Laporan Kegawatan Gagal Ginjal Akut (GGA)
23
[Type the company name]
Nama Kelompok :
Catur Bagus Windu. S
Chandra Efendi
Dinirahma Fitria Rizki
Febiyanti
Fatmasari
Nety Kurnia
Novina Indrianingrum
Rohima
Rusmai Triaswati
Zahratun Nisa
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2012
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 3
Tujuan Penulisan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Acute Renal Failure
Definisi 4
Etiologi 4
Manifestasi Klinis 6
Patofisiologi 7
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnosis 8
Pemeriksaan Laboratorium 8
Penatalaksanaan Kegawatan 8
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat 13
BAB III PEMBAHASAN
Tinjauan Kasus 15
Istilah yang Tidak di Mengerti 16
Kata Kunci 21
Primary Assesment 21
Pathway 24
Penatalaksanaan Kegawatan 26
Diagnosa Keperawatan 27
Intervensi dari Diagnosa Prioritas 27
BAB IV PENUTUP
Penutup 29
Kritik dan Saran 29
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Apabila hanya 10% dari ginjal yang berfungsi, pasien dikatakan sudah sampai pada penyakit ginjal end stage renal disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir. Awitan gagal ginjal mungkin akut, yaitu berkembang sangat cepat dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari. Gagal ginjal juga dapat kronik, yaitu terjadi perlahan dan berkembang perlahan, mungkin dalam beberapa tahun. Di Amerika Serikat, sekitar 5% dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami ARF dan 30% dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif menderita ARF. Pada pasien ARF, 50% mengalami oliguria dan 80% pasien ini meninggal. Dari kasus ARF intrinsik, 90% adalah nekrosis tubular akut.
Tujuan Penulisan
Tujuan Instruksional Umum :
Setelah mempelajari kasus kegawatan pada sistem perkemihan yakni ARF (Acute Renal Failure), diharapkan mahasiswa/i mampu menjelaskan konsep kegawatan pada pasien ARF.
Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah mempelajari kasus dalam modul ini, diharapkan :
Mahasiswa/i mampu menjelaskan definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi dan pemeriksaan penunjang (Diagnostik dan Laboratorium) pada kasus ARF
Mahasiswa/i mampu menjelaskan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada kasus ARF
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Acute Renal Failure
Definisi
Gagal ginjal akut (Acute Renal Failure, ARF) adalah penurunan fungsi ginjal tiba-tiba yang ditentukan dengan peningkatan kadar BUN dan kreatinin plasma. Haluaran urine dapat kurang dari 40 ml/ jam (oliguria), tetapi mungkin juga jumlahnya normal atau kadang-kadang dapat meningkat. Meskipun tidak ada batas pasti untuk BUN dari 15-30 mg/dl dan peningkatan kreatinin dari 1-2 mg/dl mengisyaratkan ARF pada pasien yang sebelumnya mempunyai fungsi ginjal normal.
Etiologi
Prerenal
Hipovolemia
Perdarahan
Dehidrasi
Muntah, diare dan diaforesis
Pengisapan lambung
Diabetes melitus dan diabetes insipidus
Luka bakar dan drainase luka
Sirosis
Pemakaian diuretik yang tidak sesuai
Peritonitis
Penurunan Curah Jantung
Gagal jantung kongestif
Infark miokard
Tamponade jantung
Disritmia
Vasodilatasi Sistemik
Sepsis
Asidosis
Anafilaksis
Hipotensi dan Hipoperfusi
Gagal jantung
Syok
Intrarenal
Kerusakan Nefron
Nekrosis tubular akut
glomerulonefritis
Perubahan Vaskular
Koagulopati
Hipertensi malignant
Stenosis
Nefrotoksin
Antibiotik (gentamisin, tobramisin, neomisin, kanamisin dan vankomisin)
Kimiawi (karbon tetraklorida dan timbal)
Logam berat (arsenik dan merkuri)
Nefritis interstitial akibat obat (tetrasiklin, furosemid, tiasid dan sulfanomid)
Postrenal
Obstruksi Ureter dan Leher Kandung Kemih
Kalkuli
Neoplasma
Hiperplasia prostat
Tabel. 1 Etiologi dari Ketiga Tipe ARF
Perubahan Patologi
Etiologi
Prerenal
Penurunan aliran darah ke ginjal hingga menimbulkan iskemia pada nefron, bila hipoperfusi berkepanjangan maka dapat emnimbulkan nekrosis pada tubular dan terjadinya ARF
Kondisi yang disebabkan oleh penurunan cardiac output :
Shock
CHF
Emboli pulmonali
Anafilaksis
Jantung tamponade
Sepsis
Intrarenal (Intrinsik)
Kerusakan jaringan ginjal yang disebabkan oleh proses inflamasi dan imunologi atau dari hipoperfusi yang berkepanjangan
Nefritis internal akut
Terpapar nefrotoksin
Glomerulonefritis akut
Vasculitis
Syndrome hepatorenal
Akut tubular nekrosis
Stenosis/ trombosis arteri atau vena ginjal
Postrenal
Obstruksi pada sistem ginjal dari batu kalkuli uretra/ dimanapun letaknya
Obstruksi pada bladder secara bilateral yang menyebabkan kegagalan pada postrenal, tidak hanya pada satu fungsi ginjal.
Kanker pada uretra atau bladder
Batu/ kalkuli ginjal
Atony bladder
Kanker atau hiperplasia prostat
Kanker cervix
Striktura uretra
From Ignatavicius, D. D., Workman, M. L, & Mishler, M. A. (1995). Medical surgical nusring (2nd ed, p. 2148). Philadelphia : W. B Saunders. Used with permission.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada ARF seperti : pucat (anemia), oliguria, edema, hipertensi, muntah, letargi, gejala kelebihan cairan berupa gagal jangtung kongestif atau edema paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, hematemesis dengan atau tanpa melena akibat gastritis atau tukak lambung, kejang, kesadaran menurun sampai koma.
Fase gagal ginjal akut :
Fase oliguria atau anuria : jumlah urine berkurang sampai 10-30 ml/ hari, dapat berlangsung 4-5 hari, kadang-kadang sampai 1 bulan. Terdapat gejala uremia nyata seperti pusing, muntah, apatis sampai somnolen, haus, nafas kussmaul, kejang dan lainnya. Ditemukan hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiponatremia dan asidosis metabolik.
Fase diuretik : poliuria, dapat timbul dehidrasi. Berlangsung sekitar 2 minggu.
Fase penyembuhan atau pascadiuretik : poliuria dan gejala uremia berkurang. Faal glomerulus dan tubulus membaik dalam beberapa minggu, tetapi masih ada kelainan kecil. Yang paling lama terganggu adalah daya mengkonsentrasi urine. Kadang-kadang faal ginjal tidak menjadi normal lagi dan albuminuria tetap ditemukan.
Patofisiologi
Kongesti yg menyebabkan tekanan retrogard melalui system kolegentes dan nefronUrin tdk dpat melewati obstruksiObstruksi pada saluran perkemihanNeoplasmaNefrotoksikLaju GFR TDAliran darah ginjal tergangguHipovolemiaPostrenal kalkuliIntrarenal Prerenal Kerusakan nerfon/ tubular
Kongesti yg menyebabkan tekanan retrogard melalui system kolegentes dan nefron
Urin tdk dpat melewati obstruksi
Obstruksi pada saluran perkemihan
Neoplasma
Nefrotoksik
Laju GFR
TD
Aliran darah ginjal terganggu
Hipovolemia
Postrenal
kalkuli
Intrarenal
Prerenal
Kerusakan nerfon/ tubular
Vasodilatasi sistemikHyperplasia prostat
Vasodilatasi sistemik
Hyperplasia prostat
curah jantungPerubahan vaskuler
curah jantung
Perubahan vaskuler
Hipotensi & hipoperfusi
Hipotensi & hipoperfusi
GGAMenekan dan merusak nefron tonusitas medularPembuangan dari interstisium medulla renalis reabsorsi natrium dan airJumlah cairan tubulus lebih lambat
GGA
Menekan dan merusak nefron
tonusitas medular
Pembuangan dari interstisium medulla renalis
reabsorsi natrium dan air
Jumlah cairan tubulus lebih lambat
Memperbesar reabsorsi dari cairan tubular distal
Memperbesar reabsorsi dari cairan tubular distal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnosis
Rontgen Thorax
Ultrasonografi ginjal
Test Doppler
CT Scan
ECG (Electrocardiogram)
CVP (Central Venous Pressure)
Renal Arteriogram
Pemeriksaan Laboratorium
Lab darah lengkap : WBC, RBC, HCT, Platelet
Analisa Elektrolit : Sodium, potassium, calsium, kalium, natrium
AGD : PCO2, PO2, HCO3, Saturasi O2, PH
BUN, Creatinin, klirens kreatinin
Enzim hepar : SGOT, SGPT
Urinalisis : berat jenis urine, osmolalitas dan natrium urine
Penatalaksanaan Kegawatan
Penatalaksanaan utama kerusakan fungsi ginjal diarahkan pada penatalaksanaan khusus dan adekuat dari keadaan hipoperfusi. Ketiga penyebab yang paling pada penurunan fungsi ginjal adalah penurunan curah jantung, perubahan tahanan vaskuler perifer, dan hipovolemia. Faktor-faktor seperti disritmia jantung, infark miokard akut, dan temponande prikardial akut,semuanya ini menurunkan curah jantung, mungkin berhubungan dengan penurunan aliran darah ginjal. Oleh karenanya reversibilitas (kemampuan untuk kembali ke keadaan normal) dari gagal ginjal tergantung pada kemampuan untuk meningkatkan fungsi jantung.
Pada kondisi ini, curah jantung biasanya terganggu secara akut dan sangat payah. Bila curah jantung terganggu sampai batas yang lebih kecil selama periode waktu yang lama, bagaimana pun, terjadi gambaran gagal jantung kongestif. Sekali lagi, disini terjadi penurunan perfusi ginjal meskipun sampai batas yang terkecil. Gambaran utama dari keadaan ini, dari aspek ginjal, makin menyerap natrium, yang mengakibatkan peningkatan volume cairan ekstraselular, kenaikan tekanan vena sentral, dan edema.
Beberapa mekanisme bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi tubular terhadap natrium. Pertama, terjadi penurunan lebih besar dalam aliran darah ginjal daripada dalam filtrasi glomerulus, membawa ke mekanisme yang telah dibicarakan sebelumnya. Kedua, telah diduga bahwa aliran darah ke kortek superficial menurun, sementtara aliran darah kearea kortikal dalam meningkat. Selain itu, diperkirakan bahwa nefron pada region kortikal dalam menyerap natrium terfiltrasi dalam presentase yang lebih besar daripada nefron di korteks luar ginjal.
Factor-faktor lain termasuk peningkatan reabsorpsi natrium tubulus distal dan proksimal. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubulus proksimal sebagian besar tergantung pada peningkatan tekanan onkotik posglomerular; namun aldosteron paling bertanggung terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubulus distal. Dapat dilihat bahwa berbagai mekanisme yang bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubular pada gagal jantung kongesti.
Terapi diarahkan terutama pada meningkatkan ekskresi natrium urine. Kadang-kadang, keadaan ini dapat diselesaikan dengan memperbaiki curah jantung , yang selanjutnya meningkatkan perfusi ginjal. Namun hal ini tidak selalu memungkinkan. Diuretic sering digunakan untuk meningkatkan ekskresi natrium. Agen ini secara langsung menghambat reabsorpsi natrium dalam tubulus ginjal. Potensi diuretic ditentukan terutama oleh tempatdi tubulus ginjal dimana reabsorpsi natrium di hambat.
Kedua diuretic yang paling poten yang sekarang ada adalah furosemmid (Lasix; Hoechst-Roussel Pharmaceuticals, Somerville, NJ) dan asam etakrinik (Edcrin; Merck Sharp & Dohme, West Point, PA). Agen ini menghambat reabsorpsi natrium pada parsasenden ansa Henle dan pada tubulus distal. Masih belum jelas apakah agen ini juga mempunyai efek pada tubulus proksimal. Diuretic tiazid mempunyai kerja utama pada tubulus distal dan oleh karenanya agen ini agak kurang poten daripada agen diatas.
Diuretic lain yang umum lain adalah spironokolakton (Aldactone; Searle Laboratories, Chicago, IL), yang meningkatkan natrium urine dengan menghambat efek aldosteron di tubulus ginjal. Spironolakton harus di gunakan dengan hari-hari pada pasien dengan penurunan curah jantung dan perfusi ginjal yang lemah karena diuretic ini menurunkan ekskresi kalium dan dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam hidup pada pasien seperti ini. Keadaan yang sama juga terjadi untuk triamteren, diuretic hemat kalium.
Penatalaksanaan Nekrosis Tubular akut :
Karena NTA Terus menerus berhubungan dengan tingginya mortalitas sasaran yang penting adalah pencegahan komplikasi ini. Nekrosis Tubular Akut dapat dicegah pada pasien yang mengalami cedera traumatik mayor dengan penggantian kehilangan darah dan perbaikan gangguan cairan dan elektrolit. Sama halnya, pasien yang menerima agen yang kemungkinan nefrotoksik harus menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi ginjal selama pemberian agen tersebut. Hal ini ditangani lebih mudah dengan mengukur kadar kreatinin dengan jadwal dua hari sekali. Bila kreatinin serum mulai meningkat, obat harus dihentikan.pada kebanyakan pasien, pada penyimpanan fungsi dapat distabilkan dan pasien sembuh tanpa mengalami kerusakan fungsi ginjal berat.
Masih ada perdebatan yang tajam berkenaan tentang efektifitas manitol dan furosemid dalam mencegah GGA. Pada kenyataannya, berapa bukti telah dikumpulkan yang menunjukkan bahwa furosemid secara nyata dapat meningkatkan toksisitas agen-agen nefrotoksik tertentu. Namun kebanyakan peneliti setuju bahwa percobaan furosemid harus diberikan intravena sampai 500 mg. Seringkali hal ini dapat memperbaiki oliguria menjadi GGA nonoliguria, yang secara klinis lebih mudah ditangani.
Penggantian volume
Setelah terjadi NTA, pertimbangan utama adalah pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit. Selama masa oliguria, volume urine biasanya kurang dari 300 ml perhari. Kehilangan yang tidak terlihat rata-rata 800-1000 ml perhari dan sebenarnya bebas elektrolit.
Secara umum, pengantian cairan harus mendekati 500 ml perhari. Selain air akan dari air yang terdapat dalam makanan di tambah air oksidari dari metabolisme. Karena pengguanaan protein dan lemak tubuh, pasien idealnya harus kehilangan 2,2 lb (1kg) perhari untuk mempertahankan keseimbangan air. Bahaya kelebihan air dengan akibat gagal jantung kongesti dan edema paru terdapat sepanjang periode oliguria.sebaliknya, selama NTA fase diuretik, pemborosan natrium lebih jauh dapat terjadi berkaitan dengan peningkatan volume urine. Itulah sebabnya perlu untuk mempertahankan pencatatan asupan dan haluaran secara akurat dan penimbangan berat badan tiap hari pada kedua fase. Hal ini teruama penting bila ada kesempatan lain untuk kehilangan cairan dan elektrolit seperti muntah, diare, penghisapan nasogastrik, dan drainase oleh dari fistula. Secara umum, kehilangan terjadi sebagai akibat dari masalah-masalah ini harus di ganti penuh.
Terapi Nutrisi
Selain penggantian cairan dan elektrolit ,masukan di arahkan pada pensuplaian pasien dengan kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak untuk menurunkan pemecahan protein tubuh. Karena 1 gr urea dibentuk setiap 6 gr protein yang di metabolisme, asupan protein biasanya dibatasi untuk mencegah peningkatan BUN yang terlalu cepat.
Dengan pengembangan tim nutrisi ,telah terjadi kecendrungan berkembangan untuk memberikan lebih banyak kalori dan protein dalam bentuk parenteral atau hiperalimensasi enteral dalam upaya untuk meningkatkan kondisi umum pasien dan untuk mempercepat pemulihan fungsi ginjal. Diit mengandung 2000 sampai 3000 kalori/hari dengan 40 sampai 60 gr protein atau asam amino esensial telah digunakan dengan frekuensi yang meningkat. Diet ini mengandung lebih dari 500 ml cairan yang di anjurkan sebelumnya. Oleh karenanya,hiperalimentasi memerlukan lebh dialisis ,khususnya pada periode oliguria, sering dalam kombinasi dengan hemofiltrasi.
Kontrol asidosis
Asidosis metabolik dengan keparahan sedang biasanya terjadi pada pasien dengan gagal ginjal .hal ini merupakan akibat dari ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan ikatan asam (H2PO4) yang dihasilkan dari proses metabolik normal. Asidosis biasanya dapat dikontrol dengan mudah dengan memberi pasien natrium bikarbonat 30 sampai 60 mEq setiap hari tetapi tidak memerlukan pengobatan kecuali HCO3- turun dibawah 12 sampai 15 mEq/L.
Kontrol Hiperkalemia
Hiperkalemia umumnya terjadi pada pasien dengan NTA .ini merupakan konsekuensi baik karena penurunan kemampuan ginjal mengekresi kalium dan pelepasan kalium intraseluler karena asidosis dan kerusakan jaringan. Asidosis mengakibatkan perpindahan ion hidrogen ke dalam sel, sehingga mengantikan kalium ke dalam cairan intraselular. Keadaan ini mempertahankan netralitas elektron tetapimeningkatkan keadaan hiperkalemia.
Selain mekanisme untuk menyebabkan hiperkalemia, sering di abaikan pada pasien sakit akut , adalah pembatasan kalori ,terutama pembatasan glukosa . perpindahan glukosa dan asam amino ke dalam sel sel disertai dengan kalium .pada sakit akut, pasien katabolik, bila asupan diit di batasi atau terapi cairan intravena dihentikan , kegagalan perpindahan kalium intraselular dapat menunjang hiperkalemia. Karena proses ini membutuhkan insuline, maka defisiensi insuline mempunyai konsekuensi sama, dan penderita diabetik dapat lebih rentan untuk mengalami gangguan akut kesemimbangan kalium bila terjadi gagal ginjal.
Dengan menggangu translokasi catecholamine-induced kalium ke dalam sel-sel ,β-bloker juga dapat memperberat hiperkalemia dan harus dihindari pada pasien GGA. Hiperkalemia secara klinis di manifestasikan oleh perubahan jantung dan neuromaskular .baik gangguan konduksi jantung maupun kaudriplegia flaksid akut merupakan komplikasi yang mengancam hidup .perubahan hiperkalemia ini cepat dapat pulih dengan pemberian kalsium glukonas intravena ,yang mempunyai efek antagonis langsung dalam aksi kalium. Kalium serum dapat diturunkan dengan pemberian natrium bikarbonat intravena untuk pengobatan asidosi. Selain itu, pemberian glukosa dan insuline dengan sering di gunakan sebagai metode tambahan perpindahan kalium ekstraseluar ke intraselular.
Natrium polistiren sulfonat resin (Kayexalate;winthrop pharmaceuticals) di berikan peroral ( 25 gr empat kali sehari dalam 10 ml sorbitol 10 %) dapat mengurangi kelebihan kalium tubuh lebih lambat dan harus dilakukan bila hiperkalemia mulai teejadi. Selain itu, bila hiperkalemia yang mengancam hidup terjadi dan pengobatan ini gagal atau tidak memperbaiki kalium serum menjadi normal , harus intervensi kedaruratan baik hemodialisis atau dialisis peritoneal ,dialisis peritoneal umumnya dapat dilakukan lebih cepat .karena kalium plasma di seimbangkan dengan cepat oleh cairan peritoneal, kalium serum dapat diturunkan dengan cepat.
Hiperkalemia selalu dapat dicegah dengan menghindari suplemen kalium, pemberian teraapi kronik untuk asidosis , dan penggunaan natrium polistiren sulfonat resin bila kalium serum agak sedikit meningkat.
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
Perubahan perfusi jaringan b.d hipovolemia sekunder terhadap GGA
Pasien akan stabil secara hemodinamik
Pantau TD, nadi, pernapasan, Tekanan Arteri Pulmonari (TAP), tekanan desak kapiler pulmonari (TDKP), tekanan vena sentral (TVS), curah jantung, indeks jantung setiap jam sampai stabil, kemudian setiap 2 jam.
Pantau laporan laboratorium (Na, K, Hb, Ht, pemeriksaan koagulasi SDP).
Pantau terhadap kekeringan membran mukosa.
Pertahankan catatan asupan dan haluaran.
Berat badan harian.
Berikan cairan dan darah sesuai program dokter.
Pantau kelebihan cairan dan/ reaksi transfusi.
Timbang pasien setipa hari
Instruksikan untuk meningkatkan masukan cairan 2000 ml/hari
Pantau tanda-tanda dan gejala hiponatremia
Pantau haluaran urine untuk volume yang adekuat setiap jam sampai haluaran > 30 ml/hari, kemudian setiap 2 jam lalu setiap 4 jam
Periksa berat jenis urine setiap pergantian dinas. Laporkan adanya abnormalitas
Lakukan tindakan untuk meningkatkan sirkulasi (perubahan posisi, pertahankan kehangatan)
Atau suhu dan warna kulit setiap jam sampai stabil, kemudian setiap 2 jam
Pantau adanya perubahan fungsi mental (letargi, stupor)
Orientasikan kembali terhadap realita sesering mungkin. Panggil dengan namanya, beritahu pasien nama anda, orientasikan terhadap lingkungan sekitar.
Kelebihan volume cairan b.d GGA, filtrasi buruk dan masukan intravena
Pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan
Kondisi pasien akan dipertahankan
Amati haluaran urine
Catat dan kaji masukan dan haluaran
Kaji urine terhadap hematuria, berat jenis.
Berikan keamanan bila terjadi kenaikan kadar BUN dan kreatinin
Pantau tanda-tanda dan akumulasi toksik obat
Kaji bunyi paru terhadap krakles dan edema perifer
BAB III
PEMBAHASAN
Tinjauan Kasus
Klien Ny Julie usia 24 th, Diagnosa : GGA. Riwayat penyakit dahulu 3 tahun yang lalu pernah mengalami Lupus erythematosus. Riwayat penyakit sekarang : Post partum hari kedua. Operasi SC pada kehamilan 34 minggu dan dia mengalami kesulitan pada kehamilannya karena hypertensi. Saat mendaftar dia di diagnosa Sindrome HELLP (Hemolysis, Elevated count Liver Enzymes, Low platelet count) dan dianjurkan melahirkan segera. Sejak melahirkan dia mengalami hipovolemi karena perdarahan hebat dan berkembang menjadi syok hipovolemik. Beberapa jam dia menjalani perbaikan hemodinamik yang tidak stabil kendati diberikan darah, produk darah dan cairan pengganti. Dopamin @ 3-10 meq/kg/mt dan Levophed @ 4 meq/mt. Sejak dua hari tekanan darah antara 60/48 - 98/58. Haluaran urin minimal (0-30 cc/jam) selama 12 jam
Hasil pemeriksaan fisik :
TTV : HR 124 x/menit, RR 32 x/menit, TD 102/62 mmHg, Suhu 39,40C, CVP 14 (2-6 mmHg)
Resp : terdengar krekels menyebar dan ronchi pada seluruh lapang paru, oral terpasang ETT no 7,5, Ventilator diset : SIMV 4, ETV 800, FIO 50 % , PEEP 5 cm, PS 5 CM.
Cardiovaskuler : bunyi jantung S 1, S2 terdengar
Neuro : sadar tetapi orientasi bervariasi, mengantuk, respon lambat bila dipanggil namanya, lebar pupil @ 3 mm bilateral.
Ektremitas : kapilari refil lambat, kulit dingin, pucat, kebiruan, piting edema + 4. Terpasang infus di Subklavia kanan D5LR, total IV 100 cc/jam, Subklavia kiri terpasang kateter yang diklem.
Data penunjang :
Hasil Laboratorium :
WBC 18.000 (5000-10.000 /mm3), RBC 2.8 (4,2-5,4 juta/µL), Hb 7,0 (12-16 gr/dl), HTC 24% (36-46%), Platelet 18.000 (150.000-400.000 mm3)
AGD : pH 7,20 (7,4-7,5), PaO2 78 mmHg (71,0-104,0), PaCO2 30 mmHg (35,0-46,0), HCO3 16 mmol/L (22,0-26,0), SaO2 90% ( >85%)
REN : BUN 145 (5-25 mg/dl), Creatinin 9,4 mg/dl (0,5-1,5 mg/dl)
Elektrolit : Kalium 6,4 (3,5 – 5,0 mEq/L), Ca 8,0 (4,5-5,5 mEq/L)
Alk phos 154 U/L (20-90U/L)
SGOT 34 meq/l (7 – 34 U/L) , SGPT 54 U/L (8 – 50 IU/L)
Hasil Diagnostik :
Hasil RO infiltrat paru dan edema paru
Istilah yang Tidak di Mengerti
Lupus erythematosus :
Lupus erythematosus merupakan penyakit inflamasi, autoimun yang mengenai multisistem dan biasanya akut, berbahaya/ fatal kemudian menyerang jaringan konektif dan vaskuler. Etiologi pasti dari penyakit Lupus erythematosus belum diketahui, namun ada beberapa faktor yakni genetic, lingkungan dan hormonal.
Patogenesis LES :
Terbentuknya antibodi yang melawan berbagai
komponen tubuh/ autoantibodi
Menyerang jaringan. Sel-sel dan protein serum
Sehingga toleransi imun menurun/ hilang atau disebut autoimuniti
Menimbulkan kerusakan serius pada regulator sistem imun
Limfosit T (WBC) untuk mengontrol respon imun namun jumlah sel T
pada LES menurun dan aktivasi sel T supresor dihambat
Pada beberapa klien dengan L.E.S., berkembang antibodi yang menyerang sel asal (native), double-stranded DNA, dan sebagai antigen. Kombinasi autoantibodi dan autoantigen (kompleks imun), dapat beredar (circulate) atau menumpuk dalam pleksus kapiler, dekat membran basement dan dalam jaringan lainnya seperti glomeruli ginjal, membran serosa (pleura, pericardial, peritoneal), pleksus choroid, dan pembuluh darah di paru. Pembentukan kompleks imun memicu respon implamasi, yang merupakan mekanisme primer dengan mendestruksi jaringan dan mengakibatkan terjadinya klinis penyakit. Deposisi atau endapan komplek imun yang kronis mengakibatkan kerusakan pada jaringan penjamu (host).
Inflamasi pada renal akibat LES disebut dengan renal nephritis yaitu deposisi kompleks imun dan inflamasi membran basement glomerulus dan mesangium sehingga terjadilah sklerosis glomerulus. Selain itu juga dapat mengakibatkan nekrosis tubular dan gangguan keseimbangan elektrolit. Respon inflamasi juga terjadi pada sistem pulmonal, dengan gangguan inflamasi pleura, infiltrasi parenchim, vaskulitis interstitial menyebabkan infark, nekrosis dan fibrosis.
Sindrome HELLP (Hemolysis, Elevated count Liver Enzymes, Low platelet count) :
Sindrom HELLP (H,hemolisis ; EL,elevated liver and enzymes (peningkatan enzim liver) ; LP,low platelet count (rendahnya jumlah platelet)) menggambarkan perluasan phatologis preeclampsia dan eclamsia yang parah. Gejala awal sindrom HELLP muncul di awal trimester ke 3.
Bagi wanita yang didiagnosa memilikin sindrom HELLP, jumlah plateletnya harus kurang dari 100rb/mm3, tingkat enzim livernya (aspartate amnostrasfera {AST} dan alanin amnostrafera {ALT} harus tinggi dan beberapa bukti hemolosisis intravaskular harus ada (schistocyte atau sel yang rusak pada peripheral). Hemolisis yang terjadi menyebabkan turunnya hemotocrit dalam jumlah besar melebihi hilangnya darah pada sebagian besar ibu baru dengan sindrom HELLP selama periode postpartum (weinstein, 1986).
Pada beberapa kasus terjadi komplikasi yang lebih berat di sertai mickroangiopathy destruksi sel darah merah dan trombosit mikcroangiopathy (platelet) dan di sebutkan sindrom HELLP yang terdiri dari :
Hemolisis eritrosit sehingga menimbulkan sisa hasilnya :
Meningkatnya retikulosit
Hemoglonemia
Hemoglobinuria
Schizositosis
Spherositosis
EL- evated enzim liver diantaranya : Aspartate amniotenfarase dalam serum darah.
LP-low platelet menurunya sel platelet sehingga terjadi :
Makin meningkatnya tromboksan A2 yang menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah.
Terdapat makin meningkatnya kemungkinan perdarahan.
Syok Hipovolemik :
Syok hipovolemik terjadi karena kehilangan cairan baik karena perdarahan, dehidrasi ataupun karena perpindahan cairan ke tiga area.
Dopamin @ 3-10 meq/kg/mt :
Farmakologi : splanchinikus dopamine bekerja pada reseptor dopamine yang spesifik yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah ginjal dan mesenterium, serta mengaktifkan fungsi eksresi ginjal dengan meningkatkan eleminasi natrium dan kalium, serta mengaktifkan eksresi osmotik. Menggunakan dopamine akan memberikan efek :
Efek inotropik positif
Bertambahnya curah sekuncup (CO) tanpa bertambahnya frekuensi
Perbaikan sirkulasi koroner
Peningkatan tekanan darah arteri disertai sedikit penurunan resistensi perifer
Peningkatan aliran darah ginjal dan diuresis, meningkatnya eliminasi natrium dan kalium
Indikasi :
Payah jantung akut dan bahaya payah ginjal pada keadaan syok (syok setelah operasi, syok septic, dan anafilaktik, syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark)
Pankreatitis akut
Bahaya kegagalan akut pada penyakit jantung dan ginjal kronik akut (menahun)
Intoksikasi akut oleh obat-obat antiaritmia, barbiturat, karebromal dan senyawa lainnya yang dieksresi melalui ginjal
Sebagai penunjang pada pengobatan diuretika
Perbaikan fungsi jantung dan ginjal selama pernafasan buatan pada PEEP
Menstabilkan sirkulasi pada anaestasi mielopetal
Aturan pakai : Obat ini hanya intensif pada suntikan IV berbagai dosis telah terbukti bermanfaat secara klinis :
Pengobatan intensif pada penyakit dalam misal syok kardiogenik, kegagalan ginjal : dosis rata-rata 200 mkg/menit = +3 mkg/ menit/ kgBB (jarak dosis 175 – 250 mkg/ menit)
Efek samping : mual muntah, dan bertambah berat keluhan angina pektoris
Perhatian :
Sebelum pemberian infus dopamine
Hipovolemia harus diperbaiki dahulu
Pengobatan taki aritmia sebaiknya dilakukan sebelum atau bersama-sama dengan pemberian infus dopamine
Pada pemakaian dopamine dalam larutan infus yang bersifat basa (PH 8)
Dopamine di inaktifkan bila infus diberikan dalam waktu lebih dari 4 jam
Levophed @ 4 meq/mt :
Indikasi : Mengakibatkan vasokonstriksi dan stimulasi miokard, yang mungkin diperlukan setelah penggantian cairan yang adekuat dalam pengobatan syok
Kerja obat : Menstimulasi reseptor adrenergik alfa yang terletak terutama pada pembuluh darah dan menyebabkan konstriksi kapasitas dan ketahanan pembuluh darah
Efek terapeutik : Peningkatan tekanan darah dan peningkatan curah jantung
Kontraindikasi : pada trombosis vaskuler, mesenterika atau perifer, kehamilan (menurunkan aliran darah uterus), hipoksia, hiperkarbian, hipotensi sekunder pada hipovolemia, hipersensitivitas pada bisulvit
Dosis : IV dewasa 8-12 mcg/menit diawal, kemudian 2-4 mcg/menit kecepatan infus rumatan sesuai respon tekanan darah
SIMV : SIMV atau Synhronized Intermitten Mandatory Ventilation dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak begitu lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal volume dan/ atau frekuensi nafas kurang adekuat.
FIO : Fraksi oksigen yang di inspirasi
PEEP : PEEP atau Positive End Expiratory Pressure yaitu modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk mencegah atelektasis dengan terbentuknya jalan nafas oleh karena tekanan yang tinggi, atelektasis akan dapat dihindari. Indikasi pada klien yang menderita ARDS dan gagal jantung kongestif yang masiv dan pneumonia difus. Efek samping dapat menyebabkan venous return menurun, barotrauma dan penurunan curah jantung.
PS : Pressure support
Kata Kunci
Penyebab GGA :
Prerenal
Hipovolemia (perdarahan) : Ditunjang oleh diagnosis sindrome HELLP, jumlah platelet 18.000 (150.000-400.000 mm3)
Vasodilatasi sistemik (sepsis) : Ditunjang oleh riwayat penyakit 3 thn yang lalu yaitu Lupus erithematosus
Hipotensi dan hipoperfusi (syok) : Kondisi syok hipoovolemik post partum
Intrarenal
Kerusakan nefron atau tubula (nekrosis tubular akut) : Merupakan komplikasi dari riwayat penyakit dahulu yaitu lupus erythematosus ke sistem ginjal
Perubahan vaskuler (stenosis/ sklerosis) : Komplikasi dari lupus erythematosus yang disebabkan oleh akumulasi imun
Primary Assesment
No.
Kasus
Konsep Teori
A
Airway tidak paten
Apa ada drolling ?
Retraksi intercosta/ substernal/ gerakan dinding dada ?
Stridor/ snoring, gargling, kemampuan bicara, edema orofaring ?
B
RR 32x/ menit
Ronchi & krekels (+)
RR, kedalaman nafas, ekspansi dada, penggunaan otot bantu nafas, bunyi nafas, cuping hidung, deviasi trakea, pola nafas ?
C
2 hari post partum : TD antara 60/ 48 – 98/58
Haluaran urine minimal (0-30 cc/ jam) selama 12 jam
HR 124 x/ menit, suhu 39,40C, CVP 14 mmHg
CRT lambat, kulit dingin, pucat, kebiruan, pitting edema +4
Denyut nadi, hemodinamik (TD, Nadi, suhu, RR), warna kulit, CRT, akral dingin/ hangat, warna konjungtiva, sianosis, keringat dingin ?
D
Sadar tetapi orientasi bervariasi
Mengantuk
Respon lambat bila dipanggil namanya
Lebar pupil @ 3 mm bilateral
Fungsi neurologis (AVPU/ Alert, Verbal, Pain, Unresponses), reaksi pupil/ reflek cahaya (isokor, anisokor, midriasis) ?
E
Riiwayat penyakit 3 th yang lalu Lupus Erythematosus
Riwayat penyakit sekarang post partum hari kedua
Diagnosa saat MRS yaitu Sinrome HELLP
Sejak melahirkan pasien mengalami syok hipovolemik
Diberikan darah, produk darah dan cairan pengganti
Terapi : Dopamine @ 3-10 meq/kg/menit dan Levophed @ 4 meq/menit
Pasien terpasang ETT no 7,5 dengan set ventilator SIMV 4, ETV 800, FIO 50%, PEEP 5 cm, PS 5 CM
Terpasang infus di subklavia kanan D5LR dengan total IV 100 cc/jem
Subklavia kiri terpasang kateter yang di klem
WBC 18.000 (5000-10.000 /mm3), RBC 2.8 (4,2-5,4 juta/µL), Hb 7,0 (12-16 gr/dl), HTC 24% (36-46%), Platelet 18.000 (150.000-400.000 mm3)
AGD : pH 7,20 (7,4-7,5), PaO2 78 mmHg (71,0-104,0), PaCO2 30 mmHg (35,0-46,0), HCO3 16 mmol/L (22,0-26,0), SaO2 90% ( >85%)
REN : BUN 145 (5-25 mg/dl), Creatinin 9,4 mg/dl (0,5-1,5 mg/dl)
Elektrolit : Kalium 6,4 (3,5 – 5,0 mEq/L), Ca 8,0 (4,5-5,5 mEq/L)
Alk phos 154 U/L (20-90U/L)
SGOT 34 meq/l (7 – 34 U/L), SGPT 54 U/L (8 – 50 IU/L)
Hasil RO infiltrat paru dan edema paru
Urinalisis, elektrolit serum/ urine, AGD, lab darah lengkap, ECG, renal arteriogram, rontgen thorax, abdominal ultrasound ?
Analisa Tinjauan Kasus :
Pre HospitalGGASyok HipovolemikHipertensi pada kehamilan (pre eklamsi & eklamsi)HospitalAnalisa Kasus Ny. Julie 24 th
Pre Hospital
GGA
Syok Hipovolemik
Hipertensi pada kehamilan (pre eklamsi & eklamsi)
Hospital
Analisa Kasus Ny. Julie 24 th
Riwayat penyakit dahulu 3 th yang lalu lupus erimatosus
Riwayat penyakit dahulu 3 th yang lalu lupus erimatosus
Dx. Sindrom HELLPPost Partum hari ke 2 dengan SC
Dx. Sindrom HELLP
Post Partum hari ke 2 dengan SC
Kerusakan multi sistemTerjadi perdarahan hebat
Kerusakan multi sistem
Terjadi perdarahan hebat
RenalisPulmonalis
Renalis
Pulmonalis
Renal nefritis, skrosis glomerulus, nekrosis tubularInflamasi pleura, infiltrasi parenkim
Renal nefritis, skrosis glomerulus, nekrosis tubular
Inflamasi pleura, infiltrasi parenkim
Etiologi pre renal
Etiologi pre renal
Etiologi Intrarenal
Etiologi Intrarenal
Pathway
Pe fungsi pulmonalisMengalami infark, neksosis, fibrosisDestruksi jaringan paruPada sistem pulmonalisInflamasi pluera, infiltrasi parenkin paru, vaskulitis interstitialSuplai darah ke organ tubuh me RBC & Hb Agregasi pada sel darah merahLow platelet countMuncul pada trimester ke 3Lalu berkembang menjadi sindrome HELLPTerjadinya hipertensi dalam kehamilan/ pre-eclamsia dan eclamsiaPada sistem renalisKombinasi antibodi & autoantigen dapat beredar/ menumpuk pada multisistemMenyerang jaringan, sel-sel dan protein serumNy. Julie usia 24 tahunTerbentuknya antibodi yang melawan kemapuan tubuh autoantibodyRiwayat menderita lupus erythematosus + 3 thn yang lalu
Pe fungsi pulmonalis
Mengalami infark, neksosis, fibrosis
Destruksi jaringan paru
Pada sistem pulmonalis
Inflamasi pluera, infiltrasi parenkin paru, vaskulitis interstitial
Suplai darah ke organ tubuh me
RBC & Hb
Agregasi pada sel darah merah
Low platelet count
Muncul pada trimester ke 3
Lalu berkembang menjadi sindrome HELLP
Terjadinya hipertensi dalam kehamilan/ pre-eclamsia dan eclamsia
Pada sistem renalis
Kombinasi antibodi & autoantigen dapat beredar/ menumpuk pada multisistem
Menyerang jaringan, sel-sel dan protein serum
Ny. Julie usia 24 tahun
Terbentuknya antibodi yang melawan kemapuan tubuh autoantibody
Riwayat menderita lupus erythematosus + 3 thn yang lalu
Penyebab lupus belum di ketahui pasti, faktor : genetik, Lingkurangan, hormonal
Penyebab lupus belum di ketahui pasti, faktor : genetik, Lingkurangan, hormonal
hemolisisElevated liver and enzyme
hemolisis
Elevated liver and enzyme
Toleransi imun menghilang/ autoimuniti
Toleransi imun menghilang/ autoimuniti
Resiko terjadinya pendararahan meningkatPeningkatan nilai SGPT
Resiko terjadinya pendararahan meningkat
Peningkatan nilai SGPT
Menimbulkan kerusakan pada regulator imun
Menimbulkan kerusakan pada regulator imun
Lebih mudah terjadi pendarahan, funsi pembekuan darah me Jumlah sel T menurun dan aktivasi sel T di hambat
Lebih mudah terjadi pendarahan, funsi pembekuan darah me
Jumlah sel T menurun dan aktivasi sel T di hambat
Lalu berkembanglah antibodi yang menyerang sel asal (native), double standed DNA
Lalu berkembanglah antibodi yang menyerang sel asal (native), double standed DNA
Penurunan jumlah volume darah
Penurunan jumlah volume darah
Syok Hipovolemik
Syok Hipovolemik
Etiologi PrerenalMemicu terjadinya respon inflamasi, terjadinya destruksi jaringan pada multisistem
Etiologi Prerenal
Memicu terjadinya respon inflamasi, terjadinya destruksi jaringan pada multisistem
Deposisi kompleks imun & inflamasi membran basement glomerulus & mesangium
Deposisi kompleks imun & inflamasi membran basement glomerulus & mesangium
Renal nephritis, sklerosis glomerulus, nekrosis tubular
Renal nephritis, sklerosis glomerulus, nekrosis tubular
Pe fungsi GFR pada Ginjal
Pe fungsi GFR pada Ginjal
Etiologi Intrarenal
Etiologi Intrarenal
Edema pulmonal, infiltrasi pada lapang paru
Edema pulmonal, infiltrasi pada lapang paru
Ny. JulieLanjutan :
Ny. Julie
Etiologi intrarenalEtiologi prarenal
Etiologi intrarenal
Etiologi prarenal
Renal nephritis, sklerosis glomerulus, nekrosis tubular
Renal nephritis, sklerosis glomerulus, nekrosis tubular
Edema pulmonal & infiltrasi pada lapang paruSyok hipovolemik
Edema pulmonal & infiltrasi pada lapang paru
Syok hipovolemik
Aliran darah ke ginjal me
Aliran darah ke ginjal me
Pe laju GFR
Pe laju GFR
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas
Penurunan fungsi filtrasi pada glomerulus berkelanjutan
Penurunan fungsi filtrasi pada glomerulus berkelanjutan
Fase Oliguria Diuretik
GGA
GGA
Sekresi ion hidrogen & produksi bikarbonat me dalam tubulaPe reabsorbsi air pada ttubulus retensi urine
Sekresi ion hidrogen & produksi bikarbonat me dalam tubula
Pe reabsorbsi air pada ttubulus retensi urine
Sekresi hormon eritropoetin me Pe fungsi reabsorbsi pada tubulus proximal & distal
Sekresi hormon eritropoetin me
Pe fungsi reabsorbsi pada tubulus proximal & distal
Produksi Hb me & disertai hemodilusDisertai pe Ph darah & CO2Tekanan kapiler me volume interstitial me Edema
Produksi Hb me & disertai hemodilus
Disertai pe Ph darah & CO2
Tekanan kapiler me volume interstitial me Edema
Terjadi pe reabsorbsi BUN & kreatinin, kalium % kalsium, alkali fosfat & H2O
Terjadi pe reabsorbsi BUN & kreatinin, kalium % kalsium, alkali fosfat & H2O
Preload me beban jantung me hipertrofi ventrikel kiri
Preload me beban jantung me hipertrofi ventrikel kiri
Suplai 02 me Sehingga paru mengkompensasi dgn lebih banyak mengeluarkan CO2
Suplai 02 me
Sehingga paru mengkompensasi dgn lebih banyak mengeluarkan CO2
Retensi urine kelebihan volume cairan dalam tubuhBendungan atrium kiri me tekanan vena & kapiler pulmonal me
Retensi urine kelebihan volume cairan dalam tubuh
Bendungan atrium kiri me tekanan vena & kapiler pulmonal me
Gangg. Perfusi jaringan perifer
Gangg. Perfusi jaringan perifer
Pernafasan dalam & terjadi perubahan pada keseimbangan asam basa
Pernafasan dalam & terjadi perubahan pada keseimbangan asam basa
Edema paru
Edema paru
Gangg. Keseimbangan vol. Cairan tubuh (Lebih)
Gangg. Keseimbangan vol. Cairan tubuh (Lebih)
Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik)
Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik)
Penatalaksanaan Kegawatan
Penatalaksanaan untuk penurunan curah jantung
Deuretik sering di gunakan untuk meningkatkan eksresi natrium agen ini secara langsung menghambat reabsorsi natrium didalam tubulus ginjal. Kedua deuretik yang paling potensi sekarang adalah furosemit (lasix) dan asam etakrinik. Agen ini menghambat reabsorsi natrium pada pars asenden ansahele dan pada tubulus ginjal. Deuretik lain yang umum adalah spironolakton (aldacton) yang meningkatkan natrium urine dengan menghambat efek aldosteron di tubulus ginjal.
Penatalaksanaan untuk perubahan tahanan vaskular perifer
Penatalaksanaan diarahkan terutama untuk mengobati gangguan dasar dengan terapi khusus yang tepat di tambah dengan penggantian cairan, elektrolit dan koloid.
Penatalaksanaan untuk hipovolemik dan hemoragik
Terapi diarahkan pada penggantian air dan natrium atau darah bila hemoragik menjadi penyebabnya. Respon terhadap pengobatan dapat di nilai dengan perubahan dalam volume urine, berat jenis, tekanan vena central, dan temuan-temuan fisik lainnya.
Penatalaksanaan untuk mempertahankan haluaran urine
Pemberian manitol yaitu bentuk turunan dari gula 6 rantai karbon, manosa. Manitol didistribusi dalam cairan ekstraseluler dan secara esensial tidak di metabolisme. Manitol bebas tervilter pada gloumerolus dan tidak di reabsorsi oleh tubulus. Karena ukuran molekul yang kecil , maniitol memberi efek osmotik yang bermakna yang selanjutnya neningkatkan aliran urine. Pemeriksaan yang lazim adalah 0,2 g/kg diberikan secara IV sebagai larutan 25 % seelama 3-5 menit. Bila aliran urine meningkat >40 ml/jam, pasien diaggap telah pulih dari gagal ginjal dan volume urine kemudian di pertahankan 100 ml/gr dengan tambahan manitol dan penggantian cairan sesuai indikasi. Setelah perbaikan kekurangan volume, diberikan furosemid 200-1000 mg secara IV. Puncak deuresis biasanya terjadi setelah 2 jam pemberian. Bila pemberian furosemid efektif dalam meningkatkan volume urine , pemerian ini di ulang pada interval 4-6 jam untuk mempertahan laju aliran urine sejalan pemberian cairan untuk mempertahankan urine.
Kontrol asidosis
Asidosis biasanya adapat di kontrol dengan mudah yaitu dengan memberi pasien natrium bikarbonant 30-60 meq/hr tetapi tidak memerlukan pengobatan kecuali HCO3 turun dibawah 12-15 meq/m.
Kontrol Hiperkalemia
Perubahan hiperkalemia ini cepat dapat pulihh dengan pemberian kalsium Glukonas IV yang mempunyai efek antagonis langsung dalam aksi kalium. Natrium polistiren sulfonat resim diberikan peroral 25 gr 4x sehari dalam 10 ml sorbital 10 % dapat mengurangi kelebihan kalium tubuh lebih lambat dan harus dilakukan bila hiperkalemia mulai terjadi. Hiperkalemia selalu dapat dicegah dengan menghindari suplemen kaalium, pemberian terapi kronik untuk asidosis, dan penggunaan natrium polistiren sulfanat resim.
Diagnosa Keperawatan
Gangguan keseimbangan volume cairan tubuh (lebih) b.d penurunan fungsi GFR
Gangguan perfusi jaringan perifer b.d perdarahan masiv, syok hipovolemik
Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik) b.d penurunan regulasi asam basa tubuh
Gangguan pertukaran gas b.d peningkatan tekanan vena pulmonal, edema paru
Intervensi dari Diagnosa Prioritas
Diagnosa Kegawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
Gangguan keseimbangan volume cairan tubuh (lebih) b.d penurunan fungsi GFR
Ditandai oleh :
Perdarahan hebat hingga syok hipovolemik post partum SC hari ketiga
Pitting edema +4 pada ekstremitas
Haluaran urine minimal (0-30 cc/jam) selama 12 jam
Ro : Infiltrat dan edema paru
Dengan dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan gangguan keseimbangan volume cairan (lebih) dapat di minimalkan dengan kriteria hasil :
Pitting edema pada ekstremitas berkurang
Haluaran urine dapat maksimal
Edema paru berkurang
Pantau hemodinamik tubuh (TD, Nadi, HR, RR, Suhu)
Pantau haluaran urine dalam 24 jam
Batasi intake cairan
Pantau penggunaan ventilator (untuk mengkompensasi fungsi pertukaran gas akibat edema paru)
Pantau CVP (dalam mengetahui peningkatan tekanan pada atrium kanan akibat edema pulmonal)
Kolaborasikan pemberian terapi Dopamine @3-10 meq/kg/menit
Kolaborasikan pemberian terapi Levophed @4 meq/menit
Untuk mengetahui perubahan hemodinamik tubuh yang pada dasarnya mencerminkan keadaan syok hipovolemik yang berakibat pada penurunan eksresi ginjal
Untuk memantau sejauh mana fase GGA terjadi pada pasien, dan untuk panduan pembatasan cairan
Untuk mengetahui balance cairan tubuh
Untuk mengetahui fungsi pertukaran gas akibat edema paru
Untuk mendilatasi pembuluh darah ginjal dan mesenterium, serta mengaktifkan fungsi eksresi ginjal dengan meningkatkan eleminasi natrium dan kalium, serta mengaktifkan eksresi osmotik.
Vasokonstriksi dan stimulasi miokard, yang mungkin diperlukan setelah penggantian cairan yang adekuat dalam pengobatan syok.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
GGA (Gagal Ginjal Akut) merupakan kegawatan pada sistem perkemihan yang tentunya akan mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penyebab GGA dijabarkan menjadi etiologi prerenal, intrarenal dan postrenal. Fase GGA terbagi atas fase oliguria, diuretik dan pemulihan. Intervensi kegawatan yang harus dilakukan tentunya berdasarkan pada primary survey dan secondary survey.
Kritik dan Saran
Kami ucap syukur Alhamdulillah pada Allah SWT dan terimakasih kepada dosen pembimbing serta teman-teman kelompok dimana dapat terselesaikannya laporan kegawatan sistem perkemihan yang terkait dengan GGA (Gagal Ginjal Akut). Kami menyadari laporan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hopfer Deglin, Judith & Hazard Vallerand, April. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat (Edisi 4). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kunz Howard, Patricia & A Steinmann, Rebecca. 2003. Sheehy's Emergency Nursing Principles and Practice (Sixth Edition). USA : Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran (Edisi Ketiga, Jilid Kedua). Jakarta : Media Aesculapius FK UI.
M. Hudak, Carolyn & M. Gallo, Barbara. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Edisi VI, Volume II). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat (Plus Contoh Askep dengan Pendekatan NANDA, NIC, NOC). Yogyakarta : Nuha Medika.
ENA (Emergency Nurses Association). 2000. Emergency Nursing Core Curriculum (Fifth Edition). Philadelphia : W.B Saunders Company.