FENOMENA FASHION DAN GAYA HIDUP ANDROGINI DALAM PERSPEKTIF KULTURAL UJIAN TENGAH SEMESTER DESAIN DAN KEBUDAYAAN I
WARIDAH MUTHI’AH NIM. 27110047
JURUSAN DESAIN FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010 1.
PENDAHULUAN Di
masa
sekarang,
gaya
androgini,
khususnya
dalam
fashion
perempuan, merupakan hal yang lumrah. Saat fashion kembali pada gaya tahun 1980 dan 1990-an seperti sekarang ini, androgini menjadi istilah yang sering tampil dalam majalah mode, runway, televisi, hingga pembicaraan sehari-hari. Dalam fashion kaum hawa, gaya androgini selalu
dikaitkan
dengan
emansipasi
perempuan
dengan
dasar
kepraktisan dan kemudahan bergerak. Namun fashion androgini sudah bergeser dari sekadar masalah kepraktisan. Pengadaptasian gaya busana pria, walau yang tidak memiliki korelasi apapun dengan sisi fungsional, misalnya dasi, topi fedora, dan vest, selalu dianggap sebagai simbol kebebasan. Di sisi lain, walau kenyataannya androgini adalah konsep yang dengan cair dapat diterapkan oleh siapapun dan latar belakang apapun, gaya androgini seringkali diasosiasikan dengan subkultur tertentu. Cara pandang masyarakat mengenai hal yang disebut maskulin dan feminin senantiasa berubah seiring waktu dan sangat bergantung pada tempat. Celana jeans yang bagi masyarakat sekarang lazim dikenakan perempuan dan sudah dimodifikasi menjadi bentuk yang dianggap feminin, tidak bisa dikatakan demikian dari sudut pandang masa lampau atau dalam masyarakat yang berbeda. Demikian pula dengan rok yang selalu diidentikkan dengan feminitas, dalam bentuk yang berbeda, yakni sarung, oleh masyaraka yang sama, yaitu masyarakat Indonesia, diterima sebagai busana maskulin. Makalah ini berusaha meninjau fenomena androgini dalam fashion kaum perempuan dan gaya hidup urban di masa sekarang dalam kaitannya dengan budaya popular dan subkultur, dengan ditinjau dari perspektif kultural. Pembahasan mengenai subkultur di sini akan difokuskan pada satu subkultur yang secara konsisten memakai konsep androgini dalam penampilan dan gaya hidup, yakni subkultur lesbian.
Pag | 2
Untuk menelaah latar belakang konsep androgini, perlu diterangkan mengenai konsep kultural masyarakat masa lampau dalam pembagian peran
gender
berdasarkan
sex.
Selanjutnya,
akan
dibahas
perkembangan konsep androgini sebagai gaya dalam fashion dan sebagai gaya hidup. Terkait dengan gaya hidup, androgini akan diperlakukan sebagai sebuah konsep mutlak yang mempengaruhi pola perilaku, interaksi, dan gaya visual suatu kultur. Adaptasi gaya androgini dalam fashion populer dan subkultur tertentu juga akan ditelaah untuk mengetahui perbandingan dan keterkaitan di antara keduanya. Yang tidak kalah penting dalam masyarakat visual dalam perkembangan suatu gaya adalah peran ikon dan trendsetter, sehingga akan dibahas sejauh mana pengaruh ikon media dalam perkembangan gaya androgini di tengah masyarakat. 2.
TINJAUAN KONSEP ANDROGINI 2.1. PENGERTIAN Androgini, diturunkan dari bahasa Inggris androgyny, merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani άνδρας (andras, berarti laki-laki) and γυνή (gyné, berarti perempuan). Oxford English Dictionary mengartikan androgyny sebagai mixing of masculine and feminine characteristics. This may be as in fashion, sexual identity, or sexual lifestyle, or it may be true hermaphrodite physicality. Dalam pengertian tersebut, definisi androgini dapat berbeda tergantung pada konteks kata tersebut ditempatkan. Dalam konteks fisik, androgini mengacu pada ambiguitas jenis kelamin karena ciri fisik yang melekat, baik pembawaan (hermafrodit sejati) maupun hasil rekayasa (transeksual). Dalam konteks gaya hidup, androgini mengacu pada adaptasi pola-pola perilaku yang secara kultural diasosiasikan dengan lawan jenisnya. Sedangkan dalam konteks fashion, androgini dapat diartikan sebagai adaptasi sebagian atau keseluruhan gaya penampilan lawan jenisnya. Konteks terakhir ini menimbulkan ambiguitas tersendiri karena fashion selalu berubah,
Pag | 3
begitu pula nilai-nilai feminin dan maskulin di dalamnya terus mengalami rekonstruksi pemahaman. Dalam konteks fashion, The Fairchild Dictionary of Fashion mengemukakan pengertian androgini sebagai androgynous/androgynous look (an-droj'-eh-nus) Posessing both male and female characteristic. Style of various periods may include androgynous elements. Examples for women include short boyish bob hairstyles; man-tailored suits of men's wear fabric; trenchcoats, slouch hats, neckties, and button down collars. For men, the adoption of more traditionally feminine styles included long hair, makeup, jewelry, and clothes with more color.
Pemahaman mengenai apa yang disebut sebagai ‘gaya maskulin’, ‘gaya feminin’, dan ‘gaya androgini’ sangat tergantung pada konteks ruang dan waktu. Sebagai contoh, gaya Flapper a la Garconnes 1920-an akan tampak sangat feminin dari kacamata fashion 1990-an, akan tetapi sangat maskulin jika dibandingkan dengan tailored dress 1890-an. Tailored dress 1890-an sendiri adalah bentuk adaptasi gaya busana pria, sehingga dapat disebut sebagai gaya androgini pada masanya. Dengan demikian, untuk menilai tingkat ambiguitas gender pada suatu masa, harus pula menelaah nilai-nilai kultural, perspektif, dan gaya hidup masyarakat pada masa itu. Menurut Chaney (2009:40) gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Lebih lanjut Chaney (2009:157) membedakan antara gaya hidup (lifestyle) dan cara hidup (way of life). Ia mengemukakan bahwa gaya hidup merupakan sekumpulan hal-hal dan proses yang memiliki persamaan rumpun (family likeness), sedangkan cara hidup dikaitkan dengan suatu komunitas yang kurang lebih stabil. Cara hidup ditampilkan dengan ciri-ciri seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dan mungkin juga gaya bicara atau dialek yang khas dalam sebuah komunitas.
2.2. PERKEMBANGAN KONSEP ANDROGINI Fenomena androgini yang meluas di kalangan kaum hawa adalah sesuatu yang relatif baru. Akan tetapi, konsep ini sudah muncul setidak-tidaknya sejak era Yunani-Romawi Kuno di Eropa. Istilah yang serupa pemahamannya dengan ‘androgini’ muncul dalam berbagai istilah sepanjang peradaban, mulai dari
catamite di kalangan Anglo-Saxon Eropa Abad Pertengahan
Pag | 4
hingga hingga La Garçonne pada 1920-an. Istilah yang terakhir secara harfiah berarti anak laki-laki, tetapi merujuk pada gaya berpenampilan perempuan secara spesifik pada dekade tersebut. Kata androgyny sendiri baru benar-benar meluas pada dekade 1960-an. Pemaknaan androgini sebagai sebuah gaya, bukan gaya hidup, hadir pada dekade terakhir abad ke-20. Sebelumnya, konsep androgini selalu dikaitkan dengan bentuk hermafrodit atau transseksual pemakainya. Pada berbagai kebudayaan kuno, konsep ini hadir untuk menyatakan penyatuan antara dua karakter yang berlawanan, dua elemen yang menentukan keseimbangan dunia, dalam satu tubuh. Adaptasi elemen-elemen busana laki-laki pada busana perempuan dengan tujuan untuk menyatakan kebebasan sebenarnya berakar pada pemahaman tradisional yang bersifat patriarki. Dalam sistem patriarki, kaum lelaki memiliki tanggung jawab yang lebih luas untuk melindungi dengan didasarkan pada kekhususan-kekhususan yang bersifat fisik. Pada akhirnya, tanggung jawab ini memberi kaum lelaki otoritas atau kekuasaan untuk mengatur serta terlibat dalam ranah publik. Sementara itu, perempuan sebagai pihak yang semula dilindungi dengan tujuan untuk melindungi anak-anak, dipersempit perannya sebagai pihak yang pasif dan karenanya dibatasi untuk hanya berperan dalam sektor domestik. Pada masyarakat seperti ini, tentunya nilai-nilai dari pihak yang berkuasa, dalam hal ini nilai-nilai maskulinitas dari kaum lelaki, menjadi nilai ideal yang membuatnya dianggap memiliki derajat lebih tinggi ketimbang anggota masyarakat yang lain. Dalam konsep gaya hidup dikenal teori mengenai keterkaitan antara modal dan posisi. Jika maskulinitas bisa dianggap sebagai modal simbolik yang menentukan kekuasaannya dan kedudukannya yang lebih tinggi, maka pengadopsian unsur-unsur yang lekat dengan maskulinitas oleh counter hegemonic,
dalam hal ini pihak feminine, dianggap dapat
mendekatkan diri pada kelas tersebut.
Pag | 5
2.3. ANDROGINI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN KULTURAL 2.3.1. Konsep Androgini dalam Perspektif Kultural di Indonesia Di Indonesia, konsep androgini bukanlah sesuatu yang baru. Kendati fashion androgini masa kini dipengaruhi oleh kultur barat, konsep keberadaan dua sifat yang bertentangan dalam satu tubuh tidak dibawa oleh kebudayaan Barat. Pada masyarakat adat seperti Dayak dan Toraja, konsep ini dipakai untuk menggambarkan ‘dunia antara’ yang menghubungkan dunia atas (dewa) dan dunia bawah (manusia). Konsep ini berakar dari cara pandang kosmologi yang berakar pada kebudayaan Polinesia dan Asia Tenggara. Kosmologi melihat dunia sebagai sistem oposisi biner, yakni atas:bawah, dewa:manusia,
terang:gelap,
matahari:bulan,
laki-
laki:perempuan, dan lain sebagainya. Sebagai penghubung dua dunia tersebut, manusia, yang secara dikotomis dibagi menjadi laki-laki dan perempuan, membutuhkan sosok yang memiliki kedua ciri yang berlawanan tersebut. Inilah alasan mengapa di beberapa kebudayaan primitif, tokoh transvestit memiliki
peran
sebagai
menghubungkan
dunia
upacara-upacara
tertentu,
shaman
dewa
atau
dengan
mereka
dukun
manusia.
mengenakan
yang Dalam busana
perempuan dan dalam keadaan trance, dikabarkan dewa memasuki tubuhnya untuk memberi petunjuk bagi manusia. 2.3.2. Fashion Androgini dalam Fashion Barat pada Abad ke20 Abad ke-20 menjadi titik tolak pembahasan fashion androgini karena pada awal abad inilah, fashion yang memiliki konsep ambiguitas gender diterima oleh masyarakat tidak untuk menunjukkan anomali dalam konteks orientasi seksual, tetapi hadir sebagai konsep fashion untuk perempuan secara
Pag | 6
general.
Pada
beberapa
dekade
spesifik,
bahkan
gaya
androgini hadir sebagai suatu konsep utuh yang mencakup perkembangan
pola
pikir,
pemaknaan
konsep
gender,
dinamika sosial budaya, bahkan perubahan iklim politik serta cerminan struktur demografi dan pola perilaku. Dengan kata lain, androgini bukan sekadar fashion yang bisa dipilih, tetapi mengarah pada gaya hidup. Adopsi gaya yang lebih maskulin untuk gender feminin berkembang secara gradual. Konsep ini sebenarnya telah muncul sejak abad ke-18 dalam bentuk adaptasi jaket pria untuk busana berkuda wanita yang disebut French Redingote. Demikian pula pada akhir abad ke-19, ketika gaya busana tailored pria diadaptasi sebagai busana wanita. Namun, adaptasi yang terjadi hanya untuk menimbulkan kesan yang lebih berwibawa dan sportif sesuai dengan event busana tersebut dipakai. Adaptasi ini tidak mempertimbangkan hal yang
lebih
fungsional,
seperti
keleluasaan
gerak
dan
kenyamanan. Hal ini bisa dimengerti karena pada masa itu peran wanita di luar fungsi reproduksi dan ornamentalnya, yang dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk bergerak lebih gesit, tidak terlalu dipentingkan. Adaptasi yang bersifat fungsional baru diperkenalkan setelah Perang Dunia I. Mengantisipasi kekurangan tenaga untuk melakukan pekerjaan kemasyarakatan karena kaum lelaki pergi berperang, perempuan menggantikan peran lelaki di sektor publik. Demi alasan kepraktisan dan profesionalisme, mereka mengadaptasi busana termasuk atribut lelaki. Ketika Perang Dunia I berakhir, kaum perempuan yang berhasil membuktikan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan publik, menolak untuk kembali pada tatanan tradisional yang menempatkannya hanya pada sektor domestik dan menuntut kesetaraan. Inilah yang menjadi cikal bakal konsep feminisme.
Pag | 7
Tuntutan akan kebebasan mencuat pada dekade 1920-an. Inilah masa ketika perempuan secara terbuka berusaha mendistorsi konsep-konsep tradisional mengenai kecantikan ideal.
Gaya
androgini
mencapai
puncaknya
dengan
diabaikannya kurva tubuh berlekuk yang selama berabad-abad menjadi semacam fetisisme seksual. Tubuh langsing tanpa lekuk yang mengandung ambiguitas seksual menjadi idaman, sehingga banyak perempuan yang
berusaha melakukan
artifisialisasi dengan mengenakan flattener dan brassierre menggantikan korset. Namun penggunaan instrumen tertentu untuk mengubah bentuk tubuh di sini berbeda dengan upaya para transgender yang bertujuan untuk menyarukan tubuh sebagai laki-laki. Pada era 1920-an, sebagaimana abad-abad sebelumnya,
bentuk
tubuh
adalah
bagian
dari
konsep
kecantikan, yang definisinya terus berubah. Bentuk figur androgini pada masa itu merupakan standar bagi semua perempuan dan karenanya harus dilihat sebagai trend. Kendati masa itu juga dikenal sebagai era kebangkitan liberalisme perempuan dan gerakan lesbian, konotasi orientasi seksual tidak bisa digunakan untuk menjelaskan gaya busana masa itu secara general. Konsep androgini 1920-an tidak hanya berkisar pada idealisasi bentuk tubuh anak lelaki, yang dikenal dengan istilah La Garconnes,
dan
hal-hal
yang
berhubungan
dengan
penampilan, seperti tatanan rambut, gaya busana, dan make up. Konsep ini berakar pada kritik terhadap citra, peran, dan kedudukan perempuan dalam budaya patriarki. Norma-norma yang mengatur citra perempuan, cara bersikap, perilaku keseharian, hal-hal yang dianggap tabu, serta pandangan terhadap seks dan keluarga, berusaha direkonstruksi. Saat itulah androgini menjadi gaya hidup. Meskipun pada dekade-dekade berikutnya terjadi pergeseran trend dari kurva tubuh lurus kembali ke kurva berlekuk khas
Pag | 8
perempuan,
pengaruh
gaya
androgini
pada
busana
perempuan tidak pudar. Busana tailored dekade 1930-an dan 1940-an paling jelas memperlihatkan hal ini. 1lemen yang tampak antara lain adalah pada adaptasi jas berkerah, penggunaan
kemeja,
penambahan
pad
bahu
untuk
menimbulkan kesan bidang, dan siluet yang ramping. Kendati demikian, pada masa itu penggunaan celana panjang bagi perempuan di muka publik, kecuali celana kulot untuk kesempatan santai, masih dianggap sebagai hal yang tabu. Pada 1950-an, di bawah pengaruh euforia berakhirnya perang, Christian Dior menggiring kaum perempuan untuk kembali pada romantisme abad silam dengan menghadirkan konsep New Line. Gaya androgini benar-benar ditinggalkan dengan kembali
digunakannya
korset
dan
petticoat
untuk
menghadirkan kurva berlekuk a la Victorian. Terpinggirkan ke daerah suburban dan rural di Amerika, gaya androgini muncul dalam adaptasi gaya cowboy oleh remaja, kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Pada era rock ‘n roll di akhir dekade 1950-an yang ditenarkan oleh Elvis Preasley, jaket dan celana kulit dipakai secara luas oleh laki-laki maupun perempuan. Ini menjadi awal era pemberontakan remaja terhadap gaya hidup mapan, yang mempengaruhi trend busana dekade-dekade selanjutnya. Konsep androgini pada dekade 1960-an erat kaitannya dengan konsepsi mengenai kemudaan. Remaja, yang sebelumnya tidak dipentingkan dalam menentukan arah fashion, pada dekade tersebut menjadi fokus atensi. Gaya make up dan busana
bergerak
dari
make-up
yang
mencerminkan
kedewasaan dan keanggunan menjadi gaya make-up kekanakkanakkan. Dengan dasar yang hampir sama dengan 1920-an, yakni menitikberatkan pada idealisasi bentuk tubuh anak lakilaki, fashion 1960-an bergerak lebih jauh dengan tidak hanya menghadirkan ilusi tubuh yang ambigu, tetapi juga secara
Pag | 9
konstan menghubungkannya dengan kemudaan. Ambiguitas gender juga diterapkan pada fashion remaja lelaki, yang mengadopsi warna-warna cerah yang secara kultural dikaitkan dengan feminitas. Pada dekade inilah Yves Saint Laurent menghadirkan koleksi Le Smoking, yang didasarkan pada busana tuxedo pria dimaksudkan sebagai busana formal perempuan. Akan tetapi, pada masa itu, konsep yang sepenuhnya menanggalkan unsur feminin seperti ini masih dianggap kontroversial, sehingga banyak tempat-tempat yang menolak keberadaan perempuan yang memakai busana semacam ini. Memang sejak awal dekade, adopsi sebagian unsur maskulin dalam busana perempuan merupakan hal yang lumrah, tetapi baru Le Smoking yang menghadirkan kesan maskulin secara total. Baru pada awal abad ke-21 gaya ini diterima secara luas oleh masyarakat. Fashion dekade 1970-an secara luas mengadaptasi gaya androgini tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi lakilaki. Pada fashion yang sangat dipengaruhi oleh subkultur hippies ini, gaya androgini tampil dalam pemakaian bahan berat seperti tweed, adaptasi gaya cowboy, diterimanya penggunaan celana panjang oleh kaum hawa, serta bentuk kurva tubuh yang sama bagi gaya busana laki-laki dan perempuan. Film Annie Hall turut mempopulerkan gaya ini. Bahkan sebagai kelanjutan dari warna-warni cerah era Mods, kaum
adam
juga
lazim
mengenakan
kemeja
ber-frills,
diadaptasi dari gaya kemeja era Victorian dan cravat dari abad ke-18.
Pag | 10
Film Annie Hall (kanan) dan pengaruhnya dalam gaya androgini masa kini (kiri) Sumber: www.about.com
Dekade 1980-an dan 1990-an merupakan puncak gaya androgini yang dihadirkan dalam bentuk yang berbeda. Meriahnya warna-warni cerah dan gaya sporty yang longgar menjadi jalan bagi masuknya gaya androgini. Dekade ini juga dikenal dengan puncak perkembangan subkultur. Konsep androgini dihadirkan secara total dalam gaya Glam dan Peacock Revolution, dengan tokoh yang terkenal yakni David Bowie, dan Gothic dengan tokoh Siouxsie and The Banshees. Pada dekade inilah terdapat tukar menukar simbol secara global dalam komunitas subkultur, saat laki-laki meminjam atribut-atribut perempuan seperti make up dan busana yang meriah,
sedangkan
perempuan
juga
meminjam
elemen
busana laki-laki. Dekade 1990-an dikenal sebagai The Department Store of Fashion, tempat bercampur aduknya gaya berbagai subkultur dan siapapun dapat memilih suatu gaya tanpa mengerti benar esensi dari gaya it sendiri. Pada dekade ini, setidaknya ada dua gaya baru yang memiliki sifat androgini, tetunya bagi anggota subkultur yag perempuan, yakni gaya Grunge dan Hip Hop.
Pag | 11
2.3.3. Androgini dan Subkultur Gagasan tentang subkultur diciptakan untuk menunjuk pada pengertian perbedaan yang diterima antara nilai-nilai dan kebiasaan dari suatu kelompok yang dengan mudah dikenali dari
praktik-praktik
konvensional.
(Chaney,
2009:
209).
Dengan kata lain, subkultur dinyatakan sebagai kalangan minoritas yang memiliki perbedaan atau kekhasan tertentu jika dibandingkan dengan subkultur lain atau masyarakat yang lebih dominan. Dalam pemahaman popular, sebagai sebuah gaya, androgini tidak diasosiasikan dengan suatu subkultur tertentu. Akan tetapi, berdasarkan sejarah, gaya androgini bermula dari penggunaan atribut identitas, misalnya busana dan gaya rambut, secara konsisten untuk mengaburkan identitas sex yang sebenarnya. Dengan kata lain, gaya androgini berawal dari sebagian kalangan homoseksual dalam fungsinya untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari gender tertentu yang secara kultural tidak direlasikan dengan identitas seksual dirinya. Dalam perkembangannya, konsep ini, yang mengalami penyempitan makna menjadi konsep berpenampilan, turut dimasyarakatkan oleh ikon-ikon popular dan subkultur lain seperti Mods, Punk, Hippie, Skinhead, Peacock Revolution, Glam, Grundge, dan lain sebagainya. Misalnya dalam subkultur Skinhead yang berasal dari kelas pekerja Inggris
pada
dekade
1960-an.
Skinhead
berusaha
menampilkan kesan yang ultra maskulin, dengan ciri khas kepala botak, jaket kulit, celana kulit atau jeans ketat, dan sepatu Doc Mart, yang berlaku secara general baik bagi anggota lelaki maupun perempuan. Namun, di antara beberapa subkultur yang mengusung konsep androgini, subkultur lesbian, yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini, adalah yang paling konsisten mempertahankan konsep androgini tidak hanya sebagai gaya berbusana, tetapi sebagai gaya hidup.
Pag | 12
2.3.4. Analisa Subkultur Lesbian Perkembangan lesbian tidak lagi sebagai suatu pilihan orientasi seksual, tetapi sebagai sebuah subkultur, berangkat dari pemahaman bahwa subkultur selalu menjadi counter-culture minoritas dari masyarakat mayoritas yang bersifat heteroseksual. Subkultur lesbian berkembang sebagai respon terhadap kategori lesbianisme sebagai permasalahan medis. Perkembangan teknologi yang diikuti oleh maraknya komunitas dunia maya, termasuk forum, chatting room, dan berbagai situs jejaring sosial turut memberi ruang bagi perkembangan subkultur ini. Sebagai
sebuah
subkultur,
masyarakat
lesbian
mengembangkan suatu kode yang khas meliputi sistem identitas, hierarki label, pola interaksi, gaya busana, dan pola perilaku yang didasarkan pada kesepakatan komunal akan idealisme personal dan kelompok. Sistem ini didasarkan pada disposisi,
yakni
berdasarkan
seperangkat
pada
pilihan
struktur
(preference)
mental
(habitus)
yang yang
mempengaruhi kecenderungan (tendency), yang menentukan posisi individu dalam relasi sosial. Disposisi tidak hanya mempengaruhi hubungan antara lesbian dengan masyarakat dalam ruang sosial yang luas, tetapi juga dalam komunitas subkultur sendiri. Atas dasar hal ini, muncul terminologi ‘label’ untuk menyatakan identitas, yang dalam konteks kontemporer dibagi menjadi empat, yakni butch, femme, andro, dan
no-label. Dalam komunitas,
masing-masing anggota diharapkan untuk berlaku homolog sesuai dengan labelnya. Selanjutnya dikenal konsep yang secara umum mengatur pola interaksi antaranggota, yakni konsep role playing. Secara singkat, role playing dapat
diartikan
(feminin/maskulin)
sebagai dalam
pengambilan hubungan
suatu
partnership
peran maupun
interaksi dengan anggota lain. Di Indonesia, konsep ini dihubungkan
Pag | 13
dengan identitas, yang cakupannya meluas meliputi peran, pilihan gaya busana, perilaku, bahkan preferensi seksual. Dalam terminologi role playing, terdapat dikotomi yang khas berdasarkan peran gender, yakni butch yang merujuk pada gender maskulin dan femme yang merujuk pada gender feminin. Namun, relasi antara butch dan femme tidak semata berkembang secara alamiah. Terdapat reproduksi makna yang terus menerus, baik dalam lingkup pergaulan dalam kelompok, jaringan dunia maya, maupun perspektif masyarakat, sehingga role playing, tak hanya lesbianisme, dapat dikatakan sebagai suatu ideologi. Konsep butch-femme secara stabil mengadopsi pola relasi heteroseksual, dan dengan sendirinya bersifat patriarkis dan hierarkis. Terdapat dikotomi yang jelas dalam relasi butch-femme, yang masing-masing secara konsisten mengadopsi ciri fisik, perilaku, maupun peran laki-laki dan perempuan dalam relasi suami-istri kaum heteroseksual. Dalam perkembangannya, pola relasi yang kaku ini menyisakan ruang bagi perkembangan relasi dan label lain yang lebih cair. Label dan pola relasi butch-femme merupakan pola yang relatif dan bergantung pada konteks ruang dan waktu. Menurut Nardi dan Schneider (1978), pada masyarakat urban, role playing yang bersifat dikotomis mulai ditinggalkan sehingga tidak menjadi konsep utama yang mendasari pola perilaku dan relasi lesbian secara general. Namun, pola semacam ini berlaku pada masyarakat rural dan masyarakat yang masih erat memegang konsep patriarki. Itu sebabnya di masyarakat urban yang konsep kesetaraan gender dan feminismenya lebih tinggi, misalnya di Amerika Serikat masa sekarang, yang menjadi lokasi penelitian Nardi dan Schneider, konsep butch-femme jarang ditemukan. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk masyarakat urban di
negara
post-kolonial
membudayakan
seperti
emansipasi,
di
masih
Indonesia, ada
yang
kendati
kecenderungan
telah untuk
mempertahankan konsep patriarki. Hal ini mendasari alasan masih signifikannya pola tersebut dalam memetakan kecenderungan pola relasi komunitas lesbian di Indonesia. Dalam perkembangannya, dikenal gender ketiga, yakni andro. Keluar dari pengertian dasar kata ‘andro’, yang dalam bahasa Latin berarti ‘laki-laki’,
Pag | 14
dalam konsep gender lesbian, ‘andro’ merupakan kependekan dari androgyny, merujuk pada gender antara. Berbeda dengan terminologi butch dan femme yang seringkali berkonotasi preferensi seksual dan peran gender, andro tidak secara kaku dijabarkan dalam preferensi seksual tertentu. Andro lebih merupakan pilihan gaya dan identitas ketimbang peran dan preferensi seksual. Dengan demikian, label andro adalah label yang cair dari segi fungsi. Konsep role playing merupakan konsep yang penuh dengan polemik. Sistem klasifikasi yang kaku dengan mengadopsi karakteristik patriarkal klasik pada hubungan heteroseksual untuk mendefinisikan hubungan homoseksual merupakan sesuatu yang seringkali tidak diterima oleh kalangan lesbian sendiri. Hal ini memunculkan sebuah terminologi baru, yakni no-label. Nolabel yang secara eksplisit tidak mengkorelasikan diri dengan suatu identitas tertentu, dalam perkembangannya justru menjadi identitas tersendiri. Kebutuhan untuk mengidentifikasikan diri dalam sebuah struktur label yang khas membuat label andro sendiri terbagi menjadi dua, yakni androfemme yang merujuk pada andro yang bersifat lebih feminin, dan androbutch yang merujuk pada andro yang lebih maskulin. Diferensiasi semacam ini seringkali membingungkan bagi kalangan lesbian sendiri. Dalam pengamatan pada jejaring sosial seperti Facebook dan forum lesbian lainnya, tampak bahwa khususnya bagi remaja, masalah identitas gender ini mendapat porsi yang cukup signifikan. Terbukti bahwa dalam beberapa message subject, situs pertemanan, dan situs percomblangan, identitas gender, dalam hal ini label gender bahkan label relasi, seringkali dipertanyakan untuk mendeskripsikan dirinya, sebagai alternatif dari identitas jenis kelamin laki-laki/perempuan dalam dunia heteroseksual. Dalam perkembangannya, muncul pula istilah-istilah yang merujuk pada konsep preferensi hubungan antarpersonal dalam relasi ‘gender2gender’. Gender pertama merujuk pada gender ego (orang pertama), sedangkan gender kedua merujuk pada identitas alter-ego (orang kedua sebagai preferensi pasangan), sedangkan angka ‘2’ merupakan kosakata slank merujuk pada kata sambung ‘to’ yang menunjukkan fungsi korelatif. Di sini saya digunakan istilah label relasi untuk merujuk pada label yang selain menunjukkan fungsi identitas gender, juga menunjukkan relasi preferensi secara spesifik.
Pag | 15
Muncullah relasi butch2butch, butch2femme, butch2andro, andro2andro, andro2femme, dan femme2femme. Relasi terakhir merujuk pada gender femme yang secara seksual lebih mengapresiasi hubungan dengan sesama femme. Dalam konteks ini, femme2femme merupakan sebuah reaksi represif dari konsep dikotomi butch-femme dengan meniadakan kebutuhan yang bersifat patriarkis akan peran maskulin dalam relasi yang bersifat feminin. Patut digarisbawahi bahwa sistem relasi ini adalah fenomena yang baru menanjak pada dekade terakhir ini, walau bukti otentik mengenai kapan dan oleh siapa istilah ini bermula sukar ditelusuri. 3.
ANALISA KONSEP ANDROGINI DALAM FASHION DAN GAYA HIDUP 3.1. GAYA FASHION ANDROGINI DALAM BUDAYA POPULER MASA KINI Sesuai dengan konsep trend yang terus berulang dan memiliki siklus hidup, gaya androgini juga mengalami masa kelahiran (birth), perkembangan (youth), puncak (maturity), hingga menurun (decline) dan hilang (death). Pada saat menghilang, sebuah gaya memasuki fase laten, yang dapat muncul kembali sebagai retrospective/ nostalgic. Gaya-gaya yang biasanya diasosiasikan dengan dekade tertentu akan hilang dengan sendirinya saat trend bergerak. Akan tetapi, dalam fashion androgini, hal tersebut tidak atau belum terjadi.
Berbeda dengan gaya lain yang lebih spesifik seperti Hippies, Glam, atau Punk, sifat gaya androgini yang cair dalam artian bisa diinterpretasikan dan diadaptasikan ke dalam gaya fashion/trend subkultur manapun dan bisa ditransformasikan untuk kesempatan formal, semiformal, nonformal, hingga santai membuatnya lebih mudah bertahan. Esensi gaya androgini sebenarnya adalah memunculkan kesan yang lebih praktis dengan menggunakan elemen-elemen gaya busana pria, sehingga dengan sendirinya, gaya ini juga bisa ditransformasikan menjadi gaya yang lebih feminin tanpa kehilangan sisi androginusnya. Pada masyarakat umum, gaya androgini meliputi peminjaman elemen-elemen busana pria bisa dilakukan sebagian atau keseluruhan seperti dasi, jaket, kemeja, sepatu, hingga gaya rambut. Dalam masyarakat postmodern, hal ini bisa dilihat
Pag | 16
sebagai bagian dari permainan/ pertukaran tanda sehingga tidak memiliki fungsi sebagai fetisisme seksual sebagaimana pada subkultur lesbian. Di masyarakat masa kini, terutama masyarakat heteroseksual, pada dasarnya terdapat kecenderungan untuk menganggap lumrah variasi disposisi tingkah laku dan gaya busana perempuan, tanpa mengaitkannya dengan suatu konotasi seksual.
Gaya Androgini untuk koleksi Musim Panas 2008 www.fashion.com
Gaya fashion androgini masa kini yang lebih feminin Sumber: dokumentasi pribadi, www.about.com, www.fashion.com
Memang secara umum dalam masyarakat juga ada semacam ekspektasi yang hampir sama dengan label dalam komunitas lesbian, yakni agar seseorang memiliki kesesuaian antara sesuatu yang perseptual dari sudut tampilan dengan struktur
Pag | 17
mental. Sehingga jika seseorang mengadopsi tampilan androgini, ia diharapkan bersifat tomboy, melakukan pekerjaan yang aktif, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dalam permainan pertukaran tanda, anomali bisa dianggap wajar. Pertukaran tand adalah hal yang biasa dalam fashion. Pertukaran tanda tidak hanya bisa terjadi dalam seks yang berbeda yakni laki-laki perempuan, tetapi juga bisa terjadi dalam perangkat disposisi perempuan tomboy perempuan feminin. Sehingga dalam masyarakat zaman sekarang, gaya androgini dalam fashion adalah salah satu pilihan dalam berbusana, yang belum tentu harus dilihat sebagai kecenderungan pilihan yang homogen jika dikaitkan dengan sifat seseorang. Dengan demikian, gaya androgini bisa bersifat netral. 3.2. IKON GAYA ANDROGINI Sebagai sebuah gaya dan lebih lagi sebagai sebuah gaya hidup, androgini tentunya harus memiliki tiga komponen, yakni keberadaan ‘pola’ yang berulang, massa/followers, dan life cycle (daur ulang) yang sudah dijelaskan sebelumnya. Terkait dengan massa dan budaya visual, secara logis muncul pertanyaan mengenai ‘trendsetter’, yakni sosok yang memetakan konsep dasar suatu gaya yang kemudian diikuti; dan ‘ikon’, yakni sosok yang merupakan representasi gaya hidup tertentu. Ikon tidak harus merupakan trendsetter. Dalam kasus ini, mereka merupakan follower dari suatu gaya hidup yang bisa dibilang telah mapan. Namun, dalam tataran tertentu, mereka juga turut menjadi trendsetter bagi massa yang lebih luas. Dalam dunia visual masa kini yang dibentuk oleh media, selebriti merupakan pusat perhatian yang dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi masyarakat. Dengan sendirinya terdapat konstruksi citra yang disengaja dengan alasan-alasan praktis yang kadang bersifat materialistis dalam pembentukan sesuatu atau seseorang menjadi ikon. Dengan kata lain, ikon dalam dunia visual tidak lepas dari manipulasi permukaan untuk membentuk citra/image sebagai pesan yang diterima oleh audiens sebagai kesadaran yang dibentuk (artificial consciousness). Dalam dunia visual, terjadi persaingan terus menerus dalam ranah dunia entertainment, guna merebut perhatian pemirsa. Image atau citra menjadi penilaian utama. Jika dikaitkan dengan alasan ekonomi, yakni branding, pembentukan citra androgini yang disengaja pada beberapa selebriti dapat dimengerti sebagai bagian
Pag | 18
dari upaya menjaring simpati dan meraup pasar tertentu, atau secara sederhana sebagai upaya pemberian identitas yang khas guna memenangkan persaingan. Bagi masyarakat Indonesia sekarang, setidaknya ada beberapa contoh selebriti yang menjadi ikon gaya androgini. Musisi Sherina, penyanyi Agnes Monica, bassis Yua Kotak, gitaris She, model Sauzan, dan musisi Mitha The Virgin, merupakan beberapa contoh dari dalam negeri yang cukup representatif.
Sherina untuk album Gemini (2010) Sumber: kissfmjember.com
The Virgin merupakan duo musisi yang secara konsisten mempertahankan citra dikotomi maskulin-feminin dalam penampilannya, sehingga bagi komunitas subkultur lesbian tertentu, secara sepihak mereka dianggap sebagai representasi butch-femme. Citra ini hampir sama dengan duo vokal asal R.usia T.A.T.U, yang sempat menjadi ikon subkultur lesbian pada dekade pertama 2000-an.
Pag | 19
Duo The Virgin dan T.A.T.U Sumber: hotlinenow.bolgspot.com dan a-lh.blogspot.com
Citra androgini lebih umum direpresentasikan dalam konteks preferensi dan kecenderungan yang berhubungan dengan variasi dalam gaya fashion kaum perempuan. Dalam hal ini, gaya androgini dianggap tidak berkonotasi seksual.
Joan Jett dan Kristen Steward sebagai Joan Jett muda dalam The Runaways Sumber: www.about.com
Sedangkan dari mancanegara, muncul nama-nama seperti Kristen Steward dalam perannya sebagai musisi Joan Jett dalam film The Runaway. serta Katherine Moennig sebagai Shane McCutcheon dan Daniela Sea sebagai transeksual Moira/Max Sweeney dalam serial The L Word.
Pag | 20
Shane dan Moira/Max dalam The L Word Sumber: www.about.com
3.3.
GAYA FASHION ANDROGINI DALAM SUBKULTUR LESBIAN Dalam subkultur lesbian, gaya androgini secara konsisten diadaptasi terutama oleh label butch dan andro. Kebutuhan untuk mengidentifikasi diri dalam citra maskulin tidak hanya dengan peminjaman sebagian unsur fashion, baik busana maupun potongan rambut, yang dikategorikan sebagai ‘maskulin’ secara kultural; tetapi juga lewat perilaku, gesture, dan pola interaksi baik dengan sesama label dan antarlabel dalam komunitas lesbian maupun dengan masyarakat di luar komunitas. Hal ini membuat konsep androgini dipakai secara luas tidak hanya dalam konteks fashion, tetapi juga gaya hidup. Kendati demikian, terdapat perbedaan yang spesifik mengenai cara visualisasi gaya androgini dalam kedua label tersebut. Butch secara general mengapresiasi gaya yang lebih maskulin, bahkan dalam beberapa kasus mengikutsertakan upaya artifisialisasi dan ambiguasi bentuk tubuh untuk menampakkan citra yang kurang feminin. Dalam hal ini, butch berusaha menampilkan citra yang berlawanan dengan fetish seksual bentuk tubuh ideal perempuan yang dibentuk oleh kerangka patriarkis. Bentuk yang tidak menunjukkan kurva kewanitaan merupakan bentuk ideal, sehingga bentuk kurus berdada rata atau sebaliknya, bentuk gemuk yang menyamarkan lekuk feminin, berupaya dicapai lewat pendekatan-pendekatan spesifik. Hal ini pada gilirannya menimbulkan fetisisme seksual tersendiri.
Pag | 21
Identifikasi label dalam gaya berbusana Siumber: dokumentasi pribadi
Sedangkan andro secara umum mengadaptasi gaya maskulin dalam tataran tertentu yang masih menyisakan ruang bagi munculnya sifat feminin. Bagi mayoritas andro, tidak ada kebutuhan untuk secara total mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki. Selain preferensi seksual yang bersifat cair, dalam banyak hal, disposisi yang dilakukan merupakan bentuk negosiasi kultural, baik dengan keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat. Andro lebih mudah mengidentifikasikan diri sebagai tomboy, karena dalam masyarakat terjadi degeneralisasi makna ‘tomboy’ menjadi variasi gaya personal perempuan yang tidak berkaitan dengan orientasi seksual, dan karenanya lebih dapat diterima. Asumsi ini berpegang pada fakta bahwa dalam masyarakat heteroseksual sendiri, banyak perempuan yang mengidentifikasikan diri sebagai tomboy tanpa memiliki kecenderungan homoseksual maupun biseksual. Sebagai antitesis bagi golongan butch dan andro dalam subkultur lesbian, femme secara konsisten mempertahankan gaya yang ultrafeminin. Bahkan menurut Nardi dan Schneider, citra ini sengaja ditampilkan untuk menempatkan diri pada posisi yang berlawanan dengan butch yang mengisi peran maskulin. Sedangkan non-label, sesuai dengan namanya, kerap tidak mengidentifikasikan diri dengan citra tertentu. Meskipun opsi non-label hadir berdasarkan alasan politis, yakni penolakan terhadap konsep hierarkis label itu sendiri, pada praktiknya banyak lesbian yang merasa nonlabel adalah label yang paling nyaman, yang tidak mengharuskannya untuk memilih salah satu di antara pilihan biner (binary choice). Dalam hal ini, non-label bersifat lebih cair ketimbang andro, dan dengan mudah mengakomodasi sifat dasar manusia yang polimorfik dalam kaitannya dengan masyarakat. 4.
KESIMPULAN
Pag | 22
Gaya androgini merupakan gaya yang memiliki sejarah yang panjang secara kultural. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan makna androgini dari yang semula dikonotasikan dengan suatu preferensi seksual tertentu menjadi gaya yang mengusung konsep kebebasan. Keterkaitan antara konsep androgini dalam busana perempuan dengan kebebasan dapat ditelaah dari konsep patriarki pada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan konsep otoritas maskulin, sehingga pengadopsian unsur-unsur yang lekat dengan otoritas/kelas tertentu dianggap dapat mendekatkan diri pada kelas tersebut. Saat ini dalam pengertian popular, gaya androgini sudah bersifat netral. Elemen-elemen gaya androgini sebagai tanda dapat dengan bebas dipertukarkan tanpa memiliki konotasi seksual seperti pada abad-abad silam. Namun, dalam subkultur lesbian, khususnya yang berkembang pada masyarakat patriarki seperti di Indonesia, konsep androgini masih dikaitkan dengan konsep disposisi label dan role playing. Subkultur lesbian masih berpegang pada konsep homologi pencitraan peran dalam hierarki label. Dengan demikian, pemakaian suatu tanda, dalam hal ini gaya fashion androgini, masih dikaitkan dengan peran dan preferensi seksual seseorang. DAFTAR PUSTAKA Chaney, David. 2009. Lifestyles: Sebuah Pendekatan Komprehensif. Edisi kesembilan. Bandung: Jalasutra. Calasibetta, Charlotte Mankey dan Tortora, Phyllis. 2003. The Fairchild Dictionary of Fashion. London: Fairchild Publications, Inc. Lubiski, David, dll. 1983. ‘Masculinity, Femininity, and Androgyny Viewed and Assessed ad Distinct Concepts’, Journal of Personality and Social Psychology. American Psychology Associaton, Inc. 44. 423-439. Nardi, Peter M. dan Schneider, Beth E (ed.). 1978. Social Perspective in Lesbian and Gay Studies: A Reader. London: Routledge.
Oxford University. 1989. Oxford English Dictionary. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press.
Pag | 23
Payne, Blanche, dkk. The History of Cosutume. Edisi kedua. New York: Addison-
Wesley Educational Publishers. Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Kreasi Wacana Watson, Linda. 2006. Twentieth Century Fashion. London: Carlton Books, Ltd. www.about.com www.facebook.com www.fashion.com www.voy.com
Pag | 24