II. TIJAUA PUSTAKA
2.1 EKAPSULASI Enkapsulasi adalah proses atau teknik untuk menyalut inti yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif tersebut. Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material tersebut terlepas ( release) release) ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut sebagai dinding, membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasaekoopt et al . 2003). Kapsul merupakan bahan semipermeabel, tipis, berbentuk bulat dan kuat dengan diameter bervariasi dari beberapa mikrometer hingga millimeter (Anal dan Singh 2007). Enkapsulasi dapat dilakukan pada bakteri probiotik untuk memberikan perlindungan terhadap bakteri probiotik dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti panas dan bahan kimia (Frazier dan Westhoff 1998). Enkapsulasi probiotik telah banyak dilakukan untuk meningkatkan ketahanan atau viabilitas sel probiotik selama proses pembuatan produk dan penyimpanan (Homayouni et al . 2008a, Capela et al . 2006; Krasaekoopt et al . 2006), serta meningkatkan ketahanan selama dalam jalur pencernaan (pH rendah dan cairan empedu) (Sultana et al . 2000, Picot dan Lacroix 2004, Mandal et al . 2006, Castilla et al . 2010). Enkapsulasi beberapa kultur bakteri termasuk probiotik dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan mengubah menjadi bentuk serbuk agar lebih mudah dalam penggunaan (Krasaekoopt et al . 2003). Enkapsulasi probiotik dapat diaplikasikan untuk produksi kultur starter susu fermentasi dan produksi makanan-minuman probiotik yang menekankan aspek peningkatan viabilitas sel dalam produk dan saluran pencernaan, serta untuk meningkatkan sifat sensorik produk (Mortazavian et al . 2007). Sifat membran atau kapsul harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan probiotik terenkapsulasi pada suatu produk. Membran dirancang untuk melindungi sel dan dapat melepaskan sel dengan laju pelepasan yang terkontrol pada kondisi yang spesifik serta memungkinkan terjadinya difusi molekul yang berukuran kecil (sel, metabolit dan substrat) melintasi membran (Vidyalakshmi et al . 2009). Sifat membran tersebut sangat bergantung pada teknik enkapsulasi dan jenis bahan yang digunakan (Kailasapathy 2002, Kraaekoopt et al . 2003, Mortazavian et al . 2007, Vidyalakshmi et al . 2009).
2.1.1 Teknik Ekstrusi Teknologi untuk enkapsulasi probiotik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Enkapsulasi probiotik di dalam larutan bahan pengkapsul, 2) Pengeringan larutan bahan pengkapsul (Mortazavian et al . 2007). Tahapan enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu ekstrusi dan emulsi (Krasaekoopt et al . 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan cara menambahkan mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat, kemudian diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl 2) menggunakan syringe menggunakan syringe sehingga terbentuk beads. beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan jarak tetes jarum dengan larutan CaCl 2 (Krasaekoopt et al. 2003). Diagram alir enkapsulasi menggunakan teknik ekstrusi dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Suspensi natrium alginat
Suspensi sel mikrobial Pencampuran
Suspensi sel
Diteteskan ke dalam larutan CaCl2
Beads kalsium alginat sel Matriks kalsium alginat
Beads kalsium alginat
Gambar 1. Diagram alir enkapsulasi bakteri dengan teknik ekstrusi (Krasaekoopt et al . 2003) Berbeda dengan teknik ekstrusi, teknik emulsi dilakukan dengan menyuspensikan sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet . Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al . 2003). Kelebihan dan kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi Ekstrusi
Emulsi
Sulit untuk meningkatkan
Mudah untuk meningkatkan
skala produksi ( scale up)
skala produksi ( scale up)
Biaya
Rendah
Tinggi
Kemudahan
Mudah
Sulit
Ketahanan mikroorganisme
80 – 95%
80 – 95%
Ukuran beads
2 – 5 mm
25 µm – 2 mm
Kelayakan teknologi
Sumber : Krasaekoopt et al . (2003)
Pada tahap pengeringan bahan pengkapsul berisi sel probiotik untuk mendapatkan sel terenkapsulasi berbentuk serbuk atau granul dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu freeze
4
drying (Sultana et al . 2000, Capela et al . 2006) dan Spray drying (Lian et al . 2003, Picot dan Lacroix 2004). Enkapsulasi probiotik dengan teknik pengering semprot dan pengering beku menghasilkan probiotik terenkapsulasi kering dalam bentuk serbuk atau granul, sedangkan teknik emulsi dan ekstrusi menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam bentuk jel ( hydrocolloid beads) (Krasaekoopt et al . 2003). Namun, penggunaan teknik freeze drying relatif mahal dan sangat sulit diaplikasikan pada skala industri (Mortazavian et al . 2007), sedangkan penggunaan teknik spray drying membutuhkan suhu operasi yang tinggi sehingga kurang cocok diaplikasikan untuk enkapsulasi probiotik (Kailasapathy 2002). Beberapa metode pengeringan yang telah digunakan untuk mengeringkan jel kalsium alginat ( beads) adalah hot air oven, vacuum drying , dan microwave (Shariff et al . 2007). Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif, diantaranya viabilitas sel probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan penyimpanan, kelarutan beads dan kemampuan sel untuk release serta sifat mikrogeometri beads (bentuk dan ukuran) (Mortazavian et al . 2007). Tingkat ketahanan bakteri probiotik setelah diberi beberapa perlakuan dapat diukur dengan metode plate count (Roka dan Rantämaki 2010).
2.1.2 Bahan Pengkapsul Enkapsulasi probiotik biasa dilakukan dalam sistem polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun ( food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang biasa digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik adalah polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan (kasein, whey, skim, gelatin) (Rokka dan Rantamäki 2010). Biopolimer yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah alginat. Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl 2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik, serta sel dapat release (Kailasapthy 2002).
2.1.2.1 Alginat Alginat tergolong salah satu contoh hidrokoloid alami. Alginat merupakan kopolimer rantai lurus dari residu asam β-(1-4)-D-manuronat (M) dan asam α-(1-4)-L-guloronat (G) yang membentuk homopolimer M atau G dan blok heteropolimer MG (Cardenas et al . 2003). Struktur molekul alginat dapat dilihat pada Gambar 2. Alginat telah digunakan secara luas untuk enkapsulasi probiotik skala laboratorium (Rokka dan Rantamäki 2010). Garam alginat larut dalam air, tetapi mengendap dan membentuk jel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk jel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel (Sarmento et al . 2007).
Gambar 2. Struktur molekul natrium alginat (ptp2007.files.wordpress.com)
5
Penambahan kation divalen (misalnya Ca 2+) yang berfungsi sebagai penaut silang antar molekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk jel matriks kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air dapat berdifusi keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamäki 2010). Ikatan yang terbentuk antara Ca
2+
dengan alginat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh kation Ca 2+ terhadap struktur alginat (blog.khymos.org) Penggunaan alginat sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan lainnya, diantaranya dengan penambahan prebiotik (Hi-Maize) (Sultana et al . 2000, Homayouni et al . 2008a), terigu dan polard (Widodo et al . 2003) sebagai bahan pengisi ( filler ), chitosan sebagai coating (Krasaekoopt et al . 2004), dan pektin untuk membentuk kompleks alginat-pektin yang lebih kuat (Castilla et al . 2010).
2.1.2.2 Skim, Sodium Caseinate, dan Whey Selain bahan berbasis polisakarida, bahan berbasis protein juga sering digunakan pada proses enkapsulasi bakteri pr obiotik (Rokka dan Rantamäki 2010). Bahan berbasis p rotein seperti gelatin, skim, whey, dan caseinate digunakan sebagai bahan pembawa ( carriers) pada enkapsulasi probiotik menggunakan teknik spray drying ( Lian et al . 2003, Picot dan Lacroix 2004, Triana et al. 2006). Penggunaan bahan berbasis protein sebagai bahan enkapsulasi pada teknik spray drying dikarenakan sifatnya yang memiliki kemampuan mengemulsi serta mampu melindungi sel bakteri dari panas (thermoprotectan). Bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik spray drying akan release sempurna di dalam produk susu fermentasi ( Krasaekoopt et al . 2003). Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al . 1987). Karena lemaknya telah dipisahkan, susu skim hanya mengandung 0,5 – 2,0% lemak (Varnam dan Sutherland 1994). Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi protein yang menggumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 30
o
C, sedangkan fraksi yang
tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Pada susu sapi dan kerbau, komposisi kasein dan whey adalah berkisar 80:20 (Fox dan McSweeney 1998). o
Kasein sangat stabil terhadap suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 100 C selama 24 jam atau pemanasan suhu 140 oC selama 20 menit tidak menyebabkan terjadinya koagulasi. Berbeda dengan whey yang terdenaturasi sempurna pada pemanasan 90
o
C selama 10 menit. Kasein
merupakan fosfoprotein yang mengandung 0,85% fosfor, sedangkan whey tidak mengandung fosfor (Fox dan McSweeney 1998). Salah satu produk turunan kasein adalah sodium caseinate. Sodium caseinate diproduksi dari susu skim yang diasamkan hingga pH 4,6. Pada pH ini, senyawa kompleks dari kalsium fosfat larut dan kasein menggumpal (presipitasi). Untuk menghilangkan garam, laktosa, dan whey, kasein yang terpresipitasi dilarutkan kembali dengan menambahkan senyawa alkali
6
(NaOH) hingga pH ~ 8,5 (Buckle et al . 1987) untuk menghasilkan produk caseinate. Setelah itu dikeringkan menggunakan spray dryer untuk mendapatkan bentuk serbuk. Sodium caseinate kering biasanya mengandung 90 – 94% protein, 3 – 5% kadar air, 6 – 7% abu, dan 0,7 – 1,0% lemak (Bassette dan Acosta 1988). Whey merupakan bagian cair dari susu atau serum susu yang dipisahkan dari curd dalam pembuatan keju dan pembuatan kasein. Whey mengandung semua komponen susu kecuali kasein. Whey terdiri atas protein susu terlarut, laktosa, vitamin, dan mineral. Protein whey terdiri atas α-laktalbumin dan β-laktoglubolin (Mulvihill dan Grufferty 1997). Berdasarkan proses koagulasi kasein, whey dibedakan menjadi sweet whey (rennet whey), yaitu hasil koagulasi kasein secara enzimatis dan acid whey, yaitu koagulasi kasein menggunakan asam. Beberapa produk turunan kasein dan whey yang telah dikomersialkan, diproduksi dari susu skim atau whey.
Produk berbasis protein ini digunakan sebagai bahan tambahan pada
industri pangan. Kasein dan caseinate umumnya dibuat dari susu skim yang ditambahkan asam klorida atau asam sulfat atau melalui fermentasi asam laktat. Setelah dicapai titik isoelektrik, kasein dinetralkan kembali untuk menghasilkan produk caseinate. Protein yang tersisa dalam whey setelah kasein dipisahkan dari susu dimanfaatkan kembali untuk memproduksi whey protein concentrate melalui presipitasi dengan penambahan polifosfat atau senyawa anion polivalen, ultrafiltrasi, adsorpsi penukar ion, filtrasi jel, atau presipitasi menggunakan kombinasi asam dan panas. Whey protein concentrate juga diproduksi dengan mengombinasikan proses elektrodialisis, pemekatan, kristalisasi laktosa, dan pengeringan (Morr dan Richter 1988). Perbedaan komposisi susu sapi, skim, sodium caseinate, dan Whey protein concentrate dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen susu sapi, skim, sodium caseinate, dan whey protein concentrate Sodium Whey protein concentrate a a Komponen Susu sapi Skim bubuk a b caseinate (WPC 35) Air (%)
87,4
3,0
5,0
4,8
Lemak (%)
3,5
0,9
1,2
4,2
Protein (%)
3,5
35,9
89,0
35,5
Laktosa (%)
4,8
52,2
0,3
47,5
Abu (%)
0,7
8,0
4,5
8,0
Sumber :
a
Tamime dan Robinson (1989) b Early (1998)
2.2 VIABILITAS PROBIOTIK TEREKAPSULASI Upaya untuk meningkatkan viabilitas probiotik telah banyak dilakukan. Peningkatan viabilitas probiotik selama proses produksi, penyimpanan, dan terhadap kondisi pencernaan banyak dilakukan dengan penggunaan cryoprotectant , thermoprotectant dan alginat ataupun dengan menggunakan prebiotik. Capela et al . (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus dan Lb. casei dengan teknik emulsi menggunakan 3% alginat dan CaCl 2 0,1 M pada 200 rpm. Proses enkapsulasi memberikan peningkatan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku dan setelah penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 21 oC. Krasaekoopt
et al . (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb.
acidophillus 547 (koleksi kultur di University of Queensland, Australia), Lb. casei 01 (produksi Chr. Hansen Pty Ltd., Australia), dan B. bifidum ATTC 1994 (CSIRO starter koleksi kultur, Australia) dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2% yang diberi perlakuan khusus dengan penyalutan citosan 0,4% untuk meningkatkan stabilitas beads. Viabilitas sel terenkapsulasi lebih
7
besar 1 siklus log selama penyimpanan 4 minggu dibandingkan dengan sel bebas (tidak dienkapsulasi). Purwandhani et al . (2007) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus SNP 2 dengan teknik ekstrusi dan emulsi satu lapis menggunakan alginat 3% dan CaCl2 0,1 M serta enkapsulasi dua lapis (double coating ) dengan penambahan skim sebagai lapis pertama. Enkapsulasi dengan metode emulsi menghasilkan ukuran beads yang lebih kecil (50 – 100 m) dibandingkan metode ekstrusi (2,5 – 4mm). Sel probiotik terenkapsulasi memiliki ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan sel bebas. Metode ekstrusi menghasilkan ketahan sel yang lebih tinggi dibandingkan metode emulsi. Widodo et al . (2003) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. casei teknik ekstrusi menggunakan alginat 1% dengan penambahan bahan pengisi ( filler ) pollard 2% dan tepung terigu 2% dengan konsentrasi larutan CaCl 2 5%. Enkapsulasi dengan pollard menghasilkan viabilitas Lb. casei lebih tinggi (2,4 x 10 8 sel/ml) dibandingkan dengan tepung terigu (9,3 x 10 7 sel/ml). Laju pengasaman dalam mencapai pH 4,5 pada Lb. casei terenkapsulasi lebih lambat 1 jam dibandingkan Lb. casei bebas. Sultana et al . (2000) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Bifidobacterium dan Lb. casei dengan teknik emulsi menggunakan alginat 2%, CaCl 2 0,1 M, dan dengan perlakuan khusus berupa penambahan prebiotik pati jagung (Hi-maize, Starch Australia Ltd) sebagai filler sebanyak 0 – 4%. Penambahan filler (Hi-maize) meningkatkan rendemen dan jumlah Lb. casei yang terenkapsulasi dalam beads. Namun, filler yang terlalu banyak (4%) akan menurunkan rendemen beads. Nazzaro et al . (2009) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2%, CaCl 2 0,05 M, dan dengan perlakuan khusus berupa penambahan 1% prebiotik inulin dan 0,15% xanthan gum. Lb. acidophilus terenkapsulasi memiliki kemampuan tumbuh baik dalam jus wortel dan bertahan selama 8 minggu penyimpanan pada suhu 4
o
C. Enkapsulasi mampu meningkatkan viabilitas sel selama fermentasi dan
penyimpanan (5,59 x 10
12
dan 4,35 x 10
10
untuk probiotik terenkapsulasi vs 4,47 x 10
10
dan 2,08 x
108 untuk probiotik bebas). Selain itu enkapsulasi dengan alginate-inulin-xanthan gum mampu meningkatkan viabilitas sel secara signifikan dibandingkan sel bebas. Castilla et al . (2010) melakukan penelitian mengenai sifat tekstur dari Lb. casei terenkapsulasi dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat-pektin (1:2, 1:4, dan 1:6). Hasil menunjukan bahwa diameter beads meningkat seiring dengan peningkatan proporsi pektin. Penggunaan alginat : pektin dengan perbandingan 1:4 dan 1:6 mampu meningkatkan viabilitas sel pada simulasi kondisi pencernaan. Tingkat kematian B. longum yang terenkapsulasi dalam beads kalsium-alginat menurun secara proporsional dengan meningkatnya konsentrasi alginat (Lee dan Heo 2000). Mandal et al . (2006) melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi natrium alginat 0%, 2%, 3% dan 4% terhadap viabilitas Lb. casei NCDC 298 pada pH 1,5. Hasil yang didapatkan menunjukan viabilitas Lb. casei NCDC 298 meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi alginat dan alginat 4% memiliki viabilitas tertinggi.
2.3 BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang atau bulat, tidak membentuk spora, serta memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama proses fermentasi. Genus BAL yang biasa digunakan dalam produk pangan adalah genus Aerococcus,
Carnobacterium,
Enterococcus, Lactobacillus,
Lactococcus, Leuconostoc,
8
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus,
Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weissella
(Axelsson 2004). Selama proses fermentasi, BAL dapat menghasilkan metabolit-metabolit yang menimbulkan perubahan rasa dan bentuk atau tekstur makanan serta menghambat pertumbuhan bakteri pathogen dan pembusuk. Metabolit-metabolit tersebut antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin yang semuanya memiliki aktivitas antimikroba (Shah 2007). Berdasarkan fermentasi heksosa dan jenis asam yang dihasilkan terdapat dua kelompok BAL, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada kelompok homofermentatif, asam laktat merupakan satu-satunya produk hasil fermentasi, sedangkan pada kelompok heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi etanol dan asam asetat sebagai produk samping (Fardiaz 1992). Metabolisme glukosa oleh bakteri asam laktat dapat terjadi melalui dua jalur fermentasi, yaitu fermentasi homolaktat (glikolisis atau Embden Meyerhof pathway) yang menghasilkan asam laktat dan fermentasi heterolaktat yang menghasilkan asam laktat dan etanol (Axelsson 2004, T amime et al . 2006). Bakteri asam laktat homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan pangan karena produksi asam laktat dalam jumlah besar dan mampu menghambat bakteri penyebab kerusakan makanan dan pathogen lain. Bakteri asam laktat heterofermentatif dimanfaatkan dalam pembentukan flavor dan komponen aroma seperti asetaldehid dan diasetil, tetapi kedua jenis bakteri asam laktat tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Gomes dan Malcata 1999). Peranan utama BAL dalam industri pangan adalah sebagai kultur starter produk produk yang melibatkan proses fermentasi atau produk pangan fungsional yang memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan (Tamime et al . 2006). Selain memiliki efek mengawetkan pada produk fermentasi yang diinginkan, beberapa bakteri asam laktat yang tergolong bakteri probiotik dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan dan menjaga keseimbangan mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia (Fuller 1992). Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh bakteri probiotik adalah tahan terhadap asam lambung, tahan terhadap garam empedu, bersifat antagonis terhadap bakteri pathogen, aman digunakan oleh manusia, memproduksi senyawa anti bakteri, mempunyai sifat penempelan pada usus manusia, berkolonisasi dalam saluran usus manusia, aman dalam makanan (Reid 1999). Sejumlah genus bakteri dan khamir yang digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus, Bifidobacterium, dan Enterococcus, tetapi spesies utama yang dipercaya memiliki karakteristik probiotik adalah Lb. acidophilus, Bifidobacterium spp., dan Lb. casei (Shah 2007). Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter dalam produk-produk susu fermentasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mesofilik dan termofilik. Kultur starter mesofilik ditumbuhkan pada suhu 10 – 40 oC dengan suhu optimum 30 oC, sedangkan kultur starter termofilik memiliki suhu optimum pertumbuhan antara 40 – 50
o
C. Beberapa spesies yang
tergolong mesofilik adalah Lactococcus lactis ssp. lactis, Lactococcus lactis ssp. cremoris, dan Leuconostoc lactis. Kelompok bakteri termofilik dibagi menjadi dua genus, yaitu Lactobacillus dan Streptococcus (Mäkinen dan Bigret 2004). Lactobacillus casei merupakan salah satu bakteri probiotik yang telah dimanfaatkan secara komersil untuk memproduksi susu fermentasi. Beberapa strain Lb. casei memproduksi diasetil dari sitrat, spesies ini digunakan sebagai starter dalam produk susu fermentasi di Jepang, yaitu Yakult (Mäkinen dan Bigret 2004). Lactobacillus casei merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang, non motil , tidak
membentuk
spora
dan
bersifat
heterofermentatif.
Lactobacillus
casei
tergolong
9
mikroaerofilik dengan suhu pertumbuhan optimum 30 oC dengan rentang 10 oC hingga 40 oC. Beberapa strain mampu bertahan pada suhu 63 oC (Foster et al . 1961). Keberadaan Lactobacillus dalam saluran pencernaan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem mikroba dalam usus. Lactobacillus casei tergolong bakteri probiotik karena mampu bertahan dalam lambung dan cairan empedu, mampu mencapai dan berkoloni pada selaput lendir usus kecil, menghasilkan asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri merugikan dan memacu pertumbuhan bakteri seperti Bifidobacteria (Widodo 2003). Pada proses enkapsulasi probiotik, bakteri ditumbuhkan terlebih dahulu didalam media MRS broth pada kondisi optimum pertumbuhannya untuk memproduksi sel bakteri. Waktu panen bakteri probiotik untuk dienkapsulasi adalah pada akhir fase eksponensial (log) atau awal memasuki fase stasioner karena memiliki jumlah populasi yang optimum. Menurut Stanley (1998), pada fase stasioner jumlah sel bakteri asam laktat mencapai 10 8 – 109 cfu/ml. Ding dan Shah (2008) menumbuhkan beberapa spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium pada MRS broth selama 18 jam pada suhu 37 oC sebelum dienkapsulasi. Penelitian yang dilakukan Harmayani et al . (2001) menumbuhkan Lactobacillus sp. Dad 13, Lb. acidophilus D2 dan Lb. plantarum dalam MRS broth selama 16 – 18 jam (saat memasuki awal fase stasioner). Kondisi inkubasi untuk menumbuhkan bakteri asam laktat pada kultur kerja ( bulk starter ) adalah selama 4 – 6 jam pada suhu 37 – 42 oC (Stanley 1998). Pembuat kultur kerja Lactobacillus casei sebagai starter dadih susu sapi dilakukan dengan menginokulasikan Lactobacillus casei ke dalam susu sapi segar yang telah disterilisasi dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 4 jam, yaitu hingga akhir fase lag atau awal memasuki fase log (Suprihanto 2009).
2.4 DADIH Dadih merupakan produk olahan susu tradisional Indonesia khas daerah Sumatra Barat. Dadih tergolong susu fermentasi seperti yoghurt dan kefir (Sirait 1993). Akan tetapi, dadih terbuat dari susu kerbau yang difermentasi secara alami pada suhu ruang standar selama dua malam (Sugitha 1995). Dadih yang diproduksi di Sumatra Barat, dibuat dengan bahan dasar susu kerbau yang difermantasi di dalam tabung bambu dan tanpa penambahan starter lalu ditutup dengan daun pisang. Fermentasi pada dadih diperkirakan dilakukan oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari bambu (Azria 1986, Zakaria et al . 1998), daun pisang serta susu kerbau (Yudoamijoyo et al . 1983).
Susu
kerbau Inkubasi pada suhu ruang selama 48 jam Bambu
Ditutup dengan daun pisang
Gambar 4. Proses pembuatan dadih tradisional (Sirait 1993) Sampai saat ini dadih masih dibuat secara tradisional dan belum ada standar proses pembuatan, sehingga pada setiap pembuatan dadih di berbagai daerah diperoleh dadih dengan kualitas yang berbeda-beda dalam hal rasa, aroma, dan tekstur (Sirait 1993). Proses pembuatan dadih secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi dadih secara tradisional tidak
10
ditambahkan starter , sehingga konsistensi rasa, aroma dan tekstur sulit untuk dijaga pada produksi berikutnya. Menurut Sirat (1993), dadih yang baik adalah berwarna putih dan memiliki aroma dan konsistensi seperti susu asam ( yoghurt ). Proses terjadinya dadih melibatkan berbagai macam mikroorganisme. Secara tradisional, kemungkinan terbesar mikroorganisme tersebut berasal dari bambu yang digunakan sebagai wadah pembuatan dadih atau dari susu kerbau. Bambu yang umum digunakan untuk pembuatan dadih adalah bambu gombong ( Gigantochloa verticillata) dan bambu ampel ( Bambusa vulgaris) (Azria 1986). Hasil isolasi BAL pada dadih terdiri dari 36 strain genus Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactococcus (Ngatirah et al . 2000, Pato 2003). Berbeda dengan yoghurt pada umumnya yang terbuat dari susu sapi, bahan baku utama dadih terbuat dari susu kerbau. Susu kerbau memiliki konsentrasi total padatan yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi. Perbedaan komposisi susu sapi dengan susu kerbau dapat dilihat pada Tabel 3. Unsur utama pada susu adalah laktosa yang mempunyai peranan penting dalam industri susu. Hal ini dikarenakan laktosa mudah diuraikan oleh bakteri (Eckles et al . 1984). Tabel 3. Komposisi susu sapi dan susu kerbau dari beberapa spesies (dalam %) Dalam susu Dalam total padatan Spesies Padatan non lemak Padatan non lemak LeLeAir mak mak Pro Lak Abu Pro Lak Abu Sapi 87,20 3,70 3,50 4,90 0,70 28,90 27,34 38,28 5,47 K. Cina 76,80 12,60 3,70 3,70 0,86 54,31 26,03 15,94 3,71 K. Filipina 78,46 10,35 4,32 4,32 0,84 48,05 27,30 20,06 3,90 K. india 82,46 7,38 5,48 5,48 0,78 42,81 20,88 31,78 4,52 Keterangan : K = kerbau, Pro = protein, Lak = laktosa Sumber : Henderson (1971)
Perbedaan komposisi bahan baku susu fermentasi akan menghasilkan produk dengan komposisi yang berbeda pula. Menurut Yudoamijoyo et al. (1983), dadih memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih tinggi dibandingkan yoghurt yang dibuat dari susu sapi (Tabel 4). Hasil analisis proksimat pada dadih yang dilakukan Sirait et al . (1984) menunjukan hasil yang bervariasi dengan rataan kadar air 82,10%, kadar protein 6,99%, kadar lemak 8,08%, dan pH 4,99. Tabel 4. Komposisi kimia yoghurt dan dadih (dalam %)
Yoghurt Dadih A Dadih B
pH
T.A
Protein
Lemak
3,4 4,1 4,0
1,490 1,278 1,320
3,91 5,93 7,57
0,07 5,42 6,48
Karbohidrat 4,32 3,34 3,79
Abu
Kadar air
0,92 0,96 1,13
90,78 84,35 81,03
Keterangan : T.A = titrable acidity (sebagai asam laktat) Kadar air = 100% - total bahan kering (%) A dan B adalah sampel dadih yang berasal dari daerah berbeda Sumber : Yudoamijoyo et al . (1983)
Berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas dadih telah dilakukan. Taufik (2004) melakukan modifikasi proses produksi dadih dengan menggunakan susu sapi yang dievaporasi hingga 50% volume awal untuk mendapatkan total padatan yang menyerupai susu kerbau dan dengan penambahan starter bakteri probiotik L. plantarum, L. acidophilus, dan B. bifidium.
11