MAKALAH FISIKA STATISTIK APLIKASI DISTRIBUSI MAXWELL-BOLTZMANN
Oleh: Succy Yuliyawati
(1113016300040) (1113016300040)
Rhodiatussholihah
(1113016300044)
Dosen Pembimbing : Fathiah Alatas, M.Si Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisika Statistik
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
1
DAFTAR ISI BAB I ............................................. ................................................................... ............................................ ............................................ ............................. ....... 3 PENDAHULUAN ........................................... ................................................................. ............................................ ................................. ........... 3 A. Latar Belakang .......................................... ................................................................ ............................................ ............................. ....... 3 B. Rumusan Masalah ............................................ .................................................................. ............................................ ...................... 4 C. Tujuan Penulisan Penulisan ........................................... ................................................................. ............................................ ......................... ... 4 BAB II ............................................... ...................................................................... ............................................. ............................................. ......................... .. 5 PEMBAHASAN .......................................... ................................................................. ............................................. .................................... .............. 5 A. Pelebaran Sprectum Akibat Efek Doppler ............................................. ................................................... ...... 5 B. Atom Magnetik Magnetik Dalam Medan Magnet ............................................ ....................................................... ........... 9 C. Dipol Listrik Listrik .......................................... ................................................................ ............................................ ............................... ......... 14 D. Momen Magnetik Dengan Tiga Arah Orientasi..................................... Orientasi......................................... .... 16 E.
Momen Magnetik Dengan Dengan Arah Orientasi Sembarang .............................. .............................. 17
F. Vibrasi Kisi Dalam Kristal ............................................ ................................................................... ............................... ........ 21 G. Hopping .......................................................... ................................................................................. .............................................. ....................... 26 H. Persamaan Difusi Enstein ........................................... .................................................................. .................................. ........... 31 I.
Prinsip Ekipartisi Energi .......................................... ................................................................. .................................. ........... 33
BAB III ............................................. .................................................................... ............................................. ............................................. ....................... 41 PENUTUP............................................................... ...................................................................................... .............................................. ....................... 41 A. Kesimpulan ........................................... ................................................................. ............................................ ............................... ......... 41 B. Kritik dan Saran ............................ .................................................. ............................................ .......................................... .................... 41 DAFTAR PUSTAKA .......................................... ................................................................ ............................................ ........................... ..... 42
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pada akhir abad kesembilan belas, sebagian besar hal yang hendak diketahui tentang fisika tampaknya telah tuntas dipelajari. Dinamika Newton telah berulang kali menalami pengujian ketat, dan keberhasilannya membuat ia diterima menjadi kerangka nalar dasar bagi pemahaman yang mendalam dan taat asas tentang perilaku alam. Keelektrikan dan kemagnetan telah berhasil dipadukan lewat karya teoretik Maxwell, dan begitu pula gelombang electromagnet, yang diramalkan kehadirannya oleh persamaan Maxwell, telah berhasil dan diamati dan diselidiki sifat-sifatnya lewat berbagai percobaan yang dilakukan Hertz. Hukumhukum Termodinamika dan teori kinetic telah pula memperlihatkan kebrhasilanya , terutama dalam member penjelasan terpadu tentang berbagai ragam gejala alam. Lebih umum lagi, Revolusi Industri telah melahirkan tingkat kecanggihan teknologi yang bakal berdampak besar pada kehidupan dan tingkat kehidupan umat manusia dimanapun. Ternyata hanya dalam jangka waktu dasawarsa yang singkat, hasil berbagai percobaan ini menuntun para fisikawan kepada perumusan teori relativitas khusus dan teori kuantum. Salah satunya adalah MaxwellBoltzmann. Distribusi Maxwell-Boltzmann menggambarkan kecepatan partikel dalam gas, di mana partikel tidak terus-menerus berinteraksi satu sama lain, tetapi bergerak bebas antara tabrakan pendek. Ini menggambarkan kemungkinan kecepatan partikel (besarnya vektor kecepatannya) yang dekat dengan nilai yang diberikan sebagai fungsi dari suhu dari sistem, massa partikel, dan bahwa nilai kecepatan. Distribusi probabilitas ini dikemukakan dikemukakan pertama kali oleh James Clerk Maxwell dan Ludwig Boltzmann. Distribusi Maxwell-Boltzmann biasanya dianggap sebagai distribusi kecepatan molekul, tetapi juga dapat merujuk kepada distribusi untuk kecepatan, momentum, dan besarnya momentum molekul, yang masing-masing akan memiliki fungsi probabilitas distribusi yang berbeda, semua dari yang terkait. Kecuali dinyatakan lain, artikel ini akan menggunakan menggunakan "distribusi Maxwell-Boltzmann" Maxwell-Boltzmann" untuk merujuk pada distribusi kecepatan. kecepatan.
3
Distribusi ini dapat dianggap sebagai besaran vektor 3-dimensi yang komponennya adalah independen dan terdistribusi normal dengan mean 0 dan standar deviasi a. Jika Xi didistribusikan sebagai , maka didistribusikan sebagai distribusi Maxwell-Boltzmann dengan parameter a. Selain parameter skala, distribusi identik dengan distribusi chi dengan 3 derajat kebebasan. Segera setelah gagasan revolusioner yang dikemukakan, ini diikuti dengan penerapan penelitian dalam bidang yang hasilnya berdampak sangat besar dalam kehidupan sehari-hari kita dewasa ini.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun membuat rumusan masalah yang berkaitan dengan judul yang dibahas, yaitu: 1. Bagaimana mengaplikasikan distribusi Maxwell Boltzman dalam menjelasakan permasalah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini, yaitu: 1. Mengaplikasikan distribusi Maxwell Blotzman dalam menjelaskan permasalaha
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pelebaran Sprectum Akibat Efek Doppler
Setelah menurunkan beberapa jenis fungsi distribusi untuk system klasik maupun kuantum sekarang kita akan melihat beberapa aplikasi fungsi distribusi tersebut. Pada bab ini kita akan melihat beberapa aplikasi fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann. Pembahasan tersebut diharapkan akan memberikan petunjuk yang berarti kepada para mahasiswa dalam menerapkan fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann dalam beberapa bidang fisika. Efek Doppler dijumpai pada gelombang bunyi maupun gelombang elektromagnetik. Salah satu pesan dari efek ini adalah jika sumber gelombang mendekati pengamat maka panjang gelombang yang diukur oleh pengamat lebih kecil daripada apabila sumber diam terhadap pengamat. Sebaliknya, jika sumber gelombang menjauhi pengamat maka panjang gelombang yang diukur pengamat lebih besar daripada apabila sumber diam terhadap pengamat. Peristiwa ini dapat diiliustrasikan pada Gbr.1 λ
v
λ
λ
w
v λ
Gelombang lebih pendek
Gelombang lebih panjang
5
Gambar.1 Jika sumber mendekati pengamat maka panjang gelombang yang diukur pengamat lebih pendek daripada yang dikeluarkan sumber. Sebaliknya, jika sumber menjauhi pengamat maka panjang gelombang yang diukur pengamat lebih panjang daripada yang dikeluarkan sumber
Khusus untuk gelombang gelombang elektromagnetik, panjang gelombang yang diukur oleh pengamat yang diam yang dihasilkan oleh sumber sumber bergerak dengan kecepatan v x terhadap pengamat adalah
λ = λ o
1
(1)
dengan λ panjang gelombang yang diukur pengamat, λ o adalah panjang gelombang yang diukur jika sumber gelombang diam terhadap pengamat, dan c adalah kecepatan cahaya. Kita definisikan tanda kecepatan yaitu v x > 0 jika sumber mendekati pengamat dan v x < 0 jika sumber menjauhi pengamat. Dalam astronomi, efek Doppler digunakan untuk mengukur kecepatan bintang – bintang. Berdasarkan pergeseran panjang gelombang yang dipancarkan bintang – bintang tersebut maka kecepatan relatif bintang terhadap bumi dapat diprediksi menggunakan persamaan (2).
Keadaan awal
Keadaan akhir
Gbr. 2 Atom memancarkan gelombang elektromagnetik ketika terjadi transisi electron antar tingkat energy
Mari kita perhatikan sebuah atom yang memiliki dua tingkat energy (Gbr 2). Atom tersebut memancarkan spectrum gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu, sebut saja λ o, akibat
6
transisi electron antar tingkat energy atom tersebut. Jika atom dalam keadaan diam maka panjang gelombang yang kita ukur adalah λ o, persis sama dengan panjang gelombang yang dipancarkan atom. Tetapi jika atom mendekati pengamat dengan laju v x maka panjang gelombang yang diukur pengamat adalah λ = λ o (1- vx / c). dan sebaliknya, jika atom menjauhi pengamat dengan laju v x maka panjang gelombang yang diukur pengamat adalah λ = λ o (1 + vx / c). sebagai ilustrasi, lihat Gbr. 3 Jika ada sejumlah atom yang diam maka gelombang yang diukur pengamat merupakan jumlah gelombang yang dipancarkan oleh semua atom. Panjang gelombang yang diterima dari semua atom sama, yaitu λ o. Yang dideteksi oleh pengamat hanyalah gelombang dengan panjang λ o tetapi memiliki intensitas tinggi. Akan tetapi jika atom yang memancarkan gelombang bergerak secara acak maka komponen kecepatan kearah pengamat, yaitu v x juga acak. Akibatnya panjang gelombang yang diukur pengamat yang berasal dari satu atom berbeda dengan yang diukur dari atom lainnya. Pengamat akan mengukur gelombang yang memiliki panjang yang bervariasi dalam jangkauan tertentu. Ini berakibat pada pelebaran garis spectrum yang diamati.
λ o
λ o
vx = 0
λ = λo (1 – v x / c)
λ o
vx λ = λo (1 + v x / c)
λ o
vx
7
Gambar. 3 Pengamat menangkap panjang gelombang yang berbeda – beda bergantung pada gerak relative antara atom terhadap pengamat
Selanjutnya kita akan menentukan distribusi intensitas spectrum pada berbagai panjang gelombang. Kecepatan atom gas pemancar spectrum memenuhi fungsi distribusi Maxwell – Boltzmann karena merupakan partikel klasik. Jumlah atom gas yang memiliki komponen kecepatan antara v x sampai v x + dv x adalah
n(v x )dv x
/ = exp dv
(2)
x
Untuk mendapatkan fungsi distribusi intensitas maka kita harus mentransformasi variabel kecepatan v x ke dalam variabel panjang gelombang λ dengan menggunakan persamaan Doppler (1). Apabila transformasi tersebut dilakukan maka n(v x )dv x menjadi sebanding dengan I(λ)dλ, yang menyatakan intensitas gelombang yang memiliki panjang antara λ sampai λ + dλ. Dengan demikian kita peroleh
/ I(λ)dλ ∞ exp dv
x
(3)
Dari persamaan (1) kita dapatkan
v x = c
−
dv x = -
dλ
(4a)
(4b)
Subtitusi persamaan (4a) dan (4b) ke dalam persamaan (3) diperoleh
/ exp I(λ)dλ ∞
8
/ − ∞ exp dλ Yang selanjutnya bisa ditulis dalam bentuk lebih sederhana sebagai
− I(λ)dλ = I ( ) exp
(5)
dengan I (λo ) adalah intensitas ketika λ = λ o . I (λo ) tidak bergantung pada panjang gelombang tetapi bergantung pada besaran lain seperti suhu gas dan massa atom gas. Gambar. 4 adalah plot I (λ) sebagai fungsi λ pada berbagai suhu gas. Tampak bahwa intensitas terdeteksi di sekitar λ o dengan λ o merupakan lokasi puncak intensitas. Jika suhu diperbesar maka spectrum maki lebar dan intensitasnya makin lemah. Ini disebabkan karena gerakan atom yang makin acak.
Spektrum jika semua atom diam
Spektrum jika atom bergerak acak
Gambar. 4 Plot intensitas sebagai fungsi panjang gelombang pada berbagai suhu gas.
B. Atom Magnetik Dalam Medan Magnet Selanjutnya kita akan bahas suatu assembli yang mengandung kumpulan atom yang memiliki momen magnet. Di dalam assembli tersebut kita berikan medan magnetic B. untuk mempermudah kita assumsikan beberapa sifat berikut ini : i) Tidak ada interaksi antar atom. Interaksi hanya terjadi antara atom dengan medan magnet luar yang diberikan. Ini adalah penyederhanaan
9
yang cukup drastic karena sebenarnya antara momen magnetic ada interaksi. ii) Momen Magnetik atom hanya bisa mengambil salah satu dari dua arah orientasi, yaitu searah medan magnet atau berlawanan arah medan magnet. Ilustrasi dari asumsi tersebut tampak pada Gbr. 4.
B
Gambar. 4 Dalam medan magnet, momen magnetic atom hanya dapat mengambil salah satu dari dua arah orientasi : searah atau berlawanan arah medan magnet.
Kita akan menentukan berapa momen magnetic total yang dihasilkan oleh kumpulan atom – atom tersebut. Kita mulai dengan menghitung energy yang dimiliki masing – masing atom akibat interaksi momen magnetic dengan magnet luar. Interaksi antara momen magnetic dengan medan magnet luar sebesar
memberikan tambahan energy pada atom
⃗ .
U=-
= - μB
cos
⃗
(6)
10
Dengan ϴ adalah sudut antara momen magnetic dan medan magnet. Karena hanya ada dua arah orientasi momen magnetic yang diijinkan, yaitu searah medan magnet (ϴ = 0) dan berlawanan dengan arah medan magnet (ϴ = π), maka tambahan energy atom dengan momen magnetic searah medan magnet adalah
↑
= - μB
(7)
dan tambahan energy atom dengan momen magnetic berlawanan arah medan magnet adalah
↓
= μB
(8)
Probabilitas mendapatkan atom dengan arah momen searah medan magnet sebanding dengan n(
↑
) dan probabilitas menemukan atom dengan arah
momen berlawanan dengan arah medan magnet sebanding dengan n( Dengan demikian, kita dapat menulis
↑ ↑ ↓ ↓
↓
= K n(
)
(9a)
= K n(
)
(9b)
).
dimana K adalah faktor penormalisasi. Karena jumlah total probabilitas harus satu maka
↑ ↓ +
= 1 yang memberikan ungkapan untuk faktor
normalisasi sebagai berikut
K =
↑+ ↓
(10)
Dengan demikian persamaan (9a) dan (9b) dapat ditulis menjadi
↑ ↓
↑ ↑+ ↓ ↓ = ↑+ ↓ =
(11a)
(11b)
11
Atom merupakan partikel klasik yang memenuhi fungsi distribusi Maxwell – Boltzmann. Oleh karena itu, probabilitas masing – masing arah orientasi memenuhi
↑ exp ↑ ↓ ↓
n
∞
= exp
(12a)
n
∞ exp
= exp
(12b)
substitusi persamaan (12a) dan (12b) ke dalam persamaan (11) kita dapatkan bentuk eksplisit dari probabilitas sebagai berikut
↑ = +− − ↓ = + −
(13a)
(13b)
Selanjutnya kita menghitung momen magnetic rata – rata atom. Karena hanya ada dua arah orientasi yang diijinkan maka momen magnetic rata – rata atom dapat dihitung dengan persamaan sederhana
̅ ↑ ↓ = +μ
-μ
− + + − – μ +− −− =μ +−
=
12
=μ Misal x=
2 − − 2 sinh cosh
=μ = μ tanh
Gambar. 5 adalah plot maka
̅ →
(14)
̅
sebagai fungsi suhu. Tampak bahwa jika T
→
0
μ. Artinya bahwa pada suhu tersebut momen magnetic rata –
rata mengambil arah yang sama. Ini terjadi karena pada suhu yang mendekati nol, getaran termal atom – atom menjadi sangat kecil. Interaksi dengan medan magnet luar dapat memaksa atom – atom mengambil arah orientasi yang sama.
13
/ μ
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
0.2
0.4
0.6
1.0
0.8
T / (μB / k)
Gambar 5. Momen Magnetik rata – rata atom sebagai fungsi suhu.
Sebaliknya, pada suhu T
→∞ ̅ → maka
0. Ini akibat getaran atom
– atom yang sangat intensif sehingga medan magnet luar yang diberikan tidak sanggup mengarahkan momen-momen magnet. Energy termal electron jauh melampaui energy interaksi dengan medan magnet. Arah momen magnet atom-atom menjadi acak. Akibatnya, jumlah momen magnet yang searah medan menjadi sama dengan yang berlawanan arah medan. Juga tampak bahwa untuk suhu yang sama,
̅
makin besar jika
medan makin besar. Ini disebabkan penggunaan medan yang besar akan memberikan paksaan yang lebih besar kepada atom-atom untuk menyerahkan momen magnetiknya.
C. Dipol Listrik
Fenomena yang mirip dengan atom magnetic dijumpai pula pada assembli momen dipol listrik. Misalkan kita memiliki sejumlah atom atau
⃗
molekul sejenis yang masing – masing memiliki momen dipol . Didalam assembli tersebut kita berikan medan listrik E . kita ingin mencari berapa
14
momen dipole rata-rata yang dimiliki atom/molekul. Untuk kemudahan kita juga mengasumsikan beberapa sifat berikut ini : i) Tidak ada interaksi antara sesama dipole. Interaksi hanya terjadi antara dipole dengan medan listrik luar. ii) Tiap dipole hanya boleh mengambil salah satu dari dua arah orientasi, yaitu searah medan listrik dan berlawanan arah dengan medan listri k.
Energy interaksi antara dipole dengan medan listrik adalah U=-
.
= - pE cos ϴ
(15)
dengan ϴ adalah sudut antara momen dipole dengan medan listrik. Jika dipole searah medan maka energy interaksinya adalah
↑
= - pE
(16a)
Dan jika berlawanan medan maka energy interaksinya adalah
↓
= pE
(16b)
Tampak bahwa bentuk ungkapan energy sama persis dengan yang kita jumpai pada atom magnetic yang telah kita bahas di sub bab 1. Dengan demikian, pencarian momen dipole total persis sama dengan saat kita mencari momen magnetic total, hanya dengan mengganti variabelvariabel yang ekivalen sebagai berikut
p
↔
μ
E ↔ B dengan melakukan pergantian tersebut akhirnya kita dapatkan momen dipole rata-rata atom menjadi
15
̅ tanh = p
(17)
D. Momen Magnetik Dengan Tiga Arah Orientasi
Kita sudah membahas momen magnetic rata-rata jika hanya ada dua orientasi yang diijinkan, yaitu searah dan berlawanan dengan arah medan magnet. Sekarang kita sedikit perluas asumsi kita dengan menganggap bahwa ada tiga arah orientasi momen magnetic yang diijinkan, yaitu searah medan magnet, tegak lurus medan magnet, dan berlawanan arah medan magnet. Dari persamaan energy interaksi antara momen magnetic dan medan magnet U = - μ B cos ϴ kita dapatkan bahwa : i) Untuk momen yang searah medan, energy interaksinya adalah - μB
↑
=
ii) Untuk momen yang tegak lurus medan, energy interaksinya adalah
→ ↓
= - μB cos
/ 2
= 0
iii) Untuk momen yang tegak lurus medan, energy interaksinya adalah = μB
Probabilitas untuk mendapatkan momen magnetic pada berbagai arah tersebut sebagai berikut : i)
Untuk momen yang searah medan
↑ ↑ = ↑ + → + ↓
/ /+ + /
(18a)
ii) Untuk yang tegak lurus medan
16
→/ → = ↑/+ →/+ ↓/ /+ + / iii) Untuk yang berlawanan dengan arah medan
→
=
(18c)
↓ / ↑/ + →/+ ↓ /
=
(18b)
/ /+ + /
Momen magnetic yang searah medan memberikan kontribusi momen magnetic + μ , yang tegak lurus medan memberi kontribusi momen magnetic 0, dan yang berlawanan dengan arah medan memberi kontibusi momen magnetic – μ. Dengan demikian, momen magnetic rata – rata adalah
̅
= +μx
↑ → ↓ + 0 x
- μ x
/ −/ / 1 −/ / 1 −/
− + + +
+
(19)
E. Momen Magnetik Dengan Arah Orientasi Sembarang
Sekarang kita melangkah ke kasus yang lebih umum di mana arah orientasi momen magnetic bisa sembarang, bukan diskrit seperti yang kita bahas sebelumnya. Tentu saja pembahasan akan s edikit lebih rumit. Tetapi mari kita bahas perlahan – lahan. Sebagai ilustrasi, Gbr. 7
17
Mari kita melihat momen magnetic yang membentuk arah antara sudut ϴ sampai ϴ + d ϴ terhadap arah medan magnet. Arah medan magnet dipilih sejajar sumbu x. momen magnetic dengan arah orientasi demikian memiliki energy interaksi U (ϴ) = - μB cos ϴ. Kita akan menentukan berapa peluang momen magnetic tersebut berada pada sudut demikian. Ini ditentukan pada dua factor, yaitu factor Maxwell – Boltzmann, dan kerapatan keadaan. Coba kalian iris kulit bola yang dibatasi oleh sudut ϴ sampai ϴ + d ϴ dan hitung luas irisan tersebut. Irisan tersebut berbentuk lingkaran dengan lebar tertentu.
R sin ϴ
ϴ
d ϴ
R
Gambar. 7 Menentukan rapat keadaan yang dibatasi oleh sudut antara ϴ sampai ϴ + d ϴ
Misalkan jari – jari bola adalah R. jari – jari irisan adalah r = R sinϴ. Dengan demikian, keliling irisan tersebut adalah K = 2πr = 2πRsin ϴ
(20)
Keliling bola sendiri adalah 2πR. Keliling ini mencakupi sudut sebesar 2π, sedangkan irisan sendiri hanya mencakup sudut sebesar d ϴ. Dengan menggunakan perbandingan sudut maka kita dapat menghitung tebal irisan sebagai berikut ds =
x 2πR = Rd ϴ
(21)
18
Akhirnya kita dapatkan luas irisan adalah dS = Kds =
2sin 2 Rd ϴ =
sinϴd ϴ
Luas keseluruhan kulit bola sendiri adalah S =
(22)
4
. Dengan demikian,
kerapatan keadaan pada posisi sudut ϴ sampai ϴ + d ϴ adalah g( ϴ )d ϴ
= = =
sin
(23)
Probabilitas mendapatkan atom dengan arah orientasi momen magnetic antara ϴ sampai ϴ + d ϴ adalah
P( ϴ )d ϴ
∞− /
g( ϴ )d ϴ
Atau
P( ϴ )d ϴ =
− /
g( ϴ )d ϴ
(24)
dengan C adalah factor penormalisasi. Karena probabilitas mendapatkan atom pada semua orientasi adalah 1 maka
∫ 1 Atau
∫ − /
g( ϴ )d ϴ = 1
yang akhirnya memberi ungkapan untuk factor penormalisasi
C=
∫ / g
(25)
19
Ketika momen magnetic membentuk sudut ϴ maka komponen momen yang searah medan magnet hanya μ momen magnetic rata – rata menjadi
cos
̅ ∫cos /g ∫ ∫ /g / ∫ =μ ∫ / =
. Dengan demikian,
P( ϴ )d ϴ
=
(26)
Untuk menyelesaikan integral (26) mari kita misalkan x = μB
/
.
Dengan permisalan ini maka
cos
=
x
(27a)
(27.b)
sin
Selanjutnya kita menentukan batas integral untuk x. Jika jika
maka
0 maka
dan
. Substitusi persamaan (27.a) dan (27.b) kedalam
persamaan (26) kita peroleh
⁄ ⁄ − ∫ ̅ ∫ ⁄ ⁄ − ⁄ ⁄ − − − + ∫ ∫ ⁄ ⁄ − Dengan
⁄
. Kita sederhanakan lebih lanjut persamaan (28)
20
(28)
̅ −−+−+− +− +−// coth
(29)
Dengan memperkenalkan fungsi Langevin,
coth
(30)
Maka momen magnetic rata-rata dapat ditulis dalam bentuk lebih singkat sebagai berikut
̅
(31)
F. Vibrasi Kisi Dalam Kristal Atom-atom dalam Kristal selalu bervibrasi. Atom-atom tersebut dapat dipandang sebagai kumpulan osilator harmonic sejenis. Kita akan mencari energy rata-rata getaran atom dalam Kristal. Kita menganggap bahwa tidak ada interaksi antara satu atom dengan atom lainya. Tiap atom dipandang sebagai osilator harmonik bebas. Menurut mekanika kuantum, atom-atom yang bergetar tidak memiliki energy sembarang. Energy yang dimiliki osilator tersebut bersifat diskrit yang memenuhi
(32)
ε n = ( n +1/2)ћω
Dengan ћ = h/2π , ω adalah frekuensi karakteristik osilasi, dan n adalah bilangan kuantum osilasi dengan nilai 0, 1, 2, ….∞.
21
Kita berkeinginan mencari energy rata-rata getaran dengan asumsi bahwa distribusi osilator yang memiliki energy tertentu memenuhi distribusi Maxwell-Boltzman . dengan demikian, peluang sebuah osilator memilikiεenergi n = ( n +1/2)ћω P n
adalah
∝−⁄
atau
−⁄
(33)
P n = C
Dengan C adalah konstanta normalisasi. Peluang mendapatkan osilator pada semua tingkat energy adalah satu. Peluang tersebut adalah penjumlahan semua P n dari n=0 hingga n = ∞, atau
∑=
=1
penjumlahan. Penjumlahan tersebut menghasilkan nilai factor normalisasi dalam bentuk C=
∑ ⁄
(34)
Ungkapan lengkap untuk probabilitas menemukan osilator pada keadaan de ngan bilangan kuatum n adalah
−⁄ ∑= −⁄
(35)
Setelah mendapatkan ungkapan untuk peluang mendapatkan osilator pada berbagai tingkat energy maka kita dapat menghitung energy rata-rata osilator sebagai berikut
̅ ∑= = =
∑ ⁄⁄ ∑
(36)
22
Untuk mencari bentuk penjumlahan diatas mari kita ganti -1/kT dengan
.
Penggantian tersebut menyebabkan kita dapat menulis persamaan (36) sebagai
̅
=
∑ ∑
(37)
Mari kita misalkan Z=
∑=
(38)
Jika kita diferensialkan Z terhadap
, kita peroleh
= ∑= = ∑= −
(39)
Dengan demikian, kita dapat menulis energy rata-rata osilator sebagai
̅
= ln Z
=
(40)
Persamaan (40) menginformasikan pada kita bahwa untuk mencari energy rata-rata osilator , kita dapat memulai mencari Z seperti yang didefinisikan dalam persamaan (38). Sekarang mari kita mencari Z tersebut.
Z = =
∑= ∑= +ħ⍵ ħ⍵⁄ ∑= ħ⍵ =
(41)
Kalian ingat jumlah suatu deret deret geometri ini bukan? Jika |x|<1 maka berlaku
∑=
1+x+x2+x3+…=
=
−
(42)
23
Dengan membandingkan persamaan (41) dan persamaan (42) kita identifikasi bahwa x pada persamaan (42) ekivalen dengan Dengan demikian kita dapat menulis
Z =
⍵ ħ
pada persamaan (41).
ħ⍵⁄ −ħ⍵
(43)
Selanjutnya kita dapat memperoleh persamaan-persamaan berikut ini,
ħ⍵ - ln (1-ħ⍵) ln Z = ħ⍵ - −ħ⍵ × (- ⍵ħ⍵) ħ⍵ ħ⍵ħ⍵ = + −ħ⍵ ln Z =
ħ
Dengan demikian, energy osilator menjadi
̅
ln Z = ħ⍵ + ħ⍵ħ⍵ −ħ⍵ ħ⍵ ħ⍵ = + ħ⍵ − ħ⍵ ħ⍵ = + ħ⍵⁄ −
=
(44)
Tampak dari persamaan (44) , jika T → 0 maka maka Energi
̅
→
⍵ disebut energy titik nol.
ħ
⍵/ ħ
→ ∞. Dengan sifat ini
Turunan Rumus dalam Mencari Energi Rata-rata Vibrasi dalam Kristal
̅ ∑= =
∑ ⁄⁄ ∑ ̅ = ∑∑ ̅ = =
Misal =-1/kT
∑= ∑= ∑=
Misal Z =
=
=
24
̅
→
ħ⍵
=
ln Z
Mencari nilai ln Z
= +ћ = ∑= ћ+ћ ћ =ћ ћ 11ћ ћ 1ћ
∑=
1+x+x2+x3+…= Maclaurin
=
Deret −
Jika |x|<1
Maka dari itu :
ћ ln −ћ ћ lnln –ln(1ћ)
ln lnln
ln ћ2 ln(1ћ) Sehingga :
ћ ln(1ћ) ћ2 11ћ (ћћ) ћ ћ−ћћ =
ln Z
1 ћ ћ ћ 1ћ ћ1 ћ ћ −ћ 1 1ћ ћ ћ 25
ћ2 −ћћ1 ћ2 ћ/ћ 1 →0 ћ/ →∞ Jika
, maka
Jadi,
ћ
Energi di titik nol
G. Hopping
Sekarang kita akan tinjau konduktivitas suatu material ionic. Ion-ion dalam material semacam ini menempati posisi yang tetap. Ion-ion tersebut tidak dapat bergerak bebas seperti pada atom zat cair atau gas. Tetapi, ketika material tersebut ditempatkan di antara dua elektroda dan diberi beda potensial maka ada arus yang mengalir dalam dalam material. Karena ion-ion berada pada lokasi yang tetap dan sulit bergerak maka kita dapat menganggap bahwa masing-masing ion terkurung dalam lembah potensial seperti diilustrasikan pada Gambar G.8 ini.
Gambar G.8 Ion-ion dalam material ionic dapat dianggap terkurung dalam lembah potensial
26
Tinggi bukit potensial mencerminkan energy ikat yang dimiliki ion-ion. Makin tinggi bukit potensial maka makin kuat ion-ion terikat pada tempatnya. Namun, meskipun ion terikat pada posisi tempat masing-masing , ion-ion masih memiliki peluang untuk berpindah ke lokasi lain dengan cara meloncati bukit potensial. Peristiwa ini disebut hopping.
Un
Gambar G.9 Dua ion bertetangga dalam material ionic Untuk menjelaskan fenomena hopping, mari kita liot dua ion bertetangga seperti yang diilustrasikan pada Gambar G.9. tinggi bukit potensial adalah U n . Ion dapat meloncati bukit potensial jika memiliki energi q U n dengan q muatan efektif ion.
Berdasarkan statistic Maxwell-Boltzman , peluang ini memiliki energy qU n adalah
P = C
−⁄
(45)
Dengan C adalah factor penormalisasi. Ion kiri dan kanan melihat bukit potensial yang sama tingginya. Peluang ion kiri meloncat kekanan adalah
27
+ −⁄
(46.a)
= C
Dan peluang ion kanan meloncat ke kiri adalah
− −⁄ = C
(46.b)
Karena kedua peluang tersebut sama maka secara total tidak ada loncatan ion netto ke kiri maupun ke kanan. Akibatnya, tidak ada arus dalam bahan. Sekarang pada material kita beri medan listrik E kea rah kanan. Pemberian ini menyebabkan pada tiap titik dalam material mengalami perubahan. Titik yang berada pada posisi x mengalami perubahan potensial sebesar V ( x) = -E x. Akibatnya adanya medan tersebut , tinggi bukit potensial yang diamati dua ion menjadi berbeda seperti diilustrasikan pada Gambar G.10
d
Gambar G.10 Bukit potensial mengalami distorsi keti ka diberi medan listrik
28
Jika dimisalkan jarak dua ion berdekatan adalah d mka kita dapatkan hasil berikut ini: i)
Potensial pada ion sebelah kiri menjadi U 1=V(x) = -Ex
ii)
(47)
Potensial padaion sebelah kanan menjadi U 2=V(x+d) = -E(x+d) = -Ex-Ed
iii)
(48)
Tinggi bukit potensial menjadi
Ub(x)=Uo-V
iv)
=UO-E
= UO – Ex – Ed/2
(49)
Tinggi bukit potensial terhadap posisi ion kiri adalah
∆= U -U = - (-Ex)= U - b
v)
1
(50 )
o
Tinggi bukit potensial terhadap posisi ion kanan adalah
∆
= Ub-U2 =
- (-Ex-Ed)= Uo +
(51)
Berdasarkan potensial-potensial diatas maka kita dapatkan hasil lanjut berikut ini: i)
Probabilitas ion kiri meloncat kekanan adalah
−∆⁄ −−⁄⁄
P+ = C
ii)
=C
(52)
Probabilitas ion kanan meloncat kekiri adalah
−∆⁄ −+⁄⁄
P- = C
iii)
(53)
= C
Selisih probabilitas ion meloncat dari kiri kekanan adalah
∆
= P+ - P-
−∆⁄ ⁄ −⁄ −+ ⁄⁄ ⁄
= C = C
(
-
(
29
)
-1)
(54) jika dianggap bukit potensial sangat tinggi sehingga | qU n| >> |qEd/2| maka kita dapat mengaproksiasi qU n + qEd/2 persamaan (54) menjadi
∆ ≅− ⁄ (
≅
qU n. Dengan aproksimasi ini maka
(55)
-1)
Kerapatan arus yang mengalir didalam maerial sebandiing dengan selisih
∝ ∆
probabilitas diatas atau J
− ⁄
J(T,E)= JO
(
, sehingga bisa kita tulis
(56)
-1)
jika medan yang diterapkan tidak terlalu besar , yaitu jika terpenuhi qEd<
⁄ ≈
1 + qEd/kT dapat kita lakukan. Dengan aproksimasi
tersebut maka persamaan (56) dapat disederhanakan menjadi
≈ −
J(T,E) JO
(57)
kita ingat pelajaran arus listrik bahwa ada hubungan antara kerapatan arus dan medan yaitu
J=
dengan disebut koduktivitas listrik. Dengan membandingkan persamaan (57) dan (58) kita dapatkan ungkapan konduktivitas listrik pada medan rendah untuk material ionic sebagai
≈ − JO
(58)
−⁄
(59)
=
30
Dengan
⁄ dan
aktivasi.
besaran E a dikenal dengan nama energi
Dalam eksperiimen, biasanya kondukivitas ditampilkan dalam grafik konduktivitas skala logaritmik terhadap kebalikan suhu. Jika kita ambil logaritma dua sisi persamaan (59) maka kita dapatkan
ln
ln ln
(60)
Gambar G.11adalah bentuk kurva ln
sebagai fungsi
1/T . Bentuk kurva
semacam ini sering dijumpai dalam eksperimen . Kemiringan kurva adalah – E 0 /k sekaligus menentukan energy aktivasi.
1/T
Gambar G.11 Bentuk kurva konduktivitas dalam skala logaritma terhadap 1/T
H. Persamaan Difusi Enstein
Selanjutnya kita meninjau difusi ion dibawah pengaruh medan listrik. Peristiwa ini sering diimanfaatkan dalam proses elektroforesis dimana medan listrik digunakan untuk menggerakan partikel-partikel bermuatan dalam zat cair.
31
Mari kita lihat sebuah assembli yang mengandung sejumlah ion. Kita anggap tidak ada interaksi antar ion. Interaksi hanya terjadi antara ion dan medan listrik yang diterapkan. Misalnya semua muatan ion sama, yaitu q. misalkan pula arah medan listrik sejajar sumbu x. difusi yang akan kita bahas hanya difusi dalam arah sejajar sumbu x. kita menganggap kuat medan listrik sama pada tiap titik dalam bahan. Gaya yang dialami ion yang berada pada posisi x adalah F=qE sehingga Energi potensial yang dimiliki ion yang berada pada posisi x adalah
(61)
Karena ion merupakan partikel klasik maka distribusi Maxwell Boltzmann digunakan sehingga konsentrasi ion pada posisi x memenuhi
−⁄ ⁄ (62)
Di mana C merupakan konstanta normalisasi. Dari kuliah tentang arus listrik kita sudah mempelajari hubungan antara kecepatan ion dengan kuat medan yang diterapkan, yaitu
̅ Dengan
(63)
adalah mobilitas listrik. Untuk kasus satu dimensi maka kita bisa
sederhnakan menjadi
. Kerapatan arus pada posisi x yang diakibatkan oleh
medan listrik adalah
(64)
Disamping itu, karena terjadi ketidakhomogenan distribusi ion maka terjadi juga pergerakan ion akibat ketidakhomogenan itu. Gerakan ion akibat fenomena ini disebut difusi. Kerapatan arus difusi memenuhi
̅ ∇
(65)
Dengan D disebut dengan konstanta difusi dan
∇̂⁄ ̂⁄ ⁄
.
Tanda minus pada persamaan (65) menginformasikan bahwa arah aliran ion
32
akibat difusi berlawanan dengan arah gradient kerapatan ion. Artinya ion mengalir dari lokasi dengan kerapatan tinggi ke lokasi dengan kerapatan rendah. Lebih khusus lagi , untuk kasus satu dimensi , kerapatan arus difusi dapat ditulis
(66)
Dengan menggunakan persamaan (62) kita dapatkan
⁄ Substitusi hasil diatas kedalam persamaan (66) diperoleh,
(67)
Jika bahan tidak dihubungkan dengan rangkaian luar maka tidak ada arus total yang mengalir dalam bahan. Dengan demikian arus akibat medan listrik dan akibat difusi harus saling meniadakan, atau
0 0
Yang memberikan mobilitas ion sebagai
(68)
Persamaan (68) dikenal dengan persamaan difusi Enstein.
I. Prinsip Ekipartisi Energi
Prinsip ekipartisi energy menyatakan bahwa tiap derajat kebebasan yang memiliki energy fungsi dalam ungkapan fungsi kuadratik dari variable derajat kebebasan memberikan konstribusi energy rata-rata kepada partikel sebesar kT/2. Contohnya, sebuah partikel yang bergerak bebas sepanjang garis lurus. Partikel tersebut hanya memiliki satu derajat kebebasan , yaitu momentum dalam satu arah. Energy partikel merupakan fungsi kuadratik dari momentum. Dengan
33
demikian energy rata-rata yang disumbangkan oleh momentum tersebut adalah kT/2. Jika partikel tersebut hanya dapat bergerak dalam satu garis lurus dibawah pengaruh gaya pegas maka, partikel tersebut memiliki dua derajat kebebasan, yaitu posisi dan momentum. Derajat kebebasan posisi memberikan energy dalam bentuk kuadratik (persamaan Hooke) dan derajat kebebasan momentum juga memberikan energy dalam bentuk kuadratik. Apabila dirata-ratakan maka derajat kebebasan posisi dan momentum masing-masing menyumbang kT/2 sehingga energy rata-rata partikel adalah 2 x (kT/2)= kT . Pada bagian ini kita akan membuktikan prinsip ini secara umum untuk derajat kebebasan yang sembarang. Misalkan suatu partikel memiliki f derajat kebebasan . energy total partikel diungkapkan dalam bentuk umum
⋯
(69)
Dimana penjumlahan mengandung f suku A,B,C dan seterusnya adalah konstanta dan
, , dan seterusnya adalah variable yang berkaitan dengan derajat
kebebasan. Variable-variable tersebut boleh posisi,momentum, sudut, atau apa saja. Dengan menganggap bahwa partikel tersebut memenuhi fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann maka energy rata-rata satu partikel adalah
∑∑⁄⁄
(70)
Untuk memudahkan penyelesaian persamaan (70) mari untuk semesntara kita kembali mendefinisikan
∑
∑ dan
maka (71)
Dengan demikian, energy rata-rata partikel dapat ditulis menjadi
⁄
(72)
Selanjutnya kita fokuskan pada pencarian Z
34
∑exp 2 2 2 ⋯ ∑ exp exp exp … ∑ exp ∑ exp ∑ exp … β
β
β
β
β
β
(73)
Penyelesaian penjumlahan diatas hamper tidak mungkin dilakukan. Namun penyelesaian dapat dilakukan dengan mengganti penjumlahan dengan integral terhadap variable-variable yang mempresentasikan derajat kebebasan. Kita lakukan penggantian sebagai berikut
∑ exp ∫ exp 3… ∫ exp ∫ exp ∫ exp … ∫ exp ∞
β
β
(74)
Pada persamaan (74) g 1 adalah kerapatan keadaan yang berkaitan dengan variable . Dengan demikian persamaan (73) dapat ditulis menjadi ∞
∞
β
Mari kita selesaikan integral pertama, yaitu kita misalkan β
∞
β
∞
β
β
(75)
. Untuk kemudahan
. Ingat, suku kanan juga negative karena β negatif.
Dengan permisalan tersebut maka
− − Dengan demikian
∫ exp ∫ exp − − ∫ exp − √ − ∞
∞
β
∞
Dengan cara persis sama kita akan dapatkan
35
(76.a)
∫ exp − ∫ exp − ∞
β
∞
β
(76.b)
(76.c)
dan seterusnya. Akhirnya kita dapatkan untuk Z sebagai berikut
3… − − − … −⁄ {3… …} −⁄ {3… …} ln {3… …}
(77)
dengan hasil diatas maka persamaan (72) selanjutnya menjadi
ln {3… …}
(78)
Semua suku diruas paling kanan persamaan (78) tidak menandung
deferensial terhadap nol. Jika kita hanya dapatkan
sehingga
ln −⁄
(79)
Karena partikel yang kita bahas memiliki f derajat kebebasan maka kita simpulkan bahwa tiap derajat kebebasan menyumbang energy sebebsar membuktikan prinsip ekipartasi energy.
⁄2.
jadi kita telah
Turunan Rumus dalam Mencari Energi Rata-rata Ekipartisi Energi
∑= =
36
∑⁄⁄ ∑ = ∑∑ = =
=
Misal =-1/kT
∑ ∑ ∑
Misal Z =
=
=
ln Z
Mencari nilai ln Z
⋯ exp2 2 2 ⋯ ∑exp 2 exp[ 2]exp 2 … exp exp exp … β
β
β
β
β
β
Lakukan pengintegralan terhadap variable-variabel yang mempresentasikan derajat kebebasan
∑ exp ∫ exp
Kerapatan keadaan yg
Lakukan untuk semua variable
berkaitan dengan variable
∞
β
β
3… ∫ exp ∫ exp ∫ exp … ∞
β
∞
β
Selesaikan integral pertama dahulu Misal
β
β
β
β
37
∞
β
− 1 β
β
Dengan demikian
exp 1 exp 1 exp 1 √ 2 − ∞
β
∞
∞
Dengan cara yang sama seperti diatas, kita dapatkan
exp 1 4 exp 1 4 ∞
β
∞
β
Sehingga nilai Z kita dapatkan
3… − − − … 1 3… 4 4 4 … Maka nilai ln Z
−⁄ {3… …} 38
ln {3… …}
Subtitusikan ke persamaan awal
=
ln Z
=
ln Z
ln {3… …} Tidak mengandung
ln −⁄
sehingga deferensial terhadap
nol
Derajat kebebasan
Karena partikel yang kita bahas memiliki f derajat kebebasan maka kita simpulkan bahwa tiap derajat kebebasan menyumbang energy sebebsar membuktikan prinsip ekipartasi energy.
39
⁄2.
jadi kita telah
40
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah kami uraikan dalam pembahasan, dapat kami simpulkan, bahwa aplikasi distribusi Maxwell – Boltzmann dalam menjelaskan permasalahan yaitu : 1. Pelebaran Sprectum Akibat Efek Doppler 2. Atom Magnetik Dalam Medan Magnet 3. Dipol Listrik 4. Momen Magnetik Dengan Tiga Arah Orientasi 5. Momen Magnetik Dengan Arah Orientasi Sembarang 6. Vibrasi Kisi Dalam Kristal 7. Hopping 8. Persamaan Difusi Enstein 9. Prinsip Ekipartisi Energi
B. Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini terdapat beberapa kendala seperti sumber atau referensi khususnya dari buku sulit didapat. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran dari pembaca, agar menyempurnakan makalah yang kami buat.
41