© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan BAB II
KONSEP-KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN Epidemiology is the science of disease in populations J.E. Vanderplank (1968)
A. Pendahuluan Epidemiologi penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang relatif masih baru dan berkembang berkat dukungan konsep dari ilmu-ilmu lain. Sebagai cabang ilmu penyakit tumbuhan, epidemiologi penyakit tumbuhan bertumpu pada konsep dan teori dalam bidang ilmu tersebut yang diharapkan sudah cukup dikuasai oleh siapapun yang mulai mempelajari epidemiologi penyakit tumbuhan. Akan tetapi, epidemiologi penyakit tumbuhan juga menggunakan konsep dari bidang ilmu lain, khususnya ekologi dan statistika. Titik perhatian epidemiologi penyakit tumbuhan adalah proses perubahan pada aras populasi. Proses perubahan tersebut bersifat hierarkis dan terjadi sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan. Pada prinsipnya, epidemiologi penyakit tumbuhan bertumpu pada laju perubahan, bukan pada keadan tertentu yang mengawali maupun mengakhiri proses perubahan yang terjadi dalam populasi. Sebagai ilmu yang sangat bertumpu pada konsep-konsep ekologi, epidemiologi penyakit tumbuhan menempatkan proses epidemi dalam konteks sistem. Epidemi dipandang sebagai komponen normal dari ekosistem, khususnya ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Pemahaman mengenai konsep sistem merupakan aspek penting dari epidemiologi penyakit tumbuhan, khususnya dalam kaitan dengan strategi pengelolaan penyakit tumbuhan.
B. Tujuan Instruksional Setelah membaca materi mengenai bab ini mahasiswa diharapkan dapat: 1) Menyebutkan dan menerangkan konsep-konsep dasar yang diperlukan untuk memahami uraian lebih mendalam mengenai epidemiplogi penyakit tumbuhan. 2) Menerangkan hubungan antara epidemiologi penyakit tumbuhan dengan ilmu-ilmu lain, khususnya ekologi, melalui konsep-konsep umum yang mendasarinya.
C. Materi 1. Penyakit Tumbuhan sebagai Populasi a. Pengertian Populasi Populasi mempunyai pengertian yang berbeda antar bidang kajian yang berlainan. Dalam genetika, populasi merupakan individu yang dapat saling kawin dan menghasilkan keturunan. Dalam ekologi populasi, populasi merupakan sekelompok individu dari spesies yang sama yang menghuni suatu daerah tertentu pada waktu tertentu. Daerah hunian populasi dapat didefinisikan dalam skala ruang yang berbeda, mulai dari lokal, regional, sampai mencakup seluruh daerah sebaran spesies yang bersangkutan. Sebagaimana individu-individu yang menyusunnya, populasi mempunyai sejumlah karakteristik dan proses yang membedakannya dari populasi lainnya. Karakteristik dan proses populasi merupakan konsekuensi dari karakteristik dan proses dari individu-individu penyusunnya, tetapi bukan merupakan hal yang identik (Zadoks & Schein (1979). Penciri populasi yang dimaksud dapat dipilahkan menjadi penciri terkait waktu dan penciri terkait ruang. Penciri populasi yang terkait waktu di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Laju kelahiran adalah jumlah penambahan individu baru hasil reproduksi per satuan waktu. 2) Laju kematian adalah jumlah pengurangan individu karena kematian yang terjadi per satuan waktu. 3) Laju imigrasi adalah jumlah penambahan individu karena perpindahan dari populasi lain per satuan waktu.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
8
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
4) Laju emigrasi adalah jumlah pengurangan individu karena perpindahan ke populasi lain per satuan waktu. 5) Laju pertumbuhan populasi adalah jumlah penambahan atau pengurangan individu sebagai akibat dari kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi yang terjadi terhadap satu populasi per satuan waktu. Dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, penciri tersebut tidak digunakan apa adanya, tetapi disesuaikan dengan keadaan. Misalnya, alih-alih laju kelahiran digunakan laju sporulasi, alihalih laju migrasi digunakan laju diseminasi, alih-alih laju pertumbuhan populasi digunakan laju pertumbuhan intrinsik penyakit, dan sebagainya. Penciri-penciri terkait waktu tersebut akan dibahas lebih mendalam pada bab-bab selanjutnya. Penciri populasi yang terkait dengan ruang adalah sebagai berikut: 1) Wilayah adalah luas daerah yang menjadi tempat bagi suatu populasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan populasi lain. 2) Kepadatan adalah jumlah individu populasi per satuan luas wilayah yang ditempati populasi 3) Perpencaran adalah pola kedudukan individu-individu populasi dalam ruang secara acak, teratur, maupun menegelompok 4) Agregasi adalah derajat pengelompokan individu populasi yang menempati wilayah tertentu. Penciri-penciri terkait ruang tersebut juga akan dibahas lebih mendalam pada bab-bab selanjutnya. Penerapan Konsep Populasi dalam Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Penerapan konsep populasi dalam epidemiologi penyakit tumbuhan tampak jelas dari definisi yang diberikan oleh van der Plank (1963) mengenai epidemiologi penyakit tumbuhan sebagai ilmu mengenai penyakit tumbuhan dalam populasi. Hal itu dipertegas lagi oleh Zadoks & Schein (1979) yang menyatakan bahwa selain menyangkut populasi inang, epidemiologi penyakit tumbuhan juga berkaitan dengan populasi patogen, populasi penyakit, dan bahkan populasi yang tidak terkait secara langsung seperti misalnya populasi vektor, populasi musuh alami, dan sebagainya. Penerapan konsep populasi tersebut dilakukan dengan menggunakan penciri-penciri populasi sebagai statistik populasi untuk menyatakan keberadaan suatu penyakit tumbuhan. Statistik populasi digunakan dengan berbagai metode dan teknik yang akan diuraikan pada babbab selanjutnya. Sebagai permulaan dapat dikatakan bahwa epidemiologi penyakit tumbuhan pada dasarnya merupakan kajian mengenai pengukuran statistik populasi penyakit dalam aspek waktu dan ruang. Dalam kajian tersebut digunakan konsep, metode, dan teknik dari ilmu-ilmu lain, khususnya dari ekologi populasi, tetapi dalam banyak kasus, konsep, metode, dan teknik tersebut disesuaikan bagi pengkajian populasi penyakit. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa epidemiologi penyakit tumbuhan pada dasarnya adalah ekologi populasi yang diterapkan untuk mempelajari penyakit tumbuhan. Juga dapat dinyatakan bahwa epidemiologi penyakit tumbuhan adalah kajian penyakit tumbuhan melalui penerapan ekologi populasi.
b.
Kuantitas Penyakit sebagai Ukuran Populasi Sebagai konsekuensi dari penggunaan pendekatan populasi untuk mempelajari penyakit tumbuhan maka keberadaan penyakit harus dinyatakan dengan menggunakan statistik populasi. Keberadaan penyakit biasanya dinyatakan sebagai intensitas penyakit (disease intensity) yang diukur dengan mengacu kepada keberadaan gejala penyakit (disease symptom). Gejala dapat terjadi pada bagian-bagian tertentu tanaman (akar, batang/cabang, daun, buah, biji, dsb.) dengan karakteristik tertentu tergantung pada patogen yang menyerang. Seiring dengan pemahaman epidemi sebagai populasi penyakit yang disebabkan oleh populasi patogen pada populasi tanaman maka menurut Campbell & Madden (1990), Kranz (1988), dan Zadoks & Schein (1979), sebagai tolok ukur dalam pengukuran statistik populasi penyakit dapat di gunakan:
c.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
9
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 1)
Luas areal pertanaman. Dalam hal ini ukuran keberadaan penyakit dinyatakan sebagai proporsi atau persentase luas areal pertanaman yang menderita penyakit tertentu. Statistik populasi keberadaan penyakit yang dihasilkan dikenal sebagai prevalensi penyakit (disease prevalence). 2) Jumlah individu tanaman atau organ tanaman. Dalam hal ini ukuran keberadaan penyakit dinyatakan sebagai proporsi atau persentase individu tanaman atau organ tanaman yang menderita penyakit tertentu. Statistik populasi keberadaan penyakit yang dihasilkan dikenal sebagai insidensi penyakit (disease incidence) atau frekuensi penyakit (disease frequency). 3) Gejala penyakit. Dalam hal ini ukuran keberadaan penyakit dapat dinyatakan sebagai jumlah gejala atau sebagai luas atau volume gejala. Jumlah gejala dapat digunakan jika gejala penyakit mempunyai ukuran yang pada umumnya tetap. Jika dinyatakan sebagai jumlah gejala maka ukuran keberadaan penyakit dinyatakan sebagai proporsi atau persentase jumlah gejala terhadap jumlah gejala maksimum. Jika dinyatakan sebagai luas atau volume gejala maka ukuran keberadaan penyakit dinyatakan sebagai proporsi atau persentase luas permukaan atau volume tanaman bergejala penyakit tertentu terhadap luas permukaan atau volume tanaman total. Statistik populasi keberadaan penyakit yang dihasilkan dikenal sebagai keparahan atau severitas penyakit ( disease severity). Dengan menggunakan tolok ukur tersebut di atas maka intensitas penyakit tidak perlu dinyatakan dengan skor yang berskala ordinal, sebagaimana selama ini lazim dilakukan, melainkan dengan menggunakan statistik populasi yang berskala rasio. Uraian lebih mendalam mengenai hal ini akan diberikan pada Bab III. 2. Penyakit Tumbuhan sebagai Proses a. Proses Epidemiologis Pada dasarnya epidemi merupakan suatu proses, yaitu proses perubahan dalam dimensi waktu dan ruang. Suatu proses yang sangat penting dalam epidemi adalah rantai infeksi (infection chain) atau daur infeksi (infection cycle), yang dimulai dengan tibanya satu satuan pencar (dispersal unit ) sampai dihasilkannya satuan pencar generasi berikutnya. Daur infeksi juga disebut daur penyakit (disease cycle) dan harus dibedakan dengan daur hidup ( life cycle) patogen yang menyatakan rangkaian tahapan yang harus dilalui dalam proses perbiakan suatu patogen. Dalam susunan hierarkis, daur infeksi tersebut dapat dipandang sebagai proses yang terdiri atas sejumlah sub-proses dan setiap sub-proses terdiri atas sub-proses yang lebih kecil yang masing-masing terjadi secara berulang (recurrent ), ), yaitu mampu mengulang diri berkalikali sehingga dihasilkan rangkaian daur infeksi (Gambar 2.1). Proses yang hanya melibatkan satu daur infeksi dikenal sebagai proses monosiklik ( monocyclic process), sedangkan yang polysiclic process). melibatkan lebih dari satu daur infeksi dikenal sebagai proses polisiklik ( polysiclic Proses monosiklik sebagai sub-proses epidemi dapat dipandang sebagai proses yang meliputi sejumlah sub-proses, yaitu sub-proses sporulasi, diseminasi, dan infeksi. Untuk proses infeksi yang disebabkan oleh jamur patogenik, sub-proses tersebut masing-masing dapat pula dipandang sebagai super-proses yang mencakup sub-proses sebagai disajikan pada Tabel 2.1. PROSES SUB-PROSES PROSES SUB-PROSES PROSES SUB-PROSES Gambar 2.1. Skema Pembagian Proses Menjadi Sub-proses secara Hierarkis Tabel 2.1. Sub-proses yang Menyusun Proses Sporulasi, Diseminasi, dan Infeksi oleh Jamur Patogenik Proses Sub-proses Hasil Infeksi Perkecambahan Spora dengan buluh kecambah
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
10
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
Sporulasi
Diseminasi
Penetrasi Kolonisasi Produksi sporofora Produksi spora Pematangan spora Pelepasan spora Pengangkutan spora Deposisi spora
Buluh kecambah masuk ke jaringan inang Hifa tumbuh dan berkembang Sporofora Spora Spora matang Spora terlepas dari sporofora atau badan buah Spora berada dalam media pencar Spora pada permukaan inang
Suatu epidemi dapat terdiri atas satu atau beberapa daur infeksi. Jika suatu epidemi tersusun atas beberapa daur (proses polisiklik) maka, tergantung pada tipe daur yang menyusunnya, dikenal beberapa susunan daur infeksi sebagai berikut: 1) Susunan serial, jika terdiri atas sejumlah daur dengan tipe yang sama yang tersusun secara berurutan, misalnya daur penyakit yang disebabkan oleh jamur patogenik yang berbiak secara aseksual. 2) Susunan paralel, bila terdiri atas daur aseksual dan seksual yang terjadi dalam waktu yang bersamaan, misalnya daur misalnya daur infeksi pada karat berjalur kuning di Belanda. 3) Susunan tersarang, bila terdiri atas daur aseksual dan seksual yang terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan, misalnya daur infeksi Venturia inequalis, penyebab penyakit kudis pada apel. Susunan daur infeksi dalam proses monosiklim disajikan pada Gambar 2.2.
WAKTU
WAKTU
(a)
(b) DAUR SEKSUAL TA HUNAN
DAUR A SEKSUA L BERULA BERULA NG
WAKT
(c) (d) Gambar 2.2. Berbagai Susunan Daur Infeksi: (a) Serial, (b) dan (d) Tersarang, serta (c) Paralel. Kotak terang menyatakan daur aseksual, sedangkan kotak gelap menyatakan daur seksual (Zadoks & Schein 1979, digambar ulang). Satu epidemi dapat merupakan satu proses monosiklik atau suatu proses polisiklik. Suatu epidemi monosiklik terjadi jika unit pencar generasi berikut, setelah mengalami diseminasi, tidak dapat menginfeksi tanaman pada musim tanam yang sama karena tanaman sudah tidak tersedia untuk proses infeksi. Van der Plank (1963) menggunakan istilah penyakit tipe bunga tunggal (simple interest ) untuk epidemi semacam ini karena unit pencar generasi berikut (bunga, interest ) tidak dapat dijadikan modal yang dapat memberikan bunga kembali pada musim tanam yang sama. Sebaliknya, jika unit pencar generasi berikut, setelah mengalami diseminasi, kembali dapat menginfeksi dan menghasilkan unit pencar generasi lebih lanjut pada musim tanam yang sama maka epidemi akan bersifat polisiklik. Van der Plank (1963) menggunakan istilah penyakit bunga berbunga ( compound interest ) untuk epidemi tipe ini. Unit pencar dianalogikan sebagai bunga bank yang dalam hal ini dapat menjadi modal kembali untuk menghasilkan bunga bersama-sama dengan unit pencar generasi pertama. b.
Faktor yang Mempengaruhi Proses Epidemiologis
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
11
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Proses maupun sub-proses yang menyusun suatu epidemi pada dasarnya merupakan tanggapan (response) terhadap suatu rangsangan ( stimulus). Rangsangan timbul dari faktor eksternal (lingkungan) yang mempengaruhi keberlangsungan proses epidemiologis yang bersangkutan. Tanggapan dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, tetapi suatu tanggapan kualitatif pada taraf individu dapat berubah menjadi kuantitatif pada taraf populasi. Satu rangsangan normal yang menimbulkan satu tanggapan kuantitatif menghasilkan kurva tanggapan. Jika rangsangan yang diterima berada pada kisaran normal maka kurva yang dihasilkan adalah kurva optimum yang mempunyai tiga titik kardinal, yaitu: 1) Titik minimum, yaitu nilai rangsangan yang di bawahnya tidak akan menghasilkan tanggapan 2) Titik maksimum, yaitu nilai rangsangan yang di atasnya tidak akan menghasilkan tanggapan 3) Titik optimum, yaitu nilai rangsangan yang menghasilkan nilai tanggapan terbesar. Kurva tanggapan pada dasarnya tidak simetris, melainkan menceng ke kiri. Kurva tanggapan dapat diperoleh jika, misalnya, perkecambahan spora (proses) diberi rangsangan suhu atau periode kebasahan daun (Gambar 2.3). Kurva tanggapan yang dihasilkan oleh rangsangan supra-maksimal adalah kurva kepunahan (extinction curve)(Gambar 2.4). Kurva kepunahan umumnya tidak ditimbulkan oleh satu rangsangan sub-minimal karena menghadapi rangsangan demikian akan timbul tanggapan sintasan ( survival). Dua rangsangan normal yang menimbulkan satu tanggapan kuantitatif menghasilkan permukaan tanggapan (response surface). Contoh permukaan tanggapan adalah tanggapan kuantitatif periode laten Septoria nodorum terhadap rerata suhu maksimum maksimum harian dan rerata rerata periode kebasahan daun (Gambar 2.5). Laju Perubahan dalam Proses Epidemiologis Epidemi sebagai proses ditandai oleh perubahan dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Dalam daur infeksi jamur patogenik misalnya, sporofora terbentuk, spora matang, spora terlepas, spora terpencar, spora terdeposisi, spora berkecambah, spora mempenetrasi, dan jamur mengkolonisasi merupakan keadaan yang terjadi secara berturut-turut. Keadaan-keadaan tersebut dapat dipandang sebagai kelas yang dapat diberi nomor untuk menyatakan tipologi tiap-tiap kelas. Setiap kelas keadaan tersebut dapat mencapai nilai tertentu yang dinyatakan sebagai frekuensi. Dengan demikian, keadaan-keadaan yang dicapai dalam suatu proses, dalam hal ini daur infeksi, dapat digambarkan sebagai distribusi frekuensi.
c.
) m u m i s k a M . d h t i s r o p o r P ( s a t i v i t k A
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -5
0
5
10
15
20
25
30
35
Suhu ( oC)
Gambar 2.3. Kurve optimum untuk aktivitas nisbi pertumbuhan miselium (sumbu y, kurve a), perpanjangan buluh kecambah (sumbu y, kurve b), dan proporsi perkecambahan (sumbu y, kurve c) jamur Clasterospo-rium carpophilum sebagai tanggapan terhadap
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
Gambar 2.4. Kurve kupunahan Phytophthora infestans o pada suhu 20 C dan berbagai taraf kelembaban udara (RH). Sumbu y adalah proporsi perkecambahan terhadap perkecambahan pada waktu 0 sedangkan sumbu x adalah waktu dalam jam. Per-hatikan bahwa
12
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan o
rangsangan suhu (sumbu x, C). Nilai aktivitas (sumbu y) dinyatakan sebagai proporsi terhadap nilai maksi-mum (Zadoks & Schein 1979).
kurve kepunahan tersebut dapat pula digambarkan sebagai permu-kaan kepu-nahan (extinction plane) (Za-doks & Schein 1979)
Gambar 2.5. Permukaan tanggapan yang menunjuk-kan hubungan antara peride laten Septoria nodorum (sumbu z, hari) dengan rerata suhu o maksimum harian (sumbu y, C) dan rerata periode kebasahan daun (sumbu x, jam) (Shearer & Zadoks 1972 dalam Zadoks & Schein 1979).
Keadaan memang penting untuk diketahui dalam suatu proses, tetapi epidemiologi penyakit tumbuhan lebih memberikan perhatian kepada perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Perubahan ditandai dengan adanya laju perubahan yang diturunkan dari dua keadaan yang berturutan dan dinyatakan sebagai perbedaan di antara kedua keadaan dalam selang waktu yang diperlukan untuk berubah dari keadaan pertama ke keadaan berikutnya. Sebagai contoh, laju perkecambahan (v) suatu populasi spora dapat dinyatakan sebagai perbedaan nisbah spora yang berkecambah (x) terhadap jumlah spora total (X) dibagi dengan selang waktu t: ( x 2 / X ) ( x1 / X ) v= [2.1] (t 2 t 1 ) Jika x1 /X pada Pers. [2.1] dinyatakan sebagai p x1 dan x2 /X sebagai px2 maka: p 2 p x1 v = x (t 2 t 1 )
[2.2]
dan jika px2-px1 maupun t2-t1 sama-sama mendekati 0 maka: p x lim v = lim t 0 t sehimgga dengan menggunakan persamaan derivatif, laju perkecambahan spora pada Pers. [2.1] atau Pers. [2.2] dapat dinyatakan sebagai: v=
dp x dt
[2.3]
Persamaan laju seperti di atas merupakan persamaan yang akan selalu dijumpai dalam uraian pada bab-bab berikut. 3. Penyakit Tumbuhan sebagai Sistem a. Pengertian Sistem Sistem merupakan gabungan proses yang kompleks yang terkait satu sama lain melalui hubungan yang saling mempengaruhi (Kranz dan Hau, 1980). Setiap sistem terdiri atas sekumpulan unsur atau komponen yang tergabung dalam suatu struktur tertentu. Suatu sistem dibatasi oleh batas tertentu yang memisahkannya dengan lingkungan yang mempengaruhinya. Pengaruh lingkungan merupakan rangsangan terhadap sistem yang menimbulkan tanggapan dalam bentuk sifat-sifat sistem (system behaviour atau system properties). Sifat-sifat sistem
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
13
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan yang berubah dalam dimensi waktu dan ruang memungkinkan suatu sistem menjadi sistem yang dinamis (senantiasa berubah). Epidemi Penyakit Tumbuhan dalam Struktur Sistem Pada uraian sebelumnya sudah dinyatakan bahwa epidemi dapat dipandang sebagai proses yang tersusun atas sub-proses. Setiap sub-proses dapat kembali dipandang sebagai proses yang terdiri atas sejumlah sub-proses yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa epidemi mempunyai susunan yang bersifat hierarkis, yaitu suatu susunan yang terorganisasi secara bertingkat. Selain itu, pada setiap tingkatan hierarki, proses maupun sub-proses yang sehierarki saling terkait satu sama lain dalam dal am hubungan yang saling mempengaruhi. Hierarki sub-sistem dalam epidemi penyakit tumbuhan disusun berdasarkan tujuan tertentu. Kranz dan Hau (1980) menggambarkan epidemi sebagai terdiri atas sub-sistem patogen, inang, dan penyakit yang saling berinteraksi dan masing-masing dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Epidemi menjadi sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu patosistem yang juga mencakup sub-sistem epidemi lain, hama, dan gulma. Patosistem merupakan subsistem dari sistem pengelolaan hama, sistem pengelolaan hama merupakan sub-sistem dari sistem budidaya tanaman, dan sistem budidaya tanaman menjadi sub-sistem dari sistem pertanian atau agro-ekosistem (Gambar 2.6). Patosistem dalam hierarki sistem tersebut merupakan sistem kendala hayati dalam arti luas, sedangkan sistem pengelolaan hama merupakan sistem pengelolaan hama dalam arti luas yang mencakup binatang hama, penyakit dan gulma. Agro-ekosistem merupakan sistem binaan yang setara dengan ekosistem sebagai sistem alami. Epidemi penyakit tumbuhan sebagai komponen patosistem dapat merupakan subsistem dari agro-ekosistem maupun ekosistem alami. Dengan kata lain, dalam batas-batas tertentu, epidemi penyakit tumbuhan merupakan komponen normal dari ekosistem. Sifat-sifat sistem merupakan aspek yang penting dalam mempelajari epidemi sebagai sistem. Sifat-sifat sistem epidemi penyakit tumbuhan pada umumnya merupakan penciri populasi penyakit dalam kaitan dengan waktu dan ruang. Nilai penciri tersebut merupakan tanggapan epidemi penyakit tumbuhan terhadap rangsangan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan maupun oleh manusia.
b.
INANG
PATOGEN
PENYAKIT EPIDEMI
GULMA
PENGENDALIAN HAYATI
HAMA PENYAKI T LAIN
PATOSISTEM SISTEM PENGELOLAAN HAMA
VARIETAS
IKLIM
PUPUK PENGENDALIAN KIMIAWI
PRAKTIK BUDIDAYA EKONOMI INFORMASI
POLA PERTANAMAN SUMBER INOKULUM
SISTEM BUDIDAYA TANAMAN AGROEKOSISTEM
Gambar 2.6. Epidemi Penyakit Tumbuhan dalam Hierarki Sistem (Kranz dan Hau, 1980) Pendekatan Sistem terhadap Epidemi Penyakit Tumbuhan Epidemiologi penyakit tumbuhan sebagai ilmu yang melakukan kajian mulai pada taraf pengorganisasian populasi juga menggunakan konsep-konsep ekologi dari taraf pengorganisasian yang lebih tinggi, yaitu komunitas dalam ekosistem. Akan tetapi hal ini tidaklah selalu dapat dicapai dengan mudah. Sebagai cabang dari ilmu penyakit tumbuhan, epidemiologi penyakit tumbuhan sangat dipengaruhi oleh konsep yang dianut dalam ilmu penyakit tumbuhan. Ilmu penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang berkembang terutama setelah berhasil menembus dogma generatio spontanea. Dogma tersebut dapat ditembus, tetapi nilai-nilai yang terkait dengan dogma lama tidak begitu saja dapat ditinggalkan dengan mudah. Sampai pada c.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
14
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan tahun 1970-an atau bahkan sampai pada saat ini penyakit dipandang sebagai sesuatu yang buruk, tidak normal, dan oleh karenanya dianggap tidak alami (Zadoks dan Schein, 1979). Perhatikan misalnya pendapat Stakman dan Harrar (1970) bahwa tujuan akhir ilmu penyakit tumbuhan adalah untuk membinasakan (banish) penyakit tumbuhan yang merusak. Dalam ekosistem, tiap-tiap organisme, termasuk patogen, mempunyai peranan dalam menjaga keseimbangan sistem. Masalah penyakit tumbuhan yang ditimbulkan patogen dalam konsep ekologis merupakan bagian dari rantai makanan atau jaring-jaring makanan. Rantai makanan atau jaring-jaring makanan berada pada aras pengorganisasian komunitas karena melibatkan lebih daripada satu populasi. Dalam rantai maupun jaring-jaring makanan setiap organisme menempati aras trofik (trophic level) tertentu, yaitu sebagai produsen, konsumen tingkat pertama, konsumen tingkat kedua, dan pengurai. Patogen yang hidup sebagai parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit sebenarnya menjalankan fungsinya sebagai konsumen primer atau pengurai. Mengingat rantai makanan maupun jaring-jaring makanan merupakan fungsi normal dari ekosistem maka fenomena penyakit tumbuhan harus pula dipandang sebagai proses normal (Zadoks dan Schein, 1979). Akan tetapi, ketika manusia campur tangan dalam mengubah ekosistem alami menjadi agro-ekosistem, manusia menyederhanakan ekosistem untuk kepentingan tertentu. Seiring dengan itu, rantai makanan dan jaring-jaring makanan menjadi sangat disederhanakan dan penyakit tumbuhan memperoleh peluang untuk berkembang menjadi epidemi yang ganas. Proses makan memakan dalam rantai makanan maupun jaring-jaring makanan sebenarnya merupakan proses yang bekerja sesuai dengan mekanisme umpan balik negatif (negative feedback mechanism), yaitu suatu mekanisme untuk menggunakan sebagian dari keluaran untuk kembali mengatur berlangsungnya proses (Gambar 2.7). Dalam ekosistem alami, tumbuhan sebagai produsen pada umumnya sangat beraneka ragam. Dengan demikian, jumlah individu inang yang tersedia bagi patogen tertentu menjadi terbatas tetapi dengan keanekaragaman genetik yang tinggi. Jika patogen menyerang inang yang jumlah individunya terbatas maka peningkatan penyakit dibatasi oleh ketersediaan inang yang terbatas dan faktor genetik. Sebaliknya dalam agro-ekosistem modern, inang tertentu tersedia dalam jumlah yang hampir tidak terbatas dan dengan keanekaragaman genetik yang rendah pula. Jika patogen menyerang maka penyakit akan berkembang dengan cepat karena tersedianya inang yang relatif seragam dalam jumlah besar. Namun ini tidak berarti bahwa ekosistem alami terbebas dari epidemi penyakit tumbuhan. Sejumlah epidemi penyakit tumbuhan terjadi pula pada ekosistem alami, misalnya epidemi hawar chesnut di Amerika Serikat, layu oak di Amerika Serikat, karat willow di Alaska, dan sebagainya. Berbagai faktor berpengaruh terhadap keseimbangan patogen inang dalam ekosistem alami yang dapat memicu terjadinya epidemi.
MASUKAN
SISTEM
KELUARAN
UMPAN BALIK
PENYAKIT
NEGATIF
MENINGKAT
PENYAKIT TUMBUHAN
PENYAKIT
UMPAN BALIK
MENURUN
NEGATIF
(a) (b) Gambar 2.7. Mekanisme Umpan Balik Negatif: (a) Prinsip Kerja dan (b) Proses Pe-ngendalian Penyakit Tumbuhan melalui Mekanisme Umpan Balik Negatif.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
15
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Sebagian besar epidemi sesungguhnya terjadi pada agro-ekosistem yang dikelola secara intensif. Menurut Zadoks dan Schein (1979), semakin intensif suatu agro-ekosistem dikelola maka semakin besar risiko terjadinya epidemi (Tabel 2.2) Tabel 2.2. Hubungan antara Intensivitas Pengelolaan Agroekosistem dengan Risiko terjadinya Epidemi yang dinyatakan sebagai kelas risiko komparatif: 1=sangat rendah, 2=rendah, 3=tinggi, dan 4=sangat tinggi. Intensivitas Sangat ekstensif Ekstensif Semiintensif
Tanaman Tahunan Iklim Sedang Iklim Tropis Koleksi gabus (1) Kayu hutan tropika (1) Pengumpulan Kebun kakao blueberry liar (1) campuran (1) Kebun buah-buahan Kebun kelapa dan dan HT pinus (2) kina campuran (2)
Intensif
Kebun jeruk di California dan Israel, anggur di Perancis (3)
Sangat Intensif
Budidaya mawar dalam rumah kaca (4)
Kebun yute dan teh di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, nenas di Amerika Tengah (3)
Tanaman Setahun Iklim Sedang Iklim Tropis Padi liar (1) Perladangan (berpindah) (1) Produksi serealia kering (2) Produksi serealia dan Budidaya padi dan kentang (3) tebu di Asia Tenggara (3) Budidaya jagung dan Budidaya padi dua kedelai di Amerika kali tanam setahun (4) Serikat, kentang di Eropah Barat dan AS (4) Budidaya krisan dalam rumah kaca (4)
D. Evaluasi 1) 2) 3) 4) 5)
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan singkat tetapi tepat: Mengapa untuk mempelajari epidemiologi penyakit tumbuhan terlebih dahulu harus dipahami konsep-konsep umum yang mendasarinya? Mengapa epidemi penyakit tumbuhan dipandang sebagai proses? Apa konsekuensi yang harus diterima dalam mempelajari epidemiologi penyakit tumbuhan sebagai suatu proses? Mengapa epidemi penyakit tumbuhan harus dipandang sebagai suatu sistem? Sebagai suatu sistem, apa yang terjadi terhadap perkembangan epidemi jika salah satu komponen sistem tidak berfungsi?
E. Tugas Berstruktur Secara berkelompok (maksimum 5 orang), buatlah ringkasan dari handout berupa makalah mengenai konsep sistem yang diberikan oleh dosen. Daftar Pustaka Kranz, J. 1988. Measuring plant disease. In: Experimental Techniques in Plant Disease Epidemiology. Pp. 33-50. J. Kranz & J. J . Rotem (eds.). Springer-Verlag, Berlin. Kranz, J., & B Hau 1980. System analysis in epidemiology. Ann. Rev. Phytopathol. 18:67-83. Stakman, E.C., & J.G. Harrar 1970. Principles of Plant Pathology. Ronald Press, New York. Van der Plank, J.E. 1963. Plant Diseases: Epidemics and Control. Academic Press, New York. Zadoks, J.C., & R.D. Schein 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. University of Oxford Press, New York.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
16