KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Sang Pemberi rahmat yang luas bagi sekalian alam, yang Dia juga telah merahmati penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah sederhana ini di sela-sela kesibukan penulis sebagai mahasiswa yang—karna rahmat Allah Swt juga—senantiasa dipenuhi dengan majlis-majlis yang berbau ilmu. Dari sanalah mungkin penulis harus pintar-pintar dalam memanage waktu, supaya makalah ini bisa terselsaikan tepat pada waktunya, juga tidak membuat aktivitas lain menjadi luput dan terbengkalai. Oleh karena waktu pengerjaan dan penyelesaian makalah ini yang sangat, kemudian sumber yang dibutuhkan sebagai referensi santatlah terbatas, juga karna ketidak-ahlian penulis dalam bidang ini, penulis hendak meminta maaf apabila dalam makalah sederhana ini terdapat kekeliruan yang relatif banyak disana-sini, entah itu dalam masalah kebahasaan, tata letak, ide pikiran, ataupun metodenya yang tidak sempurna—karna keterbatasan ilmu penulis. Oleh karena itu—selain sebagai tuntutan tugas UTS—penulis berkehendak mengajukan makalah sederhana ini kepada Dr. Nashruddin Syarif, M.Pd.I—semoga Allah Swt senantiasa memberikan taufiq-Nya kepada beliau—selaku dosen penulis dalam mata kuliah Hadits II (Shahih Muslim), untuk kemudian dikoreksi dan diluruskan kekeliruannya, supaya hal itu menjadi ilmu baru bagi penulis agar bisa mengantisipasi kesalahankesalahan dalam tugas makalah-makalah selanjutnya. Selain itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada beliau yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis terutama dalam masalah hadits, berkat beliau. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada para ulama yang karya mereka telah penulis jadikan sebagi rujukan. Nama mereka say tulis di footnote dan juga terlampir di daftar pustaka. Kepada seluruhnya, penulis ucapkan jazakumullahu khairan katsiran. Akhirnya, penulis hanya bisa berharap kepada Allah Swt supaya makalah sederhana ini—meskipun dengan kesalahan yang banyak—bisa mendatangkan manfaat bagi semuanya, khususnya bagi penulis, di saat harta, tahta dan keluarga tak ada lagi yang yang bermanfaat kecuali yang datang dengan hati yang ikhlas.
اهلل يأخذ بأيدي ـ ـ ـ ـنا الى ما فيـ ـ ـه خير لإلسالم والمسلم ـ ـ ـ ـين Garut, Sakan Ma’had ‘Ali Baiturrahman, Minggu, 05 April 2015 al-faqir li hubbillah Firman Sholihin i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….
i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….. ii BAB I: MUQADDIMAH………………………………………………………………………..
1
A. Latar Belakang Pembahasan…………………………………………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………. 3 C. Metode Penulisan…………………………………………………………………………………………..
3
D. Tujuan Pembahasan………………………………………………………………………………………. 3 E. Sistematika Pembahasan………………………………………………………………………………..
4
BAB II: BIOGRAFI IMAM MUSLIM………………………………………………………
5
A. Biografi Kepribadian Imam Muslim (Tarjamah Asy-Syahshiyyah).…………………..
5
1)
Nama dan Kuniyah Imam Muslim……………………………………………………………
5
2)
Nasab dan Domisili Imam Muslim…………………………………………………………… 5
3)
Waktu Kelahiran Imam Muslim……………………………………………………………….
4)
Gambaran Fisik Imam Muslim………………………………………………………………... 8
5)
Karakter Imam Muslim…………………………………………………………………………… 8
6)
Pekerjaan Imam Muslim…………………………………………………………………………. 9
6
B. Biografi Keilmuan Imam Muslim (Tarjamah Al-‘Ilmiyyah).……………………………… 10 1)
Masa Pertumbuhan dan Tahap Awal Pembelajaran Imam Muslim……………… 10
2)
Pengembaraan Imam Muslim untuk Mencari Hadits…………………………………
3)
Guru-guru Imam Muslim.……………………………………………………………………….. 14
4)
Antara Imam Muslim dan Gurunya; Imam Al-Bukhari………………………………. 14
5)
Madzhab Imam Muslim dalam Masalah Furu’iyyah………………………………….. 15
6)
Murid-murid Imam Muslim…………………………………………………………………….
7)
Karya-karya Ilmiyyah Imam Muslim………………………………………………………… 16
8)
Pijian Para Ulama terhadap Imam Muslim……………………………………………….. 17
9)
Wafatnya Imam Muslim………………………………………………………………………….
BAB III: BIOGRAFI KITAB SHAHIH MUSLIM……………………………………….
11
16
18 20
A. Nama Asli Kitab Shahih Muslim…………………...……………………………………………….. 20 B. Faktor Pendorong Penyusunan Kitab Shahih Muslim……………………………………….. 21 C. Awal Penyusunan Kitab Shahih Muslim sampai Penyelesaiannya………………………. 22 D. Jumlah Hadits dalam Kitab Shahih Muslim………..…………………………...……………… ii
23
E. Penulisan Bab dalam Kitab Shahih Muslim………..…………………………...………………. F.
23
Metodologi Imam Muslim dalam Menyusun Kitab Shahih-nya………………………….. 24 1)
Keistimewaan Imam Muslim dalam Teknik Penyusunannya………………………. 24
2)
Kriteria Perawi yang Hadits Mereka Diriwayatkan oleh Imam Muslim………..
3)
Syarat Imam Muslim dalam Penyusunan Kitab Shahih-nya…………….............. 26
4)
Jawaban Bagi Riwayat Imam Muslim Yang Mendapat Penilaian Dlaif….........
25 27
G. Keistimewaan dan Kedudukan Kitab Shahih Muslim di Antara Kitab-kitab Sunnah 28 Lainnya………..…………………………...……………..…………………………...……………………. H. Kitab Mukhtashar (Ringkasan) Shahih Muslim………..…………………………………...... I.
30
Kitab-kitab Syarah (penjelas) Shahih Muslim………..……………………………............... 30
BAB IV: PENUTUP…….……………………………………………………………………….. 33 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………..
iii
35
BAB I MUQADDIMAH A. Latar Belakang Pembahasan Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan yang—dengan segala kebaikan dan kemurahanNya—telah mencurahkan nikmat dan rahmat-Nya kepada sekalian alam. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Saw dengan membawa agama-Nya yang haq disertai keterangan-keterangan yang jelas dan bukti-bukti yang nyata, untuk dijadikan sebagai hujjah dalam berucap dan beramal dalam segala aspek kehidupan. Telah kita ketahui bersama bahwa sumber dari segala sumber hukum Islam yang menjadi rujukan dari segala tindak-tanduk umat Islam adalah Alquran dan Assunnah. Allah Swt dalam salah satu firman-Nya berjanji bahwa Dia akan menjaga dan memelihara keaslian dan kemurnian sumber dari segala sumber hukum Islam tersebut, supaya senantiasan menjadi rujukan seluruh umat Islam sampai akhir zaman, dan supaya mereka—yang dengan serius menyelaminya—tidak buta terhadap kebenaran. Firman allah Swt:
ﮗﮘﮙﮚ ﮛﮜ ﮝﮞ “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S Al-Hijr [15]: 9) Alquran adalah kumpulan kalam Allah Swt yang menjadi peletak dasar hukumhukum Islam. Umat yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad Saw—dalam segala aspek kehidupannya—haruslah senantiasa ada dalam jalur-jalur dan batasan yang telah Allah Swt gariskan dalam kitab-Nya; Alquran. Namun, tidak dapat dinafikan, bahwa keterangan-keterangan yang dihimpun oleh Alquran masih banyak yang masih samar serta mujmal, karna memang hanya menjadi peletak dasar-dasarnya saja. Terkadang, apa yang Allah Swt tetapkan dalam Alquran hanya berupa perintah-perintah saja, sedang kaifiyyat (tata cara) dan aturan dalam merealisasikan pesan suci yang menjadi inti dari nash tersebut, terkadang tidak langsung dijelaskan di sana. Dalam hal ini, Allah Swt telah memberikan solusi yang paling baik untuk bisa mengambil kesimpulan dan kejelasan hukum-hukum yang ada dalam Alquran, yaitu dengan mempelajari Assunnah atau disebut juga dengan al-hadits. Hal itu dikarenakan, sunnah atau hadits tersebut berperan sebagai penjelas yang samar, pen-takhshish yang umum, dan pembatas yang muthlaq dari apa-apa yang datang dalam Alquran. Sehingga, kebutuhan Alquran terhadap Assunnah ini lebih krusial daripada kebutuhan Assunnah terhadap Alquran. Pada segala keadaan, memelihara Assunnah atau al-hadits tersebut termasuk memelihara Alquran, karena—sebagaimana yang telah diterangkan—Assunnah merupakan
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
1
penjelas dari kemujmalan Alquran, pen-takhshish dari keumuman Alquran dan pembatas bagi kemuthlaqannya. Sehingga, keberadaan Assunnah merupakan hal yang sangat urgen bagi para penafsir Alquran secara khusus, dan tentunya bagi seluruh kaum muslimin secara umum, karena segala aspek kehidupan yang mereka jalani akan senantiasa bersentuhan dengan hukum yang ada dalam Alquran. Salah satu faktor yang melatarbelakangi terpeliharanya Assunnah sampai sekarang adalah kegigihan dan ketekunan para ulama dahulu dan antusiasme mereka untuk menghidupkan nash-nash agama. Allah Swt—dengan keluhuran dan keagungan-Nya—telah memberikan taufik kepada para tokoh yang telah membaktikan seluruh usia mereka untuk mengkodifikasi Assunnah, menghafal, mempelajari, mengajarkan, membela serta memurnikannya dari campuran-campuran palsu yang dimasukan oleh tangan-tangan orang yang dengki dan tidak rela terhadap kesucian agama langit ini. Kontribusi dan perjuangan yang mereka (para ulama) curahkan untuk kepentingan agama ini—semoga Allah Swt membalas kebaikan mereka, khususnya dalam bidang Assunnah, telah kita rasakan manfaatnya yang begitu besar dan nilainya yang begitu tinggi. Apa yang menjadi hasil perjuangan mereka, baik itu berupa kodifikasi hadits nabi ataupun ilmu yang menyertainya—jika Allah Swt menghendaki, akan senantiasa kita pakai sebagai rujukan kedua setelah Alquran, mungkin sampai akhir kehidupan kelak. Namun, fakta yang nampak pada kebanyakan orang di zaman sekarang, khususnya dalam masalah penghidupan Assunnah, tidaklah berbanding lurus dengan kehidupan mereka (para ulama) dahulu, yang senantiasa bersemangat dan antusias dalam masalah tersebut. Meskipun kitab-kitab hadits yang sudah teruji keshahihannya telah tersebar di berbagai pelosok bumi, kebanyakan mereka malah acuh tak acuh dan menutup diri dalam masalah ini. Padahal, para ulama terdahulu telah bersusah payah untuk menghasilkan karya ilmiyyahnya yang tentunya—sebagaimana harapan mereka—supaya bisa dengan mudah dipakai olah umat yang hidup setelah mereka. Dalam makalah sederhana ini, insya Allah penulis akan memaparkan secara singkat salah satu biografi ulama hadits paling terkenal dalam bidang ini, yaitu Imam Muslin bin Al-Hajjaj (selanjutnya ditulis: Imam Muslim) dan salah satu karya monumentalnya, Shahih Muslim, yang senantiasa ditempatkan sebagai ktab shahih kedua setelah Alquran bersama kitab Shahih Al-Bukhari. Penulis sangat menyimpan harapan yang besar supaya apa yang terkandung dalam makalah sederhana ini, menjadi pemacu dan pendorong bagi kita semua untuk senantiasa menghidupkan Assunnah atau al-hadits, sebagaimana ulama yang akan kita bicarakan kehidupann dan karyanyanya; Imam Muslim. Paling tidak, kita berusaha untuk mencoba menyelami dan menghayati perjuangan beliau dalam menghidupkan Assunnah, supaya sikap melalaikan dan menganggap remeh yang senantiasa hinggap dalam diri kita menjadi luput tiada. Tidak diragukan lagi, bahwa mempelajari biografi ulama terkemuka dan mempunyai keutamaan besar ini, dapat menghasilkan beberapa faidah berupa pelajaran yang berharga,
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
2
di antaranya: Mendidik para pemuda kebangkitan Islam untuk meneladani dan meneruskan perjuangan mereka dalam menghidupkan Assunnah; Mengetahui keutamaan ilmu dan pengembannya; Membakar semangat kita untuk menyebarkan ilmu yang telah mereka ajarkan lewat karyanya; Memetik fikih mereka, dan mengambil pelajaran dari saran dan nasihat mereka; dan masih banyak lagi. Semoga, dengan kita mengetahui biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya ini, kita menjadi semakin tahu akan kredibilitas yang dimiliki oleh Imam besar ini. Dengan kita mengetahui keadaan nasab, karakteristik sosial, guru-gurunya, dan lain sebagainya, maka— secara otomatis—kita juga akan mengetahui cara berpikir dan bertindak Imam Muslim tersebut. Dengan demikian, kita tidak akan ragu-ragu lagi untuk memetik pelajaran dari karya-karya yang telah beliau buat termasuk kitab Shahih-nya itu. Selain itu, semoga kita juga bisa menjadi pelanjut Imam Muslim dalam menghafal, mempelajari, mengejarkan, membela dan memurnikan sunnah Nabi Muhammad Saw yang mulia ini. Amin ya mujiba as-saailiin B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang menjadi pembatas dalam pembahasan ini dapat penulis simpulkan menjadi beberapa point, di antaranya: 1. Seperti apa kepribadian Imam Muslim itu? 2. Bagaimana perjalanan pencarian ilmu Imam Muslim? 3. Bagaimana kitab Shahih Muslim itu? C. Metode Penulisan Metote pembahasan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan literatur-literatur berupa kitab-kitab, majalah, dan artikel yang bisa menunjang pembahasan dan menjadi rujukan dalam penyusunan materi dalam makalah ini. D. Tujuan Pembahasan Adapun yang menjadi pemicu dan pendorong penulis untuk membahas materi dalam makalah sederhana ini, di antaranya adalah: 1. Untuk menambah pengetahuan tentang biografi Imam Muslim. 2. Untuk menambah pengetahuan tentang biografi kitab Shahih Muslim. 3. Untuk memenuhi salah satu tugas UTS mata kuliah Hadits II (Shahih Muslim)
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
3
E. Sistematika Pembahasan 1.
BAB I :
Muqaddimah yang meliputi: Latar Belakang Pembahasan, Rumusan Masalah, Metode Penulisan, Tujuan Pembahasan, dan Sistematika Pembahasan.
2.
BAB II :
Pembahasan Pertama yang meliputi: (1) Biografi Kepribadian Imam Muslim (At-Tarjamah Asy-Syahkshiyyah), mencakup nama, nasab, domisili, kelahiran, gambaran fisik, karakter, dan pekerjaan beliau; (2) Biograi Keilmuan Imam Muslim (At-Tarjamah Al-„Ilmiyyah), mencakup masa pertumbuhan, tahap awal pembelajaran, pengembaraan (rihlah), guru, madzhab furu, murid, karya ilmiyyah, pujian para ulama kepada beliau, dan yang terakhir adalah wafatnya Imam Muslim.
3.
BAB III : Pembahasan kedua yang berisi tentang Biografi Kitab Shahih Muslim, mencakup nama kitab, faktor pendorong penyusunan, awal penyusunan sampai penyelesaiannya, jumlah hadits, penulisan bab, keistimewaan metodologi penyusunan, kriteria perawi, syarat imam muslim, jawaban pengritisi Shaih Muslim, kedudukan Shahih Muslim di antara al-kutub as-sunnah lainnya dan yang terakhir adalah kitab ringkasan dan penjelasan bagi Shahih Muslim.
4.
BAB IV Penutup :
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
4
BAB II BIOGRAFI IMAM MUSLIM A. Biografi Kepribadian Imam Muslim (Tarjamah Asy-Syahshiyyah) 1) Nama dan Kuniyah1 Imam Muslim Beliau adalah Al-Imam Al-Kabir Al-Hafizh Al-Mujawwid Al-Hujjah Ash-Shadiq,2 Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kausyadz, Al-Qusyairi An-Naisaburi.3 Kunyahnya Abu Al-Husain.4 2) Nasab dan Domisili Imam Muslim Para ahli sejarah bersepakat bahwa nasab Imam Muslim—rahimahullah—berasal Dari Bani Qusyair,5 suatu kabilah yang sudah dikenal di negrei Arab,6 yang dinisbahkan kepada moyangnya; Qusyair bin Ka‟ab bin „Amir bin Sha‟sha‟ah.7 Banyak sekali di antara para ulama yang dinisbahkan kepada kabilah ini.8 Namun, Adz-Dzahabi sedikit ragu mengenai penisbahan Muslim kepada kabilah ini, sehingga beliau (Adz-Dzahabi) berkata, “Barangkali beliau (Imam Muslim) Mawaliy Qusyair..” 9 An-Nurustani mengatakan, “Penisbatan Imam Muslim kepada kabilah ini merupakan penisbatan yang asli. Berbeda halnya dengan Imam Al-Bukhari, karena sesungguhnya penisbatan kepada Al-Ju‟fiy adalah penisbatan karena wali (yang telah memerdekakan).10 Dengan demikian, penisbatan Imam Muslim kepada kabilah Qusyair dalah penisbatan yang murni karena keturunan bukan karena hubungan perwalian. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ibn Hazm Al-Andalusi yang menyebutkan bahwa Qusyair bin Ka‟ab melahirkan keturunannya dan Imam Muslim bin Hajjaj termasuk di antara mereka, sedangkan rumah Ibn Qusyair berada di Andalusia yaitu di Hayan.11 Iman An-Nawawi berkata, “Al-Qusyairi adalah nasab Imam Muslim dan AnNaisabur adalah tempat tinggalnya. Nasab Imam Muslim murni berkebangsaan Arab”. 12 Demikian Juga Ibn Shalah mengatakan, “Al-Qusyairi adalah nasab Imam Muslim dan AnYang dimaksud dengan kuniyah adalah sebutan untuk seseorang yang disandarkan keapda nama putranya. Sehingga, kuniah seseorang biasanya diawali dengan lafazh Abu.. misalnya Abu „Isa (kuniyah Imam At-Tirmidzi). 2 Adz-Dzahabi (12/558), Farid (2/307). 3 An-Nawawi “Tahdzib” (2/89), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10), Adz-Dzahabi (12/558), Al-„Asqalani (10/126), Ibn Shalah (55), Ar-Razi (182), Salman (13), Thawalibah (14), Al-Badar (1), Fakhauri (35), AnNurustani (13), Farid (2/307), Syuhbah (103). 4 Salman (23). 5 Thawalibah (14), An-Nurustani (13). 6 An-Nawawi (2/89), Salman (17), Thawalibah (14), An-Nurustani (13). 7 Salman (17), Al-Badar (1). 8 Al-Badar (1), An-Nurustani (13).. 9 Adz-Dzahabi (12/558). Maksudnya, Imam Adz-Dzahabi menyangkan bahwa penisbahan Imam Muslim kepada kebilah ini bukanlah penisbahan yang asli, tapi penisbahan karena hubungan perwalian. 10 Al-Badar (1), An-Nurustani (13). 11 Syiha (50). 12 An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10), Salman (17). 1
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
5
Naisaburi adalah Kampung tempat dia tinggal. Nasabnya murni berkebangsaan Arab. Dia merupakan salah satu di antara banyaknya ahli hadits dari Khurasan”.13 Imam Muslim lahir dan bertempat tinggal di A‟la Az-Zamjar di kota Naisabur.14 AnNaisaburi: Penisbatan kepada Naisabur, yaitu sebuah kota yang agung dan terbaik di Khurasan. Banyak tercatat keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki kota ini. Di sebut Naisabur karena dahulu ada orang yang bernama Sabur. Dia berkata saat melihat daerah tersebut, “Tempat ini cocok untuk dijadikan kota”. Sebelumnya, tempat tersebut dipenuhi oleh pepohonan bambu. Lalu, orang yang bernama Sabur ini memerintahkan agar bambubambu tersebut ditebang dan dibangun kota, yang kemudian kota tersebut disebut Naisabur. Nai artinya bambu dan yang masyhur dengan penisbatan semacam ini tidak terhitung.15 Kota Naisabur ini merupakan kota di Khurasan yang paling agung, paling terkenal, dan paling banyak melahirkan imam-imam dari berbagai macam disiplin ilmu. Al-Hafizh „Abdul-Qadir Ar-Rahawi berkata, “Ada empat kota di Khurasan yang berperan sebagai Ibu (yang melahirkan ulama); Naisabur, Marw, Balakh dan Harah”.16 Kota Naisabur tersebut—ketika zaman Imam Muslim—merupakan pusat keilmuankeilmuan penting, terutama dalam bidang ilmu hadits dan riwayat. Kota itu juga terkenal dengan ketinggian sanad-sanadnya, sampai-sampai imam Adz-Dzahabi menyebut kota tersebut dengan sebutan Dar As-Sunnah wa Al-„Awali. 17 Banyak sekali ulama-ulama dalam bidang fiqih dan hadits yang lahir dari kota tersebut bahkan sampai tak terhitung.18 Yaqut Al-Hamawi mengungkapkan satu pujian terhadap kota ini, “Dia (kota Naisabur) merupakan tambang fudlala‟ (orang yang berbudi luhur) dan sumber ulama‟ (orang yang berpenge-tahuan)”.19 Kota Naisabur sekarang terletak di negri Iran, sekitar 50 mil lebih dari kota Masyhad, arah timur laut paling ujung dari nergi Iran.. sekarang nama kota tersebut diganti menjadi Nisabur—dengan mengkasrahkan huruf nun.20 3) Waktu Kelahiran Imam Muslim Mengenai waktu kelahiran Imam Muslim, seluruh ahli sejarah sepakat bahwa Imam Muslim ini dilahirkan setelah tahun 200 H. Adapun mengenai kejelasannya, terjadi perbeda-an di kalangan ahli sejarah dalam hal ini. Ada yang menyatakan tahun 201 H dan ada juga yang menyatakan 202 H.21
Ibn Shalah (55), Salman (17). Salman (17), Thawalibah (14). 15 Syiha (50-51), Salman (18). 16 Salman (18), An-Nurustani (14). 17 Salman (17), Thawalibah (14), An-Nurustani (13). Dar As-Sunnah wa Al-„Awali: Kampungnya sunnah Nabi Saw dan hadits bersanad tinggi. 18 Salman (18), An-Nurustani (14). 19 Salman (18), Thawalib (15), Fakhauri (36), An-Nurustani (14). 20 Salman (18), An-Nurustani (14). 21 An-Nurustani (17). 13
14
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
6
Pendapat yang sudah masyhur dan dikenal dalam penetapan ini adalah pendapat Adz-Dzahabi,22 Ibn Katsir,23 Ibn Hajar,24 dan As-Suyuthi, yang berpendapat bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H.25 Ibn Katsir menyatakan, “Beliau (Imam Muslim) lahir pada pada tahun kematian Imam Asy-Syafi‟i, yaitu pada tahun 204 H”.26 Namun, sekalipun pendapat tersebut (yang menyatakan 204 H) disampaikan oleh para ahli hadits dan sejarawan terkemuka, pendapat ini dinilai sebagai pendapat yang marjuh (tidak kuat) oleh Fakhauri dan ulama kontemporer lainnya.27 Fakhauri mengatakan, “Pendapat yang benar—dalam padangan Fakhauri—adalah, bahwasanya Imam Muslim dilahirkan pada tahun 206 H. hal itu dikarenakan, orang yang pertama mengatakan pendapat ini adalah Ibn Khalkan (w. 681 H), sedang dia—dalam segala hal—masanya lebih dekat kepada Imam Muslim daripada mereka yang membuat tarjamah (biografi) Imam Muslim”. Ibn Khalkan menerangkan bahwa dia mengutip pendapat tersebut dari Ibn Shalah dan juga dari kitab „Ulama Al-Amshar karya Al-Hakim An-Naisabur, yang beliau (Al-Hakim) hidup pada Abad ke-4 H (321-405 H)”.28 Pendapat Fakhauri ini didukung juga oleh Salman yang mengatakan bahwa pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan bahwa Imam Muslim lahir pada tahun 204 H. Salman mengatakan, “Pendapat ini (yang menetapkan 206 H) merupakan pendapat yang rajih (kuat) dalam pandangan saya. Hal itu dikarenakan orang yang pertama menyebutkan tahun wafat dan memperkirakan umurnya adalah Ibn Al-Akhram (w. 344 H), pengarang kitab Al-Mustakhraj „ala Shahih Muslim. Al-Hakim (w. 405 H), Murid Ibn AlAkhram, mengutip pendapat Al-Akhram ini dalam kitabnya „Ulama Al-Amshar dan kitab Al-Muzakkin li Ruwah Al-Akhbar. Kutipan Al-Hakim ini dikutip oleh Ibn Shalah (w. 643 H),29 yang kemudian dikutip lagi oleh muridnya, Ibn Khalkan (w. 681 H). Ibn Khalkan menga-takan, „Sesungguhnya dia mempunyai naskah asli yang guru kami, Ibn shalah, mengutip dari naskah tersebut‟. Adapun mengenai kitab Al-Hakim yang kedua, AlMuzakkin li Ruwah Al-Akhbar, Ibn Shalah dan Imam An-Nawawi (w. 676 H) telah mengutip pendapat ini dari kitab tersebut.30 Tak hanya sampai di sana, untuk lebih memperkuat argumennya, Salman mengatakan, “Pendapat ini merupakan pendapat yang dishahihkan oleh Ibn Hajar dalam AlMuqaddimah.. seluruh tim riset kontemporer pun ikut serta menshahihkannya.. pendapat ini akan semakin kuat apabila kita mengetahui bahwasanya Ibn Al-Akhram, Al-Hakim, Ibn Shalah, dan An-Nawawi termasuk ulama-ulama yang memberikan perhatian besar mereka
Adz-Dzahabi (55). Ibn Katsir (11/34). 24 Al-„Asqalani (10/127). 25 Fakhauri (35), Salman (20), Farid (2/307).. 26 Ibn Katsir (11/34), Al-Badar (1), Syiha (51). 27 Fakhauri (35), salman (20). 28 Fakhauri (35), (35-36). 29 Ibn Shalah (64). 30 Salman (21). 22 23
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
7
terhadap Imam Muslim dan karya-karyanya. Inilah—wallahu a‟lam—yang menjadi pendorong mereka untuk lebih kritis dan teliti dalam penetapan tahun kelahiran ini”.31 Selain itu, Al-„Utsmani, pengarang kitab Fath Al-Mulhim, menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan 206 H merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibn Atsir dalam Muqaddimah Jami‟ Al-Ushul.32 Dengan demikian, penulis memilih pendapat yang terakhir ini sebagai pendapat yang lebih kuat dalam penetapan waktu kelahiran Imam Muslim. Kesimpulannya, Imam Muslim dilahirkan pada tahun 206 H. Pendapat yang bertentangan dengan pendapat ini adalah pendapat yang marjuh (tidak kuat), dan termasuk pendapat yang penulis tinggalkan dalam penetapan ini. 4) Gambaran Fisik Imam Muslim Al-Hakim berkata—sebagaimana dikutip oleh Adz-Dzahabi, “Aku mendengar Abu „Abdur-Rahman As-Sulami berkata, „Aku melihat seorang syaikh yang tampan wajahnya dan bagus pakaiannya. Dia memakai jubah yang bagus dan serban yang dijulurkan di antara kedua pundaknya‟. Lalu dikatakan, „Ini adalah Muslim bin Al-Hajjaj‟. para pemegang kekuasaan pun datang seraya mengatakan, „Amir Al-Mu‟minin telah memerintahkan supaya Muslim bin Al-Hajjaj diangkat sebagai Imam-nya kaum Al-Muslimin‟. Mereka pun mengutamakan Imam Muslim di dalam masjid, kemudian Imam Muslim bertakbir dan Shalat mengimami orang-orang”.33 Al-Hakim Juga menjelaskan, “Aku mendengar ayahku berkata, „Aku melihat Muslim bin Al-Hajjaj menyampaikan hadits di Khan Makhmasy. Dia merupakan seorang lelaki yang berpostur tegap. Janggut dan rambutnya sangat putih—karena beruban. Dia menjulurkan ujung serbanya di antara dua pundaknya”.34 Dari kedua riwayat Al-Hakim di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam Muslim ini merupakan lelaki yang berpostur tegap, berwajah tampan dan berjenggot. Beliau juga pribadi yang apik dalam berpakaian, selalu memakai sorban dengan gayanya, jubah yang bagus terhias di badannya dan senantiasa memperhatikan kebersihah tubuhnya sehingga terpancar cahaya wibawa ketika melihatnya. 5) Karakter Imam Muslim Imam Muslim adalah seorang yang memiliki kesabaran dan ketekunan yang tinggi dalam mencari dan menghasilan sesuatu.35 Dia juga adalah seorang yang bercita-cita tinggi serta mempunyai banyak kesibukan dan aktivitas dalam mencari penghidupannya.36 Kesabaran, ketekunan dan ketinggian cita-citanya tergambar dalam setiap penelitiannya terhadap satu hadits sampai menghabiskan satu malam penuh tanpa tidur sedikitpun. 37 Salman (21-22). Al-„Utsmani (269). 33 Adz-Dzahabi (12/566), Farid (2/307), Sholahudin (1). 34 Adz-Dzahabi (12/570), Salman, (29), Farid (2/307), An-Nurustani (18-19). 35 Salman (26), An-Nurustani (18). Kesabaran Imam Muslim akan semakin jelas ketika kita tahu penyebab kematiannya, sebegaimana akan dibahas kemudian. 36 Thawalibah (20), Salman (26), An-Nurustani (18). 37 Salman (26). 31
32
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
8
Imam Muslim juga merupakan pribadi yang banyak melakukan kebaikan kepada manusia, sampai-sampai dia diberi gelar Muhassin Naisabur (orang yang banyak melakukan kebaikan di Naisabur).38 Dalam kitab Bustan Al-Muhadditsin, Ad-Dahlawi mengatakan tentang sifat Imam Muslim, “Semasa hidupnya, Imam Muslim tidak pernah memfitnah, merendahkan, dan menghina seorang pun”.39 An-Nurustani mengatakan, “Beliau (Imam Muslim) adalah orang yang tsiqat (terpercaya), yang mulia derajatnya, termasuk kedalam ulama senior, terkenal sebagai orang yang wara‟ (hati-hati terhadap hal yang syubhat), ahli ibadah, memiliki ilmu yang luas, dan senantiasa hati-hati dalam menjada agamanya. Oleh karena itu, beliau menjadi orang yang agung di mata manusia dan orang yang tinggi serta terkenal kedudukannya”. 40 Disampig itu, beliau juga merupakan orang yang pemberani, jujur, dan selalu menepati janji.41 Yang jelas, pakar hadits terkenal ini mempunyai karakter yang baik dan senantiasa menyimpan sesuatu pada tempatnya (tidak zhalim). Hal itu sebagaimana penduduk Naisabur menyifatinya sebagai Ahl Ri‟asah wa Siyasah (orang yang punya karakter kepemimpinan dan politik.42 6) Pekerjaan Imam Muslim Selain karakter-karakter di atas, satu karakter lagi dari Imam Muslim yang khusus disebutkan dalam pembahasan ini adalah karakter yang disifatkan oleh „Adb As-Salam AlMubarakfuri dengan pernyataannya yang mengatakan, “Imam Muslim merupakan orang yang mempunyai harga diri yang tinggi dan selalu menjauhi hal-hal yang dapat membuatnya hina. Sampai sampai, dia tidak ingin menerima bantuan dan pemberian dari siapapun”.43 Karakter tersebut mungkin yang mendorong Imam Muslim mempunyai karakter pekerja keras dan tidak ingin bergantung kepada orang lain. Imam Muslim menghidupi dirinya dengan tangannya sendiri. Dia mempunyai sebuah toko di Khan Mahmasy, 44 yang dia menjual perabotan rumah ditoko tersebut.45 Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh „Adbul Wahhab Al-Fara‟, “Imam Muslim—rahimahullah—adalah seorang penjual perabotan rumah, dan dia mempunyai bisnis perdagangan”.46
Salman (26), (27), Thawalibah (20). Al-„Utsmani (271), Salman (27), An-Nurustani (19). 40 An-Nurustani (19). 41 Salman (28), An-Nurustani (19). 42 Thawalibah (21), Salman (27). 43 Salman (27). 44 Adz-Dzahabi (12/570), Salman (24). 45 Salman (24). 46 Salman (24). 38 39
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
9
Tidak hanya bisnis dalam menjual perabotan rumah saja, Imam Muslim juga mempunyai properti lain dan harta kekayaan di desanya. Dari kekayaan dan perdagangan itulah Imam Muslim menghidupi dirinya secara independent.47 Meskipun Imam Muslim ini seorang bisnismen yang sangat sibuk dengan perniagaannya, itu semua tidak melalaikannya dalam mencari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain terutama dalam menyiarkan hadits Nabi Saw. Bahkan, sesekali Imam Muslim menceritakan hadits ketika beliau sedang sibuk dalam bisnis di tokonya. Al-Hakim mengatakan, “Aku mendengar ayahku berkata, „Aku melihat Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan hadits di Khan Mahmasy (di tokonya)”.48
B. Biografi Keilmuan Imam Muslim (Tarjamah Al-‘Ilmiyyah) 1) Masa Pertumbuhan dan Tahap Awal Pembelajaran Imam Muslim Imam Muslim tumbuh di tengah-tengah berbagai macam ilmu yang bagus.49 Ayah Imam Muslim adalah seorang pengajar yang senantiasa duduk di depan majlis untuk memberikan pendidikan, pengajaran dan arahan kepada orang-orang.50 „Abdul Wahhab AlFarra‟ (w. 272)—murid Imam Muslim—berkata, “Ayahnya, Al-Hajjaj bin Muslim, termasuk orang yang terpandang dalam masalah keilmuannya”.51 Sejak kecil, Imam Muslim telah membiasakan diri membaca Alquran dan menghafalnya, serta mempelajari banyak ilmu dari ayahnya, Al-Hajjaj bin Muslim.52 Al-Hajjaj bermaksud untuk mendidik dan mengajari anaknya, Imam Muslim, secara langsung dan menolak untuk memberikan pengajaran dari jalan lain. Tidak diragukan lagi, bahwasanya kebagusan ayahnya dalam memberikan pengajaran dan pengarahan akan meliputi penduduk rumahnya, karena mereka adalah orang pertama yang harus mendapatkannya. Pemberian ilmu—oleh ayah Imam Muslim— secara langsung tersebut akan menanamkan benih pertama di antara benih-benih pendidikan dasar. Ayahnya juga menutup halaqah-halaqah dan penyempurnaan pendidikan bagi Imam Muslim dari jalan lain selain darinya.53 Padahal, Sudah menjadi kebiasaan penduduk pada masa tersebut, para ayah mengirim anak-anaknya ke kuttab54 untuk mempelajari Alquran dan menghafalnya, serta
Thawalibah (19), Salman 25). Adz-Dzahabi (570), Thawalibah (20), Salman (25). 49 Thawalibah (17). 50 Thawalibah (17), Salman (22). 51 Thawalibah (17), Salman (22), Fakhauri (36), An-Nurustani (17). 52 Fakhauri (36). Sebenarnya, perkataan Fakhauri ini hanya sangkaannya saja dengan memperkirakan bahwa kebiasaan anak-anak didikan pada masa tersebut demikian. Namun, dengan mengetahui keadaan Imam Muslim ketika beranjak dewasa, penulis juga menjadi yakin bahwa sejak kecil Imam Muslim sudah dibiasakan membaca dan menghafal Alquran ataupun mempelajari ilmu lainnya. 53 Thawalibah (17), Salman (23), An-Nurustani (17). 54 Kuttab adalah sebutan lain bagi madrasah atau sekolah. 47
48
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
10
mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab.55 Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat perlu bagi seorang penuntut ilmu untuk menamatkannya terlebih dahulu, sebagai persiapan pembelajaran yang dilakukan pada jenjang selanjutnya di luar kuttab; yaitu mendatangi guru dan mendengarkan riwayat dari mereka secara langsung.56 Meskipun demikian pentingnya, ternyata Imam Muslim tidak melewati fase tersebut, sampai-sampai para sejarawan kontemporer yang menmbuat biografinya menyatakan, “Kami tidak menyangka bahwa Imam Muslim—rahimahullah—menyimpang dari metode penting tersebut”.57 2) Pengembaraan Imam Muslim untuk Mencari Hadits Nabi Saw Pengembaraan (rihlah) untuk mencari ilmu merupakan adat yang sudah mendarah daging bagi ulama masa dulu. Pengembaraan tersebut menjadi kekuatan tersendiri bagi pengembara terhadap perkembangan keintelektualannya. Tak hanya itu, orang yang mengembara untuk mempelajari dan mendalami hadits Nabi Saw mempunyai keutamaan tersendiri. Keutamaannya banyak diungkapkan oleh para ulama, bahkan oleh wahyu allah Swt; Alquran. Muhammad bin Al-Wazir Al-Wasithi berkata, “Aku mendengar Yazid bin Harun berkata, „Aku mengatakan kepada Hammad bin Zaid, „Wahai Abu Isma‟il! Apakah Allah „azza wa jalla menyebutkan para ahli hadits dalam Alquran?, Hammad menjawab, “Tentu saja, apakah engau tidak mendengar firman Allah Swt: „..Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya‟.58 Ayat ini berkenaan tentang setiap orang yang mengembara dalam mencari ilmu dan fiqih, dan kembali dengan ilmu tersebut kepada orang-orang yang ada di belakangnya untuk memberikan pengajaran kepada mereka.59 Sebagai ulama hadits yang sudah tersohor keilmuannya, Imam Muslim tentu tidak melewatkan pengembaraannya dalam mencari hadits. Semangatnya dalam berlajar ilmu syar‟i senantiasa berkobar sejak beliau masih kecil, bahkan hingga beliau wafat pun dalam keadaan sibuk mempelajari hadits—sebagaimana nanti akan dibahas. Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketahuilah, bahwa Muslim adalah salah satu imam di bidang ini (hadits dan ilmunya), tokohnya, penghafalnya yang memiliki kesempurnaan hafalan. Beliau juga merupakan salah satu dari ulama yang melakukan perjalanan dalam rangka mencari ilmu kepada para imam di berbagai negri, orang yang diakui keunggulannya tanpa diperselisihkan di kalangan orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan. Kitabnya senantiasa menjadi rujukan dan dijadikan sebagai pegangan di setiap zaman”.60
Salman (23), Thawalibah (17). Thawalibah (17). 57 Thawalibah (17), Salman (23). 58 Q.S At-Taubah [9]: 122 59 Al-Baghdadi (2/133). „Amr „Abdul Mun‟im Salim berkomentar ketika memberikan takhrij bagi atsar ini, “Isnad-nya shahih”. 60 An-Nawawi “Tahdzib” (2/90), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10), Farid (2/309-310), Salman (58). 55
56
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
11
Adz-Dzahabi mengatakan, “Pertama kali Imam Muslim mendengar hadits secara langsung ialah pada tahun 218 H dari Yahya bin Yahya At-Tamimi—ulama di daerahnya. Beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 220 H, ketika beliau masih muda. Kemudian beliau mendengar hadits di kota Makkah dari Al-Qon‟ani, dan dia (Al-Qon‟ani) merupakan gurunya yang paling senior. Dan di Kuffah, beliau mendengar hadits dari Ahmad bin Yunus, dan masih banyak lagi. Setelah itu, beliau bergegas kembali ke tempat tinggalnya. Kemudian, setelah beberapa tahun—kurang kurang labih tahun 230 H—beliau kembali mengadakan rihlah. „Ali bin Al-Ja‟d merupakan guru Imam Muslim yang darinya, Imam Muslim paling banyak menerima hadits. Namum, Imam Muslim tidak satupun meriwayatkan hadits darinya dalam kitab Shahih-nya. Selain itu, Imam Muslim juga rihlah ke „Iraq, Al-Haramain (Makkah dan Madinah), dan ke Mesir untuk mencari hadits”.61 Jadi, pada tahun 218 H, atau saat Imam Muslim berusia 14 tahun, beliau pertama kali mendengarkan hadits secara langsung dari para ahli hadits yang berada di negrinya, yaitu Yahya bin Yahya At-Tamimi. Tak hanya kepada Yahya saja, di antara ulama lain di negrinya —berdasarkan penelusuran penulis—yang beliau datangi untuk diperdengarkan haditnya adalah Basyr bin Al-Hakam An-Naisaburi dan Ishhaq bin Rahawaih.62 Dan mungkin masih banyak lagi selain dari mereka, di antara ulama-ulama yang berada di negrinya, yang Imam Muslim datangi dalam fase awal penncarian ilmunya ini. Adapun mengenai pengembaraan ilmu pertama yang dilakukan oleh Imam Muslim adalah ke Kota Makkah ketika Imam Muslim menunaikan ibadah haji, dan di antara guru yang beliau datangi di sana adalah Isma‟il bin Yunus. Setelah selsai menunaikan haji dan berdiam beberapa lama di Makkah, Imam Muslim kembali lagi ke Naisabur. Di perjalanan pulang, Imam Muslim singgah sejenak di Kuffah untuk mendengarkan hadits dari Ahmad bin Yunus dan ulama-ulama lain di sana. Setelah itu, barulah beliau meneruskan perjalanan ke Naisabur dan menetap di tempat tinggalnya kurang dari lima tahun. Imam Muslim senantiasa berkeliling di daerah sekitarnya untuk mendatangi gurugurunya, baik itu yang berada di kota Naisabur, atau pun yang berada di negri Khurasan secara umum. Masa ini (adab ke III) merupakan masa di mana Imam Muslim memulai banyak mendatangi sebagian besar imam-imam hadits di luar daerahnya. Studinya dalam masalah hadits menjadi semakin rajin dan giat, baik dalam masalah riwayat, kritikmengkritik, dan pembukuan hadits.63 Banyak sekali kota dan negri yang beliau datangi. An-Nurustani menjelaskan dengan singkat ke kota mana saja Imam Muslim mengembara dan kepada siapa Imam Muslim berguru di masing-masing kota yang beliau datangi. Berikut rinciannya: 1. Makah Mukarramah. Di sana Imam Muslim mendengar hadits dari: „Abdullah bin Maslamah Al-Qa‟nabi—guru Imam Muslim yang peling senior—(w. 221 H) dan Sa‟id bin Manshur (w. 227 H).64 Adz-Dzahabi (558). An-Nurustani (21). 63 Di sadur dari: An-Nurustani (22) 64 Thawalibah (29). 61
62
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
12
2. Madinah Nabawiyyah. Di sana beliau mendengarkan hadits dari Isma‟il bin Abi Uwais (w. 226 H) dan yang lainnya.65 3. Balakh dan Bashrah. Adz-Dzahabi dalam biografi Ahmad bin Salamah (w. 286 H) berkata bahwasanya beliau (Ahmad bin Salamah) menyertai Imam Muslim dalam pengembaraannya ke Balakh dan Bashrah. Mereka berdua mendengarkan hadits di dua kota tersebut dari Al-Qa‟nabi dan yang lainnya. Barangkali beliau (Imam Muslim) mendengarkan hadits darinya pada hari akhir-akhir hayatnya.66 4. Baghdad. Beliau mendatangi baghdad beberapa kali, karena di sana merupakan pusat pemerintahan, peradaban dan berbagai macam ilmu. Ulama-ulama dari berbagai tempat berbondong-bondong datang kesana. Di sana, Imam Muslim mendengarkan hadits dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 242 H) dan ulama setempat lainnya. Ada juga para ahli hadits di Baghdad yang meriwayatkan hadits darinya. Pertama kali Imam Muslim mendatangi baghdad adalah pada tahun 225 H, dan itu merupakan pengembaraan pertama baginya setelah rihlah hajji. Sedangkan akhir beliau mendatangi kota tersebut adalah pada tahun 259 H.67 5. Kuffah. Di sana beliau mendengarkan hadits dari Ahmad bin Yunus (w. 227 H) 68 dan „Umar bin Hafsh bin Ghiyats (w. 221 H). Adz-Dzahabi menetapkan bahwasanya Imam Muslim mendengarkan hadit dari kedua ulama tersebut pada rihlah hajjinya yang pertama, yaitu pada tahun 220 H.69 6. Mesir. Di sana beliau mendengarkan hadit dari Harmalah bin Yahya (w. 244 H) dan Umar bin Sawwad (w. 254 H).70 7. Ray. Imam Muslim memasuki kota Ray lebih dari sekali. Pada tahun 240 H untuk mendengarkan hadits dari Muhammad bin Mahran Al-Jamal (w. 239 H) dan Muhammad bin „Abdur-Rahman Zunaikh (w. 240 H). Setelah 250 H, beliau mengembara kembali ke kota tersebut ketika telah memulai menyusun kitab Shahihnya. Banyak sekali guru-guru beliau, di antara para ulama, yang berada di sana di sana. Di kota Ray ini, Imam Muslim tidak hanya sebatas mengengarkan hadits dari gurunya saja. Akan tetapi, beliau juga banyak melakukan diskusi dengan para ulama dan juga menjadi pengajar penduduk setempat. 8. Syam. Adapun mengenai pengembaraan beliau ke negri ini, para ulama yang membuat biografi beliau tidak menyebutkannya secara terperinci—ke kota mana dan kepada ulama siapa—dan hanya menyebutkan bahwa Imam Muslim rihlah ke negri tersebut. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa di negri ini Imam Muslim tidak mendengarkan hadits kecuali dari satu guru saja,71 Imam „Asakir menyebutkan bahwa guru beliau di sana adalah Muhammad bin Khalid As-Saksaki. 72
Thawalibah (29). Thawalibah (30). 67 An-Nawawi “Tahdzib” (2/92), Thawalibah (30), Syiha (52). 68 Adz-Dzahabi (12/557). 69 Thawalibah (31). 70 Syiha (52). 71 Adz-Dzahabi (12/562). 72 Diringkas dari: An-Nurustani (22-27). 65
66
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
13
3) Guru-guru Imam Muslim Secara umum, guru Imam Muslim ini bisa diklasifikasikan kepada dua kelompok; (1) guru beliau yang beliau keluarkan hadits mereka dalam kitab Shahih-nya; (2) dan guru beliau yang tidak beliau sebutkan nama mereka dalam kitab Shahih-nya—tentunya berdasarkan pertimbangan beliau. Sebagian nama guru beliau telah disebutkan dalam rincian kota yang beliau kunjungi beserta para ulama di masing-masing kota tersebut. Di antara Guru-guru Imam Muslim yang disebutkan dalam kitab Shahih-nya adalah Ibrahim bin Khalid Al-Yasykuri, Ibrahim bin Dinar At-Tammar, Ibrahim bin Ziyad Sabalan, Ibrahim bin Sa‟id Al-Jauhari, Ibrahim bin „Ar‟ah, Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhari…. Dan masih banyak lagi.73 Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa jumlah guru Imam Muslim yang disebutkan dalam kitab Shahih-nya berjumlah sebanyak 220 ulama.74 Sedang Al-Mizzi menyebutkan dalam kitabnya, Tahdzib Al-Kamal, bahwa guru Imam Muslim yang dicantumkan dalam Shahih-nya sebanyak 224 ulama.75 Selain itu, Imam Muslim mempunyai guru yang tidak beliau sebutkan dalam Shahih-nya, seperti „Ali bin Al-Ja‟d, „Ali bin Al-Madini, dan Muhammad bin Yhaya Adz-Dzuhaili.76 4) Antara Imam Muslim dan Gurunya; Imam Bukhari Salah satu guru Imam Muslim yang paling terkenal adalah Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhari. Hubungan Imam Muslim dengan gurunya ini sangatlah dekat sekali. Imam Muslim sangat menghormati gurunya yang satu ini, karena memang Imam Muslim lebih tahu seperti apa sosok ulama hadits terbesar itu. Saat Imam Al-Bukhari berkunjung ke lota Naisabur, murid yang Imam Al-Bukhari ajar dan diperdengarkan haditsnya saat itu adalah Abu Hatim dan Abu Zur‟ah, sedang Muslim belum sampai kepadanya. 77 Akan tetapi, pada akhirnya Imam Muslim dekat dengannya dan berkali-kali menemuinya.78 Ahmad bin Hamdun Al-Qashar berkata, “Saya melihat Muslim bin Al-Hajjaj datang menemui Al-Baukhari kemudian mencium di antara dua matanya, kemudian Imam Muslim berkata, „Izinkan saya mencium kakimu, wahai gurunya para guru, pemimpin ahli hadits dan paling tahu hadits dengan „ilat-„ilatnya (cacat-cacatnya)‟.79 Kemudian Imam Muslim menanyakan hadits tentang kaffarat (penebus dosa) yang pada majlis lalu Imam AlBukhari menyebutkan hadits tersebut dan „ilat-nya. Setelah selsai, Imam Muslim berkata, „Tidak ada orang yang membencimu selain penghasut dan saya bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang semisal denganmu”.80 Kadangkala, Imam Muslim lebih mendahulukan Imam Bukhari dan senantiasa membela pendapat dan pendirian Imam Al-Bukhari, sekalipun harus mendapat kecaman dan permusuhan dari gurunya yang lain yang terlibat ikhtilaf dengan Imam Al-Bukhari. Adz-Dzahabi (12/560) Adz-Dzahabi (12/561). 75 Farid (2/324). 76 Ad-Dzahabi (561). 77 Ibn Katsir (11/34), Syiha (53). 78 Ibn Katsir (11/26), Syiha (53). 79 Ibn Katsir (11/26), Syiha (53), Izzan (229). 80 Ibn Katsir (11/34), Syiha (53). 73
74
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
14
Ketika Imam Al-Bukhari berbeda pendapat dengan salah satu guru Imam Muslim, Yahya Adz-Dzuhaili, Imam Muslim—atas pertimbangannya—lebih memilih untuk membela pendapat Imam Al-Bukhari daripada Adz-Dzuhaili, sekalipun keduanya adalah sama-sama guru Imam Muslim.81 Abu „Abdillah bin Muhammad bin Ya‟qub berkata, “Ketika Imam Al-Bukhari tinggal di Naisabur, Imam Muslim senantiasa bolak-balik untuk menemuinya. Kemudian pada saat terjadi ikhtilaf (perselisihan) antara Imam Al-Bukhari dengan Yahya Adz-Dzuhaili dalam masalah lafazh dalam Alquran—menurut riwayat lain dalam masalah teologi,82 sehingga Adz-Dzuhaili menyeru orang-orang supaya tidak menemui Al-Bukhari, hingga akhirnya beliau hijrah dan keluar Naisabur di masa-masa konflik tersebut. Maka banyak manusia yang tidak menemui Imam Al-Bukhari lagi selain Imam Muslim. Sesungguhnya Imam Muslim tidak meninggalkan Imam Al-Bukhari dan terus mengunjuginya.83 Pada suatu hari, Adz-Dzuhaili berkata dalam majlisnya yang saat itu dihadiri oleh Imam Muslim, “Ingatlah! Barangsiapa yang berpendapat dengan pendapat Al-Bukhari dalam masalah lafazh Alquran, maka menjauhlah dari majlis kami”. Imam Muslim pun segera berdiri dan bangkit kemudian pulang menuju rumahnya. Selanjutnya beliau mengumpulkan apa-apa yang pernah beliau terima dari perkataan Adz-Dzuhaili untuk kemudian dikirimkan kepadanya dan meninggalkan seluruh riwayat darinya. Sehingga, Imam Muslim tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Adz-Dzuhaili dalam kitab Shahihnya dan tidak pula dalam karyanya yang lain”.84 Demikianlah pembelaan Imam Muslim kepada guru terbaiknya; Imam Al-Bukhari. Imam Muslim berguru kepada Imam Al-Bukhari dan mengambil manfaat dari kitab Shahih yang dikarang Imam Al-Bukhari. Sehingga, banyak para peneliti yang mengatakan bahwa penyusunan yang dilakukan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya—sekalipun cara penyusunannya jauh berbeda dengan Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya—apabila ditinjau dari segi metodologis, pengaruh ajaran Imam Al-Bukhari diterapkan oleh Imam Muslim dalam karya ilmiyyahnya tersebut.85 Dan Ad-Daruquthni berkata, “Kalau bukan karena Al-Bukhari, niscaya Imam Muslim tidak akan melakukan perjalanan dan mendatanginya”. Al-Khatib berkata, “Imam Muslim telah mengikuti jalur Imam Al-Bukhari, mengambil teori ilmunya, dan selalu beriringan dengannya”.86 5) Madzhab Imam Muslim dalam Masalah Furu’iyyah Haji Khalifah (w. 1067 H) dan Al-Qanuji (w. 1307 H) menyatakan bahwasanya Imam Muslim adalah seorang Syafi‟iyyah (penganut madzhab Syafi‟i). Namun, dari sekian banyaknya sumber rujukan dari para ulama yang membuat biografi Imam Muslim, Izzan (229). Izzan (229). 83 Ibn Katsir (11/34), (Syiha (54). 84 Ibn Katsir (11/34), Syiha (54). 85 Izzan (229). 86 Ibn Katsir (11/34), Syiha (53), Syuhbah (106). 81
82
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
15
keterangan demikian sama sekali tidak ditemukan. Bahkan, para ulama Syafi‟iyyah senior sendiri, seperti Imam An-Nawawi dan yang lainnya, juga tidak menyatakan demikian. Demikian juga As-Sabki, pengarang kitab Thabaqat Asy-Syafi‟iyyah—dengan pembahasannya yang luas dan penyelidikannya yang mendalam— beliau tidak menyebutkan bahwa Imam Muslim adalah salah satu dari ulama syafi‟iyyah.87 Ada juga yang menyatakan bahwa Imam Muslim memegang madzhab hanabilah. Ada juga yang menyatakan malikiyyah dan ada juga yang menyatakan hanafiyyah. 88 Ikhtilaf dan idlthirab (kegoncangan riwayat) ini membuat sebagian muhaqqiq (peneliti) dan ahli ilmu menjadi bingung, sehingga mereka menyatakan, “Adapun Imam Muslim, kami tidak mengetahui madzhab beliau yang sebenarnya”.89 Namun—entah dari kebingungan mereka dalam masalah ini—dikutip dari beberapa ulama kontemporer yang membuat biografi Imam Muslim, juga dinukil dari seluruh peneliti dan sebagian para ahli yang mereka menyatakan, “Adapun Imam Muslim, AtTirmidzi, An-Nasa‟i, Ibn Majah, Ibn Huzaimah, Abu Ya‟la, Al-Bazzar, dan yang lainnya—di antara ulama hadits, mereka memegang madzhab Ahl Al-Hadits. Mereka tidak mengikuti salah satu dari para ulama, juga bukan bagian dari pengikut imam-imam mujtahidin secara muthlaq. Akan tetapi, mereka lebih condong kepada pendapat imam-imam hadits, seperti Imam Asy-Syafi‟i, Imam Ahmad, Abu „Ubaid dan yang semisal mereka”.90 Wallahu a‟lam 6) Murid-murid Imam Muslim Imam An-Nawawi mengatakan, “At-Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Muslim sebanyak satu hadits.91 Sedangkan Murid beliau yang lain adalah; Ibrahim bin Ishaq AshShairafi, Ibrahim bin Abi Thalib, Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan Al-Faqih, Abu Hamid Ahmad bin Hamdun bin Rustun Al-A‟masyi, Abu Al-Fadl Ahmad bin Salamah Al-Hafizh, Abu „Amr Ahmad bin Nashr Al-Khafaf AlHafizh, Abu Sa‟id Hatim bin Ahmad bin Mahmud Al-Kindi Al-Bukhari, dan masih banyak yang lainnya.92 7) Karya-karya Ilmiyyah Imam Muslim Berkata Imam an-Nawawi, “Imam Muslim telah menulis beberapa kitab terpenting dalam bidang ilmu hadits, di antara karyanya yang paling monumental adalah kitab Shahih-nya—sebagaimana nanti akan diterangkan biografinya—yang Allah Swt telah berikan karunia yang sangat banyak, yang memberikan manfaat sangat besar kepada kaum muslimin. Tidaklah ada seorang muslim pun, melainkan ia akan menyebut kitab tersebut dengan sebutan yang baik, memberikan pujian dan sanjungan hingga hari kiamat. Kemudian—di antara karangan Imam Muslim yang lain adalah—kitab Al-Musnad Al-Kabir 'ala Asma' Ar-Rijal, kitab Al-Jami' Al-Kabir 'ala Abwab, kitab Al-'llal, kitab Auham AlThawalibah (21), Salman (45). Salman (44-47). 89 Salman (47). 90 Al-„Utsmani (272), Salman (49), Thawalibah (22), An-Nurustani (27). 91 Adz-Dzahabi (12/563). 92 An-Nawawi “Tahdzib” (2/91), Syiha (54). 87
88
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
16
Muhadditsin, kitab At-Tamyiz, kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, kitab Thabaqat Tabi'in, kitab Al-Muhadramin, dan yang selainnya”.93 Fua‟d Sazkin menyebutkan dalam Tarikh At-Turats, bahwa Imam Muslim memiliki kitab Al-Kuna wa Al-Asma‟, kitab Al-Munfaridat wa Al-Wihdat, dan mungkin inilah yang diisyaratkan oleh Imam An-Nawawi sebagai kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid.94 Kemudian kitab At-Thabaqat yang berisikan orang-orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah Saw, yaitu orang-orang yang melihat dan meriwayatkan dari beliau dan orang yang menyaksikan saja tapi tidak meriwayatkan dari beliau Saw.95 Adz-Dzahabi menambahkan dalam kitab Siyar-nya—selain apa yang telah disebutkan, yaitu kitab Al-Aqran, kitab Su‟alat Ahmad bin Hanbal, kitab „Amar bin Syu‟aib, kitab Al-Intifa bi Ahb As-Siba‟, kitab Masyayikh Malik, kitab Masyayikh AtsTsauri, kitab Masyayikh Syu‟nah, dan kitab Afrad Asy-Syamiyyin.96 Di antara karya ilmiyyahnya yang telah dipublikasikan—menurut satu sumber yang penulis temukan—adalah kitab At-Tamyiz, Al-Wuhdan, dan sudah pasti kitab Ash-Shahih Al-Musnadnya, sementara kitab Al-Asma‟ wa Al-Kuna, kitab Rijal „Urwah dan kitab AtThabaqat masih berupa manuskrip yang bertebaran diberbagai perpustakaan. Hanya saja, karyanya yang paling terkenal adalah kitab Ash-Shahih Al-Musnad—sebagaimana nanti akan di bahas, insya Allah.97 8) Pujian Para Ulama terhadap Imam Muslim Abu „Amr Ahmad bin Al-Mubarrak berkata kepada Imam Muslim, “Aku mendengar Ishaq bin Manshur mengatakan kepada Muslim bin Al-Hajjaj, „Kami tidak akan kehilangan kebaikan, selama Allah masih membiarkanmu hidup untuk kaum muslimin.”98 „Abdur-Rahman bin Abu Hatim mengatakan, “Dia adalah tsiqah (terpercaya) dari kalanga Huffazh. Aku menulis hadits darinya di kota Ray. Ayahku ditanya tentangnya, maka dia menjawab „Shaduq‟ (jujur)”.99 Abu „Amr Hamdan mengatakan, “Aku bertanya kepada Ibn „Uqdah Al-Hafizh tentang Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, siapakah yang lebih berilmu di antara keduanya. Beliau menjawab, „Muhammad (Al-Bukhari) adalah orang yang berilmu dan Muslim adalah orang yang berilmu‟. Aku bertanya kepadanya berkali-kali, kemudian mengatakan, „Wahai Abu „Amr! terkadang Mumammad bin Isma‟il melakukan kekeliruan berkenaan dengan penduduk Syam. Hal itu karena dia mengambil kitab-kitab mereka, lalu melihatnya. Terkadang dia menyebutkan satu dari mereka dengan kuniyah-nya, dan menyebutkannya di tempat lain dengan namanya, lalu dia menyangka bahwa itu dua orang An-Nawawi “Tahdzib” (2/91), Sholahuddin (10). Farid (2/326). 95 Farid (2/326). 96 Ad-Dzahabi (12/579). 97 Izzan (229-230) 98 Adz-Dzahabi (12/563), Syiha (55), Farid (2/308), An-Nurustani (29). 99 Adz-Dzahabi (12/564), Syiha (55), Farid (2/308), An-Nurustani (30). 93
94
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
17
yang berbeda. Adapun Imam Muslim, dia jarang melakukan kekeliruan berkenaan dengan ilal, karena dia menulis masanid (yang sanadnya tersambung) dan tidak menulis munqathi‟ (yang sanadnya terputus) tidak pula marasil (riwayat-riwayat yang mursal).100 Al-Quraisy Al-Hafizh mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin Basysysar mengatakan, „Penghafal di dunia ini ada empat; Abu Zur‟ah di Ray, Muslim bin Al-Hajjaj di Naisabur, „Abdullah Ad-Darimi di Samarkand, dan Muhammad bin Isma‟il di Bukhara. 101 Abu „Abdillah Muhammad bin Ya‟qub bin Al-Akram mengatakan, “Naisabur hanyalah mengeluarkan tiga tokoh ulama; Muhammad bin Yahya Adz-Dzhuaili, Muslim bin Al-Hajjaj, dan Ibrahim bin Abi Ath-Thalib.102 Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketahuilah, bahwa Muslim adalah salah satu imam di bidang ini (hadits dan ilmunya), tokohnya, penghafalnya yang memiliki kesempurnaan hafalan. Beliau juga merupakan salah satu dari ulama yang melakukan perjalanan dalam rangka mencari ilmu kepada para imam di berbagai negri, orang yang diakui keunggulannya tanpa diperselisihkan di kalangan orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan. Kitabnya senantiasa menjadi rujukan dan dijadikan sebagai pegangan di setiap zaman”.103 Ibn Hajar berkata, “Abu Bakr Al-Jarudi berkata, „Muslin bin Al-Hajjaj telah memberitahukan kepada kami dan dia adalah gudangnya ilmu..” Maslamah bin Qasim juga berkomentar, “Muslim adalah seorang yang tsiqah dan memiliki kedudukan mulia di antara para ulama”.104 Masih banyak lagi pujian-pujian yang ditujukan oleh para ulama kepada Imam Muslim ini, yang tentunya penulis tidak bisa cantumkan semuanya. Yang pokok, para ulama dahulu dan sekarang mengakui seluruh keutamaan-keutamaan yang ditujukan kepada ulama hadits besar ini; Imam Muslim. Pujian tersebut mungkin akan terus berlanjut karena karya-karya monumental yang ditinggalkan oleh Imam Muslim sangatlah berharga dan akan senantiasa dipakai selama kaum muslimin masih ada di muka bumi ini. 9) Wafatnya Imam Muslim Para ahli sejarah mengatakan bahwasanya Imam Muslim diwafatkan pada hari Ahad dan dikebumikan pada hari senin 25 Rajab 261 H105, di Naisabur pada usia 50 tahun lebih—ada juga yang menyebutkan pada usia 55 tahun,106 dan kuburannya banyak dikunjungi.107
Al-„Asqalani (10/127),Syiha (56), Farid (2/309). Ad-Dzahabi (12/564), Farid (2/308), An-Nurustani (29-30), Salman (54), 102 Adz-Dzahabi (12/565), Syiha (56), Farid (2/309), An-Nurustani (30). 103 An-Nawawi “Tahdzib” (2/90), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10), Farid (2/309-310), Salman (58). 104 Al-„Asqalani (10/128), Syiha (56). 105 Atau bertepatan pada tanggal 6 Mei 875 M, berdasarkan perhitungan ahli falaq yang—insya Allah—benar. An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/11), An-Nurustani (20), Thawalibah (26). 106 Salman (29), An-Nurustani (20), Thawalibah (26). 107 Adz-Dzahabi (12/580), Al-„Asqalani (10/115), Salman (29), Thawalibah (26-27), Sholahuddin (11). 100 101
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
18
Mengenai detik-detik dan sebab wafatnya beliau, banyak para ulama yang mencantumkan kisah wafatnya beliau, yaitu kisah yang diterima dari Ahmad bin Salamah yang beliau menceritakan, “Suatu saat, diadakan majlis mudzakarah108 untuk Imam Muslim. lalu disebutkan satu hadits yang tidak diketahuinya. Imam Muslim pun pulang ke rumahnya dan menyalakan lampu seraya mengatakan kepada orang-orang yang ada di rumah, „Tidak ada yang boleh masuk (ke ruangan ini) seorang pun di antara kalian‟. Dikatakan kepadanya, „Ada orang yang menghadiahkan sekeranjang kurma kepada kami‟. Imam Muslim mengatakan, „Bawalah kurma itu‟. Mereka pun membawa kurma tersebut kepadanya. Imam Muslim mulai mencari hadits, dan mengambil kurma satu persatu hingga pagi menjelang. Ketika kurma habis, dia mendapatkan hadits itu‟. „Abu Abdillah AlHakim menambahkan cerita ini dengan mengatakan, “Orang yang tsiqah dari sahabat kami menambahkan kepadaku bahwa dia (Imam Muslim) wafat karenanya”.109 Demikianlah kisan detik-detik wafat beliau. Dari sebab beliau wafat tersebut, kita dapat mengetahui semangat dan keuletan yang besemayam dalam diri ulama hadits yang besar ini. Beliau adalah sosok yang sangat tekun dan dan rajin dalam mempelajari sesuatu, terutama dalam masalah hadits. Di detik-detik wafatnya, beliau tengah menyibukan diri menela‟ah kitab haditsnya sehingga melalaikan kesehatan tubuhnya. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa sebab wafatnya beliau adalah terlalu lelah dan terlalu memaksakan diri untuk berpikir dan bekerja keras, sedang pencernaannya harus terus bekerja untuk mencerna kurma yang ia makan. Barangkali setelah itu beliau sakit dan kemudian wafat.110 Shubhanallah! Semoga Allah Swt memberikan ridla dan rahmat-Nya kepada beliau, dan menempatkannya pada derajat yang paling tinggi, yang tidak akan bisa tercapai kecuali orang-orang yang mukhlishin seperti beliau. Amiin ya Rabbil‟alamin
Mudzakarah adalah Semacam majlis untuk ajar-mengajar dan memperdengarkan hadits. Adz-Dzahabi (12/564), Al-„Asqalani (10/127), Syiha (60), Farid (2/327), Thawalibah (27), Sholahuddin (1112). 110 Salman (30), Thawalibah (27). 108 109
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
19
BAB III BIOGRAFI KITAB SHAHIH MUSLIM A. Nama Asli Kitab Shahih Muslim Tak seperti gurunya, Imam Al-Bukhari, yang dengan jelas menamai kitab haditsnya—sekalipun yang terkenal memang nama yang dinisbahkan kepada nama pengarang; Shahih Al-Bukhari, Imam Muslim tidak menamai kitabnya secara jelas. Oleh karena itu, banyak terjadi perbedaan di antara para ulama mengenai kejelasan nama kitab hadits yang populer ini. Namun, ada di antara kebanyakan para ulama menamakan kitab himpunana hadits yang dikarang Imam Muslim ini dengan nama “Al-Jami’”.96 Ada juga sebagian besar ulama yang menamai kitab ini dengan “Ash-Shahih”97 sesuai dengan apa yang Imam Muslim syaratkan untuk kitab himpunan hadits berderajat shahih ini. Penamaan ini (Ash-Shahih) sangat umum digunakan dalam kitab tafsir, hadits, fiqih dan yang lainnya, hingga tersebar dari timur ke barat, sebagaimana yang dikatakan As-Sam‟ani, “Kitab Ash-Shahih ini terkenal di timur dan di barat”.98 Dalam kitab Siyar karya Imam Adz-Dzahabi, diceritakan bahwa Imam Muslim menyebut kitab hadits yang beliau karang ini dengan sebutan Al-Musnad. Imam Muslim mengatakan, “Aku menyusun dalam kitab Al-Musnad ini dari 300 ribu hadits yang aku dengar secara langsung”.99 Dalam kitab Shiyanah karya Ibn Shalah, diceritakan bahwa Imam Muslim mengatakan, “Tidaklah aku meletakan satu hadits pun dalam Al-Musnad ini, kecuali dengan hujjah”, dan mengatakan, “Aku memperlihatkan kitab Al-Musnad ini kepada Abu Zur‟ah”.100 An-Nurustani dan Thawalibah menyebutkan bahwa Al-Qadli „Iyadl menamai kitab hadits karangan Imam Muslim ini dengan, “Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar bi Naql Al-‘Adl ‘an Al-‘Adl ‘an Rasulillah Saw”. Sedangkan Ibn Khair menamai kitab ini dengan, “Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min As-Sunan bin Naql Al-‘Adl ‘an Al-‘Adl ‘an Rasulillah Saw”.101 Thawalibah mengatakan—setelah menyebutkan penamaan yang diberikan oleh Ibn Khair, “Penamaan tersebut merupakan tambahan dari Ibn Khair sendiri walaupun sesuai dengan apa yang dikatakan Imam Muslim bahwasanya beliau bermaksud untuk meringkas dan menyebutkan hadits-hadits yang beliau himpun tanpa ada pengulangan. Akan tetapi, saya (Thawalibah) berpandangan bahwa penamaan yang paling utama dan dan paling mengena adalah „Al-Jami’ Ash-Shahih‟ sebagaimana Imam Muslim menamakannya, juga karena kitab ini telah tersebar dengan nama „Shahih Muslim‟ yang senantiasa ditulis di Al-„Asqalani (10/127), An-Nurustani (44), An-Nawawi “Tahdzib” (2/89), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10), Adz-Dzahabi (12/ 558, 566, 571, 573), AnNurustani (44), Salman (145). 98 An-Nurustani (44). 99 Adz-Dzahabi (12/312). 100 Ibn Shalah (68) 101 An-Nurustani (45), Thawalibah (102). Nama yang diberikan Ibn Khair ini adalah nama yang sering digunakan dan paling terkenal, serta paling sering ditulis demikian dalam jilid kitab yang dicertak. 96 97
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
20
sampul kitab tersebut yang dicetak. Adapun saya (Thawalibah) lebih menganjurkan—jika di kemudian hari kitab tersbut dicetak—untuk menyatukan dua nama tersebut, misalnya ditulis di sampul dengan, „Al-Musnad Ash-Shahih‟ sedang di bawah tulisan itu ditulis juga Al-Masyhur—terkenal dengan penamaan: „Shahih Muslim‟, sehingga terkumpul di antara penamaan yang terkenal (Shahih Muslim) dan penamaan yang asli dari pengarang (AlMusnad Ash-Shahih).102 B. Faktor Pendorong Penyusunan Kitab Shahih Muslim Dalam pengantar kitab Shahih-nya, Imam Muslim telah memaparkan dengan jelas mengenai hal yang menjadi pendorong beliau utnuk menyusun kitab hadits yang luar biasa ini. Berikut penulis kutip apa yang—menurut penulis penting—disampaikan Imam Muslim dalam kata pengantar kitab Shahih-nya yang berkaitan dengan pembahasan ini, dengan diselingi komentar penulis untuk—semoga—lebih memperjelas apa yang Imam Muslim ungkapkan. Imam Muslim berkata, “Sesungguhnya kamu103—semoga Allah Swt melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya kepadamu—telah mengaku sangat berantusias untuk bisa mengetahui secara detail berbagai khabar yang berasal dari Rasulullah Saw dan yang berhubungan dengan sunnah-sunnah serta berbagai hukum-hukum dalam agama. Kamu juga mengaku sangat ingin mendalami masalah-masalah yang ada hubungannya dengan pahala (ats-tsawwab) dan siksa (al-‘iqab), begutu juga yang berhubungan dengan anjuran (at-targhib) dan ancaman (at-tarhib), dan masalah-masalah lainnya yang dikutip secara berkesinambungan oleh para ulama lewat mata rantai sanad. Kamu juga—semoga Allah Swt memberikan petunjuk-Nya kepadamu—bermaksud untuk menjumpai keterangan-keterangan tersebut lewat sebuah karangan yang cakap dan representatif (sesuai dengan fungsinya). Dan kamu meminta saya (Imam Muslim) untuk meringkas keterangan tersebut untukmu dalam sebuah karangan yang tidak menyebutkan pengulangan yang sangat banyak—yang akan membuat jenuh pembaca. Sesungguhnya hal itu—seperti yang kamu sangka—tentu akan mengakibatkan target yang hendak kamu capai menjadi tidak terfokus. Target yang kamu tetapkan itu tidak lain adalah agar kitab ini bisa dengan mudah difahami—dan mampu dijadikan panduan—untuk meng-istinbath (mengeluarkan kesimpulan hukum). Aku memutuskan untuk mempertimbangkan kembali keinginan positip tersebut. Dan memang—insya Allah—respon untuk memenuhi keinginan tersebut bisa menimbulkan dampak positif dan manfa‟at yang sangat melimpah.”104 Jadi, Imam Muslim merasa terinspirasi oleh permintaan salah satu sahabat baiknya, Ahmad bin Salamah, yang meminta supaya dibuatkan satu kitab yang menghimpun sunnah-sunnah dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama yang tidak mulukmuluk sehingga sering mengalami pengulangan pembahasan dan membuat pembaca menjadi jenuh dan target pemahaman yang dituju tidak bisa tercapai dengan mudah. Thawalibah (102-103), An-Nurustani (45). An-Nurustani menyatakan bahwa dialog ini ditujukan kepada salah satu teman baik Imam Muslim yang bernama Ahmad bin Salamah yang menjadi penyerta beliau dalam pengembaraan menuju kota Balakh. 104 Al-Hajjaj (1/3). 102 103
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
21
Permintaan tersebut ditujukan kepada Imam Muslim saat beliau dalam keadaan yang tengah bersemangat untuk melakukan studi yang mendalam, dan tentunya saat beliau dalam puncak kerajinan dan keuletannya. Oleh karena itu, Imam Muslim mempertimbangkan permintaan sahabat penyertanya ini dengan perenungan (tadabbur) yang mendalam, dan ternyata—setelah dipikir-pikir—hal tersebut bisa melahirkan sesuatu yang terpuji dan sangat bermanfaat, juga akan menjadi rujukan yang kemudian orangorang akan mengesampingkan rujukan-rujukan yang—menurut Imam Muslim—tidak jujur dalam meriwayatkan hadits. Hal itu disampaikan oleh Imam Muslim pada akhir kata pengantarnya, juga pernyataan ketersediannya memenuhi permintaan sahabat baiknya; Ahmad bin Salamah. Imam Muslim berkata, “Akhirnya—semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepadamu—kalau bukan karena banyaknya perbuatan yang tidak terpuji dan beberapa orang yang mengaku sebagai ahli hadits pasti sudah dengan mudah merampungkan karya yang menjadi permohonanmu dengan penampilan yang sangat rinci dan akurat. Namun, dalam kenyataannya, ada beberapa hadits dla‟if, riwayat-riwayat yang munkar, dan ringkasan-ringkasan redaksi hadits yang harus disisihkan. Padahal, berita-berita tersebut telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqah (terpercaya) yang terkenal kejujuran dan sifat amanahnya. Biasanya, orang-orang yang melakukan seperti ini adalah mereka yang berkepribadian bodoh. Mereka itu „mengaku-ngaku‟ telah mengutip berita yang diriwayatkan dari para imam terkenal seperti Malik bin Anas, Syu‟bah bin Al-Hajjaj, Sufyan bin „Uyainah, Yahya bin Sa‟id Al-Qaththan, „Abdur-Rahman bin Mahdi dan masih banyak lagi para imam yang besar lainnya. Namun, kendala adanya beberapa berita munkar yang sudah terlanjur menyebar dikalangan masyarakat, maka kami harus lebih berhati-hati dan sangat selektif untuk mewujudkan permintaanmu tersebut”.105 C. Awal Penyusunan Kitab Shahih Muslim sampai Penyelesaiannya Mengenai waktu penyusunan kitab Shahih Muslim ini, banyak di antara para ahli yang men-tarjih dan menyatakan bahwa Imam Muslim mulai melakukan penyusunan kitab Shahih Muslim ini pada tahun 235 H. Ketika itu, usia beliau tengah menginjak 29 tahun. Usia tersebut merupakan masa-masa di mana Imam Muslim sedang mempersiapkan diri dan kecerdasannya untuk memulai penyusunan kitabnya ini dengan kecerdasan yang sempurna. Oleh karena itu, para ahli lebih yakin bahwa pada usia tersebut lah Imam Muslim memulai penyusunannya karna memang waktu dan keadaannya yang sangat ideal. 106
Adapun mengenai waktu penyelesaian kitabnya, kita dapat mengetahui hal itu dari berapa lamanya Imam Muslim melakukan penyusunanya. Hal itu ditegaskan oleh sahabat Imam Muslim, Ahmad bin Salamah, bahwasanya beliau menyertai Imam Muslim dalam penyusunan Kitabnya selama 15 tahun lamanya.107 Setelah kita tahu lamanya penyusunan kitab ini, secara otomatis kita juga akan mengetahui bahwasanya Imam Muslim Al-Hajjaj (1/7). Thawalibah (105-106), An-Nurustani (48), (Salman (155-156). 107 Adz-Dzahabi (48). 105
106
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
22
menyelesaikan penyusunannya ini pada tahun 250 H, sebagaimana yang telah disepakati oleh para peneliti sejarah.108 Hal ini diperkuat oleh perkataan Ibrahim bin Sufyan yang mengatakan, “Kami telah selsai membaca kitab tersebut (Shahih Muslim) pada bulan Ramadhan tahun 257 H”,109 tahun tersebut menunjukan tahun di mana kitab Shahih Muslim telah terselsaikan dengan sempurna dan telah tersebar sehingga bisa di baca serta diambil manfaatnyanya secara langsung. D. Jumlah Hadits dalam Kitab Shahih Muslim Terjadi perbedaan mengenai jumlah hadits yang sebenarnya dalam kitab Shahih Muslim ini. Perbedaan tersebut sangatlah mnungkin terjadi, dan dapat dipastikan bahwa perbedaan hitungan tersebut hanya akan berputar pada dua pendapat saja. Hal itu dikarenakan, ada ulama yang menghitung seluruh hadits tanpa menghitung pengulangannya, dan ada ulama yang menghitungnya beserta pengulangan mutaba’at dan syawahidnya. Jika ada ulama yang menyatakan bahwa jumlah hadits dalam kitab Shahih Muslim ini sebanyak 3000 lebih,110 maka yang dimaksud adalah hitungan yang tidak menyertakan muttaba’at dan syawahid-nya. Seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Fu‟ad AbdulBaqi, bahwasanya jumlah hadits dalah kitab Shahih Muslim ini adalah 3033 hadits.111 Sedangkan jumlah hadits yang dihitung beserta pengulangan muttaba’at dan syawahid-nya, An-Nurustani menghimpun dua pendapat yang berbeda dalam masalah ini. Abu Ahmad Maslamah mengatakan bahwa jumlahnya 12000 hadits.112 Jika Imam Muslim berkata, “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dan telah mengabarkan kepada kami Ibn Ramh..” maka itu dihitung dua hadits. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa jumlahnya 7000 hadits. Dalam pandangan An-Nurustani, dua pendapat ini tidaklah bertentangan, karena perdapat yang pertama menghitung dengan meninjau banyaknya guru yang menyampaikan hadits kepada Imam Muslim dalam satu hadits, sedangkan pendapat kedua tidaklah demikian. Oleh karena itu, jumlah yang dihitung oleh pendapat kedua lebih sedikit.113 E. Penulisan Bab dalam Kitab Shahih Muslim Adapun mengenai penulisan bab dalam kitab Shahih Muslim, maka itu bukanlah apa yang ditulis oleh Imam Muslim. Perlu kita ketahui, bahwasanya Imam Muslim tidak menuliskan judul yang beliau cantumkan dalam setiap bab dalam kitabnya. Imam AnNawawi berkata, “Imam Muslim—semoga Allah Swt merahmati beliau—telah menyusun kitabnya dalam beberapa bab. Hanya saja, beliau tidak menyebutkan judul untuk masingmasing bab tersebut, yang tujuannya tiada lain supaya tidak membuat kitabnya semakin Thawalibah (105-106), An-Nurustani (48), (Salman (155-156). Ibn shalah (104), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10). 110 Ibn shalah (99), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/104), An-Nurustani (63). 111 Al-Hajjaj (5/601), An-Nurustani (64), Izzan (230). 112 Adz-Dzahabi (566), Syuhbah (110). 113 An-Nurustani (64). 108 109
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
23
tebal..”114 Atau barangkali Imam Muslim melakukan hal itu supaya pembaca bisa mengasah akal dan memperkerjakan pikirannya dalam membahas hadits dan mengambil istinbath (kesimpulan hukum) serta menyingkap maksud-maksud yang terkandung dalam hadits.115 Adapun apa yang kita lihat dari penyebutan kitab dan bab pada sebagian naskah cetakan, maka itu bukanlah hasil tulisan Imam Muslim. Orang yang membuat runtuyan kitab dan bab tersebut tiada lain adalah para pen-syarah kitab Shahih Muslim yang ada setelah Imam Muslim. Orang yang terbaik dalam pencantuman runtuyan kitab dan bab bagi kitab Shahih Muslim adalah Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim-nya.116 F. Metodologi Imam Muslim dalam Menyusun Kitab Shahih-nya 1) Keistimewaan Imam Muslim dalam Teknik Penyusunannya Imam An-Nawawi berkata, “Bagi orang yang benar-benar mencermati kitab Shahih Muslim secara seksama, mencermati rangkaian dan urutan sanadnya satu persatu, eloknya susunan kalimatnya, kecermatan metode dan penelitiannya, kehati-hatiannya dalam menyebutkan sebuah riwayat dan meringkas jalur jalur periwayatan, pasti dia akan berkesimpulan bahwa tidak mungkin ada seorang imam sesudah beliau yang mengungguli kemampuannya. Bahkan untuk menyamainya saja kami merasa sulit. Beliau benar-benar seorang imam yang kemampuannya melebihi ulama ahli di zamannya. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari karunia Allah Swt yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Memang Allah Swt-lah Dzat Yang Mahamemiliki karunia dan anugrah yang sangat agung”.117 Di antara kecermatan dan ketelitian Imam Muslim dalam tekhnik penyusunan kitab Shahih-nya ini bisa disimpulkan menjadi beberapa poin di bawah ini: 1. Perhatian Imam Muslim dalam membedakan haddatsana118 dan akhbarana119 serta membatasi hal tersebut pada guru-guru dan pada riwayatnya; 2. Perhatian beliau dalam menetapkan perselisihan lafazh matan dari masing-masing para perawi;120 3. Ketelitannya dalam meriwayatkan Shahifah Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah; 4. Ketelitian beliau dalam menyebutkan nasab seorang perawi yang tidak disebutkan oleh guru beliau ketika menceritakan sanad tersebut kepadanya;121 An-Nawawi (1/21). Syuhbah (115-116). 116 Syuhbah (116). 117 An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/11). 118 Haddatsana: Lafazh yang tidak boleh diucapkan secara muthlaq kecuali terhadap apa yang telah didengarnya dari lafazh syaikhnya secara khusus. 119 Akhbarana: Adalah lafazh untuk apa yang dibacakan kepada syaikh. 120 Seperti perkataan belaiu dalam sanad, “Lafazh ini milik si fulan”. 121 Seperti halnya perkataan Imam Muslim, “Abdullah bin Maslamah menceritakan kepada kami, Sulaiman— yakni Ibnu Bilal—menceritakan kepada kami dari Yahya dan dia adalah Ibnu Sa‟id”. Imam Muslim merasa bahwa beliau tidak boleh mengatakan, “Sulaiman bin Bilal meriwayatkan dari Yahya bin Sa‟id”, karna gurunya tidak menyebutkan penisbatan dalam riwayatnya. Seandainya Imam Muslim 114 115
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
24
5. Kehati-hatiannya dalam meringkas jalur-jalur hadits dan merubah sanad-sanad, disertai peringkasan ungkapan dengan pengungkapan yang sempurna; 6. Sistematika pembahasannya yang bagus dalam mengemukakan hadits-hadits dengan alur sesuai dengan yang dituntut penelitiannya; 7. Kesempurnaan pengetahuannya tentang letak-letak pembicaraan, kedetailan ilmu, pokok-pokok kaidah, ilmu sanad yang tersembunyi, tingkatan perawi, dan masih banyak lagi.122 2) Kriteria Perawi yang Hadits Mereka Diriwayatkan oleh Imam Muslim Dalam muqaddimah kitab Shahih-nya ini, Imam Muslim telah menjelaskan cukup spesifik beberapa kriteria yang dia tetapkan bagia siapa saja yang hadits mereka dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya ini. Imam Muslim berkata dalam muqaddimah-nya ini, “Bagi kitab yang menghimpun sejumlah khabar yang disandarkan kepada Rasulullah Saw ini, sesungguhnya kami bermaksud unuk mengklasifikasikan kabar-kabar itu menjadi tiga bagian dan diriwayatkan pula oleh tiga tingkatan perawi..” Lanjut Imam Muslim menjelaskan, “Adapun klasifikasi hadits yang pertama, kami bermaksud menyuguhkan riwayat-riwayat yang benar-benar selamat serta bersih dari segala cacat dan yang lainnya. Perawi yang tercakup dalam kriteria ini adalah mereka yang senantiasa istiqamah dan profesional dalam mengutip sebuah hadits. Dalam masalah periwayatan, mereka tidak didapati dengan ekstrim menyalahi riwayat lain yang tsiqah juga tidak tercampuri sesuatu yang buruk, sebagaimana yang telah terbukti dalam kualitas riwayat kebanyakan ulama ahli hadits... (Adapun klasifikasi yang kedua) Apabila kita hendak menyelidiki secara cermat beberapa riwayat yang dikutip (oleh kriteria perawi yang kedua ini), maka kita akan mendapati beberapa perawi yang kekuatan hafalannya tidak seunggul dan tidak seprofesional nama-nama yang telah disebutkan pada kategori hadits pertama. Sekalipun derajat mereka di bawah kriteria perawi hadits pertama, namun mereka itu adalah orangorang yang dapat dipercaya dan memiliki kompetensi dalam bidang hadits, seperti „Atha‟ bin Sha‟ib, Yazid bin Abi Ziyad, Laits bin Abi Sulaim, dan para perawi atsar serta pengutip hadits lainnya. Sekalipun nama-nama yang baru saja kami sebutkan adalah orang-orang yang memiliki reputasi baik di kalangan ulama, namun tidak bisa dipungkiri kalau kesempurnaan dan kekuatan riwayat mereka tidak bisa disejajarkan dengan perawi yang lebih atas derajatnya. Hal itu dikarnakan, memang ada beberapa perawi hadits yang diposisikan sangat tinggi dan mulia.. Adapun (kasifikasi yang ketiga, yaitu) para perawi yang menurut ulama ahli hadits masih dianggap berstatus tidak jelas, maka kami tidak akan menyibukan diri untuk mengatakannya dengan penisbatan, niscara beliau mengabarkan dari gurunya bahwa gurunya tersebut mengabarkan kepadanya dengan penyebutan nasab. 122 Diringkas dari: Farid (316-317). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
25
menyebutkan riwayat mereka, seperti misalnya „Abdullah bin Miswar Abu Ja‟far AlMadaa‟ini, „Amr bin Khalid, „Abdul-Quddus Asy-Syami, Muhammad bin Sa‟id Al-Mashlub, Giyats bin Ibrahim, Sulaiman bin „Amr Abu Daud An-Nakha‟i dan masih banyak lagi daftar nama yang lain. Begitu juga dengan perawi yang kebanyakan haditsnya munkar ataupun yang banyak mengalami kesalahan riwayat, kami akan menahan diri untuk tidak menyebutkan riwayat-riwayat mereka.. Aturan yang berlaku di kalangan ulama hadits adalah sebuah hadits baru bisa diperhitungkan apabila diriwayatkan oleh para perawi yang termasuk dalam kategori orang-orang terpercaya (tsiqah) dan kuat hafalan (hafizh). Jika seorang perawi telah dikategorikan dalam daftar nama para perawi tsiqah, lantas dalam satu ruwayatnya ternyata ada tambahan redaksi yang berbeda dengan riwayat perawi lain, maka tambahan redaksi itu bisa diterima. Sedangkan perawi seperti Az-Zuhri, yang sudah dianggap sebagai perawi kelas atas dan memiliki banyak murid, atau seperti Hisyam bin „Urwah, maka kebenaran kedua riwayatnya telah dikutip secara sepakat oleh para perawi hadits. Namun, masalah yang timbul sekarang adalah banyaknya hadits dari kedua ulama besar ini yang kemudian disebarkan oleh orang-orang yang termasuk dalam kategori perawi tidak tsiqah. Maka, riwayat yang dikutip oleh orang-orang yang tidak tsiqah inilah yang tidak boleh diterima—wallahu a’lam.123 Demikian lah Imam Muslim menjelaskan kriteria perawi yang beliau tetapkan untuk kitab Shahih-nya ini. Dari keterangan tersebut, dapat disimpulakan bahwa; dalam kitab Shahih-nya ini, Imam Muslim hanya mencantumkan riwayat dari perawi yang kriterianya; (1) Perawi yang istiqamah serta profesional dalam mengutip sebuah hadits (kriteria hadits shahih); (2) Perawi yang lemah hafalan, namun—kelemahan hafalan mereka—tertutup oleh kejujuran dan ilmu mereka (kriteria hadits hasan). Sedangakan hadits yang tidak dicantumkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya ini, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang kriterianya; (1) Perawi yang— menurut kebayakan para ulama hadits—berstatus tidak jelas kredibilitasnya (majhul); (2) Perawi yang sering melakukan ke-munkar-an dan kesalahan dalam periwayatan hadits. Dua kriteria perawi inilah yang Imam Muslim tidak ingin menyibukan diri untuk meriwayatkan hadits mereka—sebagaimana yang disampaikan Imam Muslim. 3) Syarat Imam Muslim dalam Penyusunan Kitab Shahih-nya124 Asy-Syaikh Ibn Shalah berkata—sebagaimana dikutip oleh Imam An-Nawawi, “Syarat Shahih yang ditetapkan oleh Imam Muslim di dalam kitabnya adalah; hendaklah hadits yang beliau sebutkan dalam kitabnya ini memiliki sanad muttashil (bersambung) yang diterima dari para perawi yang tsiqah (terpercaya), mulai dari awal sampai akhir sanad. Imam Muslim juga mensyaratkan agar para perawinya terhindar dari Syadz (menyalahi riwayat yang tsiqah) dan ‘illah (cacat/perusak kualitas).. Demikianlah batasan— 123 124
Al-Hajjaj (1/4-5), An-Nurustani (85-87). Maksud “Syarat” dalam judul ini adalah; Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim dalam menilai bahwa suatu hadits itu shahih atau bisa dijadikan sebagai hujjah (alasan) dalam beramal. Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
26
suatu hadits disebut sebagai hadits—shahih menurut Imam Muslim. Setiap hadits yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka hadits tersebut bisa diklasifikasikan kedalam golongan hadits yang shahih tanpa harus diperdebatkan lagi oleh para ulama. Di dalam kitab Shahih-nya, bab Shifat Shalat Rasulillah Saw, diceritakan bahwasanya Imam Muslim berkata, „Tidak setiap hadits yang menurutku shahih aku cantumkan dalam kitabku ini, karena hanya hadits-hadits yang keshahihannya telah disepakati—yang aku cantumkan‟. Ungkapan Imam Muslim dalam kalimat ini sempat membuat orang menjadi agak bingung. Sebab, pada kenyataannya ada beberapa hadits dalam kitab Shahih Muslim yang keshahihannya masih diperselisihkan. Untuk menjawab kebingungan tersebut, Ibn Shalah memberikan dua macam jawaban; (1) Yang dimaksud dengan kalimat tersebut; bahwa Imam Muslim tidak mencantumkan di dalam kitab Shahih-nya kecuali hanya hadits-hadits yang syarat keshahihannya sudah disepakati oleh para ulama. Sekalipun kriteria terkumpulnya beberapa syarat tersebut dalam sebuah hadits tidak mencapai titik kesepakatan di antara mereka; (2) Bisa juga yang di maksud Imam Muslim dengan ungkapan itu; bahwa beliau tidak meletakan hadits yang matan atau sanadnya masih dipertentangkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya). Lanjut Ibn Shalah menjelaskan, “Sedangkan kalau ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keshahihan hadits Imam Muslim, maka hal itu hanya sebatas mengenai ke-tsiqah-an salah satu dari sebagian perawinya. Sebenarnya masalah ini sudah dapat ditangkap dari pengertian umum ungkapan Imam Muslim di atas. Sebab, latar belakang Imam Muslim mengutarakan kalimat tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan seseorang. Pertanyaan tersebut menyoal tentang keshahihan hadits Abu Hurairah yang berbungi, „Jika telah dibacakan (Alquran) maka diamlah kalian semua‟. Guna merespon pertanyaan tersebut, Imam Muslim menjawab, „Menurutku, hadits tersebut berkualitas shahih‟. Namun ternyata beliau kembali ditanya, „Lalu, mengapa engkau tidak menyebutkannya dalam kitab Ash-Shahih?‟. Maka, Imam Muslim pun mengutarakan ungkapan tersebut… Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kitab Shahih Muslim sebenarnya masih mengandung beberapa hadits yang keshahihan sanad dan matannya diperdebatkan oleh para ulama. Hal ini tidak lain karena adanya beberapa syarat shahih versi Imam Muslim, dan ada juga syarat shahih khas ulama lain.125 4) Jawaban Bagi Riwayat Imam Muslim Yang Mendapat Penilaian Dla’if Imam An-Nawawi berkata, “Orang-orang mencela Imam Muslim karena meriwayatkan hadits dalam kitab Shahih-nya yang diterima dari perawi yang dla‟if, dan perawi
125
Seluruh kutipan dalam pembahasan ini, dikutip dari: An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/15-16). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
27
pertengahan yang masuk dalam tingkatan perawi kedua, yaitu para perawi yang tidak termasuk syarat shahih. Namun, sebenarnya hal itu bukanlah suatu hal yang tercela”. 126 Kemudian Imam An-Nawawi menjawab kritikan tersebut dengan mengutip pendapat dan peninjauan Syaikh Ibn Shalah, yang penulis ringkas dan kelompokan menjadi beberapa poin di bawah ini: 1. Mungkin dia (perawi yang diperbincangkan) adalah perawi yang dla‟if dalam pandangan ulama lain, namun tsiqah (terpercaya) dalama pandangan Imam Muslim. Dan tidak bisa dikatakan bahwa jarh (penilaian dla‟if/cacat) didahulukan daripada ta’dil (penilaian shahih/terpercaya) karena hal itu hanya berlaku; apabila jarh tersebut sudah menjadi ketetapan dan sudah jelas sebabnya. Jika tidak demikian, maka jarh tidak bisa diterima. 2. Hadits yang dinilai dla‟if itu hanya dimasukan oleh Imam Muslim sebagai mutaba’at dan syawahid saja, bukan sebagai hadits yang pokok. Yaitu, pertama-tama, Imam Muslim menyebutkan hadits yang sanadnya bersih, perawinya tsiqah, dan menjadikannya sebagai pokok. Kemudian, hadits pokok yang shahih itu diiringi oleh hadits yang di dalam sanadnya ada sebagian perawi yang dla‟if, yang tiada lain untuk difungsikan sebagai mutaba’at atau sebagai tambahan, juga untuk mengingatkan faidah pada apa yang telah dikemukakannya pada hadits yang pokok. 3. Mungkin hadits tersebut adalah hadits yang diterima dari perawi dla‟if yang bisa dijadikan sebagai hujjah, yang mengalami kekacauan hafalan setelah haditsnya diambil darinya. Berkanaan dengan hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah sebelum terkena kekacauan hafalan, maka status haditsnya adalah shahih dan tidak tercela. 4. Mungkin Imam Muslim bermaksud untuk meninggikan sanad haditsnya lewat seorang perawi yang dla‟if. Menurut Imam Muslim, hadits tersebut dari jalur riwayat tsiqah namun bersanad nazil. Karena itu, beliau mencukupkannya pada sanad yang „ali (tinggi). G. Keistimewaan dan Kedudukan Kitab Shahih Muslim di Antara Kitab-kitab Sunnah Lainnya An-Nawawi berkata, “Kitab yang paling shahih dalam masalah hadits—bahkan dalam ilmu tersebut secara mutlaq—adalah Ash-Shahihain, yang disusun oleh dua imam teladan; Abu „Abdillah Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi—semoga Allah Swt meridlai keduanya—dan belum ditemukan satu kitab pun yang menandingi keduanya”.127 Jadi, Imam An-Nawawi—juga ulama lainnya sepakat—menempatkan dua kitab ini pada kedudukan yang paling tinggi di antara kitab-kitab yang lainnya. Namun, terjadi perbedaan di antara para ulama tentang mana yang harus didahulukan atau dijadikan yang paling depan. Apakan kitab Shahih karya Imam Al-Bukhari ataukah kitab Shahih karya 126 127
An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/24), Farid (318). An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/4), An-Nurustani (68). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
28
Imam Muslim? Dalam hal ini, ada yang lebih mendahulukan Shahih Al-Bukhari dan ada juga yang lebih mendahulukan Shahih Muslim. Namun, kebanyakan para ulama lebih mendahulukan kitab Shahih Al-Bukhari dan menjadikan kitab Shahih Muslim berada di bawahnya pada urutan kedua. Imam An-Nawawi berkata, “Para ulama—semoga Allah Swt merahmati mereka— sepakat bahwasanya dua kitab yang paling shahih setelah Alquran Al-„Aziz adalah kitab Ash-Shahihain karya Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Orang-orang pun menyambut kedua kitab tersebut dengan penerimaannya yang terbuka. Akan tetapi, di antar kedua kitab tersebut, kitab Shahih karya Imam Al-Bukhari lah yang paling shahih dan paling banyak mengandung manfaat dan pengetahuan, baik itu yang nampak ataupun yang tersembunyi”.128 Ibn Hajar berkata, “Imam Muslim menghimpun dalam kitab Shahih-nya hadits dalam jumlah yang sangat banyak, yang belum ada seorang pun yang bisa menyamainya. Sekiranya sebagian orang lebih mengutamakan kitab karangan Syaikh Muhammad bin Isma‟il, hal itu dikarenakan keistimewaan kitab tersebut (Shahih Al-Bukhari) yang menghimpun kumpulan jalur-jalur hadits, konteks pembahasan yang bagus, dan menjaga keotentikan lafazh sebagaimana mestinya, tanpa ada riwayat yang terputus atau riwayat dengan makna”.129 Adaupun mereka yang lebih mengutamakan kitab Shahih Muslim—yaitu para syaikh di Maroko—di atas kitab Shahih Al-Bukhari, mereka berkomentar bahwasanya kitab Shahih yang disusun oleh Imam Muslim ini lebih unggul dari kitab Shahih Al-Bukhari karena hadits yang ada dalam kitab Shahih Muslim tidak bercampur kecuali yang shahih saja. Maka tidak ada sesuatu setelah muqaddimah-nya, melainkan hadits shahih yang disebutkan tanpa ada campuran seperti apa yang ada dalam kitab Shahih Al-Bukhari. Demikian halnya dengan hadits mu’allaq; yang hilang satu atau lebih perawi dari permulaan isnad-nya, yang banyak terjadi pada kitab Shahih Al-Bukhari, sedang dalam kitab Shahih Muslim, hal tersebut jarang sekali didapatkan.130 Al-Hafizh Abu „Ali AnNaisaburi berkata, “Tidak ada kitab di kolong langit ini yang lebih shahih dibandingkan kitab Shahih Muslim dalam ilmu hadits”.131 Imam An-Nawawi berkata, “Telah diriwayatkan dari jalur yang shahih bahwasanya Imam Muslim termasuk salah satu dari orang yang mengambil manfaat dari Imam AlBukhari yang beliau (Imam Muslim) mengakui sendiri bahwasanya Imam Al-Bukhari adalah ulama yang tidak ada tandingannya. Pendapat inilah yang kami pegang untuk lebih mengunggulkan kualitas kitab Shahih Al-Bukhari dibandingkan dengan kitab Shahih Muslim. Pendapat ini juga banyak dipegang oleh mayoritas ulama dan para ahli dalam bidang hadits.. dan inilah pendapat yang paling benar.132
An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/14), An-Nurustani (68). Al-„Asqalani (10/115), An-Nurustani (68), Syiha (56). 130 Syiha (57). 131 Adz-Dzahabi (12/566), An-Nawawi “Tahdzib” (2/91), Ibn Katsir (11/33), Syiha (57). 132 An-Nawawi (1/14). 128 129
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
29
Lanjut Imam An-Nawawi mengatakan, “Akan tetapi, kitab susunan Imam Muslim ini juga mempunyai kelebihan tersendiri, dimana, kitab ini terasa lebih mudah dan lebih gampang untuk ditela‟ah. Imam Muslim telah berhasil menghimpun hadits dalam satu tema. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwasanya Imam Muslim tetap menyebutkan beberapa jalur sanad dan redaksi yang cukup beragam statusnya. Dengan metode penghimpunan semacam inilah para pelajar akan sangat mudah untuk menggali manfaat dari kitab Shahih Muslim.133 Kesimpulannya, di antara banyaknya kitab-kitab yang menghimpun sunah Nabi Saw, kitab Shahih Muslim ini berada ditingkat kedua sebagai kitab paling shahih setelah Alquran bersama kitab Shahih Al-Bukhari. Kedua kitab ini (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) masing-masing memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri yang hal tersebut sudah diakui oleh seluruh ulama yang mengenal dua kitab ini. Namun— sebagaimana yang telah ditegaskan dipermulaan—kebanyakan para ulama hadits lebih condong untuk lebih mendahulukan kitab Shahih Al-Bukhari dan menjadikan kitab Shahih Muslim berada di urutan kedua setelahnya. H. Kitab Mukhtashar (Ringkasan) Shahih Muslim Mukhtashar kitab Shahih Muslim sangatlah banyak sekali. Hal ini menunjukan bahwa penjagaan dan pemeliharaan para ulama terhadap kitab Shahih Muslim ini sangatlah besar dan berkesinambungan. Beberapa kitab Mukhtashar Shahih Muslim yang terkenal adalah; 1. Mukhtashar Shahih Muslim karya Abu „Abdillah Muhammad bin „Abdillah bin Muhammad Abi Al-Fadl Al-Mursi (w. 655 H). 2. Mukhtashar Shahih Muslim karya Abu Al-„Abbas Ahmad bin „Umar Al-Anshari AlQurthubi (w. 656 H). 3. Al-Jami’ Al-Mu’lim bi Maqashid Jami’ Muslim karya Abu Muhammad „Abdul-‟Azhim bin „Abdul-Qawi Al-Mundziri (w. 656 H). Kitab ini telah mengalami pencetakan. 4. Wasilah Al-Muslim fi Tahdzib Shahih Muslim karya Muhamad bin Ahmad bin Muhammad bin Juzy Al-Kalbi (w. 841 H). 5. Mukhtashar Shahih Muslim karya Isma‟il bin „Abdillah Al-Askadari (w. 1082 H). 6. Mukhtashar Shahih Muslim karya Asy-Syaikh Nashiruddin Al-AlBani. Kitab ini juga telah mengalami pencetakan.134 I. Kitab-kitab Syarah (penjelas) Shahih Muslim An-Nurustani berkata bahwa adanya kitab-kitab Syarah bagi Shahih muslim ini— seperti halnya kitab mukhtashar—merupakan bagian dari perhatian dan pemeliharaan umat terhadap kitab yang agung ini. jumlah kitab Syarah bagi Shahih Muslim ini pun sangatlah banyak dan bermacam-macam bentuk, corak serta pokus pembahasannya. Ada 133 134
An-Nawawi (1/14). An-Nurustani (73), Thawalibah (149-150), Syuhbah (127-128). Untuk data Mukhtashar Shahih Muslim yang lebih banyak, bisi dilihat dalamkitab: Salman (238-240). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
30
yang secara khusus membahas muqaddimah-nya saja, ada juga yang membuat syarah bagi Mukhtashar (ringkasan) Shahih Muslim, kemudian ada juga yang membuat syarah bagi Zawa’id Shahih Muslim ‘ala Shahih Al-Bukhari, dan ada pula yang hanya memberikan hawasyi (catatan kaki) dan ta’liq (catatan pinggir). Berikut beberapa pengarang dan kitab Syarah Shahih Muslim yang ditulis dengan bahasa Arab: 1. Syarh Shahih Muslim karya Muhammad bin Isma‟il Al-Ashbahani (w. 520 H). 2. Al-Mufhim li Syarh Gharib Muslim karya „Abdul-Ghafir bin Isma‟il Al-Farisi (w. 529). 3. Syarh Shahih Muslim; Al-Mu’lim bi Fawa’id Muslim karya Muhammad bin „Ali AlMaziri (w. 536 H). Kitab ini telah mengalami pencetakan. 4. Ikmal Al-Mu’lim bi Fawa’id Muslim karya Al-Qadli „Iyadl bin Musa Al-Yahshibi (w. 544 H). Kitab ini merupakan penyempurna bagi Syarah Al-Maziri. 5. Al-I’lam bi Fawa’id Muslim karya Ahmad bin Muhammad bin Al-Hasan bin „Atiq AdzDzahabi Al-Balnisi (w. 601 H). 6. Iqtibas As-Siraj fi Syarh Muslim bin Al-Hajjaj karya Abi Al-Hasan „Ali bin Ahmad AlWadi Asyi Al-Ghasani (w. 609 H). 7. Syar Shahih Muslim karya „Imaduddin „Abdur-Rahman bin „Abdil‟ali Al-Mishri, yang lebih dikenal dengan sebutan; Ibn As-Sukri (w. 624 H). 8. Syarh Shahih Muslim karya Al-Maliki Abi Al-Ma‟ali Muhammad bin Ayyub (w. 635 H). 9. Al-Mufshih Al-Mufhim wa Al-Maudlih Al-Mulhim li Ma’ani Shahih Muslim karya Abu „Abdillah Yahya bin Hisyam Al-Anshari (646 H). 10. Syarh Shahih Muslim karya Abu Muzhaffar Yusuf bin Qizghali cucunya Ibn Al-Jauzi (w. 654 H) 11. Al-Mufhim lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim karya Abu Al-„Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Qurthubi (w. 656 H). Kitab ini telah mengalami pencetakan. 12. Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syarf An-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini telah merupakan kitab syarah bagi Shahih Muslim secara muthlaq. Dan kitab ini juga telah mengalami pencetakan dalam jumlah yang banyak. 13. Ikmal Al-Ikmal ‘ala Shahih Muslim karya Muhammad bin Ibrahim Al-Baquri (w. 707 H). kitab ini meruapakan penyempurna kitab Al-Ikmal karya Al-Qadli „Iyadl. 14. Syarh Mukhtashar Shahih Muslim li Al-Mundziri karya Abu „Amr „Utsman bin „Ali bin Ibrahim yang dikelan dengan Khathib Jabarin (w. 730 H). 15. Ikmal Ikmal Al-Mu’lim karya Muhammad bin Khalifah Al-Wasytani Al-Abi (w. 867 H). Kitab ini telah mengalami pencetakan. 16. Mukammil Ikmal Al-Ikmal karya Muhammad bin Yusuf As-Sanwasi (w. 895 H). 17. Ad-Dibaj ‘ala Shaih Muslim bin A-Hajjaj karya As-Suyuthi (w. 911 H). Kitab ini telah mengalami pencetakan. 18. Wasyi Ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya „Ali bin Sulaiman AlBajmu‟uwi Ad-Dimnati (w. 1294 H). Bersama kitab Ikmal karya Al-Abi. Kitab ini telah mengalami pencetakan bersama kitab Ikmal karya Al-Abi. 19. As-Siraj Al-Wahhaj fi Kasyf Mathalib Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya Al-„Allamah Shadiq Hasan Khan Al-Qanuji (w. 1307 H). Pada waktu dulu kitab ini dicetak.
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
31
20. Fath Al-Mulhim Syarh Shahih Muslim karya Asy-Syaikh Sabir Ahmad Al-„Utsmani (w. 1369 H). Kitab ini telah mengalami pencetakan. 21. Takmilah Fath Al-Mulhim karya Asy-Syaikh Taqiyy Al-„Utsmani. Kitab ini juga telah mengalami pencetakan. 22. Minnah Al-Mun’im fi Syarh Shahih Muslim karya Asy-Syaikh Shafi Ar-Rahman AlMubarakfuri. Kitab ini telah mengalami pencetakan. Kitab ini juga termasuk kedalam kategori syarah bagi Shahih Muslim yang terbaik di tinggakt perte-ngahan.135
135
Seluruh keterangan dalam pembahasan ini disadur dari: An-Nurustani (79-80). Untuk data Syarah Shahih Muslim yang lebih banyak bisa di lihat dalam kitab: Salman (251-261), Thawalibah (153-162). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
32
BAB IV PENUTUP Di antara tokoh ternama lagi menonjol dengan khidmah atau kontribusinya dalam bidang hadits dan ilmu hadits adalah Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kausyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi atau terkenal dengan sebutan Imam Muslim (206-261 H). Sebuah nama yang sangat dikenal dalam sejarah Islam sebagai sosok intelektual yang sempurna, terutama oleh para ulama yang senantiasa berkecimpung dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Beliau terkenal sebagai sosok yang tampan lagi bersahaja. Beliau juga adalah pribadi yang cerdas, wara’ (hati-hati), sabar, tekun, dan sifat baik beliau lainnya. Beliau juga terkenal dengan ketelitian dan kejeliannya dalam memeriksa, mempelajari dan menyisihkan hadits-hadits yang shahih dari hadits-hadits yang dhaif. Hal itu tergambar dari perkatan beliau yang mengatakan, “Aku menyusun Al-Musnad Ash-Shahih ini dari 300.000 hadits yang aku dengar secara langsung”.137 Semua hadits yang berjumlah 300.00 hadits tersebut merupakan kumpulan hadits yang beragam kedudukannya, dari mulai yang shahih, hasan, sampai hadits yang berstatus dlaif. Kemudian, dengan ketekunan, kecermatan, dan ketelitiannya, Imam Muslim mengklasifikasikan hadits-hadits tersebut, supaya diketahui masing-masing keadaannya. Betapa tidak, kepiawaian, kecerdikan dan kepintarannya dalam bidang ini sudah tergambar dari sejak beliau kecil. Semangat untuk terus menuntut ilmu senantiasa berkobar dalam hatinya. Sehingga, dari tangannya yang produktif dan otaknya yang pandai, beliau mampu melahirkan beberapa karya ilmiyyah yang beberapa dari karyanya itu sangat berguna dan masih dipakai sampai sekarang dan mungkin untuk selamanya sampai Allah Swt mengakhiri kehidupan ini—insya Allah. Salah satu karyannya yang sangat berguna bagi umat Islam adalah kitab Al-Musnad Ash-Shahih atau—menurut penamaan Ibn Khair—Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min As-Sunan bin Naql Al-‘Adl ‘an Al-‘Adl ‘an Rasulillah Saw, yang dikenal oleh mayoritas kaum muslim dengan sebutan Shahih Muslim. Kitab yang menghimpun kurang lebih— menurut perhitungan „Abdul Baqi tanpa penyebutan pengulangan hadits—3033 hadits itu telah disepakati oleh seluruh ulama—baik itu ulama hadits, tafsir, fiqih dan ushul fiqih dan lain sebagainya—bahwa kitab Shahih karya Imam Muslim ini merupakan salah satu dari dua kitab paling shahih kedua setelah Alquran bersama kitab Shahih karya Imam AlBukhari. Oleh karena itu, sangat tidak mengeherankan jika banyak ulama yang mencurahkan perhatian dan pemeliharaannya yang besar terhadap kitab hadits berkualitas tinggi tersebut. Tebukti dengan banyaknnya Jumlah kitab Syarah (penjelasan) bagi kitab Shahih Muslin ini, bahkan sampai mencapai 40 kitab lebih. Bentuk perhatian para ulama terhadap kitab ini juga tergambar dari lahirnya mukhtashar (ringkasan) bagi kitab Shahih Muslim 137An-Nawawi
“Al-Minhaj” (1/15). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
33
ini, seperti halnya peringkasan yang dilakukan oleh Abi Al-Fadl Al-Mursi, Al-Qurthubi, AlMundziri, Muhammad bin Juzy Al-Kalbi, „Abdillah Al-Askadari, Nashiruddin Al-AlBani— semoga Allah Swt senantiasan merahmati mereka—dan masih banyak lagi ulama yang melakukan pemeliharaannya terhadap kitab Shahih Muslim ini dengan membuat mukhtashar atau ringkasannya. Tak heran juga jika para ulama dulu dan sekarang banyak yang mengungkapkan pujian mereka sebagai manifestasi dari kekagumannya terhadap kitab Shahih ini, terlebih lagi kepada sosok pengarangnya; Imam Muslim. Abu „Amr Ahmad bin Al-Mubarrak berkata kepada Imam Muslim, “Aku mendengar Ishaq bin Manshur mengatakan kepada Muslim bin Al-Hajjaj, „Kami tidak akan kehilangan kebaikan, selama Allah masih membiarkanmu hidup untuk kaum muslimin.”138 Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketahuilah, bahwa Muslim adalah salah satu imam di bidang ini (hadits dan ilmunya), tokohnya, penghafalnya yang memiliki kesempurnaan hafalan. Beliau juga merupakan salah satu dari ulama yang melakukan perjalanan dalam rangka mencari ilmu kepada para imam di berbagai negri, orang yang diakui keunggulannya tanpa diperselisihkan di kalangan orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan. Kitabnya senantiasa menjadi rujukan dan dijadikan sebagai pegangan di setiap zaman”.139 Dan masih banyak lagi pujian-pujian para ulama kepada beliau, yang pujian tersebut mungkin akan terus berlanjut karna karya-karya monumental yang ditinggalkan oleh Imam Muslim—khususnya kitab Al-Musnad AshShahih-nya—sangatlah berharga dan akan senantiasa dipakai selama kaum muslimin masih ada di muka bumi ini. Kekaguman kita kepada Imam Hadits ini pun akan memuncak ketika kita mengetahui detik-detik kewafatan beliau Imam Muslim. Beliau wafat pada hari Ahad dan dikebumikan pada hari senin 25 Rajab 261 H. Di detik-detik wafatnya, beliau tengah menyibukan diri menela‟ah kitab haditsnya sehingga melalaikan kesehatan tubuhnya. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa sebab wafatnya beliau adalah terlalu lelah dan terlalu memaksakan diri untuk berpikir dan bekerja keras, sedang pencernaannya harus terus bekerja untuk mencerna kurma yang ia makan ketika semalam suntuk—bahkan sampai menjelang shubuh—untuk menemaninya menela‟ah kitab. Barangkali setelah itu beliau sakit dan kemudian wafat. Dari hal tersbut kita semakin tahu dan mengerti akan keikhlasan dan ketekunan Imam Muslim dalam sebuah ilmu bahkan sampai akhir hayatnya. Kepada pujangga yang tiada bandingan tentang ilmu haditsnya itu, maka tertumpahlah kepercayaan seluruh ulama Islam dengan meletakan hadits yang beliau riwayatkan pada derajat yang tinggi. Wallahu a’lam bish-shawab
138 139
Adz-Dzahabi (12/563), Syiha (55), Farid (2/308), An-Nurustani (29). An-Nawawi “Tahdzib” (2/90), An-Nawawi “Al-Minhaj” (1/10), Farid (2/309-310), Salman (58). Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
34
DAFTAR PUSTAKA Kitab/Buku: Adz-Dzahabi, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin „Utsman, Siyar A’lam AnNubala, (Bairut: Muassasah Ar-Risalah, Cet. Ke-1, 1403 H/1973 M). Al-„Asqalani, Abu Al-Fadll Ahmad bin „Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar, Tahdzib AtTahdzib, (Hindi: Da‟irah Al-Ma‟arif, Cet. Ke-1, 1326 H). Al-„Utsmani, Asy-Syaikh Syabir Ahmad, Mausu’ah Fath Al-Mulhim bi Syarh Shahih AlImam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi, (Bairut: Dar Ihya At-Turats, Cet. Ke-1, 1426 H/2006 M). Al-Badar, „Abdul Muhsin bin Hamd bin „Abdul Muhsin bin Abdillah bin Hamd Al-„Ibad, AlImam Muslim wa Shahihuhu, (Madinah: Al-Jami‟ah Al-Islamiyyah, Cet. Ke-3, 1390 H/1970 M), Al-Maktabah Asy-Syamilah. Al-Baghdadi, Al-Khathib, Syarf Ashab Al-Hadits wa Nashihah Ahl Al-Hadits, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, Cet. Ke-1, 1417 H/1996 M). Al-Hajjaj, Muslim bin, Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar bi Naql Al-‘Adl ‘an Al-‘Adl ila Rasulillah Saw, Tahqiq: Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, (Bairut: Dar Ihya‟ AtTurats Al-„Arabiy, tth.) Al-Maktabah Asy-Syamilah. An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syarf, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, (Bairut: Dar Ihya At-Turats, Cet. Ke-2, 1392 H), Al-Maktabah AsySyamilah. ________, Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syarf, Tahdzib Al-Asma wa Al-Lughat, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, tth), Al-Maktabah Asy-Syamilah. An-Nurustani, Muhammad Muhammadi bin Muhammad Jamil, Al-Madkhal ila Shahih AlImam Muslim bin Al-Hajjaj, (Kuwait: Maktab Asy-Syu‟un Al-Fanniyyah, Cet. Ke-1, 1428 H/2007 M). Ar-Razi, Al-Imam Al-Hafizh Syaikh Al-Islam, Jarh wa At-Ta’dil, (ttp.: Al-Faruq AlHaditsah, 1371 H/1952 M). Fakhauri, Mahmud, Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi; Hayatuhu wa Shahihuhu, (ttp: tpn, tth). Farid, Syaikh Ahmad, Min A’lam As-Salaf, (Iskandariyyah: Daru Al-Iman, Cet. Ke-1, 1418 H /1998 M). Ibn Katsir, Abu Al-Fida‟ Isma‟il bin „Umar, Al-Bidayah wa An-Nihayah, (Bairut: Dar AlFikr, 1407 H/1986 M), Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
35
Ibn Shalah, „Utsman bin „Abdurrahman Abu „Amr Taqiyyuddin, Shiyanah Shahih Muslim min Al-Ikhlal wa Al-Ghalath wa Himayatihi min Al-Isqath wa Al-Saqth, (Bairut: Dar Al-Gharb Al-Islami, Cet. Ke-2, 1408 H), Al-Maktabah Asy-Syamilah. Izzan, Ahmadi, Studi Takhrij Hadits dan Kegiatan Penelitian Hadits, (Bandung: Tafakur, Cet. Ke-1, 1433 H/2012 M). Salman , Masyhur Hasan Mahmud, Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj Shahib Al-Musnad AshShahih wa Muhaddits Al-Islam Al-Kabir, (Damsyiq: Dar Al-Qalam, Cet. Ke-1, 1414 H/1994 M). Syiha, Khalil Ma‟mun, “Muqaddimah Pentahqiq”. Dari buku: Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, pent.: Agus Ma‟mun, dkk., (Jakarta: Darus Sunnah Press, Cet. Ke-2 2010 M). Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu, fi Riham As-Sunnah Al-Kutub As-Sittah, (ttp.: Silsilah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, 1415 H/1995 M) Thawalibah, Muhammad „Abdirrahman, Al-Imam Muslim wa Minhajuhu fi Shahihihi, („Amman: Dar „Ammar, Cet. Ke-2, 1421 H/2000 M).
Majalah: Sholahudddin, Abu Faiz, Muslim ibn Hajjaj; Imam Ahli Hadits, (Majalah al-Furqon No.149, Ed.1 Th.ke-14_1435H).
Software: Al-Maktabah As-Syamilah
Biografi Imam Muslim dan Kitab Shahih-nya
36