Nama Anggota : 1. 2. 3. 4. 5.
Annisa Nur B. Nabilah W. Rangga Aulia R. M. Rizki Asmar F. Vindi Aurelia P.
E0016073 E0016299 E0016351 E0016295 E0016433
Kelas H. Laut Internasional B
URGENSI DIBENTUKNYA KONSENSUS BARU MENGENAI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG SESUAI DENGAN KONDISI SAAT INI A. Pengantar
Dengan diratifikasinya Konvensi Hukum Laut, banyak negara telah berpindah ke tahap pengimplementasian pasal yang terkandung dalam konvensi tersebut. Divisi Hukum Laut dari PBB telah mengidentifikasi negara mana yang secara terang-terangan maupun secara tersirat menjadi organisasi yang aktif dan kompeten untuk mengimplementasikan pasal tersebut. International Hydrographic Organization (IHO) Organization (IHO) secara jelas teridentifikasi di pasal 3 Annex II tentang Komisi Batas Landas Kontinen tapi secara tersirat telah teridentifikasi di beberapa tempat lain. Sebagai tambahan, International Maritime Organization Organization (IMO) merupakan organisasi intenasional yang kompeten, dan hal ini telah diakui berdasarkan dengan Pasal 53 (9) UNCLOS yang berfokus pada alur laut kepulauan, hal tersebut memungkinkan untuk harus beralih kepada organisasi internasional lainnya, seperti IHO, dalam melaksanakan fungsinya. Seluruh rezim kepulauan merupakan permasalahan penting yang dibahas dalam Konferensi Hukum Laut Ketiga. Hal ini cukup untuk mengakui bahwa hak dan kewajiban antara negara kepulauan dan negara pengguna menjadi isu yang mekhawatirkan dari negara-negara tersebut selama konferensi yang berfokus mengenai kebebasan bernavigasi pada satu sisi serta kedaulatan negara pantai pada sisi lainnya. Definisi dari Negara Kepulauan dan lebih tepatnya peraturan untuk melakukan penentuan garis pangkal tertera dalam pasal 46 dan 47 UNCLOS. Pada dasarnya negara kepulauan, sebagai contoh utama yakni Indonesia, dapat menggambar garis lurus di sekitar titik terluar dari wilayah territorial mereka. Dengan demikian, di laut dan di
ruang angkasa diberlakukan dengan status hukum yang sesuai berdasarkan Bagian IV dari konvensi tersebut. Negara perdagangan internasional, khususnya kekuatan angkatan laut dunia tidak memiliki akses untuk melintasi negara kepulauan. Oleh karena itu, kebebasan kapal-kapal untuk berlayar menjadi terbatas, maka diputuskanlah hak untuk melintasi wilayah negara kepulauan sesuai dengan aturan Pasal 53 mengenai Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. B. Proposal Indonesia untuk IMO
Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia mengajukan proposal mengenai alur laut kepulauan ke International ke International Maritime Organization ( IMO ) dengan rencana untuk menentukan alur tersebut. Akan tetapi IMO merekomendasikan agar proposal tersebut diajukan ke International Hydrographic Organization ( IHO ). Alasan yang dikemukakan IMO yakni agar sesuai dengan sudut pandang hidrografi di sepanjang alur laut yang telah direncanakan. Proposal ini telah diterima secara aklamasi pada sidang Maritim Safety Commitee 1 International Maritime Organization. Organization. Negara-negara yang mempengaruhi keberadaan jalur laut tersebut diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Australia, serta Jepang. Jalur yang diajukan Indonesia tidak hanya untuk kapal laut, melainkan untuk jalur ruang angkasa yang mempengaruhi kebijakan Otoritas Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Pada akhirnya, IMO telah menetapkan pertimbangan hal tersebut tetapi untuk penerbangan sipil tetap dibawah otoritas aturan ICAO. Dan permasalahan mengenai administrasi dilakukan oleh IMO. Pada awalnya, IMO memutus bahwa permasalahan administrasi tersebut ditugaskan kepada SubKomite Navigasi. Jadi, dalam NAV 43, proposal yang diajukan oleh Indonesia dikhususkan untuk menyusun sebuah Lampiran Ketentuan Umum tentang rute kapal yang akan dilewati di alur laut kepulauan. Dalam sudut pandang yang lain, terdapat beberapa masalah salah satunya mengenai hubungan alur laut kepulauan dengan langkah-langkah rute yang diambil berpengaruh dengan situasi politik atau keselamatan maritim suatu negara. Salah satu tujuan awal dari perdagangan internasional dan kekuatan maritim adalah untuk mengetahui seluruh rute yang biasa digunakan untuk pelayaran agar dimasukkan ke dalam penunjukkan alur laut kepulauan. Indonesia pada awalnya hanya mengajukan tiga rute dengan arah utara ke selatan maupun sebaliknya.
Tetapi Amerika, Inggris dan Australia ingin ada rute atau jalur dari arah timur ke barat maupun sebaliknya, melalui laut jawa yang pada awalnya merupakan rute tertutup. Akan tetapi, Indonesia menolak secara halus dengan alasan memiliiki kewajiban yang pada akhirnya tidak memliki persepsi untuk membuka jalur sekaligus. Sesuai NAV 43, penolakan Indonesia diterima akan tetapi Indonesia harus membuat lampiran baru yang secara eksplisit menjelaskan bahwa tujuan akhirnya memiliki jalur laut yang didirikan di sepanjang rute yang biasa dilalui pelayaran internasional. Namun di sisi lain, Amerika dan Australia tetap menganggap bahwa rute tersebut tetap ada. Walaupun terdapat kemajuan yang terjadi di NAV 43 mengenai alur laut kepulauan Indonesia, akan tetapi waktu yang dimiliki untuk melakukan peninjauan terhadap proposal Indonesia sangat terbatas. Oleh karena itu, proposal tersebut harus diangkat kembali di pertemuan Komite Keselamatan Maritim selanjutnya. C. Pemeriksaan Proposal Indonesia
Pada awalnya, pelayaran internasional ingin agar proposal yang diajukan Indonesia segera diterapkan. Hal tersebut dimaksudkan agar lampiran mengenai Panduan Rute, kepentingan perkapalan mendapat kejelasan agar proposal tersebut segera diperiksa sesuai dengan apa yang diajukan. Sulit untuk dapat mengetahui aspek apa saja yang harus diperiksa dalam rute laut yang diusulkan, hendaknya memahami terlebih dahulu mengenai kepentingan jalur laut tersebut, apakah untuk kepentingan politik atau kepentingan keamanan maritim. Pertimbangan mengenai hal ini tergantung penafsiran dari Pasal 53 ayat (5). Dalam pasal 53 ayat (5) berisi tentang ketentuan mengenai kapal dan pesawat tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil dari garis sumbu kontinu dari titik masuk ke titik keluar. Kapal dan pesawat tidak boleh bernavigasi lebih dekat 10 persen lebih dekat ke pantai. Tidak ada aturan yang rigid mengenai “10 persen” “10 persen” tersebut. Hal ini merupakan salah satu salah satu sumber kesulitan penginterpretasian dari pengertian dan ruang lingkup dari “10 persen” tersebut. Hal ini diasumsikan bahwa peraturan tersebut bermaksud untuk menjaga kapal dari kerusakan /
kandas akibat terkena biota laut, atau hanya untuk menjaga mereka agar tetap di daerah lepas pantai yang wajar untuk kepentingan strategis negara kepulauan. Istilah “10 persen” menghasilkan dua metode interpretasi. Yang pertama adalah apakah seseorang mengukur jarak antara pulau di setiap sisi sumbu kemudian mengambil 10 persen dari hal tersebut, atau mengambil jarak antara pulau dan poros jalur laut? Kedua interpretasi terebut menimbulkan kesulitan. Metode pertama rancu karena terdapat banyak pulau dan pulau mana yang harus dipilih. Kemudian metode kedua menimbulkan permasalahan pengukuran jarak antara poros ke sisi jauh pulau. D. Pernyataan Keselamatan
Tidak jelas apakah alur laut kepulauan merupakan ukuran keamanan atau ukuran politik. Jika hanya ukuran politik hal ini bukan urusan IHO taupun urusan IMO. Namun hal ini diatur dalam pasal 54 yang ditegaskan pada pasal 39, 40, 42, dan 44 dengan menerapkan “mutatis “mutatis mutandis”
yang artinya perubahan yang penting yang menyatakan : ‘Negara yang berbatasan
dengan selat tidak akan menghambat jalur transit dan memberikan pemberitahuan yang tepat untuk bahaya navigasi atau overflight didalam didalam atau diatas selat yang mereka ketahui. Tidak akan ada penangguhan lintas transit” Ukuran rute normal diperiksa oleh IMO dengan bantuan IHO dari sudut pandang apakah seluruh area aman untuk pelayaran kapal – kapal. Sebuah negara mengusulkan sebuah sistem pemisah lalu lintas atau bentuk lain dari rute yang diharapkan untuk berkonsultasi dengan semua lembaga yang menyediakan layanan navigasi untuk memastikan navigasi tersebut aman. Termasuk survey dari kantor hidrografi yang mengidentifikasi dasar laut hubungan geografis, hubungan geografis dengan daratan serta dinamika lautan. Dengan proses tersebut, IMO menyarankan Indonesia untuk berkonsultasi ke IHO dikarenakan IHO memeriksa proposal dengan hati-hati dan mencatat berbagai kesulitan pada bagian hidrografi. Dalam hal mengenai keselamatan navigasi, kita harus kembali ke masalah dasar apakah kita harus peduli atau tidak pada jalur laut kepulauan sebagai instrumen keamanan laut. Jika kita kembali ke asal, maka segala aspek di jalur laut seharusnya diperiksa dari sudut pandang akurasi dan reliabilitasnya. Segala aspek yang muncul pada peta laut harus dipertanyakan apakah itu benar disurvei dan digambarkan secara akurat. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk
memastikan bahwa itu sempurna. Di sisi sisi lain, jika jalur laut hanya hanya untuk memenuhi persyaratan politik, untuk bagian yang tidak terhalangi kapal oleh wilayah asing maka hanya sampai navigator melihat bahwa mereka melakukan
navigasi yang normal dan menghindari semua
bahaya yang tampak karena mereka akan melakukann nya untuk setiap area di laut lepas. E. Alur Laut Kepulauan Indonesia
Tiga rute awalnya diajukan oleh Indonesia yang kemudian dihasilkan melalui pengajuan ini terdiri atas sesuai dengan konsesus alur laut kepulauan, yakni: 1. Alur laut kepulauan I, I, dari Laut Cina Selatan sampai Samudera Hindia 2. Alur laut kepulauan II, II, dari Laut Sulawesi sampai sampai Samudera Hindia 3. Alur laut kepulauan III, III, terdiri dari a. Menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia melalui laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti b. Menghubungkan antara Samudera Pasifik dengan Laut Arafuru c. Menghubungkan Pasifik dengan Samudera Hindia melalui Selat Ombai, Laut Sau dan sebagainya d. Menghubungkan antara Samudera Hindia sampai Laut Sulawesi Konsensus ini juga menghasilkan 19 aturan mengenai lintas alur laut kepulauan. Aturanaturan ini mengatur prosedur keselamatan pengiriman, hak dan kewajiban, mode normal, tidak terhalang, rute navigasi yang memungkinkan, navigasi militer, dll. F. Relevansi Alur Laut Kepulauan dengan Keadaan Saat Ini
Alur Laut Kepulauan adalah jalur laut navigasi yang digunakan untuk melewati perairan kepulauan dan laut territorial Indonesia. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982, setiap kapal asing yang melewati Jalur Laut Kepulauan menggunakan mode normal dan Navigasi Tidak Terhalang. Karena perlindungan terhadap lingkungan laut semakin berkembang, praktik mode normal dan navigasi yang tidak terhalang tidak lagi sama. Fakta bahwa Alur Laut Kepulauan
Indonesia tumpang tindih dengan kawasan yang dilindungi oleh dunia inisiatif dari Segitiga Karang di Terumbu Karang Perikanan dan Ketahanan Pangan ( CTI-CFF ). Pada sejarahnya, perkembangan pesat tentang kelautan lingkungan menunjukan bahwa Indonesia merupakan salah satu daerah Segitiga Karang Dunia. Yang berarti, wilayah laut Indonesia adalah wilayah yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan ekosistem. Tahun 2009, di Manado, 6 negara, yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Pulau Solomon mengumumkan dan memulai pembentukan CTI-FF. Hampir setemgah wilayah Indonesia ditetapkan sebagai CTI-FF terutama laut Timur Indonesia. Menteri ESDM menetapkan Wilayah Perlindungan Laut ( MPA ) yang terdiri dari 3 kriteria, seperti, ekologi, sosial budaya, dan ekonomis. Dengan kriteria ini, ditetapkan 4 tipe kawasan konservasi laut yang terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam Laut, Taman Rekreasi Alam, dan Penangkaran Ikan. Pemerintah Indonesia telah merencanakan 20 juta Kawasan Konservasi Laut ( KKL ) pada tahun 2020. Saat ini ada 18 ekoregion, dam 9 dari mereka tumpang tindih dengan Jalur Laut Kepulauan, seperti: 1. Ecoregion 4 dari Laut Natuna memiliki 2 Kawasa Konservasi Perairan ( KKP ) 2. Ecoregion 5 dari Selat Karimata memiliki 7 KKP 3. Ecoregion 6 Laut Jawa memiliki 12 KKL 4. Ecoregion 7 dari Celebes Sea memiliki 7 MPA 5. Ecoregion 8 dari Selat Makassar memiliki 8 KKP 6. Ecoregion 9 dari Bali Water Nusa Tenggara memiliki 19 MPA 7. Ecoregion 11 dari Laut Halmahera memiliki 4 KKP 8. Ecoregion 12 dari Laut Banda memiliki 4 KKP 9. Ecoregion 15 di Laut Banda memiliki 4 PKP Berdasar penilitian terbaru, ditemukan fakta bahwa pada dasarnya ada banyak sumber makanan yang kaya, tempat penetasan, dan lintas batas bagi hewan hewan. Seperti Lautan Savu dimana merupakan daerah persimpangan tempat terjadinya perkawinan ikan paus sehingga paus disekitar lautan sering berkumpul di daerah ini. Selain itu, ada banyak sumber suara bawah laut
yang berasal dari berbagai sumber suara alam laut lingkungan, seperti suara komunikasi laut dan gunung api di bawah laut. G. Mode Normal dan Jalur Tidak Terhalang
Pasal 53 LOSC 1982 telah menetapkan dalam Hak Pelayaran Asing untuk melewati Alur Laut Kepulauan adalah wewenang negara kepulauan untuk menunjuk atau tidak menunjuk jalur laut untuk digunakan sebagai jalur pelayaran Internasional. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Hal ini mengakibatkan rezim alur laut kepulauan lahir sebagai rezim baru dan navigasi khusus dalam konteks pelayaran internasional. Mode normal adalah konsep pengiriman dimana setiap kapal atau kapal selam dapat melakukan pengiriman normal, seperti kapal selam yang diizinkan untuk berlayar normal dengan menyelam ketika melintasi ASL tanpa harus muncul ke permukaan air serta kapal perang dan pesawat. Mode normal digunakan digunak an biasanya digunakan digunak an di laut lepas dimana semua kapal berlayar normal. Hal ini yang membedakan lintas damai bahwa kapal tidak dapat berlayar dengan bebas sesuai dengan prosedur dalam arti kapal selam harus muncul di permukaan saat lewat menggunakan hak lintas damai. Sementara itu, jalur tidak terhalang adalah pengiriman bebas dari segala rintangan, pembatasan, dan keterbatasan ketika melewati jalur kepulauan, bahkan tidak ada suspense atau diskriminasi terhadap kapal yang lewat. Tidak seperti hak lintas damai, negara kepulauan dapat memberhentikan atau menunda semua navigasi dengan beberapa alasan. H. Dampak Navigasi untuk Lingkungan Laut
Sebagai negara persimpangan pelayaran dunia, laut Indonesia dilintasi berbagai jenis kapal. Setiap kapal yang hendak melewati alur laut kepulauan Indonesia, harus tunduk kepada UNCLOS 1982. Hal inilah yang membuat alur laut kepulauan Indonesia menjadi ramai dan sibuk karena merupakan salahsatau koridor / jalur yang akan dilewati kapal-kapal tersebut.
Permasalahan yang muncul berkaitan dengan hal tersebut adalah, semua alur laut kepulauan Indonesia berada sangat dekat dan bahkan berpotongan dengan Kawasan Lindung Laut. Hal ini seharusnya menjadi perhatian, agar ada peraturan khusus yang mengatur lintas kapal di Kawasan Lindung Laut untu mencegah polusi dan penghancuran Kawasan Lindung Laut karena lalu lintas kapal itu sendiri. Saat ini Indonesia dan IMO tidak memiliki konsensus baru mengenai cara mengatur kapal yang melewati alur laut kepulauan Indonesia. Kegiatan pengiriman menggunakan kapal di Indonesia sangat mungkin untuk resiko kecelakaan yang terjadi, seperti kerusakan kapal akibat terumbu karang, pencemaran laut, serangan hewan langsung, serta polusi yang dihasilkan dari kapal tersebut. Polusi yang dimaksud bukan hanya polusi sampah, tetapi juga bisa berupa polusi suara. Polusi suara yang dihasilkan dapat menyebabkan gangguan frekuensi mamalia laut yang mengancam rantai makanan dan ekosistem laut. Kawasan Lindung Laut Indonesia yang kaya akan terumbu karang memerlukan penanganan yang berbeda, agar terhindar dari kemungkinan kecelekaan kapal, tumpahan minyak, dan lempar jangkar yang dapat menimbulkan kerugian, potensi resiko, dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. I. Konsensus Baru tentang ASL Indonesia
Area yang tumpang tindih antara MPA dan ASL membutuhkan kebijakan dan keinginan untuk mempertahankan keberlanjutannya. Hal ini dilakukan untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi dari semua sumber polusi laut terutama polusi kapal. Dalam hal ini penerapan lintas hak lintas alur laut kepulaun di ASL Indonesia, semua pengiriman Internasional harus dilakukan di bawah kode etik yang sesuai dengan kondisi sensitif dari MPA. Kondisi ini harus segera diinformasikan dan didiskusikan dengan IMO dan negara pengguna yang memasukkan data penilitian baru dan hak istimewa dari MPA Indonesia. Jika penilitian baru menemukan bahwa ASL Indonesia tumpang tindih dengan kepentingan perlindungan MPA, maka alasan yang pertama dapat ditinjau. Tidak ada pengecualian dengan mode normal dan tidak konstruktif di ASL Indonesia, konsepnya dapat ditinjau untuk kepentingan perlindungan kepentingan. Demi kelestarian lingkungan laut dan navigasi, review dan pembatalan mode normal dan konsep lintas yang tidak konstruktif dapat diterapkan tanpa harus mengubah LOSC dan tanpa
menutup ALS untuk melindungi laut. IMO menambahkan pasal baru ke 19 aturan dari lintas garis laut kepulauan di Indonesia sebagai aturan khusus. 19 aturan dari lintas garis laut kepulauan merupakan peraturan khusus yang harus dipatuhi dan berlaku saat kapal dan pesawat melalui ASL Indonesia. Secara hukum 19 aturan merupakan peraturan khusus atau lex specialis untuk semua pengiriman di Indonesia. Saat ini konsep mode normal dan bagian yang tidak konstruktif dalam ASLP tidak relevan lagi. Maka dari itu, diperlukan konsensus baru berdasarkan semangat untuk melindungi laut antara Indonesia, negara pengguna dan IMO. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, amtara lain menambahkan pasal, merevsi, merevsi, atau membuat aturan baru di 19 aturan. Solusi terbaik yaitu yaitu untuk menyiapkan area khusus dan mengirimkannya ke IMO bersama dengan kode etik khusus sesuai dengan pengiriman internasional di daerah khusus. Selain itu, IMO mendukung upaya pencegahan kerusakan Kawasan perlindungan laut. IMO sebagai organisasi yang di akui oleh LOSC mengakui dan memprioritaskan keselamatan pengiriman untuk mencegah polusi dan perusakan lingkungan laut karena kegiatan pengiriman. Pertimbangan ini didasarkan pada pentingnya kawasan konservasi untuk kepentingan keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk nyata dukungan IMO untuk melindungi lingkungan laut yaitu adanya Pedoman Identifikasi dan Penunjukan Daerah Laut Khusus Sensitif (PSSA). Untuk mencegah polusi, seperti polusi suara karena pengiriman diperlukan untuk mengatur kecepatan kapal idealnya seharusnya menurunkan kecepatan kapal atau dapat menghentikan pengiriman sementara, terutama ketika mamalia laut bertemu secara kebetulan selama musim kawin dan mencari makan. Alasan lanjut pada upaya studi kelautan di Indonesia harus dilakukan terutama di wilayah laut yang kaya akan keanekaragaman hayati. Hal ini penting karena adanya tumpang tindih antara CTI – CTI – FF FF dan alur laut kepulauan membutuhkan perlakuan khusus, sesuai dengan kondisi CTI – CTI – FF. FF. Selanjutnya, konsensus baru antara Indonesia, negara pengguna dan IMO untuk membuat peraturan baru tentang kode etik pengiriman p engiriman di ASL Indonesia. Perlakuan khusus dan kode etik untuk area ASL yang sensitif harus diimplementasikan segera seperti memperlambat kecepatan
kapal, menggunakan teknologi untuk mengurangi suara suara dari mesin kapal. Dan yang yang terakhir membutuhkan kerjasama Internasional, niat baik, dan tujuan bersama untuk membatasi penggunaan mode normal dan konsep yang tidak obyektif melalui konsensus baru.
Kesimpulan : 1. Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui oleh masyarakat Internasional sebagai konsekuensi dari pengakuan tersebut berdasarkan UNCLOS 1982 negara kepulauan harus memberikan hak lintas bagi kapal kapal asing. Indonesia telah berhasil menetapkan ALKI yang telah dikonsultasikan ke IMO.
2. Penentuan alur laut ini berdasarkan konvensi memberikan hak kepada negara kepulaun untuk menentukan alur lautnya sendiri. Tidak ada intervensi dari negara negara lain, missal Indonesia yang diminta membuka alur laut kepulauan baru dari timur ke barat dan sebaliknya oleh beberapa negara seperti Amerika, Australia, dsb. Indonesia tetap memiliki hak untuk menolak pembukaan alur laut baru terebut dikarenakan beberapa alasan seperti : a. alasan keamanan negara b. keselamatan keanekaragaman hayati dan biota laut.
3. Diperlukannya aturan baru yang khusus mengatur mengenai : a. Kode etik pelayaran alur laut kepulauan yang tidak bertentangan dengan UNCLOS b. Penegasan dan Penjelasan kembali mengenai aturan 10 persen dan pemberian symbol perbadaan antara daerah terlarang dan dearah aman. c. Perlindungan biota laut secara lebih rinci lagi