LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN HIPERBILIRUBIN PADA NEONATUS
Stase Stase K eperawa rawatan Anak Anak
Oleh : Dimas Kurniawan NIM : G3A 015 024
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2016
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN PADA NEONATUS
A. Definisi
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana produksi bilirurin
yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis
(2013), Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau kombinasi keduanya. Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya ikterus yang bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005). Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana kadar bilirubin yang berlebihan dalam darah yang biasa terjadi pada neonatus baik secara fisologis, patologis maupun keduanya.
B. Derajat Hiperbilirubin Zona
1 2 3 4 5
Bagian Tubuh
Kepala sampai leher Kepala, leher, sampai umbilikus Kepala, leher, pusar sampai paha Lengan + tungkai Kepala sampai ke tumit kaki
Rata-Rata Serum Indirek (Umol/L)
100 150 200 250 >250
C. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis. Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Schwats, 2005): a. Timbul pada hari kedua - ketiga. b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan. c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari. d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%. e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama. f.
Tidak
mempunyai
dasar
patologis;
tidak
terbukti
mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu. g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila: 1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran. 2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam. 3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan. 4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis). 5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia,
sindrom
gangguan
pernafasan,
infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah. 2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia. Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%. (Sumber: Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I, 2005)
D. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut; 1. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah) 2. Isoimmun Hemolytic Disease 3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah 4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol) 5. Hemolisis ekstravaskuler 6. Cephalhematoma 7. Ecchymosis 8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia
biliari),
infeksi,
masalah
metabolik
galaktosemia,
hipotiroid jaundice ASI 9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis. (Sumber: IDAI, 2011)
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah; 1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa. 2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi. 3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis. 4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul 6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati 7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar 8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap 9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental 10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot. (Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
F. Patofisiologi
Bilirubin
adalah
produk
pemecahan
hemoglobin
yang
berasal
dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi. Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan
penghancuran
Eritrosit,
Polisitemia.
Gangguan
pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia. (Sumber: IDAI,2011)
G. Komplikasi
1. Bilirubin encephahalopathi 2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang melengking. 3. Asfiksia 4. Hipotermi 5. Hipoglikemi (Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah) a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak fisiologis. b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap. c. Protein serum total. 2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu. 3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan atresia billiari. (Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005
I. Penatalaksanaan
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI). 2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa furokolin. 3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan ja nin. 4. Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang
mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan. 5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi. 6. Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin. 7. Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi. (Sumber: IDAI, 2011)
J. Pengkajian Asuhan Keperawatan
1. Aktivitas / Istirahat Letargi, malas. 2. Sirkulasi a. Mungkin pucat, menandakan anemia b. Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft 3. Eliminasi a. Bising usus hipoaktif b. Pasase mekonium mungkin lambat c. Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin d. Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze) 4. Makanan / Cairan a. Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada menyusu botol b. Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar 5. Neurosensori a. Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum. b. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
c. Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat. d. Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis). 6. Pernapasan a. Riwayat asfiksia. b. Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura, hemoragi pulmonal) 7. Keamanan a. Riwayat positif infeksi/sepsis neonates. b. Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra cranial c. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping fototerapi. 8. Seksualitas a. Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan reterdasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar untuk usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibudiabetes. b. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia. c. Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.
K. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi. 2. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi 3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi 4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
L. Intervensi Keperawatan DIAGNOSA Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi.
NOC Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien membaik dengan kriteria 1. Klien tidak menunjukan gejala sisa neurologis dan berlanjutnya komplikasi phototerapi
1.
2. 3. 4.
NIC Kaji BBL terhadap adanya hiperbilirubinemia setia 2-4 jam lima hari pertama kehidupan Berikan phototerapy Jelaskan fungsi fototherapy Kolaborasi pemberian transfusi tukar
1.
2.
3.
4.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien membaik dengan kriteria hasil: 1. Tidak ada tandatanda dehidrasi 2. Turgor baik 3. Tidak terjadi penurunan kesadaran
1. Kaji Output 2. Pertahankan intake cairan 3. Jelaskan kepada keluarga tentang penting keseimbangan cairan 4. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian cairan
Kerusakan integritas kulit b.d phototherapi
Setelah di lakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam pasien membaik dengan kriteria hasil : 1. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
1. Monitor adanya kerusakan integritas kulit 2. Bersihkan kulit bayi dari kotoran setelah BAB, BAK 3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam 4. Jelaskan keluarga tentang pentingnya menjaga kelembaban kulit 5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian salep
RASIONAL BBL sangat rentan terhadap hiperbilirubinemia Phototerapi berfungsi mendekomposisikan bilirubin dengan photoisomernya. Selama phototerapi perlu diperhatikan adanya komplikasi seperti: hipertermi, Konjungtivitis, dehidrasi Agar keluarga pahan tentang prosdeur yang akan di lakukan Transfusi tukar dilakukan bila terjadi hiperbilirubinemia pathologis karena terjadinya proses hemoliitik berlebihan yang disebabkan oleh ABO antagonis
1. Output yang berlebihan atau tidak seimbang dengan intake akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan 2. Agar intake yang masuk tetap seimbang dengan intake yang keluar 3. Agar keluarga paham tentang kondisi pasien 4. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi 1. Deteksi dini kerusakan integritas kulit 2. Feses dan urine yang bersifat asam dapat mengiritasi kulit 3. Perubahan posisi mempertahankan sirkulasi yang adekuat dan mencegah penekanan yang berlebihan pada satu sisi 4. Agar keluarga pahan tentang pentingnya menjaga kelembaban kulit 5. Untuk mencegah kerusakan kulit lebih parah
DIAGNOSA Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan menelan
NOC Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien membaik dengan kriteria: 1. Tidak terjadi penurunan BB 2. Tidak terdapat tanda-tanda malnutrisi 3. Terjadi peningkatan BB
1.
2. 3.
4.
NIC Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori Berikan makanan terpilih Berikan informasi kepada keluarga tentang kebutuhan nutrisi Kolaborasi dengan doktermaupun ahli gizi tentang gizi yang di butuhkan
1. 2.
3.
4.
RASIONAL Untuk mengetahui intake pasien Agar tidak terjadi penurunan BB dan gizi tercukupi Agar keluarga paham tentang jumlah nutrisi yang di butuhkan pasien Agar dapat menentukan makanan yang benar-benar sesuai dengan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika. Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier. Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. EGC. Jakarta Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis ,Missouri ; Mosby. NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014. Jakarta : EGC Pedoman Praktek Klinik: Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011) Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. EGC :Jakarta