© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan BAB IV
DASAR-DASAR PEMODELAN DALAM MEMPELAJARI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN Perusal of the phytopathological literature quickly reveals that one way epidemiologists study populations is by using mathematical and statistical models. C.L. Campbell dan L.V. Madden (1990) Rather like a classical epidemic, the development and use of mathematical models in plant pathology increased slowly at first. C.A. Giligan (1983)
A. Pendahuluan Epidemiologi penyakit tumbuhan memberikan perhatian pada pemerian dan pemahaman penyakit tumbuhan pada aras populasi. Mengingat hal ini, menjadi jelas bahwa perian dan pemahaman mengenai apa yang terjadi pada setiap individu anggota populasi menjadi tidak penting. Berbeda dengan pemerian dan pemahaman mengenai apa yang terjadi pada aras individu, pemerian dan pemahaman pada aras populasi menjadi lebih kompleks mengingat populasi terdiri atas sejumlah besar individu. Untuk mengatasi kesulitan ini diperlukan teknik tertentu untuk mengungkapkan karakteristik yang dapat digunakan sebagai penciri suatu populasi. Hal ini, sebagaimana telah disinggung dalam Bab III, dapat dilakukan melalui pemodelan. Sebagaimana pula telah disinggung pada Bab III, pemodelan pada dasarnya berkaitan dengan upaya untuk menerangkan hubungan antara satu peubah tidak bebas dengan satu atau beberapa peubah bebas. Pada Bab III juga telah diuraikan bahwa analisis regresi merupakan teknik analisis yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun pada Bab III belum diuraikan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemodelan, bagaimana relevansinya dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, dan bagaimana suatu model dibangun untuk menerangkan suatu fenomena epidemiologi penyakit tumbuhan.
B. Tujuan Instruksional 1) 2) 3)
Setelah mempelajari uraian pada bab ini, mahasiswa diharapkan mampu untuk: Menjelaskan pengertian model dan pemodelan serta menerangkan penggolongan model. Menerangkan relevansi dan arti penting model dan pemodelan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan. Menerangkan tahap-tahap perumusan model epidemi penyakit tumbuhan.
C. Materi 1. Pengertian dan Penggolongan Model a. Pengertian Model Epidemi sebagai suatu sistem terdiri atas sub-sistem dan sub-sistem terdiri atas komponen-komponen yang saling berinteraksi dalam hubungan rangsangan-tanggapan. Hubungan rangsangan-tanggapan yang terjadi dalam epidemi penyakit tumbuhan sangatlah kompleks, tetapi untuk memahami suatu epidemi seseorang tidak harus memahami semua interaksi yang terjadi melainkan hanya interaksi yang menentukan bentuk perubahan yang terjadi. Dengan memahami ciri yang menonjol dari suatu epidemi maka diharapkan diperoleh gambaran mengenai epidemi yang bersangkutan. Ciri-ciri menonjol tersebut berfungsi untuk membangun abstraksi mengenai epidemi yang sedang dihadapi. Salah satu sub-sistem dari daur infeksi, misalnya, adalah proses infeksi. Pada proses infeksi tersebut terjadi sejumlah hubungan rangsangan-tanggapan, beberapa di antaranya rangsangan yang disebabkan oleh faktor suhu, kelembaban udara, periode kebasahan permukaan daun, dan sebagainya. Di antara semua faktor rangsangan tersebut yang mempunyai hubungan yang paling menonjol dalam menentukan keberhasilan infeksi adalah periode kebasahan permukaan daun. Dengan demikian, untuk memahami proses infeksi seseorang tidak perlu
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
32
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan memahami pengaruh semua faktor rangsangan terhadap infeksi, melainkan cukup dengan memfokuskan perhatian pada faktor periode kebasahan permukaan daun. Dengan memahami hubungan periode kenasahan permukaan daun dengan jumlah lesi yang terjadi di permukaan daun maka seseorang dapat mengabstraksikan terjadinya proses infeksi. Pengabstraksian atau perepresentasian suatu realitas secara lebih sederhana atau penganalogian sesuatu yang benarbenar ada disebut pemodelan, sedangkan hasilnya adalah model. Model bukan merupakan duplikat dari realitas melainkan hanya merupakan representasi yang amat sangat lebih sederhana. Perhatikan bahwa dalam pengertian pemodelan maupun model tidak ada kata atau istilah matematika, statistika, atau komputer seperti yang umumnya dibayangkan oleh para pihak awam mengenai model. Penggolongan Model Model dapat dipilah-pilah secara skematis seperti disajikan pada Gambar 4.1. Pertamatama model dibedakan menjadi model mental dan model nyata (tangible). Model mental merupakan citra mental mengenai bagaimana sesuatu dibayangkan ada atau terjadi. Contohnya adalah bayangan mengenai jamur yang mungkin berbeda antara yang dibayangkan oleh seorang pakar penyakit tumbuhan yang dibayangkan oleh seorang pakar mikologi. Model nyata merupakan citra mental yang ditransformasikan ke dalam bentuk eksplisit, dibedakan menjadi model fisik dan model abstrak. Model fisik merupakan reproduksi dari suatu realitas secara lebih sederhana menggunakan medium fisik yang sama atau serupa. Contoh model fisik adalah pesawat terbang mainan, boneka, atau model spora jamur. Model abstrak merupakan simbolisasi dari bentuk atau fungsi suatu realitas secara non-fisik, dibedakan menjadi model kualitatif dan model kuantitatif.
b.
MODEL
MENTAL
TANGIBLE
ABSTRAK
FISIK
KUALITATIF
KUANTITATIF
MATEMATIK
STATISTIK
Gambar 4.1. Klasifikasi Model Menurut Edminster (1978) Model kualitatif merepresentasikan keadaan atau ciri terpenting dari suatu relitas, sedangkan model kuantitatif merepresentasikan realitas dengan menggunakan notasi dan simbol-simbol matematika atau statistika. Contoh model kualitatif adalah daur infeksi. Model matematik berbeda dengan model statistik dalam hal pendekatan, matematika menggunakan pendekatan deduktif sedangkan statistika menggunakan pendekatan induktif. Keduanya merupakan kelas model yang sangat penting dalam epidemiologi penyakit tumbuhan karena matematika (dan khususnya statistika) mempunyai kemampuan untuk mengekstraksi dari dunia nyata pernyataan sederhana mengenai proses atau struktur dasar, dibandingkan hanya dengan mencantumkannya sebagai data semata-mata (Jeger, 1986).
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
33
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
2. Model Kuantitatif dalam Epidemiologi Penyakit Tumbuhan a. Relevansi dan Arti Penting Model Kuantitatif Sebagaimana telah disinggung pada bab-bab sebelumnya, epidemiologi penyakit tumbuhan menitikberatkan perhatian pada perubahan keadaan penyakit pada aras populasi sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang ditimbulkan oleh berbagai faktor lingkungan. Tanggapan yang terjadi dapat dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk uraian mengenai apa yang terjadi. Misalnya, perkecambahan spora sebagai tanggapan terhadap suhu dapat diterangkan dengan menyatakan bahwa pada suhu rendah tertentu sporan tidak berkecambah dan pada suhu tinggi tertentu spora akan mati. Uraian semacam ini cukup memadai untuk tujuan tertentu, tetapi kurang memadai untuk berbagai tujuan lain. Untuk tujuan pengendalian penyakit misalnya, agar dapat dicapai pengendalian yang efektif dan efisien, perlu ditentukan pada suhu berapa sebagian besar spora tidak berkecambah. Mematikan semua spora memang dapat dilakukan dengan meningkatkan suhu, tetapi penggunaan suhu tinggi untuk menjamin terbunuhnya semua spora tentu memerlukan biaya sehingga menjadi kurang efisien. Pada Bab I juga telah disinggung bahwa dalam perkembangannya ke depan, epidemiologi penyakit tumbuhan dituntut untuk menjadi semakin kuantitatif. Hal ini tidak mengherankan mengingat, seiring dengan perkembangan komputer dewasa ini, orang akan semakin terdorong berpikir secara kuantitatif pula. Orang dengan pola berpikir kuantitatif tidak akan puas dengan pernyataan, misalnya, penyakit akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah inokulum. Orang akan bertanya, misalnya, jika dosis fungisida dilipatgandakan menjadi dua kali, berapa kali severitas atau keparahan penyakit dapat diturunkan dan kehilangan hasil tanaman dapat dikurangi dibandingkan dengan dosis semula. Uraian bahwa semakin tinggi dosis fungisida maka akan semakin efektif mengendalikan penyakit atau dosis tinggi mengakibatkan severitas atau keparahan penyakit yang lebih rendah tidak dapat digunakan untuk pengambilan keputusan mengenai dosis yang tepat agar pengendalian penyakit menguntungkan petani. Penggolongan Model Kuantitatif Sebagai contoh model matematik, perhatikan persamaan sederhana berikut: Y = 0 + 1X [4.1a] Yi = 0 + 1Xi + i [4.1b] Pada Pers. [4.1a], hubungan antara X dan Y bersifat pasti, artinya untuk setiap nilai X terdapat hanya satu nilai Y. Oleh karena itu, model matematik juga disebut model deterministik. Pada pihak lain, pada Pers. [4.1b] hubungan antara X dan Y bersifat tidak pasti karena untuk setiap nilai X terdapat bagian yang tidak dapat dijelaskan oleh Y. Bagian tersebut disebut bagian galat (error term) dan dilambangkan I sebagaimana tampak sebagai pembeda antara Pers. [4.1a] dan Pers. [4.1b]. Pada Pers. [4.1b], Y disebut peubah acak karena merupakan hasil dari fenomena yang bervariasi dan model semacam ini disebut model statistik atau model stokastik. Namun perlu diperhatikan bahwa untuk tujuan kepraktisan, model statistik tidak selalu dituliskan lengkap dengan bagian galatnya. Model statistik yang juga disebut model stokastik adalah model probabilistik. Dalam hal ini, peubah tidak bebas menyatakan peluang terjadinya suatu kejadian, misalnya peluang spora berkecambah. Salah satu di antaranya adalah distribusi statistik atau kadang-kadang disebut distribusi peluang atau fungsi densitas peluang. Sebagai contoh adalah distribusi Poisson sebagai berikut: b.
x
P(x) =
e
x!
[4.2]
Pada Pers. [4.2], P(x) menyatakan peluang terjadinya kejadian x, e adalah bilangan dasar logaritma asli (2,718...), adalah adalah parame parameter ter yang yang mewakil mewakilii rerata rerata populasi populasi,, dan x! menya menyataka takan n x faktorial. Model berdasarkan distribusi statistika banyak digunakan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan dan mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bab-bab berikut.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
34
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Model matematik dan statistik sebagai model kuantitatif diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan sifatnya, penggunaannya, dan pembuatannya. Berdasarkan linearitas dan non-linearitas parameternya; model matematik dan statistik dapat diklasifikasikan menjadi model linier dan model non-linier sebagaimana telah dibahas pada Bab III. Berikut disajikan tiga contoh model linier: 2 3 Y = 0 + 1X + 2X + 3X [4.3a] Y = 0 + 1X1 + 2log(X2) [4.3b] Y = 1sin(X) [4.3c] Pers. [4.3a] merupakan polinomial dengan X 1=X, X2=X2, dan X3=X3, demikian juga dengan Pers. [4.3b] dengan X 2=log(X2). Pers. [4.3c] merupakan persamaan linier sederhana tanpa intersep ( 0 =0) dan dengan X=sin(X) . Perhatikan bahwa pada Pers. [4.3a] terdapat tiga bagian (tidak termasuk intersep) dan pada Pers. [4.3b] terdapat dua bagian, masing-masing bagian dihubungkan dengan fungsi penjumlahan dari hasil kali parameter ( i) dengan peubah bebas (X) sehingga memenuhi syarat sebagai model linier. Pada model non-linier, parameter terdapat sebagai pangkat atau dikalikan dengan atau dibagi dengan parameter lain. Jika berikut disajikan , , , dan adalah parametemaka r empat contoh model non-linier: X Y= e [4.4a] Y= X [4.4b] Y = sin( X [4.4c] Y = ( / )X1X2 + X3 [4.4d] Model non-linier tertentu dapat ditransformasikan menjadi linier, model non-linier semacam itu disebut model non-linier yang linier secara intrinsik. Sebagai contoh, Pers. [4.4a]Pers. [4.4c] dapat dilinierkan menjadi: ln(Y) = ln( ) + X [4.5a] ln(Y) = ln( ) + ln(X) [4.5b] arcsin(Y) = X [4.5c] Sifat linier dari Pers. [4.5a]-Pers. [4.5c] dimungkinkan karena logaritma bilangan asli terhadap konstanta adalah juga konstanta, sedangkan ln(Y) dapat dilambangkan Y’, ln(X) dilambangkan X’, dan arcsin(Y) juga dilambangkan Y’. Linearisasi model dilakukan agar parameter model dapat diestimasi dengan menggunakan prosedur regresi linier. Model statistik dapat dibedakan berdasarkan pendekatan yang digunakan untuk melakukan penyuaian data menjadi model empiris, korelatif, atau deskriptif dan model mekanistik, eksplanatori, teoritis, biologis, atau kadang-kadang juga fisis. Model empiris, korelatif, atau deskriptif diperoleh dengan menyuai data dengan menggunakan model regresi tertentu tanpa disertai alasan teoritis tertentu selain semata-mata kemampuan data untuk menerangkan variasi data. Sebaliknya model mekanistik, eksplanatori, teoritis, biologis, atau fisis ditentukan dengan menerapkan teori tertentu untuk menentukan model yang akan digunakan untuk menyuai data. Untuk memahami perbedaan antara model empiris, korelatif, atau deskriptif pada satu pihak dan model mekanistik, eksplanatori, teoritis, biologis, atau fisis pada pihak lain, misalkan model akan dibuat untuk menerangkan pengaruh suhu terhadap kemampuan spora yang diinokulasikan dengan kepadatan tertentu pada buah. Jika taraf suhu yang dicobakan cukup banyak maka akan diperoleh pola sebaran infeksi buah untuk semua taraf suhu yang diuji. Atas dasar pola sebaran infeksi tersebut, dapat ditetapkan misalnya model polinomial berikut: 2 Y = 0 + 1X + 2X [4.6] Berbeda dengan pada pembuatan empiris, korelatif, atau deskriptif, pada pembuatan model mekanistik, eksplanatori, teoritis, biologis, atau fisis terlebih dahulu digunakan konsep bahwa infeksi buah oleh jamur ditentukan oleh seberapa jauh suhu menyimpang dari suhu minimum aktivitas biologis dan suhu maksimum aktivitas biologis. Untuk maksud tersebut digunakan model non-linier sebagai berikut: Y = (X-Xmin) (Xmak - jika Xmin < X < Xmak X) [4.7] Y=0 jika lain
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
35
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Pada Pers. [4.7], , , , X min, dan X mak adalah parameter. Bagian suhu yang pertama (X-X min) menyebabkan Y mula-mula meningkat seiring dengan bertambahnya suhu di atas suhu minimum sampai suhu optimum tercapai. Selanjutnya bagian suhu yang kedua (X mak -X) menyebabkan Y menurun seiring dengan bertambahnya suhu sampai mencapai 0 pada suhu Xmax. Model juga dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaannya. Model prediktif atau prakiraan adalah model yang digunakan untuk menentukan kemungkinan terjadiya peningkatan penyakit pada waktu yang akan datang berdasarkan informasi saat ini yang diberikan kepada sejumlah peubah dalam model. Sejumlah model analitik yang pengoperasiannya digabungkan dengan bantuan komputer disebut model simulasi. Peubah pada model simulasi dapat diberikan masukan sembarang nilai untuk mengetahui bagaimana perilaku sistem dalam menanggapi masukan yang diberikan. Baik dibuat secara empiris maupun mekanistik, suatu model pada akhirnya harus disuai fitted ) terhadap data untuk melihat kemampuannya menerangkan varibilitas data. Model ( fitted empiris sepenuhnya ditentukan oleh data, sedangkan model mekanistik ditentukan sebelum pengumpulan data berdasarkan informasi yang telah tersedia sebelumnya. Untuk keduanya diperlukan prosedur untuk menyuai model terhadap data dan mengevaluasi kesuaian model terhadap data yang tersedia, prosedur tersebut adalah analisis regresi yang uraiannya secara singkat telah diberikan pada Bab III. 3. Penerapan Pemodelan dalam Epidemiologi Penyakit Tumbuhan a. Taraf Kompleksitas Pemodelan Penerapan pemodelan kuantitatif dalam epidemiologi penyakit tumbuhan dilakukan pada dua taraf kompleksitas yang berbeda, yaitu pemodelan analitis dan pemodelan simulasi (simulation modelling). Kedua tingkatan pemodelan tersebut masing-masing mempunyai tujuan dan langkah-langkah pengembangan yang berbeda. Pemodelan analitis dilakukan untuk menerangkan satu peubah dengan satu atau beberapa peubah lain tanpa melibatkan langkah iteratif tertentu dalam mengoperasikan model yang dihasilkan. Dalam hal ini, jumlah peubah yang terlibat dalam model tidak terlalu banyak. Komputer diperlukan untuk merumuskan dan mengevaluasi model, tetapi tidak selalu diperlukan dalam mengoperasikan model yang telah berhasil dirumuskan. Pada pihak lain, pemodelan simulasi dilakukan dengan melibatkan banyak peubah dalam konteks sistem. Pelibatan banyak peubah dilakukan dengan melakukan penggabungan beberapa model analitis dengan menggunakan pola berpikir Bolean. Komputer diperlukan untuk merumuskan dan mengevaluasi setiap model analitis yang menjadi komponen model simulasi maupun untuk mengoperasionalkan model. Operasionalisasi model memerlukan langkah iteratif tertentu yang diintegrasikan ke dalam model melalui pemrograman komputer. Perbedaan proses kedua taraf kompleksitas pemodelan tersebut disajikan pada Gambar 4.2.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
36
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
PERUMUSAN MASALAH
PERUMUSAN MASALAH
PENGUMPULAN DATA
PENGUMPULAN DATA FORMULASI MODEL ANALITIS
modifikasi FORMULASI MODEL MATEMATIS
EVAALUASI
modifikasi PENDUGAAN PARAMETER MODEL
EVALUASI
EVALUASI
EVALUASI
MODEL
MODEL
MODEL
MODEL
ANALITIS
ANALITIS
ANALITIS
ANALITIS
EVALUASI MODEL DAN PARAMETER MODEL DITOLAK
DITERIMA
DITOLAK
PENYUSUNAN PROGRAM KOMPUTER
VALIDASI MODEL
PERANCANGAN PERCOBAAN VALIDASI
ANALISIS DATA HASIL SIMULASI
Gambar 4.2. Perbedaan Proses Pemodelan Sederhana dan Proses Pemodelan Simu-lasi Pemodelan Analitik Perumusan suatu model analitik dimulai dengan menentukan hubungan yang akan dimodelkan (dibuatkan model). Untuk menentukan suatu hubungan tertentu yang akan dimodelkan, terlebih dahulu perlu dilakukan kajian kepustakaan mengenai hubungan yang paling menentukan karakteristik suatu proses. Misalnya, proses infeksi yang disebabkan oleh jamur tertentu pada suatu tanaman dapat di pengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, atau periode kebasahan permukaan daun. Di daerah tropika, suhu dan kelembaban cenderung tidak banyak berubah sehingga kurang berpengaruh terhadap proses infeksi. Dengan demikian, dipilih hubungan periode kebasahan permukaan daun dan tingkat infeksi sebagai hubungan yang dipilih untuk memodelkan proses infeksi. Jika telah ditentukan hubungan yang akan dimodelkan maka l angkah selanjutnya adalah menentukan pendekatan pemodelan yang akan digunakan, apakah pendekatan empirik atau mekanistik. Untuk maksud tersebut, kembali harus dilakukan studi kepustakaan mengenai hubungan tersebut untuk menentukan apakah ada model biologis tertentu yang dapat digunakan. Artinya, apakah ada model yang dapat memberikan keterangan biologis mengenai suatu hubungan. Jika tidak ada maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan empirik. Dari dua pendekatan tersebut, yang manapun yang akhirnya dipilih, pada akhirnya diperlukan data. Untuk maksud tersebut diperlukan penelitian, baik berupa percobaan maupun survai. Pada kasus hubungan antara periode kebasahan permukaan daun dengan tingkat infeksi maka yang harus dilakukan untuk memperoleh data adalah percobaan. Jika seseorang ingin memodelkan hubungan antara keparahan penyakit dengan tingkat kehilangan hasil, misalnya, maka data yang diperlukan dapat dikumpulkan melalui percobaan maupun survai. Setelah data terkumpul maka model yang dipilih pada akhirnya harus disuai terhadap data yang tersedia. Penyuaian model terhadap data dilakukan dengan analisis regresi. Melalui analisis regresi ditentukan nilai parameter model, baik pada model empirik maupun pada model mekanistik, yang pada dasarnya merupakan parameter dari persamaan yang dihasilkan. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan bantuan program aplikasi statistik. Setelah model diestimasi parameter-parameternya maka langkah berikut yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi model. Evaluasi dilakukan dengan memeriksa: b.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
37
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 1)
Signifikansi model, dalam hal ini dilakukan dengan memriksa hasil uji F terhadap model yang disuai, apakah sangat nyata (p<0,01), nyata (p<0.05), atau tidak nyata (p>0,05). Suatu model dipilih jika dapat menyuai data secara nyata atau sangat nyata. 2) Signifikansi parameter model, dalam hal ini diperiksa signifikansi parameter model terhadap 0 sebab jika tidak berbeda nyata terhadap nol berarti parameter tersebut tidak perlu ada. Pemeriksanaan dilakukan dengan melihat hasil uji t setiap parameter model, apakah sangat nyata (p<0,01), nyata (p<0.05), atau tidak nyata (p>0,05). Jika tidak nyata maka parameter tersebut tidak perlu ada dan oleh karenanya model yang sesuai untuk data bukanlah model yang disuai terhadap data. 3) Koefisien determinasi model, dalam hal ini tidak terdapat kriteria tertentu tetapi model yang dipilih adalah yang mempunyai koefisien determinasi yang lebih tinggi dengan ketentuan bahwa model tersebut dapat menerangkan data secara nyata dan parameter-parameternya juga berbeda nyata terhadap 0. 4) Pola sebaran sisaan model, dalam hal ini sisaan harus tersebar di sekitar garis prediksi secara acak atau tidak membentuk pola tertentu. Pemodelan tidak selalu menghasilkan model yang dapat menyuai data. Bila hal ini terjadi maka perlu dilakukan modifikasi model dengan mencoba menyuai model alternatif terhadap data yang ada sampai akhirnya diperoleh model yang dapat menyuai data. Pemodelan analitik mempunyai arti yang sangat penting dalam memahami berbagai proses epidemiologis secara kuantitatif. Pemahaman mengenai proses infeksi, perkembangan penyakit, pemencaran patogen, dan perpencaran penyakit sebagaimana akan dibahas pada babbab selanjutnya sangat dibantu oleh pemodelan analitik. Kelahiran epidemiologi penyakit tumbuhan kuantitatif bertumpu pada pemodelan analitik untuk menerangkan perkembangan penyakit sebagaimana dilakukan oleh van der Plank (1963). Pemodelan Simulasi Pemodelan simulasi atau secara singkat simulasi merupakan perancangan model untuk memahami perilaku suatu sistem atau untuk mengevaluasi berbagai strategi pengelolaan sistem. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, suatu model simulasi terdiri atas sejumlah submodel yang mewakili berbagai komponen sistem. Pemodelan simulasi dengan demikian merupakan bagian dari analisis sistem yang merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami hubungan sebab-akibat berganda sebagaimana terjadi dalam epidemi penyakit tumbuhan. Mengingat simulasi melibatkan banyak hubungan antar peubah maka langkah penting dalam pengembangan model simulasi atau simulator adalah menyajikan hubungan dalam suatu diagram yang dikenal sebagai diagram di agram simulasi. Penyusunan model simulasi dilakukan dengan menyusun sub-model dengan pendekatan dan langkah-langkah sebagaimana pada penyusunan model analitik. Setelah setiap model analitik dievaluasi lalu diintegrasikan melalui pemrograman komputer untuk menyusun model simulasi maka dilakukan verifikasi model untuk menentukan apakah model bekerja sebagaimana yang diharapkan. Langkah terakhir yang lazim dilakukan dalam pemodelan simulasi adalah validasi model yang dilakukan dengan memasukkan data lapangan ke dalam simulasi dan membandingkan hasil smulasi dengan keadaan epidemi yang terjadi di lapangan. Pada saat ini sudah banyak simulator yang dikembangkan untuk berbagai macam penyakit pada tanaman yang berbeda. Sebagian simulator dikembangkan sekedar untuk memudahkan pemahaman holistik terhadap epidemi, sebagian lebih maju selangkah untuk mengendalikan epidemi yang sedang terjadi. Uraian lebih mendalam mengenai pemodelan simulasi akan diberikan dalam bab mengenai prakiraan dan simulasi epidemi penyakit tumbuhan. Ketika simulasi mulai dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1070-an, terjadi euforia mengenai dampak yang akan ditimbulkannya terhadap perkembangan epidemiologi penyakit tumbuhan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, banyak simulator yang hanya dikembangkan dan dipublikasikan dan setelahnya tidak digunakan. Salah satu kritik yang tajam terhadap pemodelan simulasi diberikan justeru oleh Vanderplank (1982) dengan menyatakan pemodelan simulasi tidak mungkin akurat karena penggabungan sub-komponen akan disertai dengan penggabungan kesalahan yang menyertai setiap sub-komponen. Meskipun
c.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
38
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan demikian, pemodelan simulasi tetap bermanfaat sebagai wahana unt uk memperoleh pemahaman holistik terhadap epidemi sebagai sistem yang kompleks. Uraian lebih mendalam mengenai simulasi dalam epidemiologi penyakit tumbuhan akan diberikan pada Bab XI.
D. Evaluasi Untuk mengetahui kemampuan pemahaman yang telah diperoleh dari membaca uraian dalam bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyyan berikut ini: 1) Kapankah perlu digunakan model mekanistik dan kapan digunakan model empirik dalam pemodelan epidemi penyakit tumbuhan? 2) Sebutkan dan jelaskan kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi suatu model epidemi penyakit tumbuhan. 3) Jelaskan apa yang harus dilakukan jika model yang digunakan ternyata tidak dapat menyuai data. 4) Sebutkan perbedaan antara pemodelan analitik dan pemodelan simulasi dan penggunaan masing-masing dalam epidemiologi penyakit tumbuhan. 5) Peranan apa yang dapat diberikan oleh pemodelan simulasi dalam memahami epidemi penyakit tumbuhan?
E. Tugas Berstruktur Seorang mahasiswa melakukan pengukuran jumlah bercak yang disebabkan oleh Cercospora arachidicola pada daun kacang tanah dan menaksir proporsi luas permukaan bercak terhadap luas total permukaan daun. Hasil pengamatannya disajikan sebagai berikut: JUMLAH SEVERITAS Data tersebut kemudian digunakan untuk membuat kurva BERCAK (X) (%) hubungan antara jumlah bercak per helai daun dengan 3 0.04 severitas bercak daun dengan hasil sebagai berikut: 2 1 1 2 3 4 2 1 1 2 5 5 4 0 2 1 1 2 3
0.02 0.01 0.02 0.04 0.05 0.05 0.025 0.02 0.015 0.03 0.05 0.045 0.05 0 0.01 0.01 0.01 0.03 0.03
0.06 ) I S R 0.05 O P O 0.04 R P ( 0.03 S A T I 0.02 R E V 0.01 E S 0
0
1
2
3
4
5
6
JUMLAH BER B ERCAK PER DAUN
Setelah mengamati kurva di atas, mahasiswa tersebut berpikir bahwa terdapat hubungan tertentu antara jumlah bercak per helai daun dan severitas bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora arachidicola pada kacang tanah. “Kalau demikian”, kata sang mahasiswa dalam hati, “daripada saya susah-susah mengamati severitas lebih baik saya hanya mengamati jumlah bercak saja dan kemudian berdasarkan jumlah bercak tersebut saya dapat menentukan nilai severitas”. Untuk mewujudkan pikiran sang mahasiswa tersebut, bantulah dia memodelkan hubungan antara jumlah bercak dan severitas bercak daun Cercospora arachidicola pada tanaman kacang tanah menggunakan data di atas. Tentukan apakah model yang dihasilkan merupakan model mekanistik atau model empirik, model analitik atau model simulasi. Cantumkan hasil evaluasi model dari beberapa bentuk model yang dicoba disuai terhadap data. Daftar Pustaka
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
39
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Alderman, S.C., & M.K. Beute 1987. Influence of Temperature, Lesion Water Potential, and Cyclic Wet-Dry Periods on Sporulation of Cercospora arachidicola on Peanut. Phytopathology 77:960-963 Campbell, C.L., & L.V. Madden 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wiley & Sons, New York. DeWitt, C.T., & J. Goudriaan 1978. Simulation of Ecological Processes. PUDOC, Wageningen nd Draper , N., & H. Smith 1981. Applied Regression Analysis. 2 ed. John Wiley & Sons, New York Hau, B. 1985. Epidemiologische simulatoren als Instrumente der Systemanalyse mit besonderer Berucksichtigung eines Modells der Gerstenmehltaus. Acta Pytomed. 9:1-101 Jegger, M.J. 1986a. Epidemics of Phymatotrichum Rot Rot ( Phymatotrichum omnivorum) in Cotton: Environmental Correlates of Final Incidence and Forecasting Criteria. Ann. Appl. Biol. 109:523-534 Jegger, M.J. 1986b. The Potential of Analytic Compared with Simulation Approaches to Modelling in Plant Disease Epidemiology. In: K.J. Leonard and W.E. Fry (eds.) p. 255281. Plant Disease Epidemiology, Vol. 1: Population Dynamics and Modelling. Macmillan Publishing Company, New York Shannon, R.E. 1975. Sistem Simulation: The Art and Science. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ, USA Van der Plank, J.E. 1963. Plant Diseases: Epidemics and Control. Academic Press, New York.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
40