© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan BAB VII
PROSES POLISIKLIK II: PEMENCARAN DAN POLA RUANG PENYAKIT TUMBUHAN It is not the million of spores lost by the way that are important, but the few that reach their goal at the periphery of the dispersion zone and are still capable of infection. Ernst Gaumann (1946) Spatial distribution is one of the most characteristic ecological properties of species. L.R. Taylor (1984)
A. Pendahuluan Seperti halnya variasi dalam waktu yang disebabkan oleh perkembangan epidemi (Bab IV), penyakit juga bervariasi dalam ruang. Variasi dapat terjadi pada selembar daun atau sepotong akar, satu individu tanaman, satu petak pertanaman, satu wilayah, satu negara, dan seterusnya. Hal ini terjadi karena patogen berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baik secara aktif maupun secara pasif. Perpindahan tersebut menimbulkan penyakit dengan keparahan yang bervariasi sepanjang jalur perpindahannya. Perpindahan tersebut, bersama dengan gradien penyakit yang dihasilkannya, dapat dikuantifikasi sebagai karakteristik epidemi penyakit tumbuhan. Di lapangan, ruang tempat penyakit berada, unit-unit penyakit berkedudukan dengan hubungan tertentu satu sama lain. Hubungan tersebut terjadi karena merupakan sifat intrinsik patogen, pengaruh kerentanan inang, maupun pengaruh faktor lingkungan fisik. Secara keseluruhan, titik-titik kedudukan unit-unit penyakit dalam ruang dapat dipolakan dan dikuantifikasi untuk mengkarakterisasi epidemi penyakit yang bersangkutan.
B. Tujuan Instruksional 1) 2) 3)
Setelah membaca dan memahami mengenai bab ini mahasiswa diharapkan dapat: Menerangkan dan menganalisis secara kuantitatif proses pemencaran patogen dari satu tempat ke tempat lain sehingga menghasilkan satu gradien penyakit. Menerangkan dan menganalisis secara kuantitatif pola ruang penyakit pada suatu lokasi. Mengetahui penggunaan hasil analisis mengenai pemencaran patogen dan pola ruang penyakit untuk tujuan pengelolaan penyakit tumbuhan.
C. Materi 1. Pemencaran Patogen dan Gradien Penyakit a. Proses Pemencaran Patogen Proses pemencaran patogen ( pathogen dispersal) merupakan pemindahan inokulum suatu patogen dari tempat patogen tersebut diproduksi. Tempat proses pemencaran bermula disebut sumber inokulum ( inoculum source) yang dapat berupa titik, grais, atau bidang. Pemindahan inokulum dari sumber inokulum menghasilkan gradien pencar ( dispersal gradient ) dan selanjutnya bila tersedia inang yang rentan dan lingkungan yang mendukung maka akan terbentuk gradien penyakit (disease gradient ), ), yaitu perubahan intensitas penyakit dalam hubungan dengan jarak dari sumber inokulum. Gradien penyakit dengan demikian merupakan produk dari gradien pencar dan pengaruh faktor lingkungan (fisik maupun hayati). Proses pemencaran patogen melalui udara (aerial dispersal) melibatkan tiga kejadian terpisah, yaitu: 1) Pelepasan (liberation, take off ) merupakan proses pemisahan inokulum dari tempat pembentukannya ke media pengangkutannya. Pelepasan dapat terjadi secara aktif maupun pasif.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
77
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 2)
Pengangkutan (transport, flight ) merupakan proses perpindahan inokulum yang telah terlepas dari tempat pembentukannya melalui medium turbulen sebagai sarananya, umumnya dengan medium udara dan air. 3) Penempatan (deposition, landing) merupakan proses sampainya inokulum pada suatu permukaan. Jika inokulum sampai pada permukaan inang yang rentan maka selanjutnya terjadi proses infeksi yang menimbulkan penyakit. Penempatan inokulum pada permukaan tanaman rentan yang kemudian menimbulkan penyakit selanjutnya akan menghasilkan inokulum baru. Dengan demikian maka dibedakan adanya inokulum primer dan inokulum sekunder yang masing-masing mempunyai gradien pencar primer dan gradien pencar sekunder. Kedua gradien pencar tersebut dapat berlangsung secara bersamaan. Gregory (1968) mengajukan lima prinsip mengenai gradien pencar patogen penyakit tumbuhan: 1) Suatu gradien pencar menunjuk pada suatu sumber inokulum lokal. 2) Suatu gradien pencar memerlukan populasi tanaman rentan. 3) Pemencaran sekunder melemahkan gradien pencar primer. 4) Kontaminasi latar juga melemahkan gradien pencar primer. 5) Jika insidensi penyakit dinyatakan sebagai proporsi individu terinfeksi, transformasi infeksi majemuk berdasarkan distribusi Poisson harus digunakan (khususnya jika y>0,2). Analisis Pemencaran Patogen dan Gradien Penyakit Pemencaran patogen dan gradien penyakit dianalisis dengan menggunakan model empirik maupun model fisik (lihat kembali Bab III dan Bab IV). Model fisik memiliki sejumlah kelebihan daripada model empirik, tetapi secara matematis lebih sulit dan validasinya di lapangan memerlukan banyak data dan biaya yang ti nggi. Model empirik menerangkan hubungan antara jumlah inokulum atau intensitas penyakit (Y) dengan jarak (s) sepanjang gradien pencar atau gradien penyakit. Perubahan absolut jumlah inokulum atau intensitas penyakit sepanjang jarak s, dY/ds, merupakan kemiringan gradien. Beberapa model yang digunakan untuk menerangkan gradien pencar atau gradient penyakit disajikan pada Tabel 7.1, sedangkan sedangkan gradien hipotetik model tersebut tersebut disajikan pada Gambar 7.1. b.
Tabel 7.1. Model Empirik untuk Menganalisis Gradien Pencar atau Gradien Penyakit Model Y= Bentuk linier -b Power Law aPs P ln(Y)=ln(aP)-bPln(s) (-b s) Eksponensial aEexp E ln(Y)=ln(aE)-bEs -b Mund and Leonard aP(s’+h) P ln(Y)=ln(aP)-bPln(s’+h) (Modifikasi Power Law) Keterangan: 1) Y=jumlah inokulum atau intensitas penyakit, s=jarak, s’=jarak setelah dikoreksi dengan faktor trunkasi h, h=parameter yang merupakan intersep jika s’=0. 2) aP, bP, aE, dan bE adalah parameter untuk model Power Law dan Eksponensial
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
78
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
1
0 -4
0.8
-3
-2
-1
-0.5 0 -1
0.6
-1.5
) Y ( n l
Y
0.4
-2 -2.5
0.2
-3 -3.5
0 0
10
20
30
40
50
-4
JARAK
ln(s)
POWER LAW (a=1, b=1) 1
0 -5
0.8
-4
-3
-2
-1
0 -1
0.6
-2
) Y ( n l
Y
0.4
-3
0.2 -4 0 0
10
20
30
40
50
-5
JARAK
ln(s)
EXPONENSIAL (a=1, b=0.1) 0.1
-2.5 -4.2
0.08
- 3.8
-3.4
-3
- 2.6-2.7- 2.2 -2.9
0.06
-3.1
) y ( n l
Y
0.04
-3.3 -3.5
0.02
-3.7 -3.9
0 0
10
20
30
40
50
JARAK+h
-4.1 ln(s+h)
MODIFIED POWER LAW (a=1, b=1, h=10) Gambar 7.1. Gradien Pencar Hipotetik Menurut Model Power Law, Model Eksponen-sial, dan Model Power Law Dimodifikasi Sumber pencar merupakan unsur penting dalam analsis pemencaran. Pengukuran jarak s dari sumber pencar dilakukan secara menjari dari sumber titik, secara paralel memotong tegak lurus sumber garis, atau secara paralel memotong tegak lurus panjang bidang (sejajar lebar bidang)(Gambar 7.2). Jika titik-titik dengan jumlah inokulum atau dengan intensitas penyakit yang sama di sekitar sumber pemencaran dihubungkan maka akan diperoleh isopat inokulum atau isopat penyakit (Gambar 7.3).
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
79
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
Gambar 7.2. Diagram Penentuan Letak Transek dari Sumber Titik (A), Sumber Garis (B), dan Sumber Bidang (C). Garis menyatakan letak transek, sedangkan garis putusputus menyatakan titik-titik dengan jarak sama dari sumber.
Hari 27
Hari 34
Hari 41
Gambar 7.3. Pemencaran dan Peningkatan Keparahan Karat Jalur pada Gandum di Oregon, AS. Isopat penyakit menyatakan keparahan 0, 5, 10, 30, 60, dan 90% karat jalur. Model fisik yang digunakan untuk menganalisis gradien pencar dan gradien penyakit adalah model kepulan asap Gauss ( Gaussian plume model), teori transfer gradien ( gradient transfer theory), dan model jalan acak ( random walk model ). Ketiga model tersebut sangat rumit secara matematis sehingga tidak akan dibahas secara rinci. Pembaca yang berminat mendalami model fisik tersebut dipersilahkan untuk merujuk kepada Aylor (1978), McCartney dan Fitt (1985), dan Fitt dan McCartney (1986). Satu dari ketiga model fisik tersebut, yaitu model kepulan asap Gauss, digambarkan secara skematik pada Gambar 7.4. Menurut model kepulan asap Gauss, konsentrasi inokulum dari sumber titik berketinggian H dari permukaan tanah sepanjang arah angin diberikan oleh persamaan: C(x,y,z)=
Q' ( x)
*
exp( y 2 / 2 y2 ) 2 z y
* (exp
( H z ) 2 2 z
2
exp exp
( H * z 2 ) 2 z
2
)
[7.1]
Dan dari sumber garis diberikan oleh: C(x,z)=
Q' ( x)
*
1 (2 )
0,5
* (exp z
( H z ) 2 2 z
2
exp exp
( H * z ) 2 2 z
2
[7.2]
)
Pada kedua persamaan di atas, meny menyata atakan kan kecep kecepat atan an angin angin rata rata-rata pada ketinggian sumber dan Q’ adalah kekuatan sumber efektif yang memungkinkan penempatan inokulum ke permukaan tanah. Titik (x,y,z) menyatakan koordinat spora relatif di dalam kepulan asap terhadap arah angin rata-rata (y=0).
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
80
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
A
B
C
Gambar 7.4. Pemencaran spora mengikuti arah angin (downwind ) dari sumber titik pada ketinggian H dari permukaan tanah. Sumbu x menyatakan arah angin rata-rata, sumbu y menyatakan arah tegak lurus terhadap arah angin, dan sumbu z menyatakan arah tegak lurus (A). Distribusi normal (Gauss) konsentrasi spora, C, ditunjukkan secara vertikal (sumbu z)(B) dan memotong angin (sumbu y)(C) dengan simpangan baku masing-masing z dan y Penyebaran Penyakit Pembahasan mengenai pemencaran patogen menitik beratkan kepada pemindahan inokulum dengan gradien penyakit hanya sebagai akibat. Pemencaran patogen dan gradien penyakit mengacu pada sumber pencar yang ditetapkan secara sengaja. Sebagai alternatif, keadaan penyakit disepanjang suatu transek acak dapat dianalisis dengan menggunakan model sebaran penyakit (disease spread model) yang berfokus pada laju perubahan absolut intensitas penyakit (y) dalam ruang (s), dy/ds. Beberapa model sebaran penyakit disajikan pada Tabel 7.2 dengan bentuk kurva hipotetik tiap model disajikan pada Gambar 7.5. c.
Tabel 7.2. Model Sebaran Penyakit dalam Ruang Model dy/ds= y= Model linier Satuan b 1 -b(1-y) 1-a exp(bs) ln[1/(1-y)]=a*-bs Jarak-1 2 -by(1-y) 1/[1+a exp(bs)] ln[y/(1-y)]=a*-bs Jarak-1 b 3 -b(1-y)/s 1-as ln[1/(1-y)]=a*-b ln(s) Tanpa dimensi b 4 -by(1-y)/s 1/(1+as ) ln[y/(1-y)]=a*-b ln(s) Tanpa dimensi b=parameter laju sebar penyakit * Tetapan integrasi (a) dan transformasinya (a*) tidak dapat diperbandingkan antar model yang berbeda
2 0 -2 0 -4 Y -6 -8 -10 -12 -14
0.0
3 0
10 20 2 0 30 40 4 0 50
s d / Y d
10 20 30 30 40 50 ) ) Y 1 ( / 1 ( n - 5 l
-0.5 -1.0
2 1 0 -4
-3
-2
-1 -1 0 -2
-1.5
JARAK
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
-3 JARAK
a-b*s
81
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan (a) Y=1-a*EXP(b*s) 1
0.000 20 30 30 40 50 -0.005 0 10 20
0.8 Y
3 ) Y 1 ( / Y ( n - 5 l
-0.010
0.6
2 1
0.4
s d / Y -0.015 d
0.2
-0.020
0
-0.025
-2
-0.030
-3
0
10 20 30 3 0 40 50 50 JARAK
0 -4
-3
JARAK
-2
- 1 -1 0
a-b*s
(b) Y=1/(1+la*EXP(b*s))
Y
0.9
0.000
0.89
-0.002
0.88
2.3 0 10 20 30 30 40 50
s -0.004 d / Y d -0.006
0.87 0.86
2.2
) ) Y 1 ( / 1 ( n l
2.1 2
-0.008
0.85 0
10 20 3 0 4 0 5 50 0
1.9 - 0.3 -0 - 0.2
-0.010
JARAK
JARAK
-0.1
0
0.1
a-b*ln(s)
(c) Y=1-a*s^b 0.91
0.000
0.90
-0.002
Y 0.89
0.88
s -0.004 d / Y d -0.006
0.87
-0.008
2.4 0 10 20 3 0 40 40 5 0
2.3
) ) Y 1 ( / Y ( n l
2.2 2.1 2.0
0
10 20 30 40 50
1.9
-0.010
JARAK
- 0.3 JARAK
- 0.2
-0 - 0.1
0
0.1
a-b*ln(s)
(d) Y=1/(1+a*s^b) Gambar 7.5. Kurva Hipotetik Sebaran Penyakit: (a) Y=1-a*EXP(b*s), (b) Y=1/(1+la* EXP(b*s)), (c) Y=1-a*s^b, dan (d) Y=1/(1+a*s^b), masing-masing dengan nilai a=0.1 dan b=0.1 Pemencaran Patogen Jarak Jauh Patogen dapat memencar dalam wilayah luas dalam waktu lama atau dalam waktu singkat. Misalnya, pemencaran patogen hawar pohon chesnut , Cryphonectria parasitica, di seluruh tegakan pohon ini di Amerika Utara berlangsung selama puluhan tahun. Namun patogen juga dapat memencar ke wilayah yang luas dalam waktu yang relatif singkat, misalnya pemencaran Hemileia vastatrix (patogen karat kopi) dari Angola ke Brazil, pemencaran Puccinia melanocephala (patogen karat tebu) dari Afrika ke Amerika, dan pemencaran virus kerdil mosaik jagung (dengan vektor afis secara non-persisten) dari Southern Great Plain ke Minnesota di Amerika Serikat. Pemencaran jarak jauh dalam waktu singkat juga dapat terjadi berulang-ulang, misalnya pada pemencaran Puccinia coronata (patogen karat mahkota oat) antara Mediterania Timur dan Afrika Timur dan pemencaran Puccinia graminis var. tritici d.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
82
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan (patogen karat batang gandum) dari wilayah tengah bagian Selatan ke bagian Utara Amerika Serikat. Pemencaran jarak jauh merupakan proses yang menyebabkan: 1) Masuknya patogen ke daerah baru yang sebelumnya bukan merupakan daerah pencaran patogen yang bersangkutan. 2) Masuknya patogen secara berkala ke daerah yang tidak memungkinkan bagi patogen untuk bertahan. Pemodelan pemencaran patogen jarak jauh merupakan hal yang masih relatif baru dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, namun konsep mengenai proses tersebut telah dikembangkan oleh Aylor (1986), Davis (1987), dan Pedgley (1986). Menurut Aylor (1986), pemencaran jarak jauh dapat dipandang sebagai proses yang melibatkan lima langkah yang saling terkait: 1) Produksi inokulum pada wilayah sumber 2) Pelepasan inokulum ke udara di atas tanaman sakit pada wilayah sumber. 3) Pengangkutan dan pencampuran inokulum di dalam atmosfer. 4) Kebertahanan inokulum terbawa udara (air-borne). 5) Penempatan inokulum pada permukaan tanaman yang jaraknya sangat jauh dari wilayah sumber. Sebagai dasar pemodelan, Davis (1987) menggunakan teori pemencaran polutan yang meliputi delapan aspek sebagai dasar: 1) Sifat permukaan, yang meliputi keadaan wilayah sumber, laju sporulasi, dan laju pelepasan inokulum ke atmosfer. 2) Adveksi, yang mencakup gerakan udara dan nilai kecepatan angin pada permukaan tanaman sakit. 3) Dispersi, yang meliputi gerakan vertikal dan horizontal “awan inokulum” yang perlu dinyatakan secara kuantitatif. 4) Perubahan komposisi inokulum pada “awan inokulum” oleh faktor kebertahanan spora. 5) Kehilangan pada pertemuan lapisan atmosfer perlu diidentifikasi dan diparameterisasi. 6) Penempatan kering yang terjadi karena proses gravitasi maupun proses tabrakan dengan permukaan tanaman. 7) Penempatan basah yang terjadi karena terbawa awan hujan. 8) Nasib inokulum di permukaan daerah pencar baru. Pemodelan pemencaran spora dengan mempertimbangkan kedelapan aspek tersebut di atas dilakukan dengan menggunakan analisis trajektori, misalnya penggunaan Atmospheric Trajectory and Dispersion (ATAD) untuk menentukan kemungkinan wilayah sumber inokulum Penicillium tabacina (patogen kapang biru tembakau) di Connecticut, Amerika Serikat, pada tahun 1979 dan 1980 (Aylor et al., 1982), sedangkan Branching Atmospheric Trajectory (BAT) telah digunakan untuk mengkaji pemencaran kapang biru di North Carolina dan Kentucky, Amerika Serikat, pada tahun 1981 dan 1982 (Davis & Main, 1986). Teladan Analisis Penyebaran Penyakit Untuk memahami penggunaan model sebaran penyakit, dilakukan analisis terhadap data frekuensi penyakit kerdil klorotik yang disebabkan oleh virus pada tanaman jagung (data dari Fried et al. dalam Campbell & Madden 1990). Data disajikan pada Tabel 7.3 dan curva hubungan antara insidensi penyakit dengan jarak disajikan pada Gambar 7.6. Analisis regresi dilakukan untuk menyuai model: (1) ln[1/(1-y)]=a*-bs, (2) ln[y/(1-y)]=a*-bs, (3) ln[1/(1-y)]=a*b ln(s), dan (4) ln[y/(1-y)]=a*-b ln(s) dengan menggunakan modul Data Analysis pada perangkat aplikasi Excel. Ringkasan hasil analisis disajikan pada Tabel 7.4. e.
Tabel 7.3. Insidensi Penyakit Kerdil Kloro-tik pada Jagung pada Berba-gai Jarak dalam Transek Jarak (cm) 40 120
Insidensi (%) 0.833 0.300
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
0.9 0.8 ) 0.7 %0.6 ( I S 0.5 N E
83
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 200 280 360 440 520 600 680 760 840
0.341 0.146 0.155 0.135 0.065 0.062 0.056 0.068 0.017
Gambar 7.6. Kurva Hubungan antara Insi-densi Penyakit Kerdil Klorotik Jagung Sumber: Fried et al. dalam Campbell & dengan Jarak Madden (1990) Tabel 7.4. Ringkasan Hasil Analisis untuk Menyuai Model Sebaran Penyakit terhadap Data Insidensi Penyakit Kerdil Klorotik pada Jagung Model Pr>F R2 R2Adj. a Pr>t b Pr>t Sisaan A B C D
0,0233 0,0001 0,0003 0,0000
0,4525 0,8198 0,7874 0,9234
0,3917 0,7998 0,7637 0,9149
0.8698 0,4112 3,1526 7,2039
0,0056 0,3348 0,0001 0,0002
-0,0012 -0,0051 -0,4907 -1,5542
0.0233 0,0001 0,0002 0,0000
Pola V acak Pola V acak
Evaluasi hasil analisis dengan menggunakan kriteria sebagaimana disajikan pada Tabel 7.4 menunjukkan bahwa model ln[y/(1-y)]=a*-b ln(s) dapat menyuai data dengan baik. Ini berarati bahwa sebaran penyakit sepanjang transek dapat dijelaskan dengan persamaan: -1,5542 Y=1/(1+7,2039*s ), dengan Y menyatakan insidensi penyakit dan s menyatakan jarak. 2.
Pola Ruang Penyakit Tumbuhan
Pengertian dan Tipe Pola Ruang Penyakit Pola ruang penyakit didefinisikan sebagai sebagai kedudukan satu satuan penyakit secara relatif satu sama lain dan relatif terhadap arsitektur tanaman inang (Gilligan, 1982). Secara singkat, pola ruang penyakit pada dasarnya merupakan peta penyakit dalam ruang dengan sistem koordinat X-Y (Gambar 7.7). Pola ruang terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor fisik, hayati, dan faktor lainnya. Pengenalan mengenai pola ruang penyakit tumbuhan bermanfaat untuk beberapa hal, di antaranya yang paling penting adalah untuk menentukan program pemercontohan (sampling) guna pelaksanaan kegiatan pemantauan dalam penerapan suatu program pengelolaan penyakit tumbuhan.
a.
250 85.40 200
73.20 61.00
150
48.80
100
36.60 JARAK U-S ( m)
50
24.40 12.20 0.00
4 3 2 3 6 . 7 2 0 . 6 1 4 . 5 1 8 . 4 6 2 . 3 0 . 1 2 .
0
JARAK T-B ( m)
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
84
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Gambar 7.7. Peta Kontur Padat Populasi Propagul (propagul/10 g tanah kering udara) Macrophomina phaseolina pada Sepetak Lahan di Edgecombe County, North Carolina, AS (data dari Campbell dalam Campbell & Madden 1990) Pola ruang ( spatial pattern) sering disebut dengan berbagai istilah lain seperti distribusi, pengaturan (arrangement ), ), dan pencaran (disperison). Di antara banyak istilah tersebut, sebaiknya digunakan istilah pola ruang mengingat istilah lain mempunyai beberapa pengertian teknis yang dapat menimbulkan kerancuan. Istilah distribusi, misalnya, digunakan dalam statistik untuk menyatakan bagimana suatu variat dengan nilai frekuensi yang bervariasi dipilahkan dalam kelas-kelas. Pola ruang merupakan aspek yang sangat penting dalam ekologi (Taylor, 1984). Dikenal tiga tipe pola ruang, yaitu (1) teratur ( regular , even, uniform, under-dispersion), (2) acak (random, independent ), ), dan (3) mengelompok ( aggregated , contagious, clustered , clumped , over-dispersion)(Gambar 7.8). Ketiga tipe pola ruang tersebut merupakan suatu kontinuum dipandang dari hubungan antara ragam dan rerata populasi untuk tiap tipe, jika satuan penyakit adalah diskret, misalnya jumlah individu bercak atau jumlah individu tanaman sakit. Berturut-turut untuk pola ruang teratur, acak, dan mengelompok, hubungan antara ragam 2 2 2 = , dan 2 > . ( ) dan rerata populasi adalah ( ): < ,
(a) (b) (c) Gambar 7.8. Tiga Tipe Pola Ruang Penyakit: (a) Teratur, (b) Acak, dan (c) Menge-lompok Analisis Pola Ruang Penyakit Aspek yang sangat penting dalam analisis pola ruang penyakit adalah satuan percontoh (sample unit ). ). Berkaitan dengan satuan percontoh, empat situasi dapat dihadapi dalam penyakit tumbuhan, yaitu: (1) penyakit yang bersifat diskret terdapat dalam habitat diskret, misalnya bercak pada daun, (2) penyakit yang bersifat diskret terdapat dalam habitat yang bersifat kontinyu, misalnya penyakit soil-borne, (3) penyakit yang bersifat kontinyu terdapat dalam habitat yang juga bersifat kontinyu, misalnya Rhizoctonia solani pada masa pertumbuhan vegetatif, dan (4) penyakit terdapat dalam habitat diskret, tetapi bukan habitat tersebut yang perlu untuk dikuantifikasi. Dengan memperhatikan keempat situasi tersebut, pengumpulan data untuk analisis pola ruang penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan: (1) satu dimensi kedudukan tanaman sehat dan sakit dalam baris, (2) dua dimensi kedudukan tanaman sehat dan sakit dalam ruang kuadrat yang ditempatkan secara acak, mengikuti transek, atau dalam pola jaring ( grid ), ), atau (3) jarak antar tanaman sehat atau sakit. Namun demikian, sebagian besar analisis mengenai pola ruang penyakit dilakukan dengan pendekatan dua dimensi menggunakan kuadrat. Dalam kaitan ini, ukuran kuadrat merupakan faktor penting yang sangat perlu diperhatikan, kecuali jika pola ruang yang dihadapi adalah acak. Ukuran kuadrat dapat ditentukan secara arbitrer, tetapi untuk penyakit tanaman lebih sering ditentukan dengan pendekatan hayati berdasarkan informasi mengenai keadaan tanaman, cara menanam, dan sebagainya. b.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
85
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Langkah selanjutnya dalam analisis pola ruang penyakit adalah memilih teknik analisis yang sesuai. Kesesuaian tersebut ditentukan oleh pendekatan pengumpulan data yang digunakan. Uraian rinci mengenai teknik-teknik analisis pola ruang untuk setiap pendekatan pengumpulan data tersebut di atas dapat diperoleh dari Campbell dan Madden (1990). Mengingat kompleksitas sebagian besar teknik analisis pola ruang tersebut, selanjutnya hanya diuraikan teknik distribusi diskret dan teknik indeks dispersi; keduanya untuk pendekatan pengumpulan data menggunakan kuadrat. Distribusi diskret yang paling sering digunakan untuk melakukan analisis pola ruang penyakit adalah distribusi Poisson dan distribusi binomial negatif, masing-masing dengan persamaan: P(x)= P(x)=
e
x
x! [k 1 x]
[k 1]
[7.3]
p k (1 p ) x
[7.4]
Dengan keterangan P(x)=peluang kuadrat berisi individu dengan x=1, 2, 3, … dst., adalah rerata populasi yang diduga menggunakan rerata percontoh, sedangkan k dan p pada distribusi binomial negatif adalah parameter; k dapat digunakan untuk menyatakan indeks dispersi yang 2 2 dapat diduga dengan persamaan: k=x/((s /x)-1), s =ragam percontoh dan x=rerata percontoh. fit ) distribusi Poisson terhadap data menyatakan pola ruang acak, sedangkan kesuaian Kesuaian ( fit distribusi binomial negatif menyatakan pola ruang mengelompok. Uji statistik kesuaian (goodness-of-fit ) kedua distribusi tersebut terhadap data dilakukan dengan uji chi square yang prosedurnya dapat diperoleh dari buku-buku teks statistik, antara lain dari Ludwig dan Reynolds (1988). Teknik indeks dispersi pada dasarnya tidak terlalu sulit diterapkan dan diinterpretasikan. Namun, hasil analisis dengan menggunakan teknik ini sangat peka terhadap ukuran kuadrat, jumlah kuadrat (n), jumlah individu dalam kuadrat ( x), dan rerata kerapatan dalam kuadrat. Dalam pengumpulan data, kuadrat dapat ditempatkan secara acak atau secara teratur. Sejumlah indeks dispersi yang biasa digunakan dalam ekologi telah digunakan untuk menganalisis pola ruang penyakit tumbuhan (Tabel 7.5) Dari sejumlah indeks pola ruang penyakit tersebut, seseorang cukup menggunakan satu indeks yang menurutnya terbaik secara konsisten. Dalam kondisi tertentu, semua indeks pada dasarnya akan memberikan kesimpulan yang tidak terlalu berbeda. Tabel 7.5. Indeks Dispersi yang Digunakan untuk Menganalisis Pola Ruang Penyakit Tumbuhan No 1.
2. 3.
4.
5. 6.
Nama Nisbah Ragam/Rerata
Persamaan 2 VM=s
Indeks Ukuran Kelompok k distribusi binomial negatif Power Law
ICS=VM-1 2
k=x/((s
2
Kelebihan /x
Mudah Dapat diberi interpretasi hayati sda
/x)-1)
b
s =ax
2
Lloyd Index of LIP=l(x+s )/(x-1)]/x Patchiness Indeks n[ x(x-1)] I= Morisita x( x-1) -1) 2 n[ x)I= x)]
Dapat digunakan secara luas Dapat diberi interpretasi hayati Kurang tergantung pada kerapatan Tidak tergantung ukuran kuadrat
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
Kekurangan Tergantung ukuran kuadrat dan jumlah idividu dalam percontoh Sda Dapat digunakan hanya jika data mengikuti distribusi binomial negatif Diperlukan banyak percontoh S3 tidak meningkat seiring x jika digunakan insidensi
86
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 2
x) 7.
Indeks Iwao
x
m=a+bx
Dapat diberi makna hayati
Keterangan: 1) x=jumlah individu pada kuadrat ke 1, 2, 3, …, x, x=rerata percontoh, s2=ragam percontoh, m=jejalan rerata (mean crowding) 2) Pola teratur jika VM<1, b<1 (power law), acak jika VM=1, b=1 (power law), dan mengelompok jika VM>1, b>1 (power law) 3) Ujia statistika diperlukan untuk menginterpretasikan hasil indeks ICS dan indeks Morisita. 4) Untuk indeks Iwao, a=jejalan rerata individu dalam kelompok dan b=keterkelompokan kelompok di lapangan. Diperlukan analisis regresi untuk menduga a dan b dan uji statistik untuk menentukan signifikansi b terhadap 1.
Teladan Analisis Pola Ruang dan Pemanfaatannya Sebagai teladan pelaksanaan analisis pola ruang penyakit dan pemanfaatan-nya, diberikan sebagai teladan hasil pengamatan jumlah bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora arachidicola per rumpun kacang tanah yang dilakukan pada 8 petak dan 16 rumpun per petak. Petak ditentukan secara acak di antara seluruh petak milik petani di suatu desa dan rumpun dalam setiap petak ditentukan secara sistematik dengan cara melangkah mengikuti baris tanaman dan mengamati rumpun terdekat dengan kaki kanan pada setiap melangkah 10 kali. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 7.6.
c.
Tabel 7.6. Hasil Pengamatan Jumlah Bercak Daun yang Disebabkan oleh Cercospora arachidicola Per Rumpun Kacang Tanah Petak
RUmpun 1
2
3
4
A
51
41
42
25
B
33
51
59
C
41
60
D
75
E
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
2
47
67
2
0
0
7
8
29
8
27
25
40
5
23
58
7
0
0
2
2
3
43
98
73
81
22
8
20
28
2
0
2
2
8
0
43
61
50
62
137
48
14
9
2
16
3
1
0
4
20
67
23
34
124
66
63
107
13
17
1
2
1
1
3
10
30
91
116
80
F
41
14
40
31
5
0
5
5
2
2
12
3
55
29
237
120
G
12
10
26
36
3
77
0
5
4
4
25
36
57
108
18
18
H
7
2
6
41
4
10
6
7
0
2
6
4
26
66
60
70
Sumber: data hipotetik Dengan menggunakan data pada Tabel 7.6, dapat dihitung sejumlah indeks dispersi yang hasilnya disajikan pada Tabel 7.7. Salah satu indeks, yaitu indeks jejalan rerata jejalan 2 2 Lloyd X* dihitung dengan persamaan: X*=x+((s /x)-1), dengan x menyatakan rerata dan s menyatakan ragam. Regresi linier sederhana antara x dengan X* menghasilkan parameter a dan b. Parameter a yang disebut the index of basic contagion menyatakan satuan dasar populasi dan parameter b yang disebut the density-contagiousness coefficient menyatakan persebaran satuan dasar populasi dalam ruang. Tabel 7.7. Beberapa Indeks Dispersi Bercak Daun yang Disebabkan oleh Cercospora arachidicola pada Kacang Tanah Petak A B C
x 23.8125 31.0625 26.7500
2
s
445.0958 939.9292 684.7333
X* 41.5042 60.3218 51.3475
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
Nisbah 2 s /x 18.6917 30.2593 25.5975
ICS 17.6917 29.2593 24.5975
k Binomial 1.3460 1.0616 1.0875
LIP 0.8632 1.0398 1.0329
87
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan D E F G H
32.1875 45.3125 37.5625 27.4375 19.8125
1406.8292 2127.2958 3768.9292 909.8625 618.5625
74.8948 91.2597 136.9000 59.5988 50.0333
43.7073 46.9472 100.3375 33.1613 31.2208
42.7073 45.9472 99.3375 32.1613 30.2208
0.7537 0.9862 0.3781 0.8531 0.6556
1.4335 1.0820 2.7716 1.2922 1.7127
Catatan: Lihat Tabel 7.5 untuk persamaan yang digunakan Hasil regresi antara jejalan (X*) dan rerata (x) menghasilkan persamaan: X*=16,8528+0,1932*x (Gambar 7.9). Parameter a dan b tersebut dapat digunakan untuk merancang Rancangan Pemercontohan Beruntun (RPB) bila Ambang Ekonomi (AE) penyakit yang bersangkutan telah ditetapkan. RPB merupakan rancangan pemercontohan untuk pengambilan keputusan penerapan suatu metode pengendalian berdasarkan AE yang telah ditetapkan untuk metode pengendalian yang bersangkutan. RPB terdiri atas Batas Atas (BA), Batas Bawah (BB), dan Jumlah Satuan Percontoh Maksimum (JSPM). BA, BB, dan JSPM untuk RPB berdasarkan indeks Iwao ditetapkan dengan persamaan: 2
[7.5a]
2
[7.5b]
BA
= N * AE t N [(a 1) AE (b 1) AE ]
BB
= N * AE t N [(a 1) AE (b 1) AE ]
JSPM =
t 2
2 a [( 1) AE (b 1) AE ] d 2
[7.5c]
Dengan keterangan: N=satuan percontoh, AE=Ambang Ekonomi, t=nilai t Student dua arah untuk taraf nyata tertentu dan derajat bebas tak terhingga, a=the index of basix contagion, b=the density contagiousness coefficient, dan d=selang kepercayaan. Penggunaan prosedur Iwao untuk merancang RPB bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora arachidicola dengan AE sebesar 3 bercak per rumpun menghasilkan kurva RPB sebagaimana disajikan pada Gambar 7.10.
50
2000 K A 1800 C R 1600 E B 1400 F I T 1200 A L U 1000 M U 800 K H 600 A L 400 M U 200 J
45 40 N A 35 L A J 30 E J
25 20 15 30
60
90
120
150
RERATA
Gambar 7.9. Hubungan antara Jejalan (X*) dan Rerata (x) Jumlah Bercak Daun Cercospora arachidicola Per Rumpun Kacang Tanah
0 0 0
5 0
1 0 0
1 5 0
2 0 0
2 5 0
3 0 0
3 5 0
4 0 0
4 5 0
5 0 0
SA TUAN PERCONTOH PERCONTOH
Gambar 7.10. Garis BA dan BB RPB Prosedur Iwao untuk Bercak Daun Cercospora arachidi-cola pada Kacang Tanah. JSPM=497
RPB dapat dibuat dalam bentuk kurva sebagaimana disajikan pada Gambar 7.10 atau dalam bentuk tabel yang memuat kolom satuan percontoh disertai dengan nilai BA dan BB untuk setiap satuan percontoh serta nilai JSPM. Penggunaan RPB dalam pelaksanaan pemantauan penyakit ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan satuan percontoh sebagaimana ditetapkan dalam RPB, misalnya dalam hal ini rumpun kacang tanah. Setelah
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
88
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan satuan percontoh ditetapkan maka dilakukan penentuan petak dan rumpun dalam setiap petak sesuai dengan ketentuan RPB. Selanjutnya, dilakukan pengamatan pada setiap rumpun sebagai satuan percontoh, mulai pada satuan percontoh 1, 2, 3, dan seterusnya. Bila pada satuan percontoh ke-i diperoleh bercak sebanyak x/rumpun dengan nilai yang berada di antara BA dan BB satuan percontoh ke-i tersebut maka pemercontohan perlu dilanjutkan dengan mengambil satuan percontoh ke-(i+1). Bila pada satuan percontoh ke-i diperoleh bercak sebanyak x/rumpun dengan nilai yang berada di atas BA maka pemercontohan dihentikan dan pengendalian harus dilakukan. Sebaliknya, bila pada satuan percontoh ke-i diperoleh bercak sebanyak x/rumpun dengan nilai yang berada di bawah BB maka pemercontohan dihentikan dan pengendalian tidak perlu dilakukan. Bila nilai x/rumpun selalu berada di antara BA dan BB maka pemercontohan harus terus dilakukan sampai jumlah satuan percontoh mencapai JSPM. Mengacu pada uraian di atas maka dapat dipahami bahwa dengan RPB pemercontohan dapat dihentikan setiap saat, tidak harus mencapai jumlah satuan percontoh tertentu sebagaimana diperlukan dalam rancangan pemercontohan konvensional. Bila padat populasi penyakit tinggi atau bila padat populasi penyakit rendah maka padat populasi hasil pengamatan akan mudah melampaui BA atau berada di bawah BB sehingga pengambilan keputusan sudah dapat dilakukan tanpa perlu mengambil satuan percontoh dalam jumlah besar. Dengan demikian, biaya dan tenaga yang diperlukan untuk melakukan pengamatan penyakit dapat dihemat. Jarak antara BA dan BB serta nilai JSPM menentukan tingkat kepekaan suatu RPB. Semakin lebar jarak antara BA dan BB dan semakin besar nilai JSPM semakin kurang peka RPB yang bersangkutan. Jarak antara BA dan BB serta nilai JSPM ditentukan oleh nilai AE, semakin besar nilai AE maka semakin sempit j arak antara BA dan BB tetapi semakin besar nilai JSPM (Gambar 7.11).
(a) (b) (c) Gambar 7.11. Pengaruh nilai AE terhadap RPB: (a) AE=3 bercak/rumpun, (b) AE=5 bercak/rumpun, dan (c) AE=10 bercak/rumpun dengan nilai JSPM berturutturut sebasar 497, 742, 1050 satuan percontoh
D. Evaluasi 1) 2) 3) 4) 5)
Berikan penjelasan secara singkat tetapi tepat terhadap pertanyaan -pertanyaan berikut: Apa yang akan terjadi jika sepanjang jalur pemencaran patogen terdapat tanaman yang tahan terhadap patogen yang bersangkutan? Mana yang mungkin terjadi jika sumber pencar tidak diketahui, gradien penyakit atau pencaran penyakit? Bagaimana hasil analisis pemencaran patogen dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengelolaan penyakit? Apa perbedaan mendasar antara analisis pemencaran patogen dengan analisis pola ruang penyakit? Manfaat apa yang dapat diambil dari hasil analisis pola ruang penyakit untuk tujuan pengelolaan penyakit tumbuhan?
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
89
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan E. Tugas Berstruktur Kerjakanlah tugas berikut secara berkelompok (maksimal 5 orang dalam satu kelompok): 1) Gunakanlah data penyakit tepung pada gandum berikut untuk melakukan analisis pemencaran penyakit dan analisis gradien penyakit. Jarak (s) 12 25 84 120 250 500 800 Rearata Bercak 57,90 19.20 2,80 0,29 0,26 0,10 0,03 per Malai Gunakan semua model dan tentukan model mana yang paling cocok untuk menerangkan data di atas. 2)
Buatlah tabel hasil pengamatan jumlah j umlah bercak daun yang disebabkan oleh Bipolartis oryzae pada tanaman padi yang dilakukan pada 15 petak dengan jumlah tanaman per petak bervariasi antara 10 sampai 20 rumpun. Isilah nilai pengamatan per rumpun per petak dengan sembarang nilai antara 0 sampai 50. Dengan menggunakan data hipotetik tersebut, hitunglah x, s2, X*, dan lakukan analisis regresi linier sederhana antara X* dan x. Buatlah RPB Prosedur Iwao dengan menggunakan nilai a dan b yang diperoleh dari analisis regresi dan dengan menggunakan AE 3, 5, dan 10 bercak per rumpun. Sajikan RPB dalam bentuk gambar dan tabel.
Daftar Pustaka Aylor, D.E. 1978. Dispersal in Time and Space: Aerial Pathogens. In: J.G. Horsfall and E.B. Cowling (ed.). p. 159-180. Plant Disease, vol. 2. Academic Press, New York. Aylor, D.E., G.S. Taylor, & G.S. Raynor 1982. Long-range Transport of Tobacco Blue Mold Spores. Agric. Meteorol. 27:217-230. Aylor, D.E. 1986. A Framework for Examining inter-regional Aerial Transport of Fungal Spores. Agric. Forest Meteorol. 38:263-288. Davis, J.M. 1987. Modeling the long-range Transport of Plant Pathogens in the Atmosphere. Annu. Rev. Phytopathol. 25:169-188. Davis, J.M., & C.E. Main 1986. Applying Atmospheric Trajectory Analysis to Problems in Epidemiology. Plant Dis. 70:490-497. Fitt, B.D.L., & H.A. McCartney 1986. Spore Dispersal in Relation to Epidemic Model. In: K.J. Leonard and W.E. Fry. (eds). p. 311-345. Plant Disease Epidemiology. Vol. 1: Population Dynamic and Management. Macmillan Publishing Company, New York. Gregory, P.H. 1968. Interpretaing Plant Disease Dispersal Gradient. Annu. Rev. Phytopathol. 6:189-212. McCartney, H.A,, & B.D.L. Fitt 1985. Construction of Dispersal Models. In: C.A. Gilligan (ed.). p. 107-148. Advanced in Plant Pathology. Vol. 3: Mathematical Modelling of Crop Diseases. Academic Press, London. Pedgley, D.E. 1986. Long Distance Transport of Spores. In: K.J. Leonard and W.E. Fry. (eds). p. 346-365. Plant Disease Epidemiology. Vol. 1: Population Dynamic and Management. Macmillan Publishing Company, New York.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
90