Departemen Departemen Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Laporan Kasus dan Referat Oktober 2017
ATRIAL FIBRILASI RAPID VENTRICULAR RESPONSE
Disusun Oleh : Nama
:
Ditha P. Buntuan
NIM
:
C111 11 381
Supervisor : Dr. dr. Muzakkir Amir, SpJP, FIHA
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN KARDIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dan referat dengan Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response, yang disusun oleh :
Nama
:
Ditha P. Buntuan
NIM
:
C 111 11 381
Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas pada Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada waktu yang telah ditentukan.
Makassar,
Supervisor Pembimbing,
Dr. dr. Muzakkir Amir, SpJP, FIHA
Oktober 2017
BAB I LAPORAN KASUS
I.1
I.2
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.DS
No. Rekam Medik
: 821013
Tanggal Lahir
: 20 Mei 1935
Umur
: 82 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Tamangapa Raya No. 248
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Islam
Tanggal MRS
: 28 Oktober 2017
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri dada sebelah kiri -
Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri dada sebelah kiri dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri terasa seperti tertekan dengan durasi kurang lebih 30 menit. Nyeri menjalar ke leher dan lengan kiri. Nyeri muncul pada saat pasien beraktivitas dan tidak hilang dengan istrirahat. Nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan sesak napas. Jantung terasa berdebar-debar. Mual dan muntah tidak ada. Nyeri ulu hati tidak ada. Buang air kecil lancar, kesan cukup. Buang air besar biasa, kesan normal.
-
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat tekanan darah tinggi ada sejak 1 tahun yang lalu tidak
terkontrol. Riwayat diabetes mellitus tidak ada. Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada.
-
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat penyakit tekanan darah tinggi dalam keluarga tidak ada. Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga tidak ada. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada.
I.3
PEMERIKSAAN FISIK
-
Keadaan Umum Sakit sedang/Gizi cukup/GCS 15 (compos mentis)
-
-
-
Status Antropometri Tinggi badan
: 155 cm
Berat badan
: 45 kg
IMT
: 18,75 kg/m2
Tanda Vital Tekanan darah
: 170/90 mmHg
Frekuensi nadi
: 130-150 kali/menit
Frekuensi napas
: 28 kali/menit
Suhu (axilla)
: 36,7o C
Kepala Deformitas
: Tidak ada
Simetris muka : Simetris Rambut Ukuran Bentuk
-
: Sukar dicabut : Normocephal : Mesocephal
Mata Eksoftalmus
: Tidak ada
Konjungtiva
: Anemis (-)
Sklera
: Ikterus (-)
-
-
-
-
-
Pupil
: Isokor 2,5 mm/2,5 mm
Kornea
: Refleks kornea (+)
Enoftalmus
: Tidak ada
Telinga Pendengaran
: Dalam batas normal
Otorrhea
: Tidak ada
Hidung Epistaksis
: Tidak ada
Rhinorea
: Tidak ada
Mulut Bibir
: Kering (-), sianosis (-)
Tonsil
: T1-T1 tidak hiperemis
Lidah
: Kotor (-)
Faring
: Tidak hiperemis
Leher KGB
: Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok
: Tidak ada pembesaran
DVS
: R+2 cmH2O (90o)
Kaku kuduk
: Tidak ada
Pulmo Inspeksi
: Simetris kiri sama dengan kanan, normochest
Palpasi
: Vokal fremitus simetris kiri sama dengan kanan Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada
Perkusi
: Batas paru hepar ICS VI dekstra Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler Bunyi Tambahan : Ronkhi basah (-/-), Wheezing (-/-)
-
Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba
Perkusi
: Batas atas ICS II sinistra Batas kanan linea parasternalis dekstra Batas kiri linea axilla anterior sinistra
Aukultasi
: BJ I/II reguler Bising jantung (-)
-
Abdomen Inspeksi
: Datar, ikut gerak napas
Auskultasi
: Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi
: Hepar dan Lien tidak teraba Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi
-
: Timpani (+)
Ekstremitas Tidak ada edema tungkai
I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Elektrokardiografi
Tanggal pemeriksaan : 28 Oktober 2017, jam 14.56 Interpretasi 1. Irama
: Atrial fibrilasi
2. Heart rate
: 150 kali/menit
3. Regularitas
: Irreguler
4. Axis
: Right axis deviation
5. Interval P-R
: Sulit dinilai
6. QRS rate
: Normal (0,06-0,10 detik)
7. Segmen ST
: T inverted pada I, AVL, V1-V6
Kesan : Atrial fibrillation rapid ventricular response
2. Laboratorium (28-10-2017) Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
HB
12,4 g/dL
11,5 - 16,0
RBC
4,27 x 10 6 / mm3
3,80 - 5,80
WBC
8,47 x 103 / mm3
4,0 - 10,0
PLT
447 x 10 3 / mm3
150 - 500
HCT
38,0 %
37,0 - 47,0
MCV
89,0 µm3
80 - 100
MCH
29,0 pg
27,0 - 32,0
MCHC
32,6 g/dL
32,0 - 36,0
PT
10,9 detik
10 - 14
APTT
25,2 detik
22,0 - 30,0
INR
1,02
-
GDS
225
140 mg/dl
Ureum
37
10 - 50 mg/dl
Kreatinin
0,86
< 1,1 mg/dl
SGOT
45
< 38 U/L
SGPT
67
< 41 U/L
CK
278,76
<167 U/L
CK-MB
18,4
< 25 U/L
Troponin I
< 0,01
< 0,01 ng/ml
Natrium
142
138 - 145 mmol/l
Kalium
4,0
3,5 - 5,1 mmol/l
Klorida
104
97 - 111 mmol/l
Kesan : Hiperglikemia
I.5 ASESSMENT
-
Unstable angina pectoris
-
Atrial fibrilasi rapid ventricular response
-
Congestive heart failure
-
Hypertensive heart disease
-
Hiperglikemia
I.6 TERAPI
-
Tirah baring
-
Oksigen 3 liter/menit via nasal kanul
-
IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam
-
Arixtra 2,5 mg/24 jam/subkutan
-
Aspilet 80 mg/24 jam/oral
-
Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral
-
Furosemide 40 mg/24 jam/oral
-
Farsorbid 10 mg/8 jam/oral
-
Captopril 25 mg/24 jam/oral
-
Bisoprolol 2,5 mg/24 jam/oral
-
Lansoprazole 30 mg/24 jam/oral
-
Alprazolam 0,5 mg/24 jam/oral
-
Laxadyn syrup 10 ml/24 jam/oral
I.7 PLANNING
-
Echocardiography
-
Foto thorax
-
Follow up EKG setiap hari
-
Rawat inap
-
Konsul ke bagian Interna divisi Endokrin dan Metabolik
I.8 RESUME
Seorang pasien perempuan, umur 82 tahun, masuk ke IGD PJT RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan nyeri dada yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri terasa seperti tertekan dengan durasi kurang lebih 30 menit. Nyeri menjalar ke leher dan lengan kiri. Nyeri muncul pada saat pasien beraktivitas dan tidak hilang dengan istrirahat. Nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan sesak napas. Jantung terasa berdebar-debar. Mual dan muntah tidak ada. Nyeri ulu hati tidak ada. Buang air kecil lancar, kesan cukup. Buang air besar biasa, kesan
normal. Riwayat tekanan darah tinggi ada sejak 1 tahun yang lalu tidak terkontrol. Riwayat diabetes mellitus tidak ada. Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anemis dan ikterik tidak ada, DVS R+2 cmH2O (90o). Bunyi pernapasan vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada. Bunyi jantung I/II regular, bising jantung tidak ada. Peristaltik ada, kesan normal. Tidak ada edema tungkai. Pemeriksaan elektrokargiografi didapatkan kesan atrial fibrilasi rapid ventricular response. Pemeriksaan laboratorium kesan hiperglikemia.
BAB II PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikuler dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi, suatu aritmia yang ditandai oleh gangguan koordinasi dari depolarisasi atrium. AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan. AF sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta penduduk mengalami AF dengan >10% berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi 4,78 juta pada tahun 2035. Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring diagnosis. Literatur menyebutkan atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu kondisi aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun. Kejadian atrial fibrilasi
meningkat dengan bertambahnya usia. Pada abad ke-21 ini semakin
meningkat jumlah pasien dengan diagnosa atrial fibrilasi. Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial fi brilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5 juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial
fibrilasi
akan terus meningkat 0,1%
setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada wanita, dan 2% pada lansia dengan umur lebih dari 80 tahun. Angka kejadian atrial fibrilasi di dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050 diperkirakan sejumlah
12 miliar
jiwa.
Dalam dua
dekade
ini
angka kematian akibat
atrial fibrilasi meningkat. AF dapat menyebabkan gagal jantung kongestif terutama pada pasien yang frekuensi ventrikelnya tidak dapat dikontrol. Adanya gagal jantung dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk. Studi terbaru menemukan adanya 10-30% AF pada pasien gagal jantung yang simptomatik, dengan peningkatan kematian 34% bila dibandingkan dengan gagal jantung itu sendiri. AF juga menurunkan status kesehatan, kapasitas jantung dan kualitas hidup seseorang.
Dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan angka rawat di rumah sakit akibat gangguan listrik jantung. Fungsi ventrikel kiri juga terganggu dengan adanya irama tidak teratur dan cepat yang menyebabkan hilangnya fungsi kontraksi atrium dan meningkatnya tekanan pengisian pada saat akhir diastolik ventrikel kiri. Deteksi dini AF masih sangat sulit dilakukan sebab riwayat perjalanan penyakit AF sering tidak ditemukan ( silent natural history). Sekitar sepertiga pasien dengan AF bersifat asimptomatik (AF asimptomatik). Tujuan utama dari terapi AF adalah untuk mengurangi gejala kardiovaskular, morbiditas dan mortalitas.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
III.1 DEFINISI
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650 kali/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodik maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol. Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.
III.2 EPIDEMIOLOGI
Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek
penelitian
sehat
(tidak
menderita
penyakit
kardiovaskular)
menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Sementara itu, data dari studi observasional (MONICA multinational monitoring of trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian atrium juga akan meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian atrium pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013). Atrial fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan AF memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF. Stroke merupakan salah satu komplikasi AF yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh AF mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat AF ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat. Atrial fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri.
Atrial
fibrilasi
dapat
menyebabkan
gagal
jantung
melalui
mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan AF seperti yang terjadi pada pasien penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15% pada defek septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien AF mengalami penyakit jantung
koroner meskipun keterkaitan antara AF itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas.
III.3 ETIOLOGI
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu : a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium -
Peningkatan katup jantung
-
Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
-
Hipertrofi jantung
-
Kardiomiopati
-
Hipertensi pulmonal (chronic obstructive pulmonary dan cor pulmonary chronic)
-
Tumor intercardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi -
Pericarditis atau myocarditis
-
Amyloidosis dan sarcoidosis
-
Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi Demam dan segala macam infeksi d. Kelainan endokrin -
Hipertiroid
-
Feokromatisoma
e. Neurogenik
f.
-
Stroke
-
Perdarahan subarachnoid Iskemik atrium Infark myocardial
g. Obat-obatan Alkohol dan kafein h. Keturunan atau genetik
III.4 ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan selsel jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel pacemaker (nodus SA, nodus AV), (2) jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), dan (3) sel-sel otot ventrikel dan atrium. Stimulasi listrik atau potensial aksi yang terjadi pada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh interaksi ionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid ). Transportasi ionik ini mempertahankan gradien konsentrasi dan tegangan antara intra dan ekstra sel. Dalam keadaan normal, konsentrasi Na+ dan Ca++ lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi didalam sel. Pembentukan potensial aksi Seperti sel-sel hidup lainnya, sisi dalam sel-sel jantung memiliki muatan negatif dibandingkan sisi luarnya, sehingga menghasilkan perbedaan tegangan
di
kedua
sisi
membran
yang
disebut
sebagai
potensial
transmembran. Potensial transmembran saat istirahat ( – 80 s/d – 90 mV pada otot jantung dan – 60 pada sel pacemaker) terjadi akibat adanya akumulasi molekul-molekul bermuatan negatif (ion-ion) di dalam sel. Potensial aksi pada sel jantung memberikan pola yang khas dan mencerminkan aktifitas listrik dari satu sel jantung. Secara klasik aksi potensial dibagi dalam 5 fase, namun untuk memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat disederhanakan menjadi 3 fase umum, yakni; fase depolarisasi, fase repolarisasi dan fase istirahat.
-
Fase Depolarisasi Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada saat kanal Na+ membran sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan positif akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial
transmembran beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan ini disebut depolarisasi. Depolarisasisatu sel jantung akan cenderung menyebabkan sel-sel yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan membuka kanal Na+ sel sebelahnya. Sekali sel berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik dihantarkan ke seluruh sel miokard. Bila kita melakukan sesuatu terhadap fase 0, berarti akan mempengaruhi kecepatan konduksi dari miokard.
-
Fase Repolarisasi Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga aliran ionik kembali pulih selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ion-ion ke tempatnya semula seperti saat sebelum depolarisasi disebut repolarisasi. Fase repolarisasi ini di tunjukkan oleh fase 1-3 kurva potensial aksi. Karena depolarisasi berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi, rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory periode). Fase 2 (fase plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan menyebabkan ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.
-
Fase Istirahat Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial aksi sebagai fase 4) merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel pacemaker tetap terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali berdepolarisasi membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung. Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut automatisitas.
Gambar 1. Pola potensial aksi masing-masing sistem konduksi jantung
III.5 PATOFISIOLOGI ATRIAL FIBRILASI
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). Sedangkan multiple wavelet reentry merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme
multiple wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivasi aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.
Gambar 2. A. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses Multiple
Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium. A, Aktivasi fokal (focal activation). Fokus pencetus (ditandai bintang) seringkali terletak diantara muara vena-vena pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelet reentry. B, Multiple-wavelet reentry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh wavelets lain. Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV- pulmonary vein; ICV – inferior vena cava; SCV - superior vena cava; RA - right atrium.
Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.
Gambar 3. Re-entry. a) Impuls dari sinus mengaktifkan
daerah A. b) Sebuah denyut prematur muncul pada daerah B, namun gagal mencapai daerah A karena daerah tersebut masih dalam masa refrakter setelah sebelumnya mendapat impuls dari sinus. c) Stimulus prematur berjalan lambat melewati rute lain dan kembali ke daerah A, dan saat itu masa refrakter daerah A baru saja selesai dan siap tereksitasi
kembali. d) daerah A akan melanjutkan impuls dan mengeksitasi daerah B dan lingkaran reentry akan muncul dengan sendirinya.
III.6 KLASIFIKASI
Secara klinis, FA dapat dibedakan menjadi 5 jenis menurut waktu presentasi dan durasinya, yaitu : 1.
FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul. 2.
FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam
48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari. 3.
FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7
hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik. 4.
FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan
hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan. 5.
FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh
dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Gambar 4. Klasifikasi atrial fibrilasi
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain. Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya. Untuk itu, secara praktis pasien dapat dimasukkan ke salah satu kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan. Berdasarkan laju respon ventrikel, F dibagi menjadi : 1. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel >100 kali/menit. 2. AF respon lambat ( slow response) dimana laju ventrikel ±60 kali/menit. 3. AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali permenit.
III.6 MANIFESTASI KLINIS
1. Palpitasi 2. Sesak napas 3. Kelemahan atau kesulitan melakukan aktivitas berat 4. Nyeri dada 5. Pusing atau pingsan 6. Kelelahan
III.7 DIAGNOSIS
a. Anamnesis AF memiliki gejala klinis yang luas. Beberapa kasus bisa jadi asimptomatik. Keluhan yang sering dialami pasien adalah palpitasi, dispneu, fatigue, mata berkunang-kunang dan nyeri dada. Karena gejala AF tidak spesifik maka tidak bisa digunakan untuk menegakkan dan menentukan onset AF. AF dapat pula diawali dengan manifestasi stroke atau TIA (transient ischemic attack ) sehingga beralasan bila penyakit ini disebut asimptomatik dan sering pula AF kembali secara spontan ( self terminating ).
b. Pemeriksaan Penunjang Adanya
denyut
irregular
seharusnya
selalu
memunculkan
kecurigaan ke arah AF, dan untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Bila EKG tidak menunjukkan adanya AF namun dugaan AF sangat kuat maka sebaiknya lakukan pengawasan dengan Holter 24 jam untuk mendokumentasikan ada tidaknya aritmia. Jika pasien tidak stabil karena hipotensi, ongoing ischemia, gagal jantung berat, kardioversi elektrik darurat harus segera dilakukan. Namun bila klinis pasien stabil, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seharusnya dilakukan dan difokuskan pada pencarian penyabab dasar yang memicu dan kondisi komorbid yang menyertai. Pemeriksaan standar yang biasanya dilakukan untuk evaluasi fungsi jantung dan identifikasi kondisi komorbid termasuk EKG, darah lengkap, profil metabolik lengkap, pengukuran hormon tiroid, foto thoraks dan echokardiografi.
Evaluasi minimum
Pemeriksaan tambahan
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Satu atau beberapa Ada tidaknya gejala klinis AF berikut perlu dilakukan Klasifikasi AF (first episode, paroxysmal, persistent, or 1. Six-minute walk test
pemeriksaan
permanent) Jika efektifitas terapi rate control masih dipertanyakan Onset serangan pertama atau waktu ditegakknya AF 2. Exercise testing Frekuensi, durasi, faktor Jika efektifitas terapi rate pemicu dan cara berakhirnya control pada AF permanen AF masih dipertanyakan Respon terhadap obat yang Untuk mencari tahu adanya AF diberikan yang dipicui oleh latihan Adanya penyakit jantung yang 3. Holter monitoring mendasari atau kondisi lain Jika tipe aritmia masih seperti hipertiroid atau dipertanyakan konsumsi alkohol Sebagai alat untuk evaluasi 2. EKG, untuk identifikasi terapi rate control 4. Foto thoraks, untuk evaluasi Ritme (memastikan AF) Hipertrofi ventrikel kiri Bila penemuan klinis mengarah kepada abnormalitas Durasi dan morfologi parenkim paru dan pembuluh gelombang P darah paru Preeksitasi Bundle branch block MI Aritmia atrial lainnya Mengukur interval R-R, QRS dan QT sebagai evaluasi terhadap terapi antiaritmia 3. Ekokardiografi, untuk identifikasi Penyakit katup jantung Ukuran atrium kanan dan kiri Ukuran dan fungsi ventrikel kiri Tekanan ventrikel kanan (hipertensi pulmonal) Hipertrofi ventrikel kiri Thrombus atrium kiri (sensitivitas rendah) Penyakit perikardium 4. Pemeriksaan tiroid, ginjal dan fungsi hati Pada first episode AF dengan denyut jantung sulit dikontrol Tabel 1. Evaluasi klinis pasien dengan AF
III.8 PENATALAKSANAAN
Tata laksana AF bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.
Pencegahan
komplikasi
AF
diupayakan
melalui
terapi
antitrombolitik, mengontrol laju ventrikel (rate control ) dan terapi adekuat terhadap
penyakit
jantung
penyerta.
Terapi
tersebut
juga
akan
menghilangkan symptom, tetapi untuk menghilangkan symptom sepenuhnya diperlukan terapi kontrol irama (rhythm control ) melalui kardioversi, terapi antiaritmia atau bahkan ablasi.
Gambar 5. Kaskade tatalaksana AF
Pada kasus AF paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan pada AF permanen, pendekatan rate control lebih menjadi pilihan. Terapi pada pasien AF
yang
persisten
masih
kontroversial
apakah
berusaha
untuk
mempertahankan irama sinus atau membiarkan pasien dalam irama AF dan mengontrol laju jantung. Sampai saat ini pada tahap awal para klinisi tetap berusaha tetap mempertahankan irama sinus dengan kardioversi dan obat antiaritmia. Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan gejala klinis dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan aspek penting manajemen keseluruhan.
Strategi dalam pengobatan AF adalah sebagai berikut : 1. Antitrombolitik Pemilihan antitrombolitik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke dan tromboemboli, pengelompokan menggunakan skor CHADS2. CHADS2 yang merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun), Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1 kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS 2, maka makin tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokkan sebagai risiko rendah, skor 1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.
Gambar 6. Skema pemilihan antitrombolitik
2. Kontrol Laju Terapi
awal
setelah
awitan
AF
harus
selalu
meliputi
antitrombolitik yang adekuat dan mengontrol laju ventrikel. Strategi menurunkan laju ventrikel dikenal sebagai laju kontrol, berfungsi untuk memperbaiki
pengisian
diastolik,
perfusi
koroner,
menurunkan
kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati yang diperantarai oleh takikardi. Target utama dari pendekatan ini adalah meredakan gejala klinis dan pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respon laju ventrikel. Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80 kpm saat istirahat dan 90-115 kpm saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama adalah golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum berhasil, maka agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis kalsium non-dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat beta. Penyekat beta dan antagonis kalsium bersifat depresif terhadap fungsi ventrikel sehingga harus berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan hipotensi atau payah jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai kontrol laju pada pasien payah jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif dalam mengontrol denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi hiperadrenergik seperti demam, tirotoksikosis dan pasca operasi. Upaya non-farmakologis berupa ablasi nodus AV dan pacing dapat menjadi pilihan yang efektif dalam kontrol laju bagi pasien yang gagal terapi dengan agen-agen farmakologis.
3. Kontrol Irama Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat gejala simptomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa pendekatan kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
hal
penurunan
mortalitas
atau
kejadian
tromboemboli
dibandingkan dengan pendekatan kontrol laju. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien masih simptomatik. Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat
dicapai secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan kardioversielektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun
metode
kardioversi
manapun
akan
membawa
risiko
tromboemboli, terutama jika aritmia telah berlangsung >48jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan sebelumnya. Agen farmakologik
yang
dapat
dipakai
adalah
flecainide,
dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan efektifitas yang paling baik untuk kontrol irama. Sebaiknya kardioversi farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih baik. Panduan dari NICE ( National Institute for Health and Clinical Exellence) menganjurkan strategi kontrol laju sebagai pilihan pertama pada pasien dengan fibrilasi atrium persisten dengan karakteristik sebagai berikut; berusia >65 tahun, dengan penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia, tanpa adanya gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama kali sebagai fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu presipitan.
Gambar 7. Skema pemilihan antiaritmia untuk mempertahankan irama
sinus pada pasien dengan AF paroksismal dan persisten berulang
4. Ablasi Indikasi ablasi AF adalah AF simptomatik yang refrakter atau intoleren terhadap terapi paling tidak satu antiaritmia kelas 1 atau 3. Ablasi juga dapat dilakukan pada pasien gagal jantung simptomatik. Ada juga pasien yang memilih ablasi sebagai upaya terbebas dari keharusan minum antikoagulan jangka panjang. Adanya trombus di atrium kiri merupakan kontraindikasi ablasi.
III.9 KOMPLIKASI
1. Instabilitas hemodinamik 2. Kardiomiopati 3. Gagal jantung 4. Stroke
III.10 PROGNOSIS
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertujuan untuk asimptomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi control rate dan antikoagulan. Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi kardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal jantung saat terjadi AF.
BAB IV KESIMPULAN
Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikuler dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi, suatu aritmia yang ditandai oleh gangguan koordinasi dari depolarisasi atrium. AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan. AF sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring diagnosis. Deteksi dini AF masih sangat sulit dilakukan sebab riwayat perjalanan penyakit AF sering tidak ditemukan ( silent natural history). Sekitar sepertiga pasien dengan AF bersifat asimptomatik (AF asimptomatik)1. Tujuan utama dari terapi AF adalah untuk mengurangi gejala kardiovaskular, morbiditas dan mortalitas. Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi kardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal jantung saat terjadi AF.