KESETIMBANGAN KOMPLEKS
Titrasi merupakan salah satu metode analitik yang didasarkan pada pengukuran volume (Harvey, 2000). Salah satu syarat agar suatu reaksi dapat digunakan dalam suatu titrasi adalah reaksi tersebut pada dasarnya harus berlangsung sampai selesai pada titik ekivalen (Day dan Underwood, 2002). Titik ekivalen merupakan titik dalam titrasi yang mana secara stoikiometri jumlah zat yang bereaksi adalah ekivalen (analit dan titran). Namun pada kenyataannya, kita tidak dapat mencapai titik ekivalen tersebut. Sehingga penambahan titran dihentikan ketika telah diperoleh titik akhir dari titrasi tersebut. Titik akhir dari suatu titrasi diketahui dengan perubahan warna dari indicator (Harvey, 2000). Reaksi yang dapat digunakan dalam metode titrimetrik adalah reaksi-reaksi kimia yang sesuai dengan persyaratan berikut (Widiarto, 2009): a) Reaksi harus berlangsung cepat b) Tidak terdapat reaksi samping c) Reaksi harus stoikiometri, yaitu harus diketahui dengan pasti reaktan dan produk serta perbandingan mol/koefisien reaksinya d) Terdapat zat yang dapat digunakan untuk mengetahui saat titrasi harus dihentikan (titik akhir titrasi) yang disebut zat indikator Reaksi kimia yang dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan secara titrimetric diantaranya adalah pembentukan suatu zat yang dikenal sebagai senyawa kompleks, yang mempunyai sifat larut dengan baik tetapi hanya sedikit terdisosiasi (Day dan Underwood, 2002). Suatu ion atau molekul kompleks terdiri dari satu atom atau ion pusat dan sejumlah ligan yang
terikat erat dengan atom atau ion pusat itu (Svehla, 1990). Ligan merupakan donor pasangan electron sedangkan atom atau ion pusat adalah akseptor electron (kation). Secara umum reaksinya dituliskan sebagai berikut (Day dan Underwood, 2002):
∶ ⇌ [M ∶ L]
Mn+ + L
n+
(pers. 1)
Molekul atau ion yang berfungsi sebagai ligan pada umumnya mempunyai atom elektronegatif seperti nitrogen, oksigen dan halogen.Ligan yang hanya mempunyai satu pasang bebas disebut ligan unidentat. Ligan yang mempunyai dua gugus yang mampu m ampu membentuk dua ikatan dengan atom pusat disebut ligan bidentat (Day dan Underwood, 2002). Ligan yang membentuk lebih dari dua ikatan dengan atom pusat disebut ligan multidentat (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Ligan multidentat yang membentuk ikatan koordinasi dengan atom pusat akan menghasilkan lingkaran heterosiklik yang disebut lingkaran kelat, molekul organiknya adalah bahan kelat dan kompleksnya disebut kelat atau senyawa kelat (Day dan Underwood, 2002). Ligan multidentat tunggal yang membentuk ikatan koordinasi dengan dua atau lebih atom pusat disebut kompleks polinuklir (Laitinen dan Harris, tanpa tahun) A. STABILITAS KOMPLEKS
Kestabilan termodinamik (dari) suatu spesies merupakan ukuran sejauh mana spesi ini akan terbentuk dari spesi-spesi lain pada kondisi tertentu, jika sistem itu dibiarkan mencapai keseimbangan (Firdaus, 2009). Reaksi-reaksi dari ion logam dengan bahan kelat umumnya berbanding 1 : 1, dimana akan terbentuk kompleks yang dapat larut. Dari persamaan reaksi umum (Day dan Underwood, 2002): M + L
⇌ ML
(pers. 2)
terikat erat dengan atom atau ion pusat itu (Svehla, 1990). Ligan merupakan donor pasangan electron sedangkan atom atau ion pusat adalah akseptor electron (kation). Secara umum reaksinya dituliskan sebagai berikut (Day dan Underwood, 2002):
∶ ⇌ [M ∶ L]
Mn+ + L
n+
(pers. 1)
Molekul atau ion yang berfungsi sebagai ligan pada umumnya mempunyai atom elektronegatif seperti nitrogen, oksigen dan halogen.Ligan yang hanya mempunyai satu pasang bebas disebut ligan unidentat. Ligan yang mempunyai dua gugus yang mampu m ampu membentuk dua ikatan dengan atom pusat disebut ligan bidentat (Day dan Underwood, 2002). Ligan yang membentuk lebih dari dua ikatan dengan atom pusat disebut ligan multidentat (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Ligan multidentat yang membentuk ikatan koordinasi dengan atom pusat akan menghasilkan lingkaran heterosiklik yang disebut lingkaran kelat, molekul organiknya adalah bahan kelat dan kompleksnya disebut kelat atau senyawa kelat (Day dan Underwood, 2002). Ligan multidentat tunggal yang membentuk ikatan koordinasi dengan dua atau lebih atom pusat disebut kompleks polinuklir (Laitinen dan Harris, tanpa tahun) A. STABILITAS KOMPLEKS
Kestabilan termodinamik (dari) suatu spesies merupakan ukuran sejauh mana spesi ini akan terbentuk dari spesi-spesi lain pada kondisi tertentu, jika sistem itu dibiarkan mencapai keseimbangan (Firdaus, 2009). Reaksi-reaksi dari ion logam dengan bahan kelat umumnya berbanding 1 : 1, dimana akan terbentuk kompleks yang dapat larut. Dari persamaan reaksi umum (Day dan Underwood, 2002): M + L
⇌ ML
(pers. 2)
Dimana M adalah kation logam pusat dan L adalah ligand an ML adalah senyawa kompleks. Tetapan stabilitas dari kompleks ini adalah:
[[]][]
(pers. 3)
K merupakan tetapan kestabilan atau tetapan pembentukan kompleks, yang mana berlawanan dengan tetapan ketidakstabilan atau tetapan disosiasi (Day dan Underwood, 2002). Reaksi dari kation dengan ligan seperti ammonia biasanya berjalan beberapa tahap, misalnya saja pembentukan dari kompleks [Cu(NH3)4]2+ berlangsung empat tahap, yaitu:
Dengan mempertimbangkan reaksi secara keseluruhan,
konstanta kesetimbangannya terlihat cukup besar untuk suatu titrasi yang layak. Titrasi dari sebuah asam kuat dengan amonia,
, dengan K dengan K = = 1,8 x 109, adalah
layak. Bagaimanapun juga, titrasi dari sebuah asam kuat dengan amonia akan memberikan peningkatan pH yang besar pada titik ekivalen. Hal ini pada titrasi Cu2+ dengan amonia tidak terjadi.
Secara umum benar bahwa kecuali satu dari kompleks menengah sangat stabil, tidak akan ada perluasan rentang dari konsentrasi bahan kompleks dimana sebuah spesies tunggal dominan
(kecuali untuk kompleks yang terakhir atau yang tertinggi). Mungkin akan terlihat bahwa pCu naik secara gradien ketika amonia ditambahkan, dan tidak ada patahan yang jelas muncul ketika titrasi yang cukup telah ditambahkan untuk mengkonversi semua kation menjadi [Cu(NH3)4]2+. Alasan terletak pada fakta bahwa tidak semua amonia yang ditambahkan digunakan dalam satu langkah untuk membentuk kompleks [Cu(NH3)4]2+. Sebaliknya, spesies kompleks yang lebih rendah [CuNH3]2+, [Cu(NH3)2]2+, dan [Cu(NH3)3]2+ tetap ada dalam konsentrasi yang cukup, karena tidak terkonversi menjadi [Cu(NH3)4]2+. Perilaku semacam ini dapat diperkirakan dari tetapan pembentukan dari langkah-langkah individual yang diberikan di atas. Terlihat, sebagai contoh betapa kecilnya tendensi bagi [Cu(NH3)]2+ untuk menambahkan amonia yang kedua dibandingkan dengan tendensi Cu2+ yang bebas untuk mengikat yang pertama tadi. Secara aktual, tendensi untuk menambahkan molekul amonia berkurang pada setiap langkah proses tersebut (Day dan Underwood, 2002).
Suatu cara lain untuk menyatakan kesetimbaangan adalah sebagai berikut (Firdaus, 2009): M + L <=> ML;
B1 = [ML]/[M][L]
M + 2L <=> ML2;
B2 = [ML2]/[M][L] 2
M + nL <=> MLn;
Bn = [MLn]/[M][L]
Tetapan-tetapan kesetimbanagan B1, B2….Bn disebut sebagai tetapan-kestabilan menyeluruh, dan dihubungkan dengan tetapan kestabilan bertahap oleh rumus umum.
Bv = K 1 x K 2 x K v
Dalam kesetimbangan di atas, telah diandaikan bahwa tak terbentuk produk yang tak dapat larut ataupun sesuatu spesi polinuklir.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu kompleks atau kestabilan kompleks berhubungan dengan:
1. Kemampuan dari logam dalam membentuk kompleks
Kemampuan suatu logam dalam membentuk kompleks menurut Schwarzenbach adalah didasarkan atas pembagian logam menjadi asam Lewis (penerima pasangan elektron) kelas A dan kelas B. Logam kelas A dicirikan oleh afinitas larutan (dalam larutan air terhadap halogen F- > Cl- > Br - > I-, dan membentuk kompleks yang paling stabil dengan nitrogen, oksigen dan flor. Logam kelas B jauh lebih mudah berkoordinasi dengan Idaripada dengan F- dalam larutan air, dan membentuk kompleks paling stabil dengan fosfor, sulfur dan klor. Schwarzenbach mengklasifikasikannya menjadi tiga kategori ion logam, yaitu (Firdaus, 2009):
a. Kation dengan konfigurasi gas mulia (alkali, alkali tanah dan aluminium) yang memperlihatkan sifat-sifat penerima kelas A. Gaya elektrostatik dominan dalam pembentukan kompleks itu, sehingga interaksi antara ion-ion kecil yang bermuatan tinggi, istimewa kuatnya, dan menimbulkan kompleks-kompleks yang stabil. b. Kation dengan sub kulit d yang terisi lengkap (tembaga(I), perak(I) dan emas(I)) yang memperlihatkan sifat-sifat penerima kelas B. Ion-ion ini mempunyai daya polarisasi yang tinggi dan ikatan yang terbentuk dalam kompleks adalah ikatan kovalen. c. Ion-ion logam transisi dengan sub kulit d yang tak lengkap. Dalam grup ini baik kecenderungan kelas A maupun kelas B dapat dikenali. Unsur dengan ciri-ciri kelas B membentuk suatu kelompok yang kira-kira berbentuk segitiga dalam Tabel Berkala, dengan puncaknya pada tembaga dan alasnya membentang dari renium sampai
bismut. Di sebelah kiri kelompok ini, unsur-unsur dalam keadaan oksidasi yang tinggi, cenderung memperlihatkan sifat-sifat kelas A, sementara di sebelah kanan kelompok ini, keadaan oksidasi yang lebih tinggi (dari) suatu unsur lebih cenderung kelas B.
2. Ciri khas dari ligan
Di antar ciri-ciri khas ligan yang secara umum mempengaruhi kestabilan kompleks dimana ligan itu terlibat adalah kekuatan basa dari ligan tersebut, sifat pengkelat (jika ada), efek sterik (ruang).
B. Asam Etilendiamintetraasetat (EDTA)
Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari dengan penggunaan bahan pengkelat sebagai titran (Day dan Underwood, 2002). Misalnya saja tetraanion EDTA yang secara khusus merupakan agen pengkompleks yang efektif dimana dapat membentuk kelat dengan satu atom atau ion logam pusat (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Molekul EDTA berikatan dengan atom atau ion logam pusat dengan mendonorkan enam pasang electron bebasnya (dua pasang dari atom nitrogen pada gugus amino dan empat pasang dari atom oksigen pada gugus karboksilat (Harrison, 1997). Struktur dari senyawa EDTA ditunjukkan pada gambar 1 dan struktur kompleks ion logam pusat dengan EDTA ditunukkan pada gambar 2 dimana stuktur tersebut berbentuk seperti sangkar di sekitar atom atau ion logam pusat dan sangat stabil (Harvey, 2000).
Gambar 1. Struktur EDTA
Gambar 2. Struktur Kompleks Ion Logam Pusat (M) dengan EDTA
Tetapan disosiasi asam makroskopik EDTA, H4Y, pada 20 oC dengan kekuatan ion 0,1 berturut-turut adalah p K 1 = 2,0; p K 2 = 2,67; p K 3 = 6,16 dan p K 4 = 10,26. Molekul EDTA memiliki enam sisi yang dapat digunakan untuk berikatan. Distribusi proton di antara sisi tersebut sebagai fungsi derajat ionisasi. Tetapan disosiasi mikrosopik mengindikasikan bahwa (misalnya) atom nitrogen terprotonasi sebesar 96 % pada anion divalen H2Y2-. Struktur ionisasi yang ketiga dan keempat lebih lemah dibandingkan dengan ionisasi pertama dan kedua. Proton dalam HY3- secara esensial terasosiasi sempurna dengan atom nitrogen (Laitinen dan Harris, tanpa tahun).
EDTA terdisosiasi dalam larutan membentuk empat spesies yang berbeda yaitu H3Y-, H2Y2-, HY3- dan Y4- dimana jumlah relatif dari tiap spesies bergantung pada pH larutan.
(pers. 4)
CL = konsentrasi total EDTA, diberikan sebagai berikut:
(pers. 5)
Jika,
(pers. 6)
Maka persamaan 4 menjadi
(pers. 7)
Terlihat bahwa α4 hanya bergantung pada nilai K a dan nilai pH (Fifield dan Kealey, 2000), dimana K 1, K 2,……, merupakan tahapan tetapan disosiasi (Laitinen dan Harris, tanpa tahun).
Gambar 3. Variasi nilai α dengan pH untuk spesies EDTA
B. Bentuk dan Stabilitas dari Kompleks Logam-EDTA
Dalam prakteknya, kestabilan kompleks logam-EDTA dapat diubah dengan (a) variasi pH dan (b) adanya zat-zat pengkompleks lain. Maka tetapan kestabilan kompleks EDTA akan berbeda dari nilai yang dicatat untuk suatu pH tertentu (Firdaus, 2009). Nilai dari tetapan kesetimbangan dapat dirumuskan sebagai berikut (Day dan Underwood, 2002):
n+
4-
M + Y
⇌ MY
(n-4)
[()] [][]
(pers. 8)
Bila suatu senyawa kompleks dilarutkan akan terjadi pengionan atau disosiasi sampai terjadi kesetimbangan antara kompleks dengan komponen-komponennya. Sebaliknya, bila komponenkomponen dicampurkan akan terbentuk garam kompleks (Firdaus, 2009).
Tabel 1. Nilai α4 untuk EDTA sebagai fungsi pH (Fifield dan Kealey, 2000)
Jika persamaan 4 digabungkan dengan persamaan 8 maka akan diperoleh:
() ′ × [] []
(pers. 9)
′ adalah tetapan stabilitas kondisional (efektif) (Fifield dan Kealey, 2000). ′ ′ beragam nilainya sesuai pH karena ketergantungan pH pada α . Pada kesempatan tertentu Dimana
4
lebih berguna daripada K MY karena menunjukkan tendensi yang nyata untuk membentuk kompleks logam pada nilai pH yang ditanyakan. Meskipun nilai
′ tidak ditabulasikan sesuai
kebutuhan, namun jelas bahwa nilainya dapat dengan cepat diestimasi dari nilai K MY, yang dapat dilihat pada tabel 2 dan nilai α4 dapat dilihat pada tabel 1 (Day dan Underwood, 2002).
Tabel 2. Tetapan Pembentukan Logam-EDTA (Fifield dan Kealey, 2000)
Titrasi EDTA membutuhkan larutan penyangga untuk pH yang tinggi untuk memastikan bahwa pembentukan kompleks berada dalam keadaan yang stoikiometri. Dan banyak logam akan mengendap sebagai hidroksida atau hidrat oksida di bawah kondisi ini (Fifield dan Kealey, 2000). Jika salah satu komponen dalam larutan penyangga berikatan dengan atom atau ion logam pusat maka EDTA akan bersaing dengan ligan tersebut untuk berikatan dengan ion logam pusat (Mn+). Misalnya larutan penyangga NH4+/NH3 yang mengandung ligan NH3 dan ion logam pusat adalah Cd2+. Ion logam Cd2+-NH3 membentuk beberapa senyawa kompleks yang stabil. EDTA akan membentuk kompleks yang sangat kuat dengan Cd2+ dan akan menggantikan NH3 sebagai ligan. Dengan hadirnya ligan NH3 akan menurunkan kestabilan kompleks logam Cd2+ dengan EDTA (Harvey, 2000). Kita dapat memperhitungkan efek dari agen pengkompleks yang lain (auxiliary complexation agent ), seperti NH3, dengan cara yang sama pula kita dapat memperhitungkan efek dari pH. Sebelum penambahan EDTA, dibutuhkan kesetimbangan massa Cd2+ yang mana merupakan konsentrasi total Cd2+ yaitu CM (CCd) (Harvey, 2000).
Fraksi Cd2+ yang tidak membentuk kompleks (Harvey, 2000):
(pers. 10) Subtitusi persamaan 10 ke dalam persamaan 9, maka (Harvey, 2000):
′ × [] Jelas terlihat bahwa
(pers. 11)
bergantung pada konsentrasi ammonia dan tetapan pembentukan, K , 1
K 2, K 3 dan K 4 untuk berbagai bentuk kompleks ammonia, dimana (Fifield dan Kealey, 2000):
)] [( [][]
) ] [( [ ][]
dan seterusnya
(pers. 12)
+[]+ []+ []+ []
(pers. 13)
Maka tetapan pembentukan kondisional Cd2+ adalah (Harvey, 2000):
] " × × [ Tabel 3. Nilai
untuk konsentrasi ammonia (Harvey, 2000)
(pers. 14)
Cara lain untuk menghindari pembentukan kompleks antara ion logam pusat dengan ligan lain (auxiliary complexation agent ) adalah dengan masking . Misalnya saja seng dan magnesium akan membentuk kompleks yang stabil dengan EDTA pada pH 10 dan dititrasi dalam larutan penyangga pada pH 10. Jika seng dan logam berat lainnya hadir pada saat titrasi magnesium berlangsung, maka akan mengganggu pengkompleksan. Logam berat pada umumnya membentuk kompleks yang stabil dengan sianida.dan dengan penambahan natrium atau kalium sianida ke dalam larutan yang dititrasi maka akan mereduksi tetapan pembentukan kondisional kompleks logam berat-EDTA. Sementara itu, magnesium hanya akan membentuk kompleks yang lemah dengan sianida dan dapat dititrasi tanpa adanya gangguan. Contohnya dalam kasus seng, tahapan tetapan pembentukan kompleks sianida adalah K 1 = 3 x 105, K 2 = 1,3 x 105, K 3 = 4,3 x 104 dan K 4 = 3,5 x 103, dimana
()] " [[][] Maka
(pers. 15)
" = 1,1 x 10 . Hal ini menunjukkan bahwa dengan 10− dan [CN ] = 1 mol/L. -
-3
adanya sianida (sebagai masking agent ) maka secara efektif mencegah pembentukan kompleks Seng-EDTA. Proses demasking pada tahap berikutnya bisa menggunakan campuran asam asetatformaldehid (Fifield dan Kealey, 2000).
Kloral hidrat juga biasanya digunakan dalam reaksi demasking (Fifield dan Kealey, 2000).
C. Kurva Titrasi EDTA
Kurva titrasi untuk titrasi kompleksometri dapat dibuat dan analog dengan kurva titrasi asam basa. Kurva-kurva semacam ini terdiri dari plot logaritma negatif dari konsentrasi ion logem ( pM) versus milliliter titran. Seperti titrasi asam basa, kurva ini berguna untuk menilai kelayakan dari sebuah titrasi dan dalam melilih indicator yang cocok (Day dan Underwood, 2002). Contoh : Sebanyak 50 mL larutan 5 x 10-3 M Cd2+ dengan 0,01 M larutan EDTA pada pH 10 dan
denganadany 0,01 M NH3. Hitung nilai pCa pada berbagai tingkat titrasi dan plotlah kurva titrasinya. Tetapan pembentukan Cd2+ - EDTA adalah 2,9 x 1016. Dari tabel 2 dan tabel 3, diketahui bahwa nilai dari
adalah 0,35 pada pH 10 dan
adalah 0,0881 ketika konsentrasi NH3 adalah 0,01 M. Dengan menggunakan nilai-nilai yang telah diketahui, maka dapat dihitung tetapan pembentukan kondisional (efektif)
" × × (0,35)(0,0881)(2,9 x 10 ) = 8,9 x 10 16
-
14
Awal titrasi [Cd2+] = 5 x 10-3 M pCa
-
= - log [Cd2+] = - log 5 x 10 -3 = 2,30
Setelah penambahan 10 mL titran mmol Cd2+
= 50 mL x 5 x 10-3 M = 0,25 mmol
mmol EDTA = 5 mL x 0,01 M = 0,05 mmol mmol
Cd2+
Awal
0,25
+
Y40,05
CdY2-
Perubahan
0,05
0,05
0,05
Kesetimbangan
0,20
-
0,05
Ada kelebihan Cd2+ pada titik ini, sehingga:
[Cd2+] =
, = 3,64 x 10
-3
M
Untuk menghitung konsentrasi Cd2+ bebas maka kita menggunakan persamaan 10 [Cd2+] =
x C
Cd =
(0.0881)(3.64 x 10 – 3 M) = 3.21 x 10 – 4 M
Sehingga:
Perhitungan yang serupa dapat dibuat pada interval yang berbeda-beda sebelum titik ekivalen. Di sekitar titik ekivalen, perhitungan ysng lebih akurat dapat dibuat dengan menganggap reaksi tidak berjalan lengkap, yaitu dengan memperhitungkan ion Cd2+ yang dihasilkan dari penguraian CdY2- dan memecahkan persamaan kuadratnya secara lengkap. Data pada tabel 4 telah dihitung dengan metode pendekatan. Tabel 4. Data untuk Titrasi 5 x 10-3 M Cd2+ dengan 0,01 M EDTA pada pH 10 dan dengan adanya 0,01 M NH3
-
Titik Ekivalen Pada titik ekivalen, semua ion Cd2+ berada dalam bentuk CdY2-. Konsentrasi ion Cd2+ ditentukan melalui disosiasi kompleks CdY2-. Untuk memperoleh pCd maka langkah pertama adalah menghitung konsentrasi kompleks. mmol Cd2+
= 50 mL x 5 x 10-3 M = 0,25 mmol
mmol EDTA = 25 mL x 0,01 M = 0,25 mmol mmol
Cd2+
Awal
0,25
0,25
-
Perubahan
0,25
0,25
0,25
-
-
0,25
Kesetimbangan
+
[Cd2+] = CL
[CdY2-] =
, = 3,33 x 10
-3
M
" [] [ ] [Cd2+]2 =
[] , × 3,7248 ×10− " , ×
[Cd2+] = 1,93 x 10-9 M Dengan hadirnya NH3, maka
pCd = 9,77
Y4-
CdY2-
-
Setelah penambahan 30 mL titran mmol Cd2+
= 50 mL x 5 x 10-3 M = 0,25 mmol
mmol EDTA = 30 mL x 0,01 M = 0,3 mmol mmol
Cd2+
Awal
0,25
0,30
-
Perubahan
0,25
0,25
0,25
-
0,05
0,25
Kesetimbangan
Y4-
+
CdY2-
− , 6,25 ×10 − [−] , 3,125 ×10 Persamaan kesetimbangannya:
" [] [ ]
8,94 ×10 [,],×× 5,60× 10− [Cd2+] =
x C = (0,0881)(5,60 x 10 Cd
-15
) = 4,9336 x 10-16 M
pCd = 15,31
Gambar 4. Kurva Titrasi Kompleksometri untuk 50 m L Cd2+ 5 x 10-3 M dengan 0,01 M EDTA pada pH 10dengan adanya 0,01 M NH3
D. Kesalahan Titrasi
Kesalahan titrasi kompleksometri tergantung pada cara yang dipakai untuk mengetahui titik akhir. Pada prinsipnya ada dua cara, yaitu kelebihan titran yang pertama ditunjukkan atau berkurangnya konsentrasi komponen tertentu sampai batas yang ditentukan atau dideteksi. Pertama, kesalahan titrasi dihitung dengan cara yang sama pada titrasi pengendapan. Kedua, digunakan senyawa yang membentuk senyawa kompleks yang berwarna tajam dengan logam yang ditetapkan. Warna ini hilang atau berubah sewaktu logam telah diikat menjadi kompleks yang lebih stabil misalnya EDTA (Firdaus, 2009). Kesalahan titrasi kompleks logam dan ligan dengan perbandingan 1:1 telah diperhitungkan oleh Ringbom dimana hasilnya merupakan kekurangan atau kelebihan titran dari titik ekivalensinya yaitu
±ΔpM (atau ±ΔpL , jika ΔpM = - ΔpL). Persentasi dari kesalahan
titrasi adalah (Laitinen dan Harris, tanpa tahun):
% 100 []−[]
(pers. 16)
Dimana CM merupakan konsentrasi total analitik dari ion logam dalam larutan. Sehingga:
∆
(pers. 17)
atau
[] [] 10−∆
(pers. 18)
Dan
[] [] 10−∆
(pers. 19)
Jika [M]eq = [L]eq, pers. 16, pers. 17, pers. 18 dan pers. 19 menghasilkan:
% 100[] ∆− =∆ ∆−∆ 100 √
(pers. 20)
Jika nilai Δ kecil (ΔpM ≈ atau < 0,4) maka dapat disubtitusi untuk persamaan difeensialnya memberikan:
% 100 √ ,∆
(pers. 21)
Kesalahan absolut sama dengan jumlah logam yang tidak terikat menjadi kompleks pada titik ekivalen. Jumlah logam yang diubah menjadi kompleks sangat bergantung pada kepekaan indicator yang digunakan. Kepekaan ini bergantung pada tetapan stabilitas atau tetapan pembentukan kompleks dan bergantung pada konsentrasi indicator, sebab indicator bertindak sebagai pembentuk kompleks bersaing dengan titran. Selain itu, pH juga mempengaruhi kesalahan titrasi kompleksometri (Firdaus, 2009). E. Indikator Ion Logam
Faktor terpenting dalam metode titrasi EDTA adalah indicator ion logam yang sesuai dimana memberikan titrasi visual dalam larutan. Indikator ion logam biasanya membentuk kompleks berwarna dengan ion logam, dimana terdapat perbedaan warna antara indikator yang telah bersenyawa kompleks dengan ion logam dan indicator awalnya (sebelum membentuk kompleks dengan ion logam) (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dari indicator ion logam yang akan digunakan dalam deteksi visual titik akhir, yaitu (Gusdinar, tanpa tahun): a. Reaksi warna harus sebelum titik akhir, ketika hampir semua ion logam membentuk kompleks dengan EDTA, warna larutan menjadi sangat jelas. b. Reaksi warna harus selektif dan spesifik c. Kompleks indicator-logam harus memiliki stabilitas yang cukup, sebaliknya, disosiasi tidak menunjukkan perubahan warna yang berarti. Bagaimanapun juga, kompleks indicator-logam harus lebih kurang stabil dibandingkan dengan kompleks logam-EDTA sehingga dapat dipastikan pada saat titik akhir EDTA membentuk kompleks dengan ion logam. Perubahan kesetimbangan dari kompleks indicator-logam menjadi kompleks EDTA-logam haruslah tajam dan cepat. d. Perbedaan warna antara indicator dan kompleks indicator-logam haruslah telah diamati. e. Indikator haruslah sangat sensitive terhadap ion logam sehingga perubahan warna yang terjadi merupakan titik akhir. f.
Semua persyaratan di atas haruslah terpenuhi dan berada pada range pH yang sesuai. Zat yang digunakan sebagai indicator dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu
pertama, senyawa-senyawa yang tidak berwarna. Kedua adalah zat warna organic yang mempunyai sifat sebagai indicator asam-basa dan mengandung gugus pembentuk kelat. Korbl menamakan indicator tersebut sebagai indicator metallochromic. Dalam suatu titrasi dengan indicator tersebut, titik akhir ditandai oleh perubahan warna dari warna kompleks indicator logam ke warna indicator bebas (Firdaus, 2001). Tabel 5. Beberapa Indicator Ion Logam untuk Titrasi EDTA (Fifield dan Kealey, 2000)
Eriochrome black T merupakan indicator pertama dan secara luas digunakan sebagai indicator logam. Namun indicator ini tidak stabil dalam larutan, mungkin karena molekulnya mempunyai agen pereduksi (nitro) dan pengoksidasi (azo) (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Eriochrome black T masih dipergunakan secara luas, tetapi indicator lain yang mempunyai struktur yang mirip, yang disebut calmagite telah dikembangkan (Day dan Underwood, 2002).
Gambar 5. Struktur Calmagite Calmagite stabil dalam larutan dan menunjukkan perubahan warna yang sangat tajam dibandingkan dengan Eriochrome black T dan dapat menggantikan Eriochrome black T tanpa mengubah prosedur yang telah ada. Calmagite merupakan asam tribasic, H3In. Proton pertama berasal dari gugus sulfonic yang mempunyai tetapan disosiasi besar (Laitinen dan Harris, tanpa tahun) sehingga terurai sempurna di dalam larutan berair (Day dan Underwood, 2002).
(pers. 22)
Perubahan warna indicator terjadi karena pengaruh dari konsentrasi ion hydrogen dalam larutan. Pada range pH 7-11 indikator menunjukkan warna biru, banyak ion logam membentuk kompleks warna merah; warna ini sangatlah sensitive yang ditunjukkan sebagai contoh larutan ion magnesium 10-6 – 10-7 M memberikan warna merah terang dengan indicator. Maka dapat ditentukan tetapan indicator pada berbagai pH:
(pers. 23) Dimana: [MIn-] = konsentrasi kompleks logam indicator [Mn+] = konsentrasi ion logam, yang mana sama dengan
[′]
[In]
= konsentrasi indicator yang tidak membentuk kompleks dengan ion logam, yang mana [H3In] + [H2In-] + [HIn2-] + [In3-] (Gusdinar, tanpa tahun)
[In3-] = αIn[In’], dimana αIn mrupakan fraksi indicator dalam bentuk ionisasi lengkapnya (Laitinen dan Harris, tanpa tahun).
[]+[]+[]+ ≅ []+[]+
(pers. 24)
Jika K 1 lebih besar dibandingkan dengan K 2 dan K 3 maka
′ [] [ ]
(pers. 25)
Dimana K ’Min merupakan tetapan pembentukan (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Log K ’Min memberikan nilai pM ketika setengah dari total indicator berada sebagai kompleks ion logam (Gusdinar, tanpa tahun).
F. Seleksi dan Evaluasi Titik Akhir
Titik ekivalen pada titrasi kompleksometri terjadi ketika secara stoikiometri jumlah anlit dan titran yang bereaksi adalah ekivalen (sama). Titik ekivalen pada titrasi ion logam dengan EDTA terjadi ketika CM dan CEDTA adalah sama dan bisa dilihat secara visual dengan mencari titik infleksi kurva titrasi. Seperti pada asam-basa, titik ekivalen untuk titrasi kompleksometri ditentukan melalui titik akhir. Berbagai jenis metode telah digunakan untuk menentukan titik akhir, termasuk dengan menggunakan indicator visual dan sensor yang merespon perubahan dalam kondisi larutan (Harvey, 2000).
Menentukan Titik Akhir Titrasi dengan Indikator
Indikator ditambahkan ke dalam larutan menghasilkan kompleks logam-indikator yang berwarna. Pada saat EDTA ditambahkan ke dalam larutan, maka EDTA mula-mula akan bereaksi dengan analit bebas (ion logam yang bebas) kemudian EDTA akan menggantikan indicator untuk berikatan dengan ion logam, sehingga mempengaruhi perubahan warna dalam larutan. Ketepatan dalam penentuan titik akhir bergantung pada kekuatan kompleks logamindikator relative terhadap kompleks logam-EDTA. Jika kompleks logam-indikator sangat kuat, maka perubahan warna terjadi setelah titik ekivalen. Jika kompleks logam-indikator sangat lemah maka signal dari titik akhir akan terbentuk sebelum titik ekivalennya (Harvey, 2000).
Banyak indicator metallochromic merupakan asam atau basa lemah. Tetapan pembentukan kondisional kompleks logam-indikator bergantung pada pH larutan. Kekuatan kompleks logam-indikator dapat ditentukan dengan mengontrol kondisi pH larutan. Karena metallochromic juga merupakan indicator pada titrasi asam-basa, maka warna dari indicator yang tidak membentuk kompleks logam-indikator juga akan berubah sesuai kondisi pH misalnya saja calmagite (Harvey, 2000).
Tabel 6. Indikator Metallochromic
Menentukan Titik Akhir Titrasi dengan Mengamati Absorban
Batasan penting jika menggunakan indikator visual maka dibutuhkan pengamatan untuk mengetahui perubahan warna yang menunjukkan titik akhir titrasi. Maka akan sangat sulit menentukannya jika larutan tersebut adalah larutan berwarna. Misalnya ammonia digunakan untuk mengatur pH larutan yang mengandung Cu2+ sebelum dititrasi dengan EDTA. Kompleks [Cu(NH3)4]2+ memberikan warna yang terang sehingga warna dari indicator menjadi tidak jelas. Hal ini menyebabkan penentuan akurasi titik akhir menjadi sangat sulit. Adanya spesies lain yang terserap dalam matriks sampel juga akan mengganggu pengkompleksan. Hal ini merupakan salah satu masalah dalam analisis sampel klinis seperti darah atau sampel di lingkungan misalnya air yang alami (natural water ) (Harvey, 2000).
Selama paling sedikit satu spesies dalam titrasi kompleksometri mengabsorpsi radiasi elektromagnetik, titik ekivalen dapat diketahui mengamati absorban dari larutan analit dengan panjang gelombang tertentu. Misalnya titik akhir untuk titrasi Cu2+ dengan EDTA dengan adanya NH3, dapat diketahui dengan mengamati absorban pada panjang gelombang 745 nm, dimana kompleks [Cu(NH3)4]2+ terabsorpsi secara kuat. Pada awal titrasi absorbannya adalah maksimum. Pada saat EDTA ditambahkan, terjadi penurunan baik konsentrasi [Cu(NH3)4]2+ dan panjang gelombang.
(pers. 26)
Absorban mencapai minimum pada titik ekivalen dan yang tersisa adalah EDTA yang secara esensial tidak mengalami perubahan meskipun dalam keadaan berlebih. Kurva titrasi spektrofotometri ditunjukkan pada gambar 6a.
Gambar 6. Kurva Titrasi Spektrofotometri untuk titrasi analit A, dengan titran, T, membentuk produk, P, dengan adanya indicator visual. Kurva titrasi ditunjukan untuk kasus dimana (a). hanya absorbs A, (b) hanya absorbs T, (c) hanya absorbs P, (d) absorbs A dan T, (e) absorbs P dan T, dan (f) hanya absorbs indicator visual
Untuk menjaga kelineran kurva titrasi maka pengukuran absorban Ameas, adalah koreksi untuk larutan
(pers. 27)
Dimana Acorr merupakan absorban koreksi, VEDTA dan VCu berturut-turut adalah vulome EDTA dan Cu. Titik ekivalen diberikan melalui interseksi segmen linear, yang mana terekstrapolasi jika perlu koreksi untuk tiap lengkungan dalam kurva titrasi. Kurva titrasi spektrofotometri yang lain ditunjukkan pada gambar 6b-f (Harvey, 2000).
G. Penerapan Titrasi EDTA
Titrasi kompleksometri dengan EDTA telah digunakan secara luas untuk mendeteksi ionion logam. Ada beberapa prosedur yang digunakan dalam titrasi EDTA:
a. Titrasi Langsung Titrasi langsung dengan EDTA dapat digunakan pada minimal 25 kation dengan menggunakan indicator metallochromic (Day dan Underwood, 2002). Larutan yang mengandung ion logam yang akan ditetapkan, dibufferkan sampai pada pH yang dikehendaki (misalnya, sampai pH = 10 dengan NH4+ larutan air NH3), dan dititrasi langsung dengan larutan EDTA standar (Firdaus, 2009). Dalam titrasi langsung, agen kompleks yang lain (auxiliary complexing agents) seperti sitrat, tartrat atau trietanolamin ditambahkan, jika perlu, untuk mencegah endapan logam hidroksida atau garam basic. Jika range pH 9-10 adalah sesuai, larutan penyangga ammonia dan ammonium klorida sering kali ditambahkan ke dalam larutan untuk mengatur pH dan mensuplai ammonia sebagai agen pengkompleks untuk ion logam yang membentuk kompleks amina. Beberapa logam, khususnya besi(III), bismuth dan torium dititrasi dalam larutan asam (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Pada titik ekivalen, besarnya konsentrasi ion logam menurun sangat signifikan. Hal ini umumnya ditentukan melalui perubahan warna indicator logam; titik akhir juga dapat ditentukan dengan metode amperometri,
konduktometri, spektrofotometri atau dalam beberapa keadaan dengan metode potensiometri (Firdaus, 2009). b. Titrasi balik (back titration) Banyak logam yang tidak dapat dititrasi langsung (Gusdinar, tanpa tahun), misalnya saja ketika reaksi antara kation dengan EDTA berjalan lambat atau ketika suatu indicator yang sesuai untuk titrasi tersebut tidak tersedia (Day dan Underwood, 2002). Selain itu, kemungkinan terjadi pengendapan dalam larutan selama rentang pH yang diperlukan untuk titrasi atau mungkin terbentuk kompleks yang inert. Dalam kasus ini, ditambahkan larutan EDTA standar berlebih kemudian larutan yang dihasilkan dibufferkan sampai pada pH yang dikehendaki dan kelebihan reagensia kemudian dititrasi balik dengan suatu larutan ion logam standar misalnya ion magnesium atau seng Titik akhir dideteksi dengan bantuan indicator logam yang berespon terhadap ion logam yang ditambahkan pada titrasi balik (Firdaus, 2009). Titran seperti ion magnesium dan seng yang dipilih karena ion-ion ini membentuk kompleks yang kurang stabil dengan EDTA, sehingga mencegah kemungkinan titrasi EDTA terikat oleh sampel ion logam. Beberapa contoh logam yang dititrasi balik (Laitinen dan Harris, tanpa tahun):
- Analisis untuk krom(III) dan kobal [setelah oksidasi menjadi kobal(III)]. Kompleks CrY- dan CoY- terbentuk sangat lambat (reaksinya berjalan sangat lambat) dalam titrasi langsung, tetapi pada saat terbentuk maka akan bersifat inert sehingga titrasi balik pada EDTA berlebih dapat berjalan pada pH rendah dengan larutan besi(III), meskipun FeYsecara termodinamika adalah kompleks yang stabil. Reaksi pertukaran CrY- + Fe3+ Cr 3+ + FeY- dapat diabaikan pada saat titrasi.
⇌
- Penentuan logam dalam endapan (timbal dalam timbal sulfat, magnesium dalam magnesium ammonium fosfat, kalsium dalam kalsium oksalat).
- Penentuan talium yang membentuk kompleks EDTA yang stabil tetapi tidak merespon indicator ion logam yang biasa digunakan.
c. Titrasi Penggantian atau subtitusi
Titrasi penggantian atau substitusi ini digunakan untuk ion logam yang tidak bereaksi sempurna dengan indicator ion logam atau untuk ion logam yang membentuk kompleks EDTA yang lebih stabil daripada kompleks EDTA dari logam-logam lainnya seperti magnesium dan kalsium (Firdaus, 2009).Sebuah larutan berlebih yang mengandung
kompleks
magnesium-EDTA
ditambahkan
dan
ion
logam,
Mn+,
menggantikan magnesium dari kompleks EDTA yang relative lemah:
(pers. 27) Mg2+ yang digantikan kemudian dititrasi dengan sebuah larutan standar EDTA, dengan menggunakan Calmagite sebagai indicator (Day dan Underwood, 2002). Pada prinsipnya, ion-ion selain magnesium dapat digunakan jika ion-ion tersebut membentuk kompleks yang lemah dengan EDTA dibandingkan dengan ion yang akan ditentukan. Contoh dari titrasi penggantian atau subtitusi (Laitinen dan Harris, tanpa tahun):
- Penentuan kalsium melalui penggantian magnesium yang menggunakan reaksi warna magnesium-calmagite.
- Penentuan barium melalui penggantian ion seng dalam larutan yang mengandung ammonium. Umumnya titrasi penggantian menunjukan keuntungan yang sangat sedikit dibandingkan titrasi balik.
d. Titrasi Redoks
Titrasi redoks dapat berjalan dengan adanya EDTA berlebih. EDTA berfungsi untuk mengubah bilangan oksidasi, biasanya membentuk kompleks yang stabil dengan bilangan oksidasi tinggi. Jika MoksY dan MredY mewakili kompleks EDTA dengan ion logam yang teroksidasi dan tereduksi, dan jika
dan adalah tetapan
pembentukan, maka persamaannya adalah:
[[]] Biasanya
(pers. 28)
> , dan oleh karenanya kopel menjadi agen pereduksi kuat dengan
adanya larutan EDTA berlebih. Pengaruhnya dinyatakan dengan kopel kobal(III)kobal(II), dimana potensialnya bergeser sekitar 1,2 V, sehingga kobal(II) dapat dititrasi dengan serium(IV). Selain itu, kobal(III) dapat dititrasi menjadi kobal(II) dengan kromium(II) sebagai agen pereduksi (Laitinen dan Harris, tanpa tahun).
Mangan(II) dapat dititrasi secara langsung menjadi mangan(III) dengan ferisianida sebagai agen pengoksidasi. Selain itu, mangan(III) diperoleh dengan oksidasi kompleks mangan(II)-EDTA dengan timbal dioksida, dapat ditentukan melalui titrasi dengan besi(II) sulfat standar. Besi(II) merupakan agen pereduksi kuat dengan adanya EDTA. Potensial pembentukan kopel besi(III)-besi(II) adalah 0,117 V pada nilai pH 4 ke
6, dimana keduanya membentuk kompleks EDTA yang stabil (Laitinen dan Harris, tanpa tahun).
e. Titrasi Tidak langsung Beberapa tipe titrasi tidak langsung telah dilaporkan. Sulfat ditentukan dengan menambahkan larutan standar barium(II) berlebih (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Kelebihan Ba2+ ini kemudian dititrasi dengan EDTA. Fosfat ditentukan dengan titrasi dari Mg2+ dalam kesetimbangan dengan MgNH4PO4 yang cukup larut (Day dan Underwood, 2002). Titrasi kation dalam endapan yang cukup larut, ion lain dapat ditentukan dengan titrasi tidak langsung. Natrium dapat ditentukan dengan titrasi seng dalam natrium seng uranil asetat, dan fosfat melalui penentuan magnesium dalam magnesium ammonium fosfat. Pembentukan kuantitatif tetrasianonikelat(II) telah digunakan untuk penentuan secara tidak langsung sianida (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). f.
Titrasi Alkalimetri Bila suatu larutan dinatrium etilenadiaminatetraasetat, NaH2Y, ditambahkan ke dalam suatu larutan yang mengandung ion-ion logam, amak akan terbentuk kompleks yang disertai pembebasan dua ion hydrogen yang ekivalen. Ion hydrogen yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan natrium hidroksida standar dengan menggunakan indicator asam-basa, atau titik akhir dapat ditentukan dengan cara potensiometri: suatu campuran iodide ditambahka di samping larutan EDTA, dan iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan tiosulfat standar. Larutan logam yang akan ditetapkan harus dinetralkan dengan tepat sebelum titrasi. Titrasi ini merupakan titrasi yang amat sukar dilakukan yang disebabkan hidrolisis banyak garam dan merupakan kelemahan dari titrasi alkalimetri (Firdaus, 2009).
H. Zat Penopeng
EDTA merupakan reagen yang sangat selektif karena EDTA berkompleks dengan banyak sekali kation di-, tri- dan tetra-. Bila suatu larutan yang mengandung dua kation yang berkompleks dengan EDTA dititrasi tanpa penambahan indicator pembentuk kompleks, da kesalahan titrasi adalah sebesar 0,1 % maka rasio tetapan stabilitas kompleks EDTA dengan dua logam tersebut misalnya M dan N adalah K M/K N > 106 dengan pertimbangan bahwa N tidak mengganggu titrasi logam M. Beberapa cara menaikkan selektifitas EDTA, yaitu (Gusdinar, tanpa tahun):
a. Pengaturan pH yang sesuai Dengan mempertimbangkan stabilitas dari kompleks logam-EDTA. bismut dan torium dapat dititrasi dalam suatu larutan asam (pH = 2) dengan Jingga Xilenol atau Biru Metiltimol sebagai indikator, dan kebanyakan kation divalen tak mengganggu dalam titrasi ini. Sutau campuran dari ion-ion bismut dan timbal dapat dititrasi pada pH 2 dengan Jingga Xilenol sebagai indikator, lalu menambahkan heksaamin untuk menaikkan pH menjadi kira-kira 5, dan menitrasi timbal. b. Zat Penopeng Zat penopeng merupakan salah satu reagen yang menurunkan konsentrasi ion logam bebas atau ligan ke level dimana reaksi kimia tersebut tidak terjadi (Laitinen dan Harris, tanpa tahun) atau dapat juga didefiniskan sebagai suatu proses dimana zat (tanpa pemisahan zat atau produk reaksinya secara fisik) diubah sedemikian sehingga tidak ikut bereaksi dalam suatu larutan tertentu. Dengan menggunakan agen penopeng maka beberapa kation dalam campuran dapat ditopeng sehingga tidak bereaksi dengan EDTA atau dengan Indikator (Gusdinar, tanpa tahun). Misalnya fluoride bisa digunakan sebagai
reagen penopeng untuk mencegah reaksi aluminium dengan EDTA, ammonia sebagai reagen penopeng untuk mencegah endapan tembaga hidroksida pada pH tinggi, dan EDTA menopeng besi(III) sehingga tidak mengganggu kompleks tiosianat (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). c. Zat Pelepas Topeng Proses dimana zat penopeng mendapatkan kembali kemampuannya untuk masuk ke dalam reaksi khusus (Gusdinar, tanpa tahun). Zat pelepas topeng dihasilkan melalui reaksi penggantian meliputi penambahan, contohnya, kation lain yang lebih kuat bereaksi dengan ligan penopeng dan membebaskan ion yang ditopeng. Jika tetapan pembentukan kondisional bergantung pada pH, umumnya cara demasking terjadi dengan perubahan pH. Misalnya aluminium dapat didemasking dari fluoride dengan menurunkan pH ke kondisi yang lebih rendah. Kemungkinan lain adalah merusak atau secara fisik memindahkan ligan penopeng dan mengubah bilangan oksidasi dari ion yang ditopeng (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). d. Pemisahan secara klasik e. Ekstraksi pelarut f.
Pemilihan Indicator
g. Pemindahan anion h. Kinetika penopeng
H. Reagen Pengkelat Lain
Banyak bahan Pengkelat lainnya yang telah tersintesis. Beberapa mempunyai kelebihan dibandingkan dengan EDTA dalam kondisi-kondisi umum meskipun tidak ada satu bahanpun yang secara dominan digunakan (Day dan Underwood, 2002). Asam nitrilotriasetat merupakan
senyawa pengkelat yang penting selain EDTA. Nitrilotriasetat membentuk kompleks yang stabil dengan banyak logam, dan secara secara digunakan juga pada logam-logam alkali. Namun tendensi untuk membentuk kompleks 2:1 menyebabkan senyawa ini sulit berada dalam stoikiometri (Laitinen dan Harris, tanpa tahun). Selain itu, etilena glikol-bis-(β-aminoetil eter) N,N’-asam tetraasetat (EGTA) membentuk kelat yang jauh lebih stabil dengan kalsium daripada dengan magnesium (Day dan Underwood, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Day, R. A. dan Underwood, A. L., 2002, Anilisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta Fifield, F. W. dan Kealet, D., 2000, Principles and Practice of Analytical Chemistry, Blackwell Science Ltd., London Firdaus, I., 2009, Titrasi Kompleksometri(Online), www.chem-is-try.org Gusdinar, T., tanpa tahun, Complexometry Titration(Online), Pharmacochemistry research group, school of Pharmacy, Institut Teknologi Bandung, Bandung Harrison, K., 1997, EDTA(Online),
[email protected] Harvey, D., 2000, Modern Analytical Chemistry, McGrew-Hill Companies, New York Laitinen, H. A. dan Harris, W. E., tanpa tahun, Chemical Analysis An Advanced Text and Reference, McGraw-Hill Book Company, New York Svehla, G., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Edisi Kelima, PT. Kalman Media Pustaka, Jakarta Widiarto, S., 2009, Volumetri/Titrimetri(Online),
KESETIMBANGAN KOMPLEKS
Nov Irmawati Inda (P1100209005)
Jurusan Kimia Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009