1
REVIEW JURNAL OTENTISITAS HADITS MUTAWATIR DALAM TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBALL A. PENDAHULUAN Hadits adalah sandaran hukum kedua ummat Islam setelah al-Qur’an, munculnya perdebatan antara pemerhati hadits serta adanya keragaman tingkat keshahihan hadits menjadi persoalan yang komplek dan menuntut ummat Islam mampu memilih dan memilah serta mengetahui derajat keshaihan hadits yang akan dijadikan sandaran hukum atau untuk pedoman dalam menjalani kehidupan. Salah satu hadits yang menjadi perbincangan pemerhati hadits yaitu hadits mutawatir. hadits mutawatir diyakini derajatnya paling shahih dan berasal lngsung dari nabi Muhammad SAW oleh karena itu wajib diamalkan ummat Islam, namun hadits mutawatir dikalangan pemerhati hadits menjadi perbincangan yang pancang, masing-masing memliki cara dalam menilainya dan sampai kepada kesimpulan yang berbeda-beda, hingga timbul pertanyaanpertanyaan baru yang menyisakan persoalan-persoalan baru juga terkait hadits mutawatir itu sendiri. Salah satu tokoh peneliti hadits yang aktif mengkaji hadits, tidak terkecuali
hadits
mutawatir
yaitu G.H.A
Juynboll. G.H.A Juynboll
mempertanyakan hadits mutawatir beserta kreteria dan keabsahannya yang ditentukan ulama hadits. G.H.A Juynboll dengan teori common linknya menawarkan sebuah metode isnad dalam meneliti hadits untuk mencari jawaban mengenai sumber dan asal usul hadits khususnya hadits mutawatir dengan lebih akurat. Mozaki menganggap metode tersebut sebagai contoh baik dalam analisis isnad untuk menilai literatur hadits sebagai sumber penelitian sejarah. Begitu halnya dengan Juynboll yang mempersoalkan keotentikan hadits mutatwatir. para ulama hadits-pun mempertanyakan hasil dari metode isnad G.H.A Juynboll dengan teori common link berikut dengan metodenya.
2
B. PEMBAHASAN 1. Biografi Singkat G.H.A Juynboll G.H.A Juynboll lahir di leiden, belanda pada tahun 1935 M1. Ia adalah seorang pakar dalam bidang sejarah perkembangan awal hadits selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya dalam melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Ia adalah murid dari J. Brugmen, kepakarannya dalam kajian sejarah awal hadits menurut P.S. Van Koningsveld telah diakui ditingkat internasional. Sehingga iapun disejajarkan dengan James Robson, Fazlur Rahman, M.M Azami, dan Michael Cook.2 Semasa menjadi mahasiswa S1 Juynboll bergabung bersama sekelompok orang untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkan separo akhir dari kamus hadits. Pada tahun 1965 hingga 1966 dengan dana bantuan dari The Nederlands Organization For The Advancement Of Pure Research (ZWO), ia tinggal di mesir untuk melakukan penelitian disertasi mengenai pandangan para teolog mesir terhadap literatur hadits. Akhirnya disertasi yang disusunnya itu dapat dipertahankannya pada hari kamis pukul 14.15 dalam rangka meeraih gelar doktor dibidang sastra di fakultas sastra universitas negeri leiden belanda3 Setelah disertasinya diterbitkan oleh E.J Brill, Leiden pada tahun 1969. Ia kemudian kembali melakukan penelitian mengenai hadits, selain melaukan penelitian ia juga mengajar di berbagai universitas di Belanda, ia adalah ilmuan swasta yang kegiatan sehari-harinya sebgai daily Visitor di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Untuk melakukan penelitian hadits khusunya diruang baca koleksi timur tengah (Orintal Reading Room) dibawahseorang supervisor bernama Hans Van de Vlade.4
1
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,2 (ISLAMICA, Maret 2013), hlm.251 2 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Cet.1 (Yogyakarta: LKiSYogyakarta, 2009), hlm.15 3 Ali Masrur, Asal Usul Hadits Telaah Atas Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004),hlm. 18 4 Ali Masrur, Asal Usul Hadits Telaah Atas Teori Common Link G.H.A. Juynboll, hlm.18-19
3
Sebgai seorang peneliti hadits Juynboll telah menghasilkan beberap karya baik berupa buku maupun artikel, diantara karyanya yang utama yaitu terkait dengan hadits dan teori common link yaitu: The Authenticity of the Tradition Literature: Discusion in Modern Egypt, Muslim Trasition: Study in Chronology, Provenance, and Authorship of Early Hadith, dan Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith5 2. G.H.A Juynball Dan Teori Common Link Common link berarti kaitan bersama, ia merupakan istilah untuk seorang perawi hadits yang mendengar suatu hadits dari seorang yang otoritatif (berwenang), lalu ia menyampaikannya kepada sejumlah murid, dari si murid kemudian disiarkan ke beberapa murid yang lain. Perawi tersebut masuk dalam matarantai perawi pertama yang meneruskan jalur periwayatan hadits kepada lebih dari satu muridnya6. Jadi, common link adalah seseorang perawi awal hadits yang kemudian menyebarkan hadits sehingga hadits tersebut akhirnya diriwayatkan oleh banyak orang dalam berbagai tingkatan. Common link adalah sebuah teori yang dipersiapkan untuk menyoroti otentisitas sumber Hadits melalui perspektif sejarah. G.H.A Juynboll berangkat pada asumsi-asumsi dasar yang sudah dikembangkan oleh beberapa orientalis terdahulu. Asumsi dasar G.H.A Juynball yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits yaitu: The more transmission lines comes together in one ternsmitter either reaching him or going away from him, the more this transmitter and his transmission have claim to historycity.7 Artinya teori common link berangkat dari asumsi dasar bahwa semakin banyak garis periwayatan, maka semakin besar klaim otentisitas Hadits secara historis. Sebaliknya, jika suatu Hadits diriwayatkan dari
5
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm. 18 6 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm. 253 7 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm. 63
4
Nabi melalui seseorang (sahabat) kepada tabi’in dan kemudian kepada tabi’ al-tabi’in yang pada akhirnya sampai pada common link, dan setelah itu jalur isnad bercabang ke luar, maka kesejarahan jalur tunggal itu tidak dapat dipertahankan. Idealnya,
menurut
Juynboll,
seharusnya
bercabangnya isnad itu dimulai semenjak generasi awal dari perawi Hadits, akan tetapi, faktanya, sebagian besar jalur isnad baru mulai bercabang pada generasi kedua atau ketiga sesudah Nabi.8 Dengan demikian jalur periwayatan hadits yang dapat dipercaya (reliable) adalah jalur periwayatan yang menggambarkan sebuah simpul sebagaimana yang digambarkan oleh diagaram berikut ini: Diagram 1: jalur periwayatan hadits9
CL
PCL
Periwayat
Periwayat CL atau Lainnya
Dari diagram di atas,tanpak bahwa periwayatan hadits yang ideal menurut G.H.A Juynboll adalah periwayatan yang semenjak awal berkembang, dengan demikian jalur peeriwatan model ini mengambil bentuk sebagaima berikut: cl → pcl → pcl → pcl → (pcl →) sejumlah koleksi10 Berdasarkan asumsi dasar dan diagram tersebut jelaslah bahwa menurut G.H.A Juynboll jalur periwayatan hadits seharusnya berkembang sejak dari nabi kepada sejumlah besar sahabat dan kemudian memancar kepada
sejumlah
besar
sahabat,
selanjutnya
para
sahabat
juga
menyampaikannya kepada sejumlah besar tabi’in dan seterusnya hingga
8
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm.254 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi,hlm. 64 10 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi,hlm.64 9
5
sampai kepada kolektor hadits Sebagaimana digambarkan dalam diagram 1 di atas atau lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram 2 berikut ini. Diagram 2 : Jalur periwayatan hadits11 TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TTTT TTTT TT T T T
T
Sh
T
Sh
T
T T
Sh
NABI Sebaliknya, Juynboll
menyatakan
ketika
Hadits
banyak
diriwayatkan secara perseorangan, maka otentisitasnya sulit dibenarkan. Hadits-Hadits itu adalah kemungkinan diproduksi sendiri oleh perawi yang kemudian disandarkan kepada generasi otoritatif sebelumnya hingga
sampai
kepada
Nabi.
Hadits-Hadits
tersebut
selanjutnya
disampaikan kepada generasi berikutnya dalam jumlah periwayatan yang banyak pada tiap tingkatan isnad-nya12. Jalur periwayatan model ini menurut Juynboll tidak dapat dipertahan dan yang menjadi persoalan adalah mengapa nabi hanya menyampaikan haditsnya hanya kepada seorang sahabat, dan mengapa juga seorang sahabat tersebut menyampaikannya kepada seorang tabiin, begitu juga mengapa seorang tabiin hanya menyampaikan haditsnya hanya kepada seorang tabiit tabiin?13. Adapun model periwayan hadits seperti ini disebut model periwayatan kanonik. lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram 3 sebagai berikut ini.
11
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi,hlm. 65 12 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm. 254 13 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm. 64
6
Diagram 3 model periwayatan hadits kanonik14 Koleksi Koleksi
Koleksi
Koleksi
Koleksi Koleksi
Periwayat
Periwayat
Koleksi
Periwayat Periwayat
Common Link (Tabiin) Tabiin Sahabat NABI Sebagaimana dijelaskan di atas, teori common link dikembangkan oleh Juynboll dari gagasan Joseph Schacht. Dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Schacht menyatakan bahwa sistem isnad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga Hijriah, Schacht menyatakan bahwa isnad merupakan hasil rekayasa ulama abad kedua Hijriah dalam menyandarkan sebuah hadits kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada Nabi untuk mencari legitimasi yang kuat eksistensi sebuah hadis15 Teori tersebut berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadits sejalan dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim pada masa Dinasti Umayyah. Sekitar akhir abad pertama Hijriah, pengangkatan para hakim ditujukan kepada para fuqaha’ yang jumlahnya kian bertambah sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh klasik. Untuk memperoleh legitimasi yang kuat terhadap putusan hukum
14
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm. 66 15 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm. 254-255
7
yang diambil, maka para hakim menyandarkan putusan-putusan itu kepada tokoh-tokoh yang sebelumnya dipandang mempunyai otoritas. Penyandaran ini tidak hanya sampai kepada generasi di atas mereka, tetapi
sampai
kepada para
sahabat
dan
akhirnya
kepada
Nabi.
Tindakan ini melahirkan kelompok oposisi yang terdiri dari para ahli hadits. Para ahli hadits kemudian mempunyai pemikiran bahwa haditshadits formal yang berasal dari Nabi harus mampu menggantikan hasil-hasil putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, mereka membuat pernyataan-pernyataan yang diklaim sebagai laporan dari para saksi (perawi), baik yang mendengar ataupun yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian diriwayatkan secara lisan dengan disertai isnad muttasil dan terpercaya. Proses penyandaran ke belakang seperti inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
projecting
back
atau
backward
projection
(proyeksi ke belakang). Berdasar pemahaman seperti inilah kemudian Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok fiqh klasik maupun kelompok ahli hadits sama-sama memalsukan hadits. Oleh karenanya tidak ada hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, yang ada hanya produk hadits yang terlahir dari persaingan antara para ulama tersebut. Schacht memberikan contoh, orang-orang Kufah seringkali mengaitkan teori-teori hukum mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i dan hal ini diikuti pula oleh orang-orang Madinah. Proses pengembalian pendapat kepada tokoh-tokoh di masa lampau ini kemudian berlanjut kepada tokoh-tokoh yang lebih klasik di kalangan sahabat, seperti Ibn Mas’ud, dan pada akhirnya kepada Nabi sendiri. Dengan demikian, baik Schacht maupun Juynboll sampai pada pemahaman bahwa hadits-hadits Nabi adalah palsu. Perbedaannya, jika Schacht secara meyakinkan menyatakan bahwa seluruh hadits, terutama hadits-hadits hukum, adalah hasil rekayasa para ulama abad kedua Hijriah, maka Juynboll melihat dari sisi kemungkinan terjadinya common link
8
para perawi tunggal yang menyebabkan hadits yang disampaikannya dinilai sebagai hadits yang tidak berasal dari Nabi, melainkan rekayasa riwayatnya sendiri. Pada sisi yang lain16. Selain itu Juynboll juga mengatakan bahwa kita tidak akan pernah menemukan metode yang sukses secara moderat untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi SAW. Ia juga mengatakan bahwa metode kritik isnad memiliki beberapa kelemahan: 17 a. Metode kritik isnad baru berkembang pada periode yang relatif sangat terlambat bila dipakai sebagai alat yang memadai untuk memisahkan antara materi hadits yang asli dan yang palsu b. Isnad hadits sekalipun shahih, dapat dipalsukan secara keseluruhan dengan mudah c. Tidak diterapkannya metode yang tepat untuk memeriksa matan hadits Berangkat dari kelemahan dalam metode kritik hadits, Juynboll kemudian mengembangkan sebuah metode penelitian hadits untuk mencari jawaban mengenai sumber dan asal usul hadits dengan lebih akurat. Mozaki menganggap metode tersebut sebagai contoh baik dalam analisis isnad untuk menilai literatur hadits sebagai sumber penelitian sejarah. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode isnad Juynboll dengan teori common linknya tersebut yaitu:18 a. Mencantumkan hadits yang akan diteliti b. Menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits c. Menghinpun seluruh isnad hadits d. Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad e. Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits.
16
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm.255-256 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm. 79 18 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm. 80 17
9
3. Persfektif Ulama Hadits Tentang Hadits Mutawatir a. Pengertian Hadits Mutawatir Secara bahasa mutawatir berasal dari kata mutatabi yang berarti yang datang berikut atau yang beriringan antara satu dengan yang lainnya dengan tak ada perselangan.19 Adapun secara istilah hadits pengertian hadits mutawatir ada beberapa keterangan yaitu sbb: ﻣﺎﻛﺎن ﻋﻦ ﻣﺤﺴﻮس اﺧﺒﺮﺑﮫ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺑﻠﻐﻮا ﻓﻰ اﻟﻜﺜﺮة ﻣﺒﻠﻐﺎ ﺗﺤﯿﻞ اﻟﻌﺎدة ﺗﻮاطﺆھﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب Khabar yang didasarkan kepada panca indera yang diberitakan oleh segolongan manusia yang berjumlah banyak yang mustahil menurut adat, mereka bersatu lebih dahulu untuk mengabarkan berita itu dengan jalan dusta20 ﻣﺎروه ﺟﻤﻊ ﻋﻦ ﺟﻤﻊ ﺗﺤﯿﻞ اﻟﻌﺎدة ﺗﻮاطﻌﮭﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.21 ﻣﺎﯾﺮوﯾﮫ ﻗﻮم ﻻﯾﺤﺼﻰ ﻋﺪدھﻢ وﻻ ﯾﺘﻮھّﻢ ﺗﻮاطﺆھﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب وﯾﺪوم ھﺬا اﻟﺤﺪّ ﻓﯿﻜﻮن اوﻟﮫ ﻛﺂﺧﺮه وآﺧﺮه ﻛﺎوﻟﮫ ووﺳﻄﮫ ﻛﻄﺮﻓﯿﮫ Hadits-haits yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat diwahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta, keadaan itu terus menerus hingga sampai kepada akhirnya22 Pada keterangan lain disebutkan bahwa hadits mutawatir yaitu sebagai berikut ini. اﻟﺤﺪﯾﺚ اﻟﻤﺘﻮاﺗﺮ ھﻮ اﻟﺬي رواه ﺟﻤﻊ ﻛﺜﯿﺮ ﯾﺆﻣﻦ ﺗﻮاطﺆھﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب ﻋﻦ ﻣﺜﻠﮭﻢ اﻟﻰ اﻧﺘﮭﺎ اﻟﺴﻨﺪ وﻛﺎن ﻣﺴﺘﻨﺪھﻢ اﻟﺤﺲ Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi 19
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirajah Hadiets, Cet.2 (Djakarta: Bulan Bintang, 1961),hlm.10 20 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirajah Hadiets,hlm. 10 21 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Cet.2 (Jakarta:Amzah,2009), hlm.131 22 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),hlm.201
10
yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada panca indra23. Sedangkan hadits mutawatir diriwayatkan oleh banyak perawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta tentang hadits yang mereka riwayatkan. Muhammad ‘Ajjaj alKhatib memberikan prasyarat, untuk menentukan kemutawatiran sebuah hadits, juga harus diriwayatkan dari sejumlah perawi dengan jumlah yang sepadan semenjak isnad pertama sampai terakhir dan jumlah itu tidak berkurang pada setiap tingkatan isnad-nya. Senada dengan itu, Muhammad Abu Shuhbah dalam al-Wasit fi ‘Ulum wa Mustalah al-Hadits menyatakan bahwa hadits mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut nalar dan adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta yang juga diriwayatkan dari sejumlah perawi dengan jumlah yang sepadan semenjak isnad pertama sampai terakhir dengan syarat jumlah itu tidak berkurang pada setiap tingkatan isnad-nya dan sandaran
beritanya
berdasarkan
sesuatu yang dapat diindera seperti disaksikan, didengar, ataupun pembuktian lainnya.24 Dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang berdasarkan atas panca indra (penglihatan dan pendengaran), yang diriwayatkan oleh banyak orang dan menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk bohong. b. Kreteria Hadits Mutawatir Menentukan kriteria-kriteria hadits mutawatir dimaksudkan untuk menunjukkan validitas dan reliabilitas hadits mutawatir sehingga kebenarannya secara historis tidak diragukan. Serta untuk membedakan antara hadits mutawatir dan yang bukan, para ulama
membuat
kategorinya menjadi empat yaitu:25
23
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, Cet.2 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012),hlm. 428 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm.256-257 25 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm. 257 24
11
1) Hadits itu diriwayatkan oleh perawi yang banyak Dalam menentukan jumlah perawi atau kuntitas perawi para ulama berbeda pendapat menurut ibnu hajar hadits mutawatir tidak perlu ditentukan mengenai jumlah periwayatannya.26 Hal ini dikarenakan tidak adanyadalil rinci yang menjelaskan banyaknya periwat hadits. Ada juga ulama yang memberikan pembatasan yang tetap diantara mereka ada yang berpendapat 4 orang, 5 orang, 10orang (karena ia minimal jamak katsrah), 40 orang, 70 orang (jumlah sahabat musa AS) bahkan ada yang berpendapat 300 lebih (jumlah tentara thalut dan perang badar), namun pendapat yang terpilih minimal 10 orang, seperti pendapat al-Ishthikhari.27 2) Mustahil secara logika atau adat mereka sepakat berdusta Jumlah perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadinya kesepakatan berbohong secara uruf ( tradisi). Melihat masa awal pertumbuhan hadits yang tidak adanya fasilitas seperti transportasi dan alat komunikasi sperti sekarang ini, dimana perlu waktu berbulan-bulan dalam kunjungan kesuatu negara, jadi jika periwayatan hadits berjumlah besar, sangat sulit bagi mereka bahkan tidak mungkin mereka bersepakat untuk bohong dalam suatu periwayatan.
3) Jumlah banyak itu terjadi pada setiap lapisan isnad Adanya
jumlah
banyak
orang
pada
setiap
tingkatan
(thabaqat), jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebgaian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir tapi dinamakan ahad. 4) Sandaran berita berdasar pada indera
26
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, hlm.117 27 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm.131
12
Maksud dari pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata atau disentuh dengan kulit. Sandaran berita pada panca indra misalnya ungkapan periwayatan. ( ﺳﻤﻌﻨﺎkami dengar) ( رأﯾﻨﺎ أو ﻟﻤﺴﻨﺎkami sentuh atau kami melihat (Rasulullah SAW melakukan begini dan seterusnya) 28 c. Macam-Macam Hadits Mutawatir Di samping itu, selain memberikan kreteria hadits mutawatir para ulama hadits juga membagi hadits mutawatir menjadi dua, yaitu:29 1) Mutawatir lafzi Ada
beberapa
pandangan
mengenai
pengertian
hadits
mutawatir lafzi yaitu sebagai berikut. Hadits mutawatir lafzi adalah hadits yang mutawatir sanadnya dengan satu redaksi.30 ﻣﺎﺗﻮاﺗﺮ ﻟﻔﻈﮫ وﻣﻌﻨﮫ Yaitu hadits yang mutawatir lafal dan maknanya. Sedangkan menurut Thahir al-Jaziri dalam kitabnya taujih annadzhar yang dikutif oleh hasbi ash Shiddieqy disebutkan bahwa hadits mutawatir lafzi juga adalah: ﻣﺎ اﺗﻔﻘﺖ أﻟﻔﺎظ اﻟﺮواه ﻓﯿﮫ ﺳﻮاء ﻛﺎن ﺑﻠﻔﻆ واﺣﺪ ام ﺑﻠﻔﻆ آﺧﺮ ﯾﻘﻮم ﻣﻘﺎﻣﮫ ودل ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻌﻨﻰ اﻟﻤﻘﺼﻮد ﺻﺮﯾﺤﺎ Hadits yang sesuai lafal para perawinya baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.31 Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir lafzi adalah hadits yang memiliki satu lafaz dan terkadang juga satu makna yang tegas kepada makna yang dimasud. 2) Mutawatir ma’nawi
28
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 132-133 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball, hlm.257 30 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits,hlm. 431 31 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 134-135 29
13
Hadits mutawaatir maknawi yaitu: ﻣﺎﺗﻮاﺗﺮ ﻣﻌﻨﮫ دون ﻟﻔﻈﮫ Hadits yang mutawatir maknanya bukan lafalnya. Mutawatir maknawi adalah suatu yang mutawatir maksud makna hadits secara kongklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda antara periwayatn para perawi tetapi maksud kesimpulannya sama. Sebagian ulama juga mendifinisikannya sebagai berikut: ﻣﺎ ﺧﺘﻠﻒ ﻓﻰ ﻟﻔﻈﮫ و ﻣﻌﻨﺎه ﻣﻊ رﺟﻮﻋﮫ ﻟﻤﻌﻨﻰ ﻛﻠﻰ Hadits yang berbeda lafal dan maknanya tetapi kembali kepada suatu makna yang umum. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang lafal dan maknanya tidak sama namuan tetap kembali kepada makna yang umum. hadits mutawatir lafzi baik lafaz maupun maknanya bersifat mutawatir, diriwayatkan oleh banyak perawi semenjak awal sampai akhir isnad dengan memakai redaksi yang sama. Menurut al-Khatib, hadits mutawatir lafzi diriwayatkan secara lafaz dari banyak orang yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta dari awal hingga akhir sanad. Sedangkan hadits mutawatir ma’nawi hanya maknanya saja yang mutawatir bukan lafaznya. mutawatir ma’nawi
Dengan kata lain, hadits
adalah hadits yang periwayatannya disepakati
maknanya, akan tetapi lafaznya tidak.32 Hadits mutawatir kategori ini disepakati proses transmisinya secara maknawi, walaupun redaksinya berbeda-beda. Menurut Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman b. Abi Bakr al-Suyuti dalam Tadrib alRawi fi Sharh al-Nawawi, hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang dinukilkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka
32
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm. 258
14
bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan. Para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan hadits mutawatir, terutama kategori lafzi. Berhubung hadits ini mensyaratkan bahwa dari segi isnad harus ada banyak perawi yang meriwayatkannya semenjak awal sampai akhir isnad dan kesamaan redaksi pada matannya, maka tidak banyak hadits yang diriwayatkan dengan cara ini. Dari hasil penelitian para ulama, mereka sampai pada kesimpulan yang sebagai
berikut:
Pertama, Ibn
Hibban
dan
al-Khazimi
berkesimpulan bahwa tidak ada hadits mutawatir lafzi. Kedua, Ibn al-Salah
dan
al-Nawawi
menyimpulkan
bahwa
jumlah
hadits
mutawatir lafzi sangat sedikit sehingga sukar dikemukakan contohnya selain hadits tentang ancaman mendustakan
Rasulullah
terhadap
orang
yang
sabdanya dengan siksa neraka serta beberapa hadits
lainnya. Ketiga, kesimpulan Ibn Hajar al-’Asqalani adalah bahwa hadits mutawatir lafzi memang sedikit tetapi bukan sangat sedikit apalagi tidak ada. Pendapat bahwa hadits mutawatir sedikit sekali, atau tidak ada, terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang keadaan para perawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mungkin mufakat untuk berdusta.33 d. Contoh-Contoh Hadits Mutawatir 1) Contoh hadits mutawatir lafzi Di antara dasar argumentasi tentang adanya hadits mutawatir lafzi adalah kitab-kitab yang sudah masyhur bahwa riwayat hadits dari berbagai jalur sanad yang menurut adat dan nalar mustahil mereka terjadi kesepakatan dusta tentunya memberikan kontribusi keilmuan. Contoh hadits mutawatir lafzi adalah: ﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﺎﻟﯿﺘﻮﺑﻮأ ﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ اﻟﻨﺎر ّ ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋﻠ
33
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm. 258
15
Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka. Hadits ini diriwiyatkan oleh lebih dari tujuh puluh sahabat Nabi,
demikian
seterusnya
pada
tiap
tabaqah
sanadnya
diriwayatkan oleh banyak perawi34 2) Contoh hadits mutawatir maknawi Sedangkan hadits mutawatir ma’nawi jumlahnya lebih banyak karena tidak mensyaratkan kesamaan redaksi matan hadits, tetapi cukup makna hadits-hadits itu sama, yang diriwayatkan oleh banyak orang pada tiap generasi perawi sampai kolektor hadits. Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits berikut ini: اﻧﻤﺎ اﻻﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﯿﺔ Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niat.35 Selain hadits di atas, contoh lain hadits mutawatir ma’nawi yaitu hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa yang diriwayatkan dalam lebih dari seratus hadits. Hadits tentang ru’yah, bilangan rakaat dalam salat, membaca al-Qur’an dengan jahr (keras) pada waktu salat Maghrib, Isya’, dan Subuh, tawaf di Bayt al-Allah, melempar jumrah manasik haji dan lainnya. 36 e. Kitab-kitab hadits mutawatir Ada beberapa literatur yang sengaja mengoleksi Hadits-Hadits mutawatir, di antaranya al-Azhar al-Mutanatshirah fi al-Akhbar alMutawatirah yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, Jalal al-Din al-Suyuti dalam Qatf al-Azhar, dan Nazm al-Mutanathir min al-Hadits al-Mutawatir karya Muhammad Ibn Ja’far al-Kattani37 kemudian setelah itu muncul karangan al-Ustadz Syekh Abdul Aziz al-Ghammari, yaitu; Ithaf Dzawil Fadhail al-Musythahirah Fi al-Waqa’a min alZiyadah ala al-Azhar al-Mutanatshirah fi al-Hadits al-Mutawathirah. 34
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm. 259 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits,hlm.202 36 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm.259 37 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm.259 35
16
Dalam kitab yang terakhir ini ia menyebutkan jumlah hadits mutawatir yang benar.38 C. Analisia Kritis Terhadap Teori Common Link Teori common link ala Juynboll bukan tanpa cela. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi kelemahan teori tersebut, antara lain: 1. Aspek Definitif Hadits Mutawatir Bagi Juynboll, definisi hadits mutawatir selama ini masih problematis karena perumusannya mengalami berbagai perubahan yang tidak sederhana. Sepintas pernyataan Juynboll itu dapat diterima dengan merujuk pada bukti historis berupa karya-karya ulama hadits sejak abad keempat hingga kesembilan hijriah dan seterusnya. Asumsi Juynboll tersebut dapat ditanggapi sebagai berikut: pertama, perubahan dan bahkan perbedaan definisi dalam suatu konsep keilmuan merupakan tabiat ilmu pengetahuan yang terus berkembang dan berevolusi. Kedua, hadits mutawatir yang diterapkan pada momen tertentu adalah sesuatu yang wajar. Ketiga, Juynboll tidak membuktikan siapa dan dalam kasus apa istilah mutawatir sering digunakan secara longgar atau bahkan secara salah Keempat, bukti historis yang diajukan Juynboll terhadap konsep mutawatir, masih menyisakan problem dan bisa dikritik kembali39 Selain itu, dari pembahasan tentang hadits mutawatir di atas dapat kita lihat bahwa pengertian hadits mutawatir sangat jelas walapun para ulama mendifinisikan hadits mutawatir dengan kalimat yang berbeda-beda namun memiliki makna yang sama atausampai kepada kesimpulan yang sama yaitu hadits mutawatir adalah hadits yang berdasarkan atas panca indra (penglihatan dan pendengaran), yang diriwayatkan oleh banyak orang dan menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk bohong. 2. Analisis Kriteria Hadits Mutawatir Sebagaimana telah dijelaskan di atas, untuk menunjukkan validitas dan reliabilitas hadits mutawatir serta untuk membedakan antara hadits 38 39
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits,hlm.433-434 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm.
17
mutawatir dengan hadits yang lain, para ulama membuat kriteriakriterianya, antara lain: a). hadits diriwayatkan oleh banyak perawi; b). tidak ada kesepakatan naluriah untuk berdusta; c). jumlah massal itu terjadi pada setiap lapisan isnad; dan d) validasi berita hadits secara inderawi. Menurut
Juynboll,
kriteria-kriteria
hadits
mutawatir
tersebut
sebenarnya tidak berguna. Satu-satunya kriteria yang dapat diterapkan pada berbagai periwayatan hadits mutawatir yaitu banyaknya jumlah perawi pada tiap-tiap tabaqah isnad, dan mengesampingkan kriteria-kriteria lainnya yang dapat dikritisi sebagai berikut: a). Antara-kriteria bisa saling menguatkan,
b). pernyataan Juynboll bahwa kriteria hadits mutawatir
hanya dapat diterapkan pada periwayatan massal dengan cara yang tidak berstandar layak dipertanyakan pula, sebab cara pengukuran ke-mutawatiran suatu hadits yang didasarkan pada keempat kriteria di atas dengan sendirinya menunjukkan bahwa hadits mutawatir dapat diukur berdasarkan pada kriteria yang standar. c). kalau dikatakan bahwa kriteria yang digunakan tidak sistematis, hal ini masih menyisakan pertanyaan. Sebab, dari sisi ke-mutawatir-an suatu hadits, kriterianya sudah jelas dan dari sisi riwayat bi al-ma’na, para ulama hadits telah menentukan segala persyaratannya.40 G.H.A Juynboll yang hanya menerima satu kreteria dalam menentukan hadits mutawatir adalah kurang tepat karena masing-masing kreteria tersebut saling melengkap dan saling menguatkan, antara banyaknya periwayat atau validasi secara indrawi adalah sama-sama membuka menguatkan dalam mejaga kemungkinan tidak terjadinya kesepakan bohong, 3. Analisis Jumlah Jalur Isnad Jumlah jalur isnad pada hadits mutawatir, menurut para ulama hadits harus banyak pada tiap-tiap tabaqah-nya. Mereka berbeda pendapat tentang
40
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm.262-263
18
batas minimal dari kriteria banyak itu. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimal itu adalah empat perawi. Ulama lain berpendapat 5, 7, 10, 12, 40, 70, dan bahkan ada yang berpendapat tiga ratus orang lebih. Mengutip pendapat sebagian ulama, alSuyuti menyatakan bahwa pendapat yang terpilih adalah 10 orang karena merupakan batas minimal bilangan banyak. Jumlah 10 ini juga dinyatakan oleh Mahmud al-Tahhan. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, tidak disyaratkan bilangan dalam jumlah tertentu. Karena banyak itu adalah jumlah yang menghasilkan keyakinan pasti terhadap kebenaran sebuah berita. Jadi, menurut ulama hadits, hadits mutawatir diriwayatkan oleh banyak perawi yang terdiri atas empat perawi atau lebih. Perawi yang banyak itu terjadi sejak perawi pertama (dari kalangan sahabat), perawi tabaqah kedua (para tabi’in), tabaqah ketiga (para tabi’ al-tabi’in), dan seterusnya sampai para kolektor (mukharrij) hadits. Dengan demikian, proses periwayatan melibatkan banyak orang sehingga tidak mungkin mereka bersepakat dusta tentang hadits yang mereka riwayatkan dan karenanya berita (hadits) yang disampaikan terjamin kebenarannya. Tentang hal ini, Juynboll mempersoalkan jumlah perawi, apakah menunjuk pada sekumpulan jalur tunggal yang tidak menunjukkan koherensi sehingga tidak mungkin disusun sebuah isnad atau menunjuk pada sekumpulan isnad yang jika disusun akan membentuk sebuah lingkaran isnad. Penjelasan Juynboll ini berbeda dengan keterangan para ulama hadits tentang bagaimana proses periwayatan hadits mutawatir. Penggunaan istilah jalur tunggal (singgle strand) yang terdiri dari tiga atau empat perawi dan istilah lingkaran isnad jarang atau bahkan tidak pernah dipergunakan oleh ulama hadits. Ketika melakukan i’tibar hadits, para ulama memaparkan jalur-jalur isnad tanpa mencari mana jalur tunggal dan mana yang bukan dalam lingkaran isnad. Keterangan Juynboll di atas sangat dipengaruhi oleh teori common link yang selalu fokus pada kemungkinan
19
adanya jalur tunggal periwayatan hadits yang berupa kaitan bersama dan tempat ditemukannya pemalsuan hadits. 4. Analisis Argumentasi Keotentikan Hadits Mutawatir Ketika menjelaskan tentang keberadaan hadits mutawatir, terutama hadits mutawatir lafzi, para ulama hadits mendasarkan pada hadits yang berbunyi. ﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﺎﻟﯿﺘﻮﺑﻮأ ﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ اﻟﻨﺎر ّ ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋﻠ Barangsiapa
berdusta
atas
namaku,
maka
hendaklah
ia
menempati tempat duduknya di neraka. Menurut Juynboll, dalam beberapa isnad yang mendukung matan hadits yang dianggap berasal dari Nabi tersebut, Shu’bah adalah common link tertua dan paling teruji kebenarannya. Hadits tersebut muncul karena Shu’bah marah melihat maraknya pemalsuan hadits yang dilakukan oleh para ahli hadits sezamannya, terutama para tukang cerita (qussas) yang suka menambahi matan hadits. Untuk menghentikan gerakan pemalsuan hadits yang dirasa akan membahayakan ajaran Islam, maka Shu’bah membuat matan hadits yang mencaci kebohongan itu. Hanya saja, menurut Juynboll, hadits anti-kebohongan tersebut tidak terdeteksi oleh para ahli hadits hingga sekarang41
Menurut Ibnu as-Shalah hadits di atas diriwayatkan lebih dari 70 orang, 10 diantanya adalah para sahabat yang digembirakan nabi masuk surga.42 demikian seterusnya pada tiap tabaqah sanadnya diriwayatkan oleh banyak periwayat. Menurut Abu Bakar al-Sayri, hadits ini diriwayatkan secara marfu’ oleh enam puluh sahabat. Sebagian ahli huffaz (parapenghafal hadits) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Menurut 41 42
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm.267 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm.,hlm.35
20
mereka, tidak diketahui hadits lain yang dalam sanadnya terkumpul sepuluh sahabat yang diakui masuk surga kecuali hadits ini. Pendapat lain dikemukakan oleh Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazari bahwa hadits ini diriwayatkan oleh enam puluh sahabat. Menurut Abu al-Qasim b. Manduh, hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh orang sahabat. Sebagian pendapat menyebutkan diriwayatkan oleh lebih dari seratus sahabat, bahkan menurut lainnya dua ratus sahabat. Hadits tersebut menjadi dasar tentang larangan berdusta terhadap Nabi dan salah satu kriteria hadits mutawatir adalah kemustahilan para perawi sepakat berdusta. Kejujuran menjadi kunci pokok kebenaran periwayatan. Suatu hadits yang dibuat atau diriwayatkan secara dusta tidak dapat diterima dan dinilai sebagai hadits palsu, baik hal itu dilakukan secara individual maupun kolektif43
43
Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,hlm.266
21
D. Kesimpulan Hadits mutawatir adalah hadits yang berdasarkan atas panca indra (penglihatan dan pendengaran), yang diriwayatkan oleh banyak orang dan menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk bohong, hadits mutawatir tergolong hadits yang paling shohih dan bersumber langsung dari Nabi Muhammad SAW Oleh karena itu hadits mutawatir jumlahnya sedikit dibandingkan yang lain, dalam memntukan hadits mutawatir para ulam sangat hati-hati hingga para ulama hadits telah memberikan kreteria hadits mutawatir untuk menunjukkan validitas dan reliabilitas hadits mutawatir sehingga kebenarannya secara historis tidak diragukan, Adapun kreterianya yaitu: a). hadits diriwayatkan oleh banyak perawi; b). tidak ada kesepakatan naluriah untuk berdusta; c). jumlah massal itu terjadi pada setiap lapisan isnad; dan d) validasi berita hadits secara inderawi. sedangkan Juynboll dengan metode isnad teori common linknya telah menemui kegagalan dalam memberikan jawaban mengenai sumber dan asal usul hadits disebabkan teori tersebut masih banyak kekurangan hingga masih bisa menimbulkan pemalsuan sanad hadits yang tentunya akan berdanfak terhadap derajat keshahihan hadits itu sendiri, sehingga apa yang ditentukan ulama hadits terkait pengeritan kreteria hadits mutawatir lebih tepat dijadikan tolak ukur untuk menilai hadits mutawatir.
22
Daftar Pustaka Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirajah Hadiets, Cet.2 Djakarta: Bulan Bintang, 1961 Ash-Shiddieqy,T.M. Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.6. Jakarta: Bulan Bintang, 1980 Idri, Otentisitas Hadith Mutawatir Dalam Teori Common Link G.H.A Juynball,2 ISLAMICA, Maret 2013 Itr, Nuruddin. Ulumul Hadits, Cet.2 Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012 Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadits, Cet.2, Jakarta:Amzah,2009 Masrur, Ali. Asal Usul Hadits Telaah Atas Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Disertasi Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004 Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Cet.1 Yogyakarta: LKiSYogyakarta, 2009 Nasrullah, Metodologi Kritik Hadits, Studi Takhrij al-Hadits dan Kritik Sanad, 4, Jurnal Hunafa, Desember 2007 Zuhdi, Masyfuk. Pengantar ilmu hadits, Cet.4, Surabaya:Bina Ilmu 1983