1. Definisi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Rastiti,2010) Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala (http:// haerilanwar.blogspot.co.id, 2012) 2012) Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antarserangan.
2. Etiologi
a. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik b. Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
c. Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells d. Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum e. Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia f. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya toksolakmosis
g. Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural h. Neoplasma otak dan selaputnya i. j.
Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
k. Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan lain-lain.
3.Faktor Presipitasi
a. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
b. Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
c. Faktor mental: stress, gangguan emosi
4.Patofisiologi
Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksis, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensi membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga menifestasi klinisnya pun muncul sewaktuwaktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awaswaspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak dari pada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatrits setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensi membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya simptomatik. Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh Nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti
ini merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajad kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh Karena sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.
PATHWAY Trauma lahir, cidera kepala, demam, gangguan metabolik, tumor otak
Faktor idiopatik
Kerusakan Neuron
Ketidak seimbangan neurotransmiter
Stabilisasi membran sinaps
Depolarisasi Asetikolin (zat eksitatif
Invlux Na ke intraseluler
GABA Zat Inhibitif
Na dalam Intra sel berlebihan G3 polarisasi (hypo/hiper polarisasi
Kerusakan berfikir
Ketidak seimbangan lektrolit G3 Persepsi Sensori
G3b Depolarisasi (ke listrik syaraf
KEJANG
Isolasi Sosial Umum
Parsial
Sederhana
Komplex Absen
Resti Injuri
Mioklonik
Tonik Klonik
Atonik
Kesadaran
G3 peredaran darah
Aktivitas otot
Reflek menelan
Pen CO
Metabolisme
Akumulasi mucus
Permeabilitas ka iler
G3 bersihan jalan nafas inefektif Lidah melemah, dan menutup saluran trakea
Gangguan perfusi jaringan
Keb O2
Suhu tubuh/ Hipertermi
Asfiksia Kerusakan Neuron Otak
G3 nervus V, IX, X
5. Manifestasi Klinis
Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International League against Epilepsi (ILAE), klasifikasi epilepsy sebagai berikut: 1. Sawan parsial (fokal,local) a) Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal
Dengan gejala motorik o
Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
o
Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
o
Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
o
Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
o
Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan bangkitan yang disertai vertigo o
Somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuktusuk jarum
o
Visual: terlihat cahaya
o
Auditoris: terdengar sesuatu
o
Olfaktoris: terhidu sesuatu
o
Gustatoris: terkecap sesuatu
o
Disertai vertigo
Dengan
gejala
atau
tanda
gangguan
saraf
otonom
(sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) o
Disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat
o
Dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihat lagi.
o
Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o
Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
o
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar
o
Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b) Sawan parsial komplek
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. o
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
o
Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegangmegang kancing baju, berjlan, mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak permulaan serangan. o
Hanya dengan penurunan kesadaran.
o
Dengan automatisme.
o
Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif) a) Sawan Lena (Absance) Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
Dengan automatisme.
Dengan komponen autonom.
b) Sawan Mioklonik Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur. c) Sawan klonik Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot. Dijumpai tertutama sekali pada anak. d) Sawan tonik Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak. e) Sawan tonik-klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal pegal, lelah, nyeri kepala. f) Sawan atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak. 3. Sawan tak tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau pernafasan yang mendadak berhenti sementara.
6.Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi
(EEG)
merupakan
pemeriksaan
penunjang
yang
informative yang dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos kepala, yang berguna untuk mendeteksinya adanya fraktur tulang tengkorak; CTScan, yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematom, tumor, hidrosefalus, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelaianan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia dan lain-lain.
7. Diagnosis Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur, migren.
8.Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan pengobatan psikososial. 1. Pengobatan medikamentosa Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, mka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan: a) Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan. b) Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama. c) Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan. d) Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat. e) Dosis obat disesuaikan secara individual. f) Evaluasi hasilnya. Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
Faktor emosional sebagai pencetus.
Termasuk intractable epilepsi.
g) Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 – 3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya. 2. Pengobatan Psikososial. Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani
pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal. 3. Penatalaksanaan status epileptikus a) Lima menit pertama
Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b) Menit ke-6 hingga ke-9 Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena. c) Menit ke-10 hingga ke-20 Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin. d) Menit ke 20 hingga ke-60 Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian. e) Menit setelah 60 menit Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang : a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
(pasien
yang
mempunyai
aura/penanda
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari
ancaman
kejang
tempat yang aman
dan pribadi b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras. c) Lepaskan pakaian yang ketat d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang. e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur. f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit. g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini. h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan.
9.Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2 tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien
tidak mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan menglami remisi meskipun minum obat teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.
10. Diagnosa keperawatan
a. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder terhadap kejang
b. Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran dan kejang
c. Koping tidak efektif berhubungan dengan respon terhadap hal-hal sekunder terhada epilepsy
d. Defisit pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan pasien berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah lupa
e. Potensial komplikasi : kejang
11. Rencana Keperawatan No. Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Keperawatan
1.
Resiko aspirasi b/d Setelah tingkat
kesadaran tindakan
dilakukan keperawatan
sekunder kejang
ter-hadap selama ...x 24 jam, klien diharapkan
terhadap reflek batuk, menelan
tidak
dan gag reflek
mengalami aspirasi.
Dengan kriteria : Klien
status
pernapasan,
Beri posisi 90º atau sesuaikan keadaan
untuk
mencegah aspirasi Kebersihan
Kaji
pertahankan jalan napas
mengatakan
cara-cara
Kaji tingkat kemampuan klien
Jaga kesiapan alat suction mulut
kolien terjaga Tidak ada tanda-tan-
Cek posisi NGT dan residu NGT sebelum memberi makan
Potong makanan dalam bentuk kecil agar mudah ditelan
da tejadinya aspirasi
Auskultasi
suara
napas
klien
sebelum dan sesudah suction
Gunakan universal precaution : sarung tangan, masker, kacamata
Anjurkan klien untuk napas dalam sebelum
dilakukan
suction,
anjurkan untuk rileks
Beri tambahan oksigen selama suction
Monitor
status
oksigen
dan
hemodinamik klien
Hentikan
suction
dan
beri
tambahan
oksigen
jika
klien
bradikardi
2.
Resiko trauma pada
Setelah
saat
tindakan
serangan
b.d
dilakukan keperawatan
penurunan
tingkat
selama ...x 24 jam, tidak
kesadaran dan kejang
terjadi trauma pada klien
tonik-klonik
.
sejauhmana
Modifikasi
lingkungan
memi-nimalkan
Dengan kriteria : Kulit
klien
resiko
trauma
benda tajam dan mudah terbakar)
intak
Kaji
kemampuan
klien
untuk
melakukan mobilisasi
hematom)
terjadi
luka
Jelaskan pada klien dan keluarga efek dari serangan epilepsi yang
bakar
memungkinkan klien cidera
Tdak terjadi fraktur
dan
cara
Setelah
respon terhadap hal-
tindakan
hal sekunder terhada
selama
...x
dilakukan
epilepsi
koping
klien
keperawatan 24
Anjurkan
untuk
pada
klien
klien
untuk
jam,
menjadi
Dorong klien atau keluarga untuk mengakui
dan
mendiskusikan
pikiran dan perasaan
adekuat
Anjurkan pada klien untuk mengidentifikasi
nilai
yang
disumbangkan untuk konsep diri
Dengan kriteria :
Klien mampu mepola
aman
bedrest pada fase akut
mengantisipasi-nya
Koping defensif b.d
yang
epilepsi
askan resiko jika terjadi serangan
Jelaskan pada klien aktivitas apa saja
Kien mampu menje-
ngenal
untuk
(pasang pagar pengaman, jauhkan
(tidak ada luka, lecet atau
Tdak
kebutuhan
keamanan klien
3.
Kaji
koping
Anjurkan pada klien untuk mengidentifikasi dirinya
perasaan
tentang
efektif dan tidak efektif
Beri
fasilitas
klien
untuk
mengidentifikasi pola respon yang
Klien lebih tenang
digunakan untuk berbagai situasi Klien
mengakui
realita
situasi
ungkapkan
kesehatannya
emosi
verbal
klien
untuk situasi
yang
mengakibatkan cemas dan cara menanggulanginya
Klien mampu meng-
diri
Bantu
mengidentifikasi
de-
ngan positif
ungkapkan
cara
penolakannya terhadap realitas
Klien mampu mengekspresikan
Anjurkan pada klien untuk meng-
penerimaan
terhadap
penyesuaian
diri
klien
untuk merubah body image
keter
batasan diri
Hargai
Dorong
klien
mengidentifikasi
untuk penjelasan
realitas dari perubahan peran
Ciptakan lingkungan yang tenang
Beri pujian tindakan positif yang dilakukan klien
4.
Defisit
pengetahuan Setelah
ten-tang pengobatan
penyakit, penjelasan
dilakukan selama
...x
dan pertemuan, pe-ngetahuan
klien
perawatan klien b.d klien tentang pe-nyakit, keterbatasan kognitif, pengobatan kurang paparan atau mudah lupa
dan
pe-
Kaji
tingkat
pengetahuan
dan
pemahaman klien tentang epilepsi
rawatan klien meningkat
Kaji
kesiapan
klien
dalam
mempelajari informasi spesifik
Dengan kriteria :
Tentukan kebutuhan pembelajaran
Sediakan
lingkungan
yang
kondusif untuk pembelajaran Klien dan keluarga
mam-pu penger-tian,
menjelaskan
pada klien
proses
penyakit,
Sediakan waktu untuk bertanya
penyebab,
Nilai tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya
tanda dan gejala, efek
Jelaskan tanda dan gejala epilepsi
penyakit,
tindakan
Diskusikan perubahan gaya hidup
pencegahan, pe-ngobatan
yang mungkin dapat mencegah
dan perawatan epilepsi
komplikasi
dimasa
yang
akan
datang
Diskusikan pilihan-pilihan terapi pe-ngobatan dan perawatan
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, Arif; dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta: FKUI. 2. Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: EGC. 3. Helen Lewer. 2005. Learning to Care on the Paediatric Ward : terjemahan. Jakarta: EGC. 4. https://rastirainia.wordpress.com/2010/02/08/laporan-asuhan-keperawatan-anakdengan-epilepsi/ diakses tanggal 30 desember 2015 jam 20.00 WIB 5. http://keperawatanhaerilanwar.blogspot.co.id/2012/08/asuhan-keperawatanklien-dengan-epilepsi.html diakses tanggal 30 desember 2015 jam 20.00 WIB 6. Joane Mc closkey dkk. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi 5. United States of America : Mosby Elsivier. 7. Judith M. Wilkinson, Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Intervention and NOC Outcomes, Upper Saddle River, New Jersey, 2005 8. Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Edisi 4. United States of America : Mosby Elsivier 9. Nanda international. 2012. Diagnosis Keperawatan. Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.