BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Konsep medik
Definisi
Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus
pada traktus intestinal (Sylvia A, Price, 2007). Ileus obstruksi terjadi
ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal isi usus
sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2001). Ileus obstruksi merupakan
suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan
baik secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998).
Menurut kelompok illeus obstruksi adalah gangguan aliran yang bisa
disebabkan oleh adanya mekanik dan non mekanik sehingga terjadi askumuli
cairan dan gas di lumen usus.
Anatomi dan Fisiologi
Gambar Anatomi Usus Manusia. Sumber:http://www.google.co.id
Usus halus membentang dari pylorus hingga katup ileosekal.
Panjang usus halus sekitar 12 kaki atau 3,6 meter . usus ini mengisi
bagian tengah dan rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter
sekitar 3,8 cm tetapi makin kebawah garis tengahnya semakin berkurang
sampai menjadi sekitar dua cm. usus halus dibagi menjadi duodenum,
jejunum dan ileum.
Panjang duedonum sekitar 25 cm mulai dari pylorus sampai
jejunum. Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya
ligamentum treitz yaitu suatu pita muskulo fibrosa yang berperan
sebagai Ligamentum Suspensorium (penggantung). Sekitar 2/5 dari usus
halus adalah jejunum, Jejunum terletak diregio mid abdominalis
sinistra dan ileum terletak di regio mid abdominalis dextra sebelah
bawah. Tiga perlima bagian akhir adalah ileum. Masuknya kimus kedalam
usus halus diatur oleh spingther pylorus, sedangkan pengeluaran zat
yang telah tercerna kedalam usus besar yang diatur oleh katup ileus
sekal. Katup illeus sekal juga mencegah terjadinya refluk dari usus
besar ke dalam usus halus. Apendik fermivormis yang berbentuk tabung
buntu berukuran sebesar jari kelingking terletak pada daerah illeus
sekal yaitu pada apeks sekum.
Dinding usus halus terdiri dari empat lapisan dasar yang paling
luar dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan visceral
dan parietal. Ruang yang terletak diantara lapisan-lapisan ini disebut
sebagai rongga peritoneum. Omentum memilik lipatan-lipatan yang diberi
nama yaitu mesenterium yang merupakan lipatan peritoneum lebar
menyerupai kipas yang menggantung jejenum dan ileum dari dinding
posterior abdomen, dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa.
Omentum majus merupakan lapisan ganda peritoneum yang menggantung dari
kurva tura mayor lambung dan berjalan turun kedepan visera abdomen.
Omentum biasanya mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang
membantu melindungi peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus
merupakan lipatan peritoneum yang terbentuk dari kurvatura lambung dan
bagian atas duodenum menuju ke hati, membentuk ligamentum suspensorium
hepatogastrika dan ligamentum hepatoduodenale .
Gambar struktur usus halus. Sumber: http://www.google.co.id.
Usus halus mempunyai dua lapisan lapisan luar terdiri dari
serabut serabut longitudinal yang lebih tipis dan lapisan dalam
terdiri atas serabut serabut sirkuler. Penataan yang demikian membantu
gerakan peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas
jaringan ikat sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta banyak
mengandung pembuluh darah dan kelenjar yang berfungsi sebagai
absorbsi. Lapisan mukosa dan sub mukosa membentuk lipatan-lipatn
sirkuler yang disebut sebgai valvula coniventes atau lipatan kercking
yang menonjol kedalam lumen sekitar tiga sampai sepuluh millimeter.
Villi merupakan tonjolan-tonjolan mukosa seperti jari-jari yang
jumlahnya sekitar 4 atau 5 juta yang terdapat di sepanjang usus halus,
dengan panjang 0,5 sampai 1,5 mm. Mikrovilli merupakan tonjolan yang
menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar 1 mm pada permukaan luar
setiap villus. Valvula coni ventes vili dan mikrovilli sama sama-
menambah luas permukaan absorbsi hingga 1,6 juta cm2.
Usus halus memepunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan
absorbsi bahan-bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan yaitu proses
pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna melalui kerja
berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal. Proses pencernaan
dimulai dari mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, HCL, Pepsin, mucus
dan lipase lambung terhadap makanan yang masuk. Proses ini berlanjut
dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang
menghindrolisis karbohidrat, lemak dan protein menjadi zat-zat yang
lebih sederhana. Mucus memberikan perlindungan terhadap asam sekeresi
empedu dari hati membantu proses pemecahan dengan mengemulsikan lemak.
Sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase
pancreas.
Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaaan karbohidrat,
lemak dan protein melalui dinding usus kedalam sirkulasi darah dan
limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu juga diabsorbsi
air, elektrolit dan vitamin. Walaupun banyak zat yang diabsorbsi
disepanjang usus halus namun terdapat tempat tempat absorbsi khusus
bagi zat-zat gizi tertentu. Absorbsi gula, asam amino dan lemak hampir
selesai pada saat kimus mencapai pertengahan jejunum. Besi dan kalsium
sebagian besar diabsorbsi dalam duodenum dan jejunum. Dan absorbsi
kalium memerlukan vitamin D, larut dalam lemak (A,D,E,K) diabsorsi
dalam duodenum dengan bantuan garan-garam empedu. Sebagian besar
vitamin yang larut dalam air diabsorbsi dalam usus halus bagian atas.
Absorbsi vitamin B12 berlangsung dalam ileum terminalis melalui
mekanisme transport usus yang membutuhkan factor intrinsic lambung.
Sebagian asam empedu yang dikeluarkan kantung empedu kedalam duodenum
untuk membantu pencernaan lemak akan di reabsorbsi dalam ileum
terminalis dan masuk kembali ke hati. Siklus ini disebut sebagai
sirkulasi entero hepatic garam empedu, dan sangat penting untuk
mempertahankan cadangan empedu.
Etiologi
Mekanis disebut juga sebagai
1) Adhesi/perlengketan pascabedah (90% dari obstruksi mekanik)
2) Tumor
3) Hernia
4) Obstipasi (khusus untuk usia dewasa)
5) Stricture chron's desease atau radiasi
6) Intussuseption
7) Volvus
8) Twisting intestinal
9) Penyakit vascular seperti emboli arterosklerotik, usus mesentrikal
yang sempit.
10) Usia > 65 tahun
Fungsional (non mekanik)
1) Psikologis
2) Neurogenik
3) Ketidakseimbangan kimiawi
4) MCI, Fraktur Iga, Pneumonia
JENIS-JENIS OBSTRUKSI
Terdapat 2 jenis obstruksi :
Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau
trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus.
Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi
tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.
Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan
ekstrinsik. Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik
simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup
(paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat
didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat,
mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark
(strangulasi) sehingga menimbulkan obstruksi strangulate yang
disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini
mengganggu suplai darah, kematian jaringan dan menyebabkan gangren
dinding usus.
1. PATOFISIOLOGI
Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi
usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut
diakibatkan oleh penyebab mekanik atau non mekanik. Perbedaan utama
adalah pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat,
kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter cairan
diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari. Sebagian besar
cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Perubahan patofisiologi
utama pada obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang tersumbat, ini
menjadi tempat perkembangan bakteri sehingga terjadi akumulasi gas
dan cairan (70% dari gas yang tertelan). Akumulasi gas dan cairan
dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus. Apabila akumulasi
terjadi di daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intra abdomen dan intra lumen. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi air dan elektrolit
di peritoneal. Dengan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi
menimbulkan retensi cairan di usus dan rongga peritoneum
mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan volume darah. Akumulasi
gas dan cairan di bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus
sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena
mesenterika yang mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus
sehingga aliran darah ke usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian
nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan pelepasan bakteri dan toksin sehingga
terjadi perforasi. Dengan adanya perforais akan menyebabkan bakteri
akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi sepsis dan peritonitis.
Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan
fungsi usus dan peningkatan sekresi sehingga terjadi peminbunan di
intra lumen secara progresif yang akan menyebabkan terjadinya
retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit. Bila hal ini tidak ditangani dapat menyebabkan syok
hipovolemik. Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebih berdampak
pada penurunanan curah jantung sehingga darah yang dipompakan tidak
dapat memenuhi kebutuhan seluruh tubuh sehingga terjadi gangguan
perfusi jaringan pada otak, sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam
sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang akan meningkatkan
asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak
akan menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan infark. Bila
terjadi pada ginjal akan merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di
tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi hidrogen
di nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi HCO3-
dan penurunan kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya alkalosis metabolic.
6. Manifestasi Klinik
a. Mekanik sederhana – usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi,
muntah, peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
b. Mekanik sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus
meningkat, nyeri tekan abdomen.
c. Mekanik sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir,
kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri
tekan abdomen.
d. Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn.
Gejalanya kram nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.
e. Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan
terlokalisir, distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising
usus menurun dan nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus
menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau
lipatan sigmoid yang tertutup.
Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah,
peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis
dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh
lipatan usus.
Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis
metabolic.
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan
elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan
dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali
normal
Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda -
tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus
obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit
sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat.
Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda - tanda
vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan
intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum
bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.
Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi
gejala mual muntah.
Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian
disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi
selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau pertimbangan
untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu
simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan.
Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat
diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang
dilakukan pada obstruksi ileus:
Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus
dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi,
jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus yang
tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya
pada carcinoma colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan
operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun
karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif,
mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan
reseksi usus dan anastomosis.
7. Komplikasi
a. Nekrosis usus, perforasi usus,
b. Sepsis,
c. Syok-dehidrasi,
d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi,
e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah,
f. Gangguan elektrolit,
g. Kematian
RESUSITASI CAIRAN PADA ILEUS OBSTRUKSI
Diagram 1. Distribusi Cairan Tubuh
Diambil dari Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State
University - Center for Veterinary Health. 2006.
http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.html1
Tubuh terdiri dari 60 % cairan dan 40 % jaringan. Cairan dalam tubuh
terdiri dari intraseluler 40 % dan ekstraseluler 20 %. Cairan
ekstraseluler dibagi menjadi 15 % cairan interstisial dan 5 %
intravaskuler.
Pada kasus ileus obstruksi terjadi kehilangan cairan intestinal
karena terganggunya fungsi usus dalam hal absorbsi, dengan demikian
terjadinya kehilangan utama cairan dan elektrolit yang sangat progresif.
Kehilangan cairan dan elektrolit (natrium dan kalium) dapat menyebabkan
terjadinya syok, oleh karena itu diperlukan resusitasi cairan dan
elektrolit secara adekuat.
Dalam kasus ileus obstruktif perumusan kebutuhan cairan yang
diperlukan menggunakan rumus Holiday- Segar Formula yaitu:
"Weight (kg) "kcal/d atau mL/d "kcal/ jam atau mL/jam"
"0 sampai 10 kg "100/kg per hari "4/kg per jam "
"11 sampai 20 kg "1000 + (50/kg per "40+(2/kg per hari) "
" "hari) " "
">20 kg "1500 + (20/kg per "60+(1/kg per hari) "
" "hari) " "
Jenis cairan yang digunakan untuk resusitasi antara lain cairan
kristaloid yaitu: Asering, Ringer Laktat, Normal Saline, dan Dextrose
5 %. Sedangkan untuk mengatasi kehilangan elektrolit dilakukan koreksi
natrim dan kalium. Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana ± 70%
atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-
180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan
setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Untuk menghitung Na serum dapat
digunakan rumus :
Na= Na1- Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na 1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diperlukan
Na 0 = Na serum yang aktual
TBW= Total Body Water = 0,6x BB (kg)
- Hipokalemia
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler
berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-
ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat
dengan protein didalam sel. Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter,
kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan
dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter. Rumus untuk
menghitung defisit kalium :
K= K1- K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1=kalium yang dibutuhkan
K0=serum kalium yang terukur
BB=Berat Badan (kg)
KONSEP KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat pembedahan pada daerah abdomen
- Gaya hidup: diit rendah serat, olahraga
b. Pola nutrisi metabolic
- Demam
- Anoreksia
- Diaphoresis
- Pucat
- Leukositosis
- Distensi abdomen
- Mual, muntah
- Asidosis
- Diit rendah serat
c. Pola aktivitas dan latihan
- Demam
- Hipotensi
- Takikardi
- Tekanan darah menurun (hipotensi)
- Malaise
- Sesak nafas
- Mudah lelah
d. Pola Eliminasi
- Kegagalan mengeluarkan feses
- Tidak ada flatus pada awal peningkatan bising usus, penurunan
peristaltik usus
- Tidak ada flatus jika obstruksi total
- Tidak BAB atau BAB cair bila illeus partial
- Darah pada feses atau perubahan pola BAB (pada CA colon)
- Kaji total output waspada terhadap syok dan dehidrasi
- Kaji jumlah urine tanda- tanda retensi urine
e. Pola persepsi kognitif dan sensori
- Nyeri abdomen
f. Pola tidur dan istirahat
- Tidur dan istirahat terganggu akibat nyeri pada abdomen dan
sering muntah
Diagnosa Keperawatan
Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang
ditandai dengan adanya mual, muntah, demam dan diaforesis.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
c. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi
motilitas usus.
Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
d. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Perencanaan Keperawatan
Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang
ditandai dengan adanya mual, muntah, demam dan diaforesis.
HYD: Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi
Kriteria hasil:
- Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD: 110/70
-120/80 mmHg)
- Intake dan output cairan seimbang
- Turgor kulit elastic
- Mukosa lembab
- Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5
mmol/L, Cl: 94-111 mmol/L).
Intervensi :
1. Kaji kebutuhan cairan pasien
R/:untuk mengetahui kebutuhan cairan pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital: N, TD, P, S
R/:Perubahan yang drastis pada tanda-tanda vital merupakan
indikasi kekurangan cairan.
3. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda syok
R/:kekurangan cairan dan elektrolit dapat mempengaruhi tingkat
kesadaran dan mengakibatkan syok.
4. Observasi bising usus pasien tiap 1-2 jam
R/: Menilai fungsi usus
5. Monitor intake dan output secara ketat
R/: untuk menilai keseimbangan cairan
6. Pantau hasil laboratorium serum elektrolit, hematokrit
R/: Untuk menilai keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang
dilakukan: pemasangan NGT dan puasa.
R/: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta
kerjasama antara perawat-pasien-keluarga.
8. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian terapi intravena
R/: Untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan : pola nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler,
frekuensi: 18-20x/menit
Intervensi :
1. Observasi TTV: P, TD, N
R/: Perubahan pada pola nafas akibat adanya distensi abdomen dapat
mempengaruhi peningkatan hasil TTV.
2. Kaji status pernafasan: pola, frekuensi, kedalaman
R/: Adanya distensi pada abdomen dapat menyebabkan perubahan pola
nafas.
3. Kaji bising usus pasien
R/: Berkurangnya/hilangnya BU menyebabkan terjadi distensi abdomen
sehingga mempengaruhi pola nafas.
4. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
R/: Untuk mengurangi penekanan pada paru akibat distensi abdomen.
5. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia jaringan perifer: cianosis
R/: Perubahan pola nafas akibat adanya distensi abdomen dapat
menyebabkan oksigenasi perifer terganggu yang dimanifestasikan
dengan adanya cianosis.
6. Monitor hasil AGD
R/: Untuk mendeteksi adanya asidosis respiratorik.
7. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyebab terjadinya
distensi abdomen yang dialami oleh pasien.
R/: Untuk meningkatkan pengetahuan dan kerjasama dengan keluarga
pasien.
8. Laksanakan program medic pemberian terapi oksigen
R/: Untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien.
b. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi
motilitas usus.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola
eliminasi kembali normal.
Kriteria hasil: Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi
lembek, BU normal: 5-35 x/menit, tidak ada distensi abdomen.
Rencana tindakan:
1. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi feces
R/: Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan yang terjadi pada
eliminasi fekal.
2. Auskultasi bising usus
R/: Untuk mengetahui normal atau tidaknya pergerakan usus.
3. Kaji adanya flatus
R/: Adanya flatus menunjukan perbaikan fungsi usus.
4. Kaji adanya distensi abdomen
R/: Gangguan motilitas usus dapat menyebabkan akumulasi gas di dalam
lumen usus sehingga terjadi distensi abdomen.
5. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga penyebab terjadinya
gangguan dalam BAB
R/: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta untuk
meningkatkan kerjasana antara perawat-pasien dan keluarga.
6. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar (Laxatif)
R/: Untuk membantu dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi
Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil: pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan;
menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan
relaks.
Intervensi:
1. Observasi TTV: N, TD, HR, P tiap shif
R/: Nyeri hebat yang dirasakan pasien akibat adanya distensi abdomen
dapat menyebabkan peningkatan hasih TTV.
2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik dan skala nyeri yang dirasakan
pesien sehubungan dengan adanya distensi abdomen
R/: Untuk mengetahui kekuatan nyeri yang dirasakan pasien dan
menentukan tindakan selanjutnya guna mengatasi nyeri.
3. Berikan posisi yang nyaman: posisi semi fowler
R/: Posisi yang nyaman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan
pasien
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi tarik nafas dalam saat merasa
nyeri
R/: Relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
5. Anjurkan pasien untuk menggunakan tehnik pendalihan saat merasa nyeri
hebat.
R/: Untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.
6. Kolaborasi dengan medic untuk terapi analgetik
R/: Analgetik dapat mengurangi rasa nyeri
c. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan: Kecemasan teratasi
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat
ini dan mendemonstrasikan keterampilan koping positif.
Intervensi :
1. Observasi adanya peningkatan kecemasan: wajah tegang, gelisah
R/: Rasa cemas yang dirasakan pasien dapat terlihat dalam ekspresi
wajah dan tingkah laku.
2. Kaji adanya rasa cemas yang dirasakan pasien
R/: Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien.
3. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang
akan dilakukan sehubungan dengan keadaan penyakit pasien
R/: Dengan mengetahui tindakan yang akan dilakukan akan mengurangi
tingkat kecemasan pasien dan meningkatkan kerjasama
4. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut atau
kecemasan yang dirasakan
R/: Dengan mengungkapkan kecemasan akan mengurangi rasa takut/cemas
pasien
5. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
R/: Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat mengurangi stress pasien
berhadapan dengan penyakitnya
6. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan support
kepada pasien
R/: Support system dapat mengurani rasa cemas dan menguatkan pasien
dalam memerima keadaan sakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alief. M, dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Brunner & Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Black & Hawk, (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Managemen for
Positive Outcomes. Fifth Edition, Vol 1. St. Louis Missouri: Mosby.
Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis
Missouri: Elsevier Sounders
Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St.
Louis Missouri: Mosby Elsevier.
Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6, Volume1. Jakarta: EGC.
http://www.google.co.id.
http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.html1
-----------------------
Intravascular space
5 %
Interceluller space
40 % (100)
Extracelluler space
20 % ( 40 )
Water
60%(100)
Tissue
40 %
Body
100 %
Intestinal space
15 %