© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan BAB III
DASAR-DASAR MEMAHAMI ASPEK KUANTITATIF EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN Without quantification of disease, no studies in epidemiology, no assessment of crop loses, and no plant disease surveys and their application would be possible J. Kranz (1988)
A. Pendahuluan Epidemiologi penyakit tumbuhan mengkaji perubahan penyakit tumbuhan pada aras populasi dan komunitas. Perubahan dalam hal ini berkaitan dengan perbedaan dari suatu waktu tertentu ke waktu lainnya atau dari suatu tempat tertentu ke tempat l ainnya. Pada pihak lain, aras populasi dan komunitas berkaitan dengan individu dalam jumlah besar yang berinteraksi secara kompleks satu sama lain. Interaksi tersebut harus mampu dipilah-pilah dan ditentukan mana yang paling menentukan. Jika interaksi yang paling menentukan tersebut telah berhasil diidentifikasi maka selanjutnya perlu ditentukan bentuk hubungan yang terjadi. Pada bab-bab sebelumnya telah disampaikan bahwa perkembangan epidemiologi penyakit tumbuhan kini telah mengarah kepada epi demiologi kuantitatif. Perbedaan yang terjadi harus dapat dinyatakan secara kuantitatif terhadap satuan waktu atau jarak. Demikian juga dengan bentuk hubungan yang terjadi, harus dapat dkuantifikasi sejauh mana akan terjadi perubahan tanggapan sebagai akibat dari perubahan rangsangan yang diberikan. Pada bab ini akan diuraikan secara singkat dasar-dasar matematik dan statistik yang diperlukan untuk memudahkan pemahaman mengenai epidemiologi penyakit tumbuhan sebagai ilmu kuantitatif. Uraian diberikan sekedar untuk menyegarkan kembali ingatan mengenai prinsip-prinsip matematika dan statistika yang relevan dengan konsep-konsep epidemiologi penyakit tumbuhan.
B. Tujuan Instruksional Setelah membaca uraian pada bab ini i ni mahasiswa diharapkan dapat: 1) Menggunakan matematika dan statistika untuk mengkuantifikasi keadaan penyakit tumbuhan. 2) Menggunakan matematika dan statistika untuk mengkuantifikasi perubahan keadaan penyakit tumbuhan. 3) Menggunakan matematika dan statistika untuk mengkuantifikasi hubungan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan.
C. Materi 1. Kuantifikasi Keadaan Penyakit a. Arti Penting, Pengertian, dan Perkembangan Kuantifikasi Keadaan Penyakit Penyakit yang diderita tanaman dapat dinyatakan secara kualitatif, misalnya sebagai ringan, sedang, atau berat. Namun pernyataan keadaan penyakit secara kualitatif tersebut sangat kurang memadai seiring dengan perkembangan epidemiologi penyakit tumbuhan yang mengarah kepada epidemiologi kuantitatif. Jauh sebelum pendekatan kuantitatif digunakan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyatakan keadaan penyakit tumbuhan secara kuantitatif. Keadaan penyakit secara kuantitatif secara umum kini dirujuk sebagai intensitas penyakit yang bermakna jumlah penyakit yang terdapat pada satu individu tanaman, pada suatu petak pertanaman, atau pada suatu wilayah. Pada 1924, Nuvarov, seorang Rusia, membedakan penyakit menjadi dua kategori, yaitu (1) penyakit yang merusak atau yang pada akhirnya mematikan organ atau individu tanaman secara keseluruhan dan (2) penyakit yang tidak merusakkan organ atau individu tanaman secara keseluruhan. Nuvarov berpendapat bahwa cara menyatakan kuantitas penyakit harus dibedakan antara kedua kategori penyakit tersebut. Pada 1930, Tehon dan Stout memperkenalkan istilah intensitas penyakit untuk mengacu kepada
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
18
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan kuantitas penyakit yang diderita oleh satu individu tanaman dan prevalensi penyakit untuk mengacu kepada kuantitas individu tanaman sakit dalam satu petak pertanaman. Kini, sebagaimana telah disinggung pada Bab II, kuantitas penyakit dibedakan menjadi keparahan penyakit (disease severity), frekuensi penyakit (disease incidence), dan prevalensi penyakit (disease prevalence). Kuantifikasi penyakit tumbuhan sejak awal dikembangkan oleh para peneliti tanpa koordinasi untuk memungkinkan dihasilkan ukuran kuantitas penyakit yang berlaku umum. Menyadari hal ini, sejak awal 1900-an, telah diupayakan untuk mengembangkan teknik kuantifikasi dan pengukuran kuantitas penyakit yang dapat berlaku umum. Upaya tersebut dipelopori oleh USDA untuk penyakit-penyakit serealia, British Mycological Society untuk penyakit gosong, kudis apel, dan hawar kentang, dan American Phytopathological Society untuk penyakit pada umumnya. Upaya-upaya tersebut ternyata tidak banyak membuahkan hasil dan para peneliti terus mengembangkan teknik kuantifikasi dan penyajian ukuran kuantitas penyakit masing-masing. Peringkasan Data Kuantifikasi Penyakit Kuantifikasi penyakit menyangkut dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain, yaitu (1) pelaksanaan kuantifikasi untuk memperoleh data kuantitas penyakit dan (2) peringkasan data kuantitas penyakit hasil pelaksanaan kuantifikasi. Pelaksanaan kuantifikasi menyangkut penetapan satuan yang kuantitas penyakitnya akan diukur, cara mengambil satuan tersebut di antara banyak satuan di lapangan, dan cara menilai kuantitas penyakit pada setiap satuan. Hal ini akan diuraikan secara rinci pada Bab VIII dan Bab IX. Sebagai dasar untuk memahami bab-bab berikutnya, pada bab ini akan disajikan secara ringkas hanya uraian mengenai peringkasan data kuantitas penyakit ( summarizing disease intensity data). Peringkasan data kuantitas penyakit dimaksudkan sebagai upaya untuk menyajikan data kuantitas penyakit hasil pengukuran di lapangan ke dala m satuan kuantitas penyakit. Pada 1923, untuk mengukur kuantitas penyakit busuk akar gandum McKinney menggunakan peringkat (rating) 0,00, 0,75, 1,00, 2,00, dan 3,00 untuk menyatakan kuantitas penyakit yang berkisar dari tanaman sehat sampai parah. Dari peringkat tersebut, ia kemudian menghitung peringkat infeksi (infection rating, IR) sebagai:
b.
n
X i IR (100)=
i 1
Nx3
x100
[3.1]
dengan keterangan: Xi=peringkat penyakit hasil pengamatan, N=jumlah tanaman diinokulasi, 3=nilai peringkat penyakit tertinggi, dan 100=tetapan IR maksimum. Perhatikan bahwa IR tidak dinyatakan dalam persentase, meskipun menghasilkan nilai tertinggi 100. Dalam perkembangannya, peringkat infeksi yang dibuat oleh McKinney tersebut dimodifikasi dan digunakan untuk menghitung intensitas penyakit (I) dari data pemberian skor penilaian penyakit: n
(v * n ) i
I (%)=
i 1
N * Z
i
x100
[3.2]
dengan keterangan: v=nilai skor penyakit pada satuan pengamatan ke-i, n=jumlah satuan pengamatan dengan skor tertentu, N=jumlah seluruh satuan pengamatan yang diberikan skor, dan Z=skor yang ditetapkan tertinggi. Manfaat penggunaan Pers. [3.2] untuk meringkaskan data hasil kuantifikasi penyakit sangat tergantung pada cara pelaksanaan kuantifikasi penyakit yang dilakukan, dalam hal ini untuk memperoleh nilai v. Bila v dinilai sebagai skor maka intensitas penyakit (dalam satuan persentase) yang dihasilkan mempunyai setidak-tidaknya dua kelemahan mendasar: 1) Ketelitian nilai intensitas penyakit sangat dipengaruhi oleh kriteria pemberian skor yang digunakan pada saat penilaian penyakit di lapangan.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
19
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 2)
Mengingat skor berskala ordinal maka intensitas penyakit yang dihasilkan, meskipun dalam satuan persen, tetap berskala ordinal. Dengan demikian, perubahan skor menjadi persentase dengan menggunakan Pers. [3.2] bersifat mengelabui. Sebagaimana telah banyak disinggung dalam buku-buku teks statistika, data ordinal mempunyai sifat yang berbeda dengan data rasio, misalnya tidak berdistribusi normal sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan analisis ragam sebagaimana dapat dilakukan terhadap data berskala rasio. Pers. [3.2] tetap dapat digunakan untuk meringkaskan data hasil pengukuran penyakit di lapangan, asalkan pengukuran dilakukan bukan dengan menggunakan skor. Sebagaimana telah disinggung pada Bab II, pendekatan populasi dalam melakukan kuantifikasi penyakit dapat diterapkan pada tingkat areal pertanaman, individu atau organ tanaman, atau gejala penyakit berturut-turut untuk menghasilkan ukuran penyakit yang disebut prevalensi penyakit, frekuensi penyakit, atau keparahan penyakit. Jauh sebelum kuantifikasi intensitas penyakit dilakukan tanpa menggunakan acuan prinsip matematika yang jelas sebagaimana sekarang banyak terjadi, pada 1924 Naumov telah mengajukan cara peringkasan data kuantifikasi penyakit secara sistematik sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Cara Peringkasan Data Kuantifikasi Penyakit Menurut Naumov Satuan Pengamatan Ukuran Kuantitas Penyakit 1) Derajat penyakit setiap organ (d) d 1 d 2 ... d n Rearata Organ: RO=
n'
2)
Jumlah organ sakit per individu tanaman (n’) 3) Jumlah seluruh organ per individu tanaman (n) 4) Jumlah individu tanaman sakit per satuan areal (N’) 5) Jumlah seluruh individu tanaman per satuan areal (N) 6) Jumlah satuan areal tanaman sakit di suatu wilayah (A’) 7) Jumlah seluruh areal tanaman di suatu wilayah (A) Sumber: USDA Plant Disease Survey (1950)
Rerata Tanaman: RT=
Rerata Areal: RA=
RO * n' n
RT * N '
Rerata Wilayah: RW=
N RA * A' A
Cara peringkasan data kuantitas penyakit yang diajukan Naumov tersebut menjadi dasar peringkasan data kuantitas penyakit secara matematis yang kemudian berkembang dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan. Dengan menggunakan prinsip yang dikemukakan Naumov, USDA Plant Disease Survey (1950) memodifikasi Pers. [3.2] untuk menghitung prevalensi penyakit menjadi: n
(v * n ) i
I (%)=
i 1
N
i
x100
[3.3]
dengan keterangan: v=bernilai 1 bila ditemukan tanaman sakit pada areal ke-i, n=luas areal pertanaman dengan tanaman sakit, dan N=jumlah seluruh areal pertanaman yang diamati. Dalam hal ini, bila diinginkan untuk memperoleh nilai prevalensi penyakit yang lebih teliti, v dapat diberi nilai taksiran proporsi luas areal pengamatan yang benar-benar berpenyakit. Pers. [3.3] juga dapat digunakan untuk meringkaskan data pengamatan frekuensi penyakit atau keparahan penyakit. Bila digunakan untuk meringkaskan data frekuensi penyakit maka v bernilai 1 untuk setiap individu atau organ tanaman sakit, n menyatakan jumlah individu atau organ tanaman sakit, dan N=menyatakan jumlah seluruh organ atau individu tanaman yang diamati, tergantung pada satuan pengamatan yang digunakan. Bila untuk meringkaskan data
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
20
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan keparahan penyakit, penggunaan Pers. [3.3] sangat tergantung pada cara keparahan penyakit diamati. Bila keparahan penyakit dari setiap satuan pengamatan berupa taksiran proporsi penyakit maka v menyatakan nilai taksiran proporsi penyakit, n menyatakan jumlah organ atau individu tanaman dengan taksiran proporsi penyakit tertentu, dan N menyatakan jumlah seluruh organ atau individu tanaman yang ditaksir keparahan penyakitnya. Dalam hal nilai taksiran penyakit pada setiap organ atau individu tanaman dinyatakan dalam persentase maka angka 100 sebagai faktor konversi menjadi tidak diperlukan. Proporsi atau persentase penyakit dalam hal ini ditaksir sebagai proporsi atau persentase luas permukaan atau volume organ atau individu tanaman yang menunjukkan gejala penyakit tertentu. Penaksiran dilakukan dengan menggunakan teknik yang akan diuraikan secara rinci pada Bab VIII dan Bab IX. Untuk penyakit dengan luka yang berukuran tetap pada akhir proses infeksi, misalnya penyakit dengan gejala bercak, pustul, dan penyakit dengan gejala lain yang sifat gejalanya tidak variatif, keparahan penyakit dapat dikuantifikasi sebagai padat populasi mutlak ( absolut population density) dalam jumlah luka per satuan pengamatan atau jumlah luka per satuan luas permukaan satuan pengamatan. Misalnya keparahan bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora arachidicola pada kacang tanah dapat dinyatakan sebagai padat populasi mutlak 2 dalam jumlah bercak per daun atau jumlah bercak per cm luas permukaan daun. Keparahan penyakit dalam padat populasi mutlak tersebut dapat dikonversi menjadi proporsi atau persentase dengan membaginya dengan jumlah luka maksimum yang teramati. Padat populasi mutlak juga dapat digunakan untuk menyatakan jumlah organ atau individu tanaman sakit bila penyakit yang diderita pada akhirnya akan menyebabkan organ atau individu tanaman mengalami kerusakan total atau mati. 2. Kuantifikasi Perubahan Penyakit a. Kuantifikasi Laju Perubahan Epidemi merupakan proses dinamik yang dicirikan oleh terjadinya perubahan nilai suatu peubah tertentu sebagai akibat dari perubahan nilai peubah lainnya. Dalam epidemi penyakit tumbuhan, perubahan dinyatakan sebagai nilai intensitas penyakit yang berubah seriring dengan perubahan waktu dan ruang. Perubahan yang terjadi dalam satuan waktu maupun dalam satuan jarak dikuantifikasi sebagai laju. Laju merupakan peubah epidemi yang tidak diukur secara langsung, melainkan diturunkan dari hasil pengukuran peubah lain. Pada Gambar 3.1 disajikan hasil pengukuran peubah Y yang dilakukan pada satuan tertentu peubah X untuk menghasilkan kurva yang menggambarkan laju perubahan Y terhadap X. Meskipun demikian, kurva tersebut tidak menunjukkan nilai laju perubahan yang terjadi. Laju perubahan Y seiring dengan perubahan X dapat dihitung untuk setiap titik sepanjang garis kurva. Jika dipilih titik (X 1,Y1) dan (X2,Y2) maka perubahan dalam Y adalah Y=Y2-Y1 dan perubahan dalam X adalah X=X2-X1 sehingga nilai laju perubahan rata-rata yang t erjadi adalah:
Y Y 2 Y 1 X X 2 X 1
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
[3.4]
21
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 1.0
0.8
0.6 Y
0.4
0.2
0.0 0
20
40
60
80
100
X
Gambar 3.1. Penurunan Laju Perubahan dari Kurva Hubungan Y dengan X Laju perubahan rata-rata yang dihitung dengan menggunakan Pers. [3.4] mengasumsikan hubungan yang berbentuk garis lurus antara Y dan X. Jika hubungan antara Y dan X tidak berbentuk garis lurus seperti pada Gambar 3.1 maka laju perubahan yang terjadi pada setiap titik di sepanjang garis kurva tidaklah konstan. Pada Gambar 3.1 tampak bahwa laju perubahan lebih tinngi pada titik yang mendekati (X1,Y1) dan menurun ketika mendekati titik (X2,Y2). Untuk menentukan nilai yang lebih akurat pada titik (X 1,Y1) maka digunakan X yang lebih kecil dengan memilih nilai Y2 pada X2 yang lebih dekat terhadap X1. Jika X dibuat sedemikian kecilnya maka Y/ X dapa dapatt diny dinyat atak akan an seb sebag agai ai dY/ dY/dX dX,, yait yaitu u laju laju sek seket etik ikaa perubahan Y terhadap X dan bukan merupakan laju rata-rata sepanjang selang X 1 dan X2. Jika X semakin kecil maka titik (X2,Y2) akan semakin mendekati titik (X1,Y1) dan garis yang menguhungkan kedua titik menjadi garis tangen kurva pada titik (X1,Y1). Garis tangen titik-titik tertentu merupakan kemiringan (slope) kurva pada titik yang bersangkutan. Dalam kaitan dengan perubahan Y seiring dengan perubahan X, kemiringan tersebut merupakan laju perubahan yang secara matematik merupakan turunan pertama Y terhadap X yang dituliskan sebagai: dY Y = lim [3.5a] 0 X dX X
dY dX
= lim
X 0
f ( X X ) f ( X )
[3.5b]
X
Pada Pers. [3.5], Y=f(X), yaitu Y sebagai fungsi X. Jika misalkan f(X) sama dengan polinomial: Y=b0+b1X+b2X2 maka dY/dX dapat dituliskan sebagai:
dY dX
= lim
X 0
2 2 [b0 b1 ( X X ) b2 ( X X ) ] (b0 b1 b2 X )
X
[3.6]
yang dapat ditunjukkan sama dengan b 1+2b2X. Aturan mengenai cara penghitungan turunan suatu fungsi dapat diperoleh dari buku-buku teks kalkulus sehingga penggunaan limit tidak diperlukan. Dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, penghitungan laju perubahan seringkali harus dilakukan berdasarkan data dan bukan berdasarkan fungsi yang telah diketahui. Oleh karena itu, kecuali dilakukan terhadap fungsi yang telah diketahui atau ditentukan sebelumnya, penggunaan turunan tidak dapat dilakukan. Sebagai pendekatan, dapat digunakan Pers. [3.5]. Sebagai contoh, penggunaan Pers. [3.5] disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Penggunaan Persamaan 3.5 untuk Menghitung Laju Perubahan X Y Y/ X=(Y-Yi-1)/(Xi-Xi-1) i
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
22
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 10 20 30 45 Laju Rata-rata
5 15 20 23
(15-5)/(20-10)=10/10=1,0 (20-15)/(30-20)=5/10=0,5 (23-20)/(45-30)=3/15=0,2 (1,0+0,5+0,2)/3=0,5667
Penggunaan Pers. [3.5] untuk menghitung laju perubahan sangat tergantung pada bentuk hubungan antara Y dengan X dan jarak X yang digunakan. Jika hubungan antara Y dengan X merupakan garis lurus maka perhitungan dengan menggunakan persamaan tersebut akan memberikan hasil yang selalu tepat, pada titik X manapun penghitungan dilakukan. Namun bila hubungan antara Y dengan X bukan merupakan garis lurus seperti halnya pada Gambar 3.1 maka hasil yang semakin tepat akan diperoleh manakala digunakan titik-titik X dengan jarak yang semakin dekat. Pendekatan alternatif yang dapat digunakan dalam menghitung laju perubahan dari data hasil pengamatan adalah penggunaan persamaan:
h1 Y 2 (h2 h1 )Y 1 h2 Y 0 2
dY / dX
2
2
2
h1 h2 (h1 h2 )
[3.7]
Dengan menggunakan data pada Tabel 3.1 maka jika X 1=20 maka h1=10 (yaitu 20-10) dan h2=10 (yaitu 30-20). Hasil penghitungan laju perubahan yang diperoleh pada titik X 1=20 adalah 0,75. Penghitungan dapat diteruskan untuk titik X 2=30 yang menghasilkan laju perubahan sebesar 0,38. Dengan menggunakan pendekatan ini, laju rata-rata yang dihasilkan adalah sebesar 0,5650. Kuantifikasi Luas Daerah di Bawah Kurva Selain dengan menggunakan laju, kuantifikasi perubahan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan juga dapat dilakukan dengan menggunakan luas di bawah kurva perubahan. Kurva peribahan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan adalah kurva yang menggambarkan perkembangan penyakit sehingga luas daerah di bawah kurva disebut luas daerah di bawah kurva perkembangan penyakit. Jika hubungan antara intensitas penyakit Y dengan waktu X dapat dinyatakan sebagai fungsi f(X) maka penghitungan luas daerah di bawah kurva perkembangan penyakit dapat dilakukan dengan integrasi yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari turunan. Sebagai contoh, perhatikan kurva hubungan antara Y dan X pada Gambar 3.2. Sumbu X dapat dibagi menjadi ruas-ruas yang masing-masing mempunyai panjang X mem membe bent ntuk uk suat suatu u per perse segi gi panjang dengan tinggi f(X). Namun tinggi f(X) tidaklah sama pada dua titik antara X dan X+ X sehing sehingga ga dig diguna unakan kan f(X) f(X)*= *=[f( [f(X)+ X)+f(X f(X+ + X)]/2 X)]/2 deng dengan an asum asumsi si bahwa bahwa peru peruba bahan han f(X) f(X) sepanjang interval X merupak merupakan an garis garis lurus. lurus. Luas Luas di di bawah bawah kurva kurva antar antaraa X=a ke X=b X=b diberikan oleh persamaan: b.
LDBK a b
x b
[ f ( X )*][X ]
[3.8a]
x a
LDBK a b
x b
{[ f ( X ) f ( X X )] / 2
x a
[3.8b]
Bila X menjadi menjadi sedemikian sedemikian kecil kecil maka maka f(X) akan semakin semakin menjadi menjadi sama sama dengan dengan f(X) f(X) dan dan dalam hail ini Pers. 3.8 dapat dituliskan menjadi:
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
23
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 20 18 16 ) 14 % ( 12 s a t i r 10 e v 8 e S 6
4 2 0 0
3
6
9
12
15
18 18
21
Waktu (Hari)
Gambar 3.2. Cara Melakukan Integrasi dengan Membuat Kotak-kotak Trapesium Sepanjang Kurva. Daerah yang diarsir menunjukkan daerah seluruh trapesium dengan nilai f(X) terendah dan tertinggi sepanjang X.. x b
LDBK ab
f ( X )dX
[3.9]
x a
Pada Pers. [3.9], tanda merupakan tanda integral untuk menyatakan penjumlahan ber turut-turut suatu peubah kontinyu (bandingkan dengan tanda yang yang dig diguna unaka kan n untu untuk k meny menyat ataka akan n penjumlahan berturut-turut peubah diskret). Pengamatan penyakit dilakukan dalam tenggang waktu diskret X yang merupa rupak kan selisih antara dua waktu pengamatan berturut-turut sehingga X=t(i+ (i+i)-ti. Mengingat Y=f(X) maka [f(X)+f(X+ X)] X)] dapa dapatt diny dinyat atak akan an seb sebag agai ai Yi+Y(i+i). Dengan demikian penghitungan LDBK terhadap hasil pengamatan penyakit yang dilakukan secara berturut-turut dalam waktu t dapat dihitung dengan menggunakan persmanaan:
LDBK i n
n
(Y i i Y i )
i 1
2
(t i i t i )
[3.10]
Contoh penghitungan LDBK dengan menggunakan Pers. [3.10] disajikan pada Tabel 3.3. Mengingat pengamatan dilakukan dalam tenggang waktu dengan satuan hari dan penyakit diukur sebagai severitas dengan satuan % maka LDBK yang dihasilkan mempunyai satuan %*hari. Tabel 3.3. Penggunaan Pers. [3.10] untuk Menghitung Luas di Bawah Kurva t (hari) Y (%) ti+i-ti (Yi+Yi+i)/2 [(Yi+Yi+i)/2]* ti+iti (%*hari) 10 5 10 20/2=10 100 20 15 5 26/2=13 65 25 11 Luas Daerah di Bawah Kurva 165 3. Kuantifikasi Hubungan a. Pengertian Hubungan Hubungan mempunyai pengertian yang luas. Dalam pengertian sehari-hasi, hubungan dapat menyatakan keterkaitan tanpa sebab akibat, keterkaitan sebab akibat, keterkaitan sebab akibat timbal balik, dan sebagainya. Hubungan dalam pengertian sehari-hari tersebut
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
24
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan mempunyai makna yang lebih luas dari pengertian hubungan yang digunakan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan. Dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, dua peubah ( variables), misalkan X dan Y, dikatakan berhubungan bila keduanya dapat dinyatakan dalam persamaan Y=f(X). Dalam hal ini, X merupakan peubah bebas (independent variable) dan Y merupakan peubah tidak bebas (dependent variable). Meskipun demikian, X tidak selamanya dapat merupakan penyebab terjadinya Y. Misalnya, jika X menyatakan insidensi atau frekuensi penyakit dan Y menyatakan severitas atau keparahan penyakit maka dapat dibuat pernyataan hubungan Y=f(X), tetapi tidak berarti insidensi atau frekuensi penyakit merupakan penyebab severitas atau keparahan penyakit. Pada pihak lain, bila X menyatakan konsentrasi inokulum dan Y menyatakan severitas atau keparahan penyakit yang diperoleh dari suatu percobaan terkendali maka dalam hubungan Y=f(X) dapat dikatakan X sebagai penyebab perbedaan nilai Y. Analisis Regresi untuk Menyatakan Hubungan secara Kuantitatif Mengingat pengertiannya dalam epidemiologi penyakit tumbuhan sebagaimana telah diuraikan di atas maka analisis regresi digunakan untuk menentukan ada atau tidak adanya hubungan. Analisis regresi pada dasarnya merupakan analisis untuk menentukan hubungan antara peubah tidak bebas Y dengan peubah bebas X dalam bentuk fungsi Y=f(X). Hubungan antara peubah tidak bebas Y dengan peubah bebas X dapat bersifat linier atau non-linier. Hubungan antara peubah tidak bebas Y dan peubah bebas X dikatakan linier jika dapat disederhanakan menjadi:
b.
p 1
Y= (b j X j )
[3.11]
j 0
Dalam hal ini, Y merupakan fungsi penjumlahan sejumlah p bagian, setiap bagian merupakan hasilkali parameter dengan peubah. Dengan kata lain, suatu hubungan dikatakan linier bukan karena jika digambarkan menghasilkan plot yang berupa garis lurus, melainkan semata-mata berdasarkan kedudukan peubah Y terhadap peubah X. Suatu hubungan linier dapat merupakan hubungan antara peubah tidak bebas Y dengan satu atau beberapa peubah bebas X. Jika merupakan hubungan antara satu peubah tidak bebas Y dengan satu peubah bebas X maka hubungan linier tersebut dikenal sebagai hubungan linier sederhana, sedangkan bila merupakan hubungan antara satu peubah tidak bebas Y dengan beberapa peubah bebas X maka hubungan linier tersebut dikenal sebagai hubungan linier ganda. Dalal hubungan linier ganda peubah bebas X yang lain dapat merupakan perpangkatan terhadap 2 peubah bebas yang satu, misalnya X dan X , atau dapat juga merupakan peubah bebas yang benar-benar berbeda, misalnya X1 dan X2. Bila peubah bebas yang lain merupakan perpangkatan dari peubah bebas yang satu maka hubungan linier ganda yang dihasilkan disebut hubungan polinomial. Untuk memahami penggunaan analisis regresi untuk menentukan hubungan antara peubah tidak bebas Y dan peubah bebas X, misalkan tersedia data sebagaimana disajikan pada Gambar 3.3. Analisis regresi dimulai dengan mengasumsikan bahwa suatu model regresi dapat digunakan untuk menyuai (to fit ) data. Memperhatikan sebaran data, misalnya model regresi yang dapat menyuai data adalah: Yi= 0+ 1Xi+ i 3.12 Pada Pers. [3.12], X dan Y adalah peubah (yaitu satu nilai tertentu yang tidak tetap) dan 0 dan 1 adalah konstanta. Jika Y diplot terhadap X maka akan dihasilkan garis lurus dengan kemiringan (slope) 1 dan intersep (nilai Y bila X=0) 0. Y disebut peubah tidak bebas atau peubah tanggapan, sedangkan X disebut peubah bebas atau prediktor. Penggunaan istilah perubah tanggapan dan peubah bebas tidak dimaksudkan untuk menyatakan adanya hubungan sebab akibat antara X dan Y. Memperhatikan sebaran data pada Gambar 3.3 maka dapat dibuat beberapa garis untuk menyatakan hubungan antara peubah tidak bebas Y dan peubah bebas X. Tiap garis yang dibuat akan memiliki nilai 0 dan 1 yang berbeda. Analisis regresi dilakukan untuk menentukan garis yang pling tepat, di antara banyak kemungkinan garis, untuk menyatakan hubungan antara
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
25
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan peubah tidak bebas Y dan peubah bebas X. Dengan kata lain, analisis regresi dilakukan untuk menentukan nilai 0 dan 1 yang paling sesuai untuk menyatakan hubungan antara peubah tidak bebas Y dan peubah bebas X. 70 60 50 40
Y
30 20 10 0 0
20
40
60
80
1 00
X Y
P
P1
P2
Gambar 3.3. Tiga Garis (P, P1, dan P2) untuk Menyatakan Hubungan antara Peubah Tidak Bebas Y dan Peubah Bebas X Selain asumsi bahwa suatu model regresi dapat digunakan untuk menyuai, penggunaan analisis regresi untuk menyatakan hubungan antara peubah tidak bebas Y dan peubah bebas X didasarkan atas sejumlah asumsi: 1) Y dan ) dan merup merupaka akan n peu peubah bah yang yang bersif bersifat at acak acak,, seda sedangk ngkan an X bers bersifa ifatt tet tetap ap fixed ( diketahui. 2) Untuk setiap nilai X terdapat suatu populasi nilai Y dengan rerata E(Y) yang bernilai = 0+ 1Xi. 3) Bagian galat, i, yang merupakan simpangan Yi dari E(Y), diasumsikan berdistribusi 2 normal dan bebas satu sama lain dengan rerata 0 dan ragam yang bernilai tetap [secara 2 2 ringkas dituliskan i NID(0, ) atau i NID( 0+ 1Xi, )]. Untuk menentukan nila 0 dan 1 yang paling tepat, berbagai nilai dapat dipilih dan kemudian ditentukan nilai yang mana yang menghasilkan jumlah kuadrat berda (JKB): n
JKB =
(Y Y )
i
2
i
[3.13]
i 1
yang bernilai paling rendah (minimum). Cara seperti ini tentu saja tidak praktis mengingat kalkulus dapat digunakan untuk mencari persamaan dengan nilai 0 dan 1 tertentu yang akan menghasilkan JKB terendah. Teknik penentuan nilai 0 dan 1 untuk menghasilkan JKB terendah tersebut dikenal sebagai teknik kuadrat terkecil ( least squares). Uraian rinci mengenai penggunaan teknik kuadrat terkecil tersebut dapat diperoleh dari buku-buku statistika. Namun penyuaian data dengan teknik kuadrat terkecil tersebut kini tidak perlu lagi dilakukan secara manual karena untuk itu telah tersedia berbagai program aplikasi statistika yang dapat dioperasikan dengan komputer pribadi. Yang perlu dipahami adalah konsep dasar mengenai teknik tersebut dan pengertian dari bagian-bagian hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan program aplikasi statistika tersebut. Sebagai teladan penggunaan analisis regresi untuk menyuai model terhadap data, digunakan data arbitrer hasil tanaman pada saat panen sebagai perubah tidak bebas (Y) dan severitas penyakit pada suatu waktu pengamatan sebagai peubah bebas (X) (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Data Hubungan antara Severitas Penyakit (%) dan Hasil Tanaman (Kg) Severitas (%) Hasil (kg) Severitas (%) Hasil (kg) Severitas (%) Hasil (kg)
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
26
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 10 15 15 20 20 30 20
47.364 49.449 50.086 52.853 44.519 40.528 46.573
40 45 45 50 55 50 60
40.957 36.297 38.821 33.025 30.646 41.362 34.403
60 90 90 70 75 80 80
30.386 18.517 22.772 19.110 20.960 24.345 15.265
Untuk memilih model yang cocok untuk disuai terhadap data, dibuat plot antara keparahan penyakit dan hasil sebagai disajikan pada Gambar 3.4. Gambar 3.4 menunjukkan bahwa model linier sederhana (derajat 1) merupakan model yang tepat untuk menyuai data karena sebaran data pada plot menunjukkan hubungan garis lurus. Namun demikian, terhadap data juga dicoba disuai model linier serajat 1 dan model linier derajat 2 dengan menggunakan program aplikasi statistika SAS (SAS Institute Inc. 1992). Penggunaan model linier menunjukkan bahwa pendekatan pemodelan yang digunakan adalah pendekatan empirik. 60 50 40
) g k ( l i 30 s a H
20 10 0 10
30
50
70
90
Severitas (%)
Gambar 3.4. Plot Hubungan antara Severitas Penyakit (%) dan Hasil Tanaman (Kg) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa model linier derajat satu dan model linier derajat dua yang dihasilkan sebagaimana disajikan pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6 adalah berturut-turut: Y=55,6173 – 0,4213*X [3.16a] 2 Y=54,9114 – 0,3826*X – 0,0004*X [3.16b] Plot prediksi dan sisaan kedua model disajikan masing-masing pada Gambar 3.5 dan Gambar 3.6. Kedua model merupakan model empirik hubungan antara keparahan penyakit dan hasil tanaman.
Tabel 3.5. Hasil Regresi Linier Sederhana (Derajat 1) terhadap Data Keparahan Pe-nyakit dan Hasil Tanaman SIMPLE LINEAR REGRESSION ANALYSIS OF YIELD VS DISEASEL General Linear Models Procedure
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
27
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Number of observations in data set = 21 General Linear Models Procedure Dependent Variable: YIELD Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 1 2397.424201 2397.424201 165.21 0.0001 Error 19 275.712818 14.511201 Corrected Total 20 2673.137019 R-Square C.V. Root MSE YIELD Mean 3.809357 35.1541905 0.896858 10.83614 Source DISEASE
DF
Type I SS Mean Square F Value Pr > F 1 2397.424201 2397.424201 165.21 0.0001
Source DISEASE
DF
Type III SS Mean Square F Value Pr > F 1 2397.424201 2397.424201 165.21 0.0001
Parameter INTERCEPT DISEASE
T for H0: Pr > |T| Std Error of Estimate Estimate Parameter=0 Estimate 55.61729737 30.97 0.0001 1.79598552 -0.42129926 -12.85 0.0001 0.03277706
Tabel 3.6. Hasil Regresi Linier Derajat Dua terhadap Data Keparahan Penyakit dan Hasil Tanaman MULTIPLE LINEAR REGRESSION ANALYSIS OF YIELD VS DISEASEL General Linear Models Procedure Number of observations in data set = 21 General Linear Models Procedure Dependent Variable: YIELD Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 2398.447840 1199.223920 78.58 0.0001 Error 18 274.689180 15.260510 Corrected Total 20 2673.137019 R-Square C.V. Root MSE YIELD Mean 3.906470 35.1541905 0.897241 11.11239 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F DISEASE 1 2397.424201 2397.424201 157.10 0.0001 DISEASE*DISEASE 1 1.023638 1.023638 0.07 0.7986 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F DISEASE 1 95.43278076 95.43278076 6.25 0.0223 DISEASE*DISEASE 1 1.02363844 1.02363844 0.07 0.7986 T for H0: Pr > |T| Std Error of Parameter Estimate Parameter=0 Estimate INTERCEPT 54.91141465 16.69 0.0001 3.28943599 DISEASE -0.38263828 -2.50 0.0223 0.15301153 DISEASE*DISEASE -0.00039034 -0.26 0.7986 0.00150713
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
28
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 60
8
50
6
) 40 g k ( l i 30 s a H
4 ) g 2 k ( n a 0 a s i S-2 10
20
30
50
70
90
10 -4 0 10
30
50
70
90
-8
Severitas (%) Pe ng ng am am at atan
-6
Severitas (%)
Pre di di ks ks i
(a) (b) Gambar 3.5. Plot Prediksi (a) dan Sisaan (b) Regresi Linier Sederhana antara Severitas Penyakit dan Hasil Tanaman 60
8
50
6 4
) 40
g k ( l i 30 s a H
) g 2 k ( n a 0 a s 10 i S-2
20 10
30
50
70
90
-4
0
-6 10
30
50
70
90
-8
Severitas Severitas (%) Pen ga ga ma ma ta tan
Pred ik iks i
Severitas (%)
(b1) (b2) Gambar 3.6. Plot Prediksi (a) dan Sisaan (b) Regresi Linier Derajat Dua antara Severitas Penyakit dan Hasil Tanaman Selain untuk menentukan nilai 0 dan 1, program aplikasi statistika juga menyediakan fasilitas untuk menentukan apakah model regresi yang disuai terhadap data benar-benar merupakan model yang tepat. Untuk maksud tersebut, program aplikasi SAS menyediakan fasilitas uji signifikansi model dengan berdasarkan uji F dan uji signifikansi parameter model dengan berdasarkan uji t. Program aplikasi SAS juga menyediakan fasilitas diagnostik lain 2 seperti nilai koefisien determinasi (R ) dan penyajian plot sisaan. Berkaitan dengan dua model regresi yang disuai terhadap data maka pada akhirnya harus dipilih model yang paling suai. Pemilihan model dilakukan dengan menggunakan kriteria evaluasi pemilihan model sebagaimana akan diuraikan secara rinci pada Bab IV. Atas dasar kriteria yang telah ditetapkan, terutama atas dasar kriteria signifikansi parameter model, ternyata model regresi linier derajat satu merupakan model yang dapat digunakan untuk menerangkan hubungan antara keparahan penyakit dan hasil tanaman. Dengan kata lain, hasil tanaman dapat diprediksi dengan menggunakan Pers. [3.16a] dan bukan dengan menggunakan Pers. [3.16b].
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
29
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Penyuaian model regresi non linier juga dilakukan dengan prinsip kuadrat terkecil. Namun dalam hal ini, nilai kuadrat terkecil yang unik tidak dapat dihasilkan atau dengan kata lain, terdapat lebih dari satu nilai kuadrat terkecil untuk suatu model regresi non-linier tertentu yang disuai terhadap data tertentu. Dalam hal ini, penyuaian model regresi non-linier dilakukan secara iteratif dengan memberikan nilai duga awal tertentu bagi parameter model regresi yang bersangkutan. Perangkat aplikasi statistika SAS juga dapat digunaakan untuk menyuai model regresi non-linier terhadap data. Uraian tambahan mengenai model regresi non-linier akan diberikan pada Bab IV. Namun uraian mendalam mengenai penyuaian model regresi non-linier memerlukan pemahaman statistika yang mendalam dan bagi yang berminat dapat diperoleh dari buku-buku teks statistika lanjutan.
D. Evaluasi Untuk mendalami materi yang telah dipelajari dari uraian yang telah di berikan, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan singkat t etapi tepat: 3) Mengapa kuantifikasi perubahan jauh lebih penting daripada kuantifikasi keadaan dalam epidemiologi penyakit tumbuhan? 4) Mengapa Pers. [3.1] sebaiknya tidak digunakan untuk menentukan intensitas penyakit tumbuhan? 5) Apa kelebihan penggunaan pendekatan populasi untuk menentukan intensitas penyakit tumbuhan? 6) Mengapa Luas Daerah di Bawah Kurva (LDBK) dapat digunakan untuk menyatakan suatu perubahan? 7) Mengapa analisis regresi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pemodelan epidemi penyakit tumbuhan?
E. Tugas Berstruktur 8)
Kerjakan sendiri-sendiri tugas sebagai berikut: Berikut adalah data hasil pengamatan penyakit bercak daun pada kacang tanah yang dilakukan dengan pemercontohan acak berstrata (stratified random sampling), mula-mula terhadap rumpun tanaman dan kemudian terhadap da un pada setiap rumpun. Rumpun 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5
Daun 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Skor terhadap Rumpun 2
0
3
1
3
Jumlah Bercak 0 3 9 0 0 0 7 3 5 0 0 3 4 6 8
Taksiran % Luas Daun Ditutupi Bercak 0 2 6 0 0 0 5 1 5 0 0 2 4 4 6
Hitunglah: a) Intensitas penyakit menggunakan Pers. [3.2] b) Insidensi tanaman berpenyakit bercak daun c) Insidensi daun tanaman berpenyakit bercak daun d) Severitas bercak daun berdasarkan jumlah bercak maksimum e) Severitas bercak daun berdasarkan taksiran persentase luas daun tertutup bercak.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
30
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 4) Dengan menggunakan program aplikasi Excel, hitunglah laju perkembangan penyakit dengan menggunakan Pers. [3.5] dan Pers. [3.8] serta LDBK perkembangan penyakit dengan menggunakan Pers. [3.9] dari data sebagai berilut: Waktu (Hari) 1 4 7 10 13 16 19 Severitas (%) 0.5 2 10 25 55 72 80 Gunakan kolom A untuk menyatakan waktu, kolom B untuk menyatakan severitas, kolom C untuk menyatakan laju perkembangan menurut Pers. [3.5], kolom D untuk menyatakan laju perkembangan menurut Pers. [3.8], dan kolom E untuk menyatakan luas trapesium yang kemudian dijumlahkan untuk memperoleh LDBK. Untuk kolom C dan D, hitunglah laju rata-rata perkembangan penyakit yang diletakkan pada baris terakhir. 5) Penyakit keriting yang disebabkan oleh virus pada tanaman kacang panjang ditularkan oleh Aphis cracivora sebagai vektor. Lakukanlah analisis regresi untuk menentukan hubungan antara padat populasi Aphis cracivora pada 1 minggu setelah tanam dengan severitas penyakit keriting pada 4 MST dengan menggunakan data sebagai berikut: Padat Populasi 0 3 6 9 12 15 18 Nimfa dan Imago Severitas (%) 0 4 10 12 15 18 20 Berikan komentar mengenai hasil pemodelan yang diperoleh. Daftar Pustaka Campbell, C.L., & L.V. Madden 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wiley & Sons, New York. nd Draper , N., & H. Smith 1981. Applied Regression Analysis. 2 ed. John Wiley & Sons, New York. Edminster, T.W. 1978. Concepts for Using Modelling as a Research Tools. Technical Manual No. 520. USDA, Beltsville Kranz, J. 1988. Measuring plant disease. In: Experimental Techniques in Plant Disease Epidemiology. Pp. 33-50. J. Kranz & J. Rotem (eds.). Springer-Verlag, Berlin. Large, E.C. 1966. Measuring Plant Disease. Annu. Rev. Phytopathol. 4:9-28. nd Netter, J., W. Wasserman, & M.H. Kutner 1985. Applied Linear Statistical Models. 2 ed. Richard D. Irwin, Homewood, IL, USA Seem, R.C. 1984. Disease Incidence and Severity Relationships. Annu. Rev. Phytopathol. 22:133-150. USDA Plant Disease Survey (1950). Plant Disease Losses: Their Appraisal and Their Interpretation. Plant Disease Reporter Suppl. 193.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
31