1. Politik dan partai politik dalam kacamata Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik memiliki tiga pengertian : 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dsb; 2) segala urusan dan tindakan seperti kebijaksanaaan, siasat, dsb mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain; 3)tipu muslihat, kelicikan akal seperti daya upaya. Menurut Islam, politik adalah pengaturan urusan/kepentingan rakyat di dalam dan di l uar negeri dengan berdasar pada syariat Islam. Esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang berdasarkan hukum-hukum Islam. Secara tepat, hubungan antara politik dan Islam digambarkan oleh Imam al-Ghazali dengan pernyataan: “Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”. Hal ini berbeda dengan pandangan Barat yang mengartikan politik sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Fenomena ini bisa kita lihat dari pendapat ahli politik Barat, yaitu Loewenstein yang menyatakan “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan). Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara keseluruhan dalam segala aspek, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu syuunil ummah), di dalam dan luar negeri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara), sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dal am negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri. Dalam menggeluti politik dalam negeri, kaum muslimin wajib memperhatikan pelaksanaan pemerintahan dan meluruskannya apabila terjadi penyimpangan Adapun politik luar negeri dilakukan daulah untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Dalam melaksanakan aktivitas politik, penguasa mendapat pengawasan dari seluruh rakyat, baik sebagai individu maupun kelompok atau partai. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah ditentukan dengan rinci dan tegas termasuk dalam hal keberadaan partai politik. Menilik pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa partai politik Islam merupakan partai yang melaksanakan berbagai tugas yang dibebankan Islam kepada mereka. Tugas tersebut adalah tugas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi/meluruskan tingkah laku pemerintah dan aparatnya. Dengan kata lain, pengertian partai politik dalam konteks kehidupan Islam adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelompok atau jamaah (partai) yang berdiri atas dasar ideologi Islam dengan aktivitas dakwah kepada al khoir (Islam) dan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugasnya bertolak dari seruan Allah SWT: “(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang orangorang yang beruntung (yang akan masuk surga).” (QS. Ali Imran:104). Syekh An-Nabhaniy dalam kitab Muqaddimmah Dustur memberikan penjelasan tentang ayat di atas bahwa Allah SWT sungguh telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk kelompok/jamaah/partai yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah kepada al khair (Al-Islam) (Al-Islam) serta melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, kita harus memahami memahami bahwa perintah ini bersifat umum, yaitu ditujukan kepada semua golongan manusia. Hanya saja, beramar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang sangat utama dibanding yang lain. Pemerintah, selain merupakan pelaksana pelaksana praktis kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri juga sangat berperan dalam menentukan segala hal yang berlaku dalam masyarakat. Karenanya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi (muhasabah) penguasa merupakan aktivitas amar ma’ruf yang lebih utama. Selain itu, karena aktivitas pemerintah adalah aktivitas politik, maka jamaah/partai yang akan menasehati dan mengoreksi pemerintah haruslah memahami dan senantiasa bergelut dengan aktivitas politik. Di sinilah posisi dan peran pokok sebuah partai politik Islam. Asas asas sistem sistem politik Islam Asas asas sistem sistem politik Islam meliputi: meliputi: A. Hakimiyyah Ilahiyyah Ilahiyyah Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah dan tidak dimiliki siapa pun selain Allah. Firman Allah: "Dan tidak ada sekutu bagi Nya dalam kekuasaan Nya." (Al Furqan: 2) "Bagi-Nya segaIa puji di dunia dan di akhirat dan bagi Nya segata penentuan (hukum) dan kepada-Nya kamu dikembalikan." (A1 Qasas: Qasas: 70) "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (A1 An'am: 57) Hakimiyyah Ilahiyyah membawa membawa pengertian berikut: a. Allah adalah pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat Ilahiyyah-Nya Yang Maha Esa b. Hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali Allah. Oleh karena itu, manusia wajib taat dan beribadah kepada-Nya c. Hanya Allah sajalah yang berhak mengeluarkan hukum sebab Dialah satu-satunya Pencipta d. Hanya Allah yang memiliki hak mengeluarkan peraturan sebab Dialah satu -satunya Pemilik
e. Hukum Allah adalah sesuatu yang benar sebab hanya Dia saja Yang Mengetahui hakikat segala sesuatu, dan hanya di tangan-Nyalah penentuan hidayah dan jalan yang selamat dan lurus. f. Teras utama sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah dalam segi rububiyyah dan uluhiyyah-Nya. B. Risalah Jalan kehidupan para rasul diiktiraf oleh Islam sebagai sunan al huda atau jalan-jalan hidayah. Jalan kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang diturunkan Allah untuk diri mereka dan umat mereka. Para rasul sendiri yang menyampaikan hukum Allah dan syariat-syariat-Nya kepada manusia. Risalah berarti bahwa kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad SAW adalah satu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah di dalam perundangan dalam kehidupan manusia. Para rasul menyampaikan, menafsir dan menerjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan mereka. Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah dan larangan Rasulullah SAW. Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah Rasulullah SAW dan tidak mengambil hakim selain Rasulullah SAW dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka. Allah berfirman: "Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kamu, maka tinggalkanlah." (Al Hasyr: 7) "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (An Nisa': 64) "Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, akan Kami biarkan mereka bergelimang daiam kesesatan yang telah mereka datangi, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu adalah seburuk buruk tempat kembali." (An Nisa: 115) "Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An Nisa': 65) C. Khalifah Khalifah berarti perwakilan. Pengertian ini mendefinisikan bahwa kedudukan manusia di atas muka bumi adalah sebagai wakil Allah. Hal ini juga dimaksudkan bahwa di atas kekuasaan yang telah diamanahkan oleh Allah, manusia harus melaksanakan undang undang Allah dalam batas-batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini, manusia bukanlah penguasa atau pemilik, melainkan hanyalah khalifah atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenarnya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi... " (Al Baqarah: 30) "Kemudian Kami jadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi sesudah mereka supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat."(Yunus: 14) Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama ia benar-benar mengikuti hukum-hukum Allah. Oleh karena itu, khalifah sebagai asas ketiga dalam sistem politik Islam menuntut agar tugas tersebut dipegang oleh orang yang memenuhi syarat-syarat berikut: -Mereka harus terdiri dari orang-orang yang benar-benar menerima dan mendukung prinsip-prinsip tanggung jawab yang terangkum dalam pengertian khilafah -Mereka tidak terdiri dari orang-orang zalim, fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak melanggar batas-batas yang ditetapkan-Nya -Mereka harus terdiri dari orang-orang yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan serta kemampuan intelek dan fisikal -Mereka harus terdiri dari orang-orang yang amanah sehingga tanggung jawab dapat dipikulkan kepada mereka dengan aman dan tanpa keraguan Konsep Dasar Politik Islam Konsep Dasar dalam Politik Islam meliputi: a. Imâmah (kepemimpinan). Pengangkatan pemimpin yang amanah dan ketaatan rakyat kepada pemimpin adalah konsep politik Islam yang pokok. Para ulama mengatakan bahwa QS. An-Nisa ayat 58 di atas diturunkan untuk para pemimpin pemerintahan (waliyy al-amri) agar mereka menyampaikan amanat kepada ahlinya. Ayat berikutnya : “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari golonganmu! Kemudian jika engkau berselisih dalam masalah sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika engkau benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir! Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” Ayat ini ditujukan kepada rakyat agar taat kepada pemimpinnya dalam hal pembagian, putusan hukum, dsb. Kewajiban untuk taat kepada ulil a mri itu tidak berlaku apabila mereka memerintahkan rakyatnya berbuat maksiat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan maksiat kepada sang Pencipta (khâliq).” b. Syûrâ (konsultasi) atau musyawarah. Allah berfirman dalam al -Quran: “Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya.” (Ali Imran: 159). Konsep ini menuntun sebuah proses pengambilan keputusan atau kebijakan dari seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya. Asas musyawarah yang paling utama berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan orang-orang yang akan mendapat tugas dalam pemerintahannya. Asas musyawarah kedua berkenaan dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan UU yang telah dimaktubkan dalam Al-Qur’an dan AsSunnah. Adapun asas musyawarah yang ketiga berkenaan dengan jalan-jalan menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di kalangan umat. Syûrâ menjadi ruh yang sangat penting bagi partisipasi umat dalam penentuan kebijakan. c. ‘Adalah (keadilan). Allah berfirman dalam al-Quran: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” [Al-Nahl: 90]. Keadilan dan kesetimbangan dalam menentukan kebijakan merupakan prinsip yang dikedepankan dalam politik Islam. Sistem Islam mengedepankan keadilan dalam inti ajarannya. Dalam pelaksanaannya, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan menguasai segala jenis perhubungan yang berlaku di dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan antara rakyat dan pemerintah, antara dua pihak yang bersengketa di pengadilan maupun antara pasangan suami istri atau orang tua dan anak. Pemeliharaan terhadap keadilan merupakan prinsip nilai sosial utama karena dapat mengukuhkan kehidupan manusia dalam segala aspeknya. d. Kebebasan Kebebasan yang dimaksud dalam sistem politik Islam adalah kebebasan yang berlandaskan kebaikan. e. Persamaan atau musawah Persamaan yang dimaksud terdiri dari persamaan dalam mendapat dan menuntut hak-hak, persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut porsi masing-masing sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, dan persamaan berada di bawah naungan undang-undang. f. Hak menghisab pihak pemerintah dan mendapat penjelasan tindakan Prinsip ini didasarkan pada kewajiban pemerintah untuk melakukan musyawarah dalam hal yang berkaitan dengan urusan negara dan umat. Prinsip ini termaktub dalam firman Allah: “… maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Sad: 26)
Prinsip-prinsip Dasar Politik (Siyasah) Islam Prinsip-prinsip Dasar Politik (Siyasah) Islam diantaranya: a. kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.” Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah. Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri sendiri. b. syura dan ijma’. Mengambil keputusan dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat c. semua warga negara dijamin hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan, beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi diantaranya jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi d. hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun harus tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan negara. e. hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambil keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr) harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip dan kerangka kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural. f. ikhtilaf dan konsensus yang menentukan. Perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama. Menuru pendapat lain, prinsip-prinsip negara dalam Islam meliputi juga : 1) prinsip tauhid (kekuasaan/jabatan pemerintahan itu sebagai amanah); 2) prinsip keadilan; 3) prinsip kedaulatan rakyat; 4) prinsip musyawarah; 5) prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) ; 6) prinsip kebebasan rakyat; 7) prinsip persatuan; 8) prinsip persaudaraan; 9) prinsip gotong-royong dalam ridha Ilahi; 10) prinsip kepatuhan rakyat; 11) prinsip perdamaian; 12) prinsip kesejahteraan; 13) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Tujuan Politik Menurut Islam Tujuan sistem politik dan pemerintahan Islam sebagaimana yang telah digariskan para fuqaha adal ah: a. memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh ulama Islam b. melaksanakan proses pengadilan di kalangan rakyat dan menyelesaikan masalah di kalangan orang-orang yang berselisih c. menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan damai dan tentram d. melaksanakan hukuman-hukuman yang ditetapkan syara’ demi melindungi hak –hak manusia e. melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam f. menjaga perbatasan negara dengan berbagai persenjataan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar g. mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat dan sedekah sebagaimana yang ditentukan oleh syara’ h. mengatur anggaran belanja perbendaharaan negara agar tidak di gunakan secara boros atau kikir i. mengangkat pegawai-pegawai yang cakap dan jujur dalam mengawal kekayaan negara j. menjalankan pergaulan dan pemeriksaan yang rapi dalam segala hal demi memimpin dan melindungi negara 2. Partai politik Islam mengedepankan syariat Islam dalam melaksanakan fungsi politik Suatu partai politik berbasis Islam baru benar-benar disebut sebagai partai politik Islam apabila mengedepankan syariat Islam. Keberadaan partai politik yang bekerja untuk Islam wajib memenuhi syarat berikut: 1. Partai itu ha rus dari beranggotakan kaum muslimin saja 2.Partai Islam haruslah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai tolak ukur dari hukum yang dijadikan pegangannya. 3. Partai itu beraktivitas mengajak kepada kebaikan. Dalam tafsir Jalalain “mengajak kepada al khoir” berarti mengajak kepada dinul Islam. 4. Partai ini harus beraktivitas menyeru kepada yang ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar ini merupakan bagian terpenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’) serta memberikan nasehat apabila dalam aktivitas pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syariat Islam, misalnya bersikap dzalim, fasik dan lain-lain. Semua ini merupakan kegiatan politik dan bagian yang amat penting serta menjadi ciri utama dari kegiatan partai-partai politik dalam Islam. seperti beranggotakan orang Islam dan menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya. Kehadiran partai politik ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi umat Islam dalam menyuarakan aspirasi dan berperilaku politik sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.
Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’at dan pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-kontra dikalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu tema keterlibatan para ulama dan cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai eksekutif, legislatif ataupun yudikatif selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram halalnya “profesi politis” tersebut, namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu. Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal: Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut. Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’ ) secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalifah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan sangat disayangkan bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al- Khulafa’ al -Rasyidun justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalifah itu. Alasannya tentu sangat jelas rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan. Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar. Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari. Interaksi kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak melewati batas individu saja kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah A rab misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak sama satu dengan yang lain. Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi umat Islam, namun “anehnya” secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat “keinginan untuk menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya berperan sangat besar dalam hal ini. Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbe daan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka. Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu secara lembaga maupun individu telah menyimpang dari jalan yang benar dan perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun mereka kemudian berbeda pandangan lagi apakah perubahan itu harus melalui kudeta? Atau mengikuti persaingan politik yang keras? Atau justru dengan melakukan kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah negara? Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus diperbaiki di tubuh umat ini
secara lembaga maupun individu. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya? Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada. Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan beberapa kaidah dimaksud, yaitu: Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu dengan yang lain. Karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi. Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum ( al-Walayah al- ‘Ammah ), seperti khalifah, qadhi, menteri, gubernur, hisbah dan yang terkait dengannya; semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi, seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilafah atau imamah mengatakan: “Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian dalam m enjaga agama dan mengatur urusan dunia”. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang pali ng utama.” Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai kesyar’i annya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan. Kekuasaan yudikatif (qadha’) misalnya yang notabene merupakan kekuasaan syar’i yang sangat mulia, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami Syariat Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan kesyar’i annya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan Syariat Islam. Dan ia tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai dengan wahyu Allah. Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas umat Muhammad saw; yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus masyarakat muslim; baik secara individu ataupun kelembagaan. Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti para rasul dalam menyampaikan risalah Allah. Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman: “…akan tetapi dia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang -orang rabbani dengan apa yang kalian ajarkan dari al- Kitab dan apa yang kalian pelajari.” (Ali Imran: 79) Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan mengatakan:
“Jika demikian, para rabbaniyyun adalah sandaran manusia dalam pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama, sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman, yang memahami politik (siyasah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.” Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam: 1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah, fara’idh, hukum seputar keluarga seperti nikah dan talaq, hudud, qishash dan diyat nya. 2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu h al-hal yang dijelaskan secara umum oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’malah harta dan sistem tatanan sosial yang terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya. Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-Tsawabit ); baik yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ni tidak ada perbedaan antara yang qath’i ataupun zhanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya meskipun ada namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan perselisihan dan permusuhan. Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada. Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal ) dan adapula yang bersifat terperinci (mufashshal ), meskipun yang mayoritas adalah yang pertama. Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang satu ini,misalnya, Allah berfirman: “Dan hendaklah (engkau) memutuskan perk ara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah………” (al-Maidah: 49) Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada posisi yang tepat. Adapun aturan politik yang bersifat global ( mujmal ) maka ia mencakup aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya, seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya. Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu bersifat ijtihadiyah dan bukan tauqifiyah. Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. ia bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya. Sistem adminstrasi pada masa Khulafa’urrasyidun misalnya b erbeda dengan sistem yang berlaku di zaman Nabi saw ataupun dengan era pemerintahan di masa Umawiyah dan Abbasiyah. Fakta sejarah misalnya menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khatthab r.a. adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan ), dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islamiyah yang pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai d engan kebutuhan zaman dan sejalan dengan mashlahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih mashlahat. Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja atau tidak?
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadhi, dan anggota majlis syura (parlemen)? Atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku? Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa wal Islam maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw, maka kita tidak menemukan hal itu. Abu Bakar menjadi khalifah melalui proses bai’at yang disepakati oleh Ahl al-Sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami (maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam dalam urusan dunia kami?” Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin al-Khatthab r.a adalah proses istikhlaf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu’ah al-Majusi: “Jika aku melakukan istikhlaf , maka orang yang lebih baik dariku pun maksudnya Abu Bakar telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya yaitu Rasulullah SAW.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh Khalifah Harun al-Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab: “Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul -Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum beriman pun mendiamkannya.” Harun al -Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan: “Saat itu Rasulullah saw sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka ia pun memimpin s halat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi saw. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca: sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah saw.” Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam haruslah berasal dari Suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu luas: (1) Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti tertentu. (2) Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu memiliki kapabilitas sebagai pemimpin. (3) Syarat ini hanya terkait dengan al-Imamah al- ‘Uzhma saja, bukan kekuasaan yang lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan ditunjuk? Poin kequraisyian inilah yang menentukannya. Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap bersifat muthlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk kepemimpinan tertinggi di sebuah negara. Konsep pemilu sendiri dalam bentuknya yang modern dapat dikatakan sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam seluruh bidang kehidupan. Diantaranya adalah:
1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara sesuai dengan latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen. 2. Menjauhkan agama apapun dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik, adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka. Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya. 3. Hubungan sosial politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat, bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar -benar dibebaskan mengikuti nafsu dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk menghakiminya. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti: – Bahwa kebebasan semacam ini (seharusnya) memberikan kesempatan dan ruang gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran –terutama para da’i, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya. – Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterusterangan antara penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka secara bebas. Diantaranya adalah: 1. Keragaman partai politik. Dan ini adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen. 2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen. Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat sebagai salah satu prinsip Demokrasi. 3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu; 2, 3, 4 atau 5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula kekuasaan pemerintah terpilih. 4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, judikatif dan eksekutif. Ini juga dapat disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat. Dengan melihat ulang karakteristik tersebut baik yang bersifat ideologis maupun adminstratif, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Karakter pertama misalnya penetapan undang-undang jelas bertentangan dan bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah (samawiyah). Allah berfirman: “Apakah m ereka mempunyai sesembahan selain A llah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diinginkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan.” (Al-Syura: 21) Karakter kedua juga demikian: memisahkan agama dari kehidupan sosial masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari, bahkan mengecam tindak pemisahan itu, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Nisa’ ayat 150-151. Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan ber dampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk kebebasan yang sejalan dengan Syariat. Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan umum, dan pemisahan 3 jenis kekuasaan, maka nampaknya ini dapat dikategorikan sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti
sistem pendidikan modern yang berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi 3 tahap: dasar, menengah dan perguruan tinggi dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya. Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep “negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa Khulafa’ al -Rasyidun hingga Khilafah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah yang berada di bawah naungan dan jangkauan kekhilafahan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Teng ah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang, sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri” bahwa setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah satu kekhilafahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya. Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan dan pemisahan tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung pada prinsip “Jalb al -M ashlahah wa Dar’u al -M afsadah” . Dan ini adalah prinsip yang umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam sejarah politik Islam awal, terutama di masa Khalifah Umar bin al-Khathab r.a. Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencari-cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidaksyar’iyan adanya keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan 3 jenis kekuasaan tersebut. Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih untuk itu. Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak bertentangan dengan Syariat Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain, terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal dari luar Islam. Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan akademisi. Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting ini: pemilihan pemimpin negara. Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hil wa al- ‘aqd yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya, penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual, seperti perguruan tinggi, dewan ulama, organisasiorganisasi keilmuan, dan yang semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada Dewan Parlemen.
Dari uraian di atas, sesungguhnya ada satu poin penting yang ingin ditegaskan oleh penulis, yaitu bahwa saat ini kita sebagai seorang muslim dihadapkan pada dua hal yang penting untuk selalu dijadikan pertimbangan: (1) bahwa kita harus berpegang teguh pada Syariat Allah, dan (2) disaat yang sama kenyataan masa kiwari yang juga menuntut kita untuk dapat menyesuaikan diri dengan segala perkembangannya. Kedua hal ini jelas harus kita jalani dengan seimbang. Itulah sebabnya, keteguhan kita pada Syariat Allah seharusnya tidak menghalangi kita untuk beradaptasi dengan zaman manapun, sebab pada dasarnya Syariat Islam memberikan kita ruang untuk itu. Ada hal -hal yang dapat “dilenturkan” –dan karena itu, ia dapat berubah dari waktu ke waktu-, namun ada hal-hal yang tidak dapat digoyahkan sedikit pun. Dan kasus pemilu serta sistem pemerintahannya lainnya adalah contoh nyata yang menunjukkan pada kita kedua hal itu. Pada akhirnya, yang paling kita butuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang dalam dan bijak akan nilai-nilai Syariat Allah ini, agar kita dapat mengejawantahkannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Rabb yang menurunkannya sebagai rahmat bagi alam semesta. Wallahu a’lam bi al-shawab.
1.0 Hukum Dari Allah; Kekuasaan Dan Kedaulatan Milik Allah S.W.T. An-nisa’ : ayat 78 78. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? An-aam : ayat 62 62. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. Dan Dialah Pembuat Perhitungan yang paling cepat Yasiin : ayat 83 83. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepadaNyalah kamu dikembalikan.
A’raaf :ayat 4 4. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.
36. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
2.0 Taat dan Patuh Kepada Pemimpin An-Nuur :ayat 48 48. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. (an-nuur).
Posisi manusia menjadi pemimpin, keharusan memilih dan mentaati pemimpin.
. ( ) Hadis Ibnu Umar r.a. Diriwayatkan daripada Nabi s.a.w berkata: baginda telah bersabda: kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang pemerintah adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi ahli keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. Manakala seorang isteri adalah pemimpin rumahtangga, suami dan anakanaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia akan bertanggungjawab terhadap jagaannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpi
) Hendaklah kamu mendengar, patuh dan taat (kepada pemimpinmu) dalam masa kesenangan (kemudahan dan kelapangan), dalam kesulitan dan kesempitan, dalam kegiatanmu dan di saat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan sekalipun keadaan itu merugikan kepentinganmu.. (
) Barangsiapa membai’at seorang imam (pemimpin) dan t elah memberinya buah hatinya dan jabatan tangannya, maka hendaklah dia taat sepenuhnya sedapat mungkin. (
Mendengar dan mentaati wajib atas manusia dalam apa-apa yang ia sukai dan juga dalam apa yang tidak disukai, kecuali bila ia disuruh dengan sesuatu yang maksiat, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh pula ditaati. 3.0 Permesyuaratan dan sistem mengambil keputusan di Dalam Islam Al-Imran : ayat 159 159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, t entulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(al-Imran)
As-Syura :ayat 38 38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (As-Syuura)
Hendaklah kamu adakan kerapatan dengan orang-orang yang beriman, dan adakan lah permusyawaratan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan dengan fikiran sendiri (Riwayat Imam Ibn Abdil- Barr)
Hendaklah kamu bermesyuarat dengan ahli fiqh (orang-orang yang mempunyai pengertian tentang agama) dan orang-orang ahli ibadat, dan janganlah kamu putuskan dengan fikiran sendiri ( Riwayat Ath-Thabarani)
) Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan, kerana itu jika terjadi perselisihan maka ikutilah suara terbanyak.. 4.0 Keharusan untuk bersatu padu dan larangan berpecah belah (.
Al-Imran : ayat 103 103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhmusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orangorang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
, Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata; saya dengar Rasulullah s.a.w bersabda; “ siapa yang ingin rezekinya dibanyakkan (dilapangkan) dan umurnya d ipanjangkan, hendaklah ia menghubungkan silaturrahim.
: (. )
.
Janganlah kamu semua hasad menghasad, jangan pula kecoh mengecoh, jangan benci membenci, jangan seteru menyeru dan jangan pula setengah dari engkau semua itu menjual atas jualannya orang lain. Dan jadilah hamba Allah sebagai saudara. Seorang muslim itu adalah saudara orang Muslim yang lain. Janganlah ia menganiaya saudaanya, jangan merendahkannya dan jangan menghinanya- enggan memberi pertolongan padanya. Ketaqwaan itu ada di sini- dan beliau menunjuk kea rah dadanya sampai tiga kali. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghina saudaranya sesame muslim. Setiap orang muslim terhadap orang muslim yang lain itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya..
:
)
(
. Dari Ibnu Umar r.a bahawasanya Rasulullah s.a.w bersabda; ‘seorang muslim itu adalah saudara orang muslim yang lain, ja nganlah ia menganiaya saudaranya itu, jangan pula menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa memberikan pertolongan pada hajat saudaranya, maka Allah selalu memberikan pertolongan pada hajat orang itu. Dan barangsiapa yang melapangkan kepada seseorang Muslim akan satu kesusahannya, maka Allah akan melapangkan untuknya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutup cela seseorang muslim, maka Allah akan menutup celanya di hari kiamat..
5.0 Keharusan Berlaku, Bersifat Adil Dan Menunaikan Keadilan Keadilan Dalam Memerintah An- Nisa’ : ayat 58 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(an-Nisa’)
An-Nisa’ : ayat 135 135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa’)
)
(
. Dari Abdullah bin Amr r.a katanya, Rasulullah s.a.w bersabda: ‘ sesungguhnya orang-orang yang adil itu di sisi Allah akan mendapat tempat di atas mimbar-mimbar dari cahaya terletak di sebelah kanan Allah. Iaitu orang-orang yang adil menjalankan hukum, adil kepada keluarganya, dan adil melaksanakan tugas yang diserahkan kepadanya. Katanya: kedua-dua tangan Allah itu dinamakan “yamin”’..
6.0 Keharusan Berlaku, Bersifat Amanah Dan Menunaikan Amanah Kepada Yang Berhak
Baqarah : ayat 283 283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada b arang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Baqarah)
Al-Imran :ayat 75 75. Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (al-Imran)
An-Nisa’ : ayat 2 2. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (anNisa’)
An- Nisa’ : ayat 58 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (an-Nisa’)
Al-Anfal :ayat 27 27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (al-Anfaal)
Al-Mu’minuun : ayat 8 8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (al-Mu’minuun)
. Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w bersabda; “ t anda orang munafik itu tiga macam, iaitu jikalau berkata dusat, jikalau berjanji mungkiri, dan jikalau diberi amanah lalu khianat.. :
:
)
(
7.0 Persamaan Darjat Dan Kedudukan Sesama Muslim Al-Hujurat: ayat 13 13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
8.0 Keharusan Membela Diri Dan Keluarga At-Tahrim : ayat 6 6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
As-Syu’araa’ : ayat 214 214. Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,
9.0 Sifat-Sifat Peminpin Al-Baqarah : ayat 247 247. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah)
An-Nisa’ :ayat 139 139. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.(an-Nisa’)
An-Nisa’ : ayat 141 141. (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’)
An-Nisa’ : ayat 144 144. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (an-Nisa’)
Al-anfaal : ayat 73 73. Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.(al-anfaal) 10.0 Pemimpim-Peminpin Yang Menyesatkan
Al-Maidah : ayat 77 77. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang t elah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (al-Maaidah)
At-Taubah : ayat 12 12. Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.(at-Taubah)
At-Taubah: ayat 34 34. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (at-Taubah)
11.0 Melantik Pemerintah
Al-A’raaf : ayat 142 142. Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan." (al-A’raaf Al-A’raaf : ayat 150 150. Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu,Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim" (al-A’raaf)
12.0 Tanggungjawab Pemimpin
Al-Maaidah : ayat 42 42. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maaidah) As-Syuara’ : ayat 215
215. dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (As-Syuara’)
Al-Ahzab : ayat 6 6. Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orangorang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (al-Ahzab)
13.0 Kewajipan Menggunakan Hukum Islam Al-Baqarah: ayat 213 213. Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(al-Baqarah)
Al-Maaidah :ayat 44 44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka it u adalah orang-orang yang kafir.(al-Maaidah)
An-nisa’ : ayat 60 60. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.(an-Nisa’)