Aspergilus meginfeksi paru, menyebabkan 4 sindroma penyakit: 1. ABPA ( allergic bronchopulmonary aspergillosis) 2. CNPA ( chronic necrotizing pneumonia aspergillosis) 3. Aspergilloma 4. Aspergillosis invasive ABPA reaksi hipersensitif terhadap kolonisasi aspergilosis di daerah pohon trakeobronkial dan terjadi berkaitan dengan fibrosis kistik. Aspergiloma fungus ball ( misetoma) terjadi karena adanya adanya kavitas diparenkim akibat penyakit paru sebelumnya . fungus ball dapat bergerak di dalam kavitas dan menyebabkan HEMOPTISIS berulang. Aspergillus sp. Yg paling sering menimbulkan penyakit pada manusia adalah : 1. Aspergillus fumigates 2. Aspergillus niger Patofisiologi aspergilosis:
System imun alamiah akan berusaha menyingkirkan spora melalui lapisan mukosa dan gerakan silia pada saluran napas.
Jika spora sudah masuk ke sal.napas maka akan difagositosis oleh makrofag dan netrofil ( kortikosteroid akan melemahkan proses fagositosis)
Manajemen aspergilosis
Prinsip pengobatan adalah menghilangkan jamur & sporanya
Aspergilosis invasive (peny. Sistemik) terapi antijamur saat ini adalah vorikonazole, dahulu amfoterisin B. vorikonazole lebih aman.
Aspergiloma yg tepat adalah simtomatik, yaitu mengurangi hemoptisis. Terapi kausal adalah pembedahan ( lobektomi). Terapi dengan Itraconazole oral ( kesembuhan hingga 60%) dapat juga dilakukan EMBOLISASI ARTERI BRONKIALIS untuk mencegah hemoptisis masif. masif.
ABPA diterapi dengan mengurangi respon alergi, dengan menggunakan kortikosteroid dan bila kronik diberikan intrakonazole.
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Mei 2007 , Halaman: 50 (7932 hits)
Pneumonia Etiologi pneumonia kominiti paling sering adalah: 1. Streptococcus pneumonia (50% kasus) 2. Haemophilus influenzae (20% kasus)
3. Chlamydophila pneumonie ( 13% kasus) 4. Mycoplasma pneumonia (3% kasus) 5. Staphylococcus Staphylococcus aureus, morexella catarrhalis, legionella dan gram-negative bacilli Faktor risiko infeksi: 1. Peminum alcohol berhubungan dengan streptococcus pneumonia, anaerobic organisms, dan mikobakterium tuberculosis. 2. Perokok berhubungan dengan streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, moraxella catarrhalis dan Legionella pneumophila, Coxiella burnetti, aspirasi isi lambung, terpapar burung Chlamydia psittaci, dan kistik fibrosis dgn Pseudomonas aeroginosa dan staphylococcus aureus. PATOFISIOLOGI Pneumonia dimulai oleh adanya infeksi pada saluran napas bagian atas kemudian masuk ke saluran napas bagian bawah. BAKTERI Bakteri pd umumnya masuk melalui inhalasi tapi dapat juga masuk melalui pembuluh darah dari infeksi yg berada ditempat lain. Banyak bakteri terdapat pada saluran napas bagian atas, seperti di hidung, mulut dan sinus dapat dengan mudah terinhalasi masuk ke dalam alveoli. Invasi bakteri ke sal. Napas bagian bawah memicu system imun dengan mingirim netrofil. Netrofil memakan dan membunuh bakteri dan mengeluarkan sitokin yang mengaktivasi system imun. Netrofil, bakteri,dan cairan cairan yang berasal dari p.darah mengisi alveoli alveoli dan menganggu transportasi oksigen normal.
Penanganan Penanganan pneumonia komuniti (current Opinion In Infectious Diseases 2007, 20: 170-176. Lippincott Williams & Wil kins. Department of Respiratory Medicine, University of Manchester, Manchester Royal Infirmary, Manshester,UK Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur, jamur, parasit) tetapi tidak termasuk apabila disebabkan disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. (Pneumonia Komuniti PDPI 20 03). Diagnosis pneumonia komuniti biasanya didefenisikan apabila ditemukan gejala atau tanda yang sesuai dengan infeksi pada saluran napas dengan adanya konsolidasi baru pada foto toraks. Foto toraks adalah baku emas pneumonia. Pneumonia 5-10% dari penderita dengan
gejala infeksi saluran pernapasan bagian bawah. ATS merekomendasikan foto toraks jika dari gejala dicurigai suatu suatu pneumonia. pneumonia. Sedangkan Sedangkan ERS (European Respiratory Respiratory Society) seseorang dicurigai menderita pneumonia jika ditemukan batuk yang akut dengan tanda infiltrate, sesak napas, tachypnoea atau demam lebih dari 4 hari (current Opinion In Infectious Diseases 2007, 20: 170-176. Lippincott Williams & Wilkins Pemeriksaan mikrobiologi 5-38% kasus pneumonia komuniti disebabkan oleh infeksi campuran. Semua perkumpulan merekomendasikan tindakan kultur darah pada penderita pneumonia komuniti yang dirawat di RS terutama sebelum pemberian aantibiotika, kecuali The Japanese Respiratory Society (JRS), hanya merekomendasikan kultur darah pada kasus pneumonia berat. Pemeriksaan serologi rutin dan pemeriksaan antigen urin terhadap Legionella pneumophila kelompok I dan streptococcus pneumonia menurut BTS, ATS, IDS dan ERS hanya merekomendasikan pada pneumonia yang berat (current Opinion In Infectious Diseases 2007, 20: 170-176. Lippincott Williams & Wilkins) Tersedia dua alat untuk menilai derajat keparahan pneumonia. 1. The Pneumonia Severity Index mengelompokkan mortality penderita pneumonia berdasarkan pada komorbid, kelainan vital sign dan laboratorium
Pneumonia Severity Index
KARAKTERISTIK PENDERITA USIA Laki-laki Perempuan PERAWATAN DI RUMAH PENYAKIT PENYERTA Keganasan Penyakit hati Gagal jantung kongestif Penyakit serebrovask serebrovaskular ular Penyakit ginjal PEMERIKSAAN FISIS Perubahan status mental Pernapasan ≥ 30 kali/menit Tekanan darah sistolik < 90 mmHg 0 0 Suhu tubuh < 35 C atau ≥ 40 C
JUMLAH POIN
Umur (tahun)-0 Umur (tahun)-10 +10
+30 +20 +10 +10 +10
+20 +20 +20 +15
Nadi ≥ 125 kali/menit HASIL LABORATORIUM BUN > 30mg/dl Natrium <130 mEq/liter Glukosa >250 mg/dl Hematokrit < 30 % KELAINAN RADIOLOGI Efusi pleura PARAMETER OKSIGENASI pH arteri <7.35 PaO2 < 60 mmHg SaO2 < 90 %
+10 +20 +20 +10 +10 +10 +30 +10 +10
Derajat skor menurut PORT (Patient Outcome Research Team) ( PDPI 2003) Risiko Rendah
Sedang Berat
Kelas Risiko I II III IV V
Total skor Tidak diprediksi ≤ 70 71-90 91-130 >130
Perawatan Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap/jalan Rawat inap Rawat inap
ATS memodifikasi criteria yang digunakan untuk mendefinisikan pneumonia komuniti berat yang memerlukan perawatan perawatan di ICU jika ditemukan salah satu dari criteria mayor ( membutuhkan ventilasi mekanik atau septic shock) atau 2 dari 3 kriteria minor (tekanan darah sistolik <90 mmHg, rasio PaO2/FiO2 <250 , foto toraks paru menunjukkan kelainan kelainan bilateral. 2. The CURB-65 direkomendasikan oleh BTS Adalah lebih sederhana dan lebih mudah dihitung hanya menggunakan 5 variabel.
Setelah diagnosis pneumonia ditegakkan pemberian antibiotika secepatnya menunjukkan penurunan mortalitas.
Pneumonia komuniti yang tidak berat ATS, IDSA dan Canadian Thoracic Society jarang menggunakan advanced macrolides atau quinolon respiratorius. respiratorius. ERS dan BTS menggunakan terapi terapi line pertama adalah βlaktam , jika diperlukan dapat ditambahkan macrolides. JRS hanya merekomendasikan penggunaan quinolon respiratorius pada kelompok ( usia tua, terdapat faktor pemberat, riwayat penggunaan antibiotika baru-baru ini, pada pneumonia yang berat) TERAPI ANTIBIOTIKA PADA PNEUMONIA KOMUNITI YANG TIDAK BERAT Berobat jalan tidak ada penyakit kardiovaskuler kardiovaskuler dan modifying factor (kelompok I) 1. ATS (makrolid baru atau doksisiklin) 2. IDSA Makrolid atau doksisiklin Fluorokuinolon respiratorius Makrolide baru + amoxisilin amoxisilin Makrolid baru + augmentin 3. Canadian Thoracic Society Makrolide atau doksisiklin 4. Europian Respiratorius Society Amoxisilin atau tetracycline 5. BTS Amoxisilin atau eritromisin/claritromisin Berobat jalan terdapat penyakit penyakit kardiovaskuler ± modifying factor (kelompok II) 1. ATS
Β- laktam + makrolid atau Doksisiklin atau fluorokuinolon respiratorius saja 2. IDSA Makrolide baru atau fluorokuinolon respiratorius b Fluorokuinolon respiratorius Makrolid baru + β-laktam 3. CTS Makrolid baru atau fluorokuinolon fluorokuinolon respiratorius atau Amoxisilin/clavulanate Amoxisilin/clavulanat e + makrolid 4. ERS Amoxisiklin atau tetrasiklin 5. BTS Amoxisiklin atau eritromisin/ klaritromisin
Rajawat inap inap : terdapat penyakit kardiovaskuler kardiovaskuler ± modifying factor factor (kelompok III3a) 1. ATS Intravena β-laktam + intravena/per oral makrolid atau doksisiklin atau Fluoroquinolor respiratorius saja. 2. IDSA Fluorokuinolon respiratorius Advanced makrolid + β-laktam Advanced makrolid + fluorokuinolon respiratorius
b
3. CTS Fluorokuinolon respiratorius atau Generasi kedua,tiga atau empat sefalosporin + macrolide 4. Penisilin G atau aminopenisilin atau coamoxiclaf coamoxiclaf atau ke dua atau ketiga sefalosporin ± macrolide atau fluorokuinolon respiratorius 5. BTS Amoxisiklin + makrolid makrolid atau fluorokuinolon fluorokuinolon respiratorius Rawat inap tidak ada penyakit kardiovaskular kardiovaskular ± modifying factor ( kelompok IIIb) 1. ATS Intravena azitromisin saja ( doksisiklin + β-laktam) atau Fluoroquinolon respiratorius saja 2. IDSA Sama dengan diatas 3. CTS Sama dengan diatas 4. ERS Sama dengan diatas 5. BTS Sama dengan diatas Catatan: Makrolid generasi baru : azitromisin. Atau klaritromisin
Β-Laktam: oral cefpodoxime, cefuroxime, amoksisilin dosis tinggi, amoksisilin/ klavulanat atau intravena ceftriaxon kemudian oral cefpofoxime Fluorokuinolon respiratorius : levofloxasin dan moksifloxasin
b
Recent antibiotic therapy
Antibiotika β-laktum adalah golongan antibiotika yang memiliki kesamaan komponen struktur berupa adanya cincin beta-laktamase dan umumnya digunakan untuk mengatasi bakteri>
Β-Laktam terjadi menjadi 4 gololongan utama yaitu: 1. Penisilin Penisilin dini ( penisilin G dan penisilin V) Penisilin spectrum luas ( ampisilin, amoksisilin, mesilinam, bacampisilin) Penisilin anti- Streptokokus ( Methicilin dan cloxacilin) Penisilin antipseudomonas ( carbanicilin, tikarsilin, azlocillin, piperacillin) 2. Sefalosporin Generasi I ( cephalothin, cephaloridine) Generasi II (cefuroxime, cefaclor, cefadroxil, cefoxitin dll) Generasi III ( ceftazidime, cefotetan, latamoxel dll) 3. Carbopenem ( imipenem) 4. Monobactam (aztreonam) Prinsip penggunaan antibiotika: 1. Bakteriosidal membunuh bakteri dengan menghambat sintesa dinding sel dan menghambat metabolism, Penisilin, fluorokuinolon, sefalosporin, vankomisin, rifampisin, aminoglikosida, doptamicin, metronidazole 2. Bakteriostatik Antibiotika yang menghambat pertumbuhan bakteri, tidak menganggu sintesa dinding sel bergantung kepada kepada daya tahan tubuh tubuh untuk menghilangkan bakteri bakteri ( makrolid, tetrasiklin, obat sulfa, kloramfenikol, linezolid, klindamisin) TERAPI ANTIBIOTIKA PADA PNEUMONIA YANG BERAT ICU: risikopseudomonas 1. ATS Antipseudomosas β-laktam + antipseudomona antipseudomonass kuinolon atau antipseudomonas β-laktam + aminoglikosida + salah satu makrolid atau nonpseudomonall fluorokuinolon nonpseudomona 2. IDSA
Obat antipseudomonal + ciprofloxacin atau obat antipseudomonal + aminoglikosida + salah satu fluorokuinolan respiratorius atau makrolid 3. CTA Fluorokuinolon antipseudomonas + antipseudomona antipseudomonass β-laktam atau aminoglikosida atau antipseudomaon antipseudomaonal al β-laktam + aminoglikosida + makrolid 4. ERS Antipseudomonass cephalosporin + ciprofloxasin Antipseudomona Carbopenem atau acylureidopenpenicillin/ β-laktamase inhibitor + ciprofloxacin 5. BTS Coamoxiclav atau sefalosporin sefalosporin generasi ke dua dan ketiga + makrolit makrolit ± rifampisin atau fluorokuinolon + benzylpenicillin ICU: tidak ada risiko pseudomonas 1. ATS 2.
3.
4.
5.
β-laktam + salah satu makrolid atau fluorokuinolon IDSA β-laktam + salah satu makrolid baru atau fluorokuinolon respiratorius fluorokuinolon respirotorius ± clindamisin ( alergi penisilin) CTA Fluorokuinolon respiratorius + sefalosporin generasi ketiga atau amoxisilin/klavulanat atau makrolid +sefalosporin generasi ketiga atau amoxisilin/ klavulanat ERS Sefalosporin generasi ketiga + makrolid atau Sefalosporin generasi ketiga + fluorokuinolon generasi ketiga Sama dengan diatas
Perawatan di rumah 1. ATS Sama dengan kelompok 3a 2. IDSA Fluorokuinolon respiratorius Makrolid terbaru + amoxisilin/clavulanat 3. CTS Pasien berobat jalan kelompok 2 Pasien rawat inap kelompok 3 4. ERS Fluorokuinolon respiratorius atau amoxisilin/klavulanat + makrolid atau Sefalosporin generasi kedua + makrolid (o/p)
5. Sama dengan yang diatas. Catatan: antipseudomonal: cefepime, imipenem, meropenem, piperacillin/tazobaktam. Sefalosporin generasi kedua: cefuroxime Sefalosporin generasi ketiga: sefotaxim, ceftriaxon Fluorokuinolon respiratorius: levofloxacin, moxifloxacin ( moxifloxacin tidak direkomendasikan di UK untuk pneumonia komuniti yang berat dimasyarakat) (current Opinion In Infectious Diseases 2007, 20: 170-176. Lippincott Williams & Wilkins
Nam HS, Jeon K, Um SW. Clinical characteristics and treatment outcomes of chronic necrotizing pulmonary aspergillosis: a review of 43 cases. International Society for Infectious Diseases. Elsevier Ltd. London .2009 CNPA terjadi pada penderita:
mekanisme pertahanan yang abnormal
imunocopromise
Diagnosis CNPA sulit. Untuk menegakkan diagnosis dikombinasikan antara hasil pemeriksaan klinis, radiologi dan laboratorium
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) CKD dibagi menjadi 5 stadium berdasarkan berdasarkan kerusakan kerusakan ginjal dan hasil pengukuran fungsi fungsi ginjal (glomerular filtration rate = GFR) . Stadium 3-5 dapat ditentukan hanya berdasarkan hasil pemeriksaan GFR saja, namun pada stadium 1-2 diperlukan adanya proteinuria, albuminuria, atau kelainan struktur yang permanen. CKD stadium 5 dijumpai adanya gagal ginjal ( end stage renal disease =ESRD) dan diterapi dengan dialysis regular dan transplantasi ginjal.
NKF-KDOQI stages of chronic Stadium 1 2 3 4 5
Penjelasan Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat Kerusakan ginjal + penurunan ringan GFR Penururan moderat GFR Penurunan GFR yang berat Gagal ginjal
GFR (ml/mil/1.73 m3 ≥ 90 60-89 30-59 15-29 <15 (atau dialysis)
The National Kidney Foundation Disease Outcomes Quality I nitiative guideline mendefinisikan CKD sebagai kerusakan kerusakan (proteinuria, haematuria atau atau kelainan anatomi) atau atau GFR < 60 2
ml/min/1.73m paling sedikit dalam 3 bulan. The National Collaborating Centre for Chronic Condition 2008. Chronic Kidney Disease – Royal Royal Collage of Physicians.
Penderita CKD memicu terjadinya infeksi menular karena uremia yg berat, dimana uremia berhubungan dengan perubahan mekanisme pertahanan untama dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Neutropil gangguan kemotaksis, kemotaksis, metabolism oksidatif, degranulasi, degranulasi, intracellular killing, disregulasi program kematian sel. Faktor yang berkontribusi berkontribusi terhadap disfungsi neutrapil termasuk termasuk malnutrisi, kelebihan zat besi, gangguan metabolism glukosa, hipertiroidisme, dialysis, retensi uremik. Penderita ESRD berisiko tinggi terinfeksi yang paling sering adalah: 1. Infeksi saluran kencing (UTI) 2. Pneumonia 3. Sepsis Naqvi SB,Collins AJ. Infectious Complications in Chronic Kidney Disease. National kidney foundation 2006. Advances in Chronic Kidney Disease, Vol 13, No 3 (July), 2006: pp 199-204
Penelitian pneumonia komuniti yang dilakukan oleh James dkk melaporkan bahwa pneumonia pada penderita dengan GFR GFR yang rendah lebih berisiko memerlukan perawatan perawatan dirumah sakit dan kematian.
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika yang terutama toksik terhadap ginjal. Yang termasuk aminoglikosida adalah gentamisin, neomisin, streptotomisin, tobramisin, paromomisin, dan amikasin. Aminiglikosida terkumpul pada sel-sel tubular proksimal, kemudian merusak mitokondria, ribosom dan komponen-komponen intraseluler lainnya. Aminoglikosida memyebabkan
. The exact mechanism of how acute renal failure develops is not completely understood. However, aminoglycosides appear to cause acute proximal tubular necrosis due to drug accumulation and interaction with the tubular epithelium. epithelium. (Porter, 1981) Indications of aminoglycoside nephrotoxicity include elevated serum blood urea nitrogen and creatinine levels, polyuria, proteinuria, cylinduria, hypomagnesemia, hypocalcemia, and increased fractional sodium excretion. Several conditions that predispose an animal to aminoglycoside nephrotoxicity include advanced age, concurrent exposure to other nephrotoxins, aciduria, acidosis, dehydration and hypovolemia, severe sepsis or endotoxemia, and compromised renal function. Gentamicin is one of the most commonly utilized aminoglycosides. Nephrotoxicity has been reported in humans, dogs and rats. However this occurs primarily primarily in patients with pre-existing renal dysfunction (Hirsch, 1974) or with concurrent administration of other nephrotoxic drugs or vascular disease (Dovas, S. et al 2008). In one case report, a four year old cat, developed acute renal failure after gentamycin was used to lavage an open wound infected with Pseudomonas spp. (Mealey, Boothe 1994)
ACE inhibitor dapat mencegah kerusakan ginjal jika ditemukan tekanan darah yang tinggi.
PLEURA Tuberculosis (TB) dan kanker adalah penyebab utama terjadinya efusi pleura. Efusi pleura tjd karena adanya akumulasi cairan yg terjadi karena kerusakan pleura yang mengakibatka mengakibatkan n perubahan homeostatis rongga pleura. BAKU EMAS diagnosis pleural TB adalah ditemukannya kuman basil pada cairan atau jaringan pleura. Juga diperlukan kultur kultur selama 6 minggu untuk menumbuhkan menumbuhkan bakteri. Pada biopsy pleura didapati granuloma (85%) dan kultur positf (55%) menunjukkan sensitifiti diagnostic yg kuat ( memerlukan prosedur yg lebih komplek dan invasive dan memerlukan ahli laboratorium yg terlatih). Kriteria diagnosis TB:
Pewarnaan sputum Zeihl-Nelsen positif atau
Kultur Lowenstein positif ( sputum,cairan pleura atau jaringan pleura) atau
Biopsy pleura menunjukkan granuloma tipikal pada pleura parietal
Pada penelitian yang dilakukan oleh Roberta dkk Tahun 2009 menunjukkan : Diagnosis TB
Pemeriksaan pewarnaan dan kultur sputum (9.5%)
Pewarnaan cairan pleura (0.5%)
Kultur cairan pleura dan jaringan pleura (45%)
Biopsy pleura menunjukkan granuloma ( 85%)
Diagnosis kanker berdasarkan ditemukannya sel-sel malignansi pada cairan pleura ( 75.8%) atau jaringan pleura (61%) EFUSI PLEURA GANAS adalah didefinisikan dengan ditemukannya sel-sel ganas pada cairan pleura ( 42-96%) dan jaringan pleura ( 40-70%). Sales RKB, V argas FS, Capelozzi VL dkk. Predictive Models’ For Diagnosis of pleural effusions secondary to tuberculosis or cancer. Respirology (2009),14, 1128-1133
PEMERIKSAAN Faal PARU Pemeriksaan faal paru tdd:
Spirometri
Pengukuran volume paru
Kapasitas difusi karbon monoksida (DLCO)
Bentuk dasar kelainan paru (obstruktif dan restriktif) OBSTRUKSI
Penyakit paru obstruktif pada umumnya ditandai oleh penurunan aliran udara selama ekspirasi. Penyakit paru obstruksi secara klasik tdd:
Asma
Bronkitis kronis
Emfisema
Berdasarkan spirometri obstruksi didefinisikan jika volume ekspirasi paksa dalam detik pertama (VEP1=FEV1) kurang dari 70-80% dari nilai prediksi disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin. Restriksi: penurunan volume paru disebabkan penyakit paru restriksi. Kelainan restriksi didefinisakan sebagai kapasitas total paru (KTP atau TLC) < 80% prediksi. Etiologi kelainan restriktif: 1. Ekstrinsik Penurunan compliance dinding dada ( mis: kegemukan, kyphoscoliosis, luka bakar pada dinding dada) Kelainan otot-otot pernapasan ( kelainan neuromaskular 2. Intrinsik Kelainan di dalam paru ( mis: ILD, CHF) Pemerksaan Acceptability
Langkah awal untuk menginterpretasikan spirometri adalah apakah hasilnya sudah memiliki kualitas yang baik karena hasilnya tergantung kepada usaha dan kerjasama pasien. Menurut ATS : pernapasan dimulai pada saat nol, kurva harus mulus ( tidak ada keraguan dan batuk), dilakukan minimal 3 kali, nilai hasil pengukuran dari 2 nilai terbaik FVC dan FEV1 harus dalam 0.2 liter. Menginterpretasi hasil spirometri VEP1 dan KVP diekspresikan sebagai nilai pengukuran dan nilai prediksi. Nilai prediksi ditemtukan berdasarkan data orang sehat yang disesuaikan dengan: 1. Usia 2. Tinggi badan 3. Jenis kelamin 4. Ras Rasio VEP1/KVP < 0.7 adalah gambaran dari OBSTRUKSI. Secara klasik, VEP1 dan KVP keduanya menurun pada kelainan restriksi, tetapi rasio VEP1/KVP adalah normal atau meningkat. Rasio VEP1/KVP <0.7 disangkakan suatu kelainan restriksi. Untuk membedakan antara kelainan obstruksi dan restriksi pada penderita dimana nilai VEP1 VEP1 dan KVP keduanya menurun dapat digunakan digunakan maneuver Slow Vital Capacity (SVC).
Pada keadaan obstruksi yang berat dapat dijumpai KVP yang palsu terjadi karena saluran napas kollaps pada saat ekspirasi paksa. SVC lebih normal pada penderita obstruksi. Pada kelainan restriksi SVC dan KVP keduanya menurun. The Forced Expiratory floe ( FEF)
25-75%
, ketika menurun digunakan sebagai
indicator penyakit saluran napas kecil. Kelainan berdasarkan spirometri menandakan obstruksi saluran napas dini. RESPON BRONKODILATOR Jika obstruksi pada awalnya disangkakan berdasarkan spirometri, pereriksaan spirometri dapat diulangi 10 menit setelah pemberian bronkodilator seperti albuterol. Perbaikan nilai VEP1 >12% atau 0.2 L postbronkodilator menunjukkan obstruksi saluran napas akut yang responsive. Jika tidak didapati perbaikan VEP1 lebih dari 12% tidak menyingkirkan diagnosis asma atau penyakit.
Volume Paru
Volume paru sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kelainan restriksi yang ditunjukkan oleh penurunan kapasitas total paru. sebagian besar kelainan restriksi dalpat didiagnosa berdasarkan spirometri. Volume paru dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan restriksi yang tumpang tindih dengan kelainan obstruksi dengan kapasitas yang rendah. Terdapat 4 metode untuk memperoleh KTP (TLC): 1. Nitrogen washout 2. Helium dilution Dua pemeriksaan diatas relatif sangat mudah, tetapi bisa salah estimasi pada penderita PPOK derajat sedang-berat. 3. Body plathesmography adalah baku emas untuk mengukur KTP tetapi alatnya sangat kompleks dan pemeriksaan mahal. 4. Estimasi KTP dapat diukur berdasarkan foto toraks maksimum.
pada saat ekspirasi
Maximal Expiratory Pressure/ Maximal Inspiratory Pressure Penyakit
neuromarkuler
menyebabkan
kelainan
restrikstif.
Kekuatan
otot-otot
pernapasan dapat dinilai dengan menggunakan maximal inspiratory pressure dan maximal expiratory pressure. Kedua metode diukur dengan tekanan tranduser yang sederhana pada mulut.
Spirogram acceptabel
Apakah rasio VEP1/KVP rendah? ya
Tidak
Kelainan obstruksi
Apakah KVP rendah?
Apakah KVP rendah?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Kelainan restriksi
Hasil spirometri normal
Hiperinflasi versus
Murni
Pemeriksaan
kelainan kombinasi
obstruksi
selanjutnya
Pemeriksaan
Reversibel dengan
selanjutnya
penggunaan beta-agonis?
(pengukuran volume paru)
Ya Asma
Tidak COPD
Mintz Ml. Disorders of the Respiratory Tract Common Challenges. In : P rimary Care.Parkhie S, Mintz Mintz ML. Pulmonary Function Test. Department of Medicine The George Washington University School of Medicine Washington. 2006 Humana Press Inc:.18-26
HEMOPTISIS PATOFISIOLOGI Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari dibawah vocal cords, adalah gejala berbagai penyakit saluran napas dan parenkim paru. hemoptisis masif adalah batuk darah > 600cc dalam 24 jam, yang memerlukan tindakan segera atau emergensi untuk mempertahankan jalan napas dan menjaga stabilitas hemodinamik.
Paru-paru dipasok oleh dua system sirkulasi yang terpisah. Sebagian besar darah yang melintasi paru-paru dipasok oleh arteri pulmonalis dengan tekanan rendah, dan sebagian kecil dipasok oleh sirkulasi sistemik tekanan arteri bronkialis yang pada umumnya berasal dari aorta atau kadang-kadang berasal dari arteri interkostalis. Walaupun arteri bronkialis hanya membawa sebagian kecil aliran darah paru, anteri bronkialis memasok darah ke saluran napas, dan menjadi penyebab hemoptisis banyak daripada yang berasal dari arteri pulmonalis. 90% hemoptisis berasal dari arteri bronkialis. Sumber perdarahan saluran napas termasuk: 1. Bronkitis 2. Bronkiektasis 3. Neoplasma saluran pernapasan 4. Fistula vascular-bronchia vascular-bronchiall 5. Benda asing pada jalan napas. Neoplasma pada saluran napas dapat menyebabkan hemoptisis : Bronkogenik karsinoma primer, kanker metastase, karsinoid, dan Kaposi’s sarkama (KS).
Bronkogenik karsinoma primer sering terjadi pada perokok usia tua. Tumor yang sering bermetastase bermetastase ke paru dapat juga menyebabkan hemoptisis hemoptisis termasuk : 1. Kanker paru 2. Kanker kolon 3. Karsinoma sel renal 4. Melanoma malignan
KS dapat melibatkan saluran napas atau parenkim paru dan dapat menyebabkan hemoptisis pada penderita AIDS. Aortic aneurisma di toraks dapat membentuk filtula pohon trakeabronkial kiri membentukfistula vaskular-bronkial. Hal ini merupakan kasus yang jarang tetapi berpotensial fatal menyebabkan hemoptisis masif. Benda asing pada saluran napas atau bronkiolitis dapat mengikis pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan. Penyebab Hemoptisis: 1. Sumber perdarahan saluran napas: -
Bronkitis
-
Bronkiektasis
-
Neoplasma: Bronkogenik karsinoma primer Metastasis yang melibatkan pohon bronchial Karsinoid bronchial Kaposi’s sarcoma
-
Fistula vaskular-bronkial
-
Foreign body
2. Sumber perdarahan dari parenkim -
Infeksi Tuberculosis Pneumonia Misetomas/aspergilloma Abses paru
Infeksi parasit Emboli paru degan infark paru -
Kelainan inflamasi Wegener’s granulomatosis Goodpasture’s Goodpasture ’s sundrome
Pneumonitis karena sistemik lupus eritematosis Idiopathic pulmonary hemosiderosis -
Peningkatan tekana kapiler pulmonal
-
Malformasi aterio-venous pulmonal
-
Endometriosis torak
-
Obat-obatan/ toksik
3. Sumber perdarahan Iatogenik -
Trakeostomi
-
Biopsy paru perkutaneus atau transbronkial
-
Perporasi karena kateterisasi arteri pulmonalis
-
Hemoptisis idiopatik
TB paru adalah penyebab hemoptisis paling banyak di Amerika Serikat. Hemoptisis terjadi terjadi ketika infeksi TB menyebabkan kavitas kavitas pada parenkim paru dan biasanya jumlahnya sedikit. Rupturnya secara tiba-tiba aneurisma Rassmussen’s (arteri pulmonalis yang lemah rupture kedal am kavitas yang
berdekatan) dapat menyebabkan hemaptisis masif. Pada aspergilloma hemoptisis didapati pada 50-80% kasus dan dapat masif. Fungus ball yang terdapat di dalam kavita yang sudah ada sebelumnya ( mis:
bekas TB) dapat mengikis pembuluh darah. Organism anaerobic paling sering patogen komplikasi dari aspirasi pneumonia. Manajemen/Pengobatan Pertama sekali harus dibedakan apakah hemaptisis ringan atau masif. Jika masif, maka fokus utama dalah penanganan batuk darah, karena hal ini mengancam jiwa. Jika hemoptisis ringan penanganan difokuskan untuk mengatasi penyebabnya. Hemoptisis Ringan Karena hemaptisis ringan tidak mengancam jiwa, maka harus fokus kepada penyebab
spesifik
hemoptisis,
pemberian
terapi
yang
tepat,
dan
menyingkirkan penyebab keganasan. Foto toraks harus dilakukan setiap mengevaluasi hemoptisis. Jika foto toraks normal, dengan riwayat penyakit bronkitis. BSOL seharusnya dipertimbangkan pada semua perokok berusia diatas, karena risiko tinggi menderita kanker paru. Hemoptisis Masif Penanganan awal tergantung kondisi klinis pasien. Jika terjadi gangguan oxigenisasi atau perdarahan yang cepat, penderita seharusnya di intubasi untuk melindungi jalan napas. Digunakan ETT berukuran besar ( ukuran 8,0 atau lebih besar) untuk mencegah sumbatan pada lubang ETT oleh gumpalan darah dan rigid bronkoskopi dan BSOL dilakukan melalui ETT. Jika perdarahan sangat cepat menyebabkan gangguan hemodinamik harus diberikan caira kristaloid, PRC, platelets atau fresh-frozen plasma ( diindikasikan untuk adanya koagulopati).
Setelah hemodinamik stabil dan jalan napas bersih, elemen yang paling penting dalam menangani batuk darah masif masif adalah
mengetahui letak
perdarahan. Langkah-langkah terapoetik pada hemaptue masif adalah: 1. Bronkoskopi elektrokauter atau balon tamponade 2. Embolisasi arteri 3. Pembedahan Jika perdarahan tetap berlanjut lindungi paru-paru bagus supaya tidak masuk darah, mencegah asphyxiation. Tehnik yang sederhana adalah pasien ditempatkan dengan posisi lateral dekubitus dengan sisi perdarahan kearah bawah. Tehnik bronkoskopi efektif untuk menangani batuk darah masif, karena itu harus dilakukan secepat mungkin. Bahkan jika hemoptisis telah berhenti , daerah pendarahan masih dapat dilihat jika bronkoskopi dilakukan dalam 24 jam. Dengan rigid bronkoskopi bronkoskopi dapat melihat sumber perdarahan dengan dengan lebih jelas dan section lebih baik jika terjadi perdarahan tindakan ini dilakukan di kamar operasi dan memerlukan anastesi umum, tetapi dengan BSOL dapat melihan lesi lebih kedistal kedistal dari dari segmen segmen paru. Jika sumber perdarahan dapat dilakukan: 1. Terapi laser dan elektrakauter melalui scope 2. Pemberian tipikal epineprin, vasopressin atau thrombin 3. Balon tamponade 4. Arteriografi dapat dilakukan segera setelah bronkoskopi pada penderita yang perdarahan tetap tidak teratasi atau dilakukan secara elektif setelah penderita stabil 5. Pembedahan
Pembedahan dilakukan, jika angiographic dan intervensi bronkoskopi gagal menghentikan hemoptisis. Mintz Ml. Disorders Disorders of the Respiratory Tract Common Challenges. Challenges. Primary Care: in. in. McIntosh S, Mintz ML. Hemoptysis. Department of Medicine The George Washington University School of Medicine Washington. 2006 Humana Press Inc:.305-315
Tehnik diagnostic kanker paru Tumor paru dapat tumbuh sampai besar (> 3 cm) dapat asimtomatik karena parenkim paru tidak memiliki persarafan persepsi persepsi nyeri. Biasanya tumor paru paru tidak diketahui sampao sampao terjadi invasi ke struktur lain, seperti pembuluh darah, reseptor batuk, reseptor nyeri di pleura, atau lokasi jauh. SOLUTARY PULMONARY NODULE Solutory pulmonary nodule (SPN) biasanya ditemukan pada foto toraks rutin atau CT scan toraks atau abdomen. SPN adalah lesi paru tunggal besarnya tidak lebih dari 3 cm yang dikelilingi oleh jaringan paru yang normal.
Lesi ukurannya lebih besar dari 3 cm disebut massa, kemungkinan besar suatu keganasan, jika kardiopulmonal memadai dilakukan pembedahan. Diagnosa Banding dari SPN 1.
Kanker paru ( adenokarsinoma, sel-besar, sel skuamous, sel kecil)
2.
Tumor paru metastase ( tumor kepala dan leher, kanker payudara, kanker kolon, sarcoma, melanoma, limfoma.
3.
Tumor jinak (hamartoma, lipoma, fibroma)
4.
Granuloma dan infeksi Tuberculosis, mikobakteriun non tuberculosis, kroptocosis, histoplasmosis coccidiodomycosis, echinoccosis dan perasit lainnya, pneumocystis, sarkoid, nodul-nodul rematoid
5.
Penyebab lainnya Nodul amiloid, infark paru, malvormasi A-V, kista bronkogenik, slikosis, fibrosis
Secara umum di Amerika Serikat diperkirakan 50% SPN pada individu berusia diatas 35 tahun adalah keganasan. Gambaran SPN yang mengarah ke suatu keganasan ( nodul <3 cm): 1. Pasien seorang perokok lebih dari 20 pak pertahun pertahun 2. Usia pasien >50 tahun 3. Riwayat kanker sebelumnya 4. Batas nodul tajam (speculated)
5. Ukuran nodul > 2 cm 6. Kalsifikasi mulai dari pusat nodul atau sedikit kalsifikasi 7. Terdapat sedikit nodul satelit 8. Doubling time nodul 20-400 hari 9. Terdapat air broncogram pada nodul 10. Dengan CT kontran IV enhancement lebih dari 20 Hounsfield unit 11. Dengan PET scan menunjukkan penyerapan fluorodeoxyglucosa nodul meningkat. sensitivitas dan spesifitas PET lebih dari 80%, namun pemeriksaan ini tidak selalu tersedia. Pada penderita diabetes sensitifitasnya dapat rendah. Pada granulomatosa dapat menunjukkan hasil positif palsu. Bentuk dan ukuran nodul yang menetap dalam 2 tahun berhubungan dengan etiologi jinak, sehingga sehingga foto toraks sebelumny sebelumnya a diperlukan. diperlukan. Namun jika ukuran ukuran nodul membesar 2 kali lipat atau diameter nodul 25%) dalam 20-400 hari dianggap sebagai keganasan.
Sitologi Sputum Manfaat pemeriksaan sitologi sputum pada SPN adalah kontraversi, karena hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan bronkoskopi dan aspirasi biopsi. Bronkoskopi serat optik lentur dalam mengevaluasi SPN Hasil pemeriksaan BSOL tergantung kepada ukuran nodul, patologi ( ganas,jinak, tuberkulosis, jamur), lokasi, dan hubungannya dengan bronkus. diameter nodul >2cm, sensitivitas sensitivitas BSOL BSOL hampir 57%, tapi tapi lebih rendah jika ukuran nodul lebih lebih kecil. Hasil Hasil pemeriksaan pemeriksaan tinggi pada diameter nodul nodul berukuran 2-4 cm. hasil pemeriksaan BSOL lebih tinggi pada nodul berukuran 2-6 cm yang terdapat dihilus Sensitivitas bilasan bronkus dalam mendiagnosis SPN adalah sekitar 12-52%, dan merupakan sensitivitas sensitivitas dan traumanya traumanya lebih rendah dari biopsi transbronkial.
Sensitivitas BSOL meningkat dengan dilakukannya BAL ( bronchoalveolar lavage) dengan mengambil sampel dari bronkiolus distalis dan permukaan alveolar. Transbronchial needle aspiration (TBNA) adalah suatu tehnik yang tidak digunakan secara luas dalam mendiagnosis SPN, karena terdapat perbedaan antara literatur dan hasil yang didapat dalam praktek. Gasparini dkk melakukan melakukan evaluasi pada 1.027 SPN dilakukan bronkoskopi dengan dengan TBNA dan biopsi transbronkial. Dalam pemeriksaan ini hasil pemeriksaan diagnostik keganasan 69% pada TBNA, dan 54% pada biopsi transbronkial, dan kombinasi dari kedua pemeriksaan ini menunjukkan hasil 75%. Percutaneous Needle Aspiration in Solitary Nodul Dengan CT akurasi dari aspirasi jarum perkutaneus lebih besar.aspirasi jarum perkutaneus bermanfaat dan aman digunakan pada lesi yang terdapat diperifer. Komplikasi aspirasi jarum perkutaneus adalah:
pneumotoraks ( dilaporkan terjadi pada 25% kasus dan berhubungan dengan ukuran lesi yang kecil, terdapatnya blebs emfisematous, 10% kasus memerlukan pemasangan WSD)
perdarahan
meninggal (kasusnya sangat jarang)
Kontraindikasi
aspirasi
jarum
pneumotoraks dan perdarahan : 1. Bullous emphysema 2. VEP1 kurang dari 1Liter
perkutaneus
karena
ditakuti
terjadinya
3. Perdarahan 4. Pasien tidak kooperatif 5. Hipertensi pulmonal yang berat 6. Pneumektomi 7. Batuk yang kuat Video-Assisted Thoracic Surgery (VATS) VATS telah dikembangkan sebagai alat diagnostik yang dapat mengantikan torakotomi dalam mendiagnosis nodul-nodul jinak dan ganas, dan pada waktu yang bersamaan dapat memungkinkan penanganan yang cepat pada nodulnodul malignan. Pada VAT diperlukan anestesi umum, insisi torakotomi yang luas dan cederea pada iga dapat dihindari. Pada tahun 1995 Ginsberg dkk melaporkan penelitian secara acak terhadap lobektomi dibandingkan dengan reseksi terbatas pada NSCLC T1N0, menunjukkan tingkat ke kambuhan yang tinggi ketika timor dihilangkan dengan reseksi dibandingkan lobektomi. VATS tidak cocok untuk lesi yang terdapat disentral atau lesi yang lebih besar dari 3 cm, karena lebih memungkinkan suatu malignansi dan seharusnya dihilangkan dengan torakotomi. Peran utama VATS adalah untuk mengevaluasi lesi yang tidak mudah dijangkau dengan bronkoskopi atau aspirasi jarum perkutaneus. Torakotomi Penanganan umum pada SPN adalah torakotomi dan lobektomi. Seperti disebutkan sebelumnya reseksi atau segmentomi untuk mengangkat nodul memiliki angka kekambuhan lebih tinggi dibangdingkan lobektomi.
Sejak ukuran nodul >3cm memiliki kemungkinan keganasan >90%, beberapa dokter menganjurkan bahwa langkah berikutnya adalah mengangkat nodul dengan torakotomi dan lobektomi jika tidak ada tanda-tanda metastasis dan pemeriksaan fungsi paru memadai. Komplikasi torakotomi adalah: 1. Perawatan dirumah sakit dalam jangka waktu lama 2. Nyeri dada yang menetap selama berbulan-bulan sampai tahunan 3. Jaringan parut 4. Kerusakan dinding dada 5. Perdarahan 6. Fistula bronkopleural 7. Empiema 8. Infeksi 9. Kematian Mortaliti torakotomi diperkirakan antara 3-7% kemungkinan berhubungan dengan prosedur. Penyakit yang meningkatkan angka mortaliti adalah penyakit arteri koroner, PPOK, Diabetes. Penanganan penderita dengan SPN (>3cm) Evaluasi awal usia penderita lebih dari 35 tahun, lesi kalsifikasi jinak pada foto toraks dan HRCT atau tidak ada pertumbuhan dalam 2 tahun atau lebih atau doubling time lebih dari 18 bulan, jika terdapat salah kriteria diatas, penderita diobservasi berdasarkan foto toraks, jika tidak ti dak ada yg memenuhi kriteria diatas, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. A. Jika ukuran nodul 5mm atau lebih kecil, kecil, dilakukan HRCT 3 bulan, bulan, jika
tidak ada
pertumbuhan HRCT diulangi 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan. Jika tidak ada pertumbuhan lebih dari 2 tahun, maka nodul diklasifikasikan sebagai lesi jinak. B. Jika ukuran nodul lebih dari 5mm, dan risiko tindakan torakotomi rendah, stadium negatif, lanjutkan torakotomi untuk mengangkat nodul. C. Jika ada kontraindikasi diperlukan biopsi nodul melalui bronkoskopi atau perkutaneus, tetapi harus mempertimbangkan anatomi dari nodul, tenaga ahli untuk tindakan ini, dan
keinginan pasien itu sendiri. Jika penderita berisiko tinggi untuk tindakan torakotomi atau menolak, maka dapat dilakukan biopsi transbronkial apabila ukuran tumor 2cm atau lebih dan bagian dua pertiga bagian dalam dalam paru. aspirasi jarum perkutaneus perkutaneus dapat bermanfaat apabila apabila tindakan biopsi biopsi transbronkial transbronkial gagal atau ukuran ukuran nodul < 2cm, Jika diagnosis keganasan terbukti, maka dapat dilakukan radioterapi. EVALUASI MASSA MEDIASTINUM DAN PEMBESARAN KELENJAR GETAH BENING MEDIASTINUM 1. TBNA Survei American collage of Chest physicians hanya 11.8 ahli paru yang menggunakan tehnik ini. Tehnik dengan menggunakan jarum fleksibel. Jarum dan kateter dimasukkan melalui lobang suction pada bronkoskopi kemudian diarahkan ke KGB yang diinginkan. Jarum kemudian didorong melalui dinding trakeobronkial kedalam KGB. Keuntungan dari TBNA adalah untuk menghindari pemeriksaan mediastinoskopi. Bebrapa penelitian menunjukkan hasi pemeriksaan TBNA sampai 83%. TBNA dapat juga mengidentifikasi keganasan pada nodul yang diameternya kurang dari 1 cm. 2. Percutaneous Needle Aspiration of Mediastinal Nodul Juga digunakan untuk menilai KGB mediastinal. Penelitian terbaru oleh Akamatsu, dengan menusuk KGB dengan jarum 19-gauge setelah dimonitoring dengan CT Scan. Dijumpai pneumotorak pada 22%. Endoskopi sonografi telah digunakan untuk memandu aspirasi biopsi jarum halus pada KGB mediastinal. Penelitian oleh Gress dkk, sonografi tampa aspirasi biopsi memiliki akurasi 84% pada dalam memprediksi metastasis ke KGB, sedangkan sedangkan dengan dengan CT scan akurasinya akurasinya 49%. Aspirasi jarum halus halus dengan bantuan bantuan endoskopi sonografi sonografi dalam mendiagnosis metastasis ke ke KGB pada 14 dari 24 pasien, keakuratannya keakuratannya 96%. 3. Mediastinoskopi, torakoskopi, torakoskopi, dan mediastomi anterior kiri dalam mendiagnosis NSCLC 4. Massa paru yang terdapat disentral Biasanya dievaluasi dengan BSOL. 5. Pleura efusi
Metode yang biasa digunakan untuk mendiagnosis efusi pleura adalah termasuk; a. torakosintesis ( sebagian besar penderita dievaluasi dengan tehnik ini) b. biopsi pleura tertutup c. biopsi pleura tertutup d. torakoskopi e. biopsi pleura terbuka Sahn dan Good mengevaluasi diagnostik, prognostik, dan terapeutik dampak pH cairan pleura pada efusi pleura ganas. Mereka menemukan bahwa penderita dengan kadar pH < 7.30 memiliki kemungkinan hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura yang positif, angka harapan hidup yang rendah, dan keberhasilan pleurodesis yang rendah. Sahn dan Good menyimpulkan bahwa menentukan pH cairan pleura dapat memberikan panduan dalam pemeriksaan diagnostik, informasi proknostik dan terapi paliatif yang rasional. Cancer of the Lung From Melecular Biology to Treatment Guidelines. Wietberg AB.In: Passero MA.Techniques for the Diagnosis of Lung Cancer. Humana Press.New Jersey.2002: 129-148 PENANGANAN KANKER PARU KARSINOMA BUKAN SEL KECIL (KPKBSK) Modalitas pengobatan kanker paru termasuk: 1. Pembedahan 2. Kemoterapi 3. Radioterapi 4. Terapi kombinasi Terapi standart yang direkomendasikan pada kanker paru saat ini adalah tergantung kepada luasnya penyakit. stadium kanker paru yang tepat menjadi dasar penanganan kanker paru saat ini dan penelitian masa yang akan datang. Sejak lama terapi pembedahan sebagai andalan penanganan KPKBS (stadium I dan II). Hanya 15 -20% kanker paru ditemukan pada stadium I dan II.
Penderita kanker paru yang dipertimbangkan menjadi kandidat reseksi memerlukan evaluasi toleransi operasi. Evaluasi fungsi paru sebelum operasi termasuk, KVP (kapasitas vital paksa), VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama), Kapasitas difusi karbon monoksida (DLCO), adalah pemeriksaan yang penting dan nilai ini digunakan untuk memprediksi fungsi pasca operasi. Nilai prediksi VEP1 pasca operasi 0.8-1.0 liter adalah diharapkan pada semua jenis reseksi paru. nilai ini dapat ditentukan berdasarkan nilai VEP1 sebelum operasi dan persentasi parenkim paru yang masih tertinggal setelah reseksi. Persentasi ini dapat diestimasi dengan berbagai cara. Termasuk penghitungan lobus anatomi paru tersisa yang diharapkan (X/5), jumlah perhitungan segmen paru paru tersisa yang diharapkan diharapkan (X/19), atau estimasi estimasi persen ventilasi yang tersisa (atau perfusi) berdasarkan pada kualitatif radionukleotida ventilasi/perfusi (V/Q) scan paru. metode yang terakhir ini adalah penting terutama dalam menentukan fungsi paru pasca operasi pada pneumonektomi atau pada pasein dengan obstruksi jalan napas. Nilai absolut VEP1 dapat disalah tafsirkan pada beberapa penderita. Alternatif yang dapat diterima dalam memprediksikan VEP1 pasca operasi adalah dengan menggunakan nilai persen prediksi ( normal) VEP1. Secara umum, nilai prediksi pasca operasi yang adekuat untuk reseksi seharusnya ≥ 30-40% dari VEP1 prediksi pada semua penderita. DLCO prediksi pasca operasi, dapat ditentukan dengan cara yang sama dengan cara prediksi VEP1 posca operasi juga harus ≥ 30-40% dari prediksi jika ji ka dilakukan reseksi. PEMBEDAHAN UNTUK KANKER PARU Prosedur penentuan stadium kanker paru sebelum reseksi Manfaat penentuan stadium kanker paru pada KPKBSK tergantung kepada keakuratan penilaian dan luasnya penyakit. Stadium prereseksi pembedahan adalah sangat penting dalam menentukan stadium. Terapi reseksi seharusnya tidak hanya temuan radiologis saja, karena temuan radiologis
mungkin tidak tidak lengkap dan akurat. akurat. Beberapa Beberapa pembedahan pembedahan prosedur prosedur
penentuan stadium saat ini digunakan untuk untuk meningkatkan penentuan stadium KPKBSK KPKBSK secara klinis dan radiologis. A. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah merupakan pemeriksaan yang penting dalam menentukan stadium kanker paru. dengan bronkoskopi jaringan dapat diambil utuk diagnosis patologi, mengidentifikasi tumor endobrokial, dan menentukan jarak antara tumor dengan karina.prosedur bronkoskopi terbaru, seperti jarum biopsi Wang atau bronkoskopi ultrasound, dapat juga memberi informasi yang berhubungan dengan stadium KGB. Sekarang ini pembedahan adalah tetap menjadi modaliti terapi standar pada penderita KPKBSK stadium dini. Reseksi tumor keseluruhan adalah tujuan dari pembedahan reseksi. Multimodaliti terapi pada KPKBSK termasuk, kemoterapi neoadjuvant preoperatif dan kemoterapi adjuvant pascaoperai, dengan/tanpa radioterapi, saat ini banyak diteliti.
OBAT ASMA DAN PPOK Obstruksi jalan napas pada asma dan PPOK disebabkan oleh: 1. Hiperreaktivitas bronchi (HRB) 2. Reaksi alergi 3. Infeksi jalan napas Hiperreaktivitas bronchi (HRB) HRB adalah meningkatnya kepekaan bronchi, dibandingkan dengan saluran napas normal, terhadap zat-zat nonspesifik yang merangsang. Terdapat beberapa jenis stimuli al: 1. Rangsangan fisis ( perubahan suhu, dingin dank abut) 2. Rangsangan kimiawi ( polusi udara, sulfurdioksida,ozon dan asap rokok) 3. Rangsangan fisik ( exertion, hiperventilasi) 4. Rangsangan psikis ( emosi dan stres)
5. Rangsangan farmakologi ( histamine, serotonin, beta-bloker, asetosal dan NSAIDs), termasuk abat-obat yang dapat melepaskan histamine mis: morfin, kodein, kloediazepoksida dan polimiksin Stimuli terhadap reseptor pada selaput lender dan otot, serta/ atau stimuli sintem kolinergik, maka terjadilah reaksi kejang dengan obstruksi umum pada saluran pernapasan.
Alergi Bakat keturunan membentuk antibodies terhadap antigen (alergan) tertentu yang masuk ke dalam tubuh. IgE juga disebut regain, mengikatkan diri pada mastcell a.l yang terdapat pada sal napas, mata dan hidung. Jika jumlah IgE sudah cukup besar, maka jika antigen spesifik masuk ke dalam tubuh, terjadi pengabungan antigan-antibodi. Mastcells pecah (degranulasi) dan segera melepaskan mediator, a.l histamine. Histamine menyebabkan bronchokonstriksi dan terjadi udema mukosa , dan hipersekresi dahak, merupakan gejala khas serangan asma. Jika pelepasan mediator tersebut tidak satu tempat tapi menyeluruh dapat terjadi anaphylaxis yaitu reaksi hebat yang dapat mengancam jiwa. Terapi pada anaphylaxis adalah:
Segera suntik adrenalin i.m dapat diulang setiap 5 menit sampai ada perbaikan tekanan darah dan nadi
Beri O2
Inj antihistamin (klorfeneramin) dapat diberikan i.v
Inj hidrokortison I.m atau iv
Alergan inhalasi Penderita asma menunjukkan kepekaan yang berlebihan terutama terhadap debu rumah yang mengandung a.l tungau ( housedust mate), sisik/bulu binatang (animal danders), sari bunga (pollen) berbagai tumbuhan dan pohon, jenis tepung dan jamur. Alergan oral dan local Banyak bahan makanan mengandung alergan dan obat-obatan tertentu atau metabolitnya dapat menimbulkan alergi. Infeksi
saluran
pernapasan
dapat
menyebabkan
gejala
radang
dengan
menyebabkan perubahan pada selaput lender, pada penderita asma dan PPOK dapat menyebabkan HRB dan bronchokontriksi serta mempermudah penetrasi alergan. Akhirnya terjadi suatu lingkaran setan dimana infeksi selalu kambuh akibat obstruksi bronkus. Pengobatan asma 1. Serangan asma akut
Berikan bronkodilator, pilihan pertama adalah β2 agonis kerja cepat mis. Salbutamol dan terbutalin ( sesudah 3-5 menit) dapat diulang kembali setelah 15 menit
Injeksi aminofilin dan/atau salbutamol
Injeksi hidrokortison atau prednisone iv
Tindakan terakhir terakhir dapat dapat diinjeksikan diinjeksikan adrenalin
dapat diulang 2 kali
dalam waktu 1 jam, injeksi i.v Novocain 2% (atau lidokain) ( visser J.NtvG2006; 150: 1041)
PENYAKIT EMBOLI PARU
Emboli paru merujuk kepada suatu kondisi gumpalan darah darah ( thrombus thrombus atau multiple trombi) yang bermigrasi dari sistim sistemik ke pembuluh darah paru. sebagian besar bekuan darah berasal dari “ deep veins) ekstremitas bawah dan
atas ( deep venous thrombosis,DVT). Berbagai material seperti endapan lemak, udara, fragmen tumor, cairan ketuban juga dapat menimbulkan embolus tetapi kasusnya lebih jarang dabandingkan dengan venous thromboembolus. ETIOLOGI Sebagian besar kasus emboli paru (80-95%) terjadi sebagai akibat dari trombus yang berasal dari ekstremitas bagian bawah. Trombus biasanya dimulai pada lokasi turbulensi aliran darah, seperti pada bifurkasio vena, atau dibelakang katup vena. Ketika pembentukan trombus berlebihan, trombus sebagian atau keseluruhan dapat lepas dan bermigrasi melalui sisem vena ke paru. emboli dapat berasal dari tempat lain, paling sering dari vena pelvis, sebagai faktor presisposisi adalah: 1. Kehamilan 2. tromboflebitis pelvis atau infeksi pelvis 3. penyakit prostat 4. operasi pelvis Emboli dapat juga berasal dari ekstremitas bagian atas, thrombosis berhubungan dengan CVC (central venous catheter) atau alat-alat perangkat jantung intravaskuler. Emboli udara biasanya aitrogenik dan biasaya masuk kepembuluh darah secara tidak sengaja melalui kateter vena sentral. Pada kasus yang jarang,
jaringan dan sel-sel tubuh penderita sendiri dapat masuk ke pembuluh darah dan menyumbat vaskular palmonari. Sebagai contoh termasuk emboli cairan ketuban, terjadi selama atau segera setelah persalinan dan aborsi, emboli lemak biasannya berhubungan dengan fraktur tulang panjang dan emboli tumor. FAKTOR PREDISPOSIS PREDISPOSISII Orang pertama sekali mendeskripsikan phenomena “embolim” dan “ thrombosis”
adalah Ruldoph Virchow pada pertengahan abab ke 19 dan mengidentifikasi tiga faktor utama yang berkontribusi terhadap pembentukan thrombosis vena ( Virchow’s tried) yaitu tdd:
1. Vena statis 2. Hiperkoagulopati 3. Cedera pada dinding vena (endothelium) Vena statis:
Imobilitas
Tirah baring
Anastesi
Gagal jantung congestif (CHF)/ cor pulmonale
Thrombosis vena sebelumnya
Hiperkoaglopati:
Keganasan
Antibodi antikardialipin
Sindrom nefrotik
Membutuhkan trombositosis
Terapi estrogen
Heparin- yang menimbulkan trombositopenia
Inflamasi pada usus besar
Paroxysmal nocturnal
Hemaglobinuria
Koagulopati intravaskuler
Dsfisiensi protein C dan S
Defisiensi antitrombin III
Cedera dinding pembuluh darah:
Trauma Pembedahan.
Faktor risiko yang didapat: Faktor risiko utama thrombosis adalah pembedahan. 30-50% pada ortopedi, bedah saraf, ginekologikal, dan bedah urologi. Dalam keadaan normal endothelium berfungsi sebagai barrier antara jaringan ikat subendotelial dengan berbagai komponen darah dan berperan aktif mencegah pemgumpalan darah saat berada di dalam tubuh. Thrombosis adalah bagian penting dalam penyembuhan penyembuhan luka setelah setelah cedera. cedera. Karena kerusakan langsung langsung endothelial, basement membrane subendotel dan kolagen yang terpapar dengan trombosit
dan kontak dengan fase koagulasi protein, sehingga menganggu
mekanisme antitrombotik dengan menstimulasi protrombotik. Endothelial adalah
jaringan yang sangat aktif dan cedera pada endotelian dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, dari inflamasi local trauma secara langsung. Pada awalnya emboli paru dikenal dan diteliti pada pasien bedah tapi sekarang ini diketajui bahwa pasein yang dirawat dirumah sakit memiliki risiko yang sama terhadap terjadinya DVT. Faktor risiko utama adalah termasuk:
CHF NYHA class III dan IV
PPOK
Sepsis
Kelainan inflamasi
Usia lanjut
Penyakit kritis
Tirah baring dalam jangka waktu yang lama
Kehamilan adalah penyebab utama VTE pada perempuan berusia kurang dari 40 tahun, dan jika tidak diobati dapat menyebabkan 20-50 % kematian dari seluruh kematian yang berhubungan dengan kehamilan. Penggunaan kontrasepsi oral dan terapi hormonal pengganti juga meningkatkan risiko vena tromboemboli. Kontrasepsi oral, memiliki risiko relatif berkembang menjadi thrombosis vena adalah 4-6 kali. Kegemukan berhubungan dengan VTE terutama pada perempuan. Penderita kanker, terutama kaganasan primer di paru, pancreas, payudara ( mucin-secreting adenokarsinoma), prostat, lambung/colorectal, saluran kemih berisiko tinggi terjadinya VTE. Diestimasikan bahwa kanker menyebabkan VTE 4 – 6 kali. Penderita kanker juga berisiko tinggi terjadinya tromboemboli berulang dan
secara keseluruhan tingkat mortalitinya tinggi dibandingkan dengan penderita kanker tampa thrombosis. Beberapa faktor yg terlibat termasuk: Berkembangnya kelainan pada system hemostatik yang berhubungan dengan keganasan itu sendiri, perubahan hemostatik yang disebabkan oleh obat-obat kemoterapeutik, imobilitas,komplikasi infeksi, pemasangan kateter vena sentral ( CVC). PATOFISIOLOGI Terlepas dari mana asal dari trombus, emboli masuk melalui system vena sistemik, melalui jantung kanan, dan pada akhirnya mencapai arteri pulmonalis. Dampak fisiologis dan klinis tromboemboli paru sangat luas, mulai dari asimptomatik sampai kepada gangguan hemodinamik dan kematian. Faktor utama untuk menentukan prognosa termasuk: 1. Ukuran dan lokasi emboli 2. Ada tidaknya penyakit penyerta kardiopulmonari 3. Pelepasan mediator humoral dan respon hipoksemia pembuluh darah 4. Kecepatan resoluse dari emboli Gangguan Hemodinamik Obstruksi pada anyaman vaskular paru oleh emboli akut meningkatkan afterload ventrikel kanan. System arteri pulmonal dalam keadaan normal adalah suatu system tekanan rendah yang mampu mengkomodasi peningkatan aliran darah hanya dengan sederhana meningkatkan tekanan. Jika tidak terdapat penyakit kardiopulmonal, obstruksi anyaman vaskular pulmonal kurang dari 20% mengakibatkan gangguan hemodinamik ringan. Ketika derajat obtruksi vaskuler
pulmonal melebihi 30-40%, terjadi peningkatan tekanan ventrikel kanan, tetapi cardiac output dipertahankan dengan meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokardial. Mekanisme kompensasi mulai gagal ketika obstruksi arteri pulmonalis lebih dari 50-60%. Cardiac output mulai gagal dan tekanan atrium kanan meningkat secara dramatis. Lebih lanjut obstruksi akut, dilatasi jantung kanan, peningkatan tekanan dinding ventrikel kanan, dapat terjadi iskemik ventrikel kanan, cardiac output gagal, dan kemudian terjadi hipotensi sistemik. sistemik. Penderita yang sebelumnya tidak memiliki penyakit kardiovaskular, tekanan maksimal ratarata arteri pulmonalis yang dapat dihasilkan oleh ventrikel kanan adalah 40 mmHg (tekanan sistolik arteri pulmonalis sekitar 70 mmHg) Seperti yang diperkirakan emboli yang berukuran besar dan banyak cendrung menyebabkan gejala, perubahan oksigenisasi, dan hemodinamik yang lebih berat. Dapat terjadi perbaikan gejala ketika emboli berukuran besar disentral terfragmentasi oleh usaha yang ditimbulkan kontraksi jantung atau ketika tindakan konpresi jantung selama resusitasi kardiopulmonal. Pada akhirnya emboli dapat diresolusi dengan fibrinolisis atau organisasi dan menjadi parut jaringan yang melekat pada endothelium.
Data terbaru menunjukkan jarang
terjadi resolusi sempurna dan sebanyak 50% penderiti memiliki sisa obtruksi 6 bulan setelah kejadian emboli. GANGGUAN PERTUKARAN GAS Hipoksemia dalah gangguan fisiologi yang segera terjadi pada emboli paru. obstruksi pembuluh darah paru menghambat darah vena sistemik sampai ke kapiler-kapiler pembuluh darah yang terlibat dan kembalinya aliran darah kebagian lain dari anyaman vaskuler paru. dimana hal ini akan menyebabkan
peningkatan shunting intrapulmonal (AaDO2 40-60mmHg), ventilasi-perfusi mismacht (V/Q) ( AaDO2 20-40 mmhg), berkurangnya campuran kadar O2 vena, sehingga meningkatkan meningkatkan dampak pada vena campuran campuran yang normal. normal. Selanjutnya shunting dan peningkatan dead space dapat juga terjadi sebagai akibat dari alveolar hemorrhagic atau atelektasis yang berhubungan dengan berkurangnya surfaktan.
Kontraksi bronkiolus terminalis lebih lanjut dapat meningkatkan
alveolar dead space karena daerah hipokapnia dan dikeluarkannya zat-zat vasokontriksi oleh agregasi trombosit dan sel mast. meskipun peningkatan alveolar dead, sering terjadi hipokapnia pada emboli paru. hal ini terjadi akibat hipoksia menginduksi stimulasi reflek vagal intapulmonal, yang menyebabkan hiperventilasi. Selanjutnya hipoksemia dapat meningkatkan tonis simpatetik, kemudian menyebabkan vasokontriksi sistemik. Salah satu komplikasi emboli paru yang jarang adalah infak paru. infak paru jarang terjadi karena parenkim paru memiliki 3 sumber oksigen yang potensial yaitu: 1. Arteri pulmonalis 2. Arteri bronkialis 3. Dan saluran napas Dua dari 3 tiga sumber oksigen parenkim paru sudah terganggu sebelum terjadi infak. Bahkan pada penderita yang tidak memiliki penyakit kardiopulmonal, infak jarang terjadi. Infak terjadi sekitar 20% pada penderita penyakit jantung berat dengan gangguan aliran arteri bronkialis atau patensi jalan napas. Pada penderita dengan gagal ventrikel kiri, peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menurunkan aliran bronchial dan infaks dapat terjadi.
DIAGNOSIS EMBOLI PARU Ventilasi-perfusi scaning, tetap menjadi diagnosis utama. Pada umumnya emboli ditemukan pada segmen peripheral pembuluh darah arteri pulmonalis dan tidak berkolerasi dengan keluhan klinis. Pada penderita yang diketahui berisiko tinggi terjadinya emboli berulang, seperti penderita trobofilia
bawaan
dan
penggunaan
hormonal,
masuk
akal
untuk
mempertimbangkan penggunaan terapi antikoagulan atau setidaknya terapi profilaksis yang lebih agresif selama pada kondisi berisiko, seperti tirah baring lama dirumah sakit atau naik pesawat.
GAMBARAN KLINIS Terutama dalam dalam mediagnosis emboli paru adalah pada mereka yang risiko tinggi, karena pada kenyataanya sebagian besar penderita memiliki 1 atau lebih faktor predisposisi terjadinya emboli paru. faktor predisposisi yang diperkirakan, usia tua, tirah baring yang lama, penerbangan dalam waktu yang lama, cedera trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya tromboemboli vena. Emboli paru akut dapat dikategorikan satu dari 3 sindroma klinis berikut: 1. Sesak napas 2. Nyeri pleuritik atau hemoptisis 3. Gangguan hemodinamik Dengan semakin meningkatnya penggunaan CT scan, kadang-kadang insiden emboli dapat ditemukan. PENILAIAN KLINIS
Bronkontriksi dan inflamasi pada asma dapat disebabkan oleh alergan, infeksi saluran pernapasan, paparan dilingkungan pekerjaan. APR ( acute-phase respon) dengan segera menyebabkan penurunan fungsi paru, pada saluran napas terlihat respon berupa: mengi, batuk yang tidak disertai oleh sesak napas, dan biasanya keluhan ini menghilang dalam 1 jam, namun dapat juga berlanjut berlanjut menjadi LPR ( late phase respon). respon). LPR: terjadi setelah 4-6 jam setelah paparan antigen. Pada APR dalam cairan BAL didapati peningkatan: 1. Kadar histamine 2. Triptase 3. PGD2 ( prostaglandin D2) Dimana hal diatas menggambarkan aktivasi dari sel mast. Pada LPR cairan BAL, dijumpai penurunan kandungan histamin dan triptase ,PGD2 yang dihasilkan oleh aktivasi Basofil. Basofil dapat juga menghasilkan Th2 sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-13, oleh sebab itu walaupun dijumpai sel-sel inflamasi pada LPR termasuk sel T dan eosinofil, namun yang paling berperan pada LPR adalah Basofil. Infeksi virus pada saluran pernapasan dapat meningkatkan gejala asma, terutama pada anak-anak. Virus yang berhubungan dengan asma adalah: 1. RVS ( respiratory syncytial virus) 2. Rhinoviruses (RVS)v
Infeksi “ cold virus” pada umumnya terjadi pada saluran napas bagian atas,
dan kemudian masuk kedalam epitel bronkus. respon berlebihan ( hiperresponsif) jalan napas terhadap inhalasi. Peningkatan histamine dapat dijumpai pada orang normal misalnya berupa allergic rhinitis dan juga pada penderita asma peningkatan histamine yang terjadi selama infeksi akut (RV) dapat tetap bertahan selam 4 minggu setelah inokulasi viral. Beberapa penelitian menyatakan bahwa infeksi viral pada saluran napas tidak hanya meningkatkan hiperresponsif
tetapi juga mengubah pola
respon alergi saluran napas, termasuk faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap kontribusi respon inflamasi. inflamasi. NEUTROFIL DAN EOSINOFI RV menstimulasi produksi beberapa mediator dari sel-sel epitel saluran napas dan sel-sel mononuclear (MN), termasuk IL-8, GM-CSF ( granulocyte,monocyte colony stimulating factor), INF- γ (interferon –γ) dan RANTES ( regulated upon activation normal T cell expressed). Sitokin dan kemokin untuk mengarahkan dan mengaktivasi neutrofil dan eosinofil. Jadi infeksi viral saluran napas dapat memodulasi lingkungan saluran napas, termasuk sel-sel dan mediator untuk menimbulkan inflamasi alergi. Respon inflamasi saluran napas penderita asma digambarkan oleh berbagai dejarat sel-sel mononuclear ( MN: monosit, fagositosis, magrofak) dan infiltrasi neutrofil , deskuamasi epitel, hipersekresi mukus, hyperplasia otot polos, remodeling saluran napas dengan fibrosis subepitel. SEL MAST dan BASOFIL
Pada manusia didapati dia jenis sel mast, secara umum dibedakan berdasarkan letak jaringan dan karakteristik biokimia: 1. Sel mast mukosa (atipikal) 2. Sel mast jaringan ikat ( tipikal) Paru-paru manusia dalam keadaan normal, alveoli paling banyak berhubungan dengan sel mast tipikal, sel mast paling banyak ditemukan pada subepitel bronkus dan bronkiolus. IgE berikatan dengan reseptor pada permukaan sel mast. melekul-melekul IgE berikatan dengan alergan kemudian berikatan dengan reseptor Fc RI mengaktifkan sel mast, dengan segera melepaskan mediator termasuk histamine dan triptase, beberapa sel mast juga melepaskan mediator TNF α ( tumor necrosis factor- α) dan VEGF (vascular endothelial factor), diikuti oleh sintesis leukotrin ( terutama LTC 4), prostaglandin ( terutama PDG 2), sitokin yang berkontribusi terhadap inflamasi. Basofil juga derivate dari CD34
+
namun sangat berbeda dengan sel mast. sel
basofil pada umumya ditemukan pada sirkulasi peripheral. Basofil memiliki kesamaan dengan sel mast pada ekspresi Fc RI R I dan triptase, namun kadarnya jauh lebih rendah pada basofil dibandingkan pada sel mast. basofil dengan cepat mampu mengeluarkan histamin. EOSINOFIL +
Eosinofil adalah granulosit derivate dari CD 34 sumsum tulang hemopoetik. Pada saat terjadi paparan dengan alergan eosinofil yang aktif masuk kedalam saluran napas terutama terutama oleh oleh kemokin seperti EOTOXIN. EOTOXIN.
Migrasi eosinofil ke saluran saluran
napas tergantung kepada ekstravasasi eosinofil dari darah perifer. Proses migrasi
eosinofil ke dalam saluran napas paling banyak terjadi melalui interaksi antara molekul-molekul adhesi pada endotel ( mis: VCAM-1) dan eosinofil ( mis: VLA-4). Eosinofil memiliki berbagai jenis sel reseptor permukaan termasuk reseptor IgE dengan afinitas yang rendah ( sangat berbeda dengan sel mast yang memiliki reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi). Reseptor sitokin mis: reseptor IL-5 (IL5R) menjadi reseptor spesifik pada eosinofil dan reseptor untuk immunoglobulin dan komplemen. Setelah eosinofil masuk kedalam saluran napas, dikeluarkan berbagai mediator termasuk protein granul, leukotrin ( termasuk LTC4), prostaglandin dan sitokin-sitokin. Eosinofil mengandung granul-granul primer dan sekunder. Granul primer mengandung Char Cot-Leyden crustal protein. Granul sekunder mengandung 4 prinsip kationik protein: 1. MBP ( major basic protein) 2. Matrix proteins ECP ( eosinophil cationic protein) 3. EDN (eosinophil peroxidase) Gambaran paling banyak pada asma adalah eosinofilik darah perifer. Pemeriksaan otopsi saluran napas penderita asma, meskipun penyebab kematiannya bukan karena asma juga mengandung infiltrasi sel-sel inflamasi eosinofil. Hal yang sama juga dijumpai peningkatan eosinofil pada cairan BAL dan jaringan. Terdapat hubungan yang positif antara kadar eosinofil dalam darah dan saluran napas terhadap keparahan asma. Berkurangnya kadar eosinofil merupakan keberhasilan terapi dengan kortikosteroid.
NEUTROFIL Pada umumnya ditemukan dalam pembuluh darah dan jaringan. Granul-granul primer (Azurophilic) dan sekunder (spesifik) mengandung berbagai enzim-emzim antimikroba, neutral proteases, dan asam hidrolases. Neutrofil sangat berbeda dengan eosinofil, dimana tempat alamiahnya di paru, terutama parenkim paru. neutrofil dalam saluran napas dapat ditemukan sebagai respon terhadap infeksi virus, pada saat eksaserbasi asma pada malam hari, dan pada cairan BAL alergi asma dalam 4 jam, namun neutrofil tidak dijumpai lagi dalam saluran napas setelah 24 jam setelah terjadi alergi. Neutrofil mengandung atau mensintesis berbagai molekul-molekul molekul-molekul yang berpotensi merusak jaringan saluran napas dan yang paling penting neutrofil dapat bertindak sebagai faktor kemotaktik atau mediator terhadap sel-sel inflamatori. SEL T Sel T diperkirakan sebagai sumber sitokin utama dalam respon inflamasi asma. Pada asma terlihat peningkatan aktivasi sel T pada saluran napas, selanjutnya peningkatan aktivasi sel T pada cairan BAL berhubungan dengan meningkatnya hiperresponsif saluran napas dan peningkatan jumlah eosinofil. Dari pengamatan bahwa sel T berperan penting terhadap pathogenesis asma. Dengan bantuan “helper” sel T CD4 disebut sel T helper -1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th-2). sel T naïf
adalah sel limfosit matang yang belum pernah terpapar terhadap antigen. Sel T naïf yang terpajan antigen akan berkembang menjadi Th0 dan selanjutnya dapat berkembang menjadi menjadi sel efektor efektor Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan berdasarkan berdasarkan jenis sitokin yang diproduksinya. Sel Th2, berdasarkan sitokinna, secara khusus dapat meningkatkan infamasi alergi dengan meningkatkan sintesa IgE, aktivasi
dan akumulasi eosinofil. Inflamasi alergi lebih didominasi oleh sel-sel Th2 dengan mengeluarkan sel-sel inflamasi mereka. Sel-sel cairan BAL penderita asma ditemukan peningkatan ekspresi mRNA pada IL-4 IL-4 dan IL-5.
Sel-sel Th2 dan
hubungan sitokinnya berperan penting menimbulkan respon inflamasi pada saluran napas penderita asma, terutama yang dihasilkan oleh IgE (IL-4, IL-13), eosinofil (IL-5), sekresi mukus ( IL-13) dan hiperrespon saluran napas (IL-13). Walaupun pada percobaan invitro menunjukkan bahwa sel-sel Th1 dan Th2 adalah Th1 diketahui untuk menseksresi IL-12 dan IFN- γ.Th2 diketahui untuk mensekresi IL-4, IL-5, IL-13. Levi M, Levy M, Williams MD, et al. Prophylactic Heparin In Patients With severe Sepsis Treated With Drotrecogin alfa ( activated). American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine vol 176. Tahun 2007. Sepsis berhubungan dengan aktivasi koagulasi
sistemik dan sering
disebabkan oleh DIC (disseminated intravascular coagulation). Penderita sepsis berat
berisiko
tinggi
terjadinya
tromboemboli
vena
(
VETS=
tromboembolic events) oleh karena salah satu atau lebih faktor berikut ini: 1. Usia lanjut 2. Penyakit kardiopulmonal yang kronik 3. Baru menjalani pembedahan 4. Imobilisasi 5. Pemasangan kateter vaskuler 6. Riwayat VTEs sebelumnya
venous
Tentu saja penggunaan profilaksis VTE dengan unfractioned heparin ( UFH), low molecular weight heparin (LMWH), menjadi standart pelayanan pada sebagian besar institusi.