BAB V
COMPLE TI ON PERENCANAAN WELL COMPLE
5.1
F ormati ormation on C ompleti leti on Apabila jenis well completion completion telah dapat ditentukan atau dipilih
berdasarkan
faktor
yang
mempengaruhinya,
maka
langkah
selanjutnya
menentukan rate produksi optimum yang dapat dihasilkan oleh jenis komplesi yang telah dipilih. Pada sub bab berikut akan dijelaskan terhadap perencanaan open hole completion, completion , perforated casing competion dan sand exclusion completion.
pen hole hole completi completion on 5.1.1. Open Perencanaan dan perhitungan yang ada pada komplesi ini didasarkan pada penempatan komplesinya dalam formasi produktif, yaitu penembusan sebagian dan total.
Penetratii ng A. Perhitungan Laju Produksi Pada F ully Penetrat Tingkat pemboran di dalam formasi sangat berpengaruh terhadap besarnya laju produksi yang dihasilkan. Fully penetrating well merupakan sumur dimana pemboran menembus seluruh ketebalan formasi produktif. produktif. Untuk kondisi ini dimana aliran fluida membentuk aliran radial, maka penentuan rate dengan menggunakan persamaan yang dikemukan oleh Darcy, sebagai berikut : q
=
7,082 . k . h . (Pe - Pwf) o . Bo . ln
(re/rw)
............................................ .................................................... ........ (5-1)
dimana : q
: rate produksi, BPD
k
: permeabilitas effektif minyak, md
h
: ketebalan formasi produtif, ft
Pe : tekanan tekanan formasi formasi pada jarak re dari sumur, sumur, psi Pwf : tekanan dasar sumur, psi
o : viscositas minyak, cp
Bo : faktor faktor volume volume formasi minyak, minyak, bbl/STB bbl/STB rw : jari-jari sumur, ft re
: jari-jari pengurasan, ft. Fully penetrating well umumnya diterapkan pada sumur dengan
mekanisme pendorong reservoir berupa depletion drive diman tidak ada akumulasi air ataupun gas. B. Perhitungan Rate Produksi Pada Partially Penetrating Penetrating
Partialy Penetrating well merupakan sumur dengan lubang bornya hanya mencapai sebagian dari ketebalan formasi produktif, dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Muskat menyatakan bahwa kepasiran produksi pada partially penetrating well adalah berbanding langsung/lurus terhadap fraksi penembusan dari ketebalan total formasi produktif. Gambar 5.2. menunjukkan untuk ketebalan formasi sebesar 130 ft dengan fraksi penetrasi 0,2 (26 ft) dan 0,8 (110 ft) akan didapatkan produktivity ratio (PR) masing-masing adalah 30 % sampai 90 %. Dengan kata lain sumur dengan kedalaman penetrasi 110 ft akan mempunyai kapasitas produksi tiga kali lebih besar bila dibandingkan dengan sumur yang mempunyai kedalaman penetrasi 26 ft. Untuk kondisi ini dimana aliran fluida tidak lagi bergerak radial penuh tetapi ada juga terjadi aliran sperical sehingga rumus yang diterapkan pada fully penetrating well tidak bisa digunakan. Untuk itu Craft dan Hawkins telah melakukan penyelidikan dengan berdasarkan Electric Model dan menghasilkan perumusan perhitungan laju produksi produksi dengan persamaan sebagai berikut : q=
r 7,082 . k . h . f .(Pe - Pwf) .......................... (5-2) 1 + 7 w Cos (f . 90 0 ) .......................... o . Bo . ln (re/rw) f h
Sedangkan produktivity Sedangkan produktivity ratio dinyatakan ratio dinyatakan sebagi berikut :
r w
f h
PR = f 1 + 7
Cos (f . 900 ) ........................................... .............................................................. ................... (5-3)
dimana : f
: fraksi penetrasi = D/h, tanpa satuan
D
: Jarak kedalaman penetrasi/lubang bor, ft.
Gambar 5.1 Partially Penetrating Well Water Drive (Buzarde.L.E.,1972)
Gambar 5.2 Produktivity Ratio Pada Partially Penetrating Well (Buzarde.L.E.,1972)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa harga q (laju produksi) akan semakin kecil untuk f semakin kecil atau jarak kedalaman lubang bor yang semakin kecil. Sebaliknya harga laju produksi akan semakin besar bila f semakin besar. Bila harga f = 1 atau kedalaman lubang bor sama dengan ketebalan formasi maka persamaan akan menjadi persamaan seperti fully penetrating well. Penerapan partially penetrating well biasanya pada reservoir water drive untuk menghindari produksi air yang tinggi. Pada partially penetrting ada beberapa pengaruh diantaranya adalah : 1. Pengaruh Coning Adanya pengaruh coning dalam hubungannya dengan partial penetrasi akan mengganggu efisiensi pengurasan sumur. . Tinggi dari cone akan bertambah dengan bertambahnya tekanan drow-down sumur. Tekanan drow-down maksimum tanpa menyebabkan air masuk ke dalam sumur dapat diperkirakan sebagai berikut :
Pmax
0,433 (SGw
SGo) h max
................................................................... (5-4)
Bila selesih specific gravity dari fluida reservoir adalah 0.30 dan jarak vertikal antara dasar sumur dengan batas air-minyak awal adalah 10 ft, maka P max akan didapatkan sekitar 1,00 psi. dengan demikian untuk suatu sumur dengan produktivity index 10 STB/hari/psi, aliran maksimal tanpa menyebabkan air masuk ke dalam sumur adalah sekitar 13 BPD. 2. Pengaruh berkurangnya tekanan dasar sumur (Pwf) Tekanan dasar sumur pada partially penetrating adalah lebih kecil daripada kondisi totally penetrating. Hal ini disebabkan adanya skin demage (pseudo skin damage). 3. Pengaruh Skin Damage Adanya perubahan aliran fluida secara radial menjadi spherical karena pengaruh partial penetration ini, akan menyebabkan bertambahnya pressure drop di sekitar lubang bor yang dinyatakan sebagai extra skin faktor.
5.1.2
.Perforated Casing Completion
Dalam metoda ini casing produksi dipasang menembus formasi produktif dan disemen yang selanjutnya diperforasi pada interval-interval yang diinginkan. Dengan adanya casing formasi yang mudah gugur dapat ditahan. Perforated Casing Completion umunya digunakan pada formasi-formasi dengan faktor sementasi (m) sebesar 1.4. Untuk mendapatkan laju aliran yang seefisien mungkin, maka dalam melakukan perencanaan perforasi dilakukan perhitungan secara cermat. Hal ini agar tidak terjadi hambatan dalam mengalirkan fluida formasi ke dasar sumur. Penentuan dan perhitungan dalam perforasi, antara lain :
A. Perhitungan dan Penentuan Interval Perforasi
Penentuan interval perforasi dimaksudkan untuk mendapatkan suatu posisi dan panjang rangkaian perforasi optimum yang memberikan laju produksi maksimum tanpa ikut terproduksinya air dan gas. Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menentukan interval dan posisi perforasi, diantaranya dikemukakan oleh Chierici.
Metode Chierici et. al.
Metoda ini menggunakan suatu model potentiometric yang didasarkan pada teori water dan gas coning dari Muskat. Beberapa anggapan dari metoda ini adalah sebagai berikut : 1. Reservoir homogen, ukuran aquifier terbatas sehingga tidak merupakan tenaga pendorong. 2. Gas cap berkembang dengan kecepatan yang relatif kecil, sehingga gradien potensial di gas cap dapat diabaikan. 3. Dibawah kondisi statis, permukaan kontak antara fluida adalah horisontal. 4. Fluida reservoir incompressible. 5. Pengaruh tekanan kapiler dapat diabaikan.
Dengan beberapa anggapan tersebut diatas, maka oil-water dan gas-oil interface (t1 dan t 2) akan stabil apabila laju produksi minyak melalui sumur produksi tidak lebih besar dari harga yang memberikan pada persamaan berikut :
Qow
3,073 x 10
Qog 3,073 x 10
3
3
h2
pow K rw
o g
h2
pog K rw
o o
(r de , fb, w) ...........................................
(5-5)
(r de , fb, o) ...........................................
(5-6)
dimana : Qow
= laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi water coning, STB/hari
Qog
= laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi gas coning, STB/hari
h
= ketebalan zona minyak, ft
k ro
= permeabilitas efektif minyak horizontal, md
r De
= re/h (k vo/k ro) = parameter jari-jari pengurasan
e
= b/h = parameter interval perforasi, ft
dg
= hcg/h
hcg
= jarak batas air-minyak ke puncak perforasi, ft
hcw
= hcw/h
hcw
= jarak batas air-minyak ke puncak perforasi, ft
k vo
= permeabilitas efektif minyak vertikal, md
Ψ
= fungsi tidak berdimensi
r e
= jari-jari pengurasan, feet. Dari persamaan di atas, suatu syarat untuk tidak berproduksinya air dan
gas bebas ke permukaan adalah : Qo Qow atau Qo Qog
5 r De 80 0 fb 0,75 0,07 (hcw/h) 0,9. Langkah-langkah penentuan interval dan posisi perforasi dengan metode ini adalah : 1. Hitung r De. 2. Hitung og/ow. 3. Ambil beberapa kemungkinan harga (misalnya 0,1 ; 0,2 dan seterusnya). 4. Dengan memakai grafik plot antara vs (sesuai dengan harga r De yang telah dihitung) dan salah satu dari beberapa kemungkina harga , akan didapat dan g optimum berdasr harga yang telah dihitung pada langkah 2. Bila aguifer dan gas cap, kondisi maksimum laju produksi kritis secara teoritis memenuhi Qoptimum = Qog = Qow. 5. Hitung harga melalui Persamaan (4-13) atau (4-14) dengan menggunakan harga-harga yang telah ditentukan pada langkah 4. 6. Dengan mengetahui kemampuan sumur pada berbagai interval perforasi maka dari berbagai harga Qoptimum yang telah dihitung pada langkah 5, dapat ditentukan harga Q optimum yang sesuai atau laju produksi kritis yang sesuai dengan sumur yang bersangkutan. 7. Perhitungan-perhitungan tersebut diulangi lagi untuk harga interval perforasi yang lain sampai diperoleh harga Qoptimum yang sama atau hampir dama dengan Q actual. B. Perhitungan Density Perforasi
Density perforasi adalah jumlah lubang perforasi per satuan panjang (ft). Untuk mencegah terjadinya coning, faktor utama yang harus dibatasi adalah laju produksi water awal dari sumur tersebut akan membandingkan laju produksi dari sumur yang diperforasi (Qp) terhadap produktivitas sumur bila dikomplesi secara terbuka (Qo). Besarnya productivity ratio dinyatakan oleh Muskat sebagai berikut :
Q p Qo
ln
r e
C ln
r w r e
.............................................................................
(5-7)
r w
dimana : Q p
= laju produksi maksimal sumur perforasi
Qo
= laju produksi sumur bila diselesaikan secara open hole
C
= faktor skin perforasi dan formasi. Dengan demikian terlihat bahwa, produktivitas awal dari suatu formasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor : -
Skin karena lumpur bor dan semen
-
Perforasi, yang meliputi pola, kedalaman penembusan dan diameter perforasi.
Di dalam perforasi dikenal dua macam pola perforasi yaitu : -
Pola sederhana (simple)
-
Pola tangga (staggred).
C. Perhitungan Faktor Skin Perforasi
Laju aliran dari formasi ke dalam sumur pada Perforated Casing Completion, dipengaruhi oleh kerusakan (damage) dan lubang perforasi. Dalam hal ini keduanya dapat dikatakan sebagai skin yang sama secara kuantitatif dapat berharga positif atau negatif. Untuk selanjutnya masing-masing dinyatakan sebagai skin damage (Sd) dan skin perforasi (Sp). Sedangkan hasil dari analisa tes tekanan memberikan harga skin total (St), dimana : St = Sd + S p ......................................................................................
(5-8)
dimana : S = St untuk sumur berselubung (bercasing) St = Sd atau S p = 0 untuk open hole completion. Teori analisa fluida menuju ke sumur menganggap geometri aliran radial dengan batas-batas r = r w (dinding formasi) dan r = r e (batas pengurasan). Apabila faktor skin diperhitungkan sebagai kehilangan tekanan, maka persamaan menjadi :
q
7,08kh P r P wt
r ln e r 12 S w
..............................................................
(5-9)
Dalam hal ini, makin kecil diameter perforasi, semakin besar skin perforasinya. Dan makin banyak lubang juga makin dalam perforasinya, maka skin semakin kecil. Untuk menentukan harga skin faktor akibat perforasi (Sp), K.C. Hong telah membuat beberapa nomogram seperti pada Gambar 5.3 (untuk simple pattern) dan Gambar 5.4 (untuk staggered patterns). Gambar 5.5 berfungsi untuk koreksi bila diameter perforasi 0,25 dan 1 inch. Langkah-langkah
untuk
menentukan
(Sp)
dengan
menggunakan
nomogram-nomogram tersebut sebagai berikut : 1. Tentukan harga : - Diameter sumur (dw) yaitu diameter outside casing (OD) ditambah dua kali ketebalan semen. - Ratio permeabilitas vertikal dengan horizontal, kv/kh. - Pola perforasi (yaitu harga perforation phasing, 0 dan interval dalam masing-masing perforasi, h). - Depth of penetration (dihitung dari muka semen). 2. Gunakan Gambar 4.22. (untuk simple patterns) atau Gambar 4.23. (untuk staggered patterns) untuk mendapatkan harga (Sp). Mulailah dari sisi kiri nomogram dan dibuat garis penghubung dengan parameter-parameter yang telah didapat dalam langkah pertama. 3. Dengan memakai Gambar 4.24. dilakukan koreksi harga Sp dari langkah 2 untuk diameter perforasi yang berbeda. Setelah harga Sp didapat, maka dapat dihitung harga skin total (St) apabila skin damage (Sd) diketahui, sehingga perhitungan produktivitas sumur bisa dilakukan dengan menggunakan Persamaan
(4-18).
Untuk
menggunakan persamaan :
menentukan
productivity
rationya
dapat
Gambar 5.3 Nomogram untuk menentukan perforation skin faktor (Sp), (simple patterns, ½ inch perforation) (Bell, W.T, 1972)
Gambar 5.4 Nomogram untuk menentukan perforation skin faktor (Sp), (staggered patterns, ½ inch perforation) (Bell, W.T, 1972)
production ratio ( PR)
qp q
ln re / rw S t ln re / rw
...................................
(5-10)
Gambar 5.5 Koreksi Sp untuk diameter perforasi 1 inch dan 1/4 inch. (Bell, W.T, 1972)
Apabila St berharga negatif, berarti PR akan mempunyai harga lebih dari satu. Jadi dapat disimpulkan bahwa laju produksi sumur yang diperforasi dapat lebih besar dari laju produksi sumur pada kondisi open hole.
D. Perhitungan Pressure Drop Perforasi
Salah satu penyebab rendahnya productivitas sumur pada perforated completion adalah karena program pelubangan selubung (perforasi) yang tidak
memadai. Apabila kondisi ini terjadi, akan berakibat timbulnya suatu hambatan terhadap aliran atau bertambahnya penurunan tekanan (pressure drop) dalam formasi. Oleh karena itulah, Carl Granger dan Kermit Brown telah menggunakan analisa Nodal untuk mengevaluasi besarnya penurunan tekanan melalui lubang perforasi, pada berbagai harga density perforasi. Analisa Nodal disini, diterapkan untuk Standart Perforated Well, dengan menganggap perforated hole turn 90° dan tidak terjadi damage zone disekeliling lubang bor.
Anggapan-anggapan lain yang digunakan dalam mengevaluasi
pressure drop melalui lubang perforasi ini adalah : 1. Permeabilitas dari crushed zone atau compact zone adalah : a. 10% dari permeabilitas formasi apabila diperforasi dengan tekanan overbalanced (tekanan hidrostatis dalam lubang bor lebih besar daripada tekanan formasi). b. 40% dari permeabilitas formasi, apabila diperforasi dengan tekanan underbalanced (tekanan hidrostatis dalam lubang bor lebih kecil daripada tekanan formasi). 2.
Ketebalan crushed zone adalah 1/2 inch.
3.
Infinite reservoir adalah, sehingga Pwfs tetap pada sisi dari compact zone, jadi pada closed outer boundary, konstanta – 3/4 pada persamaan Darcy dihilangkan.
2.
Untuk mengevaluasi presure drop melalui lubang perforasi digunakan persamaan dari Jones, Blount dan Gazle. Persaman dibawah ini hanya berlaku untuk sumur minyak pada umumnya,
yaitu sebagai berikut : Pwfs – Pwf = aq2 + bq = P ........................................................................... atau,
1 2 r 4 1 2 , 30 10 x B o o ln e o o r r r p e p 2 P q q 3 L p
7,08 x 10 L p K p
(5-11)
1 4 1 2 , 30 10 x B o o r e r p a L p
r e r p
o o ln b
7,08 x 10 3 L p K p
β = turbulence factor, ft
-1=
2,33 x 10
K p
10
1, 201
dimana : Bo
= faktor volume formasi, bbl/STB
ρo
= densitas minyak, lb/cuft
L p
= perforation length, ft
K p
= permeabilitas compact zone, md (k p = 0.1 k formasi, jika overbalanced dan k p = 0.4 k formasi, jika kondisi underbalanced)
r p
= jari-jari lubang perforasi, ft
r e
= jari-jari compact zone, ft (r e = r p + 0.5 inch)
μo
= viscositas minyak, cp.
Tekanan dasar sumur merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam perencanaan perforasi sumur, karena hal ini berpengaruh pada efek pembersihan lubang perforasi.
5.1.3.
Sand E xclusion Type Completion Metode ini digunakan dengan maksud mencegah terproduksinya pasir dari
formasi produktif yang kurang kompak. Metode-metode yang umum digunakan untuk menanggulangi masalah kepasiran adalah liner completion, gravel pack completion yang biasa dikombinasikan dengan screen liner dan consolidation completion.
A.
Perhitungan Ukuran Lubang pada Screen
Untuk menganalisa besar butir dapat dilakukan dengan cara yaitu sample yang diambil dari side wall coring ditumbuk agar butiran-butiran pasirnya terpisah. Kemudian dimasukkan kedalam alat analisa butiran yang tersusun dengan sieve opening yang berbeda dimana ukuran yang paling besar diletakkan paling atas dan yang lebih kecil diletakkan dibawahnya. Dengan adanya getaran dari vibrator maka diperoleh butiran-butiran pasir pada tiap-tiap saringan tersebut selanjutnya butiran-butiran pasir dari masingmasing saringan ditimbang. Prosen berat kumulatif pasir yang tertahan pada sagan ( sieve) diplot terhadap log dari pada ukuran masing-masing saringan pada kertas grafik. Plot dapat juga dilakukan untuk prosen berat pasir pada masing-masing saringan terhadap ukuran masing-masing saringan. Penentuan ukuran pelubangan pada screen liner biasanya didasarkan pada diameter butiran (pasir) pada persen kumulatipnya. Beberapa peneliti yang memberikan batasan
mengenai ukuran
lubang pada screen liner sebagai berikut: Wilson
: W = d 10 .............................................................................(5-12)
Coberly
: W = 2d10..............................................................................(5-13)
Gill
: W = d 15 .............................................................................(5-14)
De Priester
: 0,050 in. s W s d 20 ..............................................................(5-15)
Schulmberger : 0,5 diameter gravel terkecil…………………..……… ... .. (5-16) dimana : W = ukuran pelubangan screen liner, inch d10 = diameter butir pasir pada titik 10 % berat kumulatif pada kurva distribusi, in d15 = diameter butir pasir pada titik 15 % berat kumulatif pada kurva ditribusi, in d20 = diameter butir pasir pada titik 20 % berat kumulatif pada kurva distribusi,in. Selain ukuran lebar celah, faktor penting lainnya adalah perencanaan diameter screen yang akan digunakan. Perencanana dimeter screen dimaksudkan untuk memperoleh produktivitas yang tinggi dan kemudian pengoperasikan pada sand control dengan gravel pack . Beberapa petunjuk yang digunakan untuk
merencanakan diameter screen pada sumur-sumur yang dipasang casing, antara lain adalah : 1. Secara praktis, diameter luar (OD) screen paling tidak berukuran 2 inch lebih kecil dibanding diameter dalam (ID casing) 2. Screen tidak membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter production string. Tabel (IV-3) dibawah ini menunjukkan diameter screen yang dianjurkan
untuk setiap diameter casing tertentu. Disamping hal tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa petunjuk yang digunakan untuk merencanakan diameter dari screen pada open hole completion, yaitu : 1. Diameter luar screen paling tidak berukuran 4 inch lebih kecil dibanding diameter lubang sumur. 2. Screen tidak selalu membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter production string.
Tabel V-1 Diameter screen yang dianjurkan Gatlin.C.,1960) OD (in)
Casing Size WT (lbs)
ID (in)
4 4 – 1/2 5 5 – 1/2 6 5/8 7 7 5/8 8 5/8 9 5/8
9,5 11,6 18,0 17,0 24,0 29,0 33,7 36,0 47,0
3,5 4,0 4,2 4,8 5,9 6,1 6,7 7,8 8,6
Maksimum Screen Diameter Pipe OD Wire OD (in) (in)
1 1-1/4 1-1/2 2-3/8 3-1/2 3-1/2 4 5 5-1/2
1,815 2,160 2,400 2,875 4,000 4,000 4,500 5,500 6,000
B.
Perhitungan Ukuran Gravel Pack
Untuk ukuran slot ada beberapa pendapat (rumus) yang dapat dikemukakan di sini antara lain :
C.
Coberley dan Wagner
: D = 10 x d10 ............................................
(5-17)
Tausch dan Corley
: 4 x d10 > D < 6 x d 10 ................................
(5-18)
soucier
: D = 5 s/d 6 x d50 .....................................
(5-19)
Pressure Drop pada Gravel Pack
Untuk mengevaluasi pressure drop pada gravel pack completion ini, digunakan persamaan dari Joness, Blount dan Glazo seperti terlihat dibawah ini :
P wfs P wf aq2
bq P ...............................................................
(5-20)
dimana, a
b
9,08 x 10
13
b B
o
r o L
A
o Bo L
1,127 x 10
3
k o -1
b = turbulence factor, ft =
1,47 x 10 k o
7
0 ,55
.
dimana : Pwf
= tekanan aliran dasar sumur, psig
Pwfs
= tekanan aliran dasar sumur pada permukaan pasir(sandface), psig
Q
= laju aliran, bbl/day
Bo
= faktor volume formasi, bbl/STB
r o
= densitas minyak, lb/cuft
L
= length of linear flow fat, ft
k o
= permeabilitas dari gravel, md
r p
= jari-jari lubang perforasi, ft
mo
= viscositas minyak, cp.
5.2.
Tubing Completion
Dasar
dari
perencanaan
tubing
completion
adalah
vertical
flow
performance, karena menjadi dasar utama dalam penentuan ukuran tubing dan analisa kehilangan tekanan pada tubing.
5.2.1
.Perhitungan Ukuran Tubing Completion
Perencanaan ukuran tubing antara lain dimaksudkan untuk mengatasi terlalu besarnya tekanan yang hilang pada tubing. Agar fluida dari dasar sumur dapat mencapai permukaan maka selisih tekanan aliran dasar sumur dengan kehilangan tekanan di dalam tubing harus lebih besar dari tubing head pressure (THP). Gilbert menggunakan metode empiris, yaitu berdasarkan pengukuran kehilangan tekanan aliran di tubing, kemudian dibuat grafik yang dapat digunakan untuk maksud ekstrapolasi. Dalam pendekatannya Gilbert memperhatikan variabel-variabel tubing depth, Pwf , THP, gross liquid rate, GOR dan ukuran diameter tubing. P wf merupakan fungsi dari kelima variabel. Untuk suatu ukuran tubing tertentu, bila THP konstan maka P wf hanya fungsi dari kedalaman. Grafik-grafik yang telah dibuat oleh Gilbert berdasarkan pada data lapangan adalah ukuran 1,66 , 1,9, 2 3/8, 2 7/8, 3 ½ inch dan laju produksi pada 50, 100, 200, 400 dan 600 BPD dari crude oil dengan API 25 sampai 40. Grafik-grafik tersebut digunakan untuk : 1. Mengetahui tekanan setiap kedalaman tubing tanpa mengukur tekanan tubing secara langsung. Untuk keperluan ini harus diketahui laju produksi q, GLR dan ukuran tubing. 2. Menentukan P wf dari THP. Caranya THP diekivalensikan dengan kedalaman dan ditambah panjang tubing dan dikembalikan ke ekivalen tekanan sehingga diperoleh Pwf .
Gambar 5.6 Grafik pressure traverse untuk tubing 1,9995 inch. ( Brown,Kermit E., 1977)
5.2.2.Perhitungan Pressure Loss pada Tubing
Perhitungan kehilangan tekanan selama terjadi aliran melalui pipa vertikal (tubing) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : Poettman dan Carpenter, Gilbert, Hagerdon dan Brown serta Beggs dan Brill.
A. Metode Poettman dan Carpenter
Poettman
dan
Carpenter
mengembangkan
metode
semi
empiris
berdasarkan persamaan keseimbangan energi serta data dari 34 sumur minyak flowing dan 15 sumur minyak gas-lift yang menggunakan tubing 2’’, 2,5’’ dan 3’’. Minyak, air dan gas dianggap sebagai satu fasa dan tida k korelasi liquid hold up. Selain daripada itu juga dianggap aliran minyak, air dan gas merupakan aliran turbulen. Beberapa hal yang harus diingat mengenai penggunaan dari metode ini adalah : 1. Korelasi ini dapat digunakan untuk pipa-pipa yang ukurannya sesuai dengan ukuran pipa-pipa yang digunakan dalam studi ini, yaitu : 2’’, 2,5’’ dan 3’’. Penggunaan
metode
ini
untuk
ukuran
pipa
yang
lain,
harus
mempertimbangkan mengenai hasil yang diperoleh. 1. Laju aliran total digunakan untuk menghitung density pada setiap titik dalam pipa. 2. Pola aliran diabaikan. 3. Pengaruh viskositas diabaikan. Studi oleh Ross, Hagerdorn dan Brown menunjukkan bahwa pengaruh viskositas di atas 6 cp (atau 10 cp), perlu diperhitungkan. 4. Komponen percepatan dalam persamaan energi diabaikan. Hal ini benar untuk kondisi tertentu, tetapi bila kecepatan aliran sangat tinggi, maka komponen percepatan perlu diperhitungkan. 5. Faktor gesekan dianggap merupakan harga rata-rata untuk seluruh panjang tubing, sedangkan sebenarnya faktor gesekan berubah dari dasar sumur sampai kepermukaan.
Poettman dan Carpenter mengembangkan korelasinya berdasarkan persamaan energi umum, yang kemudian diubah dalam bentuk total massa laju aliran, seperti berikut :
............................................................ h 144 7,413 x 1010 d 5
P
1
fw 2
(5-21)
dimana : w = massa laju aliran total, lb/hari ρ = density campuran, lb/cuft δ = diameter dalam pipa, ft f = faktor gesekan.
5.3.
Perhitungan Perencanaan Well Head Completion
Titik potong dalam merencanakan well head completion adalah memilih well head yang sesuai dengan rentang tekanan dan menentukan diameter choke yang dibutuhkan di samping pula pemilihan x-mastree yang akan digunakan.
5.3.1.
Perencanaan Well Head
Perencanaan ukuran well head dipilih per-bagian dimulai dari lower most casing head yang dirancang bagian dalamnya dapat memberikan lubang masih terbuka luas agar peralatan yang diturunkan ke bawah permukaan tidak merusak tubing head . Dalam perencanaan ukuran atau kekuatan dari lower most casing head yang akan dipergunakan adalah bergantung dari ukuran casing yang dipakai dan harus mempunyai tekanan kerja minimal sama dengan tekanan formasinya. Disamping itu dalam merencanakan lower most casing head harus dapat menerima casing hanger tanpa menimbulkan kerusakan casing dan rangkaiannya, serta ukuran flange yang digunakan harus tepat. Sebagai contoh ukuran dari flange 12” adalah untuk tekanan herja 300 psig, bilaukuran casing yang digunakan ukuran 11¾” atau 13 3/8”
Sedangkan dalam perencanaan ukuran dan kekuatan
intermediate, casing head bergantung dari rangkaian casing yang digantungnya dan harus mempunyai tekanan kerja minimal sama dengan tekanan permukaan maksimumnya yang menyebabkan kerusakan formasi pada dasar ran gkaian casing intermediate dan tekanan kerja intermediate casing head mempunyai ukuran 6” s/d 20”, yang digunakan untuk menopang ukuran casing dari 4 ½” s/d 13 3/8”. Intermediate casing head digunakan pada tekanan kerja 960, 2000, 3000 dan 5000 psig. Sebagai tanbahan dalam perencanaan intermediate casing head harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain bahwa bagian bawah flange dari intermediate casing head, sementara bagian atas flange intermediate casing head harus cocok ukuran dan tekanan kerjanya dengan alat-alat yang dipasang casing spool tersebut. Lebih dari itu, ukuran dan tekanankeja serta jenisnya harus cocok dengan ukuran lubang saluran keluar (outlet). Sedangkan casing hanger yang berfungsi untuk menggantungkan rangkaian casing berikutnya, bergantung dari penampang flange dan ukuran dari casing yang digantung. Dalam perencanaan dan kekuatan tubing head bergantung dari ukuran casing yang digunakan harus mempunyai tekanan kerja yang mampu menahan tekanan aliran fluida formasi. harus diperhatikan pula beberapa hal, seperti ukuran flange bagian bawah dari tubing head dan tekanan kerjanya harus sesuai dengan flange bagian atas dari casing head atau cross over flange yang telah dipasang sebelumnya. Tubing head yang dipilih harus dapat memberikan terusan yang luas, sehingga rangkaian casing produksi dan pemasangan alat-alat artificial lift dapat masuk jika diperlukan.
5.3.2. Perencanaan Christmas-Tree
Perencanaan x-mas tree sangat dipengaruhi oleh kondisi tekanan sumur, disamping pula oleh jumlah komplesi yang digunakan serta system produksi yang digunakan.
Kondisi tekanan perlu diperhatikan karena x-mas tree dalam standart API diklasifikasikan berdasarkan kesanggupan dalam menahan tekanan kerja. Setiap x-mass tree mempunyai seri dan tekanan kerja masing-masing. •
Seri 400 untuk tekanan kerja 960 psig.
•
Seri 400 untuk tekanan kerja 2000 psig dan seterusnya. Bila perencanaan didasarkan atas jumlah komplesinya maka diperlukan
pemilihan Christmas tree yang sesuai dengan jumlah komplesinya, misalnya bila jumlah komplesi sumur adalah dua maka digunaka Christmas tree double wing dan seterusnya.
5.3.3. Perencanaan Ukuran Choke
Choke performance merupakan bagian analisa ulah kerja sumur sembur alam pada kepala sumur yang meliputi kehilangan tekanan akibat penyempitan diameter pipa pada bagian tertentu (surface choke). Selain dipasang pada peralatan kepala sumur, biasanya dipasang pula tubing pada tubing di dasar sumur (subsurface choke). Hal terpenting dalam perencanaan choke adalah perencanaan ukuran dan perhitungan pressure drop yang terjai pada choke. Tujuan utama pemasangan choke adalah untuk mengatur laju produksi yang sesuai perencanaan. Pemilihan choke di lapangan minyak dilakukan sedemikian rupa hingga bagian tekanan down stream di dalam flow line tidak berdampak jelek terhadap tekanan kepala sumur dan kelakuan produksi sumur. Tekanan kepala sumur sedikitnya dua kali lebih besar dari tekanan flow line. Untuk pemilihan ukuran choke yang sesuai denan laju produksi yang direncanakan, dapat ditentukan dengan dua metode. Analisa Menurut Gilbert Teoritis, Gilbert menurunkan suatu persamaan untuk menentukan diameter choke, yaitu: P wh
CxR0,5 xq S 2
……………..………………………………………. (5-22)
Di mana: Pth = Tubing head pressure, psig
C = Konstanta yang besarnya diambil dari harga 600 S
= Ukuran choke per 64”
R = Gas liguid ratio, MSCF/bbl. Jika menggunakan data lapangan, Gilbert menurunkan persamaan sebagai berikut: 435 xR
P wh
0 , 564
xq
S 180
..………..………………………………………. (5-23)
Di mana: q
= Laju produksi cairan total, bbl/day.
Dari persamaan di atas dapat dibuat nomogram untuk mencari ukuran choke, terlihat pada Gambar 5.7. pembacaan nomogram tersebut dibawah ini adalah dari titik potong laju produksi yang didinginkan dengan harga GLR ditarik garis horisontal ke kanan sampai memotong garis ukuran choke 10/64 selanjutnya ditarik garis vertikal sampai memotong garis ukuran choke yang didinginkan. Kemudian dari titik terakhir di atas ditarik ke kiri horisontal sehingga diperoleh harga THP. Jadi harga THP ini ukuran choke telah sesuai. Penentuan ukuran choke dengan menggunakan Ros Formula prinsipnya adalah sama dengan metode Gilbert, akan tetapi Ros menggunakan Formula untuk mengembangkan aliran gas cairan kritis yang melalui suatu hambatan. Dalam bentuk sederhana persamaan tersebut adalah: P wh
17.4q( R 05 ) /( S 2 ) …………………………………………………. (5-24)
Di mana: Pwh = Tekanan kepala tubing, psi Q R
= laju produksi minyak, STB/day
0.00504Tz ( Rp Rs
BoP
Rp = Gas oil ratio, SCF/STB Rs = Kelarutan gas dalam minyak pada tekanan tubing dan temp ( 85o F) Bo
= FVF minyak pada tekanan tubing dan temperatur 85 o F
P
= P1/4636.8
P1
= Tekanan tubing, lb/ft 2
S
= Ukuran choke, 1/64 inchi Disamping perencanaan ukuran choke yang digunakan, maka masalah
penting lainnya dalam choke performance adalah adanya masalah penurunan tekanan atau pressure drop yang terjadi di choke. Hal ini perlu diperhatikan karena menyangkut masalah aliran fluida yang akan menuju ke separator. Untuk menentukan besarnya penurunan tekanan melalui choke (surface choke), dilakukan dengan analisa modal, dimana surface choke ini merupakan nodee (titik) solusinya. Prosedur solusinya adalah sebagai berikut: 1.
Asumsikan beberapa laju produksi seperti: 200, 400, 600, 800 dan seterusnya.
2.
Tentukan
tekanan
besarnya
kepala
sumur
yang
diperlukan
untuk
menggerakkan fluida keseparator dengan menggunakan korelasi aliran multifasa horisontal terhadap laju produksi yang diasumsikan. Ini merupakan harga P wh up-stream. 3.
Tentukan pula tekanan besarnya kepala sumur untuk aliran vertikal, dengan menggunakan korelasi aliran multifasa vertikal terhadap laju produksi yang diasumsikan. Ini merupakan harga P wh down-stream.
4.
Kemudian plot antara P wh up-stream versus laju produksi. tentukan P yang terjadi untuk berbagai laju produksi, seperti tertera pada gambar dibawah ini.
5.
lakukan plot ulang terhadap besarnya P yang diperoleh dari langkah (4) versus laju produksi, hal ini merupakan gambaran kelakuan sistem secara keseluruhan terhadap surface choke.
6.
Untuk ukuran choke yang berbeda dan dengan asumsi laju produksi, maka tentukan Pwh dengan persamaan. P wh
CR05q
S 2
……………………………………………………...….
(5-25)
7.
Selanjutnya dilakukan plot antara langkah 5 dan 6. besarnya penurunan tekanan (pressure drop) akan semakin rendah apabila ukuran dari surface choke diperbesar.
Gambar 5.7 Nomorgram dari Gilbert untuk menentukan ukuran choke tertentu yang sesuai (Nind.T.E.W.,1964)