka dibandingkan rongga hidung. Dengan penataan tomografi posisi aksial dapat diperoleh gambaran anatomi yang jelas dari sumbatan pada hidung, dan pemeriksaan rhinomanometry dapat menentukan tahanan dalam rongga hidung dan besarnya aliran udara. 3 Penatalaksanaan Penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi faktor penyebab dan sumbatan hidung dengan mengurangi ukuran konka. 2 Terapi medikamentosa difokuskan pada kondisi yang menyebabkan rinitis hipertrofi. Pada rinitis alergi dapat diberikan glukokortikoid, untuk menurunkan permeabilitas kapiler, vasokonstriksi, serta mengurangi inflamasi dalam mukosa hidung. Juga dapat menggunakan antihistamin yang memblok pengambilan histamin oleh reseptor sel target dan dapat menghambat pelepasan mediator inflamasi. Obat-obat adrenergik seperti phenylamines dan imidazolines dapat mengurangi kongesti mukosa dan edema. Obat-obat adrenergik topikal dapat menyebabkan rebound nasal congestion, yang menyebabkan rinitis medikamentosa dan perubahan mukosa yang irreversibel. Sedangkan obat adrenergik oral dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskular pada pasien yang rentan, sehingga pemakaiannya harus hati-hati pada pasienpasien hipertensi, penyakit jantung koroner, atau stroke. Rinitis vasomotor dimana terdapat stimulasi parasimpatik yang berlebihan menyebabkan vasodilatasi, edema, dan hipersekresi mukus. Efek antikolinergik dari antihistamin dapat mengurangi produksi sekret hidung dan glukokortikoid topikal dapat mengurangi pelepasan mediator inflamasi. Ipratropium bromida topikal adalah agen antikolinergik yang dapat mengurangi sekresi kelenjar submukosa. 4 Penatalaksanaan Secara Bedah Tindakan reseksi konka inferior pertama kali dilaporkan tahun 1895, dan 5 tahun kemudian Holmes melakukan conchotomy terhadap 500 pasien. Namun waktu itu masih
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
banyak yang mengalami komplikasi pasca operasi seperti perdarahan, infeksi, hidung kering, krusta, dan adhesi. 7 Walaupun beberapa pakar memperoleh hasil perbaikan yang bermakna secara subjektif maupun objektif, namun cara ini masih menjadi perdebatan mengingat komplikasi yang timbul pasca bedah.3 Beberapa peneliti mengajukan indikasi operasi antara lain sumbatan hidung yang menetap akibat hipertrofi konka yang gagal diobati dengan terapi lokal atau sistemik, hipertrofi konka akibat rinitis alergi atau vasomotor, iritasi lama dan koreksi deviasi septum.2,4 Teknik Operasi Beberapa cara dan teknik operasi konka telah diajukan oleh para ahli THT yang bertujuan untuk mengatasi sumbatan hidung. Masing-masing cara dan teknik operasi tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. 4,8 Beberapa teknik operasi yang dapat digunakan adalah: Kauterisasi konka dengan zat kimia Kauterisasi konka dengan zat kimia adalah teknik yang paling sederhana. Zat kimia yang biasanya digunakan adalah nitras argenti atau asam triklor asetat. Bahan kimia ini dioleskan sepanjang konka yang mengalami hipertrofi. 5 Conchotomy inferior total Letakkan gunting konka dengan satu mata pisau di bawah konka dan yang lain diatasnya, lepaskan jaringan tulang dan jaringan lunak konka. Elektrokauter dapat dilakukan pada sisi pemotongan untuk menghentikan perdarahan, diikuti dengan tampon hidung. Keuntungan utama teknik ini adalah ditujukan pada hipertrofi tulang maupun mukosa sepanjang konka. Kerugiannya adalah risiko perdarahan dan krusta pasca operasi.4 Conchotomy inferior parsial Diletakkan elevator di bawah konka kemudian patahkan ke medial, lalu letakkan klem lurus sepanjang permukaan anterior inferior konka yang akan dibuang. Klem dibiarkan dulu sedikitnya satu menit untuk hemostatis dan memungkinkan penilaian konka yang hipertrofi untuk reseksi. Gunakan gunting konka untuk mengeksisi jaringan tulang dan jaringan lunak sepanjang batas anterior inferior konka. Elektrokauter dapat dilakukan pada sisi pemotongan untuk hemostatis. Keuntungan dengan cara ini adalah pembuangan langsung tulang dan mukosa yang hipertrofi. Kerugiannya adalah perdarahan serta terbentuknya krusta. 4 Reseksi parsial konka inferior dengan endoskopi adalah cara terbaik untuk memperbaiki obstruksi hidung akibat hipertrofi konka inferior.9
Turbinoplasti inferior Gunakan elevator untuk mematahkan dan mengge rakkan
139
TINJAUAN PUSTAKA konka inferior.4 Lalu dibuat insisi sepanjang ujung anterior konka pada insersi lateral, kemudian diperpanjang ke bawah sampai setengah panjang anterior konka. 10 Buat sebuah liang dengan elevator Freer sepanjang tulang konka ke arah posterior sejauh mungkin kemudian eksisi tulang konka dengan menggunakan senar. Gulung flap mukoperiosteal yang tersisa dari medial ke lateral untuk membentuk konka baru dan letakkan tampon yang dilepaskan setelah 24 jam.4,10 Tujuan teknik ini adalah mengangkat tulang tetapi menyisakan bagian medial dan beberapa permukaan lateral mukosa.8 Keuntungan teknik ini adalah risiko perdarahan dan krusta lebih sedikit daripada teknik bedah reseksi lain nya. Prosedur ini menyisakan sebagian mukosa konka dan lebih ditujukan pada obstruksi konka bagian posterior.4 Reseksi submukosa Insisi sepanjang permukaan inferior konka, kemudian elevasi bagian medial dan lateral flap mukoperiosteal ke arah superior dan inferior untuk mendapatkan tulang konka. Lalu reseksi bagian tulang dari sepertiga anterior konka. Variasi instrumen seperti gunting, takahashi forceps, rongeurs dapat digunakan, dan buang sisa- sisa fraktur pada posterior. Turunkan kembali flap mukoperiosteum, kemudian tampon dapat diletakkan untuk fiksasi flap selama fase penyembuhan. 4,11 Pelepasan konka bagian tulang memungkinkan konka inferior mengarah ke lateral secara alami. Keuntungan teknik ini adalah risiko perdarahan dan krusta lebih sedikit daripada teknik bedah reseksi lainnya serta menyisakan sebagian mukosa konka. Kerugiannya adalah sulit dilakukan dan tidak ditujukan untuk konka bagian posterior bila obstruksi. 4 Diatermi submukosa Diatermi submukosa konka inferior mulai populer sejak 1989, walaupun sudah pernah dilaporkan pada tahun 1987. Diyakini bahwa arus koagulatif menghasilkan nekrosis jaringan dan fibrosis yang terjadi menyebabkan penyusutan dari jaringan lunak konka. Keuntungannya adalah penyembuhan biasanya lebih cepat dan banyak ahli menggunakan diatermi submukosa sebagai pilihan karena komplikasi yang relatif sedikit. Di samping itu dapat dilakukan dengan anestesi lokal, peralatan tidak mahal dan aman, namun tidak efektif untuk jangka panjang.7 Outfracture lateral Letakkan elevator Freer atau Boise di bawah konka kemudian tulang konka dipatahkan ke arah atas dan medial. Lalu elevator diletakkan di atas permukaan medial konka dan diberikan tekanan untuk mematahkan konka ke arah luar. Dipastikan bahwa fraktur tulang konka di seluruh panjangnya. Tampon biasanya tidak dibutuhkan tapi dapat berguna untuk mempertahankan konka ke lateral. 4,11 Tindakan ini mengurangi ukuran konka dan volume rongga hidung menjadi lebih luas. Keuntungan cara ini adalah
140
komplikasi seperti perdarahan lebih sedikit serta lebih sedikit krusta pasca operasi. Kerugiannya adalah tid ak ditujukan pada hipertrofi mukosa konka, serta perbaikan aliran udara hidung hanya sementara bila hanya prosedur in i yang dilakukan. Bila dilakukan dengan teknik lain yang mengurangi hipertrofi mukosa, dapat diperoleh pengurangan obstruksi rongga hidung yang lebih efektif.4 Pematahan multipel tulang konka submukosa Teknik operasi pematahan multipel tulang konka submukosal ini merupakan modifikasi dari simple out-fracture konka. Dengan cara ini mukosa tidak dilukai, dan dilakukan lateralisasi tulang konka, sehingga terbentuk jaringan ikat submukosa, dan setelah osteoklas bekerja, diharapkan fragmen tulang yang dipatahkan semakin mengecil. Operasi dapat dilakukan dalam narkosis atau dapat juga dengan anestesi lokal. Persiapan operasi dengan pemberian vasokonstriksi lokal sangat membantu yaitu dengan pemasangan tampon hidung dengan lidokain 2% dan adrenalin 1:200.000. Untuk mengurangi perdarahan pada awal tindakan dilakukan infiltrasi submukosa konka dengan campuran larutan adrenalin 1:200.000 pada bagian anterior konka sampai menyentuh tulang konka. Dilakukan insisi tegak lurus pada daerah tusukan infiltrasi lebih kurang 0,5 cm agar respatorium dapat dimasukkan. Bebaskan permukaan medial tulang konka dari jaringan lunak dengan menggunakan respatorium konka sampai ke posterior. Pematahan tulang konka secara berulang dimulai dari bagian posterior maju setiap 0,5 cm ke arah anterior sehingga terdapat 6-8 fragmen patah tulang konka. Perdarahan yang terjadi biasanya tidak banyak dan dipasang tampon anterior untuk dipertahankan 3 hari. Keuntungan teknik operasi ini ialah caranya mudah, waktu operasi si ngkat dan penyulit saat operasi serta dampak pasca operasi sangat minimal. Kerugian teknik ini memerlukan kehati-hatian pada waktu melepas tulang konka dengan jaringan lunak konka agar tidak robek karena dilakukan dengan metode buta. 3 Elektrokauter Elektrokauter dapat dilakukan dengan kontak linear mukosa atau submukosa. 4,11 Untuk kauter permukaan, elektrode kabel atau jarum dapat digunakan. Kauter submukosa dapat dilakukan dengan elektrode unipolar atau bipolar yang menginduksi fibrosis dan kontraktur yang menghasilkan pengurangan volume. Teknik unipolar menyebabkan koagulasi jaringan di sekeliling elektrode, sedangkan teknik bipolar menghasilkan koagulasi nekrosis di antara jarum elektrode. Pada teknik bipolar, masukkan ujung kauter konka bipolar ke dalam konka anterior inferior lalu berikan arus. Pada teknik unipolar, masukkan jarum spinal 22 sepanjang tepi konka anterior inferior lalu berikan arus, biasanya dengan unit elektrokauter Bovie. Hindari kontak dengan ala, kolumela atau septum, yang dapat menyebabkan luka jaringan perifer. Hindari pula kontak langsung dan
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA kauterisasi tulang konka karena dapat menyebabkan nekrosis tulang. Keuntungan cara ini risiko perdarahan rendah sedangakan kerugiannya adalah krusta pada tempat insersi kauter dan sering terjadi edema konka pada minggu pertama pasca operasi.4 Ablasi frekuensi radio Ablasi frekuensi radio menghasilkan perubahan ionik pada jaringan dan menginduksi nekrosis jaringan. Fibrosis submukosa yang dihasilkan melengketkan mukosa ke periosteum konka, mengurangi aliran darah ke konka. Kontraktur yang terjadi menyebabkan reduksi volume konka inferior tanpa kerusakan pada mukosa diatasnya. Suhu t arget dapat diatur pada 60-90 oC untuk menghindarkan kerusakan jaringan sekitar. Sebelum operasi berikan lidokain 4% topikal sepanjang konka, dan kemudian disuntikkan lidokain 1-2%. Injeksi lidokain dengan epinefrin (1:100.000) juga dapat dipakai. Ujung probe dimasukkan ke bagian anterior dan sepanjang pertengahan konka. Jumlah energi yang diberikan pada konka inferior bervariasi. Generator frekuensi radio memungkinkan pengaturan suhu target, besar arus, lama pemberian arus, dan total energi yang diberikan. Pemberian sampai sebesar 900 Joule per konka (pada dua lokasi probe yang berbeda pada konka) telah dilaporkan tanpa menyebabkan nekrosis mukosa. 4 Keuntungan teknik ini adalah mempertahankan mukosa, mengurangi risiko perdarahan dan pembentukan krusta pasca operasi.4,12 Prosedur ini juga dapat dilakukan dengan anestesi lokal di klinik dan dapat diulangi bila hasil yang optimal belum diperoleh. 4 Cryosurgery Cryosurgery menyebabkan pembentukan kristal es intraselular, menghasilkan denaturasi protein inti dan membran sel. Hal ini menyebabkan destruksi membran sel, trombosis pembuluh darah, iskemia jaringan, dan destruksi jaringan. Peralatan yang digunakan adalah unit cryosurgery nitrous oxide. Letakkan cryoprobe pada permukaan konka dan turunkan suhu serta bekukan permukaan kontak. Suhu yang digunakan antara -45 sampai - 85 oC. Lindungi alanasi, kolumela dan septum dari kontak dengan ujung probe untuk menghindari kerusakan jaringan tersebut. Keuntungan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan anestesi lokal pada klinik. Sedangkan kerugiannya adalah penyembuhan yang lama sehingga membutuhkan waktu sampai 6 minggu. 4
Laser conchotomy Laser conchotomy yang digunakan adalah laser CO2, Nd: YAG ( neodymium: yttrium-aluminium-garnet) dan dioda. Jaringan divaporisasi sepanjang ¼ sampai ½ bagian anterior inferior konka.4 Teknik laser CO 2 melibatkan penggunaan beberapa titik laser (densitas energi laser 6.100 Joule/cm2 per lesi) pada puncak konka di bawah mikroskop operasi. Pada prosedur laser Nd:YAG, radiasi tenaga rendah (densitas
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
energi laser <53 kJ/cm2 per lesi) pada seluruh konka dilakukan dengan kontrol endoskopi. Prosedur laser CO 2 menyebabkan sedikit perdarahan dan hampir tidak sakit. Prosedur ini menghasilkan efek positif setelah beberapa hari dan tidak membutuhkan pengobatan lanjutan. Sebaliknya, keberhasilan prosedur Nd:YAG tampak jelas setelah beb erapa minggu atau bulan, karena proses pembentukan parut yang lambat.13 Keuntungan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan anestesi lokal pada klinik. Kemampuan hemostatis dari laser mengurangi risiko perdarahan sehingga tidak diperlukan pemakaian tampon. Kerugiannya adalah krusta dapat terjadi pasca operasi. 4 Dibandingkan dengan diatermi submukosal, kedua metode laser memberikan hasil jangka panjang yang lebih baik. Angka keberhasilan dua tahun pasca operasi adalah sebesar 79,6% untuk laser CO 2, 68,3% untuk laser Nd:YAG, dan 36% untuk diatermi submukosal. 13 Argon plasma surgery Elektrokoagulasi frekuensi tinggi ini dapat dilakukan tanpa kontak jaringan dan arus berasal dari gas argon yang terionisasi. Probe argon plasma koagulator memiliki lubang pada sisinya lewat mana gas argon dikeluarkan dengan kuat. Titik akhir ditandai dengan permukaan konka inferior berubah warna menjadi putih. Penelitian selama satu tahun oleh Fuzakawa et al (2001) menunjukkan 63,3% pasien mengalami perbaikan kongesti konka inferior. Sebanyak 75% pasien mengalami perbaikan gejala hidung tersumbat. Namun teknik ini baru dikembangkan dan informasi jangka panjang belum ada saat ini.4 Power microdebrider Power microdebrider merupakan metode yang aman, sederhana dan efektif untuk penatalaksanaan rinitis hipertrofi kronis. Teknik ini terutama berguna sebagai tambahan pada septoplasti endoskopi atau sinosurgery, dan merupakan pilihan bedah dengan teknik invasif minimal. Namun, studi lebih lanjut dengan desain prospektif dibutuhkan untuk memperkuat bukti yang telah ada. 14 Coblation Prosedur ini menggunakan Coblation-Channeling untuk sekaligus membuang dan menyusutkan jaringan submukosa. Teknik ini menciptakan kanal dengan mengablasi jaringan. Untuk penyusutan jaringan, lesi nekrotik submukosa diciptakan di sekitar kanal tersebut. Terapi ganda ini menyebabkan pengurangan obstruksi hidung yang segera. 14
Pasca operatif Bila dilakukan reseksi tulang atau mukosa, tampon pasca operasi harus diberikan, yang biasanya dilepaskan dalam 24 jam pascaoperasi. Perdarahan pasca-operatif biasanya dapat diatasi dengan dekongestan topikal, bahan hemostatik seperti surgical, atau tampon hidung. Perdarahan yang menetap
141
TINJAUAN PUSTAKA mungkin membutuhkan operasi ulang dan mungkin juga dibutuhkan endoskopi.4 Penatalaksanaan Lanjutan Beritahukan pasien untuk menghindari mengangkat beban berat atau aktivitas berat selama beberapa minggu setelah operasi (biasanya 2-3 minggu). Selama itu pasien juga harus menghindari obat-obatan dengan efek antikoagulasi. Cuci hidung dengan NaCl harus digunakan untuk meminimalkan kekeringan hidung dan krusta pasca operasi. Hal ini harus dilanjutkan sampai mukosa sembuh sempurna, kemudian pengobatan lanjutan seperti glukokortikoid topikal dapat dilanjutkan.4 Komplikasi Pasca operasi Perdarahan Komplikasi ini adalah yang paling sering terjadi dengan insidensi sebesar 1% sampai 2%. Umumnya perdarahan berhenti secara spontan dalam beberapa hari. Dapat pula terjadi perdarahan berat yang membutuhkan transfusi, dengan insidens sebesar kurang dari 1%. Perdarahan ditangani dengan cara yang sama dengan penanganan epistaksis. Bila setelah beberapa lama perdarahan belum berhenti, sumber perdarahan harus dicari. Tampon yang ada harus dikeluarkan dari hidung dan klot darah diisap, lalu diberikan nasal dekongestan topikal dengan menggunakan kapas.11 Jaringan parut Pembentukan synechia dari konka inferior sampai ke septum atau konka media jarang terjadi pasca turbinektomi. Namun dapat juga terjadi bila mukosa septum terkelupas di dekat tepi konka setelah reseksi. Akan terjadi clot darah diantaranya yang kemudian akan membentuk synechia. Kemungkinan pembentukan synechia sulit diprediksi, namun dapat dicegah bila dilakukan monitoring yang tepat pasca operasi. Bila synechia sudah terbentuk, penanganan tergantung pada gejala yang timbul. Umumnya jaringan parut ini perlu dibuang, namun dengan hanya menginsisi synechia saja kurang efisien. Hampir semua kasus membutuhkan eksisi dari kedua permukaan mukosa. 11 Rinitis atrofi Fungsi utama hidung dalam pernapasan adalah melembabkan udara yang dihirup untuk melindungi saluran napas bagian bawah. Pembuangan yang berlebihan dari mukosa hidung akan menyebabkan gangguan fungsi hidung. Pada keadaan berat, dapat terjadi rinitis atrofi. Keadaan ini ditandai dengan pembentukan krusta hidung yang besar dan terus-menerus. Hal ini menyebabkan infeksi sekunder dan peradangan kronis pada mukosa hidung. Bila terjadi rinitis atrofi, belum ada metode yang direkomendasikan untuk penanganannya. Dapat dilakukan pembersihan hidung dan pembuangan krusta setiap hari. Irigasi dengan
142
NaCl fisiologis dua kali sehari, spray NaCl setiap beberapa jam, dan penggunaan pelembab ruangan pada malam hari adalah langkah-langkah awal. Antibiotik dapat digunakan sementara, namun tidak memperbaiki keluhan untuk jangka panjang. Pada keadaan berat, tindakan bedah untuk me nutup atau menyempitkan hidung mungkin berguna.11,15 Daftar Pustaka 1. Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Hall & Colman’s, Diseases of the Nose, Throat and Ear. 14th ed. London:Churchill Livingstone; 1992.p.24-5 2. Dhingra PL. Acute and chronic rhinitis. In: Diseases of Ear, Nose, and Throat. 3rd ed. New Delhi:Elsevier; 2004.p.190 3. Lufti H, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Pematahan multipel tulang konka submukosal pada hipertro konka inferior. In: Kumpulan Naskah
Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok Indonesia. Batu-Malang; 1999.p.715-9 4. Whitaker E. Rhinoplasty, turbinate reduction. Available from url: http:// www.emedicine.com/plastic/topic101.htm. 2002 5. Mangunkusumo E, Rifki N. Infeksi hidung. In: Soepardi EA, Iskandar N (Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI: Jakarta; 2001.p.111-2 6. Jones AS. Intrinsic rhinitis. In: Kerr AG (Ed). Scott Brown’s Otolaryngology, Laryngology and Head and Neck Surgery. 6th ed. Great Britain: Butterworth-Heinemann; 1997.p.10-4 7. Fradis M, Golz A, Danino J, et al. Inferior turbinectomy versus submucosal diathermy for inferior turbinate hypertrophy. Annals
of Otology Rhinology & Laryngology 2000; 109:1040-5 8. Mackay IS. Surgical treatment. In: Mygind N, Naclerio (Ed). Allergic and Non Allergic Rhinitis. Coppenhagen: Munksgaard; 1993.p.150-1 9. Carbonell CJ, Bleda VC, Canovas LD, et al. Endoscopic surgery of turbinates and nasal obstruction. An Otorrinolaringol Ibero Am 1997; 24:151-60 10. Mabry RL, Marple BF. Management of the obstructing inferior turbinate. In: Schaefer SD (Ed). Rhinology and Sinus Disease.
Mosby:St Louise; 1998.p.69-73 11. Marks SC. Surgery for inammatory conditions. In: Nasal and Sinus Surgery. Philadelphia:WB Saunders Company;2000.p.110-5 12. Powell NB, Zonato AL, Weaver EM. et al. Radiofrequency treatment of turbinate hypertrophy in subjects using continuous positive airway pressure: A randomized, double-blind, placebo-controlled clinical pilot trial. Laryngoscope 2001, Vol. 111: 1783-90
13. Lippert BM, Werner JA. Comparison of carbon dioxide and neodymium: yttrium-aluminium-garnet lasers in surgery of the inferior turbinat e (Abstract). Ann Otol Rhinol Laryngol 1997; 106:1036-42
14. Lee CF, Chen TA. Power microdebrider-assisted modication of endoscopic inferior turbinoplasty: A preliminary report. Chang
Gung Med J 2004; 27:359-65 15. Vining EM. Rhinitis. In: Bailey BJ (Ed). Otolaryngology Head and Neck Surgery. Vol I. 2nd ed. Philadelphia: Lippincot –Raven; 1998.p.395-6
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher FG Kuhuwael Subbagian Onkologi THT-KL Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin - Makassar
Abstrak. Di Amerika Serikat s etiap tahun ditemukan 78.000 orang didiagnosis menderita kanker kepala dan leher, dan 17.500 diantaranya meninggal karena penyakit tersebut.1 Di Indonesia belum ada angka insiden, namun frekuensi tumor ganas yang dilaporkan oleh bagian patologi, Badan Registrasi Kanker Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI mendapatkan urutan ke empat dari sepuluh besar keganasan pada laki-laki dan perempuan serta urutan ke dua dari sepuluh keganasan pada laki-laki.3 Dengan pengenalan tumor secara dini, diagnosis dan pengobatan yang dilakukan akan memberi harapan terhadap peningkatan survival dan perbaikan fungsi, namun kenyataannya harapan hidup tidak meningkat dalam 30 tahun terakhir dimana 33% penderita mati karena kankernya. Hal ini banyak berhubungan dengan diagnosis yang terlambat dan penanganan awal yang tidak adekuat, dengan demikian penting sekali bagi ahli bedah kepala leher untuk mengenal proses penyakit ini lebih dini dan mempersiapkan rencana pengobatan yang baik. Perencanaan ini dimulai dari evaluasi awal dan berlanjut terus selama kehidupan penderita dan hal ini melibatkan pendekatan multidisiplin.2-5 Kata Kunci: Penatalaksanaan, kanker kepala dan leher
Pendahuluan Kanker kepala dan leher jarang ditemukan sebelum abad XVII diduga karena hanya sedikit manusia yang hidup melewati umur 50 tahun, dan penggunaan tembakau belum popular sampai kira-kira tahun 1.700 Masehi. 1 Walaupun peringatan terhadap bahaya tembakau dan alkohol telah ditingkatkan, namun hal ini tetap menjadi kontributor utama terhadap insiden kanker kepala dan leher di Amerika Serikat. 1,2 Keganasan pada kepala dan leher meliputi berbagai jenis neoplasma yang secara spesifik mengenai traktus aerodigestive; yang letaknya dari atas ke bawah mulai dari dasar tengkorak sampai ke bagian bawah laring; dan dari anterior-posterior mulai kavum nasi anterior dan bibir sampai ke posterior faring. Sehingga keseluruhan meliputi kavum nasi, faring, laring dan kelenjar liur, kavum oris. 2,3 Adanya kesamaan etiologi, cara penyebaran, metode pemeriksaan, pengobatan dan rehabilitasi maka tumor-tumor di kepala dan leher dikelompokan menjadi satu kategori.2-4 Pengenalan tumor secara dini, diagnosis dan pengobatan telah memberi harapan terhadap peningkatan survival dan perbaikan fungsi, namun kenyataannya harapan hidup tidak meningkat dalam 30 tahun terakhir di mana 33% penderita mati karena kankernya. Hal ini banyak berhubungan dengan diagnosis yang terlambat dan penanganan awal yang tidak adekuat, dengan demikian penting sekali bagi ahli bedah
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
kepala leher untuk mengenal proses penyakit ini lebih dini dan mempersiapkan rencana pengobatan yang baik. Perencanaan ini dimulai dari evaluasi awal dan berlanjut terus selama kehidupan penderita dan hal ini melibatkan pendekatan multidisiplin. 2-5 Epidemiologi Di Amerika Serikat setiap tahun ditemukan 78.000 orang yang didiagnosis menderita penyakit kanker kepala dan leher dan 17.500 diantaranya meninggal karena penyakit tersebut. Karsinoma sel skuamos pada kepala dan leher menempati urutan ke 6 dari keganasan di seluruh dunia, dengan insiden 2 persen pada laki-laki dan 0,6 persen pada wanita, pada negara berkembang penyakit ini lebih sering ditemukan dengan insiden setahun di seluruh dunia lebih dari 500.000 kasus dalam setahun.2,5 Di Indonesia belum ada angka insiden, namun frekuensi tumor ganas yang dilaporkan oleh bagian patologi Badan Registrasi Kanker Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI mendapatkan urutan ke empat dari sepuluh besar keganasan pada laki-laki dan perempuan serta urutan ke dua dari sepuluh keganasan pada laki-laki. 3 Pada RSU Dadi dan RSU Dr Wahidin selama periode 10 tahun (1990-1999) ditemukan 570 kasus keganasan kepala dan leher yang terdiri dari Karsinoma nasofaring 274 kasus
143
TINJAUAN PUSTAKA (47,98%), hidung dan sinus paranasalis 114 kasus (19,96%), tonsil 59 kasus (10,33%), laring 43 (7,72%) dan rongga mulut 40 kasus (7%) sedangkan tumor-tumor yang lain mempunyai frekuensi yang lebih jarang. Dari tahun ke tahun tampak ada peningkatan dari kasus-kasus kanker kepala dan leher. 6 Insiden meningkat sesuai dengan umur, umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun, dengan ratio antara laki-laki dan perempuan 4-5:1. Namun dengan meningkatnya kebiasaan merokok pada wanita maka ratio ini menurun menjadi 3: 1 sejak 5-10 tahun lalu. Selain itu alkohol juga mempunyai pengaruh yang sama dan berpotensi lebih cepat pada mereka yang merokok. Kebiasaan merokok dan minum alkohol ditemukan pada 80% penderita kanker kepala leher dan menempatkan mereka 15 kali lebih besar ke resiko kanker dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan minum alkohol. Pemakaian smokeless tobacco sangat berhubungan dengan lesi premalignan pada kavum oris seperti hiperkeratosis, displasia epitel.2,4,5 Faktor diet tampaknya memegang peran penting terhadap risiko kanker oral dan faringeal. Sejumlah studi epidemiologi menunjukkan resiko yang meningkat pada mereka dengan diet nutrien yang tidak mencukupi seperti defisiensi vitamin B, riboflavin, vitamin C. Karsinogen berupa debu kayu, penyamakan kulit, nikel, radium, toratrasi dan gas mustard berperan pada kanker hidung dan sinus paranasalis.4,5 Biologi Penyebab pasti terjadinya kanker belum diketahui, namun terjadinya kanker dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga disebut sebagai “multifaktorial karsinogenesis” yang proses terjadinya bertahap “multistep karsinogenesis”.2-4,7,8 Permukaan mukosa dari traktus respiratoris bagian atas, paru-paru dan esofagus dapat terpapar berulang-ulang dengan karsinogen yang sama misalnya tembakau dan alkohol. Tumorigenesis atau karsinogenesis pada traktus aerodigestive dipercaya sebagai proses multistep dimulai oleh kerusakan genetik akibat pemaparan karsinogen yang kontinu. Perubahan genetik yang spesifik berupa aktivasi onkogen (misalnya Cyclin D1), inaktivasi atau mutasi dari tumor suppressor gen (misalnya p53) dan amplifikasi dari faktor pertumbuhan dan reseptornya. Perubahan-perubahan gen spesifik ini akan berakibat perubahan fenotipe dari diferensiasi atau proliferasi atau keduanya. Tumor suppresor gen p53 berlokasi pada kromosom 17 merupakan gen yang sangat lengkap diamati pada neoplasia kepala dan leher serta kanker lain. 2,4,8 Mutasi dan over ekspresi dari p53 terjadi pada 40-60% penderita kanker dan berhubungan dengan prognosis yang jelek dimana penderita mengalami rekurensi yang lebih cepat. Di samping itu dengan melakukan pemeriksaan mutasi gen pada tumor margin penderita maka, dapat mengidentifikasi adanya rekurensi lokal tumor, sehingga pemberian ajuvan terapi bisa dilakukan. Telah diketahui pada 37% orang yang merokok mengalami mutasi dan bila disertai dengan alkohol
144
meningkat menjadi 58%.2,4,8 Lesi neoplastik yang multipel dapat muncul dan menjadi progresif pada penderita yang sama secara simultan atau sekuensial dalam suatu proses yang disebut field cancerization. Metachronous second primary tumor berkembang pada 4-7% umumnya adalah skuamous sel dapat terjadi pada daerah yang terpapar karsinogen traktus aerodigestive. .2-4,8 Evaluasi Penderita Evaluasi penderita saat pertama berkunjung ke klinik atau rumah sakit merupakan hal yang sangat penting bukan hanya dalam memperoleh informasi yang relevan tetapi juga untuk membangun rasa kepercayaan penderita. Faktor kedua ini sering kurang diperhatikan di mana dokter dan penderita memulai hubungan seumur hidup dalam perjuangannya melawan penyakit. Pada saat penderita ditemukan, hal-hal yang penting untuk dievaluasi meliputi: riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik, diagnosis banding, dan penilaian terhadap temuan yang diperoleh. Riwayat penyakit2,4,5 Memperoleh informasi yang berhubungan dengan gejala dan tanda kanker kepala leher perlu dilakukan. Juga karakteristik dari proses penyakit apakah lamban atau agresif, letak maupun perluasan tumornya. Penderita ditanya mengenai faktor resiko potensial kanker kepala leher seperti merokok dan minum alkohol, di mana resikonya 15 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan tidak minum alkohol. Selain itu faktor risiko lain yang kurang diketahui seperti a) sinar ultra violet, radiasi ion terhadap kanker kulit; b) debu kayu, penyamakan kulit, pemurnian nikel, radium, torathrust dan gas mustad terhadap kanker hidung dan sinus paranasal; c) ikan asing, nitrosamin, Ebstein barr virus, defisiensi vitamin C terhadap kanker nasofaring; d) pinang, mengunyah tembakau, sifilis, defisiensi vitamin B dan riboflavin dan iritasi kronis terhadap kanker kavum oris; e) asbestos, coke oven, debu kayu, defisiensi riboflavin terhadap kanker laring. Setelah itu ditanyakan juga riwayat penyakit sebelumnya, operasi sebelumnya dan aktivitas penderita sehari-hari untuk mengetahui performance status. Tanda dan gejala yang menunjukkan kanker kepala dan leher: Odinofagi Disfagi Kehilangan berat badan Gigi yang tanggal Foetor ex ore Trismus Otalgia Tumor koli
DEXA MEDIA
Obstruksi nasi Blood stained rhinorhoe-Epistaksis Parestesi/nyeri fasial Defomitas wajah Neuropati kranial Suara serak Stridor/sesak Sefalgia
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA Pemeriksaan Fisik1,2,5 Setelah riwayat penyakit yang lengkap diperoleh, tahap berikut adalah melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang adekuat pada kepala dan leher sering sulit dilakukan, karena traktus aerodigestif tidak dapat dilihat secara langsung. Ini membutuhkan ketrampilan tertentu dan dengan instrumen khusus. Inspeksi pada seluruh permukaan mukosa kavum nasi, mulut, orofaring, nasofaring, hipofaring dan laring harus diperhatikan. Juga diamati kulit dan kulit kepala, keadaan nervi kranialis. Palpasi pada tumor untuk mengetahui letak, besar, konsistensi, fiksasi pada kulit dan jaringan sekitarnya.
untuk memastikan diagnosa dan staging, dan mengetahui adanya synchronous primary tumor. Ini meliputi laringoskopi direkta, esofagoskopi dan trakeo-bronkoskopi. Endoskopi fleksibel dan biopsi kadang dapat dilakukan di poliklinik, tetapi tidak dapat mengganti endoskopi dan biopsi dengan anestesi umum. Biopsi yang adekuat harus dilakukan untuk memastikan diagnosis histopatologinya.
Pemeriksaan Tambahan 2,4,5 Pemeriksaan fisik mempunyai keterbatasan, sehingga dibutuhkan tambahan pemeriksaan tertentu untuk evaluasi penderita dengan lebih akurat. Tempat utama yang cenderung misdiagnosis yaitu tulang, jaringan lunak dan pembuluh darah besar yang dapat diin vasi oleh tumor. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiografi dan FNA. Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) akan memberikan informasi mengenai ukuran dan perluasan penyakit yang tidak dideteksi pada evaluasi awal. CT lebih superior dibandingkan dengan MRI pada kavum oris dan hubungan antara tulang dan jaringan lunak. Sebaliknya MRI dengan kontras untuk tumor orofaring dan laring. Selain terhadap tumor primer pemeriksaan radiografi ini bermanfaat pada occult nodal metastases, dimana CT dengan kontras dapat mendeteksi metastas e pada kebanyakan pengamatan. Namun dengan gabungan CT dan MRI dapat dideteksi metastase yang berukuran 6 mm dan perluasan ekstra kapsuler. Terhadap invasi pada pembuluh darah besar, MRI sangat akurat dalam menilai invasi pada arteri karotis. Pada saat ahli bedah kepala dan leher mendapa tkan bahwa ada keganasan melalui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, maka pemeriksaan keadaan umum penderita harus dievaluasi sebelum pemeriksaan panendoskopi. Kebanyakan kasus kanker kepala dan leher berumur lanjut, perokok dan minum alkohol, menyebabkan mereka peka terhadap penyakit lain yang serius. Pemeriksaan fungsi paru, berupa cadangan paru dengan menggunakan spirometer, maupun analisa gas darah. Pemeriksaan status kardiovaskular harus diketahui dengan baik sebelum penderita menjalani suatu tindakan. Pemeriksaan foto toraks dapat mengetahui keadaan paru maupun metastase. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui fungsi hati, ginjal, Hb, hemostasis. Menentukan status performance Karnosky scale untuk mengetahui tingkat gangguan penyakit terhadap penderita.
Karsinoma Nasofaring Lokasi nasofaring yang tersembunyi dibelakang rongga hidung cukup menyulitkan untuk dapat diperiksa secara rutin, kecuali dengan menggunakan endoskop. Letaknya ini pula menyebabkan pertumbuhan tumor pada stadium dini tidak diketahui atau tidak memberikan gejala yang khas. Umumnya karsinoma itu muncul pada fossa Rosenmuller sehingga bisa memberikan gejala pada telinga berupa oklusi tuba, rasa penuh, gangguan pendengaran, tinitus. Pada hidung memberikan keluhan berupa obstruksi nasi, epistaksis. Cepatnya penjalaran ke kelenjar limfatik menyebabkan keluhan pembesaran kelenjar leher di lateral atas (kelenjar jugularis profunda superior) sering merupakan keluhan utama yang mendorong penderita datang berobat pada kasuskasus yang kami temukan (80%). Perluasan ke intrakranial menimbulkan sefalgia, kelumpuhan nervi kranialis terutama N. VI dan N. V dengan gejala berupa diplopia dan parestesi pipi karena terjadi perluasan melalui foramen laserum. Dapat juga mengenai N. III, N. IV yang menimbulkan gejala optalmoplegia. Atau perluasan ke posterior yang mengenai N. IX, N. X dan XI. Metastasis jauh dapat terjadi pada tulang, paru, hepar.
Panendoskopi2,4,5 Panendoskopi merupakan tindakan operatif endoskopi
Karsinoma Kavum Oris Dibandingkan dengan keganasan pada regio kepala dan
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
Gambaran Klinik2,4-10 Penderita pada stadium awal memperlihatkan gejala yang samar-samar dan minimal. Kebanyakan kasus datang dengan keadaan locally advanced yang gejalanya bervariasi tergantung dari letak tumor tersebut.
Karsinoma Hidung/Sinus Maksilaris Sinus maksilaris merupakan lokasi yang sering dikenai tumor dibandingkan dengan sinus lainnya. Gejala dini tidak khas karena rongga sinus berada dalam tulang, namun biasanya diawali dengan blood stained rhinorrhoe. Kemudian obstruksi nasi yang progresif, rinore campur darah atau epistaksis dan foetor nasi. Pada wajah dapat ditemukan deformitas pada pipi, parestesi pipi. Pertumbuhan ke arah rongga mulut akan menimbulkan gejala penonjolan palatum dan alveolus serta gigi yang mudah tanggal, juga dapat terjadi trismus pada stadium lanjut. Adanya sumbatan pada duktus nasolakrimalis akan menimbulkan epifora, diikuti dengan proptosis dan diplopia menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan ke orbita. Pertumbuhan ke arah sinus etmoid dan sphenoid atau intrakranial akan menyebabkan angka rekurensi yang tinggi dan prognosis yang buruk.
145
TINJAUAN PUSTAKA leher yang lain, karsinoma kavum oris lebih muda untuk dilihat. Keluhan yang ditemukan berupa merasa terganggu dalam mulut, gangguan pergerakan dalam mulut, odinofagia, otalgia, disfagia, perdarahan dan bila telah terjadi perluasan tumor ditemukan trismus. Karsinoma Orofaringeal Gejala awal kurang dirasakan sehingga penderita sering terlambat. Umumnya terjadi pada tonsil dengan gejala disfagi, merasa benda asing, odinofagi, referred otalgia, disarthri dan trismus bila terjadi perluasan ke rongga pada faring disertai dengan penurunan berat badan. Pada tonsil tampak pembesaran yang unilateral, permukaan tidak rata, ulserasi. Karsinoma Laring Umumnya ditemukan pada glotik dibandingkan dengan supraglotik dan subglotik. Ditemukan keluhan suara parau yang diderita cukup lama, tidak bersifat hilang timbul walaupun sudah diobati, dengan kecenderungan bertambah berat, bisa disertai batuk dan hemptisis. Lambat laun akan diikuti oleh sumbatan pada jalan napas yang memberikan gejala stridor dan sesak. Pada karsinoma supraglotik sering memberikan pembesaran kelenjar limfejugularis profunda superior. Staging2,4 Staging pada karsinoma sangat sedikit mengalami perubahan dalam dekade terakhir. CT dan MRI secara umum telah diterima sebagai perangkat yang penting dalam penentuan clinical staging. Saat ini telah diperkenalkan pemeriksaan perubahan genetik pada pada sel di sekitar tepi tumor atau kelenjar yang memperlihatkan gambaran histopatologi normal. Analisis molekuler ini telah menunjukkan ramalan akan terjadinya rekurensi tumor, hal ini akan membantu klinisi dalam menentukan terapi. Staging kanker kepala dan leher didasarkan pada TNM staging system, yang diklasifikasikan sesuai letak anatomi dan perluasan penyakit. T (tumor) staging bervariasi letak tumor itu pada regio tertentu kepala leher sedangkan klasifikasi untuk lymph-node (N) dan distant metastases (M) seragam untuk semua tempat. TX T0 Tis T1 T2 T3
Tumor Primer tidak dapat ditemukan Tumor Primer tidak ada Karsinomia Situ Tumor berukuran < 2 cm Tumor berukuran > 2 cm terapi < 4 cm Tumor berukuran > 4 cm
Nx Pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan N0 Tidak ada pembesaran kelenjar limfe N1 Metastase kelenjar limfe tunggal < 3 cm ipsilateral N2a Metastase kelenjar limfe > 3 cm, < 6 cm N2b Metastase kelenjar limfe, multiple, ipsilateral, < 6 cm N2c Metastase kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, < 6 cm N3 Metastase kelenjar limfe > 6 cm
M1 Ada metastase jauh Stadium 0 I II III IV
Tis N0 M0 T1 N0 M0 T2 N0 M0 T1 N1 M0, T2 N1 M0, T3 N0-1 M0 T1-3, N2-3 atau T4 setiap N
Terapi2,4-7,9,10 Penanganan penderita kanker kepala dan leher membutuhkan kerjasama multidisiplin yang tergabung dalam suatu tim yang terdiri dari ahli bedah kepala leher, subspesialis lain seperti bedah saraf, bedah vaskuler, bedah plastik, anestesiologi; onkologi radiasi; onkologi medis; penyakit dalam; ners; rehabilitasi bicara dan menelan; audiologi; fisioterapi; psikiatri; bimbingan agama; nutrisi. Tujuan pengobatan pada kanker kepala dan leher menyembuhkan penderita dengan mempertahankan fungsi orofaringeal dan restorasi kosmetik yang bisa diterima. Pembedahan dan radioterapi merupakan terapi standard pada kebanyakan kasus kanker kepala dan leher. Sedangkan kemoterapi digunakan hanya pada penderita yang rekuren atau mengalami metastasis. Akhir-akhir ini kemoterapi mempunyai peranan penting pada kebanyakan penderita dengan locally advanced karsinoma laring yang menghindari laringektomi total, dimana diberikan kemoterapi diikuti oleh radioterapi. Pada penderita stadium awal I atau II, pembedahan atau radioterapi diberikan untuk tujuan kuratif, dimana lebih dari 80% penderita stadium I dan lebih dari 60% stadium II akan memperoleh kesembuhan. Pemilihan pengobatan tergantung dari lokasi tumor, pengalaman ahli bedah dan keinginan penderita. Pada stadium III dan kebanyakan stadium IV pembedahan diikuti oleh radioterapi dianggap sebagai terapi standard, kecuali penderita tidak dapat menjalani pembedahan atau lesinya unresectable. Pada kebanyakan kasus yang lanjut pengobatan kuratif ini, akan menimbulkan masalah-masalah kosmetik dan sosial serta hilangnya fungsi organ. Walaupun terapi lokal yang optimal, lebih dari 50% penderita stadium III dan IV akan mengalami rekurensi lokal dan regional dan hampir 30% mengalami metastase jauh. Karsinoma Nasofaring Terdapat 3 bentuk histopatologi KNF, yaitu tipe 1, karsinoma sel squamous berdiferensiasi; tipe 2, karsinoma sel squamous berkeratin; tipe 3, karsinoma tidak berdiferensiasi atau limfoepitelioma. Di Asia dan Afrika tipe 3 dan 2 sering ditemukan sementara di Amerika tipe 1 dan 2. Terapi KNF berbeda dengan kanker kepala leher yang lain karena tumor ini mempunyai karakteristik anatomi, biologis dan klinis yang unik. Radiasi tetap merupakan terapi utama. Pada T1 karsinoma sel squamous dan T1-T3 karsinoma tidak berdiferensiasi, radioterapi akan mengontrol lebih dari 90% kasus. Pada T2
M0 Tidak ditemukan metastase jauh 146
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA dan T3-T4 kontrol rate sekitar 75 dan 50%. Sementara itu pada pembesaran kelenjar limfe yang kurang dari 5 cm dapat dikontrol dengan radioterapi. Brakhiterapi dapat diberikan pada rekurensi lokal. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan pada kasus lanjut sebagai terapi adjuvant, dan telah diketahui dapat memberikan perbaikan hasil jangka panjang. Cisplatin dianjurkan untuk diberikan di samping yang lain seperti 5 fluorouracyl, epirubicin dan bleomicyn. Karsinoma Kavum Oris Umumnya terjadi pada 2/3 anterior lidah pada permukaan lateral dan ventral serta dasar mulut. Pengobatannya berhubungan dengan morbiditas yang mempengaruhi fungsi bicara dan menelan. Pembesaran kelenjar limfe tidak jarang ditemukan sekitar 40%. Pada stadium awal, T1 radioterapi dan pembedahan memberikan hasil yang sama, demikian juga pada T2 yang timbul pada dasar mulut dapat dilakukan pembedahan atau radioterapi saja. Pada lesi T2 yang berinvasi ke dalam maka radioterapi dilakukan bersama-sama pada daerah leher bilateral atau pembedahan meliputi hemiglosektomi dan deseksi leher selektif. Pada lesi ini brakhiterapi yang digabung dengan radiasi eksternal sama efektifnya dengan pembedahan. Pada rekurensi setelah radioterapi dilakukan pembedahan. Penyakit pada stadium yang lebih lanjut T3, T4 umumnya ditangani secara pembedahan diikuti dengan radioterapi. Pada stadium lanjut pemberian radioterapi saja dapat memberikan angka kegagalan yang tinggi. Karsinoma Orofaring Karsinoma tonsil T1 dan T2 dapat diberikan radioterapi atau pembedahan dengan hasil yang baik, dengan lokal kontrol 90% dan 80%. Pada lesi yang lebih besar atau lebih dalam radioterapi lebih disukai karena morbiditas pasca operasi. T3 tanpa pembesaran kelenjar radioterapi diberikan. Diseksi leher dilakukan bila N1 terhadap kelima zone kelenjar limfe. Pada N0 dapat dilakukan deseksi leher selektif zone 2-4. Tumor yang besar membutuhkan mandibulotomi dan rekonstruksi dengan jabir myokutaneus atau fasciokutaneus.
laringektomi pada T1, T2 memberikan hasil yang baik. Pada T3 dan T4 laringektomi total dilakukan, dapat diikuti dengan radioterapi. Diseksi leher dilakukan bila ada pembesaran kelenjar bersamaan dengan laringektomi. Penanganan karsinoma laring dengan prosedur operasi saat ini untuk mempertahankan fungsi laring dalam bersuara dan proteksi terhadap aspirasi. Rehabilitasi Pasca Pengobatan 2,4,5 Penanganan penderita kanker kepala dan leher belum berakhir setelah berhasilnya pengangkatan tumor maupun radioterapi. Penderita mungkin mengalami gangguan pernapasan, bicara, mengunyah dan menelan, gerakan bahu, penciuman. Pada fase ini pengobatan bertujuan untuk memperbaiki bentuk dan fungsi, kalau mungkin ke keadaan sebelum sakit atau paling tidak pada tingkat yang bisa diterima dilingkungan sosial. Follow-Up Jangka Panjang5 Penderita harus dijadwalkan untuk memeriksakan diri secara teratur untuk menyingkirkan kemungkinan timbulnya rekurensi lokal regional, metastase jauh dan second primary tumor. Data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa 85% rekurensi terjadi dalam 2 tahun pertama dan hanya kurang dari 5% terjadi setelah 3 tahun sesudah pengobatan pertama. Untuk itu follow-up dilakukan setiap 4-6 minggu dalam tahun pertama, 2 bulan pada tahun kedua, 3-4 bulan tahun ketiga dan setiap interval 6 bulan setelah 3 tahun. Daftar Pustaka 1. Krause CJ. Presidential address, head and neck . In: Fee, Goepert, John, editors. American Society for Head and Neck Surgery; 1990.p.1-3 2. Rodriguez-Monge EJ, Shin DM, Lippman SM. A comprehensive review head and neck cancer. Medical Oncology 1997
3. Soegeng SM, Willy S, Dyah F. Aspek patologi tumor THT-Kepala. Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya:
FK UNAIR; 2002.p.8-36 4. Forastiere A, Koch W, Trotti A, et al. Head and Neck Cancer . NEJM 2001;
Karsinoma Hipofaring Karsinoma hipofaring lebih jarang ditemukan tetapi sangat mematikan. Pada saat ditemukan lebih dari 80% penderita pada stadium lanjut, lebih dari 25% bermetastase jauh. Pada T1 diterapi dengan radioterapi, T2-T4 dilakukan laringektomi total dan partial faringektomi, deseksi leher radikal diikuti dengan radioterapi. Umumnya 5- year survival rate hanya 25%. Karsinoma Laring Pada karsinoma laring dengan T1 dan T2 umumnya diberikan radioterapi yang dapat memberikan survival sekitar 96% dan 80%. Tindakan pengangkatan dengan laser dapat dilakukan pada stadium awal dengan lokal kontrol sekitar 90%, tetapi suara penderita akan menjadi jelek. Supraglotik
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
345:1890-900 5. Teknos TN, Coniglio J, Nettervile J. Guideline to the patient management. In: Byron JB, editor. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed; 1996.p.1401-11 6. Kuhuwael FG, Didit S. Aspek klinis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Dadi dan Rumah Sakit Umum Dr Wahidin tahun 1990-1999.
Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Fakultas Kedokteran UNHAS; 2001 7. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000. p.135-41 8. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok . In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000. p.135-41 9. Levine PA, Serdman D. Neoplasma of the oral cavity. In: Byron JB. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed., 1996.p.1523-39
147
TINJAUAN PUSTAKA
Respons Imun Pada Kanker Delfitri Munir
Departemen THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
Abstrak. Sel
kanker mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing (nonself) , walau tumor berasal dari jaringan tubuh sendiri ( self ). Telah banyak ditemukan bukti bahwa terjadi respons imun terhadap kanker. Sistem imun tubuh berfungsi untuk mencegah dan membatasi pertumbuhan kanker. Namun pada kenyataannya kanker tetap bisa tumbuh karena fungsi sistem imun relatif tidak efektif. Keadaan ini dapat terjadi akibat penurunan ekspresi major histocompatibility complex (MHC) dan defek pembuatan antigen tumor. Respons imun selular dan humoral terhadap kanker dapat dipakai sebagai dasar untuk imunoterapi kanker di masa mendatang. Kata kunci:
Major histocompatibility complex, immune surveilance, tumor escape, antibody dependent cellular cytotoxicity
Pendahuluan Penelitian secara in vivo dan in vitro telah memperlihatkan bahwa respons imun pada manusia terhadap kanker memang ada. Beberapa fakta menunjukkan bahwa ada beberapa tumor ganas tertentu dapat sembuh spontan seperti melanoma maligna dan neuroblastoma.1 Di samping itu penderita dengan defisiensi imun ditemukan keganasan 200 kali dari pada yang diperkirakan. Fakta lain adalah meningkatnya risiko kanker pada penderita yang pengobatan imunosupresif, meningkatnya insiden keganasan pada periode neonatal dan usia lanjut, serta banyak sel kanker mengandung infiltrasi selsel mononuklear yang terdiri atas sel T, sel NK dan makrofag.2 Adanya antigen tumor dipermukaan sel KNF seperti EpsteinBarr nuclear antigen (EBNA 1-6) dan latent membrane protein (LMP 1,2) dipastikan mempunyai efek imunologik yang
148
penting. Namun, pada kenyataannya banyak tumor ganas yang tetap bisa tumbuh, karena fungsi sistem imun untuk menghambat atau menghancurkan sel tumor (immune surveillance) relatif tidak efektif. 3 Immune surveilance Konsep immune surveillance dikemukakan pertama kali oleh Paul Ehrlich pada awal abad ke-20. Konsep ini menyatakan bahwa sistem imun mempunyai peran mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor. Walaupun hanya sedikit bukti langsung bahwa immune surveillance dapat melindungi seseorang terhadap pertumbuhan tumor, beberapa hasil penelitian mendukung teori tersebut. Diantaranya seperti, adanya infiltrasi limfosit dalam jaringan tumor dan telah terbukti pula bahwa tumor dapat membangkitkan respons
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap mekanisme respons imun sebelum respons imun yang efektif terbentuk.
imun seluler spesifik. 4 Di samping itu antigen tumor yang dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I diidentifikasi sebagai protein seluler yang diekspresikan sec ara abnormal atau protein mutan. Penemuan ini mendukung dugaan bahwa fungsi sel T-sitotoksik adalah surveillance dan menghancurkan sel yang mengandung gen mutan yang dapat menyebabkan atau yang diasosiasikan dengan tumor ganas.1 Walaupun tumor ganas mengekspresikan antigen tumor yang bersifat asing bagi penjamu (host), dan immune surveillance mungkin dapat membatasi pertumbuhan beberapa jenis tumor, namun belum ada bukti bahwa sistem imun dapat mencegah pertumbuhan tumor ganas. Hal ini mungkin karena kecepatan pertumbuhan dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan mekanisme efektor respons imun untuk mencegah pertumbuhan itu. Di samping kegagalan yang disebabkan oleh faktor penjamu (host), banyak tumor yang memiliki kemampuan untuk mengelak dari respons imun, dan proses pengelakan itu disebut tumor escape.5,6 Tumor Escape Tumor escape dapat terjadi akibat penurunan ekspresi MHC dan kegagalan pembuatan antigen. Ekspresi MHC kelas I dan kelas II sering berkurang pada tumor-tumor tertentu, bahkan ada tumor yang tidak mengekspresikan MHC sehingga tidak mampu membentuk komplek MHC-peptida yang merupakan persyaratan untuk dikenal limfosit T sitotoksik. 2 Di samping
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
itu sel-sel tumor dapat memproduksi substansi yang menekan respons tumor seperti transforming growth factor (TGF-b) dan IL-10 yang menghambat fungsi makrofag dan limfosit. Fas Ligan yang diekspresikan sel kanker, berikatan dengan molekul Fas yang terdapat pada permukaan limfosit akan menyebabkan kematian limfosit secara apoptosis. 7 Gangguan perlawanan terhadap sel kanker dapat juga disebabkan oleh karena bahan yang diproduksi sel kanker seperti soluble antigen tumor, prostaglandin E2 dan TNF-a. Penurunan respons imun terhadap tumor, selain akibat faktor internal dan penyakit kanker sendiri, dapat juga akibat pembedahan, radioterapi atau kemoterapi yang diberikan.3 Tolerasi terhadap antigen tumor dapat terjadi akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor mengekspresikan antigen dalam bentuk tolerogenik. Contohnya adalah tumor yang disebabkan murine mammary tumor virus pada mencit dewasa yang pernah terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal karena menyusui. 2 Di samping itu perubahan fenotipe tumor atau modulasi antigen permukaan tumor sebagai akibat pengikatan oleh antibodi juga menyebabkan tumor resisten terhadap mekanisme efektor sistem imun.8 Pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap mekanisme respons imun sebelum respons imun yang efektif terbentuk. Dugaan ini muncul pada percobaan di mana transplantasi tumor dalam jumlah kecil sel tumor akan menyebabkan tumbuhnya tumor letal, sedangkan transplantasi dalam jumlah besar, maka sel tumor ditolak. 2 Fakta lain menunjukkan bahwa molekul tertentu seperti sialomucin, yang sering terikat pada permukaan sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit. 6 Antigen Sel Kanker Mekanisme penolakan jaringan alograf, merupakan contoh tentang cara sel tubuh melakukan pengawasan imunologik. Sel yang berubah dan berpotensi untuk menjadi ganas dapat diidentifikasi dan kemudian disingkirkan. Agar supaya mekanisme ini dapat berlangsung, sel-sel kanker harus menampilkan beberapa struktur permukaan baru yang dapat dikenal oleh sistem imun.9 Jaringan tumor yang sebenarnya berasal dari jaringan tubuh sendiri (self ), pada umumnya mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing. Keasingan antigen tumor disebabkan oleh adanya mutasi dan disregulasi gen yang menyebabkan diproduksinya protein baru (neoantigen) yang tidak pernah diekspresikan dalam keadaan normal, dan protein ini dapat merangsang respons imun.10 Imunogenitas tumor sangat tergantung pada bagaimana tumor itu terbentuk. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tumor yang terbentuk akibat karsinogen pada umumnya imunogenik. Spesifitas dan sifat imunogenitasnya juga bergantung pada potensi karsinogen
149
TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik dalam mencegah pertumbuhan tumor dan bagaimana memodulasinya, diduga akan memegang peranan penting dikemudian hari. penyebab transformasi sel dan interaksi karsinogen dengan sel sasarannya, dan tidak bergantung pada sel dari mana tumor itu berasal.11 Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga bersifat imunogenik. Sel yang mengalami transformasi akan memunculkan antigen baru yang terbentuk dari antigen virion dan antigen produk gen virus yang berinteraksi den gan gen penjamu (host). Tumor yang diinduksi oleh virus yang sama akan menampilkan antigen permukaan yang sama, dan bereaksi silang, apapun asal selnya. Sedangkan imunogenitas tumor jaringan yang sama akan berbeda apabila masingmasing diinduksi oleh virus yang berbeda.4 Adanya respons imun tubuh terhadap pertumbuhan kanker pada penderita KNF secara in vitro dibuktikan dengan ditemukannya circulating antibodies seperti IgA/G anti EBV VCA, AgA/G anti EBV EA dan IgA/G anti EBNA. 3 Respons Imun Seluler Terhadap Kanker Antigen sel kanker yang ditampilkan bersama MHC kelas I akan dikenal oleh sel T-sitotoksik CD8+. Dalam hal ini sel tumor berperan sebagai APC yang menyajikan proteinnya sendiri kepada sel T. Tumor yang diinduksi oleh virus onkogenik biasanya mengandung genom provirus terintegrasi dalam genom sel tumor dan sering mengekspresikan protein yang disandi oleh genom virus bersangkutan. Protein yang disintesis secara endogen ini dapat diproses dan diekspresikan bersama MHC kelas I, sehingga merupakan sasaran untuk aktivitas sel T sitotoksik CD 8+. Contoh virus onkogenik adalah Virus Epstein Barr (VEB) yang berhubungan dengan
150
KNF dan human papilloma virus (HPV) yang dihubungkan dengan kanker serviks. Untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respons imun seluler. Apabila terjadi defisiensi respons imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas. 2,8 Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik dalam mencegah pertumbuhan tumor dan bagaimana memodulasinya, diduga akan memegang peranan penting dikemudian hari. Hal ini berguna untuk meningkatkan surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan kekambuhan tumor, serta menghambat perkembangan tumor selanjutnya. Di samping itu dapat juga dipakai untuk menentukan jenis pengobatan dan pengembangan imunoterapi baik secara pasif maupun aktif.1,12 Respons Imun Humoral Terhadap Kanker Meskipun peran imunitas seluler lebih banyak dibanding imunitas humoral, namun tubuh juga membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan komplemen. Di samping itu dapat juga melalui sel efektor antibodi dependent cellular cytotoxicity (ADCC) yang memiliki reseptor Fc, misalnya sel NK dan makrofag dengan cara opsonisasi atau dengan mencegah adhesi sel tumor. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel kanker yang bebas seperti leukemia dan metastase tumor dibanding terhadap tumor padat. 6,13 Mekanisme Efektor Melawan Kanker Pada beberapa penelitian terungkap bahwa baik respons imun humoral maupun respons imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan secara in vivo, dan berbagai mekanisme efektor terbukti dapat membunuh sel tumor in vitro.2,4 Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD 8+ yang secara fenotip dan fungsional identik dengan sel T sitotoksik yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus. T sitotoksik dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Walaupun respons T sitotoksik mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, namun peningkatan respons sel ini merupakan cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan di masa mendatang.9 Pengikatan antigen melalui reseptor pada limfosit T sitotoksik merupakan sinyal atau rangsangan awal untuk dikeluarkannya berbagai sitokin. Selanjutnya T sitotoksik yang teraktivasi akan berubah menjadi cytotoxic T lymphocyte (CTL), yaitu T sitotoksik yang pernah terpapar dengan antigen tertentu dan diprogram untuk berproliferasi
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
TINJAUAN PUSTAKA bila terpapar lagi dengan antigen tersebut. Sel T sitotoksik tidak akan berfungsi sebagai CTL kalau reseptor selnya tidak terikat pada antigen. Mekanisme pembunuhan sel kanker oleh CTL adalah dengan melepaskan granul sitoplasik yang merusak sel kanker. 8 Di samping itu CTL mengekspresikan Fas yang berinteraksi dengan Fas ligan yang ada di permukaan sel kanker. Setelah CTL berikatan dengan sel kanker melalui ikatan Fas-Fas ligan, CTL melepaskan perforin yang dapat merusak membran sel tumor dengan cara membuat lobang. Dalam granul CTL terdapat granzyme yang menyerupai protease dan berfungsi membunuh sel tumor. Granzyme dapat masuk ke dalam sitoplasma sel tumor melalui lobang yang telah dibuat oleh perforin sebelumnya. Untuk membunuh sel kanker, CTL harus melakukan kontak yang dekat sekali dengan sel kanker. Kontak langsung ini dimungkinkan melalui interaksi molekul permukaan CTL dengan molekul adhesi di permukaan sel tumor seperti leucocyte functional antigen 1 LFA-1) dengan intercelluler adhesive molecule-1 (ICAM-1), CD8 dengan MHC kelas I dan CD2 dengan LFA-3. Kontak CTL dan sel kanker demikian erat sampai kedua membran saling berhimpit sehingga substansi seperti granzyme, serine protease, TNFa dan faktor sitotoksik lainnya dapat dipindahkan kedalam sitoplasma kanker. Rusaknya membran sel kanker akibat efek perforin dan faktor sitotoksik serta disintegrasi osmotik menyebabkan sel kanker mati melalui proses nekrosis. Interaksi Fas (CTL) dengan Fas ligan sel kanker akan memicu aktivasi gen supresi sehingga terjadi kematian sel secara apoptosis. 14 Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respons anti tumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan INF-g yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. Sebagian kecil tumor yang mengekspresikan MHC kelas II dapat mengaktivasi sel T CD 4+ spesifik tumor secara langsung. Yang lebih sering adalah antigen presenting cell (APC) profesional yang mengekspresikan molekul MHC
kelas II mengfagositosis, memproses dan menampilkan protein yang berasal dari sel-sel tumor yang mati kepada sel TCD4 +, sehingga terjadi aktivasi sel-sel tersebut. 5 Sel natural killer (NK) dapat berperan baik dalam respons imun non spesifik maupun spesifik terhadap tumor. Sel ini dapat diaktivasi langsung melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat aktivitas sitokin yang diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Sel ini dapat membunuh sel kanker tanpa membedakan asal dan jenis jaringan serta agen penyebab kanker. Namun aktivitas NK tidak spesifik ditujukan pada antigen tertentu.5 Pembunuhan sel kanker oleh NK dapat terjadi secara langsung tanpa sensitisasi terlebih dahulu, dan tanpa didahului oleh adanya presentasi antigen melalui molekul MHC. Sel NK dapat mengenali sel tumor diduga karena sel tersebut mengekspresikan antigen berupa molekul glikoprotein (IgG) pada permukaannya. Molekul ini bertindak seperti molekul lektin (lectin like molecule). Molekul lectin ini dapat berikatan dengan CD2 dan CD16 yang merupakan reseptor Fc untuk IgG dipermukaan sel NK sehingga terjadi kontak yang erat.15 Mekanisme lisis yang digunakan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh T CD8+ untuk membunuh sel, tetapi sel NK tidak mengekspresikan TCR dan mempunyai rentang spesifitas yang lebar. Di samping sel NK dapat melepaskan bahan sitotoksik seperti CTL, dia juga memproduksi bahan sitotoksik natural killer cell cytotoxic factor (NKCF) yang merusak sel tumor. Masuknya ion Ca2++ ke dalam sel melaui perforasi menyebabkan kematian sel karena terganggu berbagai proses yang sensitif terhadap ion Ca 2++.16 Cara lain sel NK membunuh sel tumor yaitu secara tidak langsung dengan bantuan antibodi (IgG) yang dikenal sebagai antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Antibodi yang terikat oleh antigen pada permukaan sel tumor dapat dikenal oleh sel NK melalui reseptor Fc yang terdapat dipermukaannya, sehingga terjadi lisis sel tumor. Mekanisme sitolisis ekstra seluler ini sangat penting bila sel sasaran terlalu besar untuk difagositosis, misalnya sel tumor atau parasit yang besar. Sel NK dapat membunuh sel terinfeksi virus dan sel-sel tumor tertentu, khususnya tumor hemopoetik, in vitro. Sel NK tidak dapat melisiskan sel yang mengekspresikan MHC, tetapi
Sel natural killer (NK) dapat berperan baik dalam respons imun non spesifik maupun spesifik terhadap tumor. Sel ini dapat diaktivasi langsung melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat aktivitas sitokin yang diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Sel ini dapat membunuh sel kanker tanpa membedakan asal dan jenis jaringan serta agen penyebab kanker.
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
151
TINJAUAN PUSTAKA sebaliknya sel tumor yang tidak mengekspresikan MHC, yang biasanya terhindar dari lisis oleh CTL, justru merupakan sasaran yang baik untuk dilisiskan oleh sel NK. Sel ini dapat lebih ditingkatkan kemampuan sitolitiknya oleh IL-12, IL2 dan IFN-g, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu cara imunoterapi. Aktivitas sel NK dapat dihambat oleh prostaglandin E2 (PGE2) yang dihasilkan oleh makrofag dan sel kanker terutama karsinoma daerah kepala dan leher. 8 Makrofag merupakan mediator seluler yang potensial dalam imunitas anti tumor. Sel ini diproduksi di sumsum tulang, kemudian masuk sirkulasi darah sebagai monosit dan selanjutnya dapat berada di jaringan sebagai makrofag. Sel ini dapat mengekspresikan MHC kelas I maupun kelas II pada permukaannya, dan dapat membunuh sel tumor apab ila diaktifkan terutama oleh IFN-g. Sel kanker dapat dihancurkan secara langsung oleh bahan sitoksik yang dihasilkan makrofag dengan sifat non spesifik. Makrofag yang diaktivasi hanya dapat melisiskan sel tumor, tanpa merusak sel normal secara in vitro. Aktivitas makrofag dapat juga melisiskan tumor yang dilapisi antibodi karena mengekspresikan reseptor Fc-g. Mekanisme makrofag membunuh sel tumor adalah melepas enzim lisosom dan memproduksi TNF yang merusak sel tumor dengan efek toksik melalui mekanisme apotosis. 2 Di samping itu makrofag dapat menghambat pertumbuhan proliferasi sel tumor karena pengaruh H 2O2 yang dihasilkan sel tersebut. Penghancuran sel tumor oleh makrofag dapat melalui cara lisosomal dengan beberapa tahap. Tahap awal terjadi pengenalan komplemen F3b dan antibodi IgG oleh reseptor spesifik makrofag. Selanjutnya makrofag membentuk kaki palsu ( pseudopodi) kemudian membuat fagosom. Pembentukan fagosom menyebabkan stimulasi sitokrom B yang membantu pengolahan O2 menjadi H2O2. Makrofag di samping berfungsi sebagai penghancur sel, juga berperan sebagai penyaji (APC). Mekanisme perlawanan terhadap sel kanker oleh makrofag sebagai sel penyaji diawali dengan pengikatan dan pemrosesan antigen tumor. Selanjutnya antigen tumor yang dipresentasikan bersama MHC kelas II pada permukaan membran makrofag akan dikenal oleh limfosit T helper (CD4), sedangkan antigen tumor yang dipresentasikan bersama dengan MHC kelas I akan dikenal oleh limfosit T sitotoksik (CD8). Proses berikutnya merupakan efek dari rangkaian reaksi imunologik berupa hancurnya sel kanker. 8 Antibodi mungkin kurang penting dibanding sel T dalam mekanisme efektor terhadap tumor. Tetapi penderita kanker dapat memproduksi antibodi terhadap berbagai antigen tumor, bahkan antibodi itu bersifat spesifik misalnya antibodi terhadap EBV pada tumor yang disebabkan VEB. Produksi antibodi dimulai dengan kehadiran antigen tumor, baik antigen permukaan maupun antigen yang lepas (soluble antigen). Antigen tumor dapat langsung menstimuli limfosit B untuk segera proliferasi dan diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi terutama IgG dan A. Potensi untuk membunuh tumor yang diperantarai oleh antibodi
152
telah terbukti secara in vitro yaitu melalui mekanisme antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) di mana makrofag dan sel NK yang mengekspresikan reseptor Fc- g memperantarai pembunuhan atau melalui aktivitas komplemen. 9 Mekanisme penghancuran sel kanker oleh antibodi biasanya secara tidak langsung, diawali dengan opsonisasi yaitu melekatnya imunoglobulin dengan antigen tumor di membran sel kanker. Adanya kompleks antigen antibodi pada permukaan sel kanker dapat menarik datangnya sel efektor imunologik terutama sel yang memiliki reseptor Fc ( fragment crystalized) seperti makrofag, dan sel NK yang menyebabkan matinya sel kanker. Fenomena adanya antibodi spesifik terhadap antigen kanker ini membuka jalan untuk digunakan sebagai salah satu cara pengobatan kanker berdasarkan atas mekanisme imunologik. Akhir-akhir ini telah dikembangkan pengobatan kanker dengan menggunakan antibodi monoklonal, baik secara tersendiri atau yang dilabel dengan bahan sitotoksik antara lain toksin, obat sitostatik dan bahan radio aktif. Apakah mekanisme pembunuhan tumor melalui antibodi ini berlaku juga in vivo belum diketahui dengan pasti.2,5 Daftar Pustaka 1. Sukardja IDG. Onkologi klinik . Edisi pertama. Airlangga University Press; 1996.p.211-13 2. Abbas AK, Litchman AH. Immunity to tumors. In: Cellular and Molecular Immunology. 5th edition. Philadelphia: WB Saunders; 2003. p.391-409 3. Kentjono WA. Peran imunologi pada kanker nasofaring dan aplikasinya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia 2003; 14(1):123-1 4. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-4. Jakarta:Balai Penerbit FK-UI; 2001.p.83-95 5. Riott IM and Delves PJ. Tumor immunology. In: Essential Immunology. 10th Edition. Australia:Blackwell Science; 2001.p.374-93 6. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi VI. Jakarta:Balai Penerbit FKUI; 2004.p.219-32 7. Hata A, Shi Y, Massague J. TGF-b signaling and cancer: structural and functional consequences of mutation in Smad. Mol Med Today 1998; 257-74 8. Grenberg PD. Mechanisme of tumor immunology. In: Parslow TG, Stites DP, Terr AI, Imbonden JB, editor. Medical Immunology. 7 th edition. Singapore:McGraw-Hill; 2001.p.568-76 9. Beverley P. Tumor immunology. In: Roitt IM, Brostoff J, Male D, editor. Immunology. 6th edition. Toronto:Mosby; 2001.p.289-301 10. Macdonal F, Ford CHJ, Casson AG. Molecular biology of cancer. 2nd Edition. London:Bios Scientifc Publisher; 2004.p.1-10 11. Robbin PF. Immune recognition of cancer-tumor antigens. In: Parmiani G, Lotze TM, editor. Tumor Immunology. London:Taylor & Francis; 2002.p.11-37 12. Lollini PL, Forni G. Spesifc and non spesifc immunity in prevention of spontaneus tumor. Immunol Today 1999; 20:347-50 13.Tannock IF, Miller RG. Immunology and immunotherapy of cancer. 2nd edition. New York:Mc Graw-Hill, Inc; 1992.p.232-53 14.Dotti G, Savoldo B, Pule M, et al. Human cytotoxic T lymphocytee with reduced sensitivity to Fas-induced apoptosis. Blood 2005; 105(12):4677-84 15. Hyde RM. Tumor immunology. In: Immunology, 3rd edition. Philadelphia: William & Wilkins; 1995.p.267-86 16. Britenden J, Heys SD, Ross J, et al. Natural killer cell and cancer. Cancer 1996; 77(7):1226-43
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
PROFIL
Prof. Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ(K) Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran UI pada tanggal 16 Desember 1998. Judul yang beliau ketengahkan pada saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah “Psikiatri dalam Berbagai Aspek Kehidupan”. Dengan memilih judul tersebut, beliau mencoba membahas peran psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa dalam berbagai segi kehidupan, termasuk juga perannya bagi pendekatan integratif di bidang Kedokteran. Dengan memahami peran psikiatri dalam berbagai segi kehidupan, diharapkan bahwa
dasar-dasar
pengetahuan
dan
pengamalan bidang psikiatri dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak dalam upaya meningkatkan taraf kesehatan dan kualitas hidup. Meskipun sudah lebih dari satu abad psikiatri menjadi bagian bidang ilmu Kedokteran, ternyata masih banyak dokter yang tidak mengetahui peran psikiatri di dalam lingkup kedokteran sendiri.
Peran
psikiatri
masih
selalu
dikaitkan dengan gangguan jiwa berat saja, padahal cakupan peran psikiatri sebagian besar justru di dalam berbagai aspek kehidupan yang menentukan tinggi atau rendahnya tingkat kesehatan jiwa individu maupun masyarakat. Perkembangannya di Indonesia yang lambat tidak terlepas dari bayangan stigma yang masih kuat
Prof. Sasanto, begitu kami menyapa Prof. Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ(K) adalah seorang yang ahli di bidang “PSIKIATRI” dan juga merupakan Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
terhadap gangguan jiwa. Prof. Dr. Slamet Iman Santoso adalah orang yang mendorong Prof. Sasanto untuk mengambil Bidang Psikiatri. Dan pengembangan karir beliau di Bidang Psikiatri FKUI juga tidak lepas dari peran dan dukungan Prof. DR. Dr. R. Kusumanto
Prof. Sasanto lahir
di Kudus, tepatnya
Myrtha I.S. Firman, ST. Ars (Universitas
10 September 1937. Bagi Prof. Sasanto,
Trisakti). Prof. Sasanto sangat bersyukur
orangtuanya telah memberikan panutan
dan bahagia sekali karena beliau merasa bahwa anak-anaknya tidak pernah
dan pendidikan yang terbaik buat beliau. Prof. Sasanto menikah dengan Elyda Sofia
memberi
beban
masalah
yang
berat
pada tahun 1967. Dari pernikahannya,
dan telah menyelesaikan pendidikannya
beliau dikaruniai 3 orang anak, yaitu: Elysa Sasanto, SE (Universitas Indonesia); Reza Sasanto, ST. Ars (Universitas
dengan baik. Saat ini beliau berdomisili di daerah Jakarta Barat.
Parahiyangan), Gdip. Dev. Plan. (RMIT), M.Plan&Des (University of Melbourne );
Guru Besar Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI) dalam bidang Psikiatri tepatnya
DEXA MEDIA
Prof.
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
Sasanto
dikukuhkan
sebagai
Setyonegoro, yang pada saat itu telah menerima beliau di Bagian Psikiatri FKUI. Sedangkan dari Prof. DR. Dr. D. Bachtiar Lubis,
beliau
mendapatkan
dukungan
dan pengusulan kenaikan pangkat dalam jenjang Guru Besar. Pada tahun 1956-1962, beliau menjalankan pendidikan dokternya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di Jakarta. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan dokter Spesialis Psikiater (Kedokteran Jiwa) di FKUI dan 153
PROFIL
menamatkannya pada tahun 1967. Pendidikan tambahan yang pernah beliau ikuti antara lain: Psychoanalytically
Saat ini Prof. Sasanto masih aktif sebagai Psikiater Konsultan di beberapa tempat, yaitu: Dharmawangsa Mental
Oriented Psychotherapy, Langley Porter
Health
Neuro-Psychiatric Institute, San Francisco,
Medical Centre Hospital, Jakarta; dan
USA (Fellow-USAID) pada tahun 1964-
Dharmais
1966; Drug-Dependents’ Treatment & Rehabilitation (USAID-Program) pada
Jakarta. Ada beberapa kepengurusan dalam
tahun
organisasi profesi yang digeluti oleh beliau,
1977;
Clinical
Hypnotherapy,
Clinics, Jakarta; National
Cancer
Tugas dan jabatan yang sampai saat ini masih beliau emban, adalah: sebagai
Jiwa Dharmawangsa dari tahun 1967sekarang; Pengurus Pusat IDAJI (Ketua
Guru Besar Psikiatri, Fakultas Kedokteran
Seksi Pendidikan) dari tahun 1989-1992;
Petikan di atas mungkin bisa dijadikan pedoman untuk para dokter-dokter muda
Universitas
Anggota Board of Study Konsorsium Ilmu
yang sedang menimba ilmu, bahwa di
(‘penugasan
Kesehatan
sebagai Ketua Asosiasi Psikogeriatri Indonesia; sebagai Ketua Kolegium
dari
Kesehatan
“IN ORDER TO CURE HUMAN BODY, IT IS NECESSARY TO HAVE KNOWLEDGE OF THE WHOLE OF THINGS” HIPPOCRATES
yaitu:
kembali’ karena sudah pensiun sejak 2002);
Yayasan
Hospital,
Singapore pada tahun 1980 dan 1984.
Indonesia
Sekretaris
Metropolitan
“AS IT IS NOT PROPER TO CURE THE EYES WITHOUT THE HEAD, NOR THE HEAD WITHOUT THE BODY, SO NEITHER IT IS PROPER TO CURE THE BODY WITHOUT THE SOUL” SOCRATES (400 SM)
tahun
1985-
dalam bidang kedokteran yang ditangani
1996; Anggota MKEK (MajelisKehormatanEtik
bukanlah ‘penyakit badaniah’ saja, namun
Kedokteran)
menyeluruh, termasuk aspek kejiwaan. Mendalami dan mengembangkan ilmu
tugas dan jabatan yang pernah
IDI wilayah
kedokteran tentunya bukan demi untuk
beliau jalankan pada masa lalu, antara lain:
DKI Jakarta d a r i
kepentingan ilmu sendiri, melainkan untuk
Psikiatri
Indonesia.
Sedangkan
(1990-
tahun
menolong pasien, mengatasi penderitaan, meningkatkan taraf kesehatan, yang
20 00 )
1991-
selanjutnya
mengikhtiarkan
tercapainya
kualitas hidup yang optimal dalam batasbatas kondisi pasien.
Kepala (3 masa jabatan) Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas
1998; Ketua IDAJI (Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia) dari tahun 1997-2001.
Indonesia; (1990-2000) Kepala Bagian
Di samping itu beliau juga mengikuti
Psikiatri, RSUPNCN Cipto Mangunkusumo,
berbagai keanggotaan dalam organisasi
Jakarta;
Umum
profesi, yaitu: sebagai anggota Ikatan
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Dokter Indonesia (IDI), Anggota AFPMH (ASEAN Federation for Psychiatry and
(1997-2001)
Tugas
mengajar
Ketua
atau
pendidikan
Mental Health ), Anggota/ Dewan Penyantun
sekarang) sebagai Staf Pengajar Senior untuk Mahasiswa S1 Kedokteran, S2,
Association (WPA) - Secretary of Section on Urban Mental Health; Fellow Member
Meskipun sulit menentukan kriteria dokter
PPDS, Departemen Psikiatri FKUI, Jakarta;
- Pacific RIM College of Psychiatrists
kemampuan
(1968-sekarang) sebagai Staf Pengajar
(PRCP); Member of International Advisory
Senior Mahasiswa S1 Kedokteran, Fakultas Kedokteran Tarumanegara, Jakarta; (1996-1997) Dosen Terbang
Board - International Mental Health Leadership Program (iMHLP), dll. Ada 2 buah tambahan petikan yang kami ambil dari buku pengukuhan Prof.
(empathy ) dan memperhitungkan segala segi penderitaan pasien. Tidak hanya
Kedokteran
Hasanuddin,
Makassar,
Sulawesi; (2000 Okt) External Examiner: Universiti Kebangsaan Malaysia &
Psychiatric
mahasiswanya untuk belajar menjadi dokter yang baik, bukan hanya pintar.
PDSKJI,
Psikiatri, Departemen Psikiatri, Fakultas
World
Pada saat pengukuhan, beliau juga pernah berpesan kepada para mahasiswa-
yang pernah beliau jalankan, yaitu: (1967-
untuk Mahasiswa Pascasarjana (PPDS)
Anggota
Saat ini Prof. Sasanto masih aktif sebagai Psikiater Konsultan di beberapa tempat, yaitu: Dharmawangsa Mental Health Clinics, Jakarta; Metropolitan Medical Centre Hospital, Jakarta; dan Dharmais National Cancer Hospital, Jakarta.
Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ(K), yang dikutip dari Kaplan’s Textbook of Psychiatry tahun 1987, yang kami pikir sangat bagus untuk kita simak, yaitu:
yang baik, setidaknya harus mencakup memahami,
menghayati
trampil dalam melaksanakan tindak medik, benar dalam arti medis-teknis atau benar dari segi mediko-legal saja. Beliau juga berharap bahwa bidang psikiatri dapat membantu menciptakan suasana pelayanan medik yang lebih baik di masa depan.
University of Malaya, Malaysia. 154
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
SEKILAS DEXA MEDICA GROUP
AAM Raih Dua Penghargaan e-Company Award
Dexa Media. Luar biasa, dan sangat mengejutkan! Anugrah Argon Medica (AAM) berhasil meraih dua penghargaan sekaligus dalam ajang Indonesia E-Company Award 2006.
D
ua award yang disabet oleh AAM diserahkan pada Selasa, 30 Mei 2006, di Hotel Mulia Jakarta adalah: Peringkat Terbaik Pertama untuk Kategori Distribusi, Ritel & Logistik. Dan penghargaan khusus, Terbaik dalam IT Performance Improvement. Penghargaan ini diberikan oleh majalah Warta Ekonomi yang didukung oleh XL Business Solution. Sebelum penyerahan award, Selasa pagi, 30 Mei 2006, di Ball Room Hotel Mulia Jakarta, Pak Erwin Tenggono, Managing Director AAM diundang sebagai pembicara seminar bertajuk: IT Innovation for Excellent Business Improvement. Pak Erwin terlihat serius, karena beliau harus tampil bersama salah satu tokoh penting dalam pengembangan IT di BCA yaitu Bapak Aswin Wirjadi, Deputy President Director BCA. Seminar ini merupakan rangkaian E-Company Award 2006 yang digelar oleh majalah Warta Ekonomi. Tampil setelah Pak Aswin dari BCA, Pak Erwin menjabarkan implementasi I T di AAM secara jelas dan memikat. Pada kesempatan tersebut Pak Ferry A. Soetikno, Managing Director Dexa Medica, juga berkenan hadir dan menyimak presentasi kedua pembicara dengan seksama. Seminar diakhiri usai makan siang. Penghargaan E-Company Award Kegiatan dilanjutkan pada malam harinya dengan pemberian E-Company Award 2006. Siapakah para jawara E-Company Award 2006? Sekitar pukul 18.30 WIB, satu per satu sejumlah rekan-rekan dari Dexa Medica Group (DXG) hadir di Ball Room Hotel Mulia. Demikian pula sejumlah
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
perusahaan yang mendapat nominasi untuk menerima ECompany Award tampak hadir. Pembawa acara malam itu Bapak Eko Indrajit (STIMIK Perbanas) dan Pak Paulus W, tampil penuh pesona sehingga acara berlangsung meriah. Malam terus beranjak, dan satu per satu para jawara diumumkan. Dan bagaimana hasilnya? Luar biasa, dan sangat mengejutkan! Anugrah Argon Medica (AAM) berhasil meraih dua penghargaan sekaligus dalam ajang Indonesia E-Company Award 2006. Selamat kepada AAM dan semoga menjadi ‘energi baru’ bagi seluruh warga DXG. Dua award yang disabet oleh AAM dan telah diserahkan pada 30 Mei 2006 di Hotel Mulia Jakarta adalah: Peringkat Terbaik Pertama untuk Kategori Distribusi, Ritel & Logistik. Dan penghargaan khusus, Terbaik dalam IT Performance Improvement. Penghargaan ini diberikan oleh majalah Warta Ekonomi yang didukung oleh XL Business Solution. Mengejutkan karena sampai detik-detik terakhir pengumuman akan dibacakan, semua peserta belum mengetahui bila ada award untuk kategori penghargaan khusus. Dua penghargaan yang diraih AAM ini, diharapkan mampu melecut semangat Tim IT DXG untuk terus memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Bapak Erwin Tenggono, tampil rileks menerima langsung dua award tersebut, disaksikan pula oleh Bapak Ferry A. Soetikno, Ibu Grace Pandji, Ibu Indri K. Hidayat, Bapak Andy Wijaya dan tim DXG lainnya, yang malam itu larut dalam kebanggaan yang mewakili lebih dari 4.000 warga DXG yang tersebar di seantero nusantara dan rekan-rekan OBU diberbagai negara. Malam penganugerahan berlangsung meriah, diselingi talk show yang hangat membuat suasana semakin khidmat.
155
SEKILAS DEXA MEDICA GROUP
Dipandu oleh R. Eko Indrajit (Ketua STIMIK Perbanas) selaku pembawa acara, penganugerahan E-Company Award ini sungguh momentum yang sangat membanggakan bagi keluarga besar DXG. Bagaimana tidak? Untuk kategori Distribusi, Ritel & Logistik, AAM mengalahkan Carefour Indonesia yang menempati posisi kedua, dan Chevron Oil Product Indonesia yang menempati posisi ketiga. Total perusahaan yang diseleksi untuk ikut dalam ajang E-Company Award 2006 ini sebanyak 117 perusahaan, jumlah ini meningkat hampir 100% dibandingkan tahun lalu. Dewan Juri kali ini juga berkaliber nasional, yaitu: Kristiono (mantan Dirut Telkom), Roy Sembel (pakar keuangan dan Direktur Program Magister Universitas Bina Nusantara), Rhenald Kasali (Direktur Program Magister Manajemen UI), Surdiyanto Suryodarmodjo (Presiden ISACA Indonesia Chapter). Indonesia Company Award adalah penghargaan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menerapkan system TI (teknologi informasi). Tahun ini merupakan ajang yang ke-5, dengan tema: IT Innovation for Excellent Improvement. Perjuangan AAM meraih dua award di atas tidaklah mudah. Dimulai dari mengisi pertanyaan yang sangat mendetil dari panitia, kemudian wawancara oleh para periset dari Warta Ekonomi, dan dipuncaki dengan wawancara
khusus dengan Tim Juri yang memiliki kaliber nasional. Jawara E-Company Award 2006 Kategori Perbankan: Terbaik 1 : BCA, Terbaik 2, Bank Niaga, Terbaik 3, Citibank. Kategori Distribusi, Ritel & Logistik : Terbaik 1: Anugrah Argon Medica, Terbaik 2, Carefour Indonesia, Terbaik 3, Chevron Oil. Kategori Barang Konsumsi: Terbaik 1: Unilever, Terbaik 2, Novartis Indonesia, Terbaik 3, BAT Indonesia. Kategori Manufactur: Terbaik 1 : General Electric Terbaik 2, Astra Honda Motor, Terbaik 3, Cahaya Sakti. Kategori Asuransi : Terbaik 1 : Alliannz, Terbaik 2, Astra Buana (Garda OTO), Terbaik 3, Asuransi Sinar Mas. Kategori Lembaga Keuangan Non Bank: Terbaik 1 : Oto Multi Artha, Terbaik 2, Samuel Sekurities, Terbaik 3, e-Trading Securities. Kategori Pertambangan & Energi: Terbaik 1, Indonesia Power, Terbaik 2, Tambang Batu Bara, Terbaik 3, Aneka Tambang. Penghargaan Khusus: 1. Terbaik dalam IT Governance: Citibank. 2. Terbaik dalam IT Innovation : Asuransi Allianz. 3. Terbaik dalam IT Leadership: Bank Niaga. 4. Terbaik dalam IT Performance Improvement: Anugrah Argon Medica. 5. Terbaik dalam IT Innovation for Service Excellent: Blue Bird Group. Best of The Best: BCA. Laporan Karyanto, dari Mulia Hotel Jakarta.
Dharma Dexa
Peduli Gempa Jogja & Jateng
Dexa Media. Managing Director Dexa Medica Group, Bapak Ferry A. Soetikno memimpin langsung kunjungan tim Dharma Dexa ke Jogjakarta dan Klaten, Jawa Tengah pada Sabtu, 3 Juni 2006 lalu, untuk memberikan secara langsung bantuan,
156
baik kepada warga DXG (Dexa Medica Group) yang terkena musibah, maupun pihak eksternal yaitu : RS.Elizabeth, RS. Bethesda, RS. Panti Rapih, RS. Panti Rini dan masyarakat Dukuh Mawen, Kelurahan Pesu, Klaten, Jawa Tengah.
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
SEKILAS DEXA MEDICA GROUP
Tim Dharma Dexa sedang estafet menurunkan sumbangan paket sembako di Dukuh Mawen, Klaten
Tim Dharma Dexa berangkat ke Jogja dari bandara Soekarno Hatta, Sabtu Pagi (3 Juni 2006, pukul 06.00 WIB). Mereka antara lain: Pak Ferry Soetikno, Bu Gloria, Pak Tarcisius, Pak Marimin, Bu Nie Swe Hoa, Ibu Dorothy, Karyanto. Usai mendarat di bandara Adi Sucipto, Jogjakarta, Tim Dharma Dexa langsung menuju kantor Cabang DXG untuk bertemu warga DXG dan memberikan bantuan kepada rekanrekan yang terkena musibah gempa. Selanjutnya Tim Dharma Dexa bergerak ke RS. Elizabet h yang berada di Desa Ganjuran Bantul. Usai menyerahkan bantuan obat-obatan kepada Suster Rosi, Tim Dharma Dexa bergerak menuju RS. Bethesda untuk menyerahkan bantuan obat-obatan yang diterima oleh Ibu Endang (Apoteker). “Ini bantuan obat-obatan untuk para medis. Kami tahu para medis di rumah sakit ini sudah bekerja keras, jadi perlu juga menjaga kondisi tubuh,” ujar Pak Ferry kepada Ibu Endang. Tim Dharma Dexa kemudian menuju RS. Panti Rapih, dan diterima oleh Direktur salah satu rumah sakit swasta besar di Jogja itu, yaitu Dokter Arief untuk secara simbolis menerima bantuan obat-obatan. Sedangkan, bantuan obat-obatan untuk RS. Panti Rini diserahkan oleh Bapak Marimin. Adapun sumbangan paket sembako, terpal, selimut, lampu petromak, dan obat-obatan langsung diberikan kepada warga dukuh Mawen yang secara simbolis diberikan kepada Kepala Dukuh Mawen, Klaten, Pak Payo Gatot Suroto. “Sumbangan paket sembako, obat-obatan, selimut, terpal, petromak dan lain-lainnya ini, benar-benar kami butuhkan. Saya atas nama warga dukuh Mawen mengucapkan banyakbanyak terima kasih,” Ujar Pak Payo usai menerima bantuan yang diserahkan oleh Bapak Ferry Soetikno. Selain Tim Dharma Dexa dari kantor pusat, rekanrekan DXG dari Jogjakarta, Semarang dan Solo memperkuat pendistribusian bantuan. Panas yang membakar kota Jogja dan Klaten siang itu, menjadi saksi rasa kepedulian yang tulus dari warga DXG kepada saudara kita yang sedang terkena musibah gempa dahsyat pada Sabtu pagi, 27 Mei 2006 lalu. DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
Luka Bathin Korban Gempa Luka bathin itu masih akan lama. Hilang sanak saudara. Harta benda hancur diamuk gempa. Mengiris bathin masyarakat Jogja dan Jateng dalam duka. Bahkan, ada yang memilih mengakhiri hidup, dari pada menyimpan luka lara. Adalah Mardi (45), Warga Patuk, Gunung Kidul, yang menempuh jalan itu. Derita masyarakat Jogja, pasti masih panjang. Bayangkan, puluhan ribu rumah luluh- lantak, semua perkakas lumat. Kapan lagi, mereka bisa membangun rumah, membeli perkakas? Sementara untuk menyambung hidup saja, kini sangat tergantung dari bantuan. Pilu dan menyesakkan dada, memang. Tapi, itulah rahasia alam semesta dan seisinya, yang d alam banyak hal, menyimpan misteri yang tidak seorangpun mampu membacanya. “Urip tiyang Mawen mriki langkuh abot mas,” ujar Mbah Payo Gatot Suroto, sesepuh Dukuh Mawen, Klaten, pasrah usai menerima bantuan paket sembako dari Dharma Dexa, Sabtu siang, 3 Juni 2006 lalu. Saya tidak bisa menyaksikan tetangga-tetangga yang dikuburkan. Saya mesti mengurus anak kami yang kakinya patah karena gempa, lanjut Mbah Payo sembari merapikan Kaos OGB Dexa yang baru saja dikenakannya. Dusun Mawen yang tidak dilalui transportasi umum itu, jelas membuat panik Mbah Payo saat mesti membawa berobat anaknya yang mengerang kesakitan. Jerit bathin Mbah Payo ini baru sebagian kecil dari pilu yang menyayat masyarakat Jogja dan sekitarnya. Gempa bumi Sabtu pagi, 27 Mei 2006 itu, telah menelan ribuan korban jiwa, puluhan ribu rumah porak-pranda. Tentu, bukan perkara mudah untuk melupakannya. “Kalau ada getaran sedikit saj a, saya masih ketakutan,” imbuh Mbah Payo. “Kami dari Dexa Group, memberikan bantuan paket sembako dan obat-obatan ini, mohon diterima dan semoga bermanfaat,” jelas Pak Ferry A. Soetikno kepada Mbah Payo. Laporan Karyanto, dari Jogja dan Klaten. 157
PROFIL PENELUSURAN JURNAL
Pembaca yang budiman,
Mulai edisi ini Dexa Media melayani permintaan penelusuran jurnal hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group, apabila tidak melalui Tim Promosi Dexa Medica Group, kami tidak melayani permintaan. Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda p dan dikirimkan ke alamat redaksi.
Hepatitis A. American Academy of Family Physicians 2006; 73:2162-8, 2169-70 Esophageal cancer: a review and update. American Academy of Family Physicians 2006; 73:2187-94 Excess body weight, clinical prole, management practices, and hospital prognosis in men and women after acute myocardial. American Heart Journal 2006; 151:1297-304 Treatment of chronic rhinosinusitis exacerbation due to Methicillin-resistant Staphylococcus aureus with Mupirocin Irrigations. American Journal of Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery 2006; 27:161-5 Management of ocular hypertension: a cost-effectiveness approach from the ocular hypertension treatment study. American Journal of Ophthalmology 2006; 141:997-1008 Emerging infectious disease outbreaks: old lessons and new challenges for obstetriciangynecologists. American Journal of Obstetrics and Gynecology 2006; 194:1546-55 Profound resolution of early atherosclerosis with conjugated linoleic acid. Atherosclerosis 2006; 187:40-9 Antimicrobial agents in orthopaedic surgery. prophylaxis and treatment. Drugs 2006; 66(8): 1089-105 Inhaled mometasone furoate . a review of its use in persistent asthma in adults and adolescents. Drugs 2006; 66(8):1151-68 Quality of life among people with epilepsy and mild intellectual disabilities in residential care. Epilepsy & Behavior 2006; 8:703-12 Macrolide antibiotics and asthma treatment. Journal of Allergy and Clinical Immunology 2006; 117:1233-6 Hyaluronate improves pain, physical function and balance in the geriatric osteoarthritic knee: a 6-month follow-up study using clinical test. OsteoArthritis and Cartilage 2006; 14:696-701 Probiotic use in clinical practice: what are the risks. The American Journal of Clinical nutrition 2006; 83:1256-64 Cyclophosphamide versus placebo in scleroderma lung disease. The New England Journal of Medicine 2006; 354:2655-66 Effectiveness of ciprooxacin prophylaxis in preventing bacteriuria caused by urodynamic study: a blind, randomized study of 192 patients. Urology 2006; 67:1149-53
158
DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
KALENDER PERISTIWA
1) 13th International Symposium: Shock and Critical Care 2006 Tempat: Discovery Kartika Plaza Hotel, Kuta Tanggal: 03 - 05 Agustus 2006 Sekretariat: Pacto Convex Ltd Lagoon Tower Level B I, Jakarta Hilton International, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270 E-mail:
[email protected] Telp: 62-21-5705800 ext 425 Faks: 62-21-5705798/5724608 Contact: Putri Nitria Website: http://www.shockandcriticalcare2006.org
5) 8th Asian Congress of Urology of the Urological Association of Asia Tempat: Bali International Convention Centre (BICC), The Westin Resort Nusa Dua – Bali Tanggal: 22 – 26 Agustus 2006 Sekretariat: 8th ACU Bali 2006 Secretariat, PO BOX 888, JAT 13000, Jakarta – Indonesia E-mail:
[email protected];
[email protected] Telp: 62-21-30041026, 4532202 Faks: 62-21-30041027, 4535833 Website: http://www.acu2006.com
2) Kongres I PERKAPI (Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan Indonesia) Anti Aging: New Challenge in Medicine Tempat: Hotel Millennium, Jakarta Tanggal: 05 - 06 Agustus 2006 Sekretariat: PERKAPI Jakarta Telp: 021-5367 7981 Faks: 021-5367 7983 Contact:
[email protected]
6) National Conference Gynecologic Surgery II & Midwife Workshop 2006. Management of surgical Injury and Critical Gynecology Tempat: Hotel Novotel, Bogor Tanggal: 31 Agustus 2006 - 02 September 2006 Sekretariat: Gynecologic Oncology Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430 E-mail:
[email protected] Telp: 62-21-316 2722, 391 4806 Faks: 62-21-316 2722, 391 4806
3) IAS 2 nd Congress Surabaya 2006: Better Sexual Life for Best Quality of Life Tempat: Hyatt Regency Hotel, Surabaya Tanggal: 10 - 13 Agustus 2006 Sekretariat: Clinic of Andrology Soetomo Hospital Surabaya Telp: 021-53650013-15 Faks: 021-5361079 Website: http://www.iassurabaya2006.com 4) Collegium Internationale Geronto Pharmacologicum Congress 2006 From Traditional Through Bio-Molecular to Nano-Technology Medication Tempat: Balai Sidang Jakarta Convention Cent er Tanggal: 11 – 13 Agustus 2006 Sekretariat: PT Pharma Pro Int. Taman Palem Lestari, Ruko Fantasi Blok W/29 Jakarta – Indonesia E-mail:
[email protected] /
[email protected] Telp: 62-21-55960180 Faks: 62-21-55960179 Contact: Sri Witarti Website: http://www.cigp.org DEXA MEDIA
No. 3, Vol. 19, Juli - September 2006
7) Seminar & Workshop PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia) IMAGE 2006 (Indonesian Meeting on Anti Aging Medicine and Expo) Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Tanggal: 02 - 03 September 2006 Sekretariat: Global Medica Rukan gading Mediteran Jl. Boulevard Bukit Gading Raya RK 22 C, Jakarta E-mail:
[email protected] Telp: 021-453 2202 Faks: 021-453 5833 Contact Person: Sdri. Dewi 8) Kongres Nasional PERINASIA IX Paradigma Baru Dalam Pelayanan Perinatal Menyongsong Indonesia Sehat 2010 Tempat: Hotel Quality & Suite, Makassar Tanggal: 05 - 09 September 2006
159