© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan BAB V
PROSES MONOSIKLIK: DAUR INFEKSI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI The emphasis of this chapter is on the analysis of processes within the time span of one infection cycle, the monocyclic proceses J.C. Zadoks & R.D. Schein (1979)
A. Pendahuluan Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II, epidemi penyakit tumbuhan merupakan suatu sistem yang terdiri atas proses dan sub-proses. Proses dan sub-proses tersebut berkembang dalam waktu dan ruang untuk memungkinkan terjadinya suatu epidemi penyakit tumbuhan. Salah satu proses penting dalam epidemiologi penyakit tumbuhan adalah rantai infeksi atau daur infeksi yang terdiri atas sub-proses infeksi, sporulasi, dan diseminasi. Masing-masing subproses dapat dipandang sebagai proses yang kembali mempunyai sejumlah sub-proses. Suatu epidemi penyakit tumbuhan minimal melibatkan satu rantai infeksi atau daur infeksi pada satu individu inang. Dalam banyak kasus, suatu epidemi terdir atas beberapa rantai infeksi atau daur infeksi. Satu atau beberapa rantai infeksi atau daur infeksi yang mendukung suatu epidemi dipengaruhi oleh faktor faktor lingkungan fisik, inang, dan virulensi patogen. Pengaruh Pengaruh faktor lingkungan fisik, inang, dan virulensi patogen tersebut perlu dipahami terhadap setiap sub-proses dari suatu rantai infeksi atau daur infeksi sebagai dasar untuk memahami pengaruh yang sama terhadap suatu epidemi penyakit tumbuhan secara keseluruhan.
B. Tujuan Instruksional 1) 2)
Setelah membaca dan mempelajari uraian pada bab ini mahasiswa diharapkan dapat: Memahami karakteristik proses dan sub-proses dalam rantai infeksi atau daur infeksi. Memahami secara kuantitatif pengaruh berbagai faktor lingkungan fisik, inang, dan virulensi patogen terhadap proses dan sub-proses dalam rantai infeksi atau daur infeksi.
C. Materi 1. Kuantifikasi Proses dan Sub-proses dalam Rantai/Daur Infeksi Pada Bab II telah diuraikan secara sepintas bahwa suatu epidemi penyakit tumbuhan terdiri atas proses dan sub-proses. Proses yang sangat penting untuk dipahami sebagai dasar pemahaman epidemiologi penyakit tumbuhan adalah rantai/daur infeksi. Sebagai suatu proses, daur/rantai infeksi terdiri atas sejumlah sub-proses dan setiap sub-proses merupakan proses bagi sub-prosesnya masing-masing. Rantai/daur infeksi terdiri atas proses infeksi, sporulasi, dan diseminasi yang masing-masing mempunyai sub-proses yang khas untuk setiap proses dan untuk patogen epidemi yang bersangkutan. Sebagaimana telah pula dibahas pada bab-bab terdahulu, epidemiologi penyakit tumbuhan lebih memberikan perhatian pada perubahan daripada keadaan proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi tersebut. Untuk dapat menentukan perubahan yang terjadi antar proses atau antar sub-proses berurutan maka keadaan proses atau sub-proses harus dinyatakan secara kuantitatif. Tidak setiap sub-proses dapat dikuantifikasi dan bila demikian maka kuantifikasi laju dilakukan dengan menggunakan sub-proses terdahulu yang dapat dikuantifikasi. Kuantifikasi keadaan proses dan sub-proses serta kuantifikasi laju perubahannya disajikan pada Tabel 5.1. Perlu diperhatikan bahwa keadaan proses atau sub-proses merupakan hasil pengamatan sedangkan laju merupakan peubah turunan. Tabel 5.1. Kuantifikasi Keadaan dan Laju Perubahan Proses dan Sub-proses dalam Rantai/Daur Infeksi Proses Sub-proses Kuantifikasi Keadaan (Peubah Kuantifikasi Laju Pengamatan) (Peubah Turunan) Infeksi Perkecambahan Jumlah spora total (T) -
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
43
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
Penetrasi Kolonisasi Total Proses Sporulasi
Diseminasi
Produksi sporofora Produksi spora Pematangan spora Pelepasan spora
Pemencaran spora Deposisi spora
Jumlah spora berkecambah (G) Jumlah apresorium (A) Jumlah vesicle (V) Jumlah hifa (H) Jumlah bercak (L) Nisbah Kolonisasi Efisiensi Infeksi Jumlah sporofora Jumlah spora Jumlah spora matang (S) Jumlah spora dalam volume 3 udara tertentu (m ) di atas areal pertanaman sakit Jumlah spora di udara (m3) Jumlah spora di permukaan helai daun (D) Jumlah spora per luas permukaan daun (D)
GTR=G/T AGR=A/G VAR=V/A HVR=H/V LHR=L/H CR=L/G IE=L/T SLR=S/L 3 SVLR=S/m /L
SVR=S/m3 DLfR=D/helai daun 2 DLAR=D/cm
Keterangan: GTR=Germinated/Total Spores Ratio, AGR=Appresoria/Germinated Spores Ratio, VAR=Vesicles/Appresoria Ratio, HVR=Hyphae/Vesicles Ratio, LHR=Lesions/Hiphae Ratio, CR= Co-lonization Ratio, IE=Infection Efficiency, SLR=Spores/Lesions Ratio, SVLR=Spores/Air Vol-umes/Lesions Ratio, SVR=Spores/Air Volumes Ratio, DLfR=Deposited Spores/Leaf Numbers Ratio, DLAR=Deposited Spores/Leaf Areas Ratio. Sumber: Zadoks & Schein (1979), dimodifikasi
Keadaan maupun laju perubahan proses dan sub-proses dalam daur infeksi merupakan tanggapan terhadap pengaruh faktor lingkungan, inang, maupun patogen terhadap rantai/daur infeksi. Mengingat suatu epidemi penyakit tumbuhan terdiri atas satu atau beberapa rantai/daur infeksi sebagai proses monosiklik maka pengaruh tersebut pada gilirannya akan menentukan perkembangan epidemi penyakit tumbuhan sebagaimana akan dibahas pada Bab VI. 2. Pengaruh Faktor Lingkungan, Inang, dan Patogen Setiap proses dan sub-proses dalam rantai/daur infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, inang, dan patogen. Faktor lingkungan yang mempengaruhi rantai/daur infeksi terdiri atas lingkungan fisik, lingkungan kimiawi, dan lingkungan hayati. Faktor inang mempengaruhi proses dan sub-proses dalam daur infeksi dalam bentuk ketahanan tanaman, umur tanaman, atau umur organ tanaman terinfeksi. Faktor patogen yang mempengaruhi proses dan sub-proses dalam rantai/daur infeksi adalah variasi genetik yang memungkinkan terjadinya sub-spesies, ras, atau patovar dengan virulensi yang berbeda. Pengaruh faktor lingkungan, inang, dan patogen tersebut ada yang bersifat relatif tetap dan ada pula yang bersifat sangat berubah-ubah. Sifat relatif tetap atau sangat berubah-ubah merupakan sifat intrinsik dari tiap faktor, misalnya suhu senantiasa berubah di luar kendali manusia, kultivar tanaman berubah oleh pilihan manusia, dan ras patogen pada umumnya bersifat tetap dalam satu musim tanam. Faktor lingkungan, inang, atau patogen yang mempunyai arti penting secara epidemiologis adalah faktor yang bersifat berubah-ubah yang perubahannya di luar kendali manusia dan dapat menimbulkan pengaruh kuat terhadap proses maupun sub-proses dalam rantai/daur infeksi. Faktor yang memenuhi kriteria tersebut dapat berupa faktor cuaca, ketahanan inang, dan virulensi patogen. Faktor cuaca mempengaruhi hampir seluruh proses dan sub-proses dalam rantai/daur infeksi. Proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi dan faktor cuaca yang mempengaruhinya disajikan pada Tabel 5.2.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
44
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
Tabel 5.2. Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Proses dan Sub-proses dalam Rantai Infeksi Proses/sub-proses Faktor Cuaca Infeksi, khususnya Untuk sebagian besar fungi, periode kebasahan daun (yang perkecambahan spora bersumber dari hujan, embun, kabut, irigasi, atau gutasi), suhu selama periode kebasahan daun. Inkubasi, latensi, dan Periode suhu udara atau suhu permukaan daun yang pertumbuhan gejala menguntungkan atau kurang menguntungkan Sporulasi Untuk sebagian besar fungi, periode kebasahan daun dan/atau kelembaban udara tinggi, suhu, dan untuk beberapa fungi: cahaya dan radiasi Pemencaran spora Kecepatan angin, suhu, kelembaban nisbi, periode kebasahan daun, percikan air hujan atau sprinkler (untuk pemencaran percikan) Sintasan spora atau Suhu dan kelembaban nisbi, radiasi (khususnya radiasi UV). struktur khusus Sumber: Friesland & Schrodter (1988). Faktor lingkungan selain faktor cuaca juga berpengaruh t erhadap proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi, tetapi pengaruhnya pada umumnya dap at diabaikan bila dibandingkan dengan pengaruh faktor cuaca. Faktor lingkungan lain yang dimaksud di antaranya adalah lingkungan kimiawi seperti misalnya pH permukaan daun dan keberadaan senyawa tertentu hasil eksudasi daun serta lingkungan hayati seperti misalnya keberadaan mikroba-mikroba kompetitor, antagonis, komensal, dan patogenik terhadap patogen tanaman. Untuk patogen tanaman yang bersifat terbawa vektor, keberadaan vektor merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses dan sub-proses dalam rantai/daur infeksi. Proses dan sub-proses pada rantai/daur infeksi juga dipengaruhi oleh faktor inang. Inang mempengaruhi semua sub-proses dalam proses infeksi dan sporulasi serta sub-proses deposisi dalam proses diseminasi. Faktor inang yang berpengaruh terutama adalah varietas/kultivar karena setiap varietas/kultivar mempunyai struktur morfologis dan fisiologis tertentu sehingga memungkinkannya memberikan tanggapan yang berbedan terhadap rantai/daur infeksi. Meskipun demikian, untuk varietas/kultivar yang sama perbedaan pengaruh dapat terjadi karena perbedaan umur individu tanaman atau perbedaan umur organ tanaman terinfeksi. Untuk umur tanaman, yang sangat menentukan pengaruh terhadap proses dan sub-proses dalam rantai/daur infeksi adalah umur fisiologis sebagaimana ditunjukkan oleh fase-fase pertumbuhan tanaman dan bukannya umur kalender sebagaimana dinyatakan dalam Hari Setelah Tanam (HST) atau Minggu Setelah Tanam (MST). Untuk patogen yang bertahan pada serasah, keberadaan serasah merupakan faktor inang yang sangat penting dalam menentukan perkembangan rantai/daur infeksi pada musim tanam berikutnya. Kemampuan patogen untuk menginfeksi tanaman tergantung pada virulensi patogen yang bersangkutan. Namun untuk suatu spesies patogen tertentu yang virulensinya sama, pengaruhnya terhadap proses maupun sub-proses dalam rantai/daur infeksi ditentukan oleh padat populasi inokulum yang terdeposisi pada permukaan tanaman. Dalam hal inokulasi dilakukan secara buatan, faktor yang berpengaruh terhadap proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi bukanlah konsentrasi inokulum tetapi padat populasi inokulum yang terdeposisi di permukaan tanaman. Padat populasi inokulum terdeposisi tersebut dapat ditentukan bila konsentrasi inokulum, volume suspensi inokulum, dan luas permukaan tanaman yang diinokulasi diketahui. 3. Kuantifikasi Faktor Lingkungan, Inang, dan Patogen a. Suhu Suhu merupakan faktor cuaca yang sangat penting pengaruhnya t erhadap seluruh proses dan hampir seluruh sub-proses dalam rantai/daur infeksi. Suhu diukur dalam derajat (oC) setiap
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
45
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan selang waktu tertentu dalam satu hari, tetapi umumnya sebagai suhu minimum dan suhu maksimum yang diukur pada waktu tertentu dalam satu hari. Dalam hal pengaruh suhu perlu dipahami bahwa tanggapan suatu proses atau sub-proses tertentu dalam rantai/daur infeksi terhadap suhu bukanlah terhadap suhu pada sembarang waktu melainkan terhadap suhu selama suatu proses atau sub-proses berlangsung. Selain itu perlu pula dipahami bahwa pengaruh suhu terhadap suatu proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi terkait dengan faktor lain, misalnya dengan periode kebasahan daun, dengan umur fisiologis tanaman, dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut Friesland & Schrodter (1988), dalam memodelkan pengaruh suhu terhadap proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi, suhu perlu dikuantifikasi menjadi sejumlah peubah turunan sebagai berikut: 1) Perubahan suhu harian ( daily course of temperature) 2) Frekuensi suhu ( frequency of temperatures) 3) Jumlah suhu ( temperature sums) 4) Fungsi tanggapan suhu ( temperature-response fuctions) Sebagai prinsip dasar, pengaruh suhu terhadap proses dan sub-proses dalam rantai infeksi diberikan oleh suhu yang terjadi pada setiap selang waktu tertentu selama suatu proses atau sub-proses berlangsung. Oleh karena itu, pemodelan pengaruh suhu harus dilakukan dengan menggunakan data suhu setiap selang waktu tertentu selama berlangsungnya suatu proses atau sub-proses. Hal ini hanya dimungkinkan bila tersedia alat pengukur suhu elektronik yang dapat mengukur dan mencatat suhu setiap selang waktu yang singkat, misalnya setiap menit atau setiap jam. Alat semacam itu pada umumnya jarang tersedia dan suhu biasanya hanya dicatat sebagai suhu maksimum dan suhu minimu yang diukur pada jam tertentu setiap hari. Bila data suhu maksimum dan suhu minimum harian tersedia, menurut Shrum (1975) dan Sall (1980), perubahan suhu harian dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan: [5.1] T mak T min T mak T min * sin(a * RAD (i) b) T i 2 2 dengan keterangan: Ti=suhu pada hari/jam ke-i, T mak =suhu maksimum pada hari/jam ke-i, Tmin= suhu minimum pada hari/jam ke-I, ke-I, i=1, 2, 3, …, 24, a dan b=tetapan, dan RAD=radians. Pers. [5.1] memprediksi suhu setiap jam dalam sehari berdasarkan hasil pengukuran suhu maksimum pada dan suhu minimum. Hasil prediksi Pers. [5.1] sebagaimana disajikan pada Gambar 5.1 dengan menggunakan nilai a=15 dan b=210 pada umumnya sangat kasar, tetapi cukup bermanfaat misalnya untuk mengetahui suhu pada saat suatu proses, misalnya sporulasi, berlangsung dalam selang waktu tertentu, misalnya antara pukul 08.00 dan 09.00 sedangkan data suhu yang tersedia hanya suhu maksimum dan minimum hasil pengukuran pada pukul 16.00 dan 04.00. 40 35 30 ) 25 C ( u 20 h u S 15
o
10 5 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 1820 22 24 Waktu Waktu (Jam dalam Sehari)
Gambar 5.1. Hasil Penentuan Suhu Setiap Jam dalam Sehari Berdasarkan Data Suhu Maksimum dan Suhu Minimum dengan Menggunakan Pers. [5.1] Frekuensi suhu merupakan jumlah satuan waktu dengan suhu rata-rata tertentu yang dilalui oleh suatu proses atau sub-proses. Bila suatu proses atau sub-proses berlangsung pada
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
46
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan kisaran suhu T 1-T2 selama selang waktu t dan satuan waktu t maka frekuensi suhu untuk proses atau sub-proses tersebut merupakan jumlah satuan waktu t dengan suhu dalam kisaran T1-T2 selama selang waktu t. Dalam hal ini frekuensi suhu dapat berupa frekuensi suhu yang memungkinkan atau yang tidak memungkinkan bagi berlangsungnya suatu proses atau subproses. Jumlah suhu merupakan pendekatan kuantifikasi suhu dengan memperhatikan keberlangsungan proses atau sub-proses yang berlangsung dalam batasan suhu tertentu. Dalam jumlah suhu, batasan suhu tertentu bagi keberlangsungan suatu proses atau sub-proses ditetapkan sebagai suhu acuan yang merupakan suhu minimum berlangsungnya proses atau subproses yang bersangkutan. Penjumlahan suhu di atas suhu acuan dilakukan dalam rentang hari atau jam sehingga dihasilkan peubah turunan Derajat Hari ( Degree Days) atau Derajat Jam Degree Hours ). Derajat Hari (DH) atau Derajat Jam (DJ) dihitung dengan persamaan: ( Degree n [5.2] DHatauDJ (T i T acuan ) i 1
Dengan keterangan T i=(Tmax+Tmin)/2 pada hari atau jam ke-i bagi berlangsungnya suatu proses atau sub-proses dan T acuan= suhu minimum berlangsungnya suatu proses atau sub-proses. Contoh Perhitungan DH dengan menggunakan Pers. [5.2] disajikan pada Tabel 5.3. o
Tabel 5.3. Hasil Perhitungan DH dengan Menggunakan Pers. [5.2] dan Suhu Acuan 25 C Hari ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DH
Tmak
Tmin 32 33 32 33 34 34 33 32 33 33
Ti-Tacuan 19 21 18 19 20 19 19 18 21 22
0.5 2 0 1 2 1.5 1 0 2 2.5 12.5
Hasil perhitungan pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa selama 10 hari telah o terakumulasi sebanyak 12,5 DH bagi suatu proses dengan suhu acuan 25 C. Perlu diperhatikan bahwa jumlah suhu berbeda dengan frekuensi suhu dalam hal bahwa dalam jumlah suhu yang dihasilkan adalah integrasi antara suhu dan hari atau jam, sedangkan dalam frekuensi suhu yang dihasilkan adalah frekuensi kemunculan kelas suhu tertentu dalam hari atau jam. Suhu seringkali pula dapat digunakan sebagai peubah langsung dalam suatu model, baik dilakukan dengan pendekatan empirik maupun pendekatan mekanistik. Penggunaan suhu sebagai peubah langsung misalnya dilakukan dengan menggunakan persamaan: Y = Ymak – a(T – a(Ti – T – Topt)2 [5.3] dengan keterangan Y=keparahan penyakit, Y mak =keparahan penyakit maksimum, Ti=rerata suhu pada pengamatan ke-i, Topt=suhu optimum bagi berlangsungnya suatu proses atau sub-proses, dan a=parameter regresi. Penggunaan Pers. [5.3] dapat dilakukan bila pengamatan dilakukan dengan selang waktu singkat sehingga tersedia data suhu yang dapat mewakili rerata suhu pada selang waktu tersebut. Pendekatan lain yang juga dapat digunakan adalah fungsi suhu pengaruh (temperature effect function) yang dikembangkan oleh Schrodter (Analytis 1973). Dengan pendekatan ini tanggapan suatu proses atau sub-proses (Y) ditempatkan sebagai fungsi kuadrat sinus terhadap polinomial derajat tiga dari ekivalen suhu X: 2 [5.4] Y = sin (1X1+ 2X2+3X3) Pada Pers. [5.4] Y = laju relatif suatu proses atau sub-proses terhadap laju pada suhu optimum bagi berlangsungnya proses atau sub-proses yang bersangkutan dan X =. (T i-Tmin)/(Tmak -Tmin).
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
47
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Fungsi tanggapan lain yang juga dapat dapat digunakan adalah fungsi fungsi BETE yang menurut Analytis (1977,1980) lebih praktis daripada Pers. [5.4]. Fungsi BETE adalah sebagai berikut: n m Y = (p*X (1-X)) [5.5a] dengan keterangan X = (T i-Tmin)/(Tmak -Tmin), p = faktor proporsional sedemikian sehingga laju proses atau sub-proses bernilai 1 pada suhu optimum, di antara 0 dan 1 pada suhu lainnya, dan 0 pada suhu minimum dan maksimum, serta m dan n = parameter bentuk kurva. Pers. [5.5a] dapat dilinierkan menjadi: [5.5b] ln(Y) = 0+1ln(X)+2ln(1-X) dengan 0, 1, dan 2 menyatakan parameter regresi. Dengan menggunakan Pers. [5.5b], T mak 2 dan Tmin ditentukan secara iteratif sampai diperoleh model regresi yang nyata dengan nilai R maksimum. Mudita dan Kushalappa (1991) menggunakan bentuk linier fungsi BETE untuk menentukan pengaruh suhu terhadap pertumbuhan koloni jamur Septoria apiicola pada seledri dengan persamaan: ln(Y)= 3.58+3.29(ln(T))+2.16(ln(1-T)) dengan bentuk kurva tanggapan sebagaimana disajikan pada Gambar 5.2. m1.0 u m i s k0.8 a M i n0.6 o l o K s0.4 a u L i 0.2 s r o p o r 0.0 P
15
18
20
23
25
28
30
Suhu ( oC)
Gambar 5.2. Penggunaan Bentuk Linier Fungsi BETE untuk Menjelaskan Pengaruh Suhu terhadap Pertumbuhan Koloni Septoria apiicola Periode Kebasahan Permukaan dan Kelembaban Nisbi Tinggi Periode kebasahan permukaan ( wetness period ) dan kelembaban nisbi tinggi ( high relative humidity period ) merupakan faktor yang juga, sebagaimana dengan suhu, mempengaruhi seluruh proses dan hampir seluruh sub-proses dalam rantai/daur penyakit. Kebasahan permukaan dan kelembaban nisbi tinggi sulit dapat dibedakan, tetapi keduanya merupakan faktor yang sangat menentukan bagi perkecambahan spora yang terdeposisi di permukaan tubuh inang. Bagi spesies fungi tertentu yang diperlukan adalah kebasahan permukaan selama periode tertentu, sedangkan bagi spesies fungi yang lain yang dibutuhkan justeru adalah kelembaban nisbi tinggi selama periode tertentu. Spesies fungi tertentu lainnya justeru memerlukan kebasahan permukaan atau kelembaban nisbi tinggi yang diselingi dengan periode kering tertentu (interupted wetness period atau interupted high relatif humidity period ). ). Dengan demikian jelas bahwa berkeitan dengan kebasahan permukaan maupun kelembaban nisbi tinggi yang menjadi faktor penentu adalah periodenya dan bukan tingkat kebasahan atau tingkat kelembabannya. Hal ini dapat dipahami karena agar suatu proses atau sub-proses dapat berlangsung diperlukan kebasahan atau kelembaban ambang yang harus dilewati agar proses atau sub-proses yang bersangkutan dapat berlangsung. Untuk memperoleh gambaran mengenai pengukuran periode kebasahan permukaan atau periode kelembaban relatif tinggi misalkan sebagai hasil pengamatan pada waktu i+1 terdapat dua proses, proses A dan B, yang berlangsung sejak waktu i. Misalkan pula proses A berlangsung selama i jam dan proses B berlangsung selama j jam periode kebasahan permukaan atau kelembaban relatif tinggi secara terus menerus. Dari keadaan ini dapat diperoleh peubah turunan: HA=n i /N b.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
48
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan HB=n j /N dengan keterangan ni dan n j = jumlah nilai jam yang termasuk dalam periode dengan kebasahan permukaan atau kelembaban relatif tinggi selama i dan j jam serta N=jumlah nilai seluruh jam selama periode i-i+1. Umur Individu Inang atau Organ Tubuh Inang Tanaman inang sakit dapat berupa satuan individu tanaman atau organ tubuh tanaman, misalnya akar, batang, pucuk, daun, atau buah. Pemilihan individu tanaman atau organ tubuh tergantung pada sifat penyakit dan tujuan pemodelan pengaruh penyakit terhadap rantai/daur infeksi. Umur individu tanaman biasanya dinyatakan sebagai Hari Setelah Tanam (HST) atau Minggu Setelah Tanam (MST). Cara menyatakan umur individu tanaman dengan menggunakan HST atau MST sesungguhnya bukan merupakan cara yang baik sebab mengaburkan aspek musim pada saat penanaman dilakukan. Cara yang lebih baik adalah dengan menggunakan Hari Kalender (HK) yang merupakan penjumlahan kumulatif hari sejak hari pertama pada tahun yang bersangkutan. Cara lain yang dapat digunakan adalah penggunaan DH atau DJ sebagaimana digunakan untuk menyatakan pengaruh suhu (Pers. 5.2) sebab selain DH atau DJ merupakan ukuran pengaruh suhu yang diintegrasikan dengan waktu (umur). Misalnya, pengamatan jumlah bercak dilakukan setelah individu tanaman inang mencapai akumulasi DH atau DJ yang berbeda-beda. Pengaruh umur organ tubuh inang, sebagaimana dengan individu inang, dapat dinyatakan dalam umur organ yang bersangkutan. Namun untuk organ tertentu, juga dapat dinyatakan dalam luas area atau volume organ yang bersangkutan. Umur daun misalnya, dapat dinyatakan dalam hari atau minggu setelah membuka penuh atau dalam DD atau DJ sejak membuka penuh. Penggunaan luas area atau volume juga dapat dilakukan, misalnya mengguanakan luas area daun atau volume buah. c.
Padat Populasi Patogen Pengaruh padat populasi patogen perlu dibedakan antara padat populasi pada inokulasi buatan dan padat populasi pada inokulasi alami. Pada inokulasi buatan, volume suspensi inokulum dan konsentrasi inokulum diketahui sehingga jumlah inokulum yang terdeposisi pada permukaan daun dapat ditentukan sebagai jumlah inokulum per satuan luas permukaan daun. Misalnya, Mudita & Kushalappa (1991) menggunakan alat inokulasi automatik dengan nozzle yang dapat diatur untuk mendeposisikan konidia Septoria apiicola dengan kepadatan tertentu per satuan luas daun tertentu pada tanaman selederi. Pada inokulasi alami, kandungan spora di udara ditentukan dengan menggunakan perangkap hisap ( suction trap) sehingga jumlah spora per satuan volume udara per satuan waktu dapat diketahui. Misalnya, Alderman et al. (1987) menggunakan perangkap hisap untuk memerangkap konidia Cercospora arachidicola sehingga padat populasi spora dapat dinyatakan dalam jumlah spora t erperangkap/volume udara/hari. Pada pemodelan pengaruh padat populasi inokulum, padat populasi dapat digunakan secara langsung atau dikonversi terlebih dahulu untuk memenuhi ketentuan model yang akan digunakan. Mengingat pada pemodelan penyakit, penyakit dinyatakan sebagai proporssi maka Mudita & Kushalappa (1991) mengkonversikan padat populasi konidia Septoria apiicola hasil pengukuran menjadi proporsi padat populasi maksimum sebelum menggunakannya untuk memodelkan pengaruh padat populasi konidia terhadap keparahan penyakit bercak daun seledri. Pada pemodelan pengaruh padat populasi konidia Cercospora arachidicola, Alderman et al. (1987) mengkonversikan padat populasi konidia hasil pemerangkapan menjadi padat populasi per satuan bercak. d.
4. Pemodelan Pengaruh Faktor terhadap Rantai/Daur Infeksi a. Infeksi Pemodelan pengaruh faktor terhadap proses infeksi telah banyak dan sejak lama dilakukan, tetapi yang paling banyak dimodelkan adalah pengaruh faktor lingkungan cuaca. Pemodelan matematik dan statistik baru banyak dilakukan sejak tahun 1990-an, sedangkan
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
49
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan sebelumnya pemodelan hanya dilakukan secara deskriptif tanpa menghasilkan model kuantitatif formal tertentu. Sebagai ilustrasi pemodelan pengaruf faktor lingkuangan cuaca, berikut diberikan uraian mengenai pemodelan pengaruh suhu dan periode kebasahan atau kelembaban relatif tinggi terhadap proses infeksi atau sub -proses dari proses-proses tersebut. Rape & Feris (1987) meneliti pengaruh suhu terhadap perkecambahan konidia Phomopsis longicola dengan melakukan pengukuran terhadap waktu yang diperlukan sejak inokulasi sampai 50% konidia berkecambah pada media air-agar. Kebalikan waktu yang diperlukan sampai 50% konidia berkecambah digunakan sebagai sebagai ukuran laju perkecambahan dan persentase perkecambahan pada setiap taraf suhu terhadap laju perkecambahan maksimum dinyatakan sebagai persentase laju perkecambahan maksimum. Peneliti yang sama juga mengukur pertumbuhan koloni Phomopsis longicola pada berbagai taraf suhu dan menyatakan persentase diameter koloni pada setiap taraf suhu terhadap diameter koloni maksimum sebagai laju pertumbuhan maksimum koloni. Hasil yang diperoleh tidak digunakan untuk memodelkan pengaruh suhu terhadap perkecambahan konidia dan pertumbuhan koloni secara kuantitatif, melainkan hanya disajikan dalam bentuk grafis sebagaimana disajikan pada Gambar 5.3. Data yang diperoleh seharusnya dapat digunakan untuk menyusun model kuantitatif, misalnya dengan menggunakan fungsi BETE untuk menyuai pengaruh suhu terhadap laju perkecambahan spora maupun pertumbuhan koloni Phomopsis longicola.
m100 u m i s k a 80 M i n o 60 l o K n a h 40 u b m u t r 20 e P % 0
100
m u m i s 80 k a M n 60 a h a b m 40 a c e k r 20 e P %
0
0
5
10 15 1 5 20 20
25 30 3 0 35 3 5 40 4 0 45 45
0
5
10 15 1 5 20 20
25 30 3 0 35 3 5 40 4 0 45 45
Suhu (oC)
Suhu (oC)
(a) (b) Gambar 5.3. Pengaruh Suhu (oC) terhadap Persentase Perkecambahan Maksimum dan (a) dan Persentase Pertumbuhan Koloni Maksimum Phomopsis longikola pada Medium Air-Agar (Rape & Feris 1987) Pemodelan pengaruh suhu dan periode kebasahan permukaan daun juga dilakukan oleh Alderman & Beute (1986) untuk Cercospora arachidicola, penyebab bercak daun dini pada kacang tanah. Konidia dikecambahkan pada potongan daun kacang tanah yang diinkubasikan selama berbagai taraf suhu dan periode kebasahan muka daun dan pengukuran dilakukan terhadap persentase konidia berkecambah dan panjang buluh kecambah. Konidia juga dikecambahkan pada medium agar yang potensial airnya diat ur agar identik dengan kelembaban relatif tertentu yang kemudian diinkubasikan pada beberapa taraf suhu yang berbeda dan pengukuran terhadap peubah yang sama. Hasil percobaan pengaruh suhu dan periode kebasahan muka daun terhadap persentase perkecambahan konidia juga tidak dinyatakan dalam model matematik, tetapi pengaruh periode kebasahan daun untuk setiap taraf suhu terhadap panjang buluh kecambah dinyatakan dalam model linier: [5.6b] Y=0+1X
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
50
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Dengan Y=panjang buluh kecambah untuk setiap taraf suhu dan X=periode kebasahan daun (jam). Hasil penelitian pengaruh suhu dan periode kebasahan daun tersebut disajikan dalam kurva sebagaimana ditampilkan kembali pada Gambar 5.4a,b. Pengaruh suhu dan potensial air (untuk mewakili kelembaban relatif) terhadap peubah yang sama juga tidak dimodelkan melainkan hanya disajikan secara grafis (Gambar 5.4c,d. ) 40 M u ( 35 h a b 30 m a 25 c e K 20 h u 15 l u B 10 g n a 5 j n a 0 P
100 h a b 80 m a c e 60 k r e B a 40 i d i n o K 20 %
0 0
8
16
24
32
40
0
48
8
16
24
32
40
16
19
22
16
Waktu Waktu Embun (Jam) 19
25
28
31
25
28
Waktu Waktu Embun (Jam)
(a)
48
22 31
(b) ) 140 M u120 ( h a b100 m a c e 80 K h 60 u l u B 40 g n a j n 20 a P
100
h a b 80 m a c e 60 k r e B a 40 i d i n o 20 K %
0
0
0
2
4
6
8
10 10
Potens ial Air (-MPa) (-MPa) 16
24
0
2
4
6
8
10 10
Potensial Air (-MPa)
32
16
24
32
(c) (d) o Gambar 5.4. Pengaruh Suhu ( C) dan Periode Kebasahan (Jam) terhadap (a) Per-sentase Perkecambahan dan (b) Panjang Buluh Kecambah Konidia Cercospora arachidicola yang Diinokulasikan pada Permukaan Daun serta Pengaruh Suhu o ( C) dan Potensial Air (-Mpa) (Ekivalen Kelembaban Relatif) terhadap (c) Persentase Perkecambahan dan (d) Panjang Buluh Kecambah Konidia Konidia Cercospora arachidicola yang Diinokulasikan pada Medium Agar (Data dari Alderman & Beute 1986) Pendekatan matematis digunakan oleh Lalancete et al. (1988a) untuk memodelkan pengaruh suhu dan periode kebasahan daun terhadap efisiensi infeksi oleh Plasmopara viticola pada tanaman anggur. Bibit tanaman anggur yang diinokulasi dengan padat populasi 1,5 2 sporangia/cm diinkubasikan pada waktu inkubasi dan suhu yang berbeda selama inkubasi. Inkubasi dilakukan dalam growth chamber yang diatur sehingga periode kebasahan daun dapat dicapai selama waktu inkubasi. Efisiensi Infeksi (EI) dihitung sebagai jumlah luka/[(7 zoospora/sporangia)*(100 sporangia/ mL)*(mL inokulum)]. Pendekatan dan langkah-langkah yang sama ditempuh oleh Carisse & Kushalappa (1990) untuk menentukan pengaruh suhu dan periode kebasahan daun terhadap Proporsi Jumlah Maksimum Luka (PML) yang disebabkan oleh Cercospora carrotae pada tanaman wortel. PML dihitung sebagai jumlah luka
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
51
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan teramatai/jumlah luka maksimum. Pemodelan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Memodelkan hubungan antara EI atau PML tertinggi yang diperoleh pada setiap taraf suhu 2) Menentukan nilai laju peribahan EI atau PML terhadap periode kebasahan dan nilai parameter bentuk kurva perubahan EI atau PML terhadap periode kebasahan. 3) Menentukan hubungan antara nilai laju peribahan EI atau PML dengan suhu 4) Menggabungkan model yang diperoleh dari langkah 1, 2, dan 3. Dengan menggunakan pendekatan pemodelan tersebut, Lalancete et al. (1988) maupun Carisse & Kushalappa (1990) memperoleh model dengan bentuk persamaan umum: (
1
)
[5.7] ) Lalancete et al. (1988) memperoleh model pada Pers. [5.7] dengan k=2 0,071+0,018*T+0,0005*T +0,01 yang diperoleh pada langkah 1, p=r*W=-0,24*W+0,70*W*T2 0,0021*W*T yang diperoleh pada langkah 3, dan m=1,2 yang diperoleh pada langkah 2. Carisse & Kushalappa (1990) memperoleh model pada Pers. [5.7] dengan k=2 2 6,1633+0,5941*T-0,0124*T , p=-0,642*W+0,063*T*W-0,0013*T *W, dan m=1,02. Secara grafis, model menghasilkan EI atau PML sebagaimana disajikan pada Gambar 5.5a dan Gambar 5.5b.
EIatauPML k * (1 e
p
1 m
0.10
1 0.8
I 0.08 S K E F 0.06 N I I S N E 0.04 I S I F E
PML
0.6 0.4 0.2
0.02
13 9
0.00 5
5 10
SUHU (oC)
15
20
25
1
PERIODE BASA H (JAM)
30
0 32 30 28 26 24 22 SUHU (oC) 20
18
16
96 84 72 60 48 36 24 PERIODE 12 BASAH (JAM)
(a) (b) o Gambar 5.5. Pengaruh Suhu ( C) dan Periode Kebasahan Daun (Jam) terhadap (a) EI Plasmopara viticola pada Tanaman Anggur dan (b) PML Cercospora carotae pada Tanaman Wortel (Lalancete et al. 1988 dan Carisse & Kushalappa 1990)) Sporulasi Sebagaimana pada pemodelan pengaruh terhadap proses infeksi, pemodelan pengaruh terhadap sporulasi umumnya dilakukan untuk menentukan pengaruh faktor lingkungan cuaca. Pemodelan mula-mula dilakukan decara deskripstif tetapi kemudian berkembang ke arah pemodelan matematis. Sebagai ilustrasi, akan diuraikan pemodelan pengaruh faktor suhu dan periode kelembaban nisbi tinggi terhadap sporulasi Cercospora arachidicola pada tanaman kacang tanah (Alderman & Beute 1987) dan pengaruh faktor suhu dan periode kelembaban nisbi tinggi terhadap sporulasi Plasmopara viticola pada tanaman anggur (Lalancette et al. 1988b). Alderman & Beute (1987) mengkuantifikasi sporulasi sebagai jumlah spora yang dihasilkan oleh satu satuan luas luka. Gejala bercak daun dini kacang tanah dipotong dengan ukuran tertentu dan diletakkan dengan dialasi kertas saring basah di dalam cawan petri untuk dibiarkan bersporulasi pada beberapa taraf suhu. Potongan gejala ditempatkan di atas medium b.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
52
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan air-agar yang telah diatur potensial airnya dan kemudian, setelah dil etakkan penyangga di antara potongan bercek, ditindis dengan potongan medium yang sama. Potensial air medium diatur untuk memberikan beberapa nilai ekivalen kelembaban relatif udara. Hasil pemodelan sporulasi tersebut disajikan dalam bentuk grafis pada Gambar 5.6. Pendekatan pemodelan matematis digunakan oleh Lalancette et al. (1988) untuk memodelkan pengaruh suhu dan kelembaban nisbi tinggi terhadap sporulasi Plasmopara viticola pada daun anggur. Bibit anggur bergejala penyakit diinkubasikan dalam growth chamber pada beberapa taraf suhu dan beberapa taraf lama inkubasi. Sporulasi diukur dengan memotong gejala dengan menggunakan pelubang gabus dan menghitung jumlah spora yang dihasilkan per potongan daun. Pemodelan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang digunakan pada pemodelan pengaruh suhu dan kebasahan daun terhadap EI Plasmopara viticola. Model yang dihasilkan adalah: SPO= k * (1 e
( B p )
)
(
1 1 m
)
[5.8]
1000
1000
a k 800 u L s a u 600 L
a k u L s a u L 2 m m / a i d i n u K
2
m m 400 / a i d i n o 200 K
0
800 600 400 200 0
16
20
24
28
32
0
1
Suhu ( oC)
2
3
4
5
6
Potensial Air (-M (- MPa)
(a) (b) Gambar 5.6. Pengaruh Suhu (oC) dan Periode Kelembaban Relatif Tinggi (Ekovalen Potensial Air) terhadap Sporulasi Cercospora arachidicola pada Potongan Daun kacang Tanah 2
2
Dengan k=-873.164+114.369*T-2.828*T , B=-8,96+1,16*T-0.029*T , p=1,51*H2 2 0.20*H*T+0,0049*H*T , dan m=0.5, SPO=sporangia/mm luas luka, T=suhu dan H=periode kelembaban udara tinggi. Diseminasi Diseminasi berkaitan dengan keberadaan spora di udara setelah dilepaskan dari sumbernya (luka) melalui proses sporulasi. Pemodelan pengaruh faktor terhadap proses diseminasi terutama berkaitan dengan pengaruh faktor lingkungan terhadap keberadaan inokulum di udara ambien. Inokulum di udara ambien dikuantifikasi dengan cara memerangkapnya menggunakan perangkap isap volumetrik. Untuk memperoleh gambaran mengenai pemodelan pengaruh faktor terhadap proses diseminasi, berikut diuraikan pemodelan yang dilakukan oleh Alderman et al. (1987) dan Lacy & Pontius (1983). ( 1983). Alderman et al. (1987) memodelkan pengaruh jam dengan RH>90%, suhu dengan RH>90%, dan curah hujan terhadap jumlah konidia Cercospora arachidicola yang dapat diperangkap dari udara. Pemerangkapan konidia dilakukan dengan menggunakan perangkap 3 isap volumetrik dan konidia yang terperangkap dinyatakan sebagai konidia/14.4 m udara/hari/bercak. Konidia terperangkap dimodelkan dengan menggunakan per samaan:
c.
CONIDIA=(EXP(0.2968*T+0.1123*H-0.942*R+0.5517))/10000 3
Dengan keterangan: CONODIA=jumlah konidia/14.4 m udara/hari/bercak, T=suhu dengan RH>90%, H=jam dengan RH>90%, dan R=curah hujan (cm). Grafik hubungan antara suhu
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
53
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan (oC) dengan jam dengan RH>90% disajikan pada Gambar 5.7a dan antara suhu (oC) dengan curah hujan (cm) disajikan pada Gambar 5.7b. Lacy & Pontius (1983) berhasil membangun model keberadaan konidia Botrytis squamosa di udara dengan persamaan: CONIDIA= CONIDIA=0+ 0+1*TEMP+ *TEMP+2Edef
Dengan keterangan CONODIA=jumlah konidia/m3 udara/jam, TEMP=suhu rata-rata harian, dan Edef =defisit tekanan uap selama 72 jam sebelumnya. Defisit tekanan uap pada suhu tertentu merupakan selisih antara tekanan uap jenuh dan tekanan uap udara ambien pada suhu yang sama: – Eamb(T) Edef(T) = E sat(T) – E
4
0.6
3
0.4
2 1 18 0 12
27 19 11
6 WAKTU PADA RH>90%
0
3
SUHU (oC)
0.2 27
6 0 4
19 11
2 HUJAN (CM)
0
3
SUHU (oC)
(a) (b) Gambar 5.7. Pengaruh (a) Suhu (oC) dan Waktu pada RH>90% dan (b) Suhu (oC) dan Curah Hujan (cm) terhadap Jumlah Konidia Cercospora arachidicola Terperangkap 3 (jumlah konidia/14.4 m udara/hari/bercak) Dalam hal ini, Esat(T) dapat diestimasi sebagai fungsi T dengan menggunakan algoritma Lowe: E sat(T) =0+T(1+T(2+T(3+T(4+T(5+6T))))) dan Eamb(T) dapat ditentukan sebagai : Eamb(T) =(Esat(T)*RH)/100 Alasan penggunaan Edef dan bukan RH dalam pemodelan adalah karena variasi E def relatif kecil dibandingkan dengan RH sehingga dengan demikian galat diharapkan dapat diperkecil.
D. Evaluasi Untuk memperdalam penguasaan materi yang diuraikan pada bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Apakah proses infeksi, sporulasi, dan diseminasi mempunyai arti penting yang sama dalam rantai/daur infeksi suatu patogen dikaitkan dengan faktor yang mempengaruhinya? 2) Mengapa yang penting untuk dimodelkan adalah faktor lingkungan, inang, atau patogen yang pengaruhnya paling variatif terhadap proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi? 3) Mengapa untuk faktor lingkungan tertentu perlu dibuat peubah turunan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai peubah bebas dalam pemodelan? 4) Jelaskan apakah DH atau DJ merupakan peubah faktor lingkungan suhu atau peubah faktor tanaman inang? 5) Apa yang menyebabkan pada awal perkembangan pemodelan pengaruh faktor lingkungan, inang, dan patogen terhadap proses atau sub-proses dalam rantai/daur infeksi, pemodelan dilakukan secara deskripstif dan bukannya secara matematis? Berikan contohnya masingmasing.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
54
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
E. Tugas Berstruktur Secara perseorangan dan dengan menggunakan program aplikasi Excel, kerjakanlah soal berikut: 1) Pengukuran terhadap pertumbuhan panjang buluh kecambah suatu spora jamur yang diinokulasikan pada medium agar dan diinkubasikan pada suhu yang berbeda-beda menghasilkan data sebagaimana disajikan pada tabel berikut:
Suhu Inkubasi (oC)
Panjang buluh Proporsi Panjang Kecambah (mm) Buluh Kecambah Maksimum 0.09000 5.20231 0.21000 12.13873 0.35000 20.23121 0.52000 30.05780 0.95000 54.91329 1.30000 75.14451 1.73000 100.00000 1.65000 95.37572 1.63000 94.21965 0.22000 12.71676
3 10 13 15 18 20 25 28 30 35
2)
Lakukanlah langkah-langkah sebagai berikut: a) Modelkan pengaruh suhu terhadap proporsi panjang buluh kecambah maksimum dengan menggunakan model linier derajat dua dan lakukan evaluasi apakah model tersebut dapat menyuai data dengan baik b) Modelkan pengaruh suhu terhadap proporsi panjang buluh kecambah maksimum dengan menggunakan fungsi BETE dan lakukan evaluasi apakah model tersebut dapat menyuai data dengan baik Misalkan proses perkecambahan spora jamur tertentu berlangsung dengan suhu dasar o 22.5 C. Hitunglah DJ terakumulasi bila perkecambahan berlangsung selama 10 jam dengan suhu maksimum dan minimum setiap jam sebagaimana disajikan pada tabel berikut: Jam ke
Tmak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3)
Tmin 32 33 32 33 35 34 33 32 32 33
19 21 18 19 20 19 18 18 20 21
Berikut adalah data hasil percobaan pengaruh suhu dan periode kebasahan daun terhadap persentase perkecambahan konidia Cercospora arachidicola Periode Basah (Jam) 0 2 4 6 8
16 0 2.5 3 15 37
19 0 2.5 8 16 48
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
Suhu (oC) 22 0 2.5 15 30 44
25 0 3 16 32 50
28 0 2.4 3 18 38
31 0 2.3 2.5 19 12
55
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 12 16 24 32 40 48
40 60 60 75 77 80
55 58 70 80 82 85
53 70 80 85 84 83
65 69 75 80 81 83
42 35 45 41 40 39
22 26 30 35 32 30
Lakukanlah langkah sebagai berikut: a) Buatlah kurva tiga dimensi untuk menggambarkan pengaruh suhu dan periode kebasahan terhadap persentase perkecambahan konidia Cercospora arachidicola. b) Ubahlah data persentase perkecambahan menjadi proporsi persentase perkecambahan maksimum dengan membagi angka setiap persentase perkecambahan dengan persentase perkecambahan tertinggi yang berhasi dicapai (85%). Cantumkan hasil yang diperoleh pada tabel terpisah. c) Bila Y adalah persentase perkecambahan maksimum, transformasikan data yang diperoleh pada butir b dengan menggunakan persamaan ln(Y)=ln(1/(1-Y)). Gambarkan hubungan antara periode basah dengan ln(1/(1-Y)) pada setiap taraf suhu. Apakah hubungan yang diperoleh merupakan garis lurus? Bila tidak, gunakanlah transformasi ln(Y/(1-Y)). Bandingkan hasil keduanya, manakah yang menghasilkan garis yang lebih lurus? d) Untuk data pada setiap taraf suhu, lakukanlah analisis regresi antara periode basah sebagai X dan ln(1/(1-Y)) sebagai Y dengan menggunakan model Y= 1*X (regresi sederhana tanpa intersep). Setelah regresi selesai dilakukan untuk setiap taraf suhu, periksalah hasil regresi dengan menggunakan kriteria evaluasi model (lihat uraian pada Bab IV). e) Buatlah tabulasi nilai 1 untuk setiap taraf suhu dan lakukanlah analisis regresi antara suhu sebagai X dan 1 sebagai Y. Gunakan model linier derajat dua untuk memodelkan hubungan tersebut. f) Nyatakan model model yang diperoleh pada langkah d dan langkah f sebagai satu model terintegrasi. Buatlah kurva tiga dimensi yang menunjukkan hasil dugaan yang diberikan oleh model. Daftar Pustaka Alderman, S.C., & M.K. Beute 1986. Influence of Temperature and Moisture on Germination and Germ Tube Elongation of Cercospora arachidicola. Phytopathology 76:715-719 Alderman, S.C., & M.K. Beute 1987. Influence of Temperature, Lesion Water Potential, and Cyclic Wet-Dry Periods on Sporulation of Cercospora arachidicola on Peanut. Phytopathology 77:960-963. Alderman, S.C., C.A. Matyac, J.E. Bailey, & M.K. Beute 1987. Aeromycology of Cercospora arachidicola on Peanut. Trans. Br. Mycol. Soc. 89(1):97-103 Analytis, S. 1973. Zur Methodik der Analyse von Epidemien, dargestellt am Apfelschorf (Venturia inaequalis (Cooke) Adrh.). Acta Phytomed 1:1-76. Carisse, O. & A.C. Kushalappa 1990. Development of an infection model for Cercospora carotae on carrot based on temperature and leaf wetness duration. Phytopathology 80:1233-1238. Friesland, H. & H. Schrodter 1988. The analysis of weather factors in epidemiologt. In: Experimental Techniques in Plant Disease Epidemiology. pp. 115-134. J. Kranz & J. Rotem (eds.). Springer-Verlag, Berlin. Lacy, M.L., & G.A. Pontius 1983. Prediction of weather-mediated release of conidia of Botrytis squamosa from onion leaves in the field. Phytopathology 73:670-676. Lalancete M.A. Elis, & L.V. Madden 1988a. Development of an infection efficiency Model for Plasmopara viticola on american grape based on temperature and duration of leaf wetness. Phytopathology 78:794-800.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
56
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Lalancette, L.V. Madden, & M.A. Ellis 1988b. A quantitative model for describing sporulation of Plasmopara viticola on grape leaves. Phytopathology 78:1316-1321. Rape, J.C. & R.S. Ferris 1987. A Model for Predicting the Effects of Microclimate on Infection of Soybean by Phomopsis longicola. Phytopathology 77:1162-1166 Shrum, R.D. 1975. Simulation of wheat stripe rust (Puccinia striiformis West) using EPIDEMIC, a flexible plant disease simulator. Penn. State Univ. Agric. Ext. Stn. Prog. Rep. 347. 81 pp. Sall, M.A. 1980. Epidemiology of powdery mildew: A model. Phytopathology 70:338-342. Zadoks, J.C., & R.D. Schein 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. University of Oxford Press, New York.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
57