ANTRAKS SEBAGAI SENJATA BIOLOGIS (BIOTERRORISM) Agus Sudarso, Halim Mubin
I. PEND ENDAHUL AHULU UAN Antra Antraks ks adal adalah ah peny penyaki akitt zoon zoonos osis is yang yang dise diseba babk bkan an oleh oleh kuma kuman n bacil bacillu luss anthracis, suatu basil yang dapat membentuk spora dan ditularkan ke manusia melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan dari binatang yang terkontaminasi. Anthra Anthrax x adalah adalah infeks infeksii bakteri bakteri yang yang jarang jarang terjad terjadi, i, dan biasan biasanya ya didapat didapatkan kan dengan dengan menghi menghirup rup udara, udara, menela menelan n makanan makanan,, masuk masuk melalu melaluii kulit kulit yang yang bersen bersentuh tuhan an dengan dengan endospora dari Bacillus antrachis. 1, 2 Infeksi antraks pada manusia melalui 3 cara yaitu inhalasi, melalui kulit, dan gastrointestinal . gastrointestinal . Sangat jarang terjadi kasus antraks yang masuk melalui inhalasi. Antraks
inhalasi inhalasi diperkirak diperkirakan an sebagai penyebab morbiditas morbiditas dan mortalitas mortalitas selama penggunaan penggunaan Bacillus anthracis sebagai senjata biologi. Kutaneus antraks adalah bentuk antraks yang palin paling g sering sering terjad terjadi, i, dengan dengan perkir perkiraan aan sekita sekitarr 2000 kasus kasus yang yang dilapo dilaporka rkan n setiap setiap tahun tahunny nya. a. Epid Epidem emii terb terbes esar ar terj terjad adii Zimb Zimbab abwe we antar antaraa tahun tahun 1979 1979 dan tahu tahun n 1985. 1985. Mesk Meskip ipun un antra antraks ks gast gastro roin inte test stin inal al jara jarang ng terj terjadi adi,, outb outbre reaks aks seca secara ra teru teruss-me mene neru russ dilaporkan di Afrika dan Asia setelah memakan daging yang telah terkontaminasi dan tidak dimasak dengan baik. 3, 4 Saat Saat ini banyak banyak Negara Negara yang yang mengem mengembang bangkan kan pemamf pemamfaat aatan an antrak antrakss sebagai sebagai senjata biologis. biologis. Beberapa peristiwa yang menggunakan bakteri antraks sebagai senjata biologis antara lain serangan kelompok Aum Shinrikyo tahun 1993 terhadap stasiun kereta api api bawa bawah h tana tanah h di Toky Tokyo o yang yang meng menggu guna naka kan n spor sporaa antr antrak aks, s, untu untung ngny nyaa tida tidak k menimbulkan korban jiwa. Keganasan antraks dapat dilihat dari kejadian di Sverdlosk, Rusia (1979) dimana dimana terjad terjadii kecela kecelakaan kaan di fasil fasilita itass bioweap bioweapons ons yang yang menyeb menyebabk abkan an tersebarnya spora Antraks ke udara sehingga terjadi 77 kasus Antraks dengan kematian 66 Serikat ditemukan 22 kasus. Orang lebih terkejut terkejut lagi ketika pada tahun 2001 di Amerika di Amerika Serikat ditemukan 1
kasus yang terinfeksi antraks melalui surat yang mengandung spora antraks yang dikirim melalui kantor pos. Ditemukan 11 orang terinfeksi antraks kulit dan 11 lainnya terinfeksi antraks inhalasi dengan 5 diantaranya meninggal. Kasus-kasus diatas membuat orang tersadar mengenai bahaya antraks sebagai senjata biologis terutama bila dipakai kelompok teroris yang mempunyai dana besar untuk mengembangkannya. Dampak dari bioterrorism sangat besar dapat menimbulkan ketakutan dan kekacauan luar biasa pada masyarakat. Pusat pengendalian dan prevensi penyakit di Amerika CDC (Centers of Disease Control dan Prevention) mengklasifikasikan bioterrorism menjadi 3 kategori yaitu A, B, dan C.
Kategori A adalah pathogen kelas tinggi dan antraks termasuk bioterrorism kategori A .
4-9
II. MIKROBIOLOGI Bacillus anthracis adalah basil Gram positif, non-motile, dan bisa membentuk spora. Spora ini terbentuk pada lingkungan aerobic dan dapat bertahan selama bertahuntahun, tahan temperature tinggi, kekeringan dan juga tahan pada bahan dari binatang atau pada industri bahan dari binatang. Spora ini tumbuh subur pada medium dengan temperature 37 derajat C. Bacillus anthracis berbentuk batang dan besarnya sekitar 1-6 μm.
10
Gambar 1. Bacillus anthracis 4
2
III.PATOGENESIS Spora akan masuk melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna. Yang menentukan virulensi B.anthracis adalah 3 exotoksin (plasmid pX01) yaitu protective antigen (PA), edema factor (LF), lethal factor (LF) dan yang disebut antiphagocytic polydiglutamic acid capsule (plasmid pX02). Kombinasi PA dan EF akan menyebabkan edema lokal dan menghambat fungsi PMN, sedangkan kombinasi PA dan LF menyebabkan pelepasan TNF α dan interleukin 1β, faktor yang dipercaya penyebab kematian mendadak pada infeksi antraks yang berat. Pada antraks kutaneus, spora akan akan masuk melalui kulit yang luka dan spora ini akan berubah menjadi bentuk vegatatif, bermultiplikasi dan mengeluarkan eksotoksin dan material kapsul antifagositik (plasmid pX02) dan terjadi edema dan nekrosis jaringan. Toksin
edema
merupakan
suatu calmodulin-dependent
adenylate
cyclase yang
meningkatkan cAMP pada hampir semua sel. Hal ini diyakini mengubah homestasis cairan yang menyebabkan edema. Selanjutnya kuman akan di fagosit oleh makrofag dan meyebar kekelenjar getah bening dimana toksin akan menyebabkan perdarahan, edema dan limfadenopati. Basil masuk ke peredaran darah dan meyebabkan meningitis dan sepsis. Pada antraks gastrointestinal terjadi edema, nekrosis, perdarahan usus, limfadenopati, asites hemoragis dan sepsis. Pada antraks inhalasi yang terjadi lebih jarang terjadi dibanding lainnya, terjadi inhalasi spora dimana spora akan sampai dialveoli, difagosit oleh makrofag dan selanjutnya dibawa ke kelenjar getah bening mediastinum. Di sini terjadi germination, berkembang biak dan pembentukan toksin sehingga terjadi limfadenitis dan mediatinitis yang hemoragis. Dari paru basil bisa masuk ke aliran darah menyebabkan bakterimia. Penyebab kematian dari inhalation anthrax adalah gagal nafas, syok dan edema paru. 1, 4
3
Gambar2. Patofisiologi Antraks 1
IV.
GAMBARAN KLINIK
Antraks Kutaneus
Antraks kutaneus dilaporkan sekitar 95% pada semua infeksi antraks yang terjadi di Amerika. Pasien memiliki riwayat kontak dengan hewan atau produk dari hewan yang terinfeksi antraks. Umumnya terkena pada bagian kepala, leher dan ekstremitas. Dalam waktu 24 hingga 36 jam kelainan dapat berupa papel, vesikel yang berisi cairan serosanguineous dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak berwarna hitam, kering yang disebut eschar disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non pitting) bila ditekan, 4
disebut juga malignant pustule. Gejala sistemik dapat berupa demam dan limfadenopati lokal. Dari kasus antraks tahun 2001, ada 11 kasus yang merupakan kasus antraks kutaneus. Salah satu kasus tersebut sudah dipublikasikan. Periode inkubasi untuk antraks kutaneus 5 hari sejak terpapar dengan B. antrhracis. 10-12
Gambar 3. Tampak pembentukan Eschar hitam, tidak nyeri dan melandai pada edema local yang luas, eschar mengering, mengecil dan menghilang setelah 1-2 minggu.
4
Antraks Gastrointestinal
Manifestasi klinik muncul setelah 2-5 hari mengkonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi spora antraks. Diduga antraks gastrointestinal terjadi setelah deposisi dan germinasi spora pada upper dan lower gastrointestinal. Timbul demam, muntah, nafsu makan yang berkurang dan secara progesif menyebabkan diare berdarah, nyeri perut yang hebat atau sepsis. Beberapa kasus menyebabkan asites yang massif dan perforasi usus. Bentuk lain dari antraks gastrointestinal adalah orofaringeal berupa limfadenopati lokal dan edema pada leher, susah menelan. Terdapat lesi pada mukosa mulut seperti eschar. Angka kematian berkisar 25 sampai 60%. Pemeriksaan postmortem di Sverdlovsk menunjukkan lesi submukosa gastrointestinal pada 39 dari 42 pasien, tetapi secara keseluruhan pasien ini juga menunjukkan kelainan patologi akibat infeksi yang bersumber dari inhalasi. 1, 4 5
Antraks Inhalasi
Sebelum serangan pada tahun 2001, informasi klinik hanya terbatas pada 18 kasus yang dilaporkan pada data yang berasal Sverdlovsk.Kasus antraks inhalasi sangat jarang ditemukan. Waktu inkubasi sampai timbulnya gejala 1-10 hari. Gejala klinis yang timbul terdiri dari 2 fase yaitu awalnya pasien demam, mialgia, batuk non produktif, rasa tertekan di dada dan diperut (flu like). Pada fase kedua cepat sekali memburuk ditandai demam tinggi, sesak nafas, hipoksia, stridor dan timbul syok secara mendadak. Pada foto toraks selain infiltrate di paru ditemukan juga efusi pleura. Terdapat juga pelebaran mediastinal karena limfadenopati dan mediastinitis. Sekitar 50% pasien berkembang menjadi meningitis. Pada fase ini kematian dapat terjadi dalam beberapa jam. 9, 13-16
Symptoms (N = 10) Fever and chills
10
Sweats, often drenching
7
Fatigue, malaise, lethargy
10
Cough, minimal or nonproductive
9
Dyspnea
8
Chest discomfort or pleuritic pain
7
Myalgias
6
Headache
5
Confusion
4
Abdominal pain
3
Sore throat
2
Rhinorrhea
1
Physical Findings Fever > 37.8°C
7
Tachycardia, heart rate >100/min
8
Hypotension, <110 mm Hg
1
Laboratory Results White blood cell count, median
9800 × 103/μL
Differential neutrophilia, >70%
7 6
Neutrophil band forms,>5%
4
Elevated transaminases, SGOT or SPGT >40 U/L
9
Hypoxemia, alveolar-arterial oxygen gradient >30mmHg on room air oxygen saturation < 94% Metabolic acidosis Elevated creatinine, >1.5 mg/dL (132.6 μmol/L)
6
2 1
Chest X-ray Film Findings Any abnormality
10
Mediastinal widening
7
Infiltrates or consolidation
7
Pleural effusion
8
Any abnormality
Chest Computed Tomographic Findings 8
Mediastinal lymphadenopathy widening
7
Pleural effusion
8
Infiltrates or consolidation
6
Tabel 1. Gejala, pemeriksaan fisis, laboratorium dan radiologis pada pasien dengan antraks inhalasi
4
V. DIAGNOSIS 4, 9, 17-19 Beberapa kasus penyakit akut yang selalu diikuti dengan demam dan proses perkembangan cepat yang berujung kematian patut dicurigai penyakit antraks, terutama dari anamnesa ada riwayat pekerjaan atau kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan yang telah mengandung spora antraks misalnya tukang pos. Antraks kutaneus dapat dibedakan dengan penyakit kulit lain dengan melihat karakteristik lesi pada kulit yang
7
warna kehitaman (eschar ) dan rasa nyeri yang kurang. Antraks inhalasi sering tidak terdiagnosis awal. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat membantu mendiagnosis penyakit antraks ini antara lain : •
Tes Bakteriologi
Bacilllus anthracis adalah basil gram positif, non-motile dan dapat membentuk spora. Pemeriksaan gram dan kultur dari lesi kulit, cairan pleura, asites, likuor serebrospinal dan darah akan memperlihatkan kuman gram positif dengan gambaran khas antraks. CDC menyarankan pada tahun 2001 untuk tidak mempergunakan apusan hidung sebagai tes diagnostik klinis. Jika dilakukan semata-mata untuk kepentingan epidemiologis. •
Tes Serologi
Pada pemeriksaan
ELISA
pada penderita
yang dicurigai
terinfeksi antraks
menunjukkan antibodi titer positif dimana kenaikan titer 4 kali lebih bermakna. Tes ini membantu konfirmasi jika kultur negatif. •
Radiologi
Jika dicurigai terjadi antraks inhalasi dapat dilakukan foto thoraks atau CT Scan. Hasil foto thoraks menunjukkan mediastinum yang melebar, adanya infiltrat, efusi pleura. CT Scan menunjukkan hiperdensi hilus, nodul pada mediastinum, edema mediastinum dan efusi pleura. Pemeriksaan lainnya adalah PCR (Polymerase chain reaction assay), biopsy jaringan dengan pewarnaan imunohistokimia.
8
Gambar 4. Gambaran foto thoraks dan CT Scan pada penderita inhalasi antraks
VI.PENATALAKSANAAN
4, 10, 20
Antraks akan mudah disembuhkan bila cepat dibuat diagnosa pada awal penyakit dan segera diberikan antibiotik terutama antraks inhalasi karena secara cepat dapat memburuk. Selain Penicilin yang masih merupakan obat pilihan untuk penyakit antraks sejak beberapa dekade, obat alternative lainnya adalah doksisiklin, ciprofloksacin, ofloksacin, levofloksacin, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid, aminoglikosida, rifamficin, imipenem, vankomisin. Pemberian intravena terutama direkomendasikan pada kasuskasus
antraks
inhalasi,
gastrointestinal
dan
meningitis
antraks.
direkomendasikan untuk antraks inhalasi terlihat dalam tabel b erikut.
9
Terapi
yang
TYPE OF THERAPY
Initial therapy
Optimal therapy if strain has proved susceptible
ADULTS (INCLUDING PREGNANT WOMEN AND THE IMMUNOCOMPROMISED)
CHILDREN
Ciprofloxacin, 20–30 mg/kg of body weight per day IV, divided into 2 daily doses Ciprofloxacin, 20–30 mg/kg per day IV, divided into 2 Penicillin G, 4 million U IV every 4 hr daily doses or or Penicillin G, 50,000 U/kg IV Doxycycline, 100 mg IV every 12 hr every 6 hr in children <12 yr old; 4 million U IV every 4 hr in children ≥12 yr old Ciprofloxacin, 400 mg IV every 12 hr
Tabel 2. Terapi antimikroba untuk antraks inhalasi
10
Setelah serangan antraks pada tahun 2001 dan berdasarkan uji kepekaan , CDC merekomendasikan penggunaan 2 atau 3 antimikroba untuk pasien yang terkena antraks inhalasi. Mengingat kemungkinan rekayasa kuman pada antraks inhalasi akibat serangan bioterorisme (kuman menjadi resisten terhadap satu atau lebih antibiotik) juga menjadi salah satu alasan pemberian kombinasi antimikroba ini. Category
Initial IV Therapy Ciprofloxacin, 400 mg every 12 Doxycycline, 100 mg every 12 h and 1 or 2 Additional antimicrobial
Adults
Children
Duration
or IV treatment initially before switching to oral antimicrobial therapy when clinically appropriate: Ciprofloxacin 500 mg twice daily or Doxycycline 100 mg twice daily Continue oral and IV treatment for 60 d Ciprofloxacin, 10-15 mg/kg every 12 h or IV treatment initially before Doxycyclinef, for those aged switching to oral antimicrobial >8 y and weight >45 kg: 100 mg every 12 h; therapy when clinically >8 y and weight ≤45 kg: 2.2 mg/kg every 12 h; appropriate: ≤8 y: 2.2 mg/kg every 12 h Ciprofloxacin 10-15 mg/kg and every 12 h or Doxycycline for 1 or 2 Additional antimicrobials those aged >8 y and weight >45 kg: 100 mg twice daily >8 y and weight ≤45 kg: 2.2 mg/kg twice daily ≤8 y: 2.2 mg/kg 2 daily Continue oral and IV treatment 10
h
for 60 d
Pregnant
Same for nonpregnant adults
women
Immunocompromised persons
IV treatment initially before switching to oral antimicrobial therapy when clinically appropriate; oral therapy regimens are the same for nonpregnant adults Same for nonimmunocompromised adults and children
Tabel 3. Rekomendasi terapi untuk antraks inhalasi dari CDC
4
Untuk kasus antraks kutaneus yang ringan direkomendasikan pemberian siprofloksacin 500 mg setiap 12 jam atau doksisiklin oral 100 mg setiap 12 jam. Lamanya terapi biasanya 7-10 hari, tetapi dapat dilanjutkan sampai 60 hari bila dicurigai akibat bioterorisme. Antraks kutaneus yang berat diterapi dengan obat dan dosis yang sama seperti kasus antraks inhalasi. Category
Initial Oral Therapy
Duration
Adults
Ciprofloxacin, 500 mg twice daily or Doxycycline, 100 mg twice daily
60
Children
Ciprofloxacin, 10-15 mg/kg every 12 h (not to exceed 1 g/d) or Doxycycline for those aged >8 y and weight >45 kg: 100 mg every 12 h >8 y and weight ≤45 kg: 2.2 mg/kg every 12 h ≤8 y: 2.2 mg/kg every 12 h
Pregnant women
Ciprofloxacin, 500 mg twice daily or Doxycycline, 100 mg twice daily
Immunocompromised persons
60
60
Same for nonimmunocompromised adults and children
Tabel 4. Rekomendasi terapi antraks kutaneus dari CDC
4
Pengobatan dengan antimikroba pada pasien yang tidak menunjukkan gejala klinis tidak wajib diberikan kecuali pihak yang berwewenang misalnya depkes telah memastikan adanya bukti paparan terhadap antraks. Pedoman profilaksis setelah paparan diberikan selama 60 hari setelah paparan.
11
Category
Alternative Therapy if Strain Is Proved Susceptible
Initial Oral Therapy
Ciprofloxacin, 500 mg orally every 12 h
Adults
Children
Pregnant women
Doxycycline, 100 mg orally every 12 h Amoxicillin, 500 mg orally every 8 h
Ciprofloxacin, 20-30 mg/kg per Weight ≥20 kg: amoxicillin, 500 d orally taken in 2 daily doses, mg orally every 8 h not to exceed 1 g/d Weight <20 kg: amoxicillin, 40 mg/kg taken orally in 3 doses every 8 h Ciprofloxacin, 500 mg orally Amoxicillin, 500 mg orally every 12 h every 8 h
Duration After Exposure
60
60
60
Immunosuppressed persons Same as for nonimmunosuppressed adults and children
Tabel 5. Profilaksis setelah paparan
VII.PROGNOSIS
4
2, 21
Angka kematian pada antraks inhalasi sangat tinggi dapat mencapai 80% bila tidak segera diterapi, waktu kematian bisa hanya dalam waktu 3 hari. Pada antraks kutaneus angka kematian mencapai 20%. Antraks gastrointestinal maupun meningitis juga mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
VIII.PENCEGAHAN
1.
6, 22-24
Menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi antraks
Pencegahan dari paparan terhadap spora antraks bisa dilakukan dengan mencegah kontak dengan binatang atau bahan dari binatang yang terinfeksi atau memakan dagingnya. Untuk pekerja industri menggunakan pelindung ketika memproses kulit, bulu atau rambut hewan.
2.
Vaksinasi 12
Vaksin pertama kali dicoba oleh Louis Pasteur pada tahun 1881 pada binatang. Pada saat ini yang dianjurkan untuk manusia adalah AVA (Anthrax Vaccine adsorbed) yang terdiri dari noncapsulated, attenuated strain (stern strain). Vaksin ini diberikan pada minggu ke- 0, 2, dan 4 kemudian pada bulan ke-6, 12 dan 18. Booster setiap tahun sangat perlu untuk memelihara imunitas. Vaksin lain yang masih dalam penelitian adalah vaksin rekombinan antigen yang antara lain mengandung lethal factor (LF) dan edema factor (EF). Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa penduduk yang terpapar spora antraks dengan pemberian antimikroba selama 60 hari ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang optimal. Vaksin antraks terutama diberikan kepada : •
Pekerja laboratorium yang beresiko terinfeksi spora antraks
•
Anggota
militer yang ditempatkan pada tempat yang memprogram senjata
biologis atau beresiko tinggi terpapar spora antraks. •
Pekerja industri atau peternakan yang berhubungan dengan produk hewan atau
beresiko tinggi terkena spora antraks 3.
Memastikan surat dalam keadaan aman
Pada tahun 2001 di Amerika Serikat telah
dilaporkan kasus pengiriman spora
antraks lewat surat yang menyebabkan 11 kasus inhalasi antraks dengan 5 diantaranya meninggal. Kejadian ini membuat kantor pelayanan pos Amerika secara terus-menerus melakukan pemeriksaan surat. 4.
Pengendalian infeksi
Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke manusia baik dikomunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang berair. 13
IX. RINGKASAN
Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman bacillus anthracis. Infeksi antraks pada manusia melalui 3 cara yaitu inhalasi, melalui kulit, dan gastrointestinal . Sangat jarang terjadi kasus antraks yang masuk melalui inhalasi. Saat ini
pemamfaatan antraks sebagai senjata biologis semakin berkembang. Bahkan Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Amerika Serikat (CDC, Centers for Disease Control and Prevention) mengklasifikasikan antraks sebagai Bioterrorism Agent class A. Oleh karena jarangnya penyakit ini pada manusia menyebabkan lemahnya sektor medis dalam mendeteksi secara dini (early detection) gejala penyakit dan melakukan pengobatan
yang
tepat
(prompt
treatment)
sehingga
menyebabkan
terjadinya
keterlambatan penanganan yang dapat menyebabkan bertambah beratnya penyakit sampai dengan tingkat kematian. Oleh karena itu perlunya mengetahui manifestasi klinis sekaligus bagaimana pengobatan dan pencegahannya terutama bagi yang beresiko tinggi kontak dengan spora antraks.
DAFTAR PUSTAKA 1. Dixon T, Meselson M, Guillemin J. Anthrax. NEJM. 1999;341:815-824. 14
2. Yusuf H. Antraks. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Vol 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI; 2006:1853-1855. 3. Inglesby T. Anthrax : A Possible Case History. Emerging Infectious Disease. 2000;6:1-7. 4. Inglesby T, Henderson D, Bartlett J. Anthrax as a Biological Weapon, 2002 Updated Recommendations for Management. JAMA. 2002;287:2236-2250. 5. Relman D. Bioterrorism - Perparing to Fight the Next War. NEJM. 2006;354:113-114. 6. Lane H, Fauci A. Bioterrorism and Clinical Medicine. In: Kasper D, Fauci A, Braunwald E, eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. Vol 16: MacGraw-Hill Companies; 2005:1279-1282. 7. Annas G. BIOTERRORISM, PUBLIC HEALTH, AND CIVIL LIBERTIES. NEJM. 2002;346:1337. 8. Guarner J, Zaki S. Histopathology and Immunohistochemistry in the Diagnosis of BioterrorismAgents. Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 2006;54:1-9. 9. CDC. Investigation of Bioterrorism-Related Anthrax. JAMA. 2001;286:262-264. 10. Swartz M. Recognition and Management of Anthrax - An Update. NEJM. 2001;345:1621-1626. 11. Doganay M. Anthrax. In: Cohen J, Powderly W, eds. Infectious Disease. Vol 2. Edinburgh: Mosby; 2004:2153-2162. 12. Suchard J, Friendlander A, Borkowsky W. Diagnosis and Treatment of Cutaneus Anthrax. JAMA. 2002;288:43-44. 13. Griffith K, Mead P, Amstrong G. Bioterrorism-related Inhalational Anthrax in a Elderly Woman. Emerging Infectious Disease. 2003;9:114. 14. Porter R, Nolte K, Borio L. Evaluation of Inhalational Anthrax. JAMA. 2002;287:984-985. 15. Mina B, Kuepper F, Arrastia C. Fatal Inhalational Anthrax With Unknown Source of Exposure in a 61-Year-Old Woman in New York City. JAMA. 2002;287:858-862. 16. Bush L, Abrams B, Beall A. Index Case of Fatal Inhalation Anthrax Due to Bioterrorism in The United States. NEJM. 2001;345:16071609. 17. Cunha B. Anthrax. eMedicine. 2008:1-10. 18. Walker D. Anthrax. In: Guerrant R, Walker D, Weller P, eds. Tropical Infectious Diseases : Priciples, Pathogens, and Practice. Vol 2. New York: Elseiver; 2002:449-452. 19. Mitka M. Early Anthrax Identification. JAMA. 2002;287:443. 20. Meyerhoff A, Murphy D, Tice A. Guidelines for Treatment of Anthrax. JAMA. 2002;288:1848-1849. 21.Jayachandran R. Anthrax: Biology of Bacillus anthracis. CURRENT SCIENCE. 2002;82:1220-1226. 22.Services USDoHaH. anthrax. TERRORISM AND OTHER PUBLIC HEALTH EMERGENCIES A Reference Guide for Media. Washington; 2005:48-52. 15
23. Friedlander A, Pittman P, Parker G. Anthrax Vaccine: Evidence for Safety and Efficacy Against Inhalational Anthrax. JAMA. 1999;282:2104-2106. 24. Pohan H. Patogenesis, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Antraks. Majalah kedokteran Indonesia. 2005;55:23-29.
16