MAKALAH FITOKIMIA (ABKC 3701)
SENYAWA METABOLIT SEKUNDER “TERPENOID DAN STEROID”
Dosen Pembimbing: Drs. Syahmani, M.Si
Oleh: Nur Husnina Lathifah (A1C313213)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN OKTOBER 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat rahmat, hidayah, serta karunia-Nya jualah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Senyawa Terpenoid dan Senyawa Steroid”. Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Syahmani selaku dosen mata kuliah Fitokimia yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan masukan kepada kami. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik dari kalian sangat kami harapkan agar makalah ini dapat sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Angkatan 2013.
Banjarmasin, 13 Oktober 2016
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari molekul isoprena CH2 =C(CH3)−CH = CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Kemudian senyawa itu dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut; dua (C 10), tiga (C15), empat (C20), enam (C30). Atau delapan (C40) satuan. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena yang lebih sukar menguap, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap (C20), sampai ke senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid (C40). Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan degan memakai eter minyak bumi, eter atau kloroform, dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina memakai pelarut di atas. Tetapi, setiap kali ada kesukaran sewaktu mendeteksi dalam skala mikro karena semuanya (kecuali karotenoid) tidak berwarna dan tidak ada pereaksi kromogenik semesta yang peka. Keisomeran merupakan hal yang umum pada terpenoid, dan pasangan isomer dapat terisolasi dari tumbuhan; contohnya geraniol dan nerol, keduanya monoterpena. Kebanyakan terpenoid merupakan senyawa alisiklik, dan karena cincin sikloheksana biasanya terpilin membentuk ‘kursi’, maka mungkin terdapat komformasi geometrik yang berbeda, bergantung pada penyulingan pada cincin. Karena itu, sterekimia terpenoid siklik tidak dapat dilepaskan dan sering kali sukar ditentukan. 1.2
Rumusan Masalah 2. Apa yang dimaksud dengan senyawa terpenoid? 3. Apa yang dimaksud dengan senyawa steroid? 4. Apa saja kandungan terpenoid pada wortel ? 5. Apa saja kandungan terpenoid pada minyak atsiri?
6. Apa saja kandungan steroid pada batang kulit buah maja? 7. Bagaimana proses skrining, ekstraksi, dan pemisahan terpenoid pada wortel? 8. Bagaimana proses skrining, ekstraksi, dan pemisahan terpenoid pada minyak atsiri? 9. Bagaimana proses skrining, ekstraksi, dan pemisahan steroid pada batang kulit buah maja? 10. Bagaimana stektropis UV-VIS pada wortel? 11. Bagaimana stektropis UV-VIS pada minyak atsiri? 12. Bagaimana stektropis UV-VIS pada batang kulit buah maja?
1.3
Tujuan 1.Untuk mengetahui senyawa terpenoid. 2. Untuk mengetahui senyawa steroid. 3. Untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung pada wortel. 4. Untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung pada minyak atsiri. 5. Untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung pada batang kulit buah maja. 6. Untuk bisa menjelaskan proses proses skrining, ekstraksi, dan pemisahan terpenoid pada wortel. 7. Untuk bisa menjelaskan proses skrining, ekstraksi, dan pemisahan terpenoid pada minyak atsiri. 8. Untuk bisa menjelaskan proses skrining, ekstraksi, dan pemisahan steroid pada batang kulit buah maja. 9. Untuk bisa menjelaskan stektropis UV-VIS pada wortel. 10. Untuk bisa menjelakan stektropis UV-VIS pada minyak atsiri. 11. Untuk bisa menjelaskan stektropis UV-VIS pada batang kulit buah maja.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Senyawa Terpenoid Senyawa-senyawa yang termasuk dalam kelompok terpenoid diklasifikasikan berdasarkan jumlah atom karbon penyusunnya. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Klasifikasi terpenoid Kelompok Terpenoid
Jumlah atom C
Monoterpen
10
Seskuiterpen
15
Diterpen
20
Triterpen
30
Tetraterpen
40
Politerpen
40
Sebagaimana penjelasan di atas, senyawa terpenoid tersusun atas karbon-karbon dengan jumlah kelipatan lima. Diketahui juga bahwa sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C5 yang disebut unit isopren. Disebut unit isopren karena kerangka karbon C5 ini sama seperti senyawa isopren. Dari beberapa stuktur senyawa terpenoid yang telah berhasil didentifikasi, dapat diketahui bahwa unit-unit isopren tersebut saling berkaitan secara teratur di mana “kepala” dari unit yang satu berikatan dengan “ekor” dari unit yang lain. Keteraturan mengenai stuktur terpenoid tersebut dirumuskan dalam suatu aturan yang disebut kaidah isopren. Kaidah ini menyatakan bahwa stuktur molekul terpenoid dibangun oleh dua atau lebih unit isopren yang saling berikatan “kepala-ke-ekor”. Kaidah ini merupakan ciri khas senyawa golongan terpenoid sehingga dapat digunakan sebagai hipotesis dalam menentukan/menentukan stuktur suatu senyawa terpenoid. Kaidah isopren tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh senyawa terpenoid berikut ini :
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa stuktur senyawa beberapa terpenoid ada yang tidak mengikuti kaidah isopren ini. Stuktur yang teratur dari terpenoid tersebut tentu ada hubungannya dengan asal-usul senyawa ini. Pada mulanya, para ahli kimia mengajukan hipotesis bahwa biosintesis terpenoid in vivo dalam jaringan tanaman melibatkan secara langsung senyawa isopren. Akan tetapi, kelemahan utama dari dugaan ini adalah bahwa isopren tidak pernah ditemukan dialam. Masalah ini akhirnya dapat dijawab oleh J.W. Cornforth pada tahun 1959 yang berhasil menemukan dua bentuk isopren aktif, yaitu isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Kedua isopren aktif ini selalu ada dalam jaringan untuk proses biosintesis terpenoid oelh suatu organisme. Penelitian-penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa IPP dan DMAPP berasal dari asam mevalonat sedangkan satu-satunya sumber karbon bagi asam mevalonat adalah asam asetat atau dalam bentuk aktifnya, asetil koenzim A. Reaksi biosintesis senyawa terpenoid adalah sebagai berikut.
Hemiterpenoid, senyawa dengan kerangka isopren, tetapi tidak mempunyai kaitan biogenetik dengan terpenoid. Monoterpen, terbentuk dari dua satuan isopren dan membentuk stuktur siklik atau rantai terbuka, merupakan komponen utama minyak atsiri. Benbentuk cair, tidak berwarna, tidak larut dalam air, berbau harum dan beberapa bersifat optis aktif. Mudah mengalami reaksi penataan ulang. Beberapa kerangka utama senyawa golongan monoterpen adalah kerangka naftalen, kerangka azulen. Diterpen, berasal dari empat satuan isopren. Senyawa ini ditemukan dalam damar dan getah berupa gom. Kerumitan dan kesulitan dalam pemisahan menyebabkan hanya sedikit senyawa golongan diterpenoid yang telah diketahui stukturnya, dibandingkan dengan senyawa terpenoid yang lain. Stukturnya bervariasi dari mulai yang asiklik hingga tetrasiklik. Triterpen, dalam jaringan tumbuhan dapat dijumpai dalam bentuk bebasnya, tetapi juga banyak dijumpai dalam bentuk glikosidanya. Triterpenoid asiklik yang
pentinghanya skualen yang dianggap sebagai senyawa antara dalam biosintesis steroid. Sejauh ini tidak ditemukan senyawa triterpenoid dengan stuktur monosiklik dan bisiklik. Triterpenoid trisiklik jarang dijumpai, tetapi yang tetrasiklik cukup dikenal. Triterpenoid yang paling tersebar luas adalah triterpenoid pentasiklik. Beberapa kerangka yang paling banyak dijumpai pada senyawa golongan triterpenoid adalah : Tetraterpen, tidak pernah mempunyai sistem cincin kondensasi yang besar. Senyawa golongan ini dapat berupa senyawa asiklik, monosiklik atau bisiklik. Yang paling dikenal dari golonan ini adalah karotenoid, suatu pigmen berwarna kuning sampai merah yang terdapat pada semua tumbuhan dan dalam berbagai jaringan. Karotenoid yang paling tersebar luas adalah 𝛽-karoten. Turunan teroksigenasi dari hidrojarbon karoten adalah xantofil. Dikenal juga tetraterpenoid yang tidak berwarna. Perbedaan ini disebabkan oleh ada atau tidaknya ikatan rangkap dua terkonjugasi. Politerpen, yang terpenting dalam golongan ini adalah karet, yang diduga berfungsi sebagai zat pembawa dalam biosintesis polisakarida tertentu dalam jaringan tanaman. Sterekimia pada semua ikatan rangkap dua ditunjukkan sebagai cis. Guta dan bata adalah
poliisopren juga tetapi stukturnya semua trans. Berat molekul guta
kebanyakan lebih rendah daripada karet. Karet dapat dibedakan dari guta berdasarkan kekenyalan dan kelarutannya yang tidak sempurna dalam hidrokarbon aromatik.
2.2 Senyawa Steroid Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan stukturnya terdiri atas
17
atom
karbon
dengan
membentuk
stukturnya
dasar
1,2
siklopentenoperhidrofenantren. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang pengelompokkannya didasarkan pada efek fisiologis yang dapat ditimbulkan. Ditinjau dari segi stukturnya, perbedaan antara berbagai kelompok ini ditentukan oleh jenis substituen R1, R2, R3 yang terikat pada kerangka dasar sedangkan perbedaan antara senyawa yang satu dengan senyawa yang lain dari satu kelompok ditentukan oleh panjangnya rantai karbon substituen, gugus fungsi yang terdapat dalam substituen, jumlah dari posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap pada kerangka dasar serta konfigurasi pusat asimetris pada kerangka dasar. Kelompok-kelompok tersebut adalah sebagai berikut.
Sterol. Sebenarnya nama sterol dipakai khusus untuk steroid yang memilki gugus hidroksi, tetapi karena praktis semua steroid tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksi pada posisi C-3, maka semuanya disebut sterol. Selain dalam bentuk bebasnya, sterol juga sering dijumpai sebagai glikosida atau sebagai ester dengan asam lemak. Glikosida sterol sering disebut sterolin. Asam empedu Hormon kelamin Hormon adrenokortikoid Aglikon kardiak dan bentuk glikosidanya yang dikenal sebagai glikosida jantung atau kardenolida. Tumbuhan yang mengandung senyawa ini telah digunkan sejak zaman prasejarah sebagai racun. Glikosida ini mempunyai efek kardiotonik yang khas. Keberadaan senyawa ini dalam tumbuhan mungkin memberi perlindungan kepada tumbuhan dari gangguan beberapa serangga tertentu. Sapogenin dan bentuk glikosidanya yang dikenal sebagai saponin. Glikosilasi biasanya terjadi pada posisi C-3. Saponin adalah senyawa yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air (karena sifatnya yang menyerupai sabun, maka dinamakan saponin). Pada konsentrasi rendah, sponin dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam bentuk larutan yang sangat encer, saponin sangat beracun untuk ikan. Secara biogenetik, steroid yang terdapat di alam berasal dari triterpen. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari lanosterol, sedangkan yang terdapat dalam jaringan tumbuhan berasal dari sikloartenol, stelah kedua triterpen ini mengalami perubahan. Reaksi biosintesisnya dapat dilihat pada gambar 1.5. Molekul steroid relatif datar/planar. Terdapat dua kelompok besar steroid berdasarkan konfigurasi cincin-cincinnya. Jika cincin A-B saling berposisi trans, maka disebut deret 5𝛼. Sebaliknya jika posisi cincin A-B cis, maka disebut deret 5𝛽, atom H pada C-5 berkonfigurasi 𝛼, sedangkan pada deret 5𝛽, atom H pada C-5 berkonfigurasi 𝛽. Pada kedua kelompok tersebut, hubungan antara cincin B-C dan cincin C-D adalah trans. Pada semua steroid alam peleburan cincin B-C adalah trans. Peleburan cincin C-D trans ditemukan pada hampir sebagian besar steroid alam, kecuali kelompok aglikonkardiak dimana hubungan antara cincin C-D adalah cis. Dengan demikian, sterokimia steroid alam mempunyai suatu pola umum, yaitu substituen-substituen pada titik-titik temu dari
cincin disepanjang ”tulang punggung” molekul C (5-10), (9-8), (14-13) saling berposisi trans.
Nama kerangka Hidrokarbon Androstan Pregnan Kolan Kolestan Ergostan stigmastan
R H CH2CH3 CH(CH3)(CH2)2CH3 CH(CH3)(CH2)2CH(CH3)2 CH(CH3)(CH2)2CH(CH3)CH(CH3)2 CH(CH3)(CH2)2CH(C2H5)CH(CH3)2
Dalam pemberian nama steroid, konfigurasi atom C-5 harus ditunjukkan dengan mennetukan apakah steroid tersebut termasuk dalam deret 5𝛼 atau 5𝛽. Sterokimia substituen yang lain dianggap sama dengan hidrokarbon induknya. Jika terdapat gugus fungsi yang lain harus ditunjukkan dengan jalan memberi awalan atau akhiran pada nama hidrokarbon induk disertai dengan posisi dan konfigurasi jika memungkinkan. 2.3 Kandungan Terpenoid Pada Wortel Wortel (Daucus carota L.) adalah tumbuhan jenis sayuran umbi yang biasanya berwarna kuning kemerahan atau jingga kekuningan dengan tekstur serupa kayu (Malasari 2005). Bagian yang dapat dimakan dari wortel adalah bagian umbi atau akarnya. Tanaman ini menyimpan cadangan makanan di dalam umbi. Batangnya pendek, memiliki akar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang. Kulit umbi wortel tipis dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis (Makmun 2007). Berikut disajikan gambar bagian-bagian penampang wortel pada gambar 1.
Gambar 1. Bagian-bagian penampang wortel Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1997) kantong minyak dalam ruang antarsel perisikel pada umbi wortel mengandung minyak esensial yang menyebabkan bau dan aroma yang khas wortel. Akar tunggang menyimpan sukrosa dan gula lain dalam jumlah yang cukup banyak. Menurut Alabran dan Mabrouk (1973), kandungan gula dan asam amino pada wortel tergantung dari jenis varietas wortel, lingkungan, pertaniannya dan penyimpanannya. Gula-gula yang terdapat pada wortel umumnya terdiri dari sukrosa, glukosa, fruktosa dan maltosa. Karotenoid merupakan pigmen alami yang memberikan warna kuning, jingga atau merah. Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430-480 nm (Fennema 1996). Karotenoid terletak pada plastid yang tidak berwarna hijau, pada kloroplas, kromoplas pada bunga, buah yang matang, beberapa akar dan umbi serta biji/benih. Karotenoid ditemukan pada tanaman tingkat tinggi, alga, jamur, bakteri, dan jaringan yang dapat berfotosintesis. Karotenoid tidak selalu berdampingan dengan klorofil, tetapi sebaliknya klorofil selalu disertai dengan karotenoid. Pada tanaman dan buah-buahan yang kandungan karbohidratnyarendah, biasanya kandungan karotenoidnya juga rendah. Selain itu karotenoid juga terdapat pada hewan (Gross 1991). Menurut Kjellenberg (2007), kadar karotenoid pada wortel banyak terdapat di floem daripada di xilem. Karotenoid dibagi menjadi dua kelompok. Pertama karoten atau hydrocarotenoids, yang mengandung karbon dan hidrogen. Dan yang kedua, xanthophylls atau oxycarotenoids, merupakan turunan dari karoten. Terdapat enam jenis karoten pada wortel, antara lain α-, β-, γ- and ξ-karoten, lycopene and β-zeacarotene. Jenis yang paling dominan pada wortel warna orange dan kuning adalah α- and β-karoten, selain itu pada wortel kuning juga mengandung xanthophylls seperti lutein. Pada wortel merah mengandung likopen dan pada wortel ungu terdapat antosianin. Gross (1991) mengemukakan bahwa karotenoid merupakan lipida, oleh karena itu karotenoid larut dalam lipida lainnya dan larut dalam pelarut lemak, seperti aseton, alkohol, dietil eter,
dan kloroform. Karoten larut dalam pelarut non polar seperti petroleum eter dan heksan. Sedangkan xantofil larut dengan baik dalam pelarut polar seperti alkohol. Terdapat beberapa macam karotenoid yang penting dan mempunyai hubungannya dengan gizi, seperti tertera dalam Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis karotenoid yang memiliki aktivitas vitamin A Jenis Karotenoid α- karoten 𝛽 − 𝑘𝑎𝑟𝑜𝑡𝑒𝑛 𝛾 − 𝑘𝑎𝑟𝑜𝑡𝑒𝑛 𝛽 − 𝑐𝑟𝑦𝑡𝑜𝑥𝑎𝑛𝑡ℎ𝑖𝑛 Sumber : Dietary Reference Intakes (2001)
Aktivitas Vitamin A (%) 4,17 8,33 4,17 4,17
Keempat karoten tersebut dapat berfungsi sebagai prekusor vitamin A, tetapi yang paling efektif dari zat-zat tersebut adalah 𝛽 -karoten karena molekulnya bersama air dapat diubah menjadi dua vitamin A oleh enzim 𝛽 - karoten-15,15’-dioxygenase di dalam usus, sedangkan dua yang lainnya hanya dapat menghasilkan satu vitamin A (Hurst 2002). Struktur β-karoten dapat dilihat pada Gambar 3.
β-karoten merupakan molekul asimetris, yaitu separuh bagian kiri merupakan bayangan cermin dari bagian kanannya. β-karoten mempunyai 40 atom karbon, yang terdiri dari 8 unit isoprene dan 11 ikatan rangkap, serta mempunyai dua cincin β-ionon yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya (Hurst 2002). Gross (1991) mengatakan bahwa β-karoten dengan dua cincin β merupakan provitamin A dengan aktivitas yang paling tinggi. Menurut Andarwulan dan Koswara (1992), perbedaan antara satu provitamin A dengan yang lainnya terletak pada struktur cincin yang terdapat dikedua sisi rantai alifatik. β-karoten mempunyai dua struktur cincin βionon, α-karoten mempunyai satu struktur cincin β-ionon dan sisi lainnya terdapat struktur cincin α-ionon (ikatan rangkap pada posisi 4 dan 5), γ-karoten pada satu sisi mempunyai struktur cincin β-ionon sedangkan pada sisi lainnya tidak mempunyai struktur cincin, tetapi memiliki jumlah atom karbon yang sama dengan provitamin A lainnya.
Senyawa β-karoten jauh lebih aman dikonsumsi daripada vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten ini disebut provitamin A. Untuk menyatakan aktivitas vitamin A dari karotenoid dalam diit secara umum, FAO/WHO pada tahun 1967 memperkenalkan konsep retinol equivalent (RE) yang kemudian juga diadopsi oleh National Research Council (1989). Konsep tersebut menyatakan bahwa satu RE setara dengan 12 μg β- karoten. Pada wortel terdapat kandungan karotenoid. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1997), α-dan β-karoten adalah pigmen karotenoid utama yang menyebabkan warna kuning dan jingga. β- karoten biasanya mencapai sedikitnya 50% dari kandungan total karotenoid. Perbandingan α-dan β-karoten biasanya sekitar 1:2. Karoten tidak tersebar merata dalam umbi. Pembentukan karoten berlangsung dari jaringan ujung proksimal ke ujung distal akar tunggang. Perbedaan kandungan karoten juga Perbedaan kandungan karoten juga dipengaruhi oleh suhu, kematangan tanaman, dan oleh kultivar. Kandungan karoten pada kultivar wortel yang paling banyak ditanam berkisar dari 60 hingga lebih dari 120 𝛽 g/g bobot segar. Selain itu pembentukan karoten optimum pada suhu 16-250C, dan lebih rendah pada suhu di bawah atau di atas kisaran tersebut. Pembentukan pigmen terjadi setelah pertumbuhan umbi, sehingga umbi muda berwarna pucat. Dengan pertumbuhan yang terus berlangsung, karoten terakumulasi dan mencapai konsentrasi maksimum setelah tanaman berumur sekitar 90-120 hari, dan selanjutnya berhenti atau secara perlahan berkurang (Rubatzky & Yamaguchi 1997). 2.3.1 Kandungan Terpenoid Pada Minyak Atsiri Pada minyak atsiri
yang bagian utamanya terpenoid, biasanya terpenoid itu
terdapat pada fraksi atsiri yang tersuling-uap. Zat inilah penyebab wangi, harum, atau bau yang khas pada banyak tumbuhan. Secara ekonomi senyawa tersebut penting sebagai dasar wewangian alam dan juga untuk rempah-rempah serta sebagai senyawa cita-rasa di dalam industri makanan. Suku tumbuhan yang kaya akan minyak atsiri ialah suku Compositae, Matricaria, Labiatae; misalnya Mentha spp., Myrtaceae, Eucalyptus, Pinaceae, Pinus, Rosaceae, bunga mawar, Rutaceae, Citrus, dan Umbelliferae,
Pimpinella anisum, Carvum carvi, Cuminum cyminum, Anethum, dll. Golongan senyawa lainnya mungkin terdapat bersama-sama dengan terpena di dalam minyak atsiri. Misalnya, bau senyawa yang mengandung belerang sudah merupakan hal umum pada tumbuhan suku Cruciferae dan dalam Alium, Liliaceae. Terpena juga sering kali terdapat dalam
fraksi
yang berbau,
bersama-sama
dengan
senyawa
aromatik
seperti
fenilpropanoid. Secara kimia, terpena minyak atsiri dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu monoterpena dan seskuiterpena, berupa isoprenoid C10 dan C15 yang jangka titik didihnya berbeda (titik didih monoterpena 140-180oC, titik didih seskuiterpena > 200oC). Pertamatama, monoterpena dapat dipilah lebih lanjut menjadi tiga golongan, bergantung pada apakah struktur kimianya asiklik (misalnya geraniol), monosiklik (misalnya limonena), atau bisiklik (misalnya 𝛼- dan 𝛽- pinena). Dalam setiap golongan, monoterpena dapat berupa hidrokarbon tak jenuh, (misalnya limonena) atau dapat mempunyai gugus fungsi dan berupa alkohol (misalnya mentol), aldehida, atau keton (misalnya menton, karvon). Monoterpena lakton (lebih dikenal sebagai iridoid, lihat Bate-Smith dan Swain, 1996) dan tropolon dimasukkan juga ke dalam monoterpena karena alasan biosintesis. Contoh suatu monoterpena lakton ialah nepetalakton yang merupakan kandungan bau utama Nepeta cataria, Labiatae, suatu tumbuhan yang mempunya daya tarik istimewa bagi kuving peliharaan karena baunya itu. Iridoid lain, seperti loganin, menarik perhatian karena merupakan senyawa-antara pada biosintesis alkaloid indol. Contoh suatu tropolon ialah 𝛾-tujaplisin; penyebaran senyawa ini terbatas pada jamur tertentu dan juga dijumpai sebagai kandungan kayu pada Cupressaceae (Erdtman dan Norin, 1966). Struktur berbagai jenis monoterpenoid terdapat pada gambar 3.3.
Monoterpena sederhana tersebar luas dan cenderung merupakan bagian dari kebanyakan minyak atsiri. Beberapa senyawa, biasanya dijumpai bersama-sama dalam minyak daun, terutama 𝛼- 𝛽-pinena, limonena, ∆3 –karena, 𝛼-felandrena, dan mersena.
Minyak bunga dari biji cenderung mempunyai monoterpena yang lebih khas. Tetapi, apa pun jenis jaringannya, rupanya campuran rumit sudah merupakan hal yang umum dan bukan perkecualian. Di satu pihak mungkin terdapat sepuluh sampai lima belas komponen yang mudah terdeteksi, sementara di pihak lain mungkin saja masih banyak terpenoid lain yang jumlahnya sesepora. Secara kimia seperti monoterpena, seskuiterpena dipilah-pilah berdasarkan kerangka karbon dasarnya. Yang umum ialah asiklik (misalnya farnesol), monosiklik (misalnya bisabolena), atau bisiklik (misalnya 𝛽-selilena, karotol). Tetapi, dalam setiap golongan dikenal banyak senyawa yang berbeda. Dua turunan seskuiterpenoid, yatu asam absisat dan xantinin, patut mendapat perhatian khusus karena sifat pengatur tumbuhnya. Asam absitat, suatu asam seskuiterpena karboksilat yang strukturnya beraitan dengan struktur kerotenoid violasantain, lebih dikenal sebagai hormon utama yang mengendalikan dormansi pada biji tumbuhan terna dan pada kuncup tumbuhan berkayu (Addicott, 1983). Peranan xantinum (yang terdapat dalm Xanthium pennsylvanicum) sebagai antagonis dalam fisiologi tumbuhan, kurang jelas. Tetapi, ia mewakili golongan seskuiterpena yang penting, yang juga berupa senyawa lakton, dan penyebarannya luas dalam Compositac (Seamen, 1980). Sifat lain siskuiterpena lakton ini ialah rasanya yang kadang-kadang pahit atau pedas dan kemampuannya untuk berlaku sebagai alergen (Rodriguez dkk., 1976). Rumus kimia berbagai seskuiterpena yang disebut di atas terlihat pada gambar 3.4
Untuk
mengisolasinya
dari
jaringan
tumbuhan,
sekarang,
mono-
dan
seskuiterpena dipisahkan dengan ekstraksi memakai ester, eter minyak bumi, atau aseton. Cara klasik untuk mengisolasi minyak atsiri ialah memisahkannya dari jaringan segar dengan penyulingan-uap. Sekarang langkah ini jarang dilakukan karena ada bahaya terbentuknya senyawa jadian pada suhu yang dinaikkan. Terpena dapat mengalami tata susun-ulang (misalnya dehidrasi pada alkohol tersier) atau polimerisasi. Keatsirian terpena sederhana mempunyai arti bahwa terpena itu merupakan bahan yang ideal untuk pemisahan dengan kromatografi gas. Banyak terpena yang berbau harum dan dengan demikian sering kali dapat dikenali langsung dalam sulingan tumbuhan bila terdapat sebagai kandungan utama. 2.4 Kandungan Steroid pada Kulit Batang Tumbuhan Maja Tumbuhan Algae marmelos (L.) Correa merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan hujan tropis Indonesia. Tumbuhan ini memiliki beberapa nama daerah seperti maja, gelepung, maja gedang, maja lumut, maja pahit, maja paek, dan maos. Algae marmelos berupa pohon dengan batang lurus, sampai 300 m di atas permukaan laut, dahannya banyak duri. Durinya ada di dalam ketiak daun dengan panjang 2-3 cm. Bagian dari tumbuhan ini banyak digunakan sebagai obat tradisional. Daun tumbuhan Algae marmelos menghasilkan essensial oil yang mempunyai aktivitas antifungal (obat anti jamur). Berbagai hasil penelitian mengenai kandungan kimia pada tumbuhan ini telah dilaporkan. Konstituen utama dari ekstrak daun diidentifikasi sebagai tannin, skimmianin, essensial oil, sterol, triterpenoid, dan flavonoid. Hasil uji fitokimia yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam kulit batang Algae marmelos mengandung senyawa golongan steroid. 2.5 Skrining Terpenoid dan Steroid Uji skrining senyawa-senyawa golongan terpenoid dan steroid tak jenuh dilakukan dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Bahan sampel tanaman sebanyak 5 gram diekstraksi dengan pelarut n-heksana atau petroeleum eter (kurang lebih 10 ml), kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh
diambil sedikit dan dikeringkan di atas papan spon test, ditambahkan tiga tetes anhidrida asetat (Ac2O) dan kemudian satu tetes asam sulfat pekat (H2SO4 pekat). Adanya senyawa golongan terpenoid akan ditandai dengan timbulnya warna merah sedangkan adanya senyawa golongan steroid ditandai dengan munculnya warna biru. 2.6 Ekstraksi Terpenoid Karena terpenoid merupakan golongan senyawa yang sebagian besar bersifat nonpolar, maka ekstraksinya biasanya juga menggunakan pelarut non polar misalnya nheksana atau petroleum eter. Dapat juga digunakan pelarut metanol atau etanol terlebih dahulu sebagai pelarut universal kemudian setelah diperoleh ekstrak metanol/etanol, dilanjutkan dengan ekstraksi partisi menggunakan pelarut non polar. Jika yang akan diisolasi adalah senyawa terpenoid yang terikat dengan gugus gula, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut semipolar atau bahkan pelarut polar tergantung pada gugus gula yang terikat. Ekstraksi dapat dilakukan baik dengan pemanasan (soxhletasi) maupun tanpa pemanasan (maserasi pada suhu kamar). Ekstraksi kapsantin (suatu karetenoid) dari paprika. 2.7 Ekstraksi Steroid Seperti halnya dengan terpenoid, steroid juga merupakan golongan senyawa yang sebagian besar bersifat nonpolar, maka ekstraksinya biasanya juga menggunakan pelarut nonpolar misalnya n-heksana atau petroleum eter. Dapat juga digunakan pelarut metanol atau etanol terlebih dahulu sebagai pelarut universal kemudian setelah diperoleh ekstak metanol/etanol, dilanjutkan dengan ekstraksi partisi menggunakan pelarut nonpolar. Jika yang akan diisolasi adalah senyawa steroid yang terikat dengan gugus gula, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut semipolar atau bahkan pelarut polar tergantung dari gugus gula yang terikat. Ekstraksi juga dapat dilakukan baik baik dengan pemanasan (soxhletasi) maupun tanpa pemanasan (maserasi pada suhu kamar). Ekstraksi sligmasterol (suatu steroid) dari minyak kedelai 2.8 Pemisahan Terpenoid Sebagian besar monoterpenoid dan sesquiterpenoid merupakan penyusun minyak atsiri. Untuk memisahkan komponen-komponen penyusun minyak atsiri dapat digunakan Kromatografi Gas (GS) preparatif atau Kromatografi Cair Kerja Tinggi (HPLC).
Beberapa diterpenoid dapat dipisahkan dengan kromatografi kolom menggunakan silika gel atau alumina sebagai fasa diam. Analisis kualitatif dengan KLT juga menggunakan pelat silika geldengan eluen n-heksana-etil asetat. Sering juga digunakan KLT dengan pelat terbuat dari silika gel-AgNO3 (10:1) dengan eluen petroleum eter. Untuk pereaksi penampak noda digunakan asam sulfat pekat, pereaksi antimon klorida dan KMnO4 0,2%. Untuk triterpenoid, KLT juga dilakukan dengan pelat silika gel KLT silika gel AgNO3 digunakan untuk memisahkan triterpenoid tak jenuh berdasarkan jumlah ikatan rangkap terisolasi yang terdapat dalam suatu molekul. Beberapa pereaksi penampak noda yang biasa dipakai adalah pereaksi Cart–Price (larutan antimon klorida 20% dalam kloroform, dengan pemanasan pada 100℃ selama 10 menit), pereaksi LiebermannBurchard ( campuran H2SO4) 1 ml, andihidrida asam asetat 20 ml dan kloroform 50 ml, disemprot ke pelat dan dipanaskan pada suhu 85-95℃ selama 15 menit) dan pereaksi asam sulfat yang diencerkan dengan air dan alkohol. KLT triterpenoid dengan pelat silika gel, biasanya menggunakan eluen campuran n-heksana-etil asetat atau campuran khloroform-metanol. Beberapa campuran terpenoid yang sulit dipisahkan, membutuhkan eluen lain misalnya campurann-butanol-NH4OH 2M, campuran petroleum eter-dikloroetilena-asam asetat atau campuran petroleum eteretil format-asam format. Hal ini terutama berguna untuk terpenoid yang mempunyai gugus karboksil atau gugus gula. Untuk karotenoid, pemisahan dapat dilakukan dengan kromatografi kolom menggunakan adsorben sukrosa dan eluen n-propanol 0,5% dalam petroleum eter. Beberapa adsorben yang lain adalah AL2O3 dan MgO (yang diaktifkan), silika gel, silika gel-Ca(OH)2, magnesium fosfat dan Kieselguhr G-larutan trigliserida 8%. Campuran eluen yang lain adalah campuran petroleum eter-benzena, campuran diklorometana-etil asetat dan campuran aseton-metanol-air. Mengenai penampak noda pada KLT untuk karetenoid tidak terlalu dipelukan karena senyawanya yang sebagian besar berwarna, tetapi harus diingat bahwa warna tersebut akan memudar dengan berjalannya waktu terutama bila yang digunakan sebagai adsoreb adalah silika gel. Jika senyawanya tidak berwarna, maka dapat digunakan lampu UV untuk menseteksinya. Untuk KLT, eluen yang banyak dipakai adalah eter.
2.9 Pemisahan Steroid Cara KLT menyerupai KLT triterpenoid. Kadang-kadang dijuampai campuran rumit beberapa steroid dalam jaringan tumbuhan tertentu dan diperlukan cara yang lebih rumit untuk memisahkannya. Misalnya sitosterol, kolestrol dan stigmasterol tidak mudah dipisahkan bila berada bersama-sama dalam sampel tetapi ketiganya akan terpisah dengan mudah jika diubah menjadi bentuk asetatnya cara lain adalah melakukan pemisahan dengan menggunakan HPLC preparatif. Untuk memastikan sterol umum dari turunan dihidronya (misalnya sitosterol dari sitostanol) diperlukan KLT AgNO3. Eleun yang dipakai adalah khloroform dengan penampak thoda H2SO4-H2O (1:1). Beberapa steroid dapat dipisahkan menggunakan kromatografi kolom atau KLTP dengan adsorben alumina dan elunen berupa campuran sikloheksana-etil asetat dan campuran metilen diklorida-aseton. Jika dalam sampel dipastikan terdapat saponin, maka sebelum dilakukan pemisahan, ekstrak yang diperoleh direaksikan terlebih dahulu dengan HCl 1M untuk menghidrolisis saponin tersebut hingga diperoleh aglikon sapogenin. Pemisahan campuran sapogenin dilakukan dengan KLTP dengan menggukan eluen campuran aseton-n-heksana atau campuran khloroform-CCl4-aseton. Sapogenin akan muncul sebagai noda yang berwarna kemerahan setelah pelat disemprot dengan antimon klorida dalam HCl pekat dan dipanaskan pada suhu 110℃ selama 10 menit. Jika pemisahan dilakukan terhadap saponin, maka adsorben yang dipakai adalah selulosa. KLT dengan silika gel berhasil juga tetapi dengan memakai eluen seperti nbutanol yang dijenuhkan dengan air atau campuran khloroform-metanol-air. Beberarapa glikosida jantung dapat dipisahkan dengan KLTP satu arah pada silika gel dengan menggunakan eluen berupa lapisan atas dari campuran etil asetat-piridin-air atau menggunakan KLTP-dua arah memakai eluen campuran etil asetat-metanol-air (1arah) dan campuran khloroform-piridin (satu arah) yang lain. Beberapa campuran senyawa lain yang dapat dipisahkan menggunakan elusi berulang pada pelat silika gel dengan eluen campuran etil asetat-metanol (elusi dua kali) atau dengan eluen campuran khloroform-metanol-formanida (elusi empat kali).
2.10
Proses Skrining, Ekstraksi dan Pemisahan pada Wortel Pemeriksaan terpenoid dilakukan dengan cara sebanyak 1 ml ekstrak dan masingmasing sampel minuman sari wortel ditambah dengan 1 ml H2SO4 pekat. Terbentuknya warna merah maka menunjukkan adanya terpenoid. Analisis berkaroten dilakukan menggunakan instrumentasi HPLC menurut Biranti, dkk. (2009). Sebelum dilakukan analisis berkaroten sampel diekstraksi terlebih dahulu. Sebanyak 30 ml sampel dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambah lima belas mili n-heksana. Sampel dikocok perlahan-lahan kemudian didiamkan sampai terbentuk dua fasa. Setelah terbentuk dua fasa diambil fasa organiknya pada yang atas. Sampel diekstraksi kembali sampai tidak terbentuk fasa organik yang berupa larutan berwarna kuning. Fasa organik kemudian diuapkan ke dalam pelarutnya dengan menggunakan rotary vacum evaporator. Ekstrak yang telah diperoleh diuji dengan menggunakan instrumen HPLC. Kolom yang digunakan adalah kolom Princeton Omni C18. Detektor yang digunakan adalah detektor UV dengan fasa gerak metanol dan asetonitril dengan perbandingan 3:1 pada laju alur 1 ml/menit. Luas area pada kromatogram sampel dibandingkan dengan luas area pada kromatogram standar berakaroten, sehingga diperoleh konsentrasi berkaroten di dalam sampel.
2.10.1 Proses Skrining, Ekstraksi dan Pemisahan pada Minyak Atsiri Meneteskan 1 tetes minyak atsiri pada permukaan air. Lalu minyak atsiri akan menyebar dan air tidak akan menjadi keruh. Bandingkan dengan minyak lemak yang tidak akan menyebar berada di permukaan air. Atau dengan cara lain, yaitu meneteskan 1 tetes minyak atsiri pada sepotong kertas saring. Jika dibiarkan maka minyak atsiri akan menguap dengan sempurna tanpa meninggalkan noda transparan. Kemudian dibandingkan dengan minyak lemak yang akan meninggalkan noda pada kertas saring. Untuk memperoleh minyak atsiri dari suatu bahan dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya penyulingan, pengepresan, ekstraksi pelarut mudayh menguap dan ekstraksi dengan lemak padat. Penyulingan dapat didefinisikan sebagai pemisahan komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dan titik didih dari masing-masing zat tersebut. Pada proses penyulingan minyak atsiri dikenal tiga metode penyulingan yaitu penyulingan dengan air langsung,
penyulingan air-uap dan penyulingan uap langsung. Masing-masing metode penyulingan memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebelum melakukan penyulingan, bahan perlu perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan meliputi pengecilan ukuran, pengeringan atau pelayuan dan fermentasi (pemeraman). Pengecilan ukuran dilakukan dengan merajang bahan, perajangan ini dimaksudkan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dan untuk mengurangi sifat kamba bahan olah. Pelayuan atau pengeringan bahan dilakukan untuk menguapkan sebagian air sehingga memudahkan proses penyulingan dan untuk menguraikan zat tidak berbau menjadi berbau wangi. Sedangkan proses pemeraman dilakukan pada minyak-minyak tertentu untuk memecahkan
sel-sel
minyak
padadaun(Ketaren,1985).
Penyulingan dengan air dilakukan seperti proses perebusan, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air. Ketika air mendidih dan menguap, air membawa serta uap minyak atsiri yang ingin diperoleh. Uap tersebut kemudian dikondensasi dengan alat kondensor, hasil kondensasi dipisahkan antara bagian minyak dengan air dengan alat separator. Penyulingan dengan uap dan air dilakukan seperti metode mengukus. Bahan diletakkan diatas saringan berlubang yang dibawahnya terdapat air. Air dipanaskan yang kemudian uapnya kontak dengan bahan yang menyebabkan minyak atsiri ikut menguap. Uap yang dihasilkan dikondensasi dan kemudian dipisahkan antara minyak dengan air. Sedangkan penyulingan dengan uap langsung menggunkan uap air jenuh pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Uap jenuh dihasilkan dari pemanasan
air
pada
instalasi
lain
seperti
pada
boiler
(Geunther,
2006).
Selain dengan penyulingan yang telah disebutkan diatas minyak atsiri juga dapat diperoleh dengan proses pengepresan. Ekstraksi dengan cara pengepresan umumnya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah atau kulit buah yang dihasilkan dari tanaman termasuk famili citrus, karena minyak famili tersebut akan rusak jika diekstraksi dengan penyulingan. Akibat tekanan pengepresan sel-sel yang mengandung minyak akan pecah dan minyak akan mengalir ke permukaan bahan. Beberapa jenis minyak yang dapat diekstraksi dengan cara pengepresan adalah minyak almond, apricot, lemon, kulit jeruk, mandarin, grape fruit dan beberapa jenis minyak lainnya (Ketaren, 1985). Untuk bahan-bahan minyak atsiri yang tidak tahan terhadap panas ataupun tekanan, proses ekstraksi dilakukan dengan ekstraksi pelarut mudah menguap atau dengan ekstraksi lemak padat. Ekstraksi dengan pelarut mudah menguap menggunakan prinsip kelarutan senyawa-senyawa minyak atsiri terhadap beberapa jenis pelarut. Terdapat beberapa jenis pelarut yang dapat melarutkan minyak atsiri, sebagian besar pelarut tersebut bersifat semi polar atao non polar. Sedangkan ekstraksi dengan lemak padat menggunakan prinsip penyerapan senyawa minyak atsiri dengan lemak. Prinsip ekstraksi dengan pelarut mudah menguap adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap. Proses ekstraksi biasanya dilakukan dalam suatu wadah yang disebut ekstraktor. Bunga yang ingin diekstrak dimasukkan kedalam ekstraktor dan kemudian pelarut menguap dimpankan ke dalam ekstraktor. Pelarut yang biasa digunakan adalah petroleum ether, carbon tetra clorida, chloroform dan pelarut lainnya yang bertitik didih rendah. Pelarut organik akan berpenetrasi ke dalam jaringan bunga dan akan melarutkan minyak serta bahan non volatil yang berupa resin, lilin dan pigmen. Hasil ekstraksi merupakan campuran dari pelarut dan minyak atsiri yang disebut dengan concrete. Jika concrete dilarutkan dalam alkohol maka minyak atsiri akan larut sempurna namun zat lilin akan terpisah. Jika dilihat dari minyak atsiri yang dihasilkan ekstraksi dengan pelarut memberi minyak atsiri yang memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan dengan minyak atsiri
hasil
proses
penyulingan
(Ketaren,
1985).
Pada proses ekstraksi pelarut mudah menguap perlu diperhatikan beberapa tahapan.
Pemilihan jenis pelarut yang akan digunakan merupakan tahap awal dalam ekstraksi ini. Karakteristik masing-masing pelarut berbeda-beda sehingga zat-zat yang dilarutkan juga berbeda. Karakteristik yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah harus dapat melarutkan zat wangi secara sempurna, memiliki titik didih cukup rendah sehingga mudah diuapkan, pelarut tidak larut air dan pelarut tidak boleh bereaksi dengan bahan. Beberapa jenis pelarut yang dianggap baik untuk ekstraksi adalah petroleum ether dan benzena. Penggunaan campuran berbagai pelarut dapat menghasilkan rendemen dan mutu minyak yang cukup baik dibandingkan dengan pelarut murni. Hasil dari ekstraksi berupa campuran minyak dengan pelarut yang kemudian memasuki tahap pemekatan. Pemekatan dilakukan dengan menguapkan pelarut sehingga yang tersisa hanya fraksi terlarutnya. Minyak atsiri yang diperoleh dari hasil pemekatan kemudian dimurnikan untuk menghilangkan senyawa lain
seperti
lilin,
pigmen
dan
resin
(Ketaren,
2011).
Ekstraksi minyak padat biasanya digunakan untuk mengekstrak minyak atsiri dari bunga. Pada umumnya bungan setelah dipetik akan tetap hidup secara fisiologis. Daun bunga terus menjalankan proses hidup dan tetap memproduksi minyak atsiri dan minyak yang terbentuk dalam bunga akan menguap dalam waktu singkat. Kegiatan bunga akan terhenti jika kontak dengan panas atau kontak dengan pelarut organik. Untuk mendapatkan rendemen minyak yang lebih tinggi dan mutu yang lebih baik, maka selama proses ekstraksi berlangsung perlu dijaga agar proses fisiologi dalam bunga tetap dapat memproduksi minyak atsiri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi minyak bunga yang menggunakan lemak hewani atau nabati (Guenther, 2006). Dalam melakukan ekstraksi lemak padat dibutuhkan peralatan berupa pelat glas berbentuk kotak (chassis) dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 60 cm dan tebal 5 cm. Pelat gelas tersebut dipolesi dengan lemak dan bunga disebarkan dalam ruangan di antara 2 susunan pelat gelas. Dengan cara ini minyak yang menguap dari bunga akan diabsorb oleh lemak. Bunga yang telah diekstrak diganti dengan bunga segar setelah 24-36 jam dan umumnya 0,5 kg lemak dapat menyerao minyak atsiri dari bunga dengan berat 1,25 – 1,50 kg. Hasil ekstraksi berupa campuran minyak atsiri dengan lemak yang disebut dengan pomade (Guenther, 2006). Minyak atsiri dalam pomade dapat diekstrak dengan alkohol dalam suatu alat yang disebut batteuses. Campuran alkohol dengan pomade didinginkan di bawah suhu 0oC, sehingga bagian lemak akan membeku sedangkan campuran larutan alkohol dengan
minyak atsiri tetap dalam keadaan cair. Lemak dapat dipisahkan dengan proses penyaringan. Campuran antara minyak atsiri dengan alkohol disebut dengan extrait. Extrait merupakan salah satu bahan dasar parfum yang bernilai tinggi, karena mengandung minyak
atsiri
yang
masih
memiliki
bau
wangi
alamiah
(Ketaren,
1985).
Minyak atsiri dalam pomade dapat diekstrak dengan alkohol dalam suatu alat yang disebut batteuses. Campuran alkohol dengan pomade didinginkan di bawah suhu 0oC, sehingga bagian lemak akan membeku sedangkan campuran larutan alkohol dengan minyak atsiri tetap dalam keadaan cair. Lemak dapat dipisahkan dengan proses penyaringan. Campuran antara minyak atsiri dengan alkohol disebut dengan extrait. Extrait merupakan salah satu bahan dasar parfum yang bernilai tinggi, karena mengandung minyak atsiri yang masih memiliki bau wangi alamiah (Ketaren, 1985). Dalam melakukan ekstraksi dengan lemak padat, jenis lemak yang digunakan perlu diperhatikan. Syarat lemak yang dapat digunakan haruslah lemak yang tidak berbau dan mempunyai konsistensi tertentu. Lemak yang berbau dapat mencemari minyak yang dihasilkan. Bau lemak dapat dihilangkan dengan proses deodorisasi. Sedangkan konsistensi lemak dapat diatur dengan mencampur dua lemak yang titik cairnya berbeda. Campuran lemak yang baik digunakan untuk ekstraksi adalah ¾ lemak babi dan ¼ lemak sapi. Selain campuran lemak tersebut dapat
pula
digunakan
lemak
nabati
berupa
shortening
(Guenther,
2006).
2.10.2 Proses Skrining, Ekstraksi dan Pemisahan pada Batang Kulit Buah Maja Serbuk kering kulit batang Algae marmelos diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol. Ekstrak metanol dipekatkan kemudian difraksinasi menggunakan n-heksana lalu diuji steroid. Uji fitokimia dengan menggunakan pereaksi
Liebermann-Burchard memberikan warna hijau, menunjukkan bahwa isolat tersebut positif steroid. Ekstrak n-heksana merupakan fraksi yang positif steroid kemudian dipisahkan dengan cara kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel dan dielusi (proses mengekstrasi zat yang umumnya padat dari campuran zat dengan menggunakan zat cair) secara isokratik (komposisi fase gerak tetap) menggunakan eluen (pelarut) n-heksanakloroform (70:30). 2.11 Spektroskopi UV-VIS Senyawa
golongan
terpenoid
jarang
yang
dianalisis
menggunakan
spektrofotometer UV-VIS disebabkan karena stukturnya yang tidak dapat menyerap sinar UV-VIS tetapi spektrum karotenoid sangat khas. Terdapat dua pucak tumbuhan pada kedua sisi puncak utama. Letak ketiga panjang gelombang maksimum sangat beragam dan cukup berbeda bergantung jenis karotenoidnya sehingga dapat digunakan untuk identifiksai. Juga terjadi pergeseran spektrum ergantung pada pelarut yang digunakan dan karena itu dianjurkan mengukur spektrum dalam lebih dari satu pelarut. 2.11.1 Spektroskopi UV-VIS Minyak Atsiri a. Kromatografi gas cair (KGC) Tidak diragukan lagi bahwa KGC merupakan cara terpenting untuk menelah minyak atsiri karena dengan sekali kerja KGC memungkinkan analisis kualitatif dan kuantitatif. Hal ini terutama penting bila sejumlah senyawa yang serupa terdapat dalam semua anggota kelompok tertentu; degan demikian, perbedaan kuantitatiflah yang paling berarti. Sudahlah pasti KGC merupakan alat yang tak tergantikan untuk telaah kemotaksonomi minyak atsiri dalam daun dan kulit, seperti dalam gimnospermae. Suatu pemisahan terpena dalam pinus dengan KGC dilukiskan pada gambar 3.5.
Untuk mengidentifikasi terpena atsiri dalam suatu bahan tumbuhan, penggunaan KGC harus digabung dengan cara lain, terutama dengan KLT. Misalnya KLT berguna untuk memantau fraksi yang dipisahkan dengan KGC preparatif; sebaliknya, bila radas KGC preparatif tidak tersedia, pemisahan skala besar dapat dilakukan pada KLT, kemudian fraksi KLT dipantau dengan KGC. Untuk memastikan identitas, pada waktu lampau, spektrum imframerah minyak atsiri yang telah dipisahkan dibuat secara rutin, tetapi sekarang lebih lazim membuat spektrum massanya karena kebanyakan terpena memberikan pola pecahan yang khas. Dalam hal kritis, baik spektrum inframerah maupun spektrum massa harus ditentukan. Fraksinasi pendahuluan ekstrak eter kasar atau ekstrak eter minyak bumi kasar tumbuhan dengan kromatografi kolom asam silikat kdang-kadang menguntungkan karena cara ini mencegah pencemaran kolom KGC oleh pencemar yang bertitik didih tinggi, yang mungkin terdapat dalam ekstrak kasar tersebut. Tetapi, hasil yang memuaskan telah diperoleh di laboratorium ini dengan mengkromatografi langsung ekstrak eter kering dari daun atau serbuk biji. Berbagai jenis fase diam untuk kolom telah digunakan untuk mengkromatografi minyak atsiri. Barangkali fase nonpolar yang paling populer ialah apiezon L dan silikon SE 30. Fase polar yang paling banyak digunakan ialah poliester dietilena glikol adipat dan Carbowax 400. Harus diperhatikan agar bahan penyangga (misalnya Chromosorb W) harus bebas dari sesepora besi, basa atau asam, karena terpena peka terhadap pencemar yang demikian.
Pada KGC minyak atsiri kasar diperlukan pemrograman suhu agar dapat memisahkan monoterpena, seskuiterpena, dan turunan teroksi-genasi lainnya dengan baik. Pada kolom nonpolar hidrokarbon terelusi menurut titik didihnya, tetapi pada kolom jenis lain tidak selalu dapat diperkirakan waktu retensi nisbinya. Beberapa contoh waktu retensi nisbi terlihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2 waktu retensi nisbi terpena pada kromatografi gas cair RRt dalm kolom* Polietilena
Terpena
Apiezon N 10%
Polietilena
Glikol
Glikol
Bispropionitril
15%
15%
𝛼-pinena
42
29
30
Kamfena
50
41
44
𝛽-pinena
63
55
54
∆3 –karena
82
73
67
Mirsena
60
82
88
𝛼-Felandrena
82
82
86
Limonena
100
100
100
𝛽-Felandrena
97
106
116
𝜌-Simena
100
175
232
*
RRt nisbi terhadap limonena, pelaksanaan pada suhu tetap 65oC, sepanjang
kolom 300 cm (dari von Rudloff, 1996).
ini diberikan untuk memberi gambaran bahwa perlu menggunakan lebih dari satu kolom untuk memisahkan dan mengidentifikasi terpena. Jadi, pasangan senyawa yang berkaitan (misalnya ∆3 – karena dan 𝛼-felandrena) tidak dapat dipisahkan pada satu kolom (Apiezon N), tetapi dapat dipisahkan pada kolom lain (Polietilen glikol). Pada analisis terinci sudah menjadi kebiasaan untuk menggunakan beberapa kolom berjangka kepolaran tertentu untuk mengidentifikasi komponen minyak atsiri suatu bahan tumbuhan. Ketika menelaah keragaman susunan minyak atsiri dalam suatu populasi tumbuhan yang terdiri atas satu jenis, kita harus membatasi analisis dengan hanya
memakai satu kolom saja, sehingga kita harus mencari dahulu fase cair yang menghasilkan pemisahan terbaik. Pada penelitian taksonomi kimia, perlu dperhatikan bahwa kita dapat langsung menganalisis potongan kecil bahan tumbuhan yang ditempatkan langsung dalam lubang masuk radas KGC. Cara ini telah digunakan degan berhasil baik pada potongan bahan herbarium (Harley dan Bell, 1967), yang walau pun telah disimpan pada lembaran kertas selama bertahun-tahun masih menghasilkan cukup minyakk atsiri untuk dapat ditentukan pola susunannya. Bila kita menjumpai vampuran rumit minyak, seperti pada analisis bahan cita-rasa, sekarang gabungan KGC-SM telah digunakan secara rutin untuk memisahkan dan mengidentifikasi monoterpenoid. Pemakaian kompoter untuk menyimpan data dan menelusur pustaka telah sangat memudahkan pekerjaan ini. Perkembangan terakhir dalam pemisahan tersebut termasuk penggantian kolom kemas dengan kolom terbuka yang dilapisi fase cair. Cara ini disebut kromatografi kapiler (Croteau dan Ronald, 1983). b. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Penggunaan KLT dapat digabungkan dengan KGC secara menguntungkan karena keduanya saling melengkapi. Bahkan, bila radas KGC tidak tersedia , kita dapat menganalisis minyak atsiri dengan memakai KLT sebagai satu-satunya cara pemisahan (misalnya Horharmer dkk.1964). walaupun ada radas KGC, KLT tetap berguna pada tahap-tahap pemisahan dan analisis terpena itu. Bila kita menghadapi seskuiter-penoid gyang katsirinya rendah, mungkin KLT merupakan cara pilihan. Silica gel merupakan penjerap yang paling banyak digunakan dengan pengembang seperti benzene, kloroform (1 : 1) dan benzene etil asetat (19 : 1). Untuk analisis terpena yang mengandung oksigen (misalnya karvon) lapisan silica gel jangan diaktifkan dulu sebelum dipakai karena air yang ada membantu pemisahan. Terpena alcohol paling baik dipisahkan memakai pelat yang dibacem dengan paraffin, dengan pengembang methanol 70%.Pelat silica gel yang telah diaktifkan harus dicelupkan dulu kedalam larutan paraffin 5% dalam eter minyak bumi selama satu menit, kemudian dibiarkan mongering sebelum dipakai. Pengembang methanol 70%, harus dijenuhkan dengan minyak paraffin Modifikasi lain, untuk memisahkan terpena berdasarkan jumlah ikatan rangkap ialah menggunakan pelat KLT silica gel yang waktu penyamputannya menggunakan
bubur silica gel yang dibuat dengan larutan 2,5% AgNO3 dalam air, sebagai pengganti air. Cara umum deteksi ialah menyemprot dengan larutan dengan KMnO 0,2% dalam air, antimony klorida dalam kloroform, H2SO4 pekat atau vanillin-H2SO4. Pereaksi terakhir dibuat segar dengan menambahkan 8ml etanol, sambil didinginkan, kedalam 0,5 g vanillin dalam 2ml H2SO4 pekat. Setelah disemprot, pelat dipanaskan pada 100-105C sampai pembentukan warna sempurna. c. Tropolon Tropolon dapat dipisahkan dengan memuaskan dengan kromatografi kertas atau KLT pada pelat selulosa. d. Iridoid Senyawa monoterpena lakton ini paling sering terdapat dalam tumbuhan, terikat kepada gula sebagai glikosida. Karena itu untuk menganalisisnya perlu cara khusus, misalnya: KKt digunakan secara luas untuk mendeteksinya. Jaringan segar satu gram atau bila perlu bahan herbarium, dipotong-potong kecil dan dimasukan kedalam tabung reaksi dengan 5 ml HCl 1%. Setelah 3-6 jam maserat dienaptuangkan kedalam tabung lain yang berisi 1 ml pereaksi Trim-Hill (dibuat dari 10 ml asam asetat, 1 ml larutan CuSO4.5H2O 0,2% dalam air, dan 0,5 ml HCl pekat). Bila tabung dipanaskan sejenak pada nyala api, akan terjadi warna bila ada iridoid tertentu. Asperulin, aukubin, dan monotropein menghasilkan warna biru harpagid merah jedam. Iridoid tertentu (katalpin, loganin) tak dapat dideteksi dengan cara ini dan hanya memberikan reaksi positif dengan pereaksi umum glikosida, misalnya benzidintrikloroasetat (Duff dkk.1965). Pemisahan preparative iridoid dalam ekstrak tumbuhan dapat dilakukan dengan kromatografi kolom pada selulosa CF-11 memakai pengelusi n-butanol yang dijenuhkan dengan air atau pada silica gel memakai pengelusi CHCl3- methanol dalam berbagai perbandingan. e. seskuiterpena lakton Cara umum mendeteksi senyawa ini dalam tumbuhan telah diikhtisarkan oleh (Mabry.1970). daun kering 20g dihaluskan dalam pelumat Waring dengan 100 ml CHCl3. Bubur yang diperoleh disaring diekstrak diuapkan sampai kering pada tekanan
rendah. Sisa dilarutkan dalam etanol 95% , lalu ditambahkan timbal asetat 4%. Larutan disaring dan filtrate dipekatkan.Campuran air-minyak diekstraksi dengan CHCl3, ekstrak yang diperoleh dikeringkan, lalu diuapkan.Sisa dianalisis langsung dengan KLT dan RMI. Untuk memantau pemurnian seskuiterpena lakton mungkin pemakaian KCKT bersama KLT bermanfaat. Misalnya, pada isolasi senyawa lakton yang pahit dari akar Chicorium intybus, kami menemukan bahwa pemisahannya dapat dilakukan dengan baik bila dielusi ratik dari kolom partisil memakai CHCl3 metanol (19 : 1) yang dipantau pada 254nm. Tidak semua senyawa lakton menunjukan serapan UV yang kuat seperti laktukin dan laktupikrin dalam Chicorium intybus, dank arena itu, mungkin pada kasus lain digunakan panjang gelombang yang lebih pendek. Misalnya , pada pemisahan lakton dalam jenis Parthenium pada kolom ultrasphere-ODS dengan elusi landaian memakai asenonitril –air. KCKT dapat dipakai untuk pemisahan skala besar, tetapi pada umumnya, kromatografi baku pada lapisan tebal atau kolom silica gel biasanya cukup memuaskan. Kemudian, lakton diidentifikasikan terutama berdasarkan titik leleh, putaran optic,RMI, dan spectrum massa. f. Asam absisat Cara khusus telah diciptakan untuk mendeteksi dan memperkirakan asam absisat, suatu senyawa siskuiterpena penghambat tumbuh. Suatu contoh, dimulai dengan ekstraksi jaringan segar memakai methanol 80%, ekstrak disaring, lalu diuapkan; setelah diasamkan diekstraksi dengan eter. Setelah itu asam absisat diekstraksi dari eter dengan larutan jenuh NaHCO3, ekstrak dicuci dengan eter, dan akhirnya, setelah diasamkan, diekstraksi kembali dengan eter, dan eternya diuapkan. Asam absisat murni yang diperoleh dari tumbuhan kadang-kadang tercemari oleh senyawa asam fenolat.Dalam hal demikian, ekstral kasar dapat dibiarkan terserap oleh kolom PVP (Polyclar T). Elusi dengan air akan mengeluarkan senyawa penghambat tumbuh, dan senyawa fenol tetap terjerap pada kolom (Lenton dkk.1971). Cara analisis kuantitatif asam absisat terlebih dahulu didasarkan pada spektropolarimetriyang dapat dipakai pada skala µg .karena UV nya, sekarang kadar
asam absisat dapat ditentukan setelah KCKT dengan memantau eluat pada 254 nm. Diperlukan system balik (misalnya kolom ODS Hypersil) dan elusi secara landaian, mulai dari methanol 10% sampai methanol 80% dalam asam asetat 0,1M (Horgan.1981).
2.11.2 Spektroskopi UV-VIS Batang Kulit Pohon Maja Semua fraksi dianalisis menggunakan KLT. Fraksi yang sama digabung berdasarkan pola noda yang sama dan diuji steroid. Fraksi yang positif steroid (vial 1522) menghasilkan kristal. Rekristalisasi dengan menggunakan methanol sampai diperoleh steroid yang murni. Uji kemurnian dilakukan dengan menggunakan KLT. Penentuan struktur molekul isolat murni dilakuakn dengan menggunakan spektofotometer inframerah dan spektrifotometer NMR-1H Dari keseluruhan data spektrum yang diperoleh, senyawa hasil isolasi adalah senyawa steroid golongan sterol, yaitu stigmasterol. Hal ini berdasarkan spektrum NMR-1H yang mirip dengan spektrum database stigmasterol. Struktur stigmasterol adalah sebagai berikut:
‘
Spektrum NMR-1H dari isolat
Spektrum NMR-1H dari isolate
Spektrum NMR-1H standar dari stigmasterol
BAB III KESIMPULAN
1. Terpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 siklik yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit. Kebanyakan berupa alcohol, aldehid atau atom karboksilat. 2. Senyawa terpenoid merupakan salah satu metabolt sekunder. Senyawa terpen ini dalam jumlah yang besar dan kerangka molekul yang beragam, namun dapat dengan mudah dikenali melalui keteraturan monomernya yang terbentuk dari isoprene. 3. Klasifikasi senyawa terpen berdasarkan jumlah monomer isoprene yang dimilikinya. Salah satu contoh klasifikasinya adalah diterpen yang terdiri dari 4 monomer isoprene, sosterpen yang terdiri dari 5 isopren dan triterpen. 4. Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya terdiri atas 17 atom karbon dengan membentuk struktur dasar 1,2- siklopentenoperhidrofenantren. 5. Steroid mempunyai struktur dasar yang terdiri dari 17 atom karbon yang membentuk tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. 6. Steroid terdiri atas sterol, asam empedu, hormon kelamin, hormone adrenokortikoid, aglikon kardiak, dan sapogenin. 7. Steroid terdapat pada tumbuhan, diantaranya pada: pepaya, kulit batang bakau merah, buah mahkota dewa, dan kulit batang buah maja. 8. Senyawa steroid didapat dari ekstraksi, pemisahan, dan rekristalisasi. 9. Salah satu identifikasi senyawa steroid ialah pada kulit batang buah maja, yaitu stigmasterol dari golongan sterol.
DAFTAR PUSTAKA
Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. EGC. Jakarta. Kristanti, A.N., dkk. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Airlangga University Press. Surabaya.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB, Bandung
Kristanti, A.N, Nanik, S.A, Mulyadi, T, dan Bambang, K. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Airlangga UI Press, Surabaya
Juniarti, Yuhernita, dan Susi Endrini.2011. Destilasi Minyak Atsiri Daun Surian Sebagai Krim Pencegah Gigitan Nyamuk Aedes aegypty L. Makara Sains. Vol.15 (1) Mukharromah, R.R. dan Suyatno. 2014. Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Diklorometana Kulit Batang Bakau Merah (Rhizophora stylosa). Journal of Chemistry. 3(3).
Saleh, Chairul. 2009. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Steroid dari Kulit Batang Tumbuhan Maja (Aegle marmelos (L.) Correa). Jurnal Kimia Mulawarman. 7(1)
Slamet, M. Dan Rahayu, A. 2013. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Steroid dari Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa). Digital Rposotory UNILA.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Asam_empedu https://id.m.wikipedia.org/wiki/Estrogen https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lemak_sterol https://id.m.wikipedia.org/wiki/Progesteron
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Steroid