OPINI
Fenomena “Tindihan” Dito Anurogo RS PKU Muhammadiyah Palangka Raya dan Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
ABSTRAK
Tulisan ini mengulas fenomena “tindihan” (paralisis tidur) berdasarkan berbagai referensi yang relevan. Detail pembahasan mencakup definisi, sejarah, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis, gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang, komorbiditas, diagnosis banding, penatalaksanaan, dan pencegahan. “tindihan”, paralisis tidur Kata kunci: fenomena “tindihan”,
ABSTRACT
We describe “ tindihan” phenomenon (Sleep Paralysis) comprehensively based on relevant references. The details are about synonyms, definition, history, epidemiology, etiology, clinical features, physical and supporting examinations, comorbidity, differential diagnosis, management and prevention. Dito Anurogo. “Tindihan” Phenomenon. Key words: “tindihan” phenomenon, sleep paralysis
SINONIM
Tindihan (tindihen) di dalam literatur kedokteran dikenal sebagai sleep paralysis, incubus, nightmare (mimpi buruk) , , isolated sleep paralysis, familial sleep paralysis, hypnagogic or hypnopompic paralysis, nocturnal paralysis, awakening cataplexy, cataplexy of awakening, predormital and postdormital paralysis paralysis,, disassociative experience related to sleep, protracted psychomotor awakening, delayed delayed psychomotor awakening, parhypnotic cataplexy, dissociated awakening, an awakening phenomenon, waking �t . Di beberapa daerah, tindihan disebut juga sebagai cataplexie du reveil (Perancis), (Perancis), Old Hag (Newfoundland dan Kanada), Kanashibari (Jepang), Ghost oppression (Hong Kong, China), Ogun Oru (Nigeria), Kokma (St Lucia), Phi um (Thailand), Hexendruchem (Jerman), Ha-wi-nulita (Korea), Pesadilla atau fenomena “a dead body climbed on top of me ” (Meksiko), Stand-stills (Inggris), karabasan (Turki), ma de (Vietnam), lidercnyomas (Hungaria), sindrom “ pibloktoq” (Eskimo).1-7 DEFINISI
Tindihan adalah suatu keadaan/kondisi saat
708
CDK-197_vol39_no9_th2012 CDK-197_vol39_no9_ th2012 ok.indd 708
seseorang merasa sesak napas seperti dicekik, dada terasa sesak, badan sulit bergerak, tidak dapat memindahkan/menggerakkan anggota gerak dan tubuh meskipun sadar, sulit berteriak saat akan tidur atau bangun tidur. Biasanya disertai halusinasi, seperti melihat sosok atau bayangan hitam di sekitar tempat tidur. Singkatnya, tindihan adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan volunter, baik saat onset tidur (hypnagogic ) atau saat terbangun dari tidur di malam/pagi hari (hypnopompic ).).8 Tindihan dapat dilihat sebagai fenomena motorik murni yang bercirikan kondisi disosiasi dimana atonia otot yang berkaitan dengan REM (rapid eye movement ) muncul bersamaan dengan kondisi keterjagaan dari kesadaran penuh (wakefulness state of full consciousness ).9 Bersama REM sleep behavior disorder dan mimpi buruk (nightmares), tindihan digolongkan dalam REM sleep parasomnia . Parasomnia adalah kumpulan gejala yang berkaitan dengan perilaku problematis atau fenomena selama tidur.9
SEJARAH
Tindihan pertama p ertama kali dideskripsikan sebagai “night palsy ” oleh Mitchell pada tahun 1876. Terminologi “sleep paralysis ” diperkenalkan oleh neurolog Inggris bernama Samuel Wilson di tahun 1928. Deskripsi yang lebih awal dijumpai di literatur medis, oleh dokter Belanda bernama Isbrand van Diemerbroeck pada tahun 1664. Istilah hypnagogic pertama pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Maury.10-14 EPIDEMIOLOGI
Tindihantakdapa Tindihan dapattdile dilepaskan paskandarigang gangguan guantidu tidur,r, mimpi buruk, dan narkolepsi. Gangguan tidur bukan hanya dialami oleh dewasa, melainkan juga pada 10-40 10-40% % rema remaja. ja.15 Orang yang mengalami gangguan tidur berkepanjangan memiliki 2,5 kali risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan mobil dibandingkan mereka yang tidurnya cukup.6 Prevalensi tindihan 5-62%.17-19 Di Newfoundland, Canada, prevalensi tindihan di antara mahasiswa perguruan tinggi mencapai 15-23%.20 Rerata onset episode pertama tindihan dilaporkan mulai meningkat di
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
9/12/2012 5:18:21 PM
OPINI
sekitar usia 14 tahun dan memuncak di usia 17-19 tahun.21 Mimpi buruk sering dialami pula oleh penderita tindihan; sekitar 50–90% populasi umum pernah mengalami mimpi buruk. Tindihan adalah gejala yang sering dijumpai pada penderita narkolepsi16; sekitar 0,16% remaja menderita narkolepsi. Di Indonesia, prevalensi dan insidens tindihan belum diketahui pasti. ETIOLOGI
Tindihan sering disebabkan atau dipicu oleh: kebiasaan (pola) tidur yang tidak teratur, kurang tidur, perubahan waktu tidur, kondisi tubuh terlalu lelah, dan stres. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh antara lain: jenis kelamin pria, kesehatan mental yang buruk, konsumsi minuman beralkohol, tidur seharian penuh, tidur awal atau terlambat, sulit memulai tidur, berbagai faktor perkembangan, perubahan lingkungan dan sosiokultural yang berkaitan dengan gaya hidup.22 Menurut teori psikoanalitik, penderita tindihan memiliki profil kepribadian pasif-agresif. Tindihan berkaitan dengan kon�ik kepribadian, terutama kon�ik antara agresivitas dan pasivitas.23 Dari sisi neurokimiawi, serotonin dan asetilkolin relevan terhadap pembentukan halusinasi visual. Konsentrasi keduanya meningkat di visual thalamic nuclei dan di korteks visual.24 POTRET KLINIS
Tindihan ditandai dengan tidak mampu menggerakkan tubuh dan anggota badan saat tidur atau saat terbangun, disertai episode kelumpuhan sebagian atau seluruh otot rangka; dapat juga berhubungan dengan halusinasi hipnagogik, yaitu suatu kondisi saat seseorang setengah sadar menjelang tidur. Terkadang penderita juga tak dapat menggerakkan anggota gerak dan tubuhnya meskipun sadar dan disertai cemas. Kondisi ini dapat dialami oleh siapa pun.9,22 Tindihan merepresentasikan kondisi lebih kompleks mencakup kondisi pikiran yang terdisosiasi bersamaan dengan komponen motorik disosiatif. Pada beberapa kasus saat terjadi halusinasi hipnagogik, penderita merasa ada orang yang bersamanya di ruangan, atau perasaan ada seseorang/sesuatu duduk di kursinya, merasa akan mati atau mati lemas karena kekurangan oksigen. Kejadian ini sering diistilahkan Hag Phenomena. Tindihan dapat juga merupakan tanda narkolepsi
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 709
(serangan tidur mendadak tanpa rasa kantuk), mendengkur (sleep apnea ), cemas, dan depresi. Penderita gagal menentukan batas antara pengalaman nyata, mimpi, dan pikiran mental selama kondisi paralusis.17,20,25 Tindihan sering disertai halusinasi dan ketakutan yang sangat. Fenomena ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga 20 menit. Setelah berakhir, biasanya tidak meninggalkan gejala sisa. Pada kejadian yang jarang, sensasi mati rasa atau lemas di ekstremitas masih terasa beberapa menit.26
tetrad dari gejala narkolepsi (hypersomnolence, cataplexy , sleep paralysis , dan hypnagogic hallucinations). Selain itu, tindihan dapat juga
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
10. Skizofrenia
Pemeriksaan neurologis dalam batas normal. Data neurofisiologis (analisis EEG spectral yang diperkuat dengan analisis cross-correlation) menguatkan pemikiran bahwa otak penderita berada di kondisi intermediate antara terbangun/ terjaga dan tidur REM selama paralisis.25 Diagnosis tindihan dapat dipastikan dengan polisomnografi. Untuk mengukur status tidur, rasa mengantuk seharian berlebihan (excessive daytime sleepiness ) dipakai skor Epworth Sleepiness Scale (ESS).27 Untuk menilai status kesehatan mental, digunakan 12-item General Health Questionnaire (GHQ-12).28 Sebagai deteksi dini, perlu ditanyakan: “Pernahkah Anda mengalami tindihan, di mana saat itu tangan, kaki, dan tubuh Anda tidak dapat bergerak, berpindah saat terbangun atau jatuh tertidur selama sebulan ini?” “Ya” adalah jawaban affirmative .22 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa: jangka pendek diberi obat golongan sedatif-hipnotik, misalnya benzodiazepin. Terapi lini pertama tindihan adalah sodium oxybate (gammahydroxybutyrate, GHB) dengan dosis 4500-9000 mg per dosis di malam hari.29 Obat golongan trisiklik antidepresan, seperti clomipramine, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), dan venlafaxine, dilaporkan efektif mengendalikan cataplexy dan tindihan, namun tidak efektif saat mengendalikan kantuk sepanjang hari (daytime sleepiness). Amphetamine dapat diberikan untuk mengatasi kantuk (sleepiness).30 KOMORBIDITAS
Tindihan seringkali disertai atau dialami oleh penderita narkoleptik dengan cataplexy. Tindihan dapat merupakan bagian classical
disertai22,31,32: 1. Agorafobia 2. Gangguan afektif bipolar 3. Gangguan cemas 4. Gangguan panik 5. Insomnia 6. Narkoleptik (narcolepsy ) 7. Posttraumatic stress disorder (PTSD) 8. Sleep apnea 9. Sleep inertia
DIAGNOSIS BANDING 4,20,31,33�39
1. Atonic drop attacks of syncopal nature 2. Bangkitan epileptik generalisata atonik 3. Discharges epileptik fokal 4. Halusinosis peduncular 5. Hipokalemia 6. Insufisiensi vaskuler vertebrobasiler 7. Katapleksi 8. Katatonia 9. Kesadaran berkabut yang sementara 10. Ketidaknormalan EEG yang mirip epilepsi 11. Kondisi terbangun (sadar) 12. Narkolepsi 13. Paralisis histerikal 14. Paralisis periodik hipokalemik 15. Penyakit Moyamoya 16. Psikosis PENCEGAHAN40�41
1. Lingkungan tidur yang nyaman, misalnya dengan memperhatikan tempat tidur, bantal, kebisingan, atau suara yang mengganggu. 2. Jadual dan pola tidur yang teratur dan cukup. 3. Membiasakan tidur teratur (misalnya, setiap malam). 4. Olahraga teratur, tetapi jangan terlalu dekat dengan waktu tidur. 5. Menghindari stres. 6. Menghindari obat stimulan. 7. Edukasi kesehatan tentang kebiasaan tidur teratur dan pola tidur sehat. RINGKASAN
Tindihan merupakan fungsi tubuh normal yang menyebabkan kita ”lumpuh” saat tidur. Mekanisme ini mencegah kita melukai atau mencederai diri sendiri selama mimpi. Namun, jika kondisi ini terus menyertai sampai bangun, akan menjadi gangguan.7
709
9/12/2012 5:18:22 PM
OPINI
DAFTAR PUSTAKA
1.
Lichtenstein BW, Rosenblum AH. Sleep paralysis. J Nerv Mental Dis. 1942;95:153-5.
2.
West L. Dissociative reaction. In: Freedman A, Kaplan H, editors. Comprehensive textbook of psychiatry. Baltimore, Maryland: Williams and Wilkins. 1966:896.
3.
Parkes JD, Dahlitz M. Sleep paralysis. Lancet 1993;341:406-7.
4.
Wing YK, Lee ST, Chen CN. Sleep paralysis in Chinese: ghost oppression phenomenon in Hong Kong. Sleep. 1994;17:609-13.
5.
Aina OF, Famuyiwa OO. Ogun Oru: a traditional explanation for nocturnal neuropsychiatric disturbances among the Yoruba of southwest Nigeria. Transcult Psychiatry. 2007;44(1):44-54.
6.
Jacobson CJ. The nightmares of Puerto Ricans: an embodied ‘altered states of consciousness’ perspective. Cult Med Psychiatry 2009;33(2):266-89.
7.
Jiménez-Genchi A, Ávila -Rodriguez VM, Sánchez-Rojas F, Vargas Terrez BE, Nenclares-Portocarrero A. Sleep paralysis in adolescents: the ‘a dead body climbed on top of me’ phenomenon
8.
American Sleep Disorder Association. International classification of sleep disorders: Diagnostic and coding manual. Rochester, MN. 1990.
9.
American Academy of Sleep Medicine. The international classification of sleep disorders. 2nd ed. Westchester: Diagnostic and coding manual. American Academy of Sleep Medicine;
in Mexico. Psychiatry Clin Neurosci 2009;63(4):546-9.
2005. 10. Mitchell SW. On some of the disorders of sleep. Va Med Mon. 1876;2:769-81. 11. Wilson SAK. The narcolepsies. Brain. 1928;51: 63-109. 12. Payn SB. A psychoanalytic approach to sleep paralysis. J Nerv Ment Dis. 1965;140: 427-33. 13. Kompanje EJ. ‘The devil lay upon her and held her down’. Hypnagogic hallucinations and sleep paralysis described by the Dutch physician Isbrand van Diemerbroeck (1609-1674) in 1664. J Sleep Res. 2008;17:464-7. 14. Maury A. Des hallucinations hypnagogiques, ou des erreurs des sens dans l’état intermédiaire entre la veille et le sommeil. Ann Medico-Psychol 1848;VII:26-40. 15. Liu XC, Uchiyama M, Okawa M, et al. Prevalence and correlates of self-reported sleep problems among Chinese adolescents. Sleep. 2000;23:27-34. 16. Honda Y. Census of narcolepsy, cataplexy and sleep life among teen-agers in Fujisawa City. Sleep Res. 1979;8:191. 17. Ness RC. The old hag phenomenon as sleep paralysis: a biocultural interpretation. Culture Med Psych 1978;2:15-39. 18. Ohayon M, Zulley J, Guilleminault C, et al. Prevalence and pathologic associations of sleep paralysis in the general population. Neurology 1999;52:1194–200. 19. Spanos NP, McNulty SA, DuBreuil SC, Pires M, Burgess MF. The frequency and correlates of sleep paralysis in a university sample. J. Res. in Personality, 1995;29:285–305. 20. Firestone MC: The old hag sleep paralysis in Newfoundland. Psychoanal Anthropol 1985;8:47-66. 21. Wing YK, Lee ST, Chen CN. Sleep paralysis in Chinese: ghost oppression phenomenon in Hong Kong. Sleep 1994;17:609–13. 22. Munezawa T, Kaneita Y, Osaki Y, Kanda H, Ohtsu T, Suzuki H. Nightmare and sleep paralysis among Japanese adolescents: A nationwide representative survey. Sleep Med. 2011;12:56–64. 23. Ohaeri JU, Odejide AO, Ikuesan BA, Adeyemi JD. The pattern of isolated sleep paralysis among Nigerian medical students. J Natl Med Assoc. 1989;81(7):805-8. 24. Manford M, Andermann F. Complex visual hallucinations. Clinical and neurobiological insights. Brain. 1998;121:1819-40. 25. Terzaghi M, Ratti PL, Manni F, Manni R. Sleep paralysis in narcolepsy: more than just a motor dissociative phenomenon? Neurol Sci 2011. [Epub ahead of print] 26. Murphy G, Egan J. Sleep paralysis and hallucinations: What clinicians need to know. The Irish Psychologist. 2010;36(5):95-8. 27. Johns MW. A new method for measuring daytime sleepiness: the Epworth Sleepiness Scale. Sleep. 1991;14:540-5. 28. Doi Y, Minowa M. Factor structure of the 12-item General Health Questionnaire in the Japanese general adult population. Psychiatry Clin Neurosci 2003;57:379-83. 29. Mamelak M, Black J, Montplaisir J, Ristanovic R. A pilot study on the effects of sodium oxybate on sleep architecture and daytime alertness in narcolepsy. Sleep 2004;27:1327-34. 30. D’Agostino A, Limosani I. Hypnagogic hallucinations and sleep paralysis. In: Goswami M, et al, editors. Narcolepsy: A Clinical Guide; 2010. p. 87-97. 31. Pizza F, Provini F, Culebras A. Sleep paralysis. www.medlink.com. Last Updated: July 24, 2011. Accessed on February 4, 2012. 32. Nielsen TA, Zadra A. Nightmares and other common dream disturbances. In: Kryger MH, Roth T, Dement WC, eds. Principles and practice of sleep medicine. Philadelphia: W.B. Saunders Co.; 2005. p. 926-35. 33. Vetrugno R, Vella A, Mascalchi M, et al. Peduncular hallucinosis: a polysomnographic and SPECT study of a patient and effi cacy of serotonergic therapy. Sleep Med. 2009;10(10):1158-60. 34. Vignatelli L, Bisulli F, Zaniboni A, et al. Interobserver reliability of ICSD-R minimal diagnostic criteria for the parasomnias. J Neurol. 2005;252(6):712-7. 35. Wing YK, Chiu H, Leung T, Ng J. Sleep paralysis in the elderly. J Sleep Res. 1999;8:151-5. 36. Fukuda, K., Miyasita, A., Inugami, M., Ishihara, K. High prevalence of isolated sleep paralysis: Kanashibari phenomenon in Japan. Sleep. 1987;10:279-86. 37. Fukuda K, Ogilvie R, Takeuchi T. The prevalence of sleep paralysis among Canadian and Japanese college students. Dreaming. 1998;8:59-66. 38. Liddon SC. Sleep paralysis and hypnagogic hallucinations. Their relationship to the nightmare. Arch Gen Psychiatr. 1967;17:88-96. 39. Powell RA, Nielsen TA. Was Anna O.’s black snake hallucination a sleep paralysis nightmare? Dreams, memories, and trauma. Psychiatry. 1998;61: 239-41. 40. Kryger MH, Roth T, Dement WC, editors. Principles and practice of sleep medicine 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000. 41. Rowland LP ed. Merritt’s Neurology. 11th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2005; XXI: 145.
710
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 710
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
9/12/2012 5:18:23 PM