BAB I PENDAHULUAN
2
2
3 Latar Belakang
Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan juga digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Lahan memiliki sifat atau karakteristik yang spesifik. Secara klasik lahan diartikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki Sifat-sifat biofisk dan atribut atau keadaan unsurunsur lahan yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur, drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya. Namun pengertian lahan tidaklah sesempit itu, secara luas lahan diartikan sebagai suatu kesatuan lingkungan biofisik bagian dari bentang alam dan mencakup lingkungan sosial budaya dan ekonomi dari lahan tersebut. Karena peranan lahan yang bersifat multifungi ini, maka dalam proses pengelolaan lahan ketiga aspek tersebut perlu dipertimbangkan. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, kualitas sumberdaya lahan semakin berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya daya dukung lahan dalam menyangga kegiatan produksi di atasnya, rentan terhadap proses degradasi lahan dan kerusakan lingkungan lainnya. Untuk itu perlu pengelolaan lahan yang efektif, efisien dan optimal sehingga kelestarian lahan juga dapat terjaga dan kebutuhan manusia akan lahan dapat tercukupi. Pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pengelolaan sumberdaya lahan yang bertumpu pada tiga aspek utama yaitu (1) Kepedulian Lingkungan (Ecologically Awareness), Awareness), dimana pengelolaan tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis lahan tersebut. Keseimbangan lingkungan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam; (2) Bernilai ekonomis (Economic Valueable), pengelolaan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi, sumber daya alam dapat terlanjutkan (tidak tereksploitasi); dan (3) Berwatak sosial (Socially Just), sistem pengelolaan harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tanah dan lahan yang diterapkan pada setiap daerah atau lokasi tertentu harus bersifat spesifik dalam arti menyesuaikan dengan potensi biofisik, sosial budaya, dan nilai ekonomi daerah tersebut. Daerah-daerah di Indonesia memiliki heterogenitas sosial dan budaya yang tinggi. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan tersendiri dalam sistem pengelolaan lahannya. Penerapan norma-norma lokal seperti hukum adat dan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan masih banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat penting dalam menetapkan pengelolaan lahan yang sesuai dan mampu mengsinergikan antara potensi-potensi serta norma yang berlaku di daerah masing-masing.
4 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi dan potensi serta permasalahan pengelolaan lahan yang ada di berbagai daerah Indonesia dan menerapkan bagaimana sistem pengelolaan tanah dan lahan yang sesuai untuk pemanfaatan komoditi dan tujuan tertentu di daerah tersebut berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan berkelanjutan.
5
BAB II ISI MAKALAH
6
7
“Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi di Kabupaten Bogor” Disusun Oleh: Gilang Sukma Putra
PENDAHULUAN Latar Belakang
Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi. Tercatat pada tahun 2013 angka konsumsi beras per kapita Provinsi Jawa Barat mencapai 90.3 Kg (BPS Jabar, 2013). Produksi Gabah Kering Giling (GKG) Kab. Bogor sebanyak 551 ribu ton pada 2013 (Bogor Dalam Angka, 2014) hanya mampu mencukupi sebesar 79.2% konsumsi beras penduduk Kab. Bogor yang berjumlah sekitar 5.1 juta jiwa. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk meningkatkan produksi beras perlu dilakukan untuk mengurangi defisit tersebut melaui sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih baik. Usaha pengelolaan tanah dan lahan yang dilakukan perlu menerapkan konsep keberlanjutan. Diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian yang menyeluruh, selain dapat meningkatkan angka produksi juga harus bersifat partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012). Selama ini peningkatan hasil produksi padi melalui pendekatan PTT sudah berkembang di lahan sawah irigasi. Berbagai perpaduan komponen teknologi yang sifatnya saling sinergis, kompatibel, dan saling melengkapi telah dianjurkan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi yang lebih efisien, menguntungkan dan berkesinambungan. Menurut survei yang dilakukan Balitbang Pertanian (2007) diperoleh bahwa dari 28 kabupaten yang telah menerapkan pendekatan PTT sejak tahun 2002-2003 produksi padi irigasi mengalami peningkatan rata-rata 19% dan pendapatan petani 15%. Kabupaten Bogor sendiri sebenarnya sudah menerapkan sistem PTT padi di beberapa daerah seperti di Desa Karacak pada tahun 2005 (Maryati et al, 2005) dan Kecamatan Ciseeng pada tahun 2011 (Muslihat, 2012). Hasilnya pun cukup memuaskan, terbukti dengan pendekatan PTT mampu meningkatkan produktifitas padi menjadi 6 – 9 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektar. Oleh karena itu, adopsi PTT ke berbagai daerah budidaya padi di Kabupaten
8 Bogor sudah saatnya untuk digalakkan untuk meningkatkan jumlah produksi beras Kab. Bogor. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan memahami sistem budidaya padi sawah menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) sebagai bagian dari realisasi program revitalisasi pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bogor.
GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Geografi, Administratitf, dan Demografi
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298,838,304 Ha, secara geografis terletak di antara 6º18'0" - 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" 107º13'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wila yahnya: Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi; Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak; Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta; Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur; Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor. Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29.28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42.62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19.53% berada pada ketinggian 500 – 1,000 meter dpl, 8.43% berada pada ketinggian 1000 – 2000 meter dpl dan 0.22% berada pada ketinggian 2,000 – 2,500 meter dpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor. Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2,500 – 5,000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C.
9 Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata – rata 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata – rata sebesar 146.2 mm/bulan. Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi ke dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi; (6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32 jaringan irigasi pemerintah, 900 jaringan irigasi pedesaan, 95 situ dan 96 mata air. Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah – tanah yang relatif subur. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Jenis tanah di Kabupaten Bogor terdiri dari 22 jenis tanah menurut sistem Klasifikasi PPT (1983) dimana dengan presentase terbesar adalah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit Air Tanah sebesar 20.20 % (60,439,627 Ha). Sedangkan jenis tanah lainnya adalah sebagai berikut: 1. Andosol Coklat Kekuningan (1%); 2. Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan (4.71 %); 3. Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat (3.22 %); 4. Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Kekuningan (3.83 %); 5. Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu (5.89 %); 6. Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat (8.78 %); 7. Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu (0.34%); 8. Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol (0.30 %); 9. Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediateran (5.81 %); 10. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol (6.71 %); 11. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, Podsolik Merah Kekuningan (5.61 %); 12. Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol (2.84%); 13. Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol (1.69 %); 14. Kompleks Rensina, Litosol Batu Kapur dan Brown Forest Soil (0.89 %); 15. Latosol Coklat (7.62 %); 16. Latosol Coklat Kekuningan (1.91 %); 17. Latosol Coklat Kemerahan (0.001 %); 18. Latosol Coklat Tua Kemerahan (6.32 %); 19. Podsolik Kuning (1.57 %); 20. Podsolik Merah (2.07 %) dan 21. Podsolik Merah Kekuningan (7.54 %). Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang di dalamnya meliputi 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), yang tercakup dalam 3,882 RW dan 15,561 RT. Pada tahun 2012 telah dibentuk 4 (empat) desa baru, yaitu Desa Pasir Angin Kecamatan Megamendung, Desa
10 Urug dan Desa Jayaraharja Kecamatan Sukajaya serta Desa Mekarjaya Kecamatan Rumpin. Luas wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah dikelompokkan menjadi: kebun campuran seluas 85,202.5 Ha (28.48%), kawasan terbangun/pemukiman 47,831.2 Ha (15,99%), semak belukar 44,956.1 Ha (15.03%), hutan vegetasi lebat/perkebunan 57,827.3 Ha (19,33%), sawah irigasi/tadah hujan 23,794 Ha (7.95%), tanah kosong 36,351.9 Ha (12.15%). Secara umum, kondisi demografis Kabupaten Bogor dapat digambarkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 berjumlah 5,111,769 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 2,616,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,494,807 jiwa. Jumlah penduduk tersebut hasil proyeksi penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2.44 persen dibanding tahun 2012. Angka ini merupakan laju pertumbuhan penduduk proyeksi selama kurun waktu 1 tahun (RPJMD Kab. Bogor, 2013). Kondisi Kawasan Pertanian
Kabupaten Bogor di tahun 2013 memiliki areal persawahan kurang lebih seluas 47,663 Ha (Kab. Bogor Dalam Angka, 2014). Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Bogor masih mengandalkan sektor pertanian pangan untuk menopang perekonomian di wilayahnya. Cukup berkembangnya sektor pertanian di Kabupaten Bogor, terutama disebabkan karena karakteristik lahan dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan pertanian. Di sektor pertanian, komoditas utama produksi terdiri dari tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Komoditas pertanian yang dihasilkan antara lain padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe. Budidaya tanaman pangan padi menyebar hampir di semua kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara, dimana sudah tersedia irigasi, seperti di Kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa kecamatan dalam luasan terbatas. Produktifitas tanaman padi sawah adalah berkisar 4 - 5 ton per ha, sedangkan produktifitas padi gogo 2 – 3 ton per ha (Dinas Pertanian Jabar, 2013). Produktifitas ini sebenarnya masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan, seperti menekan bahaya banjir dan perbaikan manajemen usaha tani seperti pemberian pupuk tepat dosis dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana seperti pembangunan pasar, gilingan padi, dan lain-lain. Kendala penting tanaman padi sawah lainnya adalah luasan padi sawah rata-rata adalah 2.500 m2 per keluarga. Dengan luasan kepemilikan yang rendah ini maka harus dilakukan pencetakan lahan sawah baru dan melindungi luasan lahan petani yang ada terutama lahan milik petani-petani gurem. Daerah pertanian hortikultur seperti sayuran dan buah juga menyebar hampir di semua wilayah, tetapi konsentrasi komoditas tertentu hanya menyebar pada wilayah tertentu. Tanaman jagung menyebar di Kecamatan Darmaga, Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Klapanunggal, Rancabungur, Cibinong,
11 Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Sedangkan tanaman kedelai menyebar hanya di Tamansari, Kemang, Rancabungur dan Megamendung. Situasi yang sama juga terjadi pada sayuran dan buah. Daerah sayuran mendominasi terbatas pada beberapa kecamatan seperti Cisarua, Darmaga, Leuwisadeng, Cigombong, sedangkan buah berasal dari Tanjungsari, Mekarsari, Jasinga, Tajurhalang, dan lain-lain. Kendala utama dalam komoditas lahan kering (semusim dan tahunan) adalah masih rendahnya produktifitas yang terkait dengan manajemen usaha tani, dan pemasaran. Khususnya untuk tanaman buah, sebenarnya ada varietas lokal yang sudah dikenal tetapi produksi masih rendah, sehingga upaya pengembangan komoditas yang bersifat lokal perlu dilakukan. Penyebaran areal tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor, tetapi ada daerah-daerah utama perkebunan, seperti misalnya perkebunan teh di Ciawi, karet di Tanjungsari, dan kelapa sawit di Kecamatan Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, dan Rumpin. Tanaman perkebunan ini secara keseluruhan terdapat pada lahan yang berkategori kelas 3 dengan kendala utamanya adalah faktor kelerengan, sehingga degradasi lahan melalui proses erosi dan penurunan kesuburan menjadi persoalan utama dan faktor pembatas. Dari sisi luasan kawasan yang dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan relatif terbatas (total sekitar 19 ribu hektar), sehingga bentuk usaha skala besar tidak dianjurkan, tetapi ke bentuk usaha perkebunan skala kecil dan bekerjasama dengan usaha yang sudah besar (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan LPPM IPB, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Pangan, Produksi Padi dan Isu Permasalahan Ketersediaan Pangan
Kabupaten Bogor memiliki luas areal lahan sawah seluas 47,663 Ha di tahun 2013 (Kab. Bogor Dalam Angka, 2013). Sejak 5 tahun terakhir, terjadi penurunan luas areal sawah sekitar 0.5% dari tahun ke tahun. Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa luas panen padi sawah di tahun 2013 sebesar 91,318 Ha dari luasan areal tanam 91,389 Ha yang berarti sekitar 99.9% areal sawah sudah dapat dipanen dan menghasilkan gabah. Produksi total Gabah Kering Giling (GKG) padi Kab. Bogor di tahun 2013 mencapai 510,169 ton dengan rata-rata produktifitas sebesar 6.04 ton/ha. Namun jumlah ini masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Kab. Bogor. Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa konsumsi GKG Kab. Bogor di tahun 2013 sebesar 696,729 ton. Terjadi defisit pangan sebesar 145,076 ton di tahun 2013. Tabel 1.1. Data Luas Tanam, Luas Panen, Produktifitas, dan Produksi GKG Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013 Produktifitas Tahun Luas Tanam*) Luas Panen*) Produksi GKG GKG*) Ha Ha Ton/Ha Ton 85,706 82,697 5.97 2009 89,694 88,903 5.96 2010 86,821 82,714 5.92 2011 87,093 83,931 5.79 2012 91,389 91,318 6.04 2013 88,140,60 85,913 5.94 Rataan Sumber: *) Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2013
493,779 529,866 489,919 485,627 551,653 510,169
12 Tabel 1.2.Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013 Jumlah Konsumsi Beras Konsumsi Kebutuhan Tahun Penduduk *) Per Kapita **) Beras Total GKG Total jiwa
Kg
Ton
2009 4,643,186 91.30 423,932 2010 4,771,932 90.16 430,214 2011 4,922,205 89.48 440,424 2012 4,989,939 87.24 435,297 2013 5,111,769 85.51 437,128 Rataan 4,887,806,20 88.74 433,399 Sumber: *) BPS Kab. Bogor Tahun 2009 – 2013 **) Survei Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2009 - 2013
Ton 675,697 685,709 701,983 693,811 696,729 690,786
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya defisit neraca pangan. Diantaranya besarnya jumlah penduduk Kab. Bogor, produktifitas padi yang masih relatif rendah, dan luas areal sawah yang terbatas. Pada tahun 2013 luas areal lahan baku sawah di Kab. Bogor tercatat seluas 47,663 Ha (Bogor Dalam Angka, 2014) dengan Indeks Pertanaman (IP) padi sebesar 1.92. Sumberdaya pertanian tanaman pangan (lahan sawah) yang utama adalah tanah dan air. Bogor yang merupakan daerah sub-urban Jakarta menghadapi beberapa masalah antara lain: 1) Jumlah Penduduk dan konsumsi beras per kapita yang tinggi 2) Produktifitas Lahan Sawah dan Indeks Pertanaman Padi yang masih rendah 3) Sempitnya luas lahan per kapita penduduk, dan banyaknya petani gurem dengan pemilikan lahan yang sempit (< 0.5 ha) 4) Terbatasnya akses terhadap sumberdaya air, baik sumber air maupun jaringan irigasi untuk lahan sawah 5) Terjadinya konversi lahan terutama lahan sawah menjadi permukiman dan industri, sedang pembentukan lahan sawah baru berjalan lambat. 6) Realisasi Peraturan Agraria yang kurang optimal sehingga menghasilkan struktur penguasaan tanah yang tidak menghasilkan pemanfaatan yang terbaik, berkeadilan dan berkelanjutan. Dari segi teknis pengelolaan lahan, beberapa faktor penghambat seperti produktifitas dan indeks pertanaman padi yang rendah masih dapat ditingkatkan melalui revitalisasi sistem budidaya padi dengan mengadopsi teknologiteknologi baru yang lebih modern dalam pengelolaan lahan sawah. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Dengan memanfaatkan segala potensi biofisik, sosial, dan eknomoi yang ada pada suatu lahan, diharapkan pendekatan PTT padi dapat mengoptimalkan potensi yang ada melalui sistem budidaya yang lebih baik. Pada akhirnya, segala upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai target utama yaitu menciptakan kemandirian pangan nasional sesuai amanat pemerintah dalam PP Nomor 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
13 Potensi untuk Pengembangan Lahan Sawah Sumberdaya Air Kabupaten Bogor Kaya akan Sumberdaya Air. Kab. Bogor memiliki enam sungai besar yang memiliki cabang-cabang sangat banyak hingga 339 cabang, yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Angke dan DAS Citarum. Kabupaten Bogor banyak memiliki situ (waduk kecil), baik yang buatan maupun yang terbentuk secara alami. Hampir semua situ sepanjang tahun selalu terisi air dengan fluktuasi mengikuti pola musim. Sumber airnya berasal dari mata air atau air limpasan. Ketersediaan air dari mata air di Kab. Bogor cukup banyak dan hampir semuanya mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Data yang sudah diinventarisir adalah mata air dengan debit yang besar yaitu antara 10 liter/detik hingga 800 liter/detik. Mata air dengan debit terbesar berada di daerah Leuwiliang dan Nanggung dan telah banyak dimanfaatkan untuk irigasi, air minum, dan industri. Secara garis besar wilayah Kabupaten Bogor memiliki tiga kelompok daerah resapan air sebagai berikut: Daerah resapan air tanah utama antara lain daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Gunung Sindur, Jonggol, Pancoran Mas, Cisarua, Ciomas, Ciampea, dan Semplak. Tingkat kelulusan batuan sangat tinggi, yaitu diatas 10 3 m/hari dengan jenis batuan endapan kipas aluvium, aluvium sungai, dan endapan gunung api muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif rendah yaitu sebesar 10-4 sampai 10-2 m/hari dengan curah hujan 2500 sampai 5000 mm per tahun ke arah selatan. Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di wilayah Jasinga, Parung Panjang, Cigudeg, Gunung Awi Bengkok, Gunung Salak, Gunung Mandalawangi di selatan, Gunung Megamedung, Gunung Telaga, tersusun atas material gunung api muda, endapan gunung api tak teruraikan, endapan gunung tua, lava formasi Cantanyan dan kompleks sedimen berseling-seling dengan kelulusan air antara 10-4 sampai 10-2 m/hari. Curah hujan antara 3500 – 5000 mm per tahun. (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM IPB, 2009). Jenis Tanah dan topografi Kab. Bogor memiliki jenis tanah dengan bahan induk berasal dari tuff volkan Gunung Salak. Tanah-tanah yang terbentuk seperti Latosol dan Andosol memiliki kesuburan yang cukup tinggi dan bertekstur halus. Tanah dengan tekstur ini sangat cocok untuk dijadikan sawah karena memiliki sifat kedap yang dapat menahan air dalam jumlah banyak. Tanah-tanah ini tersebar luas di Kec. Jasinga, Cigudeg, Tenjolaya, Tenjo, Cariu, dan Jonggol. Kelemahan dari jenis tanah ini yaitu tanahnya bersifat masam, namun dengan dijadikan sawah kelemahan ini dapat diatasi karena pH tanah dapat dinaiikan mendekati netral melalui penggenangan. Topografi Kab. Bogor bersifat heterogen dari bergelombang dan berbukit pada bagian selatan sampai landai dan datar ke arah utara. Lahan sawah banyak dikembangkan secara luas di daerah bagian tengah sampai utara Kab. Bogor
14 terutama di sekitar DAS yang mengaliri Kab. Bogor. Di bagian selatan lahan sawah juga banyak ditemukan dengan sistem tersering karena daerahnya yang lebih berlereng dibandingkan di bagian utara. Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) untuk Padi Sawah Tahapan Pelaksanaan PTT Padi Pengembangan PTT padi didasarkan kepada masalah dan kendala yang ada di lokasi setempat yang dapat diketahui melalui penelaahan pemahaman pedesaaan dalam waktu singkat (Partisipatory Rural Appraisal, PRA) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Strategi pengembangan model PTT padi sawah Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007
Langkah pertama pengembangan PTT padi adalah dengan pelaksanaan PRA di daerah lokal yang menjadi target pengembangan guna menggali permasalahan utama yang dihadapi petani. Melalui PRA, keinginan dan harapan petani dapat diidentifikasi, seperti lingkungan biofisik, kondisi sosial-ekonomi, budaya petani setempat dan masyarakat sekitarnya. Langkah kedua adalah penyusunan komponen teknologi yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen teknologi tersebut bersifat dinamis karena akan mengalami perbaikan dan perubahan menyesuaikan dengan perkembangan inovasi dan masukan-masukan dari petani dan masyarakat setempat. Langkah ketiga adalah penerapan teknologi utama PTT padi dalam bentuk pembuatan “demonstrasi plot” (demplot) seluas 4.0 Ha sebagai percontohan bagi hamparan sawah yang luasnya ±100 Ha. Sejalan dengan itu dilakukan peragaan komponen teknologi alternatif pada luasan ± 1 Ha sebagai sarana untuk mencari teknologi alternatif yang nanti berguna untuk mensubstitusi komponen teknologi yang kurang sesuai (Balitbang Pertanian, 2007). Daerah Kab. Bogor memiliki Kondisi Biofisik, Sosial, dan Ekonomi yang sangat heterogen. Kondisi tersebut menghasilkan keberagaman permasalahan dan kendala yang ada pada masing-masing spesifik lokasi. Oleh karena itu, pelaksanaan PRA pada setiap lokasi pengembangan PTT padi di Kab. Bogor
15 menjadi sangat penting dilakukan agar komponen teknologi PTT padi yang diterapkan mampu memanfaatkan potensi biofisik yang dimiliki daerah tersebut secara optimal dan meningkatkan kemauan petani setempat untuk melaksanakan program PTT padi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi mereka agar mampu meningkatkan kesejahteraan hidup petani setempat. Penyiapan Lahan Sawah Pengolahan tanah untuk sawah dapat dilakukan secara sempurna (2 kali bajak dan 1 kali garu) atau, olah tanah minimal atau tanpa olah tanah sesuai keperluan dan kondisi. Faktor yang menentukan adalah ada tidaknya pengaruh kemarau panjang, pola tanam, dan jenis/tekstur tanah. Penyiapan lahan dengan teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero tillage dapat diaplikasikan untuk penyiapan lahan sawah dengan cara tebas atau penyemprotan herbisida; Tebas Gulma atau rumput ditebas di saat lahan digenangkan Rumput dibiarkan terhampar membusuk selama dua minggu, setelah itu digumpal dan dibiarkan dua minggu kemudian gumpalan dibalik lagi. Setelah gumpalan rumput membusuk sepenuhnya, gumpalan tersebut dihamparkan secara merata pada seluruh permukaan petakan sebagai sumber bahan organik bagi tanaman. Herbisida Sewaktu penyemprotan herbisida, petakan diusahakan tidak digenangi/tergenang oleh air untuk mencegah kontaminasi bahan beracun dari herbisida ke dalam air yang dapat menyebabkan polusi Gulma dapat disemprot dengan herbisida nonselektif seperti Glyphosate atau Paraquat Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda karena menunggu gulma membusuk. Teknologi zero tillage dapat mengurangi pengaruh pemadatan pada tanah, selain itu struktur tanah menjadi tidak hancur dan dapat mengefisienkan penggunaan tenaga kerja. Menurut Simatupang (2007) dengan pengaplikasian teknologi zero tillage menggunakan herbisida dapat menekan penggunaan jumlah tenaga kerja sebesar 25% dibandingkan sistem tebas, dan juga mampu mencegah terjadinya keracunan Fe pada tanaman. Komponen Teknologi PTT Padi Varietas unggul baru yang sesuai di lokasi setempat Varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktifitas tanaman dan dapat dengan mudah diadopsi petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis. Dengan dilepaskannya berbagai varietas padi sawah (Tabel 1.3), petani dapat memilih varietas yang sesuai dengan kondisi setempat Petani di Kabupaten Bogor sendiri pada umumnya banyak menggunakan padi varietas Ciherang dan perlahan-lahan menggeser dominasi IR-64. Hal ini dikarenakan pada varietas IR-64 tidak terlalu tahan terhadap serangan tungro disamping itu rasa nasi padi dari varietas Ciherang lebih disukai oleh masyarakat. Beberapa daerah di Bogor juga ada yang menggunakan varietas
16 Bondoyudo dan varietas lokal Tukad Unda seperti di daerah Karacak, Kec. Leuwiliang. Pada intinya, pemilihan varietas padi yang dipilih selain untuk meningkatkan produksi padi juga harus memperhatikan kebiasaan cara budidaya petani dan kebutuhan rasa nasi yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Tabel 1.3. Varietas unggul padi sawah dan beberapa karakteristik penting Umur (Hari)
Produktif itas (Ton GKG/ha)
Tekstur nasi
IR-64
110 - 120
5.0 – 6.0
pulen
Ciherang
116 - 125
6.0 – 8.5
pulen
Ciliwung
117 - 125
5.0 – 6.0
Pulen
Mekongga
116 - 125
6.0 – 8.4
pulen
Sarinah
110 - 125
7.0 – 8.0
pulen
Cigeuis
115 - 125
5.0 – 8.0
pulen
Bondoyudo
110 - 120
6.0 – 8.4
pulen
Batang Piaman
97 - 120
6.0 – 7.6
Pera
Varietas
Tahan/Toleran Tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan agak tahan Wereng Coklat biotipe 3 Tahan wereng coklat biotipe 2, agak tahan wereng coklat biotipe 3, dan tahan hawar daun bakteri Tahan wereng coklat biotipe 1,2, ganjur, tahan tungro, dan tahan hawar daun bakteri Agak tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3, agak tahan hawar daun bakteri biotipe strain IV Agak tahan wereng coklat biotipe 1, agak peka biotipe 2 dan 3 Tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3, dan tahan hawar daun bakteri starin IV Tahan wereng coklat dan Tungro Tahan penyakit blas daun dan blas leher malai
Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008
Benih bermutu (bersertifkat dan vigor tinggi) Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat dianjurkan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan perakaran yang baik dan padat, (2) akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat ditanam pindah dari persemaian, bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih yang baik akan menghasilkan tanaman yang sehat. Benih yang baik adalah benih yang memiliki kerapatan isi/densitas gabah yang tinggi, memiliki densitas spesifik gravitasi minimal 1.2. Pada benih dengan gabah densitas tinggi, lebar dan berat daun serta jumlah penggunaan karbohidrat oleh bibit akan lebih baik dari bibit yang berasal dari gabah dengan densitas rendah. Gabah dengan densitas tinggi memiliki abnormalitas bibit yang rendah. Bibit, Persemaiaan Bibit, dan Sistem Tanam Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit muda akan menghasilkan anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua. Menurut Adnany (2013) Penggunaan bibit muda (padi berumur 5 – 15 hari semai) menghasilkan pertumbuhan tanaman lebih cepat karena daya jelajah akar lebih jauh sehingga perkembangan akar menjadi maksimal pada akhirnya kebutuhan nutrisi tanaman tercukupi. Selain itu, penggunaan bibit berumur 10 hari, akan menghasilkan jumlah anakan maksimal 30 – 50 batang dalam setiap rumpunnya.
17 Jumlah bibit yang ditanam 1-3 per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm (25 rumpun/m 2), 25 cm x 25 cm (16 rumpun/m 2) atau dengan sistem legowo 2:1, 4:1. Rumpun yang hilang karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena hama segera ditanami ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang ditanam berasal dari persemaian yang sama. Disarankan menggunakan sistem jajar legowo (Gambar 1.2) karena menurut Bobihoe (2011) terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dibanding sistem tegel, anatara lain: Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo 4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat border effect ). Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/Ha Meningkatkan produktifitas padi 12-22% Memudahkan pemeliharaan tanaman Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi) Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.
Gambar 1.2. Sistem tanam legowo 4:1 (kiri) dan 2:1 (kanan) Sumber: http://image.google.com
Selain itu, sistem jajar legowo juga mampu meningkatkan populasi tanaman padi sebesar 1.33 sampai 1.6 kali lipat dibanding sistem tegel. Berikut perbandingan populasi padi per hektar antara sistem tegel (cara konvensional) dan jajar legowo disajikan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4.Perbandingan populasi padi sitem tegel dan jajar legowo No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cara Tanam Tegel 20 x 20 cm Tegel 22 x 22 cm Tegel 25 x 25 cm Legowo 2:1 (10 x 20 cm) Legowo 3:1 (10 x 20 cm) Legowo 4:1 (10 x 20 cm) Legowo 2:1 (12.5 x 25 cm) Legowo 3:1 (12.5 x 25cm) Legowo 4:1 (12.5 x 25 cm)
Populasi per hektar
Persentase relatif
250,000 206,661 160,000 333,333 375,000 400,000 213,000 240,000 256,000
100 100 100 133 150 160 133 150 160
Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008
18 Masyarakat petani Kabupaten Bogor sendiri masih banyak menerapkan cara konvensional (sistem tegel) dalam penanaman bibit padi. Hanya ditemukan sangat sedikit yang sudah menerapkan sistem jajar legowo, yaitu di daerah sentra padi organik di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong. Selain karena faktor turun temurun yang diwariskan, juga karena kurangnya sosialisasi penyuluh pertanian mengenai keuntungan sistem jajar legowo, sehingga petani tidak berani untuk mencoba hal baru. Perlu adanya sosialisasi dan transfer pengetahuan dan teknologi baru dari penyuluh kepada petani yang lebih intensif di Kab. Bogor. Pengairan Berselang Pemberian air berselang (intermittent) adalah pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Tujuan pengairan berselang adalah: 1. Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas 2. Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat berkembang lebih dalam. Akar yang dalam dapat menyerap unsur hara dan air yanglebih banyak 3. Mencegah timbulnya keracunan besi 4. Mencegah penimbunan asam organik dan gas H 2S yang menghambat perkembangan akar 5. Mengaktifkan jasad renik (mikroba tanah) yang bermanfaat 6. Mengurangi kerebahan 7. Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah) 8. Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen 9. Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah) 10. Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus. Cara pemberian air yaitu saat tanaman berumur 3 hari, petakan sawah diari dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air. Pada hari ke-4 lahan sawah diari kembali dengan tinggi genangan 3 cm. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal. Mulai fase pembentukan malai sampai pengisian biji, petakan sawah digenangi terus. Sejak 10-15 hari sebelum panen sampai saat panen tanah dikeringkan. Pada tanah berpasir dan cepat menyerap air, waktu pergiliran pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam kurang mencukupi, pengairan bergilir dapat dilakukan dengan selang 5 hari. Pada sawah-sawah yang sulit dikeringkan (drainase jelek), pengairan berselang tidak perlu dilakukan. Dengan cara pengairan berselang dapat mengefisienkan penggunaan air terutama di daerah-daerah yang sulit mendapatkan sumber air atau jauh dari sumber air dan belum ada jaringan irigasi yang memadai. Terdapat beberapa daerah di Kab. Bogor yang rentan terhadap kekeringan. Menurut Surya (2014), sekitar 5000 Ha lahan sawah yang tersebar di Kecamatan Cariu, Tanjung Sari, Jonggol, dan Ciseeng dihentikan penanamannya akibat musim kemarau. Petani petani di daerah tersebut memiliki lahan dengan ketersediaan air terbatas. Oleh
19 karena itu cara pengairan berselang cocok dilakukan untuk menghemat penggunaan air sehingga lahan sawah menjadi tidak terbengkalai di musim kemarau. Dengan cara ini petani mampu menanam setidaknya 2 kali tanam dalam setahun. Luasan panen dan Indeks Pertanaman meningkat dan dapat menyumbang lebih banyak terhadap produksi padi Kab. Bogor. Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah (spesifik lokasi) Pemupukan berimbang, yaitu pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Agar efektif dan efisien, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). Nilai pembacaan BWD digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi tanaman. Waktu aplikasi pemupukkan dan jumlah pemberian pupuk yang dapat dilakukan petani adalah dengan pemberian pupuk N awal yang diberikan pada umur padi sebelum 14 HST. Biasanya takaran pupuk dasar N untuk padi varietas unggul baru sebanyak 50-75 kg urea/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan takaran 100 kg urea/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan kedua (tahap anakan aktif, 21-28 hari setelah tanam, HST) dan pemupukan ketiga (tahap primordia, 35-40HST). Khusus untuk padi hibrida dan padi tipe baru, pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam kondisi keluar malai dan 10% berbunga (BP2TP Litbang Pertanian, 2008) Cara pemberian pupuk N dilakukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah. Pupuk Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air, sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup. Berdasarkan hasil penelitian, efisiensi pupuk N dapat ditingkatkan dengan memasukan hara N ke dalam lapisan reduksi. Namun teknologi ini tidak mudah diterapkan petani. Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah sawah dapat ditentukan langsung di lapangan dengan alat PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah). Prinsip kerja PUTS adalah mengukur hara P dan K tanah yang terdapat dalam bentuk te rsedia, secara semi kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan). Pengukuran status P dan K tanah dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu rendah (R), sedang (S) dan tinggi (T). Dari masing-masing kelas status P dan K tanah sawah telah dibuatkan acuan pemupukan P (dalam bentuk SP-36) dan K (dalam bentuk KCl). Cara pemupukkan ini masih sangat asing bagi para petani, terutama petani petani di daerah terpencil dan jauh dari jangkaun penyuluh. Kebanyakan petani di Kabupaten Bogor memupuk lahan sawahnya tanpa perhitungan tertentu dengan jumlah yang “seadanya” sesuai dengan daya beli mereka terhadap pupuk. Bahkan ada beberapa petani gurem yang jarang sekali memupuk lahan sawahnya. Dalam kondisi ini, peran pemerintah daerah Kab. Bogor menjadi sangat penting dalam membantu petani untuk memenuhi kebutuhan pupuknya melalui penyediaan pupuk bersubsidi atau pemberian bantuan pupuk langsung
20 pada petani-petani di daerah yang sangat jauh. Selain itu, pemberdayaan penyuluh ke daerah-daerah pertanian yang masih sangat terpencil perlu dilakukan agar para petani menjadi lebih melek teknologi terhadap sistem budidaya PTT yang relatif baru bagi mereka. Pengendalian Gulma dan Hama Terpadu Pengendalian gulma Penumpukkan gulma dapat dikendalikan dengan cara pengolahan tanah sempurna. Mengatur air di petakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, penggunaan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan menggunakan herbisida, apabila tenaga kerja langka dan mahal. Pengendalian gulma secara mekanis seperti dengan gasrok sangat dianjurkan, dikarenakan cara ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini hanya efektif dilakukan apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau tanah jenuh air, oleh karena itu harus dikerjakan pada saat sawah masih tergenangi air.
Gambar 1.3. Aplikasi Pengendalian gulma secara mekanis dengan teknologi
ekonomis “Gasrok” Sumber: http://image.google.com
Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok atau landak; Ramah lingkungan (tidak menngunakan bahan kimia) Lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan Meningkatkan porositas dan memperbaiki aerasi tanah Jika dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemupukkan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga efisiensi pemberian pupuk lebih besar.
Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu(PHT) Konsep PHT adalah suatu pendekatan pengelolaan secara ekologik yang multidisiplin dan memanfaatkan berbagai teknik pengendalian secara kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan, sehingga tidak mengganggu keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan paduan dari beberapa cara pengendalian, diantaranya monitoring populasi dan kerusakan tanaman. Strategi pengendalian hama penyakit terpadu adalah sebagai berikut; Menggunakan varietas tahan hama dan penyakit Memilih tanaman yang sehat untuk ditanam
21 Melakukan pengendalian secara kultur teknis, Seperti: Pola tanam tepat, Pergiliran tanaman, Waktu tanam yang tepat, Pemupukan yang tepat, Pengelolaan tanah dan irigasi, Penggunaan tanaman perangkap, dan Kebersihan lapangan Pengamatan berkala di lapangan Pemanfaatan musuh alami (predator) Pengendalian secara mekanik Pengendalian secara fisik Penggunaan pestisida. Pengendalian gulma dan hama merupakan cara untuk mengurangi angka kehilangan produksi gabah padi. Dengan cara ini produksi per hektar padi menjadi lebih tinggi. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan kepada para petani mengenai cara penerapan PHT. Oleh karena itu peran pemerintah dan penyuluh pertanian sangat penting dalam memfasilitasi daerah-daerah pertanian yang masih buta akan sistem PHT.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari program revitalisasi pertanian tanaman pangan melalui pendekatan PTT padi di Kabupaten Bogor antara lain; 1. PTT padi merupakan pendekatan sistem Budidaya Padi secara terpadu yang menawarkan paket-paket teknologi baru untuk meningkatkan produktifitas dan Indeks Pertanaman (luasan panen) padi 2. Penerapan PTT padi bersifat spesifik lokasi dalam arti paket teknologi yang ditawarkan bersifat dinamis dan menyesuaikan terhadap permasalahan spesifik yang timbul pada masing-masing lokasi 3. PTT padi bersifat partisipatif, Dalam pelaksanaanya berdasarkan atas kemauan dan keinginan petani setempat 4. Program PTT Padi dapat berhasil jika adanya kerjasama yang sinergis antara pemerintah daerah sebagai pencanang program dan penyedia dana, penyuluh sebagai alat dan media transfer pengetahuan, dan petani sebagai objek penyuluhan dan pelaku budidaya.
REKOMENDASI
Pengembangan Program Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui pendekatan PTT Padi di Kab. Bogor dapat ditempuh dengan: 1) Pada tahap awal sebaiknya pemerintah sebagai pembuat kebijakan membuat suatu program pembentukan sentra pertanian untuk penerapan PTT padi di daerah-daerah yang potensial untuk pertanian tanaman pangan (padi) secrara luas seperti di daerah Jonggol, Cariu, Tenjolaya, Pamijahan, dan Jasinga. Daerah-daerah tersebut memiliki luas lahan pertanian yang masih luas dan letaknya tidak terlalu jauh terhadap pusat perekonomian 2) Reforma agraria dengan merealisasikan dan mematuhi amanat peraturan perundangan pada UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian dan PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanain Berkelanjutan agar dapat melindungi, mengendalikan
22
3) 4)
konversi lahan, dan mengalokasikan lahan permanen untuk pertanian tanaman pangan terutama di kawasan-kawasan perdesaan Pembukaan lahan pertanian baru terutama di tempat-tempat yang memiliki lahan yang terabaikan (lahan tidur) Pengaturan Tata guna lahan melalui konsolidasi lahan dengan menyatukan lahan-lahan sawah petani yang sempit menjadi satu bagian pengelolaan bersama-sama. Tentunya proses ini perlu campur tangan pemerintah dan penyuluh pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Adnany, Zaky. 2013. Budidaya Padi dengan Pendekatan Teknologi SRI. http://epetani.pertanian.go.id/budidaya/budidaya-padi-dengan-pendekatanteknologi-sri-system-rice-intensification-7712 Diakses pada 27 Desember 2014. Anonim. 2014. http://www.beritasatu.com/nasional/212235-musim-kemarau petani-tunda-tanam-padi-antisipasi-gagal-panen.html Diakses pada 25 Desember 2014. Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007. Bogor: BPS Kab. Bogor. Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2013. Bogor: BPS Kab. Bogor. Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Bupati Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor 2013 – 2015. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Maryati, Titiek S., Dkk. 2005. Gelar teknologi PTT padi mendukuung penerapan revitalisasi penyuluhan pertanian. Dalam Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006. Hlm. 498 – 504 Muliawati, Asri. 2013. Pemulihan Lahan Kritis di Taman Nasional Halimun Salakdengan Pendekatan Kearifan Lokal. Sukabumi: BP4K Kab. Sukabumi. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2008. Perda No. 19 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005 – 2025. Bogor: Pemerintah Daerah Kab. Bogor. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 2009. Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor: Analisis Potensi Kawasan. Bogor: IPB press. Page 6.2 – 6.109. Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm.53-64. Tim Penyusun. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Agro Inovasi.
23
“Optimalisasi Pemanfaatan dan Pengelolaan Pertanian Rawa Lebak, Studi Kasus: Kab. O gan Ilir” Disusun Oleh: Marissa Dwi Putri
PENDAHULUAN
Lahan lebak merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian di Indonesia pada tanaman pangan khusunya padi.Potensi lahan lebak yang berada di Indonesia anatara lain di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Potensi lahan rawa lebak di seluruh Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas 4,166,000 ha, lebak tengahan seluas 6,076,000 ha dan lebak dalam seluas 3,039,000 ha (Widjaja Adhi, et al., 1998.) Potensinya lahan lebak di Sumatera Selatan mencapai 2,28 juta hektar atau 27% dari luas daerah Sumatera Selatan. Namun demikian pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Areal yang dimanfaatkan untuk pertanian (padi) diperkirakan mencapai 6,5 % atau 300,000 hektar. Lahan rawa lebak Sumsel merupakan wilayah cekungan yang secara alami berfungsi sebagai tampungan air permukaan dan tempat deposit mineral sekunder yang tersangkut didalamnya. Demikian pula di lahan rawa lebak terjadi dinamika tampungan air secara musiman yang bergantung pada besarnya aliran permukaan dari curahan air hujan maupun air sungai. Deposit mineral merupakan salah satu potensi daya saing yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan mineral pada produk pangan fungsional. Dalam tubuh manusia mineral organik masuk melalui makanan minuman yang dikonsumsi dan akan berperan penting sebagai sumber pengatur fungsi tubuh (Latif, 2004). Sungai Musi merupakan pemasok utama mineral yang kaya akan basa-basa di lahan rawa Sumatera Selatan (Hikmatullah et al., 1990). Dengan kondisi ini usahatani tanaman pangan di lahan rawa lebak dapat diusahakan pada musim kemarau (MK) pada saat genangan air mulai menyurut. Pola tanam yang dikembangkan bertahap dari lebak dangkal di musim hujan dan berangsur ke lebak dalam di musim kemarau yang tergantung pada tinggi genangan air.Dengan kondisi yang ada pada prinsipnya lahan rawa lebak dapat dimanfaatkan untuk usahatani sepanjang tahun, sehingga usahatani yang dikembangkan pada musim kemarau (off season) justru petani dapat memperoleh hasil/pendapatan yang lebih baik.Namun dengan besarnya biaya persiapan lahan dan terbatasnya infrastruktur sehingga petani banyak mengusahakan untuk pertanaman padi lokal yang memiliki tingkat produksi rendah dan umur yang panjang. Upaya peningkatan produktifitas usahatani telah banyak dilakukan melalui peningkatan Indeks Pertanaman, penggunaan varietas unggul, pembenahan media tanam, membangun sarana drainase, pemberian amelioran dan pengendalian hama penyakit. Biaya produksi menjadi mahal dan resiko kegagalan tinggi. Akan tetapi petani di lahan rawa lebak sampai saat ini masih terbelenggu kemiskinan. Biaya usahatani dengan penggunaan varietas unggul di lahan rawa lebak lebih tinggi dibandingkan varietas lokal (Hutapea, 2004).
24 Di Sumsel, pendapatan masyarakat di wilayah lahan rawa lebak 59,92 % berasal dari sektor petanian dengan komoditas utama padi (Hutapea, 2004). Masalah yang dihadapi produktifitas usahatani rendah disebabkan oleh genangan atau kekeringan yang datangnya belum dapat diramal secara tepat (Suwarno dan Suhartini, 1993), dan kendala lain berupa gangguan hama tikus, wereng coklat dan penggerek batang (Rochman et. al, 1990), sedangkan kendala sosial ekonomi berupa keterbatasan modal dan tenaga kerja, tingkat pendidikan petani yang masih rendah.
KARAKTERISTIK TANAH RAWA LEBAK Kondisi Umum Daerah Kabupaten Ogan Ilir terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir secara geografis terletak diantara 30 02' LS sampai 30 48' LS dan diantara 1040 20' BT sampai 1040 48'BT. Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir sesuai dengan UndangUndang Nomor 37 Tahun 2003 adalah 2,666,07 km 2 atau 266,607 hektar. Pada awalnya terdiri atas 6 kecamatan. Sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 22 Tahun 2005, kemudian dimekarkan menjadi 16 kecamatan. Keadaan iklim disuatu tempat ditentukan oleh faktor curah hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah yang mempunyai iklim Tropis Basah (Tipe B) dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan November sampai dengan April. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 1,096 mm dan ratarata hari hujan 66 hari per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 23 – 32 oC. Kelembaban udara relatif harian berkisar antara 6 - 9%. Fisiografi, Landform dan Bahan Induk Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan dataran rendah berawa yang sangat luas dengan tofografi tertinggi diatas 10 meter dari permukaan airlaut, terdiri atas daratan 65% dan rawa-rawa sekitar 35%. Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan. Dataran rawa termasuk kelompok fisiografi yang disebut lingkungan pengendapan baru (Buurman dan Balsem, 1990). Genesis Daerah Lebak Karakteristik dan penyebaran tanah dipengaruhi oleh faktor pembentuk tanah yaitu iklim, bahan induk, relief, vegetasi dan waktu. Di daerah penelitian tanah berkembang dari bahan aluvium berupa endapan sungai (fluviatil) terutama sungai-sungai cukup besar seperti Sungai Musi, Sungai Ogan dan Sungai Komering. Bahan yang diendapkan mempunyai ukuran bervariasi terdiri dari pasir, debu dan liat, tetapi pada umumnya didominasi oleh debu dan liat. Di daerah depresi dijumpai adanya bahan organik sebagai bahan induk pembentuk tanah. Tanah di dataran aluvial dicirikan oleh drainase yang terhambat sampai sangat terhambat, yang ditunjukan oleh dominasi warna kelabu pada tanah dengan atau tanpa karatan. Daerah lebak umumya tersebar di sepanjang aliran sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut setiap tahun pada musim penghujan
25 selalu terjadi perluapan air ke tepian sekitarnya. Kemudian air sungai yang meluap tersebut diteruskan ke daerah yang lebih rendah sampai ke tempattempat bagian yang cekung. Pada tempat yang cekung inilah air menggenang dan bertahan lama. Pengeringan pada tempat cekung tersebut hanya akan terjadi apabila musim kemarau berlangsung lama. Jika musim penghujan berlangsung lama, tidak dapat diharapkan mengering.
TIPOLOGI RAWALEBAK
Penyusunan tipologi rawa dibuat dengan tujuan: 1). Untuk menjelaskan unit-unit ekologi dengan kondisi alami yang homogen, 2). Menyusun unit-unit tersebut dalam suatu sistem untuk membantu penentuan manajemen sumber daya, 3). Untuk mempermudah inventarisasi dan pemetaan, dan 4). Penyeragaman konsep dan terminologi (Smith, 1993). Keragaman karakteristik biofisik rawa lebak di lokasi yang disertai keragaman pemanfaatan memerlukan pola pengelolaan yang bervariasi. Untuk menyusun rencana pengelolaan yang spesifik terlebih dahulu disusun tipologi rawalebak dengan deskripsi masingmasing. Deskripsi disusun menurut ciri ekologi yang mengacu pada hidrologi, mutu air dan sedimen, keragaman jenis biota terutama ikan dan vegetasi, pemanfaatan dan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar rawa. Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) Lebak dangkal, (2) Lebak tengahan, dan (3) Lebak dalam. Batasan dan klasifikasi lahan rawa lebak menurut tinggi dan lamanya genangan adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Widjaja Adhi, 1989): Lebak dangkal : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul. Lebak tengahan : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan wilayah antara lebak dangkal dengan lebak dalam. Lebak dalam : wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi paling rendah. Berdasarkan tipologi lebak, lahan yang diusahakan terdiri dari lebak dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Daerah lebak tidak selalu tergenang air dan penggenangannya tidak pula merata, tergantung pada keadaan hidrotopografi lebak itu sendiri, curah hujan, dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang memiliki hidrotopografi yang lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan lebih pendek dibandingkan dengan yang keadan hidtrotopografi lebih rendah. Oleh karena itu penanaman padi baru dapat dilakukan setelah air pada rawa dangkal menyurut dan selanjutnya diikuti oleh rawa tengahan dan rawa dalam.
26 PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK
Ekosistem rawa lebak dibagi dalam 3 katagori, yaitu 1) lahan rawa lebak dangkal atau lahan pematang yang dicirikan oleh kedalaman genangan air kurang dari 50 cm, dengan lama genangan antara 1-3 bulan; 2) lahan rawa lebak tengahan, dicirikan kedalaman genangan air antara 50-100 cm dengan lama genangan 3-6 bulan; dan 3) lahan rawa lebak dalam dicirikan kedalaman genangan air lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6 bulan (Direktorat Rawa, 1992). Adanya genangan air yang cukup dominan di lahan rawa lebak usahatani yang dikembangkan masyarakat selama ini adalah tanaman padi sawah. Pemanfaatan lahan rawa lebak oleh penduduk setempat masih dilaksanakan secara tradisional yang masih sangat tergantung pada kondisi alam. Kesulitan yang dihadapi petani ialah kondisi genangan air yang sulit untuk diprediksi secara tepat, terutama mengenai kapan mulainya, berapa tinggi genangan yang akan dihadapi, kapan mulai air surut, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Sangat berbeda dengan lahan yang berpengairan, dimana petani dapat mengatur kondisi tinggi dan lama genangan setiap saat.Dalam hal ini petani pada umumnya berspekulasi menghadapi kondisi alam, sehingga petani sering gagal panen karena banjir atau kekeringan yang mendadak dan ekstrim. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan usahatani di lahan rawa lebak antara lain faktor genangan air dan kesuburan tanah. Genangan air rawa lebak dipengaruhi oleh curahan air hujan di hulu dan hilir sungai maupun curahan air hujan di lahan itu sendiri dan sekitarnya. Untuk pertanian di lahan rawa lebak pada akhir bulan Februari dimana permukaan air cenderung mulai turun, pengerjaan sawah lebak dangkal dimulai. Pekerjaan yang dilakukan adalah pembersihan sawah dari vegetasi air serta menyiapkan persemaian. Bila air mulai menurun lagi pada bulan-bulan berikutnya pengerjaan sawah lebak tengahan dan dalam dilakukan pula. Pola pertanian sawah lebak di Daerah Ogan Ilir, terlihat bahwa musim pertanian padi di wilayah ini berbeda-beda sesuai dengan tinggi genangan pada masing-masing lahan rawa lebak, karena pertanian pada lahan rawa lebak berhubungan erat dengan keadaan iklim, maka untuk mencapai produksi yang tinggi sangat dibatasi oleh berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: 1) keadaan hidrotopografi daerah lebak berbeda-beda, tidak memungkinkan penanaman padi sawah lebak secara serempak, 2) perlunya untuk menentukan waktu tanam yang tepat, 3) penggunaan bibit lokal yang berproduksi rendah dan penggunaan bibit berumur tua, dan 4) Perubahan cuaca yang sulit diramal, dapat merusak tanaman dalam pertumbuhan, maupun sewaktu akan dipanen yang dapat menimbulkan kerusakan secara total. Pemanfaatan Rawa Lebak 1) Lebak dangkal dan Lebak Tengahan, selain padi rawa lebak juga umumnya ditanami palawija,sayur, dan buah-buahan. Pola tanam atau tumpang sari antara tanaman palawija, sayuran, atau buah-buahan umum dilakukan petani pada kedua tipe lahan rawa lebak dangkal dan tengahan dengan sistem surjan. Pada sistem surjan tanaman palawija (jagung,kedelai dan umbi-
27 umbian), sayuran (tomat, cabai, kacang panjang), atau buah-buahan (semangka, labu kuning, mangga rawa) ditanam di surjan (tembokkan), sedangkan bagian tabukan (ledokkan) ditanami padi. Pada musim kemarau panjang semua sawah lebak, terutama rawa lebak dangkal dan lebak tengahan menjadi hamparan tanaman sayuran dan buah-buahan semangka, kacang panjang, dan kacang tanah. Tinggi guludan pada sistem surjan adalah 50-75 cm, sedangkan lebarnya 2-3 m. Ukuran dukungan adalah tinggi 60-75 cm dan diameter atau sisinya sekitar 2-3 m. Pada petakan lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran berukuran dalam 0.6 m dan lebar 1 m, fungsinya adalah sebagai pengatur kelengasan tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan alam. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan kesuburan tanah di petakan lahan, perlu dilakukan perataan lahan bersamaan dengan kegiatan pengolahan tanah. Pada lokasi lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang menghubungkan petakan lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan ke sungai sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana transpotasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman serta sekaligus sebagai tempat hidup atau perangkap ikan alam. Sistem jaringan tata air iniakan lebih baik jika dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu jauh dari kawasan lahan lebak. Penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh petani tetapi perlu percontohan dan penyuluhan. Sedangkan pembuatan jaringan tata air dan pompa hendaknya dilakukan atau dibantu oleh pemerintah. 2) Lebak Dalam umumnya mempunyai genangan lebih dari 6 bulan atau lebih. Pada bagian lebak dalam telah digunakan penduduk untuk padi sawah atau budidaya perikanan dalam bentuk empang atau lebung. Untuk lebak dalam ditanami hanya pada saat musim kemarau panjang (apabila 4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan karena genangan air cukup tinggi dan digunakan untuk perikanan tangkap, perikanan kolam,serta perikanan keramba.
PENGELOLAAN DAN KENDALA PENGEMBANGAN
Rekomendasi Teknologi Produksi Spesifik Lokasi Secara teknis, teknologi usahatani yang diterapkan petani masih belum mampu menekan biaya produksi. Pada waktu pengolahan tanah, petani mengangkut jerami keluar lahan sawah sehingga kandungan bahan organik sawah menjadi rendah karena tidak ada pengembalian bahan organik. Pada sisi lain, petani belum melakukan pemupukan sesuai keperluan tanaman dan kondisi tanah. Masih rendahnya produktifitas usahatani yang dikembangkan oleh petani di daerah ini juga disebabkan oleh masih besarnya kehilangan hasil akibat adanya organisme pengganggu tanaman. Pada kondisi tertentu serangan OPT
28 dapat mencakup wilayah yang luas dan mengakibat penurunan hasil yang merugikan petani. Seringnya terjadi serangan OPT ini disebabkan oleh karena belum dilaksanakannya pengendalian terpadu secara maksimal oleh petani. Teknologi usahatani yang lebih efisien dan ekonomis belum dipraktekkan oleh petani di daerah ini disebabkan karena mereka belum mempunyai pengetahuan mengenai teknologi inovatif yang tersedia. Masalah lain yang berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi usahatani ini adalah Indeks Pertanaman (IP) di lahan rawa ini umumnya baru mencapai 100%. Rendahnya IP disebabkan, terutama oleh system tata air yang belum dapat dikuasai dengan baik. (Waluyo et al , 2007) Peluang Inovasi Untuk dapat meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani di daerah rawa Kabupaten Ogan ilir diperlukan upaya-upaya perbaikan yang meliputi penyediaan infrastruktur pedesaan yang baik, introduksi teknologi inovatif serta pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan pendukung usahatani di pedesaan, meliputi: (a) Perbaikan infrastruktur pedesaan berupa jalan usahatani yang memungkinkan bagi petani untuk menjangkau dan mengusahakan lahan rawa yang potensial untuk usaha pertanian. (b) Pembuatan dan perbaikan jaringan pengairan pedesaan yang terintegrasi antara wilayah hulu hingga hilir sehingga dapat mengoptimalkan pengaturan air (c) Introduksi teknologi inovatif . Ketersediaan teknologi Lahan rawa lebak mempunyai prospek yang cukup baik untuk menjamin swasembada pangan nasional apabila dikelola dengan menggunakan teknologi yang tepat. Badan litbang Pertanian telah banyak melakukan penelitian dasar, terapan maupun pengembangan dan menghasilkan teknologi anjuran untuk pengembangan sistem usahatani lahan rawa spesifik lokasi. Teknologi utama yang telah direkomendasikan antara lain varietas unggul, penataan lahan, komoditas, pemupukan dan pengendalian organisme penggangggu tanaman. Varietas Pemilihan varietas yang cocok merupakan komponen penting dalam mendukungkeberhasilan.Sejumlah varietas unggul nasional yang telah dilepas dan sesuai untuk dibudidayakan di sawah rawa lebak cukup banyak. Varietas unggul dapat memberikan hasil 4.5-5.5 ton/ha atau lebih, sedangkan varietas lokal 1.5-2 ton/ha. Penataan lahan Lahan rawa mempunyai sifat yang sangat heterogen, oleh karena itu pemanfaatan lahan harus sesuai peruntukannya. Pengalaman menujukkan bahwa usaha pertanian yang ditempatkan pada lahan yang sesuai, selain akan memberikan hasil yang lebih baik, juga tidak perlu mengubah lingkungan secara drastis. Dengan menerapkan teknologi yang sesuai, secara gradual mutu lahan dapat diperbaiki, sehingga daya dukung lahan menjadi semakin besar. Sistem penataan lahan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa lebak sesuai dengan agroekosistem setempat. Sistem
29 penataan lahan yang dianjurkan untuk tipologi lahan rawa lebak dangkal adalah sistem surjan dan caren. Untuk lahan lebak tengahan dapat dianjurkan untuk ditata dengan system hampang (mina padi), sedangkan lebak dalam ditata sebagai sawah lebak dan perikanan. Pengeloaan lahan dengan sistem surjan dan caren mempunyai beberapa keuntungan antara stabilitas produksi lebih mantap dan intensitas tanam lebih tinggi dan diversivikasi lebih mudah dilaksanakan. Genangan air pada lahan lebak sangat dipengaruhi oleh pola hujan yang pada suatu hamparan lahan dapat dijumpai berbagai tipe genangan air, baik berupa dangkal (pematang) maupun lebak tengahan dan lebak dalam. Walaupun demikian, biasanya lahan pemukiman dan pekarangan tidak digenangi air sehingga bisa diusahakan dengan berbagai alternatif komoditas. Lahan pekarangan yang tidak tergenangi air, bisa ditanami dengan berbagai tanaman buah-buahan seperti pisang dan mangga disamping pemeliharaan ayam buras dan itik. Lahan usaha yang berupa lebak dangkal bisa ditata sebagai sawah tadah hujan atau system surjan, sedangkan untuk lebak tengahan bisa ditata sebagai sawah tadah hujan atau sistemcaren. Pola tanam di lahan sawah lebak dangkal atau dibagian tabukan pada sistem surjan adalah padi-padi-palawija. Pola tanam di gulu dan pada sistem surjan bias jagung + cabe + kacang panjang atau palawija-palawija/sayuran-palawija. Tanaman pangan utama yang diusahakan di lahan lebak adalah padi, sedangkan palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, ubi jalar dan ubi alabio dalam luasan terbatas, biasanya ditanam pada guludan surjan dilebak dangkal. Fluktuasi tinggi muka air merupakan kendala baik waktu tanam padi yang tepat, sehingga pada umumnya pemindahan bibit (transpalnting) dilakukan lebih dari satu kali. Oleh karenaitu, varietas lokal yang telah beradaptasi pada kondisi spesifik tersebut lebih banyak digunakan petani pada lahan lebak. Varietas padi unggul yang beradaptasi dan tumbuh dengan baik di lahan lebak adalah IR 42, Limboto, Batu Tegi Situ Bagendit, Ciherang, INPARI 1, Inpara 3, dengan kisaran hasil 4-7 t/ha, (Waluyo et al . 2013). Berdasar pola curah hujan dan kondisi lapangan, pada wilayah ini dapat diterapkan pola tanam dua kali setahun (padi-padi), namun demikian penentuan saat tanam harus dilaksanakan secara tepat. Untuk pertanaman Musim Hujan (rendeng) adalah bulan Oktober/November, sedangkan untuk Musim Kemarau (gadu) bulan Maret – pertengahan April. Dalam melaksanakan program-program tersebut tentunya ada kendalakendala yangharus diatasi. Berikut ini perkiraan kendala utama yang akan dihadapi dan alternatifpemecahannya. (i) Fluktuasi genangan air Kendala fluktuasi genangan air yang tak menentu bisa diatasi dengan penataan lahan yang lebih baik seperti pencetakan sistem surjan. Selain itu dapat dilakukan juga dengan penghijauan atau penghutanan kembali daerah aliran sungai terutama bagian hulu. (ii) Penyediaan benih Padi di lahan rawa lebak hanya ditanam satu kali dalam setahun, sehingga penangkar benih harus menyimpan dulu sebelum dapat dijual pada musim berikutnya. Untuk menghindari penyimpanan, perbanyakan benih dapat dilakukan pada lahan irigasi. Adapun beberapa alternatif untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu : 1) menetapkan harga benih varietas padi lebak lebih tinggi dari varietas padi sawah, 2) memberi subsidi kepada penangkar benih padi
30 lebak, 3) membina petani secara perorangan atau kelompok agar memproduksi dan menyimpan benih keperluannya. (iii) Teknik budidaya Lahan rawa lebak bertopografi landai bagian yang tinggi kering lebih dahulu baru diikutioleh bagian yang lebih dalam. Oleh karena itu sering terjadi penundaan waktu tanam padabagian rawa yang dalam, hal ini dapat diatasi dengan pemindahan bibit 2-3 kali dengan selangwaktu 20-30 hari. Cara demikian tidak dapat diterapkan pada varietas unggul yang berumur genjah. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan membuat persemaian khusus untuk bagian rawa yang dangkal, rawa tengahan dan rawa dalam dengan waktu tabor disesuaikan dengan surutnya air atau waktu tanamnya. Petani pada lahan rawa lebak bisanya memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Teknik ini tidak sesuai untuk varietas unggul yang pendek. Untuk penanaman varietas unggul perlu dibarengi dengan introduksi cara panen dengan sabit, seperti yang dilakukan pada lahanirigasi. Hama yang potensi pada lahan rawa lebak adalah tikus, wereng coklat dan penggerekbatang, sedangakan penyakit yang potensial adalah blas malai, bercak coklat, bakteri daundan busuk pelepah, akan tetapi hama dan penyakit kurang penting karena penanaman padisatu kali dalam setahun dan belum intensif. Selama pertanaman padi hanya sekali dalamsetahun masalah hama dan penyakit tersebut tidak akan seberat pada lahan beririgasi.
KEARIFAN LOKAL DALAM BUDIDAYA PADI RAWA LEBAK
Lahan rawa lebak telah begitu lama diusahakan untuk pertanian utamanya tanaman padi, dengan memanfaatkan kondisi menyurutnya air rawa pada saat menjelang musim kemarau. Dalam melaksanakan budidaya padi, masyarakat petani telah memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang telah dijalankan berpuluh tahun. Kearifan tersebut diantaranya: 1.M emil ih l ahan subur , pada awalnya masyarakat petani memilih lahan rawa yang dekat dengan sungai besar untuk bertanam padi, karena wilayah tersebut selalu mendapat kiriman lumpur subur, yang ditandai warna tanah hitam gembur, dan telah banyak ditumbuhi oleh jenis tumbuhan air, seperti Kiambang (Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp) dan tanda-tanda khas lainnya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kedua jenis tumbuhan air tersebut tumbuh baik pada pH di atas 4, dan kurang baik pada pH kurang dari 4. Selain it u transportasi dari tempat tinggal ke sawah pulang pergi lebih mudah, terutama untuk kegiatan pengangkutan hasil. Oleh karena itu hampir semua wilayah lahan lebak dangkal telah diusahakan untuk pertanian. 2. Memulai kegiatan bertanam , dalam melaksanakan budidaya padi rawalebak, petani akan memulai kerja di persawahan berdasarkan tanda-tanda alam, diantaranya adalah jika diantara pepohohan (umumnya mangga rawa atau rerawa) telah terlihat banyak bentangan sulur putih serangga, dan pohon sejenis pohon dadap telah mulai berkembang, adalah satu pertanda bahwa musim kemarau akan segera tiba. Sehingga para petani akan segera mempersiapkan tempat persemaian, dan persiapan lahan. Sebaliknya jika di sungai-sungai telah mulai kelihatan perkembangan ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia) satu jenis ikan kecil-kecil khas Kalimantan dan Sumatera, adalah sebagai pertanda bahwa
31 musim hujan akan segera tiba, sehingga persiapan pertanaman padi sawah surung harus segera dimulai. 3. Sistem persemaian , masyarakat petani sudah paham betul dengan sifatdan kondisi lahannya, sebagai hasil dari pengamatan dan pengalamanyang sangat lama. Sehingga timbul kegiatan untuk mengatasi/menyesuaikan keadaan. Masyarakat petani sudah tahu bahwa menanam padi bila menunggu keringnya lahan akan terlambat dan berisiko gagal. Oleh karena itu harus dilakukan percepatan persemaian. Karena lahannya masih tergenang air, maka persemaian dilaksanakan dengandua sistem: (a) Sistem teradak, adalah sistem persemaian kering pada tempat yang tidak terkena genagan air (teradak) menyemainya dikenalsebagi “meneradak” dan persemaiannya adalah “teradakan” (b) Sistem semai terapung atau apung, dilaksanakan di atas lahan yang tergenang air menggunakan rakit dan sebagai media tumbuh bibit maka pada rakit diberi lumpur rawa. sistem ini dikenal sebagai “Palaian”. Sistem “palaian” sebenarnya adalah sistem persemaian basah, karena media tumbuh masih mendapat air dari rawa melalui sistim kapilaritas. Persemaian apung di Kalimantan Selatan sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan sistem persemaian kering-basah, tetapi di Sumatera Selatan masih banyak dilakukan. Selain dua sistem persemaian tersebut di atas, terdapat sistem persemaian yang dinilai juga merupakan kearifan local yang sangat baik. Sistem tersebut adalah sistem “persemaian pindah”yaitu bibit yang masih muda dipindahkan dari keadaan kering ke keadaan basah.
PERENCANAAN PENGEMBANGAN RAWA LEBAK
Sebelum dilakukan pengembangan lebih lanjut, maka langkah-langkah yang harus perhatikan adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak berdasarkan tipologi lahan, biologi danfisik lahan, sistem usahatani yang existing , kelembagaan serta sarana dan prasarana yang tersedia. Informasi-informasi ini sangat penting dikumpulkan yang menyangkut jenis dan kondisi tanah yang dipetakan dengan disertai area yang tergenang kapan, berapa lama, serta dalamnya genangan. Sistem usaha tani yang meliputi pemanfaatannya, pola usahatani ( farming system) dan penerapan teknologinya, hasil dan pendapatan dari komoditas yang diusahakan, ketersediaan modal untuk berusaha tani, sarana produksi dan pemasaran hasil, keterlibatan petani/kelompok tani dalam koperasi dan masalah-masalah yang dihadapi sekaligus potensi dan prospek serta kendala pengembangan lahan rawa lebak. Informasi sarana dan prasarana juga dikumpulkan yang menyangkut tata letak dan fungsi saluran, keadaan saluran meliputi panjang dan jarak antar saluran serta dimensi penampang saluran, letak dan kondisi pintu air atau bangunan air lainnya, operasi dan pemeliharaan jaringan air, luas cakupan lahan dan penataannya, dan persepsi dan saran petani mengenai penyempurnaan tata airnya. 2) Desain dan rancangan pengembangan, Dari hasil identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak baik dari aspek biofisik dan hidrotopografinya, maka rancangan dan desain pengelolaan lahan rawa lebak dapat dibuat dengan prinsip kesesuaian lahan dengan
32 memperhatikan kawasan permukiman, kawasan budidaya baik untuk tanaman pangan, hortikultura dan peternakan maupun perikanan. Selain itu juga harus menyisakan area atau kawasan konservasi, sehingga jelas dimana area yang selalu tergenang, tempat bangunan irigasi, arah dan sumber air irigasi, pintu-pintu air, saluran pemberi dan pembuang ( drainase), area water retention, jalan usaha tani, rancangan pola tanam (padi – padi, padi – palawija dan padi – hortikultura). Tidak kalah pentingnya untuk memberikan contoh pengembangan atau pemanfaatan lahan rawa lebak yang optimal, maka model pengembangan harus diinstall di area yang mempunyai karakteristik berbeda-beda, sehingga model ini dapat diadopsi oleh para penyuluh maupun petani sekitar lokasi, karena mereka dapat melihat langsung cara pengelolaannya. Hal penting yang mesti diperhatikan juga adalah pengembangan suatu lahan rawa lebak tidak akan mematikan kebiasaan yang telah dilakukan oleh petani atau masyarakat yang mempunyai nilai positif (indegenous knowledge), karena tiap lokasi atau daerah mempunyai kearifan lokal yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diaplikasikan juga memperhatikan spesifik lokasi. Sebaliknya hal-hal yang bernilai negatif yang ada dimasyarakat kita arahkan untuk menjadi nilai positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan lahan rawa lebak lebih lanjut. 3) Penumbuhan kelembagaan, peningkatan pengetahuan dan partisipasi petugas dan petani. Penumbuhan kelembagaan penunjang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat oleh dari dan untuk petani/kelompok tani sangat diperlukan tentunya dengan partisipasi aktif mereka. Kelembagaan tersebut dapat berupa kelembagaan petani, P3A, sarana produksi, pelayanan jasa alsintan, pasca panen dan pemasaran hasil serta keuangan atau permodalan. Peningkatan pengetahuan yang berupa pelatihan dan pembinaan secara intensif pada area model meliputi sekolah lapang dan temu lapang bagi petani/kelompok tani sangat diperlukan, demikian juga pelatihan bagi petugas baik dari semua tingkatan seperti TOT untuk petugas propinsi, pelatihan aspek teknis pengelolaan lahan lebak oleh petani untuk petugas kabupaten serta pelatihan bagaimana mendorong dan mengaktifkan kembali partisipasi petugas dan petani dalam pengelolaan lahan lebak. 4) Monitoring dan evaluasi Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan hal paten yang mesti harus ada karena merupakan deliniasi tujuan maupun arahan pengembangan lahan lebak agar tidak melenceng dari yang diharapkan. Kegiatan yang dilakukan harus dilengkapi informasi sebelum (before) dan sesudah (after ) proyek baik ruang ( spatial ) maupun waktu (temporal ). Kegiatan ini akan dapat dievaluasi sehingga ke depan dapat dibuat skenario-skenario pengembangan lanjutannya.
33 STRATEGI PENGEMBANGAN PERTANIAN BERKELANJUTANDI LAHAN RAWA LEBAK
Berdasarkan peluang dan kendala serta hasil-hasil penelitian pengembangan pertanian di lahan rawa lebak, perencanaan dan pelaksanaan yang cermat harus dilakukan untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan di lahan rawa. Sistem pertanian di lahan rawa lebak akan berkelanjutan apabila usahatani tersebut dapat memberikan hal-hal berikut: 1. Produksi usahatani harus cukup tinggi agar petani tetap bergairah melanjutkan usahataninya. Produksi tinggi tersebut hanya dapat diperoleh apabila teknologi yang dipakai adalah teknologi yang tepat. Teknologi usahatani di suatu tipe lahan rawa belum tentu cocok di tipe lahan rawa yang lain. Oleh sebab itu pemilihan teknologi harus bersifat adaptif. Teknologi agronomi, pengelolaan tanah dan tanaman harus disesuaikan dengan tipologi lahan rawa yang diusahakan. Pemilihan komoditi yang adaptif pada kondisi lahan dan iklim setempat harus dilakukan secara cermat. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan harus memperhatikan keadaan tanah dan biofisik daerah yang bersangkutan. 2. Pendapatan petani harus cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari hasil usahataninya. Hal ini hanya dapat dicapai kalau produksi usahataninya yang tinggi tadi dapat dijual dan laku di pasar dengan harga yang cukup tinggi. Oleh sebab itu pemilihan komoditi usahatanipun harus mempertimbangkan permintaan pasar, baik pasar lokal, regional maupun internasional. 3. Teknologi yang diterapkan adalah teknologi yang dapat dikembangkan oleh petani dengan kemampuan yang mereka miliki dan dapat diterima oleh petani dengan senang hati sehingga teknologi tersebut dapat diteruskan oleh petani dengan kemampuannya tanpa bantuan dari lua r secara terus-menerus. Kalau petani tidak mampu mengembangkan teknologi tersebut maka cepat atau lambat petani akan meninggalkan teknologi itu. 4. Degradasi lahan harus minimal; kerusakan lahan dan lingkungan rawa yang drastis dapat menurunkan produktifitas dan bahkan dapat menghentikan proses produksi secara drastis. Oleh sebab itu teknologi reklamsi harus dirancang dengan cermat sejak awal tidak terjadi degradasi kualitas lahan/lingkungan. (Sinukaban, N. 1999). Keempat indikator pertanian berkelanjutan itu harus diwujudkan dalam usahatani lahan rawa secara simultan agar pertanian tersebut dapat berkelanjutan.
KESIMPULAN
1.
Lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangakan dan meningkatkan produksi tanaman pangan baik melalui intensifikasi usahatani pada lahan yang sudah diusahakan. Program pengembangan produksi tanaman pangan di lahan rawa lebak hendaknya dilakukan secara bertahap karena memiliki berbagai kendala baik secara teknis maupun sosial ekonomi dan kelembagaan.
34 2.
Berdasarkan identifikasi dan evaluasi lahan pengembangan rawa lebak dapat diarahkan kepada pengembangan tanaman pangan khususnya padi, sayuran, ikan, ternak itik kerbau rawa sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. 3. Untuk lebih meningkatkan pendapatan dan mengoptimalkan sumberdaya hendaknya pengembangan lahan rawa diarahkan kepada usaha aneka komoditas pengelolaan tanaman terpadu sesuai dengan wilayah dan prospek pemasarannya. 4. Untuk meningkatkan pengembangan lahan rawa lebak secara optimal perlu adanya koordinasi, keterpaduan dan sinkronisasi kerja antar instasi terkait. DAFTAR PUSTAKA
. Buurman, P., and T. Balsem. 1990. Land unit clasification for the reconnaissance soil survey of Sumatera. Tech. Rep. No 3. LREP.CSAR. Bogor.Direktorat Rawa. 1992. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan Umum dalam Rangka Pengembangan Daerah rawa. FAO. 1990. Guidline for Soil Description 3rd Edition revised. Rome. Hikmatullah, V. Suwandi, Chendy, T.F., A. Hidayat, U.Affandi, dan D.Dai. 1990. Buku Keterangan Satuan Peta Tanah, Lembar PalembangSumatera (1013), LREP-Puslittanak. Hutapea Y. 2004. Ragam Usaha Rumah Tangga Petani di Agroekosistem Pasang Surut dan Lebak Sumatera Selatan.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.Palembang, 28-29 Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Latief D. 2004.Kualitas Sumberdaya Mineral dengan tingkat kesehatan masyarakat.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.Palembang, 28-29 Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Rochman, J., Soejitno, Soeprapto, M. dan Suwalan. 1990. Pengendalian Hama Tanaman Pangan Dalam Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut.Risalah Seminar Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 19 – 21 September 1989.. Suwarno dan T. Suhartini.1993. Perbaikan Varietas Padi Untuk menunjang Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Lebak. Dalam Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.Jakarta/Bogor, 23 – 25 Agustus 1993. Sinukaban, N. 1999.Pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan rawa.Makalahdisampaikan pada lokakarya Nasional Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya lahan rawa,23-26 November 1999. Jakarta. Widjaya Adhi,IPG. K. Nugroho, D. Ardi dan S. karama. 1998. Sumber daya lahan pasangsurut, rawa dan pantai. Makalah disajikan pada pertemuan nasional pengembanganpertanian lahan pasang surut dan rawa di Cisarua, tgl 3-4 maret 1992.
35 Waluyo, Rajulis, Usman S. 2013. Pengkajian Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) PadiToleran Kekeringan dan Rendaman (produktifitas >5 t/ha) di Lahan Rawa LebakSumatera Selatan.Laporan tahunan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera Selatan. 2013. (Tidak dipublikasi). Waluyo, Yanter H, Zakiah, dan Suparwoto. 2007. Studi Identifikasi Kebutuhan Inovasiteknologi Program Primatani di desa Kota Daro II, Kecamatan Rantau Panjang,Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
36
“Pengendalian Penggunaan dan Pengelolaan Lahan, Studi Kasus: Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara” Disusun Oleh: Rika Andriati Sukma Dewi
PENDAHULUAN Latar Belakang Kecamatan Pemenang merupakan daerah yang baru mengalami pemekaran pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Daerah ini jarang dikenal, tetapi apabila apabila disebutkan disebutkan ketiga Gili (Trawangan, Meno dan Air) yang terdapat di kecamatan ini maka maka dunia wisata nasional dan internasional akan mengenalinya. Kecamatan yang belum lama mengalami pemekaran ini masih menyimpan potensi pertanian dan pariwisata yang menunjang perekonomian masyarakat. Hal ini juga dapat mengundang masyarakat setempat maupun pendatang untuk memanfaatkan lahan yang dinilai oleh masyarakat memiliki potensi usaha yang prospektif sehingga tidak terlepas pula oleh penggunaan lahan yang degradatif jika penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dan hanya dimanfaatkan untuk keperluan perorangan maupun kelompok. Oleh sebab itu diperlukan perhatian yang serius agar permasalahan tidak semakin berl anjut. Pengelolaan lahan diarahkan pada konsep pembangunan berkelanjutan dimaksudkan bahwa pembangunan tersebut dapat digunakan oleh generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam pembangunan berkelanjutan, kita perlu memahami adanya segitiga keberlanjutan (Sustainable Triangle). Segitiga keberlantujan ini terdiri dari indikator keberlanjutan antara lain aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Masalah pengelolaan lahan banyak ditemukan di kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara. Kesalahan dalam pengelolaan lahan ini mengakibatkan permasalahan berupa perubahan fungsi penggunaan lahan dan terjadinya lahan kritis yang banyak dijumpai pada daerah pegunungan dan pengkonversian lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Oleh sebab itu perlu adanya pengendaliaan penggunaan lahan. hal ini perlu dilakukan penilaian biofisik, sosial dan ekonomi sehingga s ehingga diharapkan keluaran berupa rekomendasi yang tepat terhadap penggunaan lahan. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk melakukan penilaian biofisik, sosial, dan ekonomi terhadap potensi dan permasalahan penggunaan lahan di kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara.
37 GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kecamatan Pemenang terletak di bagian utara pulau Lombok termasuk 3 Gili. Kecamatan ini terdiri dari 4 desa antara lain Malaka, Pemenang Barat, Pemenang Timur dan Gili Indah (Trawangan, Meno dan Air). Luas wilayah kecamatan ini yaitu 81.09 km². Kecamatan ini juga termasuk dalam bagian kawasan Gunung Rinjani yang berbukit-bukit kecuali ketiga Gili. Kecamatan Pemenang terdiri dari 60% hutan lindung dan hutan (rakyat). Luas kawasan 3 Gili antara lain Gili Trawangan seluas 340 ha, Gili Meno seluas 150 ha dan Gili Air seluas 150 ha. Kondisi topografi kecamatan pemenang pada bagian selatan ke tengah terdapat gugusan pegunungan dengan hutan yang berfungsi sebagai penyangga hidrologi sedangkan sepanjang pantainya ke tengah terdapat dataran rendah dan banyak perkebunan rakyat yang diusahakan sedangkan pada bagian utara ke tengah banyak ditemukan persawahan dan tegalan.
Gambar 3.1 Peta Wilayah Kecamatan Pemenang Luas kemiringan tanah di kecamatan Pemenang pada tahun 2012 yaitu 7,198 Ha pada masing-masing tingkat kemiringan tanah 0-2% seluas 2,018 Ha, 2-15% seluas 165 Ha, 15-40% seluas 1,750 Ha dan >40% seluas 3,265% (BPS Kabupaten Lombok Utara 2013). Luas penggunaan lahannya dibagi menjadi 3 yaitu tanah sawah seluas 417 ha, lahan bukan sawah 3,906 ha dan lahan bukan pertanian seluas 3,786 ha. Sumber mata air di kecamatan Pemenang terdiri dari 8 lokasi dapat meningkatkan hasil produksi pertaniannya guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat yang diiringi dengan peningkatan kesejahtraan masyarakat. Kabupaten Lombok Utara beriklim tropis yang dipengaruhi oleh tekanan udara pada garis khatulistiwa dan angin dari barat dan selatan dengan kecepatan rata-rata 4.8 Km/jam. Rata-rata curah hujan perbulan pada bulan tahun 2008 sekitar 147.67 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada awal tahun, yaitu pada
38 bulan-bulan November hingga Desember dan Januari hingga Februari. Jumlah hari hujan pada bulan-bulan musim tersebut juga berbeda-beda. Dengan perbedaan tersebut Kabupaten Lombok Utara memiliki 2 musim yaitu musim kemarau sekitar bulan Juni hingga September dan musim hujan sekitar bulan Oktober sampai Mei. Suhu udara rata-rata pada tahun 2008 adalah 27 ⁰C yang seiring dengan musim. Jika musim kemarau, suhu akan meningkat berkisar antara 27.1 – 27.4⁰C, sedangkan pada musim hujan suhu akan turun berkisar 24.8 – 26.8⁰C. Jumlah penduduk kecamatan Pemenang kabupaten Lombok utara pada tahun 2012 sebesar 33,434 jiwa, sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2000-2010 sebesar 1.91. Laju pertumbuhann penduduk di kecamatan Pemenang lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Lombok Utara. Struktur perekonomian kabupaten Lombok Utara didominasi oleh sektor pertanian yang memberikan kontribusi sebanyak 44.96% karena sektor ini dikembangkan diseluruh kecamatan termasuk Pemenang, sedangkan sektor lain yang memberikan kontribusi cukup tinggi adalah sektor perdagangan hotel dan restoran sebesar 17.88%. Laju pertumbuhan ekonomi kecamatan Pemenang tahun 2011 sebesar 5.34 atas dasar harga konstan yang dipengaruhi oleh sektor kunci berupa pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran. Laju pertumbuhan sektor pertanian mencapai 2.93 sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran mencapai 5.77.
POTENSI DAN PERMASALAHAN/KENDALA DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN/WILAYAH
Potensi
Pertanian berkontribusi besar dalam menopang prekonomian masyarakat Pemenang. Hal ini dikarenakan sebagian penduduk bekerja di sektor pertanian terutama pertanian tanaman pangan dan perkebunan menjadi primadona. Padi dijadikan sebagai produksi andalan tanaman pangan diseluruh kecamatan di kabupaten Lombok Utara. Produksi padi sawah tahun 2012 mencapai 2,239 ton dengan luas panen 420 ha. Produksi ubi kayu merupakan yang terbesar dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya yaitu 3,194 ton dengan luas panen 207 ha. Potensi perkebunan rakyat kecamatan Pemenang tahun 2012 cukup menjanjikan tercatat bahwa produk unggulan perkebunan berupa kelapa, jambu mete dan kopi. Produksi kelapa yaitu 3,465.85 ton dengan luas panen 2,616.15 ha dan produksi jambu mete sebesar 1,229.75 ton dengan luas panen 120.85 ha. Potensi lain yang bisa didapatkan di kecamatan Pemenang pesona alam yang indah. Hal inilah yang mendukung berkembangnya usaha dibidang pariwisata. Wisata alam yang mejadi pimadona adalah wisata pantai yang terpusat di tiga Gili kecamatan Pemenang dan pantai Malimbu. Jumlah hotel dan restoran menjadi barometer perkembangan pariwisata di kecamatan Pemenang.
39 Jumlah hotel melati sebanyak 411 hotel yang umumnya terdapat di tiga Gili. Jumlah wisatawan yang berkunjung didominasi oleh wisatawan mancan egara. Permasalahan Perubahan Fungsi Status Penggunaan Lahan
Perubahan fungsi status penggunaan lahan yang sudah bergeser seperti lahan pertanian yang banyak dialihkan menjadi daerah permukiman, ketimpangan distribusi penduduk sehingga mengakibatkan ketersediaan tenaga kerja jauh menurun yang dikarenakan sumberdaya manusia yang tersedia masih rendah, sumberdaya alam yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Lahan Kritis Luas lahan kritis di kecamatan Pemenang sebesar 14.200,92 ha merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten Lombok Utara dengan kategori sangat kritis, kritis, agak kritis dan potensial kritis. Lahan sangat kritis dan kritis hanya ditemukan di kecamatan Pemenang masing-masing seluas 2.056,93 dan 329,15 ha sedangkan luas lahan agak krits dan potensial kritis masing-masing seluas 4.605,60 dan 7.209,24 ha (BPS Kabupaten Lombok Utara 2013). Lahan kritis sering dijumpai di daerah pegunungan Pusuk karena sering terjadi longsor.
KEBIJAKAN PENGGUNAAN/ PEMANFAATAN/ PENGELOLAAN LAHAN/WILAYAH
Kebijakan Daerah
Kabupaten Lombok Utara telah membentuk Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2031 yang berfungsi untuk mengatur, menetukan dan mengendalikan setiap kegitan yang berkenaan dengan pemanfaatan fungsi ruang tersebut. Dalam Peraturan Daerah ini, disusun pola ruang wilayah meliputi kawasan lindung sebesar 30.87% seluas kurang lebih 24.992 Ha dan kawasan budidaya sebesar 69.13% seluas kurang lebih 55.961 ha. Hutan di kawasan kecamatan Pemenang merupakan bagian dari kawasan lindung Gunung Rinjani. Kawasan sekitar danau kecamatan Pemenang diarahkan keselurah kawasan sekitar danau dan waduk yang tersebar Danau Gili Meno. Kawasan mata air kecamatan pemenang terdapat 8 titik dimana garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 20 cm disekitar mata air. Kawasan wiata alam sipusatkan pada laut tiga Gili seluas kurang lebih 2,945 Ha. Kawasan rawan bencana tanah longsor meliputi kawasan sekitar Pusuk, Malimbu dan Kerujak dan sekitarnya. Kawasan budidaya yang dikembangkan di kecamatan Pemenang berupa kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang tersebar diseluruh kabupaten. Kawasan peruntukan pertambangan meliputi potensi pertambangan logam berada di Dusun Kerujuk
40 (Desa Pemenang Barat) seluas kurang lebih 5 Ha. Kawasan peruntukan pariwisata meliputi wisata alam bahari meliputi Malimbu dan Kawasan Tiga Gili. Kawasan permukiman yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Utara. Pengembangan kawasan peruntukan permukiman diarahkan di daerah dengan kemiringan 0% sampai dengan 2%, diluar lahan pertanian basah dan kawasan lindung dengan aksesibilitas baik serta air bersih yang cukup dan bukan kawasan rawan bencana kecuali bencana gempa bumi. Kawasan permukiman yang berada di kawasan lindung dan kawasan rawan bencana (banjir, tanah longsor dan gelombang pasang) harus direlokasi ke lokasi yang aman.
Kearifan Lokal Gawe Gawah
Desa Bentek Kecamatan Gangga Lombok Utara memiliki tradisi adat “Gawe Gawah” di kawasan Hutan Adat Pawang Mejet yang merupakan salah satu dari kawasan hutan adat yang masih terjaga di Kabupaten Lombok Utara. Luas Hutan Adat Pawang Mejet lebih dari 50 ha terletak di lingkaran Gunung Rinjani. Hutan ini ditumbuhi pohon-pohon endemik hutan seperti bajur, beringin, randu, jati dan sengon. Hutan ini dapat menyangga kehidupan masyarakat desa Bentek karena setiap tahun hutan ini memenuhi kebutuhan air pertanian dan perkebunan di Kecamatan Gangga Lombok Utara. Sumber air hutan ini menjadi pemasok utama air untuk tiga saluran irigasi Kakun, Kerta dan Sengkunkun. Gawe gawah dalam bahasa Indonesia berarti selamatan hutan yang dilakukan setahun sekali yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam, kelestarian hutan dan memohon agar hujan turun pada waktunya. Kegiatan ini telah turun-temurun dilakukan agar hutan tetap lestari dan mampu mempertahankan mata air yang menjadi sumber pengairan pertanian, perkebunan dan kebutuhan masyarakat. Peraturan lokal (Awiq-awiq) ini terus ditaati oleh masyarakat Desa Bentek berupa tidak ada pohon yang boleh ditebang dalam hutan tersebut, apabila ada yang menebang harus didenda dengan menyembelih kerbau yang tergantung pada pohon yang ditebang, apabila semakin besar pohon yang ditebang maka sanksinya akan lebih besar, apabila hanya memotong ranting maka akan kena denda untuk memotong seekor kambing. Jika si pelaku tidak memiliki ternak atau uang untuk membayar denda tersebut maka dia harus menanam pohon serupa dengan bibit yang sejumlah 100 kali lipat. Sanksi sosial yang diatur dalam peraturan adat seperti inilah yang lebih dipatuhi masyarakat daripada peraturan positif (Kompasiana 2011). Sambik
Masyarakat adat Dusun Desa Beleq Desa Gumantar Kecamatan Kayangan Lombok Utara memiliki cadangan padi yang dapat dikonsumsi dalam setahun sehingga mereka tidak perlu membeli beras. Cadangan padi tersebut disimpan di dalam sambik (lumbung). Setiap keluarga memiliki satu sambik dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi 2 meter yang mampu menyimpan bahan makanan pokok untuk satu keluarga. Apabila keluarga memiliki anggota
41 keluarga yang besar biasanya ukuran sambik yang lebih bear pula dan semakin bagus tingkat ekonomi keluarga maka semakin besar pula ukuran sambik yang dibangun. Oleh sebab itu sambik dijadikan tanda status sosial di masyarakat. Sambik diisi padi yang berkualitas baik yang diikat pada musim panen. Masyarakat kabupaten Lombok Utara manruh padi dengan menggunakan ritual khusus karena dianggap menjadi tempat sakral oleh sebab itu untuk mengambil cadangan beras di dalamnya harus dalam keadaan suci dan sekaligus sebagai penghormatan terhadap tempat penyimpanan cadangan makanan. Sementara padi hasil panen lainnya disimpan di dalam rumah, didalam rumah tradisional warga adat gumantar maupun desa-desa tradisional lainnya yang lainnya, mereka memiliki tempat penyimpanan gabah khusus, beras yang sudah di giling atau gabah yang sudah di rontokkan itulah yang di pakai, sementara padi didalam sambik biasanya di pakai pada musim kemarau.Padi di dalam sambik masih aman sampai musim panen berikutnya, pada musim kemarau warga menanan jagung, singkong dan ubi jalar. Mereka biasa mencampur jagung dengan nasi, sehingga beras yang di konsumsi berkurang, sarapan pagi biasa menggunakan ubi atau singkong. Selain di Gumantar sambik masih di jumpai di perkampungan tradisional Akar-akar, Segenter, Semokan, Bayan Belek, Loloan, Senaru semuanya ada di Kecamatan Bayan.Sambik masih bertahan karena ada tuntutan adat diantaranya maulid adat yang mengharuskan warga mengumpulkan bahan makanan yang beraneka ragam salah satunya adalah padi bulu. Padi lokal ini memiliki bulir dan tinggi pohonnya lebih besar dan hanya bisa panen sekali setahun. Tradisi menyimpan padi bulu di sambik telah mengakar di masyarakat Kabupaten Lombok Utara. Setiap pembangunan rumah baru disertai pula pembangunan sambik dan dibawah sambil disimpan lesung untuk menumbuk padi tersebut. Hanya alat inilah yang boleh digunakan untuk menumbuk padi tersebut tidak boleh menggunakan mesin giling modern. Sambik dilihat potensinya dalam menjaga ketahanan pangan lokal, oleh sebab itu Bahan Ketahanan Pangan (BKP) NTB mendukung revitalisasi lumbung pangan. Saat ini BKP telah membangun lumbung modern yang permanen. Sistem pengisian dan pemanfaatannya sama dengan sistem sambik dan lumbung tradisional. Oleh sebab itu warga tidak perlu khawatir akan kekurangan pangan saat terjadi gagal panen karena masih tersimpan cadangan pangan dalam lumbung (BKP 2014).
PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL DAN EKONOMI
Iklim tropis wilayah kecamatan Pemenang sangat baik untuk komoditas pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan, begitupula potensi pariwisata yang terdapat di Malimbu dan tiga Gili merupakan primadona para wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal ini berdampak pada peningkatan pendapatan daerah yang mana pendapatan tertinggi masyarakat kecamatan Pemenang ditunjang dari sektor pertanian dan pariwisata. Potensi pertanian tanaman pangan berupa padi dan ubi kayu perlu terus ditingkatkan karena lahan sawah dan ladang relatif luas dan cocok untuk
42 pengembangan padi. Komoditas ubi kayu berproduksi paling tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya, tetapi penanaman ubi kayu masih banyak ditemukan di daerah lereng sehingga banyak terjadi degradasi lahan. Komoditas perkebuna berupa kelapa dan jambu mete juga perlu terus ditingkatkan. Pada peta wilayah Pemenang, perkebunan banyak ditemukan pada daerah rendah dekat pantai. Dalam hal ini komoditas kelapa dan jambu mete produktif untuk dikembangkan terlihat bahwa produksi komoditas tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas yang lain. Laju pertumbuhan penduduk kecamatan Pemenang tahun 2000-2010 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 1.91% termasuk laju pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lain dengan wilayah yang paling sempit dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dibutuhkan penyediaan fasilitas berupa perumahan ataupun lapangan usaha. Intensitas penggunaan lahan semakin meningkat akibat dari kebutuhan hidup yang semakin meningkat pula. Permasalahan ini akan berdampak pada penggunaan lahan secara tidak bertanggung jawab sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa degradasi lahan akibat dari ekploitasi berlebihan dan tidak sesuai untuk peruntukan penggunaan lahan tersebut. Kasus tanah longsor sering terjadi di Kecamatan Pemenang. Hal ini dikarenakan pembukaan hutan untuk permukiman dan usaha tapi cukup tinggi. Kegatan ini juga dipicu oleh keberadaan pariwisata 3 Gili. Keberadaan objek wisata ini mendorong peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal para pendatang maupun para wisatawan. Peluang ini dilihat oleh masyarakat sehingga mereka mendirikan pemukiman dan usaha pada kawasan yang berada pada akses wisata Gili seperti kawasan Pegunungan Pusuk dimana Kawasan pegunungan Pusuk juga menawarkan pemandangan alam yang indah. Masyarakat tidak hanya mendirikan pemukiman tetapi mereka juga mengusahakan tanaman semusim yang memilki perakaran pendek yang nantinya dapat memicu degradasi lahan. Permasalahan lain yaitu pengkonversian lahan pertanian menjadi pemukiman semakin meningkat. Permasalahan ini bisa disebabkan karena kurangnya sumberdaya manusia yang paham terhadap penggunaan lahan sehingga mereka bersifat degradatif terhadap lingkungan dan diperparah pula dengan jumlah tenaga penyuluh di kabupaten Lombok Utara masih rendah dan kurangnya pemanfaatan sumberdaya lama secara optimal. Minimnya tenaga penyuluh lapang digambarkan melalui jumlah sebaran pekerja sosial menurut BPS Kabupaten Lombok Utara pada tahun 2012 hanya sebanyak 4 orang. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka akan berdampak pada jumlah pengkonversian lahan pertanian menjadi permukiman semakin tinggi. Hal ini juga diperparah dengan kurangnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang dianggap usia produktif yang mampu mengelola lahan agar lebih produktif. Pertumbuhan penduduk ini juga berakibat pada peningkatan jumlah penduduk miskin dengan jumlah penduduk miskin sebesar 1,651 jiwa dan rumah tidak layak huni sejumlah 1,082 (BPS Kabupaten Lombok Utara 2013). Kemiskinan ini dikhawatirkan akan menyebabkan penggunaan lahan yang tidak bertanggung jawab yaitu berupa pembukaan hutan untuk berusaha tani ilegal. Oleh sebab itu, perlu adanya pemberdayaan sumber daya manusia dengan
43 pemberian pemahaman dan pelatihan pengelolaan lahan yang tepat dan juga memberdayakan perempuan karena jumlah penduduk perempuan relatif sama dengan penduduk laki-laki, tetapi pemberdayaan wanita masih kurang diintensifkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan Usaha Kecil Menengah.
KESIMPULAN
Setelah melakukan penilaian biofisik, sosial, ekonomi terhadap pemanfaatan lahan di kecamatan Pemenang maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Kabupaten Lombok Utara memiliki potensi sektor pertanian berupa tanaman padi dan ubi kayu yang bagus untuk terus dikembangkan karena lahan yang tersedia relatif luas dan komoditas perkebunan berupa kelapa dan jambu mete dimana pengembangan cocok pada daerah rendah dan berproduksi tinggi. Melihat permasalahan pengkonversian lahan pertanian menjadi pemukiman serta lahan kritis, permasalahan ini banyak disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang cepat, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan lahan yang tepat serta keberadaan pariwisata 3 Gili yang mengakibatkan peningkatan pendirian pemukiman dan hotel pada lahan pertanian dan berlereng.
REKOMENDASI
Setelah menganalisis segala potensi dan permasalahan dalam pemanfaatan pertanian/wilayah terhadap RTRW Kabupaten Lombok Utara, maka dapat ditawarkan rekomendasi berupa perlua adanya konsultasi publik mengenai RTRW Kabupaten Lombok Utara karena masyarakat masih banyak yang belum memahami rencana tata ruang wilayah mereka. Dengan adanya konsultasi publik ini maka partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan bisa lebih ditingkatkan. Agar tidak terjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsinya maka perlu adanya pemberlakuan kearifan lokal masyarakat setempat seperti yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu “Gawe Gawah”. Kearifan Lokal Berupa gawe gawah ini sangat efektif pengaruhnya dalam menjaga hutan dan hutan adat agar hutan tetap lestari dan mampu mempertahankan mata air yang menjadi sumber pengairan pertanian, perkebunan, dan kebutuhan masyarakat. Hal ini harus terus dipertahankan agar tingkat kerusakan hutan semakin ditekan. Peningkatan jumlah penduduk berdampak pula pada kebutuhan pangan penduduk yang semakin tinggi. Oleh sebab itu, kearifan lokal daerah Lombok Utara berupa penggunaan Sambik bisa dimanfaatkan sebagai lumbung pangan dikala sumber pangan berkurang akibat adanya gagal panen atau sebagainya sehingga pemerintah tidak terlalu kesusahan dalam menyediakan kebutuhan pangan daerah yang berimplikasi pula pada pengurangan pembukaan lahan hutan yang bersifat degradatif dan ilegal untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
44 DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2010 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2013 BKP, 2104. Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTB. www.bkp.ntbprov.go.id. diakses 2014. Bogor Kompasiana, 2011. www.kompasiana.com. diakses 2014. Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Nasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat
45
“Potret Pengelolaan Lahan Berkelanjutan, Studi Kasus: Pertanian Berbasis Kearifan Lokal (Dusun) Pada Kabupaten Maluku Tengah” Disusun Oleh: Morgan Ohiwal
PENDAHULUAN
Latar belakang E. F. SCHUMACHER dalam bukunya yang berjudul “ Small is Beautiful ” yang mengulang kembali pendapat TOM DALE dan VERNON GILL CARTER dalam “Topsoil and Civilisation” menyatakan sebagai berikut : “…. Untuk sementara waktu manusia yang beradab itu hampir selalu berhasil menguasai lingkungan hidupnya. Kesulitan kemudian ditimbulkannya sendiri, karena umumnya mereka berpikir bahwa penguasaan yang sementara itu dianggapnya sebagai penguasaan yang abadi, tanpa menyadari bahwa di samping penguasaanya itu mereka harus berkemampuan untuk mengetahui hukum alam sepenuhnya dan bahkan mereka kadang-kadang menganggapnya remeh. Mereka kadang-kadang menganggap dirinya sebagai penguasa alam dan bukan sebagai anak alam. Lingkungan hidupnya kemudian akan hancur karena mereka mengelakan hukum alam. Pendapat para ahli di atas itu kalau kita kaitkan dengan pendapat THOMAS MALTHUS (pada akhir abad ke 18) adalah sejalan walaupun MALTHUS meninjau pentingnya tanah yang dikaitkan dengan pesatnya angka kelahiran penduduk. Ia menyatakan bahwa tidak dapat dihindari penduduk dunia akan bertambah dengan cepat dan berada di atas kemampuan tanah dalam memenuhi kebutuhan penduduk terutama kebutuhan pokoknya. Keadaan ini pada gilirannya akan menimbulkan kelaparan massal dan peperangan yang dahsyat. Di seluruh kawasan tanah air kita masih dapat kita jumpai ratusan ribu hektar tanah pada alang-alang dan tanah-tanah kritis akibat perlakuan dan tindakan manusia yang mengabaikan hukum-hukum alam tersebut. Menurut Ir. PRIBADYO SOSTROATMODJOL. A dalam bukunya yang berjudul “Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah” mengenai hal ini dinyatakan sebagai berikut : “….. dalam konteks ini telah terpancar suatu situasi dimana manusia beradab telah merusak sebagian besar tanah yang mereka diami sejak lama. Inilah sebab utama mengapa peradabannya berpindah-pindah termasuk bertransmigrasi ke daerah-daerah yang dianggapnya akan mampu memperbaiki kehidupannya yang lebih baik. Keadaan di atas memang sampai dewasa ini masih banyak terasa, walaupun kita telah memiliki pasal 33 UUD 1945, Undang-Undang pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dimana jelas ditentukan : a. Bahwa tanah mempunyai fungsi sosial b. Ketentuan-ketentuan pidana bagi mereka yang menelantarkan tanah
46 c. d.
Pemilik tanah pertanian berkewajiban menggarap sendiri tanahnya Larangan untuk memiliki tanah bagi pertanian di beberapa daerah di luar daerah domisili pemiliknya. Kabupaten Maluku Tengah sebagai Kabupaten terbesar di Propinsi Maluku juga merupakan salah satu daerah yang tak luput dari kerusakan alam akibat dari manusia yang hidup di dalamnya, pertanian yang intensif pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40% menyebabkan meningkatnya besar erosi yang terjadi dan bertambahnya lahan kritis, pembukaan lahan dan beralih fungsinya perkebun rakyat menjadi pemukiman. Penebangan pohon-pohon sekitar DAS dan perambahan hutan merupakan masalah yang tak bisa dihindari lagi pada daerah-daerah peresapan air. Terbatasnya akses antara wilayah dalam Kabupaten Maluku Tengah merupakan masalah yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah setempat guna untuk meningkatan taraf ekonomi masyarakat. Mulai berkurangnya jumlah lahan yang dikelola berdasarkan kerifan lokal merupakan salah satu masalah serius yang harrus segera ditanggulangi oleh pemerintah kabupaten Maluku Tengah guna menjaga pengunaan lahan secara berkelanjutan demi kepentingan sosial, budaya, dan lingkungan.Peningkatan aksebilitas antara wilayah dalam Kabupaten Maluku Tengah, dalam hal ini infrastuktur juga harus segera ditingkatkan guna memudahkan peningkatan aktifitas ekonomi terutama dalam bidang pertanian. Tujuan untuk memetakan jenis penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan dan kondisi masyarakat serta letak geografisnya, untuk penggunaan lahan secara berkelanjutan dengan memperhatikan sistem konservasi lahan yang berbasis kearifan lokal.
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Geografis dan Topografis Secara Astronomi, Kabupaten Maluku Tengah setelah pemekaran terletak diantara 2o30’ – 7o30’ LS dan 250 o – 132o30’ BT, dan merupakan daerah kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 53 buah, dimana yang dihuni sebanyak 17 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 36 buah. Bentuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah dikelompokkan berdasarkan pendekatan fisiografi (makro relief), yaitu Dataran pantai, Perbukitan dan Pegunungan dengan kelerengan yang bervariasi. Tercatat sebanyak 2 dataran, 3 gunung, 2 danau dan 144 buah sungai berada di wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Struktur geomorfologi di Pulau Seram, Ambon, Banda dan sekitarnya dapat dibedakan atas struktur: vulkan, horizontal, lipatan, dan patahan, sedangkan batuan utama terdiri atas batuan vulkanis, terobosan, gamping, sekis, dan aluvium.
47
Hidrologi Kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi permukaan (sungai), Berdasarkan luas daerah aliran sungai (DAS), di Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) sistem sungai berdasar kondisi pulaunya, yaitu sistem sungai Pulau Seram, dan sistem sungai pulau-pulau kecil. Pada umumnya sungai-sungai yang terdapat di Pulau Seram, baik sungai besar maupun kecil, relative bersifat perenial, artinya mengalir sepanjang tahun, walaupun pada musim kemarau mengalami penurunan debit aliran. Sebagaimana diketahui bahwa di Kabupaten Maluku Tengah terdapat 144 buah sungai yang dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air bersih maupun sebagai pengairan lahan pertanian.
Klimatologi Secara umum kondisi iklim di Kabupaten Maluku Tengah didominasi oleh curah hujan yang relatif tinggi, yang ditunjukkan dengan kondisi vegetasi hutan yang rapat dan tumbuh subur. Pada wilayah ini terbentuk tipe iklim hutan hujan tropis, dengan curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi. Seperti wilayah Indonesia lainnya, di wilayah ini hanya terdapat 2 musim dalam setahun, yaitu musim penghujan yang dimulai pada bulan Oktober dan musim kemarau yang dimulai pada bulan April, dengan bulan basah lebih lama dibanding dengan bulan kering. Kabupaten Maluku Tengah terletak antara Laut Pasifik dengan Laut Banda, sehingga sering terjadi pusaran angin dan arus laut, maka pada saat musim penghujan sering tejadi badai hujan (storm) yang sangat memungkinkan terjadinya banjir besar. Berdasarkan Peta Isohyet (Direktoral Jenderal Cipta Karya, 1996), curah hujan rata-rata tahunan di Pulau Seram dan sekitarnya berkisar antara 2000-4000 mm. Curah hujan tertinggi (>4000 mm/tahun) terkonsentrasi di jalur perbukitan bagian tengah Pulau Seram, di sekitar Tehoru. Berdasarkan klasifikasi Oldeman, zona agroklimat di Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokkan berdasarkan kondisi fisiografinya, yaitu: (a) pada satuan dataran rendah dengan ketinggian <500 meter dpal, temperatur udara berkisar antara 25.8°-27.2°C, curah hujan antara 1.000-4.500 mm/tahun, hujan tersebar merata, jumlah bulan basah antara 3-9 bulan basah per tahun; (b) pada satuan dataran tinggi dengan ketinggian >500 meter dpal, temperatur udara rata-rata 26.2°C, curah hujan antara 3.000-4.000 mm/tahun, dan >9 bulan basah..
Kondisi tanah Struktur tanah yang terdapat pada wilayah Kabupaten Maluku Tengah cenderung serupa antara satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan kondisi geografis yang tidak berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan vegetasi suatu wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah berdasarkan jenis vegetasi yang dapat hidup pada wilayah ini, mengingat bahwa kontur wilayah yang merupakan indikasi tekstur ketinggian wilayah lebih mempunyai tingkat ketepatan dalam menentukan jenis vegetasi. Sampai dengan saat ini ditemukan 7 jenis karakteristik tanah yang berbeda, tanah tersebut merupakan jenis tanah yang dikelompokkan berdasarkan jenis vegetasi.
48 Tabel 4. 1. Jenis Tanah dan Vegetasi di Wilayah Kabupaten Maluku Tengah
Jenis Tanah Regosol / entisol
Aluvial / andisol
Gleisol / oxisol
Kambisol / inceptisol
Rensina / mollisol
Brunizem atau alfisol
Podsolik atau ultisol
Uraian Tanah ini memiliki solum dalam, dengan tekstur sedang, dan berdrainase sedang sampai baik. Tanah ini berasosiasi dengan jenis-jenis tanah aluvial, gleisol dan kambisol. Tanah ini memiliki solum sedang sampai dalam, dengan tekstur sedang dan berdrainase buruk. Jenis tanah ini berasosiasi dengan jenis-jenis regosol, gleisol dan kambisol. Tanah ini memiliki solum sedang sampai dalam, dengan tekstur sedang dan berdrainase buruk, jenis tanah ini berasosiasi dengan jenis jenis tanah regosol, aluvial dan kambisol.
Vegetasi Vegetasi yang ditemukan pada jenis tanah ini adalah tanaman pertanian dominasi kelapa, tanaman campuran, vegetasi khusus daerah pantai seperti ketapang, waru dan jenis-jenis Pescapprae Vegetasi umumnya didominasi oleh tanaman pertanian dominasi kelapa dan tanaman campuran.
Vegetasi yang ditemukan selain pandan rawa, sagu dan mangrove, ditemukan pula tanaman pertanian dominasi kelapa dan tanaman campuran (tanaman setahun dan tahunan) yang menyebar secara sporadis Vegetasi yang ditemukan adalah hutan sekunder, primer dan tanaman campuran.
Tanah ini memiliki solum dangkal sampai sedang dengan tekstur sedang sampai halus dan berdrainase baik, berasosiasi dengan jenis-jenis tanah litosol, kambisol, brunizem dan podsolik. Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan dangkal sampai sedang adalah hutan sekunder, dengan tekstur sedang sampai primer dan tanaman halus dan berdrainase baik, campuran. berasosiasi dengan jenis-jenis tanah litosol, kambisol, brunizem dan podsolik. Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan tanah dalam sampai sangat adalah tanaman pertanian, dalam, dengan tekstur halus hutan sekunder dan primer. dan berdrainase baik. Umumnya memilki kejenuhan basa 50 % atau lebih. Tanah ini berasosiasi dengan jenis-jenis tanah litosol, rensina, kambisol dan podsolik. Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan tanah dalam sampai sangat adalah tanaman pertanian, dalam, dengan tekstur halus tanaman campuran (tanaman dan berdrainase baik. Tanah tahunan dan ladang), hutan ini berasosiasi dengan jenis- sekunder dan primer. jenis tanah kambisl, litosol, brunizem.
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tengah
49
Penduduk Penduduk Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 1980, 1990, 2000, dan 2010 berjumlah masing-masing sebesar : 229,581, 295,059, 317,476, 361,698 jiwa. Dari keempat sensus penduduk tersebut dapat pula diperoleh rata-rata pertumbuhan penduduk antara Sensus Penduduk Tahun 1980,1990, 2000, dan 2010 sebesar 2.30 %, 1.48 %, 1.03 %, dan 1.31%. Hasil proyeksi penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2012 sebanyak 375,393 jiwa, berbeda dari tahun 2010 sebanyak 361,698 jiwa, dimana jumlah penduduk tahun 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk 2010. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Leihitu sebesar 48,756 jiwa (12.98 % dari jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah). Gambar 4.1. Grafik jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah
sumber : BPS Maluku tengah dalam angka 2013
POTENSI DAN PERMASALAHAN Perkebunan Tanaman perkebunan memegang peran penting dalam mendukung perekonomian yaitu sebagai sumber devisa, bahan baku industri sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga berperan dalam pelestarian lingkungan hidup. Rumah tangga usaha tanaman perkebunan pada tahun 2011 berjumlah 58,679 dimana rumah tangga yang mengusahakan tanaman cengkih sebanyak 24,227 dan rumah tangga yang mengusahakan kelapa sebanyak 19,076. Itu artinya tanaman perkebunan yang paling diminati oleh petani adalah cengkih dan kelapa. Komoditi unggulan Sektor perkebunan Kabupaten Maluku Tengah adalah kelapa, cengkih, pala, kakao, kopi dan fanili. Tahun 2012 jumlah produksi kelapa sebesar 13,955 Ton, lebih tinggi bila dibandingkan dengan komoditi unggulan lainnya.
50 Kehutanan Luas kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah adalah 563,945,30 Ha, yang terdiri dari hutan suaka alam/hutan wisata dengan luas 4,413,80 Ha, hutan lindung dengan luas 148,624,30 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas 32,927,90 Ha, hutan produksi tetap seluas 209,178,90 Ha, lahan lain-lain dan hutan konversi seluas 170,900,40 Ha. Kabupaten Maluku Tengah juga mempunyai potensi hasil hutan non kayu seperti rotan, kopal dan minyak atsiri (Minyak kayu putih dan lainnya). Namun sampai saat ini pengusahaan hasil hutan non kayu ini masih diusahakan sebagai usaha sampingan sehingga produksinya masih kecil. Kelautan Dan Perikanan Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah sangat tergantung pada potensi sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dimiliki. Jumlah pulau sebanyak 42 buah (termasuk pulau besar, Pulau Seram) dengan panjang garis pantai 1,375,529 km,dan luas perairan wilayah kelola 7,436,29 km2.Potensisumberdaya perairan yang dimiliki Kabupaten Maluku Tengah mampu mendukung pembangunan ekonomi wilayah serta ekonomi masyarakatnya. penangkapan ikan, budidaya perairan, pengolahan hasil perikanan dan pemasaran produk perikanan. Sesuai potensi itu, banyak kegiatan ekonomi produktif yang dapat dikembangkan, antara lain : 1. Pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui : a. Penangkapan dan budidaya ikan dan organisme laut lainnya b. Pemanfaatan hutan mangrove dan terumbu karang c. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil 2. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui : a. Pengembangan desalinasi air laut untuk menghasilkan garam dan bahan biokimia lainnya 3. Pemanfaatan sumberdaya energi kelautan : a. Pemanfaatan energi gelombang b. Pemanfaatan energi pasang surut c. Pemanfaatan konversi energi panas laut d. Pemanfaatan energi angin 4. Pemanfaatan jasa lingkungan a. Transportasi dan komunikasi b. Ekowisata bahari 5. Konservasi dan rehabilitasi : a. Transplantasi terumbu karang untuk kepentingan ekonomi b. Konservasi dan rehabilitasi terumbu karang c. Konservasi dan replantasi bakau Permasalahan Permasalahan tanah tidak semata-mata hanya menyangkut aspek ekonomi dan kesejahteraan saja. Tetapi juga meliputi aspek sosial, kultur, politik, hukum dan religious. Oleh karena itu dalam penyelesaiannya tidak hanya mengindahkan aspek hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan asas kesejahteraan, keamanan dan kemanusiaannya juga.
51 Tanah dalam wilayah hukum adat Pada Kabupaten Maluku Tengah persoalan sengketa lahan terjadi terutama terkait dengan batas wilayah antar Desa/Negeri, klaim kepemilikan adat oleh kelompok yang berbeda, konflik akibat tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah administratif. Diantara permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan masalah tanah tersebut adalah persoalan tanah yang berada dalam lingkungan atau wilayah suatu masyarakat hukum adat. Di satu pihak ada masyarakat hukum adat dengan hak ulayat dan di pihak lain ada pemanfaatan tanah-tanah untuk kepentingan pembangunan oleh pemerintah. Benturan kewenangan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah ini sering dianggap dapat menghambat pembangunan. Meningkatnya lahan terdegradasi Pembukaan lahan baru, penebangan pohon dan aktifitas pertanian lainnya menyebabkan semakin bertambahnya lahan kritis. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan dan daya dukung lahan itu sendiri untuk penggunaan selanjutnya. Reklamasi lahan untuk pertanian pada daerah resapan air akan menyebabkan merosotnya debit air bahkan tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan matinya sumber air. Pembukaan lahan itupun akan menyebabkan air terinfiltasi lebih kecil daripada aliran air permukaan akibat dari tidak adanya vegetasi atau tanaman penutup tanah sehingga akan berpotensi pada besarnya erosi yang terjadi.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN Kebijakan Nasional Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang : Kehutanan Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. 2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentun yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahanakan keberadaanya sebagai hutan tetap 4. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 6. Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
52 8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang : perikanan Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan : Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari reproduksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2004 tentang : Perkebunan Dimana dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengelola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan serta manajemen untuk mewujudkan kasejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Kebijakan Daerah
Persoalan dan dimensi pembangunan daerah yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah selalu berubah dan makin kompleks. Permasalahan dan tuntutan pembangunan yang dihadapi akan bertambah banyak, sedangkan kemampuan dan sumber daya pembangunan yang tersedia cenderung terbatas. Pemerintah harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan yang tidak terbatas dengan membuat pilihan dalam bentuk skala prioritas. Sebagai arah pelaksanaan pembangunan daerah pemerintah Kabupaten Maluku Tengah telah menetapkan Visi Pembangunan Daerah yang tertuang dalam RPJMD Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013-2017. Tujuan dan sasaran pembangunan mewujudkan misi Membangun Masyarakat Maluku Tengah Yang Lebih Sehat, Cerdas dan Professional, maka ditetapkan tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam lima tahun mendatang adalah sebagai berikut : 1. Meningkatnya status gizi masyarakat 2. Meningkatakan akses masyarakat miskin terhadap layanan perlindungan kesehatan. 3. Meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat. 4. Tersedianya pangan yang sehat dan bermutu.
53 Memperkuat perekonomian Maluku Tengah yang berdaya saing, maka tujuan dan sasaran yang akan dicapai adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan daya saing dan menjaga stabilitas ekonomi. 2. Meningkatakn pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat. 3. Meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana infrastruktur. Kearifan lokal Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Alam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktifitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya (Suhartiny, 2009). Dalam masyarakat hukum adat tanah merupakan benda yang sangat penting, baik untuk kepentingan pemukiman maupun untuk keperluan mata pencariannya. Praktek agroforestri yang khas pada Kabupaten Maluku Tengah berbasis kearifan lokal diantaranya adalah : 1. Sistem dusun dimana dusun adalah suatu aset yang sangat bernilai yang termasuk dalam indigeneous knowledge dan indigeneous teknologi yang sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis dan masyarakat setempat. 2. Sasi dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Lokollo (1925) menjelaskan bahwa terdapat enam tujuan falsafah yang mempengaruhi adat sasi, yakni sebagai berikut : 1. Memberikan petunjuk umum tentang perilaku manusia, untuk memberi batasan tentang hak-hak masyarakat. 2. Menyatakan hak-hak wanita, untuk memberikan defenisi status wanita dan pengaruh meraka dalam masyarakat. 3. Mencegah kriminalitas, untuk mengurangi tindakan kejahatan seperti mencuri. 4. Mendistribusikan sumber daya alam yang mereka milliki secara merata untuk menghindari konflik dalam pendistribusian sumber daya alam, yakni antara masyarakat dari desa atau kecamatan yang berbeda 5. Menetukan cara pengolahan sumber daya alam yang di laut dan yang di darat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 6. Untuk penghijauan. Secara tradisional, sasi diterapkan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut: 1. Sasi perorangan, yakni melindungi sumber daya alam yang menjadi milik pribadi dalam batas waktu tertentu. 2. Sasi umum, yakni yang diterapakan untuk perkebunan campuran berbagai pohon yang ada, disebut dusun, kemudian diterapkan untuk sumber daya tertentu yang ada dalam kebun tersebut.
54 3. Sasi desa, yakni berlaku bagi seluruh lapisan di desa tersebut, biasanya terdiri dari beberapa dusun. Setelah kewenangan sasi bertambah dan semakin luas, akhirnya sasi berkembang menjadi empat kategori, yakni: 1. Sasi perorangan 2. Sasi umum 3. Sasi mesjid atau sasi gereja, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak mesjid, gereja atau masyarakat umum. 4. Sasi negeri, yaitu sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala desa, bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai batas wilayah.
PENILAIAN BIOFISIK DAN SOSIAL-EKONOMI Biofisik Berdasarkan pendekatan fisiografi bentuk wilayah, Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokan menjadi: dataran pantai, perbukitan, dan pegunungan. Dengan kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi permukaan (sungai), berdasarkan luas aliran sungai (DAS), di kabupaten Maluku tengah dapat dikelompokan kedalam dua sistim sungai berdasarkan kondisi pulaunya, sistem sungai pulau besar dan sistem sungai pulau-pulau kecil, dengan jumlah 144 buah sungai yang dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air bersih maupun sebagai pengairan lahan pertanian Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam juga harus sesuai dengan kondisi geografis yang terdiri atas daerah kepulauan tersebut. Dimana sumber daya yang dimiliki akan berbeda antara pulau besar dan pulau kecil akan berbeda, sehingga sumber daya (khususnya sumber daya alam) tersebar tidak merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mengingat distribusinya yang tidak merata, tahap pertama dari suatu pengembangan wilayah teknokratik adalah mengidentifikasi sumber daya yang ada melalui kegiatan evaluasi sumber daya, baik sumber daya alami, sumber daya manusia, sumber daya buatan, maupun sumber daya sosial. . Curah hujan rata-rata tahunan di pulau Seram dan sekitarnya berkisar antara 2000-4000 mm. Dengan vegetasi yang terdapat pada umumnya adalah tanaman pertanian dominasi kelapa, tanaman campuran (tanaman setahun dan tahunan) yang menyebar secara sporadis, vegetasi khusus daerah pantai (ketapang, waru, dan jenis-jenis Pescapprae), hutan primer dan hutan sekunder. Keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas (Deshmukh, 1992). Keanekaragaman merupakan salah satu ukuran yang dipakai untuk menunjukan tingkat kemantapan dari suatu ekosistem. Struktur tanah yang terdapat pada kabupaten Maluku tengah cenderung serupa antara satu dengan yang lain. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan vegetasi suatu wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah berdasarkan jenis vegetasi yang dapat hidup diwilayah ini.
55 Maluku Tengah mempunyai wilayah pesisir yang cukup banyak karena merupakan dearah dengan banyak pulau kecil. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai, maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas, yaitu : batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (Dahuri dkk, 1996). Wilayah pesisir dan laut dengan pulau-pulau kecilnya merupakan kawasan dengan produktifitas hayati tinggi.sehingga bagi sektor perikanan, kawasan ini menjadi sumber-sumber perekonomian yang sangat potensial.SDA pesisir, maka di kawasan ini juga menjadi sumber konflik berbagai kepentingan (Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Karena struktur tanah pada Kabupaten Maluku Tengah cenderung serupa antara yang satu dengan yang lainnya dikarenakan kondisi geografis yang tidak berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan demikian penggunaan lahan oleh masyarakat dapat dibagi menjadi: Rumah atau Luman Rumah masyarakat Negeri disebut “luman”. Rumah Tradisional masyarakat berbentuk empat persegi panjang dengan dua atap menghadap kedepan dank e belakang dan memiliki satu pintu di bagian depan. Pekarangan atau kintal Pekarangan masyarakat disebut dengan “kintal ” yang mereka defenisikan sebagai sebidang lahan yang di dalam terdapat bangunan rumah dan sebagian lahan lainnya terfletak disekitar bangunan rumah yang ditanami beranekaragam jenis tanaman seperti tanaman hias, tanaman obat, pohon buah-buahan, dan lainlainnya. Perkampungan atau I nian Perkampungan masyarakat Negeri pada umumnya dibangun ditepi pantai karena bentuk geografis dari Kabupaten Maluku Tengah merupakan daerah kepulauan. Kebun atau Du sun Satuan lingkungan atau “dusun” dalam terminology lokal masyarakat disebut dengan “aka” dan aka terdiri atas dua macam yaitu : (a) Aka kiiti atau kebun kecil yang dibuat disekitar perkampungan dan berukuran kecil atau tidak luas antara 200-1000 m2 dibatasi dengan pagar dan biasanya ditanami dengan berbagai jenis tanaman pangan semusim seperti tanaman sayuran dan tanaman pangan. Pembudidayaan jenis-jenis tanaman sayuran dan tanaman pangan semusim tersebut dilakukan secara campuran (mixed cropping ) dan jarak tanam tidak teratur. (b) Aka maina atau kebun besar yang berukuran cukup luas antara 1-10 ha atau bahkan lebih luas lagi ditanami jenis-jenis tanaman tahunan seperti kelapa, cengkeh, coklat, kopi, sagu, dammar, dan tanaman buah-buahan. Berdasarkan jenis tanamannya maka aka maina atau dusun dapat dibagi menjadi :
56
Dusun coklat (aka maina soklat ) Masyarakat mengenal kebun coklat belum lama dan merupakan bentuk usaha tani yang relative baru. Ciri khas kebun coklat masyarakat berada di kawasan perbukitan atau pegunungan dan ditanam secara campuran dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan areal tersebut masih terdapat beberapa jenis tanaman pohon hutan.
Dusun cengkih Pengembangan dusun cengkeh mengalami penurunan dan masyarakat lebih memilih mengusahakan kebun coklat dibandingkan cengkeh pada saat ini, karena beberapa alasan antara lain; (a) penanaman cengkih memerlukan perawatan yang lebih sulit disbanding jenis perkebunan lainnya; (b) tanaman cengkih lebih lambat memberikan hasil dibandingkan tanaman lainnya; (c) hasil cengkih sulit dipasarkan; dan (d) cengkih hanya sekali panen dalam setahun.
Dusun kelapa (luin) Pada masa lalu kelapa mempunyai peran penting dalam masyarakat terutama peran sosial ekonomi. Kepemilikan kebun kelapa menjadi simbol kekayaan suatu keluarga dan merupakan sumber ekonomi utama melalui hasil kopranya. Namun pada masa kini peran ekonomi kelapa telah tergantikan oleh jenis tanaman perkebunan lainnya seperti coklat, kopi, pala dan lainnya. Kondisi kebun kelapa berlokasi di dekat perkampungan sudah tergolong tua dan perlu perejamaan.
Dusun pala ( Aka maina pala) Tanaman pala tidak banyak jumlahnya dan lebih banyak ditanam sebagai tanaman sela diantara jenis-jenis tanaman coklat, cengkih, dan kopi.
Dusun sagu ( Aka maina hatan) Bentuk satuan lingkungan ini sebenaranya secara alamiah telah ada dan pada saat ini masyarakat sudah mulai membudidayakannya, walaupun pada saat ini sagu sudah bukan lagi menjadi bahan pangan utama. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat di kebun sagu antara lain jenis tanaman buah-buahan dan jenis tumbuhan hutan yang memiliki manfaat untuk bahan bangunan dan kayu bakar.
Dusun durian Secara tradisional masyarakat tidak mengusahakan jenis durian dalam suatu perkebunan khusus buah durian. Dusun durian dibangun hanya berupa suatu kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dan tanaman buah durian menjadi dominan di kebun tersebut. .Buah durian menjadi penting karena memiiki harga yang cukup tinggi dan mudah memasarkannya.
57
Dusun langsat Kepemilikan dusun langsat tidak dimiliki oleh semua masyarakat. Namun hampir sebagian masyarakat yang memiliki dusun menanam jenis ini di lahan dusunnya.
Hutan Sekunder (Ewang Aun g )
Berdasarkan pengertian masyarakat hutan sekunder (ewang aung ) adalah hutan yang telah terganggu oleh aktifitas manusia atau menerangkannya sebagai hutan asli yang telah dibuka untuk kepentingan kebun atau membuat dusun dan selanjutnya dibiarkan menghutan kembali. Pengertian ini juga berlaku untuk hutan primer yang telah mengalami kerusakan secara alami seperti kerusakan karena angina tau badai, terjangan banjir, kebakaran karena kekeringan dan lainlannya.. Ewang aung bagi masyarakat dimanfaatkan sebagai sumber kayu bakar, meramu hasil hutan non kayu seperti keanekaragaman jenis tumbuhan obat, rotan, sagu, dan berbagai jenis buah-buahan dan sayuran. Hutan Primer (Ewang )
Ewang atau hutan asli atau hutan primer merupakan satuan lingkungan berupa hutan yang masih asli dan belum mengalami kerusakan akibat dari gangguan baik gangguan alam maupun dari aktifitas manusia. Penguasaan hutan “ewang” ini dikuasai oleh soa, sehingga kepemilikannya bersifat komunal. Batas kepemilikan hutan primer ini tidak jelas di lapangan, kecuali yang memiliki batas alam yang jelas seperti sungai, lembah atau bukit, sehingga batas kawasan ini sering menjadi konflik antar desa, antar soa atau antar kelompok masyarakat.
Sosial-Ekonomi Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat pada Kabupaten Maluku Tengah harus secara menyeluruh dan merata guna meminimalisir ketimpangan sosial dan konflik sosial di masyarakat yang mungkin akan terjadi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat akan melakukan ekstensifikasi lahan yang akan berdampak pada pengundulan hutan. Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi ekonomi ini adalah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi (material) manusia baik untuk generasi sekarang maupun yang akan mendatang.
58 Mengingat keterbatasan dan ketidakmerataan sumberdaya pada Kabupaten Maluku Tengah, maka setiap potensi sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sumberdaya harus dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin. Dalam teori ekonomi, prinsip efisiensi dibagi menjadi dua jenis yaitu : efisiensi produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi dicapai dengan meminimumkan biaya untuk menghasilkan satu unit output. Sedangkan efisiensi alokasi adalah suatu kondisi dimana dalam suatu produksi output, sumberdaya yang dialokasikan adalah maksimum dan harga produksi barang sama dengan biaya marginalnya. Dalam proses perencanaan pengembangan wilayah, aspek ekonomi berperan penting untuk mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien baik dalam perspektif jangka pendek maupun jangka panjang. Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Sistim sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistim sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya terjadi konflik social dan pravalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan (misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial. Dilihat dari data ketenagakerjaan pada Kabupaten Maluku Tengah terdapat setidaknya lebih dari setengah atau 57.33% dari penduduknya bekerja di sektor pertanian. Dengan demikian, maka sistem pertanian terutama yang berbasis kearifan lokal atau dusun harus dijaga kelestariannya. Selain merupakan sumber pendapatan ekonomi masyarakat dusun juga mempunyai fungsi ekologi yang sangat baik di dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan. Masyarakat Negeri memiliki pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan yang tumbuh disekitar tempat tinggalnya. Mereka memilik pengetahuan yang baik dalam pengenalan keanekara gaman jenis tumbuhan yang didasarkan pada karakteristik morfologi tumbuhan dan kegunaannya. Dalam mengenali keanekaragaman jenis tumbuhan langkah-langkah awal yang mereka lakukan adalah : (a) Mengenali ciri morfologi dari jenis tumbuhan, yaitu diawali melihat bentuk daunnya (totun), warna kulit batangnya (ai unin), batangnya atau kayunya (hatan atau helan), buahnya (huan), cabang ( sakat ), tangkai, ranting ( salan), akar (ai tamun), dan keberadaan getahnya. (b) Mengelompokan apakah jenis tumbuhan tersebut berupa rumput-rumputan dan perdu (ehu), liana (ayaan), batang atau pohon (hatan), dan berumpun (ulun). (c) Melakukan penanaman: penanaman diawali dengan kata “ehu” untuk jenis rumput, “ayaan” untuk jenis liana, “ai” untuk jenis pohon.
59 (d) Menyebutkan kegunaannya: masyarakat mengenal dengan baik kegunaan jenis-jenis tumbuhan yang terdapat disekitar mereka. Dusun merupakan sistim sosial yang digunakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mereka miliki. Di samping menjaga ekosistem alam “dusun” merupakan sumber pendapatan masyarakat karena jika dilihat dari tanaman yang diusahakan, hasil dari jenis-jenis tanaman budidaya yang diusahakan oleh masyarakat memiliki nilai ekonomi yang tinggi, misalnya cengkeh, kopi, coklat, kelapa, dan lain-lainnya yang nilai ekonominya bisa mencukupi kebutuhan mereka. Pengendalian kerusakan lahan Sebagaimana diketahui kondisi lahan pada Kabupaten Maluku Tengah terbagi atas dataran pesisir, perbukitan, dan pegunungan. Maka untuk daerah pegunungan dijadikan sebagai kawasan lindung dan daerah resapan air. Dimana daerah pegunungan merupakan hutan primer atau “ewang ” yang masih dalam kondisi alami. Sedangkan untuk dataran pesisir dan perbukitan yang merupakan kawasan budidaya tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah :
(a) Cara mekanik dengan menggunakan sarana fisik seperti tanah dan batu sebagai sarana konservasi tanahnya. Tujuanya untuk memperlambat aliran air permukaan, mengurangi erosi, serta menampung dan mengalirkan aliran air permukaan ( Seloliman, 1997). Metode konservasi yang dapat dilakukan diantaranya; pengelolaan tanah, pembangunan teras, pembuatan saluran disepanjang kontur yang berfungsi sebagai saluran air untuk mengisi persediaan air dalam tanah, penanaman tanaman dalam strip kontur. Karena umumnya masyarakat membuka lahan pertanian pada daerah perbukitan dengan kemiringan 10-40% maka teknik konservasi yang baik dilakukan adalah teras bangku, gulud atau guludan, teras kebun untuk tanaman perkebunan dan buah-buahan, rorak yang bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah tererosi, dan pembuatan embung tradisional. Sistim mekanik yang biasan ya dilakukan masyarakat pesisir juga adalah dengan pembuatan pemecah ombak dengan menggunakan batuan karang disamping mencegah terabrasinya tanah pesisir pantai juga sebagai habitat biota laut terutama ikan karang (b) cara biologi; penanaman rumpun bambu pada daerah tepian sungai diperlukan untuk mencegah erosi alur dan parit yang terjadi akibat aktifitas manusia maupun yang terjadi secara alami yang ditanam membentuk pagar, penanaman tanaman penutup tanah untuk mencegah besar dan laju aliran permukaan baik pada tepian teras yang dibuat atau pada lahan terbuka dan di antara baris tanaman, pergiliran tanaman dan tumpang sari baik juga untuk meningkatkan kesuburan tanah, penanaman tanaman mangrove untuk mencegah erosi tanah daerah pesisir akibat abrasi air laut. (c) Cara kimia dengan penambahan bahan organik tanah dapat dilakukan dengan pemulsaan disamping dapat meningkatkan kesuburan tanah juga dapat memperkecil laju aliran permukaan
60
KESIMPULAN
Dalam sistem pertanian terdapat dua kendala utama yaitu kendala fisik dan profitabilitas (keuntungan usaha). Pada kondisi ekstrim, faktor keterbatasan fisik dapat diatasi dengan berbagai kondisi buatan. Sedangkan pada sistem produksi pertanian yang dibatasi oleh luas areal dapat diatasi dengan pemanfaatan teknologi. Selain teknologi, secara spasial faktor iklim juga berpengaruh terhadap sistem produksi pertanian.Karena pada batas-batas tertentu, pengaruh iklim dapat membatasi penggunaan lahan, mekanisasi, budidaya dan sebagainya. Dalam perencanaan pengembangan wilayah dan pengendalian lahan berdasarkan konsep pertanian berkelanjutan, maka tiga hal yang harus diperhatikan adalah : 1. Dimensi sosial yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat guna mencapai kesejahteraan sosial yang harmonis 2. Dimensi ekonomi sebagai indikator utama tingkat efisiensi dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi manusia untuk generasi sekarang dan yang akandatang. 3. Dimensi lingkungan guna menekan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Dusun merupakan sistem pengelolaan lahan yang sangat sesuai atau mengsinergikan antara peraturan pemerintah no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, tujuan pembangunan Kabupaten Maluku Tengah dimana salah satunya adalah meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat.
REKOMENDASI
Pemerintah harus berperan sebagai human kontrol sehingga masyarakat lokal tidak dimarginalkan terhadap hak-hak sumberdaya alam yang mereka miliki baik secara politik dan ekonomi. Konsep dan pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (dusun) adalah sistim pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat dilakukan bersama Perum Perhutani dan masyarakat desa untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Pemerintah harus memposisikan hutan rakyat, hutan adat dan hutan Negara sebagai satu kesatuan ekosistem, termasuk unsur manusia, pranata sosial, kelembagaan, hak dan kewajiban setiap pelaku, dan kesetaraan dan pengakuan hukum, ekonomi dan politik harus dibangun bersama-sama, dengan mengacu kepada kepentingan individu dan kepentingan publik.
61 DAFTAR PUSTAKA
Alikodra. S. Hadi. 2012. Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan . UGM Press.Yogyakarta. Aryadi, Mahrus. 2012. Hutan Rakyat . Umm Press. Malang. BPS. 2013. Maluku Tengah Dalam Angka.Masohi. Maluku Tengah. BPS.2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Maluku Tengah. Maluku Tengah. Hardiyatmo. C. Hady. 2006. Penanganan Tanah Longsor Dan Erosi . Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rustiadi, E., S. Sunsun., dan P.R. Dyah. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Restpent Press. Jakarta-Indonesia. Solahuddin, Soleh. 2009. Pertanian Harapan Masa Depan. IPB Press.BogorIndonesia. Wattimena. A. Gustaf. Agroforestri di Maluku. proceeding Permama 2011. Bogor
62
“Potensi Pengembangan Sagu untuk Mendukung Ketahanan Pangan Lokal di Wilayah Kabupaten Merauke ” Disusun Oleh: Yudi C. L. Pakpahan
PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Merauke sangat luas dan merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman pangan di Provinsi Papua. Papua, salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu terbesar. Wilayah sebaran di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi. Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang cukup penting di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan perekonomian dan ketahanan pangan lokal maka sagu merupakan salah satu komoditas yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal serta memiliki potensi kesesuaian lahan untuk dikembangkan di Papua. Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (subsistem) tanpa berorientasi pada peningkatan nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan perekonomian keluarga.Pengolahan sagu di Papua masih sebatas dalam industripangan dengan pemanfaatannative starch(pati asli). Padahal produk turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan menjadi beberapa makanan diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu, beras sagu, aneka kue sagu kering dan makanan kecil lain. Produk lain adalah: gula cair, biodegredable plastic (plastik yang dapat terurai), bioetanol, pakan ternak, arang briket serta papan partikel komposit. Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mensinergikan penilaian biofisik dengan pembangunan.
63 GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Geografis Kabupaten Merauke merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Papua, terletak dibagian selatan yang memiliki wilayah terluas diantara kabupaten/kota di Provinsi Papua. Secara geografis letak Kabupaten Merauke berada antara 137°-141°BT dan 5°-9° LS, dengan luas wilayah 46,791.63 km².Sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke terdiri dari daratan rendah dan berawa, luas areal rawa ±1,425,000 ha dan daratan tinggi di beberapa kecamatan padalaman bagian utara. Kabupaten Merauke terletak paling timur wilayah nusantara dengan batas batas sebagai berikut : a) Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi b) Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura d) Barat berbatasan dengan Laut Arafura Topografi Keadaan topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa di sepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan topografinya bergelombang dengan kemiringan 0-8%. Klimatologi Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman wilayah Kabupaten Merauke berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5-6 bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson Barat-Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur-Timur Tenggara (Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi daerah setempat. Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1,558.7 mm. Kecepatan angin hampir sama sepanjang tahun; di daerah pantai bertiup cukup kencang sekitar 4-5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/detik. Tingkat kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah, kelembapan rata-rata berkisar antara 78-81%. Hidrologi Sungai-sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan sebagai prasarana angkutan antara kecamatan dan desa-desa. Sumber air tawar dari rawa-rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan. Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah histosol, entisol, dan ultisol yang terdapat di daerah-daerah rawa dan payau. Jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk batuan sedimen yang menyebar di wilayah distrik Okaba, Merauke dan Kimaam.
64 Demografi Penyebaran dan kepadatan penduduk pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor lokasi, potensi dan kemudahan hubungan antara lokasi tersebut. 2
Kabupaten Merauke dengan luas wilayah 46,791.63 Km , tingkat kemudahan hubungannya masih tergolong relatif rendah. Konsentrasi penduduk masih dominan tinggal di daerah perkotaan dan kampung-kampung transmigrasi. Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut pendataan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 239,943 Jiwa.
POTENSI DAN PERMASALAHAN Potensi Sagu Dari segi penggunaan lahan untuk tanaman sagu, menurut Flach (1983) dalam Syakir & Karmawati (2013) Indonesia sudah sejak zaman dalu mengembangkan tanaman sagu dalam bentuk hutan.Areal pertanaman yang ada pada waktu itu sudah 1,114,000 ha, tersebar di kawasan Timur 95%, dan hanya 4.1 di kawasan Barat. Badan Litbang Kehutanan (2007) dalamSyakir & Karmawati (2013) menyebutkan hutan sagu sekitar 1,250,000 hayang tersebar di Maluku dan Papua, sedangkan yang sudah semi budidaya terdapat di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, dan Mentawai (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Perkembangan Luas Areal Sagu di Beberapa Daerah di Indonesia Hutan Sagu Semi Budidaya No. Lokasi (ha) (ha) 1. Papua 1,200,000 14,000 2. Maluku 50,000 10,000 3. Sulawesi 30,000 4. Kalimantan 20,000 5. Sumatera 30,000 6. Kepulauan Riau 20,000 7. Kepulauan Mentawai 10,000 Jumlah 1,250,000 134,000 Sumber: Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2011)
Berdasarkan data Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2013) luas lahan yang sesuai untuk perluasan dapat dilakukan pada lahan rawa yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua seluas 2.978.380 ha.Khusus untuk jenis sagu baruk walaupun prodiktifitas pati per ha atau per pohon rendah hanya sekitar 30-100 kg, tanaman ini dapat tumbuh pada tanaman non rawayang tersedia di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua seluas 5.3 juta ha (Tabel 5.2).
65 Tabel 5.2. Luas Lahan yang Sesuai untuk Perluasan Areal Pertanian Lahan Basah Lahan (ha) Pulau Rawa Non Rawa Total Sumatera 354,854 606,193 961,047 Jawa 0 14,393 14,393 Bali dan Nusa Tenggara 0 48,922 48,922 Kalimantan 730,160 665,779 1,395,939 Sulawesi 0 422,972 422,972 Maluku dan Papua 1,893,366 3,539,334 5,432,700 Indonesia 2,978,380 5,297,593 8,275,973 Sumber: Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2013)
Produktifitas tepung sagu di Indonesia cukup beragam tergantung jenis sagu. Hasil Survei Allorerung (1993) dalam Syakir & Karmawati (2013) di beberapa daerah di Indonesia secara umum, umur panen berkisar antara 7-12 tahun dengan kisaran produksi tepung basah per batang sekitar 90-700 kg (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Produktifitas Pati Sagu di Beberapa Daerah di Indonesia Perkiraan Umur Nomor Lokasi Panen (tahun) 1. Jayapura 8-10 2. Kaimana 7-10 3. Sorong 7-10 4. Paniai 7-10 5. Yapen Waropen 10-12 6. Merauke 7-10 7. Salawati 8. Sungai Kepik 9. Kampor 10. Idragili Hilir 11. Bengkalis 12. Kep. Riau 13. Sulawesi Utara 14. Kalimantan Barat 15. Kepulauan Mentawai -
Produksi Tepung Basah (kg/batang) 400 400-700 300-375 360-500 400-500 300-400 90-325 137,7 150-200 138-367 200-300 300 200-450 175-210 300-400
Sumber: Allorerung (1993) dalam Syakir & Karmawati (2013) Pati sagu saat ini di pasar internasional relatif belum begiru dikenal. Padahal produksi karbohidrat dan tanaman sagu lebih tinggi dari tanamantanaman penghasil karbohidrat lainnya seprti jagung, ketela pohon, dan tebu.Selain untuk bahan makanan, bioetanol dapat juga dihasilkan karbohidrat tanaman sagu. Diperkirakan dalam 1 ha tanaman sagu dapat menghasilkan per tahun bioetanol sebesar 12,2 kL/ha (Tabel 5.4).
66 Tabel 5.4. Produksi karbohidrat dan Bioetanol Tanaman Sagu Produksi Produksi Jenis Tanaman Karbohidrat Karbohidrat (ton/ha) (ton/ha) Tebu 70 Gula 15% 10 Ketela pohon 25 Pati 25% 6.25 Jagung 5 5 ton 5 Sagu 20 250 kg/batang 20 Sumber: Ishizaki 2007 dalam Syakir & Karmawati (2013)
Produksi Bioetanol (kL/ha) 6.4 3.8 3 12.2
Usia panen tanaman sagu, dihitung sejak penanaman pertama, diperlukan waktu sekitar 12 tahun. Sagu memiliki potensi yang besar dalam memenuhi kebutuhan diversifikasi pangan. Tanaman ini juga hanya cukup ditanam sekali, dan setelah 12 tahun akan terus menerus dapat dipanen, tanpa perlu membuka lahan untuk penanaman baru. Kendala Pengembangan Tanaman Sagu Pohon sagu yang biasa diolah secara tradisional oleh masyarakat lokal asli Papua menjadi bahan makanan semakin menipis. Pohon ini terus dibabat untuk pembangunan. Di sisi lain, sekitar 4,8 juta ton sagu terbuang percuma. Pohon sagu dibiarkan tua karena pengetahuan pengelolaan terbatas, proses mengambil sari perlu waktu lama dan butuh tenaga kuat. Pengolahan hasil sagu masih secara konvensional dengan menggunakan tenaga manusia, namun sekarang ini telah dirakitpangkur dan alat peremas sagu. Alat ini sudah banyak diadopsi oleh masyarakat pengelola sagu di wilayah Papua. Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tanpa berorientasi pada peningkatan nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan perekonomian keluarga. Padahal produk turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan menjadi beberapa makanan diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu, beras sagu, jeli, kerupuk, aneka kue sagu kering dan makanan kecil lain. Produk lain adalah: gula cair, biodegredable plastic (plastik yang dapat terurai), bioetanol, pakan ternak, arang briket serta papan partikel komposit juga pembuatan kayu lapis. Informasi mengenai teknologi budidaya sagu masih sangat terbatas.Pengetahuan masyarakat Papua tentang budidaya sagu diperoleh secara turun-temurun. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan masih sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan pembersihan gulma. Selain itu, usaha-usaha pengembangan sagu secara budidaya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. . KEBIJAKAN PENGGUNAAN LAHAN
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan perekonomian dan ketahanan pangan lokal maka sagu merupakan salah satu komoditas yang sesuai dengan budaya dan
67 kearifan lokal serta memiliki potensi kesesuaian lahan untuk dikembangkan di Papua. Dengan ditetapkannya Undang-Undang RI nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua maka jelas akan semakin besar hak dan kewenangan sekaligus kewajiban daerah dalam memacu pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan mengedepankan program prioritas dan memberikan hak-hak yang cukup penting bagi putra-putri asli Papua, tetapi tidak mengabaikan peran etnis lain yang bermukim dan hidup di tanah Papua agar kesinambungan pembangunan tetap terjadi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL, EKONOMI Penilaian Biofisik Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%. Tanaman sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam. Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar, terutama potasium, fosfat, kalsium, dan magnesium. Di dataran Merauke banyak terdapat sungai dan rawa yang mengalir sepanjang tahun sehingga airnya dapat dimanfaatkan untuk pengairan. Tanah pada lahan basah terbentuk dari endapan sungai, endapan laut, dan bahan organik, dengan rejim kelembaban tanahnya akuik.Pembentukkan tanah di dataran aluvial sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan pola aliran sungai. Sedangkan di dataran pantai dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut. Oleh karena itu dengan melihat penilaian biofisik, secara keseluruhan lahan basah di wilayah Kabupaten Merauke cukup berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu. Penilaian Sosial dan Ekonomi Sektor pertanian menjadi fokus program pembangunan pemerintah setempat karena Merauke memang memiliki lahan yang terbuka basah yang sangat luas. Korporasi pertanian merupakan salah satu cara cepat untuk mengembangkan pertanian di kawasan Indonesia timur ini. Korporasi atau bisnis ini mau tidak mau membutuhkan sejumlah tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman. Petani dan ahli pertanian dari luar daerah pasti didatangkan untuk mengolah tanah guna mendatangkan keuntungan bagi investor. Namun, petani lokal atau masyarakat asli Papua setempat yang belum begitu mahir mengelola pertanian tidak bisa ditinggalkan begitu saja demi mempercepat laju
68 keuntungan. Keterlibatan masyarakat lokal atau masyarakat asli setempat harus selalu diperhatikan. Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok. Masyarakat lokal Papua telah mengetahui teknologi budidaya sagu secara turuntemurun dengan praktik pengolahan secara konvensional. Sehingga dengan adanya pengembangan tanaman sagu, masyarakat lokal Papua akan lebih mudah untuk diarahkan dalam pengembangan pertanian karena menyangkut makanan pokok dan budaya mereka sendiri. Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.Oleh karena itu, pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat. Selain sebagaibahan pangan pokok,sagu bisa digunakan sebagaibahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah. Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat.Sagu mempunyai banyak kegunaan, di mana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri, juga sebagai bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak. Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, baik makanan pokok maupun makanan ringan. Oleh karena itu, tanaman sagu memegang peranan penting dalam penganekaragaman makanan untuk menunjang stabilitas pangan dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha industri rumah tangga.
KESIMPULAN
Secara penilaian biofisik, sosial dan ekonomi wilayah Kabupaten Merauke berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu. Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang. Oleh karena itu, pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat. Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok serta produk budaya. Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan sebagai bahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan
69 masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah. REKOMENDASI
Melihat potensi wilayah yang ada dengan kondisi biofisiknya maka kabupaten Merauke perlu melakukan pengembangan di sektor tanaman sagu. Sektor ini mempunyai peluang pengembangan yang sama dengan sektor pertanian lainnya bila lebih dioptimakan sehingga tanaman sagu dengan tanaman lainnya bisa diintegrasikan. Oleh sebab itu perlu investasi terbuka untuk melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang sudah ada di tingkat provinsi maupun nasional.Namun demikian, pengelolaannya diarahkan melalui pembudidayaan sagu yang lebih intensif dengan tetap memperhatikan kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, J. B., 2011. Reklamasi Lahan Sagu Mendukung Usahatani Berbasis Sagu di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 7(2):87-93. Djaenudin, D. 2007. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke. Iptek Tanaman Pangan 2(2):180194 Kanro, M. Z., A. Rouw, A. Widjono, Syamsudin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman Sagu dan Potensinya di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 22(3):116-124. Marfai, MA dan A. Cahyadi.2012. Kajian Kesesuaian Lahan untuk Mendukung Pengembangan Komoditas Pertanian di Wilayah Perbatasan Negara Republik Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua). Jurnal Bumi Lestari, Volume 12(2):260 – 267. Pemerintah Kabupaten Merauke. 2004. Profil investasi Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Merauke.38 hal. Prasetyo, LB., IBK Wedastara, PT Maulinda. 2012. Pemetaan Sebaran Carbon Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kerja sama Fakultas Kehutanan IPB dengan WWF Indonesia. Jakarta. 39 hal. Rante, Y. 2012. Pengembangan, Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis dan Agroindustri di Kabupaten Keerom Provinsi Papua Guna Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Serta Menunjang Ekspor Non Migas Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis 3(1):87-112. Syakir, M. dan E. Karmawati.2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) sebagai Bahan Baku Bioenergi. Perspektif 12(2):57-66. Tarigan, H dan E. Ariningsih. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Hal.135-140.
70
71
BAB III PENUTUP
72
73 Kesimpulan Umum
Konsep pengelolaan klasik yang hanya menitikberatkan pada keuntungan ekonomi menyebabkan eksploitasi lahan yang berlebihan mengakibatkan penurunan daya dukung lahan dan kerusakan lingkungan. Seharusnya pengelolaan tanah dan lahan merupakan suatu konsep manajemen yang bersifat komprehensif dimana dalam penerapannya dapat mengsinergikan antara berbagai faktor-faktor yang melekat pada suatu lahan antara lain sifat biofisik, lingkungan sosial dan budaya masyarakat di sekitar lahan, dan nilai ekonomi lahan tersebut. Dengan konsep baru ini, pengelolaan lahan dilakukan secara berimbang dan menyesuaikan dengan potensi dan kesesuaian terhadap daerah masing-masing. Pengelolaan tanah dan lahan perlu mengadopsi sistem budidaya yang bersifat lebih fleksibel dan ramah lingkungan. Aturan adat dan kearifan lokal juga dapat menjadi bagian dari suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan yang ramah lingkungan. Setiap daerah di Indonesia memiliki kondisi lingkungan biofisik, sosial budaya dan ekologi yang khas, maka dalam melakukan pengelolaan lahannya juga memiliki suatu sistem yang khas dan spesifik lokasi tersebut.
Rekomendasi Umum
Berdasarkan hasil pengkajian konsep-konsep pengelolaan tanah dan lahan pada berbagai daerah yang telah dipaparkan pada isi makalah, dalam lingkup pengelolaan tanah dan lahan maka dapat diambil suatu rekomendasi usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain; 1. Dalam rangka untuk menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional, Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan diantaranya dengan melakukan intensifikasi pertanian melaui adopsi sistem budidaya Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi. Sistem budidaya ini terbukti mampu meningkatkan hasil produksi padi sawah. Sistem PTT padi juga dapat diterapkan di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak tentunya dengan sentuhan teknologi yang berbeda dan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan agroekosistem lahan rawa. Cara kedua adalah dengan melakukan ekstensifikasi lahan pertanian, yaitu dengan mencetak sawah-sawah baru di lahan marginal seperti lahan rawa dan lahan gambut. Indonesia memiliki luasan lahan rawa yang luas seperti di daerah sumatera bagian timur dan kalimantan bagian selatan yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu telah dimanfaatkan secara lokal sebagai lahan pertanian di lahan basah. Daerah papua, memiliki potensi pembukaan lahan rawa menjadi lahan pertanian baru. Cara ketiga adalah dengan mengoptimalkan produksi pangan alternatif selain beras, dalam hal ini adalah sagu. Masyarakat Indonesia daerah timur pada dasarnya menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya. Perlu adanya pencetakkan lahan perkebunan sagu terutama di Provinsi papua yang memiliki ketersediaan lahan yang luas dan kondisi