59
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kurikulum menjadi tulang punggung atau jantungnya pendidikan dan pengajaran di tingkat satuan pendidikan baik pendidikan dasar maupun menengah, karena didalamnya terdapat keseluruhan rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi maupun bahan belajar mengajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai kompetensi tertentu sesuai dengan standar pendidikan nasional. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat 1). Dalam proses pembelajaran kurikulum 2013 diharapkan paradigma pembelajaran berubah dari berpusat pada guru (teacher centered learning) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered active learning), sifat pembelajaran yang berorientasi pada buku teks menjadi sifat pembelajaran yang kontekstual (contextual teaching learning). Dimana dalam penilaian proses pembelajaran menekankan kepada 3 aspek penilaian, yaitu aspek spiritual, sosial, pengetahuan dan keterampilan. (penilaian pembelajaran, kurikulum 2013).
Selain itu juga, pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan. Pendekatan saintifik dapat menggunakan beberapa strategi seperti pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya misalnya discovery learning, project-based learning, problem-based learning, inquiry learning. Namun demikian, kenyataan dilapangan masih dijumpainya kendala yang dialami oleh kebanyakan guru dalam proses maupun penilaian hasil belajar siswa. Terlebih-lebih lagi dengan harus dilakukannya penilaian autentik (authentic assessment) beserta penilaian proses belajar yang menyeluruh baik untuk ranah spiritual, sosial, pengetahuan maupun keterampilan. Di samping itu, karakteristik mata pelajaran matematika bersifat abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi ataupun relasi, dan prinsip membuatnya sulit bagi sebagian siswa untuk dapat memahami konsep matematika. Tidak sedikit siswa yang menjadikan matematika sebagai kambing hitam kegagalan dalam penentuan kelulusan siswa, matematika bagi sebagian siswa jadi sangat menakutkan dan bahkan momok dalam menentukan masa depan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi.
Indikasi ini merupakan bukti kegagalan dalam mengevaluasi mutu pendidikan mata pelajaran matematika. Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika saat ini, penerapan keempat pilar UNESCO, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan sesuatu (learning to do), belajar menjadi sesuatu (learning to be), dan belajar hidup bersama (learning to live together), serta pentingnya penguasaan kompetensi matematika untuk kehidupan peserta didik masih sangat kurang dirasakan oleh siswa. Lemahnya penguasaan metode pembelajaran, dan strategi pembelajaran di dalam kelas adalah akibat dari gagalnya pembelajaran matematika. Didalam buku kajian kebijakan kurikulum mata pelajaran matematika, Pusat Kurikulum (2007) menyatakan diharapkan guru menggunakan metode atau strategi yang melibatkan siswa secara aktif, pengajaran disesuaikan dengan tahap berfikir siswa dari yang paling rendah lower order thinking (LOT) dan berfikir tingkat tinggi higher oreder thinking (HOT), menggunakan buku yang sesuai dengan kompetensi inti, menggunakan sasaran yang tepat, menggunakan alat penilaian yang sesuai, serta menuangkan Silabus dan RPP yang dituangkan dalam persiapan mengajar. Oleh karena itu, pembelajaran matematika yang bersifat abstrak maka pembelajaran di sekolah hendaknya lebih kreatif baik dalam pengelolaan manajemen kelas, strategi, metode maupun dalam hal evaluasi didalam kelas. Pada rinsipnya guru sebagai fasilitator, hendaknya guru dapat memanfaatkan fasilitas dan sumber belajar dengan baik serta dapat mendesain pembelajaran agar lebih bermakna.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa strategi dan kreatifitas dalam pengelolaan pembelajaran didalam kelas menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan kreatifitas matematika siswa dengan menggunakan berbagai macam model maupun pendekatan pembelajaran, karena guru yang efektif itu adalah orang-orang yang dapat menjalin hubungan yang simpatik dengan para siswa, menciptakan lingkungan kelas yang mengasuh dan penuh perhatian, menguasai sepenuhnya bidang studi dan sejumah keterampilan mengajar dan dapat memotivasi siswa-siswa untuk bekerja tidak sekedar mencapai prestasi tetapi juga sebagai anggota masyarakat yang pengasuh (Dimyati dan Mudjiono, 2002). Dengan pemilihan metode, strategi, pendekatan dan teknik pembelajaran, diharapkan adanya perubahan dari mengingat (memorizing) atau mengahafal (rote learning) kearah berfikir (thinking) dan pemahaman (understanding), dari model ceramah ke pendekatan discovery learning, problem based learning, dan project based learning, dari belajar individual ke pembelajaran kelompok (cooperatif learning), dan dari pembelajaran berpusat pada siswa (subject centered) ke pemebalajran clearer learning atau konstruksinya pengetahuan siswa.
Untuk itulah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berupa penerapan model pembelajaran yang menarik dan pembelajaran bermakna dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh siswa yaitu Auditory Intellectually Repetition (AIR), melalui pendekatan pembelajaran kurikulum 2013 scientific learning sebagai upaya meningkatkan kreatifitas dan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika siswa.
Identifikasi Masalah
Dari analisis situasi di atas, kondisi yang ada saat ini adalah:
Proses belajar mengajar matematika di kelas X masih berjalan monoton dan pemebelajaran berpusat pada guru.
Strategi pembelajaran, model pembelajaran dan pendekatan pembelajaran masih dianggap lemah dan kurang memuaskan.
Belum ada kolaborasi yang serasi antara guru dan siswa dalam pembelajaran matematika.
Rendahnya kreatifitas matematika siswa dalam memecahkan masalah matematika.
Batasan Masalah
Menyadari akan terbatasnya kemampuan peneliti, latar belakang dan luasnya permasalahan, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada penerapan model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan saintific learning untuk meningkatkan kreatifitas dan kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan barisan dan deret di kelas X IPA 3.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang ingin ditemukan adalah:
Apakah penerapan pembelajaran model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning dapat meningkatkan kreatifitas matematika?
Sejauh mana penerapan pembelajaran model Auditory Intellectualy Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning dapat meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika?
Bagaimana pengembangan pembelajaran model Auditory Intellectualy Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning pada mata pelajaran matematika?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini diharapkan:
Untuk meningkatkan kreatifitas belajar matematika siswa.
Untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah matematika siswa.
Untuk mengembangkan pembelajaran model Auditory Intellectualy Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut:
Bagi Guru
Penelitian tindakan kelas ini bermanfaat untuk memperbaiki model pembelajaran didalam kelas, dalam upaya untuk meningkatkan kreatifitas dan keterampilan pemecahan masalah belajar siswa.
Bagi Siswa
Penelitian tindakan kelas ini bermanfaat untuk meningkatkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah matematika, mengembangkan jiwa kerjasama saling menguntungkan, menghargai satu sama lain, dan membangun kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah.
Bagi Sekolah
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran dan bahan informasi bagi sekolah, dalam rangka perbaikan pembelajaran di sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Teoritis
Strategi Pembelajaran Matematika
Model pembelajaran adalah pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas. Pembelajaran matematika yang mengembangkan kemampuan potensi siswa ternyata dapat membantu siswa dalam menumbuhkan kreatifitas siswa dalam memecahkan masalah. Pembelajaran aktif yang akrab dikenal dengan istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Stuedent Active Learning (SAL), sebenarnya dalam dunia pendidikan bukanlah barang baru, tetapi di Indonesia baru sekitar tahun seribu sembilan ratus sembilan puluhan saat dipopulerkan secara nasional. Keaktifan dalam pembelajaran aktif adalah lebih banyak berupa keaktifan mental meskipun ada juga yang diwujudkan dengan keaktifan fisik.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri juga harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuan itu. Semua yang lain entah obyek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. (Paul Suparno, 1997). Berangkat dari pandangan ini maka seseorang siswa akan dapat memahami matematika hanya apabila siswa secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan yang ada pada dirinya lewat pengalamannya dengan lingkungan.
Teori belajar dari penganut psikologi tingkah laku (behaviorist) memandang belajar sebagai hasil dari pembentukan hubungan antara rangsangan dari luar (stimulus) dan balasan dari siswa (response) yang dapat diamati, semakin sering hubungan antara rangsangan dan balasan terjadi, maka akan semakin kuat hubungan keduanya (low of excercise). Disamping itu, kuat tidaknya hubungan ditentukan oleh kepuasan maupun ketidakpuasan yang menyertainya (low of effect).
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objek-objek matematika menjadi objek langsung dan objek-objek tak langsung. Adapun objek langsung mengenai fakta, konsep, prinsip dan keterampilan, sedangkan objek tak langsung mengenai berfikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, ketelitian dan lain-lain. Fakta dalam pembelajaran matematika adalah konvensi (kesepakatan) dengan matematika seperti lambang, notasi ataupun aturan seperti 5 + 2 10 = 5 + 20, dimana operasi perkalian didahulukan dari operasi penjumlahan. Lambang "1" untuk menyatakan banyaknya sesuatu yang tunggal merupakan contoh dari fakta. Begitu juga lambang "+", "–", ataupun "" untuk menyatakan penjumlahan, pengurangan ataupun tegak lurus. Jadi seseorang siswa dikatakan telah menguasai fakta jika ia dapat menuliskan fakta tersebut dan menggunakannya dengan benar, untuk itu cara untuk mengajarkan fakta adalah dengan menghafal, driil, ataupun peragaan yang berulang-ulang.
Jika fakta adalah kesepakatan, maka konsep merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengklasifikasi suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Ada empat cara mengajarkan konsep, yaitu:
Dengan cara membandingkan objek matematika yang termasuk konsep dan yang tidak termasuk konsep.
Pendekatan deduktif, dimana proses pembalajarannya dimulai dari definisi dan diikuti dengan contoh-contoh dan yang bukan contohnya.
Pendekatan induktif, dimulai dari contoh lalu mambahas definisinya.
Kombinasi deduktif dan induktif, dimulai dari contoh lalu membahas definisinya, lalu kembali kecontoh, atau dimulai dari definisi lalu membahas contohnya lalu kembali membahas definisinya.
Prinsip adalah suatu pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Seorang siswa dinyatakan telah memahami prinsip matematika jika ia mengingat rumus atau prinsip yang bersesuaian, memahami beberapa konsep yang digunakan serta lambang atau notasinya, dan dapat menggunakan rumus atau prinsip yang bersesuaian pada situasi yang tepat. Sementara itu, keterampilan (skill) adalah sutau prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. Sesoerang siswa dinyatakan belum menguasai suatu keterampilan jika ia tidak menghasilkan suatu penyelesaian yang benar atau tidak dapat menggunakan dengan tepat suatu prosedur atau aturan yang ada.
Aliran kognitif menurut Meece teori kognitif adalah menekankan pada bagaimana seseorang menyusun pemahaman mereka terhadap diri mereka dan pemahaman dunia terhadap mereka (Schunk, 2012). Artinya bahwa proses belajar seseorang sangat bergantung pada bagaimana mereka memahami sesuatu dengan didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan dasar yang telah dimiliki sebelumnya.
Psikologi perkembangan kognitif Piaget mengatakan yang paling penting bagi para guru matematika adalah perkembangan kognitif (pengetahuan) seorang siswa sangat bergantung kepada seberapa jauh sianak itu dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Piaget, ada tiga aspek pada perkembangan kognitif (pengetahuan) seseorang, yaitu struktur, isi dan fungsinya. Piaget membagi empat tahap perkembangan kognitif seseorang dari bayi sampai dewasa atas tahap seperti ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Perkembangan Kognitif Manusia
No
Umur (Tahun)
Tahap
1
2
3
4
0 – 2
2 – 7
7 – 11
11 +
Sensori Motor
Pra-operasional
Operasional Konkret
Operasional Formal
Pada umur 11 tahun keatas tahap operasional formal, kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan bena nyata. Hal ini dialami pada siswa sekolah menengah atas (SMA), mereka sudah mampu melakukan abstraksi, dalam arti menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu tanpa menggunakan benda nyata. Pada tahap ini, siswa SMA cenderung sudah memiliki kemampuan bernalar secara abstrak meningkat, sehingga seseorang mampu untuk berfikir secara deduktif. Namun bagi sebagian pendapat mengatakan, tahap operasional formal mereka masih membutuhkan benda nyata ataupun gambar/diagram. Karenanya faktor nyata, atau real pada proses pembelajaran ini akan sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan pembelajaran di kelas.
Berikut diagram yang menggambarkan bahwa proses perkembangan kognitif (pengetahuan) seseorang anak melalui proses adaptasi dan organisasi.
Anak dalam keadaan equilibriumAnakDihadapkan dengan keadaan atau pengalaman baruAnak berusaha mengorganisasi pengalaman baru dengan mengaitkan pada yang ada di skemaAda skema yang sesuai, sehingga pengalaman baru itu dapat di asimilasiTidak ada skema yang sesuai sehingga pengalaman baru tidak dapat di asimilasiAdaptasiAnak dalam keadaan equilibriumAnak tidak dalam keadaan equilibriumAnak tidak dapat menerima hal baruAnak berusaha mengakomodasi melalui perubahan skema yang ada atau mengembangkannya dengan skema baruAnak dalam keadaan equilibriumAnakDihadapkan dengan keadaan atau pengalaman baruAnak berusaha mengorganisasi pengalaman baru dengan mengaitkan pada yang ada di skemaAda skema yang sesuai, sehingga pengalaman baru itu dapat di asimilasiTidak ada skema yang sesuai sehingga pengalaman baru tidak dapat di asimilasiAdaptasiAnak dalam keadaan equilibriumAnak tidak dalam keadaan equilibriumAnak tidak dapat menerima hal baruAnak berusaha mengakomodasi melalui perubahan skema yang ada atau mengembangkannya dengan skema baru
Anak
dalam keadaan equilibrium
Anak
Dihadapkan dengan keadaan atau pengalaman baru
Anak berusaha mengorganisasi pengalaman baru dengan mengaitkan pada yang ada di skema
Ada skema yang sesuai, sehingga pengalaman baru itu dapat di asimilasi
Tidak ada skema yang sesuai sehingga pengalaman baru tidak dapat di asimilasi
Adaptasi
Anak dalam keadaan equilibrium
Anak tidak dalam keadaan equilibrium
Anak tidak dapat menerima hal baru
Anak berusaha mengakomodasi melalui perubahan skema yang ada atau mengembangkannya dengan skema baru
Anak
dalam keadaan equilibrium
Anak
Dihadapkan dengan keadaan atau pengalaman baru
Anak berusaha mengorganisasi pengalaman baru dengan mengaitkan pada yang ada di skema
Ada skema yang sesuai, sehingga pengalaman baru itu dapat di asimilasi
Tidak ada skema yang sesuai sehingga pengalaman baru tidak dapat di asimilasi
Adaptasi
Anak dalam keadaan equilibrium
Anak tidak dalam keadaan equilibrium
Anak tidak dapat menerima hal baru
Anak berusaha mengakomodasi melalui perubahan skema yang ada atau mengembangkannya dengan skema baru
Gambar 2.1. Diagram Proses Perkembangan Kognitif
Model Pembelajaran AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran AIR (Auditory, Intellectually, Repetition) adalah model pembelajaran yang menganggap bahwa suatu pembelajaran akan efektif jika memperhatikan tiga hal, yaitu Auditory, Intellectually, and Repetition. Auditory berarti indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Intellectually berarti kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengkonstruksi, dan menerapkan. Repetition berarti pengulangan diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan lebih luas, siswa perlu dilatih melalui pengerjaan soal, pemberian tugas, dan kuis.
Teori belajar yang mendukung model pembelajaran AIR salah satunya adalah aliran psikologis tingkah laku serta pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan paham konstruktivisme. Tokoh-tokoh dalam aliran psikologi tingkah laku diantaranya Ausubel dan Edwar L. Thorndike. Teori Ausubel (Suherman, 2001) dikenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum pembelajaran dimulai. Teori Thorndike (Suherman, 2001) mengungkapkan bahwa hukum pembelajaran (tingkah laku) pokok adalah hukum efek (law of effect), hukum kesiapan (law of readiness) dan the law of exercise (hukum latihan) yang pada dasarnya menyatakan bahwa stimulus dan respons akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat jika proses pengulangan sering terjadi. Hukum law effect menyatakan bahwa jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat. Dengan kata lain, konsekuen-konsekuen dari perilaku seseorang akan memainkan peran penting bagi terjadinya perilaku-perilaku yang akan datang.
Sedangkan berdasarkan pendekatan paham konstruktivisme, pembelajaran matematika adalah proses pemecahan masalah. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengkoordinasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya, sebagaimana dinyatakan Bodner (1986). Dengan demikian, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dengan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun pengetahuan itu didalam otaknya sendiri-sendiri. Paul (Uno, 2007) mengemukakan bahwa aliran kontruktivisme memandang bahwa untuk belajar matematika yang terpenting adalah bagaimana membentuk pengertian pada siswa. Dalam aliran ini siswa mempelajari matematika senantiasa membentuk pengertian sendiri. Hal ini menekankan bahwa pada saat belajar matematika yang terpenting adalah proses belajar siswa, guru hanya bertindak sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa, meluruskan, dan melengkapi sehingga konstruksi pengetahuan yang dimilikinya menjadi benar sehingga siswa diberi kesempatan menghayati proses penemuan atau penyususnan suatu konsep sebagai suatu keterampilan.
Auditory
Auditory berarti indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Linksman (Alhamidi, 2006) mengartikan auditory dalam konteks pembelajaran sebagai belajar dengan mendengar, berbicara pada diri sendiri, dan juga mendiskusikan idea dan pemikiran pada orang lain.
Mendengar merupakan salah satu aktifitas belajar. Tidak mungkin materi yang disampaikan secara lisan oleh guru dapat diterima dengan baik oleh siswa apabila siswa tersebut tidak menggunakan indera pendengaran dalam arti lain mendengar. Hal ini berarti bahwa auditory sangat penting dalam memahami materi.
Rahman (2006) mengungkapkan bahwa ada beberapa kegiatan yang dapat menunjang dalam auditory ini salah satunya adalah dengan membentuk siswa kedalam beberapa kelompok dan kemudian masing-masing kelompok diminta persentasi bergantian. Dalam persentasi tersebut ada kelompok yang berbicara dan juga kelompok yang mendengarkan, sehingga auditory terlaksana.
Selain itu Rahman (2006) mengungkapkan pula bahwa dalam KBM, sebagian besar proses interaksi siswa dengan guru dilakuka dengan komunikasi yang melibatkan indera telinga. Selama KBM berlangsung, guru dapat meminta siswa untuk mendengarkan, menyimak, berbicara persentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat dan menaggapi dengan menciptakan suasana demikian. Siswa dituntut untuk berpartisipasi aktif dan mengoftimalkan pemanfaatan indera telinga sehingga interaksi antara telinga dan otak bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Dalam kegiatan pembelajaran sebagian besar proses interaksi siswa dengan guru dilakukan dengan komunikasi secara lisan dan melibatkan indera telinga. Guru harus mampu untuk mengondisikan siswa agar mengoptimalkan indera telinganya, sehingga koneksi antara telinga dan otak dapat dimanfaatkan secara optimal. Guru dapat meminta siswa untuk menyimak, mendengar, berbicara, presentasi, berargumen, mengemukakan pendapat, dan menanggapi sehingga menciptakan suasana belajar yang aktif.
Ada beberapa strategi belajar secara auditory yang dikemukakan oleh Meier (Esa, 2005) diantaranya:
Mintalah siswa berpasang-pasangan membincangkan secara terperinci hal-hal yang mereka pelajari dan bagaimana menciptakannya.
Mintalah siswa untuk membentuk kelompok dan berbicara pada saat mereka menyusun pemecahan masalah membuat model, mengumpulkan informasi, atau menciptakan makna-makna belajar.
Intellectually
Intellectually diartikan sebagai belajar berfikir dan memecahkan masalah. Intellectually yaitu belajar dengan berpikir untuk menyelesaikan masalah, kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengonstruksi, dan menerapkan. Menurut Meier (Esa, 2005) bahwa intelektual menunjukkan apa yang dilakukan pembelajar dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman tersebut. Intelektual adalah sebagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna.
Intelektual adalah penciptaan makna dalam pikiran, sarana yang digunakan manusia untuk berfikir, menyatukan pengalaman belajar. Intelektual menghubungkan pengalaman mental, fisik, emosional, dan gerak tubuh untuk membuat makna baru bagi diri sendiri, sarana yang digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, dan pengetahuan menjadi pengalaman.
Meier (Esa, 2005) mengatakan bahwa belajar intelektual yaitu belajar melalui perenungan (tafakur), mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih jika siswa diajak terlibat dalam aktivitas seperti memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, melahirkan gagasan kreatif, mencari dan menyaring informasi, merumuskan pertanyaan, dan menerapkan gagasan baru saat belajar. Intelektual menunjukkan kegiatan pikiran siswa secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan pengalamannya.
Menurut Meier (Esa, 2005) bahwa dalam intelektual ada beberapa kegiatan diantaranya:
Menganalisis, memecahkan masalah, fokus, perhatian.
Menghubungkan informasi dan mensintesis.
Menilai, membandingkan, memeriksa, dan mencocokkan.
Guru harus berusaha untuk merangsang, mengarahkan, memelihara, dan meningkatkan intensitas proses berfikir siswa demi tercapainya pemahaman konsep yang maksimal pada siswa. Guru harus berusaha mendorong siswa agar belajar secara berhasil.
Repetition
Belajar adalah pengulangan, prinsip dasar pembelajaran adalah pengulangan. Dimyati dan Mudjiono, (2002) mengemukakan bahwa ada tiga teori yang menekankan pentingnya pengulangan, yaitu:
Teori psikologi daya. Belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, dan berfikir.
Teori psikologi dan asosiasi atau koneksionisme. Dengan hukum belajarnya law of exercise yang mengungkapkan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulasi dan respon, serta pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar.
Teori psikologi conditioning respon. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulasi dan respon.
Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dilakukan dengan bentuk pertanyaan ataupun informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan. Dengan pemberian soal dan tugas, siswa akan mengingat informasi-informasi yang diterimanya dan terbiasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematis.
Dalam belajar masih diperlukan pengulangan. Pengulangan sangat diperlukan dalam mendukung proses mengingat. Mengingat merupakan salah satu proses yag cukup sulit, sehingga diperlukan suatu cara khusus untuk dapat melakukan kegiatan tersebut. Hal-hal yang telah dipelajari terkadang sulit untuk dimunculkan kembali atau bahka tidak diproduksi lagi dalam daya ingat kita, maka ini dinamakan lupa.
Pengulangan beberapa kali dalam belajar dapat membantu proses pemahaman yang mendalam dan mengatasi lupa, selain itu pengulangan diharapkan dapat mengoptimalkan hasil belajar siswa. Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti, maka pengulangan masih diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Dimyati dan Mudjiono (2002) mengungkapka bahwa implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah kesadaran sswa untuk bersedia mengerjakan latihan-latihan yang berulang. Dengan kesadaran ini diharapkan siswa tidak merasa bosan dalam melakukan pengulangan. Bentuk prilaku pembelajaran yang merupakan implikasi pengulangan diantaranya menghapal.
Pendekatan Scientific Learning
Pada penerapan (Implementasi Kurikulum 2013) di lapangan (baca: sekolah), guru salah satunya harus menggunakan pendekatan ilmiah (scientific), karena pendekatan ini lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan tradisional. Kurikulum 2013 menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung (indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran langsung peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak pembelajaran (instructional effect). Pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect). Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap yang terkandung dalam KI-1 dan KI-2. Pengembangan nilai dan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku, dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler baik yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat (luar sekolah) dalam rangka mengembangkan moral dan perilaku yang terkait dengan nilai dan sikap.
Setidaknya terdapat tujuh kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu:
Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran yanag mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu: sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor). Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Perhatikan diagram berikut:
Gambar 2.2. Diagram pembelajaran pendekatan scientific
Adapun penjelasan dari diagram pendekatan pembelajaran scientific (pendekatan ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik "tahu mengapa".
Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik "tahu bagaimana".
Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik "tahu apa."
Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.
Langkah-langkah pembelajaran scientific meliputi
Gambar 2.3. Langkah-langkah pembelajaran scientific
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah.
Pendekatan saintifik meliputi lima pengalaman belajar sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 2.2. Deskripsi Langkah Pembelajaran
Langkah Pembelajaran
Deskripsi Kegiatan
Bentuk Hasil Belajar
Mengamati (observing)
mengamati dengan indra (membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat
perhatian pada waktu mengamati suatu objek/membaca suatu tulisan/mendengar suatu penjelasan, catatan yang dibuat tentang yang diamati, kesabaran, waktu (on task) yang digunakan untuk mengamati
Menanya (questioning)
membuat dan mengajukan pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi
tentang informasi yang belum dipahami, informasi tambahan yang ingin diketahui, atau sebagai klarifikasi.
jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaan yang diajukan peserta didik (pertanyaan faktual, konseptual, prosedural, dan hipotetik)
Mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting)
mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, mendemonstrasikan, meniru bentuk/gerak, melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengumpulkan data dari nara sumber melalui angket, wawancara, dan memodifikasi/ menambahi/mengem-bangkan
jumlah dan kualitas sumber yang dikaji/digunakan, kelengkapan informasi, validitas informasi yang dikumpulkan, dan instrumen/alat yang digunakan untuk mengumpulkan data.
Menalar/Mengasosiasi (associating)
mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, mengasosiasi atau menghubungkan fenomena/informasi yang terkait dalam rangka menemukan
suatu pola, dan menyimpulkan.
mengembangkan interpretasi, argumentasi dan kesimpulan mengenai keterkaitan informasi dari dua fakta/konsep, interpretasi argumentasi dan kesimpulan mengenai keterkaitan lebih dari dua
fakta/konsep/teori, menyintesis dan argumentasi serta kesimpulan keterkaitan antarberbagai jenis fakta/konsep/teori/ pendapat; mengembangkan interpretasi, struktur baru, argumentasi, dan kesimpulan yang menunjukkan hubungan fakta/konsep/teori dari dua sumber atau lebih yang tidak bertentangan; mengembangkan interpretasi, struktur baru, argumentasi dan kesimpulan dari konsep/teori/penda-pat yang berbeda dari berbagai jenis sumber.
Mengomunikasikan (communicating)
menyajikan laporan dalam bentuk bagan, diagram, atau grafik; menyusun laporan tertulis; dan menyajikan laporan meliputi proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan
menyajikan hasil kajian (dari mengamati sampai menalar) dalam bentuk tulisan, grafis, media elektronik, multi media dan lain-lain
Sumber: Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
Secara rinci pembelajaran kurikulum 2013 pendekatan ilmiah dijelaskan sevagai berikut:
Mengamati (observasi)
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi.
Menanya
Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca atau dilihat. Guru perlu membimbing peserta didik untuk dapat mengajukan pertanyaan: pertanyaan tentang yang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstra berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik.
Mengumpulkan Informasi
Kegiatan "mengumpulkan informasi" merupakan tindak lanjut dari bertanya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Untuk itu peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena atau objek yang lebih teliti, atau bahkan melakukan eksperimen.
Mengolah Informasi (mengasosiasi)
Kegiatan "mengasosiasi/ mengolah informasi/ menalar" dalam kegiatan pembelajaran adalah memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya, menemukan pola dari keterkaitan informasi tersebut.
Menarik Kesimpulan
Kegiatan menyimpulkan dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan kelanjutan dari kegiatan mengolah data atau informasi. Setelah menemukan keterkaitan antar informasi dan menemukan berbagai pola dari keterkaitan tersebut, selanjutnya secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau secara individual membuat kesimpulan
Mengkomunikasikan
Pada pendekatan scientific guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut.
(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81a Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013).
Langkah-langkah Pembelajaran AIR dengan Pendekatan Pembelajaran Ilmiah (scientific appoach)
Tahap-tahap penerapan model pembelajaran AIR, adalah sebagai berikut:
Tahap Auditory
Kegiatan guru, yaitu:
Guru memberikan contoh soal kepada siswa.
Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil.
Guru memberi LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai soal LKS yang kurang dipahami.
Kegiatan siswa, yaitu:
Siswa mendengarkan serta menyimak contoh soal yang diberikan oleh guru (mengamati).
Siswa menuju kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk oleh guru.
Siswa menerima LKS yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan secara berkelompok.
Siswa bertanya soal LKS yang kurang dipahami kepada guru (menanya).
Tahap Intellectually
Kegiatan guru, yaitu:
Guru membimbing kelompok belajar siswa untuk berdiskusi dengan rekan dalam satu kelompok sehingga dapat menyelesaikan LKS (mengumpulkan dan mengolah informasi).
Guru memberi kesempatan kepada beberapa kelompok untuk mempersentasikan hasil kerjanya (menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan).
Guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kegiatan siswa, yaitu:
Siswa mengerjakan LKS secara berkelompok dengan mencermati contoh-contoh soal yang telah diberikan oleh guru (mengamati, menanya, mengumpulkan dan mengolah informasi).
Siswa mempersentasikan hasil kerjanya secara bekelompok yang telah selesai mereka kerjakan (menarik kesimpulan).
Siswa dari kelompok lain bertanya dan mengungkapkan pendapatnya, sedangkan kelompok yang mempersentasikan menjawab dan mempertahankan hasil kerjanya (mengkomunikasikan).
Tahap Repetition
Kegiatan guru, yaitu:
Guru memberikan latihan soal individu kepada siswa (mengamati).
Dengan diarahkan oleh guru, siswa membuat kesimpulan secara lisan tentang materi yang telah dibahas (menanya, mengumpulkan dan mengolah informasi).
Kegiatan siswa, yaitu:
Siswa mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh guru secara individu (mengamati, menanya, dan mengumpulkan informasi).
Siswa menyimpulkan secara lisan tentang materi yang telah dibahas (menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan).
Hasil Kajian Yang Relevan
Terdapat beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah penelitian Qurotuh Aina (2012) yang berjudul "Eksperimentasi Model Pembelajaran AIR Terhadap Prestasi Belajar Dalam Pembelajaran Matematika Di Tinjau Dari Karakter Belajar Siswa", menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran model AIR lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional. Sedangkan Sisca Purniawati (2013) yang berujudul "Implementasi Model Pembelajaran AIR Pada Materi Bangun Datar Terhadap Hasil Belajar Siswa", menunjukkan bahwa terdapat perbedaan model pembelajaran AIR dengan model pembelajaran konvensional dalam menentukan hasil belajar siswa, meskipun perbedaan model konvensional tidak jauh berbeda dengan model AIR.
Sedangkan penelitian Mustaqimah (2012) yang berjudul "Efeketikfitas Model Pembelajaran AIR Dengan Setting Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Terhadap Pemahaman Konsep dan Motivasi Belajar Matematika Siswa" menunjukkan adanya perbedaan model pembelajaran konvensional dan lebih efektif terhadap pemahaman matematika siswa.
Kerangka Berpikir
Matematika berkenaan dengan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur secara logik sehingga metamatika itu berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
Proses belajar itu akan terjadi dengan lancar apabila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinu, dan memanfaatkan kelompok-kelompok kecil untuk dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Djahiri K (2004), menyebutkan belajar bersama (cooperatif learning) menuntut diterapkannya pendekatan belajar siswa yang sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa.
Model pembelajaran AIR adalah model pembelajaran yang menganggap bahwa suatu pembelajaran akan efektif jika memperhatikan tiga aspek, yaitu Auditory, Intellectually, dan Repetition. Aspek auditory berkaitan dengan indera pendengaran siswa, dimana siswa belajar dengan mendengar, berdiskusi, dan presentasi. Intellectually adalah siswa belajar untuk berfikir dan memecahkan masalah. Repetition yang berarti siswa perlu diberi kegiatan pengulangan melalui latihan soal, pemberian tugas, atau kuis dengan tujuan pemahaman siswa terhadap materi lebih mendalam.
Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific appoach) akan lebih efektif apabila aspek-aspek pendekatan ilmiah dilaksanakan secara berkesinambungan, diantaranya: (1) Mengamati merupakan kegiatan yang dilakukan dengan melihat, menyimak, mendengar, dan membaca hal terpenting dari suatu objek atau benda. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi. (2) Menanya adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Adapun kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. (3) Aktivitas mengumpulkan informasi dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/ kejadian/, aktivitas wawancara dengan nara sumber dan sebagainya. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. (4) Mengolah informasi adalah memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/ eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. (5) Menarik kesimpulan merupakan kegiatan menemukan keterkaitan antar informasi dan menemukan berbagai pola dari keterkaitan tersebut, selanjutnya secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau secara individual membuat kesimpulan. (6) Kegiatan mengkomunikasikan adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Adapun kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Secara umum, pendekatan scientific appoach (pendekatan limiah) siswa diarahkan pada pembelajaran berbasis riset. Karakteristik pembelajaran berbasis riset merupakan implementasi perpaduan dari karakteristik tindakan penelitian dan pembelajaran bermakna. Pembelajaran berbasis riset memiliki tujuh karakteristik, meliputi (1) sistematik, (2) aktif, (3) Implementasi Model Pembelajaran AIRHasil BelajarPendekatan Scientific AppoachTerampil Mampu memecahkan masalahImplementasi Model Pembelajaran AIRHasil BelajarPendekatan Scientific AppoachTerampil Mampu memecahkan masalahkreatif, (4) inovatif, (5) efektif, (6) objektif, dan (7) ilmiah.
Implementasi
Model Pembelajaran AIR
Hasil Belajar
Pendekatan Scientific Appoach
Terampil
Mampu memecahkan masalah
Implementasi
Model Pembelajaran AIR
Hasil Belajar
Pendekatan Scientific Appoach
Terampil
Mampu memecahkan masalah
Gambar 2.4. Kerangka Berfikir
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berfikir, maka dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan dan memecahkan masalah model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR) dengan pendekatan (pemebelajaran ilmiah) Scientific Appoach lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) partisipan. Aqib (2007), mengatakan suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan apabila peneliti terlibat langsung di dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian yang berupa laporan.
Dengan demikian, sejak perencanaan penelitian peneliti senantiasa terlibat secara langsung, selanjutnya peneliti memantau, mencatat dan mengumpulkan data, lalu menganalisis data serta terakhir dengan melaporkan hasil penelitiannya. Penelitian tindakan secara garis besar ada empat langkah penting, yaitu pengembangan plan (perencanaan), act (tindakan), observe (pengamatan) dan reflect (perenungan), atau disingkat dengan PAOR.
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Nunukan, sementara objek penelitian adalah model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR) dengan pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific appoach).
C. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober sampai dengan November 2014. Rancangan PTK ini disusun dengan dua siklus, tiap-tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Ide UtamaPeninjauan Perencanaan Tindakan 1Tindakan 2 Monitor Ide UtamaPeninjauan Perencanaan Tindakan 1Tindakan 2 Monitor
Ide Utama
Peninjauan
Perencanaan
Tindakan 1
Tindakan 2
Monitor
Ide Utama
Peninjauan
Perencanaan
Tindakan 1
Tindakan 2
Monitor
Gambar 3.1. Siklus PTK Model Eliot
Prosedur pelaksanaan PTK dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti yaitu dalam bentuk persiapan. Secara rinci, setiap fase atau putaran akan dijelaskan sebagai berikut:
Ide Utama
Permasalahan yang dihadapi adalah kurang terampilnya siswa dalam memecahkan masalah matematika sehingga memperngaruhi hasil belajar siswa.
Peninjauan (Reconnaisance)
Pada tahap peninjauan, peneliti mengamati gejala dilapangan dan melakukan studi kelayakan untuk mensinkronkan antara ide utama dan perencanaan.
Perencanaan
Membuat skenario pembelajaran.
Membuat lembar observasi.
Membuat lembar kegiatan siswa dan alat bantu dalam mengajar.
Membuat alat evaluasi.
Tindakan (Acting)
Setelah diperoleh rencana yang baik dan sesuai dengan keadaan dilapangan, peneliti melakukan tindakan dengan melakukan skenario pembelajaran yang telah direncanakan terlebih dahulu.
Mengkondisikan siswa dan memberi penjelasan tentang strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran.
Melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Monitor
Di akhir tindakan, peneliti melakukan monitoring terhadap efek tindakan yang mungkin berupa keberhasilan dan hambatan disertai dengan faktor-faktor penyebabnya. Atas dasar hasil monitoring tersebut, peneliti dapat menggunakannya sebagai bahan perbaikan yang dapat diterapkan pada langkah tindakan kedua dan seterusnya sampai diperoleh informasi atau kesimpulan apakah permasalahan yang telah dirumuskan telah terpecahkan.
D. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Instrumen penelitian ini dirancang dengan pedoman penilaian tentang kinerja dan portofolio siswa. Teknik pengumpulan data berupa tes dan dokumentasi serta penilaian otentik (assesment otentic). Tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar matematika siswa yang terdiri dari tes hasil belajar, pemberian tugas, observasi, dan dokumentasi nilai. Dokumentasi di gunakan untuk mengetahui kegiatan pembelajaan yang dilakukan oleh guru dan siswa selama di kelas.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif yang berupa kata-kata bukan rangkaian angka. Data yang diperoleh melalui observasi dan nilai hasil belajar dipaparkan dalam bentuk paparan naratif dan kuantitatif. Analisis data kuantitatif menggunakan analisis data statistik deskriptif dengan menggunakan rata-rata dan grafik.
F. Definisi Operasional
Model Pembelajaran AIR (Auditory Intellectually Repetition)
Model pembelajaran AIR adalah model pembelajaran yang diterapkan pada objek penelitian yaitu kelas X IPA 3. Model pembelajaran ini terdiri atas tiga tahap, yaitu:
Tahap Auditory
Kegiatan guru, yaitu membagi siswa kedalam beberapa kelompok, dimana masing-masing kelompok beranggotakan 6-7 orang, memberikan LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok dan memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai soal LKS yang kurang dipahami. Kegiatan siswa adalah siswa menuju kelompoknya masing-masing yang telah ditentukan oleh guru. Siswa mengerjakan LKS untuk dikerjakan secara berkelompok dan siswa bertanya soal LKS yang kurang dipahami.
Tahap Intellectualy
Kegiatan guru yaitu membimbing kelompok belajar siswa untuk berdiskusi dengan rekan dalam satu kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya, serta memberikan kesempatan kelompok lain untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya. Sedangkan kegiatan siswa yaitu mengerjakan soal LKS secara berkelompok dengan mencermati contoh-contoh soal yang diberikan, mempresentasikan hasil kerjanya secara berkelompok dan kelompok lain menanggapi dan memberikan pendapatnya.
Tahap Repetition
Kegiatan guru yaitu memberikan latihan soal kepada siswa, dengan dibimbing oleh guru siswa secara lisan menarik sebuah kesimpulan tentang materi yang telah dibahas. Kegiatan siswa diantaranya memberikan soal kepada siswa secara individu dan siswa membuat kesimpulan untuk materi yang telah dibahas.
Pendekatan Pembelajaran Ilmiah (Scientific Appoach)
Mengamati (observing)
Kegiatan guru: siswa diarahkan untuk membaca, mengamati, dan menyimak permasalahan yang diberikan oleh guru dengan alat peraga matematika yaitu menara hanoi. Kegiatan siswa: siswa menuju kelompoknya untuk berdiskusi untuk mengerjakan LKS
Menanya (questioning)
Kegiatan guru: guru memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana untuk membantu proses pemecahan masalah. Kegiatan siswa: siswa diberikan kesempatan untuk bertanya terkait dengan soal yang diberikan.
Mengumpulkan informasi/ mencoba (experimenting)
Kegiatan guru: siswa diminta untuk berdiskusi sesama kelompoknya, mendemonstrasikan dan mencoba menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Kegaiatn siswa: siswa mengumpulkan beberapa informasi dari hasil diskusi kelompok dan menyelesaikan soal yang diberikan.
Menalar/ Mengasosiasi (associating)
Kegiatan guru: guru mengarahkan siswa untuk mengolah informasi dari yang telah didapatkan dan menganalisa hasil temuannya tersebut, dalam tahap ini siswa terjadi proses berfikir dari berfikir sederhana lower order thinking (LOT) hingga berfikir higher order thinking (HOT) berfikir tinggi. Kegiatan siswa: setelah siswa mengumpulkan dan mengolah informasi, siswa menyiapkan hasil temuannya untuk dipresentasikan didepan kelas mewakili kelompoknya masing-masing.
Mengkomunikasikan (communicating)
Kegiatan guru: siswa diarahkan untuk mendemontrasikan dan mempresentasikan hasil diskusi siswa secara berkelompok. Kegiatan siswa: masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil temuan diskusinya didepan kelas dan kelompok lain memberikan tanggapannya.
Hasil Belajar
Hasil belajar siswa diperoleh siswa setelah mengikuti tes atau ulangan harian dimana yang menjadi tolak ukur adalah penilaian kognitif atau pengetahuan siswa dan keterampilan siswa (KI-3 dan KI-4). Hasil belajar siswa dalam penelitian ini diperoleh dari nilai tugas, dan ulangan harian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di SMA N 1 Nunukan. SMA N 1 Nunukan yang beralamat di Fatahillah, Kelurahan Nunukan Tengah, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan. SMA N 1 Nunukan cukup strategis karena lokasi mudah dijangkau. SMA N 1 Nunukan memiliki tenaga pengajar atau guru sebanyak 41 orang. SMA N 1 Nunukan merupakan SMA Negeri yang berada di bawah binaan Dinas Pendidikan Nunukan.
Penelitian dilakukan pada siswa kelas X IPA 3 dengan jumlah siswa 44 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak 17 siswa dan perempuan 27 siswa.
Deskripsi Hasil Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan sebanyak dua kali putaran atau dua siklus. Putaran I di lakukan sebanyak tiga kali pertemuan, sedangkan pada putaran kedua sebanyak tiga kali pertemuan, dengan satu kali pertemuan terakhir tes ulangan harian. Sebelum peneliti melakukan penelitian, peneliti sudah membuat kelompok terlebih dahulu dimana pembentukan kelompok tersebut berdasarkan dari materi-materi sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengevisienkan waktu yang ada.
Pertemuan pertama, terlebih dahulu siswa diarahkan pada model pembelajaran yang ingin di teliti yaitu model AIR dengan pendekatan pembelajaran ilmiah. Pertemuan kedua, merupakan lanjutan pertemuan pertama dimana siswa diharapkan dipertemuan kedua ini sudah terbentuk konsep matematikanya. Sedangkan dipertemuan ketiga, yaitu dilakukan pemberian tugas dan tes awal. Hasil tes awal digunakan sebagai skor dasar untuk menghitung skor peningkatan, kemudian di analisa untuk diketahui sejauh mana peningkatan hasil belajar matematika siswa persiklus. Karena permasalahan belum terselesaikan, artinya masih banyak siswa yang belum memahami konsep matematika dan memecahkan masalah, maka peneliti melanjutkan pada putaran kedua atau siklus II. Berikut hasil dokumentasi pada kegiatan orientasi menemukan pola bilangan perkelompok.
Gambar 4.1. Orientasi Siswa Penemuan Pola Bilangan Dengan Alat
Peraga Matematika Menara Hanoi
Adapun hasil penelitian dalam setiap putaran sebagai berikut:
Siklus I
Ide Utama
Ide utama dari penelitian ini terkait dengan banyaknya siswa yang kurang terampil dan kurang mampu memecahkan masalah matematika siswa. Hal ini tergambar melalui pengamatan dan penilaian kompetensi pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-4) siswa pada materi sebelumnya. Hasil pengamatan dan penilaian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebelum di lakukan penelitian 44 siswa tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 68.
Peninjauan
Karena adanya gejala permasalahan kurang terampil dan kurang mampu memecahkan masalah matematika siswa, maka peneliti mencoba menghubungkan dengan model pembelajaran yang ingin diteliti yaitu model auditory intelectually repetition (AIR) dengan pendekatan pembelajaran scientific appoach.
Perencanan
Alternatif pemecahan masalah yang ada di lakukan dengan menggunakan model pembelajaran AIR dengan pendekatan scientific appoach. Hal penting yang harus disiapkan oleh peneliti adalah membuat lembar observasi, skenario pembelajaran, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Masing-masing siklus, pertemuan di lakukan sebanyak tiga kali pertemuan, pada siklus I pertemuan ketiga dilakukan tes awal, dan pada siklus II pertemuan ketiga dilakukan tes akhir.
Tindakan I
Pada awal pertemuan, guru menjelaskan mengenai model dan strategi pembelajaran yang dilakukan, kemudian guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran dan RPP, serta siswa duduk secara berkelompok. Sementara pada pertemua kedua, siswa masih diberikan pemahaman terkait dengan materi yang belum dikuasai oleh siswa. Pada pertemuan ketiga siklus I, guru melakukan tes awal untuk mengetahui keberhasilan siswa.
Monitor
Hasil monitoring pada siklus I diperoleh sebagai berikut:
Pertemuan I: sebagian siswa belum bisa mengikuti strategi pembelajaran yang diberikan oleh guru, masih ada beberapa siswa yang tidak berpartisipasi dalam diskusi kelompok, dan adanya anggota kelompok yang mendominasi.
Pertemuan II: siswa sudah mulai mengikuti strategi pembelajaran yang diberikan, indikatornya yaitu berkurangnya siswa yang tidak berpartisipasi dalam diskusi kelompok, meskipun masih ada anggota kelompok yang mendominasi.
Pertemuan III: guru melakukan tes awal, dimana hasil belajar diperoleh sebanyak 14 siswa yang sudah mencapai nilai KKM 68, sedangkan 30 diantaranya tidak memenuhi nilai KKM.
Berdasarkan hasil pada siklus I diatas, maka diketahui bahwa rata-rata keberhasilan siswa sudah mencapai 31,8%. Namun demikian, karena masih adanya beberapa anggota kelompok dan keberhasilan pembelajaran masih jauh dari target yang ada, maka perlu dilakukannya tindakan II.
Siklus II
Permasalahan
Masih terdapat siswa yang pasif dalam diskusi kelompok.
Masih terdapat dominasi anggota kelompok.
Terdapat beberapa siswa yang belum memahami dan terampil dalam memecahkan masalah matematika siswa yang diberikan.
Perencanaan
Menyiapkan lembar observasi.
Menyiapkan skenario pembelajaran.
Melaksanakan RPP
Membuat LKS
Tindakan II
Siklus II dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Pada pertemuan pertama, guru fokus kepada permasalahan yang menghambat keberhasilan pembelajaran, diantaranya perbaikan pembelajaran. Pertemuan kedua adanya perbaikan pembelajaran setelah peneliti memperoleh hasil pembelajaran siswa baik secara individu ataupun kelompok. Pertemuan ketiga, peneliti melakukan tes akhir atau tes formatif ulangan harian.
Monitor
Hasil monitoring pada siklus II ini, diperoleh data sebagai berikut:
Pertemuan I: guru fokus pada materi pembelajaran untuk mencapai nilai KKM 68, akan tetapi masih ada beberapa siswa yang kurang paham terkait dengan materi dikarenakan siswa tersebut tidak hadir pada pertemuan sebelumnya.
Pertemuan II: sebanyak 81% siswa atau sebanyak 35 siswa diantaranya sudah menguasai kompetensi yang diberikan, hal ini ditunjukkan adanya dinamika kelompok yang baik, dan proses jalannya diskusi kelompok dengan maksimal.
Pertemuan III: guru melakukan tes formatif kepada siswa (ulangan harian), dan diperoleh tingkat keberhasilan belajar siswa sebesar 15,69 % dan sebanyak 22 siswa sudah mencapai KKM 68 atau sebesar 50% siswa sudah menguasai materi pembelajaran.
Secara keseluruhan, baik nilai tugas, nilai tes formatif (ulangan harian) siswa, maupun observasi, tugas projek siswa serta tugas portofolio siswa dapat dilihat pada tabel hasil belajar siswa tiap siklus.
Tabel 4.1. Nilai Hasil Belajar Siswa Persiklus
Siklus
Rata-rata Nilai
Prosentase
Peningkatan (%)
Keterangan
N. T
U. H.
H. B
Awal
79
28
45
-
Sebelum penelitian
I
81
68
72
58,82
Penelitian
II
82
78.1
79,2
15,69
Penelitian
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Keterangan:
N. T = nilai tugas U.H = ulangan harian H. B = hasil belajar
Dari tabel 4.1 diatas, nilai tugas, ulangan harian, dan hasil belajar serta persentase peningkatan terlihat bahwa tiap siklus mengalami peningkatan hasil belajar matematika siswa.
Tabel 4.2. Poin Peningkatan Hasil Belajar Perkelompok
Siklus
Poin Peningkatan Kelompok
Kel. A
Kel. B
Kel. C
Kel. D
Kel. E
Kel. F
I
18
18
15
14
19
20
II
25
22
22
20
20
25
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Tabel 4.3. Kriteria Poin Peningkatan Hasil Belajar Perkelompok
Siklus
Kriteria Poin Peningkatan Kelompok
Kel. A
Kel. B
Kel. C
Kel. D
Kel. E
Kel. F
I
Baik
Baik
Baik
Cukup
Baik
Baik
II
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
Baik
Baik
Sangat Baik
Rerata
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
Baik
Baik
Sangat Baik
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Dari tabel 4.2 dan 4.3 mengenai peningkatan hasil belajar kelompok, pada siklus I kemampuan belajar kelompok siswa belum siap menerima pembelajaran dengan model diatas, karena ada satu kelompok belajar siswa yang mempunyai krtiteria cukup.
Gambar 4.2. Grafik Nilai Tugas, Nilai Ulangan Harian, dan Nilai Akhir
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Gambar 4.2 mengartikan bahwa aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yang baik, hal ini di tunjukkan dengan masing-masing siklus mengalami peningkatan.
Gambar 4.3. Grafik Peningkatan Hasil Belajar Setiap Siklus
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Dari gambar 4.3 diatas, meingkatnya hasil belajar siswa dapat diindikasikan bahwa siswa sudah bisa menerima pembelajaran dengan model AIR dan pendekatan pembelajaran saintifik. Pada grafik awal menunjukkan rata-rata hasil belajar sebesar 45, setelah menggunakan model pembelajaran diketahui siklus I hasil belajar 72 serta siklus II diketahui nilai akhir 79,2.
Gambar 4.4. Grafik Persentase Poin Peningkatan Persiklus
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Pada siklus I masih ada beberapa siswa yang belum terampila memecahkan masalah matematika siswa sehingga diperoleh 58,82 % sedangkan pada siklus II sebesar 15,69 % poin peningkatan masing-masing siklus.
Dikarenakan hasil belajar siswa dan siswa dapat memecahkan masalah matematika serta terampil mengalami peningkatan, maka peneliti mengakhhiri sampai pada tahap siklus II. Walaupun demikian, masih ada siswa yang kurang terampil dan kurang mampu memecahkan masalah matematika siswa yang berdampak pada hasil belajar siswa.
Gambar 4.5. Kegiatan Diskusi Kelompok Siswa Model Pembelajaran AIR
dengan Pendekatan Saintific Appoach
Dalam diskusi kelompok, peran guru sebagai fasilitator membantu dan membimbing siswa untuk dapat terampil dan mampu memecahkan masalah matematika, namun terkadang, guru membantu kelompok belajar siswa secukupnya apabila dibutuhkan.
Gambar 4.6. Kelompok Siswa Yang Mempresentasikan Hasil Kegiatan
Diskusi Kelompok
Pada setiap akhir siklus diadakan tes sebagai alat untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Pelaksanaan tes individual ini dilakukan setiap akhir pembelajaran. Tes tertulis yang digunakan berupa essai. Ketuntasan belajar individual ditetapkan jika siswa mendapat nilai 68 dan ketuntasan belajar klasikal ditetapkan 31,8% siswa mendapatkan nilai 68 pada siklus I sedangkan siklus II 50%. Data hasil tes setiap akhir siklus dan sebelum pelaksanaan tindakan disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.4. Hasil Tes Tertulis Siswa Pada Tiap Siklus
Keterangan
Siklus I
Siklus II
Nilai Tertinggi
85
100
Nilai Terendah
50
40
Rata-rata Nilai Siswa
70
78,1
Ketuntasan Klasikal
Belajar Siswa
31,8%
50%
Sumber: (Hasil Penelitian, 2014)
Hasil belajar individual maupun klasikal mengalami kenaikan. Meningkatnya nilai rata-rata siswa dan ketuntasan belajar secara klasikal tersebut menunjukan peningkatan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Melalui pendekatan scientific appoach, materi yang dibahas menjadi lebih nyata, lebih menarik, dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa dan siswa mengalami sendiri sehingga pemahaman siswa lebih mendalam.
Pada siklus 2, siswa diminta untuk menggunakan alat dan bahan melalui kegiatan percobaan untuk mengetahui pola bilangan. Kegiatan tersebut membuat siswa lebih termotivasi untuk mempelajari dan memahami materi pelajaran yang disampaikan. Siswa belajar dengan baik karena mereka terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Hasil belajar tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya melaui sumber belajar yang dirancang oleh guru.
Peningkatan pemahaman siswa juga sangat dipengaruhi keaktifan dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata siswa yang sejalan dengan meningkatnya aktivitas siswa pada tiap siklus.
Pembahasan
Pada pelaksanaan tindakan pertama, guru mengalami cukup kesulitan karena perencanaan yang telah disusun tidak dapat terlaksana dengan baik. Permasalahan yang kerap kali muncul dilapangan adalah siswa tidak mau terlibat aktif dalam diskusi kelompok ataupun bekerja secara individu, meskipun diketahui peningkatan hasil belajar kelompok cukup baik, sehingga ditemukanlah akar permasalahan diatas: (1) siswa kurang peduli baik sesama teman ataupun kelompok, (2) siswa masih cenderung individu, dan (3) siswa masih belum dapat mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran AIR.
Sedangkan pelaksanaan siklus kedua, guru sudah bisa menerapkan model pembelajaran AIR dengan pendekatan saintific appoach dan siswa sudah bisa menerima pembelajaran model AIR. Setiap siswa dalam kelompoknya masing-masing terlibat secara aktif dalam melakukan percobaan dan mengamati hasilnya. Kerja sama dalam kelompok terlihat sangat baik. Pembagian tugas antaranggota kelompok sudah terlihat merata dan maksimal.
Pada saat mendiskusikan hasil percobaan, masing-masing siswa sudah berkontribusi secara aktif dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan semua siswa ikut bekerja sama dalam melakukan percobaan dan mengamati hasilnya sehingga mereka mempunyai bekal pengetahuan yang hampir sama sebagai bahan diskusi kelompok. Siswa tidak lagi bergantung pada temannya yang dianggap pintar. Prosentase keaktifan siswa mencapai 50% dan sudah memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Kualitas pembelajaran mengalami peningkatan kreatifitas siswa dengan model Auditory Intellectualy Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning.
Kualitas pembelajaran mengalami peningkatan kemampuan memecahkan masalah matematika model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning.
Model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning lebih efektif dari pembelejaran yang konvensional.
Saran
Kualitas hasil belajar siswa dapat ditunjukkan pengetahuan siswa (KI-3), dan kompetensi keterampilan (KI-4). Penguatan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah matematika menjadi faktor penentu peningkatan hasil belajar siswa, hal ini bergantung pada strategi pembelajaran didalam kelas. Untuk strategi pembelajaran model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning bisa dijadikan sebagai alternatif dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran matematika siswa.
Hasil ini menunjukkan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran yang klasik ataupun model pembelajaran konvensional dan peneliti berharap, model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan pendekatan scientific learning bisa diterapkan pada bidang studi-bidang studi lainnya, mengingat kualitas pembelajaran bergantung pada model ataupun strategi pembelajaran didalam kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Z. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya.
Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rikna Cipta.
Iriyanto. 2012. Learning Methamorposis, Hebat Gurunya Dahsyat Muridnya. Jakarta: Erlangga.
Iryanti, Puji. 2011. Prinsip Dasar Penilaian Matematika. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Isjoni. 2010. Cooperatif Learning, Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfa Beta.
Mangun, Sigit. 2013. Pembelajaran Berbasis Riset. Jakarta: Akademia Permata.
Mustaqimah. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) Dengan Setting Model TGT (Teams Games-Tournament Terhadap Pemahaman Konsep dan Motivasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta. Skripsi S1 Tidak Diterbitkan. Fakultas Sains dan Teknologi Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga.
Purniawati, Sisca. 2013. Implementasi Model Pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) Pada Materi Bangun Datar Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VII SMP N 1 Pabean. Skripsi S1 Tidak Diterbitkan. FKIP Pendidikan Matematika Universitas Satya Wacana.
Shadiq, Fajar. 2011. Psikologi Pembelajaran Matematika SMA. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Shadiq, Fajar. 2011. Strategi Pembelajaran Matematika SMA. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Silberman, Mel. 2001. Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Yappendis.
Slavin, Robert E. 2009. Cooperatif Learning, Teori, Riset dan Praktek. Bandung: Nusa Media.