BabI. Pendahuluan
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa t anpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
1
Struma nodosa non toksik merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang 16 % perempuan dan 4 % laki-laki yang berusia antara 20 sampai 60 tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan di Tecumseh, suatu komunitas di Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan kosmetik, tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi. Struma mungkin membesar secara difus dan atau bernodula.
2
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
2
Etiologi Struma Non Toxic Diffusa (Menurut Mulinda, 2005),yaitu : Defisiensi Iodium, Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis, Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid, Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormon tiroid, gonadotropin, dan atau tiroid-stimulating immunoglobulin, Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid, Terpapar radiasi, Penyakit deposisi, Resistensi hormon tiroid, Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis), Silent thyroiditis. Agen-agen infeksi, Suppuratif Akut : bacterial, Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit, Keganasan Tiroid
Bab.II Tinjauan Pustaka a. Defenisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tir oid, kelainan in dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Selain itu juga fungsi kelenjar tiroid dapat pula terganggu. b. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH ( thyroid stimulating hormone ) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini. c. Fisiologi Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa, merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan
neurologik timbul pada saat lahir dan bayi. d. Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obatobatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik). e. Klasifikasi Struma 1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasarkan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea. b. Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara. Gambar penderita
hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini. c. Hipertiroidisme Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
2. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai berikut : a. Struma Toksik Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik. Penggunaan istilah diffusa dan nodusa menunjukan kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain jika tidak diberikan tindakan medis. Nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif. Meningkatnya pembentukan
antibodi
kadar
hormon
sedangkan
tiroid
cenderung
menyebabkan
turunnya
konsentrasi
hormon
peningkatan
tersebut
sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentukan. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik Struma non toksik dibagi menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat uri n. Untuk nodul tunggal tiroid yang bukan oleh karena keganasan dilakukan tindakan isthmolobektomi, sedangkan pada multinodular dilakukan tindakan subtotal tiroidektomi atau near total tiroidektomi, tapi para Ahli Bedah Endokrin menganjurkan total tiroidektomi. f.
Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
1. Tes Fungsi Hormon Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Ultrasonografi (USG) Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma. 3. Sidikan (Scan) tiroid Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid. 4. Biopsi Aspirasi Jarum Halus Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpertasi oleh ahli sitologi.
g. Penanganan
Tujuan utama dari terapi kanker tiroid adalah memperkecil resiko rekurensi dan metastasis jauh, dalam hal ini menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita kanker. Banyak modalitas terapi yang bisa digunakan untuk penanganan penderita kanker tiroid diantaranya adalah tiroidektomi, ablasi tiroid dengan iodine radioaktif, supresi thyrotropin dan radiasi eksterna
1,2,8
.
Indikasi Pembedahan pada Penderita Hipertiroid
1,6
:
1. Kekambuhan setelah terapi yang adekuat 2. Hipertiroid yang hebat dengan kelenjar tiroid sangat besar 3. Hipertiroid yang sulit dikontrol dengan obat anti tiroid 4. Bila kadar T4 > 70 p mol/L 1. Operasi
Total atau near total thyroidectomy dianjurkan dilakukan untuk penderita kanker tiroid dengan ukuran tumor > 1-1,5cm, ada nodul tiroid kontralateral, ada metastasis regional atau metastasis jauh, riwayat kanker tiroid dalam keluarga atau ada riwayat radiasi di derah kepala leher. Karena hampir 20-90% kanker tiroid tipe papiller dan Hurthle cell cancer ditemukan ada metastasis ke kelenjar regional, maka central compartment neck dissection 8
perlu dipertimbangkan pada penderita sejenis ini . Pada pasien PTC dan FTC yang dilakukan total thyroidectomy harus dilakukan ablasi dengan I 131, tujuannya untuk menghancurkan sisa jaringan tiroid yang masih ada. Ablasi tiroid berguna untuk mengurangi kemungkinan rekurensi lokoregional, juga berguna untuk pengawasan jangka panjang pasien dengan pemeriksaan whole-body iodine scans dan 2
pemeriksaan thyroglobulin . Kadar Tg yang tinggi pasca operasi menunjukkan bahwa masih ada sisa sel kanker dalam tubuh yang mungkin tidak terdeteksi oleh pemeriksaan I131 atau 15
pemeriksaan konvensional lainnya . Penelitian menunjukkan bahwa makin banyak jaringan 15
tiroid yang tersisa pasca operasi, makin jelek untuk prognosis penderita . Pada penderita FTC dengan widely invasive harus dilakukan total thyroidectomy tanpa dilakukan diseksi kelenjar karena tipe ini cenderung metastasis secara hematogen, sedang untuk FTC dengan minimally invasive maka lobektomi tiroid saja sudah dianggap 2
cukup . Terapi standar untuk penderita PTC yang mengalami rekurensi di leher adalah operasi kemudian diberi terapi tambahan dengan RAI ( Radioactive Iodine) dan selanjutnya diteruskan dengan terapi supresi TSH
1,2
.
Untuk penderita kanker tiroid pasca operasi perlu diberikan terapi supresi TSH dengan pemberian Thyroxine, pada awalnya dianjurkan kadar TSH mencapai < 0,1 mU/L, untuk penderita dengan resiko rendah, apabila setelah 1 tahun tidak ada tanda rekurensi maka kadar thyroxine bisa diturunkan dan kadar TSH dipertahankan terus pada kisaran 0,1 mU/L selama 3-5 tahun setelah remisi dicapai; tapi ATA menganjurkan di pertahankan 5-10 15
tahun . Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan bahwa pasien yang diberikan terapi thyroxine dengan dosis supresif menunjukkan angka rekurensi yang jauh lebih rendah15. Terapi supresi TSH bukan hanya perlu untuk menggantikan fungsi tiroid tetapi juga berperan untuk mencegah rekurensi kanker dan metastasis. TSH perlu ditekan karena pada permukaan sel tiroid terdapat reseptor TSH yang dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhan sel, baik 8
sel normal maupun sel kanker . Peranan operasi untuk ATC masih kontroversi dan sudah diketahui bahwa operasi
sendiri tidak mampu mengubah perjalanan penyakit ini7. Junor dkk melaporkan bahwa penderita ATC yang dilakukan total atau partial thyroidectomy kemudian diberikan EBRT dapat memperpanjang survival penderita dibandingkan dengan penderita yang hanya dilakukan biopsi saja. Beberapa penelitian melaporkan bahwa radioterapi preop dapat 7
meningkatkan resektabilitas tumor . Sebaliknya Melver dkk melaporkan bahwa apapun yang 7
dilakukan pada penderita ini tidak dapat memperbaiki survival penderita . 2. Radioterapi Radioterapi dalam hal ini adalah Radioactive Iodine, External Bean Radio therapy (EBRT) atau keduanya mempunyai peranan dalam meningkatkan survival pada pasien yang tumornya tidak bersih diangkat. Radioactive iodine therapy juga berperan menurunkan angka kematian pada penderita 18
yang mengalami metastasis jauh . Peranan radioterapi adjuvan untuk pasca operasi kanker tiroid (WTC) masih diperdebatkan dan menurut Lin, Tsang dkk. Radioterapi adjuvant tidak memperbaiki survival penderita usia >45 tahun dan stadium lanjut. Survival penderita stadium 3 yang diberikan radioterapi tambahan tidak lebih baik dari penderita stadium 3 yang 19
tidak diberikan radioterapi . Walaupun radioterapi terbukti bisa mengecilkan tumor pada 19
penderita PTC dan FTC tetapi tidak memperbaiki survival penderita . Radioiodine ablation yang bertujuan untuk menghancurkan sisa tiroid biasanya dilakukan 1 sampai 3 bulan pasca operasi, tindakan ini dapat menurunkan resiko rekurensi dan kematian pada kelompok penderita resiko tinggi. Ablasi tiroid i ni tidak bermanfaat untuk kelompok penderita resiko rendah dan tidak dianjurkan untuk penderita yang tidak dilakukan 8
total atau near total thyroidectomy . 3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil ( PTU) dan metimasol/karbimasol.
LAPORAN KASUS
Identitas Penderita
Nama
:
Ny. D.S
Umur
:
43 tahun
Jenis Kelamin :
Perempuan
Pekerjaan
:
Perawat
Alamat
:
Amurang
MRS
:
25 Mei 2012
Anamnesis
Keluhan utama : Benjolan di leher sejak ± 14 tahun yang lalu Benjolan pada bagian leher dialami penderita sejak 14 tahun yang lalu. Awalnya penderita merasakan lehernya agak besar dan semakin bertambah selama 14 tahun terakhir. Benjolan tidak nyeri. Suara parau (+). Penurunan berat badan (-), nyeri menelan (-), sesak nafas (-). Penderita kemudian berobat ke dokter spesialis bedah tumor dan direncanakan untuk operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Riwayat penyakit dahulu :
DM (-), Hipertensi (-) Riwayat penyakit keluarga :
Hanya penderita yang sakit seperti ini Pemeriksaan Fisik
Tanda vital KU : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis s
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 88 x / menit
Respirasi
: 22 x / menit
Suhu Rectal
: 36,8° C
Kepala Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-) Leher Pada ® Colli anterior dekstra : Benjolan ukuran 6x4cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Pada ® Colli anterior sinistra : Benjolan ukuran 7x5cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Pembesaran KGB tidak ada. Thoraks Inspeksi
: Pergerakan nafas simetris, tidak ada retraksis
Auskultasi
: SP ronkhi (-/-), wheezing (-/-), bising jantung (-)
Palpasi
: SF kanan = kiri
Perkusi
: sonor kanan = kiri
Abdomen Inspeksi
: Datar, lemas, DL (-) DS (-)
Palpasi
: NT (+) kanan atas, Murphy sign (+)
Perkusi
: Thympani diseluruh lapang abdomen
Auskultasi
: BU (+) normal
Tulang belakang Dalam batas normal
Ekstremitas Tidak ada kelainan Neurologi
: Refleks fisiologis +/+, Refleks patologis -/-
Rectum/Anal
: Tidak ada kelainan
RT
: Tidak ada kelainan
CVA
: Nyeri ketok (-)
Suprapubik
: Nyeri tekan (-)
Genitalia
: Laki-laki normal
Diagnosis Sementara
Struma Difusa Non Toksik Tindakan / pengobatan
-
Thyrax 1x1 tablet
-
Rencana tiroidektomi totalis
Pemeriksaan Penunjang EKG
Kesan : dalam batas normal USG
Kesan : Struma Diffuse/Diffuse Goiter (aspek benigna) Laboratorium 09/05/2012
TSHs
: 5,84
FT4
: 0,67
21/05/2012
Leukosit
: 6800/uL
Eritrosit
: 4,76 juta/uL
Hb
: 14,8/dL
Hematokrit
: 39,7 %
Trombosit
: 337.000/uL
Bleeding Time
: 2’
Clothing Time
:9
Kreatinin
: 0,9 mg/dL
Ureum
: 11 mg/dL
SGOT
: 17 u/L
SGPT
: 25 u/L
Natrium
: 137 meq/L
Kalium
: 3,4 meq/L
Klorida
: 105 meq/L
30/05/2012
TSHs
: 5,45
FT4
: 0,67
FT3
: 1,20
Follow Up 26 Mei 2012
S
: Benjolan di leher, nyeri (-)
O
: Vital sign T : 120/80 mmHg
N : 82 x/m
R : 22 x/m
Sb : 36,5º C
Pada ® Colli anterior dekstra : Benjolan ukuran 6x4cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Pada ® Colli anterior sinistra : Benjolan ukuran 7x5cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. A
: Struma difusa non toksik
P
: Thyrax 1x1 tablet Rencana tiroidektomi totalis
27Mei – 1 Juni 2012
Pasien izin pulang 2 Juni 2012
S
: batuk dan gatal bagian leher, rencana operasi 05-06-2012
O
: Vital sign T : 120/80 mmHg
N : 82 x/m
R : 22 x/m
Sb : 36,5º C
Regio Colli anterior dekstra : Benjolan ukuran 6x4cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Regio Colli anterior sinistra : Benjolan ukuran 7x5cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. A
: Struma difusa non toksik
P
: Thyrax 1x1 tablet Cetirizine 1x1 tablet Ambroxol 3x1 tablet
3 Juni 2012
S
: keluhan (-)
O
: Vital sign T : 110/80 mmHg
N : 80 x/m
R : 22 x/m
Sb : 36,5º C
Regio Colli anterior dekstra : Benjolan ukuran 6x4cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Regio Colli anterior sinistra : Benjolan ukuran 7x5cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. A P
: Struma difusa non toksik : Thyrax 1x1 tablet Cetirizine 1x1 tablet Ambroxol 3x1 tablet
4 Juni 2012
S
: Batuk (+) berkurang
O
: Vital sign T : 120/80 mmHg
N : 82 x/m
R : 22 x/m
Sb : 36,5º C
Regio Colli anterior dekstra : Benjolan ukuran 6x4cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Regio Colli anterior sinistra : Benjolan ukuran 7x5cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada.
A
: Struma difusa non toksik
P
: Thyrax 1x1 tablet Cetirizine 1x1 tablet Ambroxol 3x1 tablet Konsul anestesi untuk operasi besok
5 Juni 2012
S
: permintaan operasi dibatalkan oleh anestesi karena didapatkan hasil lab hipotiroid
O
: Vital sign T : 120/80 mmHg
N : 82 x/m
R : 22 x/m
Sb : 36,5º C
Regio Colli anterior dekstra : Benjolan ukuran 6x4cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Regio Colli anterior sinistra : Benjolan ukuran 7x5cm, ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. A
: Struma difusa non toksik
P
: Thyrax 1x1 tablet Konsul interna untuk kelayakan operasi
Hasil konsul interna : Pasien didiagnosa dengan hipotiroid + struma diffuse/diffuse goiter Advis : Thyrax 1x1 tablet (dosis dapat dinaikkan jika belum normal dalam waktu 2 minggu), pasien dapat dioperasi jika sudah dalam keadaan eutiroid
PEMBAHASAN
DIAGNOSIS
Anamnesis ditemukan adanya keluhan berupa benjolan di leher sudah dialami penderita sejak sekitar 14 tahun yang lalu. Benjolan awalnya sebesar kelereng kemudian lama-kelamaan semakin membesar. Benjolan pada nyeri tidak dirasakan, tidak terdapat nyeri menelan dan tidak ada sesak nafas. Terdapat keluhan suara serak. Benjolan ini tidak memberikan gangguan apa-apa pada penderita kecuali masalah kosmetik, di mana penderita merasa tidak nyaman dengan leher yang ada benjolannya. Riwayat penyinaran di daerah leher tidak ada. Dalam keluarga hanya penderita yang sakit seperti ini. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya gejala klinis hipertiroid seperti : jantung berdebar, denyut nadi cepat sampai gagal jantung, tremor, hiperaktif, banyak keringat, cemas, lemas dan letih berat badan menurun, tak tahan panas, muntah, mencret, emosional, gangguan penglihatan akibat hipertiroid. Hal ini menandakan tidak adanya gejala-gejala klinis hipertiroid. Status generalis pasien ini sangat baik. Tidak ditemukan adanya gangguan yang bermakna dalam aktifitas sehari-hari. Tanda-tanda infeksi tidak ditemukan pada pasien ini dan pada pemeriksaan fisik dari kepala, thorax, abdomen dan ekstremitas masih dalam batas normal. Status lokalis pasien ditemukan benjolan di daerah regio Colli anterior dekstra dan sinistra. Regio Colli anterior dekstra terdapat benjolan berukuran 6x4cm dan regio Colli anterior sinistra terdapat benjolan berukuran 7x5cm. Keduanya ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada. Pada keduanya tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan hematologi rutin pasien ini masih dalam batas normal, begitu juga dengan pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah dan elektrolit darah pasien ini masih dalam batas normal. Pemeriksaan foto rontgen thorax tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan EKG juga tidak ditemukan adanya adanya kelainan. Namun pada pemeriksaan fungsi tiroid ditemukan adanya keadaan hipotiroid.
Berdasarkan temuan-temuan yang ada dimana dari anamnesis tidak ditemukan adanya keluhan dari pasien selain masalah kosmetik, pasien tidak mengalami tanda-tanda hipertiroid, tidak adanya gangguan dalam beraktivitas; pemeriksaan fisik ditemukan status generalis dalam keadaan normal dan status lokalis ditemukan benjolan berukuran 6x4cm di regio colli anterior dextra dan regio colli anterior sinistra terdapat benjolan berukuran 7x5cm. Keduanya ikut gerakan menelan, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada pembesaran KGB (-); pemeriksaan penunjang (kimia darah, darah lengkap, EKG, foto thoraks) tidak ditemukan kelainan, hanya pada pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid ditemukan keadaan hipotiroid. Diagnosa kerja kasus ini adalah struma difusa non toksik. PENANGANAN
Penanganan
selanjutnya
adalah
dengan
terapi
pembedahan
dengan
indikasi
pembedahan masalah kosmetik. Rencananya akan dilakukan tiroidektomi totalis pada penderita ini, dimana dilakukan pengangkatan semua bagian dari kelenjar tiroid. Namun karena pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya keadaan hipotiroid, pasien diberikan thyrax untuk mengembalikan fungsi normal tiroid sebelum dilakukan operasi. • Pasien terlentang dengan general anestesi • Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan dipersempit dengan doek steril • Insisi colar 2 jari dari atas incisura jugularis • Diperdalam sampai m.platisma • Dibuat flap ke atas dan bawah, flap ditegel
• Identifikasi midline dari m.pretekalis • Midline dibuka secara tajam tiroid diluksir • Identifikasi N.Laringeus recurent • Identifikasi A.tiroidea inferior dan superior. Diligasi • Jaringan tiroid dibebaskan dari trakea • Kontrol perdarahan, pasang drain • Luka operasi ditutup lapis demi lapis • Operasi selesai Pasca operasi penderita diobservasi tanda-tanda vitalnya serta produksi drain. Bila penderita sudah sadar betul boleh minum sedikit-sedikit, bila kemudian tidak ada gangguan boleh minum bebas. Bila setelah 8 jam post operasi tidak ada gangguan, maka penderita bisa makan dan minum bebas. Drain dilepas setelah 24 jam post operasi dengan produksi minimal.