MANAJEMEN KEUANGAN PERUSAHAAN Ediss i 1 Edi
Dr. H. Jaja Suteja, SE., MSi.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling sedikit 1 (satu) bulan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait terkait Sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,0 500.000.000,00 0 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR Assa As sa l a m u ’ a l a i k u m Wr. Wb. Wb. Tren globalisasi bisnis dan berbagai isu lokal pada saat ini telah terdokumentasi terdok umentasi dengan baik dalam laporan keuangan, baik dalam korpora korporasi si besar maupun kecil, sehingga pada akhirnya berbagai kecenderungan tersebut berpengaruh secara signiikan pada kinerja keuangan, karenanya karenanya pemahaman atas beragam konsep manajemen keuangan, khususnya keuangan korporasi (corporate (corporate inancial management ) sangat penting, baik bagi pihak manajemen, pemerintah, mereka yang berminat dalam manajemen keuangan perusahaan, para mahasiswa sekolah bisnis maupun para pemerhati masalah keuangan. Buku Manajemen Keuangan Perusahaan Edisi 1 ini hadir dengan tujuan untuk memberikan salah satu referensi penting penting dalam dalam menangani sejumlah masalah tata kelola keuangan perusahaan. Selain itu, buku ini penting sebagai buku referensi bagi referensi bagi mahasiswa bisnis yang mengambil konsentrasi manajemen keuangan perusahaan, baik mahasiswa S1 (Sarjana), mahasiswa S2 (Magister) maupun mahasiswa S3 (Doktoral). Buku ini disajikan dalam format penuntun belajar agar pembaca dapat memahami teori kuangan perusahaan secara komprehensif. Dalam buku ini dibahas mengenai: pengertian, fungsi, f ungsi, dan peran manajemen keuangan, kerangka kerang ka dasar keuangan korporasi, korporasi, analisis laporan keuangan, nilai waktu uang, teori struktur modal perusahaan, kebijakan dividen perusahaan, merger dan akuisisi. Dalam kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas Ekonomi Unpas, Dr. H. R. Abdul Maqin, S.E., M.P. yang telah memberikan dorongan kepada penulis agar dapat menyelesaikan buku referensi ini tepat waktu, juga PD II FE Unpas, Dr. Atang Hermawan, S.E., MSIE., Ak.; PD III FE Unpas, Sadikun Citra Rusmana, S.E.; Wasito, S.E., MSIE.; dan juga kepada Dr. H. Juanim, S.E., M.Si.; Sdr. Bayu Indra Setia, S.E., M.Si.; serta Sdr. Ardi Gunardi, S.E. yang telah membantu terbitnya buku ini.
Akhirnya harapan penulis semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat, saran dan kritik konstruktif sangat terbuka demi perbaikan buku ini pada masa yang akan datang.
Wassala mu’alaik u m Wr. Wb. Bandung, Medio April 2012
Penulis
DAFTAR ISI
1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
1
2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
21
3 Analisis Laporan Keuangan
39
4 Nilai Waktu Uang
65
5 Teori Struktur Modal Perusahaan
75
6 Kebijakan Dividen Perusahaan
105
7 Merger dan Akuisisi
123
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Pola Aliran Kas (Cash Flow ) antara Perusahaan (The Firm) dengan Pasar Keuangan (Financial Market ) (5) Gambar 1.2 Pengaruh Berbagai Ilmu terhadap Manajemen Keuangan (7) Gambar 1.3 Hubungan Fungsi Keuangan dengan Tujuan Perusahaan (11) Gambar 2.1 Basic Corporate Finance Framework (24) Gambar 2.2 Contoh Komponen Neraca (27) Gambar 2.3 Contoh Laporan Laba Rugi Perusahaan (29) Gambar 2.4 Distribusi Aliran Kas Perusahaan (30) Gambar 2.5 The Cost of Capital (33) Gambar 5.1 Hubungan EBIT~EPS dalam Penentuan Pilihan Debt Equity Financing (79) Gambar 5.2 Target Struktur Modal Optimal (81) Gambar 5.3 Hubungan Non Monotonic Nilai Perusahaan ~ Struktur Modal (82) Gambar 5.4 Hubungan antara Nilai Perusahaan dengan Tingkat Pengeluaran Manajer dalam Bentuk Kemewahan Fasilitas (92) Gambar 7.1 Ekspektasi Utilitas berdasarkan Expectation Theory (144)
1
Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan Jaja Suteja
Manajemen keuangan merpakan seni dan pengetahuan yang memberikan peran penting dalam menentkan berbagai alteratif solusi mengenai set peluang investasi dan ragam sumber pendanaan optimal yang dapat diakses oleh persahaan
B A B
1
Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1. Pengertian Manajemen Keuangan 2. Berbagai Fungsi dan Peran Manajemen Keuangan Perusahaan 3. Tujuan Manajemen Keuangan Perusahaan 4. Berbagai Bentuk Organisasi Perusahaan 5. Konlik Keagenan Perusahaan 6. Evolusi Teori Keuangan
A. Pengeran Manajemen Keuangan Perusahaan
K
euangan merupakan bidang kajian yang sangat luas dan dinamis. Dalam
praktiknya masalah tersebut seringkali berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sisi kehidupan setiap orang dan perusahaan atau organisasi. Uang (money ) bagi perusahaan dapat dianalogikan seperti ”darah” dalam suatu sistem metabolisme tubuh manusia, darah akan
memiliki fungsi dan peran yang sangat signiikan. Bayangkan, bagaimana manusia tanpa darah atau perusahaan tanpa memiliki uang (money ) satu sen/rupiah pun, apa yang yang akan terjadi? Manusia tanpa darah pasti akan meninggal, begitu juga dengan perusahaan, tanpa dukungan inansial
2
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
yang memadai akan sangat sulit untuk melakukan kegiatan bisnis sebelum betul-betul kemudian dinyatakan mengalami inancial distress atau bahkan pailit/bangkrut. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengelola sumber daya uang secara lebih profesional. Secara umum, manajemen keuangan dideinisikan sebagai seni dan ilmu dalam mengelola uang (the art and science of managing money ). Jika kita berbicara tentang keuangan, maka ada tiga area yang saling berkaitan, yaitu: (i) Uang dan Pasar Modal (money and capital market ), termasuk di dalamnya pasar sekuritas dan lembaga keuangan, (ii) Investasi (investments), baik yang dibuat oleh investor individual maupun lembaga dalam memilih portofolio sekuritas, serta (iii) Manajemen Keuangan ( inancial management ), yang mencakup pembuatan keputusan keuangan dalam perusahaan.
1. Uang dan Pasar Modal (Money and Capital Market ) Setiap individu maupun perusahaan yang memiliki kelebihan (surplus) uang atau dana dapat melakukan kegiatan investasi. Terdapat banyak ragam sarana yang dapat dilakukan untuk berinvestasi, mulai dengan investasi yang dilakukan pada sektor bisnis riil/nyata, sampai dengan investasi yang dilakukan pada jenis aktiva-aktiva tidak berwujud, salah satunya adalah berinvestasi pada pasar modal (capital market ) dengan membeli sekuritas/surat berharga yang tersedia. Sementara itu, setiap perusahaan yang membutuhkan dana juga dapat menjual sekuritas/surat berharga pada pasar modal. Selain pasar modal, juga terdapat lembaga lain yang memungkinkan pemilik dana dan pihak-pihak yang membutuhkan dana dapat bertemu, seperti bank, perusahaan asuransi, reksa dana, dan lain-lain. Mereka inilah yang disebut dengan lembaga keuangan ( inancial institution), selanjutnya lembaga keuangan ini juga memberikan pelayanan mengenai jasa keuangan, yaitu pemberian jasa dan produk-produk keuangan kepada individu, perusahaan dan pemerintah.
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
3
2. Investasi (Investments) Terdapat banyak alternatif pilihan bagi seseorang individu dan lembaga atau perusahaan untuk melakukan aktivitas investasi, baik investasi pada aktiva nyata maupun dalam sejumlah instrumen investasi berbentuk sekuritas. Untuk dapat meningkatkan beragam pilihan investasi tersebut, investor dapat membentuk portofolio investasi ( portfolio investments). Untuk itu dibutuhkan analis sekuritas untuk memilih investasi atau sekuritas mana yang memberikan imbal hasil (return) tinggi. Analis dapat bekerja sendiri maupun bergabung pada perusahaan pialang sekuritas atau brokerage house.
3. Manajemen Keuangan (Financial Management ) Dalam sejumlah terbitan buku beberapa orang sering menyebutnya sebagai keuangan manajerial atau managerial inance, yaitu suatu kegiatan yang berhubungan dengan beragam fungsi dan peran serta tugas yang harus dilakukan oleh manajer keuangan dalam perusahaan bisnis dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan keuangan. Manajer keuangan adalah orang yang bertanggung jawab secara aktif dalam mengelola keuangan pada berbagai jenis usaha atau bisnis, baik perusahaan keuangan atau non keuangan, perusahaan perseorangan atau public, perusahaan besar atau kecil, perusahaan yang mencari keuntungan maupun non proit motive. Manajer keuangan secara aktif mencari sumber-sumber dana (source of fund ) dari berbagai pihak untuk kemudian diinvestasikan
dalam berbagai kegiatan produktif (allocation of fund on producting assets). Dari kegiatan investasi dalam aktiva produktif inilah perusahaan diharapkan dapat memperoleh nilai tambah baik berupa keuntungan atau kesejahteraan secara inansial (economic or inancial welfares) maupun kesejahteraan dalam bentuk lain bagi para pemegang saham perusahaan (shareholders).
4
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Total Value of the Firm to Investors in the Financial Markets
Total Value of Firm’s Assets B Firm invests in assets
A
E Current Assets Fixed Assets C
Firm issues securities
Retained cash lows
Cash low from irm’s assets
D
F
Financial markets
Short-term debt Long-term debt Equity shares
Dividends and debts payments
Government
Sumber: Ross, Westerield, Jordan (200:15) Gambar 1.1 Pola Aliran Kas (Cash Flow ) antara Perusahaan (The Firm) dengan Pasar Keuangan (Financial Market )
Dari Gambar 1.1 tersebut tampak pola aliran kas, mulai dari perusahaan (the irm), untuk mendukung rencana investasi selanjutnya perusahaan
mengeluarkan atau menerbitkan surat berharga (bond or equity issue). Uang hasil penerbitan sekuritas tersebut kemudian diinvestasikan pada aset atau aktiva perusahaan, baik dalam bentuk current maupun ixed assets. Utilisasi aktiva tersebut akan menciptakan aliran kas (cash low from irm’s assets). Aliran kas yang tercipta selanjutnya akan didistribusikan oleh manajemen perusahaan berdasarkan berbagai kebijakan keuangan (diversiied inancial policies), sebagian dana tersebut dikembalikan kepada
perusahaan dalam bentuk dana ditahan (retained earning) sebagian lagi didistribusikan kepada pemilik perusahaan (owners or shareholders) dalam bentuk dividen (dividend cash payment ) atau digunakan untuk membayar
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
5
berbagai kewajiban yang jatuh tempo (debt due maturity ). Karena perusahaan adalah lembaga bisnis yang memanfaatkan area public terbesar, oleh karena itu mereka juga harus membayar pajak (corporate income tax ) yang harus dibayarkan kepada pemerintah dalam rangka berkontribusi dalam pemeliharaan sarana publik.
B. Fungsi dan Peran Manajemen Keuangan Dalam praktiknya tidak pernah ada aktivitas bisnis (business activities) dalam suatu organisasi laba ( proit organization), khususnya perusahaan tanpa pernah berinteraksi dengan bagian keuangan. Oleh karena itu, fungsi manajemen keuangan dapat dijelaskan melalui peran dan fungsi dari manajemen keuangan dalam perusahaan. Hubungan antara manajemen keuangan dengan bidang fungsional lainnya dalam sebuah perusahaan bisnis bersifat saling melengkapi (complementary role of managing corporate each other ). Artinya, dalam satu tata kelola perusahaan, misalnya bidang atau bagian pemasaran (marketing department ) hanya sebagai salah satu sub sistem saja, oleh karena dengan sendirinya tidak bisa secara sepihak memutuskan untuk melakukan strategi fungsional tertentu tanpa memperhatikan arah kebijakan korporat, misalnya ekspansi pasar (existing or new market expantion) karena harus memperoleh dukungan pendanaan, sumber daya manusia dan aspek lainnya dari perusahaan. Dengan demikian, bidang fungsional tersebut seharusnya bersinergi dan implementasi antara kebijakan tersebut harus bersifat uniied , integrated , dan comprehensive. Begitu pula dengan bagian atau departemen lainnya, departemen sumber daya manusia (HRM Department ) dalam mengeksekusi strategi fungsionalnya juga tidak bisa melakukannya atau memutuskan secara sepihak, misalnya merekrut karyawan tanpa ada perencanaan dan pengalokasian dana atau menaikkan gaji para karyawannya demi alasan produktivitas. Dengan demikian, bidang-bidang fungsional tersebut dalam tata kelola perusahaan sifatnya saling mendukung untuk sebuah strategi perusahaan yang handal.
6
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Dalam kaitan tersebut, manajemen keuangan perusahaan memiliki peran yang sangat penting dalam mencari berbagai sumber pendanaan perusahaan agar dapat menjamin bahwa rencana strategik dapat diimplementasikan pada berbagai bidang fungsional, termasuk adanya dukungan inansial yang memadai (available source of fund ). Berdasarkan Gambar 1.2 tampak bahwa dalam hubungannya dengan bagian lain dalam perusahaan seperti bagian akuntansi misalnya, fungsi keuangan untuk sejumlah besar perusahaan kecil atau small business enterprise dilakukan juga oleh controller , sedangkan pada perusahaan besar (large enterprise) pada umumnya bagian controller kerap dilibatkan dalam kegiatan keuangan. Namun demikian, tugas bagian keuangan berbeda dengan akunting. Bagian akunting menekankan pada accrual basis bahwa pendapatan diakui pada saat penjualan (walaupun belum terjadi pembayaran) dan biaya diakui jika sudah dikeluarkan. Bagian keuangan menekankan pada cash basis (cash low ), yaitu pendapatan dan biaya yang benar-benar terjadi. Gambar 1.2 berikut ini akan memberikan sebuah delinasi work low hubungan di antara bidang-bidang tersebut: Keputusan Keuangan
Analisis Kelayakan Investasi Modal Kerja Sumber dan Biaya Modal Penentuan Struktur Modal/ Dividen, dan lain-lain
Akuntansi, Ekonomi Makro/Mikro, Metode Kuantitatif, Marketing, MSDM, dan lain-lain
Memaksimumkan Kesejahteraan para Pemilik Sumber: Sjahrial (200:3) Gambar 1.2 Pengaruh Berbagai Ilmu terhadap Manajemen Keuangan BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
7
Dalam menjalankan fungsi dan peran tersebut, manajemen keuangan tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh perubahan kondisi, baik aspek internal maupun eksternal. Aspek internal terkait perkembangan dalam perusahaan, sementara kondisi lingkungan eksternal perusahaan ditunjukkan oleh perkembangan indikator ekonomi makro yang eksistensinya relatif bersifat uncontrollable factors. Dalam proses pembuatan keputusan keuangan ( inancial decision making process), bagian akunting menekankan pengumpulan dan penyajian data keuangan (collection and presentation of inancial data), sementara itu bagian keuangan menekankan pada evaluasi data keuangan dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan imbal hasil dan risiko atau return and risk Bidang-bidang tersebut sangat berpengaruh terhadap manajemen .
keuangan dalam merumuskan berbagai kebijakan atau keputusan keuangan. Berbagai kebijakan/keputusan keuangan tersebut tujuan akhirnya adalah bagaimana memaksimumkan kekayaan atau kemakmuran dari para pemilik perusahaan (shareholders). Tujuan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham dapat ditempuh dengan memaksimumkan nilai sekarang dari semua keuntungan pemegang saham yang diharapkan akan diperoleh di masa yang akan datang ( present value of expected cash low ). Kemakmuran pemegang saham meningkat bila harga saham yang dimilikinya juga meningkat. Harga pasar saham yang terbentuk dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: (i) Earning per Share (EPS), (ii) Price Earning Ratio (PER), (iii) tingkat bunga bebas risiko, (iv) tingkat kepastian operasi perusahaan, dan lain-lain. Makin besar ukuran perusahaan, maka makin besar tingkat independennya, dalam sebuah perusahaan besar bagian keuangan sering menjadi suatu departemen yang terpisah dan mempunyai hubungan langsung dengan pemimpin perusahaan (Chief Executive Oficer ) melalui pemimpin bagian keuangan atau Chief Financial Oficer . Bagian keuangan ini membawahi treasurer dan controller . Treasurer adalah orang atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap kegiatan keuangan seperti: (i) perencanaan keuangan, (ii) mencari sumber dana (iii) menginvestasikan dana, (iv) mengelola kas, (v) mengelola kegiatan kredit, (vi) mengelola dana pensiun, dan (vii) mengelola foreign exchange. Controller adalah akuntan
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
kepala (chief accountant ) dan bertanggung jawab atas kegiatan akunting perusahaan seperti, corporate accounting, pengelolaan pajak, akuntansi keuangan, dan biaya. Kegiatan utama manajer keuangan adalah membuat keputusan investasi dan pendanaan ( inancial decisions). Kegiatan ini dapat digambarkan melalui neraca perusahaan. Di sisi kiri adalah keputusan investasi, yaitu membuat keputusan atas aktivitas kegiatan investasi pada beragam aktiva produktif yang dilakukan yang dicerminkan pada pemilikan harta atau aktiva perusahaan: harta lancar/current assets maupun harta tetap/ ixed assets. Di sisi kanan adalah keputusan keuangan, yaitu menentukan kombinasi dan jenis-jenis sumber dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan produktif perusahaan.
C. Tujuan Utama Perusahaan Manajer dan pemegang saham adalah pihak yang berbeda. Setiap kegiatan manajer harus dilakukan untuk mencapai tujuan pemiliknya. Jika manajer dapat mencapai tujuan yang ditetapkan pemilik perusahaan, maka manajer juga mencapai tujuan inansial dan tujuan profesionalnya. 1.
Memaksimumkan Kesejahteraan Pemilik Perusahaan (Maximize Shareholders Wealth) Tujuan utama yang ditetapkan oleh pemilik perusahaan adalah
bagaimana memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham (how to maximize shareholders wealth) dari aktivitas bisnisnya saat ini yang dikelola oleh para agen profesional (management ). Pencapaian tujuan ini diukur melalui harga saham perusahaan, jika harga saham meningkat, maka kesajahteraan pemegang saham juga meningkat. Harga saham ini tergantung pada timing atas return (cash low ) dan risikonya. Penetapan tujuan ini juga berarti bahwa perusahaan harus menggunakan sumber dana berbiaya rendah atau melakukan investasi dengan return tinggi, sehingga harga saham akan meningkat. Dengan konsep ini, maka penilaian pendapatan per lembar saham atau Earning per Share (EPS) menjadi penting, karena merupakan indikator atas imbal hasil atau return (cash low ) di masa yang akan datang dan mempengaruhi harga saham perusahaan saat ini.
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
2.
Memaksimumkan Profit (Profit Maximization) Memaksimumkan proit biasanya dilakukan untuk tujuan jangka
pendek. Dalam jangka panjang, tujuan memaksimumkan proit tidak dapat dilakukan, karena mengabaikan: (i) timing of the return , (ii) cash low kepada pemegang saham, (iii)
tingkat risiko yang dihadapi, dan
(iv) masalah waktu (timing). Jika ada dua proyek yang menghasilkan EPS berbeda, maka perusahaan harus mengambil proyek dengan EPS besar pada awal-awal tahun cash low . Pemegang saham menerima cash low dalam bentuk dividen maupun penjualan sahamnya. Jadi proit tinggi, yang berarti EPS tinggi, tidak berarti bahwa cash low yang diterima pemegang saham juga tinggi, karena belum tentu Board of Directors akan memberikan dividen tinggi kepada para pemilik perusahaan. Tujuan maksimisasi proit biasanya mengabaikan risiko (risk avoidance), yaitu kemungkinan kondisi di mana hasil aktual yang terjadi berbeda dari yang diharapkan. Di lain pihak, terjadi trade-off antara return (cash low ) dan risiko (risk bearing). Seperti yang kita ketahui bersama-sama, return dan risk merupakan determinan harga saham, yang pada akhirnya akan menentukan kesejahteraan pemegang saham (shareholders welfare). Cash low tinggi berhubungan dengan harga saham tinggi, sedangkan risiko tinggi akan menyebabkan harga saham menjadi rendah. Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, maka maksimisasi proit bukan menjadi tujuan yang ditetapkan oleh pemilik perusahaan, sehingga juga bukan merupakan tujuan manajer keuangan. Hubungan fungsi keuangan dengan tujuan perusahaan secara sederhana dapat dilukiskan dalam Gambar 1.2 Tampak bahwa dari relasional tersebut, ending destination-nya adalah how to maximize value of the irm. Fungsi manajemen keuangan yang direpresentasikan pada kebijakan investasi (investment policy ) dan kebijakan pendanaan atau pembelanjaan ( inancing policy ) akan memiliki implikasi terhadap pendapatan yang
terealisasi (realized return) dengan risiko bisnis yang dihadapi dan pada sisi lain juga akan berpengaruh terhadap risiko keuangan. Perpaduan antara risiko bisnis yang bersifat unik/spesiik dengan risiko yang muncul karena
10
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
manajemen perusahaan mengungkit (lever ) usahanya dengan sumber pendanaan yang berasal dari eksternal melalui utang (debt inancing) akan menghasilkan risiko total (total risk ). Jumlah risiko total ini akan berpengaruh terhadap pencapaian nilai perusahaan (value of the irm). Gambar 1.3 hubungan fungsi keuangan dengan tujuan perusahaan. Harga Pasar Saham
Fungsi Keuangan Keputusan Investasi
Faktor Eksternal Perusahaan
Pendapatan
Risiko Bisnis
Risiko Total
Nilai Perusahaan
Risiko Keuangan
Keputusan Pembelanjaan
P e n d a p a t a n
Pendapatan
Keputusan Dividen
Harga Pasar Saham Gambar 1.3
Hubungan Fungsi Keuangan dengan Tujuan Perusahaan
Bagi perusahaan terbuka (tbk.), pencapaian nilai perusahaan akan terepresentasikan dari apresiasi pasar atau investor berupa harga saham saat ini (current market stock price). Namun demikian, apresiasi harga saham tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental saja, akan tetapi faktor eksternal perusahaan juga akan mempengaruhi terhadap harga pasar yang tercipta. Hasil sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa faktor fundamental mampu menjelaskan pergerakan harga saham berkisar antara 5% s.d. 27% saja (suteja, 2010), sehingga masih tersisa banyak faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan harga saham suatu perusahaan emiten di suatu pasar modal (capital market ).
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
11
D. Berbagai Bentuk Organisasi Bisnis Untuk menuju tercapainya tujuan pemilik perusahaan, maka perlu dibentuk organisasi yang akan mampu mewadahi aspirasi atau keinginan dari investor. Dalam praktiknya banyak organisasi bisnis yang dapat dibentuk sesuai dengan keinginan dan tingkat kompleksitas kegiatan bisnis yang ada. 1.
Perusahaan Perseorangan Pemilik perusahaan adalah satu orang di mana tanggung jawab terhadap kewajiban (utang) kepada pihak ketiga sepenuhnya pada pemilik hingga harta milik pribadinya. Meskipun cara-cara pengelolaannya sederhana, mudah, leksibel, namun agak sulit dipertahankan ketika tingkat kerumitan kegiatan bisnis meningkat secara signiikan, meskipun tidak menutup untuk berkembang menjadi perusahaan dengan skala besar, namun tetap akan menjadi sulit untuk dikelola secara profesional hal ini karena tuntutan dari lingkungan bisnis itu sendiri.
2.
Persekutuan: Firma (Fa) dan Komanditer (CV) Perusahaan irma atau komanditer adalah jenis organisasi bisnis yang dibentuk oleh 2 (dua) orang atau lebih bersepakat mendirikan perusahaan di mana tanggung jawab terhadap kewajiban (obligation) kepada pihak ketiga sepenuhnya pada pemilik hingga harta milik pribadinya.
3.
Perseroan Terbatas (PT atau NV) Bentuk organisasi bisnis seperti ini adalah bentuk organisasi bisnis yang paling ideal dan umum. Bentuk organisasi bisnis ini mencerminkan adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (shareholders) dengan pimpinan perusahaan (Board of Directors), di mana tanggung jawab terhadap kewajiban (obligation) kepada pihak ketiga bagi pemilik hanya sebesar modal yang disetor saja (sebesar harta perusahaan), sehingga harta pribadi pemilik tidak digunakan untuk membayar sisa utang.
12
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
E. Masalah Keagenan ( Agency Problems) Dari pembahasan sebelumnya manajer harus menjalankan tujuan yang telah ditetapkan pemilik perusahaan. Dengan kata lain, manajer adalah agen para pemilik perusahaan. Pada kenyataannya, manajer juga memiliki tujuan pribadi yang menyangkut kesejahteraan, keamanan kerja dan beneit lainnya. Akibatnya, manajer enggan melakukan kegiatan yang berisiko tinggi jika hal tersebut akan membahayakan kepentingan pribadinya. Perbedaan tujuan inilah yang menyebabkan konlik yang disebut sebagai agency conlict/problem, bahwa manajer akan mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan perusahaan secara keseluruhan. Untuk meminimalkan agency problem biasanya digunakan: (i) market forces dan (ii) agency cost . Market Forces:
Pemegang saham utama (major shareholder ) dengan jumlah saham mayoritas dan ancaman pengambilalihan oleh perusahaan lain (threat of takeover or hostile takeover ) merupakan market forces. Kedua hal ini memungkinkan pemegang saham mengganti manajer dan menekan manajer untuk melakukan apa yang diinginkan pemegang saham.
Agency Costs:
Biaya-biaya ini digunakan untuk memonitor tingkah laku manajer, memberikan insentif inansial agar mau mencapai tujuan atau kegiatan yang harus dilakukan dan agar manajer tidak melakukan kecurangan-kecurangan. Beberapa contoh agency cost adalah incentive plan dan performance plan
.
Incentive plan memberi manajer
kompensasi berupa saham perusahaan (stock option). Sementara itu performance plan adalah kompensasi yang akan diberikan jika manajer mencapai standar tertentu.
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
13
F. Evolusi Teori Keuangan Manajemen keuangan sebagai bagian dari akar ilmu pengetahuan sosial, juga menunjukkan perkembangan seperti halnya cabang ilmu pengetahuan lainnya, meskipun akselerasi perkembangannya tidak secepat ilmu-ilmu keperilakuan (behavioral sciences). Beberapa catatan mengenai evolusi teori keuangan: 1.
Konsep Pasar Modal Sempurna (Perfect Capital Market ) Secara umum pasar modal sempurna memiliki karakteristik: (i) tidak ada biaya transaksi, (ii) tidak ada pajak, (iii) ada cukup banyak pembeli dan penjual, (iv) ada kemampuan akses yang sama ke pasar, (v) tidak ada biaya informasi, (vi) setiap orang memiliki harapan yang sama, dan (vii) tidak ada biaya yang berhubungan dengan hal kesulitan keuangan.
2.
Konsep Diskonto Aliran Kas (Discounted Cash Flow ) Teori ini dikembangkan oleh John Burr Williams dan Myron J. Gordon. Konsep dasar dari teori ini adalah pada nilai waktu uang (time value of money ).
3.
Teori Struktur Modal (Capital Structure Theory ) Teori ini dikembangankan oleh Franco Modigliani dan Merton Miller atau kemudian dikenal dengan istilah MM theory pada Tahun 15. Teori yang dikembangkan bahwa nilai suatu perusahaan tergantung pada arus penghasilan di masa depan ( future earning streams) dan oleh karena itu, tidak tergantung pada struktur modal. Teori MM yang pertama ini mengasumsikan pada pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, sehingga sering disebut model MM tanpa Pajak (MM 1 without Tax ). Sekitar tahun 163 model ini disempurnakan dengan Model MM dengan Pajak (MM 1 with Tax ). Dengan adanya pajak penghasilan, utang dapat menghemat pajak yang dibayar (tax shield ). Tetapi teori ini lupa bahwa utang yang besar dapat menimbulkan inancial distress Karena ada kelemahan tersebut .
kemudian model ini diperbaiki yang sering disebut Tax SavingFinancial Cost Trade off Theory atau lebih dikenal dengan Teori Trade off atau Balance Theory .
14
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
4.
Teori Dividen (Dividend Theory ) Teori ini juga dikembangkan oleh Modigliani dan Miller yang kemudian teorinya dikenal dengan Teori MM atau MM Model yang menyebutkan bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan, karena setiap rupiah pembayaran dividen akan mengurangi laba ditahan yang digunakan untuk membeli aktiva baru.
5.
Teori Portfolio dan Capital Asset Pricing Model Teori Portfolio Modern dikembangkan oleh Harry Markowitz pada tahun 10 yang membawanya untuk meraih penghargaan tertinggi dalam ilmu pengetahuan, ia mendapat hadiah Nobel. Pelajaran utama dari teori ini adalah bahwa risiko dapat dikurangi dengan cara mengkombinasikan beberapa jenis aktiva berisiko (risky assets) daripada hanya memegang salah satu jenis aktiva saja. Teori yang berkaitan dengan teori portfolio adalah Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang dikembangkan Sharpe, John Litner dan Jan Moissin yang secara terpisah menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang disyaratkan (required rate of return) pada suatu aktiva berisiko merupakan fungsi dari tiga faktor, yaitu: •
tingkat keuntungan bebas risiko,
•
tingkat keuantungan yang disyaratkan pada portfolio dengan risiko rata-rata, dan
• 6.
volatilitas tingkat keuntungan aktiva berisiko tersebut.
Teori Harga Opsi (Option Pricing Theory ) Option adalah hak untuk membeli atau menjual suatu aktiva pada harga yang telah ditentukan pada waktu yang telah ditentukan pula. Teori ini secara formal dikembangkan oleh Fisher Black dan Myron Scholes yang sering disebut Black-Scholes Option Pricing Model .
7.
Hipotesis Penelitian Pasar Eisien (Eficient Market Hypothesis) Teori ini dikembangkan oleh Eugene F. Fama. Terminologi eisien dalam teori ini lebih menekankan pada konsep eisiensi secara informasi. Teori ini mengatakan jika pasar eisien (eficient market ), maka harga yang terbentuk mereleksikan seluruh informasi yang ada. Menurut teori ini pasar eisien dibagi menjadi tiga:
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
15
a)
Pasar eisien bentuk lemah (weak form eficient market hypothesis): jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh informasi harga di masa lalu, sehingga upaya investor untuk memperoleh excess return dengan memanfaatkan data harga di masa lalu adalah siasia (harga adalah random walk ).
b)
Eisiensi bentuk setengah kuat (semi strong form eficient market hypothesis): jika harga mencerminkan informasi harga historis plus informasi yang tersedia bagi publik.
c)
Eisiensi bentuk kuat (strong form eficient market hypothesis): jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh informasi yang ada, baik harga sekuritas masa lalu, informasi yang tersedia bagi publik, maupun informasi yang bersifat privat.
.
Teori Keagenan ( Agency Theory ) Teori ini dikembangkan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling yang lebih familiar dengan Jensen and Meckling (176). Teori ini muncul karena adanya keterpisahan antara pemilik dan manajemen. Agency relationship muncul ketika individu (majikan atau principals) membayar individu lain (agent / management ) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen atau karyawannya. Teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu versi dari game theory (Mursalim, 2005), yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), di mana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principals Pemilik perusahaan atau principals or shareholders mendelegasikan pertanggung jawaban atas decision making kepada manajemen atau agent , hal ini dapat pula dikatakan bahwa principals memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggung jawab agent maupun principals diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Scott
(2000)
menyatakan
bahwa
perusahaan
mempunyai
banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan
16
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
para manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Kontrak kerja yang dimaksud adalah kontrak kerja antara pemilik modal dengan manajer perusahaan. Di mana antara agent dan principals ingin memaksimumkan utility masing-masing dengan informasi yang dimiliki. Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang lebih banyak ( fully information) dibanding dengan principals, sehingga menimbulkan adanya asymmetric information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utility -nya ( perquisite motive). Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu, terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor. .
Teori Informasi Asimetrik ( Asymmetric Information Theory ) Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu, sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Akan tetapi, informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (asymmetric information).
Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Asimetri antara manajemen (agent ) dengan pemilik ( principals) memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak
oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi.
BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
17
Conclusion Remark Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan kesejahteraan pemegang saham atau para pemilik. Bagi perusahaan terbuka atau perusahaan yang tanda kepemilikannya telah beredar di pasar modal public), ), maka tujuan ini direpresentasikan oleh harga saham di pasar. ( public Bagi perusahaan non public , biasanya tujuan ini dicerminkan oleh nilai perusahaan. Oleh karena itu, manajer keuangan berupaya berupaya agar nilai saham atau nilai perusahaan meningkat. Manajer keuangan harus memilih alternatif yang dapat meningkatkan nilai perusahaan secara keseluruhan, misalnya memilih investasi dengan return tinggi, menggunakan sumber dana berbiaya rendah, dan lain-lain. return Dengan kata lain, manajer keuangan harus memperhitungkan return return dan risiko, dan akibatnya pada nilai saham atau perusahaan. Dalam meraih destinasi bisnis dari para pemilik perusahaan, ada banyak faktor yang berpengaruh, mulai faktor internal yang relatif terkendali sampai dengan faktor eksternal yang bersifat uncontrollable. Ilmu manajemen keuangan seperti halnya ilmu-ilmu lainnya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan dan ragamnya tantangan yang dihadapi. Paradigma keputusan investasi relatif memiliki tingkat prioritas yang lebih bermakna jika dibandingkan dengan permasalahan kebijakan pembelanjaan, perkembangan konsepsi ini telah menggeser paradigma lama mengenai urgensi kebijakan pembelanjaan perusahaan. Perkembangan terakhir dari evolusi ilmu manajemen keuangan cenderung bertumpu pada masalah-masalah yang terkait perilaku keuangan atau inancial atau inancial behavior . Masalah manajemen keuangan keperilakuan seiring dengan meningkatnya dominasi investasi dan makin bergairahnya pasar modal di beberapa negara berkembang. Perkembangan inancial Perkembangan inancial behavior behavior ini ini tidak lepas dari adanya ada nya kenyataan kenyataan bahwa terdapat informasi yang tidak simetris (asymmetric ( asymmetric information) information) di antara para pemilik dan manajemen, kenyataan kenyataan tersebut seringkali memicu adanya konlik di antara mereka, oleh karena kondisi demikian mendorong adanya konsep signaling signaling dan dan masalah keagenan perusahaan.
1
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
DAFTAR PUSTAKA Brigham, Eugene F. and Michael C. Ehrhard. 2002. Financial Management Theory and Practice (10 Practice (10th edition). Thomson Learning Inc. Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 200. Fundamentals of Financial Management . Jakarta: Salemba Empat. Gitman, Lawrence J. 2000. Principle of Managerial Finance. Finance. AddisonWesley. Husnan, Suad. 17. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan: Keputusan Jangka Pendek Pendek (edisi ke-4). ke-4). Yogyakarta: Yogyakarta: BPFE. Jensen, Michael C. and W. H. Meckling. 176. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal Structure. Journal of Financial Economics,, 3: 305-360. Economics Keown, Arthur J. et al . 2001. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi Keuangan (edisi ke-7). Jakarta: Salemba Empat. Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan. Keuangan. Jakarta. Grasindo. Martono dan Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan Keuangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Ekonisia. Mursalim. 2005. Income Smoothing dan Motivasi Investor: Studi Empiris pada Investor di BEJ. Jurnal BEJ. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi Akuntansi,, VIII: 15206. Muslich, Mohamad. 2003.
Manajemen Keuangan Modern: Analisis,
Perencanaan dan Kebijaksanaan. Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara. Pratowo, Dwi dan Rika Julianti. 2002. Analisis Laporan Keuang Keuangan an Konse Konsep p dan Aplikasi (edisi Aplikasi (edisi Revisi). Yogyakarta: YPKN.
Keuangan BAB 1 Pengertan, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan
1
Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan Perusahaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. _____________________.
200.
Dasar-Dasar
Pembelanjaan (edisi Pembelanjaan
ke-4).
Yogyakarta: BPFE. Saragih, F. A. H. Manurung. dan J. Manurung. 2005. Dasar-Dasar Keuangan Bisnis: Teori dan Aplikasi. Aplikasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi (edisi Aplikasi (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. _______________. 200. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Aplikasi . Yogyakarta: BPFE. Sawir, Agnes. 2005. Analisa 2005. Analisa Kinerja Keuang Keuangan an dan Perencan Perencanaan aan Keuang Keuangan an Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Scott, William R. 2000. Financial Accounting Theory (2nd edition). Canada: Prentice Hall. Sundjaja, Ridwan S. dan Inge Barlian. 2002. Manajemen Keuangan Satu (edisi ke-4). Jakarta: Prenhallindo. ____________________________________________. 2002. Manajemen Keuangan Dua (edisi ke-4). Jakarta: Literata Lintas Media. Sutrisno. 2001. Manajemen Keuangan (edisi Keuangan (edisi ke-1), Yogyakarta: Ekonisia. __________. 2005. Manajemen Keuangan Teori, Konsep, dan Aplikasi. Aplikasi . Yogyakarta: Ekonisia. Syamsudin, Sy amsudin, Lukman. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan (edisi ke-7). Jakarta: Raja Graindo Persada. Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 200. Fundamentals of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc. Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 12. Managerial Finance. Finance. New York: The Dryden Press.
20
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
2
Kerangka Dasar Keuangan Korporasi Jaja Suteja
Pada dasarya sebuah kegiatan bisnis diawali oleh seorang investor yang bersedia untk berinvestasi atas sumber daya yang dia miliki. Kesediaan investor tersebut untk selanjutya menjadi nilai tkar (exchange rate ) terhadap besarya imbal hasil investasi yang diharapkan (expected retur on the investment )
B A B
2
Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1. Kerangka Dasar Keuangan Korporasi 2. Laporan Keuangan Perusahaan 3. Imbal Hasil Investasi 4. Pola Distribusi Aliran Kas Perusahaan 5. Biaya Modal dan Biaya Modal Tertimbang
Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
P
ada dasarnya sebuah kegiatan bisnis diawali oleh seorang investor yang bersedia untuk berinvestasi atas sumber daya yang dia miliki. Kesediaan investor tersebut untuk selanjutnya menjadi nilai tukar ( exchange rate) terhadap besarnya imbal hasil investasi yang diharapkan ( expected return on the investment ). Pertanyaan selanjutnya adalah berapa besar imbal hasil
tersebut? Para ahli ekonomi keuangan ( inancial economist ) berpendapat bahwa, “Semakin berisiko suatu investasi, maka makin tinggi return ekspektasinya” (the riskier the investment , the higher the expected return). Jumlah investasi awal yang dilakukan oleh (seorang) investor pada perusahaan, seringkali menjadi investasi atau modal awal ( initial investment or capital ). Untuk kemudian investasi menjadi aktiva/kekayaan perusahaan
22
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
( irm’s assets ) baik itu pada aktiva lancar seperti: kas, ekuivalen kas, surat berharga, piutang dagang, maupun beragam persediaan. Sebagian investasi tersebut dibelanjakan untuk mendukung sustainabilitas perusahaan, seperti: plant , property , equiptment , land , dan juga beragam jenis investasi jangka panjang lainnya. Dalam sejumlah kasus, secara khusus pada kasus perusahaan kecil (small business), seorang investor melakukan sendiri pengambilan keputusan tersebut (all of the irm’s investment decision ). Namun demikian, pada kasus lain pada sejumlah perusahaan bertumbuh ( growth’s irms), pengambilan keputusan tersebut telah didelegasikan pada pihak atau orang lain yang kemudian dikenal sebagai manajemen perusahaan/agen. Agar imbal hasil yang diekspektasikan investor dapat dipenuhi, maka langkah selanjutnya adalah manajemen atau pemilik perusahaan atau investor harus segera me-utilisasi aktiva yang dimiliki untuk bisa menghasilkan suatu produk (barang dan atau jasa) yang dapat dijual pada para pembeli (the buyers). Tentu saja, dalam proses penciptaan barang dan jasa yang dapat dijual tersebut, perusahaan mengeluarkan berbagai biaya, sebagai contoh: biaya operasi dan produksi, biaya distribusi dan penyimpanan/pergudangan, biaya tenaga kerja dan juga pajak. Selisih antara berbagai biaya yang dikeluarkan dengan total pendapatan atau transaksi yang terjadi merupakan keuntungan perusahaan (the irm’s proit ). Dalam perspektif manajemen keuangan, keuntungan perusahaan ini selanjutnya digunakan sebagai dasar estimasi imbal hasil investor. Untuk memperoleh delinasi yang lebih jelas, maka selanjutnya pembahasan akan lebih difokuskan pada sisi atau aspek “investors ” yang telah memutuskan sumberdayanya (money capital ) diinvestasikan dalam bisnis tertentu. Dalam praktik terbaiknya, sangat jarang suatu bisnis hanya didanai oleh seseorang investor saja (all equity inancing), namun ada banyak investor yang berpartisipasi dalam pembelanjaan aset-aset perusahaan. Tidak semua investor memiliki kesamaan tujuan, dalam konteks ini, tujuan para investor diklasiikasikan pada tujuan/kontrak pada saat mereka (investors ) mendirikan perusahaan.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
23
Berkenaan dengan kontrak investor pada saat mereka mendirikan atau mengembangkan usaha perusahaan, ada 2 (dua) tipe kontrak dasar, yaitu (i) debt contracts dan (ii) equity contracts. Debt contract merupakan suatu kesepahaman yang memuat kesanggupan/janji debitur untuk membayar kembali kepada para investor. Pihak yang memiliki hak/ claims atas aktiva yang dibiayainya (invested assets) disebut debtholders. Gambar 2.1 berikut menggambarkan mengenai kedua jenis kontrak seperti yang telah dijelaskan dalam bagian atau paragraf sebelumnya.
Debt Investors
Investasi
Para Manajer
Dana Equity Investors
Returns
Returns
Returns
Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:4) Gambar 2.1 Basic Corporate Finance Framework
Gambar 2.1 mengilustrasikan kegiatan bisnis utama perusahaan,
diawali dari aktivitas pengidentiikasian atas berbagai peluang investasi (investment scanning) kemudian mencari sumber pendanaan untuk melanjutkan peluang investasi tersebut. Tahap selanjutnya adalah mengeksekusi beragam investasi terpilih tersebut untuk menghasilkan pendapatan dan dari sumber ini perusahaan akan membayar biaya operasi, kewajiban terhadap kreditur juga termasuk imbal hasil (return) bagi pemilik perusahaan (equity holder’s return atau Return On Equity ~ ROE).
24
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Sementara itu yang dimaksud dengan equity contracts menunjukkan situasi yang bertolak belakang dengan penjelasan pertama, dalam kontrak atau perjanjian jenis kedua ini, mengindikasikan adanya residual claims atas invested assets atau proit perusahaan. Proit adalah nilai dalam satuan moneter setelah perusahaan membiayai semua biaya operasi dan kewajiban (obligations) pada kreditur atau debtholders. Pemilik jenis klaim terakhir ini kemudian disebut equityholders atau equitycontracts. Untuk memperoleh relasional dari berbagai kegiatan bisnis perusahaan, maka selanjutnya disajikan dalam bentuk laporan keuangan perusahaan (the irm’s inancial statement ). Laporan keuangan perusahaan merupakan satu set dokumen (a set of documents) yang memuat dan mengelola berbagai informasi penting tentang aktivitas yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan pada suatu waktu tertentu di masa lalu. Ada dua jenis laporan keuangan standar, yaitu: (i) neraca ( the balance sheet ) dan (ii) laporan laba rugi (the income statement ). Laporan Keuangan Perusahaan ( A Corporate Financial Statement )
Dalam penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa beragam kegiatan utama perusahaan dicatat dalam dua jenis laporan keuangan utama, yaitu: (i) neraca dan (ii) laporan laba rugi. Pada bagian atau paragraf selanjutnya penulis akan menjelaskan karakteristik utama dari kedua laporan keuangan tersebut yang dilakukan secara terpisah dan begitu juga interaksi di antara keduanya. Interaksi di antara keduanya sangatlah penting bagi para analis keuangan untuk memperoleh gambaran/potret/snapshot yang lebih lengkap mengenai situasi keuangan perusahaan dan kinerja bisnis perusahaan (business performance of the irm ). Neraca (The Balance Sheet )
Sebuah neraca perusahaan menyediakan sebuah potret atau snapshot perusahaan pada suatu periode waktu tertentu atas berbagai aktivitas yang telah dilakukan perusahaan. Laporan tersebut pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) bagian utama, yaitu: (i) sisi sebelah kiri (left hand side) yang
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
25
menyajikan aset/aktiva perusahaan, dan (ii) sisi sebelah kanan ( right hand side) menyajikan kewajiban atau liabilities perusahaan. Aktiva tersebut
mencerminkan investasi yang telah dilakukan oleh perusahaan, sementara itu kewajiban atau utang menggambarkan bagaimana aktiva perusahaan tersebut didanai. Dari penyajian sebuah neraca perusahaan adalah mudah untuk memahaminya, karena kedua sisi neraca mereleksikan seperti dua sisi koin/mata uang. Satu sisi neraca tidak dapat dipengaruhi atau dirubah tanpa merubah atau mempengaruhi sisi yang lainnya dan keduanya memiliki ukuran yang sama (misalnya, aktiva akan sama dengan utang perusahaan; TA = E + D). Sebagai contoh, apabila manajemen perusahaan melakukan investasi baru, maka perusahaan juga harus mencari tambahan pendanaan (peningkatan aktiva mereleksikan adanya investasi sementara peningkatan utang mereleksikan pendanaan). Dengan cara yang sama, seandainya kita memperoleh pendanaan baru, maka manajemen perusahaan memperoleh kas atau membeli barang atau perlengkapan kantor (meningkatnya baik aktiva maupun utang). Komponen-komponen yang disajikan dalam sebuah neraca disusun dengan urutan-urutan tertentu. Aktiva dalam neraca diawali dengan beragam aktiva yang likuid (aktiva yang dengan mudah dapat dikonversikan kembali menjadi kas). Sementara utang disajikan atau diurutkan berdasarkan pada tingkat klaim dan waktu jatuh tempo (i.e. when the liabilities is due ). Pada sisi aktiva, beragam komponen aktiva diurutkan berdasarkan tingkat likuiditas (descending liquidity ), hal ini berarti komponen aktiva yang paling likuid akan disajikan pada daftar aktiva teratas, sementara yang lainnya ada di bawahnya. Berdasarkan aturan tersebut, maka aktiva perusahaan disusun dengan urut-urutan sebagai berikut: cash, bank accounts or cash equivalent , marketable or tradable securities, trade or account receivables, inventories and at the very bottom, property , plant , and equipment (PPE). Perlu dicatat
bahwa aktiva-aktiva tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori utama, yaitu: (i) aktiva jangka pendek atau aktiva lancar yang diharapkan dapat menjadi kas dalam jangka pendek dan (ii) aktiva tetap atau aktiva tidak lancar yang diharapkan dapat kembali menjadi kas lebih dari 1 (satu) tahun.
26
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Pada sisi utang perusahaan dalam sebuah neraca komponen komponen disusun berdasarkan pada tingkat eksibilitasnya, komponenkomponen pasiva yang memiliki tingkat jatuh tempo atau klaim tercepat akan ditempatkan pada daftar yang paling atas, sementara komponen pasiva atau utang yang klaimnya masih panjang (the furthest-dated claim) ditempatkan pada bagian bawah neraca sebelah kanan. Dengan demikian, klaim terendah dalam susunan utang adalah ekuitas atau modal sendiri yang akan menerima klaim aset setelah semua kewajiban terpenuhi ( The least exigible claim consists of equity , since equity holders receive their part after all other obligations have been satisied ).
Current Assets
Current Liabilities
Cash & Bank Accounts Trade Receivables Inventories Other Current Assets
Suppliers Employees Short Term Financial Debt Taxes Non Current Liabilities
Non Current Assets Goodwill Property, Plant & Equipment Other Long Term Assets
Long Term Financial Debt Other Long Term Liabilities
Shareholders Equity
Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:6) Gambar 2.2
Contoh Komponen Neraca
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa neraca adalah snapshot dari investasi dan pendanaan perusahaan yang telah terjadi pada suatu waktu tertentu. Dalam praktiknya, snapshot /potret tersebut merujuk pada horizon waktu satu bulan, triwulan, semester, tahunan atau periode waktu lainnya. Snapshot /potret kebijakan investasi dan pendanaan perusahaan selanjutnya dikomparasikan antar waktu untuk memperoleh gambaran evolusi perubahan investasi dan pendanaan sepanjang waktu.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
27
Ketika seseorang sedang menganalisis investasi perusahaan, pada dasarnya mereka tidak hanya melihat bagaimana ukuran atau besaran investasinya saja (not just only size of investments ), namun juga mereka harus memahami apa yang menjaid faktor pemicunya (main drivers), dengan perkataan lain, apa yang sedang terjadi dalam perusahaan manakala adanya perubahan secara dramatis pada akun piutang usaha atau tingkat persediaan. Peningkatan investasi baru juga mengindikasikan adanya pertumbuhan pendanaan aset, pertanyaan pentingnya adalah apakah investasi tersebut didanai oleh sumber jangka pendek atau jangka panjang? oleh debt atau equity ? Pilihan alternatif pendanaan akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan secara signiikan dan juga pada keterbukaan risiko perusahan (corporate risk exposure). Untuk memperoleh hasil analisis kinerja keuangan perusahaan, maka proses analisis seharusnya dilakukan dengan membandingkan akun-akun yang ada dalam neraca dan juga laporan laba rugi perusahaan. Penggabungan analisis kedua laporan keuangan tersebut akan mampu menggambarkan apa yang sudah terjadi pada masa lalu dengan utilisasi aktiva perusahaan oleh manajemen. Satu hal, analisis secara simultan laporan keuangan perusahaan (balance sheet and income statement ) sebagai suatu skenario ilm, akan mampu menceritakan potret keterkaitan angkaangka di antara keduanya sebagai suatu potret implementasi kebijakan keuangan perusahaan. Itulah inti dari analisis kinerja keuangan perusahaan, selanjutnya konsep analisis ini dalam praktiknya kita kenal sebagai analisis rasio keuangan perusahaan. Laporan Laba Rugi Perusahaan (Corporate Income Statement )
Laporan laba rugi perusahaan adalah suatu gambaran dari representasi operasi bisnis perusahaan, yang secara khusus akan memuat catatan mengenai total penjualan yang terealisasi dan beragam biaya (cost ) yang terjadi sepanjang waktu pada periode tersebut/tertentu, dari laporan ini keuntungan bersih perusahaan dihitung. Seperti halnya neraca, laporan laba rugi juga dapat disusun sesuai dengan horizon waktu yang diinginkan, per bulan, per triwulan, semester atau laporan laba rugi perusahaan per tahun.
28
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Berikut Gambar 2.3 contoh komponen atau akun yang secara umum ada dalam sebuah laporan laba rugi perusahaan. Dari contoh sampel sederhana sebuah laporan keuangan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.3 mengilustrasikan bagaimana proit dihitung. Seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa ada relasional kuat antara neraca dengan laporan laba rugi perusahaan. Net Sales Minus
Cost of Goods Sold Gross Proit (or Contribution Margin)
Minus
Fixed Costs
EBIT Minus
Interest Expenses Income Before Taxes
Minus
Income Taxes Net Income
Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:9) Gambar 2.3
Contoh Laporan Laba Rugi Perusahaan
Perubahan pada neraca otomatis akan berpengaruh terhadap komponen yang ada dalam laporan laba rugi. Memahami interaksi antara kedua laporan tersebut sangat krusial untuk memperoleh konklusi akurat mengenai kinerja bisnis dan kemampulabaan perusahaan. Laporan laba rugi perusahaan menunjukkan bagaimana keuntungan (accounting proit ) dihasilkan dari operasi perusahaan. Dalam praktiknya, investor akan memperoleh imbal hasil dari kegiatan operasinya, di mana return yang diterima berasal dari proit yang dihasilkan. Namun demikian, perhatian investor tidak hanya pada masalah proit saja, akan tetapi juga aliran kas perusahaan (cash low of the irm). Lebih spesiik lagi, investor akan memperhatikan jumlah kas yang telah mereka investasikan kemudian mereka juga akan membandingkan nilai ini dengan jumlah kas dari return investasinya. BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
29
Imbal Hasil Investasi (Return on Investment )
Pada saat aliran kas (cash inlow ) terealisasi dari sejumlah transaksi penjualan, manajemen akan mendistribusikan kas tersebut kepada beragam pemegang klaim. Kelompok pertama yang memiliki klaim atas kas dari pendapatan perusahaan adalah tenaga kerja dan para vendor atau providers atau suppliers. Selanjutnya kelompok berikutnya adalah beragam
pemenuhan atas pemegang klaim keuangan, misalnya pembayaran bunga dan prinsipalnya (debtholders or bondholders), termasuk pembayaran pajak. Setelah semua klaim terpenuhi, maka sisa kas menjadi hak para pemilik sebagai residual claim atau sebagai equityholders sering juga disebut shareholders atau para pemegang saham perusahaan.
Suppliers Employees
Investments
Financial Debt
Shareholders Equity
Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:10) Gambar 2.4
Distribusi Aliran Kas Perusahaan
Gambar 2.4 mengilustrasikan distribusi penerima kas perusahaan,
dan secara khusus bagaimana return investasi dari seorang investor dihitung atau ditentukan. Dari gambar tersebut, arah anak panah menunjukkan distribusi aliran kas perusahaan berdasarkan pada senioritas klaim. Dari diskusi sebelumnya, jelas bagaimana para investor (a inancial investors) dibayar dari aliran kas yang dihasilkan perusahaan, namun pertanyaannya
30
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
adalah apakah nilai/kas yang dibayarkan tersebut cukup memuaskan dari ekspektasi imbal hasil (return) sebelumnya? Return yang diharapkan Investor – Biaya Modal (Investor’s Expected Return – Cost of Capital )
Pada bagian awal bab ini telah disinggung mengenai nilai tukar (exchange rate) dari kesediaan seorang investor untuk berinvestasi dalam aset perusahaan. Nilai tukar tersebut pada dasarnya adalah sebuah kompensasi atas risiko yang kemungkinan ia tanggung. Oleh karena itu, makin besar kesedian atas risk bearing, maka makin besar ekspektasi return dari kegiatan investasinya.
Perbedaan alokasi dari kas yang dihasilkan akan berimplikasi terhadap besaran risiko yang dipikulnya (risk bearing), sebagai contoh, pegawai, pemasok atau supplier dan kreditur atau debtholders akan menerima pembayaran sesuai dengan janji atau promise atau skedul. Sementara pemilik perusahaan atau owners or shareholders, mereka tidak memiliki janji pembayaran tertentu,mereka hanya akan menerima claim/tuntutan/ hak setelah semua bagian telah menerima haknya masing-masing, sebagai konsekuensinya para pemilik perusahaan akan memiliki tingkat risiko yang lebih besar jika dibandingkan dengan pihak lain yang memiliki skala prioritas tuntutan terhadap cash inlow yang lebih tinggi. Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat memisahkan atau menjelaskan perbedaan return ekspektasi (expected return) dari investor yang berbeda? Pertimbangkan apabila ada seseorang tidak menanggung risiko dalam bisnisnya, pastilah investor itu akan memilih investasi bebas risiko (riskless investment ). Sekarang pertimbangkan kembali apabila seseorang berinvestasi pada aset berisiko (risky assets), tentu saja mereka (investors ) tidak akan menerima return atau imbal hasil yang lebih kecil dari investasi bebas risiko, mereka akan mensyaratkan atau menghendaki adanya risiko premium di atas investasi bebas risiko. Berdasarkan pada penjelasan tersebut, maka kita dapat memformulasikan secara matematik persamaan return ekspektasi, yaitu:
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
31
Expected Return = R f + Risk Premium …………...............................................… (2.1)
di mana: R f
= the return promised by a risk-free investment Risk Premium = the extra return that an investor requires for an investment with a given level of risk Apabila return ekspektasi dari seseorang investor secara sendirisendiri, maka rumusan ekspektasi return investasi secara umum dapat dirubah menjadi persamaan return ekspektasi individu investor sebagai berikut: K e = R f + Risk Premiume ……...............................………………………………..……… (2.2)
di mana: = biaya modal sendiri (cost of equity ) = investasi bebas risiko (risk free rate)
K e R f
Risk premium = the extra return that an investor requires for an investment with a given level of risk
Apabila investasi dalam aktiva tersebut berasal dari pinjaman/utang di mana biaya utang dinotasikan dengan k d maka persamaan tersebut dirubah menjadi: K d = R f + Risk Premiumd ……………………….............................……………………… (2.3)
Karena pemegang ekuitas/pemilik perusahaan memiliki prioritas terendah terhadap klaim/tuntutan cash inlow atau aktiva, maka equityholder akan memiliki tingkat risiko yang lebih besar dari debtholders , di mana nilai R f sama pada kedua persamaan, maka: Risk Premiume > Risk Premiumd , oleh karena itu K e > K d kondisi ini mencerminkan bahwa risiko yang lebih tinggi dari pemilik ekuitas dikaitkan dengan makin tingginya ekspektasi tingkat imbal hasilnya. Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa sangat kecil aktiva hanya dibiayai dari satu jenis sumber saja, tapi ada banyak sumber pendanaan yang terlibat di dalam sebuah perusahaan. Oleh karena
32
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
itu, kombinasi sederhana dari minimal 2 (dua) sumber pendanaan (Debt vs Equity ) akan menghasilkan biaya rata-rata tertimbang dari komposisi
masing-masing WACC atau Weighted Average Cost of Capital dengan formulasi sebagai berikut: rS
= r 0 +
B S
(1 -TC )(r0 - r B )
Gambar 2.5 mengilustrasikan bagaimana ekspektasi return baik dari debt dan ekuitas dihitung di mana komposisi ekuitas dan debt masing masing
E/(D+E) dan D/(D+E), sementara biaya modal bersih dari pinjaman: K d (after tax ) = K d (1–t ) ………………………………............................……………… (2.4)
Debtholders
K d = R f + RP d
WACC
Investment Equityholders
K e = R f + RP e
Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:12) Gambar 2.5 The Cost of Capital
Conclusion Remarks Laporan keuangan perusahaan merupakan catatan penting mengenai sejarah aktivitas bisnis yang telah dilakukan oleh manajemen pada periode tertentu di masa lalu. Dua format laporan keuangan dasar, yaitu neraca dan laporan laba rugi. Neraca mengindikasikan sejarah investasi baik dalam bentuk aktiva lancar maupun aktiva tidak lancar. Sementara pada sisi kanan neraca menunjukkan sumber pendanaan yang digunakan untuk membelanjai aktiva tersebut. BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
33
Laporan laba rugi mengindikasikan optimalisasi utilisasi aset menjadi produk yang dapat dijual. Dalam laporan laba rugi akan tercermin besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan penjualan barang. Dari komponen laba rugi ini akan dihitung mengenai keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan. Dalam praktik terbaiknya, pada umumnya perusahaan mengakses sumber pendanaan dari lebih satu jenis sumber (Debt + Equity ), oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan perusahaan merupakan biaya tertimbang ratarata (WACC). Kombinasi dari (D + E) setiap perusahaan berbeda-beda dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap optimalisasi kombinasi antara debt dan equity .
34
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
DAFTAR PUSTAKA Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial Management . Jakarta: Salemba Empat.
Brigham, Eugene F. and Michael C. Ehrhard. 2002. Financial Management Theory and Practice (10th edition). Thomson Learning Inc. Gitman, Lawrence J. 2000. Principle of Managerial Finance. AddisonWesley. Hasanawati, Sri. 2005. Implikiasi Keputusan Investasi, Pendanaan dan Dividen terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta. Manajemen Usahawan Indonesia, 9: 42-47.
Husnan, Suad. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan: Keputusan Jangka Pendek (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Keown, Arthur J. et al . 2001. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-7). Jakarta: Salemba Empat. Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan. Jakarta. Grasindo. Martono dan Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Ekonisia. McConnell, John and Henri Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics, 27: 595-612. Mesbacher. 2004. Does Capital Structure Inluence Firms Value? Academic Paper . University of Ulster German. Miller, M. H. and F. Modigliani. 1966. Some Estimates of the Cost of Capital to the Electric Utility Industry, 1954-57. American Economic Review , 57: 33-91.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
35
Miller, M. H. 1977. Debt and Tax. The Journal of Finance, 32 (2): 261-275. Modigliani, F. and M. H. Miller. 1958. The Cost of Capital, Corporation Finance and The Theory of Investment. American Economic Review , 48: 261-297. Muslich, Mohamad. 2003. Manajemen Keuangan Modern: Analisis, Perencanaan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara. Myers, S. 1977. Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial Economics, 5: 147-175. Myers, S. and N. Majluf. 1984. Corporate Financing Decisions When Firms Have Information Investor Do Not Have. Journal of Financial Economics, 13: 187-221.
Myers, S. C. 1984. The Puzzle. The Journal of Finance, 39 (3): 575-590. O’Connor, Dennis and Alberto Bueso. 1988. Managerial Finance, New York: Prentice Hall. Pangeran. 2003. Pemilihan antara Penawaran Sekuritas Ekuitas dan Utang: Suatu Pengujian Empiris Terhadap Pecking Order Theory dan Balancing Theory . Manajemen Usahawan Indonesia, 4: 27-46. Pratowo, Dwi dan Rika Julianti. 2002. Analisis Laporan Keuangan Konsep dan Aplikasi (edisi Revisi). Yogyakarta: YPKN. Preve, Lorenzo A. and Virginia Sarria-Allende. 2010. Working Capital Management . New York: Oxford University Press, Inc. www.oup.com . Ratnawati, Kusuma. 2001. Analisis Perbedaan Struktur Modal dan Faktor Intern, Faktor Ekstern Perusahaan Industri PMA dan PMDN di Bursa Efek Jakarta, serta Pengaruhnya terhadap Nilai Perusahaan. Penelitian
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. 77-86.
36
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. __________. 2008. Dasar-Dasar Pembelanjaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. _______________. 2008. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi . Yogyakarta: BPFE. Saragih, F. A. H. Manurung. dan J. Manurung. 2005. Dasar-Dasar Keuangan Bisnis: Teori dan Aplikasi . Jakarta: Elex Media Komputindo. Sawir, Agnes. 2005. Analisa Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Shim, Jae K. and Joel G. Siegel. 2001. Managerial Finance, New York: McGraw Hill. Steiner, Lorenz Thomas. 1996. A Reexamination of the Ralationship between Ownership Structure, Firm Diversiication and Tobin’s Q. Journal of Business and Economics, 35 (4).
Sundjaja, Ridwan S. dan Inge Barlian. 2002. Manajemen Keuangan Satu (edisi ke-4). Jakarta: Prenhallindo. ____________________________________________. 2002. Manajemen Keuangan Dua (edisi ke-4). Jakarta: Literata Lintas Media. Sutrisno. 2001. Manajemen Keuangan (edisi ke-1), Yogyakarta: Ekonisia. __________. 2005. Manajemen Keuangan Teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia. Syamsudin, Lukman. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan (edisi ke-7). Jakarta: Raja Graindo Persada.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
37
Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc.
Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New York: The Dryden Press. ________________________________________________. 1999. Manajemen Keuangan. Jakarta: Erlangga.
38
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
3
Analisis Laporan Keuangan Jaja Suteja
Analisis laporan keuangan mencakup perbandingan kinerja persahaan dengan persahaan lain dalam industi yang sama, evaluasi kecenderngan posisi keuangan persahaan sepanjang wakt. Analisis laporan keuangan yang mencakup analisis rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan di bidang fnansial akan sangat membant dalam menilai prestasi manajemen masa lalu dan prospeknya di masa datang.
B A B
3
Analisis Laporan Keuangan
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1. Pentingnya Rasio Keuangan 2. Jenis-jenis Rasio Keuangan 3. Mengevaluasi Laporan Keuangan Perusahaan
Pendahuluan
A
nalisis laporan keuangan didesain untuk menentukan kekuatan dan
kelemahan relatif perusahaan. Para investor membutuhkan informasi dalam rangka menentukan baik aliran kas perusahaan masa depan dan juga risiko dari kegagalan aliran kas tersebut. Para manajer keuangan membutuhkan informasi yang dihasilkan dari kegiatan analisis baik itu untuk mengevaluasi kinerja keuangan masa lalu, akan tetapi juga untuk memetakan berbagai rencana masa depan. Aktivitas analisis keuangan perusahaan memfokuskan pada laporan keuangan sebagai highlight aspek kunci kegiatan atau operasi perusahaan. Analisis laporan keuangan perusahaan mempelajari bagaimana keterkaitan di antara angka angka/numerics baik dalam laporan laba rugi, dalam neraca perusahaan, maupun di antara laporan laba rugi dan neraca perusahaan. Bagaimanapun hubungan atau keterkaitan tersebut selalu berubah sepanjang waktu sebagai sebuah trend /inclination dan bagaimana
40
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
sebuah perusahaan tertentu membandingkan kinerja dengan perusahaan lainnya dalam suatu industri (benchmarking ). Namun demikian, analisis laporan keuangan perusahaan tetap memiliki keterbatasan dan menggunakan pertimbangan tertentu, meskipun demikian produk atau hasil analisis ini dapat menyediakan banyak pandangan yang sangat bermanfaat bagi operasi perusahaan. Laporan keuangan perusahaan umumnya digunakan untuk membantu memprediksikan earnings dan dividen perusahaan di masa depan. Dari sudut pandang seorang investor, prediksi kondisi keuangan masa depan tidak lain merupakan substansi utama dari analisis laporan keuangan secara keseluruhan. Dari sudut pandang manajemen, analisis laporan keuangan sangat bermanfaat baik itu untuk membantu mengantisipasi kondisi keuangan masa depan dan lebih penting lagi, sebagai titik awal untuk merencanakan berbagai tindakan yang akan berpengaruh terhadap berbagai aktivitas masa depan perusahaan.
1.
Pengeran Laporan Keuangan Laporan keuangan ( inancial statement ) adalah laporan yang memuat
hasil-hasil perhitungan dari proses akuntansi yang menunjukkan kinerja keuangan suatu perusahaan pada suatu saat tertentu. Laporan keuangan yang disusun secara baik dan akurat dapat memberikan gambaran keadaan yang nyata mengenai hasil atau prestasi yang telah dicapai oleh suatu perusahaan selama kurun waktu tertentu, keadaan inilah yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan.
2.
Pengguna Hasil Analisis Laporan Keuangan
Informasi mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan sangat bermanfaat untuk berbagai pihak, seperti investor, kreditur, pemerintah, bankers, pihak manajemen sendiri dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Arti penting analisis laporan keuangan adalah sebagai berikut: Kreditur Dagang Bagi para kreditur dagang, laporan keuangan perusahaan digunakan sebagai informasi awal mengenai kemampuan perusahaan dalam
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
41
menutup kewajibannya yang harus segera mereka penuhi dengan beragam aktiva lancar yang mereka miliki. Dengan demikian, mereka lebih memfokuskan pada masalah likuiditas. Pemegang Obligasi Laporan keuangan perusahaan bagi para bondholders merupakan informasi awal mengenai prediksi aliran kas masuk perusahaan dalam jangka panjang (long term expected cash inlows of the irm). Pemegang Saham Bagi para pemegang saham (stockholders) hasil analisis laporan keuangan perusahaan akan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan, apakah perusahaan yang dia miliki merupakan perusahaan yang sehat atau sebaliknya. Indikator awal mengenai tingkat kesehatan tersebut akan dapat dilihat dari berbagai jenis rasio kemampulabaan perusahaan ( proitability ratio). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bagi stockholders mereka akan lebih memfokuskan pada proitabilitas, arus kas jangka panjang dan kesehatan perusahaan.
Perencana Bagi para perencana perusahaan, informasi yang diperoleh dari lebih memfokuskan pada penilaian posisi keuangan saat ini dan evaluasi peluang potensial perusahaan.
Pengawas Bagi para pengawas (supervisors), produk analisis laporan keuangan perusahaan sering dipergunakan sebagai dasar penilaian mengenai efektivitas dan eisiensi operasi perusahaan dari beragam aktiva atau kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bagi para pengawas lebih memfokuskan pada ROI untuk beragam aset dan eisiensi aset.
3.
Bentuk Dasar Laporan Keuangan
Ada banyak laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan, tetapi yang umum digunakan adalah: (1) neraca, (2) laporan laba rugi. Berikut adalah penjelasan kedua laporan keuangan tersebut beserta contohnya:
42
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
a.
Neraca
Neraca (balance sheet ) merupakan sebuah ringkasan posisi keuangan perusahaan pada tanggal tertentu yang menunjukkan total assets = total liabilities + owner’s equity . Contoh berikut ini adalah neraca hipotesis
PT ABC pada periode tertentu sebagai berikut: PT ABC (dilihat dari sisi aset) Neraca 31 Desember, 2009a (dalam Rp) Kas
2.848.000
Piutang usahac Persediaan
a)
10.848.000
21.264.000 d
Biaya dibayar dimuka Piutang pajak
336.000
b) c) d)
560.000
Aktiva lancare
35.856.000
e)
f)
Aktiva tetapf Akumulasi penyusutan g Aktiva tetap bersih Aktiva tetap lainnya
25.536.000
(13.712.000)
g)
posisi aset pada tanggal tertentu apa yang dimiliki perusahaan jumlah utang para pelanggan biaya dimuka yang siap dibayar aktiva lancar jumlah aktiva tetap akumulasi pengurangan atas penggunaan aset tetap
11.824.000
Total aktivab
4.320.000 52.000.000
Neraca dilihat dari sudut pandang aktiva menggambarkan sisi output dari kebijakan investasi perusahaan. Dari sudut pandang aktiva investasi perusahaan dikategorikan pada: (i) investasi jangka pendek, dan (ii) investasi jangka panjang. Investasi jangka pendek selanjutnya menunjukkan isi investasi pada aktiva lancar (current assets) dalam pandangan manajemen keuangan sisi investasi ini menggambarkan modal kerja perusahaan atau corporate working capital .
Sementara sisi investasi jangka panjang menunjukkan investasi dalam aktiva tetap ( ixed assets). Komponen utama dalam investasi aktiva tetap umumnya terdiri dari property , plant , dan equipment (PPE).
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
43
PT ABC (dilihat dari sisi utang) Neraca 31 Desember, 2009 (dalam Rp) Wesel bayar
7.168.000
Utang dagangc
2.368.000
Utang pajak d
576.000
Utang lancar lainnyad
a)
b)
3.056.000
Utang lancare
13.168.000
Utang jangka panjangf
10.096.000
c)
d)
Modal sendiri Saham biasa nominal 16.000
g
g
Tambahan modal
6.736.000 5.776.000
Laba ditahanh
16.224.000
Total modal sendiri
28.736.000
Total utang dan modal sendiria, b
52.000.000
e)
f) g)
h)
aktiva = utang + modal sendiri apa yang menjadi utang perusahaan dan posisi kepemilikan usaha kewajiban pada pemasok perusahaan upah dan gaji yang masih harus dibayar utang usaha < 1 tahun utang > 1 tahun investasi milik perusahaan sendiri earnings reinvested
Neraca dilihat dari sudut pandang utang dan modal mengindikasikan atau menggambarkan kebijakan pendanaan ( inancing decisions) yang dilakukan oleh perusahaan. Pada dasarnya, neraca dilihat dari sisi utang menggambarkan mengenai sumber pendanaan jangka pendek perusahaan (short term inancing) dan sumber pendanaan jangka panjang perusahaan (long term inancing) termasuk sumber pendanaan abadi yang berasal dari para pengambil bagian dalam perusahaan atau sering disebut dengan modal sendiri (equity inancing). b.
Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi (income statement ) merupakan sebuah ringkasan mengenai pendapatan dan biaya-biaya selama periode tertentu yang menggambarkan apakah perusahaan dalam posisi untung atau rugi. Berikut ini contoh hipotesis mengenai laporan laba rugi PT ABC pada periode tertentu, secara rinci komponen/pos yang ada dalam sebuah laporan laba rugi standar sebagai berikut:
44
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
PT ABC Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009a (dalam Rp) Penjualan bersih
63.872.000
Harga pokok penjualanb
42.880.000
Laba kotor
20.992.000 c
Biaya administrasi dan umum
6.400.000
Biaya bungae
1.360.000
EBTf
5.040.000
1.824.000
g
EAT
Dividen kas
Peningkatan laba ditahan
b)
14.592.000
EBITd
Pajak
a)
c)
d) e)
3.216.000
f)
2.288.000
g)
928.000
mengukur kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang diterima atau akan diterima dari pelanggan biaya penjualan, iklan, administrasi kantor, dan lain-lain pendapatan operasi biaya dana pinjaman pendapatan kena pajak jumlah yang siap diterima oleh pemilik perusahaan
Laporan laba rugi PT ABC untuk Tahun 2009, penerimaan penjualan (sales revenue) adalah Rp 63.872.000. Laba kotor ( gross proit ) Rp 20.992.000 diperoleh dari penjualan dikurangi harga pokok penjualan (cost of goods sold ) dan merupakan jumlah yang digunakan untuk menutup biaya operasi,
biaya inansial dan pajak. Laba operasi (operating proit ) Rp 6.400.000 diperoleh setelah laba kotor dikurangi biaya operasi, berarti perusahaan sudah membayar biaya produksi dan biaya penjualan produk. Laba operasi sering disebut earning/net proit before interest and taxes (EBIT), karena digunakan untuk membayar biaya inansial, yaitu pembayaran bunga pinjaman dan membayar pajak. Laba operasi dikurangi pembayaran bunga diperoleh laba sebelum pajak atau earning before tax /EBT, besarnya Rp 5.040.000. Laba bersih (earning/net proit after tax = EAT) Rp 3.216.000 didapat setelah laba sebelum pajak dikurangi pajak. Laba bersih inilah yang menjadi hak/milik pemegang saham.
4.
Rasio Keuangan Pada bagian ini, akan digambarkan suatu konstruksi dan interpretasi
dari rasio utama yang digunakan untuk meringkas informasi keuangan
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
45
perusahaan. Kemudian setelah menjelaskan serta mengenalkan rasio-rasio kunci tersebut, akan dipertimbangkan bagaimana dapat dipergunakan untuk dapat menyertakan informasi mengenai kondisi keuangan dan untuk mem- forecast prospek perusahaan di masa depan. Secara garis besar ada empat jenis rasio yang dapat digunakan untuk menilai kinerja keuangan perusahaan, yaitu rasio likuiditas, aktivitas, leverage, dan proitabilitas. Keempat jenis rasio tersebut dijelaskan sebagai berikut: a.
Rasio Likuiditas
Menyoal masalah rasio likuiditas, seharusnya memahami juga apa arti dari likuiditas itu sendiri. Aktiva likuid secara khusus dicirikan sebagai suatu aset/aktiva yang dapat dengan mudah dikonversikan menjadi kas/ cash. Tapi apa artinya semua ini? Konversi terhadap karakteristik kas secara khusus menjelaskan tiga kondisi/keadaan. Pertama, menjelaskan bagaimana konversi aset menjadi kas dalam horizon waktu jangka pendek, tapi kondisi tersebut tidaklah memadai untuk dapat menjelaskan mengenai konsep Likuiditas. Kedua, konversi aset menjadi karakteristik kas tidak disertai dengan penurunan nilai aset tersebut secara signiikan ( lost of value) dan ketiga, kondisi likuiditas dari aset bersifat scalable, hal ini berarti sejumlah aset tertentu dapat dikonversikan menjadi kas. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita sangat peduli terhadap likuiditas? Analisis likuiditas akan mampu memberikan informasi seseorang menentukan apakah perusahaan mampu membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo dalam satu tahun (ingat bahwa kondisi likuiditas selalu dikaitkan dengan kecepatan dan dalam bahasa sederhana kemudian disebut jangka pendek). Bagaimanapun dengan membandingkan keseluruhan aktiva lancar dengan kewajiban lancarnya yang jatuh tempo satu tahun atau kurang kemudian sering disebut bahwa perusahaan memiliki kemampuan bayar, rasio ini pada analisis selanjutnya disebut liquidity ratio atau rasio likuiditas. Rasio likuiditas menyediakan beragam informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan perusahaan jangka pendek.
46
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Liquidity Ratio yang umum digunakan antara lain:
1)
Current ratio (rasio lancar): alat ukur bagi kemampuan likuiditas
(solvabilitas jangka pendek), yaitu kemampuan untuk membayar utang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar.
Formulasi: Aktiva lancar ´100% CR = Utang lancar
2)
Quick ratio/acid test ratio (rasio cepat): alat ukur bagi kemampuan
perusahaan untuk membayar utang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar yang lebih likuid.
b.
Formulasi: Aktiva lancar - Persediaan ´100% QR = Utang lancar
Rasio Akvitas
Rasio aktivitas atau dikenal juga sebagai rasio operasi/eisiensi, yaitu memfokuskan pada tingkat eisiensi di mana aset-aset dikelola perusahaan, dengan perkataan lain rasio-rasio ini meringkas berbagai informasi, sehingga dapat membantu seseorang menilai apakah suatu perusahaan memiliki jumlah investasi yang tepat untuk setiap aset operasi. Oleh karenanya, pada umumnya rasio operasi rumusannya beragam dari satu perusahaan kepada perusahaan lainnya dalam suatu industri. Rasio-rasio ini antara lain: 1)
Receivable turnover (perputaran piutang): mengukur kualitas
piutang perusahaan dan kesuksesan perusahaan dalam mengumpulkan piutang dagang tersebut. Formulasi: Penjualan Kredit Bersih Setahun Receiv able turnover = Rata-Rat ta P iutang
2)
Inventory turnover (perputaran persediaan): rasio untuk
mengukur eisiensi penggunaan persediaan atau rasio untuk mengukur kemampuan dana yang tertanam dalam persediaan untuk berputar dalam suatu periode tertentu. BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
47
Formulasi: Harga Pokok Penjualan Inventory turnover = Rata-Rat a Persediaan
3)
Receivable turnover in days (perputaran piutang harian):
mengukur kemampuan perusahaan dalam mengumpulkan jumlah piutang dalam setiap jangka waktu tertentu.
Formulasi: Jumlah Hari dalam Setahun Av erage collection period = Perput ar ran Piutang
4)
Total assets turnover (perputaran aktiva): rasio untuk mengukur
eisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan.
Formulasi: Penjualan Bersih Total assets turnover = Total Aktiva
c.
Rasio Leverage Finansial
Penggunaan utang dalam pendanaan bisnis dalam perspektif manajemen keuangan disebut leverage . Dalam ilmu isika, leverage adalah sesuatu yang mampu mengangkat/mengungkit dengan kekuatan tertentu. Utang (debts) adalah salah satu alat pendanaan yang memiliki pengaruh yang sama baik terhadap kinerja atau return maupun risiko yang harus dipikul atau ditanggung oleh perusahaan. Dengan demikian, rasio leverage inansial merupakan rasio yang mengukur seberapa banyak perusahaan menggunakan dana dari utang. Rasio-rasio ini antara lain: 1) Debt ratio (rasio utang): rasio yang menghitung berapa bagian dari keseluruhan kebutuhan dana yang dibiayai dengan utang.
Formulasi: Debt r atio =
48
Total Utang Total Aktiva
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
2)
Total debt to equity ratio (rasio total utang terhadap modal
sendiri)
Formulasi: Total debt to equity r atio =
3)
Total Utang Modal Sendiri
Time interest earned ratio: rasio untuk mengukur seberapa besar
keuntungan dapat berkurang (turun) tanpa mengakibatkan adanya kesulitan keuangan, karena perusahaan tidak mampu membayar bunga.
Formulasi: Time interest earned r atio =
4.
EBIT
Beban Bunga
Total assets turnover (perputaran aktiva): rasio untuk mengukur
eisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan.
Formulasi: Penjualan Bersih Total assets turnover = Total Aktiva
c.
Rasio Leverage Finansial
Penggunaan utang dalam pendanaan bisnis dalam perspektif manajemen keuangan disebut leverage . Dalam ilmu isika, leverage adalah sesuatu yang mampu mengangkat/mengungkit dengan kekuatan tertentu. Utang (debts) adalah salah satu alat pendanaan yang memiliki pengaruh yang sama baik terhadap kinerja atau return maupun risiko yang harus dipikul atau ditanggung oleh perusahaan. Dengan demikian, rasio leverage inansial merupakan rasio yang mengukur seberapa banyak perusahaan menggunakan dana dari utang. Rasio-rasio ini antara lain: 1) Debt ratio (rasio utang): rasio yang menghitung berapa bagian dari keseluruhan kebutuhan dana yang dibiayai dengan utang.
Formulasi: Debt r atio =
Total Utang Total Aktiva BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
49
2)
Total debt to equity ratio (rasio total utang terhadap modal
sendiri)
Formulasi: Total debt to equity r atio =
3)
Total Utang Modal Sendiri
Time interest earned ratio: rasio untuk mengukur seberapa besar
keuntungan dapat berkurang (turun) tanpa mengakibatkan adanya kesulitan keuangan, karena perusahaan tidak mampu membayar bunga.
Formulasi: Time interest earned r atio =
d.
EBIT
Beban Bunga
Rasio Proftabilitas
Kemampulabaan perusahaan merupakan bagian perhatian utama seorang manajer (barangkali kecuali bagi para manajer non proit institution). Konsep kemampulabaan perusahaan sangatlah luas, namun
demikian sangatlah kritis/penting bahwa satu yang amat menentukan baik itu pada tingkat atau tataran akuntansi dalam hal proit diukur dan faktor skala digunakan untuk dasar perhitungannya. Sebagai contoh, dengan memperhatikan tingkatan data untuk beberapa contoh adalah sangat bermanfaat untuk mengevaluasi keuntungan operasi perusahaan dengan cara membandingkan dengan sejumlah bisnis sejenis tanpa memperhatikan tingkat leverage (mengukur proit pada tingkat EBIT atau EBITDA). Rasio-rasio ini antara lain: 1)
Gross proit margin
Formulasi: Penjualan Bersih- HPP Gross prof it margin = Penjualan Bersih
2)
Net proit margin
Formulasi: Net prof it margin = 50
EAT Penjualan Bersih
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
3)
Return on assets
Formulasi: Return on assets =
4)
Total Assets
Return on equity
Formulasi: Return on equity =
5.
EAT
EAT Total Modal Sendiri
Evaluasi Rasio-Rasio Keuangan Summary evaluasi rasio-rasio keuangan disajikan seperti berikut: Liquidity ratio: Current ratio Quick ratio Cash ratio
Naik Naik Naik
Membaik Membaik Membaik
Leverage ratio: Debt to total assets ratio Debt to equity ratio Long term debt to equity ratio Time interest earned ratio
Naik Naik Naik Naik
Memburuk Memburuk Memburuk Membaik
Activity ratio: Receivable turnover Average collection period Inventory turnover Average days in inventory Assets turnover
Naik Naik Naik Naik Naik
Membaik Memburuk Membaik Memburuk Membaik
Proitability ratio: Gross proit margin Operating proit margin Net proit margin Return on assets Return on equity
Naik Naik Naik Naik Naik
Membaik Membaik Membaik Membaik membaik
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
51
6.
Keterbatasan Analisis Rasio Keuangan
Adapun keterbatasan dari analisis rasio keuangan adalah sebagai berikut: a.
Perbedaan metode akuntansi yang dipakai untuk menyusun laporan keuangan.
b. c.
Penjualan perusahaan yang bersifat musiman. Kesulitan untuk menentukan jenis industri apabila perusahaan mem-
d.
punyai berbagai lini produk. Perusahaan dapat melakukan “window dressing”.
7.
Lahan dan Penyelesaian
Soal 1. Diketahui laporan keuangan PT Bumi Jaya sebagai berikut: PT Bumi Jaya Neraca 31 Desember, 2009 (dalam jutaan Rp) Kas
Utang dagang
660
1.100
Utang wesel
880
3.300
Utang lainnya
440
5.280
Total utang lancar
880
Piutang
Persediaan
Total aktiva lancar
1.980
Utang jangka panjang Aktiva tetap Total aktiva
52
880
2.420
Modal sendiri
7.700
Utang dan modal sendiri
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
4.840
7.700
PT Bumi Jaya Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009 (dalam jutaan Rp) Penjualan
11.000
Harga pokok penjualan
Laba bruto
8.120
2.880
Biaya operasi: Biaya penjualan
1.100
Biaya administrasi dan umum
1.268 2.368
EBIT
512 52
Bunga Laba sebelum pajak
460
Pajak (50%)
230
Laba bersih
230
Dari data tersebut, hitunglah: a. Current Ratio b.
Quick Ratio
c. d.
Debt Ratio Average Collection Period
e. f.
Total Asset Turnover
g.
Net Proit Margin
Total Debt to Equity Ratio
Penyelesaiannya: a.
Current Ratio =
=
Aktiva lancar Utan g lancar 5.280 1.980
´100%
´100%
= 2,67 atau 267%
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
53
b.
Quick Ratio
=
= =
Aktiva lancar - Persediaan Utan g lancar
(5.280 - 3.300) 1.980
´100%
´100%
1.980 1.980
=1 = 100% c.
Debt Ratio
= = =
Total Utang Total Aktiva
´100%
(1.980 + 880) 7.700
´100%
2.860
7.700
= 0,37 = 37% d.
Average Collection Period
= =
Piutang´ Jumlah Hari d alam S etahun Penjualan Kredit 1.100´365 11.000
= 36,5 hari e.
Total Asset Turnover
= =
Penjualan Bersih Total Aktiva 11.000
7.700
= 1,43 kali f.
Total Debt to Equity Ratio
=
= 54
Total Utang Modal Sendiri
(1.980 + 880) 4.840
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
= 0,59 = 59% g.
Net Proit Margin =
=
Laba Bersih setelah Pajak Penjualan Bersih 230 11.000
= 0,021 = 2,1% Soal 2. Lengkapilah Neraca dan Laporan Laba Rugi PT Bunga Flamboyan berikut: PT Bunga Flamboyan Neraca 31 Desember, 2009 (Rp) Kas
Piutang
Persediaan
……………
Utang lancar
……………
……………
10% obligasi
……………
800.000
Modal sendiri
……………
Aktiva tetap …………… Total aktiva
……………
Total utang dan modal sendiri ……………
PT Bunga Flamboyan Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009 (Rp) Penjualan neto
…………………
Harga pokok penjualan
…………………
Laba bruto
…………………
Biaya administrasi dan umum Biaya penjualan
8.000.000
4.000.000 12.000.000
EBIT
…………………
Bunga 10%
…………………
Laba sebelum pajak
Pajak (50%) Laba neto
………………… ………………… …………………
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
55
Keterangan: a. b.
Tingkat perputaran aktiva = 4× Tingkat perputaran persediaan = 7,5×
c.
Quick Ratio = 100%
d.
Rasio aktiva tetap dengan aktiva total = 60%
e. f.
Rasio utang jangka panjang dengan aktiva tetap = 50% Operating ratio (rasio biaya total dengan penjualan) = 60%
g.
Rasio kas dengan persediaan = 50%
Penyelesaiannya: Rasio operasi =
biaya total Penjualan
= 60% Penjualan
=
12.000.000 0, 6
´12.000.000
= Rp 20.000.000 Tingkat perputaran aktiva = =
Penjualan Total aktiv a 20.000.000
Total aktiv a
= 4´
=4
Total aktiva = 20.000.000 4 = Rp 5.000.000 Rasio aktiva tetap dengan total aktiva =
Aktiva teta p Total aktiv a
= 60%
= Aktiva teta p = 60% 5.000.000 Aktiva tetap = 60% × 5.000.000 = Rp 3.000.000
56
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Aktiva lancar = Total aktiva – Aktiva tetap = 5.000.000 – 3.000.000 = Rp 2.000.000 Rasio utang jangka panjang dengan aktiva tetap =
Utan g jangka panjang 3.000.000
= 50%
Utang jangka panjang = 50% × 3.000.000 = Rp 1.500.000 Kas
Rasio kas dengan persediaan =
800.000
= 50%
Kas = 50% × 800.000 = Rp 400.000 Piutang = Aktiva lancar – Kas – Persediaan Piutang = 2.000.000 – 400.000 –800.000 = Rp 800.000 Quick ratio = Aktiva l a ncar - Persediaan = 100% Utan g Lancar
=
2.000.000 - 800.000
Utan g Lancar
=1
Utang lancar = 2.000.000 – 800.000 = Rp 1.200.000 Modal sendiri = 5.000.000 – 1.200.000 – 1.500.000 = Rp 2.300.000 Perputaran persediaan =
=
H arg a pokok penjualan Persediaan H arg a pokok penjualan 800.000
= 7,5 kali
= 7,5 kali
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
57
Harga pokok penjualan= 7,5 × 800.000 = Rp 6.000.000 Dengan demikian, neraca dan laporan laba-rugi adalah sebagai berikut: PT Bunga Flamboyan Neraca 31 Desember, 2009 (Rp) Kas
Piutang
Persediaan
400.000
Utang lancar
1.200.000
800.000
10% obligasi
1.500.000
800.000
Modal sendiri
2.300.000
Aktiva tetap 3.000.000 Total aktiva 5.000.000
Total utang dan modal sendiri 5.000.000
PT Bunga Flamboyan Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009 (Rp) Penjualan neto
20.000.000
Harga pokok penjualan Laba bruto
Biaya administrasi dan umum Biaya penjualan
6.000.000 14.000.000
8.000.000
4.000.000 12.000.000
EBIT
Bunga 10% Laba sebelum pajak
2.000.000
150.000
1.850.000
Pajak (50%)
925.000
Laba neto
925.000
58
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Soal 3. Lengkapilah neraca berikut ini dengan menggunakan data berikut: Debt to net worth ratio 41,8% 2,3 40 hari
Acid test ratio
Periode pengumpulan piutang Perputaran persediaan
22% 6,5 kali
Perputaran aset
1,3 kali
Gross proit margin
PT Rennais Neraca 31 Desember, 2009 (Rp) Kas
Piutang
Persediaan
…………… Utang lancar
….………
…………… Saham biasa
20.000
…………… Laba ditahan
35.000
Bangunan dan perlengkapan kantor …………… Total aktiva
…………… Total pasiva
….………
PT Rennais Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009 (Rp) Penjualan neto Harga pokok penjualan Laba bruto
……………
……………
……………
Penyelesaiannya: Debt to net worth = 41,8% Utang
= 41,8%
Saham biasa + Laba d itahan
Utang = 41,8% × (20.000 + 35.000) = Rp 22.990 BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
59
Total pasiva = Total utang + total modal sendiri = 22.990 + 55.000 = Rp 77.990 Acid test ratio = 2,3 Aktiva l a ncar - Persediaan = 2,3 Utan g lancar
(Kas + Piutang)
= 2,3 × 22.990 = Rp 52.877
Perputaran aktiva = 1,3 Penjualan
= 1,3
Total Aktiva
Penjualan = 1,3 × 77.990 = Rp 101.387 Periode pengumpulan piutang = 40 hari Rata-rata piutang = (penjualan/360) × 40 = (101.387/360) × 40 = Rp 11.265 Kas = (Kas + Piutang) – Piutang = 52.877 – 11.265 = Rp 41.612 Gross proit margin = 22%
Harga pokok penjualan= (1 – GPM) × penjualan = (1 – 22%) × 101.387 = Rp 79.082 Perputaran persediaan = 6,5 kali Harga pokok penjualan Rata -rat a persediaan Rata-rata persediaan
= 6,5 = 79.082/6,5 = Rp 15.598
Bangunan dan perlengkapan kantor = Total aktiva – Aktiva lancar = 77.990 – (41.612 + 11.265 + 15.598) = Rp 9.515
60
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
PT Rennais Neraca 31 Desember, 2009 (Rp) Kas
Piutang
Persediaan
41.612
Utang lancar
22.990
11.265
Saham biasa 20.000
15.598
Laba ditahan 35.000
9.515
Bangunan dan perlengkapan kantor Total aktiva
77.990
Total pasiva
77.990
PT Rennais Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009 (Rp) Penjualan neto
101.387 79.082
Harga pokok penjualan Laba bruto
22.305
Soal 4. Diketahui neraca dan laporan laba rugi PT Bremen sebagai berikut: PT Bremen Neraca 31 Desember, 2009 (Rp) Kas
Piutang Persediaan
540.000.000
Utang dagang
650.000.000
Utang wesel
1.750.000.000
Utang lainnya
2.940.000.000
Total utang lancar
430.000.000
540.000.000
320.000.000
Total aktiva lancar
1.290.000.000
Utang jangka panjang
540.000.000
Aktiva tetap 1.310.000.000
Modal sendiri
Total aktiva 4.250.000.000
Utang dan modal sendiri 4.250.000.000
2.420.000.000
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
61
PT Bremen Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009 (Rp) Penjualan
6.600.000.000
Harga pokok penjualan
4.160.000.000
Laba bruto
2.440.000.000
Biaya operasi: Biaya penjualan
650.000.000
734.000.000
Biaya administrasi dan umum
1.384.000.000
EBIT
Bunga
1.056.000.000
106.000.000
Laba sebelum pajak
950.000.000
Pajak (50%)
475.000.000
Laba bersih
475.000.000
Dari neraca dan laporan laba rugi PT Bremen tersebut, saudara diminta untuk menghitung: a. Berapa perputaran kas (cash turnover )? b. c.
Berapa perputaran piutang (receivable turnover )? Berapa perputaran persediaan (inventory turnover )?
Penyelesaiannya: a.
Cash turnover =
=
Penjualan Kas 6.600.000.000 540.000.000
= 12,22 kali berputar dalam setahun
62
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
b.
Receivable turnover =
=
Penjualan Piutang 6.600.000.000 650.000.000
= 10,15 kali berputar dalam setahun c.
Inventory turnover =
Harga Pokok Penjualan Rata -rat a persediaan
= 4.160.000.000 1.750.000.000 = 2,38 kali berputar dalam setahun
Conclusion Remark Untuk menilai kondisi keuangan dan prestasi perusahaan, analis keuangan memerlukan beberapa tolok ukur. Tolok ukur yang sering dipakai adalah rasio atau indeks, yang menghubungkan dua data keuangan yang satu dengan yang lainnya. Rasio analisis keuangan meliputi dua jenis perbandingan. Pertama, analis dapat membandingkan rasio sekarang dengan yang lalu dan yang akan datang untuk perusahaan yang sama (perbandingan internal). Kedua, perbandingan meliputi perbandingan rasio perusahaan dengan perusahaan lainnya yang sejenis atau dengan rata-rata industri pada satu titik yang sama (perbandingan eksternal). Rasio-rasio dikelompokkan kedalam 5 kelompok dasar, yaitu: likuiditas, leverage, aktivitas, proitabilitas, dan penilaian. Sejumlah rasio yang tak terbatas banyaknya dapat dihitung, akan tetapi dalam praktiknya cukup digunakan beberapa jenis rasio saja. Meskipun rasio-rasio merupakan alat yang sangat berguna, tetapi tidak terlepas dari beberapa keterbatasan dan harus digunakan dengan hati-hati. Rasio disusun dari data akuntansi dan data tersebut dipengaruhi oleh cara penafsiran yang berbeda dan bahkan bisa merupakan hasil manipulasi.
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan
63
DAFTAR PUSTAKA Atmaja, Lukas Setia. 2008. Teori dan Praktik Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Andi. Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill. Bringham, Eugene F., and Gapenski, Louis C. 1996. Intermediate Financial Management (5th edition). New York: The Dryden Press. Brigham, Eugene F., and Daves, Phillip R. 2007. Intermediate Financial Management (9th edition). Mason: Thomson.
Husnan, Suad. 1996. Kumpulan Soal dan Penyelesaiannya: Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (edisi ke-3). Yogyakarta: BPFE. Husnan, Suad dan Pudjiastuti, Enny. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-5). Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Ross, Stephen A., Westerield, Randolph W., and Jordan, Bradford D. 2008. Fundamentals of Corporate Finance (8th edition). New York: McGrawHill/Irwin. Sartono, Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Sjahrial, Dermawan. 2009. Manajemen Keuangan (edisi ke-3). Jakarta: Mitra Wacana Media. ______________________. 2009. Pengantar Manajemen Keuangan (edisi ke-3). Jakarta: Mitra Wacana Media. Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc. Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New York: The Dryden Press.
64
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
4
Nilai Waktu Uang Jaja Suteja
Sejumlah uang yang akan diterima dari hasil investasi pada akhir tahun, kalau kita memperhatikan nilai wakt uang, maka nilainya akan lebih rendah pada akhir tahun depan. Jika kita tidak memperhatikan nilai wakt dari uang, maka uang yang akan kita terima pada akhir tahun depan adalah sama nilainya yang kita miliki sekarang.
B A B
4
Nilai Waktu Uang
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1.
Analisis Penghitungan Present Value
2.
Waktu dari Arus Kas Mempengaruhi Nilai Aktiva dan Return
A. Pendahuluan
N
ilai waktu uang merupakan konsep sentral dalam manajemen keuangan. Beberapa pakar yang mengatakan bahwa pada dasarnya manajemen keuangan merupakan aplikasi konsep nilai waktu uang. Pemahaman nilai waktu uang sangat penting dalam studi manajemen keuangan. Banyak keputusan dan teknik dalam manajemen keuangan yang memerlukan pemahaman nilai waktu uang. Biaya modal, analisis keputusan investasi (penganggaran modal), analisis alternatif dana, penilaian surat berharga, penetapan skedul pelunasan utang, investasi, pembelian peralatan merupakan contoh-contoh teknik dan analisis yang memerlukan pemahaman konsep nilai waktu uang. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui konsep waktu dari uang sebelum mempelajari materi yang lain. Uang yang dimiliki sekarang jauh lebih berharga dibandingkan dengan uang yang akan diterima tahun depan, karena uang yang kita miliki sekarang dapat diinvestasikan, ditabung atau didepositokan yang dapat menghasilkan bunga, sehingga nilainya lebih tinggi.
66
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
B. Pengeran Nilai Waktu Uang Pemahaman konsep nilai waktu uang diperlukan oleh manajer keuangan dalam mengambil keputusan ketika akan melakukan investasi pada suatu aktiva dan pengambilan keputusan ketika akan menentukan sumber dana pinjaman yang akan dipilih. Konsep nilai waktu dari uang berhubungan dengan tingkat bunga yang digunakan dalam perhitungan aliran kas. Present value akan berbeda dengan nilai uang tersebut di masa yang akan datang ( future value), karena adanya faktor bunga. Suatu jumlah uang tertentu yang diterima waktu yang akan datang jika dinilai sekarang, maka jumlah uang tersebut harus didiskon dengan tingkat bunga tertentu (discount factor ), sedangkan suatu jumlah uang tertentu saat ini dinilai untuk waktu yang akan datang maka jumlah uang tersebut harus digandakan dengan tingkat bunga tertentu ( compound factor ).
C. Future Value Nilai waktu yang akan datang merupakan nilai uang yang akan datang dari satu jumlah uang atau suatu seri pembayaran pada waktu sekarang, yang dievaluasi dengan suatu tingkat bunga tertentu. Proses yang mengarah dari nilai sekarang ( present value) menuju nilai masa depan ( future value) disebut dengan pemajemukan. Pemajukan adalah proses aritmatika untuk menetapkan nilai akhir dari arus kas atau rangkaian arus kas ketika bunga majemuk digunakan. a.
Bunga Sederhana
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayarkan atau dihasilkan sebagai kompensasi terhadap apa yang dapat diperoleh dari penggunaan uang. Bunga sederhana adalah bunga yang dibayarkan atau dihasilkan hanya dari jumlah uang mula-mula atau pokok pinjaman yang dipinjamkan atau dipinjam. Formula: Si = P0 (i) (n)
BAB 4 Nilai Waktu Uang
67
di mana: Si = jumlah bunga sederhana P0 = pinjaman i = tingkat bunga n = jangka waktu Untuk setiap tingkat bunga sederhana, maka nilai akhir untuk perhitungan akhir n periode adalah: FVn =
P0 [1 + (i) (n)]
Menghitung nilai pada waktu sekarang jumlah uang yang baru dimiliki beberapa waktu kemudian adalah: PV0 = P0 = b.
FV n
{1 + (i )(n)}
Bunga Majemuk
Bunga majemuk menunjukkan bahwa bunga yang dibayarkan atau dihasilkan dari bunga yang dihasilkan sebelumnya, sama seperti pokok yang dipinjam atau dipinjamkan. Secara umum future value dari jumlah uang pada akhir periode n adalah: FVn =
c.
P0 (1 + i)n atau FVn = P0 (FVIFi, n)
Present Value
Nilai sekarang atau present value dari arus kas atau serangkaian arus kas di masa mendatang. Proses pencarian nilai sekarang dari arus kas atau serangkaian arus kas, pendiskontoan merupakan kebalikan dari pemajemukan. Formula: PV0 = P0 = FVn/(1 + i)n atau P0 = FVn [1/(1 + i)n]
68
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
d.
Annuity
Annuity atau anuits adalah deretan pembayaran dengan jumlah uang
yang sama selama sejumlah tahun tertentu. 1)
Anuitas Nilai Masa Datang Nilai yang akan datang dari suatu anuitas merupakan nilai anuitas majemuk masa datang dengan pembayaran atau penerimaan periodic (R) dan n sebagai jangka waktu anuitas. Formula untuk mencari nilai masa datang suatu anuitas biasa adalah: FVAn = R [ ∑ (1 + i)n – 1]/i atau FVAn = R (FVIFAi, n) di mana: FVAn = nilai masa depan anuitas sampai periode n R = pembayaran atau penerimaan n = waktu anuitas i = tingkat bunga FVIFAi, n = nilai akhir faktor bunga anuitas pada i% untuk n periode Apabila pembayaran bunga dibayarkan sebanyak m kali dalam setahun, maka nilai yang akan datang dapat dihitung dengan formula: FVn =
PV0 [1 + (i/m)m.n
di mana: FVn = nilai waktu yang akan datang pada tahun ke n PV0 = nilai sekarang m = frekuensi pembayaran bunga dalam setahun n = jumlah tahun 2)
Anuitas Nilai Sekarang Nilai sekarang dari suatu anuitas merupakan nilai anuitas majemuk saat ini dengan pembayaran atau penerimaan periodic (R) dan n sebagai jangka waktu anuitas.
BAB 4 Nilai Waktu Uang
69
Formula: PVAn = R [1/(1 + i)1] + R [1/(1+i)2 + … + R [1/(1 + i)n] atau PVAn = R [PVIFi, 1 + PVIFi, 2 + … + PVIFi, n] di mana: PVAn R N PVIFAi, n
= nilai sekarang anuitas = pembayaran atau penerimaan = jumlah waktu anuitas = nilai sekarang faktor bunga anuitas pada i% untuk n periode
D. Lahan dan Penyelesaian Soal 1. Agus sebagai nasabah membutuhkan dana sebesar Rp 14.479.800,- pada akhir tahun ke-12. Misalkan bahwa yang terbaik bagi nasabah adalah membayarkan suatu jumlah yang tetap setiap tahunnya ke rekening tabungan di bank yang memberikan bunga majemuk 12% per tahun. Pembayaran pertama harus dilakukan pada akhir tahun pertama. a. Berapa rencana jumlah yang akan dibayar tahunan untuk mencapai tujuan tersebut? b. Jika nasabah menyetorkan uang sekaligus, berapa yang harus nasabah setorkan untuk memperoleh dana sebesar Rp 14.479.800,- pada akhir tahun ke-12 dengan tingkat bunga 12% per tahun? Penyelesaiannya: a.
Pembayaran tahunan yang direncanakan: FVn = R (FVIFi, n) FV12 = Rp 14.479.800 i = 12% n = tahun FVIF12%, 12 tahun = 24,133 (lihat tabel anuitas)
70
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
R
=
FV 12 FV 12%12
=
14.479.800 = Rp 600.000,24,133
Jumlah Rp 600.000,- adalah angsuran per tahun untuk mencapai akumulasi dana sebesar Rp 14.479.800,- pada akhir tahun ke-12. b.
Pembayaran sekaligus yang harus dilakukan: PVn = FVn (PVIVi, n) FV = Rp 14.479.800 i = 12% n = 12 tahun PVIF12%, 12 tahun = 0,2567 (lihat tabel present value) PV12 = FV12 (PVIF12%, 12) = 14.479.800 (0,2567) = Rp 3.716.694,66 Jumlah Rp 3.716.694,66 adalah jumlah yang harus disetorkan untuk memperoleh hasil akhir tahun ke-12 sebesar 14.479.800,-
Soal 2. Tuan Gerrard memperoleh pinjaman dari Standard Chartered Bank sebesar $ 50.000.000 dengan tingkat bunga sebesar 20% yang harus dibayar dari sisa pinjaman. Pembayaran angsuran ditambah bunga setiap tahun jumlahnya sama selama 6 tahun. a. Berapa jumlah angsuran yang harus dibayar Tuan Gerrard setiap tahun? b. Buatlah tabel amortisasi pinjaman tersebut. Penyelesaiannya: a.
Besarnya pembayaran angsuran tiap tahun dihitung: PVAn = R {1 – [1/(1 + i)]n/i =50.000.000 {1 – [1/1 + 0,2]6/0,2} atau R = 50.000.000/3,326 (lihat tabel anuitas) = $ 15.033.073 Untuk mempermudah perhitungan, maka besarnya R (pembayaran angsuran plus bunga) setiap tahun dibulatkan menjadi $ 15.033.000
BAB 4 Nilai Waktu Uang
71
b.
Tabel amortisasi pinjaman:
Tahun
Pembayaran
Bunga
Angsuran Pinjaman
Sisa Pinjaman
0
–
–
–
50.000.000
1
15.033.000
10.000.000
5.033.000
44.967.000
2
15.033.000
8.993.400
6.039.600
38.927.400
3
15.033.000
7.785.480
7.247.520
31.679.880
4
15.033.000
6.335.976
8.697.024
22.982.856
5
15.033.000
4.596.571
10.436.429
12.546.427*
6
15.033.000
2.509.285
12.523.715*
–
Keterangan: * Terdapat selisih sebesar $ 22.712 akibat pembulatan
Soal 3. Satria membeli saham 10 tahun yang lalu dengan harga Rp 20.000,- per lembar saham. Jika saat ini saham tersebut dapat terjual dengan harga Rp 43.180,- per lembar saham, maka berapa tingkat bunga yang berlaku? Penyelesaiannya: FVr,n
Rp 43.180 FVIFAr,10
= P0 (FVIFA) = Rp 20.000 (FVIFAr,10) = Rp 43.180/Rp 20.000 = 2,159
Dengan melihat tabel pada baris 10 tahun, maka diperoleh tingkat bunga yang sesuai adalah r = 8%. Soal 4. Neymar terpilih sebagai Young Player of the Year . Ia boleh memilih salah satu hadiah yang menarik (1) menerima uang pembinaan per tahun sebesar $ 250.000 yang diterima setiap akhir tahun selama 10 tahun, (2) menerima hadiah tabungan senilai $ 1.500.000 atau (3) voucher liburan ke Raja Ampat senilai $ 1.000.000. Discount rate yang tepat adalah 8%. Alternatif hadiah mana yang sebaiknya Neymar pilih?
72
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Penyelesaiannya: (1) PVAr, t = P0 (PVIFA) = 250.000 [PVIFA (8%,10)] = 250.000 (6,710) = $ 1.677.500 (2) Menerima tabungan saat ini senilai $ 1.500.000 (3) Voucher liburan ke Raja Ampat $ 1.000.000 Dengan demikian, sebaiknya Neymar memilih untuk menerima uang pembinaan saja. Conclusion Remark Nilai waktu uang merupakan konsep sentral dalam manajemen keuangan. Pemahaman nilai waktu uang sangat penting dalam studi manajemen keuangan. Banyak keputusan dan teknik dalam manajemen keuangan yang memerlukan pemahaman nilai waktu uang. Biaya modal, analisis keputusan investasi (penganggaran modal), analisis alternatif dana, penilaian surat berharga, merupakan contoh-contoh teknik dan analisis yang memerlukan pemahaman konsep nilai waktu uang. Tujuan dari rencana keuangan adalah untuk mencapai keadaan perekonomian seseorang seperti yang ditargetkan sebelumnya. Maka dalam merencanakan keuangan penting kita ketahui bahwa inlasi merupakan bagian yang inheren pula dari setiap tindakan/keputusan keuangan yang diambil. Misalnya dalam keputusan memilih investasi, jangan sampai pengorbanan sekarang yang kita lakukan, alih-alih mendapat nilai tambah, akhirnya justru menurun. Pemahaman konsep nilai waktu uang diperlukan oleh manajer keuangan dalam mengambil keputusan ketika akan melakukan investasi pada suatu aktiva dan pengambilan keputusan ketika akan menentukan sumber dana pinjaman yang akan dipilih. Suatu jumlah uang tertentu yang diterima waktu yang akan datang jika dinilai sekarang, maka jumlah uang tersebut harus didiskon dengan tingkat bunga tertentu ( discount factor ). Suatu jumlah uang tertentu saat ini dinilai untuk waktu yang akan datang maka jumlah uang tersebut harus digandakan dengan tingkat bunga tertentu (compound factor ).
BAB 4 Nilai Waktu Uang
73
DAFTAR PUSTAKA Atmaja, Lukas Setia. 2008. Teori dan Praktik Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Andi. Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill. Bringham, Eugene F., and Gapenski, Louis C. 1996. Intermediate Financial Management (5th edition). New York: The Dryden Press. Brigham, Eugene F., and Daves, Phillip R. 2007. Intermediate Financial Management (9th edition). Mason: Thomson. Husnan, Suad. 1996. Kumpulan Soal dan Penyelesaiannya: Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (edisi ke-3). Yogyakarta: BPFE. Husnan, Suad dan Pudjiastuti, Enny. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-5). Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Ross, Stephen A., Westerield, Randolph W., and Jordan, Bradford D. 2008. Fundamentals of Corporate Finance (8th edition). New York: McGrawHill/Irwin. Sartono, Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Sjahrial, Dermawan. 2009. Manajemen Keuangan (edisi ke-3). Jakarta: Mitra Wacana Media. ______________________. 2009. Pengantar Manajemen Keuangan (edisi ke-3). Jakarta: Mitra Wacana Media. Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc. Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New York: The Dryden Press. 74
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
5
Teori Struktur Modal Perusahaan Jaja Suteja
Dalam praktik terbaiknya, optimalisasi stktr modal dan leverage factor berjuan untk meningkatkan nilai persahaan ( value of the rm ), namun rasio ideal kebijakan ini bersifat relatif bagi setiap persahaan
B A B
5
Teori Struktur Modal Perusahaan
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1.
Pengertian Struktur Modal dan Keuangan Perusahaan
2.
Struktur Modal Optimal dan Nilai Perusahaan
3.
Berbagai Pendekatan dalam Struktur Modal Perusahaan
4.
Proposisi Modigliani dan Miller
5.
Teori-Teori Struktur Modal Perusahaan
1. Pengeran Struktur Modal
M
engapa struktur modal perusahaan (corporate capital structure) merupakan salah satu masalah penting bagi suatu perusahaan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mulai memahami apa yang dimaksud dengan struktur modal, beberapa pendekatan penting dalam struktur modal perusahaan, serta teori-teori struktur modal perusahaan . Perlu kiranya kita pahami terlebih dahulu perbedaan antara struktur modal (capital structure) dengan struktur keuangan ( inancial structure). Pemahaman ini penting agar mampu membedakan aset mana saja yang dibiayai oleh sumber pendanaan jangka panjang (umumnya komponen aktiva tetap, seperti: property , plant , dan equipment ) dan mana yang dibiayai oleh pendanaan yang bersifat spontan (spontaneous inancing) atau jangka pendek (umumnya modal kerja perusahaan atau modal kerja yang bersifat
76
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
musiman), sehingga aspek-aspek penilaian kinerja keuangan perusahaan (corporate inance assesment ), seperti: likuiditas, solvabilitas, proitabilitas, dan marketabilitas perusahaan relatif lebih mudah dianalisis. Struktur modal perusahaan adalah perbandingan antara utang jangka panjang (long term debt ) dengan modal sendiri ( equity ) yang dipergunakan oleh perusahaan. Keown (2001) secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan struktur modal dan struktur keuangan sebagai berikut: ”Financial structure is the mix of all items that appear on the right hand side of company’s balance sheet. Capital structure is the mix of the long-term sources of funds used by the irm. The relationship between inancial dan capital structure can be expressed in equation form:
( inancial structure) – (current liabilities) = capital structure”. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa struktur keuangan merupakan perpaduan dari seluruh bagian atau komponen-komponen yang ada disebelah kanan (right hand side) suatu neraca perusahaan. Sementara itu, struktur modal merupakan sumber pembiayaan jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan, dengan demikian struktur modal merupakan bagian saja dari struktur keuangan perusahaan. Keown (2001) selanjutnya mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan struktur modal perusahaan (capital structure management ) adalah untuk membuat suatu komposisi relatif antara sumber dana permanen perusahaan dengan cara memaksimumkan harga saham perusahaan dan meminimumkan biaya modal perusahaan ( cost of capital ), dengan demikian hal tersebut akan mampu menyeimbangkan antara risiko ( risk ) dan tingkat pengembalian yang diharapkan. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa struktur modal adalah kombinasi atau persentase yang dinamis baik dalam artian relatif maupun absolut antara sumber pendanaan jangka panjang yang berasal dari utang (long term debt ) dengan modal yang berasal dari para pemilik perusahaan atau modal sendiri (equity ). Oleh karena itu, struktur modal ini sering disebut sebagai komposisi pendanaan perusahaan yang relatif permanen.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
77
Utang dan Risiko Perusahaan
Dalam praktiknya, tidak ada satupun kegiatan bisnis yang benarbenar bebas dari risiko (riskless business activities absolutely ), meskipun suatu instrumen investasi dikatakan riskless assets namun keberlakuannya pada suatu situasi tertentu disertai dengan asumsi tertentu pula. Misalnya, keberlakuan mengenai konsep pasar modal sempurna ( perfect capital market concept ) yang menganggap bahwa di pasar tidak ada biaya pajak, tidak ada biaya kebangkrutan, semua pelaku pasar memiliki informasi yang sama dan lainnya. Begitu juga dengan penggunaan utang ( inancial leverage) sebagai sumber pendanaan dalam perusahaan akan menimbulkan risiko tambahan (additional risk ) bagi perusahaan, selain jenis risiko sebagai konsekuensi kegiatan operasi bisnis dan risiko pasar. Sejumlah risiko tersebut di antaranya, adalah: (1) risiko bisnis ( business risk ), (2) risiko pasar (market risk ), dan (3) risiko inansial ( inancial risk ). Risiko bisnis (business risk ) adalah risiko unik, risiko yang timbul pada perusahaan tertentu yang belum tentu dihadapi oleh perusahaan lain. Dengan demikian, tidak bersifat sistematis (un-systematic risk ), misalnya risiko yang ditimbulkan karena kegiatan operasional perusahaan akibat ketidakpastian pendapatan operasional. Menurut Brigham (1999), risiko bisnis ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya: (i) sensitivitas permintaan, (ii) harga jual, (iii) harga input, (iv) kemampuan menyesuaikan harga output terhadap perubahan input, (v) operating leverage, dan lainnya. Risiko pasar (market risk ) merupakan risiko yang terjadi di luar kegiatan perusahaan yang tidak dapat diantisipasi oleh perusahaan. Risiko ini sering disebut juga dengan risiko sistematik ( systematic risk ). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya risiko pasar adalah: (i) inlasi, (ii) resesi, (iii) pembayaran bunga yang tinggi, dan (iv) faktor lainnya yang bersifat makro. Oleh karena itu, risiko bisnis relatif lebih terkontrol ( controllable factors), maka risiko pasar ini relatif bersifat given, dengan demikian yang tersisa adalah risiko pasar, oleh karena risiko jenis ini sangat penting untuk diperhatikan oleh manajemen perusahaan. Selanjutnya manajemen
78
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
perusahaan akan membandingkan bagaimana tingkat risiko perusahaan dengan risiko pasar, sensitiitas ini diukur dalam bentuk slope/ gradient / tangent yang kemudian dikenal dengan beta. Risiko inansial ( inancial risk ) adalah risiko yang timbul karena keputusan penggunaan sumber dana dengan beban tetap, seperti biaya bunga atas penggunaan utang dan dividen atas penerbitan saham preferen, risiko ini dalam manajemen keuangan disebut sebagai risiko tambahan atau additional risk . Semakin kecil kemampuan perusahaan memperoleh laba operasi (operating income) atau Earnings Before Interest dan Tax (EBIT) akan menyebabkan ketidakmampuan perusahaan memberikan keuntungan bagi pemegang saham sehingga memperkecil pendapatan per lembar saham atau Earnings per Share (EPS). Hubungan antara EBIT dengan EPS ini akan memberikan gambaran mengenai peta pembiayaan, apakah relatif meguntungkan dengan modal sendiri ( equity inancing) atau justru sebaliknya lebih menguntungkan melalui utang ( debt inancing). Gambar 5.1 berikut memberikan ilustrasi mengenai peta pilihan pembiayaan equity atau debt . EPS 4 3 2 1
0
selisih keuntungan menggunakan utang daripada saham indefferent point
selisih keuntungan menggunakan utang daripada saham EBIT 1 2 3
Sumber: Atmaja (2008:270) Gambar 5.1
Hubungan EBIT~EPS dalam Penentuan Pilihan Debt Equity Financing
Dari Gambar 5.1 tersebut tampak bahwa titik indefferent point menunjukkan titik temu di antara dua atau lebih jenis pembiayaan, pada titik tersebut menunjukkan dengan berbagai alternatif sumber pendanaan akan memiliki nilai EPS yang sama dengan targetted EBIT. Setelah titik BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
79
tersebut, maka sumber pembiayaan dengan sumber tertentu, misalnya melalui utang lebih menguntungkan, sementara itu sebelum titik tersebut alternatif pembiayaan saham lebih menguntungkan dari alternatif pembiayaan lainnya.
2. Struktur Modal Opmal dan Nilai Perusahaan Dalam praktiknya sangat sulit ditemukan perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaanya hanya mengandalkan salah satu sumber pendanaan saja, misalnya utang ( all debt inancing) atau modal sendiri (all equity inancing), yang paling sering dilakukan manajemen perusahaan adalah mengoptimalkan kombinasi di antara kedua sumber pendanaan tersebut. Studi yang dilakukan oleh Hampton (1997:214) menyatakan bahwa perimbangan dalam berbagai komponen struktur modal sedemikian rupa, sehingga biaya penggunaan modal ( cost of capital ) adalah minimum. Lebih lanjut dalam studinya, komponen yang dimaksud adalah biaya rata rata tertimbang atau Weighted Average Cost Of Capital (WACC). Secara sederhana, pemahaman mengenai biaya modal rata-rata tertimbang dapat dilukiskan sebagai berikut, apabila sumber pendanaan tersebut berasal dari dua sumber pendanaan yaitu, debt dan equity (D dan E), dengan biaya modal masing masing sebesar (K d ) dan biaya modal sendiri (Ke), maka rumusan biaya modal tertimbang (WACC) sebagai berikut: æD ö E WACC = çç * Kd + * Ke÷÷÷ çè A ø A
Dengan diketahuinya biaya penggunaan modal, maka secara teoritis struktur modal optimum dapat ditentukan. Biaya penggunaan modal sangat dipengaruhi oleh persepsi investor dan kreditur terhadap risiko yang mungkin diderita atas modal yang ditanamkannya. Semakin besar tingkat penggunaan utang jangka panjang berarti juga akan semakin besar pula risiko yang mungkin diderita oleh para investor, karena meningkatnya tambahan risiko (additional risk ) pada risiko total yang dihadapi oleh perusahaan. 80
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Dalam praktik terbaiknya, optimalisasi rasio utang perusahaan diperoleh dari trade-off antara manfaat berutang (tax shield /saving) dan biaya penggunaan utang (cost of debt ) dengan asumsi aset perusahaan dan perencanaan investasi bersifat konstan. Perusahaan dipandang melakukan keseimbangan antara nilai manfaat dari interest tax shield dengan kerugian akibat berbagai biaya kebangkrutan atau kesulitan keuangan. Berdasarkan hal ini, maka perusahaan melakukan substitusi ekuitas dengan utang atau substitusi utang dengan ekuitas ( equity dan debt substitution each other ), sampai suatu saat di mana struktur pembiayaan antara Debt (D) dan Equity (E) mencapai titik optimum, seperti terlihat pada Gambar 5.2 berikut: n a a h a s u r e P r a s a P i a l i
N
Nilai Perusahaan maksimum
Biaya Kesulitan Keuangan
Nilai sekarang dari tax saving Nilai perusahaan tanpa utang Jumlah Utang Maksimum
Nilai Perusahaan dengan Utang
B/V
Sumber: Ross, Westerield, Jordan (2008:570) Gambar 5.2
Target Struktur Modal Optimal
Biaya kesulitan keuangan atau cost of inancial distress terdiri dari biaya-biaya seperti: (i) biaya legal dan adminsitrasi kebangkrutan, (ii) agency , (iii) moral hazard , dan monitoring , (iv) kontrak dan lainnya. Biaya ini akan mengurangi besanya formal default nilai perusahaan, walaupun secara formal default dapat dihindari dan besarnya dapat diperdebatkan (debatable). Lebih lanjutnya, penjelasan tentang biaya kesulitan keuangan misalnya covenants utang tidak akan memuaskan sebelum biaya agency dan moral hazard dapat dikenali dengan baik. Dari Gambar 5.2, nilai perusahaan yang berutang adalah hasil akumulasi dari nilai perusahaan tanpa utang dengan nilai sekarang dari manfaat pajak atau present value of tax shield atau tax saving. BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
81
VL = VU + TcB – PV* (cost of inancial distress – agency cost ) Keterangan: VL = Nilai perusahaan yang berutang VU = Nilai perusahaan yang tidak berutang TcB = Manfaat pajak (tax rate × interest expenses) PV = Nilai sekarang
Value
Nilai perusahaan optimal Nilai Perusahaan = VL = ∫(D, E)
V3 V2
Percentage of Debt to Equity
V1 D/E 1 (%)
D/E (%) D/E n2% Gambar 5.3
Hubungan Non Monotonic Nilai Perusahaan ~ Struktur Modal
Perlu dicatat bahwa hal yang menarik dari relasional antara struktur modal perusahaan dengan nilai perusahaan adalah bahwa hubungan tersebut tidaklah bersifat linier, hal ini dapat diartikan bahwa tidak secara sistematis bahwa makin tinggi leverage , maka makin tinggi nilai perusahaan, begitu juga turunnya rasio leverage juga akan menurunkan nilai perusahaan, namun demikian hubungan di antara kedua variabel relationship. Hubungan yang bersifat tersebut lebih bersifat non monotonic relationship. non monotonic tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada suatu struktur hubungan yang bersifat generic, yang berlaku bagi semua perusahaan dalam suatu industri atau lebih.
3. Pendeka Pendekatan-Pendek tan-Pendekatan atan dalam Struktur Modal Perubahan penggunaan sumber pendanaan yang dilakukan oleh perusahaan akan memiliki implikasi penting baik bagi manajemen maupun 82
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
terhadap persepsi investor investor atau pasar (market response). Berkenaan dengan hal tersebut, maka terdapat sejumlah pendekatan yang biasa digunakan, di antaranya: (a) pendekatan laba operasi, (b) pendekatan tradisional, dan (c) pendekatan Modigliani dan Miller (MM (MM Approach). Secara lebih detail dijelaskan sebagai berikut: a.
Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operating Income Approac Approach h)
David Durand (1952) dalam artikelnya mengemukakan mengenai pendekatan laba operasi bersih (net operating income) dalam menjelaskan mengenai struktur modal perusahaan. Selanjutnya Durand menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan utang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang bersifat konstan berapapun tingkat utang yang digunakan perusahaan. b.
Pendekatan Pendekata n Tradisional (Traditional Approach) Approach)
Menurut pendekatan ini diasumsikan bahwa terjadi perubahan struktur modal dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan inancial leverage. Dalam pendekatan ini, dijelaskan bagaimana struktur modal dan leverage factor sebagai salah satu determinan penting yang berpengaruh terhadap kemampulabaan perusahaan. Menurut pendekatan ini dengan menggunakan beberapa tingkat perubahan komposisi struktur modal dan leverage factor memberikan memberikan jawaban terhadap suatu relasional sederhana antara likuiditas, proitabilitas, dan risiko perusahaan. c.
Pendekatan Modigliani dan Miller (MM (MM Approach Approach))
Modigliani dan Miller (MM) berpendapat bahwa risiko total bagi seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur modal perusahaan mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pembagian struktur modal antara utang dan modal sendiri selalu terdapat perlindungan atas nilai investasi. Hal ini terjadi karena nilai investasi total perusahaan tergantung dari keuntungan dan risiko, sehingga nilai perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya berubah. Asumsi yang digunakan adalah pasar modal sempurna, nilai yang diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama, perusahaan mempunyai risiko usaha yang sama dan tidak ada pajak.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
83
Pendapat Modigliani Miller atau lebih dikenal dengan MM theory ini didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan 2 (dua) aktiva yang pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yang termurah serta kemudian menjual lagi aset tersebut dengan harga yang lebih tinggi. Perimbangan di antara sumber pendanaan perusahaan seharusnya telah mengakomodir atau mempertimbangkan berbagai manfaat ( tax shield ield eld ) dan risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan ( cost of inancial distress atau bankruptcy cost ) sehubungan dengan pemanfataan sumber pendanaan tersebut. Komposisi relatif sumber dana tersebut kemudian dikenal dengan struktur modal optimal ( optimal capital structure). Sejumlah faktor sangat berpengaruh terhadap struktur modal, menurut D’Amrosio dan Hodges (1984:157) faktor-faktor tersebut adalah: (i) tingkat pertumbuhan penjualan; (ii) stabilitas penjualan di masa depan; (iii) struktur persaingan dalam industri; (iv) sikap manajemen perusahaan maupun pemilik perusahaan terhadap risiko; (v) posisi pengendalian dari pemilik dan manajemen perusahaan, dan (vi) sikap kreditor terhadap industri dan perusahaan.
4. Proposisi Modigliani dan Miller (MM Propositon ) Modigliani dan Miller (1958:261-297) seperti yang dikutip oleh Myers dan Brealey (2004) yang selanjutnya dikenal dengan MM theory memberikan memberikan gambaran bagaimana efek pendanaan terhadap nilai perusahaan ketika ada pajak dan tidak ada pajak (with dan without tax ) dalam teorinya MM menggunakan beberapa asumsi di antaranya: (i) Pasar modal sempurna capital market ), ( perfect capital ), (ii) Tidak ada biaya transaksi ( no transaction cost ), ), dan (iii) Tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan atau no inancial distress . Lebih lanjut menurut teori MM ini dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Proposisi Modigliani dan Miller I (MM I without Tax )
Menurut proposisi proposisi ini bahwa bahwa nilai perusahaan perusahaan tanpa utang atau unleveraged irm (VU) sama dengan perusahaan yang menggunakan utang atau leveraged irm. (VL), secara sederhana proposisi tersebut dapat direpresentasikan direprese ntasikan dalam kesamaan sebagai berikut:
84
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
(VU) = (VL) .......................................................................................................................... (i) Keterangan: VL = (Leveraged Firm) perusahaan yang menggunakan utang VU = (UnLeveraged Firm) perusahaan yang tidak menggunakan utang Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proposisi ini menyimpulkan bahwa nilai perusahaan selalu sama dengan berbagai struktur modalnya. Berkaitan dengan biaya modal, dengan asumsi seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka MM berargumentasi bahwa ekspektasi tingkat pengembalian modal atas ekuitas berhubungan secara positif dengan leverage , karena risiko terhadap pemegang saham meningkat dengan adanya leverage. b.
Proposisi Modigliani dan Miller I dengan pajak (MM I with Tax )
Memperhatikan sejumlah kelemahan pada studi sebelumnya, dalam studi berikutnya, MM melakukan perbaikan atas perumusan proposisi yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, dengan memasukan pajak perusahaan (tax advantage to debt ). Oleh karena itu, dengan adanya utang akan mampu mengurangi pajak perusahaan. Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang sama pada proposisi MM I sebelumnya, maka nilai perusahaan dengan memperhitungkan pajak ( Tc) akan bertambah besar karena adanya keuntungan pajak atau tax shield dari utang perusahaan, dapat diformulasikan sebagai berikut: VL = VU + TcB ...................................................................................................................... (ii) Keterangan: VL = Nilai perusahaan bagi yang menggunakan utang VU = Nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang TcB = Tax shield atau Tax saving atau penghematan pajak c.
Proposisi Modigliani dan Miller tanpa pajak (MM II without Tax )
Dengan rata-rata biaya modal tertimbang atau Weighted Average Cost of Capital (rWACC), biaya utang (rB) dan biaya ekuitas (rS) serta nilai utang (B) dan nilai saham (S), maka rata-rata biaya modal tertimbang atau Weighted Average Cost of Capital (rWACC,) dapat ditulis sebagai berikut: BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
85
B
r
WACC =
xr B +
( B + S )
S
xr S
( B + S )
Dengan memasukan biaya modal tanpa utang di mana r WACC= rO= (Overall cost of capital ), maka persamaan tersebut di atas dapat dirumuskan kembali sebagai berikut: B
r
WACC =
xr B +
( B + S )
S
xr S ....................................................................... (iii)
( B + S )
Dari persamaan tersebut, tampak bahwa ekspektasi tingkat pengembalian sekuritas (rS) merupakan fungsi linier dari rasio utang terhadap ekuitas ( B ). Lebih lanjut, dalam proposisi MM II tanpa pajak S
menyebutkan bahwa dengan adanya tambahan utang, maka risiko ekuitas akan meningkat pula. Dua kesimpulan dari proposisi MM II tanpa pajak sebagai berikut: (i) Adanya peningkatan beban ekuitas dapat ditutup secara sempurna (offset ) oleh peningkatan proporsi utang. (ii) Nilai perusahaan adalah invarian terhadap leverage. Dalam praktik terbaiknya (in the best practices), kesimpulan pertama dari proposisi MM II tanpa pajak, seringkali tidak dapat dipenuhi secara tepat karena risiko ekuitas (equity risk ) meningkat bersamaan dengan meningkatnya leverage . d.
Proposisi Modigliani dan Miller dengan Pajak (MM II with Tax )
Dengan memperhatikan adanya pajak perusahaan ( corporate tax ), maka besarnya biaya ekuitas ( cost of equity ) akan meningkat sejalan dengan adanya leverage , karena risiko ekuitas meningkat dengan adanya leverage. Apabila diformulasikan maka proposisi MM II dengan adanya pajak sebagai berikut: rS = r 0 +
86
B
(1 -TC )(r 0 - r B ) ....................................................................................... (iv)
S
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Lebih lanjut, proposisi MM tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan (bankruptcy cost atau inancial distress). Dengan memperhitungkan biaya kebangkrutan dan manfaat dari tax deductible , maka modiikasi dari proposisi MM tidak lain adalah teori statitic trade-off atau balance theory .
5. Teori Struktur Modal ( Capital Structure Theory ) Pada bagian ini akan diuraikan sejumlah teori yang sering dijadikan dasar argumentasi mengenai keputusan struktur modal perusahaan ( corporate capital structure decisions). Secara umum, teori tersebut didasarkan pada adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) dan adanya pemisahan antara ownership dan control perusahaan (the separation between ownership dan controll ). a.
Teori Static Trade-off atau Balance theory
Teori struktur modal banyak diilhami dari proposisi Modigliani dan Miller (1958), seperti halnya dalam teori static trade-off ini, merupakan pengembangan dari proposisi Modigliani Miller II dengan pajak (MM II with tax ) dengan memasukkan kebangkrutan, biaya keagenan dan hilangnya manfaat pajak karena tidak menggunakan pendanaan utang ke dalam model untuk menunjukkan bahwa tingkat marginal pajak bondholders lebih kecil dari tingkat marginal pajak perusahaan (keuntungan pajak marginal karena utang yang muncul dari penurunan pajak akibat pembayaran bunga atas utang), oleh karena itu adanya keuntungan pajak bersih dari adanya utang. Struktur modal optimal dapat diperoleh di mana keuntungan pajak dari utang sama dengan biaya-biaya yang terkait dengan struktur modal itu sendiri. Sementara itu studi yang dilakukan oleh Baxter (1967) seperti dikutip oleh Um Taejong (2001) berargumentasi bahwa terkait dengan adanya struktur modal yang eksesif mampu meningkatkan biaya modal perusahaan. Tingkat struktur modal yang cukup tinggi ini akan meningkatkan probabilitas kebangkrutan dan oleh karena itu akan meningkatkan risiko perusahaan secara keseluruhan. Selanjutnya Baxter menyebutkan bahwa
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
87
tingkat toleransi struktur modal akan sangat tergantung pada varians dari pendapat bersih perusahaan. Dengan memasukkan probabilitas kebangkrutan yang terkait dengan proporsi rasio debt yang tinggi, argumen tersebut melemahkan asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Modigliani dan Miller (1958) dan Miler (1977) dalam Myers dan Brealey (2006). Studi Myers (2001) berpendapat bahwa faktor yang penting menjelaskan perbedaan rasio utang (debt ratio) antara perusahaan adalah biaya penyesuaian (cost of adjustment ). Dalam studinya, Myers lebih lanjut mengemukakan bahwa bila tidak ada biaya penyesuaian atau cost of adjustment , maka teori static trade-off adalah benar adanya, sehingga setiap perusahaan akan mempunyai rasio utang yang optimal. Namun demikian dalam kenyataannya, besarnya biaya penyesuaian tidak dapat dihindari. Dengan demikian, selalu terdapat lag untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan untuk menuju rasio utang optimal. Argumentasi dari hal ini bahwa: “perusahaan tidak dapat secara tepat menutup biaya-biaya penyesuaian bila ada kejadian-kejadian yang secara acak menimpa perusahaan, sehingga rasio utang berbeda dari tingkat optimum”. Dari deskripsi mengenai teori static trade-off dapat diketahui dan dipahami bahwa struktur modal yang dibentuk berdasarkan teori ini didasarkan atas perhitungan tingkat kesulitan keuangan atau inancial distress . Selanjutnya teori ini memandang bahwa: ”perusahaan sebagai setting suatu target rasio utang terhadap nilai perusahaan”. Myers (2001) selanjutnya menjelaskan bahwa teori ini akan benar bila diasumsikan perusahaan tidak perlu ada biaya penyesuaian untuk menuju target rasio tersebut apabila rasio aktual berbeda dengan target rasio. Asumsi ini lemah karena biaya penyesuaian ada, sehingga ada lag untuk melakukan penyesuaian menuju ketingkat optimum. Selanjutnya apabila biaya penyesuaian rendah (lower cost of adjustment ) apakah perusahaan akan berusaha menuju tingkat optimum? Oleh karenanya, nilai perusahaan yang mempunyai utang dapat diformulasikan sebagai berikut: VL = VU + T . D – {[PV of cost of inancial distress] – [ Agency cost ]}
88
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Modigliani dan Miller (1958) dengan irrelevance thorem-nya, model static trade-off theory yang juga disebut balancing theory atau driven capital theory atau taxshelter-bankruptcy approach, memandang bahwa struktur modal optimal (optimal debt-equity ratio) ditentukan oleh keseimbangan antara manfaat penurunan pajak, karena menggunakan utang dengan biaya kebangkrutan dengan menggunakan sumber pendanaan utang itu sendiri. Dengan kata lain, sebuah perusahaan akan menggunakan utang hingga marginal effects utang sama dengan marginal cost utang dan oleh karenanya struktur modal optimal terealisasi pada titik di mana manfaat bersih penggunaan utang sama dengan nol. Oleh karena itu, munculnya ekspektasi kebangkrutan dan manfaat penurunan pajak atas penggunaan utang menjadi landasan konseptual dalam static trade-off theory . Secara matematis dikatakan bahwa ketika suatu garis mencapai puncaknya, maka nilai marginalnya sama dengan nol, sementara itu fungsi dari persamaan tersebut telah mencapai nilai puncaknya, hal ini berarti kombinasi antara Bond atau Debt (B atau D) dengan Saham atau Equity (S atau E) mencapai nilai maksimum, secara sederhana deskripsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.2 dan Gambar 5.3 pada bagian sebelumnya. Apabila perusahaan memilih untuk menerbitkan saham atau obligasi (bond or stock issueing) dalam rangka memperbesar modalnya, maka perusahaan dapat melakukannya dengan cara menawarkan surat berharga di pasar modal (right issue) pada pemegang saham lama, mengeluarkan surat bukti utang (bond issue) atau mencari investor perorangan secara langsung atau lembaga keuangan. Merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Myers (1977) trade-off hypotheses menyimpulkan bahwa: Perusahaan dapat dilihat sebagai setting suatu target rasio utangnilai perusahaan, dan secara bertahap menuju target yang diinginkan (required targetted capital structure ). Perusahaan yang memaksimumkan nilai perusahaan dengan menciptakan keseimbangan manfaat (the tax advantages of borrowed money ) dengan biaya (the costs of inancial distress), sehingga tradeoff dibutuhkan untuk memperoleh titik optimum.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
89
Seringkali bahwa titik keseimbangan tersebut terjadi dalam horizon waktu jangka panjang dengan record kegiatan usaha yang cukup panjang. Equilibrium of the debt to equity ratio, merupakan fungsi turunan/derivatif dari nilai perusahaan (∂V L). b.
Teori eori �eagenan ( Agency Theory )
Berbeda dengan teori sebelumnya, teori struktur modal dengan memperhatikan munculnya masalah keagenan ( the agency cost theory of capital ), berargumentasi bahwa struktur modal optimal ditentukan oleh biaya yang muncul dari konlik antara pemilik dan manajemen atau antara principals dan agents. Berdasarkan teori ini, sumber konlik dibedakan menjadi dua aspek, yaitu: Manajer atau inside-managers dan pemilik perusahaan (shareholders) atau agency cost of equity . Antara pemilik perusahaan (shareholders) dan perusahaan yang memberikan pinjaman pada perusahaaan ( debtholders). Kedua jenis konlik yang berbeda ini menghasilkan biaya keagenan ekuitas (equity agency cost ) dan biaya keagenan utang ( debt agency cost ). Bauran optimal rasio utang dan ekuitas dicapai dalam proses penurunan masalah biaya keagenan ekuitas dan utang tersebut. Struktur modal optimal berdasarkan the agency cost theory , diperoleh manajer dengan memilih tingkat utang dan modal sendiri serta dengan meminimalisasi biaya keaganenan yang muncul dari kedua konlik tersebut. Salah satu mekanisme yang sering dipergunakan dalam memecahkan masalah keagenan adalah dengan pemberian fee schedule kepada manajemen. Dalam konteks fee schedule dan kemungkinan adanya kebangkrutan akibat utang, maka kinerja manajemen berkaitan dengan struktur modal, misalnya rasio utang terhadap ekuitas. Semakin besar rasio ini, maka semakin besar risiko terjadinya kebangkrutan. Oleh karena itu, semakin diperlukan eisiensi manajemen untuk mengindari risiko ini. Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan sering sekali tidak sejalan dengan tujuan pihak manajemen (manajer) perusahaan, sehingga timbul konlik kepentingan antara manajer dengan pemegang 90
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
saham. Konlik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan terkait tersebut. Untuk meyakinkan bahwa manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham, pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut agency cost , yang meliputi: (i) pengeluaran untuk monitoring kegiatan manajer, (ii) pengeluaran untuk membuat struktur organisasi yang meminimalkan tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan, dan (iii) serta opportunity cost yang timbul akibat kondisi di mana manajer tidak dapat segera mengambil keputusan tanpa persetujuan pemegang saham. Sejumlah peneliti telah memberikan kontribusinya dalam membuat suatu model yang dapat menjelaskan hubungan antara struktur modal dengan masalah keagenan (konlik kepentingan antara principals dan agent ). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan muncul ketika satu atau lebih individu (majikan) menggaji individu lain (agen atau karyawan) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen dan karyawannya. Dalam konteks manajemen keuangan, hubungan ini muncul antara: pemegang saham (shareholders) dengan para manajer dan antara pemegang saham dengan kreditor (bondholders atau pemegang obligasi). Jensen dan Meckling mengidentiikasi adanya dua tipe konlik keagenan, yaitu konlik keagenan antara pemegang saham dengan manajer dan konlik keagenan antara pemegang saham dengan kreditor. Tipe konlik yang pertama antara shareholders dan managers akan menimbulkan biaya yang disebut biaya keagenan ekuitas. Konlik ini muncul karena managers memiliki saham perusahaan kurang dari 100%. Oleh karenanya, mereka tidak dapat menikmati keseluruhan manfaat dari keuntungan dengan meningkatnya aktivitas, akan tetapi mereka juga harus menanggung keseluruhan biaya aktivitas bisnisnya. Sebagai contoh, para manajer dapat berinvestasi pada tingkat usaha yang rendah dalam mengelola sumber daya perusahaan, mereka akan berusaha memaksimumkan kepentingannya melalui sumber daya yang mereka kuasai saat ini, misalnya dalam bentuk BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
91
kemewahan dan kesejahteraan yang bukan dalam bentuk satuan moneter atau satuan uang, seperti kantor yang mewah, keanggotaan profesional, dan lain-lain. Studi yang dilakukan oleh Jensen dan Meckling (1976) menyajikan hubungan antara kekayaan atau kemakmuran shareholders dan pembelanjaan atau pengeluaran manajer dalam sebuah graik kartesius seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.4 Huruf ”F” merepresentasikan pengeluaran manajer dalam bentuk kemewahan fasilitas ( non pecuniary beneits), sementara itu simbol ”V” pada sisi lain merepresentasikan nilai perusahaan dan kekayaan para pemilik. Apabila dilihat dari gambar tersebut, maka pada titik F111 para insiders memiliki bagian perusahaan atau saham sebesar 1–2 × (menunjukkan bagian perusahaan yang dimiliki oleh outsiders). Nilai Perusahaan V V1 V11 V111
IC1 IC2
IC3
F1 F11 F111 F Pengeluaran Manajer dalam bentuk Kemewahan Fasilitas Sumber: Jensen dan Meckling, 1976 Gambar 5.4
Hubungan antara Nilai Perusahaan dengan Tingkat Pengeluaran Manajer dalam Bentuk Kemewahan Fasilitas
Penjelasan selanjutnya, tingkat konsumsi atas kemewahan fasilitas yang dilakukan oleh para manajer perusahaan dalam peraga tersebut ditunjukkan oleh kurva indieren (IC– Indifference Curve) ketiga, yaitu (IC3). Pada titik ini para insiders berusaha mencoba untuk memenuhi kepentingannya melalui kekayaan yang dimiliki oleh outsider shareholders. Sebagai akibatnya, nilai perusahaan dan kekayaan pemilik ditunjukkan oleh V111. 92
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Namun demikian, ketika manajer memiliki saham sebesar 1 × dari saham perusahaan, hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kepemilikan insiders, oleh karenanya hal ini terkait dengan semakin menurunnya berbagai pengeluaran yang dilakukan para manajer dalam bentuk kemewahan fasilitas, sehingga dalam kondisi ini ditunjukkan berbagai pengeluaran tersebut dicerminkan oleh titik F11, dan pengeluaran tersebut ada dalam kurva indiferen dua (IC11), sebagai akibat adanya peningkatan nilai perusahaan sebagaimana ditunjukkan oleh V 11. Apabila kita lihat titik ini lebih besar jika dibandingkan ketika para insiders memiliki bagian perusahaan lebih kecil. c.
Teori Informasi Asimetrik
Akerlof dan Stiglitz (2001: 195-211) menyebutkan bahwa berdasarkan teori informasi simetris, informasi yang diterima para pelaku pasar diasumsikan akan sama dengan informasi yang ada pada manajemen perusahaan. Dalam kenyataannya manajer perusahaan memiliki informasi yang relatif lebih banyak daripada informasi yang tersedia bagi para investor luar. Kondisi ini disebut dengan asymmetric information. Dalam kenyataanya stakeholders perusahaan memiliki derajat penguasaan informasi yang beragam. Kenyataan tersebut terjadi karena satu pihak memiliki akses dan kewenangan yang lebih luas terhadap sumber daya perusahaan. Manajemen sebagai agen dari pemilik dalam kenyataanya memiliki akses dan informasi yang lebih banyak, sementara para pemilik dan berbagai pihak lainnya terdistorsi oleh kendala akses terhadap sumber daya perusahaan. Dengan demikian, di luar manajemen terdapat disparitas penguasaan informasi mengenai perusahaan termasuk para pemilik sebagai principals perusahaan. Baik secara theoritical concept maupun secara empiris, dalam relevant content insiders dan outsiders dua kelompok yang memiliki persentase penguasaan informasi yang sangat jauh berbeda. Studi yang dilakukan oleh Myers (2001) mengemukakan bahwa terdapat berbagai pendekatan informasi asimetrik sesuai dengan teori yang dikembangkannya, yaitu Teori Pecking Order . Teori ini agak bertolak belakang dengan prediksi struktur modal seperti yang diusulkan oleh static trade-off theory atau balance theory . BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
93
Dalam praktik bisnis sehari-hari terdapat perimbangan antara jumlah seluruh modal asing dengan jumlah modal sendiri akan membentuk struktur keuangan, sedangkan perimbangan antara modal asing dan modal sendiri dalam jangka panjang akan membentuk struktur modal. Jadi, struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan. Struktur modal menekankan perimbangan antara modal asing jangka panjang dan modal sendiri, sedangkan struktur keuangan mencakup keseluruhan pos-pos yang terdapat di sebelah kredit neraca (right hand side of balance sheet ). Di dalam suatu perusahaan, struktur modal mempunyai pengaruh yang penting terhadap likuiditas dan proitabilitas perusahaan. Makin besar jumlah utang jangka panjang yang jatuh tempo makin tidak baik bagi likuiditas dan makin besar jumlah biaya utang jangka panjang makin kurang baik bagi proitabilitas perusahaan. Studi empiris Wibowo (2006) menyebutkan bahwa, manajemen sebagai agen dari pemilik perusahaan, manajer seharusnya memaksimumkan kesejahteraan para memiliki saat ini. Namun demikian, tidak seharusnya manajemen membebankan kesejahteraannya menjadi beban perusahaan. Oleh karenanya, perlu ada suatu mekanisme pengendalian untuk mengurangi terjadinya konlik keagenan, salah satunya melalui struktur kepemilikan perusahaan. Struktur kepemilikan yang menyebar menyebabkan kekuatan para pemilik untuk mengendalikan kegiatan manajemen menjadi lemah dan akan memperburuk kinerja pada periode selanjutnya. Hasilnya menyebutkan adanya hubungan yang bersifat spourious antara average yang tidak memiliki arti ekonomi. Sementara variabel average (debt /a), konsisten memiliki hubungan negatif dan signiikan secara statistik. Adanya informasi asimetrik akan membawa implikasi terhadap manajemen keuangan. Manajer pada umumnya cenderung untuk menyampaikan informasi yang baik mengenai perusahaan. Sementara itu, para investor tahu kecenderungan tersebut sehingga mereka melihat penawaran saham baru atau Initial Public Offering (IPO) sebagai sinyal berita buruk sehingga harga saham perusahaan cenderung turun jika saham baru diterbitkan. Ini menyebabkan biaya modal sendiri menjadi tinggi dan nilai perusahaan cenderung turun. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih menyukai menerbitkan obligasi daripada menerbitkan saham baru.
94
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Selanjutnya Robert Gordon Donaldson dengan memperhatikan kenyataan mengenai adanya informasi asimetrik, menyimpulkan bahwa perusahaan lebih senang menggunakan dana dengan urut-urutan sebagai berikut: laba ditahan dan depresiasi, utang dengan biaya rendah, dan penjualan saham baru. Informasi asimetrik memberikan andil yang cukup besar dalam pemikiran manajer keuangan untuk mengatur urut-urutan kemampuan pendanaan investasi, terutama pertimbangan aspek inancial distress. Urutan dalam pendanaan ini dalam manajemen keuangan sering disebut dengan istilah Pecking Order Theory atau Pecking Order Hypothesis. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul teori pecking order yang lebih lengkap atau kemudian dikenal dengan Modiied Pecking Order Theor y yang dikemukakan oleh Myers (2001). Studi empiris yang dilakukan oleh Myers dan Majluf (1984) dan Myers (2001) menunjukkan bahwa manajer perusahaan atau insiders diasumsikan memiliki informasi private mengenai karakteristik peluang perusahaan atau kualitas perusahaan secara keseluruhan. Struktur modal dirancang untuk mengurangi terjadinya ineisiensi dalam pengambilan keputusan investasi perusahaan yang disebabkan oleh informasi yang tidak simetris. Pendekatan biaya informasi dalam konteks struktur modal sebagai hasil pilihan instrumen pendanaan untuk mendanai peluang investasi dan pilihan instrumen pendanaan tersebut sangat tergantung pada biaya yang muncul dari adanya informasi yang tidak simetris antara insider s dan outsiders. Gambaran terakhir mengenai teori informasi asimetris ini diberikan oleh Akerlof dan Stiglitz (2001: 195-211). Dalam artikelnya Akerlof dan Stiglitz (2001: 195-211) memberikan gambaran mengenai aspek ketidaksimetrisan informasi dalam bisnis. Mereka menyebutkan bahwa dampak potensial dari terjadinya asymmetric information adalah timbulnya kegagalan pasar (market failure). Sebagai contoh yang paling umum untuk menjelaskan fenomena informasi yang tidak simetris terjadi pada pasar mobil bekas (used car market ) di mana penjual memiliki informasi yang
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
95
lebih baik atau terdapat asymmetric information atas calon pembeli. Pemilik mobil bekas lebih mengetahui kondisi mobilnya dibandingkan calon pembeli. Pemilik mobil bekas ini mungkin menjual “ Lemon” (mobil yang jelek) dan mengakunya sebagai “Orange” (mobil yang bagus). Sebaliknya pembeli mobil, yang menyadari memiliki informasi yang kurang dibandingkan dengan yang dimiliki oleh penjual, tidak dapat membedakan antara lemon dan orange. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana asymmetric information dapat mengakibatkan kegagalan pasar ( market failure). Pembeli cenderung akan menurunkan harga karena mereka tidak dapat membedakan antara mobil bagus dengan yang jelek. Sementara itu pemilik mobil bagus pun tidak bersedia untuk menjual mobilnya pada harga yang tidak sesuai, sehingga mengakibatkan kemungkinan pembeli memperoleh mobil jelek semakin besar dan semakin menurunkan kesediaan harga yang mereka bayar. Oleh karena itu, pada akhirnya pasar mobil bekas tidak berfungsi dengan baik. Alasan semacam ini dapat diterapkan di semua jenis pasar yang kerap terjadi asymmetric information, termasuk dalam inancial market . Secara jelas satu cara untuk membuat agar pasar mobil bekas tersebut berfungsi adalah dengan mengurangi asymmetric information dengan cara memberikan keleluasaan kepada pembeli untuk mengecek atau membawa mobilnya ke montir yang tahu lebih baik tentang kondisi mobil bekas tersebut. Dari ilustrasi yang dikemukakan oleh Akerlof dan Stiglitz (2001: 195211), asymmetric information dapat juga terjadi dalam penentuan struktur modal perusahaan di mana pihak insider investors atau managerial ownership lebih mengetahui kondisi serta prospek perusahaannya dibanding pihak outsider investors , sehingga dapat menimbulkan asymmetric information antara manajer dengan investor luar atau dengan pasar. Hal ini terjadi karena di pasar bursa terdapat inform traders dan un-inform traders. Dengan demikian, apa alasan dibalik manajemen memutuskan untuk melakukan IPO, right issue atau melakukan bond issue, hanya pihak manajemen sajalah yang mengetahui secara pasti dibalik pemilihan kebijakan pendanaan tersebut, serta mengapa manajemen melakukan suatu urut-urutan skala atau rating penentuan sumber pendanaan perusahaan. Pihak luar hanya melakukan interpretasi atas kebbijakan yang telah diambil oleh manajemen, kenyataan seperti ini yang mendorong munculnya teori signaling. 96
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
d.
Pecking Order Theory (POT)
Menurut teori ini bahwa keputusan pendanaan ( inancing decisions) mengikuti suatu hierarki di mana sumber pendanaan dari dalam perusahaan (internal inancing) lebih didahulukan daripada sumber pendanaan dari luar perusahaan (external inancing). Dalam hal perusahaan menggunakan pendanaan dari luar, pinjaman ( debt ) lebih diutamakan daripada pendanaan dengan tambahan modal dari pemegang saham baru (external equity ). Teori pecking order ini didukung bukti empiris bahwa perusahaan yang menghasilkan laba besar cenderung memiliki rasio utang yang relatif kecil. Model ini dikembangkan Steward Myers (1984). Berpijak dari asimetri informasi, model ini menjelaskan hierarki preferensi sumber dana. Menurut teori ini, manajer tak memiliki target rasio utang, seperti halnya yang menjadi dasar trade off theory atau static theory . Rasio utang yang terjadi adalah akibat preferensi. Manajer paling menyukai sumber dana dari dalam perusahaan, yaitu laba ditahan karena sudah siap pakai dan tidak ada biaya untuk memperolehnya. Apabila sumber ini tak mencukupi, manajer akan beralih ke sumber dari luar. Sumber dana luar yang lebih diminati adalah utang karena tidak menyebabkan dilusi kepemilikan dan memiliki manfaat pajak. Utang juga disukai karena mencerminkan optimisme kemampuan manajemen untuk membayar bunganya. Apabila masih belum cukup, barulah perusahaan beralih ke penjualan saham baru. Menurut Pecking Order Theory , pemenuhan kebutuhan pendanaan dapat dilakukan dengan urut-urutan sebagai berikut: Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal, Perusahaan akan melakukan penyesuaian menuju kepada target rasio dividend payout meskipun dividen bersifat sticky . Penyesuain dilakukan secara bertahap akibat pergerseran dengan adanya kesempatan investasi. Jika dana internal yang berasal dari laba ditahan ( retained earnings) kurang dibandingkan dengan kebutuhan investasi, perusahaan akan mengeluarkan dana dari kas atau mencairkan marketable securities. Jika dana eksternal tetap dibutuhkan, maka perusahaan akan melepas sekuritas diawali sekuritas yang paling aman, yaitu utang , hybrid securities (misalnya convertible bonds) dan kemudian adalah ekuitas sebagai pilihan terakhir. BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
97
e.
Teori Signal
Studi yang dilakukan oleh Miller dan Rock (1985); Ambarish et al . (1987), berpendapat bahwa dalam kondisi informasi yang asimetrik, investor sulit untuk membedakan secara objektif antara perusahaan baik dan kurang baik. Setiap pernyataan yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak memiliki kandungan informasi, hal ini mengingat pernyataan manajemen perusahaan yang baik maupun yang tidak baik selalu mengatakan prospek yang baik di masa yang akan datang. Atas pernyataan tersebut, hanya waktu yang dapat membuktikan apakah informasi tersebut benar atau sebaliknya. Teori signal dikembangkan baik melalui literatur ekonomi maupun keuangan untuk menjelaskan kondisi di mana keuangan perusahaan (manajemen dan direksi) umumnya memiliki informasi yang lebih baik tentang prospek perusahaan saat ini maupun yang akan datang dibandingkan dengan para investor. Pembayaran melalui modal sendiri dalam hal ini laba ditahan (retained earnings) merupakan contoh klasik mengenai penyampaian informasi melalui signaling. Jika manajemen mengumumkan perubahan pembayaran dividennya (kenaikan atau penurunan) yang nyata pada jumlah dividen per lembar saham yang dibagikan, investor akan menangkap ini sebagai sinyal bahwa kondisi keuangan perusahaan (prospek penghasilan) saat ini dan di masa mendatang. Sebaliknya, jika investor mengharapkan suatu pembagian dividen, namun manajemen tidak memutuskan membagi dividen, manajer sedang mengirimkan sinyal negatif. Kebijakan tersebut memiliki implikasi terhadap struktur modal perusahaan. Perusahaan dengan komposisi insiders yang tinggi misalnya, maka signal yang sering disampaikan adalah perlunya mekanisme kontrol yang lebih baik (seimbang), sehingga probabilitas menggunakan debt inancing dalam pemenuhan kebutuhan pendanaannya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan perusahaan yang komposisi insiders-nya relatif lebih kecil. f.
Teori Market Timing
Pada dasarnya teori ini menjelaskan bagaimana perilaku perusahaan (corporate behavior ) dalam melepas atau menerbitkan saham pada waktu 98
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
yang akurat (to time stock issue). Merujuk teori ini perusahaan akan berupaya melepas sahamnya ketika harga saham tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa manajemen perusahaan akan melepas sahamnya pada pasar ketika kinerja pasar dalam keadaan baik, pernyataan ini sering dikaitkan dengan fenomena adanya biaya adverse selection dan implementasi konsep modiied pecking order dalam praktiknya. Menurut Hovakimian et al. (2004) menyebutkan bahwa: ” The market timing hypothesis is empirically motivated dan states that irms time equity issuance to periods of high market performance. The underlying reasons for this behavior could be related to the costs of adverse selection as in the pecking order or to some other phenomenon (Baker and Wurgler, 2002). The predictions of the market timing hypothesis regarding the effect of market performance coincide with the predictions of the pecking order hypothesis. The market timing hypothesis makes no predictions regarding the effects of proitability”.
Secara sederhana apa yang dimaksud oleh Hovakimian et al . (2004) bahwa hipotesis market timing dimotivasi oleh suatu fakta bahwa perusahaan akan melepas sahamnya pada saat kinerja pasar sangat baik, alasannya ini dikaitkan dengan fenomena pecking order dan biaya adverse selection yang terjadi. Menurut hipotesis ini dikatakan bahwa teori ini tidak dikaitkan dengan efek kemampulabaan perusahaan.
Conclusion Remark Pemahaman mengenai struktur modal dan keuangan adalah penting agar mampu membedakan aset mana saja yang dibiayai oleh sumber pendanaan jangka panjang (umumnya komponen aktiva tetap, seperti : property, plant, dan equipment ) dan mana yang dibiayai oleh pendanaan yang bersifat spontan. Struktur modal perusahaan adalah perbandingan antara utang jangka panjang (long term debt ) dengan modal sendiri (equity ) yang dipergunakan oleh perusahaan. Dalam kenyataannya, sangat sulit ditemukan perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaanya hanya mengandalkan salah satu sumber pendanaan saja, misalnya utang ( all debt inancing) atau modal sendiri (all equity inancing), yang paling sering dilakukan manajemen BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
99
perusahaan adalah mengoptimalkan kombinasi di antara kedua sumber pendanaan tersebut. Dengan diketahuinya biaya penggunaan modal, maka secara teoritis struktur modal optimum dapat ditentukan. Biaya penggunaan modal sangat dipengaruhi oleh persepsi investor dan kreditur terhadap risiko yang mungkin diderita atas modal yang ditanamkannya. Semakin besar tingkat penggunaan utang jangka panjang berarti juga akan semakin besar pula risiko yang mungkin diderita oleh para investor, karena meningkatnya tambahan risiko (additional risk ) pada risiko total yang dihadapi oleh perusahaan. Dalam praktik terbaiknya, optimalisasi rasio utang perusahaan diperoleh dari trade-off antara manfaat berutang (tax shield /saving) dan biaya penggunaan utang (cost of debt ) dengan asumsi aset perusahaan dan perencanaan investasi bersifat konstan. Perusahaan dipandang melakukan keseimbangan antara nilai manfaat dari interest tax shield dengan kerugian akibat berbagai biaya kebangkrutan atau kesulitan keuangan. Berdasarkan hal ini, maka perusahaan melakukan substitusi ekuitas dengan utang atau substitusi utang dengan ekuitas ( equity dan debt substitution each other ), sampai suatu saat di mana struktur pembiayaan antara Debt (D) dan Equity (E) mencapai titik optimum.
100
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
DAFTAR PUSTAKA Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill. Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial Management . Jakarta: Salemba Empat. Brigham, Eugene F. and Michael C. Ehrhard. 2002. Financial Management Theory and Practice (10th edition). Thomson Learning Inc. Durand, David. 1952. Costs of Debt and Equity Funds For Business: Trends and Problems of Measurement. Conference on Research in Business Finance: 215–262. Gitman, Lawrence J. 2000. Principle of Managerial Finance. AddisonWesley. Hasanawati, Sri. 2005. Implikiasi Keputusan Investasi, Pendanaan dan Dividen terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta. Manajemen Usahawan Indonesia, 9: 42-47. Hovakimian, Armen, Gayane Hovakimian, and Hassan Tehranian. 2004. Determinants of target capital structure: The case of dual debt and equity issues. Journal of Financial Economics, 71 : 517–540. Husnan, Suad. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan: Keputusan Jangka Pendek (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Jensen, M. C., Meckling, W., 1976. Theory of the irm: managerial behavior, agency costs and capital structure. Journal of Financial Economics, 3: 305–360. Keown, Arthur J. et al . 2001. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-7). Jakarta: Salemba Empat.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
101
Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan. Jakarta. Grasindo. Martono dan Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Ekonisia. McConnell, John and Henri Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics, 27: 595-612. Mesbacher. 2004. Does Capital Structure Inluence Firms Value? Academic Paper . University of Ulster German. Miller, M. H. and F. Modigliani. 1966. Some Estimates of the Cost of Capital to the Electric Utility Industry, 1954-57. American Economic Review , 57: 33-91. Miller, M. H. 1977. Debt and Tax. The Journal of Finance, 32 (2): 261-275. Miller, Merton H. and Kevin Rock. 1985. Dividend Policy under Asymmetric Information. The Journal of Finance, 40 (4): 1031-1051. Modigliani, F. and M. H. Miller. 1958. The Cost of Capital, Corporation Finance and The Theory of Investment. American Economic Review , 48: 261-297. Muslich, Mohamad. 2003. Manajemen Keuangan Modern: Analisis, Perencanaan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara. Myers, S. 1977. Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial Economics, 5: 147-175. Myers, S. and N. Majluf. 1984. Corporate Financing Decisions When Firms Have Information Investor Do Not Have. Journal of Financial Economics, 13: 187-221. Myers, S. C. 1984. The Puzzle. The Journal of Finance, 39 (3): 575-590. O’Connor, Dennis and Alberto Bueso. 1988. Managerial Finance, New York: Prentice Hall.
102
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Pangeran. 2003. Pemilihan antara Penawaran Sekuritas Ekuitas dan Utang: Suatu Pengujian Empiris Terhadap Pecking Order Theory dan Balancing Theory . Manajemen Usahawan Indonesia, 4: 27-46. Pratowo, Dwi dan Rika Julianti. 2002. Analisis Laporan Keuangan Konsep dan Aplikasi (edisi Revisi). Yogyakarta: YPKN. Preve, Lorenzo A. and Virginia Sarria-Allende. 2010. Working Capital Management . New York: Oxford University Press, Inc. www.oup.com. Ratnawati, Kusuma. 2001. Analisis Perbedaan Struktur Modal dan Faktor Intern, Faktor Ekstern Perusahaan Industri PMA dan PMDN di Bursa Efek Jakarta, serta Pengaruhnya terhadap Nilai Perusahaan. Penelitian
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. 77-86. Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. __________. 2008. Dasar-Dasar Pembelanjaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE. _______________. 2008. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE. Saragih, F. A. H. Manurung. dan J. Manurung. 2005. Dasar-Dasar Keuangan Bisnis: Teori dan Aplikasi . Jakarta: Elex Media Komputindo. Sawir, Agnes. 2005. Analisa Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Shim, Jae K. and Joel G. Siegel. 2001. Managerial Finance, New York: McGraw Hill. Steiner, Lorenz Thomas. 1996. A Reexamination of the Ralationship between Ownership Structure, Firm Diversiication and Tobin’s Q. Journal of Business and Economics, 35 (4).
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan
103
Sundjaja, Ridwan S. dan Inge Barlian. 2002. Manajemen Keuangan Satu (edisi ke-4). Jakarta: Prenhallindo. ____________________________________________. 2002. Manajemen Keuangan Dua (edisi ke-4). Jakarta: Literata Lintas Media. Sutrisno. 2001. Manajemen Keuangan (edisi ke-1), Yogyakarta: Ekonisia. __________. 2005. Manajemen Keuangan Teori, Konsep, dan Aplikasi . Yogyakarta: Ekonisia. Syamsudin, Lukman. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan (edisi ke-7). Jakarta: Raja Graindo Persada. Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc. Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New York: The Dryden Press. ________________________________________________. 1999. Manajemen Keuangan. Jakarta: Erlangga.
104
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
6
Kebijakan Dividen Perusahaan
Jaja Suteja
Kebijakan dividen persahaan sering dijadikan sebagai alat komunikasi manajemen dengan pasar, namun seberapa efektif komunikasi tersebut dilakukan manajemen seringkali sangat dipengarhi oleh seberapa besar mereka memenuhi keinginan dari “clientele efect
”
B A B
6
Kebijakan Dividen Perusahaan
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1. Memahami apa yang dimaksud dengan kebijakan dividen
perusahaan 2. Berbagai pendekatan dalam menentukan besaran dividen 3. Dividen sebagai kebijakan kontroversial, dividen sebagai
political inance, residual dividend policy , dan dividend is sticky 4. Clientele effect dividend 5. Repurchase stock dan stock split
A. Pendahuluan Pengeran Dividen
D
alam manajemen keuangan pengertian dividen merujuk pada pola-
pola distribusi besaran atau magnitude inansial yang diterima oleh para pemegang saham perusahaan pada suatu waktu tertentu. Pengertian tersebut secara operasional ditunjukkan oleh besaran nisbah antara keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan pada waktu tertentu setelah dikurangi besarnya bagian keuntungan yang akan diinvestasikan kembali pada perusahaan (retained earnings) dengan jumlah saham yang beredar (outstanding share). Studi empiris Frankfurter (2003) menyatakan bahwa dividen sebagai indikasi distribusi besaran dana yang dikeluarkan oleh perusahaan pada 106
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
para pemegang saham. Dividen tersebut biasanya dideinisikan sebagai pembagian laba setelah pajak (tahun lalu atau tahun berjalan) dalam bentuk aktiva riil kepada pemegang saham perusahaan sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya pada perusahaan. �da empat hal penting dari deinisi tersebut, yaitu: 1)
bahwa dividen hanya dapat dibagi dari sumber laba setelah pajak dan bukan dari sumber ekuitas lainnya seperti saham
2)
dividen harus dibagikan dalam bentuk aktiva riil bukan aset keuangan ( inancial asset ). Sudah merupakan praktik bisnis yang lazim, perusahaan membagi dividen dalam bentuk uang tunai karena uang tunai merupakan bentuk aktiva riil yang paling nyaman
3)
para pemegang saham mendapat pembagian dividen sesuai dengan proporsi kepemilikan saham
4)
bagi para pemegang saham, dividen yang diterimanya merupakan pendapatan yang teratur (regular income) sehingga dividen merupakan objek pajak. Kebijakan dividen tiap-tiap perusahaan tidak sama. �da pilihan yang
dihadapi manajer keuangan ketika memutuskan untuk mendistribusikan sejumlah kas kepada pemegang saham. Perusahaan yang membagi dividen menurut contracting theory merupakan perusahaan yang mementingkan nilai perusahaan. Oleh karena perhatiannya pada nilai perusahaan, maka pemegang saham akan menanggapi positif atas kebijakan tersebut. Kebijakan dividen atau keputusan dividen pada dasarnya adalah menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan (Levy dan Sarnat, 1990). Selain pengumuman laba, perusahaan go public memiliki kewajiban untuk memberikan informasi lain yang relevan, yaitu pengumuman besarnya dividen. Hasil-hasil riset sebelumnya menunjukkan teka-teki ( puzzle) mengenai muatan informasi dari pengumuman dividen (dividend is puzzle). Studi yang dilakukan oleh Miller dan Modigliani (1961) menunjukkan bahwa dividen memiliki sifat tidak relevan (irrelevant ) dalam menentukan nilai perusahaan. Riset-riset mengenai muatan informasi dividen yang telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa pengumuman dividen memiliki
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
107
muatan informasi yang bermanfaat bagi investor menemukan bukti yang berbeda. �kan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa masih banyak perusahaan yang membayar dividen, bahkan meningkatkan nilai dividennya. Kemudian studi empiris yang dilkukan oleh Watts dalam Romon (2000) menunjukkan adanya abnormal return tidak signiikan yang diperoleh investor, yang membuktikan tidak adanya kandungan informasi dari pengumuman dividen. Sedangkan
Ross
(1977)
menunjukkan
bahwa
pengumuman
dividen merupakan suatu informasi yang digunakan oleh manajer untuk menunjukkan nilai dan prospek perusahaan di masa akan datang. Pengumuman dividen dianggap memiliki muatan informasi apabila pasar bereaksi pada saat pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Menurut �rnott dan �sness (2001), kebijakan dividen telah menjadi controversial puzzle. Beberapa pilihan dapat diambil untuk menentukan mana yang lebih baik bagi pemegang saham atau manajemen: membayarkan laba dalam bentuk dividen, menginvestasikan kembali laba yang diperoleh, ditambahkan dalam laba ditahan, atau mendanai proyek-proyek internal yang potensial. Menurut Miller dan Modigliani (1961) kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan, apapun pilihan yang diambil, pengaruhnya akan sama. Hasil studi Lamont (1998) dan Bernstein (2001) menemukan bahwa rasio pembayaran dividen yang tinggi meramalkan pertumbuhan laba yang tinggi. Hal ini konsisten dengan pandangan bahwa manajer memiliki informasi privat yang disampaikan dalam bentuk kebijakan dividen (perusahaan akan membayar dividen lebih banyak jika manajer mengetahui laba akan datang lebih besar, demikian sebaliknya). �lexander et al . (1993) menyatakan bahwa keputusan dividen merupakan sesuatu yang penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham. Studi Chang dan Rhee (1990) melakukan penelitian mengenai pengaruh pajak pribadi ( personel tax ) terhadap kebijakan dividen perusahaan dan pembuatan keputusan struktur modal. Dalam studi tersebut mereka menunjukkan bahwa besarnya rasio pembayaran dividen dipengaruhi oleh perubahan pajak pribadi dalam setiap periode. Dengan pilihan beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap rasio
108
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
pembayaran dividen, yaitu potensi pertumbuhan ( growth potential ), variabilitas laba, non debt tax shield , size perusahaan, dan proitabilitas (Sutrisno, 2001). Hasil studinya membuktikan bahwa secara keseluruhan periode potensi pertumbuhan dan variabilitas laba berpengaruh secara negatif terhadap rasio pembayaran dividen. Sedangkan non debt tax shield , size of the irm, dan proitabilitas berpengaruh positif signiikan terhadap rasio pembayaran dividen. Manajemen mempunyai 2 (dua) alternatif perlakuan terhadap penghasilan bersih sesudah pajak (E�T) perusahaan yaitu: 1)
Dibagikan kepada para pemegang saham perusahaan dalam bentuk dividend .
2)
Diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan (retaired earning).
Pada umumnya sebagian E�T (Earning After Tax ) dibagi dalam bentuk dividen dan sebagian lagi diinvestasikan kembali, artinya manajemen harus membuat keputusan tentang besarnya E�T yang dibagikan sebagai dividen. Pembuat keputusan tentang dividen ini disebut kebijakan dividen (dividend policy ). Persentase dividen yang dibagi dari E�T disebut Dividend Payout Ratio (DPR).
DP R =
Dividen yang dibagi EAT
Oleh karena itu, dari persamaan tersebut dapat dihitung kembali nilai taua rasio dividend cash payment . Prosentasi laba ditahan dari E�T adalah 1 – DPR.
Kebijakan Dividen dalam Prakk Pada praktiknya perusahaan cenderung memberikan dividen dengan jumlah yang relatif stabil atau meningkat secara teratur. Kebijakan ini kemungkinan besar disebabkan oleh asumsi bahwa:
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
109
a.
Investor melihat kenaikan dividen sebagai suatu tanda baik bahwa perusahaan memiliki prospek cerah, demikian sebaliknya. Hal ini membuat perusahaan lebih senang mengambil jalan aman, yaitu tidak menurunkan pembayaran dividen ,
b.
Investor cenderung lebih menyukai dividen yang tidak berluktuasi atau dividen yang stabil (dividend is sticky ).
Menjaga kestabilan dividen tidak berarti menjaga Dividend Payout Ratio tetap stabil, karena jumlah nominal dividen juga tergantung pada penghasilan bersih perusahaan (E�T). Jika DPR dijaga kestabilannya, misalnya ditetapkan sebesar 50% dari waktu ke waktu, tetapi E�T berluktuasi, maka pembayaran dividen juga akan berluktuasi Pada umumnya perusahaan akan menaikkan dividen hingga suatu tingkatan di mana mereka yakin dapat mempertahankannya di masa mendatang. �rtinya, jika terjadi kondisi yang terburuk sekalipun, perusahaan masih dapat mempertahankan pembayaran dividennya.
B. Kebijakan Dividen (Dividend Policy ) Permbangan Perusahaan dalam Memutuskan Kebijakan Dividen Kebijakan dividen merupakan keputusan manajemen perusahaan. Menurut Van Horne (1986), Weston dan Copeland (1991) ada beberapa pertimbangan yang mempengaruhi perusahaan dalam melakukan kebijakan dividen, yaitu: 1.
Undang-Undang tentang kebijakan dividen Undang-undang tentang kebijakan dividen secara umum memberikan ketentuan yang mengatur bahwa pembayaran dividen harus berasal dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada akun laba ditahan di neraca. Hal lain adalah adanya larangan pembagian dividen dengan mengurangi modal, larangan ini merupakan isyarat untuk melindungi kepentingan pemberi modal.
2.
Kebutuhan untuk pelunasan utang Kebijakan dividen terkait dengan masalah pelunasan utang perusahaan.
110
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
�pabila manajemen memutuskan untuk melunasi utang yang jatuh tempo, maka perusahaan akan menahan laba. Perusahaan tidak akan membagikan dividen kepada pemegang saham. 3.
Likuiditas perusahaan Posisi likuiditas perusahaan sangat mempengaruhi kebijakan dividen. Perusahaan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas tidak dapat membayar dividen secara tunai. Perusahaan yang sedang mengalami kepailitan tidak mungkin akan membagikan dividen. Demikian pula perusahaan yang baru melakukan ekspansi, kemungkinan besar memiliki tingkat likuiditas rendah, sehingga tidak akan membagikan dividen.
4.
Posisi pemegang saham sebagai pembayar pajak. Posisi pemegang saham sebagai pemilik perusahaan mempengaruhi kebijakan pembagian dividen. Dalam perusahaan besar sering terjadi konlik kepentingan antara pemegang saham yang dibebani tarif pajak tinggi dan pemegang saham dengan pajak rendah. Golongan pertama menginginkan pembayaran dividen yang tinggi, sedangkan golongan kedua menginginkan pembayaran pajak yang rendah. �danya konlik semacam ini menuntut perusahaan untuk menerapkan kebijakan dividen yang dapat menyelaraskan dua kepentingan golongan tersebut.
5.
Tingkat ekspansi aktiva Posisi perusahaan yang mengalami pertumbuhan akan semakin membutuhkan dana besar untuk membiayai ekspansi aktiva. �pabila kebutuhan dana masa akan datang semakin besar, perusahaan akan melakukan penahanan laba daripada membayar dividen.
6.
Stabilitas laba Stabilitas laba perusahaan mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya pembayaran dividen kepada pemegang saham. Perusahaan yang stabil dan mampu memprediksi laba tahun mendatang, berani mengumumkan tingkat dividen yang tinggi atau stabil. Hal ini disebabkan, perusahaan tersebut mempunyai tingkat kepastian yang tinggi
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
111
dalam perolehan laba yang besar. Dengan demikian perusahaan tersebut memiliki tingkat persentase laba yang tinggi dalam membagikan laba dibandingkan dengan perusahaan yang labanya berluktuasi. Perusahaan yang labanya berluktuasi memiliki kecenderungan untuk menahan laba dalam jumlah tinggi daripada membayarkannya sebagai dividen. 7.
�kses ke pasar modal Perusahaan yang memiliki kinerja baik akan memiliki akses yang mudah ke pasar modal. Perusahaan yang mapan cenderung memberikan dividen yang tinggi daripada perusahaan kecil atau baru.
8.
Kendali perusahaan Kendali perusahaan dapat dipengaruhi oleh sumber-sumber pembiayaan alternatif lain. Sumber pembiayaan yang berasal dari utang memiliki risiko naik turunnya laba yang diperoleh perusahaan. Pembiayaan dengan menerbitkan saham baru dapat mengurangi kelompok dominan dalam perusahaan tersebut. Dengan mengetahui konsekuensi penggunaan sumber-sumber tersebut, perusahaan sering memilih menggunakan dana internal sebagai sumber pembiayaan investasi. �kibatnya, perusahaan akan membayarkan dividen yang rendah.
9.
Tingkat inlasi Inlasi mengakibatkan laba yang diperoleh perusahaan terlalu tinggi karena perhitungan beban terlalu rendah sebagai akibat berlakunya prinsip historis. Untuk menghindari masalah ini, ada kecenderungan untuk memperbesar laba ditahan dan memperkecil pembagian dividen. Bentuk pembagian dividen dapat bersifat tunai, dividen saham, pemecahan saham, atau pembelian kembali sahan yang beredar. �pabila perusahaan memilih membagikan dividen saham, laba per lembar sahan atau dividen per lembar saham akan mengalami penurunan, karena keuntungan yang diperoleh tetap sedangkan jumlah lembar saham bertambah. Pemecahan saham menyebabkan nilai nominal saham baru lebih kecil daripada sebelumnya, sedangkan
112
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
jumlah saham semakin banyak. Pemecahan saham dilakukan secara proporsional, sehingga tidak akan mengubah kepemilikan saham dan besarnya dividen. �pabila perusahaan melakukan kebijakan membeli kembali saham yang telah beredar, jumlah lembar saham beredar akan berkurang. Laba per lembar saham dan dividen per lembar saham semakin tinggi, sehingga harga saham akan meningkat. Kebijakan pembelian kembali saham beredar dilakukan jika perusahaan memiliki tingkat likuiditas yang tinggi dan tidak akan melakukan ekspansi. Dalam menentukan kebijakan dividen, manajemen harus memperhatikan kesejahteraan para pemegang saham. Di sisi lain, manajemen juga harus menjaga pertumbuhan perusahaan dan kelangsungan hidupnya. Menurut Brennan dan Thakor (1990) keputusan yang menciptakan keseimbangan di antara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa akan datang sehingga memaksimumkan harga saham, disebut dengan kebijakan dividen optimal. �lli et al . (1993) membedakan variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya dividen sebagai berikut: a)
Legal Restriction Peraturan tertentu yang akan membatasi besarnya dividen yang akan dibayarkan.
b)
Liquidity Position Keuntungan yang diperoleh dan laba ditahan yang tinggi tidak harus menyebabkan posisi kas yang tinggi juga, karena ada kemungkinan bahwa keuntungan dan laba ditahan tersebut telah digunakan untuk membayar utang atau melekat pada aktiva selain kas.
c)
Absence or Lack of other Sources of Financing Pada umumnya sumber dana intern mempunyai arti penting bagi perusahaan yang baru tumbuh. Sebagai konsekuensinya, dividen yang akan dibayarkan cenderung rendah atau bahkan tidak dibagikan, karena manajemen akan berusaha mengakumulasikan keuntungan ke dalam laba ditahan yang berguna untuk pendanaan intern.
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
113
d)
Earnings Predictability Jika keuntungan berluktuasi maka dividen tidak dapat bergantung semata-mata dari keuntungan tersebut, sehingga diperlukan adanya trend keuntungan yang stabil untuk menentukan porsi dividen yang direncanakan.
e)
Ownership Control Jika perusahaan memutuskan untuk membayarkan dividen yang tinggi, akan menyebabkan laba ditahan tidak cukup untuk membiayai investasi barunya. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah perusahaan menerbitkan saham baru untuk mencukupi dananya. Keputusan ini akan menimbulkan kontrol dari pemegang saham perusahaan lama semakin berkurang. Hal ini tidak diinginkan oleh para pemegang saham lama, sehingga mereka akan lebih menyukai dengan tidak memperoleh dividen.
f)
Inlation Inlasi yang tinggi akan menyebabkan ketidakmampuan perusahaan untuk melakukan investasi baru sehingga perusahaan akan melakukan akumulasi dananya ke dalam laba ditahan. Hal ini akan berdampak pada penurunan terhadap pembayaran dividen.
Model Residual Dividen Pada prakteknya ada perusahaan yang menggunakan model residual dividend di mana dividen ditentukan dengan cara: 1.
Mempertimbangkan kesempat investasi perusahaan.
2.
Mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk menentukan besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi.
3.
Memanfaatkan laba ditahan untuk memenuhi kebutuhan akan modal sendiri tersebut semaksimal mungkin.
4.
Membayar dividen hanya jika ada sisa laba. Dengan demikian, besarnya dividen bersifat luktuatif. Model Residual
Dividend ini berkembang karena perusahaan lebih senang menggunakan laba ditahan dari pada menerbitkan saham baru untuk memenuhi kebutuhan
114
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
modal sendiri, alasannya: 1) Menerbitkan saham menimbulkan biaya emisi saham ( lotation cost ) dan 2) Menurut Teori Signaling Hypothesis penerbitan saham baru sering salah artikan oleh investor bahwa perusahaan kesulitan keuangan sehingga menyebabkan penurunan harga saham. Model Residual Dividend menyebabkan dividen bervariasi jika kesempatan investasi perusahaan juga bervariasi (luktuasi), Jika kita percaya pada teori signaling hypothesis. maka model ini sebaiknya tidak diguanakan secara kaku untuk menetapkan besarnya dividen secara year to year basis. Model ini lebih banyak digunakan sebagai penuntun untuk menetapkan sasaran payout ratio jangka panjang yang memungkinkan perusahaan memenuhi kebutuhan akan modal sendiri dengan laba ditahan.
Teori “Clientele Efect “ Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu Dividend Payout Ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan. Jika ada perbedaan pajak bagi individu (misalnya orang lanjut usia dikenai pajak lebih ringan) maka pemegang saham yang dikenai pajak tinggi lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen yang kecil. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak relatif rendah cenderung menyukai dividen yang besar. Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari Clientele ini ada. Tapi menurut MM hal ini tidak menunjukkan bahwa lebih baik dari dividen kecil, demikian sebaliknya. Efek Clientele ini hanya mengatakan bahwa bagi sekelompok pemegang saham, kebijakan dividen tertentu lebih menguntungkan mereka.
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
115
Stock Repurchase, Stock Dividend , dan Stock Split 1.
Stock Repurchase Sebagai alternatif terhadap pemberian dividen berupa uang tunai (cash dividend ), ), perusahaan dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali saham perusahaan (repurchasing (repurchasing stock ). ). Harga stock repurchase pada ekilibrium dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(S ´ P c) P = (S - n) di mana: P * : harga stock repurchase equilibrium repurchase equilibrium S : jumlah saham beredar sebelum stock repurchase Pc : harga saham saat ini sebelum stock repurchase n : jumlah jumlah lembar lembar saham saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan Keuntungan stock repurchase bagi pemegang saham: 1)
Stock repurchase repurchase sering dipandang sebagai tanda positif bagi investor karena pada umumnya stock repurchase repurchase dilakukan jika perusahaan merasa bahwa saham undervalued .
2)
Stock repurchase mengurangi repurchase mengurangi jumlah saham yang yang beredar dipasar. Setelah stock repurchase ada kemungkinan harga saham naik.
Kerugian bagi pemegang saham: 1)
Perusahaan membeli kembali saham dengan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya.
2)
Keuntungan Keuntunga n stock repurchase dalam repurchase dalam bentuk capital gains, gains, padahal sebagian investor menyukai dividen.
Keuntungan bagi perusahaan: 1)
Menghindari kenaikan dividen. Jika dividen naik terlalu tinggi dikhawatirkan di masa mendatang perusahaan terpaksa mem-
116
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
bagi dividen yang lebih kecil (pada masa sulit atau banyak kebutuhan dana investasi) yang dapat memberi pertanda negatif. Stock repurchase merupakan repurchase merupakan alternatif yang baik untuk mendistribusikan penghasilan penghasilan yang di atas normal (extra (extra ordinary earnings)) kepada pemegang saham. earnings 2)
Dapat digunakan sebagai strategi untuk mengacau usaha pengambilalihan perusahaan (yang biasanya dilakukan dengan cara membeli saham sebanyak-banyaknya hingga mencapai jumlah saham mayoritas). Stock repurchase dapat repurchase dapat menggagalkan usaha ini.
3)
Mengubah struktur modal perusahaan. Misalny Misalnya, a, perusahaan ingin meningkatkan rasio utang dengan cara menggunakan utang baru untuk membeli kembali saham yang beredar.
4)
Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika perusahaan membutuhkan tambahan dana.
Kerugian bagi perusahaan adalah: 1)
Dapat merusak image image perusahaan karena sebagian investor merasa bahwa stock repurchase merupakan indikator bahwa manajemen perusahaan tidak mempunyai proyek-proyek baru yang baik. baik. Namun demikian, demikian, jika perusahaan benar-benar tidak memiliki kesempatan investasi yang baik, ia memang sebaiknya mendistribusikan dana kembali kepada pemegang saham. Tidak banyak bukti empiris yang mendukung alasan ini.
2)
Setelah stock repurchase, repurchase, pasar mungkin merasa bahwa risiko perusahaan meningkat sehingga dapat menurunkan harga saham.
Jika harus memilih antara stock repurchase dan pembayaran dividen tunai (cash (cash dividend ), ), pada pasar yang sempurna (di mana tidak ada pajak, biaya biay a komisi untuk jual-beli saham dan efek siny sinyal al dari pemberian dividen), investor akan indifferent terhadap kedua pilihan. Pada pasar yang tidak sempurna, investor investor mungkin akan memiliki preferensi terhadap salah satu dari ke 2 (dua) alternatif tersebut. �da 3 metode yang dapat digunakan untuk membeli kembali saham: 1.
Saham dapat dibeli pada pasar terbuka (open market ). ).
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan Perusahaan
117
2.
Perusahaan membuat penawar penawaran an formal formal untuk membeli membeli saham perusahaan dalam jumlah tertentu dan harga tertentu (pendekatan tender offer ). ).
3.
Perusahaan membeli sejumlah sahamny sahamnya a kembali dari satu atau beberapa pemegang saham besar (pendekatan negotiated basis ).
dan Stock Dividend Stock Split dan Stock split adalah adalah tindakan perusahaan memecah saham yang beredar menjadi bagian yang lebih kecil. Stock dividend adalah adalah tindakan perusahaan memberikan saham baru sebagai pembayaran pembayaran dividen. Bagi pemegang saham, stock split tidak tidak membuat mereka bertambah kekayaanny keka yaannya a karena kenaikan jumlah saham diimbangi dengan penurunan nilai saham. Stock dividend juga tidak menambah kekayaan pemegang saham. Jika tidak ada keuntungan secara ekonomis mengapa perusahaan melakukan stock split dan dan Stock dividend : 1.
Stock split dilakukan untuk menjaga agar harga saham tetap berada pada optimal price range Harga saham yang tinggi akan menyulitkan .
investor (terutama investor kecil) untuk membeli saham tersebut sehingga dapat menurunkan permintaan. 2.
Stock dividend digunakan digunakan perusahaan yang ingin menghemat kas atau perusahaan dalam kesulitan keuangan. Masalah yang muncul jika perusahaan tidak membagi dividen tunai investor bisa salah persepsi terhadap emiten. �kibatnya harga saham bisa turun, sehingga untuk menghindari efek negatif ini perusahaan dapat membagi stock stock dividend dividend sebagai pengganti dividen kas. Meskipun stock split dan stock dividend tidak berbeda secara
pertimbangan ekonomis tapi perlakuan akuntansiny akuntansinya a berbeda. Untuk stock dividend perusahaan harus melakukan kapitalisasi nilai pasar dari stock dividend dengan dividend dengan cara mentransfer sejumlah rupiah dari stock dividend ke rekening modal.
118
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
DAFTAR PUSTAKA
�lexander, J. �. et al . 1993. Leadership Instability in Hospitals: The Inluence of Board-CEO Relations and Organizational Growth and Decline. Administrative Science Quarterly , 38: 74-99. �lli, K. L. et al . 1993. Determinants of Corporate Dividend Policy: � Factorial �nalysis. The Financial Review, 28 (4): 523-547. �p Gwilym, Owain et al . 2005. Dividend Resumption, Future Proitability and Stock Return. School of Management, University of Southampton, Highield. Baker, H. dan Powel G. 1969. How Corporate Managers View Dividend Policy. Quarterly Journal of Business and Economics, 38 (2). �rnott, R. D. and C. S. �sness. 2001. Does Dividend Policy Foretell Earning Growth? Working Paper . First Quadrant LP. Baker, K. et al . 2001. Factors Inluencing Dividend Policy Decisions of Nadaq Firms. The Financial Review . 38: 19-38. Bernstein, P. L. 2001. What Prompts Paradigm Shifts? Financial Analysts Journal . Bhattacharya, S. 1980. Nondissipative Signaling Structures and Dividend Policy. Quarterly Journal of Economics, 95(1): 1-24. Black. F. and Scholes, M. S. 1974. The Eects of Dividend Yield and Dividend Policy On Common Stock Prices and Return. The Journal of Financial Economics. 1: 1. Brealey, Richard �., Myers, Stewart C., and Marcus, �lan J. 2009. Fundamentals of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill. Brennan, M. and �. Thakor. 1990. Shareholder Preference and Dividend Policy. Journal of Finance. 993-1018. Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial Management . Jakarta: Salemba Empat.
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
119
Brigham, E. F. and L. C., Gapenski. 2000. Intermediate Financial Management. New York: The Dryden Press. Chang, R. P. and Ghon Rhee, S. 1990. Taxes and dividend: The impact of personel taxes on corporate dividend policy and capital structure decisions. Financial Management . 21-31. Chim, S. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Industri Manufaktur dan Jasa di Bursa Efek Jakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Crutchley, Claire and Robert S. Hansen.1989. � Test of The �gency Theory of Managerial Ownership, Corporate Leverage and Corporate Dividends. Financial Management 18: 36-46. ,
De�ngelo, H. and De�ngelo, L. 1990. Dividend Policy and Financial Distress: �n Empirical Investigation of Trouble New York Stock Exchange Firms, Journal of Finance, 46: 1415-1431. Elton, E. J. and Grueber M. J. 1995. Modern Portfolio Theory and Investment Analysis. New York: John Wiley and Son. Fama, E. F. and Miller, M. H. 1972. The Theory of Finance. US�: Holt, Rinehart and Winston. Feldstein, M. and Green J. 1983. Why Do Companies Pay Dividend? The American Economic Review . 17-30. Frankfurter, G. 2003. Dividend Policy Theories (1st edition), New York: John Wiley and Son. Friend and Puckett. 1964. Dividend and Stock Prices. The American Economic Review . Hasanawati, Sri. 2005. Implikiasi Keputusan Investasi, Pendanaan dan Dividen terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta. Manajemen Usahawan Indonesia, 9: 42-47. Husnan, S. 2001. Corporate Governace and Finance in East Asia. 2. Husnan, S. dan Pudjiastuti E. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (Edisi ke-1). Yogyakarta: �MP-YKPN. 120
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Jensen, M. and Meckling, W. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, �gency Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics. 3: 178-193. Jensen, Michael. C. 1986. �gency Costs of Free Cash Flows, Corporate Finance and Takeovers. American Economics Review , 76: 323-339. Johnson, R. W. 1966. Financial Management (3rd edition). �llyn and Bacon. Han, Ki C. et al . 1999. Institutional Shareholders and Dividends. Journal of Financial and Strategic Decisions. 12 (1): 53. Lamont, O. 1998. Earnings and Expected Returns. Journal of Finance. 53. Levy, H. and M. Sarnat. 1990. Capital Investment and Financial Decisions. (4th edition) Prentice Hall. Lintner, John, 1956. Distribution of Income of Corporations �mong Dividend Retained Earnings and Taxes. American Economic Review , 46. Michaely, R. et al . 1995. Price Reaction for Dividend Initiation and Omission Over Reaction or Drift? Journal of Finance, 2: 573-608. Miller, M. and Franco Modigliani. 1961. Dividend Policy, Growth and the Valuation of Share. Journal of Business, 4 (2): 273-295. Miller. M. H. and Scholes, M. S. 1978. Dividend and Taxes. Journal of Financial Economics, 6: 333-364. Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia. Nissim and Ziv. 2001. Dividend Changes and Future Proitability. The Journal of Finance. Palepu, K. G. et al . 1996. Business Analysis and Valuation: Using Financial Statetment . Cincinnati: South Western College. Rappaport, �lfred. 1999. Creating Shareholder Value: A Guide for Managers and Investor (2nd edition). New York: The Free Press. Romon, F. 2000. Contribution of Dividend Policy Stability to the Measurement of Dividend Announcement and Ex-Dividend Effects on the French Market . �thens: WP EFM�. BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan
121
Ross, S. �. 1976. The Determination of Financial Structure The Incentive of Signaling �pproach. The Bell Journal of Economics. 23-40. Sawitri, Ni Nyoman. 2004. Keputusan Perusahaan Membayar atau Tidak Membayar Dividen dan Dampaknya terhadap Reaksi Pasar . Telaah Empiris ini Program Doktor Universitas Padjadjaran Bandung. tidak dipublikasikan. Shefrin, Hersh M. and Mier Statman. 1984. Explaining Investor Preferences for Cash Dividends. Journal of Financial Economics. 13 (2): 253-282. Stanley, B. B. and Georey, �. H. 1987. Foundation of Financial Management (4th edition). Irwin Homewood. Surasni, N. K. 1995. Beberapa Variabel yang Mempengaruhi Dividend per Share pada Perusahaan-Perusahaan Manufaktur yang Listed di Bursa Efek Jakarta. Penelitian yang tidak diterbitkan Universitas Gadjah Mada. Sutoyo, H. dan Irianto, G. 1995. Mengestimasi Target Dividend Payout Ratio and Speed of Adjustment di Indonesia. Manajemen dan Usahawan. 3-8. Sutrisno. 2001. �nalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Publik di Indonesia. Tema, 11 (1). Van Horne, James C. 1986. Fundamentals of Financial Management . (7th edition). Prentice Hall. Viswanath, P. V. et al . 2002. Dilution Dividend Commiments and Liquidity: Do Dividend Changes Relect Informaton Signaling? Review of Quantitative Finance and Acounting, 18 (4): 995-1018. Weston, J. F. dan Brigham, E. F. 1990. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jakarta: Erlangga. Weston, J. F. and Brigham. E. F. 1993. Essential of Managerial Finance. New York: The Dryden Press.
122
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
7
Merger dan Akuisisi Jaja Suteja
Merger dan Akuisisi (M & A) merpakan fenomena bisnis paradoksal. Di sat sisi, intensitasnya ters meningkat tetapi di sisi lain tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Mind-set persahaan pembeli cenderng merasa menang dan superior (superiorit syndrome ). Mind-set persahaan yang dibeli dimerger atau diakuisisi cenderng manganggap pihak lain sebagai barbar dan tidak punya perasaan. (Achmad Sobirin, 2001)
B A B
7
Merger dan Akuisisi
Setelah membaca topik ini diharapkan memahami: 1. Memahami apa yang telah terjadi dan dilakukan oleh sejumlah
manajemen perusahaan dalam kaitannya dengan pelaksanaan merger dan akuisisi 2. Memahami fenomena reaksi pasar terhadap pengumuman
merger dan akuisisi perusahaan 3. Memahami fenomena reaksi pasar terkait dengan merger dan
akuisisi baik itu yang bersifat bersahabat ( friendly merger ) maupun hostile merger
A. Pendahuluan
M
erger dan pengendalian perusahaan merupakan masalah penting bagi perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan. Oleh karena itu, manajer keuangan dituntut untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses penilaian prospek merger dan dalam evaluasi terhadap perusahaan yang akan menggabung atau bergabung. Pada sisi lain, pihak manajer keuangan memikul tanggung jawab ganda dalam hubungannya dengan kesulitan keuangan ( inancial distress) yang dihadapi oleh perusahaan. Jika perusahaan tersebut adalah miliknya sendiri, maka kemampuan manajer keuangan dituntut agar kerugian kepemilikannya dapat ditekan sekecil mungkin. Di lain pihak, apabila perusahaan tersebut bukan miliknya, maka manajer keuangan harus mengetahui hak dari kreditor.
124
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Merger adalah kombinasi dua perusahaan atau lebih di mana muncul perusahaan yang baru yang melanjutkan operasi kedua perusahaan tersebut. Sedangkan konsolidasi adalah kombinasi dua perusahaan atau lebih di mana perusahaan lain menggabungkan atau larut ke dalam perusahaan yang diikuti. Holding company adalah sebuah bentuk kombinasi bisnis di mana terdapat sebuah perusahaan yang membeli seluruh saham perusahaan lain. Sementara itu, perusahaan yang sahamnya dibeli oleh perusahaan lain masih tetap menjalankan operasinya hanya saja pengendalian perusahaan ada pada holding company . Perusahaan yang membeli seluruh saham perusahaan lain disebut induk perusahaan, sedangkan perusahaan yang dibeli sahamnya disebut dengan cabang atau subsidiary . Merger dapat dilakukan dengan cara perusahaan yang akan membeli mengajukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar untuk mendorong agar para pemegang saham bersedia menjualnya. Merger dapat diketegorikan kedalam berbagai bentuk, seperti merger vertikal, horisontal ataupun conglomerate merger . a. Merger vertikal adalah kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang memiliki buyer -seller relationship satu sama lain. b. Merger horisontal adalah kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang bersaing satu sama lain secara langsung. c. Conglomerate merger adalah kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang tidak bersaing satu sama lain secara langsung maupun tidak memiliki buyer-seller relationship. Penawaran tender dan alasan perusahaan yang sedang berkembang melakukan merger: 1. Sebuah perusahaan yang mencari perusahaan untuk dibeli mengundang pemegang saham untuk mengajukan penawaran saham atas saham perusahaan tersebut dengan harga tertentu. 2. Suatu tender diajukan langsung kepada pemegang saham, sehingga tidak memerlukan adanya approval dari dewan direksi perusahaan yang akan dibeli. 3. Bagi perusahaan yang sedang berkembang dengan membeli perusahaan lain memperoleh manfaat di mana akan lebih murah membeli aktiva perusahaan tersebut daripada membeli secara langsung.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
125
4.
5. 6.
Economics of scale dapat diperoleh dengan merger horisontal, selain
itu perusahaan akan memperoleh synergy jika net income perusahaan gabungan lebih tinggi dari net income sebelum merger. Pertumbuhan yang cepat sering lebih mudah dilaksanakan melalui penggabungan dari pada pertumbuhan internal (dari dalam). Pertimbangan lain adalah diversiikasi produk yang dihasilkan dan untuk memperoleh tenaga yang profesional dengan cara membeli perusahaan lain. Synergy yang diperoleh dengan melakukan merger dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) kelompok: a. Operating synergy yang diperoleh dengan adanya economics of scale , sumber daya yang dapat saling melengkapi, koordinasi yang lebih baik antara berbagai tahap produksi. b. Financial synergy adalah bahwa dengan merger akan diperoleh biaya modal yang lebih rendah dengan meningkatkan kapasitas utang atau dengan mencapai skala yang ekonomis loation cost . c. Disamping itu juga synergy dalam kerangka perencanaan berjangka panjang dengan memungkinkan perusahaan untuk melakukan ekspansi ke pasar baru secara lebih cepat sebagai tanggapan atas adanya perubahan lingkungan bisnis. Holding company seperti telah dijelaskan adalah bentuk perusahaan
yang menguasai saham perusahaan lain dengan demikian pengendalian secara tidak langsung ada pada perusahaan yang menguasai saham perusahaan lain. Adapaun kelebihan dari holding company adalah: a. Perusahaan yang beroperasi dalam industri yang sedang mengalami penurunan dapat memanfaatkan dananya untuk membeli perusahaan dalam industri yang sedang tumbuh. b. Leverage yang lebih besar dapat dicapai melalui pemilikan sebagian kecil. c. Memperkecil risiko dengan menginvestasikan dana pada berbagai perusahaan yang berbeda, sehingga penurunan return pada salah satu perusahaan akan diimbangi dengan kenaikan pada perusahaan lain.
126
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
a.
b.
Adapun kekurangan atau kelemahan Holding Company adalah: adalah: Partial multiple taxation, jika holding company hanya hanya memiliki kurang 80% dari saham perusahaan cabangnya, maka return tidak boleh digabungkan. Bagaimanapun cabang harus membayar 15% pajak penghasilan dan mengurangi penerimaan dividen. Risiko yang berlebi berlebihan, han, karena pengaruh leverage pada holding company mengakibatkan kemungkinan kerugian atau keuntungan yang besar. Leveraged Buy Out (LBO) adalah suatu bentuk pembelian saham
perusahaan oleh sekelompok investor. Dalam kondisi yang seperti itu, manajemen tetap mengendalikan jalannya perusahaan, tetapi di bawah struktur kepemilikan yang baru. Pinjaman dalam jumlah yang besar mungkin akan digunakan untuk membiayai pembelian tersebut bahkan dapat mencapai debt to equity ratio 900%. Beberapa kondisi yang mendorong berhasilnya leverage buy out adalah: a. Earnings harus dapat diperkirakan ( predictable) dan cukup untuk menutup bunga dan amortisasi pinjaman secara cepat. b. Pertumbuhan aliran kas harus lebih tinggi dari pada tingkat inlasi. c. Perusahaan harus memiliki posisi pasar yang kuat atau memiliki market share yang cukup besar besar.. d. Kemampuan untuk dijual kembali di masa datang merupakan faktor kritis terutama jika investor merencanakan untuk go public atau menjual kembali setelah suatu jangka waktu waktu tertentu. Leverage buy out khususnya menghasilkan nilai karena beberapa
alasan: a. Para manajer memiliki prestasi keberhasilan yang tinggi dan dimotivasi dengan kesempatan untuk memperoleh kemakmuran yang besar. b. Perusahaan menghindari kendala adanya peraturan pemerinta pemerintah h yang melarang monopoli dan manfaat pajak atas kenaikan depresiasi karena revaluasi aset serta kenaikan perlindungan pajak atas pembayaran bunga pinjaman.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
127
Merger dan Akuisisi (M & A) merupakan fenomena bisnis paradoksal (Achmad Sobirin, 2001). Di satu sisi, intensitasnya terus meningkat tetapi di sisi lain tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Sebagai gambaran, Schweiger, Csiszar, dan Napier (1993) mengemukakan bahwa sejak tahun 1983 penggabungan usaha yang terjadi di Amerika, setiap tahunnya mencapai angka 2.500 lebih. Angka ini belum termasuk keterlibatan perusahaan Amerika dalam M & A antar negara yang jumlahnya juga meningkat drastis. Selain Amerika, trend yang yang sama juga terjadi di Eropa, Asia dan wilayah negara lain. Di Cina misalnya antara tahun 1985-1996 terjadi M & A dengan total nilai US $ 5,3 milyar (Milman, 1999). Sedangkan di Indonesia, meski tidak ada angka pasti dan kegiatannya pun tidak setinggi negara-negara maju, tidak luput dari boom M & A. Pertengahan tahun 1980-an sampai awal tahun 1990an merupakan masa-masa subur bagi kegiatan merger dan Akuisisi di Indonesia. Secara keseluruhan, seperti dikatakan Cartwright dan Cooper (1993a, 1993b, 1993c; 1995), Legare (1998), dan Marks dan Mirvis (1997, 1998), M & A yang terjadi pada tahun 1980-an dan periode sesudahnya meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan boom M & A tahun 1960-an. Di sisi lain tingkat kegagalan M & A juga relatif tinggi berkisar antara 50% sampai 70% (Cartwight dan Cooper 1993c). Termasuk dalam kategori kegagalan M & A misalnya: penggabungan usaha tersebut tidak mencapai tujuan inansial yang dikehendaki (Chatterjee et al .,., 1992), tidak meningkatkan harga saham di pasar bursa (Schweiger, Csizar, Napier, 1993), tidak menciptakan sinergi yang biasa disebut “2 + 2 = 5 effect ” (Mirvis dan Marks, 1992). Sebuah Perkawinan ujungnya terjadi perceraian kembali tidak lama setelah penggabungan usaha tersebut berlangsung (Cartwight dan Cooper 1993a, b, c). Karena secara historis M & A adalah domain para ekonom dan para strategis (Cartwright dan Cooper, 1993c) maka kegagalan M & A biasanya hanya dikaitkan dengan faktor-faktor berikut: (1) jeleknya pengambilan keputusan karena membeli perusahaan
128
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
lain dengan harga yang terlalu tinggi, (2) terjadi kesalahan dalam mengelola mengel ola keuangan sehingga realisasi bertambahnya skala ekonomi dan rasio-rasio laba yang diharapkan tidak tercapai, dan (3) terjadi perubahan pasar yang mendadak. Memang tidak dipungkiri dipungkir i bahwa ketiga faktor di atas dapat menghambat menghamb at keberhasilan M & A, namun harus diakui pula bahwa sesungguhnya M & A bukan sekedar plain buying – sekedar mengambil alih aset perusahaan lain (Salgo, 1968) melainkan menggabungkan dua kelompok manusia yang berbeda sikap dan perilaku, dan menggabungkan dua budaya yang berbeda (Nahavandi dan Malekzadeh, 1988), sehingga keberhasilan atau kegagalan M & A juga sangat bergantung pada kedua faktor ini. Davy et al . (1988, 1989) bahkan menyatakan bahwa 33% sampai 50% kegagalan M & A karena faktor manusia dan budaya. Sayangnya kedua faktor ini masih sering diabaikan dalam pengambilan keputusan M & A (Schweiger dan Ivancevich, 1985). Akibatnya tidak hanya tujuannya tidak tercapai, M & A sering menjadi bumerang, yaitu menjadi bencana bagi perusahaan tersebut (Feldman, 1995). Uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor manusia dan budaya menjadi salah satu determinan keberhasilan dan atau kegagalan M & A. Jika demikian, sebelum memutuskan penggabungan usaha, selayaknya para pengambil keputusan terlebih dahulu memahami kedua faktor ini lebih baik dan melakukan persiapan-persiapan psikologis layaknya seseorang akan melakukan sebuah perkawinan (Cartwright dan Cooper, 1993b). Dengan pemahaman ini diharapkan agar saat implementasi M & A, persoalan-persoalan manusia dan budaya dapat diantisipasi lebih dini dan dapat diminimalisir. Seperti dikatakan Schweiger, Csiszar dan Napier (1993). Kunci keberhasilan M & A selain karena pemilihan strategi yang tepat dan harga pembelian yang wajar wajar juga bergantung pada efektivitas efekt ivitas implementasinya implementasin ya yang tidak lain adalah bagaimana mengelola manusia dan budaya, buday a, baik sebelum maupun sesudah M & A sah secara hukum.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
129
B. Merger dan Akuisisi Sebagai Sebuah Perkawinan Paradoks Achmad Sobirin (2001) membuat perumpamaan (metafora) M & A layaknya sebuah perkawinan bukanlah hal baru dalam literatur M & A (lihat misalnya Ivancevich, Schweiger dan Power, 1987). Layaknya sebuah perkawinan, memahami sifat/karakter masing-masing pihak sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan merupakan tindakan yang bijak mengingat perkawinan bukan sekedar bertemunya dua insan dalam pelaminan melainkan pertemuan dua sifat, (i) karakter dan (ii) kebiasaan dan budaya yang berbeda. Oleh karenanya, kedua belah pihak kadangkadang perlu melakukan perubahan dan harmonisasi sifat, kebiasaan dan budaya agar perkawinan tersebut dapat berlangsung lama dan mencapai tujuannya. Sayangnya, sifat, kebiasaan, dan budaya dari masing-masing pihak tidak mudah berubah bahkan cenderung dipertahankan meski perkawinan tersebut telah berlangsung. Kecenderungan ini muncul tidak lain karena dalam diri manusia sudah terbentuk mind-set (Maks dan Mirvis, 1998) atau mental programming dalam bahasa Hofstede (1997). Harapan bagi kita adalah sesulit apapun perubahan itu bukan berarti bahwa mind-set tidak dapat dirubah (Hofstede, 1997), tetapi harus disadari pula bahwa perubahan tersebut bukan pekerjaan mudah dan memerlukan waktu yang lama (Kotter dan Heskett, 1992:105). Oleh karena itu, jika perubahan mind-set merupakan suatu keharusan (demi langgeng dan tercapainya cita-cita perkawinan) maka kerja sama dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan tampaknya tidak dapat dihindarkan. Tidak berbeda dengan sebuah perkawinan, M & A juga akan mengalami hal serupa. M & A selalu berhadapan dengan perbedaan yang (kadangkadang) memerlukan perubahan dan penyesuaian demi suksesnya penggabungan usaha tersebut. Sayangnya dalam melakukan M & A kedua belah pihak cenderung mempertahankan mind-set masing-masing, yaitu mind-set perusahaan pembeli dan mind-set perusahaan penjual meski penggabungan usaha telah berlangsung (Marks dan Mirvis, 1998). Itulah sebabnya saat M & A diimplementasikan sering terjadi benturan kepentingan antara perusahaan yang mengakuisisi (berinisiatif melakukan merger) dengan perusahaan yang dibeli/dimerger. 130
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Mind-set perusahaan pembeli atau dalam konteks merger perusahaan
yang memimpin perusahaan lain, cenderung merasa menang dan superior, Achmad Sobirn, 2001 (superiority syndrome). Bagi para eksekutif perusahaan tersebut, kemenangan ini juga menunjukkan seolah-olah mereka mempunyai kemampuan untuk memimpin perusahaan lain dan secara psikologis memperoleh kepuasan dalam bekerja karena merasa telah menyelesaikan pekerjaan besar. Suasana ini membuat mereka merasa lebih percaya diri, ingin cepat-cepat menyelesaikan persoalan-persoalan M & A yang masih mengambang, dan merasa mempunyai bargaining position yang lebih kuat ketimbang para eksekutif dari perusahaan yang dimerger atau diakuisisi. Sikap semacam ini dapat berdampak pada suatu anggapan bahwa ketajaman bisnis mereka, baik dalam hal strategi, kebijakan, prosedur, sistem, teknologi maupun orang-orangnya, lebih superior ketimbang perusahaan yang dimerger/diakuisisi dan di sisi lain menganggap pihak lain lebih inferior . Pernyataan seperti: “mereka masih bekerja keras untuk menyelesaikan persoalan yang kami telah selesaikan lima tahun lalu”, atau “sistem kita akan membawa mereka ke dunia bisnis modern” atau “teknologi yang kita miliki akan membawa mereka ke perusahaan kelas dunia” menjadi hal yang biasa. Karena perasaan superioritas itu pula, saat implementasi M & A mulai dijalankan, perusahaan yang memimpin mulai bergerak cepat dan mulai melakukan konsolidasi untuk meraih keuntungan yang sudah dibayangkan sebelumnya. Dalam kondisi yang serba cepat ini, perusahaan yang memimpin mulai mendominasi pihak lain. Janji-janji yang diberikan saat negosiasi berlangsung seperti misalnya mereka akan menghormati tradisi dan kebiasaan-kebiasaan perusahaan yang dimerger/diakuisisi, mereka lupakan begitu saja. Dibenak mereka, yang penting bagaimana anggaran dan target-target perusahaan dapat tercapai dan kegiatan perusahaan menampakkan hasilnya, bukan bagaimana menyelesaikan M & A secara fair atau tidak mengakibatkan gejolak. Mind-set perusahaan yang dibeli jika para eksekutif perusahaan yang mengakuisisi mempunyai perasaan menang dan bersikap merendahkan pihak lain, para eksekutif dari perusahaan yang dimerger/diakuisisi mempunyai sikap dan perasaan yang sebaliknya. Mereka cenderung manganggap pihak lain sebagai barbar dan tidak punya perasaan. BAB 7 Merger dan Akuisisi
131
Bahkan dalam konteks M & A yang bersifat friendly sekalipun, perasaanperasaan seperti ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Akibatnya para eksekutif mengalami cultural shock (Hofstede, 1997) segera setelah M & A diumumkan. Mereka merasa tidak siap menghadapi tugas-tugas dan tanggung jawab baru, tidak siap dengan perubahan struktur organisasi yang baru, bahkan mereka terus bersikap waspada terhadap manajer yang baru. Implikasi dari perasaan takut, bingung dan curiga yang dialami para eksekutif menjadikan mereka berupaya untuk mengatasi/mengendalikan dirinya. Di antaranya dengan melakukan tindakan-tindakan defensif seperti melakukan regrouping (memisahkan diri dari kelompok eksekutif/ karyawan perusahaan pembeli) sebagai langkah awal untuk menyusun serangan balik terhadap musuhnya (perusahaan pembeli). Berbagai tindakan yang dilakukan seperti tidak patuh, sabotase, atau serangan secara agresif merupakan bentuk-bentuk serangan balik yang biasa dilakukan para eksekutif perusahaan penjual. Tujuannya mereka ingin merebut kembali (buyback ) perusahaan yang diakuisisi atau dimerger (Mirvis dan Sales, 1990). Mulanya memang para eksekutif hanya marah kepada pimpinan mereka, sebab karena merekalah (para pimpinan perusahaan yang memutuskan M & A) para eksekutif menjadi bingung, curiga dan takut. Perasaan marah ini kemudian bergeser bukan lagi ke pimpinan mereka tetapi ke pimpinan perusahaan yang mengakuisisi. Perasaan seperti ini biasanya berlangsung cukup lama. Jika mereka secara psikologis dapat mengatasi perasaannya, maka langkah berikutnya mencoba melakukan bargaining dengan pimpinan yang baru sampai kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi. Dilihat dari segi waktu, kondisi ini biasa berlangsung lama, biasanya dalam ukuran tahun, bahkan ada di antara mereka yang tidak pernah dapat menghilangkan perasaan-perasaan tersebut di atas sehingga pilihan yang mereka tempuh adalah keluar dari perusahaan. Marks dan Mirvis (1998) lebih lanjut mengatakan bahwa perbedaan mind-set tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan sama sekali. Menghilangkan perbedaan mind-set merupakan pekerjaan sia-sia dan hanya bersifat artiisial. Hal yang penting adalah menyadarkan mereka bahwa kesepakatan sudah dibuat dan M & A sudah sah secara hukum. Artinya, agar persoalan-persoalan manusia dan budaya dapat diminimalisir, selain perbedaan tersebut harus 132
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
diintegrasikan (Pablo, 1994), para pengambilan keputusan juga patut memperhatikan dimensi psikologis perkawinan dalam M & A dan jenisjenis perkawinannya itu sendiri (Cartwright dan Cooper, 1993b). Dimensi Psikologis Perkawinan dalam M & A Cartwright dan Cooper (1993b) mengidentiikasikan dimensi-dimensi psikologis dalam M & A yang perlu dipahami ketika dua perusahaan melangsungkan sebuah perkawinan, di antaranya: 1. M & A, layaknya sebuah perkawinan, merupakan aktivitas yang mahal. Untuk menggabungkan dua usaha, di samping harus membayar perusahaan yang diambil alih, juga harus mengeluarkan biaya-biaya lain seperti jasa konsultan, jasa perantara, biaya iklan, dan biaya-biaya lain yang terkait yang jumlahnya tidak sedikit. Demikian juga jika terpaksa perkawinan ini tidak dapat berlangsung lama, untuk berpisah juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Melihat kenyataan bahwa tingkat perceraian M & A begitu tinggi, lebih dari 50% maka perceraian tersebut identik dengan penghamburan uang yang sia-sia. Secara inansial, kegagalan ini akan tampak lebih buruk lagi karena biasanya diikuti dengan memburuknya citra perusahaan dan anjloknya harga saham di pasar bursa. Belum lagi biaya sosialnya seperti keluarnya para expertise dari perusahaan. 2. Perkawinan yang berhasil dan berumur panjang hanya akan terjadi jika kedua belah pihak melakukan persiapan-persiapan yang lebih baik, lebih lama dan keduanya memahami mind-set dan karakter masingmasing, bukan sekedar mengacu pada keuntungan strategis dari perkawinan tersebut. Dalam hal ini penilaian terhadap kompatibilitas budaya kedua belah pihak khususnya setelah keduanya bergabung, menjadi sangat penting karena sekali lagi M & A bukan sekedar plain buying melainkan penggabungan dua budaya. 3. Keberhasilan sebuah perkawinan tidak semata-mata bergantung pada bagaimana strategi penggabungan diterapkan tetapi lebih bergantung pada bagaimana implementasinya. Hal ini berarti keterlibatan para eksekutif menengah dan manajer lini dalam negosiasi M & A sangat dianjurkan mengingat merekalah yang nantinya terlibat dalam operasionalisasi M & A. Di Jepang misalnya, praktik semacam ini (melibatkan para eksekutif menengah dalam negosiasi) merupakan BAB 7 Merger dan Akuisisi
133
4.
5.
hal yang biasa sehingga para eksekutif menegah dan manajer lini tidak mengalami stress setinggi rekan-rekan mereka yang ada di Amerika atau negara-negara barat lainnya ketika menghadapi M & A. Sebab, karena keterlibatannya dalam proses negosiasi M & A, para eksekutif menengah ini sudah dapat memprediksi apa yang kira-kira terjadi setelah kedua perusahaan bergabung. Pengalaman-pengalaman sebelumnya bukan prediktor keberhasilan sebuah perkawinan di masa datang. Artinya, bagi perusahaan yang pernah melakukan M & A, pengalaman tersebut dan cara-cara yang digunakan tidak dapat begitu saja diterapkan pada M & A berikutnya mengingat adanya perbedaan lingkungan dan karakteristik perusahaan yang akan digabung. Sebagai contoh, menggabungkan dua perusahaan sejenis (horisontal M & A) tentunya memerlukan pola dan cara penggabungan yang berbeda dengan penggabungan dua perusahaan lain jenis (vertikal M & A). Perkawinan yang berhasil terjadi antara dua pihak yang saling mengakui dan menerima isi kontrak. Kesepakatan M & A yang cenderung bersifat implisit ketimbang eksplisit sering menimbulkan kesalah pahaman dari kedua belah pihak. Oleh karenanya, kalau masing-masing pihak tidak memahami dan mangakui mind-set partner -nya, diperkirakan kegagalan M & A akan semakin tinggi.
Jenis-jenis Perkawinan dalam Merger dan Akuisisi Dilihat dari aspek perilaku dan budaya, secara umum ada tiga jenis perkawinan dalam M & A, yaitu perkawinan terbuka, perkawinan tradisional, dan perkawinan modern atau kolaboratif (Cartwright dan Cooper, 1993b; Napier, 1989). Perkawinan Terbuka dari dua Organisasi atau lebih
Perkawinan terbuka dua organisasi atau lebih adalah suatu penggabungan dua perusahaan di mana masing-masing perusahaan mau saling menerima apa adanya kondisi pihak lain. Di samping itu, kedua belah pihak juga berupaya mempertahankan independensi masing-masing. Dalam hal ini, ha-hal yang bersifat khas bagi sebuah organisasi ( idiosyncrasy ), perbedaan perilaku dan perbedaan budaya organisasi dianggap bukan 134
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
merupakan variabel penting yang perlu diperdebatkan. Artinya, masingmasing pihak tidak berupaya merubah perilaku atau budaya organisasi pihak lain sebab kedua variabel tersebut tidak dianggap sebagai faktor pengganggu karena perbedaan tersebut bersifat natural. Perkawinan Tradisional Suatu Organisasi Bisnis
Perkawinan tradisional sebuah organisasi bisnis pada dasarnya adalah penggabungan dua perusahaan di mana salah satu pihak merasa lebih dominan ketimbang pihak lain. Perkawinan seperti ini biasa disebut sebagai perkawinan yang tidak setara ( unequal marriage). Karena adanya ketidak setaraan tersebut, maka pihak yang merasa lebih dominan menganggap bahwa dirinya lebih berhak menentukan arah dan masa depan perusahaan baru baik dalam hal misi dan visi perusahaan maupun tujuan, strategi, budaya, dan perilaku organisasinya. Oleh sebab, itu jika saat negosiasi M & A berlangsung, misalnya diketahui ada perbedaan dalam gaya kepemimpinan dan budaya organisasi, maka segera setelah M & A disetujui dan sah secara hukum, pihak yang merasa dominan tersebut cenderung memaksa perusahaan yang dimerger/diakuisisi mengikuti tata nilai dan keyakinannya serta semua peraturan yang berlaku di perusahaan yang dominan tersebut. Akuisisi Apollo Computer oleh Hewlett Packard atau HP (Legare, 1998) adalah salah satu contoh bentuk perkawinan tradisional. Dalam contoh ini, HP merasa lebih dominan ketimbang Apollo oleh karenanya inisiatif-inisiatif perubahan dilakukan oleh HP, dan konsekuensinya, apa yang dimaui HP harus dituruti Apollo Computer. Perkawinan Modern Suatu Organisasi Bisnis
Jenis perkawinan bisnis ini sering juga atau biasa disebut sebagai perkawinan kolaboratif. Disebut demikian karena pada dasarnya pihakpihak yang bergabung, secara konsisten berupaya untuk mencapai tujuan M & A yang sesungguhnya yaitu mencapai sinergi yang biasa dianalogikan dengan “2 + 2 = 5 effect ”. Dalam bahasa behavioral , kolaborasi terjadi karena salah satu pihak berupaya maksimal untuk mencapai tujuannya dan di sisi lain ia juga ingin membantu pihak lain secara maksimal mencapai tujuannya (lihat misalnya George dan Jones, 1999, p. 663). Jadi dalam perkawinan modern ini masingBAB 7 Merger dan Akuisisi
135
masing pihak menyadari bahwa mereka mempunyai beberapa keunggulan dan sekaligus kelemahan dibanding pihak lain. Mereka juga sadar bahwa kelemahan tersebut hanya dapat di atasi jika mereka bergabung atau memiliki perusahaan lain. Itulah sebabnya kedua belah pihak berusaha untuk share learning – saling belajar dari pihak lain. Penggabungan usaha bisnis dapat dilakukan dengan merger antara dua perusahaan yang menciptakan sebuah perusahaan baru atau acquisition, yaitu bila suatu perusahaan membeli atau mengakuisisi perusahaan lain, di mana operasi perusahaan diambil alih kejaringan operasi perusahaan pembeli. Meskipun istilah merger dan akuisisi (M & A) mengandung implikasi hukum yang berbeda, di sini kita akan menggunakan kedua istilah itu secara kesatuan untuk menyebut suatu penggabungan dua atau lebih unit usaha menjadi sebuah unit usaha operasional tunggal. Bentuk M & A berdasarkan Martin et al . (1988) dikelompokkan menjadi tiga, yaitu horisontal, vertikal, dan konglomerat. 1) Horisontal, penggabungan perusahaan yang bergerak dalam industri sejenis. Sasaran dilaksanakannya merger horisontal agar diperoleh economies of scale atas produk yang dihasilkan. Berger, Hancock, dan Humphrey (1983), menjelaskan bahwa economies of scale adalah kenaikan output lebih besar dari kenaikan proporsi input. Sinkey Jr. (1992) menyatakan bahwa penggabungan input dapat meningkatkan eisiensi sehingga terjadi peningkatan output ( expanding volume). Farre dan Shapiro (2000) mengupas bahwa horisontal merger akan meningkatkan eisiensi sehingga diperoleh economies of scale dengan penghematan biaya, antara lain; a) Penyimpanan dan inventori b) Bahan baku c) Overhead korporasi, dan d) Distribusi serta promosi Apabila bidder dan target dapat memiliki kesamaan segmen pasar, maka akan terbentuk sistem monopoli atau peningkatan market power . Undang-Undang anti Monopoli merupakan rintangan agar pasar tidak tejadi pasar oligopoli .
136
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
2)
3)
Vertikal, penggabungan dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam proses produksi atau operasi, dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Salah satu tujuannya untuk penghematan biaya overhead (tranportasi, komunikasi, asuransi, administrasi, dan keuangan). Penggabungan secara vertikal termasuk forward integration , dan backward integration. Konglomerat, penggabungan dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam industri yang tidak terkait, salah satu tujuan untuk diversiikasi usaha. Perusahaan yang tidak eisien, tidak mampu mengoptimalan mengoptimalan aset, terdapat kemungkinan pihak lain dalam pengelolaan aset. Pengelolaan tersebut akan lebih efektivitas, sehingga terjadi peningkatan economies of scope.
Menurut Barber, Palmer, dan Wallace (1994) terdapat empat motivasi dilakukannya M & A, yaitu: 1) Financial synergies, misalnya untuk peningkatan kapabilitas pemasaran (market power ), menambah pokok komponen (economies of scale), konsolidasi biaya overhead , penghematan pajak (tax consideration). 2) Windows dressing , merupakan upaya akuntansi agar rasio keuangan perusahaan menunjukkan perusahaan dalam keadaan yang sehat (baik). 3) Disciplinenary motivation, disebabkan oleh manajemen yang kurang eisien dan efektif, sehingga perlu adanya perbaikan. 4) Industrial organization, dikarenakan ketidakpastian adanya perubahan ekonomi, kompetisi, kekuatan industri, dan otonomi industri. Dipandang dari pihak perusahaan target, proses M & A merupakan alternatif untuk menghindari akan terjadinya kebangkrutan di masa yang akan datang. Bangkrut terjadi apabila perusahaan kesulitan likuiditas, jumlah kewajiban melebihi nilai aset. Posisi target yang dalam keadaan kesulitan likuiditas, kerugian usaha, terlalu besar hutang, ketidakpaduan manajemen, kesulitan pemasaran, maka harga tawar melemah. Nilai penggabungan perusahaan dapat positif atau negatif. Merger dan akuisisi yang merupakan grand theory yang mendasari pada penelitian ini telah diuraikan pada permulaan bab ini, yang selanjutnya
BAB 7 Merger dan Akuisisi
137
akan dilanjutkan dengan pembahasan middle range teori yang relevan dengan permasalahan dan fenomena yang menjadi topik penelitian ini yaitu banyaknya merger dan akuisisi yang mengalami kegagalan. Bukti-bukti penghancuran nilai yang diamati dan kegagalan pasar yang terlihat merupakan kontrol bagi perusahaan berkenaan dengan kemampuan perusahaan pengakuisisi untuk menghasilkan pencapaian kinerja yang diharapkan. Dari sudut pandang para pengambil keputusan yaitu para manajer ada dua pendekatan untuk masalah ini, yaitu pendekatan keputusan rasional dan irasional.
Tujuan-Tujuan Pertumbuhan Pandangan Keagenan Masalah akuisisi yang menghancurkan nilai dan khususnya masalah pembayaran berlebihan (overpayment ), mempunyai akar teoritisnya dalam literatur tentang pemisahan kepemilikan dan kontrol terhadap keberanian berusaha dari pihak manajerial serta teori keagenan (Berle dan Means, 1932; Jensen dan Meckling, 1976; Fama, 1980: Shleifer dan Vishny, 1990). Schumpeter melukiskan tujuan pokok seorang entrepreneur , yaitu membangun suatu kerajaan/imperium pribadi/bisnis di mana laba dikorbankan demi kebesaran. Seperti ditunjukkan oleh Mueller (1995:15) Merger merupakan jalan paling cepat dan pasti untuk tumbuh dan dengan demikian merger mungkin ditempuh oleh para manajer sekalipun kalau merger tidak menjanjikan laba dan peningkatan kekayaan para pemegang saham. Kompensasi, kekuasaan, prestise, dan keamanan kerja cenderung dinilai tinggi oleh para manajer dan menambah besarnya perusahaan mungkin memperbesar probabilitas untuk mencapai tujuan ini. Ada banyak kejadian bahwa penghasilan para manajer puncak dalam perusahaan pengakuisisi meningkat meskipun dengan keadaan kinerja yang menurun (Firth, 1991; Fowler dan Schmidt, 1989; Mueller, 1969) dan dengan demikian, praktik-praktik kompensasi boleh jadi mendorong kegiatan akuisisi. Sejalan dengan ini, premium akuisisi merupakan contoh yang jelas tentang keputusan yang tidak mungkin dilakukan para pemegang saham ketika pengimplementasian keputusan portofolio. Jadi, dalam mencapai tujuan tersebut, para manajer melakukan akuisisi sesuai yang dikehendaki. Premium mempunyai sedikit saja hubungannya dengan 138
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
peluang-peluang penciptaan nilai, dan para manajer tidak benar-benar mengharapkan akuisisi-akuisisi ini memberikan nilai bagi para pemegang saham perusahaannya. Di sisi lainnya, suatu alternatif bagi pandangan keagenan yang mendorong untuk memotivasi studi tentang keputusan pengalokasian sumber daya dalam strategi Akuisisi ini adalah peranan arogansi manajerial (managerial hubris) seperti yang dikemukakan oleh Roll (1986).
Berbagai Teori Merger dan Akuisisi Hipotesis Penelitian Hubris (Arogansi) dalam Akuisisi Perusahaan
Hipotesis penelitian hubris (Roll, 1986) dikembangkan sebagai kemungkinan penjelasan tentang bukti pasar saham negatif bagi perusahaan pengakuisisi dan telah menjadi subjek pembicaraan yang cukup intens dalam literatur keuangan (Shleifer dan Vishny, 1988; Morck, Shleifer, dan Vishny, 1990). Menurut pandangan Roll adalah hubris atau arogansi pada diri seorang pengambil keputusan tunggal yang menjadikan kebanggaan diri dan kepercayaan diri yang besar sekali yang mengarah kearogansi menyebabkan seorang manajer membayar berlebihan ( overpayment ) untuk suatu akuisisi. Dalam pandangan hubris, banyaknya peserta yang terlibat dalam memberikan dan mengajukan penawaran dalam Akuisisi tidak mempunyai pengaruh terhadap hasil akhir. Hipotesis penelitian hubris pada dasarnya merupakan permasalahan khusus tentang persepsi negatif terhadap pemenang ( winner’s curse) menurut teori lelang (Varaiya, 1998). Dengan demikian, menurut teori ini, dalam lelang harga yang biasa (atau nilai aset memiliki harga yang sama bagi semua penawaran), penawaran yang paling tinggi cenderung mempunyai kesalahan positif menaksir yang paling tinggi dan karenanya memenangkan lelang tetapi tidak menyukai hasilnya (Bazerman dan Samuelson, 1983). Dalam modelnya Roll, diasumsikan bahwa pasar bersifat eisien, yaitu semua kemungkinan keuntungan diketahui oleh pasar dan sudah dimasukkan dalam perusahaan target sebelum penawaran sebenarnya dilakukan. Maka, arogansilah yang mendorong para manajer membayar sesuatu yang lebih besar daripada harga pasar.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
139
Asumsi terpenting yang menjadi dasar pandangan hubris ini adalah bahwa penawaran yang diajukan dan khususnya nilai premium, merepresentasikan anggapan yang mendasari pengambilan keputusan tentang nilai yang dapat diciptakan dengan Akuisisi yang dilakukan para manajer. Hipotesis peneltian hubris meskipun secara intuitif menarik untuk ditelaah namun mempunyai kelemahan karena asumsi utama yang mendasarinya, anggapan yang sebenarnya dari pengambil keputusan yang sifatnya tunggal itu. Haunschild (1994) menemukan bahwa premium-premium yang dibayarkan oleh sebuah perusahaan pengakuisisi mempunyai kaitan dengan premium yang dibayarkan oleh mitra-mitra yang menjadi anggota dewan direksi perusahaan bersangkutan dan berkaitan dengan perusahaan-perusahaan lain yang menggunakan bank investasi yang sama. Mueller (1989) menyatakan bahwa apakah merepresentasikan anggapan yang mendasarinya adalah tidak dapat dijawab secara inheren akan sulit mempertahankan argumen apakah dengan premium-premium sekarang yang besarnya sampai lima kali lipat dibanding dua puluh tahun lalu berarti para manajer sekarang lima kali lebih yakin diri atau lima kali lebih arogan. Juga, tim eksekutif yang sama dapat saja membuat banyak akuisisi dan membayar semua premiumnya. Hipotesis penelitian hubris dapat ditanyakan karena hanya didasarkan pada eisiensi pasar yang berbentuk kuat dan karenanya, semua penawaran termasuk dalam kategori pembayaran berlebihan (Black, 1989). Di sisi lain dalam keadaan yang berbeda, aset yang tertanam dalam target akuisisi kemungkinan memiliki nilai yang berbeda untuk perusahaan akuisisi yang berbeda (Barney, 1986a). Jadi akuisisi bukan merupakan lelang harga biasa. Jadi, rasa keakuan dan keyakinan diri yang berlebihan dapat menjadi sumber permasalahan dalam berbagai keputusan investasi, permasalahan yang terjadi dengan pendekatan ini dapat dijelaskan dengan baik dalam komentar pendapat penulis Joe Queenan (1995) di Wall Street Journal tentang hubris atau arogansi manajerial.
140
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Teori Aliran Kas Bebas (Free Cash Flow )
Aliran kas bebas atau free cash low dideinisikan sebagai aliran kas sebenarnya yang tersedia atau siap diditribusikan pada pemilik perusahaan setelah perusahaan menutup atau mendanai semua peluang investasi yang ada dalam ixed asset , produk baru atau modal kerja untuk dapat menjamin agar operasi perusahaan dapat terlaksana. Jensen (1986) mengemukakan bahwa adanya equity agency conlict antara manajemen dengan pemegang saham, terutama jika perusahaan memiliki excess cash lows. Excess cash lows tersebut kecenderungannya akan digunakan oleh manajemen untuk meningkatkan kekuasaanya melalui investasi yang berlebihan (overinvestment ) dan pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan. Jensen (1986) menggunakan suatu pendapat tentang teori keagenan yang menyimpulkan bahwa permasalahannya adalah bagaimana untuk memotivasi manager untuk mengeluarkan kas dan menginvestasikannya dalam bentuk pembelanjaan modal yang tidak sejalan dengan kepentingan– kepentingan para pemegang saham saat ini. Beberapa peneliti lain berpendapat bahwa agency conlict dapat dikurangi (tetapi tidak dapat dihilangkan) dengan berbagai mekanisme pasar (Jensen dan Meckling, 1976) Brigham dan Houston (1999:56) mengemukakan bahwa aliran kas bebas diperoleh dari aliran kas operasi (operating cash low ) dikurangi dengan Investasi kotor dalam modal operasi. Menurut mereka operating cash low merupakan akumulasi dari NOPAT (Net Operating After Tax ) ditambah non tax shield atau depresiasi. Sementara itu gross investment selisih antara net investment ditambah non tax shield atau depresiasi. Dalam praktiknya nilai free cash low dapat positif atau sebaliknya, negatif. Pertanyaannya apakah dipandang tidak baik apabila perusahaan memiliki nilai free cash low yang negatif ? Jawabannya tergantung dari nilai NOPAT, apabila Free cash low disebabkan oleh NOPAT yang negatif, maka free cash low negatif juga dianggap tidak baik, akan tetapi apabila free cash low negatif karena adanya peningkatan current expenses karena ada
BAB 7 Merger dan Akuisisi
141
proyek baru atau adanya peningkatan pertumbuhan perusahaan sehingga membutuhkan dana yang cukup besar (karena perusahaan mengambil alih perusahaan lain atau adanya penggabungan usaha/merger), maka free cash low negatif menjadi tidak masalah asalkan terjadinya negatif cash low dalam hitungan jangka pendek. Terjadinya negative cash low akan mempengaruhi kinerja inansial perusahaan, karena terjadinya negative free cash low dalam waktu yang agak lama akan mengindikasikan adanya masalah pengelolaan operasionalisasi perusahaan yang tidak baik. Teori Keagenan ( Agency theory )
Eisenhardt (1989) dalam Andriyani (2008:20) menyatakan ada 3 (tiga) asumsi sifat manusia terkait dengan teori keagenan, yaitu: (i) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri ( self interest ), (ii) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality ), dan (iii) manusia selalu menghindari risiko ( risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan cenderung bertindak oportunis, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dan hal ini memicu terjadinya konlik keagenan. Teori ini memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konlik kepentingan antara principals dan agent . Pihak agent termotivasi untuk memaksimalkan fee kontraktual yang diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis dan psikologisnya. Sebaliknya, pihak principals termotivasi untuk mengadakan kontrak atau memaksimalkan return dari sumber daya untuk mensejahterakan dirinya dengan proitabilitas yang selalu meningkat. Konlik kepentingan ini terus meningkat karena pihak principals tidak dapat memonitor aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan para pemegang saham. Sebaliknya, agent sendiri memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang memicu timbulnya ketidakseimbangan informasi antara principals dan agent . Kondisi ini dinamakan dengan asimetri informasi .
142
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Susanta (2006:10), hubungan principals dan agent sering ditentukan dengan angka akuntansi. Hal ini memicu agent untuk memikirkan bagaimana akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya, di mana salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah manajemen laba. Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory dan Agency Theory . Watts dan Zimmerman (1986) dalam Halim et al . (2005:119) mengusulkan tiga hipotesis peneltian yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba, yaitu sebagai berikut: 1) Hipotesis Penelitian Program Bonus (Bonus Plan Hipotesis Penelitian). Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang menerapkan program bonus lebih cenderung untuk menggunakan metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba saat ini dengan memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. 2) Hipotesis Penelitian Perjanjian Utang (Debt Covenant Hipotesis Penelitian). Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai debt to equity ratio besar atau menghadapi kesulitan utang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan laba. 3) Hipotesis Penelitian Biaya Politis (Political Cost Hipotesis Penelitian). Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politik yang dihadapi suatu perusahaan maka manajer cenderung untuk menangguhkan laba berjalan ke masa yang akan datang. Biaya politik muncul sebagai akibat dari proitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Teori Ekspektasi (Expectation Theory )
Menurut expectation theory , ekspektasi utilitas atau prospek merupakan sebuah fungsi non linier , nilai fungsi ini akan mengikuti perubahan dari sumber daya atau aktiva dan cenderung fungsi tersebut besifat concave manakala mereka memperoleh keuntungan ( proit ) dan bersifat convex ketika menderita kerugian ( loss). Oleh karena itu pergerakan
BAB 7 Merger dan Akuisisi
143
atau arah gradien (slope) fungsi menjadi lebih curam (steeper ) ketika menderita kerugian jika dibandingkann dengan kondisi perusahaan pada saat membukukan keuntungan. Sehubungan dengan teori principals agent (agency theory ), principals yang menganut prospect theory ini akan cenderung percaya kepada manajer jika perusahaannya terus untung dan kemudian dia akan memberikan kompensasi yang cukup tinggi kepada manajer tersebut. Sebaliknya jika perusahaan mengalami kerugian, principals cenderung tidak akan percaya terhadap manajer dan akan memotong atau tidak akan memberikan kompensasi lagi. Principals akan berusaha semaksimal mungkin agar manajemen diperbaiki dan jika mungkin memecat manajer. Secara sederhana Gambar 7.1 Menggambarkan pergerakan nilai fungsi terkait dengan perubahan aset-aset inansial yang mereka miliki.
Reference Point Losses
Gains
Gambar 7.1
Ekspektasi Utilitas berdasarkan Value
Expectation Theory
Sumber: Kahneman dan Tversky, 1979;
Pangeran, Perminas, 2003:27-46
Berdasarkan expectation theory , Perilaku manajemen dalam pengelolaan risiko berhubungan dengan perilaku mengenai prospek untung atau rugi. Teori ini dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1979) dalam Perminas Pangeran (2003:27-46). Teori ini menyatakan bahwa orang itu akan menjadi: Risk taker ketika dia akan mulai merasakan kerugian: dia akan menjual perusahaan yang tidak eisien (divestasi) untuk menutupi kerugiannya.
144
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Risk averse ketika mulai untung, dia akan memproteksi keuntungan-
nya, biasanya dengan menjual ekuitasnya (menyebabkan volatilitas) Usaha dan energi yang akan dia keluarkan itu akan lebih besar pada saat dia mulai rugi dibandingkan pada saat dia untung. Konsep tentang eskalasi dalam komitmen juga pernah dijajaki dari sudut pandang Teori Ekspektasi (Expectation Theory ). Teori Ekspektasi ini memprediksikan bahwa setiap individu umummnya akan menjadi pencari risiko ketika ia kalah, tetapi menolak risiko ketika ia menang, perilaku opportunistic yang mendasarinya. Teori Informasi Asimetris ( Asymmetric Information Theory )
Akerlof dan Stiglitz (2001:195-211) menyebutkan bahwa berdasarkan teori informasi simetris, informasi yang diterima para pelaku pasar diasumsikan akan sama dengan informasi yang ada pada manajemen perusahaan. Dalam kenyataannya manajer perusahaan memiliki informasi yang relatif lebih banyak daripada informasi yang tersedia bagi para investor luar. Kondisi ini disebut dengan asymmetric information. Terdapat suatu anggapan bahwa pada umumnya manajer memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai pasar saham serta tingkat bunga di masa datang, tetapi mereka pada umumnya mengetahui lebih banyak mengenai prospek perusahaan daripada investor atau analis investasi sekalipun. Hal ini memungkinkan munculnya asymmetric information. Dalam kasus ini manajer perusahaan percaya bahwa saham perusahaan undervalued atau overvalued , tergantung apakah menurutnya informasi tersebut menguntungkan atau tidak. Asymmetric information dapat terjadi di antara dua kondisi ekstrim yaitu perbedaan informasi yang kecil sehingga tidak mempengaruhi manajemen, atau perbedaan yang sangat signiikan sehingga sangat berpengaruh terhadap harga saham. Dalam artikelnya Akerlof dan Stiglitz (2001:195-211) memberikan gambaran mengenai aspek ketidaksimetrisan informasi dalam bisnis. Mereka menyebutkan bahwa dampak potensial dari terjadinya asymmetric information adalah timbulnya kegagalan pasar (market failure). Sebagai contoh yang paling umum untuk menjelaskan fenomena informasi yang
BAB 7 Merger dan Akuisisi
145
tidak simetris terjadi pada pasar mobil bekas (used car market ) di mana penjual memiliki informasi yang lebih baik atau terdapat asymmetric information atas calon pembeli. Pemilik mobil bekas lebih mengetahui kondisi mobilnya dibandingkan calon pembeli. Pemilik mobil bekas ini mungkin menjual “Lemon” (mobil yang jelek) dan mengakunya sebagai “Orange” (mobil yang bagus). Sebaliknya pembeli mobil, yang menyadari memiliki informasi yang kurang dibandingkan dengan yang dimiliki oleh penjual, tidak dapat membedakan antara lemon dan orange. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana asymmetric information dapat mengakibatkan kegagalan pasar ( market failure). Pembeli cenderung akan menurunkan harga karena mereka tidak dapat membedakan antara mobil bagus dengan yang jelek. Sementara itu pemilik mobil bagus pun tidak bersedia untuk menjual mobilnya pada harga yang tidak sesuai, sehingga mengakibatkan kemungkinan pembeli memperoleh mobil jelek semakin besar dan semakin menurunkan kesediaan harga yang mereka bayar. Oleh karena itu pada akhirnya pasar mobil bekas tidak berfungsi dengan baik. Alasan semacam ini dapat diterapkan di semua jenis pasar yang kerap terjadi asymmetric information, termasuk dalam inancial market . Secara jelas satu cara untuk membuat agar pasar mobil bekas tersebut berfungsi adalah dengan mengurangi asymmetric information dengan cara memberikan keleluasaan kepada pembeli untuk mengecek atau membawa mobilnya ke montir yang tahu lebih baik tentang kondisi mobil bekas tersebut. Dari ilustrasi yang dikemukan oleh Akerlof dan Stiglitz (2001:195211), asymmetric information dapat juga terjadi antara perusahaan pengambilalih (acquier ) dengan perusahaan target, di mana pihak pembeli (buyer ) atau bidder lebih mengetahui kondisi serta prospek perusahaan lebih sedikit jika dibanding pihak penjual , sehingga dapat menimbulkan asymmetric information antara manajer/manajemen perusahaan pembeli dengan penjual perusahaan (merger dan akusisi). Hal ini terjadi karena di pasar bursa terdapat inform traders dan uninform traders. Dalam praktiknya, fenomena asymmetric information menyebabkan adanya akumulasi negatif dari abnormal return (negative CARs) selama proses pengambil alihan perusahaan. Dengan demikian Teori Hubris, tunneling hypothesis dan rendahnya transparansi pada saat tender akan
146
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
meningkatkan permasalahan Asymetric information ( the hubris hypothesis, tunneling hypothesis, and lower transparency will increase the asymmetric problems). Teori Signal
Studi yang dilakukan oleh Miller dan Rock (1985) dan juga Ambarish et al. (1987) seperti yang dibahas dalam Sawitri (2004) berpendapat bahwa dalam kondisi informasi yang asimetrik, investor sulit untuk membedakan secara objektif antara perusahaan baik dan kurang baik. Setiap pernyataan yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak memiliki kandungan informasi, hal ini mengingat pernyataan manajemen perusahaan yang baik maupun yang tidak baik selalu mengatakan prospek yang baik di masa yang akan datang. Atas pernyataan tersebut, hanya waktu yang dapat membuktikan apakah informasi tersebut benar atau sebaliknya. Teori Signal dikembangkan baik melalui literatur ekonomi maupun keuangan untuk menjelaskan kondisi di mana keuangan perusahaan (manajemen dan direksi) umumnya memiliki informasi yang lebih baik tentang prospek perusahaan saat ini maupun yang akan datang dibandingkan dengan para investor. Pembayaran dividen, even pemecahan saham sampai aksi penggabungan usaha dan akuisisi (M & A) merupakan contoh klasik mengenai penyampaian informasi melalui signaling. Jika manajemen mengumumkan kenaikan yang nyata pada jumlah dividen per lembar saham yang dibagikan, atau menaikan harga penawaran atas suatu pengambil alihan suatu perusahaan (M & A), investor akan menangkap ini sebagai sinyal bahwa kondisi keuangan perusahaan (prospek penghasilan) saat ini dan di masa mendatang relatif baik. Sebaliknya, jika investor mengharapkan suatu pengambil alihan atau penggabungan usaha, namun corporate action tersebut tidak pernah direalisasikan, sampai suatu waktu perusahaan target tersebut diambil alih perusahaan lain, atau adanya penguraian kembali perusahaan dalam suatu perusahaan hasil merger (spin off ), pada dasarnya manajer perusahaan tersebut sedang mengirimkan sinyal negatif.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
147
Pendekatan dan Hipotesis Peneltian Lain: Komitmen dan Penyesalan
Membatasi pembahasan hanya pada pandangan keagenan dan hubris saja akan mengesampingkan kedalaman yang sesungguhnya tentang isu perilaku rasional dan irasional ini. Pandangan keagenan mengabaikan pendekatan-pendekatan alternatif, dan pandangan hubris tidak mempertimbangkan berbagai penyebab lainnya yang mungkin mendorong ”perilaku irasional” yang sama, misalnya komitmen dan penyesalan. Pada dasarnya ketika kita benar-benar memasuki lingkungan perdebatan ini, isu tentang rasionalitas versus irasionalitas menjadi kurang jelas (Elster, 1993). Banyak keputusan dapat menjadi rasional secara lokal tetapi secara global irasional, terutama dalam pengertian intertemporal. Membahas soal komitmen dalam proses Akuisisi (McCann dan Gilkey, 1988; Haunschlid, Davis-Blake, dan Fichman, 1994), berdasarkan wawancara dengan para eksekutif senior dan para bankir investasi, McCann dan Gilkey (1988:123) menyimpulan bahwa banyak akuisisi gagal semata-mata didorong oleh komitmen untuk melakukan akuisisi, komitmen menunjuk pada kecenderungan para CEO dan tim-tim akuisisimerger untuk memperdalam komitmen, untuk ”mengatrol ante” ( you up the ante) dan bahkan merasionalisasi berita yang tidak baik agar supaya mewujudkan negosiasi mencapai kesepakatan atau deal . Pandangan Keterbatasan Sinergi
Dalam pandangan keterbatasan sinergi, permasalahan dan asumsiasumsi yang dibahas di bagian terdahulu adalah tentang motif-motif, bukan tentang konsekuensi karena pembahasan memfokuskan perhatian pada pentingnya ex-ante dalam tindakan-tindakan para manajer (apakah mereka mengerti atau tidak) dan mempertimbangkan tindakan-tindakan itu dalam konteks merealisasikan sinergi di pasar baik produk atau jasa yang sangat kompetitif. Ini membangun landasan yang berlawanan dengan pandangan pasar kompetitif yang mengatakan bahwa harga-harga merepresentasikan nilai potensial dan menggunakan premium untuk memprediksi kerugian dalam kebanyakan akuisisi. Sinergi atau pencapaian kinerja tetap masih merupakan subjek yang dipersoalkan dalam pembahasan. Keuntungan sinergi masih merupakan
148
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
sesuatu yang sulit untuk terwujud, Reef dan Luman (1986:34). Para ahli strategi yang lainnya telah mengemukakan bahwa biaya administrasi yang menyertai integrasi pasca-merger melebihi keuntungan yang mungkin di dapat dari segi sinergi (Lubatkin, 1983; Jones dan Hill 1998). Para ahli dalam ilmu ekonomi bidang organisasi-industri telah memberikan latar belakang sesungguhnya untuk mempertimbangkan ekonomi sinergi. Beberapa ekonom telah menyatakan sikap skeptis tentang konsep sinergi. Slusky dan Caves (1991) tidak menemukan sinergi yang yang diharapkan dalam sampel penelitian. Setelah menemukan penurunan dalam proitabilitas dari berbagai bidang usaha menyusul merger, Ravenscraft dan Scherer (1998) dengan terbuka menentang hipotesis penelitian tentang economies of scale atau economies of scope dalam akuisisi. Ekonom dari Federal Reserve Board , Stephen Rhoades (1983:97) telah menulis, ”Sudah saatnya sinergi dan argumen-argumen yang berkaitan dengan sinergi dihentikan. Untuk beberapa waktu yang lama para ahli telah memberikan pembenaran yang tidak berdasar untuk akuisisi dalam perekonomian AS, yang tidak ada manfaat yang terlihat bagi sistem perekonomian.” Studi empiris Shleifer dan Vishny (1991:53) menyangkal bukti tentang peningkatan produktivitas pabrik menyusul merger dan akuisisi dengan mengadakan perubahan kontrol yang ditawarkan Lichtenberg dan Siegel (1989) karena peningkatan proitabilitas itu mungkin dihasilkan oleh pengurangan investasi dan bukan dari perbaikan nilai laba sekarang. Healy, Palepu, dan Ruback (1992) mengecam bukti proitabilitas yang lemah dari Ravenscaft dan Scherer (1987a) dan menunjukkan peningkatan dalam proitabilitas menyusul akuisisi. Tetapi, Shleifer dan Vishny (1991:53) membantah bukti ini karena Healy, Palepu, dan Ruback (1992) kemungkinan belum mengoreksi dengan seksama penjualan-penjualan aset dan karenanya menemukan perbaikan yang signiikan dalam proitabilitas. Studi empiris Alberts (1984) membuktikan kebenaran sifat kompetitif yang tajam dalam pasar produk dan jasa dengan menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan pada dasarnya mendapatkan rente ekonomi (yaitu, spread atau selisih dari Return on Capital Employee (ROCE) dikurangi cost of capital ) yang tidak jauh dari nol. Selanjutnya, Alberts menunjukkan bahwa untuk memaksimalkan proit dalam jangka panjang, para oligopolis
BAB 7 Merger dan Akuisisi
149
tidak mengenakan harga-harga tinggi, mereka menekan spread dan capital return minus capital cost , khususnya untuk menghalangi masuknya kompetitor-kompetitor potensial di masa datang, dan menyimpulkan, ”Struktur-struktur non kompetitif tidak mengakibatkan kinerja non kompetitif.” karena hambatan-hambatan masuk (barriers of entry ) tidak cukup tinggi untuk membuat pendapatan (earning) melebihi laba (returns) dalam jangka panjang dengan maksimisasi nilai ( value maximization) jangka panjang (Alberts, 1984:630). You et al . (1986) tidak menemukan bukti tentang pentingnya sinergi inansial. Selain itu, kedua peneliti ini menemukan bahwa apakah akuisisi itu terintegrasi ke dalam perusahaan pengakuisisi tidak mempunyai pengaruh sinergi dan kinerja. Manfaat Pajak
Perusahaan yang sedang dalam kondisi laba yang besar harus membayar pajak dalam jumlah yang besar pula, atau dengan kata lain mempunyai perisai pajak potensial, namun tidak dapat mengambil keuntungan dari hal itu. Jika itu bergabung dengan perusahaan lain yang mengalami kerugian, ia akan dapat mengambil keuntungan dari perpajakan, sehingga beban pajak berkurang, karena keuntungannya dapat dikompensasikan dulu dengan kerugian perusahaan yang diakuisisi Nilai dari keringanan pajak itu juga dapat diciptakan dalam merger melalui revaluasi atas segenap aktiva yang telah disusutkan (depreciated ) sebelumnya. Merger memungkinkan aktiva yang sebelumnya telah disusutkan untuk direvaluasi atau dinilai kembali, dengan demikian kekayaan atau keuntungan tercipta dari manfaat pajak berupa penambahan depresiasi yang bersumber dari revaluasi aktiva tersebut.
150
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, A. et al . 1992. The Post-Merger Performance of Acquiring Firms: A Re-Examination of an Anomaly. Journal of Finance, 47: 1605-1671. Albert, W. W. and N. P. Varaiya. 1989. Assessing the Proitability of Growth by Acquisition: A ‘Premium Recapture Approach. International Journal of Industrial Organization, 7: 133-149. Amihud, Y. et al . 1990. Corporate Control and the Choice of Investment Financing: The case of Corporate Acquisition. Journal of Finance, 45: 603-616.
Ashford, S. J. 1988. Individual Strategies for Copying with Stress During Organizational Transitions. Journal of Applied Behavioral Science, 24 (1): 19-36. Ashforth, B. E. and F. Mael. 1989. Social Identity Theory and the Organization, Academy of Management Review , 14: 20-39. Aslinger, P. L. and T. E. Copeland. 1996. Growth Through Acquisitions: A Fresh Look. Harvard Business Review , 126-135. Baucus, D. A. et al . 1993. Estimating Risk Return Relationships: An Analysis of Measures. Strategic Management Journal , 14: 387-396. Berger, A. N., D. Hancock, and D. B. Humphrey. 1993. Bank Eficiency Derived from the Proit Function, Journal of Banking and Finance: 317-47. Berkovitch, E. and M. P. Narayanan. 1993. Motives for Takeovers: An Emphirical Investigation. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 28: 347-362. Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill. Cartwright, S. and Cooper, C. L. 1993. Of Mergers, Marriage and Divorce. Journal of Managerial Psychology , 8 (6), 7-10.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
151
___________________________________. 1994. The human eects of mergers and acquisitions. Journal of Organizational Behavior . 1, 47-61. ___________________________________. 1995. Organizational marriage: “hard” versus “soft” issues? Personnel Review , 24 (3), 32-42. Chatterjee, S. and M. Lubatkin. 1990. Corporate Merger, Stockholder Diversiication, and Changes in Systematic Risk. Strategic Management Journal , 11: 255-268. Copeland, T. and J. Weston. 1983. Financial Theory and Corporate Policy . Addison-Wesley. Davy, J. A., A. J. Kinicki and C. L. Scheck. 1997. A Test of Job Security’s Direct and Mediated Eects on Withdrawal Cognitions. Journal of Organizational Behavior, 18 (4): 323–349. Dennis, D. K. and J. J. McConnell. 1986. Corporate Merger and Securities Returns. Journal of Financial Economics, 16: 143-187. Eisenhardt, K. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review. Strategic Management Review , 14: 57-74. Fama, E. F. 1980. Agency Problem and Theory of the Firm. Journal of Political Economy , 88: 288-307. Franks, J. R. et al . 1991. The Post-Marger Shareprice Performance of Acquiring Firms. Journal of Financial Economic, 29: 81-96. Glickman, Murray. 1996. Modigliani and Miller on Capital Structure A Post Keynesian Critique. UEL Departement of Economics Working Paper , 8. Gujarati, Damodar N. 2002. Basics Econometrics (4th edition). McGraw-Hill. Haspeslagh, P. C. 1990. Acquitisons as Resource Allocation Descisions: A Multinational Perpective. Working Paper . Harrington, D. R. and B. D. Wilson. 1989. Corporate Financial Analysis (3rd edition). Homewood: Irwin.
152
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Jarrrell, S. L. 1995. The Long-Term Performance of Corporate Takeovers an Improved Benchmark Methodology. Working Paper . Kaplan, S. N. 1989. Management Buyouts: Evidence on Taxes as a Source of Value. Journal of Finance, 44: 611-632. Kotter, J. P. and Heskett, J. L. 1992. Corporate Culture and Performance. Free Press, New York. Lang. L. P. H. et al . 1991. The Test of the Free Cash Flow Hypothesis: The Case of Bidder Returns. Journal of Financial Economics, 29: 315-335. Legare, T. 1998. The human side of mergers and acquisitions. Human Resource Planning, 21 (1): 32-41. Marks, M. L. and P. H. Mirvis: 1992, Rebuilding After the Merger. Dealing With Survivor Sickness. Organizational Dynamics, 21 (2): 18–32. _____________________________. 1998. Joining Forces, Jossey-Bass, San Francisco. Martin, J. D. et al . 1988. The Theory of Finance. Chicago: The Dryden Press. Megginson, William L. 1997. Corporate Finance Theory . Addison Wesley. Miller, M. 1977. Debt and Taxes. Journal of Finance. 261-275. Mirvis, P. H., and Sales, A. L. 1990. Feeling the elephant: Culture consequences of a corporate acquisition and buy-back . In: B. Schneider (Ed.), Organizational Climate and Culture. San Francisco: Jossey-Bass. Moin, Abdul. 1999. Mencermati Trend ‘Mega-Merger’: Studi Kasus Tentang “Merger-Mania” di Amerika. Harian Republika. Mueller, D. C. 1995. Mergers: Theory and Evidence in G. Mussati, ed., Mergers, Markets and Public Policy, 9-43. Nahavandi, Afsaneh and Ali R. Malekzadeh. 1988. Acculturation in Mergers and Acquisitions. The Academy of Management Review , 13 (1): 79-90. Nelson, C. A. and J. G. Lagges. 1993. Corporate Boards and Mergers. Corporate Board , 12-16.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
153
Pablo, A. 1994. Determinants of acquisition integration level: a decisionmaking perspective, Academy of Management Journal , 37 (4): 803836.
Payamta dan Doddy Setiawan. 2004. Analisis Pengaruh Merger dan Akuisisi Terhadap Kinerja Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 7 (3): 265-282. Porter M. E. 1987. From Competitive to Corporate Strategy. Harvard Business Review, 43-59. Ravenscraft, D. J. and F. M. Scherer. 1998. The Proitability of Mergers. International Journal of Industrial Organization, 7: 101-116. Ross, Stephen A., Westerield, Randolph W., and Jordan, Bradford D. 2008. Fundamentals of Corporate Finance (8th edition). New York: McGrawHill/Irwin. Schmidt, D. R. and K. L. Fowler. 1990. Post-Acquisition Financial Performance and Executive Compensation. Strategic Management Journal , 11: 559569. Schweiger, David M., Ernst N. Csiszar, and Nancy K. Napier. 1993. Implementing International Mergers and Acquisition. Human Resource Planning, 16 (1): 53-70. Schweiger, D. M., J. M. Ivancevich and F. R. Power. 1987. Executive Actions for Managing Human Resources Before and After Acquisition. Academy of Management Executive, 1 (2): 127–138. Schweiger, David L., and John M. Ivancevich. 1985. Human resources: The forgotten factor in mergers and acquisitions. Personnel Administrator : 47-61.
Sineter, M. 1981. Mergers, Morale, and Productivity. Personnel Journal , 63-867.
Sinkey, Jr., Joseph F., 1992. Commercial Bank Financial Management: In the Financial-Service Industry (4th edition), Macmillan Publishing Company, Ontario. 154
Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)
Slusky, A. R. and R. E. Caves. 1991. Synergy, Agency, and the Determinants of Premia Paid in Mergers. Journal of Industrial Economics, 39: 277-296. Sobirin, Achmad. 1997. Organizational Culture: Konsep, Kontroversi, dan Manfaatnya untuk Pengembangan Organisasi. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 1 (2): 152-173. ____________________. 1999. Memahami Arti dan Makna Budaya Organisasi. Jurnal Sinergi, 2 (2): 189-215. ____________________. 2000. Privatisasi: Implikasinya terhadap Perubahan Perilaku Karyawan dan Budaya Organisasi. Jurnal Siasat Bisnis, 5 (1): 25-48.
____________________. 2001. Merger dan Akuisisi Sebuah Perkawinan Paradoksal. Jurnal Siasat Bisnis, 1 (6): 39-59. Suta, I. P. G. Ary. 1992. Akuntansi dan Implikasi bagi Perusahaan Publik . Makalah disajikan dalam Seminar Akuntansi dan Dampak Globalisasi terhadap Pasar Modal Indonesia, Jakarta, 1-20. Sutrisno and Bambang Sudibyo. 2000. The Inluence of the Accounting Method Selection for Merger and Acquistion on the Stock Price of Public Companies in Indonesia. Gadjah Mada International Journal of Business, 2 (1): 81-101. Thaler, R. 1988. Anomalies: The Winner’s Curse. Journal of Economics Perpectives, 2: 191-201. White, L. J. 1982. Merger and Aggregate Concentration in M. Keenan and L. J. White, Merger and Aquitions, 97-111. Zweing, P. L. 1995. The Case Against Mergers. Business Week Special Report , 30: 122-130.
BAB 7 Merger dan Akuisisi
155
GLOSARIUM
Abnormal Return
:
Selisih antara tingkat keuntungan sebenarnya dengan tingkat keuntugan yang diharapkan.
Additional Risk
:
Risiko yang timbul karena keputusan penggunaan sumber dana dengan beban tetap, seperti biaya bunga atas penggunaan utang dan dividen atas penerbitan saham preferen.
Adverse Selection
:
Satu bentuk masalah asimetri, informasi yang terjadi sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki risiko kredit tinggi) biasanya akan mau mencari pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi.
Agency Problems
:
Hubungan keagenan muncul ketika satu atau lebih individu (majikan) menggaji individu lain (agen atau karyawan) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen dan karyawannya.
Agency Conlict
:
Konlik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
Agency Cost
:
Biaya-biaya yang digunakan untuk memonitor tingkah laku manajer, memberikan insentif inansial agar mau mencapai tujuan atau kegiatan yang harus dilakukan dan agar manajer tidak melakukan kecurangan-kecurangan.
Agency Theory
:
Suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), di mana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principal .
Asymmetric Information
:
Kondisi di mana pihak tertentu memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak lain.
:
Sebuah potret atau snapshot perusahaan pada suatu periode waktu tertentu atas berbagai aktivitas yang telah dilakukan perusahaan.
Balance Sheet
Balance Theory
:
Keputusan untuk menambah utang tidak hanya berdampak negatif, tetapi juga dapat berdampak positif karena perusahaan harus berupaya menyeimbangkan manfaat dengan biaya yang ditimbulkan akibat utang.
Basic Corporate Finance Framework
:
Kegiatan bisnis diawali oleh seorang investor yang bersedia untuk berinvestasi atas sumberdaya yang dia miliki. Kesediaan investor tersebut untuk selanjutnya menjadi nilai tukar (exchange rate) terhadap besarnya imbal hasil investasi yang diharapkan (expected return on the investment ).
Business Risk
:
Risiko yang timbul pada perusahaan tertentu yang belum tentu dihadapi oleh perusahaan lain dengan demikian tidak bersifat sistematis (un-systematic risk ).
Capital Gain
:
Keuntungan dari hasil jual beli saham, berupa selisih antara nilai jual yang lebih tinggi daripada harga beli sahamnya.
Capital Loss
:
Kerugian dari hasil jual beli saham, berupa selisih antara nilai jual yang lebih rendah daripada harga beli sahamnya.
Capital Structure
:
Perbandingan antara utang jangka panjang (long term debt ) dengan modal sendiri (equity ) yang dipergunakan oleh perusahaan.
Capital Asset Pricing Model (CAPM)
:
Suatu model yang menghubungkan tingkat return yang diharapkan dari suatu aset berisiko dengan risiko dari aset tersebut pada kondisi pasar yang seimbang.
Cash Flow Predictability
:
Prospek perusahaan yang memacu perolehan return investasi yang lebih besar.
Clientele Effect
:
Kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan.
Cost of Capital
:
Biaya riil yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana, baik yang berasal dari utang, saham preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk mendanai suatu investasi atau operasi perusahaan.
Debt Covenant Theory
:
Perusahaan yang mempunyai debt to equity ratio besar atau menghadapi kesulitan utang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan laba.
Debt Financing
:
Menambah uang dengan menjual obligasi, wesel, atau hipotek atau langsung meminjam dari lembaga keuangan.
Discounted Cash Flow
:
Aliran kas yang akan diterima pada masa depan dapat dinilai sekarang dengan menggunakan faktor diskonto.
Dividend
:
Pembagian penghasilan yang dibayarkan kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki.
Dividend Change
:
Perubahan dividen, baik itu dividen meningkat (increasing dividend ) dan penurunan dividen (decreasing dividend ).
Dividend is Puzzle
:
Muatan informasi dividen yang telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa pengumuman dividen memiliki muatan informasi yang bermanfaat bagi investor menemukan bukti yang berbeda.
Dividend is Sticky
:
Dividen yang tidak berluktuasi atau dividen yang stabil.
Dividend Payout Ratio
:
Rasio yang mengukur persentase pendapatan bersih yang dibayarkan dalam bentuk dividen.
Dividend Policy
:
Ketentuan yang mengatur bahwa pembayaran dividen harus berasal dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada akun laba ditahan di neraca.
Earning per Share
:
Keuntungan yang diberikan kepada pemegang saham untuk tiap lembar saham yang dipegangnya.
:
Suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi (operation cost ) dan biaya modal (cost of capital ).
Economics of Scale
:
Penghematan kegiatan produksi karena skala usaha menjadi lebih besar.
Eficient Market Hypothesis
:
Jika pasar eisien (eficient market ), maka harga yang terbentuk mereleksikan seluruh informasi yang ada.
Equity
:
Modal sendiri.
Equity Agency Conlict
:
Konlik antara manajemen dengan pemegang saham, terutama jika perusahaan memiliki excess cash lows.
Equity Contract
:
Kontrak/perjanjian yang mengindikasikan adanya residual claims atas invested assets atau proit perusahaan.
Exchange Rate
:
Harga mata uang suatu negara dinyatakan dalam mata uang negara lain.
Expectation Theory
:
Memprediksikan bahwa setiap individu umummnya akan menjadi pencari risiko ketika ia kalah, tetapi menolak risiko ketika ia menang, perilaku opportunistic yang mendasarinya.
Financial Risk
:
Risiko yang timbul karena keputusan penggunaan sumber dana dengan beban tetap, seperti biaya bunga atas penggunaan utang dan dividen atas penerbitan saham preferen.
Friendly Take Over
:
Sebuah transaksi pengambilalihan diterima oleh manajemen dari target irm, disetujui oleh para pemegang sahamnya, dan diambilalih dengan mudah (akuisisi bersahabat).
Economic Value Added
Financial Distress
:
Suatu keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajibankewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat dicapai.
Financial Leverage
:
Penggunaan dana dengan beban tetap dengan harapan atas penggunaan dana tersebut akan memperbesar pendapatan per lembar saham.
Financial Market
:
Mekanisme pasar yang memungkinkan bagi seorang atau koporasi untuk dengan mudah dapat melakukan transaksi penjualan dan pembelian dalam bentuk sekuritas keuangan.
Financial Structure
:
Perimbangan antara total utang dibanding modal sendiri.
Financing Constraint
:
Keterbatasan perusahaan dalam mendapatkan modal dari sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk berinvestasi.
Financing Decisions
:
Keputusan berkaitan dengan penetapan sumber dana yang diperlukan dan penetapan perimbangan pembelanjaan yang terbaik (struktur modal yang optimal)
Holding Company
:
Sebuah bentuk kombinasi bisnis di mana terdapat sebuah perusahaan yang membeli seluruh saham perusahaan lain.
Hostile Take Over
:
Suatu tindakan akuisisi yang dilakukan secara paksa yang biasanya dilakukan dengan cara membuka penawaran atas saham perusahaan yang ingin dikuasai di pasar modal dengan harga di atas harga pasar.
Investment Decisions
:
Keputusan terhadap aktiva apa yang akan dikelola perusahaan.
Kebijakan Dividen
:
Keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang.
Konglomerasi
:
Perusahaan yang punya bisnis beragam dan bisa-bisa tidak ada kaitan antara satu sama lain.
Konsolidasi
:
Kombinasi dua perusahaan atau lebih di mana perusahaan lain menggabungkan atau larut ke dalam perusahaan yang diikuti.
Leverage
:
Penggunaan aktiva atau dana di mana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar beban tetap.
Leverage Buy Out
:
Pembelian semua saham atau aktiva perusahaan, anak perusahaan atau divisi perusahaan oleh sekolompok investor.
Managerial Finance
:
Suatu kegiatan yang berhubungan dengan tugastugas manajer keuangan dalam perusahaan bisnis dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan keuangan.
Market Failure
:
Situasi di mana mekanisme pasar tidak berfungsi sebagaimana semestinya dalam konteks tertentu.
Market Forces
:
Pemegang saham utama (major shareholder ) dengan jumlah saham mayoritas dan ancaman pengambilalihan oleh perusahaan lain (threat of takeover or hostile takeover ).
Market Risk
:
Risiko yang terjadi diluar kegiatan perusahaan yang tidak dapat diantisipasi oleh perusahaan.
Merger Horisontal
:
Kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang bersaing satu sama lain secara langsung.
Merger Vertikal
:
Kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang memiliki buyer -seller relationship satu sama lain.
Netral Risk
:
Investor yang netral terhadap risiko.
Option Pricing Theory
:
Hak untuk membeli atau menjual suatu aktiva pada harga yang telah ditentukan pada waktu yang telah ditentukan pula.
Owners
:
Pemilik perusahaan.
Pecking Order Theory
:
Teori struktur pendanaan yang menawarkan alternatif lain dalam pengambilan keputusan pendanaan.
Perfect Capital Market
:
Pasar modal yang memiliki karakteristik; (i) tidak ada biaya transaksi, (ii) tidak ada pajak, (iii) ada cukup banyak pembeli dan penjual, (iv) ada kemampuan akses yang sama ke pasar, (v) tidak ada biaya informasi, (vi) setiap orang memiliki harapan yang sama, (vii) tidak ada biaya yang berhubungan dengan hal kesulitan keuangan.
Perquisite Motive
:
Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utility -nya.
Price Earning Ratio
:
Perbandingan antara harga saham di pasar atau harga perdana yang ditawarkan dibandingkan dengan pendapatan yang diterima.
Realized Return
:
Tingkat return yang telah diperoleh investor di masa lalu.
Residual Dividend Policy
:
Perusahaan menetapkan kebijakan dividen setelah semua investasi yang menguntungkan habis dibiayai.
Retained Earning
:
Bagian dari keuntungan perusahaan setelah dipotong pajak penghasilan yang tidak dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen.
Risk
:
Variasi kemungkinan kejadian yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.
Risk Averter
:
Investor yang tidak menyukai risiko atau menghindari risiko.
Risk Free Rate
:
Tingkat keuntungan bebas risiko.
Risk Premium
:
Tambahan expected return dari risk free return akibat adanya tambahan risiko (sesuai prinsip high riskhigh return).
Risk Taker
:
Pengambil risiko.
Riskless Asset
:
Aktiva bebas risiko.
Risky Assets
:
Aktiva berisiko.
Semi Strong Form EMH
:
Jika harga mencerminkan informasi harga historis plus informasi yang tersedia bagi publik.
Shareholders
:
Pemegang saham perusahaan.
Signaling Dividend Model
:
Informasi tentang dividen yang dibayarkan digunakan oleh investor sebagai sinyal perusahaan di masa akan datang.
Signaling Theory
:
Pihak eksekutif perusahaan memiliki informasi lebih baik mengenai perusahaannya akan terdorong untuk menyampaikan informasi tersebut kepada calon investor agar harga saham perusahaannya meningkat.
Size of The Firm
:
Cerminan besar kecilnya perusahaan yang nampak dalam nilai total aktiva perusahaan dalam neraca pada akhir tahun.
Spontaneous Financing
:
Jenis pendanaan yang berubah secara otomatis dengan berubahnya tingkat kegiatan perusahaan.
Sticky
:
Stabil atau tidak berluktuasi.
Stock Dividend
:
Pembayaran kepada para pemegang saham biasa berupa tambahan jumlah lembar saham.
Stock Split
:
Peningkatan jumlah saham beredar dengan mengurangi nilai nominal (nilai pari) saham tersebut.
Strong Form EMH
:
Jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh informasi yang ada, baik harga sekuritas masa lalu, informasi yang tersedia bagi publik, maupun informasi yang bersifat privat.
Subsidiary
:
Perusahaan yang dibeli sahamnya (cabang).
Tobin’s Q
:
Perbandingan antara nilai pasar perusahaan dengan nilai buku total aktiva.
Trade off Theory
:
Model struktur modal yang mempunyai asumsi bahwa struktur modal perusahaan merupakan keseimbangan antara keuntungan penggunaan utang dengan biaya inancial distress dan agency cost .
Weak Form EMH
:
Jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh informasi harga di masa lalu, sehingga upaya investor untuk memperoleh excess return dengan memanfaatkan data harga di masa lalu adalah sia-sia (harga adalah random walk ).
Weighted Average Cost of Capital (WACC)
:
Mencerminkan rata-rata biaya modal yang diharapkan di masa akan datang.
Windows Dressing
:
Membuat keuangan dari sebuah perusahaan terlihat lebih baik dari sebenarnya.
INDEKS
A
Abnormal Return 108, 146 Additional Risk 78, 79, 80, 100 Adverse Selection 99 Agency Conlict 13, 141 Agency Cost 13, 82, 90, 91 Agency Problems 13 Agency Theory 16, 90, 143, 144, 152 Assets 4, 5, 9, 15, 23, 24, 25, 27, 31, 43, 48, 49, 51, 78 Asymmetric Information 17, 18, 87, 93, 95, 96, 145, 146 B
Balance Sheet 25, 28, 43, 77, 94 Balance Theory 14, 87, 93 Bankers 41 Basic Corporate Finance Framework Benchmarking 41 Bondholders 30, 42, 87, 91 Business Risk 78
24
C
Capital Asset Pricing Model (CAPM) 15 Capital Gains 115, 116 Capital Structure 14, 76, 77, 84, 87, 89, 152 Clientele Effect 106 Contracting Theory 107 Corporate Strategy 156 Corporate Working Capital 43 Cost of Capital 31, 33, 77, 80, 85, 86, 149 Cultural Shock 132 Current Assets 5, 9, 27, 43
D
Debt Financing 11, 79, 80, 98, 99 Discounted Cash Flow 14 Dividend 5, 15, 97, 106, 107, 109, 110, 114, 115, 116, 117, 118 Dividend is Puzzle 107 Dividend is Sticky 106, 110 Dividend Payout Ratio 109, 110, 115 Dividend Policy 106, 110, E
Earning per Share 8, 9 Earnings 41, 44, 79, 97, 98, 106, 114, 117, 127 Economics of Scale 126 Economic Value Added 160 Eficient Market Hypothesis 15, 16 Equity 5, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 32, 33, 34, 43, 44, 49, 50, 51, 53, 54, 77, 79, 80, 81, 82, 86, 89, 90, 97, 99, 100, 127, 141, 143 Equity Agency Conlict 141 Exchange Rate 22, 31 Expectation Theory 143, 144, 145 F
Financial Behavior 18
Financial Distress 3, 14, 81, 82, 84, 87, 88, 89, 95, 124 Financial Leverage 78, 83 Financial Market 5, 96, 146 Financial Risk 78, 79 Financial Statement 25, 41 Financial Structure 76, 77 Fixed Assets 5, 9, 43
H
Holding Company 125, 126, 127 I
Interest Tax Shield 81, 100 Investment Scanning 24 K
Kebijakan Dividen
15, 106, 108, 109, 110, 111, 113
L
Leverage 46, 48, 49, 50, 51, 78, 82, 83, 85, 86,, 126, 127 Leverage Buy Out 127 M
Managerial Finance 4, 6 Market Failure 95, 96, 145, 146 Market Forces 13 Market Risk 78 Merger dan Akuisisi 124, 128, 134, 136, 138, 139, 149 Merger Horisontal 126, 136 Merger Vertikal 125 N
Numerics
40
O
Option Pricing Theory 15 Owners 5, 31
P
Pecking Order Theory 95, 97 Perfect Capital Market 14 Perfect Capital Market 78, 84 Perquisite Motive 17 Price Earning Ratio 8 Proitability Ratio 42, 51 R
Realized Retur n 10 Residual Dividend Policy 106 Retained Earning 5 Risk 8, 10, 11, 28, 31, 32, 77, 78, 79, 80, 86, 100, 142, 144, 145 Risk Bearing 10, 31 Risk Free Rate 32 Risk Premium 32 Risk Taker 144 Risky Assets 15, 31 S
Shareholders 4, 5, 8, 9, 10, 12, 16, 27, 30, 31, 90, 91, 92 Size of the Firm 109 Spontaneous Financing 76 Sticky 97, 106, 110 Stock Dividend 116, 118 Stockholders 42 Stock Split 106, 116, 118 Subsidiary 125 T
Tax Shield 14, 81, 84, 85, 100, 109, 141 Tobin’s Q 159 Trade Off Theory 14, 97