Pelindung Ketua Umum PP IDSAI Bambang Tutuko, dr., dr., SpAnKIC Penasehat Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA Prof. M. Roesli Thaib, dr., SpAnKIC Ketua Dewan Majalah/Pemimpin Redaksi Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC Mitra Bestari Prof. Herlin Megawe, dr., SpAnKIC (Surabaya) Prof. SiƟ Chasnak Saleh, dr., SpAnKNA (Surabaya) Prof. Dr. Rita Sucahyo, dr., SpAnKIC, KNA (Surabaya) Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr., SpAnKIC (Surabaya) Prof. Sunaryo, dr., SpAnKIC (Semarang) Prof. Marwoto, dr., SpAnKIC, KAR (Semarang) Prof. Husni Tanra, dr., SpAnKIC, PhD (Makassar) Prof. Dr. St. Mulyata, dr., SpAnKIC (Solo) Prof. M. Ruswan Dahlan, dr., SpAnKIC, KAR (Jakarta) Prof. A. Himendra Wargahadibrata, dr., SpAnKIC (Bandung) Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KOA (Bandung) Prof. Kaswiyan A., dr., SpAnKIC (Bandung) Prof. Darto Satoto, dr., SpAnKAR (Jakarta) Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC (Jakarta) Dr. Hari Bagianto, dr., SpAnKIC (Malang) Dr. Syarif Sudirman, dr., SpAn, KAR (Solo)
PENGURUS Majalah
NESTESIA & CRITICAL CARE A NE diterbitkan setiap empat bulan oleh
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI)
Dewan Redaksi Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC (Jakarta) Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC (Jakarta) Gunawarman, dr., SpAnKAR (Jakarta) Susilo Chandra, dr., SpAn, FRCA (Jakarta) Indro Mulyono, dr., SpAnKIC (Jakarta) Oloan Tampubolon, dr., SpAnKIC, MHKes (Jakarta) Arif HM Marsaban, dr., SpAnKAA (Jakarta) Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC (Jakarta) Aida Rosita Tantri, dr., SpAnKAR (Jakarta) Yohannes WH George, dr., SpAnKIC (Jakarta) Bambang Wahjuprajitno, dr., SpAnKIC (Surabaya) Marsudi Rasman, dr., SpAnKIC (Bandung) Ike Sri Redjeki, dr., SpAnKIC, M.Kes (Bandung) Hasanul Arifin, dr., SpAn, KIC (Medan) Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, M.M (Yogyakarta) Endang MelaƟ Maas, dr., SpAnKIC (Palembang) Az RiŅi, dr., SpAnKIC (Padang) Wayan Suranadi, dr., SpAnKIC (Bali) Koordinator Dana dan Iklan Eddy Harjanto, dr., SpAnKIC Redaktur Pelaksana Ratna Farida, dr., SpAn, KAKV Rudyanto Sedono, dr., SpAnKIC Staf Redaksi Pryambodho, dr., SpAnKAR Andi Ade Wijaya, dr., SpAnKAP Jefferson, dr., SpAnKAKV Dita AdiƟaningsih, dr., SpAn Vera Irawany, dr., SpAn Rethia Syahril, dr. R. Besthadi Sukmono, dr. Krisna Andria, dr.
Koresponden IDSAI Medan, Padang, Palembang, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Denpasar, Makassar, Manado, PonƟanak Alamat Redaksi: Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jln. Diponegoro 71, Jakarta. Telp. 021-31909033. Fax. 021-3923443 E-mail:
[email protected] [email protected] Surat Izin Terbit 71 5 /K/DIT. B I N PRES/XII/78
KATA PENGANTAR
Sejawat yang terhormat,
Pada penerbitan edisi kedua 2010 ini, kami menyajikan Ɵga laporan peneliƟan, Ɵga laporan kasus, satu Ɵnjauan pustaka, dan satu studi pustaka. Melengkapi edisi kali ini kami menerbitkan juga diantaranya satu laporan kasus mengenai Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP, dan satu Ɵnjauan pustaka mengenai Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi OŌalmika. Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang kami sajikan ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi sejawat. Selamat membaca.
Prof. Dr. dr. Amir S Madjid, SpAn. KIC. Pemimpin Majalah Anestesia & CriƟcal Care
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • i •
KATA PENGANTAR
Sejawat yang terhormat,
Pada penerbitan edisi kedua 2010 ini, kami menyajikan Ɵga laporan peneliƟan, Ɵga laporan kasus, satu Ɵnjauan pustaka, dan satu studi pustaka. Melengkapi edisi kali ini kami menerbitkan juga diantaranya satu laporan kasus mengenai Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP, dan satu Ɵnjauan pustaka mengenai Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi OŌalmika. Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang kami sajikan ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi sejawat. Selamat membaca.
Prof. Dr. dr. Amir S Madjid, SpAn. KIC. Pemimpin Majalah Anestesia & CriƟcal Care
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • i •
LAPORAN PENELITIAN 1
Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean SecƟon Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar Aldy Heriwardito
9
The EffecƟveness EffecƟveness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25 mcg Fentanyl Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean SecƟon KeefekƟfan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar Bintartho A , Pryambodho, Susilo
18 Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal IntubaƟon: Comparison of EsƟmaƟon and Measurement on Cuff Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo dr.Soetomo Surabaya Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan EsƟmasi dan Pengukuran Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya Herdy Sulistyono H
LAPORAN KASUS 26 Management of EncephaliƟs and Epilepsy in ICU Tatalaksana EnsefaliƟs dan Epilepsi di ICU Rudy Manalu 37 Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal InfecƟon Perdarahan Terkait KoagulopaƟ pada Infeksi Intraabdominal Diah WidyanƟ 52 Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP Maria Irawaty
STUDI PUSTAKA Developement of Post-traumaƟc Post-traumaƟc Stress 63 Intra-operaƟve Awareness in General Anesthesia and the Developement Disorder Kesadaran IntraoperaƟf pada Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumaƟc Stress Disorder • Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • ii •
Maria Blandina
TINJAUAN PUSTAKA PUSTAKA 71 Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic EvisceraƟon EvisceraƟon Surgery Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi OŌalmika Andi Salahuddin
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • iii •
I LAPORAN PENELITIAN I
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean SecƟon
Aldy Heriwardito
ABSTRACT Background: Spinal anesthesia in caesarean secƟon causes a decreasing of blood pressure and uterina placental circulaƟon. Giving crystaloid coloading is not effecƟve enough for prevenƟng the decrease of blood pressure. Coloading HES 130/0,4 500 ml has been predicted as a more effecƟve way because it has longer period of intravascular effect. Method: This study had been done in randomized single blinded experimental design. There were 84 subjects with ASA I and II that had been in caesarean secƟon procedure by spinal anesthesia. Seven subjects had been excluded, and the rest had been divided into 2 groups. Group 1 consists of 39 subjects as control group that had coloading RL 1000 mL therapy, group 2 consists of 38 subjects that had coloading HES 130/0,4 500 mL therapy. Blood pressure and heart rate were checked in every 2 minutes aŌer spinal anesthesia. AŌer the baby born, APGAR score is determined and pH of umbilical cord were measured. Result: There are significant difference in mean arteries blood pressure. It can be seen in second minute (p=0,025), fourth (p=0,034), 16th (p=0,044), 18th (p=0,08), 20th (0,06). Mean of the difference in second minute is 7 mmHg (SD=3,1), the fourth is 7,1 mmHg (SD=3,3), the 16th is 4,7 mmHg (SD=2,7), the 18th is 7,3 mmHg (SD=2,7), the 20 th is 7,1 mmHg (SD=2,5). There is no significant difference between two kind of the coloading fluids with umbilical cord pH and APGAR score. Conclusion: Giving coloading HES 130/0,4 is beƩer than coloading RL in prevenƟng changes in blood pressure at spinal anesthesia in caesarean secƟon. There is no significant difference in changes of heart rate and umbilical cord pH between coloading HES 130/0,4 and RL in spinal anesthesia in caesarean secƟon. Keywords: Spinal Anesthesia, Caesarean secƟon, coloading, HES 130/0,4
menyebabkan penurunan tekanan darah dan sirkulasi uteroplasenta. Pemberian coloading cairan kristaloid belum cukup efekƟf mencegah penurunan tekanan darah. Coloading HES 130/0,4 500 mL diharapkan lebih efekƟf karena memiliki efek intravaskular yang lebih lama. Tujuan: Mengetahui perbedaan tekanan darah, laju nadi, pH tali pusat setelah pemberian cairan coloading HES 130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar. Metode: PeneliƟan ini dilakukan dengan desain eksperimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 84 subyek ASA I dan II yang menjalani operasi bedah sesar dengan anestesia spinal. Tujuh subyek dikeluarkan dari peneliƟan dan subyek dibagi dua kelompok. 39 subyek masuk dalam kelompok kontrol mendapat coloading RL 1000 mL dan 38 subyek masuk dalam kelompok perlakuan mendapat coloading HES 130/0,4 500 mL. Tekanan darah dan laju nadi diperiksa seƟap dua menit setelah anestesia spinal. Setelah bayi lahir dilakukan penilaian skor APGAR dan pemeriksaan pH tali pusat. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara staƟsƟk antara rata-rata tekanan darah arteri rata-rata juga didapatkan setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,025), keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke18(p=0,08), ke-20 (0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua 7 mmHg (SD=3,1), keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke16 sebesar 4,7 mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,7), ke-20 sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Tidak terdapat perbedaan berbedaan bermakna antara Jenis cairan coloading dengan pH tali pusat dan skor APGAR. Kesimpulan: Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih baik dalam mencegah perubahan tekanan darah dibandingkan dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak terdapat perbedaan perubahan laju nadi dan pH tali pusat bayi antara coloading HES 130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Kata Kunci: Anestesia spinal, Bedah Sesar, coloading,
ABSTRAK
Aldy Heriwardito
Latar belakang: Anestesia spinal pada bedah sesar
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •1•
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
HES 130/0,4 LATAR BELAKANG
Anestesia spinal masih menjadi pilihan anestesia untuk bedah sesar. Anestesia spinal membuat pasien tetap dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesia pada anestesia spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umumnya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur anestesia spinal. Selain itu, anestesia spinal lebih superior karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit pada beberapa kasus, seperƟ preeklampsia berat. Anestesia spinal juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan bedah sesar dengan anestesia umum. Salah satu efek samping anestesia spinal adalah hipotensi. Jefferson menemukan insidens hipotensi ditemukan sebesar 52% pada peneliƟannya dan kejadian hipotensi masih dapat terjadi pada 20 menit pertama dilakukan anestesia spinal. Hipotensi akan menyebabkan ibu mual dan muntah selama operasi, serta bradikardia pada derajat yang lebih berat. Empat alternaƟf cara pencegahan hipotensi pada anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modifikasi teknik regional anestesia, modifikasi posisi dan kompresi tungkai pasien, pemberian cairan intravena. Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian cairan intravena merupakan cara yang mudah dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesia spinal. Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.2 Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preloading atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat dilakukan anestesia spinal. Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading Ɵdak memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.3,8 Clark dkk. membandingkan kejadian hipotensi antara kelompok pasien yang diberikan preloading dekstrosa 5% dalam ringer laktat sebanyak 1000 mL dan kelompok pasien yang Ɵdak diberikan preloading sebelum anestesia spinal pada pasien yang menjalani bedah sesar. Hasil yang didapatkan menunjukkan Ɵdak ada perbedaan yang bermakna antara dua kelompok tersebut. Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk mencegah efek samping hipotensi pada anestesia spinal namun Ɵdak menurunkan angka kejadian hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada peneliƟan Mojika dkk. yang membandingkan pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada operasi non-obstetrik.3 Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid karena bertahan lebih lama intravaskular. Keuntungan lain adalah jumlah volume koloid yang diperlukan untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.10 PeneliƟan mengenai pemberian preloading kristaloid atau koloid sebelum anestesia spinal untuk mencegah perubahan hemodinamik telah banyak dilakukan, namun
belum ada peneliƟan yang membandingkan pemberian kristaloid dan koloid pada saat anestesia spinal sebagai coloading sehingga penulis tertarik untuk meneliƟ masalah ini. Pada peneliƟan ini penulis akan menggunakan hetarstrach (HES) dengan berat molekul 130 dan koefisien subsƟtusi 0,4 sebagai coloading. PeneliƟan yang akan dilakukan memiliki metode yang berbeda dari peneliƟan- peneliƟan yang sudah ada. Cairan yang digunakan adalah HES 130/0,4 karena memiliki berbagai kelebihan. Berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan peneliƟan Nishikawa menyebabkan efek volume yang lebih besar. HES 130/0,4 memiliki efek reologi yang lebih baik dibandingkan dengan HES yang lain dan gelaƟn, sehingga oksigenasi jaringan lebih baik.15,16 Berat molekul 130 kD membuat ginjal Ɵdak terbebani untuk fungsi eliminasi.17 Pemberian HES akan bertahan lebih dari 20 menit intravaskular sehingga dengan pemberian setengah dari jumlah coloading kristaloid dapat memiliki efek volume yang sama namun bertahan lebih lama intravascular.10
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •2•
ALDY HERIWARDITO
METODE PENELITIAN
PeneliƟan ini merupakan peneliƟan yang bersifat eksperimental dengan rancangan uji klinik acak tersamar tunggal untuk membandingkan pemberian Ringer Laktat 1000mL dan HES 130/0,4 500mL saat dilakukan spinal anestesia pada bedah sesar terhadap kejadian hipotensi. Populasi peneliƟan adalah pasien yang menjalani operasi bedah sesar dengan anestesia spinal di RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto Mangunkusumo. PeneliƟan dilakukan di instalasi bedah pusat RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto Mangunkusumo periode waktu Februari sampai Mei 2010. Kriteria penerimaan adalah pasien wanita hamil berusia 2035 tahun, berat badan 50 – 80 kg, Ɵnggi badan 145-180 cm, status fisik ASA I - II, bersedia mengikuƟ peneliƟan. Kriteria penolakan adalah hipertensi dalam kehamilan, kehamilan risiko Ɵnggi, gawat Janin, gemelli, kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dl, infeksi pada daerah penyunƟkan, gangguan pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, deformitas tulang belakang, kelainan kardiovaskular. Sedangkan kriteria pengeluaran adalah terjadi komplikasi selama operasi yang membutuhkan dilakukan anestesia umum dalam 20 menit setelah dilakukan anestesia spinal, keƟnggian blok sensorik anestesia spinal kurang dari dermatom torakal enam, atau lebih dari torakal empat. PeneliƟan ini bersifat uji hipotesis terhadap 2 kelompok numerik Ɵdak berpasangan, maka besar sampel dicari dengan menggunakan rumus :
Penulis Ɵdak menemukan peneliƟan yang serupa, maka peneliƟ melakukan studi preleminari dan di dapatkan standar deviasi tekanan darah arteri rata-rata sebesar 5,4. Besarnya perbedaan yang dianggap bermakna sebesar lima milimeter air raksa. Maka besarnya perhitungan jumlah sampel untuk Ɵap kelompok sebesar:
Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel Ɵap kelompok minimal 38 orang. Dengan kemungkinan drop out sebesar 10 persen, sehingga jumlah sampel Ɵap kelompok sebesar 42 orang. Bahan yang digunakan dalam peneliƟan adalah HES 130/0,4, Ringer Laktat, Jarum Spinal 27G, Spuit 3 cc, Obatobatan seperƟ: Bupivakain 0,5 % Hiperbarik, perlengkapan sesuai standar anestesia umum (mesin anestesia, sumber oksigen, alat sucƟon, stetoskop, laringoskop, ETT, plaster, obat emergensi, dan sedasi), monitor tekanan darah non invasif, pulse oksimetri, elektrokardiografi. Cara kerja peneliƟan adalah sebagai berikut: 1. Kunjungan pra anestesia : Semua pasien yang memenuhi kriteria penerimaan, dicatat nama, umur, berat badan, Ɵnggi badan, pendidikan. Pasien diberikan penjelasan mengenai peneliƟan dan menandatangani informed consent . Penjelasan mencakup kerahasiaan data subyek peneliƟan dan hak pasien untuk menolak atau mengundurkan diri dalam peneliƟan. Diberikan premedikasi raniƟdin dan metoklopramid. 2. Dilakukan randomisasi sederhana dengan metoda amplop, pasien dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama akan mendapat coloading HES, kelompok kedua akan mendapat coloading Ringer laktat. Perlakuan lain adalah sama sesuai standar anestesia spinal. 3. Di kamar operasi dilakukan pemasangan monitor NIBP, saturasi oksigen, EKG serta dipasang akses intravena 18 G. Dilakukan pengukuran NIBP, laju nadi, dan saturasi yang selanjutnya dicatat sebagai nilai praanestesia. 4. Pasien pada posisi duduk dilakukan anestesia spinal dengan jarum spinal nomer 27 G pada L2-3, setelah didapatkan cairan serebrospinal mengalir lancar, dimasukkan zat anesteƟk lokal bupivakain 0,5% hiperbarik dengan jumlah 12,5 mg (2,5 cc). Saat dilakukan pemberian anesteƟk lokal, dilakukan coloading cairan RL sebanyak 1000mL dalam 10 menit pada kelompok pertama, dan HES sebanyak 500 mL maksimal dalam 10 menit pada kelompok kedua. 5. Pasien dibaringkan kembali dan dilakukan penilaian keƟnggian blok, jika keƟnggian blok mencapai dermatom torakal enam maka operasi dapat dimulai, pemeriksaan keƟnggian blok diulang seƟap dua menit dan dicatat keƟnggian blok maksimal. 6. Selama Ɵndakan pasien diberikan oksigen nasal kanul 3 liter permenit. Dan mendapat cairan rumatan RL sesuai 10 mL/Kg berat badan. 7. Dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan saturasi. Selanjutnya dicatat pada Ɵap 2 menit selama 20 menit pertama selanjutnya Ɵap 5 menit hingga menit ke 30. 8. Jika pasien mengalami hipotensi dapat dilakukan pemberian 5 mg efedrin dan dapat di ulang seƟap •
•
•
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 3•
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
9.
10. 11. 12.
2 menit. SeƟap pemberian efedrin di catat dalam lembar observasi. Setelah bayi lahir dilakukan pencatatan Apgar score pada menit pertama dan kelima. Analisa gas darah dari tali pusat diperiksa dan dilakukan pencatatan. Pasien diberikan oxytocin 20 IU drip setelah bayi lahir. Sepuluh menit sebelum operasi selesai diberi obat analgeƟk ketorolak 30mg IV. Setelah operasi selesai pasien ke ruang pulih dan dilakukan observasi tanda vital.
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan peneliƟan untuk mengetahui efek hemodinamik pada pemberian coloading Ringer Laktat 1000 mL dan HES 130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar. PeneliƟan ini dilakukan terhadap 84 subyek peneliƟan yang terbagi dalam dua kelompok secara randomisasi sederhana. Subyek peneliƟan memiliki kisaran umur 20 -35 tahun, berat badan 50-80 kg, dan status fisik ASA I dan ASA II. Tujuh subyek peneliƟan dikeluarkan karena keƟnggian blok Ɵdak mencapai torakal enam, dan dua diantaranya harus dilakukan anestesia umum, sehingga kelompok RL ber jumlah 39 dan kelompok HES 130/0,4 berjumlah 38. Tabel 1 menunjukkan deskripsi variabel-variabel yang diobservasi dan dicatat.
Gambar 1. Grafik rata-rata tekanan darah sistolik setelah pemberian RL dan HES 130/0,4
Tabel 1. Distribusi variabel diantara dua kelompok
Grup RL Umur Berat Badan Tinggi Badan Tekanan Darah Arteri Rata-rata praspinal* Laju Nadi praspinal* KeƟnggian Blok
29 (SD = 5,2) 66,1 (SD = 7,5) 155 (145168) 90 (74-110)
89 (SD=19,1) T5 (30,1%) T6 (69,9 %)
Grup HES 130/0,4 28 (SD = 3,7)
P
66,1 (SD = 8,2)
0, 438
155 (145-168)
0,740
91 (69-110)
0,366
90 (SD=12,4)
0,837
T5 (26 %) T6 (74 %)
0,431
0,251
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara staƟsƟk pada tekanan darah sistolik, diastolik, arteri ratarata, dan laju nadi pada pemeriksaan sebelum dilakukan anesthesia spinal. Hasil ini menunjukkan kedua kelompok memiliki karakterisƟk yang seragam sebelum dilakukan perlakuan. Terdapat perbedaan yang bermakna secara staƟsƟk antara rata-rata tekanan darah sistolik setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,023) dan ke-16 (p=0,041). Selisih ratarata pada menit kedua sebesar 7 mmHg (SD 2,9), dan pada menit ke-16 sebesar 5,9 mmHg (SD 2,84) . (gambar 1)
Gambar 2. Grafik rata-rata tekanan darah diastolik setelah pemberian RL dan HES 130/0,4
Terdapat perbedaan yang bermakna secara staƟsƟk antara rata-rata tekanan darah diastolik setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,042), keempat (p=0,036), ke-14 (p=0,029), ke-16 (p=0,020), ke-18(p=0,07), ke-20 (0,03), dan ke-25(p=0,027). Selisih rata-rata pada menit kedua 5,8 mmHg (SD=2,8), keempat sebesar 6 mmHg (SD=2,81), ke-14 sebesar 6 (SD=2,7), ke-16 sebesar 5,3(SD=2,3), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,62), ke-20 sebesar 7,5 (SD=2,42), dan ke-25 sebesar 5,5 (2,4). (gambar 2).
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 4•
ALDY HERIWARDITO
antara pH talipusat dan jenis cairan coloading. Tabel 2. Hubungan antara jenis cairan coloading dan pH.
Untuk mencari hubungan antara skor apgar dan jenis cairan coloading digunakan uji Kolmogorov Smirnov . Hasil uji staƟsƟk menununjukkan Ɵdak ada perbedaan yang bermakna antara jenis cairan dan skor Apgar menit pertama dan kelima.
Gambar 3. Grafik rata-rata tekanan darah arteri rata-rata setelah pemberian RL dan HES 130/0,4.
Tabel 3. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit pertama
Perbedaan yang bermakna secara staƟsƟk antara rata-rata tekanan darah arteri rata-rata juga didapatkan setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,025), keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke-18(p=0,08), ke-20 (0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua 7 mmHg (SD=3,1), keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke-16 sebesar 4,7 mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,7), ke-20 sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Perbedaan secara staƟsƟk rata-rata laju nadi hanya didapatkan pada menit ke -8 sebesar 7,8 (SD= 3,5) dengan nilai p = 0,027 (gambar 4). Tabel 4. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit kelima
Uji staƟsƟk yang digunakan untuk menentukan hubungan antara perbedaan pemberian efedrin dan jenis cairan coloading adalah Komolgorov Smirnov karena syarat uji chi kuadrat Ɵdak terpenuhi. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar jenis cairan coloading dan jumlah pemberian efedrin. Gambar 4. Grafik rata-rata laju nadi setelah pemberian RL dan HES 130/0,4.
Uji staƟsƟk yang digunakan untuk menentukan korelasi antara pH tali pusat dan jenis cairan coloading adalah t-test Ɵdak berpasangan. Hasil yang diperoleh adalah nilai p sebesar 0,705. Dengan demikian Ɵdak ditemukan korelasi
Uji staƟsƟk yang digunakan untuk menentukan hubungan antara jenis cairan coloading dan efek samping hipotensi adalah Komolgorov Smirnov. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antarjenis cairan coloading dan insiden terjadinya efek samping hipotensi.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 5•
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
Tabel 5. Hubungan antara pemberian efedrin dan jenis cairan coloading.
Tabel 6. Hubungan antara jenis cairan coloading dan efek samping hipotensi.
PEMBAHASAN
PeneliƟan ini adalah peneliƟan jenis cairan coloading, jenis cairan yang digunakan adalah koloid HES 130/0,4. PeneliƟan ini berbeda dari peneliƟan sebelumnya karena membandingkan secara langsung coloading kristaloid dan koloid. Tekanan onkoƟk koloid menjaga cairan lebih lama berada dalam intravaskular. Efek volume yang lebih lama inilah yang diharapkan membedakan tekanan darah pasca spinal antara pemberian cairan RL dan HES 130/0,4. PeneliƟan ini menggunakan subyek yang hampir sama yaitu ibu hamil. Pemilihan karakterisƟk subyek peneliƟan diharapkan mempertajam hasil peneliƟan. Usaha untuk membatasi karakterisƟk subyek dengan pembatasan usia, Ɵnggi badan, dan status fisik ASA. KeƟnggian blok adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik. Sehingga keƟnggian blok lebih dari kurang dari torakal enam dan lebih dari torakal empat dikeluarkan. Faktorfaktor yang mempengaruhi keƟnggian blok juga diseragamkan seperƟ barisitas, volume, dosis anesteƟk lokal, dan posisi penyunƟkan. KarakterisƟk umur, berat badan, dan Ɵnggi badan dibatasi sehingga diharapkan kedua kelompok memiliki karakterisƟk tekanan intraabdomen yang hampir sama. Randomisasi sederhana dilakukan untuk menentukan kelompok perlakuan. Penggunaan plasebo dihindari pada peneliƟan ini untuk mencegah terjadinya hipotensi dan bahayanya perfusi organ yang buruk pada subyek peneliƟan. Standar yang digunakan adalah coloading RL karena telah terbukƟ mencegah terjadinya hipotensi.9 Perhitungan besar sampel menggunakan standar
deviasi rerata tekanan darah arteri rata-rata yang dilakukan studi sebelum dilakukan peneliƟan ini sebesar 5,4. Perbedaan tekanan darah arteri rata-rata yang diaggap bermakna sebesar lima milimeter air raksa. Pemeriksaan tekanan darah dan laju nadi sebelum dilakukan anestesia spinal menunjukkan Ɵdak berbeda bermakna secara staƟsƟk. Kedua kelompok memiliki karakterisƟk hemodinamik yang sama. Pemeriksaan rata-rata tekanan darah sistolik yang lebih Ɵnggi pada kelompok perlakuan (HES 130/0,4) dibandingkan dengan kelompok kontrol (RL) terutama bermakna secara staƟsƟk pada pengukuran menit kedua dan ke-16. Rerata tekanan darah arteri rata-rata kelompok perlakuan lebih Ɵnggi dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol pada pengukuran menit kedua, keempat, ke-16, ke18, dan ke-20. Perbedaan tekanan darah yang terjadi sebesar empat sampai tujuh milimeter air raksa. Hasil ini menunjukkan bahwa coloading 500 mL HES 130/0,4 memiliki efek mencegah perubahan tekanan darah yang lebih baik dibandingkan dengan coloading 1000 mL RL. Perbedaan rata-rata tekanan darah terjadi hingga menit ke-20 pasca dilakukan anestesia spinal. Efek volume intravaskular HES 130/0,4 meningkatkan preload jantung yang akhirnya meningkatkan isi sekuncup, dimana laju nadi tetap konstan. PeneliƟan ini menunjukkan Ɵdak adanya perubahan yang besar terhadap laju nadi pada dua kelompok. PeneliƟan Karinen 26 menunjukkan preloading koloid lebih baik dalam mencegah perubahan hemodinamik dibandingkan dengan kristaloid, dengan demikian koloid dapat diberikan secara coloading atau preloading untuk mencegah perubahan hemodinamik. PeneliƟan Karinen mengukur tekanan vena sentral pada subyek peneliƟannya. Didapatkan peningkatan tekanan vena sentral yang signifikan setelah 10 menit cairan diberikan. Jumlah cairan yang lebih besar (15 mL/Kg) diberikan pada peneliƟan Teoh 13 didapatkan pemberian koloid preloading lebih baik dalam meningkatkan curah jantung dibandingkan dengan coloading sampai Ɵga menit pasca spinal anestesia. PeneliƟan ini menggunakan teknik pemberian cairan secara coloading karena dengan cara ini diharapkan preload jantung akan lebih besar. Preloading akan menyebabkan pelepasan hormon ANP (Atrial NatriureƟc PepƟde) yang lebih besar. ANP dilepaskan karena adanya sƟmulus regangan otot jantung, regangan ini terjadi karena jantung terisi cairan preloading. Efek pelepasan ANP adalah penurunan tekanan darah akibat meningkatnya permeabilitas, meningkatnya kapasitas vena, dan diuresis.13,14 Pemberian cairan secara coloading diharapkan dapat memaksimalkan ekspansi volume akibat pemberian cairan. Pengukuran tekanan darah arteri rata-rata menunjukkan nilai rerata yang lebih Ɵnggi pada kelompok kontrol hingga pengukuran menit ke-18 dan ke-20. Hal ini menunjukkan efek volume HES 130/0,4 masih bertahan intravaskular hingga 20 menit pasca coloading. HES 130/0,4 lebih lama dalam intravaskular karena memiliki tekanan koloid onkoƟk yang besar dan HES memiliki waktu paruh hingga dua jam. Meskipun tekanan darah sistolik dan arteri rata-rata kelompok perlakuan lebih Ɵnggi, akan tetapi Ɵdak terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata pH tali pusat. Hasil
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 6•
ALDY HERIWARDITO
yang serupa juga ditunjukkan pada peneliƟan Nishikawa,12 Teoh,13 dan Karinen26. Sistem uteroplasenta Ɵdak memiliki autoregulasi, karena pembuluh darah plasenta sudah berdilatasi penuh. Perfusi uteroplasenta hanya bergantung pada tekanan darah ibu hamil. Batas tekanan darah terendah yang masih dapat dikompensasi untuk menjamin perfusi uteroplasenta manusia yang masih baik sampai saat ini belum dapat ditentukan.4 PeneliƟan pada hewan coba menunjukkan penurunan aliran darah uteroplasenta hingga 30% dan kurang dari 10 menit masih dapat ditoleransi oleh janin. Hal inilah yang membuat pH tali pusat Ɵdak berbeda pada dua kelompok tersebut. PeneliƟan Karinen menunjukkan pemeriksaan pulsaƟlity index pada arteri maternal dengan dopler menun jukkan perfusi yang Ɵdak berbeda bermakna pada kelompok yang memiliki insiden hipotensi lebih Ɵnggi.26 Pemeriksaan laktat pada arteri umbilikal pun menun jukkan Ɵdak ada perbedaan pada berbagai kelompok yang memiliki insiden hipotensi yang berbeda.12 Tidak terdapat perbedaan skor apgar yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil ini juga serupa dengan peneliƟan peneliƟan sebelumnya. Autoregulasi sistem uteroplasenta yang membuat perfusi janin tetap baik menyebabkan skor apgar tetap baik pula. Efedrin diberikan jika tekanan darah arteri rata-rata kurang dari 20 % tekanan darah arteri rata-rata pra spinal anestesia. Hasil peneliƟan ini menunjukkan kebutuhan pemberian efedrin yang Ɵdak berbeda bermakna antara dua kelompok. Kriteria pemberian vasokonstriktor sangat berkaitan dengan hasil ini. PeneliƟan Dyer yang menggunakan kriteria pemberian vasokonstriktor jika terjadi penurunan 10 % dari tekanan darah arteri rata-rata pra anestesia, menun jukkan kebutuhan vasokonstriktor yang lebih besar. Jadi kriteria ini menentukan pula kebutuhan dan perbedaan yang terjadi antara kelompok perlakuan dan kontrol. SIMPULAN Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih baik dalam menjaga tekanan darah dibandingkan dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak terdapat perbedaan laju nadi antara coloading HES 130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak terdapat perbedaan pH talipusat bayi antara coloading HES 130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. SARAN Pemberian cairan masih dianjurkan untuk mencegah perubahan hemodinamik dan efek sampingnya pada anestesia spinal untuk bedah sesar. Kombinasi dengan teknik lain dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Perlu dilakukan peneliƟan lebih lanjut terhadap efek coloading HES 130/0,4 terhadap curah jantung, kadar laktat darah tali pusat, dan tekanan onkoƟk koloid ibu hamil dibandingkan dengan coloading RL. Perlu dilakukan pula peneliƟan tentang jenis dan jumlah cairan koloid terbaik untuk mencegah hipotensi.41
DAFTAR PUSTAKA 1. Paech M. Anesthesia for Cesarean SecƟon. In Palmer CM, D’Angelo R, eds. Handbook of Obstetric Anesthesia. Oxford: BIOS ScienƟfic Publishers Limited; 2002: 81-113. 2. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The NaƟonal InsƟtute of Clinical Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean secƟons: implicaƟons for the anaestheƟst. InternaƟonal Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p. 147-58. 3. Mojica JL, Melendez HJ, BauƟsta LE. The Timing of Intravenous Crystaloid AdministraƟon and Incidence of Cardiovascular Side Effect During Spinal Anesthesia: The Results from a Randomized Controlled Trial. Anesth Analg 2002; 94: 432-7. 4. Skillman C. Effect of graded reducƟons in uteroplacental blood flow on the fetal lamb. Am J Physiol Heart Circ Physiol 1985; 249(6): 1098-105. 5. NN. www.anzca.edu.au/fellows/.anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-forcaesarean-birth.html. [Online].; 2009 [cited 2009 Februari 12. Available from: www.anzca.edu.au/fellows/. anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-for-caesarean-birth.html. 6. Mercier FJ. Phenylephrine added to prophylacƟc ephedrine infusion during spinal anesthesia for elecƟve cesarean secƟon. Anesthesiology 2001; Sep; 95: 668-74. 7. Ben-David B. Low-dose bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean delivery. Reg Anesth Pain Med 2000; 25: 235-9. 8. Morgan PJ. The Effect of Increasing Central Blood Volume to Decrease the Incidence of Hypotension Following Spinal Anesthesia for Cesarean SecƟon. In Halpern SH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric Anesthesia. MassacuseƩs: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100. 9. Jefferson. Pencegahan Hipotensi dan Efek Samping Hipotensi Akibat Anesthesia Spinal pada Bedah Sesar ElekƟf: Perbandingan Antara Pemberian Ringer Laktat Saat Dilakukan Anestesia Spinal dengan 20 menit Sebelum Tindakan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005. 10. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Expansion with Rapidly Administered Crystalloid or Colloid in the Seƫ ng of Moderate Hypovolemia. Anesth Analg 2003; 96: 1572-7. 11. Singh U, Saha U. PrevenƟon of Hypotension Following Spinal Anesthesia for Caesarean SecƟon-Comparison of Volume Preloading with Ringer Lactate & 6% Hydroxyetyl Starch (HES 130/0,4). Journal Anaesth Clin Pharmacol 2009; 25: 54-8. 12. Nishikawa K, Naho Y, Saito S, Goto F. Comparasion of Effects of Rapid Colloid Loading Before and AŌer Spinal Anesthesia on Maternal Hemodynamics and Neonatal Outcomes in Cesarean SecƟon. Journal of Clinical Monitoring and CompuƟng 2007; 21: 125-9. 13. Teoh W. Colloid Preload Versus Coload for Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery: The Effects on Maternal Cardiac Output. Anesth Analg ; 2009; 108: 1592-8. 14. Levin E. NatriureƟc PepƟdes. The New England Journal
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 7•
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
of Medicine 1998 Sep; 339(5): 321-8. 15. Standl T. Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Provides Larger and Faster Increases in Tissue Oxygen Tension in Comparison with PrehemodiluƟon Values than HES 70/0.5 or HES 200/0.5 in Volunteers Undergoing Acute Normovolemic HemodiluƟon. Anesth Analg 2003; 96: 936 –43. 16. Onal B, Yuceyar L, Erolcay H, Ercan M. The effect of HES vs. gelaƟn soluƟons on blood rheology, plasma oncoƟc pressure and serum osmolality. European Journal of Anaesthesiology 2002; 19: 15-6. 17. Jungheinrich C. PharmacokineƟc and Tolerability of an Intravenous Invusion of a New HES 130/0,4 (0,6%, 500mL) in Mild to Severe Renal Impairment. Anesth Analg. 2002; 95: p. 544-5. 18. Dubois MJ, Vincent JL. Colloid Fluids. In Hahn RG, ed. PerioperaƟve Fluid Therapy . New York: Informa Healthcare USA, Inc.; 2007. p. 153-61. 19. Waschke K, Frietsc T. SelecƟon of Adequate SubsƟtute for Intravascular Volume Replacement. InternaƟonal Journal of Intensive Care 1999; winter: 135-43. 20. Afolabi BB. Regional versus general anaesthesia for caesarean secƟon (Review). Cochrane CollaboraƟon 2006 Oct; 4(4): 1-44. 21. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, Epidural, & Caudal Blocks. In Morgan E, Mikhail M, Murray M, editors. Clinical Anesthesiology , Fourth EdiƟon. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2006: 289-323. 22. Hartman B. The Incidence and Risk Factors for Hypotension AŌer Spinal Anesthesia InducƟon: An Analysis with Automated Data CollecƟon. Anesth Analg 2002; 94: 1521–9. 23. Klasen J. Differing Incidences of Relevant Hypotension with Combined Spinal-Epidural Anesthesia and Spinal Anesthesia. Anesth Analg 2003; 96: 1491–5. 24. Morgan GE. Spinal, Epidural, & Caudal Blocks. In Clinical Anesthesiology , Fourth EdiƟon. New York: McGrawHill Companies, Inc; 2006. 25. Bose M, Kini G, Krishna H. Comparison of Crystaloid Preloading versus Crystalloid Coloading to Prevent Hypotension and Bradycardia following Spinal Anesthesia. Journal Anesth Clinic Pharmacol 2008; 24: 53-6. 26. Karinen J. Effect of crystalloid and colloid preloading on uteroplacental and maternal haemodynamic state during spinal anaesthesia for Caesarean secƟon. BriƟsh Journal of Anaesthesia 1995; 75: 531–35. 27. Park G, Martha A. The Effects of Varying Volumes of Crystalloid AdministraƟon Before Cesarean Delivery on Maternal Hemodynamics and Colloid OsmoƟc Pressure. 1996; 83: 299-303. 28. Prough DS, Svensen CH. Crystalloid SoluƟon. In Hahn RG. PerioperaƟve Fluid Therapy . New York: Informa Healthcare USA, Inc.; 2007: 137-51. 29. Traylo RJ, Pearl RG. Crystaloid versus Colloid versus Colloid: All Coloid ar not Equal: Anesth Analg; 1996. 30. Waschke K, Frietsc T. SelecƟon of Adequate SubsƟtute for Intravascular Volume Replacement. InternaƟonal Journal of Intensive Care 1999; Winter.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 8•
I LAPORAN PENELITIAN I
KeefekƟfan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar The EffecƟveness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25 mcg Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean SecƟon Bintartho A, Pryambodho, Susilo
ABSTRACT
Keywords: spinal anaesthesia, bupivacaine, fentanyl, caesarean secƟon, hypotension
Background: Hypotension can be a serious threat to mother and baby in spinal anaesthesia during caesarean secƟon. In order to decrease the incidence of hypotension, we can lower the dose of local anaesthesia and add lipophilic opioid to keep the quality of analgesia. This study tried to compare the used of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% plus 25 mcg fentanyl with 12,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% only, a common spinal anaesthesia regiment used in Cipto Mangunkusumo General Hospital. Method: One hundred and eight parturient, who meet the inclusion criteria, divided into 2 groups, 54 parturient in group I received 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% plus fentanyl 25 mcg, 54 parturient in group II received 12,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% as a control group. Vital sign, hypotension, total ephedrine, sensory and motor block profile, nausea and vomiƟng, pruritus, respiratory depression, and APGAR score were observed unƟl 60 minutes aŌer the spinal anaesthesia. Result: Hypotension was found in 13 parturient (24,1%) in group I and 23 parturient (42,6%) in group II. Dif ference between groups was staƟsƟcally significant. Mean of total ephedrine was found significantly different (13,04 (±5,98) vs 5,38 (±1,38) mg). Sensory block at 60 minutes (T6 (T5-T8) vs T6 (T4-T8)) was found staƟsƟcally different, Ɵme to reach maximal motor block (6,94 (±2,39) vs 4,33 (±2,89) minutes), maximum motor block (3 (2-3) vs 3 bromage scale), and motor block at 60 minutes (2 (1-3) vs 3 (23) bromage scale), were found significantly different. Other sensory block profile, Ɵme to reach Th6 (3,94 (±1,4) vs 3,55 (±1,17) minutes), Ɵme to reach maximal sensory block (5,83 (±1,22) vs 5,94 (±0,91) minutes), and highest sensory block (T5 (T4-T6) vs T4 (T3-T6)), were not found different. Nausea and vomiƟng, pruritus, and APGAR score were not found different, and no respiratory depression was found. Conclusion: Spinal anaesthesia using combinaƟon of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% plus fentanyl 25 mcg is more effecƟve compared with 12,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% alone for caesarean secƟon. It has an effecƟve intraoperaƟve analgesia and more stabile hemodynamic effect.
ABSTRAK Latar belakang: Hipotensi merupakan suatu komplikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah sesar. Salah satu cara untuk mengurangi risiko hipotensi, yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal dan menambahkan opioid lipofilik untuk mempertahankan kualitas analgesia. PeneliƟan ini mencoba membandingkan penggunaan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang sering digunakan di RSCM. Metode: Sebanyak 108 parturien yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu 54 parturien pada kelompok I mendapat 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan 54 lainnya pada kelompok II mendapat 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik sebagai kontrol. Dilakukan pencatatan berkala mulai dari sebelum hingga 60 menit pasca Ɵndakan spinal terhadap beberapa variabel antara lain: tanda vital, kejadian hipotensi, jumlah total pemberian efedrin, profil blokade sensorik dan motorik, mual muntah, pruritus, depresi napas, dan nilai APGAR. Hasil: Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok I dan 42,6% (23 pasien) dari kelompok II mengalami hipotensi, dan perbedaannya bermakna secara staƟsƟk. DidapaƟ rerata total pemberian efedrin yang berbeda bermakna (13,04 (±5,98) vs 5,38 (±1,38) mg), blokade sensorik saat 60 menit yang berbeda bermakna secara staƟsƟk (T6 (T5-T8) vs T6 (T4-T8)), waktu tercapainya blokade motorik maksimal (6,94 (±2,39) vs 4,33 (±2,89) menit), blokade motorik maksimal (3 (2-3) vs 3 skala bromage), blokade motorik saat 60 menit (2 (1-3) vs 3 (2-3) skala bromage) yang berbeda
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •9•
Bintartho A, Pryambodho, Susilo Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean Section
bermakna. Perbedaan waktu tercapainya blokade sensorik seƟnggi T6 (3,94 (±1,4) vs 3,55 (±1,17) menit), waktu tercapainya Ɵnggi blokade sensorik maksimal (5,83 (±1,22) vs 5,94 (±0,91) menit), Ɵnggi blokade sensorik maksimal (T5 (T4-T6) vs T4 (T3-T6)) Ɵdak berbeda bermakna. Efek samping mual muntah, pruritus, dan nilai APGAR menit pertama juga Ɵdak berbeda bermakna dan Ɵdak ditemukan depresi napas. Kesimpulan: Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih efekƟf dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraoperaƟf yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil. Kata kunci: anestesia spinal, bupivakain, fentanil, bedah sesar , hipotensi. LATAR BELAKANG
Sejak Augustus Bier memperkenalkan anestesia spinal pada tahun 1899, penggunaannya semakin luas karena murah, reliabel, dan efekƟf.1 Dalam bidang anestesia obstetrik, anestesia spinal pun lebih sering digunakan pada bedah sesar dibandingkan anestesia umum. Berdasarkan data di Instalasi Gawat Darurat RSUPNCM periode Januari– Juni 2008, 90% dari 645 bedah sesar yang tercatat menggunakan teknik anestesia spinal.2 Penggunaan anestesia regional pada bedah sesar meningkat karena Ɵngginya risiko komplikasi jalan napas pada anestesia umum. Angka mortalitas ibu yang men jalani bedah sesar dengan anestesia umum hampir 17 kali lebih Ɵnggi dibandingkan setelah penggunaan anestesia regional.3,4 Keuntungan lain adalah mula kerja dan masa pulih anestesia yang cepat, relaƟf mudah, kualitas blokade sensorik dan motorik yang baik, serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat kelahiran bayinya.4,5 Namun, hipotensi yang terjadi karena penurunan tahanan vaskular sistemik akibat hambatan simpaƟs tetap menjadi sebuah permasalahan tersendiri.3,4 Keadaan ini dapat membahayakan ibu maupun bayi. Hipotensi berkaitan dengan Ɵngginya blokade spinal. Semakin Ɵnggi blokade spinal, mekanisme kompensasi akibat hambatan simpaƟs pun akan semakin ditekan.4,6 Angka kejadian hipotensi akibat anestesia spinal pada pasien bedah sesar bervariasi dan cukup Ɵnggi.7 Chung dkk. (12 mg bupivakain hiperbarik 0,5%), mendapatkan insidens hipotensi 80%.8 PeneliƟan Riley dkk. dan Siddik-Sayyid dkk. (12 mg bupivakain hiperbarik 0,75%), mendapatkan insidens hipotensi sebesar 85% dan 87%.9,10 Bryson dkk., serupa dengan Chung, mendapatkan insidens hipotensi yang lebih dari 70%.11 Sementara itu, Bogra dkk., Suwardi, dan Akmal (12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5%) mendapatkan insidens hipotensi sebesar 50%, 46%, 42%.12-14 Penggunaan anesteƟk lokal dengan dosis yang lebih kecil Ɵdak memblok serabut saraf simpaƟs di daerah atas sehingga hipotensi Ɵdak terjadi. Penggunaan dosis kecil akan memperkecil risiko Ɵmbulnya toksisitas sistemik obat anesteƟk lokal.15,16 Namun, dosis yang rendah akan berpengaruh terhadap kualitas dan durasi anestesia spinal.
Ginosar dkk. melakukan peneliƟan untuk mencari ED50 dan ED95 dari bupivakain untuk anestesia spinal pada bedah sesar. Hasilnya didapatkan ED50 dan ED95 adalah sebesar 7,6 mg dan 11 mg. 17 Di RSCM dosis bupivakain yang paling sering digunakan pada bedah sesar adalah 12,5 mg.2 Beberapa peneliƟ menurunkan dosis bupivakain dan menambahkan opioid lipofilik intratekal untuk mengurangi hipotensi dan mempertahankan kualitas anestesia yang baik. Fentanil merupakan opioid lipofilik yang banyak digunakan dan mudah didapat. Hunt dkk. menyebutkan bahwa penambahan 6,25-50 mcg fentanil intratekal akan meningkatkan periode analgesia perioperaƟf pada anestesia spinal dengan bupivakain hiperbarik, tetapi Ɵdak mempengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik.18 Pada peneliƟan ini, kami mencoba membandingkan anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada bedah sesar. METODOLOGI
PeneliƟan eksperimental, uji klinik acak tersamar tunggal ini dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta setelah mendapatkan persetujuan dari PaniƟa Tetap Penilai EƟk dan persetujuan tertulis dari pasien yang telah mendapatkan penjelasan sebelumnya, dalam periode November 2009-Januari 2010. Jumlah sampel total adalah 108 orang, yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Dilakukan randomisasi sederhana berdasarkan amplop pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi . Pasien Ɵdak diberikan premedikasi sedasi. IdenƟtas pasien dicatat, antara lain: nama, usia, jenis kelamin, berat badan (BB), dan Ɵnggi badan (TB). Setelah pasien masuk ruang operasi, dibaringkan telentang, dipasang monitor EKG, tensimeter, saturasi oksigen, dan diberikan oksigen melalui kanul nasal 2-3 L/menit. Dilakukan pencatatan data awal berupa tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi napas. Coloading cairan ringer laktat 500 mL dilakukan bersamaan dengan anestesia spinal. Sebelum dilakukan anestesia spinal, obat anesteƟk lokal disiapkan terlebih dahulu dalam spuit 3 mL. Pada kelompok I, diberikan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil, dengan total volume 2 mL. Untuk kelompok II, 12,5 mg diberikan bupivakain 0,5% hiperbarik, dengan total volume 2,5 mL. Pasien diposisikan miring (lateral dekubitus), kemudian kaki dan kepala difleksikan sehingga terlihat membungkuk. Dilakukan Ɵndakan asepƟk dan anƟsepƟk pada lapangan tempat penyunƟkan. Pungsi lumbal dilakukan dengan menggunakan jarum Quincke ukuran 27 G pada vertebra lumbal seƟnggi garis imajiner Tuffier atau seƟnggi sela vertebra lumbal 3-4 atau 4-5. Ujung jarum berada di ruang subaraknoid yang ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal dari l umen jarum spinal. AnesteƟk lokal kemudian disunƟkkan dengan kecepatan 0,2 mL/deƟk. Spuit kemudian dilepaskan dari jarum spinal dan tampak cairan serebrospinal mengalir untuk memasƟkan posisi ujung jarum spinal tetap berada di ruang subaraknoid dan anesteƟk lokal telah masuk kedalam ruang subaraknoid, kemudian jarum dicabut. Segera
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •10•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
setelah selesai, pasien dikembalikan pada posisi telentang horizontal, kepala diganjal bantal dan panggul kanan diganjal kolf cairan 500 mL. Dilakukan pemantauan tekanan darah, frekuensi nadi, pernapasan, dan saturasi oksigen. Dicatat tanda vital menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18, 20, 30, 40, 50, dan 60 setelah obat habis disunƟkkan. Jika tekanan darah sistolik turun hingga kurang dari 90 mmHg, diberikan efedrin 5 mg intravena. Pemberian efedrin dapat diulang Ɵap 60 deƟk hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg. Dilakukan pencatatan waktu tercapainya hambatan sensorik T6, dan Ɵnggi blok maksimal dengan menggunakan tes tusuk jarum ( pinprick ) serta hambatan motorik dengan menggunakan skala Bromage, beserta waktunya. Setelah bayi lahir, skor APGAR menit pertama dicatat. Dilakukan pencatatan efek samping yang terjadi seperƟ mual muntah dan depresi napas. Setelah 60 menit peneliƟan selesai, prosedur selan jutnya sesuai standar yang berlaku di RSCM. Bila sebelum operasi selesai pasien mengeluh kesakitan, teknik anestesia dapat dikonversi menjadi anestesia umum sesuai standar yang berlaku di RSCM. Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pulih. Untuk tambahan analgeƟk pascaoperasi diberikan ketoprofen supositoria. Bila telah memenuhi skor AldreƩe Modifikasi di atas 8, pasien dipindahkan ke ruang rawat. Data yang didapat dari kedua kelompok akan diolah dan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular atau diagram. Perhitungan staƟsƟk dilakukan dengan menggunakan program komputer StaƟsƟcal Package for Social Science (SPSS) ver. 17.0. Uji staƟsƟk yang dilakukan adalah perbandingan dua proporsi menggunakan uji Chi square dan perbandingan nilai rata-rata dengan standar deviasi menggunakan uji student t-test independent untuk melihat perbedaan hasil antara dua kelompok dengan perlakuan yang berbeda. Nilai kemaknaan p<0,05 jika menunjukan perbedaan bermakna atau p>0,05 jika Ɵdak menunjukkan perbedaan yang bermakna. HASIL
Telah dilakukan peneliƟan untuk menilai keefekƟfan (kestabilan hemodinamik dan analgesia intraoperasi yang baik) anestesia spinal pada pasien yang menjalani bedah sesar dengan menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok I) dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebagai kontrol. PeneliƟan dilakukan terhadap 108 pasien, yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 54 pasien. Tidak ada subjek peneliƟan yang dikeluarkan (drop out ). KarakterisƟk demografik pasien yang menjalani peneliƟan dapat dilihat pada Tabel 1. Perbandingan kelompok I dan kelompok II Ɵdak ada perbedaan bermakna. Efek hemodinamik dinilai berdasarkan angka ke jadian hipotensi dan jumlah efedrin yang diberikan. Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok I) mengalami hipotensi, sedangkan pada kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebanyak 42,6% (23 pasien) yang mengalami hipotensi (Gambar 1). Dari uji staƟsƟk yang dilakukan, perbandingan kedua hasil
ini menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan nilai p, yaitu 0,041. Tabel 1. Data demografik pasien
Kelompok I (n=54)
Kelompok II (n=54)
Mean (±SD)
Mean (± SD)
Usia (tahun)
29.35 (±4.82)
30.26 (±4.65)
0.322*
Berat badan (kg)
63.94 (±5.51)
63.5 (±5.79)
0.684
Tinggi badan (cm)
153.42 (±5.2)
151.29 (±4.89)
0.051
TD sistolik menit awal (mmHg)
123.53 (±5.02)
124.5 (±4.89)
0.428
TD diastolik menit awal (mmHg)
78.25 (±5.16)
77.51 (±4.05)
0.096
96.53 (±11.28)
94.5 (±9.86)
0.082
17.79 (±3.06)
17.5 (± 3.06)
0.615
2821.29 (±528.84) 52.31 (±9.3)
2849.81 (±527.17) 49.72 (±8.81)
7 (13%)
6 (11,1%)
SMP
21 (38,9%)
21 (38,9%)
SMA
24 (44,4%)
24 (44,4%)
2 (3,7%)
3 (5,6%)
1
17 (31,5%)
19 (35,2%)
2
37 (68,5%)
35 (64,8%)
4 (7,4%)
3 (5,6%)
50 (92,6%)
51 (94,4%)
Variabel
Frekuensi nadi awal (kali/ menit) Frekuensi nafas awal (kali/menit) Berat Lahir Bayi (g) Lama Operasi (menit)
Pendidikan^ :
SD
PT ASA ^
Operasi ^
:
:
Elektif Cito
P
0.926* 0.140*
0,953
0,683
0,696
Analisis staƟsƟk menggunakan uji Mann-Withney * Menggunakan uji T ^ Ditampilkan dalam bentuk proporsi; menggunakan uji Chi Square
Gambar 1. Insidens kejadian hipotensi Kelompok I memiliki rerata total pemberian efedrin sebesar 5,38 (±1,38) mg, yang secara staƟsƟk terdapat per-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •11•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean Section
bedaan bermakna (p<0,05) dengan rerata total pemberian efedrin pada kelompok II, yaitu sebesar 13,04 (±5,98) mg. Nilai rerata ini didapatkan dari penjumlahan total efedrin yang diberikan dibagi jumlah subjek yang mendapat efedrin. Distribusi pemberian efedrin total dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 4. Sebaran ketinggian blokade sensorik menit ke60
Gambar 2. Distribusi total jumlah pemberian efedrin Profil blokade sensorik dilihat dari waktu tercapainya blokade sensorik seƟnggi T6, waktu tercapainya Ɵnggi blokade sensorik maksimal, keƟnggian blokade sensorik maksimal, dan keƟnggian blokade sensorik saat 60 menit. Untuk profil blokade motorik, dilihat dari waktu tercapainya blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala blokade motorik saat menit ke 60. Waktu untuk tercapainya blokade sensorik seƟnggi dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya pembedahan. Hasilnya adalah 3,94 (±1,4) menit dan 3,55 (±1,17) menit pada kelompok I dan kelompok II. Perbandingan keduanya Ɵdak berbeda bermakna secara staƟsƟk dengan nilai p>0,05. Dari hasil yang didapat, waktu tercapainya keƟnggian blokade sensorik maksimal Ɵdak berbeda bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). KeƟnggian blokade sensorik pada menit ke-60 antara kelompok I dan kelompok II berbeda bermakna secara staƟsƟk. Sebaran keƟnggian blokade sensorik terlihat pada Gambar 3 dan 4. Perbandingan profil blokade motorik antara kedua kelompok, yang tergambar dari waktu tercapainya blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala blokade motorik saat menit ke-60, keƟganya memberikan hasil yang berbeda bermakna secara staƟsƟk (Tabel 2).
Tabel 2. Waktu dan skala blokade motorik Kelom pok 1 Mean (±SD)
Kelom pok 2 Mean (±SD)
6.94 (±2.39)
4.33 (±2.89)
Median (min-maks)
Median (min-maks)
Blok Motorik maksimal (skala bromage)
3 (2-3)
3
0,005*
Blok Motorik saat 60 menit (skala bromage)
2 (1-3)
3 (2-3)
0,002*
Variabel
Waktu Tercapainya Blok Motorik Maksimal
P
0.001
Menggunakan Uji Mann-Whitney; *menggunakan Uji Chi Square Efek lain dari teknik anestesia spinal terhadap ibu dan bayi yang diobservasi adalah kejadian mual muntah, pruritus, depresi napas, dan nilai APGAR menit pertama. Hasil yang didapatkan, yaitu mual muntah terjadi pada kelompok I dan kelompok II sebanyak 15 (27,8%) dan 17 (31,5%) pasien, sedangkan efek pruritus terjadi pada 3 (5,6%) dan 0 pasien.
Gambar 5. Sebaran nilai APGAR menit pertama Gambar 3. Sebaran blokade sensorik maksimal • Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •12•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
Perbandingan yang dilakukan terhadap dua efek samping ini Ɵdak bermakna secara staƟsƟk. Pada kedua kelompok Ɵdak didapatkan efek samping depresi napas. Nilai APGAR menit pertama Ɵdak berbeda bermakna secara staƟsƟk pada kedua kelompok, dengan nilai p 0,893. Pada peneliƟan ini didapaƟ nilai APGAR 0 pada 2 kelompok yang disebabkan kondisi intrauterine fetal death (IUFD) sebelum dilakukan Ɵndakan anestesia dan pembedahan. Datanya Ɵdak diikutkan dalam pengolahan uji staƟsƟk. Sebaran nilai APGAR menit pertama dapat dilihat pada Gambar 5. PEMBAHASAN
Penggunaan opioid lipofilik intratekal yang ditambahkan pada bupivakain hiperbarik semakin populer untuk mengurangi dosis anesteƟk lokal dan mempertahankan kualitas analgesia. Dasar dari penambahan opioid pada anesteƟk lokal adalah efek sinergisƟk yang dihasilkan. Blokade kanal ion natrium oleh anesteƟk lokal dan kanal ion kalsium oleh opioid akan saling menguatkan efek.15,19 PeneliƟan ini membandingkan dua kelompok pasien yang men jalani bedah sesar dengan modalitas anestesia spinal yang berbeda. Kelompok I menggunakan obat bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan kelompok II menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg sebagai kelompok kontrol. KarakterisƟk pasien pada kelompok I dan kelompok II, berdasarkan usia, berat badan, Ɵnggi badan, dan status ASA Ɵdak memiliki perbedaan bermakna. Dengan demikian, kedua kelompok ini layak untuk dibandingkan. Demikian pula dengan data dasar tekanan darah awal dan frekuensi nadi awal antara kedua kelompok juga Ɵdak terdapat perbedaan bermakna. Pada peneliƟan ini didapatkan angka kejadian hipotensi sebesar 42,6% pada kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebagai kelompok kontrol. Angka yang didapatkan ini hampir sama dengan hasil yang dikemukakan oleh beberapa peneliƟan sebelumnya. Bogra dkk. pada tahun 2004, melakukan peneliƟan dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada 20 pasien mendapatkan angka kejadian hipotensi sebesar 50% pada kelompok tersebut.12 Sementara itu, Suwardi (2005) dan Akmal (2008) dengan obat yang sama pada 43 dan 90 pasien mendapatkan angka kejadian hipotensi sebesar 46% dan 42%. 13,14 PeneliƟan Bogra, Suwardi, dan Akmal menggunakan populasi yang sama dengan peneliƟan ini. Berdasarkan hal tersebut, rerata risiko hipotensi antara 42-50% dalam penggunaan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg untuk bedah sesar. Dengan menurunkan dosis obat anesteƟk lokal pada anestesia spinal diharapkan dapat menurunkan angka kejadian hipotensi. Namun, dosis yang rendah berkaitan dengan blokade sensorik (analgesia) yang kurang efekƟf untuk pembedahan. Untuk mempertahankan kualitas analgesia, ditambahkan opioid lipofilik yang bekerja selekƟf pada jaras nyeri (sensorik).1,4,19 Pada peneliƟan ini obat anestesia spinal yang digunakan adalah bupivakain 0,5% hiperbarik dengan dosis 7,5 mg yang ditambah dengan fentanil 25 mcg. Dengan menggunakan kombinasi obat tersebut di-
dapatkan angka kejadian hipotensi yang lebih rendah, yaitu sebesar 24,1%. Pada peneliƟan ini didapatkan penurunan angka kejadian hipotensi pada kelompok I dibandingkan kelompok II yang disebabkan hambatan simpaƟs yang rendah akibat penggunaan bupivakain dengan dosis yang lebih rendah. Semakin Ɵnggi hambatan simpaƟs, semakin Ɵnggi pula angka kejadian dan semakin berat derajat hipotensi yang terjadi.4,15 Dengan kata lain, penggunaan dosis bupivakain yang lebih Ɵnggi akan menyebabkan kejadian hipotensi yang lebih Ɵnggi pula. Namun, penggunaan dosis bupivakain yang lebih rendah berisiko menghasilkan analgesia yang Ɵdak adekuat. Kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil menghasilkan analgesia yang adekuat untuk bedah sesar dibandingkan peneliƟan lain yang menggunakan kombinasi obat yang sama dengan dosis yang berbeda. PeneliƟan Kang dkk., menggunakan 5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil dan didapatkan insidens hipotensi sebesar 20%, tetapi 13% dikonversi men jadi anestesia umum.20 Kualitas analgesia yang menurun juga ditunjukkan oleh Tolia dkk., yang menggunakan dosis bupivakain lebih besar dari peneliƟan Kang. Tolia menggunakan 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah dengan 10 mcg fentanil dengan hasil insidens hipotensi yang rendah (8%), tetapi 4% dikonversi menjadi anestesia umum. 3 Dapat terlihat bahwa semakin kecil dosis bupivakain yang digunakan, semakin rendah kejadian hipotensi, tetapi diikuƟ dengan kualitas analgesia yang menurun. Hal yang menarik dari peneliƟan Tolia dibandingkan peneliƟan Kang adalah insidens hipotensi yang didapat oleh Tolia lebih rendah dibandingkan Kang, di mana Tolia menggunakan dosis bupivakain yang lebih Ɵnggi, tetapi dengan dosis fentanil yang lebih rendah. Dosis fentanil yang lebih besar juga menimbulkan risiko hipotensi yang lebih besar, dengan penggunaan dosis anesteƟk lokal yang sama. Hasil yang didapat dari peneliƟan yang dilakukan Tolia dkk., menunjukkan insidens hipotensi yang lebih rendah dari hasil yang didapatkan pada peneliƟan ini di mana kami menggunakan dosis fentanil lebih Ɵnggi (10 mcg vs 25 mcg). 3 Hunt dkk., menemukan hal yang sama dalam peneliƟannya dengan menggunakan dosis fentanil yang beragam dikombinasi dengan dosis bupivakain yang ditentukan. Beberapa postulat peneliƟan menyatakan penggunaan opioid intratekal juga menimbulkan hipotensi, terutama dengan dosis yang semakin Ɵnggi. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal ini diperkirakan akibat blokade nyeri yang baik dan terjadi cepat, menyebabkan turunnya kadar katekolamin sehingga menurunkan tekanan darah, dan mekanisme lain yang belum diketahui. Akan tetapi, kejadian hipotensi ini dapat dicegah dengan rehidrasi yang baik.3,18,21 Dosis fentanil 25 mcg yang ditambahkan pada 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada peneliƟan ini memberikan analgesia intraoperaƟf yang baik dengan kejadian hipotensi yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik. Hasil peneliƟan ini mendapaƟ penggunaan fentanil 25 mcg intratekal sebagai tambahan 7,5 mg bupivakain
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •13•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean Section
0,5% hiperbarik, masih memiliki kejadian hipotensi yang lebih rendah dibandingkan kombinasi obat yang diberikan pada peneliƟan sebelumnya. Srivastava dkk. (2004), dalam peneliƟannya menggunakan bupivakain hiperbarik 10 mg ditambah 25 mcg fentanil, mendapatkan insidens hipotensi 52%.22 Suwardi (2005) menggunakan bupivakain hiperbarik 10 mg ditambah 10 mcg fentanil, mendapatkan insidens hipotensi 39,5% dan analgesia yang baik.13 Sarvela dkk. (1999), menggunakan 9 mg bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg fentanil, mendapatkan insidens hipotensi 61%, tanpa mempengaruhi penambahan durasi blokade sensorik maupun motorik.23 Harsoor dan Vikram (2008) menggunakan 8 mg bupivakain hiperbarik ditambah 12,5 mcg fentanil dan didapatkan kejadian hipotensi 50%.24 Pada peneliƟan ini didapatkan penggunaan rerata efedrin total yang jauh lebih rendah pada kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg, yaitu sebesar 5,38 (±1,38) mg dibandingkan dengan 13,04 (±5,98) mg pada kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg. Rerata total jumlah efedrin untuk kelompok II mendekaƟ apa yang didapatkan Neves dkk. (2003) yang menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik, yaitu 14,17 (±9,92). Demikian pula dengan hasil yang didapatkan Ginosar dkk. (2004) dengan 14 mg bupivakain, dan Suwardi (2005) yang menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik dan 10 mg bupivakain hiperbarik ditambah fentanil 12,5 mcg, yaitu sebesar 13,82 (±5,73) vs 11,19 (±4,15) mg. 13,17,25 Rerata efedrin total untuk kelompok I dibandingkan dengan kelompok II memiliki perbedaan yang bermakna secara staƟsƟk. Penggunaan dosis total efedrin yang lebih Ɵnggi memiliki risiko efek samping yang lebih Ɵnggi untuk bedah sesar. Efedrin dapat menimbulkan hipertensi reakƟf, vasokonstriksi pembuluh darah uterus, dan dapat menembus sawar darah-plasenta, sehingga mempengaruhi denyut jantung janin. Lee dkk., dalam sebuah Ɵnjauan mengenai beberapa peneliƟan penggunaan efedrin untuk mencegah hipotensi, menyatakan bahwa penggunaan dosis lebih dari 14 mg berpotensi menimbulkan hipertensi reakƟf dan penurunan pH arteri umbilikalis, tetapi Ɵdak berkaitan dengan asidosis fetal ataupun nilai APGAR. Terlepas dari kesimpulan mengenai penggunaan efedrin tersebut, hipotensi tetap merupakan faktor risiko mayor terjadinya asidosis fetal.19,26,27 Sayangnya pada peneliƟan ini Ɵdak dilakukan pengukuran terhadap asidosis fetal. Dalam peneliƟan ini Ɵdak ditemukan adanya pasien yang mengalami bradikardia pada kedua kelompok. Bradikardia berkaitan dengan blokade saraf spinal yang Ɵnggi sehingga Ɵdak hanya menghambat simpaƟs tetapi juga dapat memblok cardiac accelerator fiber yang keluar dari level T1-4. Blokade simpaƟs ditambah dengan volume intravaskular yang rendah dan penekanan aortokaval yang berat akan menyebabkan penurunan preload , sehingga terjadi bradikardia. Selain Ɵdak terjadi blokade spinal yang Ɵnggi, volume intravaskular yang cukup, dan pengurangan efek penekanan aortokaval, penggunaan efedrin pada peneliƟan ini juga berperan dalam mencegah bradikardia. Efedrin selain memiliki efek langsung agonis alfa adrenergik (meningkatkan tonus vena dan vasokonstriksi arteriol),
juga memiliki efek agonis beta adrenergik yang akan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontrakƟlitas jantung.4,15,19 Blokade sensorik yang dianggap adekuat dalam bedah sesar, yaitu tercapainya blokade sensorik seƟnggi torakal 6 (T6). Waktu untuk tercapainya blokade sensorik seƟnggi dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya pembedahan. Kelompok I dan kelompok II memiliki rerata waktu untuk mencapai keƟnggian blokade sensorik T6 yang Ɵdak berbeda bermakna yaitu 3,94 (±1,4) menit dan 3,55 (±1,17) menit. Waktu untuk tercapainya keƟnggian blokade seƟnggi T6 ini mirip dengan hasil yang didapatkan Tolia dkk.3 Hasil ini menggambarkan Ɵdak ada perbedaan waktu yang diperlukan untuk dapat dimulainya pembedahan dan analgesia yang cukup untuk dilakukan pembedahan antara kedua kelompok. Demikian pula rerata waktu tercapainya keƟnggian blokade sensorik maksimal antara kedua kelompok Ɵdak berbeda bermakna. Tolia dkk., dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 11 mg, bupivakain hiperbarik 9 mg ditambah fentanil 10 mcg, dan bupivakain hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 10 mcg, juga mendapatkan Ɵdak adanya perbedaan dari dua variabel ini, dan sama-sama mendapaƟ kejadian hipotensi yang lebih rendah. Hasil yang senada dengan kelompok II pun diutarakan oleh Suwardi, Dahlgren dkk., dan Siddik-Sayyid dkk. Variasi perbedaan Ɵnggi blokade maksimal antara peneliƟan yang satu dengan yang lain disebabkan penggunaan obat yang berbeda.3,10,13,21 Kombinasi obat kelompok I dalam peneliƟan ini memiliki volume total yang lebih rendah, yaitu 2 mL dibandingkan dengan 2,5 mL pada 0,5% bupivakain hiperbarik 12,5 mg (kelompok II), sehingga diƟnjau dari perbandingan volume obat pun kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah dengan fentanil 25 mcg telah diperkirakan sebelumnya akan menghasilkan angka kejadian hipotensi yang lebih rendah. Namun, kombinasi anesteƟk lokal dan opioid ini masih menghasilkan analgesia intraoperaƟf yang cukup baik. Hasil ini membawa kita pada pertanyaan apakah masih perlu dosis bupivakain 0,5% hiperbarik sebesar 12,5 mg untuk bedah sesar. Hal ini tentu membutuhkan peneliƟan lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat. Perbandingan profil blokade motorik kedua kelompok memberikan hasil yang berbeda bermakna (Tabel 2). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai blokade maksimal lebih lama pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II, yaitu 6,94 (±2,39) vs 4,33 (±2,89) menit). Blokade motorik maksimal yang dicapai dan blokade motorik pada menit ke-60 (menggunakan skala Bromage) lebih rendah pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II. Perbedaan ini terjadi karena penggunaan dosis obat anesteƟk lokal pada kelompok I jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok II, namun blokade yang diƟmbulkan pada kelompok I masih memadai untuk dilakukannya bedah sesar. Blokade serat saraf motorik diketahui memerlukan dosis dan konsentrasi anesteƟk lokal yang lebih Ɵnggi bila dibandingkan dengan serat saraf sensorik dan otonom. Penggunaan fentanil intratekal menunjukkan selekƟvitas blokade terhadap jaras saraf sensorik. Hasil yang serupa juga didapaƟ pada beberapa peneliƟan sebelumnya yang
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •14•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
juga menurunkan dosis anesteƟk lokal dan menambahkan fentanil intratekal.13,17,18,20,25,28 Sarvela dkk., menyatakan hambatan motorik lebih cepat hilang pada penggunaan 9 mg bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg fentanil. Bryson dkk. serta Tolia dkk., menyatakan penggunaan dosis anesteƟk lokal yang rendah ditambah opioid lipofilik intratekal menghasilkan blokade motorik maksimal yang lebih lama tercapai, lebih ringan, dan cepat pulih.3,11,19,23 Hasil yang didapat ini bermakna bahwa penggunaan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil, menimbulkan blokade motorik yang adekuat untuk dilakukannya bedah sesar dengan waktu pemulihan yang lebih cepat sehingga mempersingkat waktu observasi pasien di ruang pulih. Efek lain yang diamaƟ pada peneliƟan ini adalah kejadian mual muntah, pruritus, depresi napas, serta pengaruhnya terhadap janin yang dilihat dari nilai APGAR menit pertama. Pada peneliƟan ini didapatkan angka kejadian mual muntah yang Ɵdak berbeda bermakna, yaitu sebesar 27,8% pada kelompok I dan 31,5% pada kelompok II. Angka kejadian mual muntah pada peneliƟan ini sama dengan hasil yang didapat dari peneliƟan Dahlgren dkk. (25%) dan Ben-David dkk. (31%).21,28 Munculnya kejadian mual muntah dapat diakibatkan oleh banyak faktor antara lain teknik anestesia spinal yang berkaitan dengan kejadian hipotensi dan hipoksemia pada pusat muntah, rangsangan langsung pada pusat muntah akibat penggunaan opioid, adanya nyeri viseral saat manipulasi uterus, tarikan omentum atau isi abdomen lain, dan peningkatan tekanan darah yang signifikan dan Ɵba-Ɵba akibat pemberian vasopresor.4,6,7,10 Selain itu, terdapat perbedaan protokol antara peneliƟan yang satu dengan lainnya, seperƟ pemberian premedikasi anƟemeƟk atau tanpa pemberian premedikasi anƟemeƟk. Ben-David dalam peneliƟannya melaporkan adanya rasa Ɵdak nyaman saat manipulasi uterus, walaupun hanya sebentar dan Ɵdak mengganggu secara keseluruhan dibandingkan dengan keƟdaknyamanan akibat mual muntah. Nyeri viseral saat manipulasi atau tarikan organ abdomen dapat mencetuskan mual muntah juga, tetapi dikeluhkan sebagai kejadian yang terpisah oleh pasien.28 Hal ini membuat idenƟfikasi penyebab mual muntah menjadi lebih sulit. Borgeat dkk. dalam Ɵnjauannya mengatakan untuk melakukan peneliƟan mengenai efek samping mual muntah bukanlah hal yang mudah, disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi. Walaupun telah banyak protokol peneliƟan yang digunakan, masih terdapat beberapa aspek yang menyulitkan generalisasi dari hasil yang didapatkan.29 Variasi hasil yang didapatkan pada peneliƟan sebelumnya menunjukkan Ɵdak jelasnya keterkaitan antara mual muntah dengan kombinasi obat yang digunakan untuk anestesia spinal. PeneliƟan Ben-David dkk., membandingkan insidens mual muntah pada pemberian bupivakain hiperbarik 10 mg dengan bupivakain isobarik 5 mg ditambah 25 mcg fentanil mendapatkan angka 69% vs 31%. 28 Kang dkk. yang menggunakan bupivakain hiperbarik 8 mg dan bupivakain hiperbarik 5 mg ditambah 25 mcg fentanil mendapatkan angka 53% dan 40%. Sementara itu, Tolia dkk. bahkan melaporkan Ɵdak menemukan kejadian mual muntah pada penggunaan bupivakain hiperbarik 7,5 mg dengan penambahan fentanil 10 mcg dan hanya 2% pada
penggunaan 9 mg bupivakain hiperbarik dengan penambahan fentanil 10 mcg.3,28 Dari perbandingan Ɵga peneliƟan berbeda yang sama-sama Ɵdak menggunakan premedikasi ini, ada hal yang perlu dicermaƟ, yaitu besar angka kejadian mual muntah selalu sejalan dengan besar angka kejadian hipotensinya (Ben-David 94% vs 31%, Kang 40% vs 20%, Tolia 24% vs 8%). Penggunaan opioid intratekal dianggap dapat menyebabkan terjadinya mual muntah. Beberapa hasil peneliƟan menyatakan penggunaan morfin intratekal lebih sering menyebabkan mual muntah dibandingkan penggunaan fentanil.4,15 Siddik-Sayyid menyatakan penggunaan fentanil intratekal memiliki efek samping mual muntah yang justru lebih rendah dibandingkan fentanil intravena.10,18 Hasil yang diperoleh pada peneliƟan ini memberikan kesan penggunaan dosis fentanil intratekal yang lebih Ɵnggi menjadi penyebab meningkatnya insidens mual muntah, terutama bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Tolia (nihil pada penggunaan 7,5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 10 mcg fentanil). Namun, Hunt dalam peneliƟannya menggunakan 2,5-50 mcg fentanil, gagal menunjukkan kenaikan insidens mual muntah yang konsisten seiring kenaikan dosis fentanil yang digunakan.3,18 Hasil dari peneliƟan ini menunjukkan bahwa penggunaan fentanil 25 mcg sebagai kombinasi obat anestesia spinal untuk bedah sesar pada kelompok I, Ɵdak meningkatkan angka kejadian mual muntah bila dibandingkan dengan kelompok II. Sebaliknya, angka kejadian mual muntah pada kelompok I justru lebih rendah dibandingkan kelompok II, walaupun secara staƟsƟk perbedaannya Ɵdak bermakna. Penggunaan opioid intratekal juga dikatakan menyebabkan Ɵmbulnya pruritus. Pruritus yang disebabkan oleh opioid intratekal atau epidural terjadi akibat migrasi opioid dalam cairan serebrospinal ke arah kranial dan merangsang langsung nukleus trigemini yang terletak superfisial di medula. Collin menyatakan penggunaan morfin lebih sering menyebabkan pruritus dibandingkan penggunaan fentanil intratekal. Pada peneliƟan ini didapaƟ angka ke jadian pruritus yang Ɵdak berbeda bermakna. Pruritus yang terjadi masih dapat ditoleransi oleh pasien dan Ɵdak sampai memerlukan nalokson. Dahlgren dkk., pada peneliƟannya hanya menemukan kejadian pruritus ringan ini sebesar 4%. Tolia, Harsoor, serta Kang, juga mendapatkan insidens pruritus ringan yang Ɵdak signifikan bermakna pada penggunaan bupivakain ditambah fentanil intratekal.3,7,20,21,24 Pada peneliƟan ini Ɵdak ada kejadian depresi napas pada kedua kelompok. Hasil serupa juga dilaporkan oleh peneliƟan sebelumnya yang menggunakan fentanil intratekal. 3,8,10-13,20-22,28,30,31 Hunt dkk., dalam peneliƟannya menggunakan beragam dosis fentanil intratekal, 2,5-50 mcg, Ɵdak menemukan adanya insidens depresi napas. 18 Gwirtz dkk., melakukan peneliƟan terhadap pasien yang menjalani bedah urologi, bedah ortopaedi, bedah umum atau vaskular, bedah toraks, dan bedah ginekologi nonobstetrik yang mendapat opioid intratekal, mengemukakan kejadian depresi napas sebesar 3%, dengan jumlah sampel 5069 pasien dan dengan periode waktu yang lama, yaitu tu juh tahun.32 Perbandingan nilai APGAR pada kedua kelompok
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •15•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean Section
Ɵdak berbeda bermakna secara staƟsƟk. Adanya nilai APGAR 0 pada kedua kelompok disebabkan kondisi janin yang telah didiagnosis intrauterine fetal death (IUFD) sebelum dilakukan Ɵndakan anestesia maupun pembedahan. Kondisi ini Ɵdak termasuk dalam kriteria drop out , tetapi data nilai APGAR keƟga sampel tersebut (1 pada kelompok I dan 2 dalam kelompok II) Ɵdak disertakan dalam pengolahan uji staƟsƟk karena nilai APGAR yang rendah ini Ɵdak disebabkan dan Ɵdak berkaitan dengan modalitas anestesia spinal yang diteliƟ. Selebihnya, Ɵdak ditemui nilai APGAR di bawah 7 pada kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan peneliƟan sebelumnya.3,8,10,13,20-22,28,31 Hasil yang diperoleh dari peneliƟan ini menggambarkan bahwa penambahan fentanil 25 mcg intratekal Ɵdak menimbulkan efek depresi yang signifikan pada janin. SIMPULAN
Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih efekƟf dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraoperaƟf yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil. DAFTAR PUSTAKA
1.
Ganapathy S. Editorial: Walking spinals: A myth or reality? Can J Anaesth 2001;52:222-4. 2. Data Rekapitulasi Anestesia Spinal Instalasi Gawat Darurat RSUPNCM tahun 2005-2007. 3. Tolia G, Kumar A, Jain A, Pandey M. Low dose intrathecal bupivacaine with fentanyl for cesarean delivery. J Anesth Clin Pharmacol 2008;24(1):201-4. 4. Wlody D. ComplicaƟon of regional anesthesia in obstetrics. Clin Obstet Gynecol 2003;46:667-78. 5. Lee A, Ngan KWD, Gin T. ProphylacƟc ephedrine prevent hypotension during spinal anesthesia for cesarean delivery. Can J Anaesth 2002;49:588-99. 6. Ronald D, Miller MD. Anesthesia. 6th ed. New York: Churchill Livingstone; 2005. p. 232-329. 7. Collins VJ. Principles of anesthesiology . 3rd ed. Philadhelphia: Lea-Febiger; 1993. 1199-281; 1445-555. 8. Chung CJ, Choi SR, Yeo KH, Park HS, Lee SI, Chin YJ. Hyperbaric spinal ropivacaine for cesarean delivery: A comparison to hyperbaric bupivacaine. Anesth Analg 2001;93:157-61. 9. Riley E, Cohen SE, Rubenstein AJ, Flanagan B. PrevenƟon of hypertension aŌer spinal anesthesia for cesarean secƟon: 6% hetastarch versus lactated ringer’s soluƟon. Anesth Analg 1995;81:838-42. 10. Siddik-Sayyid SM, Aouad MT, Jalbout MI, Zalaket MI, Berzina CE, Baraka AS. Intrathecal versus intravenous fentanyl for supplementaƟon of subarachnoid block during cesarean delivery. Anesth Analg 2002;95:209– 13. 11. Bryson GL, Macneil R, Jeyaraj LM, Rosaeg OP. Small dose spinal bupivacaine for caesarean delivery does not reduce hypotension but accelerates motor recovery. Can J Anesth 2007;54:531-7.
12. Bogra J, Arora N, Srivastava P. SynergisƟc effect of intrathecal fentanyl and bupivacaine in spinal anesthesia for cesarean secƟon. BMC Anesthesiol 2005;5:5. 13. Suwardi C. Perbandingan analgesia spinal pada bedah sesar antara kombinasi 10 mg bupivakain hiperbarik 0,5% + 12,5 mcg dengan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5%. FKUI 2005. 14. Akmal E. Penyebaran anesteƟk lokal dan efek hemodinamik pada operasi seksio sesaria dalam anestesia spinal. FKUI 2008. 15. Russel F, Holmqvist ELO. Subarachnoid analgesia for caesarean secƟon. Br J Anaesth 1987;59:347-53. 16. Richardson MG, Collins HV, Wissler R. Intrathecal plain vs hyperbaric bupivacaine with mophine for cesarean secƟon: A comparison of effecƟveness, side-effects and sedaƟon. Anesthesiology 1997;87:A890. 17. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET. ED50 and ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine coadministered with opioid in cesarean delivery. Anesthesiology 2004;100:676-82. 18. Hunt CO, et al. PerioperaƟve analgesia with subarachnoid fentanyl-bupivacaine for cesarean secƟon. Anesthesiology 1999;71:535-40. 19. StoelƟng RK. Pharmacology and physiology in anesthetic pracƟce. 3rd ed. Philadelphia: LippincoƩ-Raven; 1999. p. 158-81. 20. Kang FC, Tsai YC, Chang PJ, Chen TY. Subarachnoid fentanyl with diluted small-dose bupivacaine for cesarean secƟon delivery. Acta Anaesthesiol Sin 1998;36:207-14. 21. Dahlgren G, Hulstrand C, Jakobsson J, Norman M, Eriksson EW, MarƟn H. lntrathecal sufentanil, fentanyl, or placebo added to bupivacaine for cesarean secƟon. Anesth Analg 1997;85:1288-93. 22. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK, Saxena S, DuƩa D, Chandra P, et al. Hyperbaric or plain bupivacaine combined with fentanyl for spinal anesthesia during caesarean delivery. Indian J Anaesth 2004;48:44-5. 23. Sarvela PJ, Halonen PM, KorƟla KT. ComparaƟon of intrathecal hypobaric and hyperbaric bupivacain both with fentanyl for cesarean secƟon. Anesth Analg 1999;89:71:706-10. 24. Harsoor S,Vikram M. Spinal anaesthesia with low dose bupivacaine with fentanyl for caesarean secƟon. SAARC J Anaesth 2008;1(2):142-5. 25. das Neves JF, Monteiro GA, de Almeida JR, Brun A, Cazarin N, Sant’Anna RS, Duarte ES. Spinal anesthesia for cesarean secƟon. ComparaƟve study between isobaric and hyperbaric bupivacaine associated to morphine. Rev Bras Anestesiol 2003;53(5):573–8. 26. Lee A, Ngan Kee WD, Gin T. A dose-response metaanalysis of prophylacƟc intravenous ephedrine for the prevenƟon of hypotension during spinal anesthesia for elecƟve cesarean delivery. Anesth Analg 2004;98:48390. 27. Van de velde M. Spinal anesthesia in the obstetric paƟent: PrevenƟon and treatment of hypotension. Acta Anaesth Belg 2006;57:383-6. 28. Ben-David B, Miller G, Gavriel R, Gurevitch A. Low-dose bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •16•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
delivery. Reg Anesth Pain Med 2000;25:235-9. 29. Borgeat A, Ekatodramis G, Schenker CA. PostoperaƟve nausea and vomiƟng in regional anesthesia. A review. Anesthesiology 2003;98:530-47. 30. Seyedhejazi M, Madarek E. The effect of small dose bupivacaine-fentanyl in spinal anesthesia on hemodynamic nausea and vomiƫng in cesarean secƟon. Pak J Med Sci 2007;23:747-50. 31. Belzarena SD. Clinical effect of intratechally administered fentanyl in paƟents undergoing cesarean secƟon. Anesth Analg 1992;74:653-7. 32. Gwirtz KH, et al. The safety and efficacy of intrathecal opioid analgesia for acute postoperaƟve pain: Seven years experience with 5969 surgical paƟents at Indiana university hospital. Anesth Analg 1999;88:599-604.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •17•
I LAPORAN PENELITIAN I
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan EsƟmasi dan Pengukuran Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal IntubaƟon: Comparison of EsƟmaƟon and Measurement on Cuff Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo Surabaya Herdy Sulistyono H
ABSTRACT Background: Along with globalizaƟon era there are much worries about the paƟent complaints caused by com plicaƟons of medical procedures. Tracheal intubaƟon procedure rouƟnely conducted for general anesthesia has been associated with throat complaints (i.e sore throat, cough, and hoarseness) caused by the endotracheal tube cuff traumaƟc pressure at the tracheal lateral wall. Methods: FiŌy ASA class 1 and 2 paƟents, aged 20 to 60 years undergoing elecƟve surgeries under general anesthesia with endotracheal intubaƟon in GBPT dr Soetomo Hospital Surabaya were randomized into two groups: treatment and control groups. The first was using Endotest ® special device while the later assessed by clinical esƟmaƟon. Throat complaints were recorded 20-24 hours aŌer surgery. The cuff inflaƟons and post operaƟve assessments all conducted by double blinded technique. Result: Air volume injected into endotracheal tube cuff in the first group was averaging 5,24 + 1,66 ml, the later group cuff pressure was maintained between 25 and 30 cmH2O as recommended by previous studies. The incidence of throat complaints was considerably lower (20%) compared to other reports in the literature, this study found no significant differences of throat complaints incidence between those groups (OR = 0,603, 95% CI = 0,147 to 2,468). Conclusion: A simple and cheap method to inflate the endotracheal tube cuff using minimal occlusive volume technique was showed relaƟvely safe in daily anesthesia pracƟce, especially if there is no such more expensive Endotest ® special device available around. Keywords: ComplicaƟons, Sore Throat, Endotracheal Tube Cuff, InflaƟon Methods
saat dilakukan pembedahan memiliki risiko komplikasi berupa trauma terhadap mukosa saluran nafas, antara lain adalah gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak) pasca intubasi. Komplikasi tersebut terutama disebabkan oleh tekanan kaf pipa endotrakea pada dinding lateral trakea. Metode : Subyek adalah pasien yang menjalani operasi pembedahan elekƟf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya. Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite EƟk secara random dipilih 50 orang usia 20-60 tahun dengan status PS ASA 1-2, yang dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan kontrol. Kelompok kontrol pengisian kafnya menggunakan esƟmasi klinis, sedang kelompok perlakuan memakai alat Endotest®. Gejala tenggorok yang muncul pasca intubasi diketahui berdasarkan pemeriksaan 20-24 jam pasca pembedahan. Prosedur pengisian kaf dan pemeriksaan pasca pembedahan tersebut dilakukan secara double blinded . Hasil: Pada kelompok kontrol diisikan ke dalam kaf volume udara rata-rata sebanyak 5,24 + 1,66 ml, adapun pada kelompok perlakuan diatur tekanan kaf antara 2530 cmH2O. Pada peneliƟan ini diperoleh kejadian gejala tenggorok yang cukup rendah (20%) dibandingkan peneliƟan-peneliƟan terdahulu, dimana Ɵdak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut (OR = 0,603 dengan C1 95% = 0,147-2,468). Simpulan: Pengisian kaf pipa endotrakea secara sederhana dengan hanya bermodalkan spuit, menggunakan minimal occlusive volume technique, masih cukup aman untuk dapat dilakukan sehari-hari apabila Ɵdak terdapat fasilitas alat khusus pengukur tekanan kaf Endotest ® yang relaƟf jauh lebih mahal. Kata kunci: komplikasi, nyeri tenggorok, kaf pipa endotrakea, metode inflasi
ABSTRAK Latar Belakang: Sejalan dengan era keterbukaan, kekuaƟran Ɵmbulnya keluhan atas komplikasi Ɵndakan medis sangatlah beralasan. Tindakan intubasi endotrakeal yang sering dilakukan untuk kepenƟngan anestesi umum
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •18•
Herdy Sulistyono H Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo - Surabaya
HERDY SULISTYONO H
PENDAHULUAN
BAHAN DAN CARA KERJA
Tindakan intubasi endotrakea untuk kepenƟngan anestesi umum seringkali menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien antara lain adalah: nyeri tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness), yang dilaporkan oleh Christensen, dkk serta Loeser, dkk memiliki insidens sebesar 21-65%.1,2 Meskipun Ɵdak sampai menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat dirasakan sangat Ɵdak nyaman dan bahkan bisa menimbulkan keluhan dari pasien terutama yang akan dipulangkan pasca Ɵndakan yang bersifat poliklinik. Gejala-gejala tersebut, nampaknya merupakan akibat dari terjadinya iritasi lokal dan proses inflamasi yang terjadi pada mukosa saluran nafas atas. PeneliƟan oleh Stout, dkk menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemasangan pipa dengan munculnya gejala,3 demikian pula peneliƟan oleh Jensen, dkk yang mengaitkan pengaruh kaf terhadap gejala tenggorok tersebut.4 Dari peneliƟan-peneliƟan yang telah dilakukan terhadap pengaruh pemasangan pipa endotrakea , ternyata minat lebih banyak ditunjukkan kepada lesi yang diakibatkan oleh tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea.5 Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, laserasi pada plika vokalis, dan bahkan subluksasi karƟlago aritenoid,6 obstruksi pipa, stenosis subgloƟs, penggeseran atau displacement tube, stridor pascaekstubasi, ulserasi nasal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pascaekstubasi. Sebuah peneliƟan yang dilakukan oleh Sulistyono (1990) di RSUD dr Soetomo7 merupakan sebuah contoh studi tentang komplikasi yang diƟmbulkan Ɵndakan intubasi endotrakea di Indonesia, namun di luar itu sendiri belum banyak dilakukan peneliƟan yang intensif mengenai hal tersebut. Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di GBPT RSU dr Soetomo Surabaya, pada saat pemasangan endotracheal tube, tekanan kaf biasanya diberikan secara Ɵtrasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit ukuran 20 cc, diberikan tekanan udara secara perlahan-lahan ke dalam kaf sambil memperhaƟkan suara yang muncul di tenggorok pasien akibat pernafasan buatan venƟlasi tekanan posiƟf yang diberikan oleh ahli anestesi ( minimal occlusive volume technique). Suara yang muncul ini adalah akibat kebocoran udara akhir inspirasi dari paru yang melewaƟ ruangan disela-sela dinding trakhea dan dinding luar pipa endotrakea . Tekanan kaf dianggap sudah mencapai opƟmal keƟka Ɵdak lagi terdengar suara nafas tersebut.8 Menurut beberapa peneliƟan, metode ini bisa memberikan tekanan kaf dengan kondisi underinflaƟon atau justru overinflaƟon. Tekanan kaf yang kurang dapat memperbesar risiko aspirasi dan sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbulkan trauma pada trakhea. PeneliƟan ini akan mengamaƟ apakah metode pemberian tekanan kaf dengan metode Minimal occlusive volume technique yang ruƟn dilakukan tersebut Ɵdak menyebabkan lebih banyak kejadian komplikasi gejala tenggorok dibandingkan apabila tekanan kaf diukur menggunakan alat khusus.
Jenis peneliƟan ini adalah uji klinis randomized clinical trial , dengan model parallel design. Dilakukan randomisasi terhadap subyek kelompok studi dan kelompok kontrol di mana rekrutmen dilakukan pada saat yang sama. Selanjutnya perlakuan diberikan berbeda secara double blinded.9,10 PeneliƟan ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan ruang rawat inap pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya, September sampai Nopember 2009. Populasi peneliƟan adalah semua pasien yang menjalani pembedahan elekƟf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya selama periode September – Nopember 2009. Sampel adalah penderita yang dilakukan pembedahan elekƟf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. SOetomo Surabaya, selain bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi seksio sesarea, dan bedah saraf. Sampel diperoleh dari metode consecuƟve sam pling (peneliƟ meneliƟ semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu/selama masa pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi).9,10 Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel sebesar 22 orang pada masing-masing kelompok kontrol dan perlakuan. Dengan esƟmasi jumlah sampel putus uji sebesar 10%, maka pada Ɵap grup ditambahkan 3 orang. Sehingga jumlah total sampel adalah 50 orang. Setelah mendapatkan persetujuan dari paniƟa Kelaikan EƟk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya, peneliƟan ini mulai dijalankan. Sebagaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anestesi umum dengan pemasangan intubasi endotrakea. Pada kunjungan pra operasi malam hari sebelum pelaksanaan operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir terhadap pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi, mencatat kondisi terakhir pasien, serta memberi penjelasan sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan pasien untuk mengikuƟ peneliƟan. Alokasi subyek pada peneliƟan ini dengan desain pararel untuk uji klinis dengan 2 kelompok. Subyek yang memenuhi kriteria peneliƟan dilakukan randomisasi (R). Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian kaf pipa endotrakea secara klinis yaitu sampai suara nafas menghilang (minimal Occlusive Volume Technique). Sedangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggunakan alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan dibandingkan terhadap munculnya gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk dan suara serak) pasca operasi. Data-data hasil peneliƟan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS 13.0. for Windows, memakai uji Mann Whitney test, Student’s test, atau x2 test , sesuai data yang ada. Digunakan Ɵngkat kepercayaan (con fidence interval ) sebesar 95%, a = 0,05 dan power of test atau (1-b) = 0,90. Derajat signifikansi dianggap bermakna
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •19•
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
apabila P < 0,05. HASIL
Menurut perhitungan menggunakan rumus sampel peneliƟan eksperimental randomized controlled trial di awal peneliƟan, diharapkan minimal 42 orang dapat dijadikan subyek peneliƟan ini, yaitu masing-masing 21 orang pada kelompok perlakuan dan kontrol. Namun dengan perƟmbangan tentang kemungkinan terjadinya drop out maupun eliminasi pada perhitungan staƟsƟk, maka diputuskan untuk mengambil jumlah sampel besar sebesar 25 orang pada Ɵap kelompok. Dengan demikian jumlah total subyek peneliƟan adalah 50 orang. Dari seluruh jumlah tersebut Ɵdak terdapat subyek yang droup out ataupun dikeluarkan dari perhitungan dan analisa staƟsƟk, karena meskipun dipilih secara acak dari populasi pasien, namun ternyata semuanya telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Sebelum dilakukan analisis mempergunakan metode analiƟk, perlu diketahui terlebih dahulu pola sebaran data yang diperoleh sebagai hasil peneliƟan ini, sehingga Ɵdak akan terjadi kesalahan ataupun kerancuan dalam mempergunakan uji-uji staƟsƟk. Analisis karakterisƟk dan sebaran data dari beberapa variabel, yang melipuƟ antara lain variable umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, status PS ASA, dan jenis operasi yang dijalaninya adalah seperƟ yang dilihat pada tabel 1 dan 2. Selanjutnya untuk memasƟkan bahwa sebaran variabel memenuhi persyaratan distribusi normal, yang dilakukan perhitungan uji Kolmogorov – Smirnov dan uji Runs. Uji Kolmogorov – Smirnov merupakan salah satu uji Non Parametrik yang dapat dipakai untuk menguji keselarasan data berskala minimal ordinal, mengindikasikan normalitas sebuah distribusi apabila p > 0,05. Sementara uji Runs sendiri untuk data yang bersifat nominal, dengan interprestasi yang sama dengan uji Kolmogorov – Smirnov.10 Tabel 1. Distribusi karakterisƟk demografi, morfometri dan biomedis subyek Kelompok Variabel data p Perlakuan kontrol Jumlah pasien 25 25 Umur (tahun) 42,40 + 42,36 + 0,822 12,69 10,72 Jenis Kelamin 9/16 12/13 0,676 (L/W) Berat Badan 61.08 + 60,60 + 0,659 (kg) 12.67 11,41 Tinggi Badan 162,96 + 165,08 + 0,605 (m) 8,73 6,86 Status PS ASA 8/17 13/12 0,676 (1/2)
Tabel 1 menyajikan fakta bahwa subyek penderita yang tergabung dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki karakterisƟk-karakterisƟk yang hampir mirip. Sebagai contoh, umur subyek berkisar antara 22 sampai 60 tahun dengan nilai rata-ratanya adalah 42,20 ± 16,63
tahun. Sedangkan menurut jenis kelamin, maka terlihat bahwa sebagian besar subyek adalah perempuan, yaitu 16 orang (64%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang (52%) pada kelompok kontrol. Adapun menurut penilaian kondisi subyek berdasarkan skoring status PS ASA, pada kelompok perlakuan lebih didominasi oleh status PS ASA 2 yang ber jumlah 17 orang (98%), berbeda dengan kelompok kontrol yang jumlah status PS ASA 1 sedikit lebih banyak (13 orang atau 52%) dibanding PS ASA 2. Selain itu juga terlihat pada tabel 1 di atas bahwa sebaran data pada semua variabel memenuhi kriteria disƟbusi normal karena nilai p – nya > 0,05. Namun demikian hasil uji ini Ɵdak memiliki arƟ lain kecuali bahwa memang subyek yang diikutkan dalam peneliƟan berasal dari populasi yang terbesar acak. Dengan kata lain bahwa hasil uji normalitas ini Ɵdak serta merta menjanjikan dapat dipergunakannya uji staƟsƟk parametrik sebagai alat bantu pengambilan keputusan analisis, karena sebagaimana diketahui ternyata sebagian besar variabel data yang kami miliki bersifat kualitaƟf yaitu data nominal (kategori) dan ordinal. Untuk mengetahui jenis Ɵndakan operasi yang di jalani pasien-pasien yang menjadi subyek peneliƟan, jenis pembiusan umum yang dipilih, serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk Ɵndakan operasi tersebut, dilakukan pengelompokan terhadap variabel-variabel data yang ada pada tabel 2. Tabel 2. Jenis Ɵndakan operasi, jenis anestesi umum, dan lamanya operasi
Variabel
Kelompok Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25) Frekuensi
(%)
Frekuensi
(%)
Jenis operasi Orthopedi
8
32
8
32
Ginekologi
3
12
1
4
Digestif
8 3
32 12
8 -
32 0
3
12
8
32
13 12
52 48
13 12
52 48
2 15 7 1
8 60 28 4
2 11 10 2
8 44 40 8
Urologi Onkologi ( Breast ) Jenis anestesi umum Inhalasi TIVA Lamanya operasi < 1 jam 1 – 2 jam 2 – 3 jam 3 – 4 jam
Setelah dilakukan pengelompokan terhadap data yang ada, maka terlihat pada tabel 2 di atas bahwa subyek sebagian besar diambil dari penderita yang menjalani jenis operasi orthopedi dan digesƟf. Terhadap sejumlah 8 Orang (32%) subyek yang dilakukan operasi orthopedi atau digesƟf tersebut pada masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •20•
HERDY SULISTYONO H
Jenis operasi orthopedi yang dijalani subyek melipuƟ antara lain operasi reposisi pada dislokasi sendi serta pemasangan orif (baik plaƫng maupun pinning) pada ekstrimitas atas dan/atau bawah. Sebagai contoh adalah Ɵndakan pemasangan orif plaƫng pada close fracture antebrakii 1/3 distal, plaƫng pada close fracture kruris, dan plaƫng klavikula. Sedangkan jenis operasi digesƟf lebih bervariasi, mulai dari operasi appendektomi, herniotomi, hingga laparatomi. Selain itu bisa didapaƟ operasi mini laparatomi pada operasi ginekologi atau urologi. Adapun pada kelompok kontrol juga tampak terdapat beberapa subyek yang menjalani jenis operasi bedah onkologi yaitu mastektomi. Berikutnya pada tabel 3 dan tabel 4 berikut ini dipaparkan data tentang penggunaan pipa endotrakea untuk Ɵndakan anestesi umum, yang melipuƟ antara lain: ukuran diameter interna yang dipilih, tekanan kaf diawal dan di akhir Ɵndakan operasi untuk kelompok perlakuan, serta volume udara yang diisikan ke dalam kaf sesuai teknik minimal occlusive volume pada kelompok kontrol. Pada tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih dari separuh (72%) pipa endotrakea jenis kinked yang dipergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang tersering dipergunakan adalah 7,5 mm (masing-masing 52 % dan 44%). Tabel 3. Jenis dan ukuran pipa endotrakea Kelompok Perlakuan (n = 25)
Variabel
Kontrol (n = 25)
Frekuensi
(%)
Frekuensi
(%)
18 7
72 28
18 7
72 28
8 13 4
32 52 16
4 11 10
16 44 40
Jenis ETT
Kinked Non kinked Ukuran diameter interna ETT 7,0 mm 7,5 mm 8,0 mm
Tabel 4. Tekanan dan volume kaf pipa endotrakea Variabel Kelompok Perlakuan (n = 25) Tekanan awal
Tekanan akhir Beda Tekanan Kelompok kontrol (n = 25)
Volume
K-S value
Satuan
Ratarata
Minimum
Maksimum
Z
p
(cmH2O)
29,20 + 1,15
26
30
1,97
0,01*
(cmH2O)
29,36 + 3,99
20
34
1,13
0,16
(cmH2O)
0,96 + 4,08
-8
10
0,80
0,54
mL
5,24 + 1,66
4
11
1,79
0,03*
Pada tabel 4 ditampilkan hasil pengumpulan data tentang tekanan kaf yang diberikan pada kelompok perlakuan menggunakan alat Endotest@, dan volume udara yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang dipergunakan di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive Technique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan maksimal adalah 30 cmH2O. Sementara, volume udara yang diisikan bervariasi antara 4 sampai 11 ml, dengan rata-ratanya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk beda tekanan awal dan akhir bervariasi antara – 8 sampai dengan 10 cmH2O. Saat dilakukan perhitungan analisis staƟsƟk mempergunakan uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov terhadap data tekanan udara dan volume udara yang diisikan kedalam kaf, didapatkan Ɵngkat kemaknaan ( p) < 0,05 pada variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini hanya memiliki satu arƟ, yaitu bahwa pemberian tekanan ataupun volume udara ke dalam kaf Ɵdak dilakukan secara acak dan bukan merupakan sebuah distribusi normal. Tabel 5 berikut ini menyajikan perhitungan dan analisis tentang kejadian gejala tenggorok; yang berupa nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak; pasca Ɵndakan intubasi endotrakea saat dilakukan anestesi umum. Untuk melihat secara garis besar, telah dilakukan pengelompokan data-data tentang beberapa variabel yaitu jenis sampel, umur, jenis kelamin, ukuran ETT, jenis ETT, penggunaan agent inhalasi serta lamanya waktu dilakukannya Ɵndakan operasi. Pada tabel 5 berikut ini terdapat rekapitulasi data tentang kejadian gejala tenggorok yang dialami subyek peneliƟan diƟnjau dari beberapa variabel yang dianggap mungkin berpengaruh. Selain dilakukan penggelompokan terhadap karekterisƟk-karekterisƟk tersebut, juga dilakukan uji staƟsƟk Mann – Whitney untuk mencoba mengetahui apakah terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok akibat pengaruh variabel-variabel itu. Namun sayangnya, ternyata hasil uji menunjukkan Ɵdak adanya perbedaan bermakna secara staƟsƟk, yang dicerminkan oleh derajat signifikasi P> 0,05 pada seluruh variabel yang diuji. Apabila hanya selintas saja diamaƟ tampak kelompok kontrol, yang menggunakan teknik minimal occlusive volume untuk pengisian kaf, menunjukkan kejadian gejala tenggorok ringan relaƟf lebih banyak dari pada kelompok perlakuan. Namun begitu, dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa perbedaan ini Ɵdak signifikan secara staƟsƟk ( p=0,484). Gejala nyeri tenggorok juga sekilas terlihat lebih banyak dialami oleh kelompok umur 50-60 tahun, sedangkan gejala batuk justru Ɵdak dialami sama sekali oleh kelompok umur ini. Hasil uji staƟsƟk juga Ɵdak menunjukkan perbedaan yang bermakna ( p=0,680) . Dari variabel jenis kelamin, terlihat bahwa subyek perempuan lebih banyak yang mengalami gejala tenggorok ini, meskipun juga Ɵdak signifikan secara staƟsƟk ( p=0,395). Berdasarkan analisa faktor endotracheal tube, dapat diamaƟ bahwa ukuran diameter interna 7,0 mm dan jenis yang kinked relaƟf lebih banyak berkaitan dengan ge jala tenggorok pasca intubasi. Namun demikian, uji staƟsƟk
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •21•
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
juga menunjukkan Ɵdak adanya perbedaan yang signifikan secara staƟsƟk ( p>0,05). Pada kelompok-kelompok tersebut (ukuran diameter interna p= 0,25 dan jenis ETT p=0,533). Tabel 5. Rekapitulasi kejadian gejala tenggorok pascaintubasi endotrakea Variabel Jenis sampel Perlakuan Kontrol Umur 20-30 31-40 41-50 50-60 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Ukuran ETT 7,0 mm 7,5 mm 8,0 mm Jenis ETT Kinked Non Kinked Beda Tekanan Awal dan Akhir < 0 cmH2O 0 – 5 cmH2O > 5 cmH2O Teknik Anestesi Inhalasi TIVA Lama Operasi < 1 jam 1 – 2 jam 2 – 3 jam 3 – 4 jam
Nyeri Tenggorok* Skor Skor 0 1
Batuk*
Suara serak*
Skor 0
Skor 1
Skor 0
Skor 1
23 21
2 4
24 23
1 2
24 23
1 2
11 11 9 13
0 1 1 4
10 11 9 17
1 1 1 0
10 11 10 16
1 1 0 1
19 25
2 4
20 27
1 2
20 27
1 2
9 23 12
3 1 2
11 23 13
1 1 1
10 24 13
2 0 1
31 13
5 1
34 13
2 1
34 13
2 1
7 14 2
0 2 0
7 15 2
0 1 0
7 16 1
0 0 1
22 22
4 2
23 24
3 0
23 24
3 0
4 23 14 3
0 3 3 0
4 25 15 3
0 1 2 0
4 25 15 3
0 1 2 0
Ket: * skor 2 dan 3 Ɵdak dicantumkan karena Ɵdak dikeluhkan oleh satupun penderita. Dilakukan uji MannWhitney, diberi tanda ** bila p < 0,05.
MengamaƟ beda tekanan kaf yang diukur pada awal dan akhir Ɵndakan operasi, terlihat beberapa menunjukkan peningkatan tekanan dan beberapa yang lain justru menggambarkan penurunan tekanan kaf. Namun setelah dilakukan analisa staƟsƟk juga Ɵdak didapatkan perbedaan yang signifikan diantara kelompok tersebut ( p=0,678). Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi perhaƟan karena seolah-olah menyebabkan kejadian gejala tenggorok lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra Venous Anesthesia). SeperƟ terlihat jelas pada tabel 5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang terjadi pada kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat daripada kelompok TIVA. Setelah dilakukan uji staƟsƟk ternyata menunjukkan perbedaan yang Ɵdak terlalu signifikan ( p=0,05). Sehingga dengan demikian mungkin perlu untuk dilakukan pendalaman mengenai hal ini. Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa kelompok operasi yang memakan waktu 2-3 jam terlihat paling banyak mengalami kejadian gejala tenggorok, walaupun juga akhirnya Ɵdak menunjukkan perbedaan yang sig-
nifikan secara staƟsƟk ( p=0,291). Sesuai dengan tujuan utama peneliƟan yaitu mengetahui adanya perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dilakukan uji staƟsƟk yang hasilnya tercantum pada tabel 6. Untuk lebih memudahkan perhitungan maka kejadian gejala tenggorok dikelompokkan lagi menjadi 2 kelompok besar saja, yaitu subyek yang sama sekali Ɵdak mengalami gejala apapun serta subyek yang mengeluh gejala walaupun ringan saja. Tabel 6. Kejadian gejala tenggorok pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
Kelompok Perlakuan Jenis sampel Kontrol Total
Gejala Tenggorok Ya Ɵdak 4 21 6 19 10 40
Total 25 25 50
Pada tabel 6 di atas dapat diamaƟ data tentang kejadian gejala tenggorok pasca Ɵndakan intubasi endotrakea pada dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan yang tekanan kafnya diisi dengan alat khusus dan kelompok kontrol yang tekanan kafnya diisi sebagaimana prosedur sehari-hari melalui esƟmasi dengan teknik Minimal Occlusive Volume. Pada tabel ini terlihat bahwa angka kejadian gejala tenggorok pada peneliƟan ini adalah sebesar 20% (10 dari 50 subyek). Selain itu, data tersebut disajikan dalam bentuk tabel 2 x 2 untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Odds RaƟo, yaitu sejenis Risiko RelaƟf pada peneliƟan kohort. Hasil Odds RaƟo sebesar 0.603 diatas dapat dibaca sebagai ‘risiko terjadinya gejala tenggorok pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0.603 kali dibandingkan kelompok kontrol. Namun demikian, sayang sekali, dikarenakan interval kepercayaan (Confidence Interval /CI) mencakup angka 1 maka kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa Ɵdak terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kedua macam cara pengisian kaf pipa endotrakea atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada Ɵndakan intubasi dalam peneliƟan ini Ɵdak memiliki hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pasca Ɵndakan. PEMBAHASAN
Perkembangan teknologi saat ini sebenarnya telah jauh memberikan keuntungan kepada para prakƟsi dan klinisi bidang Anestesiologi dan Reanimasi untuk melakukan Ɵndakan intubasi endotrakea secara lebih aman dan nyaman untuk pasien. Pipa endotrakea dengan kaf yang memiliki daya regang (compliance) Ɵnggi, yang ditujukan untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan kemungkinan terjadi aspirasi, diciptakan khusus dengan ruang volume besar namun tekanan rendah ( high-volume low-pressure cuff) sehingga tekanan terhadap dinding mukosa trakea dapat diminimalkan. Namun begitu, dikarenakan karakterisƟk mukosa trakea yang terbentuk dari epitel pseudostraƟfied berbulu silia, menyebabkan dinding tersebut sangat sensiƟf terhadap pergeseran dengan dinding luar pipa endotrakea.1,3,6,11 Oleh sebab itu, dalam peneliƟan ini
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •22•
HERDY SULISTYONO H
berupaya dihindari melakukan semua Ɵndakan atau kondisi yang dapat menimbulkan bias terhadap munculnya gejala tenggorok yang Ɵdak murni disebabkan oleh cara pengembangan kaf itu sendiri. Beberapa yang dicoba untuk dieliminasi antara lain: adanya penyulit pada saluran nafas atas subyek semisal infeksi atau keradangan kronis yang diakibatkan riwayat merokok lama, pemasangan pipa nasogastrik yang diduga juga dapat menyebabkan tambahan iritasi, prosedur Ɵndakan intubasi yang kasar dan dilakukan berulang kali, penyedotan lendir (sucƟoning) yang berlebihan, gerakangerakan kepala leher yang berlebihan atau berulang-ulang saat Ɵndakan operasi dilakukan, serta semakin lamanya Ɵndakan intubasi dilakukan sehingga dibatasi dipilih hanya Ɵndakan-Ɵndakan operasi yang kurang dari 4 jam. Selain semua hal eksternal penƟng tersebut, faktor pipa endotrakea sendiri juga mendapat perhaƟan cukup serius supaya Ɵdak menimbulkan bias yang besar. Sengaja untuk peneliƟan ini dipilihkan ukuran diameter interna yang diperkirakan paling sesuai ( fit ) untuk masing-masing subyek. Dipergunakan pipa endotrakea yang masih steril dari kemasan pabrik, yang pemilihan ukurannya dilakukan melalui perbandingan dengan ukuran keliling ibu jari saat subyek masih bagun. Selanjutnya diberikan lubrikasi menggunakan spray XylocaineR 2% dimulai dari ujung distal sampai dengan ukuran lebih 15 cm dari ujung pipa endotrakea, dan nanƟ nya juga akan dengan dilakukan penyemprotan cairan yang sama kedalam faring saat dilakukan Ɵndakan laringoskopi. Untuk mencegah terjadinya insidens batuk di sekitar saatsaat subyek di-ekstubasi dan dibangunkan, menurut rencana semula akan diberikan Lidocain 2% 1,5 mg/kgBB kurang lebih 3 menit sebelum melakukan ekstubasi. Namun pada kenyataannya hal ini Ɵdak dilakukan secara ruƟn, selama subyek Ɵdak terlihat mengalami iritasi hebat. Pencegahan yang dilakukan adalah dengan membatasi sucƟoning hanya cukup untuk membersikan lendir yang ada saja. Disadari bahwa hal ini berisiko untuk terjadinya aspirasi, oleh karena itu benar-benar harus diyakinkan faring dan rongga mulut sudah bersih dari lendir. Selain itu juga disyaratkan subyek peneliƟan tersebut sudah sadar sesaat sebelum dilakukan ekstubasi. Untuk mencegah bisa juga Ɵdak digunakan gas nitrit oksida (N2O) pada peneliƟan ini. Dalam prakƟk Ɵndakan anestesi sehari-hari gas N2O ini sering digunakan bersamasama agen inhalasi lain untuk mendapatkan efek analgesia dan mengurangi kebutuhan gas inhalasi tesebut. Semua literatur hasil peneliƟan yang mencari hubungan antara pengembangan kaf dan pemakaian gas N2O kedalam kaf yang berrongga.12,13,14,15 terjadi proses dan mencapai puncaknya pada fase 1 jam pertama penggunaan gas N2O, yang selanjutnya turut mengisi dan meningkatkan tekanan oleh kaf ke dinding mukosa trakea di sekelilingnya.16,17 SeperƟ halnya peneliƟan-peneliƟan lain sebelumnya tentang kejadian gejala tenggorok pasca Ɵndakan intubasi endotrakea, Ɵdak ditemukan kaitan bermakna antara karakterisƟk demografi dan morfometri dengan kejadian gejala tenggorok. Sengupta dkk, Parwani dkk, Braz dkk, adalah contoh para peneliƟ yang dalam laporannya menyatakan tentang hal serupa tersebut.18,19,20
Umur pasien yang rata-rata adalah masing-masing 42,04 ± 12,69 tahun pada kelompok perlakuan dan 42,36±10,72 tahun pada kelompok kontrol, seƟdaknya menggambarkan proporsi subyek peneliƟan yang membentuk distribusi normal. Kelompok umur dewasa muda (31-50 tahun) ini jumlahnya hampir separuh subyek peneliƟan. Pipa endotrakea (ETT) yang dipakai untuk peneliƟan ini adalah sesuai dengan yang sehari-hari digunakan di lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu merek RuschR produksi perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high-volume low-pressure. Bernhard dkk. telah melaporkan dalam publikasi ilmiah mereka tentang karakterisƟk dan ukuranukuran pipa endotrakea ini, beserta beberapa merek pipa endotrakea lain yang banyak dipakai di seluruh dunia.5 Dari dua jenis pipa endotrakea yang ada, yaitu kinked dan non kinked, ternyata sebagian besar yang dipakai oleh subyek peneliƟan ini adalah jenis kinked , yaitu masing-masing 18 buah (72%) pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Hal ini sangat wajar terjadi karena hampir semua jenis operasi yang dipilih adalah yang Ɵdak memerlukan pengaturan posisi-posisi khusus, semisal miring atau tengkurap, sehingga Ɵdak terlalu besar kekhawaƟran terjadinya kinking pada pipa endotrakea yang dipergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang dipilih sebagian besar adalah 7,5 mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%) pada kelompok perlakuan dan 11 kali penggunaan (44 %) pada kelompok kontrol. Untuk pemilihan ukuran diameter interna ini, seperƟ telah dijelaskan sebelumnya, biasanya disesuaikan secara esƟmasi klinis dengan memperhaƟkan berat badan subyek atau membandingkan ukuran jari kelingking subyek dengan nomer pipa endotrakea yang hendak digunakan. Tabel 4 menunjukan gambaran tentang besarnya tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan kedalam kaf pipa endotrakea dalam peneliƟan ini. Dari aspek pengisian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur tekanan kaf yang dipergunakan dalam peneliƟan ini (Endotest®), telah direkomendasikan tekanan udara sesuai range tertentu, yaitu 25-30 cmH2O. Sehingga besaran tekanan udara yang telah diberikan kedalam kaf Ɵdaklah terlalu bervariasi, yaitu selama masih berada di dalam ‘rentang aman’ tersebut. Dan setelah dilakukan analisis staƟsƟk nampak bahwa ratarata tekanan udara yang diisikan kedalam kaf adalah 29,20 ± 1,15 cmH2O, dimana pemberian tekanan terendah adalah 26 cmH2O dan terƟnggi 30 cmH 2O. Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume udara yang diisikan adalah sebanyak 5,24±1,66 ml. Hasil ini sesuai dengan yang telah diperkirakan sebelumnya, karena pada prakƟk sehari-hari pengisian udara untuk kaf di lingkungan RSU Dr. Soetomo juga berkisar kurang lebih 5 ml. Sebagai perbandingan, sebuah publikasi ilmiah oleh Sengupta dkk, menemukan bahwa volume udara yang diisikan ke dalam kaf, mempergunakan metode palpasi dan mendengarkan kebocoran udara tekanan posiƟf di beberapa rumah sakit di Louisville USA, rata-rata adalah sebanyak 4,4±1,8 ml.18 Variabel tekanan akhir kaf, yang diukur pasca Ɵndakan operasi selesai atau sesaat sebelum dilakukannya
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •23•
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
Ɵndakan ekstubasi, juga diobservasikan dalam peneliƟan ini. Sebenarnya Ɵdak ada tujuan tertentu untuk mengukur tekanan udara kaf ini, melainkan hanya sekedar keinginan mengetahui dan mencocokkan berbagai informasi yang ada, bahwa tekanan kaf bisa berubah di akhir Ɵndakan operasi, jika dibandingkan dengan tekanan awal, Dinyatakan bahwa gas N2O bisa menyebabkan fenoma tersebut. Namun karena pada peneliƟan ini Ɵdak digunakan jenis agen inhalasi tersebut dalam arƟ hanya gas O 2 murni ditambah agen inhalasi tertentu (misal Halotan, Isofluran, dll), diduga Ɵdak terdapat banyak perbedaan dengan tekanan kaf awal yang diberikan bahwa nilai rata-rata tekanan kaf akhir adalah sebesar 29,36±3,99 cmH2O. Sebagai perbandingan, peneliƟan yang dilakukan Manissery dkk melaporkan bahwa pada anestesi menggunakan 67 % N2O sebagai agen inhalasi, tekanan kaf pada akhir 1 jam pertama ditemukan sebesar rata-rata 62,6±12,33 cmH 2O. Padahal sebagaimana sudah diketahui, bahwa tekanan kaf di atas 50 cmH2O (37 mmHg) yang merupakan criƟcal perfusion pressure sudah akan menyebabkan terjadinya penghenƟan aliran perfusi darah ke jaringan mukosa cincin trakea dan dinding posterior.21 Pada tabel 3 yang menyajikan data tentang penggunaan agen anestesi inhalasi terlihat bahwa variabel ini sangat besar kemungkinan dapat ikut menyebabkan kejadian gejala tenggorak. TerbukƟ dengan jumlah kejadiannya yang lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra Venous Anesthesia), yaitu hampir 2 kali daripada kelompok TIVA. Dan setelah dilakukan uji staƟsƟk ternyata menunjukan perbedaan yang Ɵdak terlalu signifikan (p=0,05). Hingga peneliƟan ini dilakukan masih belum ditemukan, berbagai terbitan ilmiah, tentang pengaruh penggunaan gas inhalasi terhadap gejala tenggorok pasca intubasi. Oleh karena itu penulis masih belum dapat mengambil kesimpulan yang mendalam terhadap fenomena tersebut. Namun demikian bukan Ɵdak mungkin apabila dilakukan peneliƟan yang lebih khusus dan dengan melibatkan subyek peneliƟan jauh lebih banyak, akan bisa diketahui seberapa besar hubungan antara kedua aspek tersebut. SIMPULAN
Salah satu keterbatasan dari peneliƟan ini adalah bahwa penilaian skoring gejala tenggorok yang Ɵmbul hanya dilakukan sekali saja, dalam rentang waktu 20-24 jam pasca Ɵndakan operasi dan anestesi. Sebenarnya alasan utama dipilihnya masa tersebut adalah perƟmbangan bahwa kejadian gejala tenggorok tersering dan terparah keluhannya muncul didalamnya.7 Selain itu, dianggap pada masa waktu 20-24 jam pasca Ɵndakan operasi dan anestesi apabila dilakukan wawancara dan penilaian keparahan gejala, akan diperoleh data subyekƟf yang baik karena pengaruh anestesi umum yang diberikan sudah hilang. Namun apakah dimungkinkan terjadinya delayed symptoms, tentunya diperlukan peneliƟan lebih lanjut dengan desain yang l ebih advanced yaitu dengan observasi prospecƟve cohort. Sebagai hasil peneliƟan terhadap 50 orang pasien yang dilakukan operasi pembedahan elekƟf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakheal di GBPT RSU.
Soetomo Surabaya selama periode peneliƟan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pasien-pasien yang dijumpai dalam peneliƟan ini memiliki karakterisƟk antara lain : umur mereka bervariasi antara 22 sampai 60 tahun dengan rata-rata adalah 42,20 ± 16,63 tahun, sebagian besar adalah perempuan yaitu 29 orang (58%), dan memiliki kondisi preoperaƟf yang sebagian besar (60%) adalah status PS ASA 2. 2. Jenis-jenis operasi pembedahan yang didapat selama periode peneliƟan melipuƟ antara lain orthopedi, ginekologi, digesƟf, urologi, dan onkologi (breast ). Dimana jumlah terbanyak pasien adalah yang menjalani operasi orthopedi dan digesƟf, keduanya secara bersama-sama mencapai 64% dari keseluruhan. 3. Pipa endotrakea yang digunakan untuk intubasi pada pasien selama periode peneliƟan lebih dari separuhnya (72%) adalah jenis kinked , dengan ukuran diameter interna yang tersering digunakan adalah 7,5 mm (48%). Tekanan kaf yang diberikan dengan alat EndotestR adalah sesuai dengan tekanan yang rekomendasikan yaitu antara 25-30 cmH2O, sedangkan volume udara yang diisikan rata-rata sebanyak 5,24±1,66 ml. 4. Kejadian gejala tenggorok yang dialami pasien selama periode peneliƟan hanya melipuƟ nyeri tenggorok dan batuk minimal saja, yang terjadi pada 10 (20%) pasien. Semua faktor yang diperkirakan memiliki kaitan dengan kejadian tersebut; misal umur, jenis kelamin, ukuran diameter interna dan jenis pipa endotrakea, jenis agen anestasi, serta lama operasi; ternyata Ɵdak menunjukkan hubungan yang signifikan secara staƟsƟk (p>0,05). 5. Kejadian gejala tenggorok pasca intubasi endotrakheal pada pasien yang dilakukan intubasi dengan pengisian kaf pipa endotrakea berdasarkan esƟmasi klinis atau sesuai tekanan yang diukur dengan alat khusus pengukur tekanan kaf EndotestR memiliki Odds RaƟo MantelHaenszel =0,603 dengan CI 95% (0,147;2,468), yang berarƟ Ɵdak ada perbedaaan antara keduanya dan/ atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada Ɵndakan intubasi dalam peneliƟan ini Ɵdak memiliki hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pascaƟndakan. DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Christense Am, Willemoes-Larsen H, Lundby L, Jakobsen KB. PostoperaƟve throat complaints aŌer tracheal intubaƟon. Br J Anaesth. 1994; 73: 786-7. Loeser EA, BeneƩ GM, Orr DL, Stanley TH. ReducƟon of postoperaƟve sore throat with new endotracheal tube cuff. Anesthesiology . 1980; 52: 257-9. Stout DM, Bishop MJ, dwersteg JF, Cullen BF. CorrelaƟon of endotracheal tube size with sore throat and hoarseness following general anesthesia. Anesthesiology . 1987; 67: 419-21. Jensen PJ, Hommelgaard P, Sondergaard P, Eriksen S. Sore throat aŌer operaƟon: influence of tracheal intubaƟon, intra cuff pressure and type of kaf. Br J Anaesth. 1982; 54: 453-6. Bernhard WN, Yost L, Turndorf H. Cuffed tracheal tubes-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •24•
HERDY SULISTYONO H
physical and behavioral characterisƟcs. Anesth Analg. 2003; 61: 36-41. 6. Kambic V, Radsel Z. IntubaƟon lesions of the larynx. Br J Anaesth. 1998; 50: 587-90 7. Sulistyono H. Pengaruh intubasi endotrakheal pada gangguan tenggorok: Perbandingan pemakaian pipa endotrakheal bersih dan steril . Warta IKABI. 1990; 3 (1): 32-38. 8. Steward SL, Secrest JA, Norwood BR. A comparison of endotracheal tube cuff pressures using esƟmaƟon techniques and direct intra cuff measurement. AANA Journal . 2003; 71 (6): 443-7. 9. Sukidin M. Metode PeneliƟan, Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia PeneliƟan. Insan Cendikia, Surabaya, 2005. 10. Wawolumaya C. Metodologi Riset Kedokteran: Metode Epidemiologi Eksperimen. SeƟa BJ, Jakarta, 1997. 11. Dobrin P, Canfield T. Kaf endotracheal tubes: mucosal pressure and tracheal blood flow. The American Journal of Surgery . 1977; 133: 562-7 12. Nguyen T, Saidi N. Nitrous oxide increases endotracheal cuff pressure and the incidence of tracheal lesions in anestheƟzed paƟents. Anest Analg. 199; 89 (1): 187-90 13. O’Donnell JH. Orotracheal tube intra cuff pressure iniƟally and during anesthesia including nitrous oxide. CRNA: Clin Forum Nurse AnestheƟst . 1995; 6: 79-85, 2000. 14. Bensaid S, duvaldesƟn P. Nitrous oxide increases endotracheal cuff pressure and the incidence of tracheal lesions in anestheƟzed paƟents. Anesth Analg. 1999; 89: 187-90 15. Manissery JJ, Shenoy V, Ambareesha M. Endotracheal tube cuff pressures during general anaesthesia while using air versus a 50% mixture of nitrous oxide and oxygen as inflaƟng agents. Indian J Anaesth. 2007; 57 (1): 24-27 16. Vandam LD. IntroducƟon to Anesthesia. Longnecker DE, Murphy FL, eds. WB Saunders Co, Philadelphia, 1999. 17. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology . 4th ed. McGraw-Hill Co, Inc. New York. 2006 18. Sengupta P, Sessler DI, Maglinger P. Endotracheal tube cuff pressure in three hospitals, and the volume required to produce an appropriate kaf pressure. BMC Anesth. 2004; 4: 1-6. 19. Yadi DF, King LS. A simple endotracheal tube cuff pressure measuring device: an inexpensive alternaƟve. Anest & Crit Care. 2007; 25: 225-32. 20. Parwani V, Hanh IH, Krieger P. Assesing Endotracheal tube cuff pressure. Amerg Med Serv . 2006; 35: 82-4. 21. Seegobion Rd, Vanhasselt GL. Endotracheal cuff pressure and tracheal mucosal blood flow: endoscopic study of effects of four large volume cuff. Br Med J. 1984; 288: 965-8.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •25•
I LAPORAN KASUS I
Tatalaksana EnsefaliƟs dan Epilepsi di ICU Management EncephaliƟs and Epilepsy in ICU Rudy Manalu
ABSTRACT A 12 years old female was transferred to Intensive Care Unit (ICU) from Intermediate Care (IMC) with uncontrolled seizures due to encephaliƟs. She was managed in ward over 8 days and in IMC for 5 days prior to ICU admission. During management in ICU , the paƟent needed to be intubated followed by mechanical venƟlaƟon . To avoid prolonged endotracheal intubaƟon, a standard tracheostomy procedure was performed to provide a long - term route for mechanical venƟlaƟon. Successful weaning from mechanical venƟlaƟon was achieved aŌer 43 days. The paƟent survived from sepsis with DIC and was discharged from the hospital with post-encephaliƟc epilepsy and conƟnued her treatment with home care, aŌer total treatment of 70 days in ICU.
maƟkan dan merupakan bentuk non epidemik yang disebabkan virus herpes simplek.1 Pada pasien ensefaliƟs yang disebabkan virus herpes simpleks, pengobatan dini dengan aciclovir akan mengurangi morbiditas dan mortalitas secara dramaƟs. Sejak diketahuinya aciclovir secara umum merupakan obat yang aman, pemberian secara empirik dibenarkan apabila secara kilinis diduga penyebabnya adalah herpes simpleks. 1 Pengobatan suporƟf melipuƟ: 1 Proteksi jalan nafas dan pemakaian venƟlasi mekanik pada kasus tertentu. Langkah - langkah untuk mengendalikan ICP (termasuk pemberian manitol) dan mempertahankan CPP. Memantau klinis dan elektrofisiologik dan mengendalikan kejang. Ventrikulostomi untuk hidrosefalus obstrukƟf atau bedah dekompresi pada kasus yang refrakter. Steroid terkadang diberikan pada kasus yang mengancam nyawa pada kenaikan ICP disebabkan pembengkakan otak. •
•
•
•
Keywords: EncephaliƟs, intubaƟon, mechanical venƟlaƟon, tracheostomy, sepsis, epilepsy. ABSTRAK
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang anak perempuan, 12 tahun , yang dirujuk ke Intensive Care Unit (ICU) dari Intermediate Care (IMC) dengan kejang karena ensefaliƟs. Sebelumnya pasien dirawat di ruang perawatan umum selama 8 hari dan setelah itu dirawat di IMC selama 5 hari. Pasien diintubasi dan dibantu dengan venƟlasi mekanik. Untuk menghindari penggunaan ETT yang berkepan jangan dilakukan trakeostomi. Pasien berhasil disapih setelah memakai venƟlasi mekanik selama 43 hari. Dalam perjalanan penyakitnya pasien mengalami Sepsis dan DIC. Pasca ensefaliƟs pasien mengalami epilepsi. Pasien dirawat selama 70 hari di ICU dan mengalami perbaikan. Pasca perawatan ICU pasien pulang ke rumah. Kata kunci : EnsefaliƟs, intubasi, venƟlasi mekanik , trakeostomi, sepsis, epilepsi. PENDAHULUAN
•
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak perempuan, 12 tahun , BB 40 kg diru juk ke ICU dari IMC karena kejang yang Ɵdak terkontrol disebabkan ensefaliƟs. Pasien sebelumnya masuk ke perawatan umum dan dirawat selama 8 hari. Pasien pada awalnya diduga mengalami CVD karena mengeluh sakit kepala selama 2 minggu, sulit bicara dan muntah muntah. Namun diagnosa dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan MSCT dalam batas normal. Pasien dipindahkan ke IMC dan dirawat selama 5 hari sebelum dipindahkan ke ICU. Minggu I di ICU (2-2-2010 s/d 9-2-2010) Saat Ɵba di ICU (2-2-2010, pukul 23.10). Kesadaran pengaruh sedasi (Diazepam drip 50 mg/24 jam), Diameter pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) 4 kali. Kaku kuduk (-) Suhu 38,8 0 C. TD 128/ 78 mmHg, HR 128 x/mnt. SP vesikuler Rh (+)/(+). Pemberian O2 2 L/menit melalui nasal. AGD, pH 7,401, PaO2, 177,3, PaCO2, 51,9, HCO3 32,5, BE 6,9, Sat
IsƟlah EnsefaliƟs diterapkan pada kondisi yang mana terjadi peradangan pada jaringan otak; keƟka terjadi juga peradangan pada selaput otak (meningens) maka digunakan isƟlah meningoensefaliƟs. 1,2 Kebanyakan kasus ensefaliƟs yang ditemukan di ICU adalah disebabkan oleh virus, yang paling umum me-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •26•
Rudy Manalu Program Pendidikan Khusus KIC
RUDY MANALU
Gambar 1.
99,5 %. DPL, Hb 12,2, Ht 39, Leukosit 14.500, Trombosit 276.000. Elektrolit, Na 133, K 3,7, Ca 8,4, Cl 97, GDS 187. Terapi Fenitoin : 3 x 100 mg, Nebulizer 3 x /hari, SucƟoning. Terapi dari IMC diteruskan, Streptomisin 1 x 750 mg, Rimstar® ( Rifampisin 150 mg,INH 75 mg, Pirazinamid 400 mg, Etambutol 275 mg) 3x1 tab. Methycobal® (mecobalamin) 2x1 Parasetamol tab k/p. Zithromax® (Azitromisin) 1 x 500 mg. Diet per NGT: Nutren 6 x 250 mL (diteruskan di ICU). Rencana: Intubasi , pasang Central Venous Catheter (CVC) dan Foto polos toraks. Hari 1 :
Kesadaran pengaruh sedasi, Pupil isokor, diameter pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) sangat sering, kaku kuduk (-), Suhu 36,8 – 38 0 C. Dilakukan foto polos toraks, pemasangan CVC melalui vena subklavia kanan dan intubasi difasilitasi dengan Propofol 40 mg dan Vecuronium 4 mg. TD Sistolik 100 – 120 mmHg Diastolik 60 – 80 mmHg HR 100 – 120 x/ menit. CVP : 6 – 14 cm H2O. Terdapat episode hipotensi TD 80 /40 mmHg, HR 125 x/menit, diberikan cairan gelofusin beberapa kali sampai total 500 mL dan CVP mencapai 12 cm H2O dan TD 90/60 mmHg HR 120 x/menit. Diberikan norepinefrin 0,05 ug/kg BB/menit (dosis Ɵtrasi). SP bronkovesikuler, Rh basah (+)/(+). VenƟlasi mekanik, mode PCV Pinsp 12, RR 12, PEEP 5, I : E = 1 : 2 Fi O2 : 100 % s/d 40 %. Posisi head up 450 , Demam (+), Cooling blanket. Terapi tambahan. IVFD Ringer asetat 1000 mL /24 jam, Pentotal Bolus 100 mg dilanjutkan dengan drip 1- 5 mg/kg bb/jam (dosis Ɵtrasi), Diazepam drip stop, Fenitoin Stop diganƟ dengan Depakene ®syrup (Valproic acid) 2 x 10 mL, RaniƟdin 150 mg 2 x 1 tab. Pengambilan spesimen untuk kultur sputum dan darah. Hari - hari berikutnya Kesadaran pengaruh sedasi. Hemodinamik, MAP 60 – 90 mmHg, HR : 95 – 120 x/ menit. CVP 10 – 14 cm H2O. Respirasi VenƟlasi mekanik PCV Pinsp 12, PEEP 5, RR 10 Fi
O2 30 – 40 %. Kejang (+) sering walau pun sudah diberikan Pentotal drip (dosis Ɵtrasi). Pentotal habis dan diganƟ dengan Propofol 50 mg dan dilanjutkan Propofol drip 2 – 5 mg/ kg/jam (dosis Ɵtrasi). Pasien masih sering kejang (10 -15 kali/hari) , lama kejang 2- 10 menit sehingga beberapa kali diberikan Vecuronium 2 mg IV (ekstra). Pada hari ke-6 dilakukan Lumbal Punksi (LP) dan hasilnya None (-), Pandi (-), Protein kuanƟtaif 15 mg/dL, Glukosa 86 mg/dL, Klorida 126 mEq/L, Hitung sel 1. Dari hasil LP disimpulkan bahwa pasien sudah Ɵdak menderita EnsefaliƟs. VenƟlasi mekanik FiO2 diƟtrasi sesuai dengan keadaan klinis dan hasil Analisis Gas Darah (AGD). Berikut ini grafik PaO2 dibandingkan dengan FiO2 dalam minggu ke- 1. (grafik 1)
Grafik 1.
Tanggal 9 Feb 2010 , Hasil kultur darah : Tidak ada pertumbuhan bakteri setelah 5 hari.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •27•
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
Minggu II di ICU (10/2/2010 s/d 16/2/2010) Kejang masih sering terjadi (5-10 kali/hari), lama kejang 2- 5 menit. Suhu 38-40 0C. Hemodinamik , MAP 65–90 mmHg HR 90 - 120 x/menit. CVP 11-18 cm H2O. SP bronkovesikuler ,Rh +/+ ,Wh (-). VenƟlasi mekanik, PCV Pinsp 12, RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 30-50 %. Pada hari ke- 14 didapatkan hasil kultur dan Resistensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan bakteri batang gram negaƟf dan sensiƟve terhadap Amikasin, Gentamisin, Piperacillin + Tazobactam, Imepenem, meropenem, Cefepime, CeŌazidim, Siprofloksasin, Aztreonam, Piperacillin, Levofloksasin. Perubahan Terapi. Meropenem 3 x 500 mg, Amikasin 1 x 500 mg, Farmadol drip 1 gr dalam 6 jam, kalau demam. Dibawah ini grafik PaO 2 / FiO2 dalam minggu ke -2.
RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 30–40. Pada hari ke-16 dilakukan pemasangan CVC yang baru melalui vena subklavia kiri karena CVC yang lama Ɵdak berfungsi dengan baik. Terdapat perembesan darah pada tempat insersi CVC. Ujung CVC yang lama dikultur. Dilakukan foto polos toraks setelah pemasangan CVC. Tanggal 22-2-2010, sputum dikultur. (Gambar 2) Di bawah ini adalah grafik PaCO2/FiO2 dalam minggu ke-3. (Grafik 3)
Grafik 3.
Grafik 2. Minggu III di ICU (17-2-2010 s/d 23-2-2010) Kejang masih sering terjadi (5- 8 kali/hari), lama ke jang 1- 3 menit. Suhu 38- 39 0C. Hemodinamik, MAP 60–90 mmHg, HR 90-120 x/menit. CVP 11-18 cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). VenƟlasi mekanik, PCV Pinsp 12,
Gambar 2.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •28•
RUDY MANALU
Minggu IV di ICU (24-2-2010 s/d 2-3-2010) Kejang masih sering terjadi (2-3 kali/hari), lama kejang 1- 3 menit. Pada hari ke-24, Ɵdak dtemukan adanya kejang, hanya gerakan involunter. Suhu 38- 390 C. Hemodinamik , MAP 60–95 mmHg HR 95-120 x/menit. CVP 10-16 cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). VenƟlasi mekanik, PCV Pinsp 12, RR 10-12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 : 30–40 %. Tanggal 27-2-2010 diterima hasil kultur dan resistensi ujung CVC: Klebsiela pneumoniae, ditemukan bakteri kokobasil gram negaƟf. Keterangan: Pada pasien ditemu-
kan bakteri Klebsiela pneumoniae dengan ESBL (+). SensiƟf terhadap Meropenem, Ertapenem, Imipenem, G entamisin, Amikasin, piperacillin + Tazobactam. Perubahan terapi Piperacillin + Tazobactam 3 x 2,25 gr. Gentamisin 1 x 160 mg Tanggal 1-3-2010 diterima hasil kultur dan resistensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan batang gram negaƟf. SensiƟf terhadap: CeŌazidim, Aztreonam, Siprofloksasin, Levofloksasin, Gentamisin, Amikasin, Piperacillin , Meropenem (I). Diet cair 1900 kalori (6 x pemberian ) + puƟh telur 3 x 2 buƟr. Di bawah ini adalah grafik PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -4.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •29•
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
dirubah menjadi SIMV namun dua kali mengalami desaturasi pada tanggal 5-3-2010, didapatkan PaO2 59,8 dengan FiO2 0,4 dan pada tanggal 9-3-2010 didapatkan PaO2 65,2 dengan FiO2 0,4. Dilakukan kultur dan resistensi darah dan sputum pada tangal 6 Maret 2010. Albumin 25 % per hari selam 3 hari. Di bawah ini adalah grafik PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -5.
Grafik 4. Minggu V di ICU (3-3-2010 s/d 9-3-2010) Pasien bebas kejang selama 5 hari, kejang 1 kali hari ke- 34 dan 3 kali pada hari ke-35, lama kejang 1-3 menit. Suhu 38-39 0C, Hemodinamik MAP 60 – 95 mmHg, HR 95 - 120 x/menit. CVP Ɵdak bisa berfungsi untuk pengukuran, hanya untuk jalur masuk obat. Darah keluar dari hidung dan mulut. Maka diperiksa faal hemostasis dan diberikan Heparin 10.000 Unit/24 jam. Hematologi: FFP 400 ml, Cryoprecipitate 5 kantong (4 maret 2010). 5 Maret 2010 FFP 300 mL, Cryoprecipitate 3 kantong, Heparin 10.000 IU/ 24 jam. 6 Maret 2010 Heparin 12.000 IU/24 jam, PRC 500 mL dan periksa AT III, 8 Maret 2010: Heparin 15.000 IU/24 jam, 9 Maret 2010; Heparin 16.000 IU/ 24 jam. Tanggal 4 - 3 – 2010 KCL drip 50 mEq / 24 jam setelah itu KSR 3 x 1 tab. SP vesikuler, Rh -/- ,Wh (-). VenƟlasi mekanik. Mulai dicoba proses penyapihan secara bertahap
Grafik 5. Minggu VI di ICU (10-3-2010 s/d 16-3-2010) Kesadaran pengaruh sedasi. Kejang 1-2 kali per hari. Hemodinamik, MAP 65–100 mmHg, HR 90– 100 x /menit. SP Vesikuler Rh -/-, Wh (-)/(-). VenƟlasi mekanik proses penyapihan di mulai dengan SIMV. Pada tanggal 13 – 3 - 2010 : CPAP. Pada tanggal 15 – 3 – 2010 : T- piece. Dibawah ini grafik perbandingan PaO2 : FiO2 selama minggu ke-6.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •30•
RUDY MANALU
Tanggal 10-3-2010 dipasang CVC melalui vena subklavia kanan dan ujung CVC yang lama dikultur ; dilakukan foto polos toraks. Tanggal 11-3-2010 didapatkan hasil kultur dan resistensi darah, ditemukan bakteri gram negaƟf Klebsiela pneumoniae. SensiƟf terhadap : Meropenem, Amox + Clavulanic Acid, Siprofloksasin, Levofloksasin, Ertapenem, Imepenem, Gentamisin, Cefepime, Amikasin. Sputum: ditemukan bakteri batang gram negaƟf Pseudomonas aeruginosa. SensiƟf terhadap CeŌazidim, meropenem,Siprofloksasin, Gentamisin, Cefepime, Amikasin, Piperacillin + Tazobactam (I). Terapi. Meropenem 3 x 1 gr dan Siprofloksasin 3 x 200 mg. Zonegran ( Zonisamid) 100 mg : 2 x 1 ( Obat anƟ epilepsi). Grafik 6.
Gambar 3. Foto toraks tanggal 10-3-2010.
Minggu VII di ICU (17-3-2010 s/d 23-3-2010) GCS : E4 M4Vtrakeostomi, Suhu : 37 -37,50 C. Gerakan involunter (+) Hemodinamik , MAP 70-90 mmHg HR : 90 – 100 x/menit, CVP 7,5–8,5 cm H2O. Respirasi Spontan tanpa venƟlasi mekanik dengan O2 5 L/menit didapatkan pulse oxymetry saturasi :98-99 %. SP Vesikuler Rh -/- , Wh -/-, RR 14 – 16 x/ menit. Tanggal 17-3- 2010 , Hasil kultur ujung CVC : Tidak ditemukan bakteri. Tanggal 18-3-2010, dilakukan kultur dan resistensi sputum. Tanggal 22-3-2010, hasil kultur dan Resistensi sputum ditemukan bakteri batang gram negaƟf Pseudomonas aeruginosa. SensiƟf terhadap Siprofloksasin, Levofloksasin, Cefepime, Amikasin. Pasien secara klinis mengalami perbaikan, maka di-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 31•
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
coba untuk menghenƟkan pemakaian anƟbioƟk. Minggu VIII di ICU (24-3-2010 s/d 31-3-2010) GCS E4M4Vtrakeostomi, Suhu 37-37,5 0C (tanggal 28-3-2010 suhu 38,4 0 C ). Gerakan involunter (+). Hemodinamik, MAP 70-90 mmHg, HR 90 – 100 x/menit. CVP 7,5 – 8,5 cm H2O. Respirasi Spontan tanpa venƟlasi mekanik dengan O2 5 L/menit didapatkan pulsasi. Oksimetri saturasi 98-99 %. SP Vesikuler Rh -/- , Wh -/- , RR 14 – 16 x/ menit. Foto polos toraks 25 – 3 – 2010 , EksperƟse Radiologis: paru, bercak di kedua paru berkurang, hilus normal. Jantung, bentuk dan besar kesan normal. MediasƟnum Ɵ-
dak melebar, trachea letak di tengah. Kedua sinus phrenicocostalis tajam. Diafragma kanan-kiri baik. Tampak masih terpasang TT dan CVC kedudukan stqa. Dibanding foto tanggal 10 -3-2010, perbaikan. Tanggal 25-3- 2010 pemberian Heparin drip 5000 IU / 24 jam. Tanggal 31-3- 2010 pemberian Heparin 5000 IU /hari SK. Tanggal 28-3- 2010 dilakukan bronkoskopi karena terdapat adanya darah dari lumen trakeostomi sewaktu sucƟoning. Terdapat stenosis parsial oleh karena ujung trakeostomi tube menempel ke dinding trakea. Dilakukan kultur dan resistensi dengan bahan bilasan bronkus. Tanggal
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 32•
RUDY MANALU
29-3-2010 : Cefepime 3 x 1 gr. Pasien rencana pindah ke IMC.
Gambar 4. Foto toraks tanggal 25-3-2010
Minggu IX di ICU ( 1-4-2010 s/d 7-4-2010) GCS E4 M4Vtrakeostomi, Suhu 37 -37,5 0C, terdapat gerakan gerakan involunter. Hemodinamik, MAP 70 - 90 mmHg HR 90 – 100 x/menit. CVP 7,5 – 9,5 cm H2O. SP vesikuler Rh (-) /(-). Respirasi Spontan tanpa venƟlasi mekanik dengan O2 5 L/menit didapatkan pulse oxymetry saturasi 98- 99 %. Tanggal 3-4-2010. Hasil bilasan bronkus : Candida parapsilosis dan sensiƟf terhadap Amfoterisin B, Flusitosin, Flukonazol ,Vorikonazol. Pseudomonas aeruginosa dan sensiƟf terhadap CeŌazidim, Siprofloksasin, Levofloksasin, Amikasin, Piperacillin + Tazobactam. Diet bubur saring 1900 kalori (6 x pemberian ) , puƟh telur 3 x 2 buƟr. Perubahan Terapi: Fluconazol drip 1 x 200 mg. Minggu X di ICU ( 8-4-22010 s/d 14-4-2010) GCS E4M5V4, Suhu 36,5-37 0 C, terdapat gerakangerakan involunter. Hemodinamik, MAP 78-100 mmHg, HR 90 – 100 x/menit. CVP 7,5 – 10 cm H2O. SP vesikuler Rh (-)/ (-) Wh (-). Respirasi spontan dengan udara kamar pulse oxymetry saturasi 98- 99 %. Tanggal 8- 4 -2010 tracheostomy tube dilepas. Tanggal 9-4 -2010 CVC dilepas. Tanggal 10-4-2010 rencana pindah ke ruang perawatan umum. Tanggal 14-4- 2010 keluar perawatan ICU dan langsung pulang ke rumah. PEMBAHASAN
Dalam laporan kasus ini ada beberapa hal yang akan dibahas antara lain: ensefaliƟs, tata kelola kejang, tata kelola sepsis dan DIC. Gambar 5. Bronkoskopi tanggal 28-3-2010
EnsefaliƟs Pasien ini masuk ke rumah sakit dan dirawat den-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 33•
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
gan dugaan CVD namun diagnosis dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan MSCT dalam batas normal. Keluhan pasien adalah sakit kepala yang hebat selama 2 minggu, sulit bicara dan muntah-muntah. Dalam perjalanannya, terdapat gerakan involunter pada lengan pasien. Dilakukan pemeriksaan EEG dan hasilnya : EEG abnormal, perlambatan umum terutama kiri. Pasien mengalami demam, kejang, penurunan kesadaran namun Ɵdak dijumpai kaku kuduk. Dilakukan lumbal punksi dan hasilnya : Glukosa
49 mg/dL, Protein 17 g/dL, hitung sel 173 uL, PMN 10 %, MN 90 %, None (-), Pandy (-). Dari data di atas ditegakan diagnosis pasien menderita EnsefaliƟs dimana terdapat demam, sakit kepala, muntah, gangguan bicara, kejang, penurunan kesadaran, Ɵdak terdapat kaku kuduk.1,3 Analisis cairan liquor juga mendukung diagnosa tersebut dimana terdapat pleositosis (predominantly mononuclear cells) dan kadar protein yang Ɵnggi.3
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 34•
RUDY MANALU
Penyebab ensefaliƟs adalah:3 HSV type 1 dan 2 (terutama pada neonatus), VZV, EBV, measles virus (PIE dan SSPE), mumps, rubella yang disebarkan melalui kontak antar personal. Mycoplasma species Ricketsia Tozoplasma •
•
dan diterapi dengan pemberian Propofol atau pun Diazepam secara intermiten . Pasien juga mendapat kan obat anƟ epilepsi Zonisamid yang bekerja dengan cara menghambat Na+ channels, menghambat Ca++ channels, memblok akƟvitas Glutamat dan meningkatkan GABA. KeƟka pasien pulang masih terdapat gerakan-gerakan involunter.
• •
Selama perawatan di ruangan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui penyebabnya. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan : 1. HSV 1 Ig G (+) 1,916 , HSV1 IgM (-) 2. HSV2 Ig G (-), HSV2IgM (-) 3. Toxoplasma IgG (-), IgM (-) 4. Rubella IgG (+) 226, Rubelle IgM (-) 5. CMV Ig G (+) 11, CMV IgM (-) 6. AnƟ Mycoplasma IgG : 72,40 RU/mL, AnƟ Mycoplasma IgM 3,43 RU/mL Dari hasil ini didapatkan kesimpulan bahwa Ɵdak dijumpai virus sebagai penyebab karena walaupun ada beberapa IgG (+) tetapi IgM semuanya (-) , tetapi obat anƟ virus tetap diberikan. Disimpulkan juga adanya infeksi Mycoplasma akƟf dan pasien diterapi dengan Azitromisin. Disamping itu juga diberikan OAT oleh dokter spesialis paru karena hasil foto polos toraks menunjukan minimal lesion proses spesifik. Pada hari ke-6 di rawat di ICU dilakukan evaluasi ulang terhadap ensefaliƟs dengan melakukan lumbal punksi dimana hasilnya Ɵdak mendukung ensefaliƟs. Tata kelola Kejang Selama perawatan di ruang perawatan umum dan di IMC pasien mengalami kejang yang diterapi dengan Diazepam drip dan Fenitoin 3x 100 mg. Pasien pindah rawat ke ICU karena kejang yang Ɵdak terkendali dengan terapi di atas. Di ICU pasien diintubasi dan didukung dengan venƟlasi mekanik dan kejang dikendalikan dengan pemberian Pentotal atau pun Propofol. Urutan pengendalian kejang adalah pertama dengan pemberian Benzodiazepin dan apabila kejang masih ter jadi juga diberikan Fenitoin. Bila kejang masih terjadi juga maka pasien diintubasi dan dibantu dengan venƟlasi mekanik dan kejang dikendalikan dengan salah satu obat yaitu: Thiopental, Propofol, atau Midazolam.4 Obat pelumpuh otot mungkin diperlukan pada kejang yang Ɵdak terkendali dan berkepanjangan.5 Di ICU pemberian Fenitoin dihenƟkan karena kadar Fenitoin dalam darah sudah jauh melebihi ambang batas. Kejang yang sangat sering dan lama menyebabkan digunakannya pelumpuh otot sebagai tambahan untuk mengendalikan kejang. Penggunaan sedasi dan pelumpuh otot yang banyak dan lama akan menyebabkan kelemahan otot-otot pernafasan yang akan mempersulit proses penyapihan dari venƟlasi mekanik. Pasca ensefaliƟs pasien masih mengalami kejang
Tatalaksana Sepsis dan DIC Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi ditambah manisfestasi sistemik dari infeksi.7 Manifestasi sistemik dari infeksi (Systemic Inflammatory Respon Syndrome = SIRS) ditandai dengan terdapatnya paling sedikit dua dari kondisi berikut : Suhu < 36 0C atau > 38 0C, Laju jantung > 90 x/menit, Laju nafas > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg atau memerlukan venƟlasi mekanik, jumlah leukosit < 4000/uL atau > 12.000/uL. Pasien ini kita sebut mengalami sepsis karena terdapatnya SIRS dan adanya infeksi paru (Pneumonia). Temuan laboratorium disamping biakan kuman, leukositosis (terutama pada minggu ke-4) , juga terdapat kadar CRP yang Ɵnggi, kadar asam laktat dan juga Prokalsitonin mendukung diagnosa tersebut. Pneumonia bakterial secara Ɵpikal akan tampak dengan adanya demam, leukositosis, produksi sputum yang purulent, dan terdapatnya gambaran infiltrat yang baru pada pemeriksaan foto toraks.9,10 PenƟng membedakan beberapa terminologi seperƟ : Hospital Acquired Pneumonia (HAP), VenƟlator Associated Pneumonia (VAP) dan Health Care Assosiated Pneumonia (HCAP). HAP adalah pneumonia yang Ɵmbul dalam waktu 48 jam setelah rawat inap ,dan Ɵdak dalam masa inkubasi pada saat pasien masuk. VAP adalah pneumonia yang Ɵmbul dalam waktu 48 – 72 jam setelah intubasi endotrakeal. HCAP adalah pasien yang dirawat dalam perawatan akut , selama dua hari atau lebih karena infeksi dalam waktu 90 hari terakhir ; Ɵnggal di panƟ wreda atau fasilitas perawatan jangka panjang lainnya; menerima terapi anƟbioƟka intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari terakhir; atau mendapatkan hemodialisis baik di klinik mau pun rumah sakit. Pemberian anƟbioƟka pada pasien ini disesuaikan dengan hasil kutur dan resistensi dari bahan sputum dan darah. Namun tetap ditemukan adanya Pseudomonas aeruginosa pada sputum pasien ini sampai perawatan minggu ke-7. Karena secara klinis didapatkan perbaikan, jumlah leukosit menurun, foto polos toraks perbaikan maka pemberian anƟbioƟk dicoba dihenƟkan. Dilakukan pemantauan dan setelah 7 hari bebas anƟbioƟk, Ɵmbul kembali demam dan terjadi sedikit kenaikan leukosit sehingga kembali diberikan anƟbioƟk. Hemodinamik pada pasien ini relaƟf stabil dengan mencukupkan volume intra vaskular (pemantauan nilai CVP) dan juga bantuan vasopresor sehingga Ɵdak sampai terjadi sepƟk syok. Disseminated Intravascular CoagulaƟon (DIC) bukanlah gangguan primer dan yang tersering merupakan komplikasi dari Sepsis, trauma, dan kegawatan obstetrik (seperƟ abrupƟo placentae).11 Pada pasien ini secara klinis terjadi perdarahan dan pemeriksaan faal hemostasis menunjukan terjadinya DIC
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 35•
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
yaitu trombositopenia, PT dan APTT yang memanjang dan peningkatan D-Dimer.12,13 Terapi dari DIC 13 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) Cryoprecipitate Transfusi trombosit , yang mungkin diperlukan apabila terjadi perdarahan yang mengancam jiwa. AnƟ trombin III Heparin • • • •
• • •
Pada pasien ini diberikan heparin dengan dosis yang disesuaikan dengan temuan laboratorium , FFP dan Cryoprecipitate. Walau pun pada minggu ke-5 terjadi penurunan jumlah trombosit sampai mencapai 23.000 tetapi Ɵdak diberikan transfusi trombosit. Terjadi kenaikan jumlah trombosit dengan sendirinya pada minggu ke-6.
phia: BuƩerwoth Heinemann Elsevier, 2009; 415– 26. 10. Marino PL. Trombocytopenia and platelet transfusions. The liƩle ICU book of facts and formulas. Philadelphia: LippincoƩ Williams & Wilkins; 2009; 493-503. 11. Kwasneske D. Understanding Disseminated Intravascular Coagulated (DIC). Available from: hƩp: // faculty alverno.edu. 12. Isbister JP. HaemostaƟc failure. In: Bersten AD, Soni N ed. Oh’s intensive care manual . Sixth ed. Philadelphia: BuƩerwoth Heinemann Elsevier, 2009; p. 1025 - 38.
SIMPULAN
Pasien menderita ensefaliƟs dengan kejang yang Ɵdak terkontrol sehingga diperlukan perawatan di ICU. Dalam perjalan penyakitnya pasien menderita pneumonia, sepsis dan DIC. Di ICU dilakukan tata kelola pasien kejang dan sepsis dan pasien Ɵdak sampai mengalami sepƟk syok sehingga mengalami perbaikan. Pasien pulang dengan gejala sisa epilepsi. DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hinds CJ, Watson D. EncephaliƟs-intensive care a concise textbook . Third ed. Philadelphia: Saunders; 2008; 422. Kennedy AM. MeningiƟs and encephalomyeliƟs. In: Bersten AD, Soni N ed. Oh’s Intensive Care Manual . Sixth ed. Philadelphia: BuƩerwoth Heinemann Elsevier, 2009; 583 - 91. Childhood meningiƟs and encephaliƟs. Available from: hƩp : //www.ped-zag org. Hinds CJ, Watson D. Status epilepƟcus-Intensive care a concise textbook . Third ed. Philadelphia: Saunders; 2008; p. 432-36. Opdam HI. Status epilepƟcus. In: Bersten AD,Soni N ed. Oh’s intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: BuƩerwoth Heinemann Elsevier, 2009; p. 541 - 48. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving sepsis campaign: InternaƟonal guidelines for management of severe sepsis and sepƟc shock 2008. Crit Care Med 2008; 36(1): 299-327. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Bersten AD,Soni N ed. Oh’s intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: BuƩerwoth Heinemann Elsevier, 2009; p. 709-16. Marino PL. Pneumonia in the ICU –The liƩle ICU book of facts and formulas. Philadelphia: LippincoƩ Williams & Wilkins; 2009; p. 535-47. Gomersall CD. Pneumonia. In: Bersten AD,Soni N ed. Oh’s intensive care manual . Sixth ed. Philadel-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 36•
I LAPORAN KASUS I
Perdarahan Terkait KoagulopaƟ pada Infeksi Intraabdominal Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal InfecƟon Diah WidyanƟ
ABSTRACT Naturally, human body has a complex mechanism in compensaƟng certain bleeding to anƟcipate blood loss. Some life threatening bleeding is caused by combinaƟon of vascular rupture and coagulopathy. This condiƟon needs resuscitaƟon. The resuscitaƟon uses much of crystalloid, colloid, and followed by Red Blood Cell transfusion. The main treatment of coagulopathy related bleeding are fresh frozen plasma transfusion, thrombocyte, coagulant factor, and cryoprecipitate. But however, coagulopathy oŌen happens in early period of post injury and acts as mortality predictor so independently that has a potenƟal to decrease mortality rate. It is also important to anƟcipate chain connecƟon between acidosis, metabolic, hypothermia, and progresif coagulopathy as soon as possible. Keywords: coagulopathy, infecƟon, intraabdominal. ABSTRAK
Secara alamiah, tubuh mempunyai mekanisme kompleks untuk melakukan kompensasi keƟka terjadi perdarahan agar tubuh Ɵdak kehilangan banyak darah. Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan pembuluh darah dan koagulopaƟ. Hal ini membutuhkan resusitasi sebagai penatalaksanaan. Resusitasi pada perdarahan masif menggunakan sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diikuƟ transfusi sel darah merah (RBC). Penatalaksanaan perdarahan terkait koagulopaƟ (koagulopaƟ-related bleeding) yang terutama ialah transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, koagulopaƟ sering terjadi pada awal periode pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopaƟ diperkirakan berpotensi menurunkan angka kemaƟan. Maka dari itu, rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopaƟ progresif harus dianƟsipasi sejak dini.
han merupakan salah satu tanggung jawab bersama antara dokter bedah dan dokter anestesi. Secara alamiah, tubuh mempunyai mekanisme kompleks untuk melakukan kompensasi keƟka terjadi perdarahan agar tubuh Ɵdak kehilangan banyak darah, yaitu melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada pembuluh darah yang mengalami cedera, disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Mekanisme yang kompleks ini akan berusaha mempertahankan darah tetap cair dan mengalir lancar dalam pembuluh darah untuk kembali ke dalam keadaan fisiologis. Resusitasi cairan dan darah pada kasus perdarahan menunjukkan perbaikan secara signifikan, tetapi pada perdarahan yang Ɵdak terkontrol masih merupakan tantangan tersendiri dan diperkirakan sekitar 40% kejadian dapat menyebabkan kemaƟan. Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan pembuluh darah dan koagulopaƟ. Kerusakan pada pembuluh darah besar sering membutuhkan Ɵndakan pembedahan secara cepat, tetapi koagulopaƟ karena perdarahan yang difus sulit untuk ditangani. Penyebab koagulopaƟ bersifat mulƟfaktorial, termasuk di antaranya konsumsi dan dilusi faktor pembekuan dan trombosit, disfungsi trombosit dan sistem koagulasi, peningkatan fibrinolisis, gangguan sistem koagulasi karena pemberian cairan koloid, transfusi dan hemodulisi masif, hipokalsemia serta disseminated intravascular coagulaƟon-like syndrome. Kombinasi koagulopaƟ dengan hipotermia dan asidosis disebut ‘lethal triad ’ karena dapat menyebabkan angka kemaƟan yang Ɵnggi. Resusitasi pada perdarahan masif menggunakan sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diikuƟ transfusi sel darah merah (RBC). Walaupun tranfusi RBC memperbaiki transpor oksigen, tetapi Ɵdak dapat mengoreksi kehilangan faktor koagulasi dan trombosit serta dapat menyebabkan koagulopaƟ. Penatalaksanaan perdarahan terkait koagulopaƟ (koagulopaƟ-related bleeding) yang terutama ialah transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, pada koagulopaƟ yang disertai hipotermia dan asidosis, pengganƟan
Kata kunci: koagulopaƟ, infeksi, intraabdominal
Diah WidyanƟ PENDAHULUAN
Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi KIC
Kontrol terhadap perdarahan selama pembeda-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 37•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
(replacement ) yang adekuat sekalipun Ɵdak mampu mengontrol perdarahan dan pasien dapat jatuh pada kondisi yang serius. KoagulopaƟ sering terjadi pada awal periode pascajejas ( post-injury ) dan merupakan prediktor mortalitas yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopaƟ diperkirakan berpotensi menurunkan angka kemaƟan. Infeksi dan mulƟple organ gagal (MOF) adalah komplikasi yang terjadi pada pasien yang selamat dari jejas. PeneliƟan menunjukkan bahwa akumulasi dari tranfusi RBC mempunyai efek negaƟf terhadap lamanya pernyembuhan penyakit dan meningkatnya kejadian infeksi pascajejas dan MOF. Mengurangi pemberian RBC mungkin dapat menurunkan komplikasi dan memperbaiki keluaran (outcome). Mekanisme Hemostasis Terdiri dari Ɵga sistem yaitu : 1. Sistem koagulasi 2. Sistem penghambat koagulasi 3. Sistem fibrinoliƟk. Sistem koagulasi Faktor-faktor koagulasi terdiri dari protein di dalam plasma yang berbentuk prekursor akƟf, yaitu : Faktor I = fibrinogen faktor II = protrombin faktor III = tromboplasƟn faktor IV = kalsium faktor V = proakselerin (faktor labil)
faktor VII = prokonverƟn (faktor stabil) faktor VIII = faktor anƟ hemoliƟk faktor IX = komponen tromboplasƟn plasma (faktor Christmas) faktor X = faktor Stuart—Power faktor XI = anteseden tromboplasƟn plasma faktor XII = faktor Hageman faktor XIII = faktor stabilisator fibrin Faktor V dan VIII cepat menjadi nonakƟf di dalam darah simpan. Sistem penghambat koagulasi Merupakan sistem yang merusak seƟap faktor akƟf, beberapa saat setelah faktor tersebut menjadi akƟf. Sistem fibrinoliƟk Sistem ini membentuk plasmin yang menghancurkan fibrin. Plasmin dibentuk dari plasminogen yang terdapat di dalam jaringan, plasma dan air kemih. Selain menghancurkan fibrin, plasmin juga merusak fibrinogen, faktor V, dan factor VIII. Di dalam pembuluh darah, plasmin cepat dinonakƟŅan oleh anƟplasmin. Respon Tubuh Terhadap Perdarahan Setelah perdarahan, albumin, air dan elektrolit akan berpindah dari ruang intersƟƟal ke intravaskuler. Orang sehat dapat memobilisasi cairan dengan cara ini sebanyak 100 ml/ jam, dengan kecepatan yang makin lambat,
dan hemodilusi ini akan berakhir setelah 36 - 48 jam pasca perdarahan. PeneliƟan membukƟkan, cairan ringer laktat yang dimasukkan dengan cepat ke dalam sirkulasi pasien yang kehilangan 10% darahnya akan dipertahankan lebih lama dari pada bila infuse tersebut dilakukan kepada orang yang normovolemik. Perdarahan yang Masif dan Akut Apabila perdarahan mencapai 20 - 30% volume darah akan terjadi gangguan perfusi paru. Penurunan curah jantung yang terjadi juga meningkatkan ekstraksi oksigen oleh jaringan. ArƟ klinis perubahan ini ialah 1. Obat-obat golongan morfin harus diberikan dengan haƟhaƟ, dan hanya atas indikasi yang kuat (untuk mengatasi nyeri hebat). 2. Peningkatan fraksi oksigen inspirasi (30% atau lebih) biasanya sangat menolong. 3. Cairan seperƟ NaCl, plasma, dextran, ringer laktat atau plasma ekspander yang lain harus segera diberikan sampai tersedia darah. Penyulit setelah transfusi masif Transfusi masif ialah transfusi sebanyak 500 ml dalam waktu < 5 menit, atau transfusi sebanyak 50% volume darah resipien dalam waktu kurang dari 1 jam. • Gangguan pembekuan darah akibat pengenceran. • Koagulasi intra vaskuler diseminata. • Intoksikasi sitrat. Dapat diatasi dengan pemberian kalsium. • Pergeseran keseimbangan asam — basa. Biasanya ter jadi asidosis ringan yang Ɵdak boleh terburu-buru di koreksi, karena dengan sirkulasi yang baik keadaan ini akan terkoreksi sendiri dalam waktu beberapa jam. • Hiperkalemia. • Pengendapan mikroagregat di dalam paru sehingga terjadi edema paru. • Pergeseran kurva disosiasi oksigen — hemoglobin ke kiri, sehingga pelepasan oksigen untuk jaringan lebih sukar, akibat 2,3 DPG yang rendah. Kurva ini akan kembali normal setelah 24 jam.
ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki, 26 tahun, BB 53 kg, datang dengan keluhan keluar feses dari perut sejak 2 hari SMRS disertai keluhan nyeri yang sangat pada perut yang Ɵmbul mendadak, nyeri dapat dilokalisir. Pasien memiliki riwayat operasi post Appendiktomy di tahun 2004 dan post Laparotomy ai. Ileus Obstruksi di tahun 2006. Pada tanggal 26 April 2009 (6 hari SMRS) post laparatomy eksplorasi di RS TNI Bogor, penemuan intra-operasi didapatkan perlengketan usus kecil, di lakukan adhesiolisis, 4 hari post op, terjadi obstruksi dan fistel dari luka operasi. Pada pasien Ɵdak ditemukan adanya kelainan/penyakit seperƟ hipertensi, DM, sakit jantung (nyeri dada), sakit paru (TBC, asma), sakit kuning, riwayat kejang, ping-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 38•
DIAH WIDYANTI
san, cedera kepala, kelainan pembekuan darah. Riwayat merokok (+). Tidak ditemukan adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan atau bahan-bahan tertentu sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit ringan, kompos menƟs, TD 100/60 mmHg, pulse 78 x/mnt, RR 20x/mnt, t 37,4 0C, BB 53 kg/176 cm. Mata tdk anemis dan tdk ikterik. THT Mal II. Gerakan dinding dada simetris, BJ I-II (N), bising (-), gallop (-). Napas Vesk (N), Rh (-), Wh (-). Abdomen supel, Dist (-), peristalƟk (N), fistel enterokutan + faeces. Pada seperƟga abdomen bagian bawah dengan warna kemerahan di sekitarnya. Ekstremitas : akral hangat, udem (-), motorik (N). Pada pemeriksaan penunjang laboratorium 29 April 2009, DPL 11,9/35/15800/173000 BT/CT 330/1230, PT/APTT 19,8/33,1 (12,6/30,4), Alb 3,2 GDS 85 gr% E 121/3,66/104, AGD 7,453/36,2/92,6/24,9/1,6/98,3%, O2 21%. Pada tanggal 08 Mei 2009, Hb 12.1, Hct 35.1, Leukosit 16.300, Trombosit 981.000. Kesimpulan foto thorak Ɵdak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo. Kesan rontgen abdomen 3 Posisi ileus obstrukƟf. EKG :SR,NA, HR: 98x/menit, ST-T ch(-),T tall V2-V6, LVH(-), RVH (-), BBB(-). Diagnosis masuk pasien ini adalah Fistel enterokutan high output + Undernutrisi (BMI 17) + Hyponatremia. Terapi yang diberikan diet rendah sisa, bubur saring 2 kali/hari, Peptamen 6x200cc (1200kalori), KaenMg3 500cc (200 kalori), Triofusin E 500cc (500 kalori), Ivelip20% 100cc (200 kalori), Total: 2300cc (2100 kalori). Pada tanggal 13 Mei diberikan CeŌazidime 2 x 1gr iv. Penderita mendapat perawatan selama 12 hari di ruang HCU Bedah untuk perbaikan gizi dan gangguan elektrolit pro laparatomi eksplorasi pada tanggal 14 Mei 2009. 14/05/09 :ICU jam 23.30 S: Pasien masuk dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i fistel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Assessment ASA III dengan co-morbid SIRS ( leokositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5 oC, takikardia 96-100x/m, takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished (BMI 17.15), Hyponatremia:121. Anestesi General Isofluran + N2O. Lama Operasi 13 jam 30 menit, Lama anestesi 14 jam 45 menit. Masalah intra Op perdarahan >>, hemodinamik Ɵdak stabil, operasi dihenƟkan karena hemodinamik Ɵdak stabil (MAP 40-50) perdarahan >>>, Cairan masuk: kristalloid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc. Keluar perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam.
Kondisi di ICU : O: A : Airway bebas, terintubasi,Tampak Sakit Berat. B: Bagging O2 10 lpm, RR 14-16x/m kemudian di hubungkan dengan venƟlator CMV : RR 12, TV 350, PEEP +5, FiO2 60%, Paru : suara napas vesikular +/+, rh-/-,wh-/- SaO2 100%. C : Perfusi : dingin,basah,pucat, FN 90-100x/m, regular, kuat angkat. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/kgBB/jam), suhu 34-
35oC. Jantung: BJ I-II, reguler, murmur(-),gallop(-). D: DPO, pupil : bulat isokor, refleks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. Pemeriksaan Penunjang : Jam 20.38 : AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/0.3/98.9%, Hb/Ht : 3,1/10.1, Elektrolit: Kalium :3.8/ Natrium :134/ Chlorida :100 Jam 23.30 : AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3 18.3/SaO2 98.4%, dengan CMV : RR 12 TV 350 PEEP +5 fiO2 60%, Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000, SGOT 11,SGPT 12, Ureum 21, KreaƟnin 0.3, PT 27.5/13.2 APTT 80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS 333. A:
Hemodinamik Ɵdak stabil ec.perdarahan, Post laparotomi eksplorasi (LE) + pemasangan stoma a/i fistel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi + SIRS + Undernutrisi, Hipoalbumin. Masalah hemodinamik Ɵdak stabil, perdarahan dan hemodilusi massive, gangguan faal hemostaƟk/ koagulopaƟ, Operasi dan Anestesi lama ( 14 jam 45 menit), Hipotermi suhu 34-35 oC. P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, koreksi komponen darah, Warming, VenƟlator support : CMV : TV: 350cc,RR 12 , PEEP +5, FiO2: 60%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam, NS 10 + miloz 5 mg = 1mg/jam. NS pro CVP. Gelofusin pro resusitasi cairan. Asering pro resusitasi cairan. CeŌazidim 2 x 1 gr.iv (H2). Metronidazol 1 x 1500mg iv (H1). RaniƟdin 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg iv. Vit C 1 x 1 gr iv. APS : Marcain 0.125 %+ fentanyl 1u : 10cc/jam bila hemodinamik stabil. Laporan Operasi 14 Mei 2009 Diagnosis Pra Bedah fistel enterokutan, high out put . Diagnosis Pasca Bedah fistel enterokutan adhesi. Tindakan Adhesiolisis, end ileostomi. Durante operasi : luka lama di buka, tampak perlengketan usus halus dengan dinding abdomen anterior, dilakukan pembebasan, tampak 6 muara fistel sepanjang luka lama, dilakukan pembebasan lebih lanjut kearah oral didapatkan loop usus halus sepan jang 150 cm dari ligamentum Treitz, pembebasan dilanjutkan kearah distal, tampak loop ileum dengan muara fistel sampai dengan 7 cm dari valvula Baunii. Sekum, kolon ascendens, kolon transversum sampai dengan sigmoid kesan intak. IntraoperaƟf di dapatkan MAP berkisar 40-50 mmHg, diputuskan menghenƟkan operasi. Puntung proksimal di keluarkan sebagai stoma, puntung distal ditutup. Luka op-
erasi ditutup dengan jahitan Benton, drain di pelvik sinistra. Masalah selama perawatan di ICU H1 (hari pertama) : Hemodinamik Ɵdak stabil. Tabel 1. Jam
Masalah
Tindakan
23.30
TD 94/51
loading Asering 300cc, vascon 3cc/jam: 0,1ug
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 39•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
24.00
CVP : +51/2
01.00
Hb/Ht : 3,1/10.1
03.00
MAP (62), TD 92/57 mmHg Produksi urine >>, Hb 6,7
Loading gelofusin 300cc-200cc dalam 30 menit PRC 750cc FFP 500cc gelofusin 500cc/30 menit, pesan darah
H2 : 15/05/09 S : O: CNS: di bawah pengaruh obat (DPO), pupil : bulat isokor, refleks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS: BJ I-II normal, murmur -, gallop –. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/ kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38 oC. RS : R R 15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%. Vent: PC8 SIMV15 PS7-8, RR12 TV350,MV 5.5 PEEP5-6, FiO2 4060%. GIT : BU+, produksi stoma >>. GUT: Urin jernih. Ext: Petekie, akral hangat. A: Health Care Associated Intra Abdominal InfecƟon + PeritoniƟs TerƟary . Post LE + pemasangan stoma a/i fistel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah: Hemodinamik Ɵdak stabil, Perdarahan dan Gangguan faal hemostaƟk/KoagulopaƟ, Produksi kolostomi >>, Hipoalbumin, febris suhu 37,7- 38oC. P : Sirkulasi support ; resusitasi cairan, komponen darah, Regulasi suhu. VenƟlator support : PC8 SIMV15 PS7-8, RR12 TV350-643. MV 5.5-10.3 PEEP 5- 8- 6, FiO2 40-60%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg : 1mg/jam. PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3 1000cc/24 jam. CeŌazidim 2 x 1 gr iv (H3). Metronidazol 1 x 1500mg iv (H2). RaniƟdin 2 x 50 mg.iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr .iv. APS : Marcain 0.125 %+ fentanyl 1u : 10cc/jam → stop Pemeriksaan penunjang: Jam 07.00 : AGD : 7.325/35.3/211.1/-6.9/17.9/98.3 - 7.274/42.6/35.6/-6.7/71.3. Hb 7,9/23.0/2.60/20.6/239 Na 137/3,9/108, alb 1.10. Jam 21.00 : AGD 7.533/19.4/296.7/5.7/19.7/98.9. Kesimpulan Thorax AP: Pneumothorax kan-
an. Masalah selama perawatan H2: Tabel 2. Jam 07.30
10.40
Masalah Instruksi TD 79/61 HR 110, CVP haemacell 500cc/30 +7 m,Vascon 0,1u/jam = 4 cc/ CVP +9, TD 95/57 jam ,asering 500cc TD 74/40-90/50 (59), Koloid 500, asering 500 FN 163 CVP +5
11.30
Produksi drain banyak +650cc
LP 78-79
13.00
TD 82/36 (46) drain >>>
15.00
TD 90/40 (52) FN 150x RR 35x/m
20.47 22.27
TD 79/47 Tachycardia FN 166x ,96/50 Suhu febris
Vascon 0.2u, voluven 500cc, gelofusin 500cc Haemacell 500cc, SIMV5, PC8 fiO2 40% Voluven 1000cc, RL 1000cc, haemacell 500 N-Epi 0,2 uq -> 8,2uq/jam (4u) Vascon 0,3 uq : 12 cc/jam Haemacell 300cc/30’
23.00 24.00
Produksi colostomy >> Cloƫ ng darah
04.21
Produksi urine <<
05.00
Produksi colostomy >> Cloƫ ng darah
Novalgin 500mg.iv -> novalgin 500mg/4jam
Asering 500cc/30’ vascon 0,4uq
H3 : 16/05/09 S : Cardiac Arrest O:
CNS: Kompos menƟs, GCS : E4VtubeM6. Pupil : bulat isokor, refleks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS: BJ I-II normal, murmur -, gallop –. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38 oC. RS: RR 15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%. Vent: PC12 PEEP5, FiO2 40%. GIT : BU+, produksi stoma >>>. GUT: Urin jernih, produksi > 1cc/kgBB/jam. Ext: Akral hangat. A: Healthcare associated Intra Abdominal infecƟon + PeritoniƟs TerƟary. Post LE + pemasangan stoma a/i fistel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah : Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik Ɵdak Stabil, KoagulopaƟ : perdarahan medical bleeding, Produksi kolostomi >>, Hipoalbumin P :
Sirkulasi Support : resusitasi cairan, komponen darah. VenƟlator support : PC12 PEEP 5, FiO2 40%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg : 1mg/jam. PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3 1000cc/24 jam. CeŌazidim 2 x 1 gr iv (H4) Metronidazol 1 x 1500mg iv (H3). RaniƟdin 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr iv. Novalgin 500mg/4jam. Masalah selama Perawatan H3: Tabel 3. Jam
Masalah
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 40•
Instruksi
DIAH WIDYANTI
06.50 09.00
TD 97/53 (64) Produksi colostomy >> 500cc Produksi drain >> Dr.Bedah sudah lihat : bleeding medical, belum ada rencana buka
vascon 0.4mcg Asering 500cc/30 menit Gelofusin 500cc/30 menit Vascon 0.4u = 8cc/jam
14.30
TD 99/36 (50)HR 141x/ menit 88/20 (45) HR120x/m
Vascon 0.4u = 8cc/jam
15.00 15.10 15.25
15.30
15.40
16.00
HR 72x/m Bradycardia 35x/m TD Ɵdak terukur, Arrest, resusitasi, SpO2 85% Asodosis metabolik BE20 GanƟ balutan luka operasi± 200cc + ileostomy, TD 120/73 FN 120-120x/ m Bradycardia 45x/m TD Ɵdak terukur, Arrest
21.00
TD 126/70 (83) Abdomen ada petechie, edema palpebra Rembesan luka operasi ±400cc CM 7283.2 CK 3710
24.00
Transfuse 1004 cc
03.00
CM 8095,8 CK 4170
19.30
Loading Haemacell 500cc, gelofusin 500cc SA 2 ampul SA 2 ampul Adrenalin 1 ampul- 1 ampul, Bagging+RJP ± 20 menit, Arrest (1) Bicnat 50 mEg Loading voluven 500-500
H5 : 18/05/09 Bagging 10lpm,SA 2-2 amp,adrenalin 1-1mg RJP ±5 menit Arrest (2) Vascon 0.4 ug/jam = 8 cc/ jam
Ca gluconas 1 amp, cek DPL -
Masalah
Instruksi
10.10
Cairan serosa mengalir akƟf pada luka operasi ± 250cc rembesan
Visite dr.bedah : bukan darah, cairan serosa
10.30
Terdapat perdarahan dari colostomy akƟf ± 200cc
Observasi, C. IPD- Hematologi
11.45
Hb 9,7g/dl PT/APTT memanjang, fibrinogen 59
PRC 170cc, pesan FFP 500cc Cryopresipitate (Hematology-anestesi)
12.00
CM 260.2 CK 1440 = -1179.8 Balans - 700 Luka operasi rembes, produksi colostomy (+) faeces (+) Input 2838.4 3310 B – 471.6
output
Jam 08.30 09.00 12.00 15.00 18.00
Jam
03.00
Masalah selama Perawatan H5: Trombositopenia Tabel 5.
GanƟ balutan luka
H4 : 17/05/09 : post cardiac arrest 2x, hemodinamik tetap dipertahankan stabil Masalah selama Perawatan H4: Tabel 4.
17.50 22.00
Kesimpulan Thorax AP: Dibandingkan dengan foto tgl 15/05/09 pneumothorak kanan perbaikan. Infiltrat bertambah dengan DD/ bronchopneumonia, awal bendungan paru Problem list : Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik Stabil, Perdarahan: medical bleeding, koagulopaƟ, Produksi colostomy >>, Rembesan pada luka jahitan operasi, faeces (+), VAP : VenƟlator Associated Pneumonia, Peningkatan Liver FuncƟon Test : SGOT/SGPT, Bilirubin, Peningkatan ureum/CreaƟnin : AKI (Acute Kidney Injury) Plan: Sirkulasi support : resusitasi, komponen darah, CeŌazidim 2 x 1 gr iv (H5), Metronidazol 1 x 1500mg iv (H4), Levofloxacin 1 x 500mg iv (H1), RaniƟdin 2 x 50 mg iv, Transamin 3 x 500mg iv, Vit K 3 x 10 mg iv, Vit C 1 x 1 gr iv. Diskusi Ts. Bedah pro re-laparatomy ai. terdapat faeces pada rembesan luka operasi
Asering 500cc/30 menit Perawatan colostomy, GV
24.00
Masalah Rembesan dari luka op± 50cc CM 492, CK 1310 Hb 9,3gr%, drain ± 500cc CM 1449 CK 2960 B-1510 Input 2677 output 4210 Balans – 1532 Trombosit 20.000
Instruksi Vascon 3,5 cc/0.21 uq GanƟ verban
Transfusi PRC 1 kantong Kristalloid 500cc/30’, cek DPL post transfusi
Transfusi TC 10 kantong
H6 : 19/05/09 Masalah selama Perawatan H6: Hipokalemia Tabel 6. Jam
Masalah
13.30 14.00 17.00
Albumin 2.25 R/.besok operasi KCL 3.1
18.00
CM 1201.2 CK 2620 B= -1418 CVP +10.5
22.00 23.30 03.00
CVP +5 K:3.0 CM 3023 CK 4250 B -1226 K: 3.2
Instruksi Vascon 0.1= 2cc/jam, miloz 0,5 u/jam Pemberian albumin ke-3 Pesan PRC 1000cc, FFP 750cc KCL 50mEg dalam Nacl 100 cc dalam 4jam Vascon 0.1u/jam = 2cc/jam Asering 500cc Voluven 300cc KCL 50Meg/4jam Asering 500cc/30’ KCl 50mEg/4jam
Pada perawatan selanjutnya di ICU, kondisi penderita relaƟf stabil, hemodinamik stabil terdapat perbaikan dengan venƟlator support untuk VAP, koreksi komponen
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 41•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
darah untuk gangguan koagulasi, tanda-tanda infeksi dengan anƟbioƟk kombinasi ceŌazidim, metronidazol dan levofloxacin untuk VAP dan Healthcare Associated Intra Abdominal InfecƟon. Plan : Weaning venƟlator, Weaning inotropik, Nutrisi Enteral, Pro re-laparatomi tanggal 20 mei 2009 H7 : 20/05/09 Masalah selama Perawatan H7: Tabel 7. Jam 06.50 08.30 15.00 17.00 19.00 21.30 02.10
Masalah TD 88/50 (59) TD 97/66 (72) CVP +8 FN 108 TD 107/60 Trombosit 35.000 CVP +11 CVP +11
21.00 24.00
22.00 03.00 06.30
Instruksi Vascon 0.1uq = 2 cc/jam Voluven 500cc/30’ Gelofusin 500cc/30’, vascon 0.2uq Haemacele 500cc/30’, asering 500cc/30’ Transfusi trombosit 10 kantong Gelofusin 500cc dalam 30’ Asering 500cc dalam 30’
Jam 09.30
Masalah TD 78/42
10.30
TD 140/80 Rembesan dari luka op ±250cc
12.00
CM 866cc CK 1950 CVP+9 Rembes luka op,Balance – 913.8 Rembes luka op
15.30
20.00
Instruksi Vascon 0.3uq = 6cc/jam, voluven 500cc/30’ Vascon 0.2uq
Voluven 500cc Wound care
Vascon 0.15 u (3 cc/jam) Asering 1000cc/6jam
GV GV GV
H9 : 22/05/09. Masalah selama Perawatan H9: Hipokalemia dalam koreksi, rembesan luka operasi. Tabel 9. Jam 07.00 08.00 12.20 13.40
Jam 09.00 – 14.45 : Dilakukan re-Laparatomi Diagnosis Pra Bedah: susp.perforasi jejunum post op reseksi ileum ec fistel enterokutan. Diagnosis Pasca Bedah : Nekrosis ileum terminal, saekum, dan kolon ascendens. Tindakan : Laparatomi, reseksi ileum terminal → kolon ascendens, jejunostomi. DO : pada eksplorasi : keluar succus enterikus ± 700cc, jejunum ± 100cm dari Treitz, bekas jahitan terbuka ± 0.3cm, 120 cm jahitan terlepas. Mulai dari ileum terminal sampai dengan kolon ascendens tampak nekrosis, kontaminasi faeces (+). Dilakukan reseksi bagian yang nekrosis, puntung kolon transversum di tutup, bekas jahitan ± 100cm dari Treitz di keluarkan sebagai stoma, drain parakolika kanan. Kesimpulan: nekrosis mulai dari ileum terminal s/d Kolon ascendens, jahitan pada jejunum 100cm dari Treitz terbuka 1 jahitan, jahitan pada jejunum 120 cm dari Treitz terbuka. Post operasi: Kondisi penderita membaik, Hemodinamik stabil, VAP membaik, Tidak tampak tanda2 infeksi, Lab : SGOT/SGPT kembali normal, PT/APTT dalam batas normal, Renal FuncƟon test ; Ureum/KreaƟnin dalam batas normal. H8 : 21/05/09 Masalah selama Perawatan H8: Rembesan luka Operasi Tabel 8.
Balance - 1273 TD 158/90(100) CM 3242 CK 5400 B= - 2158 TD 143/75 HR 90x/m Rembesan luka op 100cc Rembesan 100 cc Rembesan 100cc
16.00 18.00 20.00
Masalah TD 124/74 (84)
Instruksi Tramadol 100mg/8jam = 1cc/ jam,Vascon 0,1u Hasil AGD K: 2.7 Koreksi KCL 50mEg Urine 50cc/3jam Asering 500cc, vascon turun 0.05uq TD 88/37 (54) Haemacele 500cc/30’ transfuse nadi 91 Hb7.0 PRC 3 kantong Rembesan 50cc Koloid 500cc/30’ Ureum 89, creat- Lanjut KCL 50mEg/8jam (+NS100 inin 3.2 -> 150u) TD 138/74(89) Vascon stop
H10 : 23/05/09. Masalah selama Perawatan H10: produksi kolostomi banyak. Tabel 10. Jam
Masalah
Instruksi
10.00
Produksi colostomy >> Luka op rembes, warna hijau
Bedah digesƟve : aff 1 jahitan, pasang colostomy bag
10.45
CVP +8.5 balans ( -)
Kristaloid 500cc/30’
11.05
T-piece trial , Sat 100% Ekstubasi Produksi colostomy >> Luka operasi rembes, Balans – 702 CVP +6
Pro ekstubasi, dexamethason 2 amp
CM 3131 CK 4255
Gelofusin 500cc/30’
12.00 16.00
22.15 24.00
GanƟ colostomy bag, ganƟ balutan
Gelofusin 500cc/30’
Dilakukan ekstubasi. Evaluasi thorax AP: Ɵdak tampak kelainan pada cor/pulmo saat ini. Test Norit negaƟf. H11: 24/05/09. Masalah selama Perawatan H11: produksi kolostomi banyak
Wound care
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 42•
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 43•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Tabel 11. Jam
Masalah
10.00
Produksi colostomy >> ±300cc CVP +5, urine pekat CM 1021 CK 1495 TD 99/65 (73) FN 85 PT/APTT meman jang
15.00
15.30 21.30 22.00
24.00
Renc. Transfusi FFP 500cc (sedang pesan)
Tampak area lusen avascular di lateral hemithorax kanan dengan gambaran pleura visceral line.Jantung kesan Ɵdak membesar Aorta dan mediasƟnum superior tak melebar Trakea di tengah, kedua hilus tak menebal Diafragma licin, sinus costofrenicus lancip Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6 (proyeksi vena cava superior) Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3 (proyeksi 1 corpus di atas carina Kesimpulan : Pneumothorax kanan
17/05
Sudah Ɵdak tampak area lusen avascular di lateral hemithorax kanan, masih tampak penebalan garis pleura di lateral hemithorax kanan. Jantung kesan Ɵdak membesar, Tampak infiltrate di lapangan tengah dan bawah paru kanan kiri terutama di sentral yang bila dibandingkan dengan foto tanggal 15/05/09 bertambah Diafragma licin, sinus kostofrenikus lancip Aorta dan mediasƟnum superior tak melebar Trakea di tengah, kedua hilus suram Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6 (proyeksi vena cava superior) Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3 (proyeksi 1 corpus di atas carina) Kesimpulan : Dibandingkan dengan foto tgl 15/05/09 pneumothorak kanan perbaikan Infiltrat bertambah dengan DD/ bronchopneumonia, awal bendungan paru (dr.Deddy/Anto/Ellius/Ica)
22/05
Inspirasi cukup, posisi simetris, CTR <50% Aorta dan mediasƟnum superior tak melebar Trakea di tengah, terpasang ETT dengan ujung distal seƟnggi 3 corpus di atas karina. Kedua hilus Ɵdak menebal, Corakan bronkovascular kedua paru baik Tidak tampak infiltrate di kedua lapangan paru, Kedua hemidiafragma licin, sinus kostofrenikus lancip Jaringan lunak dan tulang-tulang baik Kesimpulan : Ɵdak tampak kelainan pada cor/pulmo saat ini
Transfusi FFP Produksi jejunostomi kanan ± 250cc warna kuning Balans +500cc
Masalah
Tindakan
07.30
K : 2,9
Koreksi KCL 25 mEg/4 jam
08.59
CVP +6 cm H2O, urine pekat CVP +9, urine pekat
Asering 500cc - haemacele 500cc Haemacele 500cc/5 jam KCL 50mEg/8jam Rawat luka
13.10
15/05
Haemacele 500cc/30’
Jam
12.00
Jantung Ɵdak membesar (CTR<50%) Aorta baik, MediasƟnum superior Ɵdak melebar Hilus kanan-kiri Ɵdak menebal Corakan bronkhovascular kedua paru baik Sinus kostofrenikus kanan-kiri lancip dan kedua lengkung disfragma baik Jaringan lunak dan tulang-tulang baik Kesimpulan : Tidak tampak kelainan radiologist pada cord dan pulmo
Instruksi
H12 : 25/05/09. Masalah selama Perawatan H12: Hipokalemia dalam koreksi Tabel 12.
11.00
11/05
Yeyunostomi>> encer warna kuning Pindah HCU bedah
Pemeriksaan Penunjang 24 April 2009 Abdomen 3 posisi . Distribusi udara usus tampak meningkat, tak sampai ke bawah. Psoas line tak tampak, preperitonial fat line baik. Tampak air fluid level/herring bone appearance (+). Tak tampak free air. Tak tampak batu opak traktus urinarius.
Tulang-tulang baik. Kesan: ileus obstrukƟf. 02/05/09 : Asuhan Gizi : TB : 176 cm BB ideal : 68.4 kg, BB: 53 kg Masalah: fistel enterokutan Assesment: Antropometri TB: 176cm BB: 53kg BMI: 17.15, Biokimia: Hb 11.9, leukosit 15.800. Kesadaran CM. Riwayat Diet : pola makan di rumah; makan Ɵdak teratur, mual(-), muntah(-), merokok(+) BB biasanya 53kg. Diagnosa Gizi: Peningkatan kebutuhan energi disebabkan adanya infeksi ditandai leukosit yang Ɵnggi, Peningkatan kebutuhan energy disebabkan BB yang kurang ditandai BMI 17.15. Intervensi Gizi : diet cair rendah sisa + makanan cair rendah sisa komersial (500kkal)
Tabel 13. Thorax AP :
Hasil Kultur Sputum: diterima 18/05/09 hasil 19/05/09. Pewarnaan gram ; coccus gram (+) : pos. sedikit, Leukosit; 6-8/ LP,Epitel : 2-3/LP. Biakan : di terima 18/05/09, hasil 22/05/09 : pseudomonas Sp. SensiƟf : gentamycin, amikasin, seŌazidime, ciprofloxacin, piperacil/tazobactam, cefepime, me-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •44•
DIAH WIDYANTI
ropenem, imipenen. Resisten: ceŌriaxone, kanamycin cefotaxime, cephaloƟn. Darah : steril Luka Operasi : diterima 22/05/09 hasil 26/05/09. Escherichia coli. SensiƟve : Amikasin, meropenem, imipenem. Resisten: Gentamycin, sulbactam/ampicillin , cefotaxime, cephaloƟn, ceŌriaxone, kanamycin, ceŌazidime, piperacil/tazobactam, levofloxacin, cefepime, cefpirom.
hana dan menyebabkan berbagai komplikasi. Dari 862 pasien ter-anestesi (ASA status fisik I or II) pada abdominal surgery dibawah general anesthesia, kira-kira setengahnya berkembang menjadi hipotermia (suhu inƟ <36.0°C), seperƟga menjadi hipotermia dengan suhu inƟ <35°C selama pembedahan. Penatalaksanaan pemberian cairan dan komponen darah pada perdarahan seperƟ terlihat pada gambar di bawah ini:
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki/26 tahun/53kg/176cm masuk ICU RSCM dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i fistel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Assessment: ASA III dengan ko-morbid : SIRS ( leokositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5 oC, takikardia 96-100x/m, takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished (BMI 17.15), Hiponatremia:121. Anestesi : General Anestesi : Isofluran + N2O. Lama Operasi : 13 jam 30 menit, Lama anestesi : 14 jam 45 menit. Masalah intra Op: perdarahan >>, hemodinamik Ɵdak stabil, operasi dihenƟkan karena hemodinamik Ɵdak stabil (MAP 40-50), Cairan masuk : kristalloid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc,Keluar : perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam. Durante operasi di dapatkan hasil AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-0.3/98.9% . Hb/Ht : 3,1/10.1, Kalium :3.8/ Natrium: 134/ Chlorida :100. Tiba di ICU, tetap dilakukan respiratory suppor, CMV : RR 12 TV 350 PEEP +5 fiO2 60%, MAP tetap di pertahankan stabil berkisar 50-60 mmHg, dengan Nor-epinefrin 0.1ug/menit. AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3 18.3/SaO2 98.4%, Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000, SGOT 11,SGPT 12, ureum 21, creaƟnin 0.3, PT 27.5/13.2 APTT 80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS 333. Didapatkan Unstabile Hemodinamic ec.perdarahan, Post LE + pemasangan stoma a/i fistel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi + SIRS + Undernutrisi, Hipoalbumin. Masalah: hemodinamik Ɵdak stabil, perdarahan dan hemodilusi massive, gangguan faal hemostaƟs/koagulopaƟ, operasi dan Anestesi lama ( 14 jam 45 menit), hypothermi suhu 34-35oC. Durante operasi di dapatkan perdarahan terus menerus akibat Ɵndakan pembedahan, dilakukan resusitasi cairan dengan menggunakan kristalloid, koloid, transfusi darah dan komponen darah. Keadaan hemodilusi dan transfusi masif mengakibatkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan dan trombosit disertai hipotermia, mengakibatkan koagulopaƟ. Perdarahan yang terjadi dan koagulopaƟ sendiri menyebabkan perdarahan yang terus-terus dan tetap membutuhkan hemodilusi dan transfusi massif. Perdarahan juga mengakibatkan Ɵssue hypoxia, terjadi asidosis yang juga memicu terjadinya koagulopaƟ. KoagulopaƟ disertai hipotermia dan asidosis di kenal sebagai ‘lethal triad’ karena dapat menyebabkan meningkatnya angka kemaƟan. PeneliƟan yang dilakukan oleh T.Kasai MD10 menunjukkan bahwa suhu tubuh menurun pada pasien dalam pengaruh anestesia. Severe hypothermia sering terjadi pada operasi yang lama termasuk abdominal atau thoracic surgery , dibandingkan dengan Ɵndakan prosedur yang lebih seder-
Gambar 1. Permission from european society of haema pheresis. Tatalaksana pemberian cairan dan komponen darah.
Gambar 2. The interplay between metabolic acidosis, hypotermia and coagulopaty in trauma
Sessler11 menyarankan suhu inƟ intraoperaƟf harus dipertahankan pada suhu >36.0°C. Forced-air warming, IV fluid warming , dan preanestheƟc warming efekƟf mencegah hipotermia intraoperaƟf. Untuk memprediksi terjadinya hipotermia intraoperaƟf selama periode dilakukan rouƟne thermal care pada kamar operasi dengan suhu 22°–24°C, mempergunakan circulaƟng-water maƩress, dipanaskan pada 38°C diletakkan sebagai alas pasien. Kulit pasien ditut-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 45•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
up dengan surgical drapes, heat-moisture exchanger (HME) pada tracheal tube. IV fluids, dihangatkan mendekaƟ suhu tubuh. Pengukuran suhu inƟ tubuh seƟap 5 menit. Pada pasien-pasien yang menerima transfuse massif RBC juga diberikan FFP, trombosit, fibrinogen concentrate atau cryoprecipitate. Tidak ada guideline yang universal pada pemberian komponen hemostaƟk. Rekomendasi yang dianjurkan berdasarkan pengalaman, pendapat dan personal experiment dibandingkan evidence base dari randomized controlled trials. Tabel 14. Guidelines for replacement therapy in paƟents with coagulopathy, by American Society of Anesthesiology Task Force on Blood Component Therapy. CoagulaƟon parameter
Recommended therapy
Prothrombin Ɵme >1.5 Ɵmes normal
Fresh frozen plasma, prothrombin complex concentrate
AcƟvated parƟal thromboplasƟn Ɵme >1.5 Ɵmes normal
Fresh frozen plasma
Fibrinogen <1.0 g litre_1
Fibrinogen concentrate, cryoprecipitate Platelets
Platelets <50 · 109 litre_1
Pada perawatan hari ke-3 pasien mengalami henƟ sirkulasi di sebabkan karena perdarahan dari luka operasi dan stoma yang banyak, dan resusitasi yang diberikan Ɵdak dapat mengejar kehilangan darah yang begitu banyak. Pasien jatuh dalam keadaan syok hipovolemia kemudian sirkulasi gagal dan henƟ sirkulasi. Pada saat itu di cek kadar Hb 1,5gr%. Mekanisme transfor oksigen terdiri dari : Sistem pernapasan yang membawa O2 udara sampai ke alveoli, kemudian difusi masuk kedalam darah, Sistem sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan, dan sistem O2- Hb dalam eritrosit dan transfor kejaringan. Gangguan oksigenasi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah ( hipoksi ). Pada perdarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan oksigen arteri ( Oxygen cotent = CaO2 ) menurut rumus Nunn- Freeman; CaO2 = ( Hb x Saturasi O2 x 1,34 ) + ( pO2 x 0,003 )
Hb = kadar hemoglobin ( g % ) Sa O2 = Saturasi oksigen ( % ) 1,34 = konstanta ( banyaknya ml oksigen yang terikat seƟap 1 g Hb ) pO2 = tekanan parƟal oksigen 0,003 = konstanta kelarutan oksigen dalam plasma Pengiriman oksigen (Oxygen delivery = DO2 ) adalah banyaknya oksigen yang disuplai kejaringan yang besarnya ditentukan oleh curah jantung ( Cardiac output = CO ) dan banyaknya kandungan oksigen arteri
DO2 = oxygen delivery CO = Cardiac out put ( Stroke volume x frekwensi ) CaO2 = Oxygen content. Dalam keadaan normal Hb 15 g%, SaO2 100% dan CO 5 L / menit maka banyaknya kandungan oksigen adalah 50 x 15 x1 x 1,34 = 1005 ml /menit. Jika terjadi perdarahan akut maka unsur- unsur yang dapat berkompensasi adalah kadar Hb dan curah jantung . Kompensasi Hb sangat lambat dan Ɵdak dapat mengatasi krisis akut, Kompensasi yang paling cepat adalah Curah jantug yang dapat naik 300% jika volume sirkulasi Ɵdak hipovolemik ( Venous return normal ) Setelah keadaan normovolemi tercapai kadar Hb menjadi lebih rendah, tetapi karena venous return normal CO dapat naik. Misalnya Hb 5 g% , SaO2 100 % dan CO naik 15 L/menit , maka oksigen tersedia = 150 x 5 x 1 x 1,5 = 1003 ml / menit. Dulu diyakini bahwa kadar Hb harus lebih Ɵnggi dari 10 g% agar tersedia oksigen untuk memenuhi kebutuhan organ vital ( otak , jantung ) dalam keadaan stess, Sekarang dibukƟkan bahwa Hb 6 g% masih dapat mencukupi kebutuhan oksigen jaringan. Pada pasien ini pada saat perdarahan dan resusitasi yang diberikan, didapatkan kadar Hb 1,5gr%, walaupun 2 kali mengalami henƟ sirkulasi ternyata kompensasi curah jantung masih baik dikombinasi dengan volume yang diberikan serta obat yang cepat (atropine, adrenalin, dosis nor adrenalin dinaikkan) menjadikan pasien ini tetap bertahan. Pada hari perawatan ke-4, Post henƟ sirkulasi ter jadi komplikasi pneumonia. VenƟlator Associated Pneumonia adalah pneumonia nosokomial yang dihubungkan dengan penggunaan venƟlasi mekanik yang mana terjadi setelah pemakaian venƟlator mekanik sedikitnya 48 jam atau lebih dari saat masuk rumah sakit dan Ɵdak dalam masa inkubasi3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan Clinical Pulmonary InfecƟon Score (CPIS) for Diagnosis of Nasocomial Pneumonia. Pada pasien ini sebelum dilakukan operasi atau sebelum di intubasi serta gambaran CXR yang dalam batas normal, Ɵdak menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau dan CIPS <6,begitupun pada saat hari pertama masuk ICU, evaluasi CPIS < 6. Setelah perawatan hari ke-3, dilakukan kembali evaluasi CPIS >6 dan penggunaan venƟlator > 48 jam. Berdasarkan suhu 38,5’C score: 1, leukosit 43.900: 2,sekret purulent:2, PF raƟo232: 2, CXR infiltrat baru: 2 dan pemeriksaan mikrobiologi : 2 (hasil sputum didapatkan Pseudomonas sp). Berdasarkan bagan di bawah, kemungkinan penyebabnya adalah translokasi bakteri akibat hipoperfusi splanik pada saat sirkulasi gagal. Tabel 15. Clinical Pulmonary InfecƟon Score (CPIS) for Diagnosis of Nasocomial Pneumonia
DO2 = CO x CaO2
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 46•
DIAH WIDYANTI
Gambar 3. ClassificaƟon scheme for intraabdominal infecƟons
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 47•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Tabel 16. Day
Parameter
1
Temp (0C) White Blood Cells/ mm3 SecreƟon PaO2/FiO2 Chest X Ray Infiltrates
3
Temp (0C) White Blood Cells/ mm3 SecreƟon PaO2/FiO2 Chest X Ray Infiltrates Progression of Chest X Ray Infiltrates Sputum
Value for Score of: 1 Point 2 Points 38,5 to 38,9 ≥39 or ≤36 <4000 or <4000 or >11000 >11000 or ≥50% bands Non Purulent Purulent ≤240 and no ARDS Diffuse or Localized Patchy 38,5 to 38,9 <4000 atau >11000 Non Purulent
1
2
Diffuse or Patchy
Culture > 1+ and same organism on Gram Staining
5–6-7
10-11-12
PaO2
459 333 139 99
FiO2
1
0.6
0,6
0,45 0,45 0,45 0,45 0,4
0,4
PEEP
5
5
6
6
5
PF raƟo 459 555 232 221
109
AKIN Kriteria Stage 1 Stage 2 Stage 3
Kriteria kreaƟnin serum Kriteria Urin Output
Yes (no ARDS or CHF)
Culture > 1+
4
Peningkatan Cr serum≥1,5x baseline atau penurunan GFR≥25% Peningkatan Cr serum≥1,5x baseline atau penurunan GFR≥50% Peningkatan Cr serum≥1,5x baseline atau penurunan GFR≥ 75% atau Cr ≥ 354umol/L dengan peningkatan akut sekurangnya 44umol/L
≥39 or ≤36 <4000 or >11000 or ≥50% bands Purulent ≤240 and no ARDS Localized
Tabel 17.
Hari
Risk Injury Gagal
183
175. 172 147
6
6
6
5
244
380
389
431 368
Peningkatan Cr serum ≥ 26,2umol/L atau ≥150-199%(1,5-1,9kali) baseline Peningkatan Cr serum 200-299%(>2-2,9 kali) baseline Peningkatan Cr serum ≥354umol/L dengan peningkatan akut sekurangnya 44umol/L atau dimulainya RRT
<0,5 mL/kg/h ≥ 6 jam <0,5 mL/kg/h ≥12jam <0,5 mL/kg/h ≥24jam atau anuria ≥ 12 jam.
<0,5 mL/kg/h ≥ 6 jam <0,5 mL/kg/h ≥12jam <0,5 mL/kg/h ≥24jam atau anuria ≥ 12 jam
Pada pasien ini di dapatkan hasil evaluasi pemeriksaan kadar kreaƟnin dan observasi dan monitoring produksi urine seperƟ di bawah ini : Jam 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 - - - 20 25 H-3 16 17 5 18 4 -
Gambar 4. Patogenesis VenƟlator-Associated Pneumonia
Pada perawatan hari ke-3, pasien juga mengalami suatu kondisi AKI atau Acute Kidney Injury akibat aliran darah ke ginjal berkurang pada saat sirkulasi gagal.
Kriteria KreaƟnin Serum
20 150
21 -
22 -
23 150
24 -
1 -
2 110
3 -
5 100
Jumlah total produksi urine 560/24 jam atau 0.4cc/ jam/kgBB atau < 0,5 mL/kg/h ≥ 6 jam atau < 0,5 mL/kg/h ≥ 12 jam, KreaƟnin meningkat 2.6 X dari nilai awal/ sebelumnya, berdasarkan RIFLE masuk kriteria Injury . Tabel 19. Evaluasi pemeriksaan Ureum/KreaƟnin dan produksi Urine
Diagnosis di tegakkan berdasarkan: Tabel 18. RIFLE
19 -
Kriteria urin output
Hari Ureum CreaƟnin Cc/jam
2 21 0.3 0.6
3 42 0.8 0.4
6 26 0.5 2.8
12 14 0.3 1.7
Cc/24j
850
560
3670
2050
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 48•
DIAH WIDYANTI
Peningkatan Liver FuncƟon Test /LFT pada pasien ini disebabkan karena proses hemolisis akibat perdarahan dan pemberian transfuse massif dan pada perjalanan selanjutnya cenderung kembali mendekaƟ normal tanpa terapi medikamentosa.
gi : Candida spp. Healthcare-Associated –IntraAbdominal InfecƟons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien yang sudah mendapat terapi anƟbioƟka sebelumnya. Semua pasien postoperaƟve IAIs merupakan HA-IAIs
Tabel 20. Evaluasi pemeriksaan Liver FuncƟon Test
Diagnosis Pada pasien sadar didapatkan tanda-tanda SIRS disertai gejala abdominal akut Pada pasien-pasien koma, mungkin Ɵdak didapatkan gejala, menyebabkan kesulitan diagnosis. Adanya infeksi disertai dengan kondisi asidosis yang Ɵdak dapat dijelaskan penyebab lainnya, organ dysfuncƟon, inability tolerate enteral feeding, kebutuhan cairan yang Ɵdak dapat dijelaskan harus di kaji sebagai IAI, terutama pada pasien yang menjalani abdominal surgery . Pemeriksaan fisik memerlukan konfirmasi abdominal imaging, Diagnosis mikrobiologi diagnosis CA-IAIs Ɵdak terlalu bermanfaat karena biasanya sudah mendapatkan terapi anƟbioƟk empirik sebelum diambil kultur yang pertama dari abdomen.
Hari/Tgl
H-6/08
H1/15
H5/19
H6/20
SGOT/AST
30
11
587
130
16
18
16
SGPT/ALT
20
12
905
525
105
59
26
4.65
6.47
7.61
4.47
3.52 2.95
4.76 2.85
2.83 1.64
Bil.Total Bil.Direct Bil.Indirect
H10/24 H12/26 H16/30
Health Care Associated Intra-abdominal InfecƟons(1) Intra-abdominal infecƟons (IAIs) adalah golongan penyakit yang sering terjadi pada pasien bedah. Mortalitas sekitar 25–35% mungkin dapat meningkat menjadi 70%. Mortalitas secondary peritoniƟs dengan severe sepsis atau sepƟc shock sekitar : 30%. Kebanyakan IAIs dapat dikontrol secara efekƟf dan dapat dihubungkan dengan penurunan angka kemaƟan yang rendah dengan cara : membuang atau memperbaiki infected focus, treatment with narrow-spectrum pathogenspecific anƟmicrobial , pembedahan untuk terapi definiƟve source control . IAI didefinisikan sebagai infeksi dari intra-abdominal viskus dengan atau tanpa mengenai peritoneum, dan disertai dokumentasi systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Abdominal sepsis adalah severe sepsis atau sepƟc shock yang disebabkan secondary IAI. PeritoniƟs didefinisikan berdasarkan penyebab atau meluasnya infeksi. Pada Primary peritoniƟs, sumber infeksi Ɵdak berasal dari GI tract dan Ɵdak ada kelainan anatomi pada intra-abdominal viscera. Secondary peritoniƟs disebabkan oleh infecƟon abdominal viscera sebagai konsekuensi dari perforasi, ischemic necrosis, atau penetraƟng injury . TerƟary peritoniƟs: peritoniƟs yang tetap ada setelah lebih dari satu Ɵndakan source control procedure yang gagal. Health care-Associated –IntraAbdominal InfecƟons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien yang sudah mendapat terapi anƟbioƟka sebelumnya. Semua pasien postoperaƟve IAIs merupakan HA-IAIs Pathogens isolated from complicated intra-abdominal in fecƟons: Gram-negaƟve : Escherichia coli, Enterobacter spp, Klebsiella spp, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp. Gram-posiƟve : Streptococci, Enterococci, Coagulase-negaƟve staphylococci, Staphylococcus aureus. Anaerobic bacteria : Bacteroides spp, Clostridium spp. Fun-
Penatalaksanaan Source control, RestoraƟon of GI tract funcƟon, Systemic anƟmicrobial therapy, Support of organ funcƟon Recommended anƟmicrobial regimens for the treatment of intraabdominal infecƟons: Single-drug regimens: β-lactam/-lactamase inhibitor combinaƟons : Ampicillin/sulbactam, Piperacillin/tazobactam, Ticarcillin/clavulanic acid Carbapenems : Imipenem-cilastaƟn, Meropenem, Ertapenem Cephalosporins : Cefotetan, CefoxiƟn CombinaƟon regimens: Aminoglycoside plus metronidazole Aztreonam plus clindamycin Cefuroxime plus metronidazole Fluoroquinolone plus metronidazole
Pada pasien ini di diagnosis Healthcare associated Intra Abdominal infecƟon + PeritoniƟs TerƟary berdasarkan; riwayat operasi sebelum masuk RSCM, dari luka operasi keluar faeces pre-op terdapat tanda-tanda SIRS ( leokositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5 oC, takikardia 96-100x/m, takhipnea 24-28x/m) disertai kegagalan Ɵndakan pembedahan dua kali di RSCM. Status Nutrisi: UndernutriƟon Berdasarkan : BB : 53 kg/176 cm BMI : Body Mass Index = Weight(kg)/Height (m)2 = 53/ (1.76)2 = 17.1
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 49•
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
NutriƟonal Support pada pasien Pembedahan harus memperhaƟkan dua komponen penƟng : 1. Efek starvasi – effect dari penyakit, pembatasan pemasukkan oral, atau keduanya 2. Efek metabolik dari stress/inflamasi, Hiperkatabolisme, anabolisme menurun Perubahan Metabolik yang terjadi : 1. “ebb phase”: 12-24 jam, ditandai dengan fever, ↑ konsumsi O2, ↓ suhu tubuh, vasokonstriksi 2. “flow phase”: acute illness, hiperkatabolisme, penggunaan lemak sebagai sumber energi utama 3. “anabolic phase”: dimulai saat masa penyembuhan, ditandai dengan normalisasi tanda vital, perbaikan nafsu makan dan diuresis. Goal of NutriƟonal Support: maintain vital organ structure and funcƟon Tabel 21. EsƟmaƟon of energy requirement in adult surgycal paƟent Uncomplicated Complicated/ stressed Energy 30 34 – 40 53kg = 1590 - 2120 (Kcal/kg/day) kkal
Protein (g/kg/day)
1.3
Volume ( ml/kg/day)
20 - 40
1.3 – 2 53kg = 68.9-106 gr 20 – 40 53 kg = 1060 – 2120 cc
Pada perawatan selama di ICU pasien mendapatkan nutrisi bertahap dimulai dengan parenteral, kemudian enteral secara bertahap. Sayangnya terapi nutrisi yang diberikan Ɵdak opƟmal. Pasien tetap berada dalam kondisi hiperkatabolisme oleh karena selama perawatan di ICU mengalami dua kali stress pembedahan dan henƟ sirkulasi serta hemodinamik Ɵdak stabil dalam jangka waktu lama. Tabel 22. Pemberian Nutrisi selama perawatan di ICU- RSCM
Hari/tgl
2-3
4-5
6/20
7-8
9-12
1000cc 1000cc 1000cc Combiflex 1000 KaenMg3 400 kal 400kal 400kal 1000cc Albumin TE 1000
-
1000 kal 1000kal Albumin
CF D5% Peptamen
-
30cc/j
-
-
50cc/j
GDA
113
332
94
106
121
Natrium
137
141
136
3.2
3.4
Kalium
3.9
3.7
3.2
136
130
Cl
108
112
98
98
Albumin
2.20
1.10
2.25
2.03
91 1.99 – 2.26
puasa 50cc/jam
1000 50cc/j
Terapi AnƟmikrobial Pada pasien ini diberikan CeŌazidime 2 x 1 gr, Metronidazol 1 x 1500mg dan Levofloxacin 1 x 500mg.iv. AnƟbioƟka yang di berikan pada pasien ini disesuaikan dengan Guideline Intra Abdominal InfecƟons (IDSA 2003) dan VAP (ATS/IDSA 2004). Setelah hasil kultur diperoleh disesuaikan dengan hasil kultur dan anƟbioƟka sebelumnya dihenƟkan. Prognosis Tabel 23. Criteria of DysfuncƟon/Gagal menurut Edwin A.Deitch MD,
Sedangkan menurut Knaus, et al. (1986), ada hubungan langsung antara jumlah gagal organ sistem dan mortalitas. Tabel 24. Data Mortalitas ΣOSF
D1
D2
D3
1 2 3
22% 52% 80%
31% 67% 95%
34% 66% 93%
D4 35% 62% 96%
D5 40% 56% 100%
D6 42 64 100
D7 41 68 100
Pada pasien ini terjadi disfungsi pulmoner (pneumonia), hepaƟk, renal (AKI), hematologi (koagulopaƟ), dan kardiovaskular (respons hipodinamik yang membutuhkan dukungan inotropik), sehingga terdapat lebih dari 3 organ gagal yang hampir semuanya terjadi pada hari ke-3 (D3). Menurut Knaus et al, diperkirakan angka kemaƟan mencapai 93%. Kasus ini termasuk ke dalam 7%, kelompok pasien be yang hasil selamat dan pindah ke high care unit (HCU). Walaupun berhasil selamat, kewaspadaan dan observasi serta pengawasan harus dilakukan secara ketat, karena status nutrisi yang belum maksimal dan pasien masih mempunyai peluang besar untuk terjadinya Sepsis abdominal dapat meningkatkan presentase perkiraan mortalitas pada pasien ini.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 50•
DIAH WIDYANTI
SIMPULAN
• •
•
• • •
KoagulopaƟ merupakan kondisi yang serius dan memerlukan penanganan yang sejak awal/dapat dicegah Rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopaƟ progresif harus dianƟsipasi sejak dini Gagal sirkulasi yang terjadi akibat syok hipovolemik seharusnya dapat di anƟsipasi dengan persiapan darah dan komponen darah lebih awal Komplikasi akibat sirkulasi gagal dapat dianƟsipasi dan dilakukan penatalaksanaan yang opƟmal Perlunya diskusi antara intensifis, ahli bedah, dan ahli gizi dalam rangka perbaikan status nutrisi pasien Perlunya komunikasi anestesi dan sejawat bedah preoperaƟf maupun perioperaƟf untuk mencegah komplikasi koagulopaƟ yang terjadi
DAFTAR PUSTAKA
1.
Pieracci FM, Barie PS. Management of severe sepsis of abdominal origin. Scand J Surg 2007;96:184-96. 2. Calandra T, Cohen J. InternaƟonal sepsis forum definiƟon of infecƟon in the ICU Consensus Conference. 2005. 3. Kollef M. VenƟlator associated pneumonia. Chest 2005;128:3854-62. 4. Ward N. NutriƟon support to paƟents undergoing gastrointesƟnal surgery. Nutr J 2003;2:18. 5. Joseph S. Guidelines for the selecƟon of anƟ-infecƟve agents for complicated intra-abdominal infecƟons. IDSA 2003. 6. Chaudhry R. The challenge of enterocutaneous fistulae. MJAFI 2004;60:235-8. 7. Leah. Transfort oxygen in ABC of Oxygen. BMJ 1998; 317. 8. Fernando. Determinants of postoperaƟve acute kidney injury. CriƟcal Care 2009;13:79. 9. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D. Guidelines on the management of massive blood loss. BJH 2006;135:63441. 10. Kasai T. PreoperaƟve risk factors of intraoperaƟve hipotermia in major surgery under general anesthesia. Anesth Analg 2002;95:1381-3. 11. Sessler DI. Mild perioperaƟve hipotermia. N Engl J Med 1997;336:1730-7.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 51•
I LAPORAN KASUS I
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Maria Irawaty
ABSTRACT Lung oedema is a high frequent case in ICU, including cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemodinamic monitoring is needed to disƟnguish both of those types, it is also needed to treat this case. This case report shows a woman, 26 years old, post secƟo caesarea, admitted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpaƟent period, she got VAP sepsis. It is important to disƟnguish lung oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitoring device. Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis ABSTRAK
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kardiogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter hemodinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang Ɵdak dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis PENDAHULUAN
Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang sangat penƟng di ICU dan merupakan salah satu faktor penƟng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola kasus-kasus kriris di ICU. SeperƟ diketahui, Ɵdak semua ICU di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tamponade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup menyulitkan. Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis edema paru ini berbeda secara patogenesis dan patofisiologi meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering kedua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif, seperƟ diketahui secara definisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter hemodinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26 tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi anƟbioƟka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan superinfeksi lalu kemudian meninggal. Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang Ɵdak dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. ILUSTRASI KASUS Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD) pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tanggal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas. Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS), pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan peker jaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak Ɵdak disertai batuk, demam dan Ɵdak berbunyi. Beberapa jam sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat. Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah Ɵnggi. Riwayat kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin masih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa sesak bila malam hari sehingga harus Ɵdur dengan 2 bantal. Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU): Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 52•
Maria Irawaty Alumnus Program Pendidikan Intensive Care Universitas Indonesia RSCM
MARIA IRAWATY
16x/m dengan bagging 02 10 l/menit, SO2 100%. Suhu 36,8C.CVP 16. Paru, sonor seluruh paru, auskultasi ditemukan ronki basah diseluruh paru. Jantung , tampak pulsasi di parasternal, epigastrium dan ictus cordis. Ictus melebar, tak kuat angkat,thrill +, Pulsasi di PS kiri , thrill +, konfigurasi jantung membesar ke kiri dan kanan, pinggang jantung mendatar. BJ I-II, murmur sistolik ejeksi di SIC ¾ grade 4/6.Pungtum maksimum di PS Kiri. Abdomen, Rata, supel , hepar dan lien tak teraba, pekak sisi normal dan pekak alih Ɵdak ada, bising usus (-). Ekstremitas tak sianosis, clubbing (-), hangat. Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium Hb/Ht/L/Tr 13,6/41/22700/186000
H4
Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah merah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan berkurang ,infiltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin. H5
Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38, sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99). Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko MDR dan diberi anƟbioƟk meropenem dan gentamicin sebagai empiris untuk VAP, tetapi anƟbioƟka belum terbeli. Indeks oksigenisasi relaƟf baik ( stabil > 250) dan topangan venƟlator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.
SGOT/SGPT/GDS
100/30/161
Ur/cr/Na/K/Cl/
31/1,5/135/5,4/102
H 6-9
AGD PaO2/FiO2
7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3 200
Suhu semakin meningkat ( 38-39) dengan WOB yang meningkat, venƟlasi mekanik kembali dengan mode PS 10/+8/40%. AnƟbioƟka empiris sudah terbeli.
Assesment Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup, Dd/ PEB Rencana KAEN 3B, puasa CF (CF = clear fluid) 60 cc, MC (MC = makanan cair) 30 cc/jam, morfin bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam, dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45, raniƟdin 2x 50 mg IV, respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram. Catatan Kemajuan H1 Hemodinamik Ɵdak stabil, cenderung turun ( MAP 50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung turun, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai 0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi stabil 90-100%. RaƟo PaO2/FiO2 200 . Mode venƟlator kemudian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14. H 2-3
Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik diƟtrasi turun dan kemudian di henƟkan hari keƟga. Respirasi ditopang dengan venƟlasi mekanik dengan mode SIMV 12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%. RaƟo PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan furosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans negaƟve. Pasien dilakukan ekhokardiografi dengan hasil kesan LVH, AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut Ɵdak sesuai dengan penampilan klinis pasien. Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari keƟga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun dibandingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP, direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen thoraks ulang.
H 10
TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter baumanii AnƟbioƟka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur resistensi test yaitu ampicilin sulbactam. H 12
Rontgen thorax tampak perburukan, kesan infiltrat bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilakukan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang. AnƟbioƟka rencana diganƟ dengan piperacilin tazobactam 4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang. Direncanakan untuk trakeostomi. H 13
Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5. Dosis NTG diƟtrasi naik sampai 10ug/min. AnƟbioƟka masih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah anƟbioƟka diganƟ. H 14
Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC 500cc. Suhu sudah Ɵdak febris ( stabil < 37,5 C) H-16
SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG diƟtrasi turun sampai 5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum Ɵdak ditemukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang infiltrat bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas. H 17
PCT 0.779, anƟbioƟka tetap dilanjutkan. Topangan venƟlasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/ fio2 40%.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 53•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
H 18
Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilakukan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI 24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan untuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan VAP mengalami perbaikan tetapi anƟbioƟka piperacilin – tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih > 0,1.
Kausa : infark miokard, hipertensi, penyakit jantung katup,eksaserbasi gagal jantung sistolik /diastolik dan lainnya. Nonkardiogenik/edema paru permeabilitas meningkat. Kausa : ALI dan ARDS Walaupun penyebab kedua jenis edema paru tersebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan membedakan penyebab edema paru sangat penƟng karena berimplikasi pada penanganannya yang berbeda 1
H 20
Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan infiltrat bertambah,, diberikan terapi anƟ jamur preempƟf dengan memberikan flukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/ hari. H 23 -27 Pasien tampak lebih sesak, raƟo PaO2/Fio2 288, suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6), tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuktur ulang didapatkan A.baumanii sensiƟf dengan anƟbioƟka golongan aminoglycoside dan levofloksacin. Cefoperazone/ sulbactam intermediate. AnƟbioƟka diganƟ menjadi amikasin 750 mg dan sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) , procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan venƟlasi mekanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Diambil kultur ulang untuk evaluasi.
Patofisiologi Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar interƟsial pada keadaan normal Ɵdak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, keƟka cairan memasuki ruang interƟsial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfaƟk ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostaƟk yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostaƟk kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkoƟk protein.
H 28-31
Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procalcitonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890) direncanakan mengganƟ anƟbioƟka dengan tygaciclin tetapi Ɵdak terbeli. RaƟo PaO2/FIO2 150, topangan venƟlator diƟngkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10. SVcO2 < 70 ( 55 à 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65 mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapatkan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Rontgen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah) dan pertambahan infiltrat. Pasien dicurigai mengalami disfungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furosemid dihenƟkan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen tanggal): Chryseomonas luteola , dengan anƟbioƟk yang sensiƟf amikacin dan tygaciclin. TINJAUAN PUSTAKA Edema Paru Edema paru didefinisikan sebagai terakumulasinysa cairan di interƟsial dan alveolus. Penyebab Edema Paru 1,2 : Kardiogenik atau edema paru hidrostaƟk atau edema hemodinamik
Gambar 1. Patofisiologi edema Paru ( dikuƟp dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2791)
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 54•
MARIA IRAWATY
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostaƟk yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrostaƟk di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri ( 18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih Ɵnggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar 1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut : • Meningkatnya kongesƟ paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung. • Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri. • Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung. Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi ja ntung yang Ɵdak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS menjadi 6 klasifikasi yaitu : ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure ESC 3 : Pulmonary oedema ESC 4 : Cardiogenic Shock ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis ESC 6 : Right Heart Failure Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostaƟk maka sebaliknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein Ɵnggi karena membran pembuluh darah lebih permeable untuk dilewaƟ oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial. Diagnosis Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema intersisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai batuk dan sputum kemerahan ( frothy). Anamnesis Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan CHF.
-
-
-
Pemeriksaan fisik Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin dengan sianosis, menggunakan otot bantu nafas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat wheezing. Khususnya pada edema paru kardiogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang relevant diperlukan untuk mengkaji eƟologi edema paru. Pemeriksaan tersebut melipuƟ diantaranya pemeriksaan hematologi (complete blood count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan Brain NatriureƟc pepƟde (BNP). Brain NatriuƟc PepƟde (BNP) dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF . Khususnya pada pasien gagal jantung menggunakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensiƟfitas 91% dan spesifisitas 93%.1.Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis ruƟn untuk menegakkan CHF berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA Guidelines).3 BukƟ peneliƟan menunjukkan bahwa Pro BNP/ BNP memiliki nilai prediksi negaƟf dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya. Rontgent Paru Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dari edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema Ɵdak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensiƟvitas dan spesifisitas rontgent paru, seperƟ rotasi, inspirasi, venƟlator, posisi pasien dan posisi film.1.
Tabel 2. Beda Gambaran Radiologi edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik Gambaran Radiologi Ukuran Jantung Lebar pedikel Vaskuler Distribusi Vaskuler Distribusi Edema Efusi pleura Peribronchial Cuffing Garis septal Air bronchogram
Edema Kardiogenik
Edema Non Kardiogenik
Normal atau membesar Normal atau melebar Seimbang rata / Sentral Ada Ada Ada Tidak selalu ada
Biasanya Normal Biasanya normal Normal/seimbang Patchy atau perifer Biasanya Ɵdak ada Biasanya Ɵdak ada Biasanya Ɵdak ada Selalu ada
dikuƟp dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2793 • Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 55•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
-
-
Ekhokardiografi Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru. Kateterisasi pulmonal Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmonary artery occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk menentuksn penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab mulƟple. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesƟ dapat mengalami ALI karena pneumonia.1
Penatalaksanaan Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS) a. SuporƟf Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan adalah : Suport Kardiovaskular o o Terapi Cairan Renal Suport o
o
Pengelolaan Sepsis
b. VenƟlasi Menggunakan VenƟlasi protecƟve lung atau protocol venƟlasi ARDS net. Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik Sasarannya adalah : • Mencapai oksigenisasi adekwat. • Memelihara stabilitas hemodinamik • Mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan aŌerload. Penatalaksanaan : Posisi setengah duduk Oksigen terapi Morphin IV 2,5mg DiureƟk Nitroglycerine inotropik BukƟ peneliƟan menunjukkan bahwa pilihan terapi yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin (Nitroglycerine , nesiriƟde, nitropruside ) dan diureƟka dosis rendah. Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95100mmHg dengan dosis 20µg/min sampai 200µg /menit (Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( < 0,5µg/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 56•
MARIA IRAWATY
dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dn perfusi perifer.4 Bila dibandingkan dengan diureƟk maka nitroglycerin memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih efekƟf dalam mengontrol edema paru berat dengan profil hemodinamik yang lebih stabil, penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih cepat tanpa menurunkan CO.4 VAP
KemaƟan pasien yang dirawat di ICU Ɵdak hanya disebabkan oleh penyakit dasarnya tetapi juga oleh infeksi nosokomial. Pneumonia merupakan salah satu infeksi nosokomial yang tersering, yang terjadi pada lebih dari 27% pasien penyakit kriƟs. Sebagian besar nosokomial pneumonia berhubungan dengan pemakaian venƟlator mekanik (VAP). VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam setelah intubasi endotrakeal dan penggunaan alat venƟlasi mekanik.5 Diagnosis Diagnosis Klinis Melakukan diagnosis VAP memerlukan kecurigaan klinis yang Ɵnggi ditambah dengan pemeriksaan klinis, radiologi dan mikrobiologi dari sekresi jalan napas.Biasanya kecurigaan akan adanya VAP Ɵmbul jika pada pasien ditemukan infiltrat paru yang progresif, leukositosis, demam dan sekresi trakeobronkial yang purulen. Sayangnya, Ɵdak seperƟ CAP, kriteria klinis pneumonia di atas memiliki nilai diagnosis yang terbatas pada kasus VAP yang sudah tegak. Fabregas dkk melalukan peneliƟan yang membandingkan kriteria klinis tersebut di atas dengan hasil histologi dan kultur jaringan paru post mortem. PeneliƟan tersebut melaporkan bahwa kriteria diagnosis tersebut memiliki sensiƟfitas 69% dan spesifisitas 75%. Jika keƟga variable klinis tersebut dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis maka sensiƟfitasnya turun menjadi 23% dan sebaliknya jika hanya satu kriteria yang digunakan maka spesifitasnya turun menjadi 33%. KeƟdakakuratan kriteria klinis tersebut dapat dimengerƟ karena sekresi trakeobronkial purulen sering terjadi pada pasien yang menggunakan venƟlasi mekanik tanpa disertai pneumonia. Demikian pula halnya dengan tanda sistemik dari pneumonia, seperƟ demam dan lekositosis, dapat merupakan akibat sitokin proinflamasi yang sering terjadi pada trauma, pembedahan, ARDS, DVT dan infark paru. Pada pasien ARDS, sensiƟfitas kriteria klinis tersebut labih rendah lagi. Bell et al melaporkan bahwa terdapat sekitar 46% false negaƟve VAP pada pasien-pasien dengan ARDS. Konsekuensinya, kecurigaan VAP pada pasien ARDS harus lebih Ɵnggi. Bahkan satu kriteria klinis VAP, hemodinamik yang tak stabil tanpa penyebab yang jelas, dan perburukan analisa gas darah sudah seharusnya melakukan pemeriksaan lebih lanjut kearah VAP.6 Untuk menambah spesifisitas diagnosis VAP maka Pugin dkk mengusulkan sistem skoring terhadap kriteria klinis tersebut ( Clinical pulmonary infecƟon score/CPIS). Jika CPIS > 6 maka berkorelasi baik terhadap adanya VAP.Tapi sayang, data dari beberapa peneliƟan lain menunjukkan ternyata spesifisitas sistem skoring ini pun rendah. Sing dkk mengusulkan modifikasi CPIS yang Ɵdak
berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarnanaan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesifisitasnya meningkat. 7 Pemeriksaan Radiologi Hasil pemeriksaan Radiografi paru juga memiliki masalah dalam hal nilai sensiƟfitas dan spesifisitasnya. Kwalitas film yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray semakin Ɵdak akurat. PeneliƟan yang dilakukan terhadap 26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan rontgen thoraks normal ditemukan infiltrat pada hasil pemeriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesifisitas gambaran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%. Pemeriksaan Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan gram, kultur sekresi trakea nonkwanƟtaƟf dan semikwanƟtaƟf merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan. Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai sensiƟfitas dan spesifisitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%). Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS merekomendasikan kultur kwanƟtaƟf dari sekresi aspirasi endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bukan.5,6 Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia Variabel 0 1 2
Suhu 0 C
≥36,1 - ≤ 38,4
≥ 38,5 - ≤ 38,9
≥ 39 - ≤ 36
Lekosit
≥ 4000 - ≤ 11000
< 4000 - > 11000
<4000> 11000 + band > 500
Sekresi
Tidak ada
Ada, non purulen
Ada purulen
PaO2/FIO2
>240 atau ARDS
Foto toraks
Tidak ada infiltrate
Infiltrate d i f u s / patchy
Mikrobiologi
Tidak ada, tumbuh lambat
Tumbuh sedang atau cepat : tambah 1 poin jika sama dengan gram
< 240 , bukan ARDS Terlokalisir
DikuƟp dari PorzecanskinI,Bowton DL. Chest 2006; 130: 597-604 Terapi
Prinsip pemilihan anƟbioƟk pada HAP didasarkan pada ada Ɵdaknya faktor risiko resisten mulƟ obat (MDR) yaitu : Terapi anƟmikroba dalam 90 haƟ terakhir. Telah dirawat 5 hari atau lebih Frekwensi resistensi anƟbioƟk di komunitas/unit • • •
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 57•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• •
ser ke kiri dengan murmur pansistolik, dan diastolic rumble dan bunyi jantung 3 akibat meningkatnya aliran di mitral. Pasien dengan nonrestrikƟf besar eisenmenger VSD biasanya akan ditemui adanya sianosis sentral, jari tabuh disertai tanda-tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
rawat rumah sakit Ɵnggi.. Adanya faktor risiko HCAP Immnunosupresi
Tindakan Penutupan Penutupan VSD dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara pembedahan dan transcatheter . Indikasi Ɵndakan bedah penutupan VSD adalah : • VSD yang bermakna ( Qp/Qs > 1,5 : 1 ) • Tekanan sistolik pulmonal > 50mmHg • Adanya pembesaran ventrikel dan atrium kanan. • Memburuknya fungsi jantung kiri tanpa adanya hipertensi pulmonal.
Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan HAP/VAP/HCAP (ATS IDSA 2005)
Pemberian anƟbioƟk empiris spektrum luas harus diikuƟ dengan deekskalasi berdasarkan data klinis dan mikrobiologi serial untuk mencegah munculnya resistensi anƟbioƟka di rumah sakit. Keberhasilan terapi sangat menentukan angka mortalitas VAP dan ini sangat dipengaruhi oleh: 1. Pemilihan anƟbioƟk empiris yang Ɵdak sesuai 2. Pemberian anƟbioƟk yang terlambat Ventrikel Septal Defect (VSD) Pada dasarnya septum ventrikel dibagi menjadi Ɵga yaitu : inlet, trabecular dan outlet. VSD dikelompokkan berdasarkan lokasi dan tepinya menjadi 3 7 : Muscular VSD : batasnya adalah miokard dan lokasinya bisa trabekular, inlet dan outlet. Membranous VSD : lokasinya berada di inlet, outlet dan trabekular dan dibatasi oleh daun katup AV dan katum arterial. Dolby commiƩed subarterial VSD, berada di outlet dan dibatasi oleh jaringan ikat katup aorta dan pulmonal VSD restrikƟf Ɵdak akan menyebabkan gangguan hemodinamik dan dapat menutup secara spontan, sedangkan VSD besar (non restriksi) biasanya disertai overload ventrikel kiri, yang progresif menjadi peningkatan tekanan pulmonal dan selanjutnya shunt kira ke kanan. Selanjutnya bila resistensi pulmonal meningkat akan menjadi sindrom Eisenmenger. Gambaran Klinis VSD Dewasa Pasien dewasa dengan VSD restrikƟf kecil biasanya asimptomaƟk. Pemeriksaann fisik ditemui adanya murmur pansistolik frekuensi Ɵnggi dengan punktum maksimum di garis parasternal kiri seƟnggi interkostal 3-4. Pasien dengan VSD restrikƟf sedang sering merasa sesak setelah dewasa, yang kemungkinan dicetuskan oleh fibrilasi atrial. Pada pemeriksaan fisik akan ditemui apeks jantung yang berge-
Indikasi relaƟf: Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aorta regurgitasi yang sedang dan berat. EndokardiƟs berulang. Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi Ɵdak memungkinkan. Disfungsi Miokard pada Sepsis Disfungsi miokard pada sepsis didefinisikan sebagai keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi pada sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tampil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan aŌerload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat namun CO dipertahankan relaƟf baik oleh dilatasi ventrikel dan takikardi. PeneliƟan menunjukkan hanya sekelompok kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini disertai peningkatan angka kemaƟan menjadi 70-90% bila dibandingkan kemaƟan pada sepsis tanpa gangguan fungsi kardiovaskular 20%.8 Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi miokard tetapi mulƟfaktorial yaitu : Toksin bakteri Sitokin : TNF ά˙, IL 1β, IL 6 Mediator Cardiodepressant factors Oxygen reacƟve species Katekolamin Diagnosis Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya perubahan biventrikel dengan penurunan EF pada pemeriksaan ekokardiografi dan skinƟgrafi radionuclide. BukƟ secara histopatologi ditemukan adanya miokardiƟs interƟsial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan aŌerload ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS. Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga sebagai akibat menurunnya kontrakƟlitas ventrikel kanan. SeperƟ sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat Ɵdak
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 58•
MARIA IRAWATY
dapat menyingkirkan disfungsi miokard pada sepsis.8,9 BNP yang merupakan marker CHF dan troponin I dan T yang merupakan biomarker iskemi miokard juga telah banyak diteliƟ perannya pada disfungsi miokard pada sepsis. Beberapa peneliƟan kecil melaporkan adanya hubungan antara peningkatan Troponin dan disfungsi ventrikel kiri pada sepsis. Troponin jantung juga dilaporkan berkorelasi dengan lamanya hipotensi dan intensitas terapi vasopresor. Troponin juga dihubungkan gengan peningkatan derajat beratnya sepsis (berdasarkan SAPS II, APACHE II) dan peningkatan risiko kemaƟan . Sehingga, cukup beralasan jika memasukkan Troponin dalam pemantauan pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk prognosis dan meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya disfungsi jantung.9 Tidak demikian halnya dengan BNP. PeneliƟan-peneliƟan yang ada Ɵdak menunjukkan hasil yang seragam, sehingga BNP Ɵdak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi ventrikel pada sepsis. Eveluasi menyeluruh dengan ekokardiografi lebih dianjurkan daripada pemeriksaan BNP..9 Akhir-akhir ini, beberapa peneliƟan menunjukkan bahwa Pro BNP lebih baik daripada BNP/ANP sebagai marker disfungsi miokard dan sebagai penentu prognosis pada pasien sepsis. PeneliƟan-peneliƟan tersebut menunjukkan adanya korelasi antara pro BNP dan LVSWI pada pasien dengan sepsis. Roch dkk meneliƟ 39 pasien syok sepƟk dengan venƟlator mekanik. Mereka melaporkan bahwa kadar BNP pada non survivor lebih Ɵnggi dibanding yang survivor ( p = 0,002).Angka pro BNP > 13600 pg/ml selama 24 jam dilaporkan merupakan prediktor mortalitas ICU dengan sensiƟfitas 73% dan spesifisitas 83% (AUC 0,8). Walaupun demikian dibutuhkan peneliƟan lebih lan jut untuk menentukan peran Troponin dan Pro BNP dalam menentukan derajat beratnya penyakit dan dalam menentukan terapi.
-
Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelainan jantung: konfigurasi jantung yang membesar, murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah sedang bilateral. Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemukan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada pasien ini adalah infiltrat yang letaknya di sentral dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkam pro BNP yang meningkat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah 700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro BNP < 500 ng/l memprediksi Ɵdak adanya disfungsi jantung dengan sensiƟfitas 89% dan spesifisitas 43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh peneliƟ lainnya. Kekuatan nilai diagnossƟk Pro BNP ini terletak pada prediksi negaƟfnya terhadap diagnosis CHF dan semakin bermakna bila dikombinasi dengan variable diagnosis lainnya. 10 Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Berdasarkan TEE didapatkan bahwa Ɵpe dari VSD ini adalah perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka Ɵpe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV overload sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan. Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung bawaan tersebut. SeperƟ diketahui pada kehamilan dan pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel darah merah.( tabel 3)12 Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan
Terapi Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jantung merupakan penyebab penƟng dari kemaƟan pada pasien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi utama. Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign, dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan syok sepƟk, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri dan CO yang turun.
Parameter Curah jantung
Persalian Meningkat 50%
Meningkat 3050%
Meningkat 300-500cc Ɵap kontraksi Meningkat Meningkat
Volume darah Frekuensi jantung Tekanan darah SVR VO2 RBC mass
Meningkat 1520x/menit T u r u n 5-10mmHg Turun Meningkat 20% Meningkat 1520
PEMBAHASAN 1. Edema Paru Kardiogenik Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan curiga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardiogenik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan : Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin memberat dengan bertambah beratnya beban fisik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk RS dengan keluhan sesak napas hebat .
Kehamilan Meningkat 3050%
Meningkat Meningkat
Postpartum Meningkat 6080% dalam 15-20menit Turun ke baseline Turun ke baseline Turun ke baseline Turun ke baseline Turun ke baseline
DikuƟp dari Baldisseri MR.FINK Pada wanita dengan kelainan jantung yang berat, perubahan hemodinamik tersebut di atas dapat mengancam nyawa, mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas maternal dan janin. Mortalitas wanita hamil dengan penyakit jantung yang Ɵdak berat < 1% tetapi akan menjadi 50% bila disertai hipertensi pulmonal atau pe-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 59•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
nyakit jantung sianoƟk. Umumnya wanita hamil penderita kelainan jantung dengan fungsional class NYHA I-II, dapat mentoleransi perubahan hemodinamik tersebut. Namun kemaƟan akibat jantung pada wanita hamil dengan FC NYHA III-IV adalah 85%.12 SeperƟ diketahui bahwa prinsip penanganan edema paru kardiogenik adalah : Memelihara oksigenisasi adekuat dan stabilisasi hemodinamik. Mengurangi preload dan aŌerload Koreksi faktor pemberat dan penyakit dasarnya. Melihat kompleksnya kasus ini ( wanita postpartum dangan fc NYHA III-IV, sepsis VAP) maka evaluasi hemodinamik ( LVEDP,PAOP, PAP,PVR dll) waktu demi waktu sangatlah diperlukan. Parameter tersebut di atas diperlukan dalam penatalaksanaan dan pemantauan terapi pada kasus CHF terutama di ICU. Pada kasus ini dengan kondisi ICU yang Ɵdak memungkinkan melakukan pemantauan hemodinamik invasif maka dipakai analisa SVcO2 dan kadar pro BNP serial. Beberapa peneliƟan menunjukkan adanya hubungan nilai BNP/pro BNP dengan PAOP. Sementara peneliƟan lain melaporkan hal sebaliknya. Jadi bukƟ peneliƟan belum kuat untuk mendukung nilai pro BNP/BNP dalam mengganƟkan pemantauan hemodinamik pada kasus di ICU.10 Pro BNP merupakan pepƟda yang dihasilkan oleh ventrikel. SƟmulus fisiologis utama sekresi BNP adalah volume dan pressure overload. Menurunnya kadar BNP dihubungkan dengan perbaikan hemodinamik, menurunnya preload dan resistensi perifer (SVR).10 Berdasarkan data tersebut maka semula dipikirkan untuk menggunakan pro BNP serial sebagai surrogate marker hemodinamik. Sayangnya, waktu paruh yang panjang (2 jam) menyebabkan kadar pro BNP akan bermakna jika diperiksa seƟap 12 jam. Seharusnya lebih tepat jika memeriksa kadar BNP yang memiliki waktu paruh lebih pendek (20 menit) sebagai pemantauan terapi. Lagipula adanya variasi intraindividu ( jam ke jam atau hari ke hari) membatasi kemaknaan kadar proBNP dipakai sebagai pemantauan terapi.13 Pasien ini mendapatkan terapi standard CHF yaitu : Mencapai oksigenisasi adekwat. Memelihara stabilitas hemodynamik Mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan aŌerload dengan diureƟc dan NTG. Inotropik diberikan berdasarkan nilai SPO2 dan SVcO2. Terapi diureƟk dan NTG diƟtrasi sesuai klinis dan hasil pro BNP yang diulang seƟap kali terjadi perburukan klinis ( mundurnya mode venƟlator, ronki yang bertambah, raƟo P/F, dan rontgen thoraks). Pasquate dkk meneliƟ 53 pasien rawat jalan dengan diagnosis CHF . Mereka melaporkan bahwa kebutuhan dosis diureƟk yang semakin besar berkorelasi dengan peningkatan kadar pro BNP yang diperiksa serial dan menurun pada kasus dengan perbaikan klinis. Kelemahan serial pro BNP sebagai guidance terapi pada kasus ini adalah karena pemeriksaannya Ɵdak dapat dilakukan secara bedsite dan memerlukan waktu sekitar 5-6 jam, disamping harganya yang mahal. 2,10. Sehingga dosis diureƟk dan NTG lebih dulu diƟtrasi hanya berdasarkan tampilan
klinis. Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat Ɵter pro BNP semakin turun maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini relaƟf perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami perburukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan disebabkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/ Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien. BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat tajam.10,13 Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi miokard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi 70-90%. Kadar pro BNP Ɵdak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walaupun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dilihat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak semakin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa kadar troponin T/I. 9 Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan alkalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipokloremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furosemid terus menerus. SeperƟ diketahui, keadaan alkalosis hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat venƟlasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan pasien ini deficit cairan intravaskuler dinilai dengan menggunakan PLR yang ternyata Ɵdak respon. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po ( hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP). SeperƟ sudah dibahas di Ɵnjauan pustaka, bahwa nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pemberian diureƟk sebagai lini pertama terapi edema paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efekƟf dalam mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO dengan profil hemodinamik yang stabil. Sementara diureƟk dapat menurunkan GFR, akƟfasi neurohumoral, semakin bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi sekuncup. Beberapa peneliƟan mennunjukkan bahwa dosis Ɵnggi loop diureƟc meningkatkan angka rawat inap dan mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa Ɵdak semua edema paru disertai keadaan overload cairan. Pasien ini mendapatkan diureƟk yang lama, dengan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis hipokloremik. 1.
VAP Sepsis Pasien saat masuk RS Ɵdak ada riwayat demam dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walaupun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis 22700, takikardi 150x/menit dan takipnea). Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik ( 37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 60•
MARIA IRAWATY
saan laboratorium lekosit 11520 dan procalcitonin 1,92.Pasien didiagnosis dengan VAP. Jika dilihat dari onset terdiagnosisnya VAP terjadi < 5 hari maka kasus ini termasuk VAP early onset tetapi karena pasien ini mendapat anƟbioƟka selama 4 hari terakhir (AnƟbioƟk profilaksis seksio sesarea yang terus diberikan) maka pasien ini termasuk VAP dengan risiko Ɵnggi kuman MDR sehingga pilihan anƟbioƟka empirisnya sesuai dengan VAP late onset adalah meropenem dan gentamisin,dengan mengambil bahan sputum dari aspirasi endotrakeal sebelumnya. Hari perawatan ke 10 keluar hasil kultur sputum, yang hasilnya adalah Acinetobacter baumanii. Acinetobacter Baumanii merupakan salah satu anƟmikroba yang disebut sebagai Diffi cult to treat (DTT). Mikroba yang termasuk DTT adalah P auroginosa, Oxacillin resisten Staphylococcus aureus dan Acinetobacter baumanii. AnƟbioƟk kemudian dideekskalasi dengan ampicillin sulbactam. Pemakaian anƟbioƟka profilaksis operasi yang diteruskan sampai hari keempat, anƟbioƟk empiris yang diteruskan sampai lebih dari 3 hari ( karena hasil kultur jadi setelah 5 hari) merupakan faktor yang perperan terhadap terjadinya infeksi oleh bakteri DTT. PeneliƟan melaporkan bahwa separuh dari kasus infeksi oleh mikroba DTT disebabkan oleh pemakaian anƟbioƟka yang Ɵdak sesuai dengan pedoman penggunaan anƟbioƟka.12 Se jumlah peneliƟan menunjukkan bahwa adanya infeksi bakteri DTT ini merupakan penentu survival pasien. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serial procalcitonin, dan lekosit , rontgen thoraks untuk mengevaluasi nilai CPIS. Hanya disayangkan bahwa rontgent thorax Ɵdak selalu dapat diulang karena keterbatasan dana.
ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penyebab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS merekomendasikan pemeriksaan kultur kwanƟtaƟf. Hasil kultur yang nonkwanƟtaƟf atau semikwanƟtaƟf memiliki spesifisitas yang rendah ( 27%) , kita Ɵdak tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.5 2. Pasien mengalami paralisis system immune ( CARS), sehingga Ɵdak mampu mengeliminasi infeksi primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya diarahkan untuk mensƟmulasi sistem imun seperƟ interferon γ atau GM CSF yang dalam hal ini Ɵdak mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan sarana. 15 Status nutrisi yang Ɵdak baik juga berperan pada keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin berkurang. SeperƟ diketahui bahwa otot skeletal merupakan tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya defisiensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepan jangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sepsis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, selenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus ini.16 SIMPULAN
1. 2.
Pada hari ke 30 pasien jatuh menjadi sepsis berat ( sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi dan hipotensi). Disfungsi organ yang terjadi melipuƟ hipoksemia ( PaO2/FIO2 < 300). Laktat pada hari ke 30 ini belum sempat diperiksa, tetapi jika kita melihat AGD maka terdapat unmeassured anion ( kira-kira -9), yang kemungkinan adalah laktat. Menjelang hari ke 31, MAP turun menjadi < 65. Sangat disayangkan pasien ini Ɵdak dilakukan resusitasi cairan terlebih dahulu tetapi hanya menaikkan dosis dobutamin dan norepinefrin saat SVcO2 turun ( 49%). SeƟdaknya mungkin saat itu dapat dilakukan passive leg raising untuk menilai apakah pasien ini masih respon respon terhadap cairan. Pasien kemudian meninggal pada hari ke 31. Pasien ini juga diduga mengalami perburukan fungsi jantung akibat semakin memburuknya sepsis VAP. Kecurigaan ini didukung oleh semakin membesarnya siluet jantung secara bermakna bila dibandingkan rontgent thoraks hari ke 27. Turunnya kadar pro BNP ( 468-343) Ɵdak dapat menyingkirkan kemungkinan tersebut. Disamping itu keadaan hipoksemia/desaturasi juga berperan dalam menyebabkan memburuknya fungsi jantung pasien ini. Infeksi yang Ɵdak terkontrol walaupun anƟbioƟk empiris sudah diberikan sesuai guidelines VAP dan sesuai pola kuman di ICU RSCM dan didekskalasi sesuai hasil kultur, hal ini kemungkinan disebabkan oleh : 1. Hasil kultur sputum yang Ɵdak kwanƟtaƟf , sehing-
3.
4. 5.
6.
7.
Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai Ɵpenya: edema paru kardiogenik atau non kardiogenik. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai eƟologi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai prediksi negaƟf yang Ɵnggi tetapi Ɵdak dapat dipakai sebagai penentu terapi. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai untuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU dengan sarana yang terbatas. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru kardiogenik Jika dibandingkan diureƟk karena lebih efekƟf dalam mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan hemodinamik lebih stabil. Hasil kultur yang nonkuanƟtaƟf atau semikuanƟtaƟf memilikI spesifisitas yang rendah ( 27%) , kita Ɵdak tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi. Pemberian anƟbioƟka yang Ɵdak tepat dan sesuai terapi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri Diffi cult to treat.
DAFTAR PUSTAKA
1. 2.
Lorraine B,MaƩhay. Acute pulmonary edema. N Eng J Med 2005: 353 : 2788-96 Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 61•
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
in Chronic Heart Failure. CirculaƟon 2004 : 110 : 10911096 ACC/AHA 2005 Guideline Update for diagnosis and managemen CHF in the adult summary arƟcle. CirculaƟon 2005;112;1825-1852 Kruger W, Ludwan A. Acute Heart Failure. Birkhauser.2009. Berlin: 48-65 ATS IDSA. Guidelines for the Management of adults with Hospital acquired, VenƟlator associated and Healthcare associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171 : 388-416 Koenig SM, Truwit JD. VenƟlator Associated Pneumonia: Diagnosis , treatment and prevenƟon. Clinical Microbiology Review . 2006 : 63-57 Webb GD et al. Diseases of The Heart, Percardium, and Pulmonary Vasculature Bed. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP eds. Brawnwald’s Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. Vol 2.8th ed. Philadelphia: Sanders elsivier.2008 p.1583-1585. Maeder M etal. Sepsis associated Myocardial dysfuncƟon : diagnosƟc and prognosƟc impact of cardiac troponin and natriureƟc pepƟdes. Chest 2006; 129 ; 13491366 Morsch RD etal. Sepsis and myocardial dysfuncƟon. Einstein. 2006;4(4): 338-342 Collinson PO. Commentary NatriureƟc pepƟde determinaƟon in criƟcal care medicine: part of rouƟne clinical pracƟce of research test only. CriƟcal Care 2009 : 13 : 105 Reichlin T, Noveanu M, Mueller C. Use of NatriureƟc pepƟdes in the emergency department and the ICU. In Vincent ed. Year Book of Intensive care and emergency medicine. 2009.Berlin Heidelberg: Springer 2009.p. 523-527 Baldisseri MR. Cardiovascular and endocrinologic changes Associated with Pregnancy. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL etc eds. Textbook of CriƟcal Care 5th ed.Philadelphia : Sanders elsivier 2005. p. 1535-39 Prahash et al. B type NatriureƟc pepƟde: A diagnosƟc, prognosƟc, and therapeuƟc tool in heart failure. American Journal of CriƟcal Care. 2004 ; 13 : 46-55 Garcin, Leone,Antorini, Charvet et al. Non adherence to guidelines an avoidable cause of failure of empirical anƟmicrobial therapy in the presence of diffi cult to treat bacteria. Intensive Care Med . 2010 :36:75-82 Monneret,et al. Monitoring Immune disfuncƟons in the sepƟc paƟent : A New Skin for the old ceremony. Mol Med 2008 : 14: 64-78 Berger MT, Chlorelo RL. AnƟoxidant supplementaƟon in sepsis and systemic inflammatory response syndrome. Crit Care Med 2007;5,No 9 (suppl): S584-589
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 62•
I STUDI PUSTAKA I
Kesadaran IntraoperaƟf dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumaƟc Stress Disorder Intra-operaƟve Awareness in General Anesthesia and the Development of Post-traumaƟc Stress Disorder Maria Blandina ABSTRACT Intra operaƟve awareness can be defined as the unexpected and explicit recall by paƟents of intra operaƟve events that occur during general anesthesia. It is a com plicaƟon of surgical general anesthesia that is oŌen overlooked. Conscious awareness with explicit recall has been known to potenƟally result in severe long-term psychological sequelae such as PTSD. The incidence rate for intra operaƟve awareness in general surgical populaƟon varied between 0.10% and 1.0% (with an excepƟon of 0.0068% incidence rate reported in one study). Larger percentages were esƟmated for paƟents undergoing cesarean secƟons and cardiac surgeries with incidence rates of 0.26% and 0.5%, respecƟvely. The majority of cases were discovered within days or weeks aŌer the operaƟon and auditory percepƟon was the most common complaint reported by paƟents in the studies. The incidence of PTSD following awareness was found inconclusive due to the limited number of studies invesƟgaƟng psychological sequelae of intra operaƟve awareness and conflicƟng results between the studies performed. Awareness detecƟon should be included in clinical rouƟnes with the aim of improving anestheƟc pracƟce and postoperaƟve professional psychiatric assessment and follow-up should be established as standard pracƟce for those in need of further assistance aŌer experiencing intra operaƟve awareness. Keywords: general anesthesia, sequelae, psychological; post-traumaƟc stress disorder; awareness, intra operaƟve; incidence. ABSTRAK
Kewaspadaan intraoperaƟf (intra operaƟve awareness) didefinisikan sebagai kemampuan pasien untuk mengingat kembali secara eksplisit perisƟwa-perisƟwa yang berlangsung pada saat pasien dalam pengaruh anestesia umum. Hal ini merupakan komplikasi dari anestesia umum yang sering sekali terabaikan. Kewaspadaan yang disertai ingatan eksplisit akan perisƟwa-perisƟwa intraoperaƟf berpotensi mengakibatkan gejala psikologis berat jangka pan jang seperƟ Post-TraumaƟc Stress Disorder (PTSD). Insiden kewaspadaan intraoperaƟf pada bedah umum bervariasi antara 0,1% dan 1,0% (dengan pengecualian angka insiden 0,0068% pada satu literatur). Persentase
lebih besar didapatkan pada caesarean secƟon dan bedah jantung dengan angka insiden 0,26% dan 0,5%. Kebanyakan dari kasus ditemukan beberapa hari hingga beberapa minggu setelah operasi dan persepsi auditorik merupakan keluhan yang paling sering dilaporkan oleh pasien. Insiden PTSD setelah terjadinya kewaspadaan intraoperaƟf belum dapat disimpulkan dikarenakan terbatasnya jumlah studi yang menginvesƟgasi gejala psikologis setelah kewaspadaan intraoperaƟf dan angka-angka insiden yang bertentangan yang didapatkan dari studi-studi yang telah dilakukan. Deteksi kewaspadaan intraoperaƟf seharusnya diikutsertakan dalam ruƟnitas klinik dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan anestesia, dan evaluasi psikiatrik pascaoperaƟf dan follow up seharusnya ditetapkan sebagai standar praktek anestesia bagi mereka yang membutuhkan penanganan lebih lanjut setelah mengalami kewaspadaan intraoperaƟf. Kata Kunci: anestesia, umum; sequelae, psikologis, posttraumaƟc stress disorder; awareness, intra operaƟf; insidens. INTRODUCTION
Intra operaƟve awareness can be defined as the unexpected and explicit recall by paƟents of intra operaƟve events that occur during general anesthesia. 1 It has been recognized as a complicaƟon of general anesthesia since 1846 when William Morton successfully demonstrated the use of ether but overlooked the paƟent’s recollecƟon of the surgery.2,3 The types of intra operaƟve awareness differ from one paƟent to another and can usually be characterized by the duraƟon of awareness, whether or not pain and/or anxiety are experienced, and whether or not the paƟent is able to explicitly recall of the event.4 The worst and most feared cases of intra operaƟve awareness are those of “awake paralysis” where the paƟents are fully aware for a prolonged period of Ɵme, subjected to pain and anxiety,
Maria Blandina Department of Anesthesia and Pain Management The Royal Melbourne Hospital
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 63•
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
Table 1. Studies evaluaƟng incidence of awareness between 1990 and 2008 Study (CounDates Design Sample PopulaƟon try) performed size Sandin et al . (Sweden)
1997-1998
ProspecƟve cohort study
11,785
All paƟents > 15 yo who have had GA
Myles et al. (Australia)
1993-1999
ProspecƟve cohort study
10,811
All paƟents receiving GA (excluding obstetrics and paediatrics)
Wennervirta et al . (Finland)
April 1998-June 1999
ProspecƟve crosssecƟonal study
3,843
All paƟents > 15 yo undergoing surgery using general anesthesia
Errando et al. (Spain)
April 1995-April 1997 & December 1998-November 2001
ProspecƟve observaƟonal study
4,001
All paƟents > 15 yo scheduled for elecƟve or urgent surgery requiring GA, excluding cardiac surgery and paƟents transferred to CriƟcal Care Unit
Ranta et al. (Finland)
January 1995-January 1996
ProspecƟve crosssecƟonal study
929
All cardiac surgery paƟents
Paech et al. (Australia)
June 2005 – January 2007
ProspecƟve observaƟonal study
1,095
All women > 18 yo undergoing Caesarean SecƟon under GA
Sebel et al. (USA)
April 2001 – December 2002
ProspecƟve, nonrandomized, cohort study
19,575
All paƟents > 18 yo receiving GA, normal mental status, able to provide informed consent.
ProspecƟve observaƟonal study
177,468
All paƟents > 18 yo who underwent GA
Pollard et al. (USA)
January 2002 – December 2004
GA = General Anesthesia yo = years old
1. 2. 3. 4. 5.
Table 2. Modified Brice interview10 What is the last thing you remember before going to sleep? What is the first thing you remember waking up? Do you remember anything between going to sleep and waking up? Did you dream during your procedure? What was the worst thing about your operaƟon?
and able to fully recall the experience aŌerwards. The ma jority of awareness cases, however, are brief and without experience of pain/anxiety.4 The causes of awareness are sƟll uncertain and the problem is thought to be mulƟ factorial. However, there are a few plausible causes that may explain the occurrence of awareness. Firstly, central nervous system target receptors may have inherited variability in their expression and/or funcƟon, which may result in unpredictable paƟent-specific variability in dose requirements of anestheƟc drugs. The basis underlying this theory is yet to be elucidated, but
preclinical studies involving mice have uncovered a geneƟc deficiency in one type of receptor for the inhibitory neurotransmiƩer g-aminobutyric acid (GABA) that presented resistance to the memory-blocking properƟes of etomidate. Secondly, low physiologic reserves (e.g. poor cardiac funcƟon, severe hypovolemia) may render the paƟents less capable of toleraƟng an amnesic level of anesthesia because it may catastrophically worsen their state of hypotension. Insuffi cient anestheƟc drugs could then result in awareness. Thirdly, a pacemaker or drugs such as β-blockers may conceal the physiologic characterisƟcs that normally indi-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 64•
MARIA BLANDINA
cate the need for a dose change. And lastly, equipment malfuncƟon or misuse may compromise drug delivery systems puƫng the paƟents at risk for awareness.1 Previous studies have shown that the incidence of awareness in general anesthesia is approximately 0.18% when neuromuscular blockers are used and 0.10% in the absence of such drugs.5,6 Assessing anestheƟc depth when muscle relaxants are used is parƟcularly difficult because of the absence of motor responses to sƟmuli.4 Muscle paralysis is perhaps the reason for higher incidence of awareness in view of the fact that the paƟents are unable to signal the anestheƟsts when they are aware. Conscious awareness with explicit recall have been known to result in paƟent dissaƟsfacƟon on anestheƟc care, distress, and potenƟal long-term psychological symptoms.6,7 Although the numbers are not similar in all studies performed, approximately 56% of paƟents experiencing conscious awareness during general anesthesia have been found to develop PTSD as a complicaƟon.7 The characterisƟc symptoms of PTSD include depression, anxiety aƩacks, sleep disorders, and flashbacks and nightmares of the traumaƟc experience. PTSD have also been known to be diagnosed in paƟents without explicit recall of the events but develop symptoms such as recurrent dreams about being buried alive which indicate that intra operaƟve awareness may have occurred.4 In a sense, sufferers of PTSD are incapable of leaving the event behind. In 1982, Turnstall and Lowit8 gave an account of a paƟent who developed sleep phobia aŌer experiencing conscious awareness with pain during general anesthesia for a caesarean secƟon. This paƟent experienced a sense of panic and a sinking feeling when lying on her back, had recurrent nightmares, difficulty going to sleep, and felt unable to breathe when she finally fell asleep. This problem dramaƟcally altered her life and personality in the years that followed. This review aims to assess the incidence of intra operaƟve awareness in general anesthesia and the psychological impact and psychiatric sequelae that may develop aŌerwards, with the intenƟon of increasing our knowledge about intra operaƟve awareness, awareness-induced PTSD, and ways of prevenƟng such an unfortunate event from occurring. This review begins by summarizing research on the incidence of intra operaƟve awareness and invesƟgates psychological symptoms following intra operaƟve awareness. Further discussion then focuses on monitoring awareness in general anesthesia, risk factors for awareness, and strategies for prevenƟng awareness and the development of PTSD in paƟents with conscious awareness and recall. METHODS The literature search was conducted using computerized databases including PUBMED, The Cochrane Library, and MEDLINE in order to idenƟfy the relevant arƟcles that have been published unƟl April 2009. ArƟcles were retrieved using the keywords: “awareness” AND “general anesthesia”, “awareness” AND “general anesthesia” AND “posƩraumaƟc stress disorder”, and also “intra-operaƟve awareness” AND “psychological sequelae”. The search was limited to studies that were published in English and
used human adult subjects. PublicaƟons on pediatric cases were excluded because awareness in children has not been reported to result in PTSD. This may be caused by the difference between a child’s expectaƟons of surgery than an adult’s in which an adult would expect to be fully unconscious without any memory throughout the procedure. The reported incidence of hosƟle behavioral changes and sleep disturbances of children who suffered intra operaƟve awareness was found to be not significantly different than those in children without awareness.9 A total of sixty-seven arƟcles were acquired by the search and only seven arƟcles met the inclusion criteria. Abstracts were read thoroughly before complete arƟcles were obtained and the references from the relevant publicaƟons were manually explored to ascertain further potenƟal arƟcles. In the end, eleven publicaƟons were reviewed, including one literature review. RESULTS
All available literature on awareness in general anesthesia and PTSD were considered for inclusion in the review. ProspecƟve randomized controlled trials and metaanalyses were originally preferred for the review; however, given the absence of level I (NHMRC guidelines) and scarcity of level II (NHMRC guidelines) evidence, observaƟonal studies on awareness in general anesthesia, case series and cohort studies were also considered. RetrospecƟve reviews and expert opinion were not eliminated. Study Designs The majority of selected studies evaluated the incidence of awareness (Table 1) and only a few addressed psychological sequelae of intra operaƟve awareness. These studies employ different strategies in discovering the incidence of awareness and PTSD. Sandin et al.5 invesƟgated the possibility of awareness or awake paralysis in 11,785 paƟents who had undergone general anesthesia. Interviews were performed by trained staff using the Brice modified interview (Table 2) and took place before the paƟent leŌ the post-anesthesia care unit (PACU); 1-3 days aŌer; and 7-14 days aŌer the surgery. A similar method was also used by Sebel et al.10 in interviewing 19,575 paƟents in the recovery room and follow-up interview up to two weeks following the surgery. Errando et al.11 also used a similar strategy (with the excepƟon of uƟlizing their own structured interview) when interviewing 4,001 paƟents in PACU immediately aŌer the surgery and follow-up interviews to confirm awareness episodes on the seventh and thirƟeth day aŌer surgery. In another study conducted in Australia, Myles et al.12 calculated the incidence of awareness when evaluaƟng paƟent’s saƟsfacƟon with anesthesia. Their interviews took place within 24 hours aŌer the surgery and the paƟents were asked whether they were ‘saƟsfied’, ‘somewhat dissaƟsfied’, or ‘dissaƟsfied’ with the anestheƟc service they had received. The reasons for paƟents’ dissaƟsfacƟon were further explored aŌerwards. Another study by Wennervita et al .13 aimed to assess the incidence of awareness and recall during general anesthesia in outpaƟent surgery and used inpaƟents
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 65•
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
as controls. A total number of 1500 outpaƟents and 2343 inpaƟents were interviewed during their stay in the recovery room using a modified version of Brice interview method. Those found to have recollecƟons in the recovery room were reinterviewed by one of the researchers on the same day or the following day and later reinterviewed for the third Ɵme by phone within 12-24 months aŌer the operaƟon to evaluate the possibility of psychological sequelae that may follow (e.g. sleep disturbances, anxiety, depression, preoccupaƟon with death). Paech et al.14 also used modified Brice interview method in assessing 1095 cases of cesarean secƟon under general anesthesia for incidence of awareness and recall. PaƟents were interviewed at two occasions; the first 2-6 hours postoperaƟvely and the second at least 48 hours aŌer surgery (but before being discharged from the hospital). Brice modified interview was also used by Ranta et al.15 in evaluaƟng paƟents’ conscious recollecƟons from cardiac surgery. Nine hundred and twenty nine paƟents were interviewed within postoperaƟve days 1 to 18. Incidence of Awareness In 2000, Sandin et al.5 reported that aŌer interviewing 11,785 paƟents who had undergone general anesthesia, it was established that the rate of incidence of intra operaƟve awareness was 0.18% in cases where neuromuscular blockers were used and 0.10% in the absence of those drugs. A similar incidence of awareness (0.11%) was also reported by Myles et al .6 on the same year when invesƟgating risk factors for paƟents’ dissaƟsfacƟon aŌer anesthesia. Sebel et al .10 later confirmed that percentage with an overall incidence of 0.13% in 19,575 paƟents in a mulƟcenter study in the United States of America. This rate is equivalent to 1 to 2 cases of intra operaƟve awareness in every 1000 paƟents who receive general anesthesia. However, Errando et al.11 reported an incidence rate as high as 1.0% among 4,001 interviewed paƟents or 0.8% if emergency paƟents were excluded, which is comparable to 8 to 10 cases in every 1000 paƟents receiving general anesthesia. An excepƟonally low incidence of intra operaƟve awareness was reported by Pollard et al.16 in 2007. The authors reviewed the data collected over 3-year period through a major regional medical system in the United States. A different, somewhat modified version of Brice quesƟonnaire than previously used in other studies was uƟlized as a method for invesƟgaƟng awareness in this study and six awareness cases out of the total of 177,468 paƟents was found. From this result, the authors then calculated a substanƟally lower incidence rate of 0.0068%, which is equivalent to 1 case per 14,560 paƟents. Risk Factors for awareness Types of surgery A slightly higher incidence of intra operaƟve awareness than is normally reported in the general surgical populaƟon had been observed by Paech et al .14 amongst the obstetric populaƟon of women who underwent cesarean secƟon. The observed rate of 0.26% confirmed that pregnant women are at high-risk of awareness. Factors that
may account for higher risk of awareness in the obstetric populaƟon include physiological changes during pregnancy (e.g. an increased cardiac output), which accelerate the redistribuƟon of intravenous anestheƟc agents and reduce the establishment of an adequate parƟal pressure of volaƟle anestheƟc agent, and lighter general anesthesia which is usually given for obstetric paƟents to avoid the depressant effects of volaƟle agents on the newborn and on the uterine musculature aŌer delivery. 14, 17 Another group of paƟents with high-risk of awareness are those undergoing cardiac surgery. The main reason for the increased risk is that general anesthesia in cardiac surgery may rely only on opioids and benzodiazepines while volaƟle agents may oŌen be avoided in paƟents who already have considerable preoperaƟve myocardial morbidity and those who may develop complicaƟons (e.g. coagulaƟon problems) aŌer bypass surgery.17 A study by Ranta et al.15 invesƟgated the incidence of awareness with postoperaƟve recall by surveying the experience of 929 cardiac surgery paƟents. They reported an incidence of 0.5% when only the paƟents with objecƟve recollecƟons were included which was sƟll a higher incidence compared to those in general surgical populaƟons. However, the authors claimed that the incidence rate was similar to those in non-cardiac surgery populaƟons. Hypovolemic trauma paƟents also have a significantly increased risk of awareness even though they become more hypotensive with the administraƟon of anestheƟc drugs from which cerebral perfusion is expected to decrease and therefore, theoreƟcally, should reduce awareness17. PostoperaƟve recall, however, has been known to occur despite significant hypotension during resuscitaƟon 17 . The incidence rate of awareness in trauma paƟents could not be obtained due to the lack of awareness studies assessing this group of paƟents. PaƟent variability A previous history of awareness and history of difficult intubaƟon, which could be discovered preoperaƟvely, are both factors which significantly increase the risk of awareness and may therefore influence anestheƟc requirements. Less readily idenƟfiable and more complex factors, such as geneƟcs, paƟent physiology, and drug interacƟons may also play a role in the variability of response to anestheƟcs. Chronic use of alcohol, opioids, sedaƟves, and the acute use of amphetamines may increase anestheƟc drugs doses required to produce and maintain anesthesia.17 Age and Gender Minimum alveolar concentraƟon (MAC) is the standard measurement used to determine the potency of inhaled anestheƟc drugs. MAC increases as age decreases and therefore larger inhaled concentraƟons of volaƟle anestheƟcs are required in order to maintain the state of unconsciousness in young paƟents.18 An increase in anestheƟc requirements in young paƟents compared to elderly paƟents suggest that younger paƟents are more likely to suffer from awareness.17 In fact, a higher incidence of awareness among children has been reported in the literature. A
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 66•
MARIA BLANDINA
prospecƟve study of awareness by Davidson et al.18 involving 864 children undergoing general anesthesia at the Royal Children’s Hospital in Melbourne, Australia, established an incidence rate of 0.8% which is equivalent to 8 awareness cases in every 1000 children. However, unlike adult cases of awareness, no signs of distress were observed in children who experienced awareness and the postoperaƟve behavioral disturbances are comparable to those who did not experience awareness. Gender is also a risk factor for awareness. Women are found to be more likely to report intra operaƟve awareness and they also recover from anesthesia more rapidly compared with men which suggests that women may be less sensiƟve to the effects of anestheƟc agents.17 Incidence of PTSD following intra operaƟve awareness Lennmarken et al.19 performed a follow-up study to invesƟgate the long-term mental effects of awareness by quesƟoning the 18 paƟents idenƟfied by Sandin et al.5 in the study published two years prior. Only nine out of 18 paƟents were available for evaluaƟon (six of them declined to parƟcipate) and four out of those nine paƟents were found to have severe psychiatric/psychological symptoms. All four paƟents could recall in detail their traumaƟc events of awareness and the memories showed no propensity to diminish. They revealed common symptoms of PTSD such as re-experiencing events, feelings of fear and helplessness, flashbacks, panic aƩacks, anxiety, diffi culty concentraƟng, irritaƟon, insecurity, sleep disturbances and nightmares. All four of them affirmed that these symptoms had caused impairment in their social lives for the whole 2 years following the surgery. Samuelsson et al.7 reported 46 paƟents who had experienced awareness under general anesthesia earlier in their lives in a cohort of 2,681 paƟents. Thirty one of them denied any late psychological symptoms while the remaining 15 paƟents experienced nightmares, anxiety, and flashbacks. These symptoms faded within 2 months in 9 out of those 15 paƟents and persisted only in the form of nightmares and flashbacks for years in the other 4 paƟents. The remaining two paƟents developed severe mental problems and underwent psychiatric therapy. However, only one of the two paƟents was diagnosed with PTSD (while the other was diagnosed with schizophrenia) and whether or not it was caused by intra operaƟve awareness was obscured by the fact that she had been exposed to extreme mental stress earlier in her life. An incidence rate of 56.3% for PTSD following awareness was accounted by Osterman et al.20 aŌer interviewing 16 subjects who were recruited from adverƟsements in newspapers, fliers in hospitals, self-referred following print and television news stories, or referred by an anesthesiologist. Subjects reported significant postoperaƟve distress during their awareness episode, with most common and intense experiences of feeling unsafe and helpless, abandoned by his/her doctors and nurses, feeling betrayed by his/her doctors and nurses, terror, and inability to communicate. Nine out of the sixteen subjects met the DSM-IV diagnosƟc criteria for PTSD with funcƟonal impair-
ment years aŌer suffering intra operaƟve awareness. However, the study is weakened by potenƟal selecƟon bias. The more credible percentage was previously established by Schwender et al .21 aŌer interviewing two groups of paƟents with experience of awareness during general anesthesia (21 paƟents who answered to adverƟsement and 24 paƟents who were referred by colleagues from three large hospitals involved in the study). Twentytwo of 45 paƟents (50%) were found to suffer aŌer effects of their awareness episode (e.g. reluctance to undergo future anesthesia and operaƟons, suffered anxiety during the day, and had nightmares at night) and three of them (6.6%) developed PTSD syndrome. Schwender et al . also discovered that, during the awareness episode, visual percepƟon was reported by nearly 50% of paƟents and an incidence of pain percepƟon of 25% with 17.8% of paƟents suffering severe pain localized in the area where the pain sƟmuli occured. All 45 paƟents reported auditory percepƟon during their episodes: 20 paƟents could recall the remarks made by the surgical team that were emoƟonally relevant to them (e.g. derogatory remarks) while the other 25 paƟents only recalled theatre conversaƟons and noises. PrevenƟon of intra operaƟve awareness and PTSD The first line of awareness prevenƟon starts with preoperaƟve assessment. PaƟents at high risk of awareness should be idenƟfied in the pre-admission clinic and their management should be planned aŌerwards.2 PaƟents at risk of awareness include those having high-risk of awareness surgery (e.g. cardiac surgery and cesarean secƟon) or surgery associated with significant blood loss, paƟents who are medicated with significant doses of sedaƟves and analgesic drugs, and paƟents with previous history of awareness.2 This group of paƟents should be provided with informaƟon about awareness and assured that there would be efforts to prevent such an unfortunate event from happening.2 BIS Monitoring The bispectral index system (BIS) is an apparatus created to indirectly monitor hypnoƟc depth and anestheƟc drug concentraƟons in general anesthesia by processing electroencephalogram data through a proprietary algorithm, which is then displayed as a calculated dimensionless parameter between 0 and 100 (with 40 to 60 considered appropriate for general anesthesia).2, 12 BIS monitor was the first device approved by the US Food and Drug AdministraƟon for monitoring anaesthesic depth and it has the capability of reducing the incidence of awareness by alerƟng the anaestheƟsts when the depth of anesthesia is inadequate. A randomized double-blind controlled trial by Myles et al.12 showed that BIS monitoring could reduce the incidence of awareness by 82% in at-risk adults undergoing relaxant general anesthesia. It also confirmed that awareness during BIS monitoring is less common than during rouƟne care. However, Avidan et al.22 challenged this finding by proposing that BIS monitoring was not proven to be more beneficial than a protocol based on end-Ɵdal anestheƟc gas (ETAG) concentraƟons for prevenƟng anesthesia aware-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 67•
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
ness. However, the study was under-powered to draw any conclusions as there were only two cases of awareness in each group. Beta-Blockers Salomons et al .23 presented two cases of PTSD that persisted for years aŌer intra operaƟve awareness in which the pain symptoms that they re-experienced were similar in locaƟon to the pain they had felt during their episodes of awareness. These two cases suggested that some sƟmuli that were associated with the trauma may have triggered pain flashbacks and this could be further denoted as fear condiƟoning that may have occurred around the Ɵme of trauma.23 Pitman et al.24 proposed that adrenaline release at the Ɵme of a psychologically traumaƟc event could iniƟate an exaggerated emoƟonal memory and fear condiƟoning which consequently manifest as PTSD symptoms. Given this theory, administraƟon of propanolol to block β-adrenergic receptors immediately aŌer a traumaƟc event could have a prophylacƟc effect. A double-blind, placebocontrolled pilot study24 proved that a course of propranolol which begun shortly aŌer an acute traumaƟc event is effecƟve in reducing PTSD symptoms 1 month later. Further studies, however, are sƟll required to reassure this finding. DISCUSSION
The word “anesthesia” originated from the Greek word “anaisthēsia” which literally means “loss of feeling or sensaƟon”. 25 Indeed, the aim of anesthesia is to arƟficially induce the loss of physical sensaƟon, most especially pain, with or without loss of consciousness through the administraƟon of various anestheƟc drugs, gases, and any other anestheƟc agents. The fundamental role of an anaestheƟst in general anesthesia is therefore to keep a paƟent in a state of unconsciousness in conjuncƟon with complete loss of physical sensaƟon. Unfortunately, mulƟple factors may at Ɵmes fail anaestheƟsts to achieve this idyllic goal and consequently result in awareness. This review found the incidence rate for intra operaƟve awareness in general surgical populaƟon varied between 0.10% and 1.0% (with an excepƟon of 0.0068% incidence rate reported in one study 16 and equivalent to 1 to 10 awareness cases per 1000 paƟents. 5, 6, 10, 11 Larger percentages were esƟmated for paƟents undergoing cesarean secƟons and cardiac surgeries with incidence rates of 0.26% 14 and 0.5% 15, respecƟvely, which are comparable to 3 and 5 awareness cases per 1000 paƟents. The most common complaint reported by paƟents in these studies was auditory percepƟon, whether it was the voices of the surgeons conversing with other members of the surgical team or barely audible noises in the background. Other complaints include loss of motor funcƟon, feeling of imminent death, feeling helpless, anxiety, panic, and pain. Most awareness cases in the studies were detected using a modified Brice interview quesƟonnaire (Table 2) and enquired during the paƟents’ stay at the PACU and repeated at intervals of days and weeks aŌer the surgery. The majority of awareness cases were discovered within days or weeks aŌer the op-
eraƟon and not while the paƟents were in the PACU, which showed that paƟents’ recollecƟons of their awareness episode oŌen gradually emerged over Ɵme. The effects of residual anestheƟcs and the paƟents’ divided aƩenƟon in the early recovery period (which is usually more focused on common symptoms such as pain and nausea) are the main causes for delayed recollecƟons.17 AddiƟonally, the trauma of conscious awareness may have dissociaƟve effects on the paƟents’ mental state that leads to the division of memory of the event into sensory fragments and agonizing emoƟonal states, which consequently hinders these paƟents from fully recounƟng their experience. 17 The greatest concern surrounding intra operaƟve awareness is the severe long-term psychological sequelae that may develop aŌerwards. The extent of psychological impact on paƟents following intra operaƟve awareness varies individually. Some may only experience short-term psychological disturbances such as nightmares and diffi culty sleeping which are resolved within a few weeks, while others may develop debilitaƟng long-term psychiatric disorder such as PTSD. Four studies that invesƟgated the psychological sequelae of awareness found incidences of PTSD in 22.2% 19, 56.3% 20 and 6.6% 21 of awareness cases. Limited number of studies and the potenƟals for selecƟon bias in the studies performed restrict the confidence to draw any conclusions on the true incidence of PTSD following intra operaƟve awareness. The development of PTSD in awareness may be due to “inescapable stress” situaƟon while paƟents are conscious of intra operaƟve sƟmuli. 26 Failure of escaping stressful event through normal “fight or flight” response results in passive coping mechanism or dissociaƟon. 26 PaƟents who suffer from dissociaƟon would appear expressionless, silent, and indifferent toward their surroundings. 20 They oŌen also appear calm and seemingly non-traumaƟzed by the experience. 20 Coping mechanism through parasympatheƟc acƟvity would show reduced heart rate as a physical sign.20 A dissociaƟve state around the Ɵme of trauma where the paƟents are incapable of narraƟng their experience as a result of fragmented memory is a significant long-term predictor for the development of PTSD. 27, 28 Van der Kolk & Fisler 27 explained that considerable narrowing of consciousness occur when people feel threatened. This narrowing of consciousness may advance toward loss of memory for parts or for the enƟre experience when an individual is traumaƟzed, leaving him or her unable to give coherent account of the event. Some aspects of the trauma may invade consciousness when the person fails to organize the traumaƟc memory into a narraƟve and results in terrifying percepƟons, obssessional preoccupaƟons, and somaƟc reexperiences of the event.27 The three main characterisƟcs of PTSD are: 1). re-experience, 2). avoidance, and 3). hyperarousal.26 Reexperiencing usually happens in the form of nightmares and flashbacks in which they would re-experience paralysis, auditory percepƟon, sense of helplessness and anxiety, and someƟmes even feel the pain of surgical sƟmuli. 20 Re-experiencing is usually triggered by reminders that resemble their traumaƟc situaƟon such as the state of light sleep or
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 68•
MARIA BLANDINA
the process of falling asleep, sounds of clinking silverware, or smell of alcohol.26 Re-experiencing and insomnia are the two most common complaints reported by postawareness paƟents in the studies. Postawareness paƟents have also been known to avoid cues and situaƟons that would confront them with their traumaƟc memories such as hospitals, medical workers, television programs with hospital themes, and some even develop sleep phobias. 8, 20 Avoiding these cues and situaƟon may oŌen prevent these paƟents from inquiring aŌercare and discussing their experience with medical personnel.26 Avoidance was perhaps the reason for paƟents’ refusal to parƟcipate in the two year follow-up study by Lennmarken et al 19. For this same reason, paƟent recruitment through adverƟsements to invesƟgate PTSD would be largely ineffecƟve. Physiological hyperarousal symptoms in PTSD include easy startle, hypervigilance, and irritability.20 A paƟent’s understanding of their experience is crucial in prevenƟng psychological morbidity in postawareness paƟents.4 When awareness is suspected to have happened during a surgery, anaestheƟsts or surgeons should clarify with the paƟent the reasons why awareness occurred and reassure that it is unlikely to happen again in the future.1 It should also be noted that, when awareness is suspected to be occurring during a procedure, speaking to the paƟents and telling them that the surgical team is aware that they are awake and that they are geƫng help would significantly diminish the traumaƟzing effect of the experience. 20, 26 ValidaƟon by medical personnel of the actuality of the traumatic experience has been reported to prevent the development of PTSD and even diminish or stop PTSD symptoms.4, 26 In conclusion, social support and acknowledgement are the most vital protecƟve factors against the development of PTSD in paƟents suffering intra operaƟve awareness.26 Further studies on intra operaƟve awareness are necessary to establish more accurate prevalence, expand our comprehension on its psychological impact, improve detecƟon of awareness, and develop effectual treatment.26 CreaƟng a registry for postawareness paƟents similar to the one established by The American Society of Anesthesiologists (www.AwareDB.org) would prove beneficial to increase our knowledge of awareness from direct paƟent reports. This program would also be a useful way to educate paƟents by providing helpful informaƟon on awareness. Finally, educaƟon on intra operaƟve awareness for surgical and anesthesia teams is necessary to further understand the issue as well as gaining knowledge of managing such an event.
ment should be an ongoing process that begins in the recovery room and conƟnued through to follow-up visits with the surgeons. Awareness-induced PTSD should be considered for any paƟent with psychiatric complains following surgery and therefore conƟnuous postoperaƟve assessment is vital in discovering the maƩer. A thorough perioperaƟve management of anesthesia is crucial in prevenƟng intra operaƟve awareness and postoperaƟve professional psychiatric assessment and follow-up should be established as standard pracƟce for those in need of f urther assistance aŌer experiencing intra operaƟve awareness. KEY POINTS • Intra operaƟve awareness can be defined as the unexpected and explicit recall by paƟents of intra operaƟve events that occur during general anesthesia. • The causes of awareness are sƟll uncertain and the problem is thought to be mulƟ factorial. • The extent of psychological impact on paƟents following intra operaƟve awareness varies individually; some may only experience short-term psychological disturbances, while others develop debilitaƟng long-term psychiatric disorder such as PTSD. • Re-experience, avoidance, and hyperarousal are the three main characterisƟcs of PTSD. • Further studies on intra operaƟve awareness that aim to establish more accurate prevalence, expand our comprehension on its psychological impact, improve detecƟon of awareness, and develop effectual treatment are indispensable. REFERENCES
1.
2.
3.
4.
5.
CONCLUSION
6. It is crucial for surgical and anesthesia teams to acknowledge the reality of surgical experience and recognize the emoƟonal impact on paƟents. For a variety of reasons, paƟents rarely report awareness and their sufferings oŌen leŌ unrecognized. The propensity for avoidance rather than inquiring assistance in these paƟents makes it necessary to include awareness detecƟon in clinical rouƟnes with the aim of improving anestheƟc pracƟce. Awareness assess-
7.
8.
Orser BA, Mazer CD, Baker AJ. Awareness during anesthesia. Canadian Medical AssociaƟon Journal. 2008;178(2):185-8. Myles PS. PrevenƟon of awareness during anesthesia. Best PracƟce & Research Clinical Anaesthesiology . 2007;21(3):345-55. Lennmarken C, Sydsjo G. Psychological consequences of awareness and their treatment. Best PracƟce & Research Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):357-67. Forman SA. Awareness during general anesthesia: concepts and controversies. Seminars in Anesthesia, PerioperaƟve Medicine and Pain. 2006;25:211-8. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, Lennmarken C. Awareness during anesthesia: a prospecƟve case study. The Lancet. 2000;355:707-11. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, Anderson H, Weeks AM. PaƟent saƟsfacƟon aŌer anesthesia and surgery: results of a prospecƟve survey of 10,811 paƟents. British Journal of Anesthesia. 2000;84(1):6-10. Samuelsson P, Brudin L, Sandin RH. Late Psychological Symptoms aŌer Awareness among ConsecuƟvely Included Surgical PaƟents. Anesthesiology. 2007;106(2632). Turnstall M, Lowit I. Clinical curio: sleep phobia af-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 69•
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
ter awareness during general anesthesia: treatment by induced wakefulness. BriƟsh Medical Journal. 1982;285:865. 9. Hammer GB. Awareness during general anesthesia in children. Seminars in Anesthesia, PerioperaƟve Medicine and Pain. 2006;25:95-9. 10. Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, Rampil IJ, Padilla RE, Gan TJ, et al. The Incidence of Awareness During Anesthesia: A MulƟcenter United States Study. Anesthesia & Analgesia. 2004;99:833-9. 11. Errando CL, Sigl JC, Robles M, Calabuig E, Garcia J, Arocas F, et al. Awareness with recall during general anesthesia: a prospecƟve observaƟonal evaluaƟon of 4,001 paƟents. BriƟsh Journal of Anesthesia. 2008;101(2):178-85. 12. Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan M. Bispectral index monitoring to prevent awareness during anesthesia: the B-Aware randomized controlled trial. Lancet. 2004;363:1757-63. 13. Wennervirta J, Ranta SO-V, Hynynen M. Awareness and Recall in OutpaƟent Anesthesia. Anesthesia & Analgesia. 2002;95:72-7. 14. Paech MJ, ScoƩ KL, Clavisi O, Chua S, McDonnell N, Group tAT. A prospecƟve study of awareness and recall associated with general anesthesia for caesarean secƟon. InternaƟonal Journal of Obstetric Anesthesia. 2008;17:298-303. 15. Ranta SO-V, MD., Herranen P, RN. , Hynynen M, MD. PaƟents’ Conscious RecollecƟons From Cardiac Anesthesia. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia. 2002;16(4):424-30. 16. Pollard R, Coyle J, Gilbert R, Beck J. Intra operaƟve Awareness in a Regional Medical System: A Review of 3 Years’ Data. Anesthesiology. 2007;106:269-74. 17. Ghoneim MM. Incidence of and risk factors for awareness during anesthesia. Best PracƟce & Research Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):327-43. 18. Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C, Gibson MA, Stewart SA, Jamsen K, et al. Awareness During Anesthesia in Children: A ProspecƟve Cohort Study. Anesthesia & Analgesia. 2005;100:653-61. 19. Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, Samuelsson P, Sandin R. VicƟms of awareness. Acta Anaesthesiologica Scandinavica. 2002;46:229-31. 20. Osterman JE, Hopper J, Heran WJ, Keane TM, van der Kolk BA. Awareness under anesthesia and the development of posƩraumaƟc stress disorder. General Hospital Psychiatry. 2001;23:198-204. 21. Schwender D, Kunze-KronawiƩer H, Dietrich P, Klasing S, Forst H, Madler C. Conscious awareness during general anesthesia: paƟents’ percepƟons, emoƟons, cogniƟon and reacƟons. BriƟsh Journal of Anesthesia. 1998;80:133-9. 22. Avidan MS, Zhang L, Burnside BA, Finkel KJ, al. e. Anesthesia Awareness and the Bispectral Index. The New England Journal of Medicine. 2008;358(11):1097-108. 23. Salomons T, Osterman J, Gagliese L, Katz J. Pain Flashbacks in PosƩraumaƟc Stress Disorder. Clinical Journal of Pain. 2004;20(2):83-7.
24. Pitman R, Sanders K, Zusman R, al. e. Pilot Study of Secondary PrevenƟon of PosƩraumaƟc Stress Disorder with Propanolol. Biological Psychiatry. 2002;51:189-92. 25. ENCARTA. Encarta World English DicƟonary [North American EdiƟon]. Bloomsbury Publishing Plc.; 2009 [updated 2009; cited 2009 May 19th]; Available from: hƩp://encarta.msn.com/dicƟonary_1861585551/anesthesia.html. 26. Osterman JE, van der Kolk BA. Awareness During Anesthesia and PosƩraumaƟc Stress Disorder. General Hos pital Psychiatry. 1998;20:274-81. 27. Van der Kolk BA, Fisler R. DissociaƟon and the Fragmentary Nature of TraumaƟc Memories: Overview and Exploratory Study. Journal of TraumaƟc Stress. 1995;8(4):505-25. 28. Davidson A. Consequences of Awareness. Australian and New Zealand College of AnaestheƟsts; 2005 [updated 2005; cited 2009 May 20th]; Available from: http://www.anzca.edu.au/events/asm/asm2005/davidsona_awareness-1.htm.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 70•
I TINJAUAN PUSTAKA I
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi OŌalmika Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic EvisceraƟon Surgery Andi Salahuddin latori yaitu biaya murah, aman bagi pasien dan nyaman. ABSTRACT The classical extraconal (peribulbar) block was introduced in 1986 as a safer alternaƟve to the retrobulbar block, in which the needle Ɵp remained outside the muscle cone. Intraconal (retrobulbar) block involves the injecƟon of a local anaestheƟc agent into the muscle cone, behind the globe that is more easy to occur complicaƟon. Muscle cone formed by 4 recƟ muscles and the superior and in ferior oblique muscles. EvisceraƟon is the surgical removal of the contents of the eye, leaving the white part of the eye and the eye muscles intact. Usually, this procedure under general anaesthesia technique, but that have worried about prolong venƟlaƟon aŌer surgery or other complicaƟon related general anaesthesia, and ambulatory seƫng changes. Knowledge of orbital anatomy and training are essenƟal for the pracƟce of safe orbital regional anaesthesia and similar the aim of ambulatory anaesthesia “ low cost, paƟent safety and saƟsfacƟon”. Keywords: Peribulbar block, modality ambulatory, evisceraƟon ABSTRAK
Blok Peribulber yang telah diperkenalkan tahun 1986 merupakan pilihan cara yang lebih aman dibanding blok retrobulber dimana ujung jarum ditempatkan diluar “muscle cone”. Pada blok retrobulber ujung jarum ditempatkan di dalam “muscle cone”, dibelakang bola mata sehingga mudah terjadi komplikasi. “Muscle cone” dibentuk oleh 4 otot rektus dan otot oblik superior dan inferior. Eviserasi adalah operasi pengeluaran isi bola tanpa mengangkat sklera dan tanpa memotong otot-otot bola mata. Biasanya operasi ini dilakukan dengan teknik anestesi umum. Namun ada kekhawaƟran terjadinya “ prolong venƟlaƟon” atau komplikasi lainnya sehubungan dengan tehnik anestesi umum yang menyebabkan prosedur ambulatory berubah. Blok Peribulber dapat merupakan suatu modalitas anestesi ambulatori karena dengan teknik ini dapat kita hindari komplikasi akibat anestesi umum. Pengetahuan anatomi bola mata yang baik disertai pelaƟhan yang baik diperlukan dalam praktek regional anestesia mata yang aman dan hal ini sesuai dengan tujuan pada anestesi ambu-
Kata kunci: Blok peribulber, modalitas ambulatori, eviserasi. INTRODUCTION
The terminology used for regional orbital blocks is controversial. A name based on the likely anatomical placement of the needle is accepted widely. An intraconal (retrobulbar) block involves the injecƟon of a local anaestheƟc agent into the part of the orbital cavity (the muscle cone), behind the globe that is formed by 4 recƟ muscles and the superior and inferior oblique muscles. The classical extraconal (peribulbar) block was introduced in 1986 as a safer alternaƟve to the retrobulbar block, in which the needle Ɵp remained outside the muscle cone. The provision of ophthalmic regional anaesthesia for eye surgery varies worldwide. These may be chosen to eliminate eye movement or not and both non-akineƟc and akineƟc methods are widely used. PaƟent comfort, safety and low complicaƟon rates are the essenƟals of regional anaesthesia. The anaestheƟc requirements for ophthalmic surgery are dictated by the nature of the proposed surgery, the surgeon’s preference and the paƟent’s wishes. EvisceraƟon surgery is the commonest ophthalmic surgical procedure and general anaestheƟc technique is usually preferred. 4,7 Ambulatory anesthesia is tailored to meet the needs of ambulatory surgery so you can go home soon after your operaƟon. Short-acƟng anestheƟc drugs and specialized anestheƟc techniques as well as care specifically focused on the needs of the ambulatory paƟent are used to make your experience safe and pleasant. In general, if you are in reasonably good health, you are a candidate for ambulatory anesthesia and surgery. A quesƟon is “How about a paƟent with co-excisƟng disease “ (example : Staphyloma cornea with destroyed lung/ asthma bronchiale etc, undergoing to evisceraƟon surgery ), usually, who are undergoing evisceraƟon surgery with general anaesthesia
Andi Salahuddin Department of Anesthesiology, Intensive Care and Pain Management of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Faculty of Medicine Hasanuddin University Makassar
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 71•
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
technique, but some anaestheƟst worry about prolong venƟlaƟon aŌer surgery or asthma aƩack, and ambulatory seƫng changes (see. Fig.1,2) .Based on your medical history, a type of anaestheƟc may have an addiƟonal margin of safety. As an outpaƟent, some techniques may allow you to recover more quickly with fewer side effects, for example : peribulbar regional ophthalmic anaesthesia. There are many advantages of regional anesthesia. First, the paƟent is conscious during surgery. Therefore, the paƟent can maintain his own airway, contain his own gastric secreƟons, and warn the surgeon of impending complicaƟons, for example verƟgo in stapes surgery. Next, unlike general anesthesia, paƟents are awake and usually have a smooth postoperaƟve course. This allows for less nursing care aŌer procedures, and shorter recovery Ɵmes facilitating outpaƟent surgery. Another advantage is the eliminaƟon of painful afferent sƟmuli for the operaƟve site plus the blockade of efferent sympatheƟc nerves to endocrine glands eliminates or greatly reduces the metabolic endocrine changes seen aŌer surgical operaƟons. 1,2,3 Each paƟent is unique, your anesthesiologist will carefully evaluate you and your health status to determine if you should undergo ambulatory anesthesia.6 With the growth in ambulatory surgery and anesthesia in the United States comes a parallel growth in liability for the anesthesiologist providing ambulatory anesthesia services. The U.S. government esƟmates that about half of all anesthesia procedures are conducted on an ambulatory basis. The good news for anesthesiologists pracƟcing in an outpaƟent seƫng is that fewer than half of all closed anesthesia malpracƟce claims arise from procedures conducted on an ambulatory basis.2 Assessment and PreparaƟon PreoperaƟve preparaƟon and assessment vary worldwide. In the UK, the Joint Colleges Working Party Report recommended that paƟents are not fasted but fasƟng policies vary considerably. ComplicaƟon rates as a result of starvaƟon or aspiraƟon in ophthalmic regional anaesthesia are unknown and dangers remain if a paƟent vomits whilst undergoing any form of anaesthesia and surgery. According to published guidelines and reported evidence, rouƟne invesƟgaƟon of paƟents undergoing cataract surgery is not essenƟal because it improves neither the health nor the outcome of surgery, but tests can be done to improve the general health of the paƟent if required. The preoperaƟve assessment should always include a specific enquiry about bleeding disorders and related drugs. There is an increased risk of haemorrhage and this requires that a cloƫ ng profile is available (and recorded) prior to injecƟon. PaƟents receiving anƟcoagulants are advised to conƟnue their medicaƟon. Cloƫ ng results should be within the recommended therapeuƟc range. Currently there is no recommendaƟon for paƟents receiving anƟplatelet agents. Procedures under topical, subconjuncƟval, sub-Tenon’s or shallow peribulbar blocks are recommended. There are a number of risk factors that predispose the globe to needle penetraƟon. The presence of a long eye, staphyloma or enophthalmos, faulty technique, a lack
of appreciaƟon of risk factors, an uncooperaƟve paƟent and the use of unnecessarily long needles are some of the contribuƟng causes. PaƟents presenƟng with axial myopia have greater risk of globe puncture compared with paƟents with normal axial length and carry a risk rate of one perforaƟon for every 140 needle blocks performed in eyes with an axial length greater than 26 mm. A precise axial length measurement is usually available for intraocular lens dioptre power calculaƟon before cataract surgery. If the block is performed for other surgery and the axial length measurement is not known, close aƩenƟon to the dioptre power of paƟents spectacles or contact lenses may provide valuable clues to globe dimension. In the presence of high myopia, a classical peribulbar block or a single medial peribulbar injecƟon is advocated. Similar cauƟon will apply where there is a pre-exisƟng scleral buckle from an earlier reƟnal operaƟve procedure. Once the decision is made to operate, the anaestheƟc and surgical procedures are explained to the paƟents to enable informed consent. All monitoring and anaestheƟc equipment in the operaƟng environments should be fully funcƟonal. Blood pressure, oxygen saturaƟon and ECG leads are connected and baseline recordings are obtained. Intravenous line must be inserted before embarking on a needle block. The presence of a secure intravenous line remains good clinical pracƟce. Applied Anatomy As with all regional anaestheƟc techniques, knowledge of the anatomy of the orbit and its contents is essenƟal to the safe pracƟce of ophthalmic regional anaesthesia and many excellent textbooks on anatomy are available. The orbit is an irregular four-sided pyramid with its apex poinƟng posteromedially and its base facing anteriorly. The annulus of Zinn, a fibrous ring arising from the superior orbital fissure, forms the apex. The base is formed by the surface of the cornea, the conjuncƟva and the lids. Globe movements are controlled by the rectus muscles (inferior, lateral, medial and superior) and the oblique muscles (superior and inferior). The rectus muscles arise from the annulus of Zinn near the apex of the orbit and insert anterior to the equator of the globe, forming an incomplete cone. The distance from the inferior temporal orbital rim to the annulus measures 42 to 54 mm. Within the annulus and the muscle cone lie the opƟc nerve (II), the oculomotor nerves (III containing both superior and inferior branches), the abducent nerve (VI nerve), the nasociliary nerve (a branch of V nerve), the ciliary ganglion and vessels. The superior branch of oculomotor nerve supplies the superior rectus and the levator palpebrae muscles. The inferior branch of oculomotor nerve supplies the medial rectus, the inferior rectus, and the inferior oblique muscles. The abducens nerve supplies the lateral rectus. The trochlear nerve (IV nerve) runs outside and above the annulus, and supplies the superior oblique muscle (retained acƟvity of this muscle is frequently observed as anaestheƟc agents oŌen fail to block this nerve). Corneal and perilimbal conjuncƟval and superonasal quadrant of the peripheral conjuncƟval sensaƟons are
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 72•
ANDI SALAHUDDIN
mediated through the nasociliary nerve. The remainder of the peripheral conjuncƟval sensaƟon is supplied through the lacrimal, frontal and infraorbital nerves coursing outside the muscle cone; hence, intraoperaƟve pain may be experienced if these nerves are not blocked. The fascial sheath (Tenon’s capsule) is a thin membrane that envelops the globe and separates it from the orbital fat. It thus forms a socket for the globe. The inner surface is smooth and shiny and is separated from the outer surface of the sclera by a potenƟal space called the episcleral space. Crossing the space and aƩaching the fascial sheath to the sclera are numerous delicate bands of connecƟve Ɵssue (Fig. 1). Anteriorly, the fascial sheath is firmly aƩached to the sclera, about 3 to 5 mm posterior to the corneoscleral juncƟon. However, the descripƟon of Tenon’s capsule does vary and one major textbook of anatomy suggests that the space under the Tenon capsule is actually a lymph space and this follows the opƟc nerve and conƟnues with subarachnoid space. Posteriorly, the sheath fuses with the meninges around the opƟc nerve and with the sclera around the exit of the opƟc nerve. The tendons of all 6 extrinsic muscles of the eye pierce the sheath as they pass to their inserƟons on the globe. At the site of perforaƟon the sheath is reflected along the tendons of these muscles to form, on each, a tubular sleeve. The superior oblique muscle sleeve extends as far as the trochlea and the inferior oblique muscle sleeve extends to the origin of the muscle. The tubular sleeves for the 4 recƟ muscles also have expansions. Those for medial and lateral recƟ are strong and are aƩached to the lacrimal and zygomaƟc bones and are called the medial and lateral check ligaments respecƟvely. Thinner and less disƟnct expansions extend from the superior rectus tendon to that of the levator palpebrae superioris and from the inferior rectus to the inferior tarsal plate. The inferior part of the fascial sheath is thickened and is conƟnuous medially and laterally with the medial and lateral check ligaments. A matrix of connecƟve Ɵssue, which supports and allows dynamic funcƟon of the orbital contents, also controls the injectate spread. Globe and conjungƟval anesthesia (conducƟon block of intraorbital sensory devisions of the ophthalmic branch of the trigeminal nerve) are achieved more easily than globe akinesia (conducƟon block of intraorbital porƟons of the oculomotor cranial nerves III, IV and VI). The oculomotor nerve enter the muscle bellies of the four rectus muscles from the conal surface 1,0 – 1,5 from the apex of the orbit. Local anaestheƟcs, in blocking concentraƟons, have to reach an expose 5 – 10 mm segment of these motor nerve in the posterior intracone space for conducƟon block of those nerves and akinesia of their supplied muscles to occur. Retained acƟvity of the superior oblique muscle frequently seen aŌer intraconal local anaestheƟcs injecƟon, because its motor nerve, the trochlear, runs an extraconal course. There is insufficient space between the lateral rectus muscle and adjacent lateral orbit wall, and between the inferior rectus muscle and adjacent orbit floor, to consider place injectate in either locaƟon without risking injury to
the respecƟve muscles. Corneal and perilimbal conjungƟval sensaƟon is mediated via nasociliary nerve which lies within the cone of muscles; intracone blocks therefore produce anaesthesia of the cornea and conjuncƟva immediately surrounding it. However the sensaƟon of the peripheral conjuncƟva is supplied through the lacrimal, frontal and infraorbital nerve coursing outside the muscle cone; intraoperaƟve pain maybe experienced in this area aŌer a s olely intracone block.
Fig. 1. Anatomy of the orbit and contents Globe posiƟon The tradiƟonal teaching of having paƟent look” up and in” during retrobulbar block needle placement has been superseded by instrucƟon to direct their eyes in primary gaze. With the globe in primary gaze the opƟc nerve assumes a much safer locaƟon, totally on the medial side of the mid- sagital plane. (fig.2,3)
Fig. 2. View from front
Fig. 3. View from above Site and deep injecƟon RelaƟvely avascular areas suitable for injecƟon are the anterior half of the orbit in the inferotemporal quad-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 73•
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
rant, and the compartement of the nasal side of the medial rectus muscle; needle must never be inserted deeply to the orbital apex. (Fig 2,3). Anaesthesia mixture Any of the full potency local anaestheƟcs may be used, the eventual choice depending on the availlability, paƟent age and desired duraƟon of effect. ConcentraƟons up to but not exceeding 2% lignocaine (or Bupivacaine 5%) are appropriate. Adrenaline is use commonly for prolongaƟon of block duraƟon and to increase extend of block, but may be contraindicated if orbital vascular pathology is present; a concentraƟon 1: 200.000, given the volume of injectate used in ophthalmic regional anaesthesia, is devoid of systemic effect. Adjuvants3,4,5 Vasoconstrictors : Vasoconstrictors (epinephrine and felypressin) are commonly mixed with local anaestheƟc soluƟon to increase the intensity and duraƟon of block, and minimise bleeding from small vessels. AbsorpƟon of local anaestheƟc is reduced, thus avoiding high concentraƟons of local anaestheƟc in the plasma. Epinephrine is commonly mixed with the local anaestheƟc agent to prolong the duraƟon and intensity of the block. A concentraƟon of 1:200,000 has no systemic effect. However, epinephrine may cause vasoconstricƟon of the ophthalmic artery, compromising the reƟnal circulaƟon. The use of epinephrinecontaining soluƟons should also be avoided in elderly paƟents suffering from cerebrovascular and cardiovascular diseases. PhacoemulsificaƟon cataract extracƟon is usually of short duraƟon; hence the duraƟon of block achieved by lidocaine without epinephrine usually suffices. Dexmetomidine: Dexmedetomidine, a more selecƟve α-2 adrenoceptor agonist, is also known to enhance central neural blockades. 8 Hyaluronidase: Hyaluronidase is an enzyme, which reversibly liquefies the intersƟƟal barrier between cells by depolymerisaƟon of hyaluronic acid to a tetrasaccharide, thereby enhancing the diffusion of molecules through Ɵssue planes. It is available as a powder readily soluble in local anaestheƟc soluƟon. Hyaluronidase has been shown to improve the effecƟveness and the quality of needle as well as sub-Tenon’s block but its use remains controversial. The amount of hyaluronidase used in published studies varies from 5 to150 IU/mL. The UK data sheet limits the concentraƟon to 15 IU/mL. Orbital swelling due to rare allergic reacƟons or excessive doses of hyaluronidase and orbital pseudo-tumour has been reported. Excellent blocks can be achieved without hyaluronidase but there are reports of muscle dysfuncƟon when it is not used during needle block. pH AlteraƟon: Commercial preparaƟon of lidocaine and bupivacaine are acidic soluƟons in which the basic local anaestheƟc exists predominantly in the charged ionic form. It is only the nonionised form of the agent that traverses the lipid membrane of the nerve to produce the conducƟon block. At higher pH values, a greater proporƟon of local anaestheƟc molecules exist in the nonionised form, allowing more rapid influx into the neuronal cells. AlkalinisaƟon has
been shown to decrease the onset Ɵme and prolong the duraƟon of effect aŌer needle block but no such benefit is seen during sub-Tenon’s block. Others: The addiƟon of muscle relaxants, clonidine and other chemicals are known to increase the onset and potency of orbital block but their use is neither rouƟne nor recommended. SedaƟon and Ophthalmic Regional Blocks 3,4,5 SedaƟon is commonly used during topical anaesthesia. Selected paƟents, in whom explanaƟon and reassurance have proved inadequate, may benefit from sedaƟon. ShortacƟng benzodiazepines, opioids and small doses of intravenous anaestheƟc inducƟon agents are favoured but the dosage must be minimal. The rouƟne use of s edaƟon is discouraged because of an increased incidence of adverse intraoperaƟve events. It is essenƟal that when sedaƟon is administered, a means of providing supplementaƟon oxygen is available. Equipment and skills to manage any life threatening events must be immediately accessible. Intraocular Pressure (IOP) and Ophthalmic Regional Blocks3,4,5 Changes in intraocular pressure aŌer retrobulbar and peribulbar injecƟons are controversial but IOP is generally reported to increase immediately aŌer injecƟon. Prior reducƟon of IOP is associated with fewer operaƟve complicaƟons, notably shallowing of the anterior chamber and vitreous loss during large-incision extracapsular cataract extracƟons. These complicaƟons are less likely to happen during modern small-incision phacoemulsificaƟon procedure as the tendency for the anterior chamber to collapse is reduced. Any rise in IOP may have other serious consequences in paƟents with glaucoma and paƟents with advanced visual field loss. Retained Visual SensaƟons During Ophthalmic Regional Blocks Many paƟents experience intraoperaƟve visual sensaƟons that include light, colours, movements and instruments during surgery under all forms of local ophthalmic anaesthesia. Although the majority of paƟents feel comfortable with the visual sensaƟons they experience, a small proporƟon find the experience unpleasant or frightening. Therefore, paƟents receiving orbital blocks should receive preoperaƟve advice as this may alleviate an unpleasant experience.1,3 IntraoperaƟve Care and Monitoring The paƟent should be comfortable and soŌ pads are placed under the pressure areas. All paƟents undergoing major eye surgery under local anaesthesia should be monitored with pulse oximetry, ECG, non-invasive blood pressure measurement and the maintenance of verbal contact. PaƟents should receive an oxygen-enriched breathing atmosphere to prevent hypoxia and at a flow rate enough to prevent re-breathing and the ensuing hypercarbia once draped. ECG and pulse oximetry should be conƟnued. Once
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 74•
ANDI SALAHUDDIN
the paƟent is under the drapes, verbal and tacƟle contacts are maintained.1,3 Diffrences between younger and older Adult paƟent Younger adult paƟent present more of a challenge an achieving total akinesia than the elderly because of more dense connecƟve Ɵssues hindering access of anaestheƟcs to the oculomotor nerve.3
Intracone (Retrobulbar) Block Although there is communality between the fat compartement within and outside the geometric confines of the cone of the rectus muscles, injectate placed in midorbit intraconnaly (see Fig.7) compared with periconnaly (see Fig.6) is more effecƟve in producing globe akinesia. Precision placement is the key to avoidance of complicaƟon.
Needle Type and syringe size TradiƟonal teaching favoured blunt Ɵpped, intermediated gauge needles with the supposed advantages that blood vessels were pushed a side rather than traumaƟzed and that Ɵssue planes could be more accurately define. (Fig.4). Although a commonly held belief among ophthalmologists, it is not true is more difficult to penetrate the globe, the opƟc nerve sheath or blood vessels with a blunt needle. Larger blunt needles compared with fine dispossible ones cause more serious damage if the globe is penetrated. Because dispossible cuƫng needles produce minimal Ɵssue distorƟon, liƩle or no pain results. TacƟle discriminaƟon is progressively reduced with increasing needle size. Special aƩenƟon should be paid to the lenght of needle entering beyond orbital rim; 31 mm as measured from the orbit rim should never be exceded in order to exclude opƟc nerve impalement. All needles used for intracone or pericone.
Fig. 5. Preblock inspecƟon of the globe and eyelid Tabel.1. Summary nerve supply to the orbit
Fig. 4. Needle for main inferotemporal injecƟon (27 gauge, 2 cm long).
Placement should be oriented tangenƟally to the globe with the bevel opening faced towards the globe. Because less force has to be excerted, a change in resistance to injectate flow is detected more easily by the injecƟng hand when using a needle mounted on a smaller syringe compared with a larger size. This ability to detect more easily changes in resistance to injecƟon is more important in the avoidance of complicaƟons. Preblock InspecƟon of The Globe and Eyelids (See Fig. 5.) Most, but not all, inferotemporal injecƟons may be made with tranconjuncƟval entry. If on digital retracƟon of the paƟent’s lower eyelid in a downward and outward direcƟon the eyelid margin is found to be Ɵghtly held agains the globe, if the globe is deeply, recessed within the globe if there is the wide lateral canthal fold, or if the paƟent is blinking uncontrollably, a transcutaneous approach is oŌen the safest choice. In all cases the axial length measurement of the globe is carefully note; in the presence of high myopia, pericone as opposede to intracone, placement or even general anaesthesia may be more prudent.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 75•
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
eliminates intraoperaƟve discomfort, someƟmes encountered in low volume solely intracone techniques. The rouƟne combinaƟon of inferotemporal pericone injecƟon with superonasal pericone injecƟon (medial compartement block recommended) (Fig.9.) produces block anaesthesia/ akinesia, intraoperaƟve paƟent comfort and eyelid akinesia beƩer than other techniques.
Fig.6.Periconal/ Extraconal (Peribulbar) block.
Inferotemporal injecƟon The lower lid is retracted manually and the needle is placed halfway between the lateral canthus and the lateral limbus (edge of the iris). The injecƟon is not painful as it is passing through an already anaestheƟsed conjuncƟva. If there is not enough room for the needle to be posiƟoned correctly then the injecƟon may be made directly through the skin (see.Fig.9) .
Fig. 9. Superonasal pericone injecƟon.
Fig.7. Intracone (Retrobulbar) block
Fig.8.. Inferotemporal pericone injecƟon Pericone (Peribulbar, Periocular) Block Although injectate deposited within the orbit but not entering the geometric confines of the cone of the rectus muscles was introduced as being safer than intraconal blocking for avoidance of serious complicaƟons, nevertheless problems have been reported. Knowledge of orbital anatomy is as important as with intracone techniques. A failure rate to achieve akinesia with periconal blocking of up to 50% has been reported, there are many variaƟons of the pericone technique, a common one as being placement in two locaƟons, one in the inferotemporal kwadrant, and one in the superonasal quadrant. A preferable alternaƟve to the laƩer site of injecƟon is the fat compartement of the nasal side of the medial rectus muscle. Access of local anaestheƟcs to the motor nerve supply of the superior oblique muscle and, by spread through the orbital septum, of the orbicularis muscle, are promoted. AddiƟonally enhance peripheral conjuncƟval anaesthesia,
Classically the point of needle inserƟon was made in line with the edge of the limbus, however more recently a point midway between here and the lateral canthus has been adopted. The needle is advanced in the sagiƩal plane, parallel to the orbital floor passing under the globe. There is no need to apply pressure to the syringe as it will easily advance without resistance. When the needle Ɵp is judged to be past the equator of the globe the direcƟon is changed to point slightly medial (20°) and cephalad (10° upwards) to avoid the bony orbital margin. Advance the needle unƟl the hub (which is at 2.5 cm) is at the same depth as the iris. It is important to orientate the bevel of the needle facing the globe and any movement of the eye during needle inserƟon should alert the anaestheƟst to possible globe penetraƟon. Avoid any tendancy to ‘wiggle’ the needle to confirm the globe is disengaged as this only increases the risk of perforaƟon. Following negaƟve aspiraƟon, 5-8 ml of the soluƟon is slowly injected. There should not be any resistance while injecƟng. If resistance is encountered, the Ɵp of the needle may be in one of the extraocular muscles and should be reposiƟoned. During the injecƟon the lower lid may fill with the anaestheƟc mixture and there may be some conjuncƟval oedema (chemosis). Should the upper lid close quickly or the globe become tense or proptosed aŌer only small volumes of local anaestheƟc mixture the needle point is likely to be retrobulbar, and cauƟon should be taken not to inject further. Within 5-10minutes of this injecƟon, most paƟents will develop adequate anaesthesia and akinesia. Some paƟents however may not and a top up injecƟon can be given either at the same site or via a nasal approach.1,3,5 The same needle is inserted through the skin/ con juncƟva on the nasal side, medial to the caruncule and di-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 76•
ANDI SALAHUDDIN
rected straight back parallel to the medial orbital wall pointing slightly cephalad (20°) unƟl the hub of the needle is at the same level as the iris. The needle traverses the tough medial canthal ligament and may require firm gentle pressure. This may cause the the eye to be pulled medially briefly. AŌer negaƟve aspiraƟon up to 5ml of the anaestheƟc mixture is in jected. The eye is then closed with adhesive tape. A piece of gauze is placed over the lids and pressure applied with a Macintyre oculopressor or Honan balloon for 10 minutes at a pressure of 30 mmHg. If no oculopressor is available gently press on the eye with the fingers of one hand. This is to lower intraocular pressure (IOP) by reducing aqueous humour producƟon and increasing its reabsorbƟon. Assessment of the block is usually judged aŌer an interval of 10 minutes.1,3,5 The signs of a succesful block are:5 • Ptosis (drooping of the upper lid with inability to open the eyes) • Either no eye movement or minimal movement in any direcƟon (akinesia) • Inability to fully close the eye once opened.
Fig.10. Assesment of the block ( eye movement lateral, medial, inferior, superior) A simple akinesia score known as the Brahma score can be used for assessment of the block. Eye movement is assessed in four direcƟons – inferior, superior, medial and lateral. Normal movement is scored at 3, parƟal movement at 2 and and flickering movement at 1 and no movement is scored at zero. A score of less than 2 is acceptable. Since the local anaestheƟc is placed outside the muscle cone the concentraƟon around the opƟc nerve may not be suffi cient to abolish vision completely. Some light percepƟon will therefore remain, however the paƟent is not able to see the operaƟon. If, aŌer 10 minutes the block is inadequate a supplementary injecƟon of 2-5 ml of the anaestheƟc mixture may be required. If the residual eye movements are downward and lateral, the supplementary injecƟon is given at the inferotemporal site and if upward and medial, at the nasal site. Pressure is then reapplied for a further 10 minutes.5 ComplicaƟons of Needle Block 3,5 There are many complicaƟons of needle blocks, ranging from simple to serious, that have been reported in many reviews. The complicaƟons may be limited to the orbit or may be systemic. Orbital complicaƟons include failure of the block, corneal abrasion, chemosis, conjuncƟval haemorrhage, vessel damage leading to retrobulbar haemorrhage, globe perforaƟon, globe penetraƟon, opƟc nerve damage and extraocular muscle damage. Systemic complicaƟons, such as local anaestheƟc agent toxicity, brainstem
anaesthesia and cardio-respiratory arrest, may be due to intravenous or intrathecal injecƟons or the spread or misplacement of drug in the orbit during or immediately aŌer injecƟon.3 Intravascular injecƟon and anaphylaxis can occur, hence resuscitaƟon faciliƟes must always be readily available. Haemorrhage - retrobulbar haemorrhage is characterised by rapid orbital swelling and proptosis along with a sudden rise of IOP and usually requires surgery to be postponed. The surgeon should be informed immediately and the pulsaƟon of the central reƟnal artery assessed. A lateral canthotomy can be performed to alleviate the rise in IOP. It is very rare with shallow retrobulbar or peribulbar injecƟons (0.07%). SubconjuncƟval haemorrhage is less significant as it will eventually be absorbed. SubconjuncƟval oedema (chemosis): This is un-desirable as it may interfere with suturing. It can be minimised by slowing the rate of injecƟon. It rapidly disappears when gentle pressure is applied to the closed eye. PenetraƟon or perforaƟon of the globe (<0.1%) this is more likely to occur in myopic eyes which are longer but also thinner than normal and may have developed staphylomata. A diagnosis of perforaƟon may be made if there is pain at the Ɵme the block is performed, sudden loss of vision, hypotonia, a poor red reflex or vitreous haemorrhage. PerforaƟon may be avoided by carefully inserƟng the needle tangenƟally and by not going “up and in” unƟl the needle Ɵp is clearly past the equator of the globe. Central spread of local anaestheƟc - this is due to either direct injecƟon into the dural cuff which accompanies the opƟc nerve to the sclera or to retrograde arterial spread. A variety of symptoms may follow including drowsiness, vomiƟng, contra-lateral blindness caused by reflux of the drug to the opƟc chiasma, convulsions, respiratory depression or arrest, neurological deficit and even cardiac arrest. These symptoms usually appear within about 5min. Oculomedullary reflexes – discussed below. OpƟc nerve atrophy. OpƟc nerve damage and reƟnal vascular occlusion may be caused by direct damage to the opƟc nerve or central reƟnal artery, injecƟon into the opƟc nerve sheath or haemorrhage within the nerve sheath. These complicaƟons may lead to parƟal or complete visual loss. Oculomedullary reflexes 5 Oculocardiac reflex – causes bradycardia, nodal rhythms, ectopic beats or sinus arrest due to pressure, torsion or tracƟon on the extraocuar muscles. It is a trigeminovagal reflex – the afferent arc is via long and short ciliary nerves to the ciliary ganglion and the ophthalmic division of the trigeminal nerve with the efferent impulses conveyed by the vagus. This reflex most commonly occurs in paediatric squint paƟents. Local anaestheƟc blocks may aƩenuate the afferent arc and muscarinic antagonists block the efferent limb at the level of the heart. Hypercarbia sensiƟses the reflex and should be avoided.3,4,5 Oculorespiratory reflex – may cause shallow breathing, reduced respiratory rate and even full respira-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 77•
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
tory arrest. The afferent pathways are similar to the above reflex and it is thought that a connecƟon exists between the trigeminal sensory nucleus and the pneumotacƟc centre in the pons and medullary respiratory centre. Again this reflex is commonly seen in strabismus surgery and atropine has no effect. If controlled venƟlaƟon is not rouƟnely employed then extra aƩenƟon is needed. 5 OculoemeƟc reflex – is likely responsible for the high incidence of vomiƟng aŌer squint surgery (60- 90%). Again this is a trigemino-vagal reflex with tracƟon on the extraocular muscles sƟmulaƟng the afferent arc. Whilst anƟemeƟcs may reduce the incidence, a regional block technique provides the best prophylaxis.5 Jerome Morrel. et.al et.al demonstrate demonstrate in randomized, double-blind, controlled study that 1% ropivacaine peribulbar (PB) block in conjuncƟon with general anesthesia (GA) were similar with respect to the incidence of postoperaƟve nausea and vomiƟng. Overall, PB block combined with GA improves operaƟve condiƟons and postoperaƟve analgesia compared with GA combined with subcutaneous normal saline injecƟon into the inferior eyelid. 6
vomiƟng may be related to anesthesia, the type of surgical procedure or postoperaƟve pain medicaƟons. Although less of a problem today because of improved anestheƟc agents and techniques, these side effects conƟnue to occur for some paƟents. MedicaƟons to minimize postoperaƟve pain, nausea and vomiƟng are oŌen given by your anesthesiologist during the surgical procedure and in recovery.
Regional versus general anaesthesia. 1,3,4,5 Advantages May be performed as day cases. • • Produce good akinesia and anaesthesia. Minimal affect on IOP. • • Requires minimum equipment. Disadvantages • Not suitable for some paƟents (children, mentally handicapped, deaf, language barrier). • ComplicaƟons as above. Depends on the skill of anaestheƟst. • • Unsuitable for certain types of surgery (e.g. dacrocystorhinostomy-DCR).
In general, for 24 hours aŌer your anesthesia: • Do not drink alcoholic beverages or use nonprescripƟon medicaƟons. • Do not drive a car or operate dangerous machinery. machinery. • Do not make important decisions. You will be given telephone numbers to call if you have any concerns or if you need emergency help aŌer you go home.
RECOVERY IN THE SURGICAL FACILITY What can I expect aŌer the operaƟon unƟl I go home? AŌer surgery, surgery, you will be taken to the postanesthesia care unit, oŌen called the recovery room. Your anesthesiologist will direct the monitoring and medicaƟons needed for your safe recovery. For about the first 30 minutes, you will be watched closely by specially trained nurses. During this period, you may be given extra oxygen, and your breathing and heart funcƟons will be observed closely. In some faciliƟes, you may then be moved to another area where you will conƟnue to recover, and family or friends may be allowed to be with you. Here you may be offered something somethi ng to drink, and an d you will be assisted a ssisted in geƫ ng up. Will I have any side effects? The amount of discomfort you experience will depend on a number of factors, especially the type of surgery. Your doctors and nurses can relieve pain aŌer your surgery with medicines given by mouth, injecƟon or by numbing the area around the incision. Your discomfort should be tolerable, but do not expect to be totally pain-free. Nausea or
When will I be able to go home? This will depend on the policy of the surgery center, the type of surgery and the anesthesia used. Most paƟents are ready to go home between one and four hours aŌer surgery. surgery. Your anesthesiologist will be able to give you a more specific Ɵme esƟmate. Occasionally, it is necessary to stay overnight. All ambulatory surgical faciliƟes have arrangements rangements with a hospital if this is medically necessary. What instrucƟons will I receive? Both wriƩen and verbal instrucƟons will be given. Most faciliƟes have both general instrucƟons and instrucƟons that apply specifically to your surgery. surgery.
RECOVERY AT HOME What can I expect? Be prepared to go home and finish your recovery there. PaƟents oŌen experience drowsiness and minor aŌer effects following ambulatory anesthesia, including muscle aches, sore throat and occasional dizziness or headaches. Nausea also may be present, but vomiƟng is less common. These side effects usually decline rapidly in the hours following surgery, but it may take several days before they are gone completely. completely. The majority of paƟents do not feel up to their typical acƟviƟes the next day, usually due to general Ɵredness or surgical discomfort. Plan to take it easy for a few days unƟl you feel back to normal. Know that a period of recovery at home is common and to be expected. CONCLUSION
Eye blocks provide excellent anaesthesia for ophthalmic surgery and success rates are high. SaƟsfactory anaesthesia and akinesia can be obtained with both needle and cannula. Although rare, orbital injecƟons may cause severe local and systemic complicaƟons. complicaƟons. Knowledge of orbital anatomy and training are essenƟal for the pracƟce of safe orbital regional anaesthesia and the aim of ambulatory anaesthesia “ low cost, paƟent safety and saƟsfacƟon” come true. REFERENCE
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 78•
ANDI SALAHUDDIN
1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hamilton, R.C. Techniques of Orbital Regional Anesthesia. BriƟsh Journal Of Anesthesia 1995;75: 88 – 92. Posner, Posner, KL: Liability Profile of Ambulatory AnestheA nesthesia. ASA NewsleƩer. NewsleƩer. 2000; 64(6):10-12. Chandra M Kumar. Review ArƟcle: Ophthalmic Regional Block. Ann Acad Med Singapore 2006;35:158-67 American Society of Ophthalmic PlasƟc and ReconstrucƟve Surgery. COPYRIGHT © 2005, ASOPRS. ALL RIGHTS RESERVED Dr. Kim ChishƟ. Anaesthesia for Ophthalmic Surgery –Part 1, 25/5/2009. ANAESTHESIA TUTORIAL OF THE WEEK 135, 25TH MAY 2009. email
[email protected]..
[email protected] Je´roˆme Morel, MD. et.al. PreoperaƟve PreoperaƟve Peribulbar Block in PaƟents Undergoing ReƟnal Detachment Surgery Under General Anesthesia: A Randomized Double-Blind Study. Study. Anesth Analg 2006;102:1082– 7. Bakht Samar Khan, Mohammad Naeem Khan, Akbar Shah, Zia ul Islam. EvisceraƟon, EnucleaƟon, and ExentraƟon: ExentraƟon: painful but life saving surgical procedures. Pakistan J. Med . Res. 2005. Vol. 44, No.2. Takuya Miyawaki, DDS, PhD, et.al. Dexmedetomidine Enhances the Local AnestheƟc AcƟon of Lidocaine via an α -2A Adrenoceptor. Anesth Analg 2008;107:96 –101
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 79•
I PEDOMAN BAGI PENULIS I
Majalah Anestesia & CriƟcal Care menerima arƟkel peneliƟan yang original yang relevan dengan bidang kesehatan dan kedokteran. Majalah Anestesia & CriƟcal Care juga menerima Ɵnjauan pustaka, laporan kasus, penyegaran ilmu kedokteran, penegasan, dan surat kepada redaksi. 1. ArƟkel peneliƟan: Berisi arƟkel mengenai hasil peneliƟan original dalam ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri atas: Pendahuluan: Berisi latar belakang, masalah, dan tujuan peneliƟan. Bahan dan cara : Berisi desain peneliƟan, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisis data. Hasil: Dapat disajikan dalam bentuk teksbular, tabular, atau grafikal. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel atau gambar tetapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel atau gambar. Diskusi: Berisi pembahasan mengenai hasil peneliƟan yang ditemukan. Bandingkan Hasil tersebut dengan Hasil peneliƟan lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis di bab Hasil. Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil peneliƟannya. Ditulis ringkas, padat, dan relevan dengan hasil. 2. Tinjauan Pustaka: Merupakan arƟkel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran kedokteran dan kesehatan yang mutakhir. 3. Laporan Kasus: Berisi arƟkel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan Sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan. 4. Penyegaran Penyegaran ilmu kedokteran: Berisi arƟkel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up do date dan perlu selalu diingat. 5. Penegasan: Tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran atau kesehatan yang perlu disebarluaskan. Petunjuk umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, Majalah Anestesia & CriƟcal Care Ɵdak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memasƟkan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan ke Majalah Anestesia & CriƟcal Care akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan dan redaksi. Makalah akan dievaluasi oleh dewan redaksi dan bila diperlukan akan dilakukan perubahan dengan Ɵdak mengubah isi dan maksud
makalah. Makalah yang perlu perbaikan format atau isi akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Penulisan Makalah Makalah termasuk tabel, daŌar pustaka, dan gambar harus dikeƟk dalam MicrosoŌ Word, 2 spasi, pada kertas ukuran 21,5 X 28 cm (kertas A4), dengan jarak dari tepi tepi minimal 2,5 2,5 cm, jumlah jumlah halaman maksimal (arƟkel asli: 15 halaman, laporan kasus: 10 halaman, Ɵnjauan pustaka: 20 halaman, penyegaran: 3 halaman, dan surat kepada redaksi: 1 halaman). SeƟap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. terakhir. Kirimkan dalam bentuk makalah 2 buah dan disket. Makalah yang dikirim Ɵdak akan dikembalikan pada penulis. Halaman judul Halaman judul berisi judul makalah, nama seƟap penulis dengan gelar akademik terƟnggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili, dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf dan spasi. Abstrak dan kata kunci Abstrak untuk ArƟkel PeneliƟan, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris dalam bentuk terstruktur dengan jumlah maksimal masing-masing 250 kata. Abstrak arƟkel peneliƟan harus berisi Latar belakang dan tujuan peneliƟan, Metode, Hasil Utama, dan Kesimpulan Utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penƟng tanpa harus membaca seluruh makalah. Kata kunci dicantumkan pada halaman yang sama dengan abstrak, sesuai dengan UNIFORM REQUIREMENTS yang diterbitkan oleh InternaƟonal CommiƩee of Medical Journal Editors di Vancouver, Vancouver, BriƟsh Columbia pada tahun 1997. Br Med J 1998;296:401-5. 1998;296:401-5. Pilih 3-5 buah kata yang dapat membantu penyusun indeks. Cara Penulisan DaŌar Pustaka Penulisan DaŌar Pustaka: Nomor kepustakaan berdasarkan “urutan datang“ didalam teks, Vancouver style. Contoh cara penulisannya: Dari Jurnal: 6. Ohata H, lida H, Dohi S, Watanabe Y. Y. Intravenous dexmedetomidine dexmedetomidine inhibits cerebrovascular cerebrovascular dilataƟon induced by isoflurane and sevoflurane in dogs. Anest
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 80•
PEDOMAN BAGI PENULIS
Analg 1999;89:370-7. 7. Andrew PJ, PJ, Murugavel S, Deehan S. ConvenƟonal mulƟmodality monitoring and failure to detect ischemic cerebral blood flow. J Neurosurg Anesthesiol 1996;8(3):220-6. Dari buku: 1. Avellino AM, Lam AM, Winn HR. Management Management of acute head injury. In: Albin MS, ed. Textbook of neuroanesthesia with neurosurgical and neuroscience perspecƟves. New York:McGraw-Hill, Inc;1997,1137-75. 2. Le Roux PD, Winn HR. Surgical management of acutehead injury. In: Lam AM, ed. Anesthet ic managementof acute head injury . New York: McGraw-Hill, Inc; 1995,101-104. Catatan 1. Pada penulisan penulisan daf tar pustaka mohon diperhaƟkan penempatan tanda ƟƟk, koma, ƟƟk koma; ƟƟk dua, dan mana yang harus dicetak miring. 2. Apabila ada kesulitan pengiriman naskah naskah ke ke alamat Redaksi, dapat mengirimkan ke alamat Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., dr., SpAn KIC melalui E-mail: majalah.
[email protected]. Contoh Abstrak PeneliƟan Abstract Background and objecƟve: There is a few study of adding sodium bicarbonate to ropivacaine. The objecƟve objecƟv e of this study st udy is to evaluate evalu ate effi cacy sodium s odium bicarbonate as addiƟve to ropivacaine on the onset and duraƟon of epidural blockade. Methods: This studies included 32 paƟents on epidural anesthesia for inguinal herniorraphy. The subject were divided into two groups, 16 paƟents for each group, group 1 ropivacaine 20 ml that added 0,03 meq sodium bicarbonate 8,4% prior the soluƟon was injected and group II ropivacaine 20 ml that added 0,1 ml saline. The paƟents were given 15 ml/kg ml/kg Lactat’s Lactat’s ringer as preloading 15 minutes before epidural anesthesia. IntraoperaƟve outcomes compared included the onset and the duraƟon of sensory and motor blockade, peak level of sensory blockade, and the side effects. Result : Ropivacaine that added 0,03 meq sodium bicarbonate hasten the onset of sensory and motoric blockade. However, the duraƟon of epidural blockade, peak level of sensory blockade, quality of intraoperaƟve intraoperaƟve analgesia, relaxaƟon and side effect comparable. Conclusion: Adding 0,03 meq sodium bicarbonate 8,4% to ropivacaine soluƟon prior injecƟon produces epidural anesthesia with hasten the onset of sensory and motoric blockade without changes the duraƟon of sensory and motoric blockade. Keywords: Keywords:
epidural
anesthesia,
herniorrhaphy,
ropivacaine, sodium bicarbonate. Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Masih sedikit peneliƟan tentang penambahan sodium bikarbonat pada ropivakain. PeneliƟan ini untuk mengetahui efekƟvitas sodium bikarbonat sebagai tambahan pada ropivakain terhadap mula kerja kerja dan lama kerja kerja blokade epidural. Metode : PeneliƟan ini dilakukan terhadap 32 pasien status fisik ASA I-II, usia 18-60 tahun yang menjalani herniorafi dengan anestesi epidural. Pasien dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 16 orang, kelompok I Ropivakain 0,75% 20 ml ditambah 0,03 meq sodium bikarbonat 8,4% beberapa saat sebelum obat disunƟkkan, kelompok kelompok II Ropivakain Ropivakain 0,75% 20 ml ditambah 0,1 ml salin. Pasien Pasien diberikan cairan ringer laktat 15 ml/kg sebagai preloading 15 menit sebelum Ɵndakan anestesi epidural. DiteliƟ mula kerja, lama kerja blokade motorik dan sensorik, Ɵnggi blokade sensorik puncak, efekƟfitas dan efek samping intraoperaƟf. Hasil: Pada kelompok ropivakain-sodium bikarbonat mula kerja blokade sensorik dan motorik lebih cepat daripada kelompok ropivakain-salin sedangkan lama kerja, Ɵnggi blokade sensorik puncak, kualitas analgesia dan relaksasi motorik serta efek samping sebanding. Simpulan: Penambahan 0,03 meq sodium bikarbonat 8,4% pada 20 ml ropivakain 0,75% menghasilkan anestesi epidural dengan mula kerja blokade sensorik dan motorik yang lebih cepat tanpa mempengaruhi lama kerja. kerja. Kata kunci: anestesi epidural, herniorafi, ropivakain, sodium bikarbonat. Contoh Abstrak Laporan Kasus Abstract In severe seve re head he ad injury inj ury due du e to traffi tr affic accident acci dent or other traumas that causes intracranial and extracranial haemmorhage and contussio cerebri, that requires an immediate craniotomy surgery to evacuate the blood clot, will need a spesific anesthesia technique and monitoring equipment in order to achieve a maximum result, especially in paƟents with an underlying disease before the head injury occured. For example in paƟents with history of chronic renal failure (uremic), heart problems, diabetes mellitus, obesity, obesity, etc. These problems are quite challenge for anesthesiologist in order to perform a good and accurate perioperaƟve management in preoperaƟve, durante operaƟve, and post operaƟve. A solid team of anesthesiologist, neurosurgeon, internist, nephrologist and cardiologist must work together to achieve the best result for the paƟent. This is a case report of 43 years old male, 110 kg,
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 81•
PEDOMAN BAGI PENULIS
who has admiƩed to the hospital with main complaint of nausea, vomiƫng, weakness and anorexia. The paƟent was diagnosed with chronic renal failure with ureum 395 mg/dl and creaƟnine 24,4mg/dl. This paƟent was advised by the nephrologist and internist to underwent a hemodialysis treatment, but the paƟent refused the treatment. The paƟent fell from the stairs and sufferes a decrease in consciousness with GCS E1V2M3. Subdural haematome with Subarachnoid Haemorrhage and Contussio cerebri was found in CT Scan. A Cito craniotomy surgery was performed to evacuate the hematome. The operaƟon was well managed and a free heparin post operaƟve hemodialysis was performed. On the third day, while having a hemodialysis session, the paƟent’s blood pressure decreased to 70/40 mmHg and heart rate 50x/min then the paƟent had a cardiac arrest. The paƟent’s death was presumed due to side effects of hemodialysis which are hypotension and Dialysis Disequillibrium Syndrome. Keywords: severe head injury, chronic renal failure, hemodialysis, dialysis disequllibrium syndrome. Abstrak Pada pasien yang mengalami trauma kepala berat baik oleh karena kecelakaan lalu lintas maupun trauma lainnya yang menyebabkan pendarahan intrakranial, ekstrakranial, maupun contussio cerebri (memar otak) yang harus segera dilakukan Ɵndakan pembedahan kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah, memerlukan suatu teknik anestesi tertentu dan alat monitoring khusus untuk mencapai hasil yang maksimal, apalagi keadaan pasien mempunyai kelainan penyakit penyerta sebelum terjadinya trauma kepala. Misalnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (uremia), kelainan jantung, diabetes melitus, obesitas dan lainlain. Hal ini merupakan permasalahan atau tantangan untuk dokter anestesi untuk melakukan manajemen perioperaƟf yang teliƟ, baik dari prabedah, bedah dan pascabedah. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu Ɵm yang dapat bekerjasama antara dokter anestesi, bedah saraf, penyakit dalam, nefrologis, dan kardiologis agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam Ɵndakan tersebut. Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang laki-laki 43 tahun dengan berat badan 110 kg yang dirawat di rumah sakit dengan keluhan mual, muntah, lesu dan Ɵdak ada nafsu makan. Pasien ini didiagnosis dengan gagal ginjal kronis dengan ureum 395 mg/ dl dan kreaƟnin 24,4 mg/dl. Pada pasien ini dianjurkan oleh nefrologis dan internis untuk segera dilakukan hemodialisis (HD) namun pasien menolak untuk dilakukan hemodialisa. Tiba-Ɵba pasien terjatuh keƟka menuruni tangga dan mengalami penurunan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1 V2 M3. Pada CT Scan dijumpai subdural hematom dengan perdarahan subaraknoid dan contussio cerebri .
Dilakukan cito kraniotomi untuk evakuasi hematom. Operasi berjalan dengan lancar dan pada pasca bedah dilakukan hemodialisis tanpa memakai anƟkoagulan ( free heparin). Namun, pada hari keƟga pascabedah saat dilakukan HD kedua Ɵba-Ɵba pasien mengalami penurunan tekanan darah 70/40 mmHg dan denyut jantung 50x/menit dan akhirnya mengalami henƟ jantung dan dilakukan RJPO, tapi Ɵdak berhasil. Pasien meninggal diduga dari HD, yaitu hipotensi dan Dialysis Disequillibrium Syndrome (DDS) yang menyebabkan edema otak akut. Kata Kunci: trauma kepala berat, gagal ginjal kronis, hemodialisis, Dialysis Disequllibrium Syndrome. Contoh Abstrak Tinjauan Pustaka Abstract Evidenced Based Medicine (EBM) is the conscienƟous, explicit, and judicious use of the current best evidence in making decisions about the care of individual paƟents. The pracƟce of EBM means integraƟng individual clinical experƟse with the best available external clinical evidence from systemaƟc research. Good doctors use both individual clinical experƟse and the best available external evidence, and either of them is not enough. An ever changing and rapidly developed nature of medical field is basic reason why EBM become an important need for paƟent’s management. EBM pracƟse is a life long and self directed learning process, where needs for important clinical informaƟon on diagnosƟcs, prognosƟcs, treatment and other related clinical issue must be conƟnued by criƟcal appraisal and prudent applicaƟon. EBM is not restricted to randomized trials and metaanalysis. It involves tracking down the best external evidence with which to answer our clinical quesƟons. However, some quesƟons about therapy do not require randomized trials or cannot wait the trial to be conducted. And if no randomized trial has been carried out paƟent’s predicament we follow the trail to the next best external evidence and work from there. EBM process need a master new skills such as ability on searching informaƟons efficiently, and applicaƟons of formal method on reviewing the evidence. Keywords: Evidenced Based Medicine, metaanalysis, clinical pracƟce Abstrak Evidence Based Medicine (EBM) adalah penggunaan bukƟ terbaik dan terkini secara berhaƟhaƟ, teliƟ, tegas, dan bijaksana dalam membuat keputusan tentang perawatan atau penanganan pasien secara individual. PrakƟk EBM berarƟ penanganan pasien secara individual dengan bukƟ klinis eksternal
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 82•