COVER DEPAN
ii
Akuntansi Syariah 2013 B IS...
iii
“Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat, sebab diantara bentuk kebodohan, engkau memburu seekor rusa, lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja”
iv
Edisi Cetakan ke-1, Desember 2016 Penulis: AS 2013 B Research Team Editor: Halimatussa’diah Rio Martin Ade Putra
Desain Cover & Layout: Nasiha Sakina Ramadhanikar Ria Ananda Ariana Penerbit: Kelas AS 2013 B Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI Jl. Raya Bojongsari, Pondok Rangga, Curug, Bojongsari, 16517, Depok, Jawa Barat. Telp: (0251) 861 6655 Email:
[email protected] Media sosial: facebook.com/AS 2013 B Web: www.as2013bsteisebi.wordpress.com
v
........................................................................................ vi ............................................................................ ix ............................................................................................. xi AUDIT SYARIAH DAN PERKEMBAGANNYA ....................................... 1
Landasan Teori & Dasar Hukum Audit Syariah ..................... 2
A. a.
Sejarah Auditing................................................................... 2
b.
Pengertian Auditing ............................................................. 3
c.
Sejarah Auditing Syariah ...................................................... 4
d.
Definisi Auditing Syari’ah .................................................... 7
e.
Dalil-Dalil Auditing Syari’ah................................................ 8 a) Al-Qur’an .......................................................................... 8 Hadits ............................................................................. 12
b) B.
Sejarah Perkembangan Audit Syariah dan Audit Konvensional 15
a.
Perkembangan Pengauditan di Indonesia ........................ 15
b.
Sejarah Audit Syariah Umum............................................. 20
c.
Sejarah Audit Syariah di Indonesia .................................... 24
C. Persamaan dan Perbedaan Audit Syariah dan Audit Konvensional ................................................................................. 30 a.
Standar ............................................................................... 30
b.
Ruang Lingkup .................................................................. 34
c.
Karakteristik Auditing Syariah ........................................... 37 vi
PENGAWASAN SYARIAH DAN DPS ................................................. 42
Pengawasan ........................................................................... 43
A.
Pengertian Pengawasan Menurut Para Ahli ...................... 43
a. 1)
Sarwoto ........................................................................... 44
2)
S.P. Siagian ..................................................................... 45
3)
Soekarno K. .................................................................... 45
4)
M. Manullang ................................................................. 46
5)
George R. Terry .............................................................. 46
6)
Henry Fayol.................................................................... 46 Pengertian Pengawasan Menurut Islam ............................ 52
b.
c. Pengawasan Dalam Konteks Ekonomi (Lembaga Keuangan Syariah)..................................................................... 57 Dewan Pengawas Syariah (DPS) ........................................... 65
B. a.
DPS Dalam Pandangan Para Ahli ..................................... 65
b.
Hubungan Pengawasan Syariah dan DPS......................... 68 1)
Pengawasan Syariah Secara Umum ............................... 68
2)
Pengawasan Syariah dan Dewan Pengawas Syariah ..... 70 Model DPS di Indonesia .................................................... 72
c. 1)
Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia 72
2)
Model Pengawasan Syariah Level Mikro ....................... 74
3)
Model Pengawasan Syariah Level Makro ...................... 78
d.
Fungsi DPS ........................................................................ 80
e.
Tugas dan Wewenang DPS Secara Umum ....................... 85
f.
Laporan Audit DPS ............................................................ 92 vii
g.
Masalah dan Tantangan DPS di Indonesia ....................... 97
MODEL PENGAWASAN SYARIAH DI MALAYSIA ............................ 104 MODEL PENGAWASAN SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA ............ 113
A.
Model Pengawasan Syariah di Mesir ................................... 114
B.
Model Pengawasan Syariah di Inggris ................................ 117
C.
Model Pengawasan Syariah di Qatar ................................... 122 a.
D.
Model Pengawasan Syariah Level Makro di Qatar.......... 124 Model Pengawasan Syariah di Iran ................................. 128
a.
Market Share Perbankan Syariah Iran ............................. 129
b.
Legalitas Hukum Perbankan Di Iran .............................. 130
c.
Model Pengawasan Syariah Iran ..................................... 132 Model Pengawasan Syariah di Yaman ................................ 139
E. a.
Struktur Organisasi SSBs di Yaman ................................ 140
b.
Proses dan Prosedur Pengawasan Syariah ...................... 141 Model Pengawasan Syariah di Pakistan .............................. 142
F. a.
Level Makro ..................................................................... 142
b.
Level Mikro ...................................................................... 144
REVIEW ARTIKEL ......................................................................... 147
DPS dan Audit Bank Syariah ...................................................... 148 Standar Kompetensi Auditor Syariah .......................................... 153 Analisis Praktek Audit di Malaysia ............................................. 159 ........................................................................................... 165 .......................................................................... 171
viii
Bismillahirrahmanirrahiim Alhamdulillah, Segala Puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan nikmat dan inayah-Nya sehingga buku ‘Gak Paham Audit Syariah’ ini dapat ditulis. Buku ini ditulis sebagai penambah khazanah keilmuan tentang audit syariah. Buku ini mengupas lebih jauh tentang apa itu audit syariah, bagaimana sejarah dan perkembangannya, teori dan literatur tentang pengawasan syariah dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan mekasnisme model pengawasan di Indonesia maupun di beberapa negara terpilih. Buku ini cocok untuk dijadikan sebagai panduan oleh mahasiswa
maupun
masyarakat
luas
yang
memang
membutuhkannya. Di antara refrensi yang juga masih sulit ditemukan, khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi mengenai audit syariah, maka buku ini Insya Allah dapat menjadi referensi. Oleh karena itu, buku ini
dibuat untuk mendukung kajian tentang audit syariah di Indonesia yang masih belum banyak dilakukan penelitiannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat terkhusus untuk mahasiswa. ix
Berbagai kekurangan mungkin akan ditemukan dalam buku ini. Kritik dan saran sangat diharapkan bagi penyempurnaan buku ini di masa depan. Kepada seluruh pihak yang mendukung penulisan buku ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Depok, 20 Desember 2016
AS 2013 B Research Team
x
Konsep keuangan berbasis syariat Islam ( Islamic Finance ) dewasa ini telah tumbuh secara pesat, diterima secara universal dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika. Perkembangan industri keuangan syariah yang cukup pesat ini, tidak menjamin tumbuhnya kepercayaan dari masyarakat secara instan bahwa institusi yang mencantumkan brand syariah telah terjamin kesyariahannya . Perlu dilakukan sebuah audit atau evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan apakah institusi terkait telah memenuhi shariah compliance (kepatuhan syariah) atau malah dapat dikatakan mirip dengan perusahaan konvensional pada umumnya. Hasil dari evaluasi secara menyeluruh tentunya akan membantu membangun kepercayaan dari masyarakat dan para stakeholder serta meningkatkan nilai perusahaannya. Seiring dengan kebutuhan audit shariah compliance di industri keuangan syariah, maka muncul fungsi audit baru yaitu audit syariah. Idealnya audit syariah dilakukan oleh auditor syariah yakni seseorang dengan kompetensi yang integratif antara syariah dan bisnis industri kontemporer secara mendalam. Karena pada dasarnya, proses audit syariah tidak hanya dilakukan berdasarkan standar regulasi tetapi juga standar dan prinsip syariah. Audit syariah tidak hanya mengungkapkan akuntabilitas kepada para xi
pemangku kepentingan saja, tapi juga kepada Sang Khaliq , Allah s.w.t. Buku yang disusun oleh rekan-rekan AS 2013 B ini secara komprehensif berusaha memberikan gambaran tentang auditor syariah di berbagai belahan dunia. Buku ini diharapkan menjadi pelengkap kajian-kajian keuangan Islam yang sedang menjadi topik utama di kalangan para ekonom, selain itu semoga buku ini menjadi referensi pengetahuan perkembangan dan isu aktual auditor syariah dalam perspektif regional maupun global. Selamat membaca. Semoga bermanfaat!
xii
AUDIT SYARIAH DAN PERKEMBAGANNYA
1
A. Landasan Teori & Dasar Hukum Audit Syariah a. Sejarah Auditing Sebelumnya audit sudah ada dan dilakukan pada zaman metropolitan dengan adanya bukti yaitu berupa simbol-simbol pada angka-angka transaksi keuangan. Penguasa Mesir purba melakukan pememeriksaan independen atas catatan penerimaan pajak. Orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening
pejabat
publik.
Dan
orang-orang
Romawi
membandingkan antara pengeluaran dengan otoritas pembayaran, sementara para bangsawan di Inggris menunjuk auditor untuk melakukan review atas catatan akuntansi dan laporan yang telah disiapkan
oleh
pelayan
mereka.
Pada
abad
ke-19
audit
diperkelankan ke Amerika Utara oleh Inggris. Pada abad ke-19 ini terjadi keragaman dalam penerapan dan pelaksanaan audit. Di Inggris ada undang-undang yang harus dipatuhi oleh perusahaan publik yaitu kewajiban perusahaan publik untuk di audit, undangundang tersebut dinamakan Companiest Act . Sedangkan di Amerika tidak ada aturan yang mewajibkan perusahaan publik untuk di audit. Hingga ke abad-20 jumlah perusahaan industri berkembang dengan pesat dan para pemegang saham mulai menyadari manfaat
2
dari audit. Sehingga mereka beranggapan bahwa audit report adalah jaminan keakuratan laporan keuangan 1.
b. Pengertian Auditing Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahwa bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh orang yang independen dan kompeten2. Proses auditing sangat penting karena dengan proses audit tersebut seorang akuntan publik dapat memberikan pernyataan pendapat tentang kewajaran atau kelayakan laporan keuangan berdasarkan standar audit yang berlaku. Berikut beberapa pendapat tentang pengertian auditing: Definisi Auditing menurut A Statement of Basic Auditing Concept (ASOBAC) yaitu suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara obyektif mengenai asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk memutuskan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang
1
Karo-karo Surbakti, Rizal Hasibuan. 2011. Pemerikaan Akuntansi Di Indonesia. Medan: Universitas Medan 2 Arens, Loebbecke. 1996. Auditing Pedekatan Terpadu . Jakarta: Salemba Empat 3
telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan3. Pengertian Auditing menurut Mulyadi (2013:9) yaitu suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan keterjadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan4. Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses sistematis dengan cara memperoleh dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan informasi tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen, kemudian pernyataan-pernyataan tersebut dilaporkan sesuai dengan kewajaran dan kelayakannya.
c.
Sejarah Auditing Syariah Auditing syari’ah adalah, sesuatu yang muncul seiring dengan
lahirnya Sistem Akuntansi Syari’ah. Dinyatakan dalam akuntansi
syariah itu sendiri lahir akibat dari sebuah pandangan bahwa, sistem akuntansi konvensional tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dimana akuntansi konvensional, hanya memiliki satu tujuan, yaitu 3http://e-journal.uajy.ac.id/2607/3/2EA15023.pdf 4
http://eprints.polsri.ac.id/2611/2/BAB_II.pdf 4
mengabdikan diri pada kepentingan pemilik modal. Yang menjadikan tugas moral dari perusahaan terbatas pada mencari laba, tanpa harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, masyarakat, moralitas dan sebagainya. Atas dasar tersebut, lahirlah akuntansi syari’ah yang menjunjung tinggi nilai moral, keadilan,
dan kesejahteraan umat. Bukan saja dari aspek material, tetapi juga moral. Bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat.5 Namun, jauh sebelum adanya istilah auditing syari’ah, sudah
ada sebuah lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap kepatuhan syari’ah, yang ruang lingkup pengawasannya lebih luas
dan kaffah , sistem tersebut adalah Hisbah . hisbah itu sendiri adalah sebuah tugas keagamaan yang masuk ke dalam cakupan sistem amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu
Khaldun. Seseorang yang menjalankan tugas keagamaan tersbut (yang kemudian disebut muhtasib ), bertugas mempelajari dan menangani berbagai perselisihan yang munculyang membutuhkan petunjuk-petunjuk pembuktian, seperti kasus-kasus penipuan, Tadlis (menyembunyikan
cacat,
kurangnya
informasi),
dan
kecurangan pada penimbangan atau takaran. Seorang muhtasib juga
5Sofyan
Syafri Harahap, Auditing dalam Perspektif Islam, (Jakarta:PT Quantum Press, 2002), 4. 5
bertanggung jawab terhadap ketertiban umum, etika dan tata krama, serta keamanan dijalanan, dan di pasar-pasar.6 Tugas dan kewajiban muhtasib dalam ruang lingkup amar ma’ruf nahi munkar hampir mencakup setiap aspek dalam kehidupan,
diantaranya adalah, berkaitandengan
penanganan terhadap perkara-perkara yang
masyarakat
banyak
atau
individu,
seperti
penanganan terhadap perilaku meninggalkan kewajiban-kewajiban umum agama, perilaku meninggalkan syiar-syiar agama dan yang lainnya, menangani kondisi terbengkalainya fasilitas dan prasarana umum berupa masjid dan jalan. Menangani perilaku mengulur dan menunda-nunda penunaian hak dan utang, menangani dan mengasuh anak-anak terlantar, serta memerintahkan untuk menikahkan pemuda dan pemudi7. Dapat disimpulkan bahwa, sistem pengawasan kepatuhan syariah bagi lembaga keuangan syariah saat ini, yang kita kenal dengan
auditing
syari’ah,
adalah
cikal -bakal
dari lembaga
pengawasan yang sudah ada pada masa permulaan Islam, yaitu hisbah . Dimana hisbah memiliki cakupan pengawasan yang lebih
luas dan menyuluruh.
6
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu : Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 255. 7Ibid. 6
d. Definisi Auditing Syari’ah Secara mendasar, definisi audit syariah memiliki pengertian yang hampir sama dengan audit konvensional, namun, audit syariah memiliki makna yang lebih spesifik yaitu, pengawasan terhadapa kepatuhan syariah yang harus dipenuhi oleh lembaga keuangan syariah. Menurut
Syarikah
al-Rajhi
al-Masrafiyyah
lil
Istismar dalam alrajhibank.com, mendefinisikan audit syariah
sebagai, Pihak yang memastikan sejauh mana sesebuah institusi kewangan
Islam
mematuhi
syariah
Islam,
berdasarkan
keputusanyang dibuat oleh Majlis Pengawasan Syariah institusi. 8 Di dalam Islam sendiri pengertian audit berdasarkan AAOIFI-GSIFI, bahwa audit syariah adalah, laporan internal syariah yang bersifat independen atau bagian dari audit internal yang melakukan pengujian dan pengevaluasian melalui pendekatan aturan syariah, fatwa-fatwa, instruksidan lain sebagainya yang diterbitkan fatwa IFI dan lembaga supervise syariah.
8http://www.alrajhibank.com.sa/AR/SideNav/Shariah+Group/Shariah+Contr
ol+Dept/Shariah+Control+Dept.htm, dirujuk pada 1/11/2007. Dalam Mohd Zamerey bin abdul razak, dan Nurmaezah binti Omar, Audit Syariah dalam Institusi Kewangan Islam di Malaysia). 7
e.
Dalil-Dalil Auditing Syari’ah a) Al-Qur’an 1) Surat Ali Imran Ayat 104 “ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung ”
Dalam kitab (Sayyid, 2003, hal. 347-348) dijelaskan bahwa, maksud dari ayat diatas adalah, keharusan atas adanya kekuasaan di muka bumi, yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah
kemunkaran. Hal yang menegaskan keharusan adanya kekuasaan adalah, makna yang terkandung terkandung didalam nash alQur’an itu sendiri. Disana ada kata “menyeru” kepada kebaikan. Tetapi, disana juga ada kata “memerintahkan” yang ma’ruf dan “melarang” kemunkaran. Jika “seruan” bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan, tetapi “memerintah dan melarang”,
tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan. Maka dapat diketahui bahwa, sebuah lembaga, aturan, atau sebuah sistem yang berfungsi dalam pelaksanaan “memerintahkan
yang ma’ruf dan melarang yang munkar ” sangat diperlukan. Seperti hal nya sistem pengawasan, atau pengendalian kepatuhan syariah, dalam lembaga keuangan syariah. Sistem tersebut, hari ini biasa kita sebut dengan auditing/pengawasan syariah, dimana terdapat 8
orang-orang yang memiliki wewenang khusus terhadap hal tersebut. 2) Surat Al-Hujurat Ayat 6 “Wahai orang -orang yang beriman jika ada seorang fasiq datang
keapdamu dengan membawa berita, maka carilah kebenaran berita itu supaya kamu (tidak) menimpakan (tuduhan) kepada suatu kaum dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang kamu perbuat”.
Dalam tafsir (Ash-Shabuni, 2003, hal. 108) dijelasakan bahwa salah satu makna dari ayat tersbut yaitu keharusan mengecek kebenaran berita, sekaligus larangan berpegang pada omongan orang-orang
yang fasiq yang
justru
banyak
menimbulkan
kerusakan. Dapat disimpulkan bahwa, dalam konteks audit syariah, pemeriksaan, dan peninjauan kembali terhadap laporan keuangan, dan sumber informasi lembaga keuangan syariah lainnya menjadi sangat penting. Mengingat keduanya adalah laporan primer dari kegiatan sebuah lembaga keuangan. 3) Surat Al-Insyiqaq Ayat 6-9 “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh -
sungguh menuju tuhanmu, maka kamu pasti akan menemui-Nya. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan 9
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama- sama beriman) dengan gembira”.
Dari ayat diatas dengan melihat arti zhahir nya, dapat disimpulkan bahwa, Allah akan menghisab manusia dihari akhir. bagi orang-orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan dihisab dengan mudah, dan akan diberikan kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan sebuah proses audit. 4) Surat al-Infithar ayat 10-12 “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat -malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia di sisi allah, dan yang mencatat pekerjaan- pekerjaanmu itu. mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam (sayyid, 2011, hal. 202) dijelaskan bahwa, setiap dari manusia memiliki pengawasnya, yaitu ruh-ruh yang ditugaskan untuk selalu menyertai dan mengawasi manusia, serta menghitung segala sesuatu yang timbul dari manusia. Ruh-ruh tersebut adalah malaikat. Beranjak dari makna ayat tersebut, sejatinya segala sesuatu membutuhkan sebuah pengawasan. Termasuk pengawasan terhadap kepatuhan syari’ah dalam lembaga keuangan syari’ah.
5) Surat An-Naml Ayat 20-21 “Dan dia memeriksa burung -b urung lalu berkata, ‘mengapa aku tidak
melihat Hudhud, apakah ia termasuk yang tidak hadir? Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar 10
menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”.
Dijelaskan bahwa, ketika itu Nabi Sulaiman a.s menginspeksi pasukan, dan ia tidak menemukan burung hud-hud. Dimana ketidakhadiran hud-hud dapat dikenakan sanksi oleh Nabi Sulaiman a.s berupa hukuman berat (Quthb, 2004, hal. 395). Konsep pengawasan dan pengecekan dalam ayat ini juga menjadi landasan lahrinya audit syariah. 6) Surat Al-Hasyr Ayat 18 “Wahai orang -orang yang beriman! Bertakwalah kepada allah dan
hendaklah setipa orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada allah. Sungguh, allah mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Dijelaskan bahwa, kalimat ini hanya dengan sekedar terlintas dalam hati saja, terbukalah dihadapan manusia lembaran amalamalnya bahkan lembaran seluruh kehidupannya. Manusia pasti akan mengarahkan pandangannya kepada segala kata katanya untuk merenungkan dan membayangkan hisab amalnya beserta perincian-perinciannya satu persatu, guna menlihat dan mengecek apakah yang telah dia persiapkan untuk menghadapi hari esok (Quthb, 2004, hal. 221). Dari ayat diatas dapat kita ketahui
11
bersama bahwa dalam Islam adanya suatu perintah terhadap sebuah pengecekan yang terperinci untuk kebaikan. 7) Surat Yusuf Ayat 76 “Maka mulailah dia memeriksa karung -karung saudaranya sendiri,
kemudian dia mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudara- saudaranya. Demikianlah kami mengatur (rencana) untuk yusuf. Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali allah menghendakinya. Kami angkat derajat orang yang kehendaki; dan diatas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui”.
Arti zhahir dari ayat diatas, dapat diketahui bersama bahwa adanya sebuah pemeriksaan dan pengecekan yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihi salam. b) Hadits Ali radiyallahu ‘anhu berkata : “ Ra sulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami agar memeriksa mata dan telinga, dan agar kami tidak mengurbankan hewan yang buta, yang terpotong telinga bagian depannya atau belakangnya, yang robek telinganya, dan tidak pula yang ompong gigi depannya”. (Riwayat Ahmad dan Imam empat, Hadits
shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim) Hadits No. 1380 (al-Asqalany, 2008). “Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah ia
merubah dengan tangannya; bila ia tidak mampu, maka dengan lisannya; 12
dan kalau tidak mampu maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)9
Hadis riwayat Abdurrahman bin Auf ra., ia berkata: “Ketika aku tengah berdiri dalam barisan pada hari perang Badar, aku menoleh ke kiri dan ke kanan, ternyata aku diapit oleh dua orang anak muda Ansar yang masih belia. Lalu aku berangan-angan mengharap agar aku berada di tengah prajurit yang lebih kuat dari mereka. Kemudian salah seorang dari mereka mengisyaratkan dengan kedipan mata kepadaku dan bertanya: Wahai paman, apakah kamu mengenali Abu Jahal? Aku menjawab: Ya, tapi apakah urusan mu dengan dia, wahai anak muda? Dia menjawab: Aku diberitahu bahwa ia pernah menghina Rasulullah saw. Demi Tuhan Yang jiwaku berada di tangan-Nya, bila aku melihatnya, maka aku tidak akan melepaskannya sehingga salah seorang di antara kami ada yang mati terlebih dahulu. Aku kagum sekali dengan
keberanian anak muda itu. Lalu
pemuda yang satu lagi mengedipkan mata juga kepadaku dan mengatakan hal yang serupa. Tidak lama kemudian aku telah melihat Abu Jahal bergerak di tengah-tengah kecamuk perang, lalu aku bertanya: Tidakkah kalian berdua telah melihat musuh yang kalian tanyakan tadi? Lalu mereka berdua segera berlomba-lomba kearah Abu Jahal, lalu menikam dengan pedang sehingga mereka berdua berhasil membunuhnya. Mereka berdua kemudian balik menemui Rasulullah saw. Untuk memberitahukan beliau. Terjemah A’rbain Nawawi Bahasa Indonesia :pdf (Surabaya: AW Publisher,2005),h.39 9Hadits
13
Rasulullah saw. lalubertanya: Siapakah di antarakamuberdua yang telah membunuhnya? Keduanya menjawab: Akulah yang telah membunuhnya! Rasulullah saw. Bertanya lagi: Apakah kalian berdua telah membersihkan pedang? Mereka menjawab: Tidak! Rasulullah pun segera memeriksa pedang mereka, lalu bersabda: Kamu berdua telah membunuhnya. Namun Rasulullah saw. Memutuskan harta rampasan dari Abu Jahal untuk Mu`adz bin Amru bin Jamuh. Dan dua orang pemuda itu adalah Mu`adz bin Amru bin Jamuh dan Mu`adz bin Afra' “. (Shahih Muslim
No.3296)10
10
Shahih Muslim : Pdf, (Da’wah Rights:2010),h.1716 -1717 14
B. Sejarah Perkembangan Audit Syariah dan Audit Konvensional a. Perkembangan Pengauditan di Indonesia Profesi Auditor di Indonesia masih tergolong baru. Pada masa penjajahan Belanda, jumlah perusahaan di Indonesia belum begitu banyak, sehingga Auditor dengan sendirinya hampir tidak dikenal. Perusahaan-perusahaan
milik
Belanda
yang
beroperasi
di
Indonesia pada waktu itu, mengikuti model pembukuan seperti yang berlaku di negaranya. Situasi seperti itu berlangsung hingga Indonesia merdeka. Auditor baru mulai dikenal di Indonesia setelah tahun 1950-an, yaitu ketika semakin banyak perusahaan didirikan dan auditor sistem Amerika mulai dikenal, terutama melalui pendidikan di perguruan tinggi. Perkembangan auditor di Indonesia terjadi pada tahun 1973, yaitu ketika Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menetapkan Prinsipprinsip Akuntan Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Auditor (NPA). Selain itu perkembangan yang terjadi dalam dunia perbankan sejak tahun 1988 semakin menuntut dilakukannya audit atas laporan keuangan bagi perusahaan-perusahaan yang akan mengajukan permohonan kredit ke bank. Pada tahun 1995 lahir Undang-undang Perseroan Terbatas yang mewajibkan suatu perseroan terbatas menyusun laporan keuangan dan jika perseroan 15
merupakan perusahaan publik, maka laporan keuangannya wajib diaudit oleh auditor publik. Pada tahun yang sama Undang – Undang Pasar modal pun lahir juga. Seiring perkembangan perusahaan di Indonesia, IAI telah banyak melakukan penyempurnaan peraturan yang berlaku di Indonesia. Yang mana Indonesia saat itu berkibalat pada peraturan yang dibuat oleh Amerika Serikat. Pada tahun 1994 IAI melakukan penyusunan ulang prinsip audit dan standar audit yang disebut Standar Akuntan Keuangan (SAK) dan Standar Profesional Auditor Publik (SPAP). Sejalan dengan itu Dewan Standar Akuntan yang dibentuk IAI secara terus menerus menerbitkan Pernyataan Standar Akuntan Keuangan (PSAK). Seperti terjadi di Amerika Serikat seratus tahun lalu, fungsi pengauditan di Indonesia memasuki abad ke-21 ini masih belum dipahami masyarakat. Banyak kesalah pahaman yang terjadi atas laporan auditor, karena fungsi audit tidak dipahami dengan benar. Maka dari itu Pemerintah mulai memperkenalakan Auditor mulai dari SMA dan pengenalan Audit dilakukan di Perguruan Tinggi. a) Sejarah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
Akuntan Publik Indonesia (IAPI) atau Indonesian Institute of Certified Public Accountants (IICPA), mempunyai latar belakang
sejarah yang cukup panjang, dimulai dari didirikannya Ikatan 16
Akuntan Indonesia di tahun 1957 yang merupakan perkumpulan akuntan Indonesia yang pertama. Perkembangan profesi dan organisasi Akuntan Publik di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perkembangan perekonomian, dunia usaha dan investasi baik asing maupun domestik, pasar modal serta pengaruh global. Secara garis besar tonggak sejarah perkembangan profesi dan organisasi akuntan publik di Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh perubahan
perekonomian
negara
pada
khususnya
dan
perekonomian dunia pada umumnya. b) Ikatan Akuntan Indonesia – Seksi Akuntan Publik (IAISAP): 7 April 1977
Di masa pemerintahan orde baru, terjadi banyak perubahan signifikan dalam perekonomian Indonesia, antara lain seperti terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) serta berdirinya pasar modal. Perubahan perekonomian ini membawa dampak terhadap kebutuhan akan profesi akuntan publik, dimana pada masa itu telah berdiri banyak kantor akuntan Indonesia dan masuknya kantor akuntan asing yang bekerja sama dengan kantor akuntan Indonesia. 30 tahun setelah berdirinya IAI, atas gagasan Drs. Theodorus M. Tuanakotta, pada tanggal 7 April 1977 IAI membentuk Seksi Akuntan Publik sebagai wadah para akuntan 17
publik di Indonesia untuk melaksanakan program-program pengembangan akuntan publik. c) Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP): 1994
Dalam kurun waktu 17 tahun sejak dibentuknya Seksi Akuntan Publik, profesi akuntan publik berkembang dengan pesat. Seiring dengan perkembangan pasar modal dan perbankan di Indonesia, diperlukan perubahan standar akuntansi keuangan dan standar profesional akuntan publik yang setara dengan standar internasional. Dalam Kongres IAI ke VII tahun 1994, anggota IAI sepakat untuk memberikan hak otonomi kepada akuntan publik dengan merubah Seksi Akuntan Publik menjadi Kompartemen Akuntan Publik. d) Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI): 24 Mei 2007
Setelah hampir 50 tahun sejak berdirinya perkumpulan akuntan Indonesia, tepatnya pada tanggal 24 Mei 2007 berdirilah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai organisasi akuntan publik yang independen dan mandiri dengan berbadan hukum yang diputuskan melalui Rapat Umum Anggota Luar Biasa IAI – Kompartemen Akuntan Publik. Berdirinya InstitutAkuntan Publik Indonesia adalah respons terhadap dampak globalisasi, dimana Drs. Ahmadi Hadibroto 18
sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI mengusulkan perluasan keanggotaan IAI selain individu. Hal ini telah diputuskan dalam Kongres IAI X pada tanggal 23 Nopember 2006. Keputusan inilah yang menjadi dasar untuk merubah IAI – Kompartemen Akuntan Publik menjadi asosiasi yang independen yang mampu secara mandiri mengembangkan profesi akuntan publik. IAPI diharapkan dapat memenuhi seluruh persyaratan International Federation of Accountans (IFAC) yang berhubungan
dengan profesi dan etika akuntan publik, sekaligus untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh IFAC sebagaimana tercantum dalam Statement of Member Obligation (SMO). Pada tanggal 4 Juni 2007, secara resmi IAPI diterima sebagai anggota asosiasi yang pertama oleh IAI. Pada tanggal 5 Pebruari 2008, Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 mengakui IAPI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar
profesional
dan
etika
akuntan
publik,
serta
menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia.
19
b. Sejarah Audit Syariah Umum Audit dalam Islam bukanlah hal yang baru. Audit sudah muncul setelah munculnya lembaga keuangan syariah sekitar 1980 yang membutuhkan fungsi audit berdasarkan pada prinsip Islam, dalam sejarah Islam, pada masa nabi Muhammad SAW dan Khulafah rasyidin terdapat sebuah lembaga yang berfungsi seperti auditor, yaitu lembaga hisbah yang bertujuan untuk membantu umat manusia dalam beribadah kepada Allah dengan memastikan bahwa hak Allah maupun hak asasi manusia lainnya telah diperhatikan dan dilaksanakan dengan benar. Hisbah dimulai sejak adanya negara Islam di Madinah (Mardiyah & Mardian, 2015). Ketika itu Rasulullah sebagai kepala negara sekaligus Muhtasib. Beliau sering mengadakan inspeksi pasar dan mengontrol perilaku ekonomi masyarakat. Tugas itu diteruskan oleh para khalifah sesudahnya dan lembaga tersebut masih menyatu dengan lembaga kekhilafahan. pada masa Abu Ja’far al-Mansur pada tahun 57 H, lembaga hisbah dipisahkan dalam departemen tersendiri (Abul Khair, 1991:109). Jadi, audit sudah ada dalam Islam pada zaman Khulafa rasyidin. Setelah zaman Khulafa rasyidin mulailah timbul beberapa lembaga Audit syariah di Negara-negara di dunia. Diantaranya: Accounting & Auiditing Organization for Islamic 1) AAOIFI ( Financial Institutions ) 20
AAOFI adalah organisasi Islam non badan hukum nirlaba yang menyiapkan standar akuntansi, audit, pemerintahan, etika dan standar syariat Islam lembaga keuangan dan industry, AAOIFI didirikan sesuai dengan perjanjian asosiasi yang ditandatangani oleh lembaga-lembaga keuangan Islam pada 1 safar, 1410 H berkorespondensi dengan 26 februari 1990 di Aljazair. Kemudian terdaftar pada tanggal 27 maret 1991 di Negara bagian Bahrain. Sebagai organisasi internasional yang independen, AAOIFI didukung oleh kelembagaan anggota (200 anggota dari 45 negara) termasuk bank sentral, lembaga keuangan Islam, dan peserta lain dari industri perbankan Islam internasional dan keuangan, di seluruh dunia. AAOIFI telah memperoleh dukungan untuk memastikan pelaksanaan standar, yang sekarang diadopsi di kerajaan Bahrain, Dubai International Financial Centre , Yordania, Lebanon, Qatar, Sudan dan Suriah. Sedangkan negara Australia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, kerajaan Arab Saudi, dan Afrika Selatan telah mengeluarkan penduan yang didasarkan pada standar AAOIFI dan peryataan-peryataan, dengan kata lain ini seperti Fatwa Internasional. 2) IFSB ( Islamic Financial Services Board )
21
Di sela-sela sidang tahunan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April Ap ril 2002, telah disepakati akan dibentuk satu institusi keuangan Islam internasional. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pada tanggal 4 November 2002, delapan Gubernur Bank Sentral dari delapan negara Islam , ditambah dengan Presiden IDB, telah menandatangani pendirian Islami c Financial Services Board (IFSB) di Kuala Lumpur, Malaysia. Lembaga itu langsung dipimpin oleh seorang bankir senior yang berasal dari Sudan, Prof. Rifaat Ahmed Abdel Kari, Ph.D. Lembaga multilateral yang akan menaungi lembaga keuangan syariah di dunia itu, didirikan oleh Bank Sentral dan otoritas moneter dari Indonesia, Bahrain, Iran, Kuwait, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Sudan, dan Islami c Development Bank (IDB).
Kelahiran IFSB bukan gagasan liar yang muncul secara spontan dalam sidang tahunan IMF tersebut. Tapi, gagasan ini sudah dirintis sejak lama dan embrionya tumbuh pada Consultative Meeting for Islami c Financial Products, di Praha, Ceko,
23 September 2000. Dari situlah komitmen negara-negara pendiri semakin kuat hingga dibentuk Technical Committee untuk untuk
22
mewujudkan lembaga tersebut. Setelah melalui sejumlah pertemuan penting, akhirnya terwujud juga pada tahun 2002. Bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan syariah dunia, kehadiran IFSB ini memiliki arti sangat penting. Karena kini terdapat sekitar 200 lembaga perbankan Islam perbankan Islam yang sedang tumbuh di 48 negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Barat. Bank-bank tersebut mengelola aset sekitar $170 miliar. IFSB akan menyusun standar dan prinsip pokok pengawasan, pengaturan, dan penerapan syariah Islam oleh lembaga keuangan syariah di seluruh Indonesia. IFSB juga akan menjadi penguhubung sekaligus menjalin kerjasama dengan lembaga penetapan standar di bidang moneter dan stabilitas ekonomi. ekonomi. Diantara hal yang akan dilakukan yaitu penyusunan standar operasional yang selaras dengan Basel Accord II. Basel Accord II sendiri masih dalam tahap persiapan
akhir bagi pengimplementasian pada akhir tahun 2006, yang dikendalikan secara eksklusif oleh Bank for International Settlements (BIS) di Basel, Swiss. Intinya, fungsi IFSB seperti Bank for International Settlement (BIS).
Bagi Indonesia, keberadaan IFSB sangat strategis. Ini untuk menstandarisasi perbankan syariah dan lembaga 23
keuangan syariah di negeri ini sehingga standar operasi dan produknya sama secara internasional. Selain itu, melalui lembaga tersebut akan dapat dijalin kerja sama antar lembaga keuangan syariah di dunia.
c.
Sejarah Audit Syariah di Indonesia Audit merupakan dampak dari perkembangan aktivitas
keuangan. Adanya audit sangat mempengaruhi keberlangsungan usaha, dimana auditor sebagai pelaku audit berkewajiban memberikan
arahan-arahan
yang
tepat
terkait
solusi atas
permasalahan yang terjadi di suatu perusahaa per usahaan. n. Apakah selalu ada hubungan antara audit dengan akuntansi? Jawabannya adalah “Tidak”. Audit ada berbagai macam, dan tidak
semua tipe audit berhubungan dengan Akuntansi, namun jika lingkupnya audit laporan keuangan pastilah korelasi dengan akuntansi sangat erat. Maka dari itu perkembangan terkait regulasi akuntansi juga mempengaruhi perkembangan audit itu sendiri. a) Regulasi terkait Akuntansi Syariah.
Awal adanya PSAK Syariah yaitu pada tanggal 1 Mei 2002 telah disahkan PSAK No. 59 yang diterbitkan khusus untuk kegiatan atas transaksi syariah sektor perbankan syariah dan mulai berlaku pada 1 Januari 200311 dan pada bulan Juli 2003 Bank
11 PSAK
59 24
Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia menerbitkan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang berfungsi sebagai petunjuk yang mengatur secara teknis dan detail penjabaran PSAK No. 59 tentang Perbankan Syariah, agar lebih mudah menyusun laporan keuangan yang baik. Namun seiring berkembangnya praktek syariah, entitas syariah akan menuntut kebutuhan akuntansi, pada 18 Oktober tahun 2005 IAI merumuskan SAK Syariah yang berlaku umum dan disetujui pada tanggal 19 September 2006, lalu disahkanlah 6 PSAK Syariah bagi seluruh LKS pada tanggal 27 Juni 2007 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. Ke-enam PSAK Syariah tersebut yaitu12 : 1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (2001) 2. PSAK No. 101
: Penyajian Laporan Keuangan Syariah
3. PSAK No 102 : Akuntansi Murabahah (Jual beli) 4. PSAK No 103 : Akuntansi Salam 5. PSAK No 104 : Akuntansi Isthisna’ 6. PSAK No 105 : Akuntansi Mudarabah (Bagi hasil) 7. PSAK No 106 :Akuntansi Musyarakah (Kemitraan)
12https://goo.gl/9cuS4T
25
Langkah selanjutnya IAI mengeluarkan juga 3 Exposure Draft PSAK tambahan pada tanggal 26 Februari 2008 yaitu : 1. ED PSAK 107 tentang Akuntansi Ijarah 2. ED PSAK 108 tentang Akuntansi Penyelesaian Piutang Murabahah 3. ED PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infaq/ Sedekah Dan sampai saat ini setelah mengalami restrukturisasi terdapat 10 PSAK Syariah yaitu13 : 1. PSAK No 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah 2. PSAK No 102 : Akuntansi Murabahah (Jual beli) 3. PSAK No 103 : Akuntansi Salam. 4. PSAK No 104 : Akuntansi Isthisna’ 5. PSAK No 105 : Akuntansi Mudarabah (Bagi hasil). 6. PSAK No 106 : Akuntansi Musyarakah (Kemitraan). 7. PSAK No 107 : Akuntansi Ijarah 8. PSAK No 108 : Akuntansi Asuransi Syariah 9. PSAK No 109 : Akuntansi Zakat 10. PSAK No 110 : Akuntansi Sukuk b) Kompetensi Pendidikan Audit Pendidikan juga menjadi salah satu faktor peningkatan Audit
Syariah, dikarenakan tantangan yang menghambat perkembangan
13
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia 26
perbankan syariah yaitu dalam pemenuhan SDM, sama halnya dengan Malaysia, negara kita kekurangan SDM yang memadai, hal ini dikarenakan masih minimnya lembaga pendidikan yang menyediakan studi keuangan syariah. Untuk itu perlu dukungan dari kalangan akademisi untuk memfasilitasi hal tersebut agar menjadi solusi atas gap yang terjadi. Kendala yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap SDM dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Hal ini merupakan tantangan yang serius, mengingat pusat-pusat pendidikan dan pelatihan keuangan dan perbankan syariah berada di luar negeri seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Malaysia. Pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat pendidikan dan pe latihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. 14 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya dapat
berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk 14Dr.
Halim Alamsyah, Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia : Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015 27
mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah sehingga strategi ‘link and match’ dapat
dijalankan. Berikut ini adalah universitas-universitas yang diketahui oleh penulis menyediakan program studi akuntansi syariah yaitu UNY tidak ada matkul pendukung, seperti Fiqh Muamalah, UIN Walisongo Semarang 15, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syari`ah Bengkalis, STEI SEBI, STEI Tazkia. Namun hanya sedikit dari sekian banyak universitas penyedia program studi akuntansi syariah yang memberikan materi kuliah pendukung akuntansi syariah tersebut seperti Ushul Fiqh, Fiqh Muamalah dan sebagainya. Padahal dasar dari akuntansi yaitu kita perlu paham teori dasar dari transaksi itu sendiri, dimana setiap transaksi syariah memiliki perlakuan yang berbeda-beda. Penyusunan laporan keuangan yang kredibel dan akuntabel tidak cukup dengan adanya standar akuntansi saja, namun variabel pendukung seperti akuntan yang kompeten sangat dibutuhkan. Seperti yang materi yang dijabarkan sebelumnya SDM yang mumpuni sangat dibutuhkan, dan SDM tersebut langka.
15Uin-suka.ac.id
28
Salah satu cara meningkatkan kualifikasi dari akuntan yaitu dengan adanya sertifikasi profesional. Sertifikasi profesional yaitu suatu bentuk pengakuan atas ke-profesional-an seseorang terhadap bidang yang digelutinya. Sertifikasi akan menjadi daya jual, karena hal ini yang membedakan tingkat kualitas seseorang atas keahlian tertentu.16 IAI mengambil peluang tersebut dengan mengadakan Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah (USAS) dalam rangka meningkatkan konpetensi para profesional yang berkiprah di bidang Akuntansi syariah. Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah dilaksanakan pertama kali pada tahun 2008 merupakan ujian pertama dan satu-satunya diselenggarakan di Indonesia. Dalam tahun-tahun berikutnya direncanakan akan dilakukan ujian dalam 2 (dua) periode per tahun. Dengan adanya USAS, Indonesia telah mempunyai suatu ujian sebagai suatu sistem pembelajaran yang baku bagi mereka yang akan berpraktik di bidang Akuntansi Syariah. Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah merupakan suatu strategi pengembangan keilmuan
dan
penyesuaian
keahlian
dengan
Akuntansi
perkembangan
Syariah
dalam
ekonomi
rangka
syariah
di
Indonesia.17 16Nilna
Sabrina, Determinan Minat karyawan Bank Umum Syariah Untuk mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntansi 17Iaiglobal.or.id 29
Dalam penelitian Nilna Sabrina dalam Determinan Minat Karyawan Bank Umum Syariah Untuk mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntansi, dihasilkan bahwa mayoritas karyawan yang mengambil USAS
memiliki
background
pendidikan
dari
jurusan
ekonomi/akuntansi umum dan syariah. Hal ini disebabkan karena pengalaman belajar akan membentuk minat tersendiri untuk mengikuti USAS.
C. Persamaan dan Perbedaan Audit Syariah dan Audit Konvensional Audit syariah memiliki beberapa perbedaan dengan audit konvensional. Perbedaan yang secara umum diketahui adalah terkait objek, keberadaan DPS dan pelaku auditnya. Lebih dari itu, semuanya dianggap sama dengan audit secara umum. Oleh karenanya dalam buku ini akan dijelaskan perbedaan mendasar dari audit konvensional dengan audit syariah yang melingkupi beberapa aspek diantaranya adalah standar, ruang lingkup dan karakteristik.
a. Standar Standar yang digunakan untuk audit konvensional adalah standar yang dikeluaran oleh Ikatan Akuntan Indonesia, yang melingkupi18: 1) Persyaratan Kemampuan atau Keahlian 18IAI,
Standar Profesional Akuntan Publik, hlm. 210.1 30
“Staf yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara kolektif
memiliki kecakapan professional yang memadai untuk tugas yang disyaratkan ”.
Dengan standar ini, semua organisasi atau lembaga audit bertanggung jawab setiap audit dilaksanakan oleh staf yang secara kolektif memilki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk tugas audit tersebut. Staf tersebut harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang audit pemerintahan, tentang keadaan khas yang diaudit, serta kaitannya dengan sifat dari jenis yang dilaksanakan. a) Indepedensi “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan audit, organisasi
atau lemabaga audit dan auditor baik pemerintah maupun akuntan public, harus independen (secara organisasi maupun secara pribadi), bebas dari gangguan indepedensi yang bersifat pribadi dan yang dari luar pribadinya ekstern, yang dapat mempengaruhi independensinya, serta harus dapat mempertahankan sikap dan penampilan yang independen ”
Dengan standar umum kedua ini, organisasi atau lembaga audit dan para auditornya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, kesimpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari
31
audit dipandang tidak memihak oleh pihak ketiga yang memiliki pengetahuan mengenai hal itu. b) Penggunaan Kemahiran Secara Cermat dan Seksama Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. c) Pengendalian Mutu Setiap organisasi atau lembaga audit yang melaksanakan audit berdasarkan SAP ini harus memiliki sistem pengendalian intern yang memadai, dan sistem pengendalian mutu tersebut harus direview oleh pihak yang kompeten (pengendalian mutu ekstren)”. Sedangkan audit syariah mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI yang mencakup lima standar, yaitu: a) Tujuan dan Prinsip (Objective and Principles of Auditing) Tujuan audit konvensional pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku.19 Berbeda dengan tujuan audit konvensional, tujuan dari sebuah audit 19Ibid,
laporan
keuangan
entitas
syariah
yaitu
untuk
hlm. 110.1 32
memungkinkan auditor menyampaikan opini atas laporan keuangan tertentu dalam semua hal yang material dan sesuai dengan aturan dan prinsip Islam, AAOIFI, standar akuntansi nasional yang relevan, serta praktek di negeri yang mengoperasikan lembaga keuangan.20 Menurut
Rahman,
tujuan
audit
syariah
sebagaimana
konsepnya adalah untuk mengukur sejauh mana organisasi mematuhi aturan dan regulasi yang diberikan oleh Allah dan bukan sekedar untuk memastikan keadilan dan kebenaran laporan keuangan yang disiapkan manajemen.21 Adapun prinsip etika profesi meliputi, kebenaran, integritas, dapat
dipercaya,
keadilan
dan
kewajaran,
kejujuran,
independen, objekivitas, kemampuan professional, bekerja hati-hati, menjaga kerahasiaan, perilaku professional dan menguasai standar teknis22. d) Laporan Auditor (Auditor’s R eport) Menjelaskan terkait laporan auditor, mulai dari elemen dasar penyusun laporan auditor, acuan ASIFI dan standar nasional
20 AAOIFI, Accounting,
Auditing and Governance StandardsFor Islamic Financial Institution : Auditing, hlm. 4 21 Qonita Mardiyah & Sepky Mardian, Praktik Audit Syariah di Lembaga Keuangan Syariah Indonesia , hlm. 4 22 Akuntansi Syariah 2012 A, Jendela Auditing Syariah , hlm. 10 33
yang relevan atau praktik hingga uraian pekerjaan yang dilakukan auditor. 1) Ketentuan Keterlibatan Audit (terms of audit engagement) Standar ini menguraikan bahwa perjanjian antara auditor dengan klien telah disetujui, adanya surat penugasan audit, serta dokumen kontrak dan tanggung jawab auditor. 2) Lembaga Pengawas Syariah ( Shari’a Supervisory Board) Berisi penunjukkan, komposisi dan laporan DPS 3) Tinjauan Syariah (S hari’a Review) Shari'ah review merupakan sebuah pengujian yang luas dari
kepatuhan Syariah sebuah LKS, dalam seluruh kegiatannya. Pengujian ini meliputi penunjukan, persetujuan, kebijakan, produk, transaksi, memorandum (surat peringatan), dan anggaran dasar dari perserikatan, laporan keuangan, laporan (khususnya audit internal danpengawasan bank central), sirkulasi dan lain-lain.23
b. Ruang Lingkup Menurut Kasim dkk, ruang lingkup audit syariah bukan hanya terkait aktivitas ekonomi dan laporan keuangan manajemen namun juga mengaitkanpengaruh sosial dan lingkungan dalam proses pengauditannya hal ini tidak lepas dari hukum Islam yang memang 23 Ibid,
hlm. 11 34
secara luas mengatur setiap sendi kehidupan manusia dantujuan besarnya adalah mempertemukan antara konsep audit dengan maqosid syariah.24 Rahman (2012) menjelaskan bahwa, ruang lingkup dari audit syariah yaitu25:
a) Aspek syariah yang mempengaruhi laporan keuangan IFI b) Kepatuhan audit pada struktur organisasi, SDM dan sistem informasi c) Kepatuhan syariah pada fungsi manajemen risiko d) Efektivitas sistem pengendalian internal syariah e) Ketidakpatuhan syariah pada manajemen risiko f) Kecukupan proses tata kelola audit syariah Sedangkan ruang lingkup audit konvensional adalah26: a) Proses Sistematik Frasa sistematik menyiratkan bahwa wajib ada pendekatan yang terencana dengan baik untuk melakukan audit. Perencanaan
tersebut
melibatkan
pengumpulan
dan
pengevaluasian bukti secara objektif. b) Mencari dan Mengevaluasi Bukti Secara Objektif 24Qonita
Mardiyah & Sepky Mardian, Praktik Audit Syariah di Lembaga Keuangan Syariah Indonesia , hlm. 5 25 Akuntansi Syariah 2012 A, Jendela Auditing Syariah , hlm. 17 26https://googleweblight.com. Diakses pada 21 November 2016 pada 14.30 WIB 35
Frasa mencari dan mengevaluasi bukti secara objektif menegaskan bahwa auditing merupakan informasi yang akan dipakai oleh auditor untuk menentukan apakah asersiasersi yang sedang diaudit disajikan sesuai dengan standar yang ditetapkan. c) Asersi Tentang Tindakan dan Peristiwa Ekonomik Kata asersi memilki makna khusus dalam auditing, asersi adalah representasi atau pernyataan manajemen tentang peristiwa atau tindakan ekonomi entitas. Asersi tersebut berwujud catatan atau laporan keuangan. d) Taraf Hubungan Antara Asersi Dengan Kriteria yang Ditetapkan Dalam melaksanakan audit, haruslah ada informasi dalam format yang dapat diverifikasidan standar, sehingga auditor dapat mengevaluasi informasi tersebut. e) Mengkomunikasikan
Hasil
kepada
Pemakai
yang
Bersangkutan. Audit tidak hanya banyak gunanya hasil audit tersebut tidak disampaikan kepada pemakai yang bersangkutan, sehingga auditor perlu mengkomunikasikan hasil auditnya kepada pemakai yang bersangkutan.
36
c. Karakteristik Auditing Syariah27 Audit syariah memiliki karakteristik khusus, yakni keberadaan pemain utama atau pelaku inti yang melakukan perannya masingmasing, yaitu: a) Dewan Pengawas Syariah (DPS) Peran DPS dalam kerangka kerja audit dan governance secara keseluruhan termasuk ex-ante dan ex-post audit. Peran ex-ante yaitu untuk menyusun kebijakan dan pedoman yang harus diikuti manajemen dalam setiap kegiatannya, termasuk menyetujui produk. Peran ex-post yaitu untuk melakukan review syariah dengan pemeriksaan untuk memastikan bahwa aktifitas yang dilakukan LKS tidak berlawanan dengan prinsip syariah. Review syariah melibatkan 3 tahap: perencanaan dan perancangan prosedur review; eksekusi prosedur review dan menyiapkan serta menelaah kertas kerja; dan terakhir, pendokumentasian kesimpulan dan menghasilkan Laporan DPS. Ketika mengeksekusi prosedur review syariah, draft laporan dari auditor eksternal mengenai kepatuhan syariah diuji, dan laporan syariah internal dari auditor internal akan membantu DPS dalam pendokumentasian kesimpulan dan
27 Akuntansi
Syariah 2012 A, Jendela Auditing Syariah , hlm. 13 37
mengungkapkan
opini
syariah
dalam
laporan
yang
menyeluruh. Secara ringkas, review syariah adalah review menyeluruh yang tidak hanya berupa laporan keuangan tetapi juga termasuk kontrak, perjanjian dan tranksaksi untuk memastikan kepatuhan syariah dan menambah kredibilitas terhadap aktifitas manajemen. b) Auditor Eksternal Auditor eksternal dalam melakukan audit syariah memiliki peran khusus, yakni melakukan uji kepatuhan syariah. Proses audit yang dilakukan melibatkan struktur, dokumen terencana yang melibatkan beberapa tahapan perencanaan audit dan diakhiri dengan pengungkapan opini dalam bentuk laporan audit eksternal terkait apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan fatwa, aturan dan pedoman yang dikeluarkan DPS di LKS tersebut, standar akuntansi AAOIFI, dan standar akuntansi yang relevan serta praktik di negara bersangkutan. Dalam hal menyiapkan jaminan yang beralasan bahwa LKS telah sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang ditetapkan DPS, auditor harus mengumpulkan bukti audit yang tepat dan cukup.
Dalam
hal
pedoman
auditor
ketika
membuatjudgement apakah laporan keuangan LKS telah disajikan sesuai dengan prinsip dan aturan syariah, auditor 38
harus merujuk pada fatwa, aturan serta pedoman yang ditetapkan DPS. Meskipun begitu, auditor tidak diharapkan menentukan interpretasi aturan dan pedoman yang sudah ada. Oleh sebab itu, ketika melakukan audit seorang auditor akan memasukkan prosedur ke dalam pemeriksaannya untuk memastikan bahwa seluruh fatwa, aturan dan pedoman serta modifikasi yang memungkinkan untuk memunculkan fatwa, aturan dan pedoman telah diidentifikasi dan direview setiap periode dibawah pemeriksaan. Auditor akan mereview laporan yang diterbitkan DPS kepada LKS mengenai kepatuhan
syariah
maupun
pertemuan
DPS
untuk
memastikan bahwa keseluruhan produk yang ditawarkan sudah direview oleh DPS. Auditor juga harus memeriksa temuan dari semua reviewinternal yang dilakukan manajemen LKS, auditor internal, dan laporan atas review syariah internal. Auditor akan mengirimkan draft laporan dan kesimpulan yang berhubungan dengan kepatuhan syariah kepada DPS, dan bila draft
laporan
ketidaksesuaian
DPS dalam
mengindikasikan kepatuhan
bahwa
maka
terdapat
auditor
akan
menyesuaikan draftnya, memberikan penjelasan yang cukup terkait keadaan dan alasan terkait penyesuaian tersebut. c) Review Syariah Internal 39
Merujuk pada AAOIFI Governance Standards for IFI No. 3 (GSIFI 3), pekerjaan review syariah internal bisa dilakukan oleh departemen audit internal, yang berwenang menyediakan SDM yang independen dan berkualifikasi. Sebelum proses review dilakukan, manajemen menyiapkan berkas yang berisi tujuan, wewenang dan tanggung jawab lalu mengirimkannya kepada DPS untuk disetujui. Setelah berkas disetujui, Dewan Direktur akan memberikan berkastersebut kepada ketua review syariah internal yang akan menunjuk tim yang berkompeten dalam menjalankan tugas ini. Tim tersebut akan merencanakan setiap penugasan review dan dokumentasinya. Kemudian mereka akan mengumpulkan, menganalisa, dan menginterpretasikan semua hal yang berhubungan dengan tujuan dan ruang lingkup kerja, termasuk pemeriksaan dokumentasi, review analitis, nilainilai,diskusi dengan pihak manajemen dan observasi untuk mendukung hasil reviewnya. Kertas kerja dokumen akan disiapkan oleh tim dan akan dilihat oleh ketua tim, kemudian akan didiskusikan kesimpulan dan rekomendasinya bersama manajemen sebelum menerbitkan laporan tertulis akhir. d) Komite Audit dan Governance
40
Peran komite audit dan governance , yang diisi oleh direktur noneksekutif, dijelaskan secara detail dalam GSIFI No. 4 Bertanggungjawab atas pengecekan struktur dan proses pengendalian internal serta memastikan bahwa aktifitas LKS telah patuh terhadap syariah. Tugas komite ini juga termasuk review atas laporan yang dibuat oleh tim syariah internal dan DPS dalam memastikan tindakan yang patut sudah diambil.
41
PENGAWASAN SYARIAH DAN DPS
42
A. Pengawasan Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata awas, sehingga pengawasan merupakan suatu kegiatan mengawasi, yaitu meihat sesuatu dengan cermat dan seksama. Sedangkan istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controling yang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian.28 Pengawasan adalah suatu usaha sistematis menetapkan standar-standar dengan tujuan perencanaan, merancang bangun sistem,
umpan
balik
informasi,
membandingkan
kinerja
sebenarnya dengan standar-standar yang telah ditentukan terlebih dahulu. Dengan menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur kemudaratannya, serta mengambil tindakan yang diperlukan yang menjamin pemanfaatan penuh sumber daya yang digunakan secara efisien dan efektif dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.29
a. Pengertian Pengawasan Menurut Para Ahli Baik dalam lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, istilah pengawasan tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Akan tetapi untuk memberikan sebuah definisi, ternyata masing- masing dari ahli memiliki definisi yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari 28
legalstudies71.blogspot.com diakses pada 18 November 2016
29
www.seputarpengetahuan.com diakses pada 18 November 2016 43
definisi pengawasan yang diutarakan oleh banyak ahli manajemen, meskipun pada prinsipnya secara umum definisi tersebut memili subtstansi yang sama. Berikut pengertian pengawasan menurut para ahli manajemen30 : 1) Sarwoto Dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Organisasi dan
Management,
Sarwoto
memberikan
definisinya
tentang
pengawasan yaitu sebagai berikut: Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki. Dalam definisi tersebut, Sarwoto menyatakan secara eksplisit subyek yang melaksanakan pengawasan atau memiliki fungsi pengawasan yaitu manajer, sebagai standar atau tolak ukur adalah rencana
yang
ditetapkan
dan
atau
hasil
yang
dikehendaki. Sedangkan secara implisit, definisi pengawasan menurut Sarwoto tersebut menyatakan bahwa tujuan dari pengawasan
yaitu
mengusahakan
agar
pekerjaan-pekerjaan
terlaksana sesuai rencana. Jadi seluruh pekerjaan yang dimaksud adalah jenis sedang dalam pelaksanaan, bukan pekerjaan-pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan.
30
legalstudies71.blogspot.com diakses pada 18 November 2016 44
2) S.P. Siagian
Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Administrasi, S.P. Siagian menguraikan bahwa : Pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam definisi pengawasan menurut S.P. Siagian tersebut mempunyai ciri yang penting yaitu bahwa definisi pengawasan ini hanya dapat diterapkan bagi pengawasan terhadap pekerjaanpekerjaan yang sedang berjalan, tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang sudah selesai dilaksanakan. 3) Soekarno K. Dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Management,
Soekarno K memberikan definisi pengawasan sebagai berikut : Pengawasan adalah suatu proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan, agar apa yang harus dikerjakan, agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana. Soekarno K dalam memberikan definisi pengawasan lebih menekankan pengawasan sebagai proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan.
45
4) M. Manullang Dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Management, M.
Manullang mendefinisikan pengawasan sebagai berikut: Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjakan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya, dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai denagn rencana semula. 5) George R. Terry Menurut George R. Terry yang dimaksud dengan pengawasan
adalah, untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya, dan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana. 6) Henry Fayol Henry Fayol mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
pengawasan adalah: Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dengan instruksi telah digariskan. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan atau menentukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan tersebut. 7) Newman
46
Newman menyebutkan bahwa pengawasan adalah sesuai dengan rencana. Dari definisi pengawasan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa dalam definisi pengawasan terdapat dua bagian, yaitu : 1. Berupa inti atau wujud perbuatan dalam pengawasan. 2. Mengganbarkan
tujuan
yang
hendak
dicapai
oleh
pengawasan. Sedangkan definisi pengawasan yang lain diutarakan oleh Victor M. Situmorang, SH dan Jusuf Juhir, SH dalam bukunya yang berhudul Aspek Hukum Pengawasan Melekat, mereka mengatakan bahwa: Pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.Selain pengertian pengawasan di atas, para ahli lain juga mengemukakan pendapat mereka tentang pengawasan syariah, diantaranya yaitu:31 a) Pengertian pengawasan menurut Rahman Lubis adalah
proses
kegiatan
kesalahan,
31
untuk
kegagalan,
mengetahui untuk
hasil
pelaksanaan,
memperbaiki
kemudian
http://bayuberbagiilmu21.blogspot.co.id diakses pada 18 November 2016 47
mencegah sehingga pelaksanaannya tidak berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan. b) Pengertian Pengawasan menurut Sondang Siagian adalah
proses pengamatan keseluruhan kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang sebelumnya direncanakan. c) Pengertian Pengawasan menurut Stephen Robein adalah
memberikan sebagai proses mengikuti perkembangan kegiatan untuk menjamin jalannya pekerjaan, dengan demikian dapat selesai secara sempurna sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dengan pengoreksian beberapa pemikiran yang saling berhubungan. d) Pengertian pengawasan menurut Suyamto adalah
segala
kegiatan atau usaha untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah sudah terlaksana dengan semestinya atau tidak. e) George R. Tery (2006:395) mengartikan pengawasan sebagai
mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tidankan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
48
f) Robbin
(dalam
Sugandha,
menyatakan
1999:150)
pengawasan itu merupakan suatu proses aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi. g) Kertonegoro (1998:163) menyatakan pengawasan itu adalah
proses melaui manajer berusaha memperoleh bahwa
kegiatan
yang
dilakukan
keyakinan
sesuai
dengan
perencanaannya. h) Terry (dalam Sujamto, 1986:17) menyatakan Pengawasan
adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana. i) Dale
(dalam
Winardi,
2000:224) dikatakan
bahwa
pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan
hasil
kegiatan
mengawasi,
tetapi
juga
mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. j) Admosudirdjo (dalam Febriani, 2005:11) mengatakan
bahwa pada pokoknya pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma49
norma, standar atau rencana-rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. k) Siagian (1990:107) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. l) Schermerhorn
menyatakan bahwa Pengawasan adalah
merupakan proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang di harapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. m) Stoner,
Freeman
dan
Gilbert
menyatakan
bahwa
Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktivitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. n) Prayudi
(Hukum
Administrasi
Negara,
Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981, hal 80) menyatakan Pengawasan
adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan.
50
o) Saiful Anwar (Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora
Madani
pengawasan
atau
Press,
2004,
control
hal.127)
terhadap
menyatakan
tindakan
aparatur
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan. p) M.
Manullang
(Dasar-Dasar
Manajemen,
Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1995, hal.18) mengatakan bahwa
Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Berdasarkan beberapa pengertian pengawasan menurut para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa pengawasan pada dasarnya dilaksanakan selama proses pelaksanaan kegiatan tersebut sampai berakhirnya suatu kegiatan. Pengawasan pada dasarnya bertujuan untuk memastikan proses
administrasi dan manajemen dapat
tercapai secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif. Demikianlah penjelasan mengenai pengertian pengawasan dan pengertian pengawasan menurut para ahli.
51
b. Pengertian Pengawasan Menurut Islam Secara bahasa, kata pengawasan dalam bahasa Arab dapat diambil dari kata “muraaqabah ”, “qiyaadah”, “qabidhah”, “taujih”, “siitharah”. Masing-masing kata secara bahasa mengandung arti
pengawasan, tetapi ada yang mengandung tambahan makna pengendalian, perintah, pengarahan, penelitian, dan monitoring. Kata yang lebih dekat maknanya kepada “pengawasan” dalam arti
supervision adalah “muraaqabah” (Al-Munawwir, 1984: 557). Secara istilah, makna pengawasan dalam litelatur Islam terdapat dalam kata “hisbah” yang bermakna ihtisab yaitu meneliti, mentadbir, melihat, mencegah atau menahan seperti mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran atau mendapat balasan seperti seseorang melakukan kebaikan untuk mendapat balasan dari Allah. Al-Hisbah secara etimologis berarti menghitung, berfikir, memberikan opini, pandangan dan lain-lain. Dari segi istilah, AlMawardi (2000: 398) menjelaskan bahwa hisbah adalah melaksanakan tugas keagamaan yaitu menyeru melakukan ma’aruf
(kebaikan) yang jelas ditinggalkan dan mencegah melakukan kemungkaran yang jelas dilakukan. Praktik hisbah sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi dan diikuti di masa khulafaur rasyidin dan pemerintahan Islam selanjutnya. Rasulullah saw sendiri telah menjalankan fungsi sebagai market supervisor atau al-Hisbah, yang kemudian dijadikan 52
acuan generasi selanjutnya, sebagai acuan tentang adanya peran negara dalam mengatur pasar.
Rasulullah sering melakukan
inspeksi ke pasar untuk mengecek harga dan mekanisme pasar. Seringkali dalam inspeksinya beliau menemukan praktik bisnis yang tidak jujur sehingga beliau menegurnya. Rasulullah bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang yang menipu” (Al -
Mawardi, 2000: 422). Hal itu mengindikasikan bahwa hisbah telah ada sejak masa Rasulullah Saw., meskipun menurut Tim Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (2008: 342), nama al-Hisbah baru datang di masa kemudian. Pelaksanaan masyarakat pemerintahan
hisbah
dapat dan
dalam
sistem
meningkatkan mampu
pemerintahan
efisiensi
dalam
menggambarkan
dan sistem
transparansi
pemerintah terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi, di samping itu berhasil menghapuskan penipuan dan bentuk penyelewengan apapun dalam masyarakat (Razali, 2012) Jika dilihat dari pengertian diatas, maka AlHisbah tidak hanya berfungsi sebagai institusi yang mengawasi pasar saja (ekonomi) tetapi juga untuk bidang hukum. Berdasarkan kajian
Furqani
(2002:) beberapa fungsi al-Hisbah, adalah (1) Mengawasi timbangan, ukuran, dan harga; (2) Mengawasi jualbeli terlarang, praktek riba, maisir, gharar dan penipuan; (3) Mengawasi 53
kehalalan, kesehatan, dan kebersihan suatu komoditas; (4) Pengaturan (tata letak) pasar; (5) Mengatasi persengketaan dan ketidakadilan; (6) Melakukan intervensi pasar; (7) Memberikan hukuman terhadap pelanggaran. Landasan Al-Hisbah terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 104; Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan ummat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orangorang yang beruntung. Pengawasan dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah, dan membenarkan yang hak. Menurut Hafifudhin dan Tanjung (2003: 152) pengawasan dalam ajaran Islam terbagi dalam dua hal, yaitu: Pertama, control yang berasal dari diri sendiri yang bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Seseorang yang yakin bahwa Allah mengawasi hambaNya, maka ia akan bertindak hati-hati. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Mujadalah ayat 7 “ Tidaklah engkau perhatikan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan 54
memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui s egala sesuatu”.
Kedua, sebuah pengawasan akan lebih efektif jika sistem pengawasan tersebut juga dilakukan dari luar diri sendiri. Bisa berasal dari pimpinan, yang menyangkut tugas yang didelegasikan, kesesuaian penyelesaian dan perencanaannya, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 105, “....Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kam u apa yang telah kamu kerjakan”.
Berdasarkan
ayat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pengawasan dapat dilakukan oleh diri sendiri dengan keimanan akan kehadiran Allah yang Maha Mengawasi, oleh pemimpin/ penguasa dan oleh kaum muslimin baik secara langsung berupa pengawasan oleh masyarakat, maupun tidak langsung dalam bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan yang membatasi. Oleh karena itu, menjaga moralitas, termasuk dalam kehidupan ekonomi juga menjadi tanggung jawab negara. Pembentukan lembaga hisbah dalam Islam dimaksudkan untuk membantu orang supaya patuh mengikuti standar moralitas. Dalam kegiatan ekonomi seperti di lembaga keuangan syari’ah atau 55
perusahaan bisnis, peran lembaga ini sangat penting karena melalui fungsi pengawasan yang dilandasi oleh iman dan adanya sanksi, akan terpelihara ekonomi yang jujur, adil dan berujung pada perolehan keuntungan yang berkah. Untuk menjalankan peran hisbah negara harus menunjuk seseorang
atau
sekelompok orang untuk menjalankan hisbah
tersebut. Seseorang yang ditunjuk untuk mengelola hisbah disebut al-muhtasib. Dia harus memiliki kualifikasi tertentu untuk memastikan bahwa ia dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan hukum Islam. Kriteria yang paling penting untuk muhtasib adalah: keihlasan dan ketidak berpihakan, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, di samping itu syarat adil, tegas, hati-hati dan tidak cepat marah, Imam Al-Gazali mengatakan, “Semua etika pengawas bersumber pada tiga sifat dalam diri pengawas, yaitu ilmu, wara’ , dan ahlak y ang bagus.” (Aliyah, 2004: 71) karena tujuan dari hisbah adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari penyimpangan, melindungi
iman
mereka
dan
memastikan
kesejahteraan
masyarakat di dunia sesuai ketentuan Allah. Oleh karena itu domain hisbah pada dasarnya berhubungan dengan menjaga hukum-hukum
Allah
terhadap
pelanggaran,
melindungi,
menghormati rakyat, dan memastikan keamanan masyarakat. Selain itu, mencakup juga pemantauan pasar, dan lainnya. Dengan 56
kata lain, hisbah adalah mekanisme kontrol yang ditetapkan oleh Islam untuk menjaga tatanan kehidupan sosial, sehingga setiap orang terjamin keamanan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya.
c. Pengawasan Dalam Konteks Ekonomi (Lembaga Keuangan Syariah) Jenis-jenis Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terdiri dari LKS berbentuk Bank dan LKS non Bank. Adapun LKS berbentuk Bank yaitu: 1) Bank Umum Syariah/Perbankan Syariah Pengaturan
dan
pengawasan
bank
diarahkan
untuk
mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu
memelihara
kepentingan
masyarakat
dengan
baik,
berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional. 32 Secara umum bentuk pengawasan antara bank syariah dengan bank umum konvensional hampir sama. Namun karena dalam kegiatan usaha bank syariah harus berdasarkan prinsip syariah, sehingga di bentuklah satu tim pengawas yang dapat memastikan tingkat kepatuhan bank terhadap prinsip atau aturan syariah yang dalam hal ini di lakukan oleh DPS. Dalam operasional bank 32http://fai.umsida.ac.id/tinymcpuk/gambar/file/Pengawasan%20Bank%20Sya
riah%20dan%20Perlindungan%20Konsumen.pdf 57
syariah terdapat 2 (dua) bentuk pengawasan. Pertama, pengawasan dari sisi internal yang langsung di awasi oleh Komisaris, Direksi perusahan dan Dewan Pengawas Syariah. Kedua, pengawasan eksternal oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pengawasan Internal. Sebagaimana yang disebutkan diatas,
pengawasan internal terhadap kegiatan usaha bank syariah dilakukan oleh Komisaris, Direksi dan DPS. Berdasarkan UU No. 21 tahun 2008 Bab 5 Pasal 32 mengenai Dewan Pengawas Syariah, di sebutkan bahwa : a) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariahdan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. b) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. c) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksiserta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. Tiga butir isi undang-undang diatas menyimpulkan bahwa DPS sebagai bagian dari struktur organisasi bank syariah, diangkat oleh RUPS berdasarkan rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia. Hal ini berarti DPS memiliki kedudukan yang sama 58
dengan Komisaris dan Direksi karena proses pengangkata ketiga nya berdasarkan RUPS. komisaris dan direksi melakukan pengawasan secara umum terkait pengadaan kegiatan usaha bank syariah. Adapun DPS dalam melakukan pengawasan memiliki fungsi sebagai33 : a) Mengawasi kegiatasn bank syariah agar sesuai dengan prinsip syariah dalam hal pengembangan produk, pembuatan dan pelaksanaan operasional bank, dan terkait penghimpunan dan penyaluran dana nasabah. b) Memberi nasihat dan saran kepada direksi terkait pengelolaan bank syariah agar sesuai dengan prinsip syariah. c) Menjadi wakil bank syariah dengan MUI dan meminta fatwa atas produk serta wakil atas penyampaian laporan hasil pengawasan DPS tehadap bank syariah setiap semester kepada OJK. Pengawasan Eksternal, dalam pengawasan eksternal Bank
Syariah di awasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas jasa keuangan ini pada awalnya dibentuk untuk menggantikan peran dan fungsi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sebagai badan yang mengawasi Pasar Modal dan 33https://www.researchgate.net/profile/Reza_Perdana_Putra_Rachmat/publica
tion/258696933_Pertanggungjawaban_Dewan_Pengawas_Syariah_DPS/links/ 02e7e528ced6a8219d000000.pdf?origin=publication_detail 59
Lembaga Keuangan Non Bank. Setelah resmi di dirikan maka secara langsung tanggung jawab Bapepam-LK beralih ke OJK. Pada akhir tahun 2013 OJK kembali menerima pengalihan tanggung jawab dari Bank Indonesia dalam bentuk pengalihan fungsi sebagai pengawas Perbankan Indonesia. Sebelumnya, pengaturan dan pengawasan Perbankan Indonesia di lakukan sepenuhnya oleh BI. Salah satu alasan di lakukan nya pengalihan tugas ini karena BI diangggap belum maksimal dalam melakukan pengawasan. Selain itu BI masih rentan terhadap intervensi dari pihak luar baik pemerintah maupun pengusaha sehingga di butuhkan lembaga yang independen yang diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara maksimaldan profesional serta bebas dari intervensi pihak luar. Dalam melakukan pengawasan bank, saat ini OJK melaksanakan sistem pengawasannya melalui dua pendekatan34 : a) Pengawasan
berdasarkan
kepatuhan
(Compliance
Based
Supervision), yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap
ketentuan yang tekait dengan operasi dan pengelolaan bank dimasa lalu untuk memastikan bahwa bank di operasikan dan di kelola sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
34http://www.bi.go.id/id/publikasi/perbankan-dan-stabilitas/booklet-
bi/Documents/BPI%20Tahun%202014.pdf 60
b) Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision), yaitu pengawasan
bank
yang
metodologi
berdasarkan
menggunakan risiko
yang
strategi
dan
memungkinkan
pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu. c) Alih pengawasan yang diterima OJK ini sebatas pada hal yang bersifat micro (micro prudential supervision) seperti melakukan pengawasan terhadap kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian dan juga melakukan pemeriksaan bank. Adapun
lingkup
pengawasan
secara
macro
(macro
prudential) seperti kebijakan moneter dan penanganan krisis masih menjadi fungsi dan tanggung jawab Bank Indonesia. Lembaga Keuangan Syariah Non Bank dirinci sebagai berikut: 1) Baitul Mal wa Tamwil Baitul Mal wa Tamwil merupakan slah satu bentuk lembaga keuangan syariah yang kegiatan usaha hampir sama dengan Bank yakni melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat kemudian menyalurkanya dalam bentuk pembiayaan. Sebagai lembaga yang menghimpun dana maka BMT berkewajiban untuk di awasi oleh Regulator resmi agar tidak melakukan pelanggaran baik
pelanggaran
terhadap
regulasi
pemerintah
ataupun 61
pelanggaran
dalam
pelaksanaan
prinsip-prinsip
syariah.
berdasarkan UU No 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, dalam pasal 1 butir 6 dijelaskan bahwa pengawas merupakan perangkat organisasi koperasi yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada pengurus. Selanjutnya dalam pasal 48 mengenai pengangkatan, Pengawas dipilih dari dan oleh Rapat Anggota. Adapun tugas dari pengawas ini di atur dalam pasal 50 yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengawasan kegiatan pengelolaan koperasi yang dilakukan oleh pengurus serta berkewajiban membuat laporan tertulis mengenai hasil pengawasannya yang nanti akan dipertanggung jawabkan di Rapat Anggota. Sebagaimana lembaga keuangan syariah lainnya, dalam memenuhi kepatuhan terhadap syariah, BMT di awasi oleh DPS. Pengawas syariah ini di bentuk untuk dapat memastikan sejauh mana proses kegiatan usaha organisasi, aktivitas keuangan dan manajemen orgasasi patuh dalam penerapan sturan atau prinsip syariah yang menjdai subtansi atas kegiatan usaha nya. Dalam skala yang lebih tinggi, sebagai lembaga yang berbadan hukum koperasi BMT harus taat pada aturan hukum yang termuat dalam UU No 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Karena setiap pendirian koperasi harus berdasarkan ijin dari kementrian Koperasi dan UKM maka secara tidak langsung BMT mendapat 62
Pengawasan dan Pembinaan pula dari kementrian terkait. Selain itu, OJK yang berperan sebagai lembaga regulasi juga memiliki peran yang tidak bisa lepas dari kegiatan usaha BMT sebab secara hukum OJK bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan lembaga Keuangan di Indonesia. 2) Asuransi Syariah Pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha perasuransian pada umumnya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mengenai sistem pengawasan asuransi syariah, dalam Peraturan OJK no 2 tahun 2014 yang terdapat dalam pasal 40 di sebutkan bahwa perusahaan asuransi yang menjalankan kegiataan usahanya berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki Dewan pengawas syariah. diamana DPS tersebut di angkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pengangkatan DPS ini dimaksudkan sebagai pengawas internal yang keberadaannya di harapkan mampu mengontrol sistem perasuransian berprinsip syariah dalam hal manajemen serta jenis produk asuransi agar tetap dalam koridor syariah. 3) Pegadaian Syariah Perusahaan
Perseroan
pegadaian
syariah
merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan dengan bentuk 63
Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara ia harus tunduk terhadap peraturan yang mengatur tentang PERUM. Dalam menjalankan kegiatan usahanya yang berdasarkan syariah, pegadaian harus mengangkat pengawas yang dapat memastikan tercapainya prinsip-prinsip syariah, dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah. dewan pengawas yang di angkat minimal satu. Bagi perusahaan pegadaian yang bentuk badan hukumnya koperasi, pengangkatan DPS selain di angkat melalui RUPS juga dapat dilakukan setelah memperoleh sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan SyariahNsional Majelis Ulama Indonesia35. Dewan syariah yang diangkat boleh merangkap jabatan, artinya dewan syariah yang ditunjuk tidak hanya sebagai DPS di lembaga pegadaian tersebut namun juga menjabat sebagai pengawas syariah di lembaga keuangan syariah lainnya. Selain itu DPS mempunyai tugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi agar kegiatan usaha nya tetap memegang prinsip syariah misalnya mengawasi produk yang dibuat oleh pegadaian, memantau aktivitas manajemen dan juga usaha pegadaian dalam memasarkan produknya.
35Salinan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian pasal 29. 64
B. Dewan Pengawas Syariah (DPS) a. DPS Dalam Pandangan Para Ahli Dalam konsideran Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/080/SK/VII/2006 huruf (a) disebutkan bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi pokok manajemen untuk menjaga dan mengendalikan agar tugas-tugas yang harus dilaksanakan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan rencana dan aturan yang berlaku, maka terbitlah surat
keputusan
tersebut
dimaksudkan
sebagai
Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan. Lahirnya
Pedoman
Pelaksanaan
Pengawasan
tersebut
dimaksudkan untuk: a)
Memperoleh informasi apakah penyelenggaraan teknis peradilan
pengelolaan
administrasi
peradilan,
dan
pelaksanaan tugas umum peradilan telah dilaksanakan telah sesuai dengan rencanaa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b) Memperoleh umpan balik bagi kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan tugas-tugas peradilaan. c)
Mencegah terjadinya penyimpangan, masalah administrasi, dan tidak keefisienan penyelenggaraan peradilan.
d)
Menilai kinerja. 65
Pengawasan dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah, dan membenarkan yang hak. Pengawasan (control) dalam ajaran Islam (hukum syariah), paling tidak terbagi menjadi dua hal. Pertama, kontrol yang bersasal dari diri sendiri yang bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Kedua sebuah pengawasan akan lebih efektif jika sistem pengawasan itu dapat terdiri atas mekanisme pengawasan dari pemimpin yang berkaitan dengan penyelesaian tugas yang telah didelegasikan, kesesuaian antara penyelesaian tugas dan perencanaan tugas, dan lain-lain. Takwa tidak mengenal tempat. Takwa bukan sekedar di masjid, bukan sekedar diatas sajadah, namun juga ketika beraktivitas, ketika di kantor, ketika di meja perundingan, dan ketika melakukan berbagai aktivitas. Takwa semacam inilah yang mampu menjadi kontrol yang paling efektif. Takwa seperti ini hanya mungkin tercapai jika para manajer bersama-sama dengan karyawan melakukan kegiatan-kegiatan ibadah secara intensif. Agar peraturan perudang-undangan yang mengadopsi prinsip-prinsip dapat dijalankan dengan baik, maka DSN-MUI perlu membentuk DPS di setiap lembaga keuangan syariah. Peran ulama melalui fatwa-fatwanya diperlukan dalam melaksanakan prinsip- prinsip Islam di bidang ekonomi. Dalam 66
kegiatan ekonomi, khususnya di Lembaga Keuangan Syari’ah keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah adalah representasi dari
peran ulama dalam mengawasi pelaksanaan nilai- nilai syari’ah di masyarakat. Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Kualitas keilmuan para ulama telah mendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terumuskannya system ekonomi Islam secara konseptual, termasuk sys tem perbankan syari’ah adalah buah kerja keras para ulama.1 Para ulama yang berkompeten terhadap hukum syari’ah
memiliki fungsi dan peran yang besar dalam mengembangkan perbankan syari’ah. Sebagai komitmennya dibent uklah Dewan
Pengawas Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Lembaga ini dibentuk pada tahun 1999 secara resmi yang merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syari’ah
pada bulan juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah MUI dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan Sekretaris ( ex-officio ).2 Pengertian DPS menurut Abu Moamer 3 adalah “Lembaga yang digunakan untuk memastikan bahwa bank syari’ah bekerja 67
dalam batas-batas hukum Islam, mengetahui kerangka dan batasan syari’ah, dan menginvestasikan atau meningkatkan
kapasitas di dalam batas- batas ini.” Sementara itu, AAOIFI Governance Standard (Organisasi Akuntansi dan Audit Untuk Institusi Keuangan Syari’ah) mendefinisikan DPS sebagai
lembaga independen yang terdiri dari ahli fiqh muamalah. Namun DPS bisa memasukkan anggota selain ahli fiqh muamalah, tapi ia harus ahli dalam bidang IFI ( Islamic Financial Institution ) dan memiliki pengetahuan tentang fiqh muamalah. DPS dipercaya untuk memastikan agar bank syari’ah patuh pada
aturan dan prinsip Islam.
b. Hubungan Pengawasan Syariah dan DPS 1) Pengawasan Syariah Secara Umum Pada dasarnya perbankan syariah memiliki fungsi yang sama
seperti perbankan konvensional, yaitu menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lain yang sesuai 36. Namun yang menjadi pembeda dari perbankan syariah dan konvensional yaitu prinsip yang dianut oleh sistem masing-masing bank.
36Hidayati,
M 2008, ‘DewanPengawasSyariahdalamSistemHukumPerbankan: StudiTentangPengawasan Bank BerlandaskanPadaprinsip- Prinsip Islam’ , LexJurnalica Vol.6, No.1, hal.64 68
Perbankan syariah berlandaskan hukum Islam yaitu Al-quran dan Al Hadits37. Sistem perbankan konvensional yang bertumpu pada sistem hutang piutang, memiliki perbedaan yang sangat kentara dengan perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil ini dapat memberikan keuntungan dengan adil bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Pada kegiatan operasionalnya, bank syariah harus mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Islam atau yang biasa disebut dengan sharia
compliance
(kepatuhan
syariah).
Maka,
bank
syariah
membutuhkan pengawasan yang efektif dan komprehensif agar terwujudnya sistem perbankan syariah yang berfungsi lebih efisien, sehat, berkembang, dan mampu bersaing secara global. Pengawasan syariah menurut Shehata (1991) yaitu proses untuk meninjau, memeriksa, serta menganalisis kerja dan kegiatan operasional suatu institusi, individu atau kelompok mengenai kepatuhannya pada ketentuan syariah.
I 2011, ‘ FungsidanPerananDewanPengawasSyariah di Unit Usaha Syariah PT. Bank “X” DikaitkandenganPelaksanaan Good Corporate Governance (GCG)’ 69 37Rochaeli,
Keberadaan pengawas pada bank syariah yang berguna untuk memeriksa tingkat kepatuhan bank pada hukum syariah juga berwenang untuk meluruskan apabila terjadi penyimpangan pada kegiatan operasional. Ketentuan dari pengawasan syariah diatur pada UU No. 10 tahun 1998 dimana disebutkan bahwa bank syariah harus memiliki pengawas syariah berupa DPS. Seiring dengan adanya pengawasan pada bank syariah, diyakini kepercayaan masyarakat kepada bank syariah juga akan meningkat. Masyarakat akan percaya karena keterlibatan DPS pada aktivitas perbankan. 2) Pengawasan Syariah dan Dewan Pengawas Syariah Dalam UU No. 10 tahun 1998 telah dijelaskan bahwa setiap
perbankan syariah harus menunjuk DPS sebagai pengawas. Adanya ketentuan hukum ini membuat DPS menjadi pengawas utama pada sektor keuangan perbankan, walaupun banyak alternative pengawas lainnya seperti pengawas syariah (sharia advisor) dan perusahaan konsultan syariah (sharia consulting firm)38 .
DPS sebagai pengawas, atau dapat disebut dengan auditor syariah, tentu harus bersifat independen dan bebas untuk
38Garas,
S. dan C. Pierce 2010, ‘Shari’a Supervision on Islamic Financial Institutions’, Journal of Financial Regulation and Compliance Vol. 18, No.4, hal. 390 70
beropini.39Dalam praktiknya DPS ditunjuk atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan berada pada satu tingkat dengan dewan direksi. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir adanya intervensi dari dewan direksi atas opini yang dikeluarkan oleh DPS. Luasnya ruang lingkup pengawasan yang harus dilakukan oleh DPS, menyebabkan kebutuhan akan skala prioritas. Draft kontrak, fatwa DSN dan pelaksanaan kontrak merupakan beberapa contoh aspek yang memerlukan pengawasan, namun hal yang bersifat penyimpangan pada hukum syariah tentunya menjadi perhatian utama DPS. Untuk mendapatkan hasil maksimal atas pemeriksaan kepatuhan syariah pada
perbankan, DPS tentu tidak dapat
bekerja sendiri. Fungsi internal audit, fungsi kepatuhan dan fungsi legal
dapat
membantu
DPS
untuk
menentukan
standar
operasional pengawasan. DPS tidak hanya memiliki hubungan dengan pengawasan syariah pada perbankan, namun juga bertanggung jawab untuk mengembang-tumbuhkan institusi yang mereka awasi.
39 Islamic-banking.com
71
c. Model DPS di Indonesia 1) Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia Perkembangan industri keuangan syariah yang saat ini tengah
berkembang. Diketahui dengan telah banyaknya berdiri indutri keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah dan industri keuangan lainnya. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bank umum syariah hingga Agustus 2016 berjumlah 12 bank. Sedangkan Unit Usaha Syariah (UUS) berjumlah 22 dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berjumlah 165. Menurut data OJK, pada Juli 2016 jumlah perusahaan asuransi, unit asuransi dan reasuransi syariah 56 perusahaan. Berikut ini adalah grafik jumlah perusahaan asuransi syariah di Indonesia : Diagram Pertumbuhan Perusahaan Asuransi Syariah 24 25 20
20 17
20 17
18 17
23 18
17
24 20
23 19
15 10 5
32
3 32 0
3 32 0
3 32 0
3 32 0
3 0
5 3
3 0
54
12
0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
Jul-16
Asuransi Jiwa Syariah
Asuransi Umum Syariah
Asuransi Jiwa- Un Unit Sy Syari ria ah
Asuransi Umum- Un Unit Sy Syaria iah h
Reasuransi Syariah
Reasuransi Syariah-Unit Syariah
72
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa sampai Juli 2016 jumlah asuransi jiwa syariah 5 perusahaan. Asuransi umum syariah bertambah 1 menjadi 4 perusahaan. Perusahaan Asuransi jiwa unit syariah bertambah 1 dari 19 perusahaan menjadi 20 perusahaan. Begitu pula dengan Asuransi umum unit syariah menjadi 24 perusahaan. Sedangkan 1 perusahaan reasuransi unit syariah meningkat menjadi full syariah. Sedangkan perusahaan modal ventura berjumlah 6 yang terdiri dari 4 modal ventura syariah dan 2 dalam bentuk unit usaha syariah. Sedangkan Jumlah Dana Pensiun pada Agustus 2016 berjumlah 253 yang terdiri dari Dana Pensiun Pemberi Kerja Program Pensiun Manfaat Pasti (DPPK PPMP) berjumlah 185, Dana Pensiun Pemberi Kerja
Program Pensiun Iuran Pasti
(DPPK PPIP) berjumlah 43 dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) berjumlah 25. Semakin berkembangnya industri keuangan syariah di Indonesia, mengharuskan adanya pengawasan terhadap industri syariah tersebut. Tujuan dilakukan pengawasan untuk memastikan bahwa industri keuangan syariah telah menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip syarih yang ditetapkan. Sehingga model pengawas syariah di Indonesia perlu di bentuk.
73
2) Model Pengawasan Syariah Level Mikro Menurut Algould dan Lewis (2001) dalam Baehaqi (2014)
menjelaskan bahwa corporate governance memiliki peran penting pada industri perbankan syariah untuk mewujudkan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dalam industri keuangan syariah berbeda dengan pelaksanaan GCG pada industri keuangan konvensional. Perbedaan tersebut terletak pada keharusan industri keuangan syariah untuk mematuhi prinsip-prinsip
syariah
( sharia
compliance )
(Baehaqi,
2014).
Pelaksanaan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh badan independen. Sehingga tidak ada pihak yang dapat mengintervensi pengawasan tersebut. Perbedaan yang sangat identik antara lembaga keuangan syariah dan konvensional adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS merupakan pengawas syariah tingkat mikro. DPS merupakan lembaga independen yang diberi amanah oleh DSN untuk mengawasi kesesuaian operasional dan praktik lembaga keuangan syariah terhadap kepatuhan syariah (Umam, 2015). DPS memiliki fungsi dalam menjamin pemenuhan prinsip syariah pada kegiatan usaha lembaga keuangan syariah (Baehaqi, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Baehaqi (2014) fungsi pengawasan
yang
dijalan
oleh
DPS
melalui
pendekatan
kelembagaan dilihat dari 6 aspek yaitu: 74
a) Rangkap Jabatan
Menurut penelitian Baehaqi (2014) DPS pada perbankan syariah dapat rangkap jabatan pada LKS lainnya. Sedangkan jumlah anggota DPS minimal 2 anggota dan maksimal 5 anggota(Grassa, 2015). Semakin banyak DPS yang rangkap jabatan maka kemungkinan besar dapat terjadi penurunan kinerja. Hal tersebut disebabkan tidak fokusnya DPS pada industri keuangan tersebut. Selain itu banyak pula anggota DSN dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merangkap sebagai DPS (Baehaqi, 2014). Hal tesebut seharusnya tidak terjadi, sebab DSN dan MUI merupakan lembaga yang membuat regulasi sedangkan DPS merupakan
pelaksana.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
tidak
kecurangan dan tidak independen.
b) Lama Jabatan
Menurut penelitian Grassa (2015) masa jabatan DPS selama 2 tahun dan dapat diangkat lagi. Namun dalam penelitian Baehaqi (2014) menjelaskan bahwa masih banyak DPS yang menjabat di perbankan syariah lebih dari ketentuan 5 tahun berturut-turut. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan. c) Independensi 75
DPS adalah badan independen pada bank (Anwar, 2010). DPS di Indonesia bertindak sebagai pengawas bukan hanya sebagai penasihat. Pengawasan yang dilakukan oleh DPS mengharuskan DPS untuk memberikan pendapat mengenai kepatuhan LKS dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah. DPS sebagai pemberi jasa belum ditunjang dengan adanya kode etik profesi yang tetap menjaganya agar dapat bertindak secara objektif dan independen (Baehaqi, 2014). Menurut Baehaqi, DPS termasuk dalam pihak terafiliasi dimana pemberi remunerasi dalam hal ini bank syariah memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pendapat dan keputusan yang diambil oleh DPS sebagai pihak penerima remunerasi. d) Kompetensi
Menurut Baehaqi pemilihan anggota DPS di Indonesia masih dipengaruhi oleh ketokohan atau figuritas dari calon bukan berdasarkan kompetensi.Sehingga masih banyak calon DPS yang lolos dalam proses penyeleksian meskipun calon DPS belum berkompeten. DPS yang menguasai prosedur dan mekanisme pengawasan dan pemeriksaan secara teknis masih sedikit terutama terkait
data-data
kuantitatif
(Baehaqi,
2014).
Kualifikasi
kompetensi yang diperlukan DPS antara lain pemahaman fiqh muamalah, perbankan dan keuangan (Grassa, 2015). Sehingga 76
seorang DPS harus memiliki sertifkasi guna menunjukkan bahwa DPS tersebut berkompeten menguasai pemahaman mengenai hukum-hukum Islam, fiqh muamalah, pengetahuan industri keuangan dan keuangan. e) Kehadiran dan Keaktifan
Masih banyak DPS yang tidak memenuhi kehadiran minimal dalam rapat rutin selama setahun dengan berbagai alasan. Anggota DPS yang aktif dalam suatu bank syariah jumlahnya sedikit dan umumnya masih berusia muda sedangkan sisanya memiliki kesibukan yang padat atau karena faktor usia dan kesehatan (Baehaqi, 2014). Sehingga perlu dibuatkan sanksi bagi DPS yang tidak memenuhi kehadiran minimal dalam rapat rutin. Selain itu perlu dibuatkan laporan dokumentasi atas kegiatan yang DPS lakukan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai internal control dan tolak ukur kinerja DPS. f) Praktek Pengawasan DPS
Menurut Baehaqi (2014) komunikasi dan koordinasi antara DPS dengan divisi kepatuhan dan audit intern serta audit eksternal masih lemah sebatas keikutsertaan dalam rapat. Hal tersebut dapat berpeluang menimbukan kecurangan dalam pembuatan suatu produk. Sehingga internal controll terhadap pengawasan DPS perlu ditingkatkan lagi. 77
3) Model Pengawasan Syariah Level Makro Perkembangan lembaga keuangan syariah dan adanya DPS
disetiap lembaga keuangan memerlukan adanya DSN. Tujuan didirikannya DSN adalah untuk membuat fatwa guna menyatukan persepsi dalam penanganan dari masing-masing DPS yang ada dilembaga keuangan syariah. DSN merupakan pengawas syariah di tingkat makro. DSN diangkat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Baehaqi (2014) banyak anggota DSN dan MUI yang merangkap jabatan sebagai DPS. Namun DPS merupakan lembaga yang berada dibawah DSN dan sebagai pihak pelaksana atas fatwa yang telah dibuat oleh DSN. DPS juga harus memberikan laporan kepada DSN mengenai lembaga keuangan yang diawasi. Lama jabatan seorang DSN menurut Grassa (2015) selama 2 tahun dan dapat diangkat kembali dala 2 periode. Seorang yang terpilih menjadi DSN harus memenuhi kompetensi yang ditetapkan. Kualifikasi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang DSN antara lain pemahaman syariah, perbankan syariah, fiqh muamalah, dan hukum (Grassa, 2015). Mekanisme kerja DSN antara lain DPS mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. DSN melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga 78
bulan, serta bila diperlukan. Selain itu setiap tahun DSN harus membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan memenuhi ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Tugas Dewan Syariah Nasional yaitu : a) Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. b) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan. c) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. d) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Sedangkan wewenang Dewan Syariah Nasional yaitu : 1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 2) Mengeluarkan
fatwa
yang
menjadi
landasan
bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
79
3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah. 4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk
otoritas
moneter/lembaga
keuangan
dalam
maupun luar negeri. 5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN. 6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
d. Fungsi DPS DPS adalah suatu badan yang diberi wewenang untuk melakukan pengawasan atau melihat secara dekat aktivitas lembaga keuangan syariah, tujuannya agar lembaga tersebut senantiasa mengikuti aturan dan prinsip-prinsip syariah. Menurut (Gharas, 2010) fungsi DPS dapat di klasifikasikan ke dalam fungsi pengawasan dan fungsi konsultasi. Adapun fungsi pengawasan terdiri dari40:
40 Samy
Nathan Ga ras, “Shari’a supervision of Islamic financial institutions”, Journal of Financial Regulatioan and Compliance, Volume 18 No. 4, 2010, hal. 394 80
a. Menerbitkan fatwa dan keputusan sebelum pelaksanaan transaksi. b. Menyetujui produk maupun kontrak baru. c. Melakukan audit atas pelaksanaan prosedur produk baru serta bekerjasama dengan auditor internal syariah. d. Melakukan audit atas laporan keuangan pada akhir tahun. e. Memeriksa serta memastikan pembagian laba bersih antara pemegang saham dan investasi nasabah berasal dari investasi halal. Sedangkan fungsi konsultasi meliputi: a. Memberikan solusi kepatuhan syariat selama pelaksanaan kontrak. b. Menjelaskan cara perhitungan zakat yang mana 2,5% dari kekayaan tahunan individu yang disumbangkan untuk amal. c. Memberikan
bimbingan
kepada
manajemen
dalam
mengalokasikan pendapatan non-halal untuk tujuan amal. d. Melakukan workshop untuk manajemen dan klien. Dalam Keputusan Dewan Pengawas Syariah Nasional Mejelis Ulama Indonesia No. 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Pengawas-Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI) tercantum tugas dan fungsi DPS. Tugas DPS adalah untuk 81
mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN, sementara fungsi DPS adalah sebagai berikut: a. Sebagai penasihat dan pemberi saran keapada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah. b. Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari LKS yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Di Indonesia, DPS mempunyai peranan yang sangat penting dalam LKS yaitu: a. Membuat persetujuan garis panduan operasional produk LKS tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah disusun oleh DSN. b. Membuat pernyataan secara berkala pada setiap tahun tentang
LKS yang berada di pengawasannya bahwa LKS yang diawasinya berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam laporan tahunan (annual report) institusi syariah, maka laporan dari DPS harus dibuat dengan jelas. c. DPS wajib membuat laporan tentang perkembangan dan aplikasi sistem keuangan syariah (Islam) di institusi keuangan 82
syariah
khususnya
bank
syariah
yang
berada
dalam
pengawasannya, sekurang-kurangnnya enam bulan sekali. d. DPS juga berkewajiban meneliti dan membuat rekomendasi jika ada inovasi produk-produk baru dari LKS yang diawasinya. Dewan inilah yang melakukan pengkajian awal sebelum produk yang baru dari LKS tersebut diusulkan, diteliti kembali dan difatwakan oleh DSN. e.
Membantu sosialisasi perbankan/institusi keuangan syariah kepada masyarakat.
f.
Memberikan masukan ( input) bagi pengembangan dan kemajuan institusi kewangan syariah.41 DPS merupakan perpanjangan tangan dari DSN yang secara
langsung mengawasi institusi keuangan syariah dari dekat serta merealisasikan fatwa-fatwa yang telah diputuskan oleh DSN.42 DPS berkewajiban untuk melaporkan hasil pengawasan setiap tahunnya (annual report). Apabila LKS tersebut telah berjalan sesuai dengan syariah, maka akan dinyatakan demikian dalam annual report, demikian juga sebaliknya, DPS juga harus melaporkan
41
Nikmah Rahmawati, “Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) dalam Perbankan Syariah Di Indonesia”, ditulis dalam jurnal Eksyar, Vol. 01 No. 01, Maret 2014. 42 Ibid
83
secara konkrit apabila LKS telah melanggar aturan dan prinsip syariah Islam atau fatwa-fatwa yang telah dibuat oleh DSN. Mengingat tugas, peran dan fungsi dari DPS sangat penting maka orang yang menjadi anggota DPS seharusnya memiliki kompetensi di bidang akademik yaitu dalam bidang syariah (Islam) khususnya fiqh muamalah dan juga memahami dasar ilmu ekonomi dan keuangan. Hal ini masukkan agar fungsi dan peran DPS dapat ditingkatkan pada masa yang akan datang. DPS tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan manajemen LKS, karena hal ini sudah menjadi tanggungjawab langsung di bawah wewenang direksi suatu LKS, namun DPS berhak memberikan masukan (in-put) kepada pelaksana lembaga tersebut. Masih banyak lembaga-lembaga keuangan syariah, misalkan bank syariah yang belum memanfaatkan secara maksimal peran dan fungsi DPS di lembaganya, namun disisi lain peningkatan profesioanalisme anggota DPS dalam mengemban amanah ummat masih dirasakan belum maksimal. Diharapkan dimasa yang akan datang DPS benar-benar menjadi suatu badan yang benar-benar dapat dioptimalkan peran dan fungsinya bagi pengembangan lembaga keuangan syariah.
84
e. Tugas dan Wewenang DPS Secara Umum Institusi keuangan syariah hendaknya memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengevaluasi pemenuhan shariah compliance dalam aktivitasnya. Grais dan Pallegrini (2006) 43
mengatakan, idealnya seorang DPS memiliki kemampuan yang integratif antara syariah dan bisnis industri kontemporer. Realitanya, sampai saat ini di Indonesia, DPS masih terdiri dari para ulama yang memiliki kompetensi dalam bidang syariah saja. Kedudukan dan fungsi DPS secara sederhana hanya diatur dalam salah satu bagian dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berkenaan tentang susunan pengurus DSN-MUI. Dalam lembaga formal seperti DPS dan DSN peran ulama dituntut lebih dinamis dan proaktif dengan mengacu kepada peraturan yang sudah ada. Peran DPS dan DSN bukan hanya mengawasi operasional lembaga keuangan syariah saja, tetapi memiliki peran yang lebih besar lagi yaitu turut mendorong tumbuh kembangnya ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Selain sebagai pengawas, DPS juga berperan sebagai Advisor , yaitu
43
Sepky Mardian, Auditor Syariah: Lulusan Syariah atau Lulusan Akuntansi, Koordinat Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Volume XIII, No. 1, April 2013, hlm. 179-198, ISSN 1411-6154
85
pemberi nasehat, inspirasi, pemikiran, saran serta konsultasi untuk pengembangan produk dan jasa yang inovatif untuk persaingan global. Sebagai Marketer, yaitu menjadi mitra strategis untuk peningkatan
kuantitas
dan
kualitas
industri
LKS
melalui
komunikasi massa untuk memberikan motivasi, penjelasan dan edukasi publik sebagai penyiapan SDM, sosialisasi, community and networking building dan peran strategis lainnya dalam bentuk
hubungan kemasyarakatan ( public relationship ). Sebagai Supporter , yaitu pemberi berbagai dudungan baik networking, pemikiran, motivasi, doa dan lain-lain untuk pengembangan perbankan dan ekonomi syariah. Sebagai Player, yaitu sebagai pemain dan pelaku ekonomi syariah baik sebagai
pemilik, pengelola, nasabah
penyimpan/investor maupun mitra/nasabah
penyaluran
dan
pembiayaan.44 Menurut Dubai Islamic Banking , tugas penting anggota DPS ialah sebagaimana dipaparkan dibawah ini : 45 a. DPS adalah seorang ahli (pakar) yang menjadi sumber dan rujukan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah termasuk sumber rujukan fatwa. 44
Neneng Nurhasanah, Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII No. 3, November 2011, hlm. 223 45 Moh.
Jatim, S.Ag., M.H.I., Tugas Dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) Pada Perbankan Syariah (Dalam Meneliti Bentuk-Bentuk Akad)
86
b. DPS mengawasi pengembangan semua produk untuk memastikan tidak adanya fitur yang melanggar syariah c. DPS menganalisa segala situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang tidak didasari fatwa ditransaksi perbankan untuk memastikan kepatuhan dan kesesuaiannya kepada syariah. d. DPS menganalisa segala kontrak dan perjanjian mengenai transaksi-transaksi
di
bank
syariah
untuk
memastikan
kepatuhan kepada syariah. e. DPS memastikan koreksi pelanggaran dengan segera (jika ada) untuk mematuhi syariah. Jika ada pelanggaran, anggota DPS harus mengkoreksi penyimpangan itu dengan segera agar disesuaikan dengan prinsip syariah. f. DPS memberikan supervisi untuk program pelatihan syariah bagi staf bank Islam. g. DPS menyusun sebuah laporan tahunan tentang neraca bank syariah tentang kepatuhannya kepada syariah. Dengan pernyataan ini seorang DPS memastikan kesyariahan laporan keuangan perbankan syariah. h. DPS
melakukan
supervisi
dalam
pengembangan
dan
penciptaan investasi yang sesuai syariah dan produk pembiayaan yang inovatif. 87
Berdasarkan Keputusan DSN Nomor 02 Tahun 2000 Tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PRT DSN MUI) pada pasal 4 mengenai fungsi dan tugas DPS diantaranya, DPS pada setiap LKS mempunyai tugas pokok sebagai berikut:46 a. Memberikan nasehat dan saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang lembaga keuangan syariah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah. b. Melakukan pengawasan, baik secara aktif maupun secara pasif, terutama dalam pelaksanaan fatwa DSN serta memberikan pengarahan pengawasan atas produk/jasa dan kegiatan usaha agar sesuai dengan prinsip syariah. c. Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN
dalam
mengkomunikasikan
usul
dan
saran
pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Tugas dan wewenang DPS di Bank Syariah secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada Direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah (UUS) dan pimpinan Kantor 46
Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional , Cetakan ke 2, (Jakarta: Pointermasa, 2003), h. 279.
88
Cabang Syariah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah. b. Sebagai
mediator antara
bank
dengan
DSN
dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. c. Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasi kepada DSN sekurang-kurangnya satu tahun. d. DPS memeriksa buku laporan tahunan dan memberikan pernyataan tentang kesesuaian syariah semua produk dan operasional selama satu tahun berjalan. Posisi DPS pada lembaga keuangan syariah dinilai sangat strategis dalam menilai kebijakan operasional lebih dalam. Selaku pengawas dan pemberi saran kepada manajemen bank (direksi) DPS dapat mengarahkan agar produk yang dikeluarkan tidak berorientasi terhadap motif meraup nasabah sebanyak-banyaknya akan tetapi memikirkan kemaslahatan bagi para nasabah terkait juga. Dalam penyelesaian perselisihan yang sering ada dalam isi akad lembaga keuangan syariah, DPS harus merekomendasikan 89
Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan untuk alternatif penyelesaiaan perselisihan manakala tidak tercapai musyawarah mufakat, namun hingga saat ini sebagian LKS tidak memasukkan lembaga Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang menyelesaikan perselisihan, padahal menurut UU. No. 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa di perbankan syariah. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
memberikan
kewenangan
baru
kepada
Pengadilan Agama, salah satunya yaitu menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah. Kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjadi kewenangan dari Pengadilan Umum karena perbankan syariah masih dianggap sebagai kegiatan bisnis/perdata umum. Namun setelah diundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan menyelesaikan sengketa di perbankan syariah berpindah menjadi kewenangan Pengadilan Agama karena perbankan syariah menjadi tertentu sebagaimana hal ini tertuang
90
dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama 47, berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah dan i. Ekonomi Syariah .“
Secara implisit, dalam Pasal 49 yang mengatur tentang kewenangan absolut Pengadilan Agama (PA) tidak menyebutkan perbankan syariah, namun hal ini tertuang dalam penjelasan Pasal 49 huruf i yang menyebutkan: yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah: a. Bank Syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c. Asuransi syariah; d. Reasuransi Syariah; e. Reksadana Syariah; f. Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas Syariah; h. Pembiayaan Syariah; i. Pegadaian Syariah; j. Dana Pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. Bisnis Syariah. Pada penjelasan Pasal tersebut telah disebutkan bahwa ekonomi
syariah
merupakan
salah
satu
bagian
menjadi
kewenangan absolut Pengadilan Agama meliputi 11 bidang yang salah satunya yaitu perbankan syariah. Oleh karena itu, jika terjadi 47 Pasal
49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama beserta penjelasannya
91
sengketa dalam perbankan syariah maka yang berhak untuk menyelesaikan bukan lagi Pengadilan Umum melainkan Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis . Namun demikian dalam sengketa yang berkaitan dengan hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sangat terkait dengan peradilan umum.48 Dengan demikian para pihak memang hendaknya secara tegas mencantumkan dalam perjanjian yang dibuatnya mengenai menyelesaikan sengketa ini. Akan lebih baik jika dalam hal penyelesaian perselisihan/sengketa diselesaikan secara musyawarah mufakat dan apabila hal itu mengalami kegagalan maka dapat ditempuh melalui upaya mediasi perbankan, arbitrase syariah dan melalui lembaga peradilan, khususnya lembaga Peradilan Agama yang mempunyai kewenangan mutlak sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
f. Laporan Audit DPS Setelah memahami penjelasan tentang tugas dan wewenang DPS secara umum, maka kita perlu mengetahui bagaimana DPS 48
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 145.
92
melakukan pelaporan dari hasil pengawasannya. Adakalanya sebelum masuk kedalam penjelasan mengenai laporan DPS, perlu diketahui bahwa pedoman pengawasan maupun tata cara penyampaian laporan hasil pengawasan telah diatur dalam Surat Edaran No. 8/19/DPBS tanggal 24 Agustus 2006 Perihal Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi DPS. Laporan hasil pengawasan Syariah itu sendiri, setidaknya harus memuat beberapa hal49, secara umum dirinci sebagai berikut: a. Hasil pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. b. Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh bank. c. Hasil kajian atas produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN MUI. d. Opini syariah atas pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank. Sedangkan dalam konteks entitas perbankan, laporan DPS pada dasarnya mencakup informasi yang diberikan oleh anggotaanggota dewan mengenai praktik perbankan yang tidak bertolak belakang dengan ajaran agama Islam. Laporan DPS ini 49
Minarni, Konsep Pengawasan, Kerangka Audit Syariah dan Tatakelola Lembaga Keuangan Syariah . Jurnal Ekonomi Islam, La-Riba, Vol. VII, No. 1, Juli 2013.
93
disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan bank. Bentuk dari laporan DPS ini tidak sama antara satu bank dengan bank lainnya walaupun masih dalam cakupan negara yang sama karena mempunyai mekanisme yang berbeda beda50. Abdallah (1994) menyatakan bahwa DPS harus melakukan empat pemeriksaan laporan keuangan bank Islam. Empat laporan pemeriksaan tersebut dirinci sebagai berikut: a. DPS memastikan bahwa formula yang digunakan untuk mengalokasikan profit antara shareholder dan pemegang akun investasi adalah adil dan sejalan dengan rekomendasi yang diberikan oleh DPS. b. DPS mengonfirmasikan bahwa semua penerimaan bank Islam berasal dari transaksi yang sah sesuai hukum. Jika bank Islam mendapat penerimaan ini tidak sesuai hukum Islam, DPS akan menyatakan bahwa penerimaan ini tidak sesuai hukum Islam, DPS akan menyatakan bahwa penerimaan ini tidak boleh dimasukan dalam profit yang dialokasikan untuk shareholder dan pemegang akun investasi.
50 http://muhammad-iwad.blogspot.co.id/2013/11/makalah-dewan-pengawas-
syariah.html diakses tanggal 18 Nopember 2011 pukul 21.11
94
c. DPS memastikan agar zakat dihitung dengan benar, dilaporkan secara transparan dan didistribusikan secara merata kepada penerima zakat. d. DPS bertanggung jawab menyatakan opini bank Islam dalam menjalankan peran sosialnya di lingkungan masyarakat. Sedangkan menurut penelitian Puad et.al (2015), perlu adanya dalam sebuah laporan hasil audit syariah berupa prosedur yang memang mengandung unsur-unsur atau elemen-elemen pelaporan khusus agar laporan hasil audit tersebut dapat menjadi informasi yang berguna bagi stakehoder . Puad et.al (2015) menjelaskan bahwa elemen mendasar yang harus ada dalam laporan audit syariah dijelaskan sebagai berikut 51: a. Judul laporan, menurut standar AAOIFI, setiap laporan audit syariah harus memiliki judul yang tepat dalam laporan tahunan. b. Penerima laporan audit syariah, hal ini dilakukan supaya dapat diketahui kepada siapa laporan ini dibuat dan ditujukan. c. Pembuka atau paragraf pengantar, hal ini diperlukan karena harus ada pernyataan yang jelas bahwa manajemen entitas 51
Noor Aimi Mohamad Puad, Nurauliani Jamlus Rafdi, Siti Norwahida Shukeri & Nurul Jaliah Ramino Rashid. Analisis Syariah Audit/ Review Report: Malaysia, Pakistan & Bahrain. Proceeding of the 2nd International Conference on Management and Muamalah 2015 (2ndICoMM). 2015
95
syariah bertanggung jawab untuk melakukan audit syariah dengan benar sesuai aturan dan prinsip syariah Islam. d. Deskripsi tentang sifat pekerjaan yang dilakukan, audit syariah harus mengungkapkan pekerjaan audit yang dilakukan dalam memeriksa transaksi dan kegiatan bank seperti tes yang tepat, prosedur dan proses peninjauan kerja. e. Opini paragraf yang berisi ekspresi tentang kepatuhan syariah terhadap prinsip syariah. f. Tanggal laporan dan tanda tangan DPS. Selain dari elemen-elemen mendasar laporan hasil audit syariah, lingkup laporan hasil audit syariah pun perlu dimasukan kedalam laporan hasil audit yang mencakup beberapa hal tentang: a. Kebijakan bisnis produk, apakah entitas syariah menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah atau tidak. b. Proses dan prosedur, berisikan tentang penjelasan kontrak, transaksi, dan hubungan kepatuhan apakah sudah sesuai aturan dengan prinsip-prinsip syariah. c. Perhitungan dan pembayaran zakat, apakah entitas syariah telah memenuhi kewajibannya untuk membayar zakat atas bisnis untuk menyatakan otoritas zakat. d. Kontrak dan perjanjian, manajemen pelatihan sumber daya dan kontribusi sosial entitas syariah juga perlu dilaporkan 96
supaya hasil laporan memberikan informasi yang mendetail bagi stakehoder. Unsur atau elemen yang dijelaskan ini sebenarnya masih bisa ditambahkan lagi. Perlu diketahui, setiap laporan hasil audit di setiap negara masih berbeda, karena belum memiliki standar khusus sebagai acuan. Adapun AAOIFI tidak sepenuhnya dipakai oleh semua negara, hanya negara-negara tertentu saja yang memakainacuan AAOIFI secara ketat, termasuk Indonesia belum sepenuhnya memakai apa yang ada dalam AAOIFI.
g. Masalah dan Tantangan DPS di Indonesia Dilansir dari berita Vivanews , Badan Riset Kriminal Mabes Polri membeberkan kronologi serta modus korupsi dan pencucian uang kredit fiktif sejumlah Rp102 miliar di Bank Syariah Mandiri (BSM) cabang Bogor tahun 2013 lalu. Kasus ini bermula dari pengajuan kredit seorang pengusaha properti tahun 2011 52. Selain itu, dari berita Kontan, bahwa kasus money game berkedok investasi emas turut menyeret Bank Mega Syariah tahun 2014 53. Dua konflik ini membuktikan dapat menurunkan kredibilitas institusi keuangan syariah di mata publik. Di samping itu, kasus tersebut juga menimbulkan pertanyaan terkait kinerja pengawasan yang ada di
52 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/453908-kronologi-kasus-kredit-fiktif-
rp102-m-di-bank-syariah-mandiri-bogor 53 http://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-selidiki-kasus-gadai-emas-bank-mega-syariah
97
lembaga keuangan syariah, yang bertugas memastikan bahwa kinerja, produk dan semua hal yang ada di lembaga tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai ke-Islaman. Praktik pengawasan syariah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan di lembaga keuangan syariah. Tatakelola dan pengawasan syariah yang baik dan efisien menjadi kebutuhan dalam menunjang perkembangan dan stabilitas di industri keuangan syariah.54 Sesuai dengan kaidah fiqih, “maa laa yatim al wajib illa bih fa huwa wajib” (suatu perkara wajib yang tidak bisa
sempurna kecuali dengan adanya perkara lain, maka perkara lain tersebut menjadi wajib). Seperti halnya sholat yang tidak sah tanpa wudhu, maka hukum wudhu untuk sholat menjadi wajib. Begitu pula halnya dengan sebuah entitas yang menjalankan pengawasan syariah juga dianggap wajib bagi setiap entitas keuangan syariah. Dalam hal ini entitas independen tersebut dikenal dengan istilah DPS. Namun kewajiban tersebut tidak hanya digugurkan melalui eksistensi DPS, tapi juga kualifikasi dan ketentuan penunjang lainnya agar berjalan sebaik mungkin. Hal ini lah yang kemudian penting untuk dirumuskan, baik oleh regulator tertinggi nasional maupun institusi yang bersangkutan apabila tidak diatur dalam 54 Rihab
Grassa, Sharia Supervisory Systems in Islamic Finance Institution Across the OIC Member Countries dalam Jurnal Emerald Insight Vol. 23, Januari 2016
98
regulasi Negara. Sebab hal tersebut menjadi pengaruh dalam berjalannya kinerja DPS yang pada akhirnya berdampak pada manajemen risiko. Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti risiko likuiditas dan lainnya.55
Hal ini dikuatkan oleh penelitian Agustianto, 2008 dalam Ahmad Baehaqi, 2014 yang menyebutkan, berdasarkan berdasarkan penelitian yang diadakan oleh BI bekerjasama dengan Ernst & Young bahwa salah satu masalah utama dalam implementasi manajemen risiko perbankan syariah adalah peran DPS yang belum optimal 56. Hal ini lah sebab dari kasus yang dipaparkan di atas. Dan dari beberapa penelitian dapat dirumuskan beberapa alasan yang menyebabkan kurang optimal nya kinerja DPS. Pertama perihal rangkap jabatan. DPS pada perbankan syariah masih menjabat sebagai DPS pada LKS lain lebih dari ketentuan yang berlaku (Laporan GCG 9 BUS tahun 2011 dan 2012). Serta banyak anggota DSN dan MUI yang merangkap sebagai DPS padahal DPS harus memberikan laporan kepada DSN (hasil wawancara dengan DPS BMI, 2013). Hal ini dapat mengurangi 55
Dani El Qori, Mekanisme Mekanisme Pengawasan Pengawasan Dewan Dewan Pengawas Pengawas Syariah Syariah Terhadap Terhadap BPD Daerah Istimewa Yogyakarta dalam jurnal Maraji’: Jurnal Studi Ke Islaman Vol. 1, No. 1, September 2014 56 Ahmad Baehaqi, Usulan Model Sistem Pengawasan Syariah Pada Perbankan Syariah di Indonesia dalam jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis Vol. 1, No. 2, September 2014
99
kefokusan dan keseriusan terhadap pengawasan suatu institusi. Ibaratkan saja seperti seorang dosen yang akan mengajar 2 mata kuliah berbeda dalam satu hari dengan waktu persiapan mengajar 24 jam sebelumnya. Maka sang dosen akan membagi waktunya 12 jam untuk satu mata kuliah. Lain halnya jika sang dosen hanya akan mengajar satu mata kuliah dengan persiapan waktu yang sama, maka 24 jam akan dihabiskan untuk mempersiapkan bahan kuliah. Semakin banyak waktu yang dicurahkan untuk persiapan, maka semakin banyak bahan yang dimiliki sang dosen. Selain masalah rangkap jabatan, ternyata DPS pada perbankan syariah masih banyak yang menjabat lebih dari 5 tahun berturutturut. Konflik kepentingan dapat terjadi jika hal ini terus berjalan. Masalah remunerasi atau penggajian yang belum ada standar aturannya juga menimbulkan kecemburuan sosial antar anggota DPS. DPS sebagai pemberi jasa belum ditunjang dengan adanya kode etik profesi yang tetap menjaganya agar dapat bertindak secara objektif dan independen. Bank syariah sebagai pemberi gaji masih dapat memengaruhi pendapat dan keputusan DPS selaku penerima gaji. Masalah yang tidak asing lagi seputar DPS adalah bahwa pemilihan anggota DPS masih dipengaruhi oleh kecenderungan berdasarkan ketokohan atau figuritas di mata publik dan bukan 100
karena kapabilitas. Masih terdapat DPS yang lolos dalam proses penyeleksian sekalipun secara kompetensi belum memadai. Sedangkan sedikit jumlah DPS yang menguasai prosedur, mekanisme pengawasan dan pemeriksaan secara teknis terutama terkait data-data kuantitatif. Keterbatasan jumlah anggota DPS di suatu institusi keuangan syariah menambah tidak efektifnya kinerja mereka sehingga butuh yang yan g namanya ‘staff pembantu’.
Selanjutnya perihal kehadiran dan keaktifan anggota DPS. Masih banyak DPS yang tidak memenuhi kehadiran minimal dalam rapat rutin selama setahun dengan berbagai alasan. Anggota DPS yang aktif dalam suatu bank syariah juga jumlahnya sedikit dan umumnya masih berusia muda. Sedangkan sisanya memiliki kesibukan yang padat atau karena faktor usia dan kesehatan (Laporan GCG 9 BUS tahun 2011 dan 2012). Beberapa DPS bahkan akan bertindak hanya jika ada panggilan dan cenderung memposisikan diri sebagai konsultan atau penasihat, bukan sebagai pengawas. Tindakan pasif dari DPS ini dapat memperluas terjadinya pelanggaran terhadap kepatuhan syariah di institusi keuangan syariah. Hal-hal di atas merupakan beberapa tantangan yang perlu dibenahi industri keuangan syariah di Indonesia. Terutama oleh otoritas tertinggi negara, DSN untuk membuat standar tatakelola 101
pengawasan syariah lebih insentif. Sebab terjadinya isu-isu tersebut karena belum adanya regulasi kuat yang mengatur perihal DPS ini. Atau bila regulasi belum ada pada DSN, setidaknya inisiatif lembaga keuangan syariah yang harus menentukan ketentuan DPS yang professional dan independen dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) nya. Meskipun memang tidak hanya di Indonesia terdapat isu-isu seputar pengawasan di lembaga keuangan syariah. Di beberapa negara OKI seperti Arab Saudi, Mesir dan Turki adalah negara yang bahkan tidak memiliki otoritas tertinggi tingkat negara atau yang setara dengan DSN di Indonesia. Padahal di negara tersebut mengeluarkan banyak lisensi bagi berdirinya sebuah institusi keuangan syariah, namun perihal pengawasannya diserahkan kepada institusi yang bersangkutan. Jika regulasi hanya berdasarkan pendekatan inisiatif semata, maka efektivitas pengawasan syariah nya pun akan sangat minim. Namun ada juga beberapa negara OKI yang bahkan sampai mengatur susunan entitas pengawas syariahnya dengan kualifikasi tertentu. Brunei Darussalam misalnya, yang menentukan dewan syariahnya tidak boleh kurang dari 8 orang. Satu orang sebagai ketua, yang berasal dari sekretaris permanen dari Kementrian Keuangan, seorang mufti dan 6 orang anggota. Sedangkan anggota 102
nya harus tersusun dari 4 muslim yang ahli dalam keuangan syariah dan sisanya adalah sarjana atau ahli di bidang perbankan, ekonomi, keuangan, hukum atau keahlian lain yang sejenis. Sedangkan di Malaysia menentukan anggota dewan syariah institusinya tidak boleh menjabat di institusi keuangan syariah yang lain. Oleh karena itu tidak dapat dikesampingkan pula perihal keyakinan individu, baik dari anggota DPS maupun otoritas berwenang di institusi keuangan syariah yang bersangkutan. Meski belum ada standar pengaturannya, dengan kesadaran pribadi maka DPS akan bertindak professional dan independen serta objektif. Seperti yang dikatakan oleh Shanin A. Shayan CEO dan anggota dewan Barakat Foundation dalam Dani El Qori, 2014, “the biggest risk facing the global financial system is not a fall in its earning power but most importantly a loss of faith and credibility on how it works” . Jadi, risiko
terbesar dalam menghadapi sistem keuangan global bukanlah soal kesalahan dalam menghasilkan laba, tapi kehilangan kepercayaan dan kredibilitas tentang operasional kerjanya.
103
MODEL PENGAWASAN SYARIAH DI MALAYSIA
104
A. Model Pengawasan Syariah di Malaysia Malaysia dipilih karena dikatakan maju dalam dibidang industri keuangan syariah dengan sistem dual hukum dan peraturan yang komprehensif, yang dimana fungsi keuangan konvensional sejajar dengan keuangan syariah. Malaysia menjadi pusat global keuangan syariah yang memiliki kerangka tatakelola syariah terstruktur untuk mendukung industri keuangan syariah yang berkembang. Salah satu persyaratan dalam kerangka kerja adalah wajib bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk mendirikan Komite Syariah atau Dewan Pengawas Syariah
(DPS).
Hal
tersebut
berguna
untuk
memberikan
pengawasan independen diseluruh kegiatan LKS serta memastikan bahwa semua operasi yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.57 Pengawasan syariah di Malaysia berada dalam naungan Bank Sentral, artinya berada di tingkat makro (tingkat negara) dan juga tingkat mikro (tingkat institusi). Pada tingkat makro, pengawasan syariah dilakukan oleh negara atau Sharia Supreme Council (SSC) atau Dewan Syariah Nasional (DSN), sedangkan pada tingkat mikro, pengawasan syariah dapat dilakukan oleh Sharia Supervisory Board (SSB) atau DPS. Melalui SSB dan SSC tatakelola syariah dapat
57
Shamsher Mohamad dan Zulkarnain Muhamad Sori, “Effectiveness of Shariah Committees in The Malaysian”, MEI Insight IFS 2, 2016. Hlm. 2
105
dipastikan menerapkan prinsip syariah dalam LKS dengan sistem yang memadai.
B. Pengawasan Syariah Level Mikro Pengawasan syariah di level mikro dilakukan oleh Sharia Supervisory Board (SSB) yang berada pada setiap intitusi lembaga
keuangan syariah. SSB didefinisikan oleh Accounting and Auditing Organization in Islamic Financial Institutions (AAOIFI) sebagai sebuah
badan independen dari ahli dibidang lembaga keuangan syariah dan fiqih muamalah. SSB bertugas mengarahkan, meninjau dan mengawasi kegiatan LKS dalam rangka memastikan bahwa produk LKS sesuai dengan syariat Islam dan prinsip – prinsip syariah. Fatwa dan keputusan SSB harus mengikat lembaga keuangan syariah. 58 Peran SSB dalam mengatur ketentuan dan cara beroperasi harus independen, demi mencapai hal tersebut, maka hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut: a. Pengangkatan dan Remunerasi
Direksi wajib mencalonkan pengangkatan anggota SSB atas rekomendasi dari SSC. Pengangkatan dan pengangkatan kembali 58
AAOIFI, Akuntansi, Auditing & Standar Governance (untuk Lembaga Keuangan Islam) (Bahrain: AAOIFI, 2010), Tata Standard No 1.
106
anggota SSB tunduk kepada persetujuan tertulis dari Bank Sentral dan SSC. Sharia Governance Framework (SGF) juga menyebutkan bahwa dalam hal ini Bank Sentral mungkin memaksakan kondisi yang diperlukan yang dianggap cocok selain persyaratan dalam SGF tersebut. Lebih lanjut, menurut SGF anggota SSB tidak bisa menjadi seorang karyawan dari lembaga keuangan syariah atau perusahaan terkait untuk saat ini atau tahun keuangan terakhir. Setiap pengawas syariah hanya diperbolehkan untuk duduk di salah satu SSB di industri, hal ini diartikan bahwa setiap anggota SSB hanya bisa duduk di SSB dari satu bank syariah dan pada saat yang sama dapat duduk di SSB atau perusahaan takaful (asuransi) dan SSB dari lembaga non-perbankan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diindikasiakan bahwa ketentuan tersebut dapat mencegah insiden konflik kepentingan, menjaga kerahasiaan dan memungkinkan bakat baru untuk memasuki pasar. Durasi pengangkatan anggota untuk SSB biasanya untuk jangka waktu dua tahun dan dapat diperpanjang oleh rekomendasi dari bank syariah dan atas persetujuan dari Bank Sentral. Remunerasi bagi anggota SSB ditentukan oleh Direksi seperti yang disarankan oleh Komite Remunerasinya. SGF menyatakan bahwa imbalan tersebut hanya akan mencerminkan, akuntabilitas, tugas dan tanggung jawab SSB. 107
b. Kualifikasi
Mayoritas anggota SSB setidaknya harus memenuhi syarat dalam bidang hukum Islam (ushul fiqih) atau transaksi / hukum dagang Islam (fiqh Muamalat), namun minoritas anggota SSB dapat terdiri para ahli dari latar belakang lain yang terkait seperti keuangan dan hukum ini memungkinkan penasihat berasal dari berbagai latar belakang.59 c. Jumlah Minimum Ditunjuk
Sharia Supervisory Board (SSB) terdiri dari minimal tiga
anggota, namun menurut SGF minimal lima anggota diperlukan yang mayoritas harus memiliki latar belakang syariah. Jumlah minimum anggota telah meningkat karena jumlah yang lebih besar dari individu dalam industri yang memiliki keahlian yang diperlukan. Jumlah yang lebih besar dari anggota SSB juga memungkinkan lebih banyak orang-orang yang memiliki latar belakang yang beragam seperti di bidang keuangan dan hukum menjadi anggota SSB. d. Tugas, Tanggung Jawab dan Pelaporan
Tanggung jawab SSB sesuai dengan SGF termasuk memberikan saran kepada direksi mengenai hal-hal syariah di 59
Nor Aishah Mohd Ali, dkk, “Competency of Shariah Auditor In Malaysia : Issues and Challenges ”, Journal of Islamic Finance , Vol. 4 No. 1 (2015) 022 - 030. IIUM Institute of Islamic Banking and Finance ISSN 2289-2117 hlm.2
108
operasi bisnis bank untuk memastikan bahwa mereka mematuhi prinsip syariah setiap saat, untuk mendukung sharia compliance manual
atau
kepatuhan
syariah,
untuk
mendukung
dan
memvalidasi dokumen yang relevan serta untuk memastikan laporan apakah tepat atau tidak sebagai kemudahan referensi. SSB juga diperlukan untuk memberikan opini syariah tertulis atau keputusan. Dalam menjalankan tugasnya, SSB diharapkan dapat mengungkapkan informasi yang memadai dalam laporan keuangan tahunan lembaga keuangan syariah tentang keadaan kepatuhan syariah di lembaga keuangan syariah. e. Rujukan dari Pertanyaan ke Sharia Supreme Council
Perbankan syariah dapat mencari saran dari Sharia Supreme Council (SSC) pada hal syariah yang berhubungan dengan bisnis
perbankan, dan bank syariah harus memenuhi saran dari SSC. Perlu dicatat bahwa dengan UU Bank Sentral Malaysia 2009, di mana ada konflik dalam putusan yang diberikan oleh SSB dan SSC, putusan yang diberikan oleh SSC
akan menang. Hal ini
untuk memastikan bahwa ada kepastian keputusan oleh semua lembaga keuangan syariah dalam kaitannya dengan hal-hal Syariah di Malaysia.
109
C. Pengawasan Syariah Level Makro Malaysia juga memiliki model pengawasan audit syariah dalam level makro, yang dimana pengawasan tersebut langsung dibawah naungan Bank Negara Malaysia (BNM) sebagai bank sentral. Lembaga pengawas audit syariah yang dimaksud dalam naungan BNM tersebut dikenal dengan Shariah Advisory Council (SAC). Secara umum, SAC bertugas menetapkan, merumuskan kebijakan dan peraturan untuk kegiatan keuangan dan perbankan. SAC
sebagai
otoritas
tertinggi
juga
berperan
dalam
menstandarisasikan penetapan fatwa yang berlaku untuk lembaga keuangan syariah. Meskipun pengawasan langsung dibawah BNM dan keputusan yang dikeluarkan oleh SAC bersifat mengikat dalam undang-undang,
namun
Malaysia
belum
memiliki
standar
pedoman audit syariah yang resmi. Oleh karena itu, sebagian besar lembaga keuangan syariah menerapkan fungsi audit syariah dengan persepsi masing-masing dan ada beberapa lembaga keuangan syariah lainnya tetap mengadopsi kerangka audit internal konvensional dengan sedikit modifikasi. International Shari’ah Research Academy (ISRA) sebagai lembaga
riset Malaysia yang dibawahi oleh BNM telah membuat kerangka dasar yang dinamakan Internal Shari’ah Audit Framework (ISAF). Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya dalam penetapan standar 110
pedoman audit syariah. Kerangka ini akan menjelaskan apa saja yang harus dilakukan oleh auditor internal syariah. Kerangka yang tertera dalam ISAF meliputi tujuh aspek, antara lain: 1. Lingkup audit Memastikan proses transaksi maupun sistem informasi akuntansi di lembaga keuangan syariah telah diakui, diukur, dan dilaporkan secara akurat. 2. Tujuan audit Memberikan penilaian atas hasil audit secara independen dan memastikan bahwa manajemen lembaga keuangan syariah telah melakukan fungsi dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan syariah. 3. Audit dan tatakelola Memastikan kegiatan dan tatakelola di lembaga keuangan syariah terbentuk dan terstruktur secara efektif. 4. Piagam audit Meliputi sifat audit internal syariah, tujuan audit internal, lingkup pekerjaan audit syariah, tanggung jawab internal, otoritas
dan
independensi
auditor
internal
syariah.
Komponen-komponen yang disebutkan ini bertujuan agar terbentuknya persamaan visi dan misi lembaga keuangan syariah antara para auditor internal syariah. 111
5. Kompetensi audit Memastikan auditor internal syariah memiliki kecakapan yang memadai dalam pengetahuan dan pemahaman tentang syariah, akuntansi, dan manajemen. 6. Proses audit Merumuskan rencana audit yang akan dilakukan mencakup area yang dapat diaudit, audit atas perencanaan, pemeriksaan dan pelaporan yang didapatkan dengan bukti yang efektif dan akurat untuk tujuan audit syariah. 7. Persyaratan pelaporan Melaporkan temuan audit dengan sikap independen agar menarik perhatian para stakeholder bahwa kegiatan dan operasi lembaga keuangan syariah sesuai dengan kepatuhan syariah.
112
MODEL PENGAWASAN SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA
113
A. Model Pengawasan Syariah di Mesir Bisnis keuangan dan philantropi Islam tidak dapat berjalan dengan baik kecuali memiliki pengawasan yang kompeten di bidang fiqih muamalah. Itulah fungsi DPS sebagai suatu entitas independen yang mutlak ada di setiap institusi keuangan syariah agar dapat memastikan tatakelola lembaga keuangan syariah berjalan dengan baik dan tetap berada dalam koridor syariah. Sejalan
dengan
perkembangan
keuangan
Islam
yang
mendunia, tatakelola syariah yang baik dan efisien di institusi keuangan
Islam
menjadi
kebutuhan
yang
krusial
dalam
menentukan perkembangan dan stabilitas industri keuangan syariah. Tatakelola perusahaan yang baik juga tidak hanya meningkatkan kinerja institusi, tapi juga meningkatkan stabilitas sistem keuangan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Setiap entitas keuangan syariah perlu mengikuti legalisasi yang ada di negaranya dalam menjalankan operasional bisnis, juga harus mempertimbangkan aspek syariah pada produknya. Negara Mesir tidak mengembangkan kerangka regulasi, sebab tidak ada entitas pengawas syariah nasional yang mengawasi tatakelola institusi keuangan Islam. Padahal Mesir telah mengeluarkan beragam lisensi terhadap pendirian institute keuangan Islam. Oleh sebab 114
itulah maka institusi keuangan syariah di negara yang tidak memiliki regulasi pengawasan syariah ini berinisiatif membuat sendiri sistem pengawasannya. Praktik pengawasan syariah di Mesir menjadi salah satu negara yang tidak memiliki kerangka pengawasan syariah. Tatakelola syariah di serahkan kepada lembaga keuangan syariahnya. Negara tidak ikut campur dalam pembentukan tatakelola lembaga keuangan syariah, namun setiap lembaga keuangan syariah harus menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Otoritas syariah pada tingkat institusi dengan tujuan utama praktek tatakelola syariah mempromosikan efektivitas sistem pengawasan syariah pada lembaga keuangan syariah. Banyak pihak berwenang di Mesir menetapkan bahwa setiap lembaga keuangan syariah harus memiliki dewan pengawas syariah independen yang terdiri dari para sarjana lulusan syariah untuk memberikan saran yang berkaitan dengan hal-hal syariah. Rihab Grassa (2015) yang meneliti tentang sistem tatakelola syariah dari 25 negara yang tergabung dalam anggota OKI. Rihab Grassa (2015) menyebutkan bahwa sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam organisasi OKI telah mengembangkan kerangka kerja sistem tatakelola syariah sendiri. Beberapa negara sudah mengembangkan kerangka regulasi yang komprehensif, 115
mengatur tentang praktek pengawasan syariah baik ditingkat nasional maupun institusional. Namun tidak semua negara memiliki regulasi tentang pengawasasn syariah, ada juga negaranegara OKI yang tidak memiliki kerangka pengawasan syariah. Dilihat dari sudut makro, Mesir tidak memiliki kerangka pengawasan syariah. Seperti negara yang otoritas syariah lebih tinggi di tingkat nasional misalkan negara Malaysia, Qatar, Palestina, Bahrain, UAE, Kuwait, Jordan Pakistan, Nigeria, Brunei, Bangladesh dan Indonesia. Dalam kasus Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) bertanggung jawab untuk memberikan nasihat tentang hal yang berkaitan dengan perbankan syariah, asuransi syariah atau area keuangan Islam lainnya yang diawasi dan diatur oleh BNM. Sedangkan di Indonesia sendiri Pengawasan syariah untuk tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan putusan Syariah pada produk yang ditawarkan oleh Lembaga keuangan syariah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sudut pandang makro di negara Mesir apabila dipandang dari sudut global, Mesir berbeda dengan negara-negara yang sudah ada kerangka pengawasan syariah di tingkat nasional, contoh seperti Indonesia yang memiliki (DSN-MUI) yang bertanggung jawab untuk 116
mengeluarkan keputusan hasil audit syariah pada produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah.
B. Model Pengawasan Syariah di Inggris Islam adalah agama yang komprehensif dan universal. Dikatakan komprehensif karena mengatur interaksi manusia ( muamalah ) dan ibadah sedangkan universal ( syumuliah) esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan ( stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan sesuai dengan semangat kerahmatan semesta ( rahmatan lil alamin) (IAI, 2014). Maka dari itu, pemenuhan aturan Islam secara kaffah harus dilakukan oleh setiap entitas yang mendasari bisnisnya dengan berlandaskan aturan Islam. Salah satu produk dari aturan tersebut adalah industri keuangan syariah baik berupa perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah dan industri keuangan lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan industri keuangan syariah di negara-negara dengan
mayoritas
penduduk
beragama
Islam
tentu
tidak
mengherankan. Namun perkembangan industri keuangan syariah tumbuh dan berkembang pula di negara-negara mayoritas nonmuslim. Negara Denmark (Machmud, 2010), Filipina (Saeed, 1996), Thailand (Hamzah, 2015), Amerika, Australia, dan Inggris
117
(Saeed, 1996) adalah beberapa negara minoritas muslim yang kini mengembangkan industri keuangan syariah. Khusus untuk perkembangan industri keuangan syariah di Inggris terbilang sangat mengesankan. Data The Banker pada tahun 2015 menjelaskan bahwa industri keuangan syariah di Inggris mencatat total asset US$3.811 miliyar. Perkembangan industri keuangan syariah di Inggris dilatar belakangi oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2007. Krisis ekonomi tersebut berpengaruh kepada ekonomi dunia termasuk Inggris. Namun ternyata industri keuangan syariah memberikan bukti ketahanan terhadap krisis ekonomi, sehingga pemerintah Inggris merespon baik dan turut ikut andil dalam mengembangkan industri keuangan syariah. Alistair Darling mantan menteri keuangan Inggris menyatakan pemerintah berkomitmen untuk mengembangkan perbankan dan keuangan Islam di Inggris (Ismal, 2012). Senada dengan hal tersebut, pemerintah Inggris telah memberikan dukungan bahkan ikut
mempromosikan
ekonomi
syariah.
Beberapa
peran
pemerintah Inggris dalam perkembangan perbankan dan keuangan syariah yang lain adalah telah menyelesaikan masalah pengenaan pajak ganda pada transaksi syariah tahun 2003, menerima kontrak murabahah dan mudharabah dalam sistem keuangan dan peraturan 118
keuangan tahun 2005, menerima kontrak wakalah dan diminishing musharakah untuk melengkapi instrumen-instrumen keuangan
syariah,
serta
setiap
pekannya
di
London
senantiasa
menyelenggarakan pelatihan, seminar dan konfrerensi bertemakan Islamic Banking atau Finance oleh sejumlah lembaga pelatihan.
Sebagai suatu sistem yang bisa dibilang relatif baru dan tidak biasa dikalangan negara barat, tentunya perkembangan dan pertumbuhan industri keuangan syariah menghadapi beberapa rintangan dan hambatan. Apalagi peraturan di negara Inggris mengenai perbankan syariah diatur dalam Financial Stability Authority (FSA) sama dengan perbankan konvensional. Scott
Morrison, Ph.d dalam jurnal penelitian yang berjudul “Shariah Boards and the Corporate Governance of Islamic Banks in the United Kingdom” menjelaskan bahwa secara struktural sistem perbankan
dan keuangan Islam ini mirip dengan bank konvensional dalam hukum, sehingga dewan syariah dari perbankan dan lembaga keuangan syariah memiliki berbagai tantangan unik pada tatakelola perusahaannya (Morrison, 2014). Misalnya masalah pembatasan investasi perbankan dan keuangan syariah. Investasi perbankan dan keuangan Islam hanya bisa diberikan kepada transaksi yang bebas bunga dan bukan untuk barang terlarang (seperti pornografi, peternakan babi, alkohol, dll). 119
Pada praktek perbankan syariah di Inggris, larangan tersebut memberikan konsekuensi yang buruk karena tidak sesuai dengan hukum investasi di Inggris. Ini terjadi karena norma-norma, aturan dan tatakelola perbankan syariah masih sama dengan bank konvensional. Padahal untuk perbankan syariah yang dipakai merupakan prinsip dan aturan syariah Islam. Maka peran dewan pengawas syariah harus benar-benar optimal, karena fungsi dewan pengawas syariah adalah untuk mengevaluasi, menyetujui atau menolak suatu transaksi, serta untuk mengawasi semua operasi bank syariah dan memastikan operasinya
telah
Pengoptimalan
sesuai
peran
dengan
dewan
prinsip-prinsip
pengawas
syariah
ini
Islam. akan
menunjukkan kepatuhan terhadap prinsip syariah, sehingga memberikan kepercayaan kepada stakeholder dalam menitipkan investasinya. Namun hingga saat ini, dewan syariah di Inggris sendiri masih bersifat otonom dan tanpa pengawasan. Dalam pengawasannya yang unik, dewan pengawas syariah di Inggris mendapatkan kesulitan yang berarti seperti, salah satunya berkenaan dengan sumber daya manusia yang berkompeten (Ainsley, 2007). Hal ini menambah kesulitan jajaran direksi untuk memilih dewan pengawas syariah, sehingga wajar jika orang yang sama berada di dewan pengawas syariah di lembaga keuangan 120
syariah yang berbeda. Penentuan dewan pengawas syariah di Inggris pun harus atas seizin dari anggota legislatif dan wajib mengikut fit and propertest . Tatakelola perusahaan yang diatur dalam hukum perbankan menyatakan
bahwa
perbankan
syariah
dan
konvensional
diwajibkan mempunyai minimal dua direksi. Tidak di sebutkan dua direksi tersebut bertindak sebagai dewan pengawas syariah atau tidak. Akibatnya peran dewan pengawas syariah dikembalikan kepada kebijakan masing-masing perbankan. Persoalan ini tentunya memberikan kekhawatiran sendiri pasalnya Financial Supervisory Advisitory (FSA) sebagai lembaga yang menaungi
perbankan di Inggris dibubarkan pada tahun 2010 (Ismal, 2012). Meskipun permasalahan dewan pengawas syariah di Inggris cukup rumit, namun masa depan keuangan syariah beserta pengawasan syariahnya semakin membaik. Pasalnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Konferensi Islam (OKI), Accounting and Auditing Organization in Islamic Financial Institutions
(AAOIFI)
memberikan
dukungan
pengembangan
dewan
pengawasan syariah di Inggris. Terlebih pemerintahan Inggris mendukung pengembangan industri keuangan syariah sehingga bukan tidak mungkin dimasa depan Inggris akan menjadi pusat keuangan Islam di Eropa. 121
C. Model Pengawasan Syariah di Qatar Lembaga Keuangan Syariah di negara Qatar menjadi lembaga terkuat dalam satu tahun ini, melebihi pertumbuhan lembaga keuangan konvensional. Mengapa demikian? Karena sektor Islamic Financial Services (IFS) di Qatar menjadi salah satu kawasan yang
paling dinamis, terdiri dari beberapa perkembangan seperti sektor perbankan syariah, berbagai perusahaan pembiayaan syariah, pasar asuransi syariah dan sektor investasi syariah. Rregulator dari neraga Qatar juga bertekad untuk membangun bangsa sebagai pusat keuangan Islam dunia. Ditambah lagi dengan adanya proyek pipa besar yang berkaitan dengan Qatar National Vision 2030 and the 2022 FIFA World Cup memiliki harapan besar untuk meningkatkan
kinerja yang lebih baik. Pada tahun 1980-an negara Qatar membuka bank syariah pertamanya untuk tujuan bisnis dan saat itu pula telah mengalami perkembangan pada sektor perbankan Islam. Tahun 2009 peserta pasar barulah berdatangan hingga pada tahun 2015, total 4 bank syariah beroperasi di negara ini yaitu Barwa Bank, Masraf Al-Rayan, Qatar International Islamic Bank (QIIB) dan Qatar Islamic Bank (QIB).
Beberapa bank tersebut telah menyumbang sekitar 24% dari total aset perbankan di negara ini. Sektor perbankan syariah di negara Qatar dinilai memiliki wilayah paling dinamis meskipun bergerak disektor bisnis, kemudian angka tersebut meningkat menjadi 26% 122
di bulan Maret 2015 yang tercatat pada QIB. Awal tahun 2015 tercatat 18 bank telah di lisensi oleh QIB. ada lebih dari 20 bank yang beroperasi yang berbeda dari peraturan Qatar Financial Centre (QFC). Umumnya aktivitas mereka dilakukan oleh smaller representative offices-one exception being QInvest . Lembaga Keuangan
Syariah yang mencakup 3 perusahaan sharia-compliant diantaranya Al Jazeera Finance, First Finance and Qatar Finance House. Lembaga
keuangan syariah tersebut bersaing dengan bank-bank syariah di segmen ritel dengan menyedikan pembiayaan untuk pembelian mobil, penawaran tiket dan lain-lain. Beberapa tahun terakhir terfokus pada tingkat keuntungan dan biaya pada pembiayaan ritel telah mengalihkan perhatian mereka ke Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Mengapa demikian? menurut Eslah Assem, CEO First Finance , pendapatan terbaik bersumber dari pasar kecil dan UKM. Kemudian dapat dilihat bahwa sebagian besar bank meminjamkan dana untuk UKM QR10m ($ 2.7m) sementara banyak usaha kecil mencari pinjaman QR1m-2m ($274,100-548,200) which a bank most probably would not consider. This is a prime area being targeted by finance houses that banks cannot compete with .
Dalam hal pengawasan, bank syariah diatur oleh Qatar Central Bank (QCB) dan taat pada peraturan yang sama dengan bank 123
konvensional. Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai dewan penasehat syariah. Sementara QCB berusaha untuk menunjuk ulama yang sesuai kemampuan untuk memecahkan suatu masalah ketika suatu waktu timbul. QCB perlu adanya penetapan syariah dalam hal tersebut Bank Syariah Qatar meminta bantuan kepada the Ministry of Awqaf and Islamic Affairs . Praktenya perbankan syariah
di Qatar sebagian besar diatur dalam hal kepatuhan syariah melalui batas-batas syariah mereka sendiri yang biasanya terdapat dalam of five scholars of international repute. Kurangnya Dewan Penasehat
Terpusat terkadang menjadi tantangan dalam perkembangan sektor perbankan syariah itu sendiri. Namun pada umumnya keputusan bahwa penasihat syariah biasanya bisa miliki lebih dari satu bank seperti yang terjadi saat ini. Negara Qatar juga sangat memegang erat serta mengikuti standar akuntansi, audit, tatakelola dan prinsip prinsip etika yang ditetapkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI).
a. Model Pengawasan Syariah Level Makro di Qatar Bentuk Pengawasan Syariah dalam LKS di masing-masing negara berbeda – beda bentuknya, ada yang menempatkan di dalam Bank Sentral maupun di luar Bank Sentral. Dewan Kerjasama Negara Teluk misalnya, atau yang biasa disebut dengan Gulf Cooperational Council (GCC). Qatar termasuk negara di dalam GCC. 124
Mereka menempatkan Dewan Pengawas Syariah pada level mikro dan juga makro. Pada level makro, pengawasan syariah dilakukan oleh nasional yaitu dengan membuat Sharia Supreme Council (SSC) yang mana mayoritas di dalamnya adalah negara dalam wilayah GCC yang melakukan operasi nya diluar Bank Sentral kecuali Uni Emirat Arab (UEA). Dalam pengawasan syariah, DPS merupakan badan yang dibentuk pada Bank untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah serta memastikan bahwa operasional bank tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah tersebut. Terdapat dua model pengawasan syariah dalam wilayah hukum bank syariah maupun konvensional. Pada model pertama, bank syariah maupun konvensional tunduk pada pengawasan otoritas pengawas tunggal (Arab Saudi, Ethiopia, Kazakhstan, Kenya, Kuwait, Qatar, Tunisia, Turki, U.A.E., dan Inggris). Kemudian pada model kedua pengawasan pada bank syariah adalah
dipisahkan
(Bahrain,Indonesia,
Yordania,
Lebanon,
Pakistan, dan Suriah). Pengawasan syariah di negara Qatar di dalam Qatar International Islamic Bank misalnya, istilah yang biasanya digunakan adalah Religious Suprevisory Commite dimana jumlah anggotanya hanya dibatasi hanya tiga orang. 125
Terdapat pula tanggung jawab utama DPS yang sudah diatur di negara Qatar adalah untuk memantau kepatuhan operasional bank agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta meninjau proses dan produk yang disajikan oleh bank. Bertindak sebagai badan independen dari ahli hukum spesialis dalam fiqih muamalat. DPS bertanggung jawab untuk hal berikut. Seperti pada umumnya pada Bank Syariah di negara lain, Dewan Pengawas Syariah Memberikan saran serta bimbingan berdasarkan permintaan manajemen Qatar Islamic Bank (QIB). Memeriksa Laporan ulasan Auditor apakah sesuai dengan syariat dan melaporkan kepada anggota tentang subjek tersebut. Menentukan terkait apakah kontrak dan juga transaksi yang disajikan kepada dewan sesuai dengan syariat. Dalam hal pemasaran produk, Dewan Pengwas Syariah berhak Menyetujui materi pemasaran QIB yang disajikan kepada dewan. Memastikan bahwa semua penghasilan di dapatkan dari sumber atau dengan cara yang tidak dilarang oleh syariat. Dalam hal model pengawasan syariah yang dibagi antara mikro dan makro sendiri tidak begitu banyak penjelasan terkait spesifikasi pemisahan nya antara level mikro dan makro. Model pengawasan ini merupakan pengawasan syariah secara umum atau menyeluruh di Negara Qatar. Namun sudah jelas bagaimana 126
model pengawasan yang dianut oleh Negara Qatar yang dapat di lihat pada wewenang Dewan Pengawas Syariah pada QIB diatas.
127
D. Model Pengawasan Syariah di Iran Iran
adalah
salah
satu
negara
yang
aktif
dalam
mengembangkan perbankan syariah. Iran memiliki sekitar 98% aset perbankan syariah dengan jumlah sebesar 162,2 (USD Bil) dan memiliki market share hampir mencapai 100% ( Grand Strategy, Bank Indonesia , 2008). Data tersebut memperlihatkan bahwa perbankan
syariah di Republik Islam Iran merupakan yang terbesar didunia dengan aset lebih dari 162 miliar dolar60. Kemudian data pada tahun 2009 yang dirilis oleh The Banker menunjukan bahwa aset perbankan syariah dunia terus meningkat. Negara Iran menempati ranking pertama dengan total aset sebesar 154.616.28 miliar dollar assets 61.
Iran News menyebutkan, berdasarkan ranking yang dikeluarkan The Banker di tahun 2015 menunjukkan nilai aset total dari perputaran modal yang dikelola secara syariah senilai 1.273 miliar dolar. Jumlah tersebut memberikan arti bahwa total aset sebesar 946 miliar dolar sepenuhnya telah dikelola secara syariah. Berdasarkan peringkat, Iran berada di urutan pertama dari sisi jumlah aset di antara 20 negara dunia. Menyusul peringkat selanjutnya yaitu Arab Saudi, Malaysia, Uni Emirat Arab dan
60
Ali Reza, 2010. Skripsi : Perbandingan Kondisi Perbankan Syariah Di Republik Islam Iran dan Indonesia 61 Ali Reza, 2010. mengutip dari situs website The Banker 2009
128
Kuwait. Ranking yang dilakukan terhadap institusi finansial Islam dunia menunjukkan Bank Melli Iran adalah sebagai bank tertinggi di antara bank-bank Islam dari sisi aset yang dikelola secara syariah. Tahun 2008 hingga 2015 menjelaskan bahwa Iran memiliki market share hingga 100%, kemudian mengalami peningkatan aset
perbankan syariah dan tidak mengalami perubahan pada peringkat yaitu posisi perbankan syariah menempati peringkat pertama pada sisi aset yang dimiliki. Hal tersebut menunjukan dengan jelas bahwa perbankan syariah di Iran telah 100% menerapkan sistem tanpa bank konvensional serta mengelola aset sesuai syariah.
a. Market Share Perbankan Syariah Iran Islamic Financial Standard Board (IFSB)
merilis
data
perkembangan keuangan syariah global dalam laporan "Islamic Financial Services Industry Stability Report 2016". Salah satu data yang
dimuat adalah data market share perbankan syariah di 31 negara. Terdapat dua negara yang memiliki market share perbankan syariah yang mencapai 100%, artinya ke dua negara tersebut telah 100% menerapkan sistem perbankan syariah tanpa bank konvensional. Sebanyak 11 negara yang memiliki market share perbankan syariah
129
di atas 10%, sedang 20 negara sisanya dibawah 10%. Berikut ini daftar market share perbankan perbankan syariah di 31 Negara di dunia62.
Sumber: IFSB, 2016
Dilihat dari data tersebut, Iran memiliki market share perbankan syariah mencapai 100%. Iran terus menjadi domisili terbesar untuk aset perbankan syariah, terhitung lebih dari 37% dari industri perbankan syariah global diantara negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC)63. Uraian data di atas menunjukkan
bahwa negara Iran masih menguasai market share untuk untuk perbankan syariah dunia
b. Legalitas Hukum Perbankan Di Iran Kerangka hukum bagi berfungsinya perbankan syariah di Iran diatur oleh Undang-Undang Perbankan Bebas Riba tahun 1983 yang diratifikasi oleh Majelis Syura Islam, dengan UU ini Iran berusaha untuk mengurangi tingkat bunga hingga mencapai nol.
62
IFSB, Islamic Financial Services Industry . May,2016. 63 IFSB, Islamic Financial Services Industry . Hlm, 9-10, May,2016.
130
UU Perbankan Bebas Riba menyebutkan beberapa b eberapa jenis akad dasar dasar yang digunakan dalam sistem perbankan syariah di Iran, baik untuk proses penghimpunan
maupun
proses pros es penyaluran. Ba
nkdibolehkan menerima simpanan dalam bentuk simpanan qardhul hasan dan dan simpanan investasi berjangka.64.
Undang-undang tersebut diundangkan pada Agustus 1983 sebagai The Law for Usury-Free Banking (Haron & Wan Azmi, 2009:81). Undang-undang tersebut mewajibkan bank-bank di Iran untuk dalam tempo tiga tahun mengubah secara menyeluruh kegiatan usaha mereka sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta mengubah simpanan nasabah yang berdasarkan bunga menjadi simpanan yang bebas bunga dalam kurun waktu satu tahun sejak tanggal undang-undang tersebut dikeluarkan. Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) (GIFR) tahun 2011, Iran menduduki
urutan teratas diikuti Malaysia dan Arab Saudi diposisi kedua dan ketiga dari 42 negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah. Selain memiliki bank Islam terbesar di dunia, Iran juga piawai dalam berperan secara
64
Ali Reza, Reza, 2010. 2010. Skripsi: Perbandingan Kondisi Perbankan Syariah Di Republik Islam Iran dan Indonesia. hlm 62-64.
131
efektif di kawasan Teluk dan Asia Tengah, sehingga mampu menarik investasi dari kawasan Teluk seperti UEA dan Bahrain.65
c. Model Pengawasan Syariah Iran Iran juga memiliki Dewan Syura Perekonomian Islam yang terdiri dari para ulama dan para ahli ekonomi. Dewan tersebut berada dibawah Majelis Syura Islami yang mengesahkan undangundang, termasuk UU. Perbankan Bebas Riba.
Bank yang
beroperasi di Iran bertanggung jawab langsung kepada Majelis Umum Bank Markazi Iran yang beranggotakan Menteri Urusan Ekonomi dan Keuangan, Menteri Perdagangan, Kepala Organisasi Manajemen dan Perencanaan serta menteri yang dipilih oleh Dewan Kementerian negara Iran66. Standarisasi fatwa berperan sebagai otoritas tertinggi negara untuk institusi keuangan syariah, banyak pula anggota OKI yang memiliki kerangka regulasi pengawasan di tingkat nasional, yakni dengan mendirikan dewan syariah nasional. Dewan syariah didirikan di bank pusat, komisi sekuritas atau juga di kementrian agama Iran. Dewan syariah ini bertindak sebagai otoritas syariah tertinggi dan memiliki kemampuan untuk membentuk regulasi tatakelola syariah serta merumuskan kebijakan 65 Ali
Syukron, 2013. Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2. Hlm 44. 66 Ali Reza, Reza, 2010. 2010. Skripsi: Perbandingan Kondisi Perbankan Syariah Di Republik Islam Iran dan Indonesia. hlm 64.
132
nasional dan mengatur industri. Contoh negara yang memiliki dewan syariah nasional adalah Malaysia, Indonesia, Brunei, Bahrain, Pakistan, Iran, Sudan, Nigeria, Palestina. Namun, antara satu negara dengan lainnya memiliki perbedaan terkait komposisi dewan syariah ini67. Setelah perubahan manajemen di bank sentral atau pusat pada awal 2010, dewan yang disebut sebagai dewan yuridis bank sentral di Republik Islam Iran dibentuk di Bank Sentral. Dewan ini terdiri dari ahli hukum, ekonomi dan perbankan. Dewan yang disebutkan itu meskipun tidak memiliki formal dan posisi hukum, telah menyiapkan berbagai persetujuan untuk berbagai masalah yang meliputi perumusan intruksi syariah untuk menerbitkan surat berharga, perumusan petunjuk syariah dalam mengeluarkan sertifikat mata uang deposit, merumuskan petunjuk syariah untuk menggunakan mata uang transaksi masa depan untuk menutupi risiko, merancang alat transaksi antar bank dalam perbankan bebas riba, merumuskan instruksi syariah untuk repurchase agreement atau
67 Rihab
Grassa, 2015. Sharia Supervisory system in Islamic Finance Intitution s Across the OIC Member Countries An Investigation of regulatory frameworks. Journal of Financial Regulation and Compliance. Vol 23 No. 2
133
repo di perbankan bebas riba dan merumuskan petunjuk syariah untuk aplikasi yang berbeda dari pembelian kredit68. Jadi, pengalaman pengawasan syariah dalam melaksanakan prinsip Islam pada perbankan syariah di Iran dapat memiliki aspek khusus. Pertama, bank dan lembaga keuangan tidak berkomitmen untuk membentuk komite yuridis. Kedua, panitia yuridis dari bank sentral sebagai tertinggi otoritas yuridis di bidang perbankan syariah tidak menikmati posisi hukum dan hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat. Ketiga, tidak ada undang-undang tentang pengawasan syariah. Bank sentral dan lembaga keuangan di Iran berkomitmen untuk mempertimbangkan kontrak yang digunakan dalam lembaga syariah. kedua belah pihak menandatangani kontrak di bank yang memiliki pemahaman yang penting tentang kontrak yang akan mereka tandatangani. Model pengawasan syariah di negara tersebut akan ditempatkan dalam kelompok pendekatan minimal untuk pengawasan syariah. Republik Islam Iran adalah negara yang telah lulus hukum perbankan
riba
diantara
beberapa
negara
lainnya.
Model
pengawasan di Iran berada dibawah kelompok negara yang 68
Mousavian, Seyed Abbas: the role of specialized juridical Council in promoting the legitimacy and efficiency of Islamic banks, Islamic Economic Quarterly, Number 36, 2009. pp 12-13.
134
memiliki minimal pengawasan syariah di lembaga keuangannya. Model yang komprehensif dalam memberikan tugas pengawasan syariah di sistem perbankan bebas riba diperlukan untuk selanjutnya dipresentasikan didalam negeri dengan melihat pengalaman negara lain yang sistem pengawasan syariahnya lebih kuat dari Iran. Model operasional pengawasan syariah Iran harus dirancang secara bertahap melalui trial and error test dalam interaksi kondisi hukum yang ada di Iran. Kita tidak bisa berharap bahwa model pengawasan syariah dibuat secara mendadak di sistem perbankan
Iran,
namun
dalam
prosesnya
membutuhkan
perencanaan yang tepat dan upaya yang serius oleh bank sentral dan kerjasama lembaga keuangan 69. Model untuk mengembangkan sistem pengawasan syariah di Iran dapat dilakukan dengan pendekatan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. a. Jangka Pendek: Pengawasan kerja tim syariah (pengawasan terhadap penerapan hukum perbankan Islam) dibentuk dalam jangka pendek atau satu tahun di bagian pengawasan bank dan lembaga keuangan dari bank sentral dan dewan yuridis. Hal ini diperlukan untuk memastikan posisi hukum dari kerja tim ini dilakukan dengan tepat. Untuk mempertimbangkan tanggung 69
Mohsen Zanganeh, 2015. Supervising Islamic Financial Institutions: Islamic Banking in The Countries Compared. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 1 hlm 60
135
jawab penasehat,tanggung jawab pengawasan institusi yang dianggap
sebagai
otoritas
yuridis
tertinggi
di
bidang
perbankan. b. Jangka Menengah (2-4 tahun): dalam jangka menengah pengawasan administrasi diserahkan kepada tim kerja pengawas syariah di Bank Sentral. Jadi, diperlukan unit tim kerja dibawah pengawasan syariah yang akan bekerja dan dibentuk sebagai tangan administrasi kerjasama tim ini. Semua bank aktif dan lembaga keuangan didalam negreri berwenang utnuk membentuk sebuah komite yuridis dalam institusi mereka sendiri. Selain itu Bank Sentral perlu untuk merumuskan tentang pembentukan dan aktivitas komite yuruid dan hati-hati dalam mengidentifikasikan kriteria yang berkaitan
dengan
pembentukan.
Aktivitas
komite
ini
memberikan otoritras bagi lembaga untuk membentuk komite yuridis dan menyampaikan kepada semua bank dan lembaga keuangan secara bersamaan. Bank Sentral dapat memberikan beberapa langkah intensif untuk lembaga yang mencoba membentuk komite yuridis. c. Jangka Panjang (4-6 tahun): semua bank dan lembaga keuangan
berkomitmen
untuk
komite
yuridis
dalam
“pembentukan dibawah bank sentral” tim kerja pengawasan 136
syariah dalam jangka panjang. Tugas-tugas administratif dipertimbangkan untuk komite aktif dicabang pusat berbagai bank. Mereka berwenang dalam praktek untuk mencegah proses, kontrak, dan hubungan yang bermasalah dalam syariah. Sudah selayaknya tim kerja pengawasan syariah bank snetral berusaha untuk merumuskan “indikat or perbankan syariah” dalam beberapa elemen khusus dan terukur (misalnya
kontrak yang digunakan di lembaga yang benar) pada setiap tahun untuk semua bank di Negara itu dan lembaga perbankan70. Iran menduduki urutan teratas dari 42 negara yang memiliki potensi dalam pengembangan industri keuangan syariah. Selain itu Iran memiliki bank Islam terbesar di dunia, Ditandai dengan perbankan syariah di Iran masih terus menguasai market share perbankan syariah di dunia, serta memliki asset terbesar yang pengelolaannya 100% syariah. Di sistem perbankan Iran, model operasional pengawasan syariah Iran harus dirancang secara bertahap melalui dalam kondisi hukum yang ada di Iran. Tidak bisa
dibuat
secara
mendadak,
karena
dalam
prosesnya
membutuhkan perencanaan yang tepat dan upaya yang serius oleh bank
sentral
dan
kerjasama
lembaga
keuangan.
Dalam
70
Mohsen Zanganeh, 2015. Supervising Islamic Financial Institutions: Islamic Banking in The Countries Compared. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 1 hlm 60-61.
137
pengembangan model pengawasan syariah dapat dilakukan dengan pendekatan jangka pendek, jangka menengah (2-4), dan jangka panjang (4-6).
138
E. Model Pengawasan Syariah di Yaman Al-Walidi dan Al-Sarhi (2013) menjelaskan tentang model pengawasan syariah di Yaman. Menurutnya, ada dua utama studi konseptual yang telah dilakukan sejauh ini untuk memeriksa operasi SSBs. Al-Walidi membahas aspek praktis dan teoritis dari syariat pengawasan di Bank Syariah Yaman, meliputi hukum dan peraturan SSBs dan hubungan dengan berbagai depertemen. Disisi lain, Al-Sarhi secara singkat menekankan praktik kontemporer SSBs di Yaman dalam fitur pengalaman global SSBs dan mengusulkan beberapa rekomendasi untuk pengembangan dan peningkatan operasi SSBs di Yaman. Perbankan syariah muncul di Yaman kembali pada tahun 1996, dimana bank Islam pertama adalah Islamic Bank of Yemen . Keuangan dan investasi (YSC) didirikan oleh kebijakan dari Undang-Undang nomor 21 dari hukum komersial Yaman, dengan modal awal USD 10 juta. Pada tahun yang sama Tadhamon International Islamic Bank (TIIB) didirikan dengan modal USD93
juta. Saat ini TIIB dianggap salah satu bank syariah terbesar di Yaman dengan lebih dari 50 cabang di seluruh negara. Hukum perbankan Islam di Yaman telah mendefenisikan audit syariah sebagai badan yang bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam menyetujui dan memastikan apakah produk 139
bank syariah dan semua transaksi bank syarah sudah sesuai dengan sharia compliance.
Hukum perbankan syariah Yaman menyebutkan bahwa jika ingin mendirikan bank syariah, disyaratkan harus dibentuknya dewan pengawas syariah yang beranggotakan 3-7 anggota dari para ulama yang ahli dalam bidang fiqih muamalah. Ada beberapa poin yang akan menjadi fokus dalam pengawasan syariah di perbankan syariah di Yaman yaitu:
a. Struktur Organisasi SSBs di Yaman Pada awal di dirikan Bank Syariah Yaman, dikatakan dalam sebuah jurnal bahwa bank Yaman membentuk SSB yang beranggotakan dari SSBs eksternal seperti di Sudan. Ini disebabkan masih kurangnya pengalaman dan pengetahuan resort internal dalam pengawasan syariah. Namun belakangan ini tidak ada lagi SSBs yang didatangkan dari luar karena dalam negeri sudah banyak yang mempunyai pengalaman serta keahlian dalam bidang pengawasan syariah. Para anggota SBBs berusaha untuk menghindari pihak manajemen bank syariah turut campur dalam mengeluarkan fatwa atau pendapat. Independensi anggota SBBs ya berasal dari diri mereka sendiri. Independensi itu didorong oleh kesalehan dan takut kepada Allah SWT. (Ayedh & Echchabi, 2013). 140
Bank-bank syariah di Yaman mengikuti persyaratan minimum hukum perbankan syariah Yaman dalam hal menentukan anggota SSB yaitu dengan mempertimbangkan; dapat menunjuk eksternal auditor, keahlian keanggotaan SSB dan merangkap menjadi anggota SSB di beberapa bank syariah. Praktik-praktik ini pada dasarnya mirip dengan praktik perbankan syariah di negara lain seperti Malaysia, Indonesia, Bahrain, Qatar, dll. (Ayedh & Echchabi, 2013)
b. Proses dan Prosedur Pengawasan Syariah Dalam hal standar dan acuan yang sesuai syariat Islam, bankbank syariah di Yaman menerapkan prinsip-prinsip yang sama dalam hal penerbitan fatwa dan kepastian sharia compliance . Operasi SSBs Internal Department Sharia membuat tahapan sebagai berikut: Pertama, Membentuk dan menyetujui kontrak baru, produk, prosedur dan peraturan perbankan syariah. Kedua, Turut berpartisipasi menjadi anggota Komite Fasilitas Kredit Pelanggan bank syariah itu sendiri. Ketiga, meninjau kembali transaksi sebelumnya untuk memastikan apakah sesuai dengan akad awal. Prosedur yang dilakukan oleh SSBs berupa pelaporan kasus yang memiliki keraguan dalam kepatuhan syariah, kemudian dilkukan rapat antar anggota SSBs sehingga akan muncul opini apakah berupa penolakan, amandemen atau menyetujui. 141
Di Yaman, standar AAOIFI tidak dijadikan kebijakan langsung oleh bank sentral. Namun, sebagian besar SSBs menggunakan AAOIFI sebagai pedoman dalam beberapa kasus tetapi tidak mengikat. Dalam hal ini SSBs mengandalkan fatwa dan ijtihad dari anggota SSB, sedangkan standar AAOIFI digunakan sebagai pedoman pendukung dan secara umum tidak ada kontradiksi antara standar AAOIFI dengan ijtihad SSBs.
F. Model Pengawasan Syariah di Pakistan a. Level Makro Asad Khan (2015) mengatakan dalam penelitiannya yang membandingkan empat negara yaitu Pakistan, Malaysia, Inggris dan Bahrain, bahwa sektor keuangan Pakistan dan Malaysia diatur oleh badan pengawas yang berbeda dengan Inggris dan Bahrain. Sistem peraturan masing-masing negara sebagian besar karena evolusi dan direncanakan terkecuali Pakistan. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahannya yang unik dan konstitusional serta mengikat untuk membawa keuangan negara di bawah syariah. Sedangkan Malaysia memiliki ketentuan yang berbeda untuk mengoperasionalkan bank syariah, sementara yang lainnya hanya mengubah undang-undang yang ada saat ini. Selain itu, karena evolusi pula sebagian besar sistem peraturan negara mengubah arah prinsip regulasi dimana Inggris memiliki sepenuhnya basis 142
prinsip sistem, sementara Pakistan masih didominasi dengan ketentuan yang berbasis. Perbandingan empat negara dalam pelaksanaan struktur syariah yaitu Pakistan, Malaysia, Bahrain dan Inggris tersebut, dalam pelaksanaan struktur syariah di Pakistan serupa dengan Malaysia dengan Dewan Pengawas Syariah yang pertama didirikan di tingkat Bank Negara Islam ( State Bank of Pakistan ) yang disingkat dengan SBP, dengan kekuasaan yang terbatas dibandingkan dengan Malaysia SAC, dan juga pada tingkat kelembagaan. Di Bahrain dewan syariah hanya ada di tingkat kelembagaan dan tidak ada Dewan Pengawas Syariah pusat di CBB. Garas dan Pierce (2010) dalam Grassa (2016) mengungkapkan Bank Negara Pakistan telah membentuk dewan syariah yang teridiri dari lima anggota dan memiliki dua ulama syariah. Semua anggota dewan, termasuk para anggota ex-office harus memiliki jangka waktu dua tahun dan memenuhi syarat untuk pengangkatan kembali. Tujuan utama keseimbangan yaitu standarisasi fatwa dan bertindak sebagai negara otoritas yang tertinggi untuk IFI, anggota di negara OKI yang praktiknya telah di atur oleh pengawas syariah ditingkat nasional dengan membentuk dewan syariah nasional di
143
bank sentral atau komisi sekuritas dan salah satu negara termasuk di sini yaitu negara Pakistan. Pengawas Syariah Nasional bertindak sebagai otoritas syariah yang tertinggi dan memiliki kemampuan untuk membangun kerangka kerja tatakelola syariah dan merumuskan kebijakan nasional dan peraturan untuk industri. Namun dengan demikian dari yurisdiksi yang lain ada perbedaan dalam susunan, peran dan tanggung jawab Pengawas Syariah nasional. Pengawas syariah di tingkat nasional tidak memiliki kewenangan apapun pada tingkat kelembagaan. Tujuan utama adalah untuk menyarankan bank sentral atau komisi keamanan pada hal-hal yang berkaitan dengan kepatuhan syariah dan dalam kasus-kasus konflik yang mengenai keputusan syariah untuk menyelesaikan masalah antara anggota lembaga Pengawas Syariah.
b. Level Mikro Sistem pengawasan syariah di Negara Pakistan di atur oleh SBP. SBP adalah bank sentral di Pakistan. Sementara konstitusi, sebagai awalnya ditetapkan dalam Orde Bank Negara Pakistan 1948, tetap tidak berubah sampai 1 Januari 1974, ketika bank dinasionalisasi, ruang lingkup fungsinya yang jauh diperbesar. Peran utama SBP adalah memberikan nasihat pada saat keputusan syariah dalam kasus audit syariah. Selain itu, peran SBP 144
adalah menyetujui kriteria yang tepat untuk pengangkatan penasehat Lembaga Keuangan Syariah. Anggota pengawas syariah harus ditunjuk oleh direksi atas rekomendasinya komite nominasi dan di setujui oleh BNM. Dalam cara yang sama, yang di lakukan SBP harus ditunjuk oleh direksi dan di setujui oleh SBP. Hukum keuangan Islam di Negara Pakistan di atur oleh State Bank of Pakistan, Perbankan Perusahaan Ordonansi 1962 dan Kebijakan
Perbankan Islam pada tahun 2001 & 2003. 71 Di Negara Pakistan, perbankan Islam belum menyaksikan pertumbuhan di dalam negeri tetapi juga telah bertahap memperluas ke seluruh wilayah menyediakan lingkungan yang kondusif
sebagai
merencanakan
model
untuk
alternatif
ekonomi
mengintensifkan
upaya
dunia.
SBP
menciptakan
kesadaran dan mempromosikan perbankan syariah di seluruh negeri. SBP juga secara aktif berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bank-bank Islam, termasuk kesulitan keuangan, masalah dengan regulasi Badan Pengawas Pasar Modal Pakistan dan kesulitan perpajakan dengan Dewan Federasi Pendapatan. 71
Rihab Grassa , (2015),"Shariah supervisory systems in Islamic finance
institutions across the OIC member countries", Journal of Financial Regulation and Compliance, Vol. 23 Iss 2 pp. 135 – 160.
145
Bank sentral sedang bekerja untuk meningkatkan kapasitas bankbank Islam dan divisi perbankan syariah bank konvensional melalui jalur penasehat dan konsultasi. Komunitas Syariah tersebar di seluruh wilayah Pakistan dan tantangan besar bagi perluasan Industri Perbankan Syariah (Islamic Banking Industry/IBI) di dalam negeri itu. Namun, anggota komunitas
perlu
memenangkan
dibawa
tingkat
pada
satu
kepercayaan
dan
pemahaman
untuk
kenyamanan masa.
Penasihat Syariah Pakistan dianggap kompeten dan ketat dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya tetapi peran mereka dalam mempromosikan bank syariah sangat penting dan terpuji. Komunitas bisnis di negara itu tidak menerima kepemilikan perbankan
syariah
sejauh
mengalami
hambatan
dalam
pertumbuhan komunitas keuangan berbasis syariah karena industri tidak bisa berkembang dengan kecepatan lebih cepat tanpa kerjasama dan keterlibatan mereka dalam sistem perbankan bebas bunga.
146
REVIEW ARTIKEL
147
DPS dan Audit Bank Syariah Oleh : Dewi Setiya Ningrum Industri keuangan syariah merupakan industri yang sedang mengalami perkembangan. Menurut penilaian Globat Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, Indonesia menduduki urutan
keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah. Urutan tersebut setelah Iran, Malaysia, dan Saudi Arabia. Penilain tersebut berdasarkan perhitungan index seperti bank syariah, lembaga keuangan non bank syariah, serta ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar. Selain Indonesia, banyak negara yang telah memiliki industri keuangan syariah khususnya perbankan syariah. Bukan hanya negara dengan dominan penduduk muslim yang sudah memiliki bank-bank syariah. Namun negara yang mayoritas non muslim juga telah banyak memiliki bank-bank syariah, seperti negara Filipina, Jerman, Rusia, Inggris, Cina dan negara lainnya. Perkembangan tersebut perlu didukung dengan peningkatan laporan keuangan sebagai sumber informasi dalam pengambilan keputusan. Laporan tersebut juga dapat digunakan untuk mengetahui kinerja perbankan syariah. Laporan keuangan yang disajikan haruslah memiliki standar agar dapat dibandingkan dengan bank di negara lain. 148
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution
(AAOIFI) yang merupakan organisasi internasional telah membuat standar syariah untuk lembaga keuangan syariah. Standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI berupa 48 standar syariah, 26 standar akuntansi, 5 standar auditing, 7 standar tata kelola, dan 2 standar kode etik. Standar tersebut telah diadopsi oleh beberapa negara antara lain Bahrain, Jordan, Qatar, Qatar Financial Centre, Sudan, dan Syria. Indonesia dan Pakistan juga merupakan negara yang mengadopsi standar AAOIFI sebagai dasar dari standar akuntansi nasional. Bagi negara yang telah mengadopsi standar AAOIFI pembuatan laporan keuangan yang dijadikan sumber informasi bagi pemilik kepentingan harus patuh terhadap standar yang telah ditetapkan. Menurut Sherif El-Halaby Khaled Hussainey (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of compliance with AAOIFI standards by Islamic banks menjelaskan bahwa tingkat
kepatuhan terhadap governance standards AAOIFI No. 7 sebesar 27%. Tingkat pengungkapan laporan keuangan yang berorientasi umum sebesar 89%. Sedangkan tingkat pengungkapan yang berorientasi syariah sebesar 36%. Meskipun
tingkat
pengungkapan
bank
syariah
yang
berorientasi umum menunjukkan persentase yang tinggi, namun 149
pengungkapan informasi yang berorientasi syariah masih tergolong kurang. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap
bank
syariah.
Sehingga
peningkatan
kepatuhan terhadap pengungkapan yang berorientasi syariah sangat perlu dilakukan. Model tata kelola dalam bank syariah harus berdasarkan prinsip syariah. Perbedaan yang sangat identik antara bank syariah dan konvensional adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS hanya terdapat pada industri keuangan syariah yang memiliki tugas untuk mengawasi kegiatan usaha dilembaga tersebut. Peningkatan tata kelola perusahaan di bank syariah dapat menggunakan peran DPS. Jumlah DPS dalam bank syariah dapat mempengaruhi tingkat pengungkapan. Berdasarkan standar governance AAOIFI no. 7 jumlah DPS dalam bank syariah antara tiga dan lima anggota. Jumlah
DPS
dalam
bank
syariah
kemungkinan
akan
mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol dan meninjau semua transaksi untuk menjamin kesyariahan operasional bank syariah. DPS yang terdiri dari para ulama memiliki pengetahuan yang luas mengenai hukum transaksi Islam. Namun pengalaman mengenai
pengetahuan
umum
masih
perlu
ditingkatkan. 150
Pengetahuan
mengenai
bisnis,
laporan
keuangan,
risiko
manajemen, dan lain lainnya merupakan pengetahuan yang harus dimiliki juga oleh seorang DPS. DPS yang berasal dari sarjana syariah diperkirakan memiliki reputasi baik dalam pengetahuan mengenai hukum transaksi dan pengetahuan umum. DPS harus mampu memahami pengetahuan mengenai bisnis sehingga dapat lebih baik dalam memahami transaksi kontemporer yang terjadi di bank syariah. Pengetahuan agama dan umum akan mempengaruhi pengungkapan informasi dalam bank syariah. Pertukaran DPS antar bank syariah juga dapat mempengaruhi pengungkapan perusahaan bank syariah. Pertukaran keanggotaan DPS dapat menambah khazanah keilmuan DPS sehingga dapat membandingkan antar bank. Peningkatan pengetahuan tersebut dapat berpengaruh dalam meningkatkan informasi transparansi di bank syariah. Semakin banyak pengetahuan yang didapat dari pertukaran DPS tersebut dapat dijadikan pembelajaran untuk DPS agar lebih baik. Selain itu DPS dapat mengadopsi sistem kebijakan yang diterapkan dalam bank syariah agar menjadi lebih baik. Kepatuhan terhadap standar AAOIFI merupakan hal yang wajib dipatuhi oleh bank syariah yang telah mengadopsi standar AAOIFI. Pengukuran tingkat kepatuhan tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi sejauh mana kepatuhan terhadap standar AAOIFI 151
telah dijalankan. Sehingga bank syariah dapat melakukan peningkatan pengungkapan standar. Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan bank syariah. Salah satu tingkat kepatuhan tersebut adalah kepatuhan terhadap standar AAOIFI yang telah diadopsi oleh masing-masing negara. Sehingga peran DPS perlu ditingkatkan
lagi
demi
terwujudnya
kepatuhan
terhadap
pengungkapan standar yang berorientasi syariah. Hal tersebut akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Peningkatan kepercayaan masyarakat tersebut akan mempengaruhi tingkat market share perbankan syariah secara global. Rujukan: Sherif El-Halaby Khaled Hussainey. (2016). “Determinants of compliance with AAOIFI standards by Islamic banks”. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management. Vol. 9.
152
Standar Kompetensi Auditor Syariah Oleh: Fatimah Eka Putri Perkembangan industri keuangan syariah yang cukup pesat tidak menjamin tumbuhnya kepercayaan dari masyarakat secara instan bahwa institusi yang mencantumkan brand syariah telah terjamin kesyariahannya . Perlu dilakukan sebuah audit atau evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan apakah institusi terkait telah memenuhi shariah compliance (kepatuhan syariah) atau malah dapat dikatakan mirip dengan perusahaan konvensional pada umumnya. Hasil dari evaluasi secara menyeluruh tentunya akan membantu membangun kepercayaan dari masyarakat dan para stakeholder serta meningkatkan nilai perusahaannya. Seiring dengan kebutuhan audit shariah compliance di industri keuangan syariah, maka muncul fungsi audit baru yaitu audit syariah. Idealnya audit syariah dilakukan oleh auditor syariah yakni seseorang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang syariah dan akuntansi secara mendalam. Karena pada dasarnya proses audit tidak hanya dilakukan berdasarkan standar regulasi tetapi juga standar dan prinsip syariah. Sementara kebutuhan akan tenaga kerja auditor syariah yang kompeten di industri keuangan Islam sangat dibutuhkan, Indonesia dan Malaysia menghadapi permasalahan tentang 153
kompetensi auditor syariah yang relatif sama. Sampai saat ini, permasalahan utama yang dihadapi yaitu mismatch antara apa yang diperlukan institusi syariah dengan apa yang ditawarkan di pasar. Karena pada kenyataannya, mayoritas auditor syariah yang memiliki pengetahuan akuntansi cenderung tidak memiliki pengetahuan syariah yang memadai dan sebaliknya. Masalah kompetensi auditor syariah telah diperdebatkan sejak awal pembentukan keuangan Islam modern di tahun 1970-an. Diketahui salah satu penyebab utama timbulnya masalah tersebut adalah belum terdapatnya standar kompetensi auditor syariah yang dapat dijadikan acuan. Disamping itu, minimnya lembaga pendidikan dan pelatihan yang menunjang kompetensi auditor juga menjadi penyebab minimnya auditor syariah yang kompeten. Masih sangat sedikit lembaga pendidikan yang mengajarkan syariah dan akuntansi secara bersamaan. Di Malaysia, hanya terdapat satu universitas lokal yang mempunyai kurikulum khusus auditor syariah yaitu di Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), bahkan IIUM pun yang dikenal sangat mendukung kurikulum terkait Keuangan Islam hanya mengadakan kurikulum Akuntansi Islam dan Fiqh Muamalat saja.
154
Beruntungnya, di Malaysia telah ada lembaga pelatihan untuk mengembangkan auditor yang kompeten seperti Institute of Banking and Finance Institution (IBFIM), International Centre for Education Islamic Finance (INCEIF) Centre for Research and Training (CERT) dan REDmoney. IBFIM contohnya, telah mengembangkan sertifikasi
kualifikasi di lembaga keuangan syariah atau disebut dengan Certified Qualification in Islamic Finance (CQIF) yang terdiri dari tiga
level, yaitu level inti, menengah dan level lanjutan (Nor Aishah Mohd Ali, Zakiah Muhammadun Mohamed, Shahida Shahimi, & Zurina Shafii, 2015). Demikian pula di Indonesia hanya terdapat enam perguruan tinggi yang menyediakan program studi akuntansi syariah, tiga dari perguruan tinggi swasta yaitu STEI SEBI, STEI TAZKIA, dan STEI Bina Cipta Madani, serta tiga dari perguruan tinggi negeri yaitu IAIN Surakarta, UIN Sunan Kalijaga dan UIN Walisongo Semarang. Dan lembaga pelatihan seperti IAI Knowledge Centre yang menyediakan pelatihan akuntansi syariah juga tergolong masih jarang. Beberapa peneliti asal Malaysia mengusulkan model KSOC (Knowledge, Skill, and Other Characteristic) sebagai dasar bentuk baru kompetensi auditor syariah yang bisa menguatkan fungsi efektif dan memenuhi kebutuhan institusi syariah. 155
Knowledge (Pengetahuan) yang diperoleh untuk auditor
syariah di Malaysia dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu jenis pengetahuan umum dan khusus. Adapun pengetahuan umum yaitu yang diperoleh melalui pendidikan di universitas dan Pengetahuan yang khusus didapatkan dari lembaga yang menyediakan pelatihan. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang seimbang antara pengetahuan dalam bidangnya serta pengetahuan agama. Seorang auditor dapat dikatakan telah memiliki knowledge yang baik hanya ketika telah memiliki keduanya dengan seimbang. Adapun 5 bidang umum utama dari pengetahuan yang berkaitan dengan kompetensi untuk melakukan pekerjaan audit dari hasil penelitian diseluruh dunia oleh Institute of Internal Auditor Research Foundation (IIARF) yang dituangkan dalam Common Body of Knowledge (CBOK) yaitu etika, kesadaran fraud , standar audit
internal, dan pengetahuan tekhnik dari industri terkait. Skill (Keterampilan) yang dimiliki auditor syariah mengacu
pada kemampuan individu untuk menerapkan pengetahuanbagaimana untuk mengerjakan tugasnya dan memecahkan masalah yang ada. Adapun skill yang penting untuk auditor syariah sebagai audit internal dalam Islamic Banking , yaitu mampu menerapkan 156
pengetahuan syariah dalam bentuk pengetahuan tentang produk, transaksi, dan aktifitas Islamic Banking sehingga mampu mendeteksi setiap ketidakpatuhan syariah dalam pelaksanaannya. Skill ini juga diklasifikasikan keterampilan
menjadi teknis
dua
dan
kategori
perilaku
oleh
IIARF
masing-masing.
yaitu Lima
keterampilan teknis utama yang diidentifikasi yaitu 1. Memahami bisnis, 2. Menganalisis risiko dan teknik penilaian kontrol, 3. Mengidentifikasi jenis pengendalian internal, 4. Memahami risiko dan alat kontrol yang tepat 5. Memahami teknik lain terkait proses bisnis. Di sisi lain, lima keterampilan perilaku utama yang diidentifikasi oleh IIARF adalah 1. Kerahasiaan, 2. Objektivitas, 3. Komunikasi, 4. Judgement penilaian dari suatu kasus yang telah diobservasi 5. dan etika sensitivitas. Other Characteristic (Karakteristik lain) - mengacu pada
sifat seseorang dan tentu saja berbeda antar individu. Sifat dapat dilihat dari tes psikologi yang idealnya dilakukan saat awal pemilihan kandidat auditor syariah. Hasil dari tes psikologi dianggap penting karena membantu memilih kandidat terbaik pada tahap awal penyeleksian calon auditor syariah. Integrasi dari ketiga unsur ini merupakan framework ideal yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi ke dalam kurikulum lembaga
pendidikan
untuk
gelar
sarjana
sebagai
sarana 157
mempersiapkan lulusan-lulusannya menjadi auditor syariah di masa depan dan dijadikan modul untuk acuan lembaga-lembaga yang mengadakan pelatihan auditor syariah. Ketika standar kompetensi auditor syariah telah terbentuk, pasar akan memiliki pemahaman yang jelas tentang auditor syariah yang kompeten sehingga profesi auditor syariah dapat tinggi (nilainya) di pasar. Referensi:
Nor Aishah Mohd Ali, Zakiah Muhammadun Mohamed, Shahida Shahimi, & Zurina Shafii. (2015). Competency of Shariah Auditors in Malaysia : Issues and Challenges . Journal of Islamic Finance , 4 (1), 22 – 30.
158
Analisis Praktek Audit di Malaysia Oleh: Hilman Wijayanto Industri keuangan syariah saat ini sedang berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Perkembangan industri keuangan syariah ini juga tumbuh dan berkembang di Indonesia yang dimana industri ini mulai bergeliat pada akhitr tahun 1991 yang ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Mualamat. Seiring dengan berjalannya waktu mulai banyak bank – bank syariah yang bermunculan, hal ini bukan tanpa sebab karna bila di lihat populasi penduduk Indonesia yang rata-rata memeluk agama islam dan menjadi populasi muslim terbesar di dunia. Bank syariah dinilai bukan hanya dari sudut bisnis saja melainkan sebuah jawaban dari kebutuhan masyarakat muslim yang membutuhkan transaksi perbankan yang sesuai dengan syariat islam dan terhindar dari praktek-praktek ribawi. Kondisi yang sama dialami oleh negara tetangga Malaysia dimana perbankan syariah juga tumbuh berkembang. Namun Malaysia memulai jauh lebih awal dari Indonesia, yang bermula dari ‘Tabungan Haji’ pada tahun 1969 yang me nerapkan simpanan
dengan akad-akad syariah. Selanjutnya, pada tahun 1983 barulah
159
bank syariah pertama di Malaysia didirikan Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB). BIMB dalam praktiknya menggunakan sistem yang sesuai dengan syariat islam. sehingga para stakeholder tidak perlu khawatir dan yakin akan transaksi yang mereka lakukan dan pendapatan yang mereka terima
merupakan uang dari hasil
praktek ribawi.seiring berjalannya waktu mulai bermunculan bankbank islam lain yang beroprasi dan beberapa diantaranya adalah unit usaha syariah (UUS). Bank sendiri memiliki fungsi sebagai penghubung antara investor yang surpus modal dan para emiten yang kekurangan sumber daya modal. Fungsi tersebutlah yang menjadi dasar penilaian baik atau buruknya performa bank dengan meraih kepercayaan masyarakat untuk menghimpun dana masyarakat dari deposito dan utamanya investor. Fungsi di atas juga mengharuskan bank untuk menyalurkan dananya ke sektor yang kekurangan dana tetapi memiliki prospek yang baik. IBs tidak hanya berfungsi sebagai media penghubung, melainkan harus menjamin agar sumber-sumber dana yang di dapat dalam investasi yang dilakukan bebas dari unsur-unsur yang dilarang syariat Islam. Selain itu perlunya pengawasan yang bukan hanya dari sisi keuangan saja melainkan dari sistem yang 160
digunakan, sumber daya manusia dan hal lain yang berkaitan dengan oprasional BI. Oleh karna itu perlunya suatu standar audit internal
yang
dapat
mencakup
seluruh
aspek-aspek
yang
berpengaruh pada oprasional BI. BNM sebagai bank sentral mengambil langkah utnuk mulai membentuk standar audit internal bank syariah bekerja sama dengan International Syariah Research Academy (ISRA). Hasil dari pengodokan standart tersebut disebut Sharia Governance Framework (SGF). Terbentuknya SGF diharapkan akan membantu praktik audit internal yang di lakukan IBs dan menjadi acuan agar dapat diperbandingkan antara satu entitas syariah dengan entitas syariah lain dalam hal ini BI. Praktik audit internal syariah yang di jalankan di berbagai Islamic Bank (IB) di Malaysia mengalami berbagai kendala karena
tidak adanya standart yang menjadi acuan. Kondisi ini membuat rumitnya melakukan perbandingan karna antara IB yang satu dan yang lain menggunakan framework yang berbeda beda. Oleh karena itu dilakukanlah sebuah penelitian pada tahun 2015 tentang pelaksanaan audit internal pada 3 badan usaha syariah dan 6 unit usaha syariah dengan dua set kuisioner yang pertama di tujuan kepada 9 kepala audit syariah, dan set kedua di tujuan untuk 32
161
auditor internal syariah, 38 eksekutif syariah, dan 18 anggota komite syariah. Dalam penelitian ini di mendapatkan hasil bahwa 40,2% reponden mempunyai kerangka audit sendiri dengan menggunakan perspektif islam, diikuti dengan 38,1% menggunakan kerangka audit konvensional namun dengan penyesuaian. Sebanyak 5,3% masih menggunakan krangka audit konvensional dan sisanya yaitu 9,3% tidak mengetahui krangka audit apa yang mereka gunakan dalam audit syariah. Hasil ini mengindikasikan bahwa tidak terstandartnya kerangka audit karena beragamnya kerangka yang di gunakan. Sedangkan dilihat dari segi waktu menjalankan audit syariah sebagian besar reponden yaitu 68% melakukan audit sepanjang tahun dan ini mengindikasikan mulai tingginya kesadaran akan pentingnya audit syariah di lakukan. Sedangkan dari pelaksanaan audit atau praktek audit yang di terapkan oleh 3 badan usaha syariah dan 6 unit usaha syariah. Dalam penelitian ini acuan standart audit yang di gunakan adalah ISAF, dalam standar ini memiliki faktor yaitu lingkup audit meliputi laporan keuangan, kepatuhan sistem & organisasi, membentuk bagian yang menilai personalia karyawan dan penilaian pada proses menejemen, tujuan audit, audit dan governance, audit charter (piagam audit), kompetensi dari internal audit, pelaporan. 162
Dengan tujuh poin tersebut ingin di ketahui apakah BUS dan UUS sudah menerapkannya dalam praktek audit interal syariah yang mereka jalankan. Dari pratek yang selama ini di jalankan oleh BUS menunjukan bahwa telah memasukan hampir seluruh faktor kedalam audit internal yang mereka jalankan, namun terdapat kekurangan yaitu tidak memasukan audit terhadap sumber daya manusia (SDM) dalam audit mereka. Padahal karyawan merupakan gambaran atau representasi masyarakat terhadap perusahaan dimana ia bekerja, terlebih BUS maka karyawannya juga harus megambarkan prilaku yang baik pula. Hal senada juga di temukan pada UUS yang tidak memasukan audit terhadap sumber daya manusia atau karyawan. Pada UUS juga di temukan hanya tiga atau 50% UUS yang memasukan audit charter dalam cakupan audit mereka. Ini mengindikasikan kurangnya perancangan dan perencanaan audit internal syariah yang mereka lakukan. Namun sebagian besar telah dimasukan kedalam praktek audit mereka. Kita dapat menarik kesimpulan dalam penelitian ini bahwa sebagian besar para responden merespon positif dan setuju akan ketujuh factor tersebut dimasukan dalam cakupan audit. Ini mengindikasikan cukup baiknya adopsiyang dilakukan oleh bagianbagian yang terlibat langsung dalam melakukan audit internal 163
syariah dari ISAF. Dengan audit internal yang berjalan dengan baik dan efisien dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan juga jalan untuk menuju Good Corporate Governance (GCG). Malaysia dapat menjalankan audit internal syariah mereka dengan cukup baik dengan berbagai kendala yaitu tidak adanya standart yang ditetapkan. Hal serupa juga terjadi di Indonesia tidak adanya standar membuat perbandingan antara kinerja IBs tidak dapat di perbandingkan. Sebagai nasabah juga dapat mendorong agar audit syariah agar belangsung dengan menerapkan pemikiran yang kritis terhadap performa IBs.
164
Setelah mempelajari bahasan diatas, beberapa kesimpulan terkait bahasan pada bab 1- 5 adalah sebagai berikut: Bab
1,
membahas
mengenai
audit
syariah
dan
perkembangannya, ada tiga bagian utama pada bab ini. Pada bagian pertama membahas landasan teori dan dasar hukum audit syariah. Audit
syariah
adalah
pengawasan
terhadap
kepatuhan
syariah yang harus dipenuhi oleh lembaga keuangan syariah. Dasar hukum audit syariah adalah Al-Qur’an dan Hadits, dimana dalam konteks audit syariah, pemeriksaan, dan peninjauan kembali terhadap laporan keuangan dan sumber informasi LKS lainnya menjadi sangat penting. Pada bagian kedua membahas sejarah perkembangan audit syariah dan audit konvensional. Pada bagian ini dijelaskan beberapa lembaga internasional yang mempunyai standar praktik audit syariah, sementara itu praktek audit syariah di lembaga keuangan syariah dipraktikkan oleh DPS dan DSN. Pada bagian ketiga dijelaskan persamaan dan perbedaan audit syariah dan audit konvensional, bagian ini secara spesifik menjelaskan bahwasanya pandangan hukum (Al-Qur’an dan Hadits) pada praktik audit syariah merupakan perbedaan yang cukup signifikan. Bab 2, membahas megenai pengawasan syariah dan DPS,
dalam bab ini ada dua bagian utama. Pada bagian pertama 165
membahas mengenai pengawasan menurut para ahli, pengawasan dalam islam dan pengawasan pada lembaga keuangan syariah. Bagian pertama menguraikan penjelasan pengawasan menurut para ahli, dari beberapa pengertian pengawasan dapat dikatakan bahwa pengawasan
pada
dasarnya
dilaksanakan
selama
proses
pelaksanaan kegiatan tersebut sampai berakhirnya suatu kegiatan. Pengawasan pada dasarnya bertujuan untuk memastikan proses administrasi dan manajemen dapat tercapai secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif. Sementara pengawasan dalam islam identik dengan kata hisbah yang bermakna ihtisab yaitu meneliti, mentadbir, melihat, mencegah atau menahan seperti mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran atau mendapat balasan seperti seseorang melakukan kebaikan untuk mendapat balasan dari Allah. Al-Hisbah secara etimologis berarti menghitung, berfikir, memberikan opini, pandangan dan lain-lain. Dari segi istilah, AlMawardi (2000: 398) menjelaskan bahwa hisbah adalah melaksanakan tugas keagamaan yaitu menyeru melakukan ma’aruf
(kebaikan) yang jelas ditinggalkan dan mencegah melakukan kemungkaran yang jelas dilakukan. Pada bagian pengawasan pada lembaga keuangan terdapat beberapa perkembangan peraturan yang berlaku di Indonesia. Bagian kedua membahas mengenai DPS menurut para ahli, hubungan pengawasan dan DPS, model 166
pengawasan di Indonesia, fungsi, tugas, wewenang dan laporan DPS, serta masalah dan tantangan DPS. Pemahaman yang dijelaskan memberikan gambaran bahwasannya pada praktik pengawasan yang ada sudah cukup baik, bahkan di Indonesia peraturan yang diberikan oleh otoritas tertinggi pengawasan syariah (DSN) membuat lembaga keuangan syariah harus memenuhi konsekwensi yang ada, namun pada akhirnya proses pengawasan yang terbaik apabila pada setiap individu yang memaknai setiap aktivitasnya di awasi oleh Allah swt adalah merupakan pengawasan yang terbaik. Bab 3, pada bagian ini dijelaskan model pengawasan syariah
di negara Malaysia, ada dua bagian utama yang dibahas pada bab 3 ini, yang pertama pengawasan pada level mikro dan yang kedua pengawasan pada level makro. Malaysia dipilih karena dikatakan maju dalam dibidang industri keuangan syariah dengan sistem dual hukum dan peraturan yang komprehensif, yang dimana fungsi keuangan konvensional sejajar dengan keuangan syariah. pada bagian pengawasan pada level mikro dilakukan oleh Sharia Supervisory Board (SSB) yang berada pada setiap intitusi lembaga
keuangan syariah. SSB bertugas mengarahkan, meninjau dan mengawasi kegiatan LKS dalam rangka memastikan bahwa produk LKS sesuai dengan syariat Islam dan prinsip – prinsip syariah. 167
Fatwa dan keputusan SSB harus mengikat lembaga keuangan syariah. sementara pada bagian fungsi level makro dijelaskan bahwa pengawasan tersebut langsung dibawah naungan Bank Negara Malaysia (BNM) sebagai bank sentral. Lembaga pengawas audit syariah yang dimaksud dalam naungan BNM tersebut dikenal dengan Shariah Advisory Council (SAC). Secara umum, SAC bertugas menetapkan, merumuskan kebijakan dan peraturan untuk kegiatan keuangan dan perbankan. SAC sebagai otoritas tertinggi juga berperan dalam menstandarisasikan penetapan fatwa yang berlaku untuk lembaga keuangan syariah. Meskipun pengawasan langsung dibawah BNM dan keputusan yang dikeluarkan oleh SAC bersifat mengikat dalam undang-undang, namun Malaysia belum memiliki standar pedoman audit syariah yang resmi. Bab 4, membahas mengenai model pengawasan di beberapa
negara. yang pertama dipilih model pengawasan di negara Mesir, praktik pengawasan syariah di Mesir menjadi salah satu
negara yang tidak memiliki kerangka pengawasan syariah. Proses pengawasan syariah di serahkan pada lembaga masing-masing, namun pemenuhan terhadap prinsip syariah ditekankan oleh pemerintah Mesir. Yang kedua dipilih model pengawasan di negara Inggris, negara dengan perkembangan industry keuangan
syariah yang pesat ini memiliki beberapa ke-unikan dalam praktik 168
pengawasan syariah. Hal ini karena mayoritas penduduk yang nonmuslim belum terbiasa dengan aturan syariah sehingga masih dianggap hal aneh. Model hukum perbankan syariah sama dengan perbankan konvensional, dewan direksi pengawas syariah di perbankan tidak juga di sebutkan pada aturan tertinggi perbankan nasional. Namun perbaikan-perbaikan model pengawasan syariah terus dilakukan terutama oleh LSM, AAOIFI, dll. Yang ketiga model pengawasan di negara Qatar, pada praktek pengawasan
level makro di negara Qatar dilakukan oleh Sharia Supreme Council (SSC). Pada level mikronya diserahkan kepada lembaga perbankan syariah sendiri jika mengambil contoh Qatar International Islamic Bank misalnya, istilah yang biasanya digunakan adalah Religious Suprevisory Commite dimana jumlah anggotanya hanya dibatasi hanya
tiga orang. Sebenarnya dalam hal model pengawasan syariah yang dibagi antara mikro dan makro sendiri tidak begitu banyak penjelasan terkait spesifikasi pemisahannya antara level mikro dan makro. Model pengawasan ini merupakan pengawasan syariah secara umum atau menyeluruh di Negara Qatar. Yang keempat model pengawasan syariah dinegara Iran . Model pengawasan
makro di negara Iran dilakukan oleh Dewan Syura Perekonomian Islam, dimana Dewan syariah ini bertindak sebagai otoritas syariah tertinggi dan memiliki kemampuan untuk membentuk regulasi 169
tatakelola syariah serta merumuskan kebijakan nasional dan mengatur industri. Yang kelima model pengawasan di negara Yaman. Model pengawasan syariah di lakukan oleh SSB, dimana
dalam praktiknya setiap perbankan syariah memiliki model pengawasan yang berbeda, ada SSB yang menerapkan standar AAOIFI pada praktiknya namun ada juga yang hanya mengikuti beberapa fatwa saja. Yang keenam model pengawasan syariah di negara Pakistan, pada level makro ada Bank Negara Islam
( State Bank of Pakistan ) yang disingkat dengan SBP sebagai pengawas nasional. Pengawas Syariah Nasional bertindak sebagai otoritas syariah yang tertinggi dan memiliki kemampuan untuk membangun kerangka kerja tatakelola syariah dan merumuskan kebijakan nasional dan peraturan untuk industri.
170
Kusumadewi, Anggi.,Erick Tanjung. (2013, 25 Oktober). Kronologi Kasus Kredit Fiktif Rp. 102 M di Bank Syariah Mandiri Bogor. Diperoleh dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/453908kronologi-kasus-kredit-fiktif-rp102-m-di-bank-syariah-mandiri-bogor
Dwiantika, Nina. (2014, 9 Mei). OJK Selidiki Kasus Gadai Emas Bank Mega Syariah. Diperoleh dari http://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-selidiki-kasus-gadai-emas-bankmega-syariah
Song, Inwon., Carel Oosthuizen. (2014). Islamic Banking Regulation and Supervision: Survey Results and Challenges. IMF Working Paper. Diperoleh dari https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2014/wp14220.pdf
Shari’a Supervisory Board. (2016). Diperoleh dari http://www.qib.com.qa/en/islamic-banking/sharia-board.aspx diakses pada tanggal 14 Desember 2016 pada pukul 20.30
Daridin. (2015). Auditing dalam Perspektif Islam. Diperoleh dari http://www.bpkp.go.id/polsoskam/konten/368/Auditing-DalamPerspektif-Islam.bpkp. Diakses pada 19 Oktober 2016
171
Iwad, Muhammad. (November 2013). Dewan Pengawasan Syariah. Diperoleh dari http://muhammadiwad.blogspot.co.id/2013/11/makalah-dewan-pengawas-syariah.html diakses tanggal 18 Nopember 2011 pukul 21.11 Oxford Business Group. Qatar a regional leader and major global competitor in Islamic financial services. Diperoleh dari https://www.oxfordbusinessgroup.com/overview/qatar-regionalleader-and-major-global-competitor-islamic-financial-services di akses pada tanggal 10 Des 2016 jam 21:05) Oxford Business Group. (September 2016). Qatar’s banking sector shows resilience. Diperoleh dari https://www.oxfordbusinessgroup.com/news/qatar%E2%80%99sbanking-sector-shows-resilience diakses pada tanggal 13 des 2016 jam 6:10) Marlina, Mirna Siti.(2016). Praktik Pengawasan Syariah di Negara Anggota OKI. Diperoleh dari http://www.dakwatuna.com/2016/11/07/83370/praktik-pengawasansyariah-negara-anggota-oki/#ixzz4QNFzV024
Rihab Grassa, Sharia Supervisory Systems in Islamic Finance Institution Across the OIC Member Countries dalam Jurnal Emerald Insight Vol. 23, Januari 2016
Dani El Qori, Mekanisme Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Terhadap BPD Daerah Istimewa Yogyakarta dalam jurnal Maraji’: Jurnal Studi Keislaman Vol. 1, No. 1, September 2014
172
Ahmad Baehaqi, Usulan Model Sistem Pengawasan Syariah Pada Perbankan Syariah di Indonesia dalam jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis Vol. 1, No. 2, September 2014 Sepky Mardian, Auditor Syariah: Lulusan Syariah atau Lulusan Akuntansi, Koordinat Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Volume XIII, No. 1, April 2013, hlm. 179198, ISSN 1411-6154 Neneng Nurhasanah, Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII No. 3, November 2011, hlm. 223 Moh. Jatim, S.Ag., M.H.I., Tugas Dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Dps) Pada Perbankan Syariah (Dalam Meneliti Bentuk-Bentuk Akad)
Lale Sagbansua, Kursat Yalciner (2016). Model Proposal for Islamic Supervisory Boards in Financial Institutions. Vol. 6, No. 1
Ayedh, A. M., & Echchabi, A. (2013). Shari’ah Supervision in the Yemeni Islamic banks: a qualitative survey. Qualitative Research in Financial Markets Article ,Vol. 7 Iss(2015), 159 – 172. Minarni, Konsep Pengawasan, Kerangka Audit Syariah dan Tata Kelola Lembaga Keuangan Syariah . Jurnal Ekonomi Islam, La-Riba, Vol. VII, No. 1, Juli 2013.
Noor Aimi Mohamad Puad, Nurauliani Jamlus Rafdi, Siti Norwahida Shukeri & Nurul Jaliah Ramino Rashid. Analisis Syariah Audit/ Review Report: Malaysia, Pakistan & Bahrain.
173
Proceeding of the 2nd International Conference on Management and Muamalah 2015 (2ndICoMM). 2015 The Banker “Top Islamic Financial Institutio n ”, Special Report November
2015 IFSB, Islamic Financial Services Industry. May,2016. Ali Reza, 2010. Skripsi : Perbandingan Kondisi Perbankan Syariah Di Republik Islam Iran dan Indonesia. Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. Ali Syukron, 2013. Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2. Hlm 44. Mohsen Zanganeh, 2015. Supervising Islamic Financial Institutions: Islamic Banking in The Countries Compared. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 1
174