41
Penalaran
2 Penalaran (Reasoning) Scientists, being only human, cannot always admit their errors, even when confronted with strict proof. (Thomas S. Kuhn, 1970)
Telah disebutkan dalam Bab 1 bahwa pengertian teori akuntansi dalam buku ini difokuskan pada pengertian teori sebagai suatu penalaran logis untuk menjelaskan bagaimana suatu standar akuntansi diturunkan, dikembangkan, atau dipilih. Penalaran sangat penting perannya dalam belajar teori akuntansi karena teori akuntansi menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Teori akuntansi banyak melibatkan proses penilaian kelayakan dan validitas suatu pernyataan dan argumen. Penalaran memberi keyakinan bahwa suatu pernyataan atau argumen layak untuk diterima atau ditolak. Penalaran logis merupakan salah satu sarana untuk memverifikasi validitas suatu teori. Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut kesungguhan (commitment) dalam menemukan kebenaran ilmiah.1 Sikap ilmiah membentengi sikap untuk memecahkan masalah secara serampangan, subjektif, pragmatik, dan emosional. Karena pentingnya masalah penalaran ini, bab ini membahas secara khusus pengertian penalaran dan berbagai aspeknya serta aplikasinya dalam akuntansi.
Pengertian Sebagai titik tolak pembahasan, diajukan pengertian penalaran oleh Nickerson (1986) sebagai berikut:2 Reasoning encompasses many of the processes we use to form and evaluate beliefs—beliefs about the world, about people, about the truth or falsity of claims we encounter or make. It involves the production and evaluation of arguments, the making of inferences and the drawing of conclusions, the generation and 1 Istilah kebenaran dalam pembahasan di sini tidak dimaksudkan dalam pengertian kebenaran mutlak (absolute truth) tetapi lebih dalam pengertian kebenaran ilmiah yang dibatasi oleh kemampuan penalaran manusia. Kebenaran mutlak adalah milik Tuhan. Oleh karena itu, walaupun digunakan istilah kebenaran, kebenaran di sini harus lebih diartikan sebagai validitas. Lihat catatan kaki 16 di Bab 1. 2 Raymond S. Nickerson, Reflections on Reasoning (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher, 1986). Pembahasan di bab ini banyak didasarkan atas buku tersebut.
42
Bab 2
testing of hypotheses. It requires both deduction and induction, both analysis and synthesis, and both criticality and creativity (hlm. 1-2).
Dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu pernyataan atau asersi (assertion). Pernyataan dapat berupa teori (penjelasan) tentang suatu fenomena atau realitas alam, ekonomik, politik, atau sosial. Penalaran perlu diajukan dan dijabarkan untuk membentuk, mempertahankan, atau mengubah keyakinan bahwa sesuatu (misalnya teori, pernyataan, atau penjelasan) adalah benar. Penalaran melibatkan inferensi (inference) yaitu proses penurunan konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan simpulan/konklusi (conclusion) dari serangkaian pernyataan atau asersi. Proses penurunan simpulan sebagai suatu konsekuensi logis dapat bersifat deduktif maupun induktif. Penalaran mempunyai peran penting dalam pengembangan, penciptaan, pengevaluasian, dan pengujian suatu teori atau hipotesis. Teori (pernyataan-pernyataan teoretis) merupakan sarana untuk menyatakan suatu keyakinan sedangkan penalaran merupakan proses untuk mendukung keyakinan tersebut. Oleh karena itu, keyakinan (terhadap suatu teori atau pernyataan) berkisar antara lemah sampai kuat sekali atau memaksa (compelling) bergantung pada kualitas atau keefektifan penalaran dalam menimbulkan daya bujuk atau dukung yang dihasilkan.
Unsur dan Struktur Penalaran Struktur dan proses penalaran dibangun atas dasar tiga konsep penting yaitu: asersi (assertion), keyakinan (belief), dan argumen (argument). Struktur penalaran menggambarkan hubungan ketiga konsep tersebut dalam menghasilkan daya dukung atau bukti rasional terhadap keyakinan tentang suatu pernyataan. Asersi adalah suatu pernyataan (biasanya positif) yang menegaskan bahwa sesuatu (misalnya teori) adalah benar. Bila seseorang mempunyai kepercayaan (confidence) bahwa statemen keuangan itu bermanfaat bagi investor adalah benar, maka pernyataan “statemen keuangan itu bermanfaat bagi investor” merupakan keyakinannya. Asersi mempunyai fungsi ganda dalam penalaran yaitu sebagai elemen pembentuk (ingredient) argumen dan sebagai keyakinan yang dihasilkan oleh penalaran (berupa simpulan). Artinya, keyakinan yang dihasilkan dinyatakan dalam bentuk asersi pula. Dengan demikian, asersi merupakan unsur penting dalam penalaran karena asersi menjadi komponen argumen (sebagai masukan penalaran) dan merupakan cara untuk merepresentasi atau mengungkapkan keyakinan (sebagai keluaran penalaran). Keyakinan adalah tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima bahwa suatu pernyataan atau teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau sosial) adalah benar. Orang mendapatkan keyakinan akan suatu pernyataan karena dia melekatkan kepercayaan terhadap pernyataan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai keyakinan yang kuat kalau dia bersedia bertindak (berpikir, berperilaku, berpendapat, atau berasumsi) seakan-akan
43
Penalaran
keyakinan tersebut benar. Keyakinan merupakan unsur penting penalaran karena keyakinan menjadi objek atau sasaran penalaran dan karena keyakinan menentukan posisi (paham) dan sikap seseorang terhadap suatu masalah yang menjadi topik bahasan. Argumen adalah serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Bila dihubungkan dengan argumen, keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan pada suatu pernyataan konklusi atas dasar pemahaman dan penilaian suatu argumen sebagai bukti yang masuk akal. Oleh karena itu, argumen menjadi unsur penting dalam penalaran karena tia3 digunakan untuk membentuk, memelihara, atau mengubah suatu keyakinan. Gambar 2.1 menunjukkan secara diagramatik proses penalaran secara umum. Gambar 2.1 Proses atau Struktur Penalaran Masukan
Proses
Keluaran
Asersi sebagai elemen argumen
Argumen
Keyakinan bahwa asersi konklusi benar
Asersi
Asersi Asersi
Asersi Asersi
inferensi
inferensi
inferensi
Asersi konklusi
Asersi
Gambar di atas menunjukkan bahwa argumen dalam proses penalaran merupakan salah satu bentuk bukti yang oleh Mautz dan Sharaf (1964) disebut sebagai argumentasi rasional (rational argumentation).4 Dua jenis bukti yang lain adalah bukti natural (natural evidence) dan bukti ciptaan (created evidence). Bukti dalam bentuk argumen rasional akan banyak diperlukan dalam teori akuntansi yang membahas masalah konseptual khususnya bila akuntansi dipandang sebagai teknologi dan teori akuntansi diartikan sebagai penalaran logis. Bukti adalah 3 Kata ini digunakan untuk menunjuk kata argumen. Dalam buku ini, kata tia (sebagai padan kata it dalam bahasa Inggris) kadangkala digunakan sebagai kata ganti penunjuk nomina sebagai varian kata dia yang digunakan sebagai kata ganti penunjuk orang ketiga. Sebagai objek (pelengkap penderita) atau untuk menyatakan kata ganti posesif (padan kata its dalam bahasa Inggris), kata nya sebagai akhiran masih tetap dapat digunakan. Dengan penalaran yang sama, kata meretia akan digunakan dalam buku ini sebagai padan kata they untuk kata ganti penunjuk benda (nomina) jamak. 4 R. K. Mautz dan Hussein A. Sharaf, The Philosophy of Auditing (Sarasota, FL: American Accounting Association, 1964), hlm. 68.
44
Bab 2
sesuatu yang memberi dasar rasional dalam pertimbangan (judgment) untuk menetapkan kebenaran suatu pernyataan (to establish the truth). Dalam hal teori akuntansi, pertimbangan diperlukan untuk menetapkan relevansi atau keefektifan suatu perlakuan akuntansi untuk mencapai tujuan akuntansi. Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan peran argumen sebagai bukti. Gambar 2.2 Arti Penting Argumen Sebagai Bukti Argumen sebagai bukti Semua A adalah C B bukan A B bukan C
membentuk, memelihara, mengubah
Keyakinan bahwa pernyataan benar sebagai bukti B bukan C
Perlu dicatat bahwa keyakinan yang diperoleh seseorang karena kekuatan atau kelemahan argumentasi adalah terpisah dengan masalah apakah pernyataan yang diyakini itu sendiri benar (true) atau takbenar (false). Dapat saja seseorang memegang keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang salah atau sebaliknya menolak suatu pernyataan yang benar (valid). Berikut ini dibahas lebih lanjut konsep atau komponen penalaran.
Asersi Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas. Pada umumnya asersi dinyatakan dalam bentuk kalimat. Berikut ini adalah contoh beberapa asersi (beberapa adalah asersi dalam akuntansi): • • • • • • • • •
Manusia adalah makhluk sosial. Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru. Beberapa obat batuk menyebabkan kantuk. Tidak ada ikan hias yang melahirkan. Partisipasi mempengaruhi kinerja. Statemen aliran kas bermanfaat bagi investor dan kreditor. Perusahaan besar akan memilih metoda MPKP. Informasi sumber daya manusia harus dicantumkan di neraca. Dalam sektor publik, anggaran merupakan alat pengendalian dan pengawasan yang paling andal.
Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua (all), tidak ada (no), dan beberapa (some). Asersi yang memuat pengkuantifikasi semua dan tidak ada merupakan asersi universal sedangkan yang memuat penguantifikasi beberapa merupakan asersi spesifik. Asersi spesifik dapat disusun dengan pengkuanti-
Penalaran
45
fikasi sedikit, banyak, sebagian besar, atau bilangan tertentu. Pengkuantifikasi diperlukan untuk menentukan ketermasukan (inclusiveness) atau keuniversalan asersi. “Burung dapat terbang” tidak dapat diinterpretasi sebagai asersi universal karena kita tahu kecualian terhadap asersi tersebut yaitu misalnya burung unta (yang tidak dapat terbang). Tanpa pengkuantifikasi ketermasukan akan sangat sulit ditentukan. Misalnya seseorang mengajukan asersi “Pria lebih berat badannya daripada wanita.” Asersi tersebut meragukan (ambigus) karena sulit untuk diinterpretasi apa maksud sesungguhnya asersi tersebut. Asersi tersebut dapat berarti: Semua pria lebih berat badannya daripada semua wanita? Beberapa pria lebih berat badannya daripada semua wanita? Beberapa pria lebih berat badannya daripada beberapa wanita? Sebagian besar pria lebih berat badannya daripada sebagian besar wanita? Berat badan rata-rata pria lebih besar daripada berat rata-rata wanita? Asersi-asersi yang dicontohkan di atas lebih menyatakan makna atau arti (meaning) daripada struktur atau bentuk (form). Menyajikan asersi berdasar arti sering menimbulkan salah interpretasi karena keterbatasan bahasa atau karena kesalahan bahasa. Bila digunakan sebagai unsur argumen, penyajian makna dapat mengacaukan evaluasi argumen. Dalam mengevaluasi argumen harus dipisahkan antara validitas penalaran dan kesetujuan terhadap (kebersediaan menerima) kebenaran isi asersi. Oleh karena itu, asersi sering disajikan dalam struktur atau diagram tanpa menunjukkan arti. Penyajian struktur umum asersi adalah: Semua A adalah B. Tidak ada satupun A adalah B. Beberapa A adalah B. Dengan cara di atas, orang akan lebih memperhatikan validitas asersi daripada isi asersi karena simbol A atau B dapat diganti dengan apapun sesuai dengan topik yang dibahas. Misalnya A dapat berisi “badan usaha milik negara (BUMN)” dan B berisi “perusahaan pencari laba (PPL).” Dalam contoh ini, badan usaha disamakan dengan perusahaan. Dengan cara ini, asersi lebih dinilai atas dasar strukturnya daripada atas dasar penerimaan atau kesetujuan terhadap isi asersi yang diajukan. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa suatu asersi valid (benar secara struktural) tetapi tidak mempunyai kandungan empiris. Pernyataan “Semua A adalah B” adalah valid secara struktural tetapi tidak berkaitan dengan dunia nyata atau pengamatan empiris. Struktur asersi dapat disajikan pula dalam bentuk diagram untuk memperoleh kejelasan mengenai hubungan antara kelas (himpunan) objek yang satu dengan lainnya. Gambar 2.3 di halaman berikut merepresentasi asersi berstruktur “semua A adalah B” yang berisi “Semua badan usaha milik negara adalah perusahaan pencari laba” dalam bentuk diagram.
46
Bab 2
Gambar 2.3 Penyajian Asersi Dengan Diagram
Perusahaan pencari laba
Perusahaan pencari laba BUMN
BUMN
Himpunan semua perusahaan milik negara
Himpunan semua perusahaan pencari laba
Asersi: Semua BUMN adalah PPL
Dalam representasi di atas, semua kelas objek di luar lingkaran BUMN merepresentasi himpunan perusahaan non-BUMN. Demikian juga, semua kelas objek di luar lingkaran PPL merepresentasi himpunan non-PPL. Dalam hal ini, himpunan yang merepresentasi PPL juga termasuk himpunan yang merepresentasi BUMN. Gambar 2.4 di bawah ini menunjukkan dalam bentuk diagram cara untuk merepresentasi himpunan non-BUMN pencari laba (gambar kiri) dan nonperusahaan pencari laba (gambar kanan). Gambar 2.4
Non-BUMN pencari laba
BUMN
Non-BUMN pencari laba
BUMN
Non-pencari laba
Non-BUMN direpresentasi dalam Gambar 2.4 kiri dengan area abu-abu. Nonperusahaan pencari laba di Gambar 2.4 kanan (area yang diarsir) meliputi segala macam unit organisasi yang tidak terbatas pada unit organisasi yang disebut perusahaan atau pencari laba. Jadi, area non-PPL sebenarnya merepresentasi universa (universe) himpunan yang tak terbatas sehingga areanya tidak dapat dibatasi menjadi empat persegi panjang seperti di atas. Penggambaran seperti itu sematamata merupakan konvensi untuk merepresentasi suatu universa.
47
Penalaran
Universa non-BUMN dapat direpresentasi seperti pada Gambar 2.4 kanan dengan mengarsir pula area pencari laba non-BUMN. Pada contoh di atas, BUMN termasuk dalam himpunan perusahaan pencari laba. Hubungan semacam ini merupakan hubungan inklusi (inclusion) dengan struktur “Semua A adalah B.” Hubungan dapat pula bersifat peniadaan atau eksklusi (exclusion) atau bersifat tumpang-tindih atau saling-isi (overlap) seperti dalam struktur berikut: Tidak ada satupun A adalah B (eksklusi). Beberapa A adalah B (saling-isi). Hubungan di atas digunakan untuk merepresentasi kenyataan bahwa tidak satu pun BUMN adalah perusahan non-pencari laba (NPL) atau kenyataan bahwa beberapa BUMN adalah perusahaan pencari laba (PL). Hubungan ini dapat dilukiskan dengan diagram dalam Gambar 2.5 di bawah ini. Dalam gambar tersebut, diagram kiri merepresentasi asersi eksklusi dan diagram kanan merepresentasi asersi saling-isi (bagian yang diarsir). Gambar 2.5
BUMN
NPL
BUMN
PL
Representasi asersi dengan diagram bertujuan untuk menjelaskan asersi verbal yang meragukan maksudnya. Asersi verbal berbunyi “Beberapa A adalah B” hanya memberitahu bahwa beberapa A adalah B tetapi tidak menunjukkan hubungan antara himpunan A dan himpunan B secara lengkap. Jadi, tidak diketahui apakah himpunan B termasuk di dalam himpunan A atau tidak (saling-isi). Gambar 2.6 di halaman berikut menunjukkan cara merepresentasi asersi verbal “Beberapa A adalah B” atas dasar informasi tentang hubungan himpunan. Bila diketahui bahwa terdapat A yang bukan B dan terdapat B yang bukan A, diagram (1) merupakan representasi yang tepat. Akan tetapi, bila area B yang bukan A tidak mempunyai anggota (kosong), representasi dalam diagram (2) lebih tepat. Bila tidak ada informasi tambahan apapun, kedua diagram tersebut dapat merepresentasi asersi “Beberapa A adalah B.”5 Dalam bahasa matematika, area yang diarsir pada diagram (1) dalam Gambar 2.6 disebut dengan interseksi (intersection), produk (product), atau konjungsi (conjunction). Kombinasi dua kelas atau himpunan disebut dengan uni (union), tam-
48
Bab 2
bah (sum), atau-inklusif (inclusive or), atau disjungsi (disjunction). Kombinasi dua himpunan tidak termasuk bagian yang saling-isi disebut dengan atau-eksklusif (exclusive or) atau disjungsi eksklusif (exclusive disjunction). Gambar 2.6
A A
B B
(1)
(2)
Dalam menyatakan asersi, perlu dibedakan penggunaan kata non dan nir.6 Non (dari kata Inggris non) berarti bukan dan bersifat komplementer. Walaupun demikian, dalam pemakaiannya kata non lebih bermakna sebagai suatu orientasi daripada klasifikasi. Sebagai contoh, kata non-profit lebih bermakna “tidak mementingkan profit” daripada tidak ada atau tanpa profit. Berbeda dengan non, nir (dari kata Inggris -less) berarti tanpa dan tidak harus bersifat komplementer dan juga tidak harus mengklasifikasi. Kata yang tepat menggunakan nir misalnya sugarless (tanpa gula atau nirgula), useless (tanpa guna atau nirguna), riskless (tanpa risiko atau nirrisiko), atau scripless (tanpa skrip). Jadi, non-profit jelas berbeda dengan nir-profit. Oleh karena itu, tidak tepat pulalah memadankatakan non-profit dengan nirlaba.7 Interpretasi Asersi Untuk menerima kebenaran suatu asersi, harus dipastikan lebih dahulu apa arti atau maksud asersi. Sangat penting sekali untuk memahami arti asersi untuk menentukan keyakinan terhadap kebenaran asersi tersebut. Untuk memahami 5 Bila benar bahwa semua A adalah B atau bila A dan B merupakan himpunan yang sama, benar juga dikatakan bahwa beberapa A adalah B. Dalam hal ini, representasi dalam diagram akan menunjukkan area A ada di dalam area B atau area A berimpitan (saling isi penuh) dengan area B. Bila tidak ada informasi tersebut, pada umumnya asersi “Beberapa A adalah B” diartikan sebagaimana direpresentasi dalam diagram (1) atau (2) dalam Gambar 2.6. 6 Dalam tata bahasa, kata-kata semacam ini disebut pro-leksem. Penulisannya di depan dan melekat pada kata yang diwatasi. 7 Istilah nirlaba digunakan oleh Ikatan Akuntan Indonesa (IAI) dalam Standar Akuntansi Keuangan 2002 (PSAK No. 45).
Penalaran
49
maksud asersi, orang juga harus mempunyai pengetahuan tentang subjek atau topik yang dibahas. Kesalahan interpretasi dapat terjadi karena dua bentuk asersi yang berbeda dapat berarti dua hal yang sama atau dua hal yang sangat berbeda. Perhatikan beberapa contoh bentuk asersi berikut: (1) Semua A adalah B. (2) Semua B adalah A. (3) Tidak satu pun A adalah B. (4) Tidak satu pun B adalah A. (5) Beberapa A adalah B. (6) Tidak semua A adalah B. Asersi (1) jelas berbeda arti dan bentuknya dengan asersi (3). Demikian juga, asersi (1) jelas berbeda dengan asersi (2). Kesalahan menginterpretasi asersi (1) sama dengan asersi (2) disebut dengan kesalahan konversi premis (premise conversion error). Asersi (3) mempunyai makna yang sama dengan asersi (4) karena kalau asersi yang satu benar, tidak mungkin asersi yang lain salah. Dalam hal ini, asersi yang satu merupakan implikasi asersi yang lain. Bila asersi (3) benar, dengan sendirinya asersi (4) juga benar. Dalam percakapan sehari-hari, asersi (5) sering disamakan dengan asersi (6) dan dapat disaling-tukar penggunaannya. Artinya, dianggap bahwa bila asersi (5) benar dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Interpretasi yang lebih teliti secara logis dapat menunjukkan perbedaan makna kedua asersi tersebut. Asersi (5) menegaskan bahwa terdapat beberapa A yang juga B tetapi tidak mementingkan apakah terdapat beberapa A yang bukan B. Dapat saja beberapa A yang bukan B tidak ada. Di lain pihak, asersi (6) mengandung penegasan bahwa terdapat beberapa A yang bukan B tetapi tidak mementingkan informasi bahwa terdapat beberapa B yang bukan A. Asersi ini biasanya merupakan penyangkalan terhadap asersi “Semua A adalah B.” Kedua asersi dapat berbeda karena kalau asersi (5) benar tidak dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Jadi, makna beberapa dan tidak semua dapat berarti dua hal yang sama atau berbeda bergantung pada konteks yang dibahas atau informasi yang tersedia. Asersi untuk Evaluasi Istilah Representasi asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi ketepatan makna suatu istilah. Sebagai contoh, manakah istilah yang tepat antara bersertifikat akuntan publik (BAP) dan akuntan publik bersertifikat (APB) sebagai padan kata certified public accountant (CPA). Bersertifikat akuntan publik bermakna himpunan (set) orang-orang yang bersertifikat dan salah satu subhimpunannya adalah akuntan publik. Sesuai dengan makna aslinya, akuntan publik bersertifikat bermakna sebagai subhimpunan akuntan publik dan akuntan publik merupakan subhimpunan akuntan. Diagram berikut menjelaskan perbedaan makna kedua istilah tersebut.
50
Bab 2
Gambar 2.7 Perbedaan Makna BAP dan APB Makna Bersertifikat Akuntan Publik
Makna Akuntan Publik Bersertifikat
Bersertifikat Akuntan Akuntan Publik
Dukun Akuntan Publik
Ahli Pijat
Ahli Kaca Mata
Akuntan Publik Bersertifikat
Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan istilah bersertifikat akuntan publik alih-alih (instead of) akuntan publik bersertifikat merupakan suatu kesalahan fatal. Kesalahan tersebut disebabkan oleh tidak dipahaminya makna istilah aslinya, tidak dipahaminya teori himpunan, dan tidak ditaatinya kaidah diterangkan-menerangkan (DM) dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris menggunakan kaidah menerangkan-diterangkan (MD). Kesalahan paling telak dalam istilah BAP adalah penyimpangan kaidah DM. Sebagai analogi, blue round table jelas tidak dapat diterjemahkan menjadi biru meja bundar atau meja biru bundar karena menyalahi kaidah DM sehingga maknanya menyimpang. Pada dasarnya, istilah merefleksi suatu asersi. Diagram sebelah kiri mengisyaratkan asersi-asersi antara lain sebagai berikut:8 Semua akuntan publik adalah bersertifikat. Semua ahli kaca mata adalah bersertifikat. Yang tidak bersertifikat akuntan publik adalah bersertifikat dukun, ahli pijat, dan ahli kacamata. Di lain pihak, diagram sebelah kanan menggambarkan secara tepat makna yang dimaksud oleh istilah aslinya dalam bentuk asersi-asersi berikut: 8 Bersertifikat dapat dipandang sebagai komplemen himpunan takbersertifikat yang di dalamnya terdapat subhimpunan akuntan publik, dukun, dan sebagainya. Oleh karena itu, akan didapatkan pula subhimpunan takbersertifikat akuntan publik. Akan tetapi, untuk menyatakan makna certified public accountant sebagai pusat perhatian, himpunan takbersertifikat akuntan publik sebagai komplemennya tidak relevan lagi.
Penalaran
51
Semua akuntan publik adalah akuntan. Semua akuntan publik bersertifikat adalah akuntan publik. Akuntan merupakan suatu himpunan dalam universa profesi. Uraian di atas menunjukkan bahwa makna bersertifikat akuntan publik jelas sangat berbeda dengan makna akuntan publik bersertifikat. Penyimpangan makna tersebut sebenarnya mengisyaratkan bahwa argumen atau penalaran di balik pembentukan istilah tidak valid. Orang mestinya malu menyandang sebutan BAP yang tidak bernalar tersebut. Kriteria validitas argumen dibahas lebih lanjut dalam bagian lain bab ini. Jenis Asersi (Pernyataan) Untuk menimbulkan keyakinan terhadap kebenaran suatu asersi, asersi harus didukung oleh bukti atau fakta. Untuk keperluan argumen, suatu asersi sering dianggap benar atau diterima tanpa harus diuji dahulu kebenarannya. Bila dikaitkan dengan fakta pendukung, asersi dapat diklasifikasi menjadi asumsi (assumption), hipotesis (hypothesis), dan pernyataan fakta (statement of fact). Asumsi adalah asersi yang diyakini benar meskipun orang tidak dapat mengajukan atau menunjukkan bukti tentang kebenarannya secara meyakinkan atau asersi yang orang bersedia untuk menerima sebagai benar untuk keperluan diskusi atau debat. Hipotesis adalah asersi yang kebenarannya belum atau tidak diketahui tetapi diyakini bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya. Untuk disebut sebagai hipotesis, suatu asersi juga harus mengandung kemungkinan salah. Bila tidak ada kemungkinan salah, suatu asersi akan menjadi pernyataan fakta. Hipotesis biasanya diajukan dalam rangka pengujian teori.9 Dalam pengujian ilmiah suatu teori (hipotesis), terdapat prinsip yang disebut prinsip keterbuktisalahan (principle of falsifiability) yang berbunyi bahwa untuk diperlakukan sebagai teori yang serius dan ilmiah, tia harus dapat dibuktikan salah kalau memang kenyataannya tia salah. Teori yang kuat atau yang meyakinkan adalah teori yang tidak hanya dapat dibuktikan salah tetapi juga yang tegar atau bertahan terhadap segala upaya untuk membuktikan salah (to disprove). Prinsip ini didasari oleh pemikiran bahwa teori itu tidak dapat dibuktikan benar tetapi yang dapat dibuktikan adalah bahwa tia salah. Oleh karena itu, pengujian suatu teori baru (hipotesis) biasanya diarahkan untuk menyanggah teori lawan. Pendekatan atau strategi semacam ini dikenal sebagai pendekatan penyanggahan ilmiah (scientific refutation). Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti tentang kebenarannya diyakini sangat kuat atau bahkan tidak dapat dibantah. Contoh asersi sebagai pernyataan fakta adalah: semua orang akan meninggal, satu hari sama dengan 24 jam, matahari merupakan pusat orbit tata surya, dan penduduk kota Jakarta lebih padat daripada penduduk kota Solo.
9
Dalam penelitian empiris, hipotesis merupakan penjabaran suatu proposisi (proposition).
52
Bab 2
Fungsi Asersi Telah ditunjukkan dalam Gambar 2.1 bahwa asersi merupakan bahan olah dalam argumen. Dalam argumen, asersi dapat berfungsi sebagai premis (premise) dan konklusi (conclusion). Premis adalah asersi yang digunakan untuk mendukung suatu konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari serangkaian asersi. Suatu argumen paling tidak berisi satu premis dan satu konklusi. Karena premis dan konklusi keduanya merupakan asersi, konklusi (berbentuk asersi) dalam suatu argumen dapat menjadi premis dalam argumen yang lain. Ketiga jenis asersi yang dibahas sebelum ini—asumsi, hipotesis, pernyataan fakta—dapat berfungsi sebagai premis dalam suatu argumen. Dalam hal ini, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa kredibilitas konklusi tidak dapat melebihi kredibilitas terendah premis-premis yang digunakan untuk menurunkan konklusi. Artinya, kalau konklusi diturunkan dari serangkaian premis yang salah satu merupakan pernyataan fakta dan yang lain asumsi, konklusi tidak dapat dipandang sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, keyakinan terhadap konklusi dibatasi oleh keyakinan terhadap premis.
Keyakinan Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan (confidence) tentang kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu asersi dapat dipercaya karena adanya bukti yang kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar. Orang dikatakan yakin terhadap suatu asersi bila dia menunjukkan perbuatan, sikap, dan pandangan seolah-olah asersi tersebut benar karena dia percaya bahwa asersi tersebut benar.10 Kepercayaan diberikan kepada suatu asersi biasanya setelah dilakukan evaluasi terhadap asersi atas dasar argumen yang digunakan untuk menurunkan asersi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keyakinan merupakan produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor mempengaruhi tingkat keyakinan seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi menentukan mudah-tidaknya keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran. Properitas Keyakinan Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi yang menjadi konklusi penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas (sifat) keyakinan sangat penting dalam mencapai keberhasilan berargumen. Argumen 10 Istilah keyakinan sering digunakan sebagai padan kata belief dan confidence. Istilah confidence sering diterjemahkan menjadi keyakinan atau kepercayaan. Dalam buku ini, keyakinan digunakan untuk padan kata belief yang dibedakan dengan kepercayaan yang digunakan untuk padan kata confidence. Keyakinan adalah hal yang diperoleh dan dianut dari asersi sedangkan kepercayaan adalah hal yang diberikan kepada asersi. Dari segi subjek (pemegang keyakinan), keyakinan arahnya masuk sedangkan kepercayaan arahnya keluar. Orang menjadi yakin akan sesuatu karena dia percaya pada sesuatu tersebut. Tidak ada keyakinan tanpa adanya kepercayaan; keduanya tidak dapat dipisahkan.
Penalaran
53
dianggap berhasil kalau argumen tersebut dapat mengubah keyakinan. Berikut ini dibahas properitas keyakinan yang perlu disadari dalam berargumen. Keadabenaran Sebagai produk penalaran, untuk dapat menimbulkan keyakinan, suatu asersi harus ada benarnya (plausible). Keadabenaran atau plausibilitas (plausibility) suatu asersi bergantung pada apa yang diketahui tentang isi asersi atau pengetahuan yang mendasari (the underlying knowledge) dan pada sumber asersi (the source). Pengetahuan yang mendasari (termasuk pengalaman) biasanya menjamin kebenaran asersi. Oleh karena itu, konsistensi suatu asersi dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi. Dalam hal sumber, autoritas sumber menentukan plausibilitas asersi. Artinya, kalau sumber asersi diyakini dapat dipercaya dan ahli di bidangnya (knowledgeable) tentang topik asersi, orang akan lebih bersedia meyakini asersi daripada kalau sumbernya tidak dapat dipercaya dan tidak ahli. Oleh karena itu, kadang-kadang orang menyerahkan penilaian plausibilitas asersi kepada ahli dengan pemeo “serahkan saja pada ahlinya.” Dengan pikiran ini, keyakinan diperoleh karena keautoritatifan sumber. Mengacu argumen pada autoritas sumber untuk mendukung kebenaran asersi disebut dengan imbauan autoritas (appeal to authority).11 Bukan pendapat Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan secara objektif apakah tia salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan menghasilkan kesepakatan (agreement) oleh setiap orang yang mengevaluasinya atas dasar fakta objektif. Pendapat atau opini adalah asersi yang tidak dapat ditentukan benar atau salah karena berkaitan dengan kesukaan (preferensi) atau selera. Berbeda dengan keyakinan, plausibilitas pendapat tidak dapat ditentukan. Artinya, apa yang benar bagi seseorang dapat salah bagi yang lain. Walaupun dalam kenyataannya kedua konsep tersebut tidak dibedakan secara tegas, penalaran logis yang dibahas di sini lebih ditujukan pada keyakinan daripada pendapat. Bertingkat Keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi bergradasi mulai dari sangat maragukan sampai sangat meyakinkan (convincing). Tingkat keyakinan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas bukti untuk mendukung asersi. Orang yang objektif dan berpikir logis tentunya akan bersedia untuk mengubah 11 Imbauan yang dimaksud di sini adalah pemanfaatan sesuatu sebagai pelarian atau taktik untuk tidak mengajukan argumen yang valid. Pemanfaatan semacam ini sebenarnya merupakan suatu kecohan atau salah nalar (fallacy). Imbauan lain yang merupakan kecohan logika antara lain adalah affirming the consequence, appeal to force, appeal to pity, dan attacking the person. Lihat kecohan lain dalam Jerry Cederblom dan David W. Paulsen, Critical Reasoning (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., 1986), hlm. 101-109. Kecohan dan taktik tersebut dibahas lebih lanjut di bagian lain bab ini.
54
Bab 2
tingkat keyakinannya manakala bukti baru mengenai plausibilitas suatu asersi diperoleh. Berbias Selain kekuatan bukti objektif yang ada, keyakinan dipengaruhi oleh preferensi, keinginan, dan kepentingan pribadi yang karena sesuatu hal perlu dipertahankan. Idealnya, dalam menilai plausibilitas suatu asersi orang harus bersikap objektif dengan pikiran terbuka (open mind). Pada umumnya, bila orang mempunyai kepentingan, sangat sulit baginya untuk bersikap objektif. Dengan bukti objektif yang sama, suatu asersi akan dianggap sangat meyakinkan oleh orang yang mempunyai kepentingan pribadi yang besar dan hanya dianggap agak atau kurang meyakinkan oleh orang yang netral. Demikian pula sebaliknya. Bermuatan nilai Orang melekatkan nilai (value) terhadap suatu keyakinan. Nilai keyakinan adalah tingkat penting-tidaknya suatu keyakinan perlu dipegang atau dipertahankan seseorang. Nilai keyakinan bagi seseorang akan tinggi apabila perubahan keyakinan mempunyai implikasi serius terhadap filosofi, sistem nilai, martabat, pendapatan potensial, dan perilaku orang tersebut. Berkekuatan Kekuatan keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan seseorang pada kebenaran suatu asersi. Orang yang nyatanya tidak mengerjakan apa yang terkandung dalam asersi menandakan bahwa keyakinannya terhadap kebenaran asersi lemah. Dapat dikatakan bahwa semua properitas keyakinan merupakan faktor yang menentukan tingkat kekuatan keyakinan seseorang. Veridikal Veridikalitas (veridicality) adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan realitas. Realitas yang dimaksud di sini adalah apa yang sungguh-sungguh benar tentang asersi yang diyakini.12 Dengan kata lain, veridikalitas adalah mudah tidaknya fakta ditemukan dan ditunjukkan untuk mendukung keyakinan. Misalnya keyakinan bahwa besi yang dipanasi akan memuai lebih mudah ditunjukkan (lebih veridikal) daripada keyakinan bahwa sistem sosialis dapat mengurangi kemiskinan. Dalam banyak hal, penilaian apakah benar suatu asersi sesuai dengan realitas merupakan hal yang sangat pelik dan bersifat subjektif. Oleh karena itu, untuk tujuan 12 Realitas dalam hal ini jangan dikacaukan dengan realitas sosial yaitu apa yang nyatanya banyak dilakukan orang. Apa yang nyatanya dilakukan banyak orang tidak menjadikan apa yang dilakukannya itu benar. Walaupun banyak orang melakukan korupsi, tidak menjadikan korupsi itu benar (paling tidak secara moral). Kenyataan bahwa banyak akuntan menggunakan istilah beban sebagai padan kata expense tidak menjadikan istilah tersebut benar.
Penalaran
55
ilmiah tingkat veridikalitas keyakinan dievaluasi berdasarkan kaidah pengujian ilmiah (scientific rules of evidence). Berketertempaan Ketertempaan (malleability) atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan mudah-tidaknya keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang relevan. Berbeda dengan veridikalitas, ketertempaan tidak memasalahkan apakah suatu asersi sesuai atau tidak dengan realitas tetapi lebih memasalahkan apakah keyakinan terhadap suatu asersi dapat diubah oleh bukti. Kelentukan ini biasanya ditentukan oleh kesungguhan pemegang keyakinan, lamanya keyakinan telah dipegang (baik secara pribadi maupun secara sosial/umum), dan konsekuensi perubahan keyakinan bagi diri pemegang. Tujuan suatu argumen adalah untuk mengubah keyakinan kalau memang keyakinan tersebut lentuk untuk berubah. Beberapa sifat keyakinan di atas perlu disadari mengingat bahwa tujuan argumen adalah dalam rangka mencari kebenaran (the search of truth) dan bukan untuk menyembunyikan kebenaran dengan cara pengelabuhan (deception) dan pengecohan. Jadi, tujuan argumen adalah untuk merekonsiliasi ketidaksepakatan (disagreement) untuk menemukan kebenaran. Hal inilah yang mendasari pemikiran ilmiah untuk mengembangkan pengetahuan. Sifat-sifat keyakinan di atas menunjukkan bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang berkaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas.
Argumen Dalam kehidupan sehari-hari, istilah argumen sering digunakan secara keliru untuk menunjuk ketidaksepakatan, perselisihan pendapat (dispute), atau bahkan pertengkaran mulut (Jawa: padu). Dalam pengertian ini, argumen mempunyai konotasi negatif. Orang yang suka bertengkar dan ingin menangnya sendiri akan menikmati dan memburunya tetapi orang yang ingin mencari solusi atau alternatif pemecahan masalah yang terbaik akan menghindarinya. Dalam arti positif, argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan atau mengajukan bukti rasional tentang suatu asersi. Bila seseorang mengajukan alasan untuk mendukung suatu gagasan atau pandangan, dia biasanya menawarkan suatu argumen. Argumen dalam arti positif selalu dijumpai dalam bacaan, percakapan, dan dalam diskusi ilmiah. Argumen merupakan bagian penting dalam pengembangan pengetahuan. Agar memberi keyakinan, argumen harus dievaluasi kelayakan atau validitasnya. Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan arti argumen sebagai proses dan sebagai suatu bukti tentang keyakinan. Pengertian argumen seperti itu didasarkan atas definisi yang diajukan Nickerson (1986) sebagai berikut:
56
Bab 2
An argumen is an effort to convince someone to believe or to do something. An argumen is a set of assertion, one of which is a conclusion or key assertion, and the rest of which are intended to support that conclusion or key assertion (hlm. 69).
Anatomi Argumen Dari definisi di atas dan Gambar 2.1 dapat dikatakan bahwa argumen terdiri atas serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam bentuk inferensi atau penyimpulan. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi (atau asersi kunci) yang merupakan komponen argumen. Berikut ini adalah beberapa contoh argumen (beberapa merupakan argumen dalam akuntansi): • Merokok adalah penyebab kanker karena kebanyakan penderita kanker adalah perokok. • Jika suatu binatang menyusui, maka binatang tersebut mempunyai paru-paru karena semua binatang menyusui mempunyai paru-paru. • Kreditor adalah pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga statemen keuangan harus memuat informasi tentang kemampuan membayar utang. • Karena akuntansi menekankan substansi daripada bentuk, statemen keuangan beberapa perusahaan yang secara yuridis terpisah tetapi secara ekonomik merupakan satu perusahaan harus dikonsolidasi. • Karena akuntansi menganut kesatuan usaha ekonomik, beberapa perusahaan yang secara yuridis terpisah harus dianggap sebagai satu kesatuan ekonomik kalau perusahaan-perusahaan tersebut ada di bawah satu kendali. Oleh karena itu, laporan konsolidasian harus disusun oleh perusahaan pengendali. Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus mendukung asersi yang lain yang menjadi konklusi. Kata-kata dengan huruf miring di atas merupakan kata indikator argumen yang dapat digunakan untuk menunjuk mana premis dan mana konklusi. Daftar di bagian atas halaman berikut ini memuat beberapa kata yang biasanya menjadi indikator suatu argumen.13 Dalam suatu kalimat argumen, kata-kata dalam daftar tersebut secara umum mengisyaratkan suatu makna “dengan alasan bahwa.” Di samping kata-kata di atas, beberapa kata kerja (verba) dapat menjadi indikator argumen seperti: menunjukkan bahwa, membuktikan bahwa, menegaskan bahwa, berimplikasi bahwa, mengakibatkan bahwa, mempunyai konsekuensi bahwa, menjadi landasan berpikir bahwa, dan semacamnya.
13 Dalam tata bahasa Indonesia, kata-kata tersebut berfungsi sebagai kata penghubung kalimat majemuk (setara atau bertingkat) atau kata pengait kalimat dalam paragraf. Lihat kaidah penempatan dan penggunaan kata-kata tersebut dalam kalimat atau paragraf dalam buku tata bahasa Indonesia.
57
Penalaran
Indikator konklusi
Indikator premis
Inggris
Indonesia
Inggris
Indonesia
so thus therefore hence be concluded that consequently
karena itu, jadi, maka dengan demikian oleh karena itu oleh karena itu disimpulkan bahwa sebagai akibatnya
since for because assuming that for the reason that
oleh karena karena, mengingat karena dengan asumsi bahwa dengan alasan bahwa
Dalam banyak hal, argumen tidak menunjukkan secara eksplisit kata-kata indikator sehingga tidak dapat segera diidentifikasi mana premis dan mana konklusi. Akibatnya, sulit untuk menentukan mana asersi yang mendukung dan mana asersi yang didukung sehingga dapat timbul berbagai interpretasi terhadap argumen. Bila hal ini terjadi, premis dan konklusi dapat diidentifikasi dengan kaidah yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986) disebut principle of charitable interpretation (prinsip interpretasi terdukung). Prinsip ini menyatakan bahwa bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap suatu argumen, argumen harus diinterpretasi sehingga premis-premis yang terbentuk memberi dukungan yang paling kuat terhadap konklusi yang dihasilkan. Dengan kata lain, argumen yang dipilih adalah argumen yang plausibilitasnya paling tinggi atau yang paling masuk akal (valid) dalam konteks yang dibahas. Cederblom dan Paulsen memberi contoh sebagai berikut:14 Anda harus datang ke seminar itu. Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu. Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Serangkaian asersi di atas tidak mengandung indikator premis atau konklusi sehingga argumen yang terbentuk dapat diinterpretasi sebagai berikut: Interpretasi 1:
Premis (1) Premis (2) Konklusi:
Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya. Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu. Anda harus datang ke seminar itu.
14 Walaupun Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) menganjurkan untuk menulis kata anda dengan huruf kapital, tia ditulis dengan huruf kecil dalam contoh ini (kecuali pada awal kalimat) karena tia dianggap padan kata you dalam bahasa Inggris. Seperti you, kata anda merupakan kata ganti orang kedua dan bukan kata sebutan seperti Bapak, Ibu, atau Saudara. Ciri kata sebutan adalah tia dapat diikuti nama orang. Bila tidak, tia merupakan kata ganti. Sebagai kata ganti, kata anda merupakan kata yang netral serta bebas gender dan kelas masyarakat sehingga sangat dianjurkan agar tia digunakan dalam pergaulan akademik dan ilmiah yang menghendaki kenetralan.
58
Interpretasi 2:
Interpretasi 3:
Bab 2
Premis (1) Premis (2)
Anda harus datang ke seminar itu. Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Konklusi:
Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Premis (1) Premis (2)
Anda harus datang ke seminar itu. Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Konklusi:
Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Pada interpretasi 1, jelas dapat dirasakan bahwa asersi “Anda harus datang ke seminar itu” paling tepat didukung dalam argumen daripada dua asersi yang lain. Interpretasi 1 adalah yang terbaik (paling valid) dibanding interpretasi yang lain karena bila semua premis benar, maka konklusi juga benar (yang merupakan salah satu syarat validitas argumen). Dalam hal ini, premis (1) menyatakan bahwa bila anda memenuhi kondisi tertentu (berjanji) maka anda mempunyai kewajiban (menepati janji). Premis (2) menegaskan bahwa anda memenuhi kondisi berjanji (akan datang ke seminar). Kalau kedua premis benar, maka konklusi (Anda seharusnya datang ke seminar) harus benar. Dengan demikian dapat dikatakan konklusi mengikuti atau diturunkan secara logis dari (follow from) premis. Atas dasar prinsip interpretasi terdukung dan syarat validitas argumen, interpretasi 2 dan 3 dapat dianalisis bahwa keduanya kurang valid dibanding interpretasi 1. Jenis Argumen Berbagai karakteristik dapat digunakan sebagai basis untuk mengklasifikasi argumen. Misalnya argumen dibedakan menjadi argumen langsung dan taklangsung, formal dan informal, serta meragukan dan meyakinkan. Klasifikasi yang ditinjau dari bagaimana penalaran (reasoning) diterapkan untuk menurunkan konklusi merupakan klasifikasi yang sangat penting dalam pembahasan buku ini. Dalam hal ini, argumen dapat diklasifikasi menjadi argumen deduktif dan induktif.15 Contoh argumen yang diberikan dalam interpretasi 1, 2, dan 3 di atas sebenarnya merupakan contoh argumen deduktif. Salah satu jenis argumen yang lain adalah argumen dengan analogi (argument by analogy). Berikut ini dibahas berbagai jenis argumen tersebut.
15 Karena argumen selalu melibatkan penalaran, argumen itu sendiri sering disebut dengan penalaran. Oleh karena itu, argumen deduktif atau induktif sering disebut juga penalaran deduktif atau induktif (deductive or inductive reasoning). Penalaran induktif sebenarnya hanyalah merupakan salah satu jenis penalaran nondeduktif. Termasuk dalam penalaran nondeduktif adalah penalaran dengan analogi, generalisasi empiris, dan generalisasi kausal. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Cederblom dan Paulsen (1986), hlm. 171-205.
59
Penalaran
Argumen Deduktif Telah disebutkan bahwa argumen atau penalaran deduktif adalah proses penyimpulan yang berawal dari suatu pernyataan umum yang disepakati (premis) ke pernyataan khusus sebagai simpulan (konklusi). Argumen deduktif disebut juga argumen logis (logical argument) sebagai pasangan argumen ada benarnya (plausible argument). Argumen logis adalah argumen yang asersi konklusinya tersirat (implied) atau dapat diturunkan/dideduksi dari (deduced from) asersi-asersi lain (premis-premis) yang diajukan. Disebut argumen logis karena kalau premispremisnya benar konklusinya harus benar (valid). Kebenaran konklusi tidak selalu berarti bahwa konklusi merefleksi realitas (truth). Hal inilah yang membedakan argumen sebagai bukti rasional dan bukti fisis/langsung/empiris berupa fakta.16 Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang disebut silogisma. Silogisma terdiri atas tiga komponen yaitu premis major (major premise), premis minor (minor premise), dan konklusi (conclusion). Dalam silogisma, konklusi diturunkan dari premis yang diajukan seperti contoh berikut: Premis major: Premis minor: Konklusi:
Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru. Kucing binatang menyusui. Kucing mempunyai paru-paru.
“Semua binatang menyusui” dalam contoh di atas disebut anteseden (antecedent) sedangkan “mempunyai paru-paru” merupakan konsekuen (consequent). Dalam silogisma, konklusi akan benar bila kedua premis benar dan premis minor menegaskan anteseden (disebut pola modus ponens) atau premis minor menyangkal konsekuen (disebut pola modus tollens). Konklusi di atas benar karena “kucing binatang menyusui” menegaskan “semua binatang menyusui” sebagai anteseden. Jadi, konklusi mengikuti kedua premis secara logis. Walaupun kedua premis benar, konklusi dapat saja salah sebagaimana contoh di bawah ini: Premis major: Premis minor: Konklusi:
Semua burung bertelur. Kura-kura bertelur. Kura-kura adalah burung.
Konklusi di atas salah karena premis minor menegaskan konsekuen bukan menegaskan anteseden. Bila dipandang sebagai argumen, penalaran di atas tidak dapat diterima (tidak valid) karena tidak lengkapnya premis major. Memang benar 16 Dalam sistem pengadilan di Amerika, dikenal apa yang disebut bukti situasional (circumstantial evidence) dan bukti langsung (direct evidence). Bukti langsung misalnya adalah orang tertangkap basah pada saat melakukan kejahatan dan ada saksi. Bukti situasional adalah bukti-bukti yang menghubungkan tertuduh dengan kejahatan meskipun pada saat kejadian tertuduh tidak ada di tempat atau tidak ada saksi mata. Orang dapat dinyatakan salah (misalnya membunuh orang) atas dasar bukti situasional dan penalaran logis yang meyakinkan walaupun sebenarnya dia tidak bersalah (membunuh).
60
Bab 2
bahwa semua burung bertelur tetapi tidak berarti bahwa binatang lain tidak ada yang bertelur. Konklusi akan benar kalau premis minor menyangkal konsekuen dan silogisma di atas dimodifikasi seperti berikut: Premis major: Premis minor: Konklusi:
Semua burung bertelur. Kelelawar tidak bertelur. Kelelawar bukan burung.
Penalaran deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) penentuan pernyataan umum (premis major) yang menjadi basis penalaran, (2) penerapan konsep umum ke dalam situasi khusus yang dihadapi (proses deduksi), (3) penarikan simpulan secara logis yang berlaku untuk situasi khusus tersebut. Penalaran deduktif lebih dari sekadar silogisma karena penalaran deduktif dan unsurunsurnya (asersi-asersi) akan membentuk argumen untuk mengubah suatu keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa penilaian aset atas dasar kos sekarang lebih relevan daripada kos historis. Contoh lain adalah keyakinan bahwa istilah biaya lebih tepat daripada beban sebagai padan kata expense. Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan tentang simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam teori akuntansi, premis major sering disebut sebagai postulat (postulate). Sebagai penalaran logis, argumen-argumen yang dihasilkan dengan pendekatan deduktif dalam akuntansi akan membentuk teori akuntansi. Gambar 2.8 di halaman berikut ini menunjukkan salah satu contoh penalaran deduktif dalam akuntansi. Dalam gambar tersebut, premis 1 merupakan premis major yang berfungsi sebagai postulat dalam penalaran logis akuntansi. Semua premis dan konklusi berbentuk suatu pernyataan atau penegasan yang semuanya merupakan asersi. Dalam akuntansi, premis major dapat berasal dari konklusi penalaran deduktif. Penalaran deduktif untuk suatu masalah menghasilkan argumen untuk masalah tersebut. Oleh karena itu, penalaran dalam akuntansi dapat menjadi panjang dan terdiri atas beberapa argumen. Apakah suatu argumen cukup meyakinkan? Dengan kata lain, bersediakah orang menerima kebenaran konklusi. Untuk menjawab ini, perlu dinilai apakah struktur penalaran logis dan premis-premisnya dapat diterima (dapat dipercaya sebagai benar). Evaluasi Penalaran Deduktif Tujuan utama mengevaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah konklusi argumen benar dan meyakinkan. Untuk menilai suatu argumen deduktif (logis), Nickerson (1986) mengajukan empat pertanyaan yang harus dijawab, yaitu: (1) Apakah tia lengkap? (2) Apakah artinya jelas? (3) Apakah tia valid? (Apakah konklusi mengikuti premis?) (4) Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?
61
Penalaran
Gambar 2.8 Penalaran Deduktif Dalam Akuntansi
Premis 1
Investor dan kreditor merupakan pengambil keputusan dominan dalam perekonomian yang didasarkan pada mekanisme pasar.
Premis 2
Agar investor dan kreditor bersedia menanamkan modal dalam suatu perusahaan, harus disediakan informasi tentang perusahaan kepada investor dan kreditor.
Premis 3
Keputusan investasi dan kredit memerlukan informasi tentang kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan membayar utang.
Premis 4
Kemampuan perusahaan membayar utang dapat ditunjukkan dengan informasi tentang likuiditas, solvensi, dan profitabilitas melalui statemen keuangan.
Konklusi
Laporan keuangan harus memuat elemen: aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, biaya, rugi, untung, investasi pemilik, distribusi ke pemilik, dan laba.
Argumen sebagai hasil penalaran deduktif
Keempat pertanyaan di atas merupakan kriteria evaluasi yang terdiri atas kelengkapan, kejelasan, kesahihan, dan kepercayaian. Apabila jawaban untuk keempat pertanyaan di atas adalah positif (ya), maka konklusi memberi keyakinan tentang kebenarannya. Kelengkapan merupakan kriteria yang penting karena validitas konklusi menjadi kurang meyakinkan bila premis-premis yang diajukan tidak lengkap. Dalam hal tertentu, konklusi tidak dapat ditarik karena tidak lengkapnya premis. Bila konklusi dipaksakan, jelas argumen menjadi tidak logis. Kejelasan arti diperlukan karena keyakinan merupakan fungsi kejelasan makna. Kejelasan tidak hanya diterapkan untuk makna premis tetapi juga untuk hubungan antarpremis (inferensi dan penyimpulan). Keterbatasan bahasa, kesalahan bahasa, dan keterbatasan pengetahuan tentang topik yang dibahas merupakan faktor yang menentukan kejelasan dan bahkan pemahaman argumen. Karena argumen merupakan bagian penting dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan, kecermatan bahasa dalam argumen juga menjadi penting khusus-
62
Bab 2
nya dalam karya tulis. Arti penting kemampuan berbahasa dan kaitannya dengan argumen untuk tujuan ilmiah dinyatakan Suriasumantri (1999) seperti berikut:17 Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan persyaratan mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah sebab bahasa merupakan sarana komunikasi ilmiah yang pokok. Tanpa penguasaan tata bahasa dan kosa kata yang baik akan sukar bagi seorang ilmuwan untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada pihak lain. Dengan bahasa selaku alat komunikasi, kita bukan saja menyampaikan informasi tetapi juga argumentasi, di mana kejelasan kosa kata dan logika tata bahasa merupakan persyaratan utama (hlm. 14).
Kesahihan (validitas) merupakan kriteria utama untuk menilai penalaran logis. Validitas berkaitan dengan struktur formal argumen. Perlu dibedakan di sini antara validitas dan kebenaran (truth). Validitas adalah sifat yang melekat pada argumen sedangkan kebenaran adalah sifat yang melekat pada asersi. Secara struktural, validitas argumen tidak bergantung pada kebenaran asersi. Artinya, argumen dikatakan valid kalau konklusi diturunkan secara logis dari premis tanpa memperhatikan apakah premis itu sendiri benar atau salah. Oleh karena itu, dapat saja terjadi suatu argumen yang valid dengan premis yang salah. Tentu saja, kalau premis benar dan penalarannya valid, konklusi juga akan benar. Secara diagramatik, pengaruh benar tidaknya premis terhadap konklusi dalam argumen yang logis dilukiskan Nickerson (1986) dalam Gambar 2.9 di bawah ini.18 Gambar 2.9 Hubungan Kebenaran Premis dan Kebenaran Logis Konklusi dalam Penalaran Deduktif Konklusi
Benar
Premis Takbenar
Benar
Takbenar
Harus/pasti (Konklusi harus benar kalau premis benar)
Tidak mungkin (Konklusi tidak mungkin takbenar kalau premis benar)
Mungkin (Konklusi mungkin benar meskipun premis takbenar)
Mungkin (Konklusi mungkin takbenar bila premis takbenar)
17 Jujun S. Suriasumantri, “Hakikat Dasar Keilmuan,” dalam M. Thoyibi (editor), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999). Penebalan kata argumentasi oleh penulis. Kata “di mana” seharusnya diganti dengan “yang di dalamnya.” 18 Kata takbenar digunakan sebagai padan kata false. Falsity dipadankan dengan ketakbenaran.
63
Penalaran
Keterpercayaian melengkapi ketiga kriteria sebelumnya agar konklusi meyakinkan sehingga orang bersedia menerima. Orang bersedia menerima suatu asersi kalau dia percaya pada asersi tersebut. Orang dapat percaya pada suatu asersi kalau asersi tersebut ada benarnya (plausible). Telah disebutkan sebelumnya bahwa plausibilitas suatu asersi bergantung pada pemahaman pengetahuan yang mendasari dan pada sumber asersi. Pengetahuan yang mendasari (termasuk pengalaman) biasanya diyakini kebenarannya. Kesesuaian suatu asersi dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi. Dalam hal inilah kriteria ketiga berbeda dengan kriteria keempat. Kriteria kesahihan berkaitan dengan validitas logis (logical validity) suatu argumen sedangkan kriteria kepercayaan berkaitan dengan kebenaran empiris (empirical truth) suatu asersi (premis). Gabungan antara keduanya menentukan kebenaran konklusi. Gabungan kriteria kelengkapan dan kejelasan sebenarnya digunakan untuk meyakinkan bahwa semua premis benar atau masuk akal secara struktural. Keempat kriteria di atas dapat diringkas menjadi: (1) Semua premis benar (lepas dari apakah orang setuju atau tidak). (2) Konklusi mengikuti (follow from) semua premis. (3) Semua premis dapat diterima. Artinya, orang percaya atau setuju dengan semua premis yang diajukan. Kriteria (1) dan (2) diperlukan untuk memenuhi validitas logis argumen. Kriteria (3) diperlukan untuk memenuhi kebenaran empiris asersi untuk melengkapi argumen agar konklusi meyakinkan kebenarannya. Contoh argumen yang hanya memenuhi kriteria (1) dan (2) diberikan berikut ini. Premis major: Premis minor: Konklusi:
Semua aset mempunyai manfaat ekonomik bagi perusahaan. Rugi selisih kurs tidak mempunyai manfaat ekonomik bagi perusahaan. Rugi selisih kurs tidak dapat menjadi aset.
Secara struktural konklusi di atas akan selalu benar tanpa memperhatikan makna empiris kata aset. Kata aset dapat diganti dengan kata apapun dan konklusi akan tetap valid. Jadi, validitas konklusi independen terhadap makna aset. Akan tetapi, secara empiris atau observasi dunia nyata, konklusi tersebut salah sehingga tidak dapat diterima. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa konklusi di atas valid tetapi tidak mempunyai makna empiris (empirical content). Dunia praktik (observasi) menunjukkan bahwa rugi selisih kurs dapat dikapitalisasi sehingga menjadi bagian dari aset. Perlu dicatat bahwa konklusi tidak selalu dapat mengubah keyakinan seseorang. Properitas keyakinan yang dibahas sebelumnya menentukan keyakinan seseorang akan suatu asersi konklusi. Demikian juga, dalam beberapa hal orang tidak selalu bersedia menerima atau bahkan mendengarkan argumen. Hal ini dibahas di bagian lain bab ini dalam subbahasan stratagem (stratagem) dan salah nalar (reasoning fallacy).
64
Bab 2
Argumen Induktif Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan berakhir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan khusus tersebut. Berbeda dengan argumen deduktif yang merupakan argumen logis (logical argument), argumen induktif lebih bersifat sebagai argumen ada benarnya (plausible argument). Dalam argumen logis, konklusi merupakan implikasi dari premis. Dalam argumen ada benarnya (plausible), konklusi merupakan generalisasi dari premis sehingga tujuan argumen adalah untuk meyakinkan bahwa probabilitas atau kebolehjadian (likelihood) kebenaran konklusi cukup tinggi atau sebaliknya, ketakbenaran konklusi cukup rendah kebolehjadiannya (unlikely). Berikut ini adalah contoh struktur suatu penalaran induktif: Contoh 1:
Premis Premis Konklusi:
Contoh 2:
Premis Konklusi:
Satu jeruk dari karung A manis rasanya. Satu jeruk berikutnya manis rasanya. Semua jeruk dalam karung A manis rasanya.
Sekelompok penderita kanker semuanya perokok. Merokok menyebabkan kanker.
Dalam contoh di atas, argumen mengalir dari informasi atas pengamatan khusus atau tertentu (sampel) menuju ke konklusi yang diterapkan untuk seluruh pengamatan yang mungkin dilakukan (populasi). Konklusi melewati (mencakupi lebih dari) apa yang dapat ditunjukkan oleh fakta/bukti empiris (manisnya beberapa jeruk yang telah dicicipi) atau meliputi pula apa yang tidak diamati (seluruh jeruk dalam karung). Dengan demikian konklusi atau generalisasi akan bersifat prediktif. Dalam Contoh 1, misalnya, kalau sebuah jeruk diambil dari karung A, dapat diprediksi bahwa jeruk tersebut akan manis. Demikian pula dalam Contoh 2, bila konklusi benar maka dapat diprediksi bahwa seorang perokok kemungkinan besar terkena kanker. Karena konklusi (generalisasi) didasarkan pada pengamatan atau pengalaman yang nyatanya terjadi, penalaran induktif disebut pula generalisasi empiris (empirical generalization). Akibat generalisasi, hubungan antara premis dan konklusi dalam penalaran induktif tidak langsung dan tidak sekuat hubungan dalam penalaran deduktif. Dalam penalaran deduktif, kebenaran premis menjamin sepenuhnya kebenaran konklusi asal penalarannya logis. Artinya, jika semua premis benar dan penalarannya logis, konklusi harus benar (disebut necessary implication dan oleh karenanya necessarily true). Dalam penalaran induktif, kebenaran premis tidak selalu menjamin sepenuhnya kebenaran konklusi. Kebenaran konklusi hanya dijamin dengan tingkat keyakinan (probabilitas) tertentu. Artinya, jika premis benar, konklusi tidak selalu benar (not necessarily true). Perbedaan struktural antara argumen deduktif dan induktif dapat ditujukkan dalam contoh berikut.19
65
Penalaran
Argumen Deduktif
Argumen Induktif
Premis (1):
Semua burung mempunyai bulu.
Premis (1):
Kebanyakan burung dapat terbang.
Premis (2):
Bebek adalah burung.
Premis (2):
Bebek adalah burung.
Bebek mempunyai bulu.
Konklusi: (boleh jadi)
Bebek dapat terbang.
Konklusi: (pasti)
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam argumen deduktif bila semua premis benar maka konklusi pasti atau harus benar. Akan tetapi, dalam argumen induktif, konklusi tidak selalu benar meskipun kedua premis benar. Perbedaan tersebut menjadi dasar untuk menilai perbedaan keefektifan atau keberhasilan kedua jenis argumen. Argumen deduktif dengan premis benar dapat dikatakan berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi tidak mungkin (impossible) takbenar. Di lain pihak, argumen induktif dengan premis benar dapat dikatakan berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi kecil kemungkinan atau kecil kebolehjadian takbenarnya. Karena ada kebolehjadian takbenar, asersi ilmiah yang bersandar pada penalaran induktif diperlakukan sebagai hipotesis bukan pernyataan fakta. Argumen dengan Analogi Argumen induktif sebenarnya merupakan salah satu jenis penalaran nondeduktif. Salah satu penalaran nondeduktif lainnya adalah argumen dengan analogi (argument by analogy). Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang menurunkan konklusi atas dasar kesamaan atau kemiripan (likeness) karakteristik, pola, fungsi, atau hubungan unsur (sistem) suatu objek yang disebutkan dalam suatu asersi. Analogi bukan merupakan suatu bentuk pembuktian tetapi merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Struktur argumen ini digambarkan sebagai berikut: Premis (1) Premis (2) Konklusi:
X dan Y mempunyai kemiripan dalam hal a, b, c, ... X mempunyai karakteristik z. Y mempunyai karakteristik z.
Kemiripan dalam suatu analogi merupakan suatu hubungan konseptual dan bukan hubungan fisis atau keidentikan. Hubungan analogis bersifat implisit dan 19 Dalam percakapan sehari-hari, kata bulu (feather) sering dirancukan dengan rambut atau rambut kulit (fur). Orang sering mengatakan “bulu kucing” padahal yang dimaksud sebenarnya adalah “rambut kucing.” Kera, anjing, dan kelinci tidak mempunyai bulu tetapi mempunyai rambut sehingga meretia tidak termasuk dalam kelas burung.
66
Bab 2
kompleks. Dalam banyak hal, penalar harus mengidentifikasi dan menyimpulkan sendiri hubungan kemiripan tersebut dalam analogi. Berikut adalah suatu contoh argumen dengan analogi. Premis (1)
Negara adalah ibarat sebuah kapal pesiar dengan presiden sebagai nahkoda.
Premis (2)
Dalam keadaan darurat, semua penumpang harus tunduk pada perintah nahkoda tanpa kecuali.
Konklusi:
Dalam keadaan krisis, presiden harus diberi kekuasaan khusus untuk mengeluarkan undang-undang darurat yang harus diikuti semua warga tanpa kecuali.
Dalam contoh di atas, hubungan kemiripan negara dan kapal dapat diinterpretasi bahwa keduanya sama-sama merupakan suatu wilayah (teritori) yang di dalamnya hidup sekelompok warga yang menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada seorang pemimpin. Penalar dapat juga menginterpretasi bahwa kemiripan tersebut berkaitan dengan pemerintahan atau manajemen. Karena kemiripan tersebut, disimpulkan bahwa kekuasaan (karakteristik, fungsi, atau sistem pemerintahan) presiden sama dengan kekuasaan nahkoda. Kesamaan kekuasaan merupakan argumen untuk mendukung konklusi bahwa presiden dapat mengeluarkan undang-undang darurat dalam situasi krisis. Walaupun analogi banyak digunakan dalam argumen, argumen semacam ini banyak mengandung kelemahan. Perbedaan-perbedaan penting yang mempengaruhi (melemahkan) konklusi sering tersembunyi atau disembunyikan. Perbedaan sering lebih dominan daripada kemiripan. Dalam analogi nahkoda misalnya, warga dalam kapal jumlahnya lebih kecil dan tidak terdapat lembaga perwakilan seperti dalam negara. Karena bukan merupakan pembuktian, analogi sering disalahgunakan untuk pembuktian sebagai cara untuk mengecoh orang.
Argumen Sebab-Akibat Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah satu bentuk argumen yang disebut argumen dengan penyebaban (argument by causation) atau generalisasi kausal (causal generalization). Hubungan penyebaban biasanya dinyatakan dalam struktur “X menghasilkan Y” atau “X memaksa Y terjadi” atau “X menyebabkan Y terjadi” atau “Y terjadi akibat X” atau “Y berubah karena X berubah.” Akan tetapi, pernyataan tersebut sebenarnya hanyalah cara memverbalkan bahwa A bervariasi atau berasosiasi dengan B tetapi tidak menunjukkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi merupakan hubungan kausal. Untuk dapat menyatakan adanya hubungan kausal perlu diadakan pengujian tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kaidah untuk menguji adanya hubungan kausal adalah apa yang disebut kaidah kecocokan (method of agreement), kaidah kecocokan negatif (negative canon of agreement) dan kaidah perbedaan (method of
Penalaran
67
difference) yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (sehingga seluruh kaidah disebut dengan kaidah Mill).20 Kaidah kecocokan menyatakan bahwa jika dua kasus (atau lebih) dalam suatu fenomena mempunyai satu dan hanya satu kondisi atau faktor yang sama (C), maka kondisi tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya gejala (Z). Kaidah kecocokan negatif menyatakan bahwa jika tiadanya suatu faktor (C) berkaitan dengan tiadanya gejala (Z), maka ada bukti bahwa hubungan faktor dan gejala tersebut bersifat kausal. Kaidah perbedaan menyatakan bahwa jika terdapat dua kasus atau lebih dalam suatu fenomena, dan dalam salah satu kasus suatu gejala (Z) muncul sementara dalam kasus lainnya gejala tersebut (Z) tidak muncul; dan jika faktor tertentu (C) terjadi ketika gejala tersebut (Z) muncul, dan faktor tersebut (C) tidak terjadi ketika gejala tersebut (Z) tidak muncul; maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan kausal antara faktor (C) dan gejala (Z) tersebut. Dalam argumen, kasus-kasus dalam ketiga kaidah di atas dapat diperlakukan sebagai premis. Kaidah ketiga sebenarnya merupakan gabungan antara kaidah pertama dan kedua. Kaidah Mill didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada faktor lain (selain C) yang mempengaruhi gejala Z. Kaidah Mill digunakan untuk meyakinkan apakah hubungan dua faktor bersifat korelasional atau kausal. Kaidah Mill ini didiagramkan dalam Gambar 2.10 di halaman berikut. Kriteria Penyebaban Kaidah perbedaan Mill sebenarnya merupakan suatu rancangan untuk menguji secara ekperimental apakah memang terdapat hubungan kausal. Akan tetapi, kaidah tersebut belum dapat sepenuhnya meyakinkan karena mungkin ada faktor lain (selain C) yang menyebabkan gejala Z terjadi. Oleh karena itu, untuk menguji dan menyatakan bahwa suatu faktor atau variabel (C) menyebabkan suatu gejala atau variabel lain (Z) terjadi, tiga kriteria berikut harus dipenuhi: (1) C dan Z bervariasi bersama. Bila C berubah, Z juga berubah. (2) Perubahan C terjadi sebelum atau mendahului perubahan Z terjadi. (3) Tidak ada faktor lain selain C yang mempengaruhi perubahan Z. Kriteria (1) harus dipenuhi karena hubungan sebab-akibat hanya terjadi jika ada perubahan baik faktor sebab maupun faktor akibat. Bila salah satu faktor berubah sementara yang lain tetap, maka jelas bahwa kedua faktor tersebut tidak berhubungan sama sekali. Perubahan di sini harus diartikan secara luas sebagai perbedaan keadaan (status/klasifikasi/gejala) atau nilai (skor/peringkat). Misalnya keadaan kena kanker dan tidak kena kanker, merokok dan tidak merokok, diberi obat dan tidak diberi obat, muncul dan tidak muncul, serta sembuh dan tidak sembuh merupakan suatu perbedaan keadaan yang menggambarkan perubahan. Demikian juga, perbedaan skor hasil pengukuran dua kasus atau lebih menunjuk20
Lihat Cooper and Schindler (2001), hlm. 148-149.
68
Bab 2
kan adanya perubahan. Misalnya perbedaan skor rata-rata tes potensi akademik (TPA) sebelum dan sesudah mengikuti kursus, perbedaan tingkat kecerdasan yang diukur pada waktu yang berbeda, perbedaan kinerja sekelompok karyawan yang diukur pada waktu yang berbeda atau, dan perbedaan kinerja dua kelompok setelah adanya suatu percobaan merupakan indikasi adanya perubahan. Gambar 2.10 Kaidah Penyebaban Mill Kaidah Kecocokan Faktor Penjelas
Gejala
Kasus 1
A
B
C
Z
Kasus 2
E
C
D
Z
Kasus 3
C
F
G
Z
C
Konklusi
menyebabkan
Z
Kaidah Perbedaan Faktor Penjelas
Gejala
Kasus 1
A
B
C
Z
Kasus 2
A
B
−C
-Z
Konklusi
C
menyebabkan
(Tak ada Z)
Z
Kriteria (2) harus dipenuhi karena penyebaban menuntut adanya pengaruh satu faktor terhadap faktor yang lain dalam selang waktu tertentu. Jadi, harus ada selang waktu antara terjadinya perubahaan faktor sebab dan faktor akibat. Oleh karena itu, perubahan faktor sebab harus terjadi dahulu sebelum perubahan faktor akibat terjadi. Dengan kata lain, harus ada semacam ketergantungan atau dependensi faktor akibat pada faktor sebab. Selang waktu tersebut dapat sekejap atau lama bergantung pada masalah yang dibahas. Untuk meyakinkan bahwa faktor sebab benar-benar menyebabkan faktor akibat, kriteria (3) harus dipenuhi. Tidak adanya faktor-faktor lain selain faktor sebab yang diteorikan harus diartikan bahwa faktor-faktor lain tersebut memang tidak ada atau kalau ada, pengaruh faktor-faktor lain tersebut dapat dikendalikan, diukur, atau diisolasi sehingga diperoleh keyakinan yang tinggi bahwa perubahan
Penalaran
69
faktor sebab benar-benar menyebabkan perubahaan faktor akibat.21 Misalnya, untuk meyakinkan apakah kegaduhan (noise) menyebabkan turunnya produktivitas ayam petelur, faktor lain yang diduga juga merupakan penyebab seperti penyinaran, temperatur, dan jenis makanan harus dikendalikan atau dijaga konstan. Penalaran Induktif dalam Akuntansi Penalaran induktif dalam akuntansi pada umumnya digunakan untuk menghasilkan pernyataan umum yang menjadi penjelasan (teori) terhadap gejala akuntansi tertentu. Pernyataan-pernyataan umum tersebut biasanya berasal dari hipotesis yang diajukan dan diuji dalam suatu penelitian empiris. Hipotesis merupakan generalisasi yang dituju oleh penelitian akuntansi. Bila bukti empiris konsisten dengan (mendukung) generalisasi tersebut maka generalisasi tersebut menjadi teori yang valid dan mempunyai daya prediksi yang tinggi. Contoh pernyataan umum sebagai hasil penalaran induktif (generalisasi) antara lain adalah: • Perusahaan besar memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba. • Tingkat likuiditas perusahaan perdagangan lebih tinggi daripada tingkat likuiditas perusahaan pemanufakturan. • Tingkat solvensi berasosiasi positif dengan probabilitas kebankrutan perusahaan. • Partisipasi manajer divisi dalam penyusunan anggaran mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja divisi. • Ambang persepsi etis wanita lebih tinggi dibanding ambang persepsi etis pria dalam menilai kasus pelanggaran etika atau hukum. • Ukuran atau besar-kecilnya (size) perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela (voluntary disclosures) dalam statemen keuangan. Secara statistis, generalisasi berarti menyimpulkan karakteristik populasi atas dasar karakteristik sampel melalui pengujian statistis. Misalnya, suatu teori harus diajukan untuk menjelaskan mengapa terjadi perbedaan luas atau banyaknya pengungkapan dalam statemen keuangan antarperusahaan. Teori tersebut misalnya dinyatakan dalam pernyataan umum (proposisi) terakhir dalam daftar di atas yaitu ukuran perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela. Proses penalaran induktif dalam contoh ini dapat dilukiskan dalam Gambar 2.11 di halaman berikut. Untuk sampai pada proposisi dalam contoh tersebut, tentu saja diperlukan argumen dalam bentuk rerangka atau landasan teoretis. Dalam proposisi ini, “ukuran perusahaan” dan “tingkat pengungkapan sukarela” merupakan konsep sedangkan “berasosiasi positif” merupakan hubungan yang diteorikan. Agar proposisi dapat diuji, konsep dalam proposisi harus didefinisi secara operasional 21 Dalam suatu percobaan atau penelitian eksperimental, tingkat keyakinan bahwa faktor tertentu benar-benar merupakan penyebab faktor yang lain disebut dengan validitas internal.
70
Bab 2
menjadi suatu variabel yang dapat diamati dalam dunia nyata sehingga konsep abstrak dapat diukur. Dalam contoh ini, aset (dapat juga penjualan) dijadikan definisi operasional (proksi) ukuran perusahaan sedangkan banyaknya butir pengungkapan yang tidak diatur oleh standar akuntansi merupakan definisi pengungkapan sukarela. Dalam pengujian statistis, hubungan teoretis antarvariabel sering dinyatakan dalam bentuk hipotesis.22 Gambar 2.11 Contoh Penalaran Induktif dalam Akuntansi
Tataran abstrak Rerangka/landasan teoretis Hubungan teoretis
Konsep: Ukuran perusahaan
Tataran empiris
Proposisi
Definisi operasional
Variabel X: Hipotesis
Aset
Pengukuran sampel
Sampel
X
Konsep: Tingkat pengungkapan sukarela
Variabel Y: Banyaknya pengungkapan yang tidak diwajibkan oleh standar.
Generalisasi sebagai penalaran induktif
Pengukuran sampel
Pengujian hubungan secara statistis (dengan regresi, korelasi, atau lainnya)
Y
Setelah definisi operasional diukur untuk sampel amatan, konsep-konsep yang diteorikan direpresentasi dalam bentuk variabel dan diberi notasi (misalnya X dan Y) agar analisis data mudah dilakukan. Untuk menguji hipotesis, hubungan 22 Proposisi sering disebut dengan hipotesis. Istilah proposisi biasanya digunakan dalam tataran (level) teoretis atau abstrak sedangkan istilah hipotesis biasanya digunakan dalam tataran empiris atau pengujian. Dalam penelitian akuntansi, kedua istilah sering tidak dibedakan dan digunakan secara saling tukar.
71
Penalaran
antara variabel diuji dengan alat statistis tertentu (misalnya regresi). Bila pengujian secara statistis menunjukkan bahwa hubungan antara variabel secara statistis signifikan, berarti ada keyakinan tinggi (misalnya tingkat keyakinan 95%) bahwa teori yang diajukan didukung secara empiris sehingga dapat dilakukan generalisasi. Dari contoh di atas, generalisasi secara formal dapat dinyatakan dalam penalaran induktif sebagaimana tampak pada argumen di bawah ini. Premis:
Konklusi:
Pengamatan (sampel) menunjukkan bahwa makin besar aset perusahaan makin banyak butir pengungkapan yang disajikan perusahaan dalam statemen keuangan. Hubungan ini secara statistis signifikan pada α = 0,05. Ukuran atau besar-kecilnya (size) perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela (voluntary disclosures) dalam statemen keuangan.
Dalam praktiknya, penalaran induktif tidak dapat dilaksanakan terpisah dengan penalaran deduktif atau sebaliknya. Kedua penalaran tersebut saling berkaitan. Premis dalam penalaran deduktif, misalnya, dapat merupakan hasil dari suatu penalaran induktif. Demikian juga, proposisi-proposisi akuntansi yang diajukan dalam penelitian biasanya diturunkan dengan penalaran deduktif. Bila dikaitkan dengan perspektif teori yang lain, teori akuntansi normatif biasanya berbasis penalaran deduktif sedangkan teori akuntansi positif biasanya berbasis penalaran induktif. Secara umum dapat dikatakan bahwa teori akuntansi sebagai penalaran logis bersifat normatif, sintaktik, semantik, dan deduktif sementara teori akuntansi sebagai sains bersifat positif, pragmatik, dan induktif. Buku ini memandang teori akuntansi sebagai penalaran logis dalam bentuk perekayasaan pelaporan keuangan. Oleh karena itu, pembahasan buku ini lebih berhaluan normatif sehingga banyak menerapkan penalaran deduktif dengan fokus bahasan yang bersifat struktural (sintaktik) dan semantik.
Kecohan (Fallacy) Dalam kehidupan sehari-hari (baik akademik maupun nonakademik), acapkali dijumpai bahwa argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau bahkan tidak masuk akal ternyata mampu meyakinkan banyak orang sehingga mereka terbujuk oleh argumen tersebut padahal seharusnya tidak. Bila hal ini terjadi, akan banyak praktik, perbuatan, atau tindakan dalam masyarakat yang dilandasi oleh teori atau alasan yang tidak sehat. Akibatnya praktik itu sendiri menjadi tidak sehat. Cederblom dan Paulsen (1986) membahas hal ini dengan mengajukan pertanyaan: “Why are bad arguments sometimes convincing?” Pertanyaan tentang adanya kecohan penalaran dalam akuntansi misalnya adalah “Mengapa istilah yang salah banyak dipakai orang?” Telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan mempunyai beberapa sifat yang menjadikan perubahan atau pemertahanan keyakinan tidak semata-mata dilandasi oleh validitas dan kekuatan argumen tetapi juga oleh faktor manusia. Dalam
72
Bab 2
kasus tertentu (bahkan dalam konteks ilmiah atau akademik), manusia lebih terbujuk atau terkecoh oleh emosi atau kepentingan pribadi daripada logika. Dengan kata lain, keyakinan tidak selalu diperoleh melalui argumen logis atau akal sehat. Apapun faktor yang menyebabkan, bila terdapat suatu asersi yang nyatanya membujuk dan dianut banyak orang padahal seharusnya tidak lantaran argumen yang diajukan mengandung cacat (faulty), maka pasti terjadi kesalahan yang disebut kecohan atau salah nalar (fallacy). Cederblom dan Paulsen (1986) mendefinisi pengertian kecohan sebagai berikut: A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us, even though it is faulty. ... Fallacies are arguments that tend to persuade but should not persuade (hlm. 102).
Kita harus mengenal berbagai kecohan agar kita waspada bahwa hal semacam itu memang ada sehingga kita tidak terkecoh atau mengecoh orang lain secara tak sengaja. Orang dapat terkecoh oleh dirinya sendiri sehingga dia berpikir bahwa dia mengajukan argumen yang valid padahal sebenarnya tidak valid. Sebaliknya, orang dapat mengecoh orang lain dengan sengaja semata-mata karena ingin memaksakan kehendak atau ingin menangnya sendiri sehingga dia akan menggunakan segala taktik untuk meyakinkan orang lain tentang keyakinan atau pendapatnya dengan menyampingkan masalah pokok atau menyembunyikan argumen yang valid. Oleh karena itu, perlu dibedakan kecohan lantaran taktik atau akal bulus (yang oleh Nickerson disebut dengan stratagem) dan kecohan lantaran salah logika atau nalar dalam argumen (reasoning fallacy).23 Ciri yang membedakan keduanya adalah maksud atau niat (intention) untuk berargumen. Stratagem Stratagem adalah pendekatan atau cara-cara untuk mempengaruhi keyakinan orang dengan cara selain mengajukan argumen yang valid atau masuk akal (reasonable argument). Stratagem merupakan salah satu bentuk argumen karena merupakan upaya untuk menyakinkan seseorang agar dia percaya atau bersedia mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan argumen yang valid, stratagem biasanya digunakan untuk membela pendapat yang sebenarnya keliru atau lemah dan tidak dapat dipertahankan secara logis. Karenanya, stratagem dapat mengandung kebohongan (deceit) dan muslihat (trick). Biasanya, stratagem digunakan dengan niat semata-mata untuk memaksakan kehendak, membujuk orang agar meyakini sesuatu, menjadikan hal yang tidak baik/benar kelihatan baik/benar, atau menjatuhkan lawan bicara dalam debat atau perselisihan. Stratagem dapat melibatkan salah nalar walaupun tidak harus selalu demikian. Artinya, argumen yang logis tidak selalu dapat membujuk. Oleh karena itu, keyakinan kadang-kadang dianut bukan karena kekuatan argumen semata-mata tetapi juga karena stratagem. 23 Pengertian kecohan yang diajukan oleh Cederblom dan Paulsen meliputi pula stratagem sedangkan istilah kecohan oleh Nickerson dibatasi pada pengertian sebagai salah nalar. Stratagem juga sering disebut sebagai argumen informal sementara penalaran logis disebut sebagai argumen formal.
Penalaran
73
Stratagem banyak dijumpai dalam arena politik walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa hal tersebut dijumpai dalam diskusi ilmiah. Pakar atau ilmuwan kadang kala lebih menunjukkan stratagem daripada argumen yang valid. Berikut ini dibahas beberapa stratagem yang sering dijumpai dalam diskusi atau perdebatan baik politis maupun akademik. Persuasi Taklangsung Persuasi taklangsung merupakan stratagem untuk menyakinkan seseorang akan kebenaran suatu pernyataan bukan langsung melalui argumen atau penalaran melainkan melalui cara-cara yang sama sekali tidak berkaitan dengan validitas argumen. Contoh persuasi taklangsung banyak dijumpai dalam periklanan (advertising). Untuk membujuk agar orang mau membeli produk, orang tidak disuguhi argumen tentang mengapa produk tersebut berkualitas melainkan ditunjuki pemandangan bahwa seorang selebritis menggunakan produk tersebut. Harapannya adalah orang yang tidak menggunakan produk akan merasa bahwa dia tidak termasuk dalam golongan yang bergaya hidup selebritis. Orang yang rasional tentunya tidak mudah terbujuk oleh stratagem tersebut. Akan tetapi, teknik-teknik persuasi sudah canggih dan halus sehingga orang yang rasional pun masih terkecoh secara emosional. Membidik Orangnya Stratagem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang diajukan seseorang dengan pribadi orang tersebut.24 Alih-alih mengajukan kontra-argumen (counter-argument) yang lebih valid, pembicara mengajukan kejelekan atau sifat yang kurang menguntungkan dari lawan berargumen. Jadi, yang dilawan orangnya bukan argumennya. Dengan cara ini diharapkan bahwa daya bujuk argumen akan menjadi turun atau jatuh. Taktik ini sering disebut argumentum ad hominem. Berikut ini adalah beberapa contoh stratagem ini. • Dia tidak mungkin menjadi pemimpin yang andal karena dia bekas militer (atau tahanan politik yang pernah dihukum). • Praktisi akuntansi yang tidak mengikuti standar akuntansi seperti apa adanya adalah orang yang tidak loyal dan tidak profesional. • Jangan menggunakan istilah tersebut karena yang mengusulkan orang Yogya. (Saya tidak setuju istilah itu karena itu istilah Yogya.) • Program tersebut tidak valid didukung karena yang mengajukan adalah partai politik A. • Kurikulum ini harus diganti total karena yang mengembangkan adalah pengelola lama (rezim orde baru). 24 Posisi yang dimaksud di sini adalah posisi setuju (mendukung) atau tidak sejutu (menolak) terhadap suatu gagasan, ide, usul, konsep, atau kebijakan.
74
Bab 2
Berkaitan dengan stratagem ini, orang sering menggunakan taktik ungkapan merendahkan (put-downs) untuk menyanggah/menghindari argumen dengan ungkapan-ungkapan berikut (diucapkan dengan nada meninggi): • “Semua orang tahu itu!” • “Saya tidak percaya anda dapat mengatakan hal itu!” • “Yang anda katakan itu adalah lelucon baru yang belum pernah saya dengar!” • “Apa itu kok aneh-aneh, seperti kurang pekerjaan saja!” (Sebagai reaksi terhadap istilah akuntansi baru yang baru saja didengarnya.) Menyampingkan Masalah Stratagem ini dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak bertumpu pada masalah pokok atau dengan cara mengalihkan masalah ke masalah yang lain yang tidak bertautan. Hal ini sering dilakukan orang jika dia (karena sesuatu hal) tidak bersedia menerima argumen yang dia tahu lebih valid dari argumen yang dipegangnya. Penyampingan masalah ini juga merupakan salah satu contoh salah nalar karena penyampingan dilakukan dengan memberi penjelasan yang tidak menjawab masalah. Berikut ini adalah beberapa contoh stratagem ini. • Gerakan antikorupsi tidak perlu digalakkan lagi karena nyatanya banyak orang yang melakukan korupsi tidak mendapatkan sanksi hukum. • Pembenahan istilah akuntansi tidak perlu dilakukan karena dalam komunikasi yang penting kita tahu maksudnya. • Mengapa istilah kos seharusnya digunakan alih-alih biaya? Stratagem: Apa bedanya dengan kos-kosan (tempat mondok)? Dari contoh di atas, penyampingan masalah terjadi karena orang tidak lagi menyajikan argumen tandingan yang valid terhadap pernyataan yang ingin disanggahnya (yaitu perlunya pemberantasan korupsi). Dalam contoh kedua, misalnya, orang tidak lagi membahas arti pentingnya pembenahan melainkan mematikan atau memotong diskusi dengan mengajukan alasan yang menyimpang dari masalah pokok. Dalam contoh ketiga, penyanggah tidak bertanya secara ilmiah atau akademik mengapa demikian tetapi malahan mengolok-olok penggagas atau gagasan untuk menyampingkan masalah pokok. Bila hal semacam ini terjadi dalam forum ilmiah atau akademik, hal tersebut sebenarnya merefleksi kepicikan penyanggah yang justru pantas untuk diolok-olok. Stratagem penyampingan masalah (avoiding the issue) sering digunakan oleh politikus untuk menghidari pertanyaan yang dapat memalukannya dalam suatu jumpa pers dengan cara menyalahartikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang disalahartikan tersebut. Hal ini sama dengan taktik mahasiswa yang tidak dapat menjawab pertanyaan dalam ujian tetapi kemudian sengaja menyalahartikan maksud pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang disalahartikan tersebut
Penalaran
75
dengan baik. Kemudian dia datang ke dosennya, setelah tahu nilainya jelek, untuk memprotes dan berargumen bahwa itulah yang dipahami tentang pertanyaan ujian (meskipun dia tahu benar maksud sebenarnya pertanyaan). Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan taktik red herring dalam perdebatan politik untuk menutupi atau menghindari kekalahan dalam argumen. Red herring adalah praktik dalam perburuan untuk menghalangi anjing pelacak membaui sasaran dengan cara memasang ikan herring melintang pada jalan setapak atau jejak (trail). Misrepresentasi Stratagem ini digunakan biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi lawan dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara halus maupun terang-terangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara misalnya: mengekstremkan posisi lawan, menyalahartikan maksud baik posisi lawan, atau menonjolkan kelemahan dan menyembunyikan keunggulan argumen lawan. Sebagai contoh, seorang anggota DPR dari Partai A mengajukan argumen untuk mendukung agar pemerintah mengurangi anggaran untuk pertahanan dan menambah anggaran untuk pendidikan. Anggota dari Partai B, sebagai penyanggah, menuduh anggota dari Partai A ingin menghancurkan militer dan menempatkan negara pada kondisi kurang aman. Ini merupakan misrepresentasi dengan mengekstremkan posisi lawan. Contoh lain misalnya adalah seorang mahasiswa, Amin, meminta dosennya untuk mengomentari tulisan atau proposal skripsinya. Dosennya menyarankan perbaikan-perbaikan yang rinci dan jelas. Amin, yang mengharapkan untuk mendapat pujian dari dosennya, mengeluh dengan mengatakan kepada temantemannya bahwa dosen tersebut sangat rewel padahal tulisan atau proposalnya memang amburadul. Berkaitan dengan strategi ini adalah apa yang dikenal dengan istilah the deceptive use of truth. Dengan taktik ini, penalar menunjukkan fakta atau kebenaran (truth) tetapi tidak secara utuh atau hanya sebagian. Pengiklan obat menunjukkan khasiat obat tanpa menunjukkan efek samping. Peneliti menunjukkan perbedaan karakteristik dua kelompok dengan menggambar grafik perbedaan di bagian ujung saja sehingga perbedaan yang secara statistis tidak signifikan menjadi tampak secara ekonomik signifikan. Ada berbagai cara lain untuk mengelabuhi dengan statistik tanpa harus berbohong. Imbauan Cacah Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan menunjukkan bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisi tersebut. Sebagai contoh, suatu kelompok memegang posisi untuk membolehkan penaikan harga (mark-up) kontrak atau tender karena banyak rekanan melakukan hal tersebut. Dalam promosi produk, pengiklan membuat klaim “Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun merek X” untuk membujuk konsumer agar
76
Bab 2
membeli sabun tersebut. Imbauan cacah (appeal to number) didasarkan pada asumsi bahwa majoritas orang melakukan suatu hal atau popularitas suatu hal menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar atau tidak dapat salah. Mengajukan asumsi ini untuk mendukung posisi tidak sama dengan mengajukan argumen tetapi lebih merupakan stratagem. Agar tidak terkecoh, orang harus memegang prinsip bahwa suatu hal tidak menjadi benar lantaran banyak orang yang melakukannya atau popular sebagaimana pepatah yang berbunyi the fact that many people do thing does not make it right. Misalnya, kenyataan bahwa banyak orang melakukan korupsi tidak membuat korupsi menjadi benar. Penalar (reasoner) yang bijak, lebih-lebih akademisi, akan mempertimbangkan suatu gagasan atas dasar bukti pendukung (argumen) yang valid dan bukan atas dasar banyaknya orang yang memegang gagasan itu. Mirip dengan stratagem ini adalah apa yang dikenal dengan istilah peringanan lewat generalisasi (dilution by generalization). Misalnya seorang politikus mendukung posisi bahwa Ketua DPR yang dijatuhi hukuman karena tindakan korupsi masih tetap dapat menjabat dengan argumen bahwa tidak ada orang yang sempurna (no one is perfect). Apa yang sebenarnya dikatakan adalah bahwa melakukan korupsi adalah suatu bentuk ketidaksempurnaan manusia. Tindakan korupsi sah-sah saja selama orang mengakui ketidaksempurnaan manusia. Akan tetapi, penalar terkecoh dalam hal ini karena dia menyamaratakan semua jenis ketidaksempurnaan. Dengan kecohan ini, orang dapat menerima argumen bahwa pembunuh dan pencuri tidak perlu dihukum karena tidak seorangpun sempurna. Imbauan Autoritas Stratagem ini mirip dengan imbauan cacah kecuali bahwa banyaknya orang atau popularitas diganti dengan autoritas. Stratagem ini dapat juga dianggap sebagai salah satu jenis argumen ad hominem (membidik orangnya). Argumen membidik orangnya yang dibahas sebelumnya berusaha menjatuhkan daya bujuk argumen dengan menjatuhkan kredibilitas penggagasnya. Dengan imbauan autoritas, orang berusaha meningkatkan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut dipegang oleh orang yang mempunyai autoritas dalam masalah bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas bernalar. Apakah stratagem ini dapat dianggap sebagai kecohan bergantung pada situasi nyata yang melatarbelakangi karena kalau autoritas dan penalarannya memang layak orang akan terbujuk ke arah yang benar. Akan tetapi, kalau autoritas semata-mata dijadikan alat untuk membujuk maka kecohanlah yang terjadi. Lebih-lebih dalam hal akademik atau pengembangan ilmu pengetahuan, kalau autoritas akademik diganti dengan autoritas politis (kekuasaan/jabatan) dalam mengevaluasi suatu gagasan atau idea, kemungkinan terjadinya kecohan akan semakin besar. Memang selayaknyalah bahwa pernyataan orang autoritatif akan lebih mendapat bobot dibanding orang awam. Akan tetapi, penalaran di balik pernyataan harus tetap menjadi pertimbangan utama. Sebagai contoh, seorang akademisi ditanya mengapa dia memakai istilah beban bukan biaya untuk padan kata expense. Akademisi tersebut dapat menga-
Penalaran
77
jukan stratagem bahwa dia menggunakan istilah beban karena autoritas (Ikatan Akuntan Indonesia) menggunakan istilah tersebut tanpa mempersoalkan apakah istilah tersebut layak atau tidak padahal dia tahu bahwa istilah beban tidak valid (tidak dapat didukung secara argumentatif).25 Agar kita tidak terkecoh atau terperangkap ke stratagem, beberapa prinsip yang diajukan Nickerson (1986, hlm. 114-115) berikut dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan argumen atau penalaran: • The fact that an authoritative person holds a particular view does not make that view correct. • The fact that a highly knowledgeable individual holds a certain belief with respect to his particular area of knowledge should carry some weight. • A belief is not necessarily right because it is held by an expert. Berkaitan dengan stratagem ini adalah imbauan autoritas yang tidak tepat (appeal to inappropriate authority). Dengan taktik ini, penalar berusaha untuk meningkatkan kredibilitas dan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut juga dipegang oleh orang yang diakui sebagai ahli di bidang yang tidak berpautan dengan masalah yang dibahas. Memang orang yang telah menyandang julukan ahli atau pakar pada umumnya mempunyai kemampuan yang baik juga dalam menalar suatu gagasan di luar bidang keahliannya. Akan tetapi, tidak selayaknyalah dalam berargumen kita berasumsi bahwa orang yang memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam suatu bidang ilmu (karena telah menekuninya cukup lama) juga dengan sendirinya memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam bidang ilmu lain yang tidak berkaitan. Untuk tujuan sensasional, jurnalis media masa atau televisi sering mengundang pakar atau penguasa untuk berbicara tentang masalah yang tidak dikuasainya atau yang keahliannya tidak bersangkutan sama sekali dengan masalah yang diberitakan. Imbauan Tradisi Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu semata-mata karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan orang. Dalam dunia ilmiah atau akademik, orang sering memegang suatu keyakinan dengan mengajukan argumen bahwa memang demikianlah orang-orang mempunyai keyakinan. Namun, kenyataan bahwa sesuatu telah lama dikerjakan dengan cara tertentu di masa lampau tidak dengan sendirinya menjadi argumen untuk 25 Stratagem yang lebih parah adalah bilamana ada seorang akademisi yang memilih istilah akademik yang menyimpang dengan alasan enak didengar bukan dengan alasan kaidah bahasa. Di sini, suatu istilah yang sifatnya akademik dinilai atas dasar telinga bukan atas dasar apa yang ada di balik telinga. Alasan enak didengar saja tidak cukup untuk membentuk istilah. Bila alasan ini digunakan padahal terdapat alternatif istilah yang lebih baik maka alasan tersebut dapat dikatakan sebagai stratagem menyampingkan masalah.
78
Bab 2
meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat cara lain yang terbukti lebih valid atau baik (secara rasional dan praktis). Misalnya seorang dosen berargumen bahwa skripsi mahasiswa harus ditulis dengan mesin ketik (bukan komputer) karena tradisi penulisan jaman dulu atau, bila boleh menggunakan komputer, dosen melarang mahasiswa mencetak kata yang biasanya diberi garis bawah dengan huruf miring karena mempertahankan tradisi penulisan ilmiah jaman sebelum datangnya komputer. Di sini, dosen tersebut tidak lagi berkepentingan untuk mengevaluasi argumen bahwa jaman dulu suatu kata diberi garis bawah karena mesin ketik tidak dapat menghasilkan huruf miring sementara itu secara tipografis penekanan kata akan lebih baik tampilannya kalau kata dicetak dengan huruf miring (garis bawah merupakan distraksi). Imbauan terhadap tradisi juga mempunyai justifikasi sehingga tradisi tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, justifikasi tersebut dapat menjadi kecohan kalau tia dipaksakan secara membabi buta. Hal yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan argumen ini adalah bahwa maksud baik tradisi tidak merupakan alasan yang kuat untuk mempertahankannya atau untuk menolak mempertimbangkan bukti baru kalau memang terdapat bukti kuat baru bahwa maksud tersebut tidak lagi valid. Prinsip ini sering disebut the purpose defeats the law. Dilema Semu Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan argumen dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain kemudian mengkarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau mengerikan sehingga tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang diusulkan penggagas. Misalnya, dalam suatu perdebatan tentang amandemen udang-undang dasar, seorang anggota fraksi mengatakan (untuk meyakinkan anggota dewan yang lain): “Kita harus menyetujui amandemen ini atau negara kita akan hancur.”
Dasar pikiran argumen di atas adalah bahwa negara kita tidak boleh hancur dan karenanya simpulannya adalah kita harus menyetujui amandemen. Kecohan terjadi karena pengargumen mengklaim bahwa hanya ada dua alternatif dan yang satu jelas tidak diinginkan sehingga hanya alternatif yang diusulkannya yang harus diterima. Akan tetapi, dia mengecoh seakan-akan hanya ada dua alternatif padahal kenyataannya ada beberapa alternatif lain yang lebih valid. Sayangnya, dalam banyak hal, orang tidak cukup kritis untuk menanyakan apakah ada alternatif lain yang lebih masuk akal. Struktur dilema semu (sering disebut inapproriate dichotomizing) dapat dinyatakan secara umum sebagai berikut: Kalau kita tidak memilih alternatif A, maka kita akan mengalami penderitaan atau kerugian akibat dipilihnya alternatif B.
Dalam mengajukan stratagem di atas, orang sering menambahkan ungkapan penyangat seperti take it or leave it atau “pokoknya.” Penyangat “pokoknya”
79
Penalaran
sering dilandasi oleh kekuasaan atau autoritas pengargumen (arguer). Argumen di atas memang valid kalau dievaluasi atas dasar struktur argumen saja, yaitu: Premis major: Premis minor: Konklusi:
Baik A atau B. Bukan B. A.
Walaupun valid strukturnya, dilema semu merupakan argumen yang tidak layak (unsound) karena premis majornya “Baik A atau B” adalah takbenar mengingat bahwa kenyataannya ada alternatif-alternatif lain yang tidak disebutkan. Imbauan Emosi Apa yang dibahas sebelumnya adalah stratagem yang semata-mata menggunakan muslihat (trick) yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986) disebut tipu daya (kecekatan) tangan pesulap (sleight of hand) tanpa melibatkan emosi pihak yang dituju. Daya bujuk argumen sering dicapai dengan cara membaurkan emosi dengan nalar (disebut confusing emotion with reason atau motive in place of support). Pendeknya, daya nalar orang dimatikan dengan cara menggugah emosinya. Membidik orangnya (argumen ad hominem) atau imbauan autoritas sebenarnya merupakan salah satu bentuk imbauan emosi. Dengan menggugah emosi, pengargumen sebenarnya berusaha menggeser dukungan nalar (support) validitas argumennya dengan motif (motive). Dengan taktik ini, emosi orang yang dituju diagitasi sehingga dia merasa tidak enak untuk tidak menerima alasan yang diajukan. Dua stratagem yang dapat digunakan untuk mencapai hal ini adalah imbauan belas kasih (appeal to pity) dan imbauan tekanan/kekuasaan (appeal to force). Orang dikatakan telah memanfaatkan imbauan belas kasih ke anda bilamana dia memaksa anda menyetujui sesuatu karena kalau anda tidak setuju dia akan menderita. Misalnya, seorang mahasiswa yang telah dikeluarkan dari universitas (memang secara akademik tidak mampu menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang ditentukan) datang ke anda (kebetulan menjabat rektor) dan mengajukan pencabutan keputusan tersebut dan mengajukan argumen bahwa keputusan pengeluarannya akan menyebabkan dia dalam kesulitan dan penderitaan. Hal itu diajukan karena dia tahu benar bahwa memang dia pantas dikeluarkan atas dasar argumen akademik dan rasional. Anda tidak jadi mengeluarkannya karena anda tahu bahwa orang tersebut akan makin menderita kalau permohonan tidak dikabulkan. Akhirnya anda mengeluarkan surat untuk membolehkan mahasiswa tersebut meneruskan kuliah dengan menyatakan bahwa mahasiswa tersebut mampu secara akademik. Konklusi di sini adalah mahasiswa mampu menyelesaikan kuliah meskipun bukti tidak mendukung. Kebalikan dari imbauan belas kasih adalah bilamana seseorang mamaksa anda menyetujui sesuatu karena kalau anda tidak setuju anda akan menderita atau menanggung akibatnya. Anda (mahasiswa) diminta untuk mengevaluasi
80
Bab 2
pendapat dalam artikel dosen anda. Anda tidak setuju dengan pendapat tersebut karena memang pendapat itu tidak valid secara akademik tetapi anda mendukung secara penuh pendapat tersebut karena dosen tersebut akan keras terhadap anda. Konklusi di sini adalah pendapat dosen tersebut valid meskipun bukti akademik tidak mendukung. Dari dua contoh di atas, faktor yang membuat argumen menjadi persuasif adalah motif bukan validitas argumen. Kedua stratagem tersebut menempatkan orang menjadi tidak enak kalau tidak menerima (meyakini) konklusi meskipun keduanya tidak mengajukan bukti pendukung untuk meyakinkan bahwa konklusi adalah benar (valid). Cederblom dan Paulsen (1986) mendeskripsi karakteristik kedua stratagem ini sebagai berikut: When a person gets you to agree to something because he will be hurt if you don’t agree, this is an appeal to pity. If someone gets you to agree because he will hurt you if you don’t agree, this is an appeal to force (hlm. 115).
Salah Nalar (Reasoning Fallacy) Suatu argumen boleh jadi tidak meyakinkan atau persuasif karena argumen tersebut tidak didukung dengan penalaran yang valid. Dengan kata lain, argumen menjadi tidak efektif karena tia mengandung kesalahan struktur logika atau karena tia tidak masuk akal (unreasonable). Salah nalar terjadi apabila penyimpulan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran yang valid. Jadi, salah nalar adalah kesalahan struktur atau proses formal penalaran dalam menurunkan simpulan sehingga simpulan menjadi salah atau tidak valid. Berbeda dengan stratagem yang lebih merupakan taktik atau pendekatan yang sengaja digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu asersi, salah nalar merupakan suatu bentuk kesalahan penyimpulan lantaran penalarannya mengandung cacat sehingga simpulan tidak valid atau tidak dapat diterima. Demikian juga, salah nalar biasanya bukan kesengajaan (intentional) dan tidak dimaksudkan untuk mengecoh atau mengelabuhi (to deceive). Kalau toh kecohan atau pengelabuhan terjadi, hal tersebut semata-mata karena penalar tidak menyadari bahwa proses atau struktur penalarannya keliru sehingga dia sendiri terkecoh. Jadi, kecohan atau salah nalar terjadi lantaran penalar salah dalam mengaplikasi kaidah penalaran. Walaupun salah nalar dapat dipakai sebagai suatu stratagem atau penalaran yang layak sering didukung dengan stratagem, tidak selayaknyalah kaidah penalaran yang sangat baik ditolak semata-mata karena tia sering disalahgunakan. Penalaran juga bersifat kontekstual. Artinya, penalaran valid yang efektif dalam konteks yang satu belum tentu efektif dalam konteks yang lain. Demikian juga, stratagem yang efektif dalam suatu situasi belum tentu efektif dalam situasi yang lain. Berikut ini dibahas beberapa salah nalar yang banyak dijumpai dalam diskusi atau karya tulis profesional, akademik, atau ilmiah.
81
Penalaran
Menegaskan Konsekuen Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia harus mengikuti kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau modus ponens). Bila simpulan diambil dengan pola premis yang menegaskan konsekuen, akan terjadi salah nalar. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar. Valid: Menegaskan anteseden (modus ponens) Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika A, maka B. A. B.
Takvalid: Menegaskan konsekuen Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika A, maka B B. A.
Contoh: Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah. Saya di Semarang. Saya di Jawa Tengah.
Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah. Saya di Jawa Tengah. Saya di Semarang.
Dalam contoh di atas, premis (2) “Saya di Semarang” menegaskan anteseden “Jika saya di Semarang” sehingga konklusi pasti benarnya secara umum sedangkan premis (2) “Saya di Jawa Tengah” di sebelah kanan menegaskan konsekuen sehingga konklusinya tidak valid secara umum. Jadi, untuk contoh sebelah kanan, simpulan “Saya di Semarang” adalah tidak valid karena simpulan tidak mengikuti premis (does not follow from the premises). Kenyataan bahwa seseorang ada di Jawa Tengah tidak dengan sendirinya dia ada di Semarang. Dalam hal ini, penalar terkecoh karena menyamakan atau merancukan pernyataan atau premis (1) “Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah” dengan premis “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang.” Premis terakhir ini menjadikan konklusi di sebelah kanan (“Saya di Semarang”) valid.26 Salah nalar terjadi karena premis “Jika A, maka B” disamakan dengan premis “Jika B, maka A” padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Kecohan ini sering terjadi karena dalam beberapa hal memang benar bahwa kalau B mengikuti A maka benar pula bahwa A mengikuti B. Misalnya pernyataan “bila ada api, maka ada asap” dapat dinyatakan pula “bila ada asap, maka ada api” karena memang demikian adanya. Kedua pernyataan tersebut merupakan pernyataan fakta yang tidak dapat disangkal.
26 Walaupun demikian, makna kedua pernyataan tersebut berbeda. “Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah” merupakan pernyataan fakta sedangkan “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang” merupakan pernyataan empiris atau sekadar janji.
82
Bab 2
Menyangkal Anteseden Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal anteseden. Suatu argumen yang mengandung penyangkalan akan valid apabila konklusi ditarik mengikuti kaidah menyangkal konsekuen (denying the consequent atau modus tollens). Bila simpulan diambil dengan struktur premis yang menyangkal anteseden, simpulan akan menjadi tidak valid. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar. Valid: Menyangkal konsekuen (modus tollens) Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika A, maka B. Tidak B. Tidak A.
Takvalid: Menyangkal anteseden Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika A, maka B Tidak A. Tidak B.
Contoh: Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah. Saya tidak di Jawa Tengah. Saya tidak di Semarang.
Premis (1): Premis (2):
Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah. Saya tidak di Semarang.
Konklusi:
Saya tidak di Jawa Tengah.
Konklusi di sebelah kanan tidak valid karena premis (2) menyangkal anteseden (“Jika saya di Semarang”). Konklusi akan valid bila premis (1) diubah menjadi “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang” sehingga argumen mengikuti pola modus tollens. Akan tetapi, makna premis ini tidak lagi sama dengan makna premis semula. Jadi, salah nalar akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal anteseden dapat terjadi karena makna “jika A, maka B” disamakan atau dikacaukan dengan “jika B, maka A.” Pentaksaan (Equivocation) Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu mempunyai makna yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam premis lainnya. Dapat juga, salah nalar terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan konteks premis lainnya. Argumen dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi salah nalar ini (Nickerson, 1986, hlm. 4). Premis major: Premis minor: Konklusi:
Nothing is better than eternal happiness. A ham sandwhich is better than nothing. A ham sandwhich is better than eternal happines.
83
Penalaran
Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing dalam premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam premis minor. Dalam premis major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek yang memenuhi syarat sehingga kebahagiaan abadi adalah satu-satunya yang terbaik.27 Sementara itu, nothing dalam premis minor bermakna tidak tersedianya anggota lain dalam himpunan yang di dalamnya ham sandwhich merupakan salah satu anggota sehingga ham sandwhich bukan satu-satunya yang terbaik.28 Jadi, nothing dalam premis major mensyiratkan kebahagiaan abadi sebagai sesuatu yang terbaik sedangkan nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sandwhich sebagai sesuatu yang terjelek sehingga konklusi tidak masuk akal atau tidak valid. Salah nalar seperti ini terjadi karena penalar bermaksud menerapkan kaidah transitivitas (transitivity) tetapi tidak memenuhi syarat. Transitivitas dan contoh dapat dinyatakan sebagai berikut: Kaidah:
Contoh:
Premis (1): Premis (2):
B > C. A > B.
Premis (1): Premis (2):
Konklusi:
A > C.
Konklusi:
Baroto lebih rajin daripada Candra. Anton lebih rajin daripada Baroto. Anton lebih rajin daripada Candra.
Argumen dalam contoh di atas valid apabila unsur B atau Baroto mengacu pada makna atau objek yang sama sehingga tidak terjadi pentaksaan. Perampatan-lebih (Overgeneralization)29 Salah nalar yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah melekatkan (mengimputasi) karakteristik sebagian kecil anggota ke seluruh anggota himpunan, kelas, atau kelompok secara berlebihan. Bila seseorang menyimpulkan bahwa warga Kampung X adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pencuri yang baru saja ditangkap berasal dari Kampung X maka dia telah melakukan salah nalar. Perampatan atau generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar. Kemampuan merampatkan merupakan suatu kemampuan intelektual yang sangat penting dalam pengembangan ilmu. Masalahnya adalah bila derajat perampatan begitu ekstrem (atas dasar sampel atau pengamatan terbatas) sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa apa yang diamati merupakan peluar (outlier) atau pengecualian (exceptions to the rule). Dalam penelitian empiris, ukuran 27 Dalam bahasa statistika atau matematika, nothing di sini bermakna himpunan kosong (tidak mempunyai anggota). 28 Ham sandwhich merupakan salah satu anggota himpunan sandwhich yang dapat terdiri atas beef, cheese, chicken, ham, peanut-butter, dan tuna sandwhich. Dalam hal ini, dapat saja beef atau cheese sandwhich lebih baik daripada ham sandwhich. 29 Istilah perampatan digunakan oleh Anton M. Moeliono dalam Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 125.
84
Bab 2
sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel dapat menghasilkan konklusi yang keliru. Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal dengan istilah penstereotipaan (stereotyping). Salah nalar ini terjadi bila penalar mengkategori seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan semua sifat atau kualitas kelompok kepada orang tersebut. Misalnya, orang mengetahui bahwa para akuntan publik umumnya adalah kaya (sifat kelompok). Salah nalar dapat terjadi kalau penalar menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya karena dia adalah akuntan publik. Parsialitas (Partiality) Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas dasar sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan bukti. Kadang-kadang kita sengaja memilih dan melekatkan bobot yang tinggi pada bukti (argumen) yang cenderung mendukung konklusi atau keyakinan yang kita sukai dengan mengabaikan bukti yang menentang konklusi tersebut. Kesalahan semacam ini tidak harus merupakan suatu stratagem karena penalar tidak bermaksud mengecoh atau menjatuhkan lawan tetapi karena semata-mata dia tidak objektif (bias) dalam penggunaan atau pengumpulan bukti. Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan membuat pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading questions). Bila peneliti berupaya untuk mendukung teori yang disukainya dengan mengarahkan bukti secara bias, hal tersebut disebut membangun kasus (building the case). Pembuktian dengan Analogi Telah dibahas sebelumnya bahwa analogi bukan merupakan cara untuk membuktikan (to prove) validitas atau kebenaran suatu asersi. Analogi lebih merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian (likelihood) untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Jadi, analogi dapat menghasilkan salah nalar. Menyatakan bahwa dua objek sama atau serupa dalam beberapa aspek (misalnya a, b, dan c) lebih dimaksudkan untuk menunjukkan kemiripan kedua objek tersebut. Namun demikian, mengetahui bahwa dua objek sama dalam aspek a, b, dan c tidak menjadi bukti bahwa kedua objek tersebut juga sama dalam aspek d. Bila diketahui bahwa kedua objek tersebut serupa dalam aspek d maka analogi tidak diperlukan untuk membuktikannya. Bila tidak diketahui bahwa dua objek sama dalam aspek d, salah nalar dapat terjadi bila orang mengatakan bahwa karena X analogus dengan Y dalam aspek a, b, dan c, X juga pasti punya d karena Y punya d. Jadi, Y punya d bukan merupakan bukti bahwa X punya d meskipun X dan Y analogus. Kesalahan semacam ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
85
Penalaran
Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Komputer mempunyai CPU yang bekerja seperti otak. Otak berpikir. Komputer berpikir.
Dalam pengembangan istilah, analogi sering diartikan sebagai mengikuti kaidah atau struktur ungkapan yang sama. Dengan makna ini, menggunakan analogi untuk menurunkan istilah bukan merupakan salah nalar tetapi merupakan sarana untuk mengaplikasi kaidah secara taat asas. Salah nalar justru akan terjadi kalau kaidah tidak diikuti. Berikut ini adalah contoh penurunan istilah (padan kata) Indonesia atas dasar penerjemahan istilah Inggris dengan analogi. Premis (1): Premis (2): Premis (3): Konklusi:
Real number diterjemahkan atau diserap menjadi bilangan real. Real asset diterjemahkan atau diserap menjadi aset real. Round table diterjemahkan atau diserap menjadi meja bundar. Real estate diterjemahkan atau diserap menjadi estat real.
Konklusi atas dasar analogi di atas valid karena konklusi mengikuti kaidah (struktur) yang melekat pada tiap premis. Bahasa Indonesia mengikuti kaidah DM (diterangkan-menerangkan) sedangkan bahasa Inggris mengikuti kaidah MD (menerangkan-diterangkan). Salah nalar terjadi justru kalau real estate diserap menjadi real estat sebagaimana terlihat dalam Standar Akuntansi Keuangan, PSAK No. 44. Salah nalar terjadi karena kaidah penalaran pembentukan istilah dilanggar yaitu menggunakan kaidah MD untuk istilah bahasa Indonesia.30 Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban Dalam percakapan sehari-hari atau diskusi, kesalahan yang sering dilakukan orang adalah merancukan urutan kejadian (temporal succession) dengan penyebaban (causation). Bila kejadian B selalu mengikuti kejadian A, orang cenderung menyimpulkan bahwa B disebabkan oleh A. Karena malam selalu mengikuti siang, tidak berarti bahwa siang menyebabkan malam. Salah nalar terjadi bila urutan kejadian disimpulkan sebagai penyebaban. Kesalahan ini sering disebut dalam bahasa Latin post hoc ergo propter hoc (setelah ini, maka karena ini). Telah dibahas sebelumnya bahwa urutan kejadian hanyalah merupakan salah satu syarat untuk menyatakan adanya penyebaban (lihat kembali subbahasan Argumen Sebab-Akibat di halaman 60). Syarat ini merupakan syarat perlu (necessary condition) untuk penyebaban tetapi bukan syarat cukup (sufficient condition). Kalau A memang menyebabkan B maka perlu dipenuhi syarat bahwa A selalu mendahului B. Syarat ini makin kuat mendukung penyebaban bilamana 30 Penerjemahan atau penyerapan estate menjadi estat sudah sangat tepat mengikuti analogi penyerapan accurate, senate, candidate, carbonate, atau variate menjadi akurat, senat, kandidat, karbonat, atau variat sebagaimana ditentukan dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI).
86
Bab 2
hubungan A dan B adalah asimetri. Artinya, kejadian “A mendahului B” tidak sama atau tidak berpasangan dengan kejadian “B mendahului A” (kejadian “B mendahului A” tidak ada). Dua syarat lain yang harus dipenuhi agar cukup untuk menyatakan adanya penyebaban adalah B bervariasi dengan A dan tidak ada faktor lain selain A yang menyebabkan B berubah. Dalam penelitian ekperimental yang bertujuan untuk menguji hubungan penyebaban, konklusi dapat salah atau meragukan karena terdapat faktor penyebab selain yang diteliti yang ternyata juga mempengaruhi faktor akibat. Bila hal ini terjadi, maka dikatakan bahwa penelitian tersebut mempunyai validitas internal (internal validity) yang rendah.31 Menarik Simpulan Pasangan Kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen sering menjadikan argumen yang valid atau benar menjadi kurang meyakinkan. Akibatnya, orang sering lalu menyimpulkan bahwa konklusinya tidak benar atau valid. Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen yang mendukung atau menyangkal suatu posisi tidak menentukan kebenaran (truth) atau ketakbenaran (falsity) konklusi (posisi). Kebenaran konklusi atau posisi memang harus didukung oleh argumen yang meyakinkan. Salah nalar terjadi kalau orang menyimpulkan bahwa suatu konklusi salah lantaran argumen tidak disajikan dengan meyakinkan (tidak konklusif) sehingga dia lalu menyimpulkan bahwa konklusi atau posisi pasanganlah yang benar. Kecohan ini mirip dengan bentuk salah nalar menyangkal anteseden yang telah dibahas sebelumnya. Kecohan ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Premis (1): Premis (2): Konklusi:
Jika seseorang dapat menyajikan suatu argumen yang meyakinkan, maka konklusinya benar (valid). Pak Antoni menyajikan argumennya dengan tidak meyakinkan. Konklusi atau posisinya takbenar. Posisi pasangannya yang benar.
Jadi, mengambil konklusi pasangan lantaran konklusi yang diajukan tidak disajikan secara meyakinkan merupakan suatu salah nalar. Kalau suatu pernyataan yang memang valid disajikan dengan argumen yang kurang efektif, maka hal terbaik yang dapat disimpulkan adalah bahwa validitas atau kebenaran pernyataan tersebut belum terungkap atau ditunjukkan tetapi tidak berarti bahwa pernyataan tersebut takbenar. Dengan demikian, kurang meyakinkannya suatu konklusi tidak dengan sendirinya membenarkan konklusi yang lain (pasangan). Dalam pengembangan ilmu dikenal suatu pendekatan atau semangat untuk menguji suatu teori yang disebut penyanggahan atau refutasi ilmiah (scientific 31 Validitas internal dapat menjadi rendah karena hal-hal yang dikenal sebagai: history, maturity, mortality, pretesting, instrumentation, selection bias, dan statistical regression. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Uma Sekaran, Research Methods for Business: A Skill Building Approach (New York: John Wiley & Sons, Inc., 2003), hlm. 151-156.
Penalaran
87
refutation). Semangat ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak harus dapat dibuktikan benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah) kalau tia memang salah; misalnya dengan pengajuan teori baru yang lebih baik. Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip ketersalahan atau keterbuktisalahan (principle of falsifiability). Bila ilmuwan tidak dapat menunjukkan dengan meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka ilmuwan terpaksa “menerima” teori yang disanggahnya.32 Prosedur penyimpulan semacam ini bukan merupakan salah nalar tetapi lebih merupakan usaha untuk mencapai ketegaran ilmiah (scientific rigor). Hal ini penting agar orang tidak dengan mudah mengganti teori dengan teori yang belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini mengandung risiko yaitu ilmuwan tidak menolak teori yang disangkalnya padahal teori tersebut sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan “menerima” teori yang salah. Risiko ini disebut kesalahan penyimpulan (error of inference) dan harus dihindari. Dalam penelitian ilmiah (empiris), konklusi atau teori biasanya dinyatakan dalam bentuk hipotesis. Konklusi pasangan yang dibahas di atas sering ditempatkan sebagai hipotesis nol (null atau default hypothesis) sedangkan hipotesis (teori baru) yang diajukan dan akan diuji ditempatkan sebagai hipotesis alternatif (alternative hypothesis). Kalau peneliti tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat untuk mendukung teorinya (bukti-bukti empiris yang diajukan tidak mendukung secara statistis hipotesis alternatif), maka peneliti terpaksa menyimpulkan (tidak menolak) hipotesis nol. Jadi, bila bukti empiris tidak cukup meyakinkan untuk menyimpulkan hipotesis alternatif, maka dikatakan bahwa peneliti gagal menolak hipotesis nol (to fail to reject the null or default hypothesis). Dalam hal ini, peneliti menghadapi dua jenis risiko kesalahan penyimpulan yaitu menyimpulkan hipotesis nol padahal sebenarnya tia salah atau menyimpulkan hipotesis alternatif padahal sebenarnya tia salah. Dalam bahasa statistika, kesalahan menyimpulkan hipotesis alternatif (atau menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis alternatif adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa I atau α. Sebaliknya, kesalahan menyimpulkan hipotesis nol (tidak menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis nol adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa II atau β. Prosedur refutasi ilmiah juga diterapkan dalam sistem pengadilan dengan dianutnya asas praduga takbersalah (presumption of innocence). Pengadilan harus memutuskan (menyimpulkan) bahwa seorang terdakwa bersalah (guilty) atau takbersalah (innocent atau not guilty). Penyimpulan ini sejalan dengan pengujian hipotesis yang dibahas di atas. Dengan asas praduga takbersalah, terdakwa harus dianggap takbersalah sampai terbukti memang bersalah (until proven guilty) sehingga posisi takbersalah ditempatkan sebagai hipotesis nol dan posisi bersalah sebagai hipotesis alternatif. Tugas jaksalah atau penuntutlah untuk menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa terdakwa bersalah. Dengan kata lain, beban 32
Bahwa ilmuwan menerima teori yang disangkal tidak berarti bahwa teori tersebut benar. Makna menerima di sini harus diinterpretasi bahwa ilmuwan tidak dapat menolak teori tersebut karena tidak dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan untuk menyanggahnya. Jadi, masih ada kemungkinan teori yang disanggahnya tersebut salah. Itulah sebabnya buku-buku statistika menganjurkan menggunakan ungkapan “tidak menolak H0” untuk menyimpulkan H0 bukan “menerima H0.”
88
Bab 2
pembuktian (burden of proof) ada di tangan penuntut. Bila penuntut tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang sangat meyakinkan, maka hakim atau juri harus memutuskan bahwa terdakwa takbersalah dengan risiko kesalahan bahwa terdakwa sebenarnya memang bersalah (benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan). Kesalahan ini dapat dipadankan dengan kesalahan Tipa II. Dapat juga terjadi risiko kesalahan bahwa terdakwa yang memang tidak bersalah dinyatakan salah. Risiko ini merupakan kesalahan Tipa I. Hal yang perlu diingat adalah bahwa, dengan bukti yang sama, mengecilkan risiko yang satu akan berakibat memperbesar risiko yang lain. Masalah bagi pengadilan atau negara adalah manakah risiko yang akan ditekan sekecil-kecilnya. Asas praduga takbersalah pada umumnya diterapkan dengan harapan bahwa risiko kesalahan Tipa I adalah sekecil-kecilnya atau bahkan mendekati nol.33
Aspek Manusia Dalam Penalaran Stratagem dan salah nalar yang dibahas di atas belum mencakup semua stratagem dan kecohan yang mungkin terjadi. Masih banyak cara atau proses yang mengakibatkan kecohan. Uraian di atas juga belum menyinggung aspek manusia dalam penalaran. Namun, pembahasan di atas memberi gambaran bahwa penalaran untuk meyakinkan kebenaran atau validitas suatu pernyataan bukan merupakan proses yang sederhana. Telah disinggung sebelumnya bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang berkaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan umum sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan akademik yang menuntut keobjektifan tinggi. Yang memprihatikan dunia akademik adalah kalau para pakar pun lebih suka berstratagem daripada berargumen secara ilmiah. Berikut ini dibahas beberapa aspek manusia yang dapat menjadi penghalang (impediments) penalaran dan pengembangan ilmu, khususnya dalam dunia akademik atau ilmiah. Penjelasan Sederhana Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Kebutuhan akan penjelasan terhadap apa yang mengusik pikiran merupakan fundasi berkembangnya ilmu pengetahuan. Namun, keingingan yang kuat untuk memperoleh penjelasan sering menjadikan orang puas dengan penjelasan sederhana yang pertama 33 Untuk melindungi hak sipil warga negara, pengadilan di Amerika menetapkan bahwa risiko yang sekecil-kecilnya dinyatakan dalam ungkapan beyond reasonable doubt. Artinya, juri sangat dianjurkan untuk tidak membuat keputusan (verdict) bahwa terdakwa bersalah kalau terdapat keraguan sedikit pun akan bukti-bukti yang diajukan penuntut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya orang yang tidak bersalah masuk penjara. Namun akibatnya, akan sering terjadi bahwa orang yang bersalah dibebaskan (dinyatakan tak bersalah) dan berkeliaran di masyarakat.
Penalaran
89
ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan penjelasan alternatif. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima penjelasan. Akibatnya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan ilmu pengetahuan akan terhambat. Kepentingan Mengalahkan Nalar Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan tertentu (vested interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa orang untuk memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen. Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri individual atau kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang (akademisi atau ilmuwan) berbuat yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi umumnya pada mereka yang sudah mendapat julukan pakar atau ilmuwan yang kebetulan mempunyai kekuasaan politis (baik formal atau informal). Nickerson (1986) menggambarkan hal ini dengan mengatakan bahwa people with good reasoning ability may find themselves behaving in an unreasonable way.34 Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan akademik yang kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan profesi (khususnya akuntansi). Kebebasan akademik harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda pendapat secara akademik dalam suatu forum yang memungkinkan akademisi berargumen secara terbuka. Sikap akademisi yang patut dihargai adalah kebersediaan untuk berargumen. Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi) untuk berani membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau gagasan tersebut valid dan menuju ke perbaikan, bersedia membawa gagasan tersebut ke kelas atau diskusi ilmiah dan bukan malahan mengisolasinya. Keberanian dan kebersediaan seperti itu merupakan suatu ciri sikap ilmiah dan akademik yang sangat terpuji (respected). Ini tidak berarti bahwa ilmuwan/akademisi harus selalu setuju dengan suatu gagasan. Ketidaksetujuan dengan suatu gagasan itu sendiri (setelah berani membaca) merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi dengan argumen yang bernalar dan valid. Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang merupakan sikap tidak ilmiah (akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam dunia akademik tidak hanya pada masa sekarang tetapi juga masa lalu. Sikap pakar dan akademisi yang tidak masuk akal tersebut, yang sering disebut sebagai sikap yang insulting the intelligence, dikemukakan Hirshleifer (1988, hlm. 4) sebagai berikut:35
34 Pakar atau akademisi dapat dianggap mempunyai kemampuan penalaran yang baik karena pengetahuan ilmiah atau akademiknya umumnya harus dipahami dengan proses penalaran yang baik dan objektif.
90
Bab 2
All sciences advance through disagreement. In astronomy the geocentric model of Ptolemy was opposed by the new heliocentric model of Copernicus; in chemistry Priestley supported the phlogiston theory of combustion while Lavoisier propounded the oxidation theory; and in biology the creationisme of earlier naturalists was countered by Darwin’s theory of evolution. It is not universal agreement but rather the willingness to consider evidence that signals the scientific approach. For Galileo’s opponents to disagree with him about Jupiter’s moons was not unscientific of itself; what was unscientific was their refusal to look through his telescope and see.
Sikap kolega senior Galileo untuk tidak bersedia mempertimbangkan bukti yang diajukan Galileo melalui teleskopnya sebenarnya merupakan sikap tidak ilmiah. Apapun motifnya, sikap tersebut menjadi tidak masuk akal mengingat kolega Galileo tersebut adalah para pakar dan ilmuwan (bahkan juga merupakan pemuka masyarakat dan penguasa). Sikap kurang terpuji ini akan menjadikan perbedaan pandangan (disagreement) tidak akan terbuka untuk didiskusi dan kebenaran ilmiah tidak akan dicapai. Keadaan ini dapat membingungkan masyarakat akademik dan menghambat pengembangan pengetahuan. Lingkungan akademik seperti di atas biasanya berkembang akibat sikap akademisi itu sendiri yang membentuk budaya akademik. Budaya akademik yang dapat menghambat kemajuan pengetahuan adalah apa yang penulis sebut sebagai sindroma tes klinis (kalau diinggriskan menjadi clinical test syndrom) dan mentalitas Djoko Tingkir (Djoko Tingkir mentality). Sindroma Tes Klinis Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa terdapat ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi karena pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani untuk memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan tentang penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri ke dokter dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui kebenaran gagasan sehingga menghindarinya secara semu. Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau seseorang mempunyai pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru atau tidak valid lagi karena adanya pandangan atau gagasan baru. Gagasan baru dia peroleh karena dia sering mendengar dari kolega atau mahasiswa. Orang lain memperoleh gagasan baru tersebut dari artikel atau hasil penelitian ilmiah. Dalam kondisi 35 Jack Hirshleifer, Price Theory and Applications (Englewoods Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1988), hlm. 4. Penebalan oleh penulis. Konon pada suatu petang, para lawan (para kolega senior) Galileo datang ke apartemen Galileo untuk mengejek dan mengancam Galileo agar tidak menyebarkan dan mengajarkan teorinya. Pada saat para senior akan meninggalkan apartemen Galileo, mereka bertanya tentang sikap Galileo. Galileo mengatakan bahwa dia tidak dapat mengatakan lain daripada apa yang telah dipikir dan ditulisnya dan kemudian meminta kepada para seniornya untuk membuktikan sendiri apa yang diteorikannya dengan melihat teleskop di apartemennya. Ternyata tidak seorang kolega seniorpun bersedia melakukan hal itu.
Penalaran
91
seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca sumber gagasan karena takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur disebarkan kepada mahasiswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi tersebut memang berani membaca dan benar-benar dapat menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia bersikap seolah-olah tidak pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak peduli) apalagi membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sindroma ini adalah akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa tidak pernah tahu semata-mata untuk menutupi kelemahan suatu gagasan lama yang dianutnya. Bila sindroma semacam ini banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan kemajuan pengetahuan dan profesi akan terhambat dan rugilah dunia pendidikan. Mentalitas Djoko Tingkir Bila kepentingan mengalahkan nalar sebagaimana digambarkan dalam kasus Galileo di atas, maka pengembangan ilmu pengetahuan dapat terhambat dan pada gilirannya praktik kehidupan yang lebih baik juga ikut terhambat. Sayangnya, ilmuwan atau akademisi yang merasa ada di bawah kekuasaan kolega senior sering memihak seniornya dan mengajarkan apa yang sebenarnya salah dengan menyembunyikan apa yang sebenarnya valid semata-mata untuk menghormati kolega senior (atau kelompoknya) atau untuk melindungi diri dari tekanan senior. Akibatnya, timbul situasi yang di dalamnya argumen yang lemah harus dimenangkan dan dilestarikan semata-mata karena kekuasaan. Ini berarti kekuasaan lebih unggul dari penalaran. Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan akademik atau profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario yang sebenarnya terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia bakal menjadi raja (kekuasaan). Dalam dunia akademik, status pakar merupakan kekuasaan atau autoritas akademik. Kepakaran merupakan kekuasaan karena orang dapat memperoleh kekuasaan dan kedudukan (baik politik, struktural, atau institusional) lantaran pengetahuan atau ilmunya. Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan tersebut lalu menentukan ilmu. Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas argumen dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan. Merasionalkan Daripada Menalar Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur mengambil posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk membenarkan posisinya. Dalam hal ini, tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran atau validitas tetapi untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi merasionalkan (to rationalize). Sikap merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan pengetahuan orang bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang tersebut tidak mau
92
Bab 2
mengakuinya. Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya pengetahuan (topical knowledge) dapat menjebak orang untuk lari ke stratagem daripada argumen yang layak. Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut, perselisihan pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang terlibat dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk mendukung posisi tetapi mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk menyalahkan pihak lain dan memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi tetapi mencari kemenangan (kadang-kadang menangnya sendiri). Memenangi debat (selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah dua hal yang sangat berbeda. Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosional lebih banyak berperan daripada faktor rasional atau penalaran. Pakarpun kadang-kadang lebih suka berdebat daripada berargumen. Hal ini dikemukakan Nickerson (1986, hlm. 97) sebagai berikut:36 Disputes often arise when each of the two people builds a case favoring the opposite conclusion and tries to convince the other person that he or she is wrong. Disputes can be very frustrating. Even highly intelligent people sometimes act childishly when engaged in them. ... “winning” a dispute and persuading someone to believe something are not necessarily the same things. Indeed, winning a dispute may be the least likely way of winning an opponent over your point of view. Disputes are rarely resolved by reason, because the disputing parties typically are not seeking resolution; rather each is seeking to win.
Persistensi Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama melekat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu keyakinan dan menggantinya dengan yang baru. Dengan kata lain, orang sering berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang kuat bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya melepaskan keyakinan tersebut. Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang lain. Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan pada masa lalu (past scientific achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah pada masa tertentu sebagai basis atau tradisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan praktik selanjutnya. Capaian (achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences) dapat berupa filosofi, postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan ilmiah. Untuk menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai penganut yang cukup teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian atau kegiatan ilmiah lain yang juga mempunyai sekelompok penganut. Paradigma 36
Penebalan oleh penulis.
Penalaran
93
harus terbuka untuk diperbaiki atau diganti oleh capaian pesaing atau baru sehingga dimungkinkan terjadi pergeseran atau pergantian paradigma dari masa ke masa (conversion of paradigm). Konversi dapat terjadi pada diri ilmuwan secara individual pada masa hidupnya atau pada generasi ilmuwan ke generasi ilmuwan berikutnya. Riwayat terjadinya konversi paradigma antargenerasi disebut oleh Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific revolution).37 Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan dapat dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah. Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manusia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak (impartial). Karena kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi. Thomas Kuhn (1970) menunjukkan contoh sebagai berikut: Priestley never accepted the oxygen theory, nor Lord Kelvin the electromagnetic theory, and so on. The difficulties of conversion have often been noted by scientists themselves. Darwin, in a particulary perceptive passage at the end of his Origin of Species, wrote: “Although I am fully convinced of the truth of the views given in this volume..., I by no means expect to convince experienced naturalists whose mind are stocked with a multitude of facts all viewed, during a long course of years, from a point of view directly opposite to mine. ... [B]ut I look with confidence to the future, —to young and rising naturalists, who will be able to view both sides of the question with impartiality.” And Max Planck, ..., sadly remarked that “a new scientific truth does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but rather because its opponents eventually die, and a new generation grows up that is familiar with it” (hlm. 151).
Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang benar (a new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru bukan lantaran pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran melainkan lantaran generasi baru telah menggantinya. Mengapa hal ini terjadi? Kuhn menjelaskan hal ini dengan menyatakan (penebalan oleh penulis): ... scientists, being only human, cannot always admit their errors, even when confronted with strict proof. I would argue, rather, that in these matters neither proof nor error is at issue. The transfer of allegience from paradigm to paradigm is a conversion experience that cannot be forced (hlm. 151).
Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui kesalahannya meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof). Lagi pula, 37 Lihat pembahasan selanjutnya dalam Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Thomas Kuhn menyebut tradisi kegiatan ilmuwan yang mendasarkan diri pada capaian-capaian ilmiah pada masanya disebut ilmu normal (normal sciences). Ilmu ini biasanya terefleksi dalam buku-buku teks pada masa dianutnya paradigma.
94
Bab 2
konversi paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan sehingga resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate). Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku manusia untuk terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan orang tidak mampu melihat makna alternatif atau objek alternatif. Orang secara intuitif melekatkan makna pada suatu objek melalui pengalamannya dan sering tidak menyadari bahwa makna tersebut bersifat kontekstual di masa lalu dan tidak lagi relevan dengan situasi yang baru. Perilaku semacam ini dikenal dengan istilah keterpakuan atau fiksasi fungsional (functional fixation). Dalam akuntansi, keterpakuan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa investor tidak mampu untuk mengubah keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akuntansi dalam menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba (bottom line) dalam statemen laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentukan atau terpengaruh oleh perubahan metoda (proses) akuntansi. Keterpakuan fungsional juga merupakan penghambat terjadinya argumen yang sehat.38 Orang yang sudah terpaku dengan istilah “harga pokok penjualan” akan sangat sulit untuk dapat menerima istilah “kos barang terjual” yang sebenarnya lebih tepat menggambarkan makna istilah aslinya yaitu cost of goods sold. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan dalam argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan unsur penting dalam argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan emosional, kekuasaan, dan kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat menghalangi terjadinya argumen yang sehat.
Rangkuman Praktik yang sehat harus dilandasi oleh teori yang sehat pula. Teori yang sehat harus dilandasi oleh penalaran yang sehat karena teori akuntansi menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Penalaran merupakan proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi. Unsur-unsur penalaran adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi antara ketiganya merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu pernyataan teori. Asersi merupakan pernyataan bahwa sesuatu adalah benar atau penegasan tentang suatu realitas. Keyakinan merupakan kebersediaan untuk menerima kebenaran suatu pernyataan. Argumen adalah proses penurunan simpulan atau konklusi atas dasar beberapa asersi yang berkaitan secara logis. Asersi dapat dinyatakan secara verbal atau struktural. Asumsi, hipotesis, dan pernyataan fakta merupakan jenis tingkatan asersi. Jenis tingkatan konklusi tidak dapat melebihi jenis tingkatan asersi yang terendah. Keyakinan merupakan hal yang dituju oleh penalaran. Keyakinan mengandung beberapa sifat penting yaitu: keadabenaran, bukan pendapat, bertingkat, mengandung bias, memuat nilai, berkekuatan, veridikal, dan tertempa.
38
Lihat pembahasan lebih mendalam dalam Belkaoui, op. cit., hlm.117-118.
Penalaran
95
Argumen bertujuan untuk mengubah keyakinan kalau memang keyakinan tersebut lentuk untuk berubah. Argumen terdiri atas beberapa asersi yang berfungsi sebagai premis dan konklusi. Argumen dapat bersifat deduktif dan nondeduktif (induktif dan analogi). Argumen deduktif berawal dari pernyataan umum dan berakhir dengan suatu pernyataan khusus berupa konklusi. Penalaran ini terdiri atas tiga tahap yaitu: penentuan premis, proses deduksi, dan penarikan konklusi. Kelengkapan, kejelasan, kesahihan, dan keterpercayaan merupakan kriteria validitas konklusi yang diturunkan atas dasar penalaran deduktif. Argumen induktif berawal dari suatu keadaan khusus dan berakhir dengan pernyataan umum berupa konklusi sebagai hasil generalisasi. Berbeda dengan penalaran deduktif yang kebenaran konklusinya merupakan konsekuensi logis (pasti benar atau takbenar), penalaran induktif menghasilkan konklusi yang boleh jadi benar atau takbenar. Bila premis benar, konklusi penalaran deduktif harus (necessarily) benar sedangkan konklusi penalaran induktif tidak harus (not necessarily) benar atau boleh jadi benar. Di samping argumen deduktif dan induktif, dikenal pula argumen dengan analogi dan argumen penyebaban. Kemiripan merupakan basis untuk menurunkan simpulan dengan analogi. Analogi bukan merupakan pembuktian tetapi lebih merupakan alat untuk menjelaskan atau klarifikasi. Argumen penyebaban bertujuan untuk meyakinkan bahwa suatu gejala timbul karena gejala yang lain atau perubahan suatu variabel diakibatkan oleh perubahaan variabel tertentu. Keyakinan tentang adanya penyebaban dapat dicapai kalau tiga kriteria penyebaban dipenuhi yaitu: adanya kovariasi, adanya urutan kejadian, dan tiadanya faktor lain selain faktor sebab yang diamati. Karena tujuan argumen adalah untuk mengevaluasi dan mengubah keyakinan, ada kalanya argumen yang jelek dapat meyakinkan banyak orang. Orang sering terkecoh oleh atau mengecoh dengan argumen. Kecohan atau salah nalar adalah argumen yang dapat membujuk meskipun penalarannya mengandung cacat. Kecohan dapat terjadi akibat stratagem atau akibat salah logika. Stratagem adalah cara-cara untuk meyakinkan orang akan suatu pernyataan, konklusi, atau posisi selain dengan mengajukan argumen yang valid. Cara-cara ini dapat berupa persuasi taklangsung, membidik orangnya, menyampingkan masalah pokok, misrepresentasi, imbuan cacah, imbauan autoritas, imbauan tradisi, dilema semu, dan imbuan emosi. Pada umumnya stratagem digunakan dengan niat semata-mata untuk memenangkan posisi dan bukan untuk mencari solusi yang terbaik. Argumen yang valid tidak selalu dapat membujuk sehingga stratagem sering digunakan tanpa melibatkan salah nalar. Salah nalar adalah kesalahan konklusi akibat tidak diterapkannya kaidahkaidah penalaran yang valid. Beberapa bentuk salah nalar adalah menegaskan konsekuen, menyangkal anteseden, pentaksaan, perampatan-lebih, parsialitas, pembuktian analogis, perancuan urutan kejadian dengan penyebaban, dan pengambilan konklusi pasangan. Aspek manusia sangat berperan dalam argumen khususnya apabila suatu kepentingan pribadi atau kelompok terlibat dalam suatu perdebatan. Orang cen-
96
Bab 2
derung bersedia menerima penjelasan sederhana atau penjelasan yang pertama kali didengar. Sebagai manusia, orang tidak selalu dapat mengakui kesalahan. Sindroma tes klinis dan mentalitas Djoko Tingkir dapat menghalangi terjadinya argumen yang sehat. Bila keputusan telanjur diambil padahal keputusan tersebut mengandung kesalahan, orang cenderung melakukan rasionalisasi bukan lagi argumen untuk mendukung keputusan. Karena tradisi atau kepentingan, orang sering bersikap persisten terhadap keyakinan yang terbukti salah. Sampai tingkat tertentu persistensi mempunyai justifikasi yang dapat dipertanggungjelaskan. Namun, bila sikap persisten menghalangi atau menutup diri untuk mempertimbangkan argumen-argumen baru yang kuat dan lebih mengarah untuk meninggalkan keyakinan atau paradigma yang tidak valid lagi, sikap persisten menjadi tidak layak lagi. Lebih-lebih, bila sikap tersebut dilandasi oleh motif untuk melindungi kepentingan tertentu (vested interest). Persistensi semacam ini akan menjadi resistensi terhadap perubahan yang pada gilirannya akan menghambat pengembangan pengetahuan.
Diskusi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jelaskan pengertian penalaran serta sebutkan unsur-unsur penalaran. Berilah beberapa contoh asersi. Jelaskan pengertian argumen dan apa bedanya dengan perselisihan pendapat (dispute). Apa yang dimaksud bahwa penalaran merupakan suatu bentuk bukti? Berilah suatu contoh situasi yang menunjukkan bahwa penalaran merupakan suatu bukti. Apakah suatu pernyataan atau asersi selalu benar apabila didukung oleh argumen yang kuat? Berilah suatu contoh. Dapatkah seseorang memegang keyakinan yang kuat terhadap suatu asersi yang salah atau sebaliknya menyangkal suatu asersi yang benar? Berilah contoh. Interpretasilah berbagai makna asersi yang berbunyi “Manajer perusahaan swasta lebih profesional daripada manajer perusahaan negara (BUMN).” Berilah beberapa contoh cara menyatakan asersi dalam strukturnya bukan maknanya. Bedakan antara asersi universal dan asersi spesifik serta berilah beberapa contoh untuk masing-masing sifat asersi. Berilah contoh-contoh asersi yang menunjukkan hubungan inklusi, eksklusi, dan saling-isi dan gambarkan dengan diagram asersi-asersi tersebut. Gambarkan dengan diagram asersi “Beberapa burung adalah karnivor.” Bedakan makna nir dan non sebagai proleksem serta berilah beberapa contoh penggunaan kedua proleksem tersebut secara benar dalam istilah akuntansi. Dapatkah rumah sakit dikatakan sebagai organisasi nirlaba? Jelaskan apakah makna asersi-asersi berikut sama atau berbeda antara satu dan lainnya. Bila perlu gambarkan secara diagramatik asersi tersebut. (1) Semua mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha. (2) Semua anggota Koperasi Serba Usaha adalah mahasiswa. (3) Tidak satu pun mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha. (4) Tidak satu pun anggota Koperasi Serba Usaha adalah mahasiswa. (5) Beberapa mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha. (6) Tidak semua mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha.
97
Penalaran
15. Berilah suatu contoh situasi untuk menunjukkkan bahwa pernyataan “Beberapa A adalah B” berbeda dengan “Tidak semua A adalah B.” 16. Sebut dan jelaskan jenis tingkatan asersi dan berilah contoh untuk masing-masing. 17. Jelaskan pengertian keyakinan (belief) terhadap suatu asersi. 18. Sebut dan jelaskan sifat-sifat keyakinan. Mengapa mengubah suatu keyakinan melalui argumen merupakan suatu proses yang tidak mudah dan kompleks? 19. Apakah perbedaan karakteristik antara keyakinan dan opini? 20. Jelaskan apakah pernyataan berikut merupakan keyakinan atau pendapat: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
Sepakbola lebih mengasyikkan daripada badminton. Sungai Nil adalah sungai terpanjang di dunia. Pisang lebih banyak mengandung potasium daripada pepaya. Merokok dapat menyebabkan kanker. Susu lebih banyak mengandung nutrisi daripada kopi. Teori akuntansi adalah pelajaran yang sangat sulit dan membosankan. Es krim rasa coklat lebih enak daripada rasa vanila. Informasi aliran kas bermanfaat bagi investor. Kolesterol adalah penyebab utama gangguan jantung. Istilah estat real lebih tepat daripada real estat. Menjadi auditor lebih memberi tantangan daripada menjadi pengacara. Ada makluk hidup di Planet Mars.
21. Sebutkan komponen-komponen pembentuk argumen dan berilah beberapa contoh argumen dalam akuntansi. 22. Apakah yang dimaksud dengan prinsip interpretasi terdukung (principle of charitable interpretation) dalam suatu argumen dan berilah beberapa contoh. 23. Jelaskan secara umum pengertian argumen deduktif dan induktif serta berilah contoh untuk tiap jenis argumen tersebut. 24. Apakah syarat-syarat (kriteria) validitas suatu argumen deduktif? 25. Apakah perbedaan antara kebenaran/validitas logis dan kebenaran/validitas empiris? Berilah suatu contoh untuk menjelaskan perbedaan atara kedua konsep tersebut. 26. Dalam argumen deduktif, apakah premis yang benar dapat menghasilkan konklusi yang salah? 27. Jelaskan pengertian argumen logis (logical argument) dan argumen ada benarnya (plausible argument) sebagai pembeda argumen deduktif dan induktif. 28. Berilah beberapa contoh pernyataan dalam akuntansi yang dapat dikatakan sebagai hasil penalaran induktif. 29. Gambarkan secara diagramatik suatu proses penalaran induktif dalam akuntansi. 30. Berilah suatu contoh argumen dengan analogi dalam akuntansi. 31. Apakah kelemahan argumen dengan analogi (argument by analogy)? 32. Jelaskan kaidah Mill untuk mengidentifikasi adanya kausalitas antara dua faktor. 33. Sebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk meyakinkan bahwa faktor X benarbenar merupakan penyebab faktor Y. Mengapa syarat-syarat tersebut harus dipenuhi? 34. Jelaskan pengertian kecohan (fallacy) dalam berargumen. Mengapa argumen yang tidak valid (cacat) kadang-kadang dapat meyakinkan dan dianut orang banyak? 35. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara stratagem (stratagem) dan salah nalar (reasoning fallacy). 36. Sebut dan jelaskan serta berilah contoh berbagai jenis stratagem (sedapat-dapatnya dalam bidang akuntansi).
98
Bab 2
37. Sebut dan jelaskan serta berilah contoh berbagai jenis salah nalar (sedapat-dapatnya dalam bidang akuntansi). 38. Evaluasilah penyimpulan deduktif berikut ini: Premis major: Premis minor: Konklusi:
Semua burung mempunyai bulu. Kucing mempunyai bulu. Kucing adalah burung.
39. Aspek-aspek apa saja yang harus anda perhatikan agar anda tidak terjebak dalam stratagem? 40. Bagaimana pendapat anda tentang prisip penilaian plausibilitas asersi yang berbunyi: “Serahkan saja pada ahlinya.” Apa kelemahan prinsip ini? 41. Seseorang yang cukup terpandang di bidang profesi dan penyusunan standar akuntansi membuat pernyataan dalam suatu seminar nasional di bawah ini. Evaluasilah apakah pernyataan tersebut merupakan stratagem atau salah nalar? “Kita tidak perlu macam-macam tentang istilah beban. Istilah beban untuk expense adalah benar karena nyatanya semua kantor akuntan publik menggunakan istilah tersebut.”
42. Evaluasilah kecohan (fallacy) yang terkandung dalam pernyataan-pernyatan berikut: “Karena saya berada di Amerika, daging ayam yang disembelih tanpa mengikuti rukun agama adalah halal.” “Dia pasti kaya karena dia seorang pejabat.” “Dia pasti rajin belajar Akuntansi Pengantar karena dia mendapat nilai A untuk mata kuliah tersebut.” “Dalam pembentukan istilah tidak perlu kita memperhatikan kaidah bahasa karena dalam komunikasi yang penting adalah orang tahu maksudnya.” “Sekarang ini adalah jaman globalisasi. Oleh karena itu, kita harus mampu berbahasa Inggris. Tanpa kemampuan berbahasa Inggris kita tidak akan mampu mengglobal.” “Walaupun dia telah terbukti sebagai koruptor, dia tetap dapat menjadi presiden karena tidak ada seorangpun yang sempurna.”
43. Jelaskan pengertian beberapa konsep berikut ini dan bila perlu berilah contoh situasi nyata untuk lebih menjelaskan konsep tersebut. put-downs red herring deceptive use of truth sleight of hand dilution by generalization appeal to inappropriate authority inappropriate dechotomizing
appeal to pity appeal to force modus tollens modus ponens affirming the consequent denying the antecedent principle of falsifiability false dilemma
leading question building the case stereotyping error of inference pedistrian arguments functional fixation clinical test syndrom
44. Sebut dan jelaskan berbagai aspek manusia yang dapat menjadi penghalang terjadinya argumen yang sehat.!
99
Penalaran
Bahan ini diambil dari buku:
Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan Suwardjono Fakultas Ekonomika dan Busines Universitas Gadjah Mada
Penerbit:
BPFE Yogyakarta 2005
Walaupun buku Teori Akuntansi ditujukan untuk bidang akuntansi, Bab 2 membahas topik yang cukup umum dan relevan untuk bidang ilmu yang lain. Bahan ini khusus disediakan oleh penulis untuk bahan diskusi terbatas dalam mata kuliah Filsafat Ilmu program pascasarjana. Bahan ini digunakan pula sebagai pengganti bahan Logika Formal (Formal Logics) yang mendasari mata kuliah, kursus, atau pelatihan Negosiasi atau Pelobian. Penggandaan/penggunaan untuk keperluan di luar pendidikan harus mendapat persetujuan dari penulis/penerbit.
100
Bab 2
Daftar Isi Pengertian 41 Unsur dan Struktur Penalaran 42 Asersi 44 Interpretasi Asersi 48 Asersi untuk Evaluasi Istilah 49 Jenis Asersi (Pernyataan) 51 Fungsi Asersi 52 Keyakinan 52 Properitas Keyakinan 52 Keadabenaran 53 Bukan Pendapat 53 Bertingkat 53 Berbias 54 Bermuatan nilai 54 Berkekuatan 54 Veridikal 54 Berketertempaan 55 Argumen 55 Anatomi Argumen 56 Jenis Argumen 58 Argumen Deduktif 59 Evaluasi Penalaran Deduktif 60 Argumen Induktif 64 Argumen dengan Analogi 65 Argumen Sebab-akibat 66 Kriteria Penyebaban 67 Penalaran Induktif dalam Akuntansi 69
Kecohan (Fallacy) 71 Strategem 72 Persuasi Taklangsung 73 Membidik Orangnya 73 Menyampingkan Masalah 74 Misrepresentasi 75 Imbauan Cacah 75 Imbauan Autoritas 76 Imbauan Tradisi 77 Dilema Semu 78 Imbauan Emosi 79 Salah Nalar (Reasoning Fallacy) 80 Menegaskan Konsekuen 81 Menyangkal Anteseden 82 Pentaksaan (Equivocation) 82 Perampatan-lebih (Overgeneralization) 83 Parsialitas (Partiality) 84 Pembuktian dengan Analogi 84 Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban 85 Menarik Simpulan Pasangan 86 Aspek Manusia dalam Penalaran 88 Penjelasan Sederhana 88 Kepentingan Mengalahkan Nalar 89 Sindroma Tes Klinis 90 Mentalitas Djoko Tingkir 91 Merasionalkan Daripada Menalar 91 Persistensi 92 Rangkuman 94 Diskusi 96
Kontak:
[email protected]
101
Penalaran
Penalaran dan
Sikap Ilmiah Suwardjono Fakultas Ekonomika dan Busines Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta