PENCABUTAN HAK POLITIK KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM, KEADILAN DAN KEMANFAATAN
Erika Sutrisno Mahruf
Kompetesi Debat Konstitusi Mahasiswa Antar Perguruan Tinggi se-Indonesia Tahun 2017
Universitas Bangka Belitung Balunijuk Mei,2017
DAFTAR ISI
Halaman Judul ….…………………………………………………………………….
i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………….
ii
Lembar Orisinalitas ….……………………………………………………………….. ….………………………………………………………………..
iii
A. Pendahuluan
….……………………………………………………………….
1
B. Pembahasan Pembahasan
…………………………………………………………………
3
1. Kelebihan Pencabutan Hak Memilih dan dan Dipilih Terpidana Terpidana Korupsi …………
3
2. Kekurangan Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Terpidana Korupsi ……….
6
……………………………………………………………………..
9
…………………………………………………………………..
9
………………………………………………………………………….
10
………………………………………………………………………
11
C. Penutup
1. Simpulan 2. Saran
Daftar Pustaka
ii
LEMBAR ORISINALITAS ARTIKEL ILMIAH KOMPETISI DEBAT KOSTITUSI MAHASISWA MAHASISWA ANTAR PERGURUAN TINGGI SE-INDONESIA SE -INDONESIA TAHUN 2017
Kami yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
:
NIM
:
Asal Universitas
: Universitas Bangka Belitung
Alamat
:
Judul
: Pencabutan Hak Politik Koruptor dalam Perspektif Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Menyatakan bahwa artikel ilmiah yang kami sertakan dalam kegiatan Kompetisi Debat
Konstitusi
Mahasiswa
Antar
Perguruan
Tinggi
se-Indonesia
Tahun
2017
yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah hasil karya kami sendiri, bukan jiplakan (plagiat) dari hasil karya orang lain dan belum pernah diikutkan dalam segala bentuk perlombaan serta belum pernah dipublikasikan dimanapun. dimanapun. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa artikel ilmiah kami tidak sesuai dengan pernyataan kami, maka secara otomatis karya ilmiah kami dianggap gugur. gugur. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya.
Balunijuk, 26 Mei 2017 Mengetahui
Ketua Tim Debat
Ttd, cap basah
Ttd/materai
(Rektor/Pimpinan institusi Pendidikan)
(Nama)
NIP.
NIM iii
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai bentuk yang paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat, serta wujud yang paling konkret terhadap partisipasi rakyat dalam dala m penyelenggaraan negara. Selain pemilu, wakil juga juga dapat dipilih melalui pengangkatan. pengangkatan. Di dalam demokrasi modern, pemilu selalu dikaitkan dengan konsep demokrasi perwakilan yang berarti keikutsertaan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya di dalam pemerintahan. Pada perkembangannya pemilu di Indonesia bukan hanya untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Daerah(DPRD, tetapi juga dilakukan untuk pemilihan pemilihan presiden dan wakil presiden, bupati dan gubernur, untuk seleksi hakim agung juga sangat berhubungan dengan pemilu karena seleksi hakim agung dilakukan melalui fit and proper test yang dilakukan oleh DPR dimana anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Melalui wakil-wakil rakyat itulah tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur akan tercapai. Akan tetapi, wakil-wakil rakyat yang menduduki jabatannya di dalam pemerintahan seringkali mencederai amanat rakyat, salah satunya tindak pidana korupsi di berbagai struktur pemerintahan yang biasanya disebut korupsi politik.Merilis data laporan Komisi Pemberantasan Korupsi dari tahun 201420161, Perkara tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan mengalami peningkatan yang tajam yaitu 54 perkara tahun 2014, 63 perkara tahun 2015 dan 99 perkara tahun 2016.Selain itu, perkara tindak pidana penyuapan juga mengalami hal yang sama yaitu 20 perkara tahun 2014, 38 38 perkara tahun 2015 dan 79 perkara tahun 2016. Dari kajian korupsi politik yang terjadi di beberapa negara modern 2, terlihat bahwa korupsi politik memiliki dampak lebih luas dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki posisi politik. Entitas korupsi politik melekat dengan kekuasaan.
1
Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi , diakses dari https://www.kpk.go.id/splash/ https://www.kpk.go.id/splash/,, pada tanggal 15 Mei 2017, pukul 18.25 WIB. 2 Artidjo Alkostar, Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern, Modern , Vol.16, 2009.hlm.155.
1
Korupsi politik lebih berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Dari konstelasi penyalahgunaan kekuasaan dan kebutuhan ketertiban sosio politik, menuntut adanya peran kontrol yang sepadan terhadap pelaksanaan kekuasaan. Kekuasaan pemerintahan diberi mandat untuk mengatur dan mendistribusikan kekayaan negara, sehingga dalam proses pendistribusian tersebut selalu berpotensi adanya penyimpangan yang dilakukan oleh oleh yang berwenang, yaitu pemegang kekuasaan. Adapun bahaya dari kasus sistemik itu adalah dapat mengancam dan membahayakan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran t erhadap hakhak sosial dan ekonomi masyarakat secara meluas. Sudah banyak upaya yang dilakukan dilakukan aparat penegak hukum sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi upaya itu tidak serta merta membuat perkara korupsi menjadi berkurang. Aparat penegak hukum juga juga sudah berusaha mengeluarkan terobosan
baru yang yang
dipandang mampu mencegah dilakukannya tindak pidana korupsi, salah satunya penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pencabutan hak politik tersebut dimaksudkan untuk melindungi negara agar bersih dari para pemangku kekuasaan yang memiliki track record yang yang buruk khususnya tindak pidana korupsi. Namun hal itu menuai pro-kontra dalam implementasinya. Beberapa pihak berpendapat bahwa pencabutan hak politik melanggar hak konstitusional warga negara yang tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya dan Pasal 28D ayat (3) setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan . Perlindungan hak konstitusional warga negara merupakan wujud dari nilai keadilan yang serta merta menjamin kebahagian masyarakat atas penerapan kepastian hukum dalam peraturan perundangan-undangan.H perundangan-undangan.Hal al ini sejalan dengan tiga nilai dasar hukum menurut Gustaf Radbruch 3yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan demikian, permasalahan yang akan dibahas ialah apakah pencabutan hak politik koruptor telah memenuhi tiga nilai dasar hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam penerapannya?
3
Said Sampara ddk,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum , Total Media, Yogyakarta,2011,hlm.48.
2
B. PEMBAHASAN 1. Kelebihan Pencabutan Hak Politik Bagi Koruptor
Negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Salah satu ciri negara hukum dengan sistem tersebut ialah sangat menjunjung tinggi asas legalitas dalam penegakan hukumnya. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan hukum menurut Soedjono Dirdjosisworo yakni kepastian hukum 4. Dikaitkan dengan kontruksi hukum pidana Indonesia, maka pencabutan hak memilih dan dipilih terpidana korupsi telah memenuhi asas legalitas. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan dan untuk pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Salah satu pencabutan hak-hak tertentu terdapat pada Pasal 35 KUHP Ayat (1) Angka (3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. umum. Kemudian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menegaskan pada Pasal 18 Ayat (1) Huruf (d ) (d ) pencabutan seluruh sel uruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana . Secara filosofis, sesungguhnya penjatuhan hukuman tambahan merupakan manifestasi dari upaya penegak hukum dalam mewujudkan cita-cita luhur dari pemidanaan, yaitu keadilan. Aristoteles dalam teori keadilan distributif ( justitia justitia distributiva), distributiva), mengatakan bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya5. Sementara itu, dalam teori keadilan vindikatif atau korektif yang merupakan keadilan yang berorientasi pada kepentingan hukum masyarakat, mensyaratkan terjaminnya ketertiban dan keamanan. Prinsip keadilan korektif menggunakan instrumen pidana atau hukuman sehingga nilai keadilan sangat tergantung dari penjatuhan pidana atau hukuman yang tepat yang dikenal pula dengan istilah penjatuhan hukuman yang setimpal dengan perbuatan. 6 Penjatuhan hukuman tambahan tersebut erat kaitannya dengan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara yang terkandung di dalam UUD NRI 1945.
4
Said Sampara,dkk,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta,2011, hlm.42. Ibid, hlm. 45. 6 J. Pajar Widodo, Menjadi Widodo, Menjadi Hakim Progresif , Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2013, hlm. 43. 5
3
Secara konstitusional, pencabutan hak politik tidak bertentangan dengan konstitusi termasuk dengan Hak Asasi Manusia (HAM), di dalam pasal 28 J Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun Tahun 1999 Tentang HAM sudah ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis . Mengingat perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar nilai-nilai agama dan juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka terpidana korupsi sekalipun wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang. Dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM menegaskan bahwa hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam kategori derogable rights, yakni rights, yakni hak yang bisa dilanggar oleh penegak hukum, hal ini sejalan dengan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada Pasal 25 Point (b) jo Pasal 4 Ayat (1) menegaskan bahwa hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum ialah bersifat derogable rights, rights, karena saat ini Indonesia dalam keadaan darurat korupsi sehingga hak memilih dan dipilih tersebut bisa dibatasi. Apabila ditinjau melalui prinsip-prinsip Pancasila, maka prinsip Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Indonesia , haruslah dijadikan satu-satunya parameter pencapaian keadilan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, hal ini bukan berarti bahwa keadilan sosial terpidana korupsi yang menjadi prioritas utama dalam perlindungan hak-hak asasi manusia melainkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Pernyataan ini ditegaskan kembali dalam konstitusi yakni Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat yang berarti pula kedaulatan bagi seluruh rakyat bukan hanya individu. Dengan demikian, perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, bukanlah berdasarkan pada pandangan barat yang menjamin demokrasi dengan kebebasan individu tanpa batas, tetapi berdasarkan kepada keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 4
Dari aspek kemanfaatan, penerapan hukuman tambahan berpengaruh baik bagi masyarakat pada umumnya dan pejabat publik pada khususnya. Hal ini sejalan dengan teori relative dalam hukum pidana Indonesia yang tidak menekankan pembalasan akan tetapi lebih kepada ketertiban didalam masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving (dehandhaving van de maatschappelijke orde), orde ), untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het (het herstel van het doer de misdaad onstanemaatschappelijke nadeel ), nadeel ), untuk memperbaiki si penjahat (verbetering ( verbetering vande dader ), ), untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger ), ), dan untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad ). ).7Menurut Koeswadji, pencabutan hak memilih memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi ialah sebagai langkah preventif bukan langkah represif karena seharusnya yang menjadi prioritas tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah penyebab yang melatarbelakangi dilakukannya korupsi bukan memberikan efek jera semata. Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori GONE 8 yang terdiri dari Greed, Opportunity, Neccessity, dan Exposure. Greed yang berarti keserakahan dari pelaku korupsi yang ingin melanggengkan kekuasaan, Opportunity berarti Opportunity berarti kesempatan dimana sistem yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi, Neccessity yang Neccessity yang berarti kebutuhan yang tak kunjung ada batasnnya dan Exposure yang Exposure yang berarti pengungkapan dimana pengungkapan kasus korupsi terutama di Indonesia sangat kecil. Berdasarkan teori tersebut diatas maka pencabutan hak politik terpidana korupsi tentu bisa memberantas akar permasalahan yang selama ini terjadi. Hukuman tambahan meminimalisir manajemen struktur pemerintahan yang rawan korupsi dengan cara mencegah mantan koruptor untuk tidak bisa lagi menjabat sebagai pejabat publik. Berdasarkan hasil survei survei Transparancy Internasional Indeks, Indeks , pencabutan hak politik menjadi politik menjadi salah satu parameter keberhasilan dalam upaya pemberantasan korupsi. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa kasus kasus tindak pidana korupsi korupsi di Indonesia Indonesia mengalami penurunan.
7
Koeswadji, Perkembangan Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana , Citra Aditya Bhakti, Bandung,1995, hlm. 12. 8 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, Pidana , Udayana University Press, Denpasar, 2014, hlm. 98.
5
Dalam Corruption Perception Index 9, Indonesia mengalami peningkatan skor dari 34, 36, 36, dan 37 yang yang terhitung dari tahun 2014-2016 dengan skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih) sehingga negara Indonesia mengalami penurunan peringkat sebagai negara terkorup yaitu yang awalnya peringkat ke 107 dari 175 negara pada tahun 2014 kemudian pada tahun 2016 menduduki peringkat peringkat ke 90 dari 175 negara. Berdasarkan fakta tersebut maka pencabutan hak memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi merupakan langkah langkah yang paling tepat.
2. Kekurangan Pencabutan Hak Politik Koruptor
Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia ialah negara demokrasi. Salah satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakannya pemilu dalam waktu-waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian pendelegasian hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. 10 Negara yang berkedaulatan rakyat sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya. Sebaliknya, negara yang tidak menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia ialah negara yang mendasarkan atas kekuasaan dan kesewenangan belaka. Sampai saat ini,paling tidak ada beberapa kasus besar yang terdakwanya pernah dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, yakni mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol.Djoko Susilo yang terlibat kasus korupsi dalam proyek simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) dan eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq yang terlibat kasus pengadaan daging sapi impor. Irjen Pol. Djoko Susilo yang dijatuhkan pencabutan hak memilih dan dipilihnya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 573K/Pid.Sus./2014, 11 sedangkan Luthfi Hasan Ishaq dijatuhkan
pencabutan
hak
dipilihnya
berdasarkan
putusan
MA
Nomor
1195K/Pid.Sus/2014.12
9
Hasil Survei Transparancy International , diakses dari https://www.transparency.org/research/cpi/overview https://www.transparency.org/research/cpi/overview,, pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 20.15 WIB. 10 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006,hlm. 248. 11 Putusan Mahkamah Agung Nomor 573K/Pid.Sus./2014, diakses dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/ http://putusan.mahkamahagung.go.id/,, pada tanggal 17 mei 2017, pukul 20.35 WIB. 12 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus./2014, diakses dari http://putusan.mahkamahagung.go.id http://putusan.mahkamahagung.go.id,, pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 18.35 WIB.
6
Dalam konsep legalitas, sebuah peraturan perundang-undangan harus dapat diterapkan tanpa ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lain. Penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi menimbulkan berbagai kontroversi, karena terjadi tumpang tindih peraturan dimana dalam putusan Makhamah Agung (MA) Nomor 573K/Pid.Sus./2014 terhadap terpidana korupsi Djoko Susilo dalam kasus korupsi proyek simulator (SIM) dan Putusan MA Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 terhadap Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus pengadaan daging sapi impor yang tidak mecantumkan legitimasi masa pencabutan hak tersebut. Sudah jelas pada Pasal 38 Ayat (1) KUHP menegaskan bahwa pencabutan hak tertentu paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokoknya. Hal ini sejalan sej alan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/200913 yang menetapkan bahwa pencabutan hak tertentu hanya berlaku sampai 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Sementara dalam pemberlakuannya tidak ada legitimasi masa pencabutan hak politik.Tidak adanya legitimasi masa pencabutan hak politik di dalam penerapannya menjadi salah satu alasan pencabutan hak politik tidak bisa diterapkan karena sudah tidak sesuai dengan aturan dasarnya yaitu KUHP. Selain itu hal ini juga menunjukkan bahwasanya hakim agung tidak memiliki integritas, adil dan professional dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 24A Ayat (2) UUD NRI 1945 hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. hukum . Sebagai lembaga tinggi negara yang menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan, MK mengemban fungsi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of the constitusion) 14. Hal tersebut membawa konsekuensi MK sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi HAM. Oleh karena itu MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the (the guardian of the democracy), democracy ), pelindung hak konstitusional warga negara (the (the protector of the
citizen’s constitutional
rights) rights ) dan
pelindung HAM (the (the protector of human rights). rights ).
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009, diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/,, pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 15.30 WIB. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ 14 Janedjri M.Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Vol. 10, 2013, hlm. 13.
7
Sejalan dengan asas ius curia novit yang berarti hakim dianggap tahu, 15 maka putusan MK seharusnya dijadikan pedoman putusan hakim agung beserta hakim peradilan di bawahnya. Apalagi, putusan hakim konstitusi berlandaskan UUD NRI 1945, sementara putusan hakim agung beserta hakim lainnya hanya berlandaskan Undangundang (UU).Disamping itu tidak bisa dipungkiri bahwa banyak terdapat kasus korupsi yang tidak menerapkan hukuman tambahan tersebut terhitung dari tahun 2014. Sebagai contoh kasus korupsi proyek pembangunan pusat pendidikan Hambalang terhadap terdakwa Andi Alfian Mallarangeng. 16 Dari pernyataan itu juga dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi perbedaan perlakuan terhadap terpidana korupsi di hadapan hukum yang mana sangat bertentangan dengan asas equality before the law. law . Dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI 1945, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani ialah bersifat non derogable rights. rights . Hak tersebut merupakan bagian dari prinsip negara demokrasi yang berarti setiap orang berhak atas kebebasan pribadi untuk berpikir sesuai hati nurani dalam menentukan suatu pilihan sesuai keyakinan politiknya dan dalam mencalonkan diri sebagai pejabat publik dengan tujuan untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal 28D Ayat (3) (3) setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. pemerintahan . Sementara dengan adanya pencabutan hak politik maka mantan terpidana kasus tindak pidana korupsi yang merupakan warga negara Indonesia tidak bisa
mendapatkan
haknya
dan
menutup
kesempatannya
untuk
memperbaiki
diri.Perbedaan mendasar antara warga negara dengan orang asing adalah hanya warga negara yang mempunyai hak memilih dan dipilih
17
sehingga mantan koruptor yang tidak
mempunyai hak tersebut ialah sama saja orang asing. Hak-hak yang diatur dalam UUD NRI 1945 juga di atur dalam aturan at uran khususnya yakni Pasal 4 Ayat (1) UU HAM seperti hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta Pasal 43 Ayat (1) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang pada hakikatnya mengacu pada ketentuan Pasal 74 UU HAM yaitu, tidak satu ketentuan pun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, 15
Said Sampara dkk, ,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta,2011, hlm. 84. Fathiyah Wardah, Andi Mallarangeng Divonis 4 Tahun Penjara , diakses dari http://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html,, pada tanggal 18 http://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html Mei 2017, pukul 18.30 WIB.
16
17
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 2006,hlm.228.
8
merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, pencabutan pencabutan hak politik terpidana korupsi korupsi yang tidak memberikan legitimasi masa pencabutan, sama saja menghapuskan hak asasi manusia yang mana tidak boleh di kurangi apalagi menghapuskanya.Menurut Franz Magnis Suseno, ada empat alasan agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum yakni : kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, tuntutan budi akal 18. Dalam konteks berhukum penjatuhan hukuman tambahan tidak menjunjung tinggi kepastian hukum yang adil, karena didalam KUHP tidak ada ketentuan berapa tahun pidana pokok yang jatuhkan baru bisa ditambahkan dengan hukuman tambahan. Selanjutnya, jika tujuan hakim dalam pemidanaan ialah agar proses peradilan mampu memberikan efek penjeraan dengan menjatuhkan pidana yang setimpal sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana Korupsi maka itu merupakan hal yang keliru karena p idana dijatuhkan bukan “quia “ quia peccatum est ” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur “ nepeccetur ” (supaya orang jangan melakukan kejahatan) yang mana hal ini i ni sesuai s esuai dengan sistem sist em pemidanaan yang dianut Indonesia saat ini yaitu sistem pemasyarakatan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menegaskan tujuan pemidanaan bahwa sistem pemasyarakatan yang diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan permasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab . Dengan demikian, pencabutan hak memilih dan dipilih tersebut tentunya akan menghambat tujuan pemidanaan.
C. PENUTUP 1. Simpulan
Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih terpidana korupsi tersebut sangat efektif untuk untuk mencegah korupsi korupsi yang berkelanjutan berkelanjutan baik bagi pelaku ataupun masyarakat. Hanya saja, dalam pelaksanaannya haruslah berlandaskan
18
Ni’matul huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta,2015, hlm. 94.
9
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan yakni dengan memberikan legitimasi pencabutan hak memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi sehingga tidak cenderung diskriminasi. Disisi lain, penerapan pencabutan hak politik yang selama ini diterapkan di Indonesia masih tidak jelas dalam penerapannya karena tidak diterapkan dalam semua kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik sehingga sangat bertentangan dengan asas equality before the law law yang dianut dalam hukum pemidanaan di Indonesia.
2. Saran
Dalam memberantas tindak pidana korupsi, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu penyebab timbulnya korupsi yaitu tentunya sistem hukum yang kurang baik dan sikap pemerintah yang tidak tegas. Oleh karena itu, gagasan yang kami tawarkan dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi yaitu sebagai berikut: 1. Memperbaiki sistem hukum yang telah ada dengan merevisi undang-undang yang mengatur syarat-syarat untuk menjadi pejabat publik atau diangkat menjadi pejabat publik, dengan memberikan ketentuan bahwa seseorang yang pernah menjadi pelaku tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenangnya tidak bisa mencalonkan diri sebagai pejabat publik atau diangkat menjadi pejabat publik, sehingga siapapun yang pernah melakukan tindak pidana korupsi tidak bisa menjadi pejabat publik walaupun pidananya pidananya hanya beberapa tahun. 2. Ditambahkan ketentuan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang berapa lama pidana pokok yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang bisa ditambah dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik yaitu hak memilih memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 tahun 1981) menyediakan mekanismenya yang sejalan dengan ketentuan Pasal 35 United Nations Convention Against Corruption / Corruption / Konvensi PBB Anti Korupsi yang mewajibkan kepada setiap negara memberikan jalan bagi pihak-pihak (badan hukum atau pribadi) yang dirugikan untuk menuntut para terdakwa korupsi agar bertanggung jawab atas kerugian yang yang diakibatkan perbuatan korupsinya, korupsinya, yang mana mekanisme tersebut tercantum pada Pasal 98-100 KUHAP yang mengatur penggabungan perkara pidana dan perdata. Dengan demikian, mekanisme ini bisa digunakan untuk menuntut pidana terdakwa korupsi bersama-sama tuntutan perdata yakni membayar uang ganti rugi dengan sistem gugatan class action (perwakilan). 10
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku
Mertha, I Ketut. 2014. Efek 2014. Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana Pidana.. Denpasar:Udayana University Press. Widodo, J. Pajar.2013. Menjadi Menjadi Hakim Progresif . Bandar Lampung: Indepth Publishing. Koeswadji.1995. Perkembangan Perkembangan Macam-macam Pidana Pidana Dalam Rangka Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Pidana. Bandung:Citra Aditya Bhakti. Sampara, Said, dkk.2011. Buku dkk.2011. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum Hukum.Yogyakarta: .Yogyakarta: Total Media.
Huda, Ni’matul. 2015. 2015. Ilmu Negara,.Jakarta: Negara,.Jakarta: Rajawali Pers.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pokok-Pokok 2006. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Negara.. Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher.
B. Internet dan Jurnal
Putusan Mahkamah Agung Nomor 573K/Pid.Sus./2014.diakses 573K/Pid.Sus./2014.diakses dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/.. (pada tanggal 17 mei 2017, pukul 20.35 WIB) http://putusan.mahkamahagung.go.id/ Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus./2014.Diakses dari http://www.putusan.mahkamahagung.go.id/.. (pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 18.35 WIB) http://www.putusan.mahkamahagung.go.id/ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/2009. Diakses http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/..(pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 15.30 WIB) http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
dari
Hasil survei Transparancy International . Diakses dari https://www.transparency.org/research/cpi/overview..( pada tanggal 18 Mei 2017, https://www.transparency.org/research/cpi/overview 20.15 WIB)
. pukul
Laporan Tahunan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi. Diakses dari https://www.kpk.go.id/splash/..(pada tanggal 15 Mei 2017, pukul 18.25 WIB ) https://www.kpk.go.id/splash/
Wardah, Fathiyah.2014. Andi Mallarangeng Divonis 4 Tahun Penjara.(Online).Tersedia: Penjara .(Online).Tersedia: http://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html.. http://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html (diakses pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 18.30 WIB) M.Gaffar,Janedjri. Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Pemilu, Vol. 10, 2013. 11
Alkostar,Artidjo. Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern.Vol.16. Modern.Vol.16. 2009. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
D. Surat Edaran Mahkamah Agung
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana Korupsi
12