PENDAHULUAN
Sejak lebih dari satu dasawarsa terakhir peran penerimaan pajak dalam Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Ini disebabkan sektor lain seperti minyak dan gas bumi yang dahulu menjadi sumber terbesar pendapatan negara semakin hari tidak dapat lagi menunjang APBN.
Sebagai gambaran, target penerimaan pajak dalam APBN – P (Perubahan) Tahun Anggaran 2009 adalah sebesar Rp 651,9 triliun dari total RAPBN-P sebesar Rp 870,990 triliun. Artinya peran pajak adalah sebesar 74.85% dari Rencana Rencan a APBN (RAPBN) Indonesia Tahun Anggaran 20091. Sedangkan realisasi penerimaan pajak Tahun Anggaran 2009 adalah Rp 641,2 triliun atau kurang 1.7% dari target. Selanjutnya pada tahun 2010 ini target penerimaan pajak dalam RAPBN Tahun Anggaran 2010 meningkat menjadi Rp 742,7 triliun, sedangkan total APBN tahun Anggaran 2010 adalah Rp 1.009,5 triliun. Ini artinya terjadi kenaikan Rp 90,8 triliun atau 13.9% dari target penerimaan pajak dalam APBN-P Tahun Anggaran 2009.
Berdasarkan besarnya target penerimaan pajak yang telah ditentukan tersebut, pembagian masing-masing pajak diperoleh berdasarkan penerimaan pajak dari pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 351,0 triliun, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp 269,5 triliun dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 26,5 riliun. Dari pembagian tersebut, kontribusi terbesar diperoleh dari PPh perusahaan dan PPN atas transaksitransaksi yang dilakukan oleh perusahaan.
Berbagai persoalan ekonomi yang mempengaruhi dunia usaha secara langsung mempengaruhi proses pencapaian target penerimaan negara melalui pajak. Persoalan pailit perusahaan menjadi salah satu fenomena perekonomian yang tidak dapat dihindari dalam dunia usaha. Selain pengaruhnya dalam berkurangn ya ketersediaan lapangan kerja, hal lain adalah pengaruhnya pada p ada berkurangnya penerimaan negara yang diperoleh dari pajak perusahaan perusahaan tersebut. Permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah jika terjadi keadaan dimana perusahaan mengalami pailit dan kewajiban perpajakannya masih belum dipenuhi seluruhnya atau dengan
kata lain masih memiliki utang pajak. Terutama apabila pailit tersebut terjadi pada perusahaan perusahaan besar yang memiliki kontribusi signifikan dalam penyetoran pajaknya. Namun demikian, pajak yang harus dibayar merupakan suatu utang pajak.
Agar utang pajak tersebut dapat dilunasi oleh wajib pajak maka dilakukanlah penagihan pajak melalui serangkaian tindakan berdasarkan tata cara penagihan pajak yang diatur dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP).
Contoh-contoh Kasus Pajak
Kasus Pajak Fiktif masih Marak Bisnis | May , 2011 at 15:59
Mei 2011 15:50 WIB JAKARTA: Dalam rangka penegakan hukum di bidang perpajakan, Direktorat Pajak memberlakukan dua sistem, yakni soft enforcement dan hard enforcement. Sistem penegekkan hukum itu dimulai dari himbauan, pemeriksaan (soft enforcement), serta penyitaan dan penyidikan (hard enforcement). Pada kasus hard enforcement, yang marak dilakukan oleh wajib pajak adalah melakukan penerbitan dan penggunaan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (fiktif). “Ini adalah suatu modus dan sudah menjamur, yaitu dengan meng-create perusahaan fiktif untuk membuat faktur fiktif yang tidak ada underlying barangnya. Ini mengurangi pajak maupun resitusi PKP (perusahaan kena pajak). Ini yang kita perangi,” ujar Kasubdit Bidang Penyidikan Direktorat Intelejen dan Penyidikan Direktorat Pajak, Muhammad Kifni, di Kantor Direktorat Pajak, Jumat (20/5). Kifni mengungkapkan, sepanjang 2010, kasus faktur pajak mendominasi 50% jumlah kasus pajak yang terjadi. Sementara itu, Direktorat Intelejen dan Penyidikan telah menyelesaikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dengan menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan Agung. “Jumlah berkas perkara yang dinyatakan lengkap oleh Kejagung (P21) sebanyak 20 kasus, dengan jumlah kerugian negara Rp513 miliar,” jelasnya. Sementara berkas yang masih dinyatakan P19 adalah 17 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp233miliar. “Yang sudah divonis oleh pengadilan 16 kasus dengan total kerugian sebesar Rp424.
Catatan atas kasus pajak Makindo
[Info Pajak] - Kasus tagihan pajak atas PT Makindo Tbk senilai Rp494 miliar bisa menjadi contoh menarik bagaimana sistem administrasi perpajakan di Indonesia dijalankan. Kasus seperti ini sangat mungkin juga terjadi pada wajib pajak lainnya.
Yang membedakan hanya skalanya, ada yang kena tagihan dalam jumlah sangat besar, ada yang relatif kecil. Wajib Pajak belum tentu bisa tidur nyenyak meski masa kedaluwarsa hampir terlampaui. Ini yang menimpa Makindo. Surat ketetapan pajak (SKP) terbit pada 30 Oktober 2006. Jika SKP ini tidak terbit, maka surat pemberitahuan tahunan yang disampaikan Makindo menjadi pasti pada akhir Desember 2006. Namun Dewi Fortuna tampaknya tak bersama Gunawan Yusuf, presdir Makindo.
Lima catatan Kembali ke kasus Makindo. Berdasarkan penjelasan manajemen Makindo kepada kepada PT Bursa Efek Surabaya maupun isi surat ketetapan pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa paling tidak ada lima hal yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan. Pertama, soal kedaluwarsa. Dalam penjelasannya, Makindo menyatakan tagihan tersebut dikenakan untuk tahun buku 1996 yang sudah berselang 10 tahun lebih. Dalam pembahasan RUU Pajak yang tengah berlangsung di DPR, batas kedaluwarsa diperpendek menjadi lima tahun. Sehingga jika UU ini kelak diberlakukan mulai 1 Januari 2008, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak 2008 akan menjadi lampau pada 1 Januari 2014. Tapi untuk tahun pajak 2007, menjadi kedaluwarsa pada 1 Januari 2018. Sebab kewajiban pajak 2007 masih mengikuti UU Pajak 2000 yang masa kedaluwarsanya 10 tahun. Untuk membahas poin ini, ada baiknya kita lihat bagaimana bunyi pasal dalam UU perpajakan. Pasal 13 angka (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan: Besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh wajib pajak dalam surat pemberitahuan (SPT) menjadi pasti...., apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. Makindo mendapat SKP kurang bayar pada 31 Oktober 2006 dan jatuh tempo pembayaran adalah 30 November 2006. Jangka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah berakhirnya tahun pajak. Sehingga argo mulai jalan per 1 Januari 1997 [bukan 1 Januari 1996]. Jika ditarik ke 10 tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah 31 Desember 2006. Artinya, penetapan SKP atas Makindo ini memang sudah masuk injury time, tapi masih dalam jangka waktu 10 tahun. Secara formal penerbitan SKP tersebut tetap sah. Kedua, Makindo menyatakan SKP tersebut bukan keputusan final, tapi masih dalam proses. Penjelasan ini benar adanya. WP mempunyai hak untuk mengajukan keberatan ke Ditjen Pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak SKP diterbitkan. Ditjen Pajak sendiri harus memberi keputusan atas keberatan itu paling lambat 12 bulan. Ditjen Pajak kabarnya akan mempercepat proses keberatan tersebut. Pekan lalu Dirjen Pajak Darmin Nasution dan jajarannya sibuk membahas permohonan keberatan Makindo ini. Kita lihat nanti, bagaimana keputusan Dirjen Pajak atas keberatan Makindo. Dalam banyak kasus, Ditjen Pajak cenderung mempertahankan SKP yang dibuat oleh anak buahnya. Ada spirit kesatuan yang tidak bisa luntur begitu saja. Jadi meski ada
koreksi, baik atas pokok utang pajak maupun sanksinya, biasanya tidak terlalu signifkan. Jika Makindo bisa meyakinkan kantor pajak bahwa penetapan pajak tersebut salah, tentu tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan koreksi atas utang dan sanksi tersebut. Misalnya, Makindo harus bisa menunjukkan bukti-bukti yang memadai bahwa sejumlah private placement-yang oleh kantor pajak diklaim sebagai pendapatan Makindo-adalah salah. Tapi jika bukti-bukti tidak cukup, bisa jadi Makindo hanya bisa menikmati pengurangan yang tidak terlalu besar. Berarti Makindo harus siap tempur di Pengadilan Pajak. WP memang didorong untuk maju ke Pengadilan Pajak dan jika perlu ke Mahkamah Agung untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Bahkan ada satu Dirjen Pajak di masa lalu yang selalu menolak keberatan yang diajukan WP karena merasa conflict of interest. Kala itu, kebijakan seperti ini, tidak masalah karena banding ke Majelis Pertimbangan Pajak (cikal bakal Peradilan Pajak) tidak ada kewajiban membayar sebagian atau seluruh utang pajak. Sehingga WP juga tidak masalah mengajukan banding, apalagi di MPP ada perwakilan Kadin yang biasanya menjadi pelindung dunia usaha. Surat paksa Kembali ke masalah SKP Makindo. Meski SKP ini sifatnya belum final, manajemen Makindo perlu memerhatikan surat paksa yang diterbitkan kantor pajak. Surat paksa adalah sarana bagi petugas pajak untuk melakukan penagihan seketika dan sekaligus. Yang istimewa dari surat paksa adalah kedudukannya yang setara dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Setara putusan kasasi Mahkamah Agung. Ketiga, soal tax clearance atau surat keterangan fiskal (SKF). Selembar surat ini dulu menjadi salah satu syarat bagi perusahaan yang akan masuk bursa. Kini kewajiban memperoleh SKF sudah dicabut oleh Darmin Nasution, setelah mantan ketua Bapepam itu duduk sebagai Dirjen Pajak. Namun SKF bukan surat ketetapan pajak. Selembar kertas yang dikeluarkan oleh kantor pajak ini hanya menyebutkan bahwa perusahaan dalam status tidak punya utang pajak (berdasarkan SKP atau surat tagihan pajak) dan tidak dalam proses penyidikan karena dugaan tindak pidana pajak.
SKF sama sekali tidak mempunyai nilai hukum apa-apa di mata undang-undang pajak maupun undang-undang pasar modal. Dengan demikian, apakah penerbitan SKF tidak menghilangkan hak fiskus untuk memeriksa pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan menetapkan pajak terutang beserta denda dan sanksinya. Keempat, kepentingan umum dan kepentingan negara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, utang pajak mempunyai hak mendahului dibandingkan utang lainnya. Pasal 21 UU KUP menyatakan negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak, yang mencakup pokok pajak, sanksi administrasi, denda, kenaikan dan biaya penagihan. Hak mendahulu ini hilang setelah melampaui dua tahun. Dengan demikian siapapun di negara ini-apalagi aparat negara-seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengedepankan kepentingan negara. Namun bila melihat pernyataan pejabat Bapepam-LK menyangkut kasus tagihan pajak Makindo ini, rasanya hak mendahului atas tagihan pajak kurang dipahami. Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany kepada Bisnis menyatakan rencana go private Makindo tidak berarti perusahaan terlepas dari kewajiban pajaknya dan itu bukan kompetensi lembaga itu untuk membicarakan apakah mereka masih punya tunggakan pajak atau tidak. Bapepam-LK, menurut dia, tidak bisa menggunakan alasan itu [tunggakan pajak] untuk menolak go private Makindo. Lembaga ini tetap menyetujui rencana Makindo go private karena dinilai telah memenuhi persyaratan administratif dan menaati prosedur keluar dari bursa. Pernyataan seperti ini jelas mengundang tanda tanya. Apalagi Bapepam-LK dan Ditjen Pajak yang sama-sama dalam asuhan Departemen Keuangan. Bila ditarik ke belakang, misalnya dalam kasus Energi Mega Persada, Fuad melarang rencana spin off Lapindo Brantas dengan alasan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas atas melindungi kepentingan publik. Jika kepentingan publik saja harus dilindungi, bagaimana soal utang pajak Makindo yang di dalamnya ada hak negara-dijawab "bukan kompetensi kami untuk membicarakannya." Apakah kepentingan negara di bawah kepentingan publik? Terakhir, soal NPWP Gunawan Yusuf. Gunawan disidik aparat pajak berdasarkan surat perintah penyidikan No. Prin-02-Dik/PJ.701/2003 tanggal 6 Maret 2003. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim oleh Direktur P4 Ditjen Pajak kepada Jaksa Agung melalui Kabid Korwas PPNS Bareskrim, Polri pada 7 Maret 2003.
Sebelumnya sumber Bisnis di Ditjen Pajak menyebutkan penyidikan terhadap Gunawan dihentikan karena dia sudah mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Namun, keterangan tersebut dibantah seorang pejabat senior di Ditjen Pajak. Dia menyatakan penyidikan tersebut tidak mungkin dihentikan kecuali ada permintaan dari Menteri Keuangan seperti diatur dalam Pasal 44B UU KUP. Penyidikan, kata dia, tidak menghasilkan surat ketetapan pajak, melainkan berkas penuntutan perkara jika oleh kejaksaan atau kepolisian dianggap sudah lengkap (P21). "Bisa jadi penyidikan tersebut berjalan lambat, tapi bukan berarti dihentikan. NPWP atas nama Gunawan Yusuf terbit setelah penyidikan berjalan. Artinya, Ditjen Pajak bisa menggunakan pasal pidana perpajakan seperti diatur Pasal 39 UU KUP," kata sumber ini. Ditjen Pajak kabarnya menetapkan nilai kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp6 miliar. Namun, angka ini belum pasti karena para penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) masih terus mengumpulkan bukti-bukti.
Kasus PenggeLapan Pajak Kasus penggelapan pajak yang kini ditangani oleh Direktorat Jenderal Ditjen) Pajak sebaiknya segera dituntaskan oleh aparat pajak itu sendiri. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus ini bisa mengundang celah bagi Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk turut cawe cawe menangani kasus ini.
Padahal dengan adanya kisah buruk atas penanganan kasus yang melibatkan konglomerat yang ditangani Kejagung (contohnya: penangkapan jaksa oleh aparat Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), telah menyebabkan traumatik hukum yang berdampak terhadap menurunnya indeks kepercayaan publik dalam penegakkan hukum oleh aparat Kejagung. Saat ini aparat Ditjen Pajak sedang menangani sejumlah kasus penggelapan pajak yang melibatkan konglomerat paling kaya di Indonesia. Termasuk diantaranya adalah dugaan kasus penggelapan pajak sebesar Rpl,3 triliun yang dilakukan oleh Asian Agri Group (anak perusahaan Raja Garuda Mas/RGMmilik pengusaha asal Medan, Sukanto Tanoto).
Dalam pandangan kami, dengan ribuan box barang bukti dokumen yang disita oleh aparat Ditjen Pajak, seharusnya tidak ada alasan bagi aparat Ditjen Pajak untuk berlama-lama menangani kasus ini. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono JSBV) usai mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) uiajib pajak, juga menginstruksikan langsung untuk menyelesaikan kasus int melaluijalur hukum dan konstitusional.Bagaimana pun juga, keberhasilan Dirjen Pajak Darmin Nasution dinilai dari kemampuannya untuk menyelesaikan kasus ini dengan cepat dati akurat oleh tim aparat Ditjen Pajak. Sedangkan kegagalannya adalah jika kasus ini kemudian diambilalih langsung oleh Kejagung. Oleh sebab itu, kami ingin menyemangati Dirjen Pajak untuk segera menuntaskan kasus ini langsung di tangan aparat Dirjen Pajak sendiri.
Ditjen Pajak Diultimatum Tuntaskan Kasus Pajak Senin, 04 April 2011 06:40 WIB JAKARTA--MICOM: Anggota KomisiIII DPR, Ahmad Yani menyatakan, Panja Mafia Pajak sudah mengagendakan untuk menelusuri kasus-kasus dugaan penyelewengan pajak yang melibatkan pejabat tinggi di pemerintahan. Ditjen pajak juga diultimatum untuk segera menuntaskan kasus pajak.
"Taruhan besar yang harus dikorbankan pemerintah adalah menurunnya kepercayaan masyarakat, salah satunya akibat kasus ini. Itu menjadi hukuman dari masyarakat terhadap pemerintah jika masih ragu-ragu dan tidak serius untuk menuntaskan kasus-kasus pajak. Terutama kasus pajak di lingkaran terdekat Pak SBY. Itu ujian bagi komitmen Pak SBY," ujar Yani, Minggu (3/4) Menurut politisi PPP ini, publik sekarang sudah ce rdas dan bisa menilai bahwa upaya untuk menghalangi kasus ini terbongkar tuntas sudah terlihat sejak proses pengajuan hak angket. Kunci utama masalah lambannya kasus pengungkapan kasus ini sebetulnya ada di ditjen Pajak. Semakin lama mereka mengulur waktu maka semakin parah spekulasi negatif yang merugikan pemerintah. "Kami di Dewan sudah berkali-kali mengultimatum Ditjen Pajak. Selanjutnya, kami akan mengultimatum kembali pihak Ditjen Pajak agar mempun yai jadwal yang jelas dalam upaya penuntasan kasus mafia pajak. Saya khawatir Pak SBY justru dibusukkan dari dalam kabinetnya sendiri karena membiarkan penanganan kasus p ajak ini berlarut-larut," tegas Yani. Dikatakannya, penuntasan kasus pajak yang seolah jalan di tempat ini bisa diartikan bawahan presiden sudah melakukan subordinasi terhadap 12 instruksi presiden. "Bawahan Presiden itu kontradiktif dengan Inpres penanganan kasus pajak.
Mereka seolah menganggap Inpres itu hanya macan kertas saja. Bawahan Presiden yang mengabaikan 12 Instruksi itu berarti. Selain kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dugaan penyelewengan pajak yang melibatkan pejabat tinggi negera di antaranya dugaan kasus perusahaan Ancora Group yang dimiliki Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan. Pihak Ancora sendiri sudah membuka diri untuk dibuktikan atas tudingan yang dilancarkan Forum Masyarakat Penegak Keadilan (FMPK), termasuk menunggu hasil audit Ditjen Pajak. Namun, hingga kini hasil audit Ditjen Pajak belum juga dilakukan. (*/X-12)
STUDI KASUS DI KPP WAJIB PAJAK BESAR ORANG PRIBADI (KPP HWI)
Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak awal Mei 2009 telah berdiri KPP yang khusus melayani dan mengadministrasikan Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya. Proyek perdana Direktorat Jenderal Pajak ini memiliki kriteria Wajib Pajak Orang Pribadi pemegang saham di beberapa perusahaan besar dan ber-KTP di Jakarta. Setelah berjalan hampir 2 tahun ini, banyak sekali permasalahan perpajakan baik PPh maupun PPN yang muncul seiring pelayanan konsultasi dan pengawasan oleh Account Representative (AR) terhadap Wajib Pajak (kebetulan penulis saat ini bekerja sebagai AR di KPP tersebut). Hal ini lebih disebabkan sampai saat ini peraturan perpajakan masih sangat kental berkaitan dengan permasalahan Wajib Pajak Badan dan belum tegas menjelaskan aspek yang terkait dengan Wajib Pajak orang pribadi. Penulis sangat memaklumi keadaan yang terjadi, mengingat selama ini, DJP dalam menyiapkan regulasi perpajakan hanya memprioritaskan pada Wajib Pajak Badan dan baru pada era Reformasi Pajak Tahap Kedua ini, konsep rencana dan grand strategy DJP juga memprioritaskan pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak orang pribadi. Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak orang pribadi yang selama ini porsi penerimaan dari WP orang pribadi masih sangat kecil. Sangat berbeda jika kita perhatikan hal yang sama pada Negara maju seperti Amerika yang pencapaian penerimaan pajak dari orang pribadinya sangat signifikan. Adapun permasalahan yang penulis angkat berawal dari banyaknya WP di KPP HWI yang menerima penghasilan dari sewa property atau tanah dan/atau bangunan yang dimilikinya dan PPh-nya dikenakan secara final baik dipotong oleh pihak penyewa maupun dibayar sendiri oleh WP. Pelaporan mengenai hal tersebut diketahui melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang diadministrasikan di KPP HWI maupun yang baru dilaporkan untuk tahun pajak 2009 setelah KPP HWI berdiri. Kalau kita kaitkan dengan aspek PPN, maka secara objektif, sewa tanah dan/atau bangunan sebagai objek PPN telah terpenuhi yaitu penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan Jasa Kena Pajak dan secara subjektif sesuai ketentuan yang ada yang mengatur tentang kewajiban pengukuhan PKP bagi WP orang pribadi tersebut telah
terpenuhi yaitu omzet atas persewaan tersebut telah melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta Rupiah) dalam jangka waktu satu tahun. Atas dasar tersebut, AR banyak mengirimkan surat himbauan kepada Wajib Pajak orang pribadi ini agar segera mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun setelah banyaknya tanggapan sebagai respon dari Wajib Pajak atas surat himbauan dari KPP tersebut, maka muncul keraguan dalam menerapkan ketentuan mengenai pengukuhan PKP terhadap Wajib Pajak orang pribadi ini karena adanya permasalahan sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
Pekerjaan WP orang pribadi hanya berstatus sebagai direksi atau karyawan perusahaan, sehingga menimbulkan kerancuan apakah orang pribadi ini bisa disebut sebagai pengusaha sesuai UU PPN. Penyerahan sewa yang dilakukan oleh WP hanya insidentil atau tidak rutin; Sulitnya WP orang pribadi melaksanakan adminitrasi PPN bila telah dikukuhkan sebagai PKP sehubungan banyak orang pribadi belum menyelenggarakan pembukuan. Apabila telah dikukuhkan sebagai PKP dan WP menjual harta tanah dan/atau bangunannya tersebut, apakah terkait dengan Pasal 16D UU PPN.
PEMBAHASAN KASUS
Kalau kita sangat berpatokan pada ketentuan hukum yang mengatur PPN baik secara objektif maupun subjektif, mungkin memang Wajib Pajak orang pribadi tersebut wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Dari segi objek, sewa tanah dan/atau bangunan itu jelas-jelas merupakan Jasa Kena Pajak (objek PPN), begitu juga dari segi subjek, apabila omzet sewa tersebut sudah melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) maka wajib dikukuhkan sebagai PKP. Untuk pembahasan kali ini, kita memprioritaskan untuk mendalami solusinya dari segi subjek PPN dan sebagaimana kita ketahui bahwa dari segi objek PPN, memang tak terbantahkan bahwa sewa tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan objek PPN. Dan berikut ini, permasalahan yang ada disandingkan dengan ketentuan yang berlaku terutama filosofi yang terkandung dalam ketentuan tersebut, yakni sebagai berikut: 1. Pekerjaan WP orang pribadi hanya berstatus sebagai direksi atau karyawan perusahaan, sehingga menimbulkan kerancuan apakah orang pribadi ini bisa disebut sebagai pengusaha sesuai UU PPN.
Sesuai Pasal 2 ayat (2) UU KUP dan bila kita perhatikan definisi dari Pengusaha dan PKP menurut UU PPN, yang dapat diambil poin-poinnya yaitu sebagai berikut:
a. Orang Pribadi atau Badan b. Dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya c. Melakukan Penyerahan BKP/JKP Hal ini dapat diambil pengertian bahwa orang pribadi dapat juga sebagai PKP yaitu orang pribadi sebagai Pengusaha dan jika dikaitkan dengan orang pribadi, pengertian dalam kegiatan usaha atau pekerjaan ini yang perlu penegasan, karena akan sangat erat terkait dengan salah satu syarat suatu penyerahan jasa dikenakan PPN yang diuraikan sebelumnya yaitu penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya sehingga apabila syarat penyerahan ini tidak terpenuhi maka otomatis tidak akan ada yang namanya penyerahan yang dikenakan PPN. Penting kiranya kita mendalami apa yang dimaksud dengan „dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya‟. Sebelum dilakukannya perubahan UU PPN, dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a mengenai objek pajak, dinyatakan bahwa penyerahan dilakukan dalam lingkungan usaha atau perkerjaannya artinya dalam rangka kegiatan sehari-hari Wajib Pajak. Jadi hal ini merupakan tolok ukur orang pribadi dapat disebut pengusaha. Atas permasalahan yang ada, orang pribadi tersebut hanya bekerja sebagai karyawan atau direksi di suatu perusahaan dan penghasilan sewa yang diterimanya bukan merupakan hasil dari kegiatan WP sehari-hari sehingga sangat disangsikan orang pribadi sebagai karyawan dalam hal melakukan penyerahan sewa dapat dikatagorikan sebagai Pengusaha. 2. Penyerahan sewa yang dilakukan oleh WP hanya insidentil atau tidak rutin
Pengertian kegiatan sehari-hari Wajib pajak, menandakan bahwa kegiatan penyerahan sewa tersebut sering atau rutin dilakukan, sehingga kalau sifatnya insidentil maka belum dapat dikatagorikan orang pribadi tersebut sebagai Pengusaha. Sebagai contoh misalnya Bapak Iwan bekerja sebagai pegawai negeri, memiliki harta tanah luasnya 1 hektar yang diperoleh dari warisan orang tuanya. Pada bulan Desember tahun 2010 menyewakan tanah tersebut ke sebuah perusahaan dengan sewa sebesar Rp. 750.000.000,- dalam jangka waktu 5 tahun. Dari segi objek sudah terpenuhi dan dari segi syarat omzet juga sudah terpenuhi. Apabila Bpk Iwan dipaksa untuk PKP pada bulan berikutnya sejak terpenuhi lebih dari Rp. 600.000.000,00 yakni bulan Januari 2011, maka begitu di awal tahun tersebut, beliau sebagai PKP wajib melaporkan SPT Masa PPN, namun tidak akan ada transaksi lagi sampai 5 tahun ke depan dan ini akan sangat membebani administrasi Bapak Iwan sebagai Wajib Pajak orang pribadi. Lain halnya dengan contoh bila Bapak Iwan membangun kontrakan/kost-kostan hampir 100 kamar di tanah 1 hektar tersebut dan memperoleh penghasilan sewa yang bersifat rutin secara bulanan misalnya total per bulan Rp.100.000.000,- sehingga dalam setahun menghasilan sekitar Rp. 1.200.000.000,- yang dari segi syarat omzet sangat terpenuhi dan Bapak Iwan memang
melakukan kegiatan usaha yang merupakan kegiatan sehari-hari beliau, sehingga Bapak Iwan dapat dikatagorikan sebagai Pengusaha dan wajib PKP. 3. Sulitnya WP orang pribadi melaksanakan adminitrasi PPN bila telah dikukuhkan sebagai PKP sehubungan banyak orang pribadi belum menyelenggarakan pembukuan.
Hampir sama kasusnya dengan poin 2 di atas, Bapak Iwan yang hanya memperoleh penghasilan secara insidentil maka biasanya tidak dilakukan pencatatan apalagi pembukuan. Beliau hanya menyimpan dokumen yang berhubungan dengan sewa tersebut dan dipakai untuk pelaporan Pajak Penghasilan Tahunannya. Akan memakan banyak waktu baginya hanya untuk sekedar mencatat perolehan sewa yang insidentil dan bahkan dalam suatu tahun tertentu yang akan datang tidak ada penghasilan sewa. Namun kalau Bapak Iwan memang benar-benar kegiatan usahanya sehari-hari memperoleh penghasilan dari persewaan rumah kontrakan/kostkostan maka biasanya WP seperti ini melakukan pencatatan dan apabila usaha kontrakannya dilakukan lebih serius dan professional, dapat pula Bapak Iwan menyelenggarakan pembukuan. 4. Apabila telah dikukuhkan sebagai PKP dan WP menjual harta tanah dan/atau bangunannya tersebut, apakah terkait dengan Pasal 16D UU PPN.
Seperti dijelaskan dalam dasar hukum, BKP di sini juga ditekankan merupakan aktiva, sehingga sangat terkait dengan adanya suatu pembukuan yang memang menyediakan laporan mengenai hal-hal yang salah satunya adalah aktiva sebagai asset kepemilikan. Terkait kasus nomor 3 di atas, PKP orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan dan atas penjualan kembali tanah dan/atau bangunan yang disewakan, tidak akan pernah memenuhi Pasal 16 D UU PPN. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari pembahasan mengenai permasalahan penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak orang pribadi tersebut dapat diambil ke simpulan sebagai berikut : 1. Tujuan adanya perubahan UU PPN diantaranya adalah meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan PPN, menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai, dan mengurangi biaya kepatuhan. Filosofi ini harus tetap dipegang teguh oleh petugas pajak dalam mengatasi berbagai permasalahan perpajakan khususnya PPN. 2. Atas studi kasus „perlukah WP Orang Pribadi yang melakukan penyerahan jasa sewa tanah dan/atau bangunan dikukuhkan sebagai PKP‟ dan berpegang pada tujuan perubahan UU PPN di atas, dapat ditegaskan bahwa selain aspek objektif maupun subjektif telah terpenuhi, apabila orang pribadi memperoleh penghasilan dari penyerahan sewa yang bersifat insidentil
yang bukan merupakan kegiatan sehari-hari WP dan mempertimbangkan berbagai aspek yang terjadi, maka orang pribadi tersebut belum wajib dikukuhkan sebagai PKP, namun apabila merupakan penghasilan yang diperoleh sebagai kegiatan sehari-hari WP, maka wajib dikukuhkan sebagai PKP. 3. Hal ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyelesaian permasalahan kewajiban PKP bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang lain. Demikianlah pembahasan mengenai studi kasus Pajak Pertambahan Nilai perlukah pengukuhan PKP untuk orang pribadi yang melakukan penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan dan pendapat yang disimpulkan hanya merupakan pernyataan yang bersifat pribadi berdasarkan analisa yang dikaitkan dengan aspek hukum dan ken yataan yang terjadi di lapangan.